Ahmad Wildan & Soraya Medina
Tahun Pertamanya Pada sebuah resah, bersandar seorang pria kesepian, menatap senja yang mulai membosankan. Tak usah kau baca yang tertulis di wajahnya, sebab air mata bukan tinta. Dengan udara yang ia sebut harapan ia bernafas. Sepalsu palsunya harapan, tetap harapanlah yang membawanya sejauh ini. Di tahun pertamanya ada harapan, resah, dan tangis. ***
Dia menangis, memikirkan janji-janji dan mimpi-mimpi masa lalu. Mimpinya yang dulu tegak berdiri mengokohkan, yang berasa sudah ada di genggaman tangan, mulai pudar tertelan masa. Tertelan euforia tahun tahun pertama. Dan untuk memperbaiki semuanya kembali seperti semula, dia kini hanya punya dirinya sendiri saja. Tidak ada lagi yang benar-benar bisa membuatnya mengokohkan harapan, mengejar mimpi, menghalau keresahan. Karena semua teman terbaiknya, mengalami hal yang persis sama saja seperti dirinya. Dan mereka hanya bisa menguatkan, dengan tulisan sederhana *** Berbaring seorang pemuda yang tadi di tepi harapan. Senja ditinggal malam, ujung malam telah lewat. Semangatnya tinggal salam, sedang perang telah lewat. Sdakah bau yang lebih busuk daripada bau kecewa? Iri? Penyesalan? Dan kekalahan? Ini tahun pertamanya, terseok di barisan yang terbelakang, menunggu iba yang datang. Menunggu waktu yang berbaik hati untuk mengulang. Jika tahun pertamanya hanyalah ampas harapan, adakah semangat yang masih mengendap bersama sisa asa yang belum putus? Berbaring seorang pemuda yang tadi. Tapi kini hampir mati. ***
2
Dia mulai berada diujung pengharapan. Kuulang, ujung pengharapan, bukan puncaknya tapi sisa-sisa harapan yang mungkin masih ada. Dan mati saja, dia bahkan sudah mulai terbawa suasana buruk lingkungan barunya. Mulai menghilang sudah semua bekas-bekas tempat lamanya. Tempat yang mengajarkannya soal harapan, mimpi, dan pengabaian soal keresahan. Dia memilih mati, tapi jiwa lamanya ingin ia bangkit kembali. Dan selagi dia merasa mati, jiwanya kembali menjemput mimpi lama dan dirinya yang lama. Jiwanya memohon kepada teman temannya yang ia rasa belum lagi menjadi gila. Dia benarbenar sedang butuh pertolongan segera.
3
Pertolongan Pertama "Ah, wahai resah kuputuskan untuk melangkah," ucapnya. Semangatnya mulai terbakar. berkat percikan api tadi malam. Tadi malam. uluran tangan, entah kekasih dari mana yang memiliki waktu yang lebih untuk sekedar mengulurkan tangan. "Kita sepertinya menghadapi musuh yang sama," ujarnya sok banyak tau. Lelaki itu tak peduli, senyum pun tidak, sehurufpun tak keluar dari getaran pita suaranya. Ia terlalu tenggelam dalam kegamangan untuk sekedar tersenyum apalagi membalas cakap. Sepasang suram itu kini duduk berdua di tepi harapan, bedanya yang lelaki sudah hampir tak bernyawa, yang perempuan nyaris tenggelam. Hingga pagi menjelang keduanya masih disana, bedanya mata mereka berbinar, segar, bagai diguyur air surga. Tak ada yang tau apa yang terjadi malam itu, tak satupun suara terdengar. Bukan aku yang tau, mungkin dia tau. *** Bukan solusi sebenarnya, mereka hanya mendadak merasa bahagia secara sederhana. Mereka masih berusaha mencari jalan pulang, tapi selama mereka masih bersama, masing masing merasa.. Semuanya akan baik baik saja. Asalkan ada saja teman sesama pencari nafas lama, sesama berasa ingin mati, sesama menggapai ujung pengharapan agar bisa berjalan meraihnya kembali,Ssesama yakin kalau mereka tidak berjuang sendiri-sendiri. Semua pembicaraan tumpah ruah malam itu, terlepas dari segala kerangkeng malu dan putus asa. Bukan, mereka belum bertemu solusi seutuhnya. Mereka hanya merasa aman, karena bertemu lagi, dengan sahabat lama. Sahabat walau tidak pernah merasa dia ada sebelumnya. ***
Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi dan keberanian menjadi cakrawala, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. begitu kata penyair yang telah melegenda. WS rendra.
4
Kata-kata itu tiba-tiba saja terdengar seperti bisik malaikat berwujud gemericik daun beradu ditiup angin. Mungkin bisikan ini yang jadi pemicu letupan di hati mereka. Letupan kecil pemicu ledakan besar yang disebut letupan semangat. Mereka berjalan dengan semangat yang terisi penuh, kemalasan tertinggal jauh di belakang. Memang bukan saatnya lagi mereka berjalan gontai. apalagi duduk santai. atau malah tergeletak lunglai. Semangat ini lebih dari api yang tuntas membakar jiwa. Ada dua api yang sulit padam. Dia dan perempuan itu. Semangat mereka takkan padam. Berjalanlah mereka menuju satu tujuan pertama. Sebut saja kemenangan pertama. Tapi akan masih sangat panjang. Sepanjang nafas mereka pada langkah pertama. Ya. Langkah pertama.
5
Langkah Pertama Langkah pertama ini mereka sebut sebagai langkah pembeda. Terujar begitu saja pada pertemuan rutin mereka disore hari. Gagasan ringan, dengan mimpi segenggaman. "Aku lelah menjadi serupa, meniru gerakan, dan terbawa suasana. Bagaimana kalau kita mulai, dengan menjadi instruktur gerakan utamanya?" Ujar lelaki itu, sekaligus untuk memantapkan hatinya. "Kalau memang ingin memulai, setidaknya kita harus berjalan dulu kedepan. Kau tidak sadar? Kita dibaris paling belakang sekarang. Tidak merasa malu?" Yang perempuan menyahut, tampak lebih realistis menyusun mimpi. "Ya Tuhan, aku betul betul terlalu banyak bermimpi. Sepertinya berusaha untuk berada digaris kedua terakhir terdengar lebih ringan dan melegakan." "Langkah pertama, untuk menjadi pembeda.. Maju satu barisan?" "Ya, maju satu barisan. Aku lihat komitmenmu minggu depan. Seperti biasa." Perempuan itu tidak berminat lagi melanjutkan, dia hanya tersenyum mengiyakan. Ia mulai menyusun rencana untuk merangkaikan kisah kisah lama yang membanggakan dan melakukannya lagi agar bisa ia pamerkan pada lelaki ini minggu depan. Bahwa dia sudah berada satu baris lebih depan. *** Perempuan itu pergi. Menyisakan tekad kuat. Namanya Rava. aku rasa dia bukan manusia. Sebab aku melihat sesuatu yang berbeda dari matanya. Bagai bara api yang tuntas membakar apapun. Termasuk keresahan, keputusasaan, dan segala hal berbau negatif. Entah jadi apa aku tanpanya. Bisa jadi semangatku benar-benar padam. Dan cerita ini terpaksa tidak bisa dilanjutkan. Semoga besok dia benar-benar kembali. *** Dan Rava berjalan pulang. Sebenarnya tadi hanya omongan kosong sok bijaknya saja. Dia sama sekali tidak mengerti apa apa. Bila ia memang sudah mengerti, dari lalu lalu dia sudah jadi pemimpinnya.
Sayang, dia sudah telanjur berjanji dengan lelaki itu. Menyesal sudah bertingkah sombong dan sok tahu. Macam dia sudah berdiri digaris terdepan. Sial, dia pasti menunggu minggu depan. Lelaki bernama Reza itu, pasti menagih cerita baru. Harus bagian mana lagi yang harus ia poles agar ia selalu tampak sudah lebih maju? Dan Rava kemudian tersadar tiba tiba. Ia ternyata hanyalah buruk rupa yang memoles diri menjadi jelita. Malang sekali nasib Reza ternyata.
6
Perjalanan Pertama Pulang. Di setiap kelokan aku menjumpai keragu-raguan, namun aku hiraukan. Tak terasa senja telah jatuh jatuh, gelap pun bangkit, ribuan bintang tersebar, tetap pada posisinya, pada rasi yang sama. entah gelisah ini kapan masuk ke dalam kepala. Menyeruak begitu saja bersama tarikan nafas udara yang beku. Seharusnya tak perlu ragu, akan ada Rava yang membantu. Perempuan aneh yang ku kenal di masa suram. Dia datang menarikku keluar dari keputusasaan. Lalu malam itu percakapan kita lebih lirih daripada desau angin. Perkenalan, harapan, kenyataan, segalanya tuntas, lebur, seakan-akan kami telah kenal lama. Aku menemukan diriku di dalam jiwa Rava. Aku menemukan segala kekhawatiran juga kebahagiaan pada kerling matanya. Yang kutahu pasti dia tak lebih dari seorang perempuan yang ingin membantuku, mungkin ia diturunkan tuhan untuk menghayati kesedihanku. Hingga semalaman ia mampu menyerap tuntas segala perasaan buruk yang telah lama mengurungku dalam batasan yang membuatku tak mampu bergerak bebas. Kami berdua telah sepakat untuk melangkah bersama, menjalankan segala yang telah kami rencanakan dan kami harapkan. Aku, kami punya harapan. Tapi kenyataan, tuhan yang tentukan.
7
Perjalanan Berikut-Berikutnya Yang kemudian ia sibuk menyusun angannya agar terlihat seperti nyata. Rava tau apa yang seharusnya dia lakukan, Berlari kembali kesana, menarik kembali kata-kata nya dan meminta maaf sejadi-jadinya. Sayang, egonya terlalu tinggi untuk menggerakkan jiwanya berfikir untuk kembali. Lihat, berfikir untuk kembali pun ia sudah tidak mau. Dia memang sudah lama hidup dalam karangan karangan, mengkhayal lalu membual yang kemudian membuat semua orang percaya. Hingga ia lupa mana yang sebenarnya nyata, mana yang hanya khayalan siang bolongnya Ia hanya berdiri pada satu hal saja, semakin banyak ia membual, semakin banyak orang yang nantinya tergerak untuk hidup lebih nyata. Keluar dari bayangan, membuat sebuah perubahan. Si Reza itu salah satu contohnya. Rava kemudian berjalan terus saja, meyakinkan hatinya bahwa lelaki satu ini tidak perlulah tau bagaimana dan kenapa. Karena dia yakin dia berdiri si tempat yang seharusnya. Tapi dia hanya merasa sedikit gusar, sedikit tahu, jika Reza bukan seperti yang sebelum sebelumnya. Semoga saja Reza tidak tahu apa apa selain tentang mimpi-mimpinya.
8
Lubang Besar di Tengah Jalan Si bodoh yang sedang dibicarakan ini rupanya masih terjebak jaring kusut, dijanjikan masa depan cerah, iya, anggukkan kepala kepada seorang yang tak lebih sengsara dari dirinya. Sekarang mari kita nikmati secangkir kopi pahit, untuk merayakan kemenangan atas kebodohan yang larut dalam kesucian sebuah harapan akan masa depan. Entah esok, entah lusa ia akan sadar. Lalu entah ia tinggalkan, entah ia lanjutkan, semangat menggapai masa depan yang ia bakar bersama. Reza sama sekali tidak tahu tentang apa yang sebebenarnya Rava rasakan, semacam memberikan harapan lebih pada permainan judi dadu. Ia gantungkan begitu saja mimpimimpinya bersama Rava, tak begitu memikirkan apa yang terjadi di masa depan. Reza benar benar memedulikan orang yang sebenarnya pura-pura peduli padanya. Jika bukan cinta, apa lagi alasannya? Bodoh sekali dia.
9
Sore Kedua Dan akhirnya sore berikutnya datang lagi. Yang Reza sudah tunggu dari lalu-lalu, nampak harapannya besar, karena dia sudah duduk disana 2 jam lebih awal dari biasanya. Rava? Ia bahkan tidak tampak batang hidungnya dimana-mana, masih sibuk dengan dunia barunya nampaknya. Sedikit lupa kalau ia punya masalah besar soal harga diri, karena ia sibuk senang pada dirinya sendiri. Ia sudah terbiasa terikat lalu bebas melepaskan. Kali ini sama saja, Reza tidak dianggapnya siapa-siapa. Toh, asal masih bisa bersenang-senang tanpa beban (walaupun hati masih berasa hampa) setidaknya ia tidak perlu memaksakan suatu janji pada satu orang yang baru saja ditemuinya beberapa kali. Dunia barunya begitu luas, terbutakan kesenangan, Rava melepas janji. Nanti-nanti sajalah, ujarnya. Lama-lama juga bisa diurusi sendiri. Walaupun benar resah hatinya dalam tawa, walaupun ia tahu betapa berharganya waktu jika ia sempatkan untuk datang. Tidak perlu mengarang, dia akan coba jelaskan “Mati sajalah,” ujarnya sendiri. “Aku masih belum peduli apapun soal mimpi-mimpi. Tapi….. apa ini kesempatan satu-satunya untuk kembali?” Ah! Rava gila sibuk berdebat dengan kepala dan hati. Kalau beginilah keadaannya, apa yang kamu harapkan? Rava datang? Atau bahkan, semoga saja tidak, ia malahan pergi jauh menghindar? Kurasa, Reza pasti lebih tau jawabannya
10
Kekasih Tak Datang Dua Kali Lalu di bawah pohon, tak jauh dari danau tempat pertama kali mereka bertemu, Reza menunggu. Menunggu sesuatu yang baru. Senja tumbang, lalu gelap bangkit. Reza berbaring di bawah pohon. Enggan menatap kearah jalan. Enggan menunggumu. "Aku tak ingat kapan terakhir aku menunggu, karena biasanya aku yang ditunggu,” ujarnya sendiri. ”Atau mungkin aku memang tak layak menunggu?" Sampai suara camar berganti suara gagak ia belum datang. Nyanyian gagak membuat malam makin suram. Caci dan maki bersatu menjadi syair yang merdu. Sambil menunggu ia menggores sedikit kata pada sebuah kertas yang tak sengaja terselip di saku celananya. "Rava kau bagai mawar indah, harum semerbak menggoda, duri bungamu menggoreskan perih, merobek indahnya dunia. Sebelum semuanya terlanjur menyedihkan atas segala percik harapan yang telah kau buat menjadi pemicu kebangkitanku, walau kini kuyakin tak lama lagi aku akan mati beku didekap putus asa yang dingin." Para gagak berkoak getir, mereka mencuri baca tulisan Reza. Gelap menyatu dengan warna bulu gagak. Sedikit sedikit Reza gelisah ingin sekali ia meninggalkan tempat itu. Tapi pasti saja ada perasaan yang menyuruhnya untuk tetap di tempat itu lebih lama. Desau angin menghasut Reza untuk pergi, Reza berdecak kesal. Semoga sesalnya disampaikan oleh angin.
11
Karena Kamu Yakin Dia Datang Si bodoh ini berbeda. Dan Rava sudah sadar akan hal itu dari hari pertama mereka bertemu. Entahlah, mungkin semesta muak menyaksikannya menebar dusta diatas nama cinta, lalu menyodorkan Reza sebagai penawarnya. Ia tidak datang, bukan tidak mau. Dia hanya ingin Reza sadar perlahan. Begitu rencananya semalam-malaman. Tapi seperti yang kubilang tadi, si bodoh ini berbeda. Rava tidak berani melepaskannya begitu saja, seperti yang lalu lalu. Yang satu ini cukup berharga untuknya. Mungkin. Maka, diantara segala perdebatan ia berdiri. Memilih untuk segera menghampiri. Ditinggalkannya segala kesenangan yang sudah ada dalam genggaman, untuk memegang entah apa yang tidak jelas di depan. Ia tidak tahu akan dengan siapa dia memegang janji dan mimpi-mimpi, tapi entahlah… laki-laki ini begitu meyakinkannya untuk cepat percaya. Mungkin, ia coba sampaikan saja dulu. Soal nanti akan ditinggalkan (lagi) seperti lalu-lalu. Rava tidak lagi peduli. Kakinya melangkah perlahan, perlahan dan semakin cepat seperti tidak ingin kehilangan sedikitpun kesempatan untuk memperbaiki. Tidak ada guna sebenarnya, dia sedari tadi sudah membuang berjam-jam waktu bersamanya. Pinggir danau itu sepi, tapi ia tahu Reza masih menunggu. Dan dia berjanji untuk bercerita yang sesungguhnya, karena mereka berjanji untuk maju kebaris terdepan bersama. Semoga belum terlambat.
12
Datang dan Pergi Bukan Aku yang Tentukan Jarum panjang dan jarum pendek bertemu tepat di angka dua. Kering sudah kelenjar air mata Reza, ia tetap terjaga. Menunggu wanita yang indah namanya, namun jahat (mungkin) hatinya. Di ujung kantuknya segalanya berubah jadi Rava. Dan bulan membentuk bola matanya, bintang gemintang membentuk formasi indah titik-titik jerawatnya. ‘Hahaha’ Reza masih sempat tertawa, padahal setengah mati ia digantung. Nyanyian alam sudah berhenti pukul dua belas tadi setelah gagak jatuh tertidur. Kini tinggal Reza dan bunyi jangkrik. Pikirannya sudah entah kemana pergi sejak tadi. Berteriak tak ada gunanya sebab yang ia harap mendengar mungkin sudah lelap dipangkuan dewa mimpi. Berat melangkahkan kaki yang beku, kerinduan ini membuat segalanya mendingin, habis sudah kepercayaannya. ia memang ditakdirkan hidup di merangkak di jalan setapak yang suram, sendiri meniti kegelapan. Berat ia tinggalkan danau ‘mereka’. Mantap sudah keputusannya untuk pergi. Sampai tiba-tiba serak suara tertahan mengembalikan kesadarannya, “Tunggu jangan pergi,” begitu katanya. Hey itu Rava, yang sejak tadi ditunggu baru muncul dari balik kegelapan malam. Entah angin mana yang membawanya sampai kemari. Reza sudah beberapa langkah berjalan sampai berhenti mendengar suaranya. "Tapi apa harus aku kembali? ah!" Ujar Reza dalam hati.
13
Bisa Duduk Disana dan.. Mendengarkan? "Setidaknya aku datang. Hanya tidak tepat waktu saja," Rava berteriak, terburu-buru. Ya Tuhan, bahkan setelah membuat orang lain sengsara pun dia masih berani membela diri. "Hebat nona, dengan waktu pun kamu masih berani mengada-ada." Rava tersentak, bentakan Reza yang pertama untuknya. Tapi ia masih berani untuk menyusun kata-kata manis. "Mungkin maaf bisa membantu? Aku punya sejuta cerita agar kamu mengerti. Ayolah, aku tidak menemukan orang waras seperti dirimu yang bisa mengerti relasi antara harapan dan mimpi-mimpi." "Hey, aku bahkan tidak lagi bisa membedakan mana orang waras dan mana orang gila. Kamu? Kamu mungkin orang gila bermulut manis yang pintar berkata-kata. Mimpiku panjang, Rava. Harapanku terlalu besar. Tidak ada waktu untuk berlama lama beranganangan tanpa membuatnya menjadi nyata." Ya Tuhan, anak ini sudah benar benar kecewa. Padahal baru sekali ini saja dia berpura pura didepannya. Rava habis kata, malam habis nyawa. Habis bintangnya termakan kecewa Reza. Hening sesaat. Rava berpikir keras-keras, ia tidak menemukan kata yang tepat untuk menahan Reza agar tetap percaya. Tapi dia kemudian sadar, pikirannya sudah terlalu terkontaminasi. Sudah rusak sedikit demi sedikit terkikis kesenangan tempat barunya. Tidak akan ada gunanya lagi bila ia tetap berpikir dengan kepalanya. Hening kemudian. Tidak ada yang berkata, bahkan tidak ada yang nampaknya ingin beranjak pergi. Seiring sunyi, pelan pelan kemudian Rava merasa-rasa dengan hati, mengais sisa dirinya yang lalu-lalu, yang ia sebenarnya rindukan tapi ia kubur dalam-dalam. "Aku berbohong. Padamu, bahkan kepada semesta. Dan aku akan ceritakan semuanya, tanpa berani lagi mengada-ada. Bisa tolong.. duduk disana dan.. mendengarkan?"
14
Malam Ini Mengawali Sesuatu yang Tanpa Akhir "Sebelum aku buat pengakuan maukah kamu mendengar sepotong cerita, Reza?" Yang ditanya tak menjawab, konsentrasi menahan kelopak mata agar tidak jatuh air mata. "Di sebuah hutan hidup seekor kancil, ia hanya mampu memakan buah-buahan yang tumbuh tak jauh dari tanah, sampai akhirnya seluruh buah yang biasa ia makan habis, hanya tersisa buah-buahan di pohon. Ia kancil tak mampu memanjat. Sambil menahan lapar ia terus berjalan. Di jalan ia bertemu bertemu kuda nil sendirian. Kesepakatan kecil tercipta, tak ada yang tau apa, yang pasti setelah itu kancil terus berada di punggung kuda nil, dengan itu kancil dapat makan buah-buahan yang ada di pohon." "Lalu apa untungnya untuk si kuda nil?!" Yang mendengar tak terima diberikan akhiran yang tak jelas. "Kuda nil hanya butuh teman, Reza. Ia sendirian." Reza mendengus sebal, ia masih tak terima. Masalahnya bukan kenapa kuda nil rela memberikan punggungnya hanya untuk sebuah pertemanan. Tapi kenapa harus ia menunggu berjam-jam hanya untuk cerita konyol. "Sekarang kau siap dengar pengakuannya?" Ujar Rava sambil tersenyum tipis penuh selidik. Yang ditanya hanya melirik, didalamnya terkandung beribu makna, ada kesal, rindu bahkan. Cinta. Angin malam memperingatkan mereka berdua lewat hembusan sejuknya, hampir pagi. Percakapan harus segera dituntaskan. Reza dan Rava terkubur sejuta rasa.
15
Pengakuan Pertama "Aku sudah habis, tuan. Tempat baru ini menggerogoti habis semuanya. Tersisa sedikitpun tentang kisah lama pun tidak. Aku takut mengakuinya, bahkan pada diri sendiri. Mungkin karena.." "Karena kamu takut ‘apa kata orang’ kan? Masalah klasik. Aku rasa aku jadi terpuruk begini karena alasan yang sama." Ya, mereka duduk berdua lagi disana. Bercengkrama untuk yang kedua kalinya. Tidak peduli jika malam sudah lewat, karena aku rasa selama mereka sedang berdua, setidaknya selama itu semua terlihat baik baik saja. Rava kemudian terdiam. Reza memang benar berbeda. Dia nyaris tahu segalanya. Sedikit menyesal, sadar ia pernah membodohinya hingga tumpah kecewa. "Kurasa tidak perlu kita berubah sekarang, nona. Mimpi tentang menggenggam dunia? Cih, kurasa itu hanya omong kosong. Kita mulai saja sedikit sedikit. Dari diri sendiri. Perbaiki dulu isi kepala, lalu turun ke hati. Sedikit demi sedikit. Bagaimana?" Reza ambil alih sekarang. Rava terlalu banyak terdiam dari tadi. Hey, benar pagi sudah menjelang sekarang. Reza, sebenarnya apa yang ingin kamu lakukan?
16
Biarkan Aku Mengantarmu Pulang “Ku pikir sudah waktunya kita pulang nona, matahari sudah muncul, aku tidak ingin kesedihan kita dilihat oleh pagi,” sambil tersenyum Reza berdiri lalu mengulurkan tangan mengajak Rava untuk bangkit. Mereka berdua bangkit, Rava menyeka air matanya canggung ikut tersenyum. Senyuman Reza seakan memerintahkan bibir Rava agar ikut tersenyum. Setelah ini takkan ada lagi air mata yang jatuh sampai ke lereng wajahnya, karena setiap air mata yang mengalir lebih dulu diseka oleh punggung tangan Reza. "Terimakasih untuk tidak marah." "Buat apa marah? Malah aku harus berterimakasih karena kamu sudah berbohong. Jika kamu tidak menipuku tempo hari mana ada aku hidup dengan ribuan semangat yang terlanjur menyala ini hahaha." Turun lagi air mata Rava kali ini buru buru diseka Reza. Lama sekali mereka saling tatap. Lalu mereka berpelukan erat, lama sekali hingga akhirnya mereka tenggelam dalam ketenangan. Biarlah mereka berdua saling menyesuaikan, agar kelak mereka berdua melangkah pasti. "Biarkan aku mengantarmu pulang nona." Yang ditanya hanya mengangguk malu, lalu mereka melangkah tanpa ragu. Mengapa keadaannya jadi tertukar? Ah Reza apa yang sedang kau lakukan? Sebentar, aku bisa merasakan degup jantung Reza meningkat, pupil mata melebar saat menatap mata Rava. Tangan berkeringat. Apa-apaan ini?! Sialnya Rava tidak menunjukkan gejala-gejala yang sama. Jangan terlalu jauh Reza, kau akan menyesal.
17
Mulai Melangkah Aku rasa mungkin ada sejuta rasa dihatinya sekarang, tapi dia memilih untuk mengabaikannya saja. Ada hal yang lebih penting daripada soal hati. Ia akan bicarakan itu dengan Reza nanti-nanti. Hari ini dia berencana untuk berani jadi berbeda. Dihadapan semua temannya yang banyak omong itu dia akan tegak berdiri, mencoba membawa kembali prinsip-prinsip lama yang seharusnya mengakar kuat dalam hati. Entahlah bagaimana nanti jadinya, setidaknya dia sudah berusaha untuk memikirkan caranya. Nilai plus untuknya, dia rasa dia tidak berjuang seperti orang gila sendirian. Masih ada Reza disana, pendukung utamanya. Dia pikirkan lagi dalam dalam rencananya, dia ingat ingat lagi semua yang Reza sampaikan padanya. Melangkah sekarang karena Rava tidak tahu sampai kapan ia akan berani melangkah. "Semoga nanti saat bertemu, kamu benar benar punya cerita baru, Reza."
18
Rencana-rencana “Baik Rava setelah ini akan kutuntun kamu menuju dimensi lain tempat segala harapan kita hidup dan tumbuh bersama.” Begitu hatinya berkata sesampainya di sebuah kamar yang lebih suka ia sebut persembunyian. Sebuah tempat yang paling nyaman dan aman untuk menghindar dari suram kehidupannya. Entah setelah ini apa, yang pasti Reza betul-betul berjanji untuk mengajak Rava lari dari keterpurukan hidup mereka. Berbagai macam kejutan tuhan telah ia saksikan, bagaimana datang seorang Rava yang begitu ia percaya sebagai lentera dalam gelap, dan bagaimana Rava mengkhianati kepercayaannya. Bagaimanapun Reza berutang rasa. Jika tak datang Rava maka tak datang asa. “Bersiaplah dengan segala macam kejutan yang kutunjukkan nanti Rava, yang kusebut ini rencana-rencana.” Lalu ia jatuh terlelap. *** Sementara Rava mulai memintal kehidupan barunya di setengah warsa kedua, Reza, si bodoh berjuta ambisi mendengkur keras di balik selimut tebal kamarnya. Di dalam tidurnya ada mimpi indah yang membuat otaknya segan memerintah mata untuk terbuka. Di dalam mimpinya ia bertemu seorang kakek tua berusia ratusan warsa. Kakek itu bercerita, “Telah hidup ribuan warsa sebelum kamu nak, seorang raja yang terasing di tengah hutan, berdua dengan adiknya. Beberapa warsa setelah hidupnya di hutan ia mendapatkan seorang istri cantik jelita, putri seorang raja. Artinya nak, tak peduli siapa, boleh ia terasing ke suatu tempat yang suram, tapi jangan pernah kamu lepas itu mahkota, mahkota di hatimu. Jangan pernah kamu buang rasa bangga atas dirimu sekalipun kamu diinjak-injak nestapa. Kelak kamu akan menemukan kejayaanmu sendiri.” Lepas kakek itu bercerita, Reza menunduk, merenung. Lalu sang kakek hilang bersama angin yang berhembus kencang. Reza terbangun. "Sial," ujarnya pelan. Setengah sebal ia terseok menuju jendela, lalu ia berkata, “Lain kali mampir lagi ke dalam mimpiku eyang, aku butuh tuntunan eyang,” kemudian ditariknya nafas dalam-dalam dan melanjutkan, “Rava, rencana pertama, kita harus tetap maju.”
19
Reza memimpikan arwah kakeknya. sementara Rava menunggu cerita.
20
Rava Mulai Membuat Cerita Mulai dia meneliti. Satu persatu isi kelas ia ajak berbicara bersama. Tidak secara langsung seperti antrian wawancara, ia ajak bicara perlahan satu persatu diselangan waktu. Mulai dari pertanyaan semudah apa kabar hingga pertanyaan sulit, menganalisa ada kabar apa. Rava benar benar ingin mencari satu titik terang yang bisa membantunya berdiri disini. Yang cukup waras untuk membawanya pergi. Kelompok teman penuh kesenangannya memandang tajam, tidak berkata tapi berbisik langsung ke telinga. Bergunjing hingga habis kata. Tetapi, setiap Rava datang dan tersenyum menyapa mereka pasang lagi muka tanpa dosa. Rava bukan tidak tahu tapi ia memilih untuk tidak mau tahu. Biarlah dia mau kata apa, macam berpengaruh sekali pada kehidupannya. Tapi ia tidak akan pergi bergitu saja. Sedikit banyak mereka membantu menutup segala luka. Rava bukan orang tanpa tanggung jawab yang jika meihat suatu kekacauan lalu langsung pergi menghindar. Namun, ia hanya khawatir jika berlama-lama bersama mereka. Terlalu banyak pengaruh buruk nanti mengacaukan kembali pikiran-pikiranya. Jika senyum membutuhkan tempat, mereka tujuan utama. Namun jika masa depan dan mimpi-mimpi nyata, sungguh mereka sama sekali tidak tahu apa-apa. Rava akan terus menganalisa. Hingga habis waktunya, tidak tahulah akan berpengaruh apa. Yang penting ia punya sedikit bahan cerita nanti saat bertemu Reza. Sedikit dia berpikir dalam hati. Hey Reza, apa yang sedang kamu coba lakukan disana?
21
Masalah Baru, Masalah Selamanya Hingga habis sabar hingga habis luka. Salah ia memilih teman sepermainan dari awal mula. Sebelum kau tau ada apa biar aku jelaskan dulu satu hal yang pasti adanya. Sekumpulan perempuan yang membangun hubungan pertemanan tanpa ada ikatan hati yang jelas, akan kandas tertelan waktu bagi mereka yang cukup sadar. Biar aku sederhanakan, perempuan itu kompleks pemikirannya. Bukan kompleks dalam arti nyata, tapi memang mereka sering sekali mempersulit masalah sederhana hingga tidak ada ujung penyelesaiannya. Begitu juga dengan cara mereka berteman, bila kau sudah masuk dalam perkumpulan semacam ‘geng’ pesolek macam mereka, itu sama saja seperti kau masuk dalam lubang buaya. Bukan… bukan, kelinci berkepala buaya. Terbuai berlama-lama didalamnya tapi sekali sadar setelah memandang wajah mereka dan berniat keluar, habis kata habis cara. Mereka tidak akan biarkan kamu pergi sebanyak apapun caramu mencoba. Dan itu, masalah besar Rava sekarang. Dia sadar temannya gila, terikat hanya saat bicara soal cinta dan hal-hal semu lainnya. Mana dia tahan? Rava memang sedang terpuruk sekarang tapi setidaknya dia masih punya sisa otak yang masih waras untuk membedakan mana yang cukup penting mana yang tidak. Maka dari itu ia memutuskan untuk segera pergi. Kenapa tiba tiba masalah ini kubicarakan? Karena kulihat disana Rava terpojokkan, termaki-maki secara halus dan kasar, ditinggalkan macam ia orang buangan. Dan semua hal bodoh ini terjadi karena ia memaksa untuk mencari orang yang mampu menyeimbangi mimipi dan harapannya. Setidaknya ia ingin bertemu dengan ‘Reza’ nya didalam kelas. Tapi apalah, dia justru dikata kata macam ia narapidana. Andai Reza disini sekarang, ia pasti akan sangat mengerti kenapa Rava sempat memiliki dua muka sebelumnya. "Aku tidak tahan untuk tidak berbohong lagi. Reza, sungguh, apa yang sebaiknya aku lakukan?"
22
Bocah Kemarin Sore Reza keluar dari kamarnya, malas berjalan keluar. Ia telah melewatkan satu kelas pertama di tengah bulan keduanya. Reza butuh angin segar, mencerna pesan lewat mimpi adalah sebuah pekerjaan mengingat yang amat melelahkan. “Tidur yang amat melelahkan,” keluhnya. Dua kakinya melangkahkan tubuhnya menuju danau tempat pertama kali ia bertemu Rava. Tempat pertama kalinya dua bocah kemarin sore beranjak dewasa mengejar asa. Membakar semangat bersama sama. Sebatang linting tembakau dibakarnya, buru-buru ia hisap, asap putih terhembus dari mulutnya. Barangkali ini yang ia sebut ‘melepas penat’. Tak ada yang ditunggunya di danau ini. Hanya ingin merenungkan hidupnya. "Apa yang terjadi jika manusia hilang semangat untuk hidup? Kehilangan alasan untuk memperjuangkan segala hal yang telah diimpikan?. Atau berhenti di tengah jalan karena sebuah alasan bernama ‘takut salah langkah’? Sampai hari ini kita hidup atas rangkaian harapan dan kenyataan yang kita bangun sejak pertama kita mampu berpikir. Kegagalan dan penyesalan mewujud menjadi tali, lem atau semen untuk mengokohkan kehidupan kita. Aku paham, gagal atau berhasil bukan itu yang harusnya dinilai atau disaksikan banyak orang. Tapi proseslah yang terpenting. Maka aku hidup untuk itu." "Mungkin tuhan telah menyiapkan jalanku lewat menghadirkan Rava dalam hidupku sekarang ini. Entahlah, permainan takdir ini kadang juga membuat manusia lelah menerka, atau malah tertarik untuk menelisik kehidupan lebih dalam." Sejauh ini merenung adalah pelarian paling menyenangkan baginya. Di akhir perenungan ia berbisik, “Akankah mimpi kita bertahan Rava?”
23
Entah Kenapa, Selalu Kamu Jawaban Segalanya Rava tidak tahan lagi. Dia butuh Reza. Sekarang. Sudah terhitung seminggu mereka tidak bertemu dan Rava baru tersadar jika Reza adalah candu. Setelah habis segala waktu terbuang demi menjelaskan apa itu kewarasan pada temantemannya yang tidak pernah mengerti, Rava segera cari cara untuk segera melihat Reza lagi. Setidaknya satu dua kata darinya akan lebih dari cukup untuk amunisinya seminggu kedepan. Rava sudah sibuk mengadu pada tuhan disetiap malam malamnya. Semua masalah terlontar cepat dan halus dari bibirnya, memohon dengan sangat agar semua masalahnya berubah menjadi cerita bahagia. Dan dia rasa tuhan beri jawabannya secara tidak langsung kepada Reza. Sungguh Rava sangat berterimakasih untuk hal itu. Sesampainya disana ia tidak perlu lagi susah-susah memanggil. Tidak perlu lagi susah-susah mencari karena seperti yang Rava sudah duga sebelumnya, Reza akan ada saja disana. Menunggu. Dan sore mendadak menjadi indah sekali hari itu.
24
Yang Sering Kita Sebut Pulang Sore keseribu barangkali Reza berdiri di sini. Menghadap hamparan air hijau berkilauan, bersandar pada angkuhnya pohon pinggir danau. Sambil mengunyah rumput liar, di matanya ada Rava. Pikirannya terbang menuju angan yang mungkin hanya khayalan. Tak ada pertemuan semenjak ia didatangi kakeknya dalam mimpinya. Tapi senja ini ia seperti dibisiki untuk pergi ke sini. Entah apa yang membuatnya betah berlama-lama menatap lurus ke depan. Tapi ada yang beda dari tatapannya, tidak kosong seperti dulu. Kini tatapannya tajam menatap masa depan. Lalu ia dikagetkan dengan sesuatu yang datang ke arahnya, suara langkah kaki yang sangat ia kenali, wangi parfum yang kekanakan, dan senyum riang yang melegakan hati. Rava! Jemari bertemu jemari, pandang bertemu pandang, bahagia tak bisa dibendung lagi, tak ada pekik bahagia, namun inilah puncak kebahagiaan mereka. "Sore ini tiba-tiba menjadi sekeping surga, peluk adalah satu-satunya jalan menuju rumah, atau sesuatu yang sering kita sebut pulang," kata Reza masih menggenggam tangan Rava. Matanya berbinar memantulkan pesona senja. "Jika merindukanmu menghasilkan sensasi surga, aku rela hati ku nyeri dihantam kerinduan, tuan," jawab Rava matanya mengisyaratkan kelegaan. Matahari malas-malasan seperti enggan tenggelam demi melihat dua pasang manusia itu menebar cinta. Lalu gelap buru-buru bangkit sebab bulan tak mau ketinggalan. Semesta kemudian hening, demi mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mereka. Kata demi kata deras mengalir, membentuk sungai aksara, membasahi irigasi-irigasi hati yang kekeringan, menyejukkan hati hati yang panas, mengubah desing peluru menjadi melodi lagu. Semesta menembangkan syair-syair cinta. Bintang di langit menari-nari. Oh... Tapi Rava datang membawa segudang keluh kesah, Reza punya banyak senjata. Mereka sepakat kembali bersama menghadapi dunia.
25
Rava Berani Mengadu Cukup sudah, wajahnya sudah cukup membuatnya tenang sekarang. Waktunya berkeluh kesah pada sesosok kamu yang tiada habis terang benderang. Rava sudah secercah harapan padanya. Maka dengan mudah ia sampaikan nyaris segala isi hatinya. Apalagi jika itu keluh kesah. Ia bukan mengharap solusi dan janji-janji, namun jika dengan bercerita bisa menenangkan hati, tidak ada salahnya kan? Ya. Semoga saja rasa percayanya bertahan selamanya. Dari sini lalu ia mulai berkisah, memulai cerita panjang perjuangan mereka berdua. "Aku sudah mulai meniti jembatan, membuka sebanyak banyaknya jalan tapi aku justru terhinakan. Kamu bagaimana?" "Hahaha nona, aku bahkan belum memulai. Aku tidak sepertimu, aku perlu jarak dan waktu untuk memulai hal baru. Memangnya siapa yang berani menghinakanmu, nona?" "Orang orang itu, bahkan namanya tak sudi kuucapkan. Mereka sibuk mengurusi masalah cinta tanpa titik dan malah mengabaikan fakta tanpa koma. Aku lelah, andai kamu ada disana, tuan." Rava menatap lekat kedua bola mata yang dirindukannya. Pupilnya bergerak gerak mencari cahaya. Bantuan untuk hatinya segera. Kira kira, apa jawaban pantas untuk nonamu, tuan?
26
Lagi-lagi Izinkan Aku Bercerita Langit gelap pekat menciptakan indah cahaya bulan yang berpendar. Malam ini dunia begitu tenang, tak ada gemuruh seperti yang terjadi saat hatinya luka. Apa dia keturunan penguasa kegelapan? Amarah datang, hati tak tenang, dunia gemetar. Malam ini Rava mengeluh, tak sanggup lagi menahan beribu dera dari para mulut-mulut sampah. Reza dan Rava terpisah beberapa kelas. Sulit bagi mereka untuk terus bersama. Setidaknya sekarang hati mereka bergandeng tangan. Reza tidak pernah menyangka bahwa dialah yang akan menjadi tempat bagi keluh kesah Rava, entah angin mana yang membawa keluh dan kekhawatiran Rava menuju Reza. Semacam ada api di dalam dekapan Reza yang mampu menghangatkan tubuh Rava yang beku. Rava masih menunggu mulut Reza terbuka mengeluarkan kata, yang ditunggu masih diam. Sepersekian detik menjadi ruang waktu yang begitu lebar, sebab yang dipandang mementahkan ketetapan semesta. Pesona dan kecantikan seorang wanita ciptaan langsung tangan tuhan. Reza tidak tau apa yang harus ia katakan, belum pernah ia berada di dalam posisi ini. Menjadi pendengar yang baik bisa jadi pekerjaan mudah. Namun sulit ketika ia harus memberikan tanggapan yang dapat membuat Rava muncul lagi senyum di wajahnya. "Mati! apa yang harus kukatakan.." ucap Reza di dalam hati, tanpa merusak mimik tenang di wajahnya. Kemudian menata lagi kata untuk menenangkan wanitanya, "Ehm.. Izinkan aku bercerita nona" Otaknya bekerja keras merangkai kata menjadi kalimat, dan membentuk menjadi satu cerita utuh untuk membuat nonanya tersenyum. Dan waktu kembali berjalan seperti sedia kala.
27
Kemudian Kamu Tahu, Dia Reza Adhipramana "Tidak, aku tidak akan mengizinkan kamu bercerita hingga kamu mendengarkan seluruhnya. Diam saja disini dan tolong dengarkan," Rava sedikit memerintah, memaksa Reza untuk duduk di pinggir danau dan mulai berceloteh seperti biasanya. "Kau tahu tidak, aku bertemu bukan saja orang gila. Tapi juga bertemu dengan pujangga hati, pujangga kehidupan. Banyak aku mulai belajar, peristiwa berkelebat cepat didepan mata saat kau bersama mereka hingga kau butuh waktu untuk mencerna makna maknanya," Rava menarik nafas pasti, menatap Reza sejenak, kemudian melanjutkan ceritanya. "Tapi, masalahnya, sekelompok belenggu menghalangiku untuk mengumpulkan makna. Mereka punya bermacam muka, Reza. Saat aku nampaknya tersenyum dan memberi sekuntum bahagia mereka memanfaatkanku sehina-hinanya. Aku tidak bisa berekspansi mengembangkan sayap. Aku sibuk mengurusi diri agar tidak mulai berkerut terlalu dalam." Rava kemudian terdiam sejenak. Kumpulkan susunan kata terbaik. Reza tetap diam. Sibuk mendengarkan hening. "Sungguh aku sudah bertemu orang orang terbaik. Kau kenal Ahmad? Atau mungkin Dina dan Syifa? Mereka itu yang sekarang sedang kuraup makna kehidupannya, belajar banyak dari tindak tanduknya." Rava kemudian menarik bahu Reza perlahan, memastikan agar dia tetap menatapnya selagi bertanya, “Aku butuh kunci untuk melepas belenggu itu, kemudian mengikat diri pada tali-tali baru. Apa ceritamu sungguh bisa membantu, Reza Adhipramana?” Dan bulan seketika tersenyum, memberi tanda ketertarikannya dengan hembusan lembut, menyapa keduanya dengan belaian dingin semalaman.
28
Kita Berbeda, Kita Spesial "Sudah boleh aku bercerita?" Senyum lugu cenderung bodoh malah terpasang di wajah Reza. Rava tertawa. Lalu mengangguk "Di sebuah tebing yang tinggi dan curam, terdapat satu telur elang yang mulai meretak dibuat rusak karena yang didalam mulai berontak. Anak elang yang gagah berjuang menyeruak kedunia yang rusak sendirian,” matanya menatap rembulan, seperti menangkap makna tersirat dari semesta. Rava masih khusyuk mendengarkan. "Tanpa siapa ia tetap bertahan, sampai akhirnya ia dewasa dan mampu terbang mencari makan. Terus begitu setiap waktu," kali ini ditatapnya wajah Rava, sambil tersenyum. Dan Rava salah tingkah. "Pada suatu ketika terbang sendirian elang yang gagah. Dengan gagahnya terus membentang sayap. Membuat iri yang hanya mampu melihatnya dari bawah," Reza menunduk, mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan ceritanya yang ia karang luar biasa. "Hari demi hari makin ramai gunjing tikus di tanah paling bawah, esoknya naik ke atas, ramai gunjing para tupai di dahan pohon, esoknya dan esoknya makin ramai elang itu menjadi gunjingan," maka digenggamnya tangan Rava, sementara Rava masih menunggu kelanjutannya. "Lantas apa yang membuatnya digunjing? Sebab ia berbeda. Ia tak sama seperti makhluk di bawah sana. Maka elang adalah makhluk yang paling buruk bagi para makhluk di bawah sana," digenggamnya erat erat tangan Rava, berusaha meyakinkan. Tak ada respon yang begitu berarti. Reza melanjutkan kata-katanya. Kalimat pamungkas penghancur keraguraguan. "Kita berbeda Rava. Kita spesial.." Mereka berdua diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing, sementara rembulan makin tertarik, disapukan lagi angin ke bumi.
29
Mengapa Begitu Berani, Tuan? Rava terdiam. Lama. Sibuk Reza mengalihkan perhatiannya, Rava tetap terdiam tapi tetap menatap penuh makna menjurus tepat ke tengah tengah mata Reza Lalu berkata pelan, seakan berbisik, seakan ingin hanya Reza yang mendengarkan, “Aku… Aku tidak pernah mendefinisikan kata semacam berbeda, spesial, dan satu satunya karena aku tidak berani dan tidak pernah merasakan menjadi salah satunya. Dan kamu orang pertama, kenapa begitu berani, tuan? Aku ini kan hanya seorang pecundang.” "Nona, aku tidak akan memilihmu jika kamu tidak seperti kamu sekarang.." Rava memotong cepat, nampak putus asa, melepas genggaman tangan Reza segera, “Tidak, aku masih belum mengerti mengapa. Elang itu ia perkasa tuan, dia memang berbeda dari yang lainnya tapi ia memang sudah terlahir gagah dari awalnya. Aku, aku… Aku bahkan berani membohongimu dari awal perjumpaan kita.” Rava kalut dan gelisah sekarang, Reza. Jarang ia mengenali kata spesial dan berbeda semacam itu khusus untuknya dari orang yang berharga semacam dirimu. Bisa tolong kamu sampaikan padanya dengan bahasa hatimu? Lihat saja sekarang Bulan semakin penasaran, danau ikut gemetaran. Macam bunyi musik klasik menuju pembunuhan.
30
Tega Reza tercekat, bingung melanjutkan kata tapi wajahnya masih datar-datar saja. Gemuruh bunyi-bunyian nada alam membuat jantung semakin gemetar. Reza harus mempertanggungjawabkan dongengnya. Dipegangnya bahu Rava, mencoba membuatnya percaya, jangan sampai ada leleh air mata. Mulutnya mulai terbuka. tapi yang keluar malah, “Rava, pulanglah, malam semakin malam.” Tega. Air mata tak terbendung lagi, deras bagai air bah. Pipinya kini menjadi jeram kesedihan, basah atas resah. Rava, gadis rapuh berbalut zirah kesatria hancur sejadi-jadinya, keraguraguan di dalam menjadi momok terbesar di dalam hidupnya. Bagai papan kayu tipis dihantam gada rujakpala milik bima, sekali lagi, Rava hancur menjadi serpihan. Bulan kecewa, menutup diri dengan awan. Makhluk-makhluk danau marah, membuat permukaan danau bergejolak, semesta tak terima Reza membuat tangis seorang Rava pecah. Fenomena ganjil ini membuat Reza terpikir akan asal usul Rava. “Siapa kau sebenarnya Rava?!” Tanyanya di dalam hati. "Aku tidak tega mengatakan ini, karena kamu spesial, kamu harus percaya bahwa kau memang spesial. kamu akan mengerti semua hal yang aku katakan, Rava. Semesta akan membantumu memahami segala hal. Kita spesial,” Reza memeluknya, tak ingin lagi membuat alam bergemuruh. Walaupun dengan teganya ia tinggalkan Rava di dalam ketidakpastian yang merimba, membuat Rava harus menerka-nerka apa maksudnya Reza. Mereka berpisah, air mata menjadi sisa malam mereka. Entah apa yang akan terjadi setelah ini, yang pasti hidup mereka tuhan yang tentukan.
31
Bila Berjanji Kamu Berani? Gila. Benar benar gila. Rava sudah pada titik keputus asaannya sekarang. Terluntang lantung hatinya digantung. Terisak isak tangisnya, terdesak seribu udara. Ia tidak pernah meminta Reza pergi malam ini, maka ia tahan agar Reza tidak memutuskan pergi. Reza yang tampak sesal-sesal mukanya, tetap memberikan wajah tenang terbaik yang dia punya, berusaha menahan bahwa apa yang diaktakannya sebenarnya biasa biasa saja. “Teruslah memaksakan muka, tuan. Aku tau kamu gelisah, kerut dahimu berbilang resah,” Rava berbisik setengah hati diantara isakan. Reza nampak siap tercaci maki, nampak siap untuk ditinggalkan akibat ia rasa ia tak tahu diri. Bagaimana tidak? Wanitanya datang kesana menemuinya di tempat biasa khusus mencari sebagian hatinya, dan dia menggantungkannya, tepat ditengah tengah pengharapan tertinggi. Antara isakan, hening, sesal, gemericik danau yang sok ikut campur dan bulan yang mengintip setengah malam ingin cari tahu. Rava tersentak kemudian, hilang tangisnya sedemikian. Ia tidak pernah dinasehati dengan dijatuhkan. Diberi harapan solusi, kemudian disuruh cari saja sendiri dengan hati hati. Kemudian, berkata pelan, dengan menepuk bahu Reza perlahan, masih dengan tangis tertahan, “Sungguh aku tidak bertemu kamu untuk diajarkan soal makna seperti yang lainnya mengajarkan.” Yang dituju bingung, sempatnya nona ini bersyukur. "Tidak pernah aku dirasa penting, lalu terbanting karena ternyata itu hanya bualan seorang kekasih. Anggapan pertama, sebelum aku sempat memahaminya." Yang dituju tersentak, kali pertama ia mendengar kata indah macam kekasih dari nonanya. "Aku masih belum memaknai arti kata keindahan dongengmu, tuan. Tapi itu lebih dari cukup. Kamu sudah cukup memberi tahu mengapa aku harus terus bertahan. Mengejar mimpi dan harapan." Yang dituju menatap lekat, tidak sabar mendengar kalimat berikutnya. "Aku hanya meminta satu hal, tuan. Walaupun aku tidak tahu mengapa kamu bertahan menganggapku berbeda atau apalah namanya.. berjanjilah untuk tetap membuatku meyakininya." Hening sejenak. Entah apa dalam pikiran Reza sekarang.
32
(Manisnya) Janji-janji Sulit bagi Reza untuk membuat Rava paham betul apa yang sebenarnya ia tuturkan. Reza salah, wanitanya rapuh, tidak siap ditinggal sendirian ditengah ketidakpastian. Malam ini menjadi malam yang panjang, sebab mereka belum sepakat untuk pulang, meninggalkan resah hingga dengan sendirinya menghilang. "Aku berjanji. Dibawah langit diatas tanah aku akan terus membuatmu percaya bahwa kamu memang spesial dan berbeda Rava," sambil tersenyum Reza melanjutkan kata-katanya, manis sekali. "Asal kamu juga berjanji takkan ada lagi pipi yang basah karena kamu merindukanku." Tangis Rava berhenti, mencoba menahan tawa, Rava tau Reza takan bisa dipengaruhi emosinya, ia akan tetap tenang sekeji apapun masalahnya. Patah-patah Rava mengangguk.. "Kalau memang sejurus dengan apa yang direncanakan tuhan, aku akan ada terus disini menunggu Rava yang resah untuk menceritakan cerita-cerita galaunya sepanjang malam. dan aku akan terus berada disini untuk menanti kembalinya Rava yang riang seperti pertama kali kita bertemu, kamu menyelamatkan aku yang hampir mati," senyum Reza semakin lebar. Hanya berjanji apa susahnya. Laki-laki memang begitu. Untuk merayakan keberhasilan Reza menenangkan Rava, langit menghadiahkan hujan untuk mereka. Maka terdengarlah simfoni yang harmonis, alunan nada tak berkata membelai telinga, membuat tenang seluruh jiwa di dunia. Kemegahan nada hanya untuk pengalihan perhatian seluruh alam semesta agar tak ada yang melihat, diam-diam Reza dan Rava berpelukan. Setelah ini entah apa, tuhan menciptakan semesta, manusia tinggal memungut makna. Memungut makna tak sesederhana memungut sampah, karena jelas ada perbedaan yang sangat antara sampah dan makna. Inilah masalah yang dijamah Rava. Beruntung ia memiliki Reza. Setelah ini, tuhan sudah siap memberikan naskah kehidupan yang baru kepada mereka. Entah apa, kita hanya tinggal menyaksikan.
33
Percobaan Kedua Berpisah lagi. Untuk entah yang keberapa kali jatuh bangun membangun sebuah prinsip dan mimpi. Tidak salah keputusannya untuk segera menemui Reza, dia memang diturunkan tuhan untuknya, untuk membantunya menyelesaikan segunung masalah yang menderu hidupnya. Sekarang dia sendiri lagi. Entah mau melakukan hal macam apa. Tidak terbesit sedikitpun bagaimana caranya, memulai pun tak terbayang. Datang ia hari itu dengan senyuman biasa, obrolan dan tawa-tawa biasa seperti tidak ada hal penting yang pernah terjadi. Ia masih terkungkung sekelompok belenggu yang tiada habis kisah cintanya itu, belum memutuskan untuk segera tegas pergi. Tapi ada yang berbeda sekarang. Dia lebih banyak memisahkan diri, sok menyibukkan diri dengan sekumpulan tulisan dan puisi. Pasang headset lagu terbaik kemudian lenyap dari dunia, tidak perlu ambil pusing soal siapa siapa. Rava belum tahu bagaimana dia dengan ahmad, syifa dan lainnya. Telaga yang ia temukan di padang pasir itu belum juga berani tersentuh bahasa tubuhnya. Nanti sajalah, gumamnya. Aku urus urusan itu nanti nanti. Penting baginya sekarang hanyalah membuat jarak saja dulu. Agar lepas perlahan tanpa sakit hati tertahan. Bagaimana ia nanti dengan hidupnya dan temannya? Dia sungguh masih belum peduli. Yang pasti, kisah cinta sialan yang didengarnya tanpa akhir ini harus dia akhiri segera, dihapus bersih dari memorinya tanpa bekas, ditutupi dengan segudang kertas, puisi, dan tulisan tulisan. Toh, disana dia juga masih punya Reza. Semoga saja Reza berfikir yang sama dengannya. Semoga saja.
34
Sekali Lagi Aku Bertanya Seorang manusia hidup di negeri para dewa, barangkali kalimat itu dapat mewakili kehidupan Reza. Sebab tempat yang baik itu memang tempat para orang-orang hebat menempa ilmu mereka, tempat berkumpulnya permasalahan-permasalahan duniawi yang diselesaikan secara duniawi pula. Tempat segala ingatan segan mengingat tuhan. Tempat segala persaingan bergesekan saling dorong. Reza bagai manusia di negri para dewa. Barangkali segalanya sama seperti di dunia manusia, namun ada hal yang terasa beda. Ya dirinya. Manusia adalah manusia, bukan dewa. Topeng apapun takkan membantu manusia agar dapat berlagak seperti dewa. Balutan kain apapun takkan membuat manusia dapat dikatakan sebagai dewa. Karena begitu jelas perbedaan manusia dan dewa berada pada hati dan pikiran. Para dewa tak peduli dengan keberadaan Reza, sebenarnya bukan tidak peduli, tapi mereka abai. Manusia seperti Reza di dunia mereka tak lebih seperti sebutir batu di sebuah halaman istana. Tak peduli ada dia di sana, keberadaannya tidak memberi arti yang berarti. Manusia diciptakan dengan keistimewaan untuk dapat memilih. Namun manusia kadang terjebak dalam paradoks yang menggugurkan keistimewaan itu sendiri. Terjebak sebuah mekanisme yang membuat manusia melupakan keistimewaannya. sering kita sebut ‘terpaksa memilih’. Duduk di sebuah bangku berdebu, kesepian ia ditengah pesta yang meriah, musik musik kekinian tak mampu menggugah perhatiannya. Dihisapnya serpihan tembakau berbalut kertas putih, asap putih tebal menari di atas kepala. Dipandangnya langit biru memukau berbercak awan putih, angan tebal melumat segala takdir yang nyata. Sekali lagi Reza bertanya, “Benarkah ini jalanku?”
35
Untuk Hari Ini, Kuminta Matahari Tenggelam Lebih Lama "Hebat. Beribu orang itu entah apa saja yang dikerjakannya. Macam berotak dua, ide mengalir deras seperti hujan ditengah kemarau. Membasahi pikiran-pikiran gersang yang tetap pada ketentuan. Mereka beribu, tapi bersebar diantara sejuta. Koar-koar prestasi terbanggakan dan jelas terpampang di media media besar. Tanpa henti, seperti tidak mengenal titik koma. Hebat. Tidak ada kata yang pantas menurutku untuk deskripsikan kesempurnaannya," celotehnya berbuih panjang sore ini, sore pertama kulihat senyumnya merekah walau belum tampak binar bahagia. Rava-mu itu Reza, tampaknya sudah mendapatkan sedikit nyawa hidupnya. Ia belajar dari penerimaan, dari serpihan-serpihan orang-orang sempurna seperti yang berapi-api diceritakannya sekarang. Dua orang manggut manggut paham, tertarik sekali dengan bahan pembicaraannya. Yang bercerita lebih senang lagi, punya dua isi kepala yang bisa ia coba tumpahkan segala ide-ide, agar bisa membantunya berdiri dan bersama sama mencari telaga. Pertemuannya? Sungguh tidak disengaja. terjadi tepat dua hari yang lalu, sekali Rava terlihat membaca sebuah judul buku yang dikenal dua orang itu, tanpa basa-basi mereka mengajaknya berbicara nyaris tentang segala hal. Kemudian jadilah pagi itu titik terang, bersebar menjadi harapan yang kemudian sedikit demi sedikit membantu Rava berfikir bahwa ia harus mulai belajar dari serpihan. Hinaan? Tentu saja berbilang tanpa henti, menyerocos dari teman terdekatnya. Sesaat setelah Rava mengenal Syifa dan Dina, nama dua orang tadi yang sibuk kuceritakan, ia kembali pada sekelompok belenggunya, menyapa basa basi. Obrolan ringan berubah menjadi tusukan balik, menyuruhnya berhenti menjadi dirinya dan berlanjut untuk bersenang-senang kembali. "Ya Tuhan, kau ini sudah yang paling muda, isi otak sudah seperti orang berpuluh tahun hidup didunia. Tujuh belas tahun itu sinonim dari bersenang-senang, kawan. Berhentilah berpikir dan bantu aku mencari tempat tongkrongan baru untuk kongkow nanti sore," Keira, pesolek yang selalu jatuh cinta itu yang pertama kali memancing pembicaraan. "Kau ini baru saja kukenal si Rava kemudian berganti pula sekarang namanya. Dengarkan cerita baruku tentang dia, dan bantu aku selesaikan masalahku dengannya. Perempuan satu ini yang terbaik, aku yakin kau pasti setuju melihatku dengannya." Andro menambahnambah, menarik tangan Rava, mengajaknya berbicara berdua. Bercerita tentang perempuannya yang belum juga bisa didekatinya. Kuceritakan lebih dulu, Andro ini salah satu sahabat Rava, cerdas sekali isi kepalanya. Sayang, sisa kepalanya yang tidak dipakai ia habiskan untuk urusi masalah cinta. Maka habislah, tiap Rava mengajaknya menganalisa, ia berceloteh ringan dengan cerdas. Kemudian habis dialihkannya untuk urusi masalah cintanya yang tidak kunjung selesai. Nyaris saja, pada suatu waktu ia tertarik dengan lelaki ini, untung saja tidak sempat tersebutkan. Rava masih ikut berpura-pura menanggapi setuju, hingga hari ini ia memutuskan untuk lepas sementara. Alasan sederhana saat ditanya, ganti suasana, ringan mulutnya menjawab. Ia habiskan pagi hingga sorenya hari ini bertiga saja dengan Syifa dan Dina. Alhasil, senyum merekah tanpa henti. Mukanya merah merona, tanda mulai menemukan serpihan-serpihan bahagianya. Sampai ke pembicaraan yang kau baca diatas tadi, Rava tidak meminta apapun
36
lagi, kecuali hari ini terus saja berjalan, meminta matahari untuk tenggelam beberapa jam lebih lama, untuk sekali ini saja. Dan Reza, terimakasih untuk segala cerita dan keyakinannya. Nampaknya, Rava-mu kini sudah mulai mengerti.
37
Beri Kesempatan Masa Lalu Memberi Judul Sementara Rava meminta senja yang panjang, di sini Reza ingin sang waktu menyegerakan malam. Entah mengapa urusan salah jalan sangat membebaninya minggu ini. Apalagi banyak teman-teman sejenisnya yang akan mengulang hidupnya dari awal. Ikut tes masuk ulang, dan hidup seperti apa yang mereka inginkan. Reza? Tidak semulus kawan-kawannya. Ada semacam penghalang kasat mata untuk melakukan perizinan kepada orang tuanya. Sudah berbulan-bulan ini ia tidak pulang, terus mengurung diri di kamar sewa yang luasnya tidak seluas kamarnya di rumah. Awal mulanya ia hanya memendam ketidakpuasannya sendiri, lalu ia coba menulis curahancurahan hatinya di buku harian, sampai akhirnya hari itu menjelang, jiwa yang meronta terkunci terali api berontak. Hari itu Reza kalap saat ditanya urusan kuliah oleh bapaknya. Malam itu Reza pergi, meringkuk sendiri di sudut kamar yang sempit. Bulir-bulir air matanya tak tertahan lagi. Malam itu ia menangis sejadi-jadinya. Malam itu juga tanpa sepengetahuan Reza, bapaknya juga pergi. Menuju suatu tempat yang sunyi, mengadu dan menangis pada sebuah batu. Inilah Reza sebelum Rava datang, inilah Reza dibalik senyumnya di depan Rava. Dalam genangan air mata, Reza tenggelam dalam kenangan tentang masa lalunya bersama bapaknya. Tentang pertama kali ia dikenalkan dengan tulisan, tentang bagaimana cara bapaknya menceritakan tentng sejarah-sejarah dunia. Setiap hari selalu menyenangkan, bapaknya memang hanya penulis harian di sebuah perusahaan surat kabar swasta. Sialnya begitu ia dewasa Reza sering terbentur keputusan bapaknya yang ia tidak sukai. Segala upaya mencari jati diri selalu terhalang dengan rencana yang sudah ditentukan bapaknya. Pernah suatu malam mereka berdebat panjang soal rencana masa depan, Reza menolak menuruti rencana bapaknya, bapaknya bersikukuh rencananya yang terbaik. perdebatan mereka berakhir dengan kepergian Reza dari rumah. Sejak itu Reza jarang pulang.
38
Berbagi, Untuk Selamanya Setimba rasa berjuta jiwa, lenyap habis tertelan masa. Setelah bertukar kabar dengan Reza, berasa hampa saja kesenangan barunya. Tidak lagi begitu bernyawa karena satu satunya alasan ia terus mencoba berubah, sedang jatuh tenggelam sendiri bersama mimpinya. Mengapa? Kemudian kamu bertanya. Rava berani bermimpi sejau ini. Bagaimana tidak merasa hampa jika satu-satunya alasan (Reza Adhipramana, tentu saja) yang mampu mendorongnya untuk menyatakan mimpinya tidak kunjung berdiri tegap diantara kedua kakinya? Reza begitu lugas memberikan dorongan, namun begitu sulit mengungkap perasan. Rava sendri, bukan tidak peduli, namun tidak mengerti. Sering kali dilihatnya Reza rapuh, tapi tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk membantunya. Ia terlalu kaku bicara kenyataan, terlalu munafik bicara kebenaran. Tapi sungguh bukan dia saja yang sedang merasa sulit, tidak sepantasnya terus menerus berkeluh kesah. Rezanya, ia jauh lebih membutuhkan dorongan darinya. Karena semakin hari semakin redup cahaya pada kedua bola matanya. Sesering apapun mereka berdua bertemu. Rava coba cari cara. Segera setelah kelasnya usai, ia rangkai satu-satunya hal yang mampu ia lakukan. Setidaknya untuk memberi semangat barunya kepada sang terkasih, diujung penantian. Ia tidak akan berani meraup telaga sendiri, bersenang-senang menghitung bintang hingga larut larut tanpa Reza ada disisi. Rava merangkai kata, menjadikannya sebuah kalimat dan cerita sederhana. Ia ingin membangkitkan momentum hati Reza, yang terbesit hanya dengan sentuhan makna. Karena itu cara satu-satunya yang ia bisa untuk mengungkapkan perasaannya Ditulis diatas kertas, pensil dan senyuman halus disetiap goresannya. Selesai dalam beberapa hitungan, ia tutup rapih rapih lalu kemudian berjalan menuju tempat biasa mereka bertemu. Entah Reza masih disana atau tidak, dia tidak peduli. Biar pesannya dititip saja pada alam. Reza pasti mengerti.
39
Jika Kamu Wajah muram Reza menjadi tanda tanya besar bagi Rava. Juga menjadi salah paham antara mereka berdua. Mungkin ini adalah momen terbaik untuk mengajak masuk Rava menuju kehiduan Reza yang lebih dalam. "Jika sesuatu yang membuatku tenang dan nyaman itu adalah kamu, maukah kamu ikut?" wajah Reza penuh pengharapan, wajah Rava penuh pertanyaan. "Sebenarnya apa yang terjadi Reza?" "Mas Wibi, adik bapak, ia bilang, untuk yang terakhir kalinya bapak memanggilku, kumohon ikutlah Rava." Reza begitu memohon. Siang itu menjadi teka-teki bagi Rava untuk menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi, dan apa yang selanjutnya akan terjadi. dari melihat wajah Reza, Rava tau sesuatu yang buruk telah terjadi. entah apa. Rava tak tau bagaimana keadaan hubungan Reza dengan keluarganya. Lalu menyiapkan kata untuk menenangkan Reza mungkin menjadi sesuatu yang baik, sebab ia sudah menjadi orang terpenting dalam hidup Reza. Tapi biarlah kata kata itu mengalir begitu saja ketika ia sudah tau apa yang sebenarnya terjadi. Sepucuk surat ia masukkan lagi ke tas kecilnya, ia anggukkan kepala bergegas berjalan cepat menyeimbangkan langkah Reza. Langkah mereka cepat, angin semakin kencang, awan hitam menyelimuti langit menutup sempurna laju cahaya matahari. Tak sadar rintik hujan jatuh seiring jatuhnya air mata Reza.
40
Satu Cerita, Beda Penafsiran Benar sekali. Ada hal lain yang sedang terjadi. Dan kali ini nampaknya Reza enggan sekali berbagi. Sudah diusahakannya senyum sapa seperti biasanya, Reza bahkan enggan berbagi senyumnya. Tidak, walau hanya sekedar tarikan bibir tanda peduli. Ini yang ditakutkannya sejak pertama kali ia mengenal Reza. Rava tidak banyak tahu soal menjaga perasaan, saling sayang, saling peduli semalam malaman. Tapi yang ia yakini, jika ia sudah menghormati satu orang seperti Reza ini, dia akan tetapkan untuk berusaha menjaganya sehidup semati. Entah akan ditolak habis tak berhati. Ia takut, Reza berakhir seperti yang lain lainnya. Bukan apa apa, sudah banyak sekali rahasia busuk tentang dirinya yang sudah diketahui Reza. Mau jadi apa dia nanti. Biasalah, kau tahu perempuan. Satu kalimat tanpa dibubuhi ekspresi senyum diakhir pun dianggap hal buruk sedang menerpa. Macam kiamat segera melanda. Ditambah lagi dering telefon sialan itu. Dalam hati Rava memaki, tahu begini, ia tidak perlu susah susah peduli. Tapi bukan makian yang terlontar habis dari mulutnya, Rava sendiri kaget, ia justru tersenyum, menepuk bahu Reza perlahan dan berkata. "Apapun yang membuatmu kembali tenang dan nyaman, pergilah. Aku akan selalu menunggu. Sudah banyak cerita tertampung khusus untukmu, kamu tahu? Hati hati. Kabari aku jika kamu butuh bantuan".
41
Untung Ponsel Tadi Berbunyi "Aku tau ini bukan situasi yang pas untuk bertanya, tapi.. Ada apa?". Selagi buru buru berjalan, Rava bertanya untuk mencairkan suasana. "Ikut saja dulu. Bukan aku yang berhak menyampaikannya. Kalaupun aku, tidak ada cukup waktu untuk menjelaskan dari awal." Reza menjawab, tanpa ekspresi berarti. Rava tidak berniat melanjutkan. Diikuti saja langkah terburu buru itu dalam diam. Seribu tanya menderu deru tapi tertahan begitu melihat ekspresi Reza sedemikian pilu. Dipegangnya surat didalam tasnya erat erat, ini bukan saat yang tepat untuk memberikannya. Tidak masalah sebenarnya, tapi situasi berubah, tanpa sempat terbayangkan. Jika sempat Reza tahu dia datang untuk memberikan surat ini padanya, Reza pasti memaksa untuk membacanya sekarang. Dan bila itu terjadi, Rava rasa habis ia termakan malu. Sesampainya ia ditempat Reza nanti, surat ini harus hilang, harus segera dibuang.
42
Yang Mati Diujung Senja Untuk sampai ke rumah tak perlu waktu lama, kalaupun mempermasalahkan waktu itu tidak akan terlalu membebani pikiran sebab wajah bapaknya memenuhi pikirannya dari tadi. Sesampainya di rumah, keluarga besarnya sudah menunggu, wajah-wajah muram yang menunggu Reza, nama yang dari tadi di sebut-sebut bapaknya yang tengah sekarat. "Kau disini Reza?" "Iya…. pak.. eh yah.." "Mendekatlah, suaraku tak mampu lebih keras lagi" Tak perlu ditunggu, Reza telah berlutut disebelah pembaringan bapaknya. Sementara Rava hanya mampu berdiri di mulut pintu kamar. Seluruh mata yang khawatir menyaksikan anakbapak berkomunikasi untuk yang terakhir kalinya. Kedua mata anak-bapak itu beradu, tatapan Reza gelisah, namun tatapan bapaknya menghangatkan. anak yang hilang sudah bersedia pulang. Terlempar ingatan seorang bapak saat-saat pertama menggendong putranya, anak satu-satunya, kebanggaannya. Tangis pertama, langkah pertama, segala hal yang pertama jelas terekam di ingatan. Kini anaknya sudah tak lagi bayi. Namun masih merasakan segalah hal yang pertama. Termasuk pertama kali merasakan kehilangan seorang bapak. Dibelai rambut Reza, rasanya masih sama seperti dulu ia mencari kehangatan di musim hujan. Reza terlahir tanpa ibu, hanya ayahnya yang mengajarkan ia kasih sayang. Namun apalah arti kasih sayang jika tak didapat dari seorang ibu. Sekelebat Reza teringat masa-masa terbaiknya dengan sang bapak, pertama kali masuk sekolah, nonton konser berdua, bahkan menyiapkan makan malam berdua. Sampai terjerembab ia pada ingatan pertengkaran itu. Dua laki-laki sedikit kasih sayang mencari ketenangan. Beruntung Reza bertemu Rava, namun si bapak hanya punya nisan kekasihnya. Lalu mulut bapaknya terbuka, bersiap berkata-kata. "Malam itu saat kau pergi, aku menangis di depan makam ibumu. Aku menyaksikan, seorang wanita persis ibumu turun dari setitik cahaya langit yang terbuka pada pekatnya malam yang mendung, saat itulah aku sadar waktuku tak lama lagi." "Reza berjanjilah untuk tetap menjaga rahasia keluarga kita, hari ini kau ku bebaskan dalam memilih. maafkan aku yang selalu menghalangi keinginanmu. Aku tak bermaksud menghalangi. Aku hanya ingin kau mendapatkan yang terbaik. Aku yang lebih dulu hidup, aku yang lebih dulu menderita. Tapi pada detik ini anakku, aku akan pergi, mencabut segala batas yang pernah aku tancapkan. Tapi ingat. Jaga martabat keluarga kita. Kelak kau akan tau siapa sebenarnya ibumu" "Sekali lagi aku minta maaf karena pada saat terakhir ini saja aku tak bisa membuatmu tersenyum. Maukah kau memaafkan aku nak?"
43
Nafas terhembus, jiwa merdeka terangkat. Mati bukanlah musibah. Mati bukanlah akhir. Mati adalah kebebasan. Batara Yamadipati yang menyampaikan pesan Pecah tangis Reza. Hilang segala kesadaran. Meraung tak karuan. Memanggil-manggil nama pria yang baru saja mati. Tak karuan suasana Reza. Ada rasa menyesal karena ditinggal satusatunya pegangan hidupnya, namun juga lega karena terbebas ia dari belenggu keterpakasaan. Rava ikut menangis. Tak tau harus melakukan apa. Dipeluk erat-erat tubuh lelakinya yang sekarang terasa rapuh, serapuh sarang semut. Kelak Reza akan sadar bahwa kematian adalah guru terbaik.
44
Belajar Tentang Kematian Reza benar sesenggukan dipelukannya. Belum pernah Rava melihat lelaki menangis sepilu itu. Ribuan tanya menyeruak ke kepalanya, tapi tidak sepatah kata berani terucapkan. Rava hanya menepuk punggung Reza perlahan, tepukan agar Reza lebih tenang, tepukan untuk menyadarkan bahwa Reza tidak sepenuhnya sendiri. Rava tersadar seiring isakan. Ia lupa bahwa hidup berakhir mati. Hidup penuh tujuan dan mimpi berakhir mati. Bergudang prestasi dan harga diri berakhir mati. Kematian begitu absurd baginya, begitu biasa, begitu tidak bermasalah apa apa. Toh, mati itu sudah jadi suratan takdir tiap manusia, tiap yang bernyawa pasti akan mati. Begitu keyakinannya memberikan pelajaran. Tapi selama ini Rava hilang makna, terdoktrin bahwa mati adalah mekanisme otomatis dari kegagalan fungsi tubuh, tanpa pengaruh Tuhan, tanpa ingat hari besar setelah kematian, terlupa bahwa ia salah satu makhluk bernyawa. Kematian orang terkasih dari kekasihnya tidak hanya membuat diam Rava. Seiring dengan tangisan Reza, semua orang diruangan itu, termasuk seluruh petugas medis yang sedari tadi sibuk tak tentu arah, terdiam merenung. Ribuan cabang pemikiran meluap diatas ruangan, entah kekuatan macam apa yang membuat kematian seorang ayah menjadi makna bagi banyak orang. Rava kembali bertanya sendiri. Pertanyaan diatas puluhan pertanyaan lain yang sedari tadi menganggu pikirannya. “Reza, siapa kamu sebenarnya?”
45
Siapa Kamu, Siapa Aku, Siapa Kita Jenazah sudah dikubur menyisakan pilu pada hati yang terkoyak. Reza, sepotong jiwa yang pilu, terkoyak ujung sembilu. "Mengapa diam Rava, apa kita sedang di perpustakaan?" Reza memecah kebekuan. Mereka sudah berada di tempat biasa mereka bertemu. Rumah bapaknya kini ditempati Mas Adi. Adik bapaknya yang terakhir. "Sebenarnya banyak yang ingin aku katakan dan tanyakan sekarang ini Reza, namun aku takut kamu akan menjawab ‘Semua akan terjawab pada saat yang tepat’ padahal kamu memang tidak tau jawabannya. Hahaha". Renyah sekali Rava menertawakan hal yang sama sekali tidak lucu, hanya untuk sekedar melemaskan ketegangan. "Kau tau Reza, yang paling berat menggantung di kepalaku adalah.. Siapa kamu sebenarnya?" Tiba-tiba wajah Reza berubah merah padam, kaget tiba-tiba ditanyakan asal-usulnya. Namun cepat ia kendalikan emosi. Dan berbalik bertanya “Loh, sama, aku juga penasaran siapa sebenarnya kamu”.
46
Berbagi Ya Tuhan, Rava benar-benar tidak mengerti apa isi kepala laki-laki satu ini. Susah sekali diikuti rentak berfikirnya, tidak tahu apa saja yang ada dalam kepalanya. Sudah ditanya susah susah, malah ditanya balik, yang menusuk lagi kelam kelam masa lalu Rava. "Wajahmu berubah keruh sesaat setelah kutanya. Jangan mengalihkan pembicaraan, tuan. Kemarin sudah aku yang pertama bertanya. Jika kamu memang ingin membahas hal itu, ayo berbagi bersama. Sekarang." Rava bertanya sambil menahan tawa. Reza memang benar berbeda. Tiap tindakannya itu sebuah kejutan. Dan Rava tahu bahwa ia tidak akan pernah bosan walau bagaimanapun, selama ia sedang bersama Reza. "Untuk apa? Jika kau tahu segala hal tentang si Reza adhipramana ini, aku tidak yakin kamu masih ingin berbagi sebegitu banyak cerita dengannya." Reza menjawab ringan. Menghindari desakan Rava. "Justru aku ingin tahu dengan orang seperti apa aku bercerita. Reza Adhipramana itu sekarang abstrak. Hal yang berhubungan dengan nama itu hanya berputar pada bagian mimpi dan harapan bagiku. Nanti aku malah jadi salah kira kalau kamu adalah tuhan." Reza diam. Lama. Rava tahu ia sedang berfikir, mengumpulkan nyawa. Kurasa, akan lebih pantas jika Reza saja yang langsung bercerita.
47
Air Matanya Tumpah Reza si tukang cerita. Barangkali memang pantas ia sandang gelar itu, berhubung sudah banyak cerita yang ia berikan kepada Rava. Pendengar setianya. "Tidak ada yang bisa kuceritakan Rava" Angin senja berhembus menggoda mereka. Sesak di dada amat terasa. Jangan tanya dulu asal usul dirinya, mundur selangkah kembali ke masa bapaknya masih hidup saja Reza tak sanggup. Air mata leleh di kelopak mata pria. Cepat diseka punggung tangan wanita. Oh amat serasi. Tapi perih. Reza terhempas lagi ke dalam rasa penyesalan yang amat menusuk hati. Tenggelam lagi dalam ingatan-ingatan jejak rekam kehidupan bersama bapaknya. Yang dilihat Rava hanya air mata. Namun mereka saling berbagi duka. "Maafkan aku Reza, aku sama sekali tidak bermaksud" Rava pun leleh air matanya. Tangis berubah menjadi hujan, hujan berubah menjadi badai. Cukup sudah kesedihan berubah menjadi kehancuran. Oh Rava tidak ada yang salah, hanya waktumu yang tak tepat. Kini biarlah tangisnya tumpah di bahumu, karena memang hanya itu yang ia punya saat ini. Kelak kau akan sadar betapa ia membutuhkanmu Rava.
48
Rava Bercerita "Daripada kita tergugu sedih tak berujung seperti ini, bagaimana jika aku saja yang mulai bercerita?" Rava menawarkan giliran. Mencuri kesempatan. Reza manggut saja. Bersyukur justru Rava akhirnya timbul lagi kebiasaannya untuk terus bicara. Setidaknya Reza punya banyak waktu untuk diam dan berpikir. Ia berpindah tempat duduk. Persis didepan Rava, menghargainya dengan menatap lurus penuh perhatian tepat dibola mata. "Aku.. Dulu selembar daun. Tersokong dahan suatu pohon entah dimana. Kemudian aku kering, siap terbang menjelajah. Lepas dari sokongan. Begitu lepas, aku terombang ambing, mengikut kemana saja angin membawa pergi. Lalu.." Reza memotong cepat, protes tidak setuju, “Aku lelah dengan perumpamaan Rava, definisikan dirimu sebagai manusia. Aku memandangmu sebagai manusia, bukan daun apa itu yang aku tidak mau tahu asal usulnya.” Rava tertawa pelan, kemudian melanjutkan ceritanya. “Baiklah, jadi… Dulu aku itu bodoh sekali, tuan. Kemana arus membawa pergi, kesanalah tujuanku mendadak berganti. Orang bicara cinta sana sini, aku ikuti saja semau hati. Sampai aku terjebak dalam kebodohan pemujaan cinta tanpa akhir. Membuat aku lupa bahwa begitu banyak hal penting, dibanding mempertahankan orang yang justru mengacaukan caraku berpikir” Reza tertegun, bertanya selagi Rava menarik nafas untuk melanjutkan cerita. “Kau.. Pernah jatuh cinta hingga sebegitunya?” Rava tertawa, hingga nampak gigi gerahamnya. “Aku bukan sebatangan linting tak bernyawa, tuan. Lewatkan bagian itu, tidak penting untuk dibahas. Yang pasti, hal soal cinta mencintai ini merusak cara berpikirku luar dalam. Hidup terdefinisi hanya sebatas penghargaan cinta tanpa akhir. Dunia begitu luas untuk diselesaikan, aku malah terbodoh dengan urusan diri yang sebegitu kecil dan hina.” "Hingga aku bertemu dengan sekelompok orang. Yang benar hebat dan membuat kecil semua yang aku perjuangkan. Dari situ aku perlahan sadar, mulai menyusun tujuan lebih jelas, mengokohkan prinsip lebih dalam dan secara tidak sengaja membuat benteng besar agar tidak terjerumus cerita cinya yang sama. Nah semenjak saat itulah aku menjadi Rava yang kamu kenal sekarang." Rava tersenyum. Reza masih tertegun. Mereka belum pernah bercerita apapun soal hidup masing masing. Rava benar benar penuh kejutan, tidak disangka sangka. Hebat sekali. "Hingga aku bertemu kamu, aku tidak yakin benteng itu kokoh lagi. Tolong, jangan buat aku menjadi bodoh seperti masa lalu, tuan." Rava akhiri cerita dengan kata kata yang membuat Reza berhenti bernafas kurasa. Sial, gadis seperti dia ini lebih baik dilenyapkan saja segera. Reza hanya takut cepat mati bila sering bersamanya. Nah, kau lihat kan Rava sudah berani katakan semuanya. Giliran Reza sekarang. Kulihat, dia masih megap megap cari nafas disana. Jadi, mau cerita apa?
49
Kembali Membuat Cerita Benar benar lelaki gila. Rava panik menyelamatkan muka penuh rasa malunya kemudian segera mengalihkan pembicaraan sejauh mungkin. Bisa bisa ia terbang ke neptunus bila terus membicarakan masalah ini. Banyak hal lain yang harus dibahas! Rava tarik nafas perlahan, ambil kekuatan. "Ah bila kamu tidak mau bercerita sekarang, ya sudah. Aku akan tetap menagihnya sampai kamu bercerita yang sebenarnya. Aku ingin kembali ke kampus. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan." Rava cepat mengambil tas. Menyelamatkan diri menjadi prioritasnya sekarang. "Baru saja tadi sepatah kata ingin kukeluarkan untuk memulai cerita kamu malah ingin pergi. Tidak apa apa lah, aku yakin kita bertemu lagi dalam waktu dekat. Lagipula, danau ini pasti merindukan kita kan?" Rava tertawa. Sudah gila benar si Reza ini. Ada saja isi pikirannya. Namun Rava tidak berkata apa apa lagi. Hanya menepuk bahu Reza perlahan, beberapa ucapan selamat tinggal, lalu berlari kecil mengejar ketertinggalan. Real life ahead, charger sudah terisi penuh dengan pelajaran baru dari Reza. Walau gila, lelaki ini benar memberi banyak pengaruh bagi dirinya. Selagi menunggu pertemuan berikutnya, cerita dan harapan baru harus sudah ada. Dan harus bisa membuat mereka berdua bangkit bersama.
50
Bodoh Ini cerita pertama Rava tentang sebagian masa lalunya. Padahal hanya sebagian. Tapi sudah berhasil membuat Reza tak bisa bernafas. “Aku malah takut akan membuatmu mengulang masa-masa itu nona. aku malah takut menghancurkan bentengmu. alih-alih mengokohkan, aku malah menghancurkan. Ah menyedihkan” "Sudahlah, tidak udah dibahas terlalu jauh. Yang pasti kita bersama karena satu tujuan. Bukan hanya melayang terombang-ambing rasa yang memalukan" Pungkas Rava, tandas kata-katanya, memangkas habis kegelisahan lelakinya. Reza hanya tersenyum. Di dalam hatinya habis-habisan ia memaki dirinya sendiri. Mengapa begitu bodoh terlihat lemah di depan wanita yang harus ia kokohkan keyakinannya. Sungguh senja sudah digantikan malam. Malam ini malam kesekian ia bersama Rava. Sungguh Reza bukan yang dulu pertama kali ditemukan Rava. Bunyi jangkrik memecah kesunyian. Keduanya tenggelam di dalam pikiran masing-masing. Hingga Reza menoleh dan mengutarakan sesuatu di dalam pikiranya. "Kamu serius ingin tau siapa aku?" "Iya" Ditariknya nafas dalam-dalam, mulut Reza mulai terbuka dengan kata-kata yang siap deras meluncur keluar. Binar mata Rava semakin terang, tak sabar cerita hebat apa yang akan ia dengar. Dua manusia itu terlihat lucu tertahan saling berpandangan. "Aku… Aku bukan siapa siapa, aku hanyalah seorang lelaki bodoh yang mencintai dan dicintai perempuan hebat didepanku" "Dasar bodoh" Rava memukul bahu Reza, pura-pura jengkel lalu memalingkan muka. Padahal tak sanggup ia menahan gembira. Salah tingkah.
51
Kembali Lagi Sedikit sesal tadi ia mengakhiri pertemuan mereka. Tapi Rava tidak suka berlarut larut membahas suatu cerita. Toh, nanti ia yakin Reza akan bercerita sendiri. Rava sendiri merasa lega, tidak pernah ia beberkan cerita masa lalunya, mengapa ia berubah sebegitunya, kepada siapapun yang ia kenal. Bahkan pada sahabat terbaiknya. Reza memang sudah terpatri benar penting dihatinya. Waktu berjalan, seiring alunan kehidupan. Hari hari biasa masuk, tapi berbeda sekali sekarang. Rava sudah menemukan titik terang. Perlahan lahan ia berani tunjukkan jika ia berbeda. Tidak peduli para pesolek itu mau bicara apa. Tapi beberapa orang lirik lirik, Rava tampak ragu ragu, cap muka dua mulai terpampang dijidatnya. Biarlah, manusia butuh proses untuk berubah. Rava tidak peduli apapun kecuali yang ia rasa penting baginya. Dan hal itu sudah tersedia semua untuknya, termasuk si Reza yang belum apa apa sudah ia rindukan pertemuannya.
52
Tinggal Sendiri "Yah seandainya Rava bertanya hal lain" ucap Reza setelah tak terdengar lagi derap kaki Rava. Berat bagi Reza untuk mengeluh tanpa ditanya. Ia tak ingin lagi terlihat menyedihkan di depan siapapun, apalagi di depan wanitanya. Masih duduk ia disana, di bawah pohon, di depan danau. Raganya di sana, pikirannya mengembara. Sampailah ia pada sebuah gambaran pertemuan dua orang yang berpisah lama bertemu kembali di surga. Tapi yang terlihat hanya wajah bapaknya, sebab ibunya membelakangi pandangannya. “Seperti apa wajahmu ibu” tanyanya dalam hati. kini ia tinggal sendirian, sudah tidak adalagi yang menghalanginya berjalan. Tapi langkahnya masih terdiam sebab berat kaki dibebani pesan bapaknya sebelum ia pergi. Rava adalah peringan bebannya. Namun sialnya Rava sepertinya kurang peka. Entah kurang peka entah hanya peduli dirinya sendiri. Kini Reza gelisah (lagi) di ujung danau.
53
Resah Teramat Sangat Hari hari berjalan seperti biasa dan Rava masih melakukan hal yang sama. Belum tampak perubahan berarti darinya, ia masih kokohkan apa yang telah ia coba bangun, belum berani melangkah lebih jauh. Tapi resah geluti hatinya. Sesal sesal soal mengalihkan pembicaraan Reza mengacaukan sedikit konsentrasinya. Benar kamu begitu penting, hingga terpikirkan dalam keseharian, Reza. Sudah lama Rava tidak beralasan untuk resah karena hubungannya dengan orang lain, terutama lelaki. Ia sudah lama terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, benar benar tidak akan peduli apapun kecuali hal itu memberikan keuntungan baginya. Sekali dia harus memberikan perhatian untuk pertama kali, ia hanya kalap, berkata macam tak peduli, lalu lihat saja sekarang justru malah sesal sesal sendiri. Dasar bodoh. Ketika resah itu memuncak, Rava tidak lagi berkonsentrasi apapun kecuali pikirannya untuk pergi ke danau. Sekarang. Meminta maaf sejadi jadinya, mengobrol sehabis habisnya, hingga Reza punya keberanian dan kesempatan untuk berbagi cerita. “Mati sajalah sana mimpi dan harapan masa depan, bila aku terus menerus memikirkanmu macam orang gila.” Gumam Rava kesal. Marah karena ia tidak bisa mengontrol pikirannya sendiri. Maka pergi lagi ia, untuk yang kedua kali. Tapi tidak membawa apa apa kecuali rasa resah dan bersalah amat sangat. Sore saat itu, cuaca menakjubkan seperti biasanya. Bukannya terburu buru berjalan, Rava malah berdiri tertahan, beberapa meter dari tempat biasa mereka bertemu. Reza disana, pastinya, tak perlu dicari tak perlu ditanya. Sayang, Reza tidak sendirian. Ada seseorang disebelahnya, entah siapa, Rava tidak berani membayangkan apapun. Ia berjalan saja pelan pelan. Tanpa suara. Tanpa bayangan. Rava mendadak berasa hilang.
54
Siapa ya? Di tengah gelisah, Reza masih duduk bersandar tubuh pohon. Kakinya berselonjor santai. malah matanya terpejam. Sepertinya ia tenggelam oleh rencana-rencana. setelah ini entah ia akan kemana, tetap bertahan di tanah para dewa, atau pindah ke masyarakatnya, atau malah keluar pergi menyusuri jalan hidup yang lain. Di kepalanya masih menari kegelisahan-kegelisahan, masih disana keregu-raguan, masih bercanda mereka para perasaan negatif. Tak satupun perasaan positifnya berani mengusik suram. Yang ku tau semua rasa senangnya pergi seiring langkah Rava yang semakin menjauh tadi. Rava, Rava, Rava, tiba-tiba bayang wajahnya menutup keseluruhan pikiran di kepalanya. Tiba-tiba suram itu direnggut bayang wajah perempuan yang menyelamatkannya. Namun tiada guna, sebab wajah itu seketika hilang saat suara wanita yang belum pernah ia dengar membangunkannya dari sunyi. "Wajah yang penuh beban, tidak pernah berubah dari 12 tahun lalu" Reza terbangun, kaget. Sementara ia mengumpulkan kesadaran, ia mengingat-ngingat apa mereka pernah bertemu sebelumnya, namun Reza gagal. "Maaf siapa, ya?"
55
Oh Ternyata Gelak tawa amat keras mengudara tapi yang terdengar gemuruh gedung rubuh di telinga Rava. Betapa ia tak ingin memikirkan hal yang tidak-tidak saat ini. Hanya ada doa harapharap cemas semoga ini bukan akhir segalanya. Langkahnya tak terdengar, sesunyi kepak elang di atas langit. Rava sadar bahwa ia tak mampu membuat Reza tertawa lepas seperti yang dilakukan perempuan di sebelah Reza itu. Tapi yang ia pikirkan adalah bagaimanapun Reza adalah kekasihnya. Belum ada niat ia menyapa, tiba-tiba kepala perempuan itu menoleh. “Hey, apa dia temanmu, Reza?” Pucat wajah Rava, malu karena ketahuan mengendap-endap, retak kini pertahanannya, dan kini Rava bagaikan seonggok makhluk tak bernyawa. "Hey, Laras perkenalkan ini Rava, Rava ini Laras" Reza memperkenalkan keduanya. Laras tersenyum, Rava merengut. "Rava, ini Laras, saudariku dari ibu yang lain. dulu saat aku masih kecil ibunya yang merawatku, kami lahir di tahun yang sama tapi beda bulan, Laras lebih dulu lahir." Reza menjelaskan kepada Rava, berusaha menenangkan hati Rava yang kalut. Reza tau. Jadi sore itu sebenarnya hanya sebuah sore yang cukup aneh. Potongan hati ini merasakan hal yang berbeda. Reza senang bertemu dengan kakaknya, Rava kesal ada orang lain yang menempati tempat favoritnya. Yaitu di sebelah Reza.
56
Praduga Tanpa Alasan Kekalutannya sirna sudah. Dugaan dugaan berujung perih, Rava lelah berasumsi tentang apa yang Reza lakukan, bersama siapa, bagaimana perasaannya saat bersama orang selain dirinya, dan praduga praduga lain yang menguasai kekalutan hatinya. Rava senang sekali akhirnya diberi kesempatan untuk bertemu dengan orang semacam Reza, tapi ia lelah dengan semua dugaan dan tebakan perasaan yang membuat repot dirinya sendiri akhir akhir ini. Kekalutannya habis terkikis malu. Perlahan Rava mundur, berpikir mencari alasan untuk segera kembali. Toh, Reza ternyata baik baik saja. Kakak tirinya itu mungkin bisa memberikan Reza perasaan nyaman untuk menghilangkan keresahan hati Reza yang tidak tampang berujung akhirnya. (Praduga lain tanpa alasan). Daripada ia menganggu, mending ia kembali saja buru buru. (Kesimpulan mengada ada dari praduga tanpa alasan) "Kenapa malah berdiri disana?" Reza bertanya setelah melihat Rava nampaknya tidak bergerak dari tempatnya. "Hai Laras" sapa Rava sambil tersenyum. "Aku hanya bosan saja tadi, Reza. Kesini hanya untuk membersihkan pikiranku. Aku ada kelas lanjutan, harus segera kembali. Bersenang senanglah" Rava melambai kearah Reza dan Laras. Berlari kecil setelahnya. Kecewa lagi setengah hatinya, tapi ia yakinkan bahwa ia tidak akan terkacau balau akibat urusan urusan cinta. Rava kembali pada realita, berusaha keras untuk membuktikan pada dunia, kalau ia ada. Tapi sungguh urusan hatinya ini lebih menyibukkannya, karena ia hidup diatas praduga praduga.
57
Mandadari Dua pasang mata bingung menyaksikan datang-perginya Rava. membuat kepala Reza penuh tanya keheranan. Ada apa sebenarnya? Pembaca yang baik, mari sebentar kita melupakan kisah Rava. Maafkan aku karena tidak tau bagaimana bercerita dengan baik, namun sekali lagi maaf para pembaca yang baik, aku ingin menjelaskan sesuatu. Sesuatu sebelum kisah ini ada. Berpuluh-puluh tahun yang lalu, hidup seorang lelaki yang menjadi penulis. Sepenuh hari hanya menulis, tak ada yang mampu mengalihkan perhatiannya dari huruf-huruf yang deras mengalir dari hati dan pikirannya, bermuara di ujung penanya. Hingga suatu hari seorang perempuan yang sama sekali tidak dihiraukannya menumpahkan segelas kopi di kertasnya. Semua huruf-hurufnya basah, padam konsentrasinya. Tapi dari mulutnya malah keluar kata terima kasih sebelum perempuan itu berkata maaf. "Terima kasih telah menyelamatkanku dari hari yang datar, siapa namamu nona?" "Maaf tuan aku tidak sengaja menumpahkan gelas kopimu." "Hey yang ku tanyakan nama, bukan maaf." Sambil tersenyum "Um.. namaku Mandadari." "Kalau begitu Mandadari, menikahlah denganku." Ah sekali lagi maafkan aku yang buta akan keindahan cinta. Aku memang bodoh. Tapi memang begitu kenyataannya. Dengan berat aku mengatakan singkat cerita mereka menikah. Lalu mereka hidup begitu biasa. Lelaki itu masih terus menulis, sementara mandadari sudah tidak lagi menumpahkan kopi. Oh lelaki haruskan perempuan mengusik hanya untuk mendapatkan seteguk perhatianmu? Mandadari perempuan yang tangguh. Belakangan hari suaminya jarang pulang. Hanya menulis padahal. Suatu hari suaminya pulang setelah seminggu tak pulang, tubuh suaminya tak karuan, pakaiannya lusuh, kantong matanya tebal, kantong celananya tipis. Sial sekali mandadari. Sementara suaminya terlelap di peraduan, mandadari lancang membuka buku yang penuh sesak huruf-huruf yang menrenggut konsentrasi suaminya. Tak lama ia membaca, segera air matanya leleh. Sungguh aku begitu bodoh, sehingga aku tak tega melanjutkannya.
58
Anak-Anak Jalanan Sambut menyambut. Kelompok pesolek sok banyak tau mulai bersebar sebar tersambut euforia menjadi nomor satu dan segala galanya. Sosial media tumpah ruah, muka cantik dipercantik, tempat asik ditelisik. Semakin banyak kamu punya pengikut setia tanpa arah sibuk bilang suka padahal iri dalam dada, kelompok pesolek sok banyak tau itu diam diam berbangga, dan pamer pamer hartanya. Pengikutnya. Satu persatu lemah iman pamernya. Satu persatu mulai hilang makna dalam dirinya. Satu persatu kemudian jadi satu. 2 perempuan bersebut Dina dan Rava memojok berbisik sendiri. terdiam saat pesolek lain datang, mengangkasa saat mereka jauh pergi. Mengikat makna dalam sebuah ilusi harapan mengenai anak anak jalanan. Reza Rava terpisah lagi. Romeo-Juliet, Rama-Sinta, apapun kisah romantis yang kau sebut sebut untuk mewakili mereka berhenti dulu sampai pertemuan mereka terakhir kali. Perjuangan tidak berakhir, hanya karena tuan nona sedang tidak bersama. Anak-anak jalanan. Ide tumpah ruah bagai air bah. Berbicara hingga terbang percikan ludah. Dina rupanya sudah lelah-lelah. Uang habis untuk update sosial media katanya. Hati habis bicara cinta sebutnya setelahnya. Anak-anak jalanan. Pintu gerbang terbuka lebar didepan mata. Rava bergerak mengambil kunci dihutan belantara. Dina menyusul dibelakangnya pegang tombak beracun, halau siapapun yang berusaha menghalangi seberkas jalan terbentang yang sedang mereka bangun berdua sendiri. Dari balik pohon tampak tiga pemuda tanggung yang malu malu, tapi mata berbinar ingin ikut bergabung. Kau baca cerita cerita ku sebelumnya, dapat nanti kau tiga buah nama lain yang akan ikut dalam ekspedisi anak jalanan Dina-Rava. Anak-anak jalanan. Semoga menjadi awal perjalanan, (Tidak akan kuberi titik diakhir, kuberikan saja koma, karena cerita belum pantas dibatasi oleh titik penamat cerita)
59
Pena Menulis Takdir Baiklah baiklah akan aku teruskan apa yang terjadi malam itu. Akan pedih sekali pembaca. Mandadari membuka buku bersampul kulit milik suaminya. Tarian aksara menyambutnya, tiba-tiba disambung genderang perang memekakkan telinga, oh apa inikah yang dinamakan fantasi? atau halusinasi? mengapa huruf menjadi begitu nyata kini baginya. Mengapa ia seperti dapat merasakan tubuh dan pikiran suaminya kini. Oh mengapa baru sekarang manda? Apa sebegitu pahitnya hidupmu bersama suamimu? Dibukanya pelan halaman pertama, wajahnya masih datar, seakan masih bingung apa yang sebenarnya terjadi. Mandadari seperti merasakan mengapa dunia kini hanya berupa lembaran-lembaran. Tapi jika dunia suaminya hanyalah lembaran-lembaran mengapa tidak ada namanya di lembaran-lembaran itu, pun selanjutnya. Apa Mandadari memang bukan apa-apa di dunianya? Oh apa mereka hidup di dunia terpisah? Oh apa arti kopi yang tumpah, apa arti cinta yang murah, apa arti suami yang tak pernah marah? Apa memang ia dianggap tak ada? Oh mandadari. Sampai ia di sebuah halaman berbilang puluhan. Ia menemukan sebuah nama, setelah berlembar-lembar yang ia saksikan hanya deskripsi benda atau rasa. Namun bukan namanya. Oh inikah rasanya hidup di sangkar emas? Menahun hidup di balik nama besar suaminya namun yang ia dapat hanya harta, bukan cinta. Oh inikah rasanya disangkaremaskan? hidup dibalik jeruji kemegahan namun diluar, suaminya menulis cerita lain. Oh inikah rasanya? Sita. Disebutkan disana. Diceritakan begitu mulia. Gadis keturunan bangsawan. Namun hidup dalam kesederhanaan. Mandadari tercabik rasa cemburu, yang dibaca memang benar hanya buku cerita. Namun seperti takdir baginya. Sungguh mandadari tau siapa sebenarnya suaminya. Ditulisnya gempa bumi di anak benua, sungguhan anak benua hancur tak bersisa. Ditulisnya jatuh kekuasaan raja tetangga, esoknya benar kudeta dilancarkan oposisinya. Ditulisnya hujan, turun hujan. Ditulisnya kematian, turun Yamadipati ke bumi mencari nyawa orang yang digoreskan ujung penanya. Maka dituliskannya Sita. Gadis yang kusebutkan cirinya. Maka terketuklah pintu rumah Mandadari. Dan saat ia buka. "aku Sita, istri Revan, apa ini rumahnya?"
60
Kuperkenalkan Padamu, Satu Persatu Kusebutkanlah namanya satu satu, orang-orang yang kau lihat sekarang sedang mengumpulkan beban, mencari tantangan, mengartikan cerita anak jalanan. Mereka orang orang yang terseleksi alam untuk kemudian ditakdirkan untuk dapat berkumpul bersama. Pertama, si Rava yang sudah kau ketahui hingga kisah cintanya dengan Romeo pujaan hati. Disebelahnya duduk perempuan berkerudung rapih jali, Dina namanya. Yang ini prajurit super patuh dia, kau suruh dia jungkir balik dengan zebra padang tandus di ujung afrika pun disanggupinya, asal bertujuan baik untuk kemasyarakatan hidup maslahat orang banyak katanya padaku. Jangan tanya apapun, aku pun tidak mengerti apa maksud kata-katanya. Dia cerdas sekali. Sayang, kurasa pendengarnya pun harus memegang tesaurus untuk menyeimbangi kosa katanya karena hanya dia dan tuhan dan pemegang tesaurus saja yang tahu apa maksud penjelasannya sewaktu-waktu. Lalu rupawan yang duduk didepan Rava, bersebut Ahmad namanya, lelaki satu satunya. Yang ini, tak perlulah kau ragukan. Ia pemimpin terdepan barisan perang. Celotehnya panjang soal perjuangan Bung Tomo, tokoh idola diatas idolanya. Poster muka pahlawan itu terpampang jelas di depan pintu kos nya. Menggertak siapapun yang mampir, termasuk mamaknya. Strategi susunan cerita anak jalanan yang disampaikannya hebat sekali, kau dengarkanlah disana, macam sudah siap sekali mereka perang melawan Jepang-Belanda. Berapi sekali bola matanya, habis takut yang lain terlahap kerlingan matanya. Yang terakhir, yang paling sering mengalirkan ide-ide brillian, namun malas tiada ampun. Syifa namanya. Biar kujelaskan lebih lanjut. Dia ini terlalu banyak membaca dongeng binatang saat kecil. Fantasinya luar biasa, cerita fabel nya terkarang sempurna. Kau ajak dia pergi ke taman safari atau TK yang berjubel isi anak ingusannya, keluar bagai pesona bidadari fabel fabelnya. Tapi jika berani kau ajak dia ke perkumpulan geng gaul yang selalu kongkow bebas di minimarket 24 jam, habis kau termakan malu. Nanti diajaknya bicara teman-teman geng mu itu, bercerita nanti dia tentang babi yang meminta pada sang agung semut merah untuk merubahnya menjadi sapi agar ia bisa menjadi babi yang halal, diterima masyarakat, kemudian hidup bahagia. Malu, habis kau termakan malu. Tapi jangan pernah ragukan ide idenya, sekalinya terbesit, idemu yang tidak ada apa-apanya bisa disusunnya menjadi secemerlang bintang diangkasa. Cerita anak jalanan bermula dari perkumpulan hari ini. Dengan orang orang super ajaib kebanyakan asupan gizi (bisa jadi kurang, kurasa). Bagaimana jadinya nanti, itu tugasmu untuk terus mencari. Perjuangan Reza Rava menelisik makna, tidak akan berhenti berbatas kisah cinta. Anak Jalanan, permulaan pencarian makna oleh rakyat rakyat (gila) jelata.
61
Rencananya Tak Segaris dengan Rencana Tuhan Sungguh bagai tombak yang melesat cepat menabrak dada, mengoyak paksa kegelisahan, sempurna menjadi luka menganga di dalam hari. Oh manda sial betul nasibmu. "Hey, sini masuk ke dalam Sita." Tiba-tiba terdengar suara berat dari dalam, suara seorang lelaki penggurat takdir. Mereka berkumpul satu ruangan. Dua wanita mengandung satu lelaki wajahnya bingung. Di ruangan itu diceritakan semuanya tentang Sita. Mandadari hanya pasrah menerima tak lagi berkata-kata. Setelah peristiwa malam itu, hidup mereka kembali datar. Mandadari tetap menjadi istri yang baik, begitupun Sita. lain dengan Revan yang sehari-harinya hanya menulis. menulis kenyataan di masa depan. "Apa kamu sedang menulis masa depan anak-anakmu Revan?" tanya Mandadari di tengah sesi minum teh sore-sore. "Tidak, ini tentangmu, dan Sita." balas Revan dengan senyuman. Diikuti senyum malu dua istrinya. Oh betapa indah senja yang tenggelam, terpancar semburat surya dihiasi senyum dua bidadari. sore itu menjadi awal sebuah kebahagian, sebab Revan menuliskan tentang kelahiran. singkatnya mereka tiba di saat yang menegangkan. Mandadari beberapa bulan lebih dulu melahirkan, anaknya lahir, perempuan, keduanya selamat. lalu tiba saatnya Sita, Revan tak tegang, begitu juga mandadari, sebab Revan sudah menuliskan hal yang sama seperti kelahiran anaknya yang pertama. tapi tuhan menuliskan takdir lain. Sita melahirkan, anaknya laki-laki, selamat, Sita tidak. Revan hancur, menangis sejadi-jadinya di depan nisan istrinya tiap sore, meraung-raung tiap malam. Hey, ada apa Revan? mengapa terlihat berat sekali melepas Sita? Mandadari? tetap setia mendampinginya, walau berjarak agak jauh di belakangnya. Tiap tengah malam mereka pulang, rutin setiap hari dalam sebulan. Revan berhenti menulis. Mandadari bingung bagaimana agar asap dapurnya tetap mengepul Berangsur-angsur suaminya pulih, kini mulai lagi menulis, tapi tak seajaib dulu. Kini suaminya hanya penulis biasa. menulis artikel-artikel biasa, tak sehebat dulu. bagaimana dengan anak-anaknya? Reza? Laras? mereka tumbuh menjadi anak-anak yang sehat, Laras perempuan yang riang, sedikit jahil. Reza, lelaki penyendiri, pemikir, kelak kita tau ceritanya di pinggir danau.
62
Beginilah kenyataan keluarga Reza, yang Reza tau ayahnya hanya penulis lepas, ibunya meninggal, lalu ayahnya menikah lagi. begitu juga dengan Laras. mereka tidak tau apa yang terjadi dulu.
63
Tunggu, Seperti Ada yang Kita Lupakan "Tunggu. Perjalanan belum bisa dimulai sebegitu cepatnya," Rava berkata seketika. Ketiga yang daritadi berkoar seru seru terdiam. “Apalagi? Jangan bilang kau mendadak membatalkan semuanya.” Ahmad menyahut. Dibeberkannya kertas kertas penuh coretan warna warni kehadapan Rava. “Ide ide cerdas ini tidak mungkin kau hancurkan dalam hitungan jam kan? Aku tidak siap kecewa.” “Bukan, justru aku yang penuh sesal jika berani membatalkan mimpi kita. Hanya saja, ada satu orang yang ingin aku kenalkan pada kalian. Aku yakin kita pasti berbangga jika ia bergabung bersama kita.” Rava berkata selagi memasang sepatu ketsnya. Berburu buru, entah sampai kapan Rava lelah terburu buru. “Jika yang kau bawa itu lelakimu, kenalkan aku padanya. Mungkin sesekali jika kau lengah aku bisa menjadikannya pangeranku.” Syifa menggoda, Rava tertawa tapi tidak menanggapi apa apa. “Aku akan segera kembali.” Ucapnya, lalu kemudian melesat pergi. Memang cerita ini tak akan membiarkan Reza dan Rava pergi jauh atau pergi terlalu lama. Kali ini cerita anak jalanan akan ikut terpenuhi oleh romansa kisah Reza dan Rava. Tidak tahulah, Rava coba saja dulu. Jika sempat iya dikatakan Reza nanti, Aku yakin cerita anak jalanan akan berlayar lebih menakjubkan lagi.
64
Pintu Menuju Cerita baru "Aku tak tau apa maksud kata-kata terakhir ayah kak" Reza berujar, setengah sedih, setengahnya lagi bingung. "Tak perlu kamu artikan, tinggal menunggu sang waktu yang jelaskan semuanya padamu." tukas Laras, tandas mengakhiri kegelisahan adik tirinya. Laras sudah tau semuanya, tentang semua kenyataannya. Bahkan Laras yang simpan sekarang buku sakti ayahnya. dan ada sesuatu yang harus ia mulai dengan Reza. itu sebabnya Laras mendatangi Reza. Asal kau tahu saja, keluarga mereka tidak sesederhana itu. Kematian sang bapak bukannya tanpa alasan berarti. Bagi Laras dan bapaknya, kematian bukan akhir. Kematian merupakan pintu menuju cerita baru, sejarah baru. Reza pemegang utama kuncinya, tapi ia tidak sadar karena ia belum mengetahui apapun tentang rahasia besar keluarganya. Sudah lama sekali adik kecilnya terabaikan hingga saat ia temui sudah seperti nyaris tenggelam dalam keresahan. Laras menyadari adanya sedikit binar pada mata adiknya, namun hal itu tidak akan menyelamatkan dalam jangka waktu lama. Warisan satu-satunya dari sang bapak harus segera disampaikan, kata kata terakhirnya harus segera diberi penjelasan. "Semoga hal ini bisa menyelamatkanmu, dik." Ujarnya dalam hati sambil memandang lekat pada wajah sayu adik tirinya. Mereka berdua terdiam cukup lama, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Reza memikirkan pesan-pesan mendiang bapaknya, Laras memikirkan bagaimana cara memulainya. Hingga dari belakang mereka terdengar langkah yang terburu-buru. ternyata Rava.
65
Bertemu Lagi "Aku ini benar benar mencintaimu sampai entah untuk yang keberapa kali mampir hanya untuk mengajakmu pergi dan bercerita, kau tahu?" Rava terengah engah berkata selagi langkahnya pelan mendekat. Yang dituju diam, tertawa pelan. Tidak tahu harus bertingkah polah macam apa didepan kakaknya. Reza malu. Rava tidak pernah tahu malu. Habis terkikis semua wibawanya kalau ia sedang bersama Rava. "Kurasa.. Aku pergi dulu. Jika butuh apa apa aku akan ada dirumah. Jangan pernah sungkan untuk mampir, Reza. Ada beberapa potongan cerita membeku di album foto lama, kamu harus melihatnya kapan kapan." Laras pamit, memberi privasi. "Oh iya, jangan lupa bawa Rava kalau mampir, aku penasaran wanita seperti apa yang bisa sebegitu dekatnya denganmu." tambahnya menggoda, tersenyum manis pada Rava kemudian berjalan menjauh. seremoni biasa perpisahan dua saudara yang baru bertemu, Peluk, cium, lambaikan tangan lalu pergi. "Jadi?" Reza membuka pembicaraan. Rava segera ambil posisi di tempat biasa. “Ada sesuatu yang ingin aku tawarkan padamu. Tapi.. Mungkin waktunya tidak tepat. Ayahmu baru meninggal beberapa hari lalu. Dan kurasa, kamu butuh waktu setidaknya untuk mengumpulkan semangat lagi tentang mimpi kita.” “Kalau aku bicara kamu itu semangatku bagaimana?” “Nah bagus! itu jauh lebih baik. Aku disini sekarang, tepat disebelahmu, dann menganggapmu penuh semangat kemerdekaan tidak peduli sebanyak apapun kamu mau berkilah. Siap?” Sial. Reza kira tadi pembicaraan ini berjalan jauh penuh bunga bunga dan romansa orang jatuh cinta. Dia lupa kalau didepannya ini isi kepalanya tidak bisa dikira kira isinya apa. Ya sudahlah.. “Siap, nona” Diberi kesempatan bicara seperti ini, Rava senang bukan main. Kau siapkan saja kupingmu, Reza. Dia akan berceloteh padamu semalam malaman. Jangan sampai kau lihat bulan ikut menguping lagi. “Aku membuka kisah tentang anak jalanan. Menyatakan berbagai cerita jadi kenyataan. Buka selebar lebarnya kesempatan untuk anak anak yang menyimpan harapan. Atau memancing mereka setidaknya untuk berani berharap.” Rava tarik nafas. Menatap mata Reza bulat bulat. “Dan aku rasa itu akan menjadi sempurna kalau kamu ikut berkisah. Apa kamu cukup berani berkisah dengan anak anak yang harapannya terkikis susah, tuan?” Lalu? Simak sajalah nanti apa ceritanya. Tuan yang lebih berhak untuk menggariskan kehidupan Reza, menentukan iya atau tidak jawaban pastinya.
66
Yang Disangka Tidak Menolak Malah Menolak Siang itu menjadi siang yang agak aneh untuk mereka. Yang perempuan hendak buru-buru, sedangkan yang lakinya ingin berlama-lama. Reza dan Rava diciptakan berbeda namun memiliki rangkaian takdir yang hampir sama. Reza dan Rava tidak ditakdirkan selalu bersama tapi hati mereka saling terpaut. Rava telah menawarkan, Reza mengangguk. tapi anggukannya berarti lain. “Aku mengerti, aku memang hanya penyempurna hidupmu. dari jauh-jauh hari aku paham kalau aku memang hanya aksesori ruangan. Pengindah tata ruang kehidupanmu. Tapi maaf Rava kali ini aku bilang tidak.” Menyedihkan. kata-kata Reza tandas di ujung suara. Menancapkan duri di dada Rava. sesak sekali Rava bernafas, bagai menghirup duri lalu dada ditekan dua kekuatan raksasa. Rava tak percaya. Ia menahan tangis. Perih sekali. Entah ini pertanda apa Reza, namun tiba-tiba saja langit menutup diri dengan awan hitam nan tebal. Guntur-guntur saling sambar menyambar. Lalu disusul derasnya hujan. Di ujung jalan Laras membentang payung, sebentar menengok kebelakang, hatinya bertanya “Ada apa, Reza Rava?”
67
Terserah Padamu, Reza. "Baiklah, aku juga bukan ingin memaksamu untuk bergabung. Aku hanya orang yang dititahkan tuhan untuk memberikanmu kesempatan bermimpi lebih besar. Entah kamu mau atau tidak, yang pasti itu bukan urusanku lagi. Kalau memang tidak mau, berdoa lagi saja yang banyak pada tuhan, Reza. Minta orang yang lebih memenuhi dirimu daripada aku. Kurasa tugasku sudah selesai sampai disini." Rava tidak ambil pusing. Sedih hatinya memang, terbilah bilah sembilu. Tapi ia memilih untuk mundur teratur, berpikir sesederhana mungkin untuk alasan suatu kejadian agar tidak panjang pikirannya terbayang semalam malaman. Terdiam seperti nyaris untuk selamanya, bahkan aku tidak mendengar suara nafas siapapun disana. Reza Rava tenggelam dalam pikiran masing masing. Yang kutahu, Rava kalut bukan karena penolakan. Justru karena pengakuan. Hilang semua kemampuan lidahnya berbicara, terkatup sempurna bibirnya enggan terbuka, habis otaknya kehilangan diksi diksi penenang hati yang biasa dilontarkannya. Kalut, anak jalanan nyaris tinggal kenangan. “aku memang hanya penyempurna hidupmu…” Katanya begitu? Sesederhana itu dia mendefinisikan arti kata mereka berdua? Cih, Rava benar benar merasa hina. "….dari jauh-jauh hari aku paham kalau aku memang hanya aksesori ruangan pengindah tata ruang kehidupanmu." Dia memang bukan perempuan penuh perhatian yang suka sibuk bertanya soal sudah makan sudah tidur sudah sudah lainnya, lalu karena itu dia mengira hatinya sesederhana aksesori sialan yang dia katakan itu? Yatuhan, harus berapa cerita bodoh, memalukan dan terhinakan lagi harus ia bagi dengannya? Cih, Rava benar benar sudah gila. Yatuhan Reza, sesederhana itukah kamu mengartikan cinta yang disampaikan Rava? Rava jatuh mati kecewa. Tapi dia tidak pusing ambil kata. Biarlah berjalan searah angin, Rava berjalan beriring hening. Sekelompok kehidupan ada didepan, semoga bisa beri dia sedikit kesenangan. Entah mampu, entah tidak. Carut marut, anak jalanan nyaris tinggal kenangan.
68
Bukan Situasi yang Direncanakan Sial betul siang hari ini, di tengah suara ribut jutaan bulir air yang menghantam tanah ada dua rasa yang juga menghantam kecewa. Aku tau Reza tidak mengharapkan jawaban yang seperti itu dari Rava. Dan Rava juga sebenarnya tidak menginginkan situasi seperti ini. Mereka berdua terdiam. Hujan yang turun dari langit masih deras, yang turun dari kelopak mata Rava juga masih mengalir deras. Reza juga terdiam, tatapannya kosong merasa bersalah. ingin minta maaf tapi Rava sudah berkata terserah. Apa daya. Rava bangun dari duduknya, hendak pergi. namun buru-buru ditahan Reza. Reza hendak berkata kata, namun suaranya tidak keluar. Rava terlanjur kesal, dihempas tangannya dari genggaman Reza. Rava pergi. Berlari. Reza mengejar ditangkapnya lagi tangan Rava, kini kedua tangannya benar-benar digenggamnya. "Rava aku minta maaf, sungguh bukan situasi seperti ini yang aku harapkan. aku hanya mengharap belas kasihmu. Sungguh." Rava terdiam. Entah perasaan macam apalagi yang berkecamuk di dalam hatinya. Sungguh hati Rava hanya nona yang tau.
69
Bagaimana Kalau.. Kita Beri Jarak? "Terserah padamu sajalah. Hey, kita sudah terlalu banyak cerita kisah cinta. Aku bertemu kamu, segala romansa menyeruak tanpa batas dan aku lelah. Aku tidak terbiasa berlama-lama membahas soal rasa, tuan. Maafkan aku akan hal itu." Rava masih enggan disentuh Reza. Dilepaskannya paksa genggaman tangannya. Mundur beberapa langkah, memberi jarak. Dilanjutkannya penjelasannya, kau lebih tau kan? Rava memang suka sekali berbicara, apalagi tadi diksinya tertahan kecewa. “Dari segala rupa yang kita lakukan, bisakah kita memberi jarak sebentar? Sudah lama sekali rasanya kita tidak bicara tentang iya dan tidak, aku rindu kerasionalan yang kamu bawakan dulu tentang mimpi dan harapan. Aku tidak membencimu, aku hanya butuh jarak.” "Perasaan butuh jeda, tuan. Maafkan aku yang terlalu payah merasakannya. Aku pergi dulu. Kita bertemu kalau semesta mengizinkan saja," tersenyum Rava, penuh arti. Dielusnya sebentar kepala Reza lalu ia pamit. Aku pun tidak tahu kapan ia memutuskan untuk kembali lagi. Rava undur diri, Reza mati hati. Selagi berjalan Rava susun lagi apa yang harusnya jadi prioritasnya. Sesal hatinya sempat terbuai suasana. Apalah.. Terakhir kali ia merasa rasa ini juga sudah bertahun lalu terjadi. Tangisnya tidak berhenti, Rava sendiri tidak tahu bagaimana caranya berhenti. Sudah kubilang kan, Rava ini bentengnya kokoh sekali, jarang sekali ia mau membuka, bahkan mengizinkan siapapun masuk. Lelakinya ini, dengan sekali izin saja, Reza masuk tanpa ribut. Sayang beribu sayang, tuan. Rava bukan kebanyakan perempuan yang pernah kamu tahu. Rava mati hati, apa Reza ikut undur diri?
70
Ujung Cerita Masih Koma, Belum Titik Rava pergi, patah patah menengok ke orang yang ditinggalnya. Entah berapa lama. Reza terdiam, air matanya mengalir sedikit-sedikit. Hujan masih deras. Begitupun dengan rasa sesalnya. Dia tidak salah bicara, ia hanya sulit mengungkapkan perasaannya. Sekali keluar kata-kata dari hatinya, keluar begitu pedih saat Rava mendengarkannya. Kali ini tidak akan mungkin ia kembalikan Rava dengan rayuan lagi, kan? Bisa mentah habis ia ditolak kekecewaan Rava. "Jeda. Apalah arti sebuah jeda kalau malah membuat kita berjarak," Reza mengeluh, sudah urung mengejar wanitanya. Sekarang yang ia butuhkan hanyalah kesabaran. Menunggu hujan reda, lalu pulang. Barangkali Laras, kakaknya bisa membantunya. Kisah yang Laras sampaikan tentang warisan buku takdir dari bapak mungkin bisa jadi salah satu cara untuk membuat Rava kembali kepelukan. Membuatnya melupakan segala perkataannya barusan. Hujan reda. Semoga amarah Rava juga reda. Begitu ia berdoa. Mungkin Rava lebih bahagia bersama teman-temannya di sana. Mengejar mimpi bersamasama, tertawa bersama-sama, melupakan masalah, atau malah melupakan Reza. Semoga tidak. Rasa sayangnya tidak akan tersapu habis karena kekecewaan kan? Begitu banyak pertanyaan, terlampir hamparan keragu-raguan. Ah, Reza lelaki apa bukan, jika soal wanita saja ia bisa jadi galau semalam-malaman. Lagi pula ceritanya masih belum selesai. Di ujung cerita masi koma, belum titik.
71
.Terselamatkan,
mungkin?
Hujan tidak berhenti, Rava tahu bukan saat yang tepat untuk mencari teman temannya disaat seperti ini. Mana ada orang bodoh yang berdikusi dibawah pohon dalam suasana hujan lebat penuh petir. Tapi Rava tetap berjalan kesana, tempat tadi mereka mulai berdiskusi, mencari senyuman yang hilang akibat kekecewaan yang tumpah ruah macam tak akan pernah usai. Rava tahu tidak akan ada siapa siapa yang rela menunggunya disana. Toh temannya cukup pintar untuk tahu jika hujan, mereka pasti langsung berkumpul di gazebo kampus. Base camp kedua mereka. Tapi langkah Rava mengarah ke bawah pohon, mencari sisa pengharapan. Seperti tahu seperti direncanakan, seorang tegap berdiri memegang payung merah celingak celinguk, gelisah. Badannya habis terserap air, payung hanya formalitas penanda bahwa ia cukup waras untuk membawanya ditengah hujan lebat seperti ini. Dia menunggu dengan bodohnya, seperti telah berjanji pada hari-hari sebelumnya. Dilain cerita, Ahmad sudah lima belas menit lalu menunggu, memastikan Rava kembali untuk melanjutkan mimpi-mimpi. Ia takut Rava hanya berkata sebatas janji-janji. Kemudian dalam dingin dilihatnya Rava berlari menggigil mencari hangat, melirik sedikit ke arah pohon, lalu melanjutkan arah untuk kembali ke gazebo. Ahmad segera berlari kearahnya, menawarkan perlindungan. "Kau ini.. Pergi terlalu lama sampai hujan harus turun menyuruhmu kembali. Tadi kami sudah menyusun banyak sekali rencana-rencana hebat, kau tahu? Kita tinggal membuka kisahnya saja dengan kalimat ‘pada suatu hari’ esok pagi," Rava diam. Sibuk menghangatkan diri, sibuk menenangkan diri. “Eh? Kau pulang tanpa jawaban. Apa yang terjadi?” Ahmad bertanya, menarik muka Rava kearahnya. Yatuhan, Rava malah justru menangis sejadi-jadinya.
72
Mau Kuberi Tahu Sesuatu? Seorang lelaki berjalan begitu gagahnya ditengah hujan. Mengingatkanku pada seorang lelaki yang juga berjalan seperti itu berpuluh tahun lalu. Revan. Penulis takdir itu dulu juga pernah mengalami hal yang sama. Keinginannya diperhatikan kekasihnya dimentahkan sendiri oleh kekasihnya. Sita. begitu dulu ia memanggilnya. Revan. Sepotong kaca, memantulkan wajah wanita. Oh wanita mana yang tak senang berkaca. Revan lelaki gagah berwajah tampan. Sungguh wanita mana yang tak suka pria gagah. Sialnya hari itu Revan terlalu lemah mengiba kepada seorang wanita. Hanya untuk minta sejumput perhatiannya. Percis Reza. Percis kata orang-orang mancung berambut pirang di barat sana. Like father like son. Maka mulai saat itu Revan mulai menulis takdir. Ia tak ingin lagi jatuh malu di mata wanita. Ia tak ingin lagi ditolak. Ia benci penolakan. Maka ia ciptakan kenyataan. Ditulisnya satu nama. Besoknya ia dapatkan wanitanya. Begitu sampai ia temukan (dua) cinta sejatinya. Siapa pula yang tau penulis naskah kehidupan manusia. Setau mereka tuhanlah yang rencanakan. Reza sampai di rumah, tubuhnya basah kuyup. cepat-cepat Laras sodorkan handuk. "Loh habis main hujan?" Laras berseloroh, meledek Reza, tertawa renyah melihat adiknya seperti kucing kecebur. Yang diledek mendengus sebal. "Mana teh panasnya?" Reza cengar-cengir. Balas meledek kakaknya. Beginilah. Mereka jarang bertemu, tapi tetap terasa dekat. Penuh canda tawa, tak pernah kudengar cerita sedih dari mereka berdua. Entah bagaimana bapaknya mengajarkan kebersamaan kepada mereka berdua. Reza sudah kering, tehnya sudah diteguk habis. "Kamu mau kuberi tahu sesuatu?" Laras membuka percakapan. Sekaligus akan membuka rahasia.
73
Cerita Baru, Namun Berasa Kosong "Ya Tuhan apa lagi ini pulang-pulang malah menangis. Kau digigit kucing?" Ahmad menyeletuk tanpa basa basi. Dia tidak tahu apa apa soal perempuan, tapi celetukannya barusan menggiring senyum ke wajah Rava. Seiring tawa, tangis reda diwajah Rava., “Ya, anggap saja begitu. Anggap saja ada kucing sebesar kau menerkam tanganku hingga habis semua urat nadi.” "Gila, pantas saja kau menangis meraung raung tadi," Ahmad berbasa basi, tidak berminat menanyakan lebih jauh alasan Rava kembali. Rava kembali tertawa, bersih semua sisa sedih diwajahnya. Sedih bisa hilang memang, tapi perih belum berminat pulang. Rava redam saja sementara. ia bisa urus segala hal ini nanti saat dia sedang sendiri. Sekarang, ia tutup saja perihnya dengan sok senyum bahagia sana-sini. Semoga membantu, dan semoga tidak kelihatan berpura-pura. Ahmad sendiri entah apa yang menggerakkannya untuk menjemput Rava. Kurasa dia diamdiam mengagumi semangatnya, diam-diam mengagumi ide idenya, diam-diam mengagumi dirinya. Tapi ahmad tau dia hidup dalam bayang besar bernama Reza yang tidak mungkin terkalahkan, maka ia mengalah, cari jalan lain bertemakan pertemanan. Ahmad dan Rava berjalan seiring hujan yang lambat-lambat reda, mulai mengizinkan matahari untuk mengeringkan wajah basah kuyup mereka. Sampai di gazebo, dua yang lain sedang tertidur. Tumpukan kertas-kertas dan segala macam persiapan warna-warni terserak di lantai. Menunggu untuk segera dipakai. Rava bangkit semangatnya, tertutupi kegundahannya melihat kesungguhan teman-temannya. Jika tiga orang ini sempat pergi menjauh darinya, ia tidak tahu lagi harus berpegang pada siapa. Biarlah, sedih jadi masalah masa lalu. Rava tidak mau ambil pusing. Walau berasa kosong karena penolakan sang terkasih, namun cerita barunya harus tetap berjalan, bagaimanapun kacaunya keadaan. Karena Rava yakin ia tidak sendirian.
74
Memegang Takdir Sementara di sebuah rumah dua orang bersaudara saling menatap serius. Semula Reza hanya ingin melepas penat, bukannya ingin menelisik sebuah kerahasiaan. Tapi kakaknya terlanjur menawarkan. Laras menyodorkan buku tua bersampul kulit yang disamak dengan baik. Tebal, sisi-sisinya sudah menguning. Baunya pun bau benda bersejarah. Seperti benda pusaka kerajaan kuno. Reza bertanya-tanya siapa pemilik buku ini. “Buku apa ini? Tua sekali. Siapa yang punya?” Dijelaskannya kepada Reza tentang sejarah keluarganya dari A sampai Z. Dijelaskannya tentang bapaknya yang gagah namun bernasib sedemikian rupa. Diceritakannya keistimewaan buku itu. Tak satupun fakta yang luput. Reza ternganga. Setengah tidak percaya bahwa bapaknya dulu adalah seorang penulis takdir. Dan ia juga menyadari bahwa rangkaian kehidupannya selama ini pasti juga ada hubungannya dengan buku ini. Reza langsung teringat Rava. "Kamu boleh memilikinya Reza, ambilah," Laras mengizinkan adiknya. Lumayan tebal, kutaksir ratusan mendekati ribuan halaman. Ratusan halaman awal sudah terisi. Sisanya masih kosong. Kertasnya menguning akibat usia. Tanpa banyak cakap dibukanya buku itu. Reza masih tidak bisa percaya. Semua kejadian yang dituliskan di buku ini semuanya terjadi di kehidupan nyata dengan rentang waktu yang bervariasi, yang pasti semuanya terjadi setelah bapaknya menghentikan tulisannya dengan titik. Kini ia sudah memegang buku itu, hal yang pertama kali ia tuliskan adalah namanya, Rava, dan dua kata. Selamanya bersama. "Oh iya kau tau Reza? Ada dua buku sebenarnya, yang kau pegang itu buku kedua. Yang pertama begitu dirahasiakan oleh Satya, jangan sampai Rava tau. Sebab akan mengubah jalan cerita. Kuceritakan padamu agar kau ikut merahasiakan dari Rava. Oke dik?" Ujar Laras sambil mengacungkan jempol tak lupa mengedipkan sebelah matanya. Reza hanya melongo, lalu mengangguk.
75
Cerita Baru Seperti matahari yang membangunkan mereka dengan lembut, Syifa dan Dina terjaga tepat saat hujan berhenti. Saat mereka telah merasa sepenuhnya terjaga, gazebo sudah tersusun rapi seperti pertama kali mereka menempatinya. Setumpuk kertas dipojokan, buku buku tertata rapih disebelahnya. Belum lagi ada semacam kudapan hangat dan minuman melengkapi, menyambut lelah mereka menyusun mimpi. Rava terlihat serius memilah-milah kertas, mencoret-coretnya, headset bersenandung lagulagu jazz mengiringi kesibukannya. Hingga ia tidak sadar dua orang cerewet yang dari tadi ditunggunya sudah terjaga. Ahmad tidak tampak ada disana, sudah sedari tadi pulang. Bajubaju basah ditubuhnya tidak mungkin ia pakai hingga malam nanti menjelang. Sekalian membawa beberapa baju untuk Rava, yang begitu datang langsung antusias dengan hasil pekerjaan mereka hingga Rava lupa kalau bajunya basah, terserap air hujan dan tangisan sesiangan. "Kekasihmu mana? Aku sudah menghafal semua dialog tentang putri-putri kerajaan yang siap menyambut pangeran impian. Mana dia?" Syifa menyeletuk duluan, dilepasnya sebelah headset Rava yang langsung tersentak kaget. “Dia….” Rava nyaris habis kata. “Dia tahu kau ada disini. Makanya dia urungkan niatnya untuk berkumpul. Takut naksir putri jelita katanya,” Rava bercanda, Syifa merengut muka. Sesaat hening, lalu mereka tertawa bersama. Dina lain cerita, tanpa basa-basi ia comot segala makanan yang ada. Urusan bicara nanti saja, gumamnya sambil mengunyah. Yang penting perut ini tenang dulu, lanjutnya. Tertawa lagi mereka, kebodohan dan candaan ringan mengalir seiring waktu. suasana setelah hujan selalu menjadi momentum terbaik. Sepertinya air dari langit memang dipesankan tuhan untuk menurunkan aura-aura kesenangan sesaat setelah mereka turun. Menyenangkan sekali. "Anggap saja, Reza tidak berminat untuk bergabung. End of discussion. Dan.. Hey, aku sudah lihat semua ide-ide kalian, merubah beberapa sedikit-sedikit. Tapi aku belum tahu kapan kita akan segera bertemu anak-anak jalanan dan segera menuliskan kisah. Mau kapan dimulai?" Rava berujar panjang, tersenyum lalu menyodorkan kertas penuh tulisan warna-warni pada mereka. "Besok," Dina dan Syifa serentak menjawab. "Ya, besok. Kau siap kan? Susun dulu saja hatimu yang sedang kalut itu, Rava. Kami selalu ada jika kamu butuh bantuan." Tiba tiba Ahmad datang dan langsung bergabung. Ia menjatuhkan beberapa baju bersih ke kepala Rava. Rava tersentak, muncul lagi mimik kecewa diwajahnya. Belum habis luka rupanya. "Ganti dulu baju basahmu itu, bodoh. Setelahnya, Syifa akan menjelaskan semua rencana kita," Ahmad menambahkan. Rava belum berubah muka, Dina dan Syifa malah sibuk bertanya ada apa.
76
Cerita Baru II "Apa aku sudah bisa menulis takdir sekarang kak?" Tanya Reza sok polos, sambil tersenyum menunjukan deretan giginya yang manis. "Tergantung," jawab kakaknya, menjawab malas-malasan bahkan gantung. Entah Reza yang terlalu bodoh untuk menyerap makna dari kisah bapaknya. Betapa kemurnian hatilah yang bisa membuat bapaknya seperti itu. Menulis tanpa keberpihakan,tanpa emosi, tanpa ambisi. Seperti malaikat yang ditugaskan hanya meulis. Seperti itulah Revan layak digambarkan. Kini entah Reza ingin berbuat apa. Mimpinya seperti karam ditengah samudra setelah Rava memutuskan untuk memperlebar jarak. Tapi buku sakti sudah ditangannya. Laras sudah mengizinkannya. Tapi sayang semesta belum berpihak kepadanya. Hujan sudah reda. Reza izin pamit. Dibawanya buku sakti itu, entah keajaibannya nyata atau tidak setidaknya Reza percaya. Ditengah jalan Reza melihat Rava dan tiga temannya asik bercanda, tertawa selepaslepasnya. Membuat Reza berpikir, "Ah, aku memang bukan siap-siapa, buktinya Rava seperti sudah melupakan kejadian yang tadi, apa ku hapus saja tulisanku di buku sakti ini?"
77
Hari Pertama, Semoga Selamanya Kita percepat saja hingga esok datang. Tampak 4 orang remaja sibuk berlari-lari, tertawa, dengan segerombolan anak-anak lusuh memegang koran-koran yang memuat berita berita soal perpolitikan indonesia hingga bencana alam dimana mana. Koran hanya penanda bahwa mereka masih bisa bertahan hidup, tidak peduli segala kejadian kejadian besar yang terjadi diluar kehidupan mereka. “Asal dapat untuk makan hari ini dengan nasi dan sepotong ayam, kak,” ujar salah satu anak perempuan berkepang dua saat ditanya. Perempatan jalan itu begitu ramai. Ratusan mobil lalu-lalang tanda puncak kesibukan menjelang tengah hari. Awalnya Rava, datang dengan beberapa bingkisan berisi makanan warna-warni. Membagikannya satu persatu pada belasan anak di 6 perempatan jalan itu. Melihat ada kesenangan di salah satu perempatan, anak-anak lain tidak ragu untuk segera bergabung. Selagi Rava membagikan bingkisan, Syifa membuat lingkaran kecil di trotoar, mengisahkan tentang pertarungan naga api dan boneka beruang. Koran-koran yang mereka jajakan diambil alih oleh Ahmad dan Dina. Mereka kini sibuk menawarkan koran pada setiap mobil yang berhenti. Cepat terjual habis, karena setiap mobil yang ditawarkan tidak segan membuka kaca, penasaran sedang ada kesenangan dan kehebohan macam apa di tengah hari terik dipinggiran jalan itu. Cuaca cerah sekali hari ini. Semesta seperti mendukung hari pertama mereka menjalani mimpi. 3 jam berjalan seperti angin lalu, Syifa puas hati mendongeng hingga cerita ke negeri persia, Rava puas hati memerankan semua tokoh yang diciptakan Syifa. Ahmad dan Dina puas hati menjual seluruh koran-koran tersebut, yang habis tanpa sisa. Anak-anak bahkan sempat lupa kewajiban mereka, hingga tersentak saat sadar sore menjelang. Cerita Syifa begitu menghanyutkan, saat mereka berbalik untuk mengambil koran dan kembali menjajakannya, senyum Ahmad dan Dina yang justru menyambut, dengan segenggaman uang ribuan ditangan. Setelah beberapa waktu, dalam keramaian dan euforia anak jalanan, Rava menepi sendirian. Diiringi lagu jazz di telinganya, menulis. Dia tidak ingin kehilangan suatu momentum apapun dari hari ini. Setiap detail menitnya diterjemahkan dalam kalimat kalimat. Pertama kalinya dia menulis dengan hati, dengan kesungguhan. Selagi menulis, secarik surat jatuh dari lembaran lembaran bukunya. Tersentak saat melihat bagian depannya. Surat yang waktu itu ingin ia berikan, tepat dihari kematian ayah Reza. Nama Reza Adhipramana terpampang jelas didepan. Menunggu untuk diberikan kepada yang memiliki nama. Ini harus segera diberikan, ujarnya. Tapi bagaimana?
78
Bangkit Reza seharusnya tau bahwa kesucian hati harus terjaga agar ia bisa seperti bapaknya. Tapi bukan Reza namanya jika tidak ada sedikitpun prasangka negatif terhadap kehidupan. Maka hari itu ia menggigil sendirian di tepi danau. Bagai menunggu bulan turun ke bumi ia menantikan Rava. Menantikan yg mustahil. Rava sudah sibuk mengurus dunianya, sementara Reza hanyalah sehelai daun kering yg rapuh. Ditengah gigil ia terlempar pada tayangan tayangan masa lampau. Dilihatnya wajah Rava, bapaknya, dan bayangan wajah ibunya. Terdengar lagi pesan pesan mereka. Jangan sedih, harus kuat, dan wejangan wejangan penyemangat lainnya. "Anak ibu itu kuat loh." "Bukan begitu caranya hidup, Reza." "Ayah benci anak yang lemah." "Loh kok lesu? semangat dong.” Semua suara yang menggema di pikirannya menjelma api semangat yang begitu hebat, membakar segala sesal dan keragu-raguan. Mata Reza berbinar terang, ia kembali sadar sepenuhnya. Gigil sudah pergi. Tatapannya tajam kembali menatap masa depan. Ia ingat satu-satunya rencana yang ia katakan kepada Rava waktu itu. Melangkah maju. Dalam sebuah langkah, ada saatnya berjalan sambil menunggu. Jika Rava hanya bisa menuntun takdir anak-anak jalanan. Reza bisa mengubah takdir anak-anak jalanan. Reza hanya menunggu saat yang tepat untuk melakukannya.
79
Perjalanan Menuju Kenyataan Hari beranjak senja. Sekumpulan tawa dan hingar bingar perlahan menepi. Anak jalanan dengan ribuan fantasi yang dibawakan Syifa mulai lelah lelah wajahnya, tapi bersinar sinar mukanya. Kebahagiaan yang terenggut kertas-kertas koran pulih dalam sehari, pulih dalam satu cerita dan drama, pulih dalam alfabet bernama. Sejumput mimpi bersambung untuk esok hari, disudahi hari ini dengan teriakan meriah dari anak anak lusuh berwajah cerah. “Kakak datang lagi! Kakak datang lagi!” Semacam obat gundah bagi hati hati lelah Syifa, Ahmad, Dina dan Rava. Maka seminggu ini berjalan sesuai rencana dan keseharian mereka betul-betul didukung oleh semesta. Setiap siang tidak terik menyengat, tiap sore desau angin selalu menyejukkan setiap lelah yang mereka berikan untuk mengembangkan senyum anak-anak jalanan. Mereka bertekad untuk menularkan kebahagiaan tanpa tanda titik ini kepada pemuda lain diluar sana. Virus-virus cinta seperti ini tidak sepantasnya dinikmati sendiri. Akan lebih indah jika puluhan pemuda lain memulai kisah-kisah anak jalanan seperti yang telah mereka lakukan. Mengapa begitu ingin menyebarkan kepayahan? Karena setiap payah yang keluar, terkembang senyum lusuh anak jalanan, hingga merekah senyum seharian tanpa beban, hilang semua angan-angan semu tanpa tujuan. Akhir minggu pun tiba. Akumulasi kesenangan mereka jadikan coretan besar pada sebuah kertas. Dengan berbagai tempelan foto dan nama anak-anak yang selalu datang meramaikan. Kertas dan tulisan warna-warni mereka pajang dengan bangga di markas mereka. Bukti kesenangan tanpa batas yang telah mereka rasakan selama seminggu penuh berinteraksi dengan kesusahan. Sore itu, setelah mereka berbicara tentang menyebarkan ide-ide mereka kepada pemuda lain agar mereka merasakan indahnya kesusahan dengan anak-anak jalanan, Rava izin pamit duluan. Ada hal penting yang ingin segera dilakukannya. Tiga yang lain paham saja. Sedari tadi ada secarik kertas biru ditangan yang menuliskan nama lelakinya disana. Tak perlu susah bertanya dan mempersulit keadaan, mereka biarkan Rava pergi, urusi dunianya yang tidak ada yang pernah mengerti. Sudah selama seminggu ini Rava menahan dirinya untuk tidak segera memberikan surat itu pada Reza, karena ia tidak ingin mengacaukan suasana bahagia yang ia bangun bersama teman-temannya. Maka diakhir minggu proyek mereka Rava menemukan saat yang tepat. Semoga waktunya juga tepat untuk bertemu dengan Reza. Entah aku tidak tahu yang keberapa kalinya Rava kembali ke danau. Melepas semua aktivitas menyenangkannya untuk kembali lagi berbagi dengan Reza adhipramana, yang ia selalu rindukan keberadaannya tapi malu mengakuinya. Ia berencana untuk tidak bicara apa apa nanti. Beri surat ini, lalu pergi. Sesal dihatinya tentang masalah kemarin belum tuntas habis pergi dari hatinya. Aku pun tidak tahu hal macam apa yang membuatnya berhenti kecewa. Tidak kau lihat dia begitu mencintaimu, Reza? dalam sesal pun dia berani untuk bertatap denganmu. Memberi sesuatu yang tertahan saat kematian ayahmu. Yang kutahu, isi surat itu bukan sembarang kata kata. Ia melodi untuk namamu, hidupmu. Akankah mereka sempat bertemu? kurasa, tuan pasti lebih tahu.
80
Senja Tak Seindah Dulu Jika akhirnya langit bertemu bulan saat senja, bagi Reza itu kebetulan. Sebab bulan tak datang sepagi itu. Begitu juga dengan Rava yang menemukan Reza di balik pohon tepi danau. Bagi Reza itu juga kebetulan, sebab Rava tak punya waktu seluang itu. Milyaran bintang di langit datang lebih cepat, terburu-buru seiring langkah Rava. Burung camar mainkan lagu rindu. Anak perempuan diburu rindu, kepada lelakinya yang dirundung pilu. Akankah mereka bertemu? Reza menutup bukunya, ia baru saja mencoba menulis. Berharap memang ia punya kekuatan mewakili semesta. Sebentar ia menghela nafas, bayang-bayang wajah Rava muncul lagi di benaknya. Cepat-cepat ia usir. Reza pergi. Rava datang. Maka senja kala itu menjadi lukisan alam yang memilukan. Kali ini Rava tak menangis. Kelenjar air matanya kering kupikir.
81
Titipan Surat Pada Alam Sial. Harus dicari kemana lagi sosok lelaki satu itu. HaRava tidak terbesit satu ide macam apapun. Rava hanya tahu danau, tidak ada yang lain. Reza jarang bercerita tentang dirinya, ia hanya akan bicara saat ditanya saja. Manalah Rava bisa tahu tempat mana lagi ia biasa pergi? Rumah Laras. Disana yang paling mungkin. Tapi kemungkinan itu mendadak berubah bodoh, karena ia tidak tahu apa apa tentang Laras. Rava hanya mengenali wanita itu saat tersentak melihatnya berduaan dengan Reza. tidak lebih dan tidak kurang. Alamat Laras dimana? jangan ditanya, rupa wajahnya bagaimana pun Rava lupa. Dihubunginya ponsel Reza beberapa kali. tetap keluar jawaban sama, perkataan lembut manis operator sialan yang sibuk mengatakan bahwa Reza tidak dapat dihubungi. Rava tidak ambil pusing, ia sedang tidak ingin berlama lama berada di danau itu. Luka menyisa dihatinya membuatnya gerah berdiri lama lama. Diletakkannya saja surat itu di bawah pohon tempat mereka biasa bercengkrama. Ditancapkannya paku ke atas surat. Memastikan ia aman dari segala hujan badai, lalu beranjak pergi. Walau Reza tidak banyak bicara. Rava tau segala hal tentangnya, karena itu ia yakin Reza akan kembali duduk disini. Merakit mimpi mimpi. Reza, semoga tuan membuatmu cepat kembali.
82
Firasat Pengantar Surat Berjalan pelan di jalan yang lengang. Hembusan angin mendorong tubuhnya tak sabar. Lampu jalan terang redup menemani jalan. Bunyi geretan gerbang toko yang tutup sahut menyahut. Reza sengaja berjalan kaki menuju tempat singgahnya. Entah apa alasanya. Di tengah jalan Reza berhenti sebentar. Lalu melangkah lagi, namun ragu-ragu. Baru sebentar ia kembali berjalan, tubuhnya berbalik. Lalu melangkah cepat kembali ke danau. Langkahnya buru-buru seperti kerasukan setan hutan. Sepertinya ia mendapat bisikan alam berupa pesan untuk kembali. Tapi jangan sebut Reza paranormal. Begitulah jika manusia sepenuhnya menghamba pada tuhan, bersujud kepadaNya melupakan semesta, maka semesta alam ini akan bersujud bersamamu, dibelakangmu. Menjadi sekutumu. Sesampainya di danau. Firasat tinggal firasat. Tak ada siapapun di sana. Kodok pun tak ada. Hanya ada bulan yang sepertinya cekikikan melihat pertunjukan serba menggelikan di bawahnya. Tapi sudut mata Reza menangkap ada yang tertancap di bawah pohon. Reza setengah menyesal setengah gelisah. “Sial harusnya aku sabar menunggu. tapi surat apa ini. Apa jangan jangan pernyataan berpisah untuk selamanya?” Ia berbisik sambil buru-buru membuka suratnya. Isinya? Sekali lagi maafkan aku pembaca yang cendikia. Aku hanya penulis bodoh yang ingin memaksa kalian penasaran.
83
Surat Itu, Surat Untukmu. "Untukmu, yang aku yakin bernama Reza adhipramana.. Sejak bersamamu aku ada, dan aku bernama Sia-sia segala usia lalu, macam menyesal karena belum sempat bertatap muka denganmu Sesosok kamu hidup dalam ribuan cerita yang hanya kita mengerti maknanya, Denganmu aku merangkai setiap titik dalam kalimat dan sajak sajak menjadi hidup, menjadi bernyawa, Lalu ia berkoar koar memberi makna Karenamu, yang sekarang kupandang sedang jatuh keujung penantian, aku pergi jauh dari lelahnya pengharapan. Karenamu, yang bertampang perkasa tapi tampak lelah setiap kalimat kalimatnya, aku mengerti bahwa kalimat tidak hanya terdiri dari kata-kata. Aku bukan wanita yang bisa berkata kata manis langsung didepan lelakinya. Tapi dengan tulisan dan kata kata aku sampaikan padamu, Aku selalu ada, bagaimanapun buruknya cerita, untukmu, semoga untuk selamanya. Ravanda Medhira” Sumpah serapah Rava keluarkan saat membacanya kembali saat itu. Malu beribu malu mencuat merah diwajahnya. Maka saat kubilang dia lega tidak jadi memberikannya karena surat ini surat pertama yang bermakna jelas soal hatinya yang belum pernah ia sampaikan pada siapa siapa, meskipun itu sahabat terbaiknya. Rava tidak pernah berani bicara tentang rasa. Selesai lah urusan cinta cinta hari ini, Rava juga sudah sedari tadi pergi. Selesai urusannya satu, ia akan langsung pergi keurusannya yang lain. Kembali ke rumah, disambut tugas tugas tanpa akhir. Hingga habis nyawa meluangkan waktu untuk belajar soal ajal. Di sela-sela kematian ia bernafas, perlahan merakit mimpi dengan senyuman anak jalanan. Begitulah Ravamu Reza. Entah bagaimana lagi hatimu bicara setelahnya.
84
Reza Membangun Kejutan Sudut-sudut bibir Reza terkembang, begitu juga sudut matanya yang mengeluarkan kristal cair bening sebening kain bidadari. Gelisahnya terganti haru. Rasanya ia ingin lari lalu segera memeluk tubuh Rava yang mungil. Ia lega. juga ia puas karena sepertinya ‘takdir’ yang ia tulis menjadi kenyataan. Mungkin besok atau lusa nanti ia akan mulai menjadi penulis takdir. Entahlah. Hanya ia yang bisa putuskan. Itupun jika semesta benar-benar mengizinkan. Reza langsung berlari pulang. Menghentikan akngkutan umum, secepatnya ia ingin tulis semua yang ada di kepalanya. Rencana, ungkapan, puisi, atau apalah semuanya kini memenuhi kepalanya. Surat itu agaknya memberikan kekuatan berlipat kepada Reza. Sesampainya di kamar ia tumpah kan semuanya. Beribu sajak tercipta, cukup hanya pena dan Rava di kepala. Terangakai rencana untuk memberikan penghargaan kepada Rava. Reza mau tak mau mengakui bahwa Rava lah yang membuat semangatnya masih hidup. Keesokannya. Reza sudah bersama puluhan anak-anak kecil. Di tempat Rava dan Temantemannya. Ia berkeringat, bersama tumpukan kayu, dan juga selembar kertas besar bergambar rancangan bangunan. Reza mambangun markas untuk Rava dan teman-temannya.
85
Kejutan Tanpa Tanda Seminggu berlalu sebegitu cepat. Anak jalanan hidup bernafaskan kenangan. Semakin hari kisahnya semakin menakjubkan, yang bergabung bertambah belasan padahal kisahnya belum berjalan sampai sebulan. Rava tercengang dibuat kejutan tanpa tanda dari Reza. Pintar sekali Reza memperbaiki suasana, tidak tanggung tanggung pondokan kecil warna warni hasil karya Reza membuat segala mimpinya tergabung sempurna. Surat itu memulihkan segalanya, senyum lebar terpancar jelas diwajah Rava. Ia tidak salah memilih, dan ia berterimakasih karena terpilih. Pondokan itu nyawa mereka. Tempat kisah kisah dituliskan, takdir tergoreskan, jutaan mimpi tersambungkan. Setiap senja menilik setiap bagian bahagia sekumpulan remaja dewasa yang bersama sama mencari makna dalam mata anak anak jalanan. Selama seminggu lalu berjalan, selama itu putus asa tinggal kenangan, muncul sesuatu abstrak yang sebelumnya tidak dikenal, biasa disebut sebagai harapan. Bacaan bacaan koran makin ditelisik, lagu lagu dan dongeng dongeng makin gemerisik. Mengalun alun drama khayalan tanpa akhir, tuntunan pujangga dongeng mutakhir, Syifa dan lakon terhebatnya, dina. Mereka punya beberapa prajurit sekarang. Beberapa yang siap gila untuk jadikan mimpi jadi nyata. Rava benar benar bahagia isi hatinya. Lama ia tidak merasa ringan tanpa beban, terlalu lama hilang arah tersedot kebodohan hingga lupa bagaimana rasanya pernah lega berbagia. “Terimakasih. Bukan untuk segala usahamu, tapi untuk selalu ada, dan selalu nyata.” bisiknya ditelinga Reza, sesaat sebelum senja pamit dipenghujung minggu.
86
Rendezvous Reza memang tidak pernah menyatakan bahwa ia sudah bergabung dengan kelompok sosial Rava. tapi akhir-akhir ini ia sering mencuri waktu untuk sekedar tersenyum melihat Ravanya disibukkan anak-anak kecil. karena senyum Rava adalah semangatnya. kita semua tau. Di dalam markas baru hasil kerja keras Reza dibantu anak anak jalanan, mereka bersandar. Ku beri tahu kalian tentang bentuk markan ciptaan Reza. besarnya tidak seberapa, hanya ada satu ruangan dan satu teras luas. bentuknya seperti rumah adat betawi, bedanya hanya ada satu ruangan di bagian kanan. bercat biru, pagarnya merah. semuanya full terbuat dari kayu. di bagian bawah dinding terdapat gambar rumput, bunga, dan tanaman lain karya anak jalanan. di bagian atas dinding terdapat gambar awan pesawat dan lain lain juga ciptaan anak jalanan. Sambil menikmat semilir angin yang masuk mereka bersenda gurau. "Seandainya aku bisa melakukan sesuatu" Ucap Reza membuka percakapan saat makan siang bersama Rava. "Kamu sudah melakukan lebih dari cukup Reza, siapa yang bisa membangun tempat ini selain kamu, tukang bangunan" Jawab Rava diikuti ketawa kecil setelah ucapannya. "Hahaha seandainya aku mampu, aku ingin buatkan anak-anak jalananmu rumah masing masing satu" Ucap Reza bersemangat "Apapun bisa kamu lakukan Reza" Balas Rava, seperti sudah mengetahui semuanya. Reza menghentikan makannya. tertegun. Lalu ia lanjutkan lagi, seperti menghiraukan perkataan Rava. Tapi ucapan Rava tadi mengganjal pikirannya. "Rava, kalau ada waktu, aku tunggu petang ini di tempat biasa." Ujar Reza, memegang tangan Rava, pamit, lalu pergi.
87
Hari Minggu Tanpa Jeda Seminggu kisah anak jalanan tertuliskan, nyaris tanpa keluh kesah, justru didukung rasa percaya yang semakin bertambah tambah. Maka pagi hari itu, secarik kertas Rava tarik untuk rencana rencana gila dari kepala pasukan terhebatnya. Kisah minggu berikutnya harus direncanakan lebih hebat, lebih menakjubkan. Jutaan kata terlontar, membuat warna warna baru untuk kisah mereka minggu depan. "Berpura pura berperang dengan dinosaurus!" Seru satu diantara yang lain. “Menggali fosil di gunung merapi!” Seru satu orang sinting, entah suara dari mana, diantara yang lain. “Menulis sastra! Membaca puisi!” Seru dua orang pujangga, diantara yang lain. “Mengajar cara mencari uang!” Seru satu orang jenius cerdas pintar membahana, diantara yang lain. Rava tidak ada kata membantah, tidak ada kata ide buruk atau tidak berguna. Ia tuliskan semua dalam warna, merealisasikannya dengan ilustrasi sederhana. Tersusun hari demi hari bersambut senyum ceria anak jalanan, beriring senyum ceria remaja dewasa mengisahkannya. Hari minggu tanpa jeda, ujarnya. Tapi tak mengapa, senja nanti sang pujangga hati akan hadir menyempurnakan hari tanpa jedanya.
88
Mengeluh dan Mengaduh pada Rava Langit jingga menenggelamkan surya di ujung danau. Rumput liar menar-nari digoda angin. Gemerisik daun yang bergesekan menambah semarak suasana senja itu. Inilah tempat biasa yang disebut Reza dan dipahami Rava. Seorang lelaki usia ujung belasan duduk bersandar tubuh pohon di tepi danau. Menunggu kekasihnya yang dinanti di penghujung senja. Angin bertiup agak kencang seperti memberitahu ada yang datang. Gesekan dedaunan menciptakan irama lagu penyambutan tamu agung. Langkah Rava yang tenang diiringi bebunyian alam yang indah. Wanitanya langsung duduk. Kedatangannya sudah diketahui lelakinya. Tanpa ada tatap lelakinya membuka cakap. “Selamat datang kembali” ucapnya sambil tersenyum. "Tidak banyak yang berubah ya, padahal sudah kutinggal seribu tahun. Hehe" seloroh Rava membalas. "Sebenarnya yang banyak berubah itu kamu Rava" "Apa yang berubah? Apakah senja ini akan keruh lagi Reza?" "Bukan bukan, maksudku kamu berubah menjadi sosok yang amat maju dibanding pertama kali kita bertemu hehe" buru buru Reza perbaiki. "Aku tak akan maju jika tidak menemukanmu Reza, boleh dibilang kamu adalah pintu dari semua yang aku lakukan sampai hari ini." "Begitupun aku kepadamu. Tapi bedanya, kamu segera tau apa yang harus kamu lakukan, sedangkan aku tidak." Keluh Reza, cenderung mengadu. Senja itu Reza begitu rapuh. Inilah yang selama ini Reza pendam. Inilah luka yang tersembunyi di lipatan kehidupan Reza yang rapih. Di dalam kerapihannya mengelola rasa ada luka yang tersembunyi. Reza sudah lama kritis. Rava kira Reza sudah sembuh. Kata kata Reza menggantung di ujung senja. Tak mampu lagi aku menceritakannya. Mungkin nona mampu.
89
Bicaralah, Aku Akan Selalu Mendengarkan "Lihat kan aku jadi seperti berdiri tegap sendiri. Berhentilah berpura pura dihadapanku Reza. kamu sedikit sekali berbicara soal masalahmu karena itu aku hanya bisa sibuk menduga duga." Rava langsung menusuk tanpa menyaring kalimat. Reza harus segera disadarkan, harus segera bangkit dan berdiri lebih hebat darinya. "Karena aku bukan yang selalu berbicara tentang masalah masalah kepada orang lain." "Aku bukan orang lain, aku Rava. Jika kamu merasa kamu mengenalku, berceritalah sekarang. Aku tidak ingin pertemuan berikutnya kamu masih seperti ini Reza. Aku tidak akan pernah berdiri tegap tanpamu." Rava mendesak. tergesa gesa. Bukan sok ingin tahu masalah Reza, tapi ia tidak tahan melihatnya terus tersenyum tapi perih dihatinya belum habis habis. Apalah gunanya tuhan mempertemukan mereka berdua jika salah satunya bangkit tapi yang satu justru terseok sakit? Ini bukan hubungan simbiosis parasitisme antara bunga bangkai dan pohon inangnya. Buatlah Reza bicara, tuan. Senja tidak datang selamanya, selagi Rava setia disana, kenapa tidak mencoba bicara?
90
Aku Ini Siapamu?! "Santai sajalah Rava, aku hanya mengeluh kok, bukan ingin mengganggu kejayaaanmu." Ujar Reza sambil tersenyum. Reza sungguh lelaki yang mampu memanipulasi rasa sakit. di depan Rava seminimal mungkin lukanya terlihat. Tapi sayang Rava sudah tau semua lukanya. "Reza setidaknya kamu ceritakan apa yang mengganggumu" kalimat Rava bernada memohon. Tak ingin lagi lelakinya jatuh nestapa. "Lupakan saja Rava, lagi pula tuhan yang akan menuntuku menuju jalanku. Kamu berjalanlah dengan semangat, biarkan aku terseok dibelakangmu, lalu nanti berlari mengejar, berjalan bergandengan, lalu aku terseok lagi, lari lagi, bergandengan lagi dan nanti seterusnya berputas seperti itu. Tenang saja Rava aku sudah terbiasa." PLAKK!!!
91
Tidak Mampu Berkata kata Cerita ini tanpa batas. Marah lalu kembali, rindu lalu ditangisi. Aku tidak berharap kalian menyimak segala cekcok ringan sepasang kekasih kali ini. Wanitanya sudah menangis, kawan. Itu pertanda perang dunia akan segera dimulai. Bahkan wanitanya sudah menampar kekasihnya, kawan. Itu justru puncak cerita kan? Semacam Hiroshima dan Nagasaki yang dibom nuklir Amerika, maka Jepang menyerah. Mereka berpisah. Hidup dengan segala prinsipal negara. Satu teruskan perang, satu habiskan sisa sisa kenangan perang. Ya sudahlah. Tidak akan ada selamanya bersama, selamanya bercengkrama, bukan? Setiap pertemuan manis berakhir perpisahan. Wanita putuskan tali, tapi nanti dia sendiri yang rindu akan kembali. Keputusan disetujui semesta sore itu. Satu keputusan tanpa persetujuan kekasih, bahkan tanpa kalimat kalimat pendukung. Gerakan halus wanita mendorong jauh kekasihnya yang barusan memeluk erat dirinya hingga hilang dalam pelukannya berarti lebih dari sekedar penolakan, bukan? Bagaimana tidak, hal itu merupakan impian semua wanita didunia, dilindungi tanpa diminta. Selama ini kami bercerita.. Semesta seperti tau segalanya kan? Karena semesta dijalankan oleh tuhan yang maha segalanya, berpesan pada manusia lewat tanda tanda yang dibawakan semesta. Maka persetujuan oleh semesta merupakan jawaban dari segala masalah hari itu. Rava sekarang benar benar undur diri. Ekspresi gerakan tubuh berbicara bahasa. Bahasa untuk tidak bertemu, mungkin selamanya. Bahasa berterimakasih, untuk segalanya. Tidak ada suara selamat tinggal, atau maaf, atau suara jenuh, suara penolakan. Yang jelas kudengar disana hanya hening. Sudah kubilang, dia memang berbeda cara berpikirnya, Reza. Tapi untuk masalah jatuh cinta jatuh hati perasaan berbunga bunga, ia tidak ada bedanya dengan anak balita. Kau kecewakan dia sekali. Ia bangkit karena rindu yang menjadi jadi. Kau kecewakan dia dua kali. Dia mati hati. Jatuh habis, seperti kisah cintanya yang pertama. Yang mengacaukan segala isi pribadinya. Yang ia ajarkan kepada dirinya agar berhati hati menjaga hati. Kuceritakan padamu tentang hal itu, nanti nanti. Dan.. Aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya membuatnya kembali, tuan.
92
Sebuah Doa, Tertiup angin, Lalu Sampai Kepada yang Didoakan "Selama kita berjalan beriringan apa pernah kamu yang lebih dulu menggandeng tanganku, lalu mengajak bergegas? Pernahkah kamu terseok untuk seseorang di sampingmu? Kenapa malah sekarang kamu pergi Rava? Rava kenapa setiap kamu menangis langit juga ikut menangis? Kenapa setiap kamu sedih langit langsung diselimuti awan kelabu? Kenapa setiap kamu marah guntur bersaut-sautan? dan Kenapa saat kamu senang mendadak matahari menampakkan diri? Siapa kamu Rava? Benarkah kamu putri Batara Indra penguasa Langit? Benarkah kamu yang diramalkan bapakku yang akan turun mengiringi langkahku? Semoga memang benar kamu orangnya. Rava, kamu berikan padaku secangkir asa yang tak pernah sanggup ku tenggak habis. Sebab setiap mengingatmu, cangkirnya selalu terisi penuh. Mengingatmu saja benar-benar membangkitkan tenagaku. Semoga memang kamu yang diramalkan. Semoga memang Rava orangnya.” Lupakan kejadian senja tadi. Reza sudah duduk di meja belajarnya. Menulis beberapa paragraf di buku warisan bapaknya. Reza tulis kegundahannya. Pada sebuah kamar, lantai dua, jendela lebar terbuka. Tapi tanpa diduga-duga angin begitu kencang menyeruak masuk kedalam kamar, Memporakporandakan benda ringan di dalam kamar. Reza repot memegangi semuanya. Bukunya tak terpegang, selembar tulisannya yang baru ditulisnya terlepas begitu saja. Terbang keluar terombang-ambing angin kencang. Angin begitu kencang menerbangkan kertas. Pada suatu kamar. Jendelanya juga terbuka. Di dalamnya ada tangis. Dengan halus kertas mendarat di sebelahnya.
93
Seratus, Seribu, Sejuta Akumulasi Rasa Kecewa Cih…. Picisan. Siapa pula ini yang sibuk mengagungkan namanya atas segala pertanda pertanda. Mungkin Reza? Bisa jadi… Bukan, ini pasti dia. Siapa lagi yang bahasa pujangganya membuat bergetar hati semua wanita yang membacanya. Membuat mereka sok merasa dituliskan dan diagungkan atas semua bahasa yang tercantum ditulisannya. Siapa lagi kalau bukan Reza. Siapa lagi yang sebegitu beraninya. Sudah keras hatinya, lelah pada janji, lelah dengan puisi. Dia mati tidak peduli, sungguh. Terserah apa kata takdir. Dia benar benar tidak mau ambil pusing. Kertas tadi dilipatnya jadi pesawat, diterbangkannya lagi dari asal muasal dia datang. Rava lanjut hidup, berdiri lagi menuliskan kisah. Sayang, setiap kalimat dari kisah datang, berbulir bulir air mata mengiringi perasaan hilang. Sekarang… Jika kau pemuja kisah cinta Reza dan Rava kau pasti kecewa mengapa Rava begitu bodohnya melepaskan seorang berharga yang membuatnya bangkit hingga junjung namanya. Macam tidak berotak, tidak berhati asal saja sebut kata perpisahan tanpa arti. Sebelum kau memaki, kuceritakan dulu sekelebat masa lalu yang nanti membuatmu mengerti. Nanti. Resap dulu saja kepedihan Rava, dan polemik kisah cintanya dengan sang tuan. Diatas segala mimpinya yang masih mengambang ambang.
94
Awal Kisah Cinta Ravanda yang Didongengkan Sesilap resah. Kesemua wanita bersolek manja dihadapan kekasihnya. Menunggu. Menunggu untuk terpilih rupawan rupawan penebar dusta. Kesemuanya terpampang hina. yang bidadari menunggu untuk dicinta, yang bidadara sok sok kaya hati memilih wanita yang dikira terbaik untuk menemani sepinya. Hancur dunia perlahan lahan akibat dentuman kisah cinta sok beralasan sepasang bidadari bidadara. kau lihat saja banyak yang saling sayang pada tahun tahun pertama, lalu memaki maki pada tahun berikutnya. Itu kisah cinta apa drama komedi? Bisa bisanya bilang saling cinta lalu berikutnya malah berkoar memaki-maki. Tapi tidak kesemua bidadari jelita ikut bergabung lakon romansa komedi. Satu satu ada yang waras ada yang jaga diri. Tetutup rapat cantiknya berselimutkan malu. Cinta hidup begitu agung di hati hati mereka sehingga hanya bidadara tangguh yang sanggup membuka kuncinya. Bersebutlah satu wanita, ditengah raungan cinta sekelilingnya. Kita tahu, Ravanda namanya. Setiap Sore ramai bicara cincin kawin, siang sepi berbisik pernyataan cinta, pagi suram berkabarkan putus asmara. Berputar ulang ditengah kesibukan alam semesta merotasikan bintang, memastikan keindahan neptunus pada mataharinya. Kisah cinta mengalir deras tanpa jeda. Tidak ada jalan pintas untuk menghindar, telinga mata dan hidung ditutup pun kau masih keras mendengarkan cinta mendayu mengalun menggoda. Mengeropos dalam hati Ravanda. Perlahan bidadari itu menyelingkap sedikit selimutnya, penasaran dengan sosok bertitel bidadara. Selama ini dia sibuk dalam dunia khayal, puisi kertas dan tulisan. maka, sesaat setelah selimut terbuka sepergelangan, terpancar kecantikan hingga sepenjuru semesta. Mengumumkan bahwa ada satu hati yang baru saja terbuka. Tidak kesemua bidadara mampu memenuhi cantiknya. Lebih baik berpacar dengan wanita cantik muka tanpa kepala daripada mengenal cantik seribu muka dengan isi kepala sebesar bukit tursina. Malu, takut terbodohi wanita yang biasa dibodohinya dengan ucapan ucapan manis tentang cinta. Lama Ravanda menunggu, tapi tidak ambil pusing tentang siapapun yang belum mau mampir. Suatu hari dipenghujung malam, lelaki kacau bersolek bedak permata hadir. Menjadi awalan penderitaan Ravanda yang tidak terkira kira.
95
Kisah Cinta Ravanda, yang Terdongengkan Bersemi cinta beralaskan rindu dua pasangan sejoli itu merapat menjadi satu. Sepasang bidadari bidadara bersolekkan permata baru teresmikan, mengikut kesetiaan semu yang lainnya. Tidak ada lagi tabir yang malu malu ditutupi Ravanda. Segala perasaan cintanya tumpah ruah dalam kata kata. Segala dunia dan seisinya akan terbaikan, demi bertemu sang kekasih, sang pujaan hati. Memuja diatas tuhan, pemujaan cinta tanpa syarat, terbuai suasana romantis kata kata sayang dan peduli pada bulan bulan pertama. Bualan seorang bidadara yang beruntung mendapatkan bidadari yang buta sama sekali soal cinta. Berbulan berjalan. Berbulan rasa tumpah ruah. Berbulan pula penderitaan yang terabaikan. Kebohongan demi kebohongan, paksaan demi paksaan sengaja dilakukan Ravanda demi sang kekasih, demi bertatap muka dengan pesonanya. Habis terabaikan ayah bunda, habis termakan malu memiliki Ravanda. Otak nya habis termakan hati. Bidadara tidak membawa apa apa kecuali permata, dan kata kata cinta. Maka Rava lupa soal dunia akhirat, lupa soal alasan hidup, dan mulai mengabaikan pertanda pertanda. Ravanda perlahan menelusuk menjadi abu, hilang akalnya seiring tumbuhnya berjuta rasa dihati. Ia tidak pernah sadar perlahan terbakar menjadi abu, hitam kelam tak terasa malu. puing puing cinta tutupi abu, Ravanda bertahan, sang kekasih tidak bisa ditinggalkan. Bulan bulan berikutnya datang. Ravanda kacau tanpa ampun. Hanya kisah cinta yang diagungkannya saja yang bersinar terang. Lainnya habis menjadi arang. Selagi sibuk terbuai pesona kata kata cinta, Ravanda melirik sedkit kebelakang, menyapa dunia akhirat yang lama terabaikan. Tersentak dia sadar, resah hati membuncah buncah. Sudah kutahu dari awal Ravanda diciptakan berbeda. Dasar hatinya terbuat dari beludru surga. Maka sejauh apapun ia akan tersesat diiring cinta, lama lama kuyakin dia bergerak juga mencari arah kembali pulang. Terimakasih tuhan dia tersadar, segala panik terakumulasi menjadi kecewa, malu pernah mengagungkan cinta tanpa isi, tanpa makna. maka sang bidadara, sang terkasih yang diagungkan dilepaskannya. Menimbulkan ribuan tanya bagi orang sekitarnya. Pasangan pasangan lain menyayangkan, mulai berbisik Ravanda sudah gila mengabaikan bidadara jelita dihadapannya. Lama Ravanda tercenung. Ternyata hatinya masih tergantung. hanya saja, ia sedikit sadar, tabir tetaplah tabir. biarkan perasaan itu meluap luap tapi berbataskan tabir, berbataskan akal. sayang, bidadara terlalu bodoh untuk mengerti makna. Ravanda, kekasih yang disayang sayangnya, yang tampak dikasihinya selama berbulan bulan mereka berpasang menebar cinta, tidak ditinggalkan sang bidadara tapi dijaganya saja sementara selagi dia mencari bidadari lain yang lebih bisa dibodohinya, lebih mudah diajaknya bersayang sayang mengobral nama cinta. Dan sang bidadara mendapatkan bidadari yang sudah lama terbuai kata kata cinta. Maka Rava ditinggalkannya. Membekaskan ribuan luka, dalam satu kali pertanda. Ravanda kira bidadaranya mengerti, Ravanda kira bidadaranya kekasih sejati. Namun sekali lagi dengan bodohnya dia berbangga, menyumpahkan bahwa akan menjadi kekasih setia selamanya. Dia kira bidadaranya peduli? entahlah, Ravanda terlalu elok dan terlalu cerdas untuk bidadaranya bisa mengerti. Daripada tertampak bodoh, mau setia sampai mati pun Ravanda, bidadaranya akan tetap menjaga bidadari barunya saja. Lebih mudah diajak menggilakan cinta diatas segalanya.
96
Matilah Ravanda. hilang lagi dunianya atas pemenuhan sumpah setia pada kekasihnya.
97
Akhir Cerita Cinta Ravanda Setahun berlalu, cinta berujung debu. Tangis-tangis beriring sepi, berharap bidadaranya kembali. Siap dibodohi cinta sekali lagi. biarlah ia hina, biarlah habis cahaya sucinya asal sang bidadara kembali kepelukannya. Sumpah setia berganti karma. Hati Rava tidak ada lagi yang sanggup memiliki, sudah diserahkan seutuhnya kepada sang bidadara bodoh yang telah lama lupa hakikat cinta. Hingga bukan menjadi permata, ia malah masih benalu dalam sangkar ayah bundanya. Kacau sekali kehidupannya pada tahun tahun sumpah setia. Hati masih agung cinta masih dijunjung namun dunia akhirat habis tergantung. Bidadaranya bukan sesosok cerdas dan beriman hingga mau mengorbankan dirinya untuk seorang bidadari cantik jelita seperti Ravanda. Ravanda terlalu rumit untuk dimengerti, dia bidadari yang tercipta berbeda. satu diantara sejuta. Siapalah yang tahan berlama lama dengannya? Setahun berlalu, dan Ravanda termaki ayah bunda. Termaki keluarga lama yang ditinggalkannya demi pembelaan sang bidadara. termaki semesta, habis dihina hina. Maka sumpah setia hanyalah omongan sampah masa lalu. semacam teguran semesta membuatnya terbangkit. Ravanda lelah lelah membela hati karena tidak pernah ada jawaban pasti. Maka ia jauh pergi tinggalkan mimpi yang selama ini dibela bela, diagungkan namanya. Ia rela, lalu ia pergi. Demi ayah bundanya, demi kisah cinta yang tidak ada ujungnya. Sayang ia masih berniat pergi beralasankan bidadara, pergi atas nama pengorbanan cinta (katanya). Selama perjalanan, bersambit keberuntungan. Bertemu ia dengan jelita jelita lain yang masih menutup tabir. Iba melihat Ravanda compang camping, maka diajak mereka untuk mampir. Perlahan terbersihkan masa lalu, bermetamorfosis menjadi kupu kupu baru. Bertahun Ravanda terpaku pada jelita, tidak melanjutkan perjalanan mencari penghujung, karena ia sudah menemukan tempat berlindung. Perlahan lahan jelita jelita itu memperbaiki rupanya, menyusun kembali hatinya, mengajaknya bercengkrama hingga kembali isi otaknya kekepala. Sehingga kemudian akhirnya Ravanda berdiri seutuhnya. Dengan kekuatan cinta yang jauh lebih agung, dengan tabir yang lebih rapat, dengan perasaan yang dijaga erat erat. Hatinya, tidak akan ada sembarang lelaki yang bisa menguasainya. Hingga sesosok Reza Adhipramana datang. Lama Ravanda tidak merasakan perasaan membuncah yang bertahun ditinggalkannya. Maka Rava membuka hatinya lagi, untuk Reza, lelaki yang selama ini dicarinya, dikhayal khayal olehnya. Mamun sayang hati yang lebih bercahaya itu ternyata lebih rapuh, tersentuh kecewa sedikit ia jatuh melepuh. Ravanda kembali redup. Dan hanya Reza yang mampu kilaukan kembali cahayanya. Entah bagaimana.
98
Tuan Nona Bercengkrama Nona :Satu satu jadi benalu. Rava tergugu membisu. Seharian cahayanya redup. Dasar kisah cinta sialan, kamu renggut habis semangat Ravaku, yang lelah lelah kubentuk bersusun kata kata. Yang lelah lelah aku bayangkan sempurna pribadinya. Karenamu semua habis tanpa jejak, Ravaku hilang lupa arah pulang. Tuan :Berbulan-bulan lalu ia masih Rezaku. Sebelum bertemu perempuan dengan segudang mimpi yang menolongnya saat hampir mati. Setelah itu ia memiliki Reza. Menguasai Reza. Melumatkan logika lelakinya. Reza bukan lagi Rezaku. Reza sudah menjadi Rezanya. Tapi sebelum malam tadi Reza pulang. Mengadu kepadaku ingin dijadikan lagi Rezaku. Rezaku pulang dalam keadaan rusak. Nona :Tidak perlu disamakan antara aku dan kamu. Sudah kubuat Rava percaya akan kekuatan Rezamu yang agung itu. Semua cerita tertumpah ruah tanpa saringan, tuan. aku bahkan menuntun Rava untuk tidak tertahan menyampaikan pesan. Kubuat Rava percaya, kubuat Rava berkarya, kubuat Rava mencintai Rezamu apa adanya. Bukan salahku jika Rava menanti untuk dijadikan berbeda oleh Rezamu karena ia memperlakukannya seperti guci mahal. Ia berhati hati bersikap, memilih milih kalimat untuk berkata kata. Hanya untuk Rezamu dan selamanya untuk Rezamu. Tapi apa? Kamu jatuhkan dia dengan rasa tidak percaya Reza sang teragung cinta. Habis Ravaku termakan kecewa. Jauhi Ravaku, tak akan kurusak lagi Rezamu. Tuan :Reza memang kuciptakan untuk membangun mimpi menjadi kenyataan. Dengan siapapun ia. Tapi sengaja aku ciptakan ia punya rasa. Agar siapapun nanti sadar Reza juga bisa lemah dan butuh bantuan. Lalu Rava datang. Rezaku bukan lagi Rezaku ketika ia ditemukan Ravamu nona. Terserah mau kamu sebut apa aku. Tapi aku tak sudi mengubur mayat Reza. Jika memang nanti Reza terbangun dari sekaratnya akan kuserahkan lagi kepada Ravamu. Aku ingin ia memperbaiki Rezaku. Nona :Aku bahkan tidak punya lagi kekuatan untuk mengembalikannya kepada Rezamu, tuan. Reza membuatnya jatuh cinta sebegitu dalam, sebegitu hebat, sebegitu agung. Maka lukanya jauh lebih hebat dibandingkan kisah cintanya yang lalu. Maka aku tidak tahu lagi bagaimana agar tangisnya lepas dari rindu, tuan. Kukira ia lirih berbisik untuk menjauhkannya dari kisah cinta yang kita buat. Ternyata ia lirih berbisik perih, meminta Rezanya kembali tapi akibat tertepis rasionalitas pikiran yang dibawanya, maka ia malu berbicara. Tolong aku, ambil hatinya dengan luluhan Rezamu. Jika dia yang membuat luka, jika dia lelaki yang Ravaku pilih, ia pasti punya rencana hebat untuk kembali menjadi milik Ravaku. Kamu bilang Rezamu sekarat? Ravaku bahkan sudah lama mati, tuan. Tuan :Ternyata cinta yang kita ciptakan malah saling menghancurkan nona. Apa harus kita sudahi saja kisah mereka? Yang aku harapkan mereka saling mengokohkan, bukan saling merobohkan. Sengaja aku ciptakan Reza dengan segala imajinasinya dan pasti sengaja kamu ciptakan Rava dengan semangatnya. Mungkin memang seharusnya dari awal jangan kita libatkan cinta. Nona :Baiklah, jika itu maumu. Entah kekuatan macam apa yang membuat Ravaku bisa kembali seperti biasa. Salamku untuk Reza tuan. Salam selamanya. Apa ini .. Kisah kita berakhir? Atau berjalan atas nama masing masing?
99
Tuan :Tunggu. Reza terbangun. Ia menyebut-nyebut nama Rava. Apa yang harus ku lakukan?! Nona :Suruh dia menyebut nama tuhan, wanitanya masih tidur dalam kematian. Tuan :Hey sejak kapan Reza kenal tuhan?! Ku lihat ia malah sedang merapal mantra ajaran nenek moyangnya di depan dupa. Apa ada tanda dari Rava? Nona :Sungguh. Aku berhati hati memilih lelaki untuk Ravaku, tuan. Aku yakin Reza bukan sembarang pemuja dupa dupa Tuan :Apa aku salah menciptakan tokoh? Apa bisa ia berbuat semaunya? Aku tak ingat kapan aku menulis agama Reza. Ah bodohnya tuanmu ini nona. Aku lupa Reza bisa menentukan takdirnya bahkan takdirmu. Apa ada tanda dari Rava? Nona :Tidak. Sudah kubilang berulang kali kata selamanya yang dituliskan Rezamu dikertas itu tidak berarti apa apa. Mungkin karena Reza berdupa dupa. Suruh dia kembali pada tuhan, kujanjikan Rava bicara Tuan :tapi.... jika Reza tidak bisa. Bagai mana bapaknya bisa?! Mengapa aku dipermainkan ceritaku sendiri?! Nona :Yatuhan... Tuan kita terlalu banyak berbicara, ini bukan kisah kita, apalagi kisah cinta kita..... kembali pada Reza Rava? Terakhir kuminta, buat Reza kembali pada tuhan, aku tidak senang mendengar dia berdupa dupa. Tuan :Aku bisa dengan cepat mengubah arah cerita. Tapi kumohon kamu jelaskan kenapa aku seperti dipermainkan ceritaku sendiri nona. Nona :Karena terbawa suasana nonamu tuan. Karena kamu begitu memuja kertas pegangan bapak Rezamu itu. Kamu lupa kamu bercerita denganku, nona yang tidak terpaku pada kertas penentu takdir. Tuan :Karena dengan kertas kertas takdirnya ia bisa menemukan kebebasan nona. Itu yang aku inginkan. Sudah kubuat Reza beriman. Dupa dupa seketika padam. Asap asap terakhir memenuhi kamar. Secercah cahaya tuhan menyentuh pori-pori kulit Reza. Inikah yang namanya taubat? Rezaku siap kukembalikan pada Rava. Tapi apa Rava akan menerimanya? Apa ada tanda dari Rava? Nona :Dia memandangi pondokan Rezamu tanpa henti dari tadi. Sekarang akan kubiarkan Ravaku bicara, asal Rezamu kamu buat tercengang hati wanitanya. Tuan :Semoga Reza mampu.
100
Belum Berakhir Ada tangis pada sebuah ranjang Juga tanya pada sebuah kertas Ada cinta yang katanya panjang Juga tanya untuk rasa yang getas Malam ini keduanya berada pada pertanyaan yang sama. “Masihkah kita bersama?” Padahal jawabannya ada di antara mereka. Sayangnya di tengah-tengah mereka terjulang tembok setinggi amarah setebal kecewa, tapi serapuh rindu. Tertiup lagi kertas sobekan itu. Bukan kembali kepada yang punya. Ia terbang jauh menuju tanah pemakaman. Batu-batu nisan menggigil. Burung-burung gagak bernyanyi lagu-lagu kematian. Kembang kamboja seputih kafan baru. Suatu hari nanti ingin kupetik untuk mengafani diriku. Kertas itu jatuh di depan sebuah nisan. Bertuliskan Revan. Sebuah kertas. Berisi takdir. Jatuh di depan pemilik lamanya. Seperti mengadu. Seperti memohon untuk ditulis lagi. Satu dua takdir. Satu dua kenyataan untuk anaknya. Reza. Terbentur kecerobohan. Menginginkan Rava untuk memahaminya ternyata bukanlah jalan keluar untuk menyelesaikan maslah-masalahnya. Bodohnya mulut Reza terlalu malu mengeluarkan sepatah kesedihan yang mendera jiwanya. Rava. Terbentur tuntutan. Dituntut Reza untuk memahaminya malah membuat dirinya semakin mati rasa. Rava bukan perempuan biasa. Hatinya terkunci rapat. Hanya pencuri hebat yang layak mendapatkannya. Entah apalagi setelah ini. Malam terlalu sunyi untuk tetap terjaga. Reza dan Rava sudah jatuh tertidur. Kelelahan. Seseorang di pemakaman memungut kertas. Dibaca. Ia tersenyum. Lalu berbisik “Kisah kalian belum berakhir”. Serentak dengan itu wajah Rava berangsur-angsur tenang. Hey siapa dia?!
101
Kusebut Ini Kemunculan Terbaik Biar ku lanjutkan cerita ku yang menggantung di gerbang pemakaman. Lelaki itu. Belakangan aku diberi tau nonaku bahwa lelaki itu.. Ah biar nanti alur yang menjelaskan apa adanya. Tanpa melebih-lebihkan. Lelaki itu tersenyum sambil memegang kertas sobekan itu. Lalu ia mengeluarkan sebuah korek api. Dibakar kertas itu. Abunya melayang tertiup angin. Lalu keajaiban terjadi. "Sobekan takdir terbakar sekelebatan Lahir beribu kunang-kunang dari sisa pembakaran Mereka bertemu di alam khayalan Muncul beribu serpihan harapan dan kenangan” Santai lelaki itu bersenandung. Lalu ia melangkah santai keluar area pemakaman. Sebelum sempurna keluar, ia berbalik, mengangguk memberi salam hormat “Selamat beristirahat Revan. Biar aku lanjutkan takdirmu, mengurus anak-anak kita.” Perkenalkan. Satya. penulis takdir. Ayah dari Ravanda medhira. Bagian dari masa lalu Rava yang kelam dan mencekam.
102
Takdir Rava Namanya Satya. Penggores pena takdir selain Revan. Jadi pada hari itu ia sengaja mendatangi pemakaman. Karena ia paham akan segala keajaiban. Ia melihat secarik kertas yang masuk ke kamar anaknya. Ia juga paham kertas yang melayang-layang itu bukan sekedar kertas biasa. Cukup akrab kertas itu dengan ingatannya. Kertas yang dulu digunakan Revan. Sahabatnya. Di depan kamar Rava, Satya mendengar sesenggukan tangis anaknya. Ia jadi enggan mengetuk pintu. Langsung saja ia pergi ke pemakaman itu, karena Satya memang seorang penerjemah tanda-tanda. Dan benar. Satya. Bukan sekedar bapak bagi seorang Rava. Diam-diam ia menentukan arah hidup anaknya. Bersama Revan. Maka dipertemukanlah Reza dan Rava. Sebelum pertemuan itu. Satya juga yang mengarang segalanya. Bahkan pertemuan Rava dengan lelaki yang ternyata meninggalkan Rava begitu saja, juga Satya yang mengarangnya. Dengan tujuan untuk meningkatkan kewaspadaan dan ketajaman Rava dalam memilih pasangan hidupnya, sederhananya agar Rava terarahkan kepada Reza. Ya serumit itu memang membentuk jalan hidup seseorang. kadang memang perlu diciptakan lubang, lalu sengaja kita terjerembab di dalamnya, agar kita tau mana yang harus dihindari. Anak manusia yang malang Hidup di bayangi seorang dalang Apa bedanya dengan wayang
103
Awal Mula Goresan Pena di Kertas Tua Satya berjalan keluar pemakaman. Menunggang angin ia bergegas pergi. Tujuannya rumah Revan. Langit malam berjerawat matang bintang gemintang. Bulan acuhkan bintang-bintang yang sibuk ingin mengalahkan cahayanya. Bulan lebih memilih menyaksikan keajaiban dibawah bumi sana. Penggurat takdir yang masih tersisa di tanahnya mencoba mewariskan tugasnya kepada keturunan mereka. Satya begitu saja masuk ke dalam rumah, Laras hanya melirik sekilas lalu melanjutkan rajutan syalnya. “Kau sudah besar saja Laras putri Manda” Sapa Satya dengan senyum mengembang. "Jangan ganggu aku paman, aku sibuk. tujuanmu datang untuk mencari Reza kan? ia di atas" Laras bercanda sok mengacukan. "Laras sadarkah kamu bahwa seluruh penerus tugas suci ini adalah keturunan-keturunan yang ibunya mati saat ia dilahirkan? dari mulai buyutnya buyutmu sampai sekarang. Makanya aku takut menyatukan Reza dan Rava." "Sialnya paman sudah sepakat dengan bapak. Dan sialnya lagi bapak keburu meninggal sebelum paman mengubah kesepakatannya haha" Seloroh Laras mengabaikan obrolan serius Satya. "Hahahaha sialnya aku tidak bisa mengubah yang satu itu" Ungkap Satya. Tawanya ganjil, seperti menahan sedih. "Memang sudah tabiat bapak selalu bersikeras dalam mewujudkan harapannya kan? akupun mengikhlaskan kepergiannya, makanya aku pergi saat waktunya sudah dekat, sialnya aku tak sampai hati memberitahu Reza, makanya kubiarkan." Jawab Laras malah ikut larut dalam kesedihan. "Sekarang tugas kita adalah menguatkan pijakan Reza dan Rava untuk meneruskan tugas suci ini, setelah itu baru aku bisa menyusul Revan dengan tenang." Obrolan tentang kematian begitu enteng dibicarakan mereka. tak sadar yang dituju turun kebawah. Reza. "Hai paman, ada apa? tak biasanya kemari." Sapa Reza matanya sembab, senyumnya dipaksakan. Reza kenal Satya. tapi tak tau Satya bapaknya Rava. "Ada yang ingin kubicarakan Reza. Ini waktunya" Ujar Satya tandas. Malam itu semuanya terkuak, masa lalu Rava, masa lalunya, sengaja dibuat kelam, agar nanti tak lagi terulang. maka malam itu menjadi cerah segalanya. terjawab semua tanyanya. tergusur segala penasarannya. Rava putri Satya. Satya sahabat bapaknya. jelas sekali pertemuan mereka sudah direncanakan baik-baik oleh semesta. tapi malam itu semuanya malah menjadi serba datar. Tidak menyenangkan. karena tak ada lagi yang bisa ia duga-duga.
104
"Nak, aku hanya bisa mengantar kalian sampai sini. Tentukan takdir kalian sendiri. Jangan terpaku pada keistimewaan kalian yang telah dianugrahkan tuhan. kita semua, manusia, hidup saling beririsan, ada dan tiadanya kamu, aku, bahkan mereka sangat berpengaruh bagi garis takdir yang telah ditentukan. buku ini, kamu simpan. Tadinya penaku ini ingin kuberikan kepada Rava, tapi kurasa Rava yang akan mengajakmu menulis bersama nantinya. Dan selebihnya aku serahkan pada mekanisme alam." Malam itu semakin jelas mengapa ia belum bisa menggurat takdir. penanya di Rava. ia hanya pegang kertasnya. Di sebrang sana Rava semakin dalam masuk kedalam ketenangan batinnya. Tidurnya tenang, nyenyak dan melepas seluruh beban yang telah diberatkan kepadanya. Reza juga semakin matang. Semakin tau apa yang harus ia lakukan. malam ini habis sudah perkara takdir mereka berdua. Jangan tanya lagi cinta atau apa. semuanya sudah jelas malam ini. Reza untuk Rava, Rava untuk Reza. seperti Wisnu yang ditakdirkan untuk Laksmi, dan Laksmi yang diciptakan untuk Wisnu. Semuanya sudah jelas. Oh tuhan maka siapa yang menyatukan mereka? Takdir buatan bapak mereka atau getaran cinta mereka? Pena bergetar di atas meja Kertas melambai tak ditiup Rava sekarat terus memuja Tau cintanya belum redup
105
Setelah Keajaiban Datang, Lalu Apa? Pena dan kertas ditangan, ribuan ide diatas kepala. Tinggal dituliskan saja, Rava akan segera kembali kedekapan. Bahkan tidak hanya untuk mendapatkan wanitanya kembali, segala program sukses diusia muda, menjadi di atas segalanya juga mampu ia lakukan. Sekarang, malam ini. Tanpa peduli apa dampaknya nanti. Ribuan ide tumpah ruah, imajinasi tanpa batas, kesempatan tanpa akhir. Lama kutunggu sampai dia menulis, namun entah apa yang menghalanginya untuk tidak segera menuliskan takdir pertama, kenyataan pertama yang akan dihadapinya diselembaran kertas pemberian Satya. Babak baru hidupnya sekarang tinggal segenggaman, tapi itu tersia-sia karena gelisah masih saja menggerayangi pikirannya, menghalau kenyataan imajinasinya. Reza tidak akan menulis tanpa persetujuan Rava. Ini hidupnya, hidup mereka berdua. Segala yang tergoreskan di kertas ini harus dibuat bersamanya, karena tidak ada yang lebih pasti untuk Reza kecuali keberadaan Rava. Terserahlah bagaimana cerita nanti berjalan, selama Rava dipertahankannya mau itu menjadi mimpi buruk satu negara juga Reza tidak akan peduli. Nah, bukankah lebih baik ia tuliskan saja sekarang “Rava memaafkan Reza untuk segala hal bodoh yang telah dilakukannya.” agar masalah segera selesai, kemudian romansa berjalan damai? tidak, ujarnya padaku. Urusan hatinya dengan Rava tidak akan dikhayalkannya. Tidak akan diimajinasikannya lalu dengan mudah ia tuliskan diatas kertas, menunggu sebentar agar menjadi kenyataan, dan hap! selesai masalah dalam sekali goresan. Rava ini urusan perjuangannya, dan ia akan urus itu dengan tangannya sendiri. Dengan perasaannya yang meluap luap untuk wanitanya, ia abaikan segala keajaiban yang baru saja diberikan untuknya. Semoga Reza mampu.
106
Kepedihan Rava Satya pulang. Maksudku pulang ke surga. Ya. Malam itu juga setelah memberikan catatan terakhir untuk Reza dan menempelkan beberapa pesan di dinding kamar Rava, Satya menggurat takdirnya sendiri. Menyusul Revan, menyongsong keabadian. Kalau malam itu kalian melihat cahaya yang merambat naik ke langit. Maka yang kalian lihat adalah ruh Satya yang naik ke langit, menjelma menjadi bintang. Pedih sekali hidup Rava. belum lama bertengkar hebat dengan Reza, bertemupun belum. Sialnya aku yang kebagian menceritakannya.malam itu nona membuat kesepakatan denganku, sialnya aku ‘yes’. mungkin karena ia tau kelanjutan kisah Rava akan pedih sekali. Malam itu air mata Rava tak keluar, habis terkuras kelenjar air matanya saat senja. Saat tau bapaknya melebur menjadi langit. Ia berjalan, tujuannya danau mereka. danau Reza dan Rava. Malam-malam begini ia berjalan di tengah sepi. Tak peduli ada siapa disana. Kurasa hanya dengan mengingat Reza hatinya akan ramai. Ku harap nona berbaik hati mengajak Reza ke sana.
107
Rezaku, Kini Ravamu. Maaf tuan, tapi aku tidak mengizinkan Reza datang karena ia memiliki ide lebih luar biasa dibanding mampir ke danau. Danau yang selama ini menjadi pendengar setia kisah kisah hidupnya, bukan pilihan utamanya untuk melepas rindu sekarang. maafkan aku yang membuat Rava kembali menunggu. Persilahkan saja dia berteriak pada riak air, lalu meminta maaf pada desau angin. Rezamu sekarang milikku, dan dia tidak kubiarkan mampir hari ini, ataupun esok lusa. Hari itu dicarinya kesempatan, dari segala kemungkinan yang ada. Reza tahu dia menghadapi sebongkah kecewa yang susah dihancurkan walau dengan sekuat tenaga. Maka ia berencana untuk membuat sebuah cerita, yang menjadi keahlian utamanya dan akan dipersembahkannya secara khusus kepada Rava. Sebuah cerita diatas kertas takdir. Sebuah cerita yang melibatkan nama nama orang lain. Sebuah cerita tentang kebahagiaan orang lain. Sebuah dongeng pena dan kertas yang diperankan dunia nyata. Begitulah, Reza beranjak menjadi dalang, terkhusus untuk penonton istimewa pertunjukannya. Dalang untuk kehidupan carut marut disekitarnya. Ravanda Medhira kesayangan satu satunya itu akan dibuatnya tercengang. Akan dibuatnya habis kekaguman berlukiskan pancaran senyum diwajah Rava, yang dirindukan Reza sedari lama. . Maka untuk membuat cerita sempurna, Reza sibuk mencari cari cerita pada ribuan lembaran buku yang sedang dibacanya. Tenggelam dalam fantasi liar imajinasi diluar batas kemampun rasional otaknya. Ia duduk setia patuh dan taat kepada buku buku lama, prosa prosa dan dongeng yang bercerita padanya tanpa suara. Maka sore beranjak malam, Rava kubuat menunggu, tuan. Maafkan aku, tapi Rezamu bukan lagi Rezamu. Dan dia kubuat sibuk dengan buku buku, demi menjawab hati yang sudah lama rindu. Ravaku? kini hanya tuan yang tahu.
108
Bisikan Ibu Mengantarnya Pulang Malam itu danau begitu menyedihkan. Mata yang sembab menatap kosong, tubuh lunglai bersandar begitu saja pada pohon yang biasa disandari Reza. Burung hantu yang tadinya asik bernyanyi, tiba-tiba diam melihat yang punya derita datang. Rezanya tak datang, tertahan goresan kenyataan. diluar kemampuan Rava untuk menjadikannya nyata. Maka semalaman itu ia hanya diam. Menggerutu tak bersuara, mendesis tak berbisik, meronta tak berteriak. Semua hal dirasa didalam hati, meledak didalam hati. Wajahnya datar. Lalu dengan ajaib awan tebal terbuka seperti mempersilahkan cahaya bulan menyapa Rava. Lalu Rava mendengar bisikan. "Rava, ini ibu. kamu memang tak pernah mengenalku, tapi aku tau di sudut hatimu, kamu menyisakan bangku. untukku. angkat dagumu nak. semua tak perlu di sesalkan." Mata Rava terbelalak tak percaya apa yang iihat di depannya. ia merasakan amat nyata. Namun yang ia rasakan sebenarnya hanya ilusi. Sama seperti Reza, bedanya Reza bisa secara sadar memanggil sosok pendahulunya. sementara Rava belum, alam bawah sadarnya yang memanggil sosok ibunya ke dalam pikiran. Tinggi, putih, cantik bercahaya, memakai gaun putih. Wajahnya mirip Rava. Belum selesai Rava kaget, sosok ibunya berbicara lagi "Setiap kamu kehilangan, jangan hitung berapa yang hilang, tapi lihat yang masih tersisa" Di ujung kata sosok ibunya menghilang bagai asap yang terhisap. Rava terbangun. Sebentar tersenyum lalu melangkah pulang.
109
Harga yang Harus Dibayar Seiring Cerita Hingga pagi datang. Reza belum beranjak pulang. Lelah pun tidak, penuh isi kepalanya dengan segala inspirasi kisah yang akan segera diciptakannya. Sekarang, tinggal mencari pemeran utamanya saja. Nantilah, terlalu terburu buru tidak akan mengisahkan apapun dengan baik. Sekarang, istirahat saja dulu ia di tempat terbaik, menenangkan segala cerita, disusun agar terasa lebih nyata. Sandaran pohon, desau angin, riak air danau, alunan musik jazz halus membuat suasana disekitarnya tenang. Terpejam mata Reza, berimajinasi tanpa batas. Hidup dalam dunianya, menikmati penuh waktu sendiri tanpa sibuk berbasa basi. Terpejam hingga terlelap. Hari itu libur, syukurlah tidak ada jadwal penting terlewatkan olehnya. Terpejam hingga bermimpi. Satya dan Revan mampir sekelebat, berbisik nasihat tentang peran besar menjadi dalang. Terpejam hingga berkeringat. Rindu akan sosok ayah dan ketakutan akan tanggung jawab kertas dan pena takdir berkumpul menjadi satu, berbicara lewat tetesan air gugup pada Reza yang masih terpejam, terlelap. Satya dan Revan bicara soal konsekuensi, soal harga yang harus dibayar seiring cerita yang tergoreskan pada kertas takdir. Bukan main main, kebahagiaannya sendiri yang nanti tergantungkan. Terkorbankan. Reza gugup bukan karena ancaman terenggut kebahagiaan, Tapi takut sumber kebahagiaan itu yang justru hilang. Ravanya, Ravanya tidak boleh dikorbankan, untuk apapun, demi siapapun.
110
Hari yang Datar, Tapi Setidaknya Semua Berjalan Baikbaik Saja Rava bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Namun cepat-cepat ia lupakan, penting, tapi tak mendesak. Ia harus melanjutkan hidupnya hari ini. Jadi pagi itu ia mulai dengan senyum yang lebar walaupun sedikit ia paksakan. Bayangan Reza ia simpan, tidak baik memicu kegalauan pagi-pagi. Pagi itu ia menuju tempat biasa ia berkumpul bersama teman-temannya bercengkrama dengan anak-anak jalanan, membantu merka merangkai mimpi, menyibak rasa takut, dan memperkokoh keteguhan hati mereka. Jam makan siang. Rava bersama teman-temannya, harusnya mereka berempat, tapi kurang satu. “Di mana dina?” tanya Rava "Pergi, haji" jawab Syifa asal asalan. "Hahaha entah, dari tadi pagi tak ada kabar" sambung Ahmad "Setelah ini apa kalian ada urusan? Mau ikut ke rumahnya?" Tanya Rava. Lalu sorenya mereka bertiga pergi ke rumah Dina. inisiatif memang selalu jadi pintu kisah selanjutnya. Maka ada Rava di kisah ini. Sebuah rumah, bergaya lama, tak pernah tersentuh ide renovasi, hanya dilakukan perbaikan sana sini. Rava yang mengetuk pintu, yang membuka seorang ibu-ibu berkoyo di dua sisi keningnya “Cari siapa nak?!” aksen sumatera, sedikit membentak, namun penuh kasih "Dina ada tante?" tanya Syifa "Dina belum pulang dari kemarin, tak taulah ia sibuk saja dari kemarin, katanya ada urusan kampus" jawab ibunya Dina. "Kalau begitu kami pamit tante, kalau dina pulang salam dari Rava Syifa dan Ahmad" ujar Syifa. "Ya ya baiklah" jawabnya singkat Mereka pulang. di dalam rumah terdengar cekikikan. Dina ada di dalam, sibuk bersama ibunya di dapur. Dina tau sebentar lagi hari spesial seseorang sahabatnya. Syifa dan Ahmad pun sudah dibriefing masing-masing agar segalanya terlihat biasa saja. Maka hari itu menjadi hari yang datar, tapi setidaknya sudah normal. Entah apa yang dilakukan Reza sekarang, entah apa yang sedang ia rencanakan.
111
Gelegar Untuk Satu Cerita Diatas segala harga yang harus dibayar, Reza tetap akan menulis cerita. Sudah seminggu berlalu sejak dihampiri Satya Revan. dengan segala ancaman ancaman, diatas semua konsekuensi goresan pada kertas takdir, rindunya akan Rava membuatnya tetap tampil sebagai dalang, menelusuk kekehidupan orang lain. Memporak porandakannya, lalu menyusunnya sesuai kehendak hatinya. Masih sore dihari yang sama saat seminggu lalu ia bermimpi. Ditempat biasa, danau abadi. Beberapa baris kalimat terselesaikan, dengan satu pemeran utama. “Kusebut Alfan, lelaki setengah tanggung. Sekelilingnya bernamakan bahagia. sengsara dan serba kurang tidak terdeteksi definisinya. Senyum bukan pilihan, tapi suatu mekanisme otomatis dari keseharian. Suatu waktu keluar dari sarang, berjalan jalan melihat kebahagiaan yang dikiranya semua orang memilikinya, tanpa ragu. Dibukanya pintu gerbang untuk pertama kali, tapi bukan wangi bunga tercium justru belasan pengemis menyambut minta dijunjung. Alfan salah kata.” Maka gelegar semesta mengamuk. Satu manusia terdaftar sebagai penulis cerita, satunya sebagai lakonnya. Disahkan dengan satu hentakan. Tidak ada yang tahu kapan cerita ini nyata. Tidak tahu kapan semesta memulai memerankannya. Yang pasti setelah selesai satu cerita, Reza beranjak, menemui Ravanya. Lama sekali dari terakhir mereka berbicara. Tugasnya sebagai seorang dalang sudah berjalan (semoga lancar). maka sekarang waktunya melakukan tindakan rasional, mengambil kembali hati wanitanya.
112
Dalam Diam Rava Bergumam Langit cerah, awan satu dua patroli di atas sana, panas matahari tak begitu terik. Angin sepoy sepoy bagai hebusan kipas yang diayun dayang dayang surga membelai wajah cantiknya. Ia adalah ratu di kesendiriannya. Di depannya sebuah kertas bertuliskan daftar yang harus ia kejakan, tapi ia tak ada gairah. Sebab hari ini harusnya ia tak sendirian. Apa semuanya lupa ini hari ulang tahunnya? Apa malah semua tak tau? Ia pindah dari tempat duduknya di sebuah taman, langkahnya mengantarkan ia menuju danau. Awan tebal berarak menutupinya dari panas matahari. Sungguh ia benar benar ratu di kesendiriannya. Di tepi danau di bawah pohon ia terlempar lagi ke sebuah kenangan bernama pertemuan pertama. Reza yang hampir mati dan ia yang hampir gila. Tapi semua tayangan itu menguap begitu saja tatkala kesadarannya menjemputnya. Tiba tiba ia teringat akan sebuah pena. Pena yang sering dipakai bapaknya. Satya. Bedanya dengan Reza, Rava sudah tau siapa bapaknya. Tapi sama sama tak tau bahwa siapa yang menggariskan hidupnya. Dimana pena itu sekarang? "Dimana pena yang sering dipakai ayah? Ah paling ikut menjadi langit." Ia tenggelam lagi di dalam sepi. Seakan menunggu seseorang ia sengaja semakin membenamkan dirinya dalam keheningan danau itu. Reza bodohnya kamu!!!
113
Aku Buat Menjadi Pertemuan Pertama Ini dicari malah hilang entah kemana. Hari ini ulang tahun kekasihnya. Reza tidak menyiapkan apa-apa kecuali kata-kata dan sebuah buku kecil. Buku takdir, yang direncanakannya untuk mereka kisahkan berdua. Membuat sebuah dunia tanpa batas khayal. Mengatur pikiran dan tindak-tanduk nama-nama, hanya dengan berbalaskan kalimat-kalimat sederhana. Tulis, tunggu, lalu mereka saksikan bersama kisahnya. Sudah dari lama ia mencari Rava. Kesemua tempat yang mungkin. Baru kali ini hati mereka tidak satu. Satu datang, satu pergi. Tanpa pertemuan, tanpa diberi kesempatan. Mungkin naluri tertutup kecewa, maka semesta tidak membiarkan mereka berbaik hati memperbaiki keadaan. Lalu Reza menyerah. Cukup untuk siang ini. Nanti malam saja mungkin ia mampir kerumah Rava, bila diperkenankan. Atau jika Rava tidak mau membuka pintu nanti, ia teriak teriak bernyanyi selamat ulang tahun saja sampai Rava malu, dikira mengundang pengamen di tengah malam buta oleh tetangga. Maka dia kembali ketepian danau, berniat untuk berteriak penuh penyesalan pada riak danau, mengadu pada desau angin. Sebegitu jauhkah? Hingga dihari ulang tahun Rava pun mereka tidak diberi kesempatan bertemu. Rava dihubungi tidak mau, jangankan membalas, Reza yakin apapun pesan darinya otomatis langsung dihapus atau diabaikan saja oleh Rava. Ternyata aku salah kata. Kali ini semesta mengizinkan. Ravanda Medhira duduk ditepian. Menulis, entah apa. Beberapa buku bertumpuk disampingnya. Kusut habis dibaca. Tanpa perlu lagi bicara, Reza segera ambil posisi ditempatnya biasa. "Hai kamu, Ravanda Medhira, ini senja kita, disini tempat kita. Tempat terbaik untuk mengucapkan selamat ulang tahun, untukmu, yang terlalu pergi jauh dari dekapan."
114
Kadonya? Reza sudah di sebelahnya, kata-kata pembuka menjelma menjadi kata-kata yang amat manis membelai rongga telinga. Menyibak resah hati rava. Tapi rava diam saja. Tenang Reza, rava diam bukan karena ia masih marah, tapi ia hanya sedang menahan degup jantung yang berdegup cecpat tidak karuan, ritmenya tidak teratur, iramanya acak pelan-cepat cepat-pelan. Konser di dalam tubuhnya dipersembahkan untuk menyambut kembalinya rasa yang telah lama pergi. Kini rindunya berhasil diusir jauh-jauh. "Eh? Apa... kabar.. Reza?" Ia berhasil mengeluarkan kalimat, namun terbata-bata. "Aku baik nona, kamu yang kelihatan tidak baik, mau kuantar ke dokter? Hehe" Jawab Reza santai, berusaha mencairkan suasana. Sayangnya rava hanya tersenyum, Reza masih menatapnya, sepertinya Reza mengharapkan kata-kata keluar dari mulut rava. "Oh iya, maaf aku tidak membawamu ke restoran mewah, menyalakan lilin, lantas mengeluarkan kado kecil barisi hadiah idaman. Aku tidak sebegitu paham tentang sesuatu yang banyak orang-orang sebut romantis," Reza mencoba memecah kebekuan lagi. Tapi yang tercipta lagi lagi hanya senyum. Reza kukuh menatap bibir rava yang ia harap membuka lantas mengeluarkan kata. Keringat dingin Reza meluncur cepat. hatinya dirundung kecemasan, takut-takut rava masih menyimpan rasa kesal padanya, rasa bersalah memang masih ada, tapi untuk apa dipupuk dengan kecemasan, malah nanti akan tumbuh pohon kekecewaan yang begitu kokoh di hatinya. "Tidak, Reza. Kehadiranmu sungguh kado terindahku." Aku lega mendengarnya.
115
Berkisah "Berhari tidak bicara, terakhir yang kuingat kamu memaki-maki tanpa suara. Sekarang justru saat kita bertemu kamu sudah berani bilang bilang cinta? Sepertinya aku harus mengenalmu dari awal lagi," Reza hanya tidak menyangka, sebegitu rindukah? Cih memang sudah sepantasnya dia berbangga. "Terserah padamu sajalah. Tidak suka? Yasudah kutarik kembali kata kataku barusan. Tidak perlu dipikirkan anggap saja aku mengigau." "Apapun itu.. Selamat ulang tahun," diberikannya sekaligus, satu buku kecil dan pena. Tanpa bungkusan. "Hey, bagaimana bisa pena ini ada padamu? Ini kan punya ayah, kamu kenal ayah? Dan siapa ini? Alfan? Kamu memberiku buku bekas?" "Aku ingin berbagi kisah denganmu. Cerita mengapa dan siapa, aku jelaskan nanti" Reza malas berpusing-pusing bicara tentang ambisinya. Nikmati saja dulu sore yang sudah lama tidak hadir. Lebih tepatnya, Rava yang sudah lama tidak hadir. Kalau hari ini berujung pertengkaran lagi, setidaknya dia sudah mengambil momen untuk menikmati. "Kau berjanji padaku untuk menceritakan semuanya nanti. Dan… Soal alfan ini, aku lanjutkan ceritanya ya? Menarik sekali." Rava menulis tanpa basa-basi. "Dan karena itulah, aku memberimu pena dan kertas. Kamu pasti tidak akan tahan membiarkan mereka kosong, kan? Lanjutkan saja, sesukamu."
116
Cerita Pertama "Reza, apa kamu pernah memikirkan perasaan orang yang kamu atur-atur kehidupannya?" Rava tiba-tiba saja bertanya. "Entahlah Rava, ada atau tidaknya orang itu saja aku tidak tau." "Loh? Lalu bagaimana kamu menakdirkannya?" "Aku tidak pernah merasa menakdirkannya, aku hanya seperti sedang menulis cerita. Dulu bapakku juga seperti ini Rava, ia penulis buku laris. Terkenal dimana-mana. Ya sesederhana itu saja." "Sebenarnya aku sudah mengetahui hal ini jauh hari sebelum kita bertemu, tentang ayah yang menentukan takdir.. sebenarnya bukan menentukan takdir, tapi setiap tulisannya menjadi kenyataan. " "Yah sepertinya kita diwariskan kesalahkaprahan Rava. Barangkali memang kita bukan menulis takdir. Tapi hanya menulis cerita yang menjadi kenyataan. Entahlah, atau kita yang salah paham, atau mereka yang salah memberi pemahaman." "Apapun itu, ini cerita pertama kita. Kita buat ini menjadi permulaan yang hebat!!!" Mereka tertawa lepas, kembali menyadari bahwa memang jiwa mereka saling terpaut. Semoga kisah yang ditulis mereka, lebih hebat dari kisah hidup mereka.
117
Diatas Semua Kebahagiaan Semu Maka alfan yang entah dimana tergariskan cerita hidupnya pada sebuah pena, diatas pemikiran Reza dan Rava. Berdua yang menemukan cerita sempurna pada hidupnya. Terimakasih Tuhan menurunkan kedua ayah super hebat sehingga mempertemukan mereka berdua. Reza tidak berani membayangkan jadi sekacau apa dirinya tanpa Rava, diatas segala semangatnya. Diatas semua pemikiran gilanya. Diantara segala kemungkinan, Reza masih berasa kosong. Rava sudah didapatnya kembali. Cahayanya itu sudah aman didekapannya sekarang. Tapi ia sungguh masih belum tahu manuver macam apa yang akan dilakukan untuk merubah hidupnya. Rava sudah tampak senyumnya, senyum benar benar dari hatinya. Pertanda bahwa Rava sudah mendapatkan kembali hidupnya yang lalu-lalu. Reza tidak ingin hidup dalam angan-angan, tidak ingin selalu hidup dalam senyum Rava, kemarin hilang sebentar saja senyum itu dia nyaris mati hatinya, ia tidak ingin terlalu lama mengandai. Harus ada suatu hal yang dikerjakannya, untuk mengisi dirinya yang sudah terlalu lama tidak terpapar tantangan dunia. "Hey kamu, coba berhenti menulis sebentar dan dengarkan aku.." disenggolnya pundak Rava yang sedari tadi hening, sibuk bercengkrama dengan tulisan. “Aku sedang menulis, bodoh. Imajinasi tidak datang dua kali,” Rava merengut tidak senang, diputus jalannya dengan khayalan. Reza tidak peduli, melanjutkan bicaranya, “Kamu, dengan segala ide gilamu itu.. tolong bantu aku. Imajinasi macam apa yang kamu harapkan dari nama Reza adhipramana saat pertama kali kamu mendengarnya?” Jawaban Rava, hanya tuan dengan segala kehebatan berceritanya yang tahu.
118
Kamu Rumit, Ya Sesederhana Itu Senang sekali bisa menjadi saksi kehidupan Reza dan Rava, suasana danau itu sepertinya memang menggambarkan hati mereka. Ini hanya basa basi. Keduanya beradu pandang, yang satu tatapan bertanya, yang satu tatapan heran. Reza memberikan pertanyaan yang menurut Rava mudah di jawab, tapi sulit untuk dikatakan. "Aku.. Aku tidak pernah mengharapkan imajinasi apapun dari sosokmu, tapi saat nama itu masuk ke dalam telingaku, lalu dicerna oleh otak. Lalu muncul kesimpulan, kamu orang yang rumit, ya sesederhana itu," Rava menjawab, walaupun ia agak bingung dengan pertanyaan Reza. "Rumit.. Maaf selama ini aku membuatmu susah nona," Reza murung, aku mulai membenci hubungan mereka berdua di saat seperti ini. Diciptakan rumit bukan sebuah hal yang menakutkan Reza, tuhan menciptakanmu begitu karena tuhan telah terlanjur menciptakan orang yang dapat mengerti dirimu, sebuah kehormatan dapat disederhanakan oleh perempuanmu. Reza kamu sungguh beruntung. "Santai saja Reza, hehe. Sekarang boleh aku lanjut menulis?" Ucap Rava smbil menepuknepuk punggung Reza dan tersenyum selebar-lebarnya. Aku tergelitik melihat tingkah mereka.
119
Rumit? Deskripsi Macam Apa Itu? Rumit? Apa terlalu banyak ia berpikir hingga seorang terdekatnya nampaknya masih belum mampu menyederhanakan dirinya dalam bahasa? Ravanda mungkin tidak peduli apa yang dikatakannya barusan karena ia sibuk dengan dunia khayalnya, tapi benar hal ini mengusik Reza. Memaknai betul ucapan Ravanda terhadapnya. sebegitu sederhana hingga tidak dapat dimengertikah? Reza hilang arah atas deskripsi dirinya sendiri. "Aku butuh kata lebih luas dan dimengerti selain rumit, Ravanda. Ini masalah identitas. bukan pura-pura. Lagipula kamu itu menulis karya ilmiah atau cerpen sebenarnya? Lama sekali.." kekalutannya membuatnya mendesak Rava, berbicara lebih luas dari hanya sebuah kata. "Ya Tuhan, sabar sedikit. Sebentar lagi selesai. Kamu baca, lalu kita bercerita. Terserah mau berapa lama kamu ambil waktuku hari ini, sudah lama kan kita tidak bercerita?" Rava tersenyum, menepuk bahu Reza perlahan, lalu lanjut menulis. Yang dituju tidak lagi berkata. Dipandangnya sebentar wajah Rava yang terdiam menulis. Ekspresi satu diantara sejuta karena tidak semua orang memilikinya. Belum lagi siluet senja menjadi latar belakangnya. Jika ia bisa melukis, ini pemandangan pertama yang timbul dibenaknya untuk diabadikan selamanya. Sembari menunggu Rava menulis, beberapa kenangan lama, mimpi lama, orang orang lama berkelebat memenuhi pikirannya. Hidup di masa lalu merupakan anugrah, melihat masa sekarang yang bertubi-tubi membawa masalah tanpa memberikan arah. Bernostalgia menenangkannya, memuji masa lalu yang sempurna tidak terkira setidaknya, harapan untuk berkaca pada masa lalu masih ada. "Aku sudah selesai menulis, tuan. Bacalah. Setelahnya, segera nanti aku jelaskan mengapa rumit menjadi kata pertamaku atas namamu," begitu kata-kata Rava menutup cerita.
120
Cerita Pertama Mereka Selesai “Alfan, hidupnya diciptakan datar, tugasku membuatnya sedikit naik turun. Suatu hari ia melihat gedung tinggi yang puncaknya tak terlihat dari bawah sebab tertutup awan. Ia masuk ke dalam.Isinya orang sibuk lalu lalang. Ia heran orang orang ini mengapa tidak bisa menikmati hidupnya. Lalu disana ia bertemu dengan gadis yang duduk di belakang meja resepsionis. Ia bertanya gedung apa ini, ia dapat jawabannya lalu suatu hari nanti ia bermimpi untuk duduk di puncaknya sebagai pemilik gedung ini. Semut bermimpi menunggang gajah. Belum mimpinya selesai ia menemukan lagi sekumpulan bocah-bocah berbaju kusam bermain bola plastik yang tak kalah kotor dengan wajah mereka. Ia berpikir mungkin mereka lah orang-orang yang amat menikmati hidupnya. Lalu ia datangi mereka, disogok permen coklat satu dua pertanyaan terjawab. Lalu ia bermimpi lagi untuk membuat anak-anak ini lebih bahagia apapun caranya. Alfan, lulusan pendidikan sarjana di kampus paling top di negrinya. Turun dari angkutan umum, melangkah menuju sebuah ketentraman.” Ceritanya sudah diakhiri dengan titik. "Reza kamu lihat orang yang berjalan di sana? Itu yang aku tuliskan ceritanya," ujar Rava sambil menunjuk orang yang turun dari angkutan umum yang berada jauh di belakang mereka. Reza heran, beberapa saat menunggu orang itu mendekat, saat sudah dekat Reza bangun lalu nekat berkenalan. “Reza.” “Alfan.” Reza terperanjat. Rava benar-benar menuliskan kenyataan. Orang itu pergi sambil geleng-geleng tak mengerti. Reza masih belum percaya. Rava benar benar melakukannya. Berjuta rencana langsung tersusun di kepalanya. "Lupakan pertanyaanku, sekarang kita lanjutkan menulis!" Tandas perintah Reza.
121
Apa Lagi? "Rencana macam apa…. Semakin dipaksakan semakin ceritamu itu tenggelam. Berbatas khayalan saja. biarkan saja mengalir. Aku yakin nanti lama juga jadi nyata," Rava mencibir sedikit, lalu tertawa. "Hey, berarti sebelumnya kamu pernah tahu tentang kertas kertas suratan takdir? Aku saja tercengang. Kamu seperti sudah terbiasa dengan kebetulan. Ini bahkan ceritamu belum sampai semenit kamu selesaikan, dan kamu sudah bisa menunjuk siapa pemilik ceritanya?" "Pemilik ceritanya tetap kamu dan aku. Kita, Reza. Mereka hanya memerankannya saja. giliranmu Bercerita sekarang. Bawa saja bukunya pulang. Aku ingin mengurus beberapa hal lain." Rava pamit, segera pergi, "Dan… terimakasih hadiahnya, yah walaupun akhirnya dikembalikan lagi padamu. Sudah lama tidak melihat buku itu hingga aku lupa bentuknya. Rindu sekali. Yah.. Apapun itu.. Selamat bersenang senang." "Hey, kenapa sering sekali menyimpan rahasia?!" Reza berteriak, menyampaikan suaranya pada Rava yang berjalan menjauh. "Sampai bertemu besok sore di senja yang sama!" Rava balas berteriak-teriak tidak berniat menjawab pertanyaan Reza. Lagipula kesempatan bercerita masih panjang, masih banyak panel-panel untuk mengisi cerita cerita baru. dan untukmu, kini Ravaku kembali menjadi Ravaku. dan Reza kembali pada tuannya. kembali seperti semula, pada tempat yang seharusnya.
122
Punya Berapa Rupa Kau Reza? Ditinggal rava pergi, kini ia sendiri bersandar pohon besar di pinggir danau. Kesendirian membuatnya segala pikiran negatif begitu mudah masuk ke dalam kepalanya. Dari mulai hanya menduga sampai menyangka. Segala pikiran buruk menyeruak begitu saja seolah mempersilahkan masuk sisi negatifnya memunculkan diri. Gelap menelannya kembali, lumat, begitu dalam ia menyelam. Kesendirian. Sendiri. Teman terbaik adalah sunyi. Musuh terberat adalah diri sendiri. Tak ada pertarungan, tapi ada perdebatan. "Kau bukanlah kau yang sebenarnya!!! Pendusta!!!" Ujar Reza dalam bentuk yang sama, namun lebih gelap, matanya merah, sinis, membuat siapapun yang melihatnya menangis. "Tau apa kau, kau bersembunyi di dalam endapan keterpurukanku, enggan merangkul bahagia," balas Reza, dengan bentuk yang juga tidak berbeda, namun lebih bercahaya. "Reza Reza Reza, di depan rava kau anjing chihuahua yang amat setia dengan majikannya. dibelakangnya? Saat sendiri kau anjing doberman. Buas. caci maki sana sini. Saat bersama yang lain? Anjing lain lagi hahaha berapa rupa wajahmu Reza?" Yang gelap mendebat. Yang terang terdiam. Begitu sulit pertanyaan itu di jawab. Begitu lain Reza bersikap terhadap dunia. Apa harus seperti itu? Entah. Yang ditanya lebih tidak tau dari yang bertanya. Reza, terjebak didalam perdebatan dua sisi hatinya, tak ada pukulan namun rasanya telak menghantam dada. rava, maafkan Rezamu yang bersikap manis hanya didepanmu.
123
Untuknya, Beranikah Kamu Memulai? Urusan sederhana tapi menganggu kesehariannya teramat sangat itu selesai sudah. Reza kembali menjadi cahaya dibola matanya. Bahagia terpancar jelas lagi dari sudut bibirnya. Baiklah. Kini rencananya dan ceritanya bukan lagi tentang anak jalanan karena itu berjalan sesempurna harapan Rava dari awal mula. Proyek anak jalanan sudah sebulan berjalan, dengan tambahan-tambahan pasukan perang yang sukarela menjadikan waktunya senjata untuk melawan segala kebodohan di mata-mata mereka yang haus kasih sayang. . Satu mimpi Rava tercoret sudah. Kini ia mulai beralih ke ide gila berikutnya. Selagi mematangkan proyek anak jalanan, ada satu hal besar lain yang jadi mimpinya dari duludulu. Dan keduanya akan berjalan beriring. Maka Rava tidak ragu memulainya walau proyek pertama masih pada tahap permulaan, justru dijadikannya itu sebagai pintu masuk ide gilanya yang kedua. Maka dihari ulang tahunnya kini ia menyusun lagi beberapa kemungkinan-kemungkinan baru. Kebangkitan baru. Berkutat asyik dengan iringan lagu dan tulisan-tulisan hingga tak sadar senja beralih malam. Tidak berasa sudah begitu lama duduk di pondokan. Sampai tak lama kemudian, saat Rava sedang berberes untuk kembali pulang, datang segerombolan anak kecil dengan pita-pita, meniup terompet berisik sambil memegang kembang api menyala-nyala ditangan mereka. Dibelakangnya tampak tiga orang remaja tanggung dengan topeng superhero membawa kue dengan delapan belas lilin diatasnya. Selamat ulang tahun kata mereka, terimakasih atas segala mimpi yang teraih, lanjut mereka. Rava tersenyum, manis sekali. Terimakasih untuk selalu ada dan menjadikan semuanya nyata jawabnya kemudian. Maka segera setelah acara potong kue dan tiup lilin dengan iringan lagu cempreng anak-anak jalanan, sorak-sorai dongeng syifa menjadi acara selanjutnya. Dina dan anak-anak memerankan dramanya sedang Ahmad sibuk mengabadikan momen yang datang tiba-tiba. Momen untuk segala rasa syukur walau baru sebentar saja berjumpa. Semakin yakin Rava dengan dirinya, mimpinya dan pendukung utamanya. Ucapan selamat ulang tahun kedua yang benar merubah persepsi hidupnya. “Ah, andai Reza ada.. (lagi, Reza..Reza..) ..Akan kuajak dia merasakan euforia menghidupi mimpi. Pasti dia bisa lupa dengan segala risaunya,” ucapnya pada dirinya sendiri. Sempatnya berfikir selagi bersenangsenang. Hey, demi wanitamu yang tidak henti memikirkanmu Reza. Lihatlah, bahagia pun ia sekarang, masih berasa risau hatinya karenamu yang belum dapat merasakan bahagia yang sama. Untuknya, beranikah kamu memulai?
124
Mengakhiri Penderitaan Dari kejauhan, sepasang bola mata cemburu menatap gaduh semarak pesta kecil pondokan di seberang pasang matanya. Sadarkah Rava bahwa yang mencemburui bahagiamu adalah lelakimu sendiri? Reza. Saat pestanya masih ramai Reza pulang. Dengan langkah gontai, begitu sampai ia langsung rebah di lantai. Entahlah, dia seperti lelah sekali. Lelah menghadapi dirinya sendiri yang sulit sekali menggapai bahagia. Saat bahagia sudah di dekapan, rasanya begitu cepat bahagia itu lepas lagi. Ia ditelan sepi. Reza dalam bentuk gelap, bermata merah, berwajah suram muncul lagi. disusul yang lebih terang memesona. “Kau Reza baik, datang selalu belakangan hahahaha,” ejek yang suram. "Begitu banyak ocehmu kawan, sehingga kau lupa cahaya Rava bisa memupus hidupmu saat ini wahai suram," yang terang mengingatkan, seakan percaya bahwa dia sudah di atas angin. BLUBB!!! Tiba tiba Reza dalam bentuk yang sama, namun berwarna gelap kelabu musnah disusul cahaya yang menyeruak relung-relung hatinya. Kini ia dikuasai penuh oleh sesuatu yang kita sebut “harapan hidup”. "Rava bahagia, tapi hanya sebatas di wajah, begitupun kau yang hanya bahagia saat bersama dengan Rava. Kalian sama," hatinya berbisik. Reza tersenyum lalu mengangguk. Lalu danau memang menjadi pelarian terbaik baginya. Ia akan selalu ada di sana. Menanti bahagia datang menghampirinya. Ditengah kesendiriannya, ada yang datang mendekatinya. Langkah kaki yang amat tenang, suara nafas yang menyatu dengan desau angin. Lalu menepuk bahu Reza. "Sudah berapa lama nak?" Mata Reza terbelalak. Belasan amat lama berpisah jauh, kini ia dihadapannya. Tapi yang baru saja datang itu malah membunuhnya. Reza kaget. Ia berteriak. Teriakannya menerbangkan jutaan daun di sekitarnya, langit rubuh, bumi terangkat naik ke langit. Teriakannya membawa dunia menuju suatu masa saat semuanya harus diakhiri. Segalanya meledak dalam satu tusukan di dada Reza. Gunung, laut, daratan, langit meledak semua. yang menusuk malah tersenyum. “Memang sudah saatnya diakhiri Reza. Akulah kau di ratusan warsa setelah ini!!! Penderitaanmu panjang beratus ratus tahun, lebih baik dihentikan dari sekarang!!!” Rava datang, panik melihat wajah Reza kesakitan di pinggir danau. “REZA SADARLAH!!!” Dalam satu teriakan saja Reza langsung membuka matanya, peluh deras mengucur dari lubang lubang kecil kulitnya, dingin. Reza memimpikan masa depan? Entahlah, siapa yang tau.
125
Mimpi Itu Akibat Dari Menulis Tadi, selagi Rava berjalan pulang, ia melewati danau dan dilihatnya Reza tertidur pulas disana. Bahaya sekali malam-malam tidur ditempat terbuka seperti itu. Ditambah lagi Reza tidur mengigau meracau, ekspresi panik menutupi wajah Reza. Rava memanggilnya keras, menepuknya agar bangun dari apapun yang membuatnya gelisah. Tersentak lelaki itu dengan tepukan Rava padahal lembut Rava menepuk bahunya. "Ini sudah jam sembilan malam, Reza. Apa yang kamu lakukan sampai tertidur disini? Pulanglah," ujar Rava kemudian. "Tadi anak anak merayakan ulang tahunmu?" Ucap Reza cepat, diantara sadar dan tidak. "Ya, baru saja. Perayaan kecil kecilan sih. Hey.. Darimana kamu tau? Jangan bilang barusan bermimpi." "Ya.. Aku barusan saja bermimpi," Reza menjawab cepat, kemudian tersadar jika pertanyaan Rava terdengar sedikit janggal. "Hey, justru harusnya aku yang bertanya! bagaimana kamu tahu aku bermimpi tentang kenyataan?" "Alfan kali pertamamu menulis tentang takdir kan?" "Tidak, aku pernah mencoba sebelumnya tapi aku tidak tahu bahwa penamu yang menyatakan segalanya. Lalu? Apa hubungannya dengan mimpi?" "Itu… Semacam.. Akibat yang timbul dari tulisan-tulisanmu. Kamu menulis, lalu entah siapa memberimu mimpi-mimpi tentang kenyataan yang berjalan selagi kamu tidur. Memang seperti itu jalannya, biasakan saja." "Lah, tadi aku sampai bermimpi tentang kematianku sendiri! Apa masa depan juga termasuk didalamnya?" "Mimpi tetaplah bunga tidur, tuan. Dengan segala khayal didalamnya. Kenyataan kadang bercampur dengan segala khayal tanpa batas. Termasuk ketakutanmu sendiri. Ah Reza, ini sudah terlalu larut. Aku pamit dulu ya, besok sore berjumpa seperti biasa. Kamu pulang, jangan lama-lama disini, bahaya." Hening lama. Rava menunggu kata selamat tinggal dan hati-hati dari mulut Reza. Menatap wajahnya lama. "Besok, kamu berhutang padaku untuk memberi tahuku siapa sebenarnya dirimu." Ucap Reza kemudian, diatas seluruh tanda tanya. Rava tersenyum, lalu beranjak pergi. "Dan… Selamat malam Rava, hati hati dijalan." Sempurna. Sekarang Rava pergi tanpa beban.
126
Diterawang Bodoh sekali Reza, tertidur di pinggir danau, mengigau pula. Sialnya rava melihatnya saat ia mengigau dibunuh, seandainya tuhan berikan mimpi lain, bertemu kura-kura ninja barangkali. Tapi nanti dibunuh juga. Lupakan. Reza tertawa kecil. Menertawakan dirinya. Begitu bodoh ia tadi, sebegitu sadar langsung bertanya tanpa aba-aba. Mimpinya membawanya menuju alam pikiran yang membuatnya berjalan begitu jauh menelusuri makna mimpinya. Benarkah apa yang dikatakan rava? Apakah benar akan menjadi kenyataan? Kalaupun iya, pasti tidak sekacau di dalam mimpinya. "Kemana saja Reza? Kenapa lusuh begitu?" Tanya laras menyambutnya di ruang tengah rumah mereka. Yang ditanya cuma menggeleng, langsung naik ke kamarnya. Reza malas membahas kejadian yang tidak mengenakkan itu dengan kakaknya. Reza melanjutkan tidurnya. Sementara di bawah, laras masih merajut syalnya. Lalu ia berhenti. Lalu ia mempertemukan ujung ibu jari dan telunjuk, membuat lingkaran, lalu ditempelkan di matanya, matanya seperti menerawang sesuatu. Lalu ia tertawa cekikikan. "Dasar bodoh, sempat-sempatnya tertidur di pinggir danau, ngigau pula," gumamnya setelah itu. Penerawang? Peramal? Atau hanya rangkaian menebak-nebak? Entahlah. Keluarga mereka memang unik. Maka muncul sebuah kisah masa lalu di benakku, tentang asal-usul laras. Putri mandadari.
127
Mimpi Berikutnya Ingat saat kubilang tentang mimpi kedua Ravanda? Yang dikerjakannya hingga larut dipondokan, sebelum pesta dadakan itu datang? Nah, kuberitahu saja padamu sedikit kata mengenainya. Rava ingin membuat nyata yang selama ini sebenarnya ada tapi semu. Yaitu satu kesatuan kertas kertas berisi tinta pena, terkumpul dalam ribuan ratusan bagian yang terikat jalinan benang rapih dengan beberapa gambar dan warna-warna penarik hati sebagai pelindungnya. Oh iya, dia memiliki bau yang khas, bau yang amat menyenangkan. Setiap kau hirup bau tiap lembarannya, dia seperti morphin yang membuatmu hilang segala rasa luka. Kamu biasa sebut dia buku. Dan dia nyaris berbilang semu. Habis termakan parau dunia yang semakin sendu. Jadi entah apa lagi yang mau dilakukannya sekarang, aku pun belum tahu pasti. Yang pasti buku itu jadi bahan utama, jadi senjata utama untuk realita yang akan dihancurkannya dengan khayalan dan imajinasi dari sekumpulan kata dan bahasa. Kita tunggu saja, semoga kali ini Rava benar mengguncang batas berpikir orang-orang biasa. Hingga mereka sadar dunia tidak hanya berbatas ya dan tidak, sempurna dan hina, hitam dan putih, titik dan koma. Sebegitu percayanya ia akan kekuatan sebuah kertas dan tulisan. Mengapa Rava begitu berani berpegang pada bisu yang hanya berbicara pada dunia khayal? Tulisan tak lebih dari khayalan karena dari awal sesungguhnya kau sibuk berbincang dengan kata per kata. Jika kau benar ingin tahu. Karena sungguh merekalah yang membuat hidup Rava terarah berbeda. Terdefinisikan sempurna walau masih berbilang pemula. Dengan kertas dan tulisan dia dan Reza menjadi ada, dengan kertas dan tulisan dia memburu seluruh ambisi hidupnya. Bahkan dengan kertas dan tulisan ia kehilangan sesosok ayah, Satya, sang imajiner terhebat dalam hidupnya. Jika dalam suatu kertas dan tulisan itu dia kemudian mendapatkan seorang kekasih dan pelajaran berharga dari sosok ayah hingga mimpi yang sudah mulai nampak di pelupuk matanya, mengapa ia harus memendamnya saja sendirian? Jika ini dimanfaatkan dengan baik, justru bukan hanya hidupnya yang hancur lebur saja yang berhasil disusunnya, satu dunia pun akan berani berhadapan dengan matahari. Bertanding, pancaran sinar siapa yang lebih terang. Pancaran cahaya diadu dengan pancaran harapan dan mimpi dari kertas dan tulisan tulisan.
128
Sebenarnya Kita Buta Sekitar dua puluh tahun yang lalu, rotasi bumi berputar lambat, matahari enggan bergerak, bulan tak sabar mendesak, tarik menarik kekuatan alam demi melihat gadis cantik lahir ke dunia. Dari perut istri seorang penulis cerita semesta. Laras sekar melati. Bunga melati yang tegak. Kira-kira begitu. Semua orang yang ada di sekitarnya tersenyum bahagia melihat tangis bayi yang baru lahir. Namun terlalu cepat mereka bahagia, sampai-sampai mereka tak menyadari laras tak kunjung membuka mata. Dua tahun mata laras tak terbuka. Seisi rumah resah. Kisah mata yang enggan terbuka, sebab hidup begitu membuat buta, maka mata yang tertutuplah yang sebenarnya dapat melihat. Revan, Satya. Dua penggurat kehidupan tak sampai hati. Ingin dituliskan mereka sebuah cerita kematian. Tapi sungguh bayi suci itu lahir bukan untuk langsung pergi. Takdir mana lagi yang kalian bengkokkan Satya? Revan? Suatu hari sebuah cahaya merambat masuk lewat jendela yang langsung menghadap ranjang bayi laras. Cahaya bukan cahaya matahari, juga bukan cahaya rembulan. Menyinari matanya yang masih enggan membuka. Mandadari masuk, cahaya seketika hilang. Laras membuka mata. Lalu cekikikan tertawa. Mandadari takjub, ia lihat mata anaknya terbuka sambil tertawa tawa. Mata anaknya tertuju pada bayi yang lebih muda di sebelahnya. Bayi Reza. Entah apa yang ia lihat, tapi ia bahagia sekali. Dewasa sudah bayi itu kini, menyimpan segala berita dari masa lalu dan masa depan. Kebohongan-kebohongan masa lalu, kebenaran-kebenaran masa depan, bukan lagi urusan. Ia hanya ingin hidup tenang, menjaga segala berita rapat-rapat. Ia kuak satu-satu jika memang perlu. Laras sekar melati, tegak di ambang waktu, matanya terletak diantara dua dimensi waktu.
129
Jangan Sampai, Rava Membacanya Ravanda medhira sendiri lahir, nyaris tanpa tanda tanya, nyaris tanpa berita. Ia lahir sebagai anugrah, murni keputusan tuhan tanpa perlu satya lancang menulis apa apa. Tanpa perlu mengintrupsi semua keputusan yang seharusnya (mungkin) bukan menjadi miliknya. Perempuan yang melahirkan Rava, perempuan yang dicintainya pun bukan hasil mengarang bebas, bukan suatu kebetulan yang dikhayalkannya. Perempuan itu datang sebagai anugrah, murni keputusan tuhan tanpa perlu satya lancang menulis apa apa. Dia lahir sebagai cahaya hidupnya, menerangi mimpi mimpinya, memaklumi kegilaannya menulis diatas segala cerita. sayang, tanpa sempat satya bergembira, Tia pergi mendahului segalanya. Berakhir dengan menatap lembut kedua bola mata Satya, dan membuatnya berjanji untuk menjaga Rava sehidup semati. Sesaat Satya merasa terenggut. Rava membuatnya kehilangan perempuan yang dengan usaha keringatnya ditarik hatinya. Tapi cinta mengalahkan dengki, bayi Rava justru meredam tangis pilu ayahnya. Walaupun alasan kehidupannya sudah terenggut habis darinya. Satya belum (dan tidak akan) berhenti menulis. Bahkan mengisahkan sendiri bagaimana berjalannya cerita Rava dimasa depan saat ia masih sebesar genggaman tangan. Konsekuensi terbesarnya adalah sisa kehidupan dirinya berkurang perlahan seiring cerita baru yang dibuatnya, kisah kasih terindah untuk putri tercintanya. Maka kemarin Satya mengakhiri segalanya, mengakhiri hidupnya, tenang dan tanpa perlu alasan. Rava sudah dari kecil dikenalkan dengan garis garis takdir. Rava tahu tapi belum pernah sekalipun lancang mencuri waktu menuliskan sendiri kisah diatasnya. sebegitu ia menghormati sosok ayahnya, sebagai sahabatnya. Maka batas batas kehormatan antara ayah dan anak itu tergaris jelas. Rava tidak pernah berani bertanya, kecuali jika ayahnya mengajaknya bicara. Dari ayahnya Rava mengenal usaha. Dari ayahnya Rava belajar cara mendapatkan apa yang selama ini menjadi miliknya. Rava tidak ingin kisahnya tertulis dengan mudah lalu terjadi begitu saja karena tulisan-tulisan atau karena goresan sederhana pikiran yang berkhayal kemana-mana. Cih.. Dia tidak tahu saja. Hingga habis ratusan halaman Satya buat hanya untuk cerita hidupnya. Jika sampai Rava tahu, habislah. Patah-patah isi hatinya termakan kecewa. Jangan sampai saja, perjuangan ini ia ketahui sebagai bagian dari cerita yang dibuat Satya. Jangan sampai. Aku tidak rela melihat Ravaku menangis karena kecewa meluap luap dari orang terkasihnya.
130
Dia Beri Judul Halaman Ini Dengan Nama Laras Laras bisa melihat. Seisi rumah heran bercampur bahagia. Entah anugrah Tuhan mana lagi yang bisa mereka dustakan. Manda dan Revan saling berpelukan diiringi tawa riang dua bayi mereka. Waktu melesat jauh, berhenti di suatu masa saat Laras berumur lima tahun, Reza berumur empat tahun. Di sebuah meja makan yang riuh suara sendok beradu dengan piring kaca. "Laras habiskan makananmu nak," ujar Revan kepada anak sulungnya. "Ayah, apakah tadinya ikan ini tidak bahagia sehingga ia memutuskan untuk menjadi makanan kita?" Jawab laras dengan tanya. Sekelilingnya terdiam. Apalagi Reza yang tak peduli dengan pertanyaan laras. Buktinya ia mengambil ikan goreng milik kakaknya. "Kalau begitu besok aku tidak mau makan ikan lagi ayah, ku rasa ia terpaksa kita makan karena ia terjebak jaring pak nelayan tadi subuh." Revan bahkan menghentikan makannya demi memikirkan apa yang sebenarnya dipikirkan putrinya. "Laras yang baik, ikan ini sungguh tidak terpaksa nak, malah dengan kerelaan yang amat rela dan kebahagiaan ia sambut jaring nelayan, malah bahkan ikan-ikan ini berebut untuk kita makan. Karena ikan-ikan ini berhutang budi kepada manusia yang tetap menjaga kelestarian laut mereka. Jadi lanjutkan makanmu nak," Mandadari menjelaskan, dengan intonasi penuh kelembutan, ia menanamkan pengertian itu dengan amat lembut di hati anak-anaknya. "Tapi bu wajah ikannya tidak tersenyum, bagaimana Laras bisa percaya?" Laras mendebat. Revan tersedak. Reza bahkan tertawa. "Lagian mana ada ikan yang tersenyum, kakak ini ada ada saja." "Ibu aku melihat bagaimana ikan-ikan itu mati kehabisan nafas, lalu insang mereka dicabut di pasar ikan.. lalu ibu goreng, lalu kita makan. Aku tak tega melihatnya. Besok-besok aku tidak mau makan ikan. Aku tidak mau makan makhluk hidup. Aku ingin makan tumbuhan saja." Perkataan Laras malam itu serius. Sampai seterusnya Laras tidak pernah makan daging dan telur. Tapi yang mengendap di kepala Manda dan Revan adalah perkataan Laras yang dapat melihat ikan itu terjaring, mati, lalu sampai ke meja makan. Pikiran terganjal sebuah tanya. Apakah Laras bisa menerawang jauh mendobrak batas ruang dan waktu? Revan teringat buku takdir yang ia titipkan kepada Satya. Di sebuah kamar seorang lelaki bertubuh tegap memangku anak perempuannya yang tertidur di pangkuannya. Sambil menulis-nulis sesuatu.
131
Sambil menyeringai ia berkata, "Maafkan kelancanganku mengatur hidup anakmu Revan." Dialah Satya, teman lama Revan yang sempat hilang setelah ditinggal mati istrinya. Saat itu ia mendengar kesedihan dari rumah sahabatnya. Tentang kabar mata yang enggan terbuka. Lalu setelah dua tahun menunggu purnama yang bulat sempurna, Satya menuliskan keajaiban, meneroboskan cahaya surga mengatas namakan cahaya bulan. Mata laras terbuka, kini ia dapat melihat. Masa kini, lalu, dan nanti. "Jika memang ini ulah Satya, apa ini pertanda aku dan Satya akan menulis bersama lagi, Manda?" Tanya Revan kepada istrinya. "Mungkin ini pertanda ia akan kembali," jawab Manda pelan.
132
Tentang Segala Rahasia Maka itulah segala hal yang dijelaskan Rava pada sore pertemuan mereka hari itu. Segala kemungkinan yang ia tahu dari seorang satya dan segala keajaiban yang dimilikinya. Kekagumannya pada ayahnya tidak dapat disembunyikan mata berbinarnya. Reza manggutmanggut paham. ternyata memang sudah sedari awal mereka tiada ampun berperan menjadi dalang, pikir Reza. Tapi mengapa Rava sebegitu hebatnya bermimpi dan berjuang jika ia tahu bahwa ia hanyalah bagian dari cerita yang sudah bertahun lalu dikarang-karang? Pikirnya kemudian. Mungkin itu rahasia besar Satya Revan. Tidak ada cerita Rava berhak tahu. dia sebegitu indahnya menyusun mimpi, tidak akan kujatuhkan kecewa jika ia ternyata memang tersusun begitu sejak awal mula, Reza kemudian memberi kesimpulan ditengah kicauan Rava menjelaskan. Baiklah, selagi kepura-puraan menyelamatkan situasi, Reza tidak perlu ambil pusing. Maka pertemuan hari itu berakhir dengan dua sisi pemikiran yang berbeda. satu yang lega karena tidak lagi menyimpan rahasia, dan satu yang justru malah menyembunyikan rahasia terbesar kehidupan Ravanda Medhira. Biarlah, biarlah lelah dulu Rava bermimpi. Rahasia akan terbuka juga suatu hari nanti. Biarlah nanti Rava mencari tahu sendiri.
133
Matanya Mari kita kembali lagi ke rumah laras dan Reza. Sepeninggal bapaknya, Laras dan Reza menghidupi diri mereka dari royalti bapaknya yang makin lama makin rintik. Dari buku takdir yang mereka miliki seharusnya mereka bisa membuat mereka kaya, tapi sungguh mekanisme takdir tidak sebegitunya. Laras terlalu siap untuk menghadapi apapun setelah bapak mereka mati, dan untuk itu ia menemani Reza dan Rava yang harus melanjutkan cerita Revan dan Satya. Laras memang diciptakan untuk siap menghadapi segala kemungkinan, maksudku matanya. Rava seharusnya tau. Pintu kamar Reza dibuka Laras, adiknya buru buru menutup sebuah kertas yang sedang ia tulis. “Lupa cara mengetuk?” Tanya adiknya bernada kesal "Hehe maaf tapi ku pikir kamu lapar, ini makan,” ujar laras sambil menyerahkan nasi dengan lauk telur mata sapi. seadanya. "Terimakasih Ibu Peri, boleh aku minta tolong sesuatu? Tolong tutup pintu dari luar." "Kalau butuh bantuan untuk idemu yang makin gila itu, aku siap membantumu anak manja," kata Laras sambil menjulurkan lidah. "Hey! Berhenti mengintip rencanaku mata setan!!!" Jawab Reza marah. Malam itu Reza tenggelam dengan ide-ide gilanya, kejutan-kejutan ajaibnya. Sementara Laras menyelesaikan rajutan syalnya sembari sebentar-sebentar mengintip kelanjutan kisah ini. Aku tak tau apa yang sedang direncanakan Reza, aku memang pembuat ceritanya. Tapi Laras selalu tau lebih dulu kelanjutan ceritanya bahkan kejutan-kejutan setelahnya dibandingkan aku dan nona. Kadang aku kesal.
134
Nyata atau Ilusi? Selesai urusan menjelaskan apa itu segala keajaiban yang diturunkan Satya kepadanya, sekarang berlanjut ke urusan realita. Bergerak di dunia nyata. Reza entah dimana. selesai bercerita semalam dia lebih banyak diam. Sepatah jawaban ya dan tidak menemani satu kisahnya semalaman. Semoga dia tidak terkejut dengan kesempatan dan tidak memanfaatkannya sembarangan. Kau sadar? Sudah lama rasanya tidak mendengar lagi Ahmad, Syifa dan Dina berkicau. Aku terlalu lama tenggelam dalam dunia mimpi hingga kenyataan tak lagi bersebut meski sekali. Sejauh ini, mereka baik baik saja dengan segala kehidupan anak jalanan yang satu persatu menjadi sebuah kebutuhan harian. Semacam automatisasi tubuh selayaknya bernafas, mereka dan beberapa prajurit lainnya selalu menyempatkan diri mampir sepulang kuliah hanya untuk mendengarkan cerita. Membantu membaca sajak a-a-a-a, menghitung barisan perkalian lima, atau datang hanya untuk sekedar membagi suka. Diluar segala kesenangan, makian demi makian menderu setiap mereka merekrut satu anak jalanan baru untuk dihari-hari sulitnya. Ancaman dari berbagai pihak menderu-deru, tapi justru jadi pemacu berani maju tanpa ragu. berkali pihak yang tidak beretika, berotot namun tak berotak mengancam untuk membuat mereka tidak ikut campur terlalu jauh dengan kehidupan miskin mereka. Tapi apalah peduli remaja-remaja penuh semangat itu? Rava telah memilih orang terbaik untuk bertahan pada koridor semestinya, dan benar mereka bertahan. Demi siapapun yang nanti tercerahkan. Sekarang soal buku, soal mimpi nomor dua. tentang bagaimana Rava mampu menjalankannya. Ingat tentang alfan? Nah, selagi tokoh itu nyata diatas kertas dan pena takdir Satya dan selagi Rava bisa mengutak-atik sedikit jalan hidupnya, ia akan memanfaatkan Alfan untuk menyatakan mimpinya. maka suatu hari dia sempatkan diri bertemu dengan Alfan. dirumahnya yang Reza buat megah tanpa cela. Berkenalan, alfan bukannya bingung diajak bercerita seorang perempuan asing. Seperti sudah lama mengenal saja. ia ramah menyambut Rava, macam menyambut teman lama. Tapi yang ia temukan Alfan semu. setiap diajak berbicara panjang tentang kenyataan pikirannya bias. Ucapannya ragu, penuh pertimbangan. Tidak yakin sendiri dengan kata katanya, bahkan tampak takut memberi pernyataan sesederhana ya dan tidak. Macam hidup menunggu cerita. Hey, apa yang terjadi? Rava sebenarnya menceritakan kehidupan seorang manusia.. atau hanya ilusi?
135
Datanglah Siang Nanti Perlukah Reza ditanya apakah ia mengerti masalah takdir ini? Sepenuhnya ia tidak paham betul tentang apa yang sebenarnya ia mainkan dengan rava. Tapi ini bagian dari hidupnya. Awalnya hanya melihat, lalu mencoba, maka terbiasa. "Reza datang lah ke tempat ini siang nanti." Sebuah pesan tertempel di mejanya pagi tadi, ditulis kakaknya sebelum pergi entah kemana. Maka siang itu ia langsung pergi tanpa ada sedikit ragu atau tanya. Sebuah rumah megah yang ia dapati. Detailnya persis seperti yang ia deskripsikan bersama rava di sebuah halaman pada buku takdir yg ia tulis bersama-sama Ia melewati pagar setinggi tiga meter menjulang, dibubuhi cat emas mengilap, berukir inisial empunya rumah A untuk Alfan. Halamannya luas, bermacam bunga dan rerimbunan daun berwarna-warni, garasi berisi mobil mewah di pojok halaman, ini baru tampak depan. Namun langkah Reza terhenti ketika melihat rava dan alfan keluar dari rumah, tampak amat akrab. Otomatis muka Reza berubah kaget tak percaya. Namun Reza takkan pantas menyandang nama Adhipramana yang berarti penguasa jika ia tidak bisa menguasai emosinya. Dengan cepat wajahnya pulih bahkan terlihat amat tenang. Ditariknya nafas dalam-dalam. lalu menyapa. "rava? Kau mengenal dia? Oh iya perkenalkan aku Reza, maaf lancang pagar tidak terkunci," ujar Reza tanpa salam. "Kalau begitu alfan aku pamit dulu," ujar rava kepada alfan. Disusul Reza yang langsung memberi tanda kepada alfan untuk pamit mengejar wanitanya. Alfan mengangguk. Lalu tersenyum. rava berjalan cepat, tak menoleh hingga sampai di tempat mereka biasa bertemu. danau itu lagi. "Hahaha ini lucu rava, kenapa bisa-bisanya laras juga mengintip keberadaanmu." "Hah? Maksudmu? Diintip?" "Eh, kamu belum tau?" "Belum." Langit senja menjadi penutup cerita tentang laras yang diceritakan Reza. Jika sudah diperhatikan begitu sudahkah rava bisa disebut adiknya laras? Ku harap mereka memang bersatu.
136
Kisahnya, Berakhir Bagaimana? "Jadi ada apa dengan laras?" Ujar Rava selagi mereka berjalan pulang. "Dia.. semacam penguntit. pengintip. Dia tahu segala urusanku, urusanmu, urusan semesta alam. Di berbagai dimensi waktu," Reza menjawab, berjalan sedikit lebih cepat agar mereka berjalan beriringan. "Ya Tuhan, memangnya dia diam-diam melihat buku harianmu sampai kamu harus berbicara tentangnya seperti itu?" "Bukan bodoh, aku tidak sedang mengandai. Aku bicara fakta, bukan sastra." "Oh, jadi itu sebabnya kamu tiba tiba datang kerumah alfan? Hebat sekali. Apa laras juga tahu tentang alfan sebagai tokoh cerita kita?" "Aku tidak tahu, dia tidak banyak bicara tentang hal itu. Diajak bicara pun dibuatnya berbelitbelit. tidak tahan aku berbicara panjang dengannya, terlalu banyak keajaiban dan terlalu banyak rahasia." "Ini menarik sekali, kamu tidak sadar? Ajak aku bertemu laras sesekali, Reza. Sepertinya menyenangkan bila sempat berbicara tentang segala hal dengannya." "Kamu, mungkin iya. aku? Bagiku dia bukan tipe orang yang menyenangkan untuk diajak bicara berlama lama. Pusing. Dia membuat hidup menjadi terkaan yang membuatku terus bertanya tentang keajaiban hari esok." "Hebat. Hebat sekali. Apa dia tahu bagaimana kisah kita berakhir?" "Maksudmu Alfan?" "Bukan, kisah kita. Kamu dan aku." Reza terdiam sebentar. berhenti berjalan. Terenyuh dengan pertanyaan ringan Rava. Yang bertanya malah lanjut saja berjalan, asyik bicara sendiri hingga sadar teman bicaranya sudah tertinggal dibelakang. "Ada apa? Pertanyaanku terlalu muluk ya?" Rava tidak bermaksud apa apa. Hanya sekelebat pertanyaan yang dianggapnya penting untuk ditanyakan. Sebegitu kompleksnya hubungan mereka berdua hingga ia penasaran apakah sempat berakhir, atau berubah menjadi untuk selamanya. "Kamu tidak ada agenda apapun untuk hari ini kan? Kurasa laras sudah pulang. mau mampir? Lebih baik kamu bertanya langsung padanya," Reza berujar, berusaha tenang dengan ritme jantung yang tidak beraturan akibat pertanyaan Rava. Entah tersipu, entah takut dengan kemungkinan jawaban. Berujar seiring berjalan kearah Rava yang berhenti didepannya. "Dengan senang hati, Reza," Rava menjawab kemudian tersenyum.
137
Terserah Reza dan Rava Andai Reza keburu kalap saat melihat kejadian tadi. Barangkali undangan ini takkan ada. Dan bahkan perjalanan pulang bersama ini juga takkan ada. Mungkin Laras sudah tau bahwa tidak akan ada pertengkaran siang ini maka ia perintahkan Reza untuk pergi. Entahlah. Reza dan Rava berjalan beriringan, sesekali berpegangan tangan. di jalan mereka bergandengan saat menyebrang gandengannya dilepas, Reza menghadap ke jalan, menghalangi kendaraan-kendaraan lewat, membiarkan Ravanya menyebrang duluan. Unik. Akhirnya mereka sampai di rumah Reza dan Laras. Tanpa salam Reza langsung menegur laras yang asik menonton televisi. “Kau sudah tau semuanya kan? Bahkan sampai aku membuka pintu ini? Rava ingin mendengar masa depan, Laras. Hahahahahaha.” "Lupakan si bodoh itu Rava, silakan duduk, teh atau kopi? Atau sirup?" Ucap laras kepada Rava. "Hmm.. apa saja kak, eh maksudku.." "Santai saja, panggil aku laras juga boleh," potong laras dengan senyuman. Reza sudah berada di kamarnya. laras menyiapkan minuman untuk Rava, dan Rava memandangi sekelilingnya, rumah ini dulu pernah dikunjunginya saat Reza mengalami cobaan berat. "Ini, minumlah. Hanya ada air putih, ya kau taulah pertanyaan minum apa hanyalah basa basi," ujar laras memecah kebekuan. "Terimakasih kak, eh maksudku laras." "Ya jadi bagaimana harimu Rava?" Mereka berbincang panjang, aku malas memperhatikan obrolan wanita. Rava pamit dengan senyuman, barangkali masa depan telah diungkap kepadanya. "Pulang sekarang Rava?" Tanya Reza saat turun menjawab panggilan laras. "Iya, sudah hampir larut," jawabnya. "Oke ayo kuantar, menumpang angin kita kan pulang." "Aku bisa pulang sendiri." "Naik angin?" yang ditanya hanya tertawa kecil
138
"Haha sudah jadi tanggung jawab gentlemen memastikan wanitanya selamat tak tergores sedikitpun sampai tiba di rumah, mari nona." Mungkin di jalan Reza juga akan mengetahui jawaban pertanyaan Rava tadi siang, atau malah Rava merahasiakannya. Apapun itu langit malam ini cerah sekali. Aku mendengar sayup sayup bisikan Rava kepada Reza setibanya di depan pintu rumah Rava. "Soal masa depan kita, mungkin tuhan hanya menulis terserah Reza dan Rava di halaman takdir kita, Reza." Dua senyum terkembang, kekasih dilepas dengan pelukan.
139
Alfan dan Alasan-alasan Hari ini, esok dan beberapa hari setelahnya Rava rutin sekali bermain kerumah alfan. Pelanpelan berbicara dan berdiskusi dengannya tentang mimpi kedua. memanusiakan ilusinya lewat canda tawa. keraguan dan patah-patah katanya soal kenyataan masih nampak jelas selama mereka berbicara berdua. tapi semakin Rava menjelaskan tentang kurang dan hal-hal negatif yang tabu didengarkan oleh alfan, semacam topik tentang kemiskinan dan rasa kecewa, seiringnya alfan tumbuh menjadi individu, diluar tokoh yang selama ini diperankan olehnya. Kau pasti bertanya, mengapa repot-repot Rava harus memulai cerita padahal bisa dengan mudahnya saja ia tulis jalan cerita alfan sesuai dengan apa maunya tanpa perlu repot-repot datang setiap hari kerumah alfan. Sibuk mencari topik cerita, sibuk berkenalan, sibuk menghabiskan waktu tanpa alasan. Kujelaskan padamu, Rava tidak sesederhana itu. Dia bukan si pemanfaat kesempatan, dimana saat di beri kemudahan langsung diraupnya habis-habis tanpa sisa. Ini hidup, tentang hidup, bagaimana menghidupi hidup dari sebuah kesempatan yang ada. Kertas takdir bukan sebuah jalan besar bagi Rava. Sebenarnya akan berjalan mudah saja kan bila ia tuliskan namanya, kesuksesan terbesarnya, mati masuk surga. menuliskan kisah-kisah dongeng indah yang tinggal tunggu saja langsung tersaji sempurna bukannya sulit bagi Rava. Tak perlu lagi repotrepot berjuang menggoreskan luka. Kuulangi, Rava tidak sesederhana itu. Hidupnya bukan dongeng dan bukan sekedar mimpi. Dihabiskannya sisa tenaga sampai ujung penghabisan nafas, sampai lelah, sampai luka tidak tahu lagi dimana menempatkannya. Lagipula, fenomena tentang alfan yang berasa ilusi karena tidak seperti manusia pada awamnya juga membuat Rava penasaran. Kenapa tokoh dari ceritanya seperti gagu dan ragu bertindak. Seperti menunggu perintah. apa dulu satya juga merasakan hal yang sama? Ah, mungkin nanti dia bisa mencari kertas-kertas lama berisi cerita-cerita yang telah satya buat, pikirnya. Siapa tokohnya dan seperti apa jadinya ia sekarang? Gawat tuan. tolong buat Reza menghalangi Rava untuk mencari cerita itu. Dia mulai terpikir tentang cerita-cerita lama. Aku tidak punya kuasa atas semua pikiran Rava. Jika sekali saja ditemukannya cerita-cerita Satya berbicara hidupnya, habislah. Dia tidak akan lagi percaya hingga mati menjemput nyawa.
140
Menemui yang Punya Cerita Di hari-hari yang sama Reza sengaja melewati rumah alfan, karangannya bersama rava. Namun Reza enggan masuk karena ia tahu di dalam ada rava. Soal itu Reza sudah tau kenapa rava sering main ke rumah ini. Untuk memastikan cerita mereka berjalan seperti yang mereka ceritakan. maklum amatir. Tapi siang ini Reza sengaja tidak pulang memutar melewati rumah alfan, bahkan Reza tidak pulang. Ia pergi dulu ke danau. Ia tertarik dengan buku yang dikatakan laras memuat cerita tentang rava yang ditulis oleh satya. Setelah beberapa lembar ia habiskan, rava begitu saja muncul di dalam pikirannya. Reza mengkhawatirkan tentang rava yang terus memastikan cerita mereka menjadi kenyataan. Ah mungkin seseorang tau jalan keluarnya. Lalu kepada alam ia menaruh kesadaran. Terpejam, bersandar pada tegaknya batang pohon. Lalu ia hilang dari kehidupannya. "Gelisah mana lagi yang membawamu kemari anakku?" Ujar seseorang, lalu Reza buru-buru membuka matanya. "Loh, di mana bapakku, satya?" Reza malah bertanya. Ternyata satya. Reza dengan segala kedataran hidupnya siapa yang tau ia bisa memasuki alam ruh. Sebenarnya ini bukan semacam dunia maya tempat bersemayamnya ruh setelah meninggalkan jasad. Bukan. tempat ini putih, bersih, terang. Inilah hati Reza. Di sinilah ia masih bisa menemukan sisa-sisa energi satya, revan, bahkan ibunya yang masih tertinggal di dalam dirinya. "Yang kau tuju aku nak, kegelisahanmu yang mengantarkanmu padaku, aku tak tau dimana ia." "Kalau begitu barangkali memang kau orang yang tepat paman. Aku menangkap keraguraguan rava dalam bercerita. Itu yang membuat rava setiap hari mengunjungi alfan untuk memastikan ceritanya benar. Rava masih tidak percaya. Apa yang harus aku lakukan paman?" "Hmm.. ini juga terjadi saat aku dan revan masih satu tim." satya memulai ceritanya. Taukah kau Reza bahwa bapakmu itu dulunya hanya tukang mimpi? Hari-harinya hanya diisi dengan mengandai-andai, melamun, bahkan sampai mengigau. Aku menemukannya di danau yang sama tempat kau dan rava bertemu. Bedanya aku tidak menyelamatkannya. Aku menyadarkannya. Singkat cerita aku meminjamkan buku itu padanya.
141
Satu cerita tumpah dari imajinasinya, menjelma menjadi seorang wanita pertama yang menjadi istrinya. Ia mencoba menulis cerita cinta picisan rupanya. Lalu benar ceritanya menjadi kenyataan. revan menikahi Manda hasil dari kopi yang menumpahi mejanya kala itu. revan masih tidak percaya, maka gunung ia meletuskan, rezim ia jatuhkan, dan segala kejadian besar di dunia ini dia yang tuliskan. revan selalu memastikan. Aku bosan. Lalu aku mengajaknya menjadi satu tim. Membuat cerita-cerita di dunia ini dengan cara yang menyenangkan, kehendak kami bersatu. Memberi dunia ini warna baru. Taukah kau Reza mengapa di akhir cerita revan ia gagal membuat Sita tetap hidup padahal ia telah tulis Sita tetap hidup di akhir ceritanya? Karena penanya ku tukar dengan pena biasa. Ketahuilah Reza bahwa hanya jika pena dan kertas ini bersatu maka takdir akan menjadi nyata Tapi kau harus waspada jangan sampai ceritamu menyadari sudah kalian gariskan. maka kalian harus hati-hati jangan sampai alfan menyadari. Cerita satya diakhiri setelah Reza mengangguk. "Bagaimana jika rava yang menyadari hidupnya kau gariskan paman? Aku khawatir jika ia berhasil membacanya ia akan marah dan mengkhianati ceritamu." "Robek! Pisahkan ceritanya dari buku itu, simpan di tempat yang hanya kau dan tuhan yang tau!!! Pergilah sekarang!!!" Blubb! satya menjelma bola api lalu hilang. Seketika Reza terlempar lagi ke dunia nyata. Buru-buru ia ambil buku itu saat hendak merobek rava datang. "Hai Reza mengapa seperti buru-buru sekali?"
142
Terhalang Kata Kata "Ah, sudah pulang dari rumah alfan?" Reza segera memasukkan buku itu kedalam tasnya. Cari aman, nanti nanti saja merobeknya. Rava kemudian duduk tanpa curiga. diberikannya segelas air dingin pada Reza. “Iya, baru saja. Dia menyenangkan sekali sekarang. Aku bisa membahas apapun dengannya.” "Apapun?" "Ya, apapun. Dari politik hingga gosip kawin cerai artis. Kita benar memilih orang yang tepat untuk dijadikan tokoh cerita, Reza." Rava menanggapi dengan senyuman ringan. Tidak sadar jika kata katanya barusan berarti lebih dari sekedar basa-basi bagi Reza. "Oh ya," lanjut Rava kemudian "Cerita kelanjutan tentang alfan mana? Sudah selesai kamu tulis? Ada beberapa cerita lama ayah yang ingin aku lihat Reza. Ingin membandingkannya dengan cerita yang kita buat." "Ah itu.." Reza membual. "Belum, itu belum lagi aku selesaikan. Lagipula jika selesai aku tidak membawa bukunya. Besok kuantarkan saja ketempatmu." "Apa saja isi kepalamu itu hingga satu ide pun tidak mampir? Bukannya kamu yang memulai cerita ini dari awal mula?" Ujar Rava hingga naik nada suaranya. “Yah, itu kan hanya awal mula. Tenang, akan aku siapkan cerita hebat untukmu, nona. Segala yang baik itu tidak cepat proses pembuatannya, asal kamu tahu. Jadi berhenti marah-marah dan sabar sedikit." Reza menanggapi kekesalan Rava dengan tenang. Meski detak jantungnya berdebar, kalau-Kalau Rava melirik isi tasnya. Maka habislah ia. Habislah mimpi Rava. Maka Rava berdiri, beranjak pulang. “Ya sudah, aku tunggu saja besok. Tadi aku mampir hanya ingin menanyakan cerita ayah. Aku pulang dulu.” "Aku tidak yakin cerita satya masih ada, Rava. bisa jadi sudah dibuang." tangan Reza menghalangi Rava untuk tidak segera pergi. Dipegangnya sesaat. Dilepasnya kemudian selagi Rava menjawab pernyataannya. "Aku tidak peduli. Bawa saja dulu besok. Dan aku harap kertas kosongnya bisa dipenuhi tulisan jelekmu itu. Alfan sudah menunggu cerita dari lama." Reza mendesah pelan. kesal melihat wanitanya kini sibuk dengan dunianya sendiri tanpa melibatkan dirinya sama sekali. Jadi tempat penampungan untuk bercerita pun tidak. Terserahlah, yang pasti buku ini dan segala kisah sialan yang bisa menjatuhkan Rava harus segera diamankan.
143
Amarah Malam ini terlalu dingin untuk menelanjangkan pikiran. Sekedar melepas lelah seharian. Reza tak mampu. Ia masih berkutat pada masalah Rava yang selalu dilanda ragu, malah bahkan Rava sudah begitu akrab dengan tokoh ceritanya. Cemas bercampur cemburu, tuhan tak pernah salah menakar, sedikit cemas banyak rindunya. manusiawi. apalagi laki-laki. tiba-tiba Reza beringas, mencari halaman cerita Rava, dipisahkannya dari buku itu. ia genggam erat-erat sambil menyalakan korek api di tangan yang satunya. namun pintu kamar Reza langsung terbuka, rupanya laras juga tidak kalah tergesa. “apa yang akan kau lakukan Reza?!” jendela kamarnya langsung terbuka angin kencang masuk memporak-porandakan benda ringan di kamarnya, seketika kertas-kertas yang ada digenggamannya terlepas hilang, terbang bersama angin yang ditakdirkan merampas cerita seorang Rava. Reza sadar. yang barusan ia lakukan adalah sebuah hal konyol yang tidak terkuasai alam sadarnya. "sadarlah Reza, kau terlampau berlebihan." ujar laras menenangkan. lalu laras menengok keadaan buku itu, halaman-halaman cerita tentang alfan berantakan, seperti berkali-kali dibolak-balik. sepertinya Reza sedang memperhitungkan, menimbang kisah apa yang selanjutnya harus terjadi. di kalimat terakhir tertulis. “maka setelah kekayaan yang meimpah tumpah dari surga, alfan kedatangan wanita pendamping hidupnya, pelengkap, penyempurna, namun kelak wanita itu adalah sebuah kata tamat bagi ceritanya.” ditulis dengan amat berantakan dan tergesa. laras hanya tersenyum. lalu berkata. “jangan kau campurkan emosimu dengan ceritamu Reza.” namun cerita sudah tertulis, maka besok pagi alfan akan bertemu dengan wanitanya. Rava akan tersingkir. strategi tradisional yang turun temurun dipraktekkan oleh petani. jika ada hama berbahaya, lepaskan predatornya. Reza tak sadarkan diri, laras memapanya menuju kasurnya, mungkin Rava yang harus mengambil sendiri bukunya.
144
Hingga Merah Merona Pipinya Yang dituju malah berlenggang santai. Tidak tahu soal hal buruk macam apa yang sedang terjadi pada kekasihnya. Justru hari ini adalah hari besarnya yang kedua. peresmian realisasi mimpinya, berdua dengan tokoh yang akhir akhir ini jadi objek risetnya untuk mencari fakta diatas semua kejaiban yang disuguhkan kertas dan pena satya-revan. bukan, bukannya Rava tidak peduli. hanya saja jika ia terobsesi dengan sesuatu, apalagi berkaitan soal mimpi ditambah lagi rasa penasaran yang bertumpuk tumpuk tentang sesuatu ia hanya jadi lupa segala hal yang tidak berkaitan dengan pikirannya saat ini. Dan itulah yang aku tidak suka dari dirinya. Tidak peka, tidak perasa, egois dan seenaknya saja. maka, entah apa yang mungkin tuan lakukan untuk menenangkan Rezanya jika Rava kubuat seperti ini. Hanya ia yang tahu. Jadi sekarang kulihat mereka berdua sekarang menyusun rak-rak warna-warni dihalaman rumah alfan, yang mewah tiada terkira. ditambah kursi kursi dan meja kecil, beberapa lampu hias dan karpet disusun sedemikian menarik untuk membuat siapapun yang melihat datang mampir. Pamflet besar besar dibuka dipintu gerbang. Tulisan “Rumah Buku” terpampang menarik diatasnya dengan gambar-gambar. Kontan saja, tanpa aba-aba setelah pintu gerbang dibuka pertanda semua sudah siap disuguhkan, beberapa orang yang penasaran langsung masuk dan bertanya, hingga mampir sebentar sekedar ingin tahu. Bukan puluhan buku yang membuat mereka berbinar untuk pertama kali, tapi kemegahan rumah alfan benar menyita pandangan mereka. Tapi kemudian melihat Rava begitu bersemangat bercerita, menawarkan berbagai kesenangan dari selembar kertas, beberapa yang datang tidak ragu datang kearahnya, menyerap entah kesenangan macam apa yang ditawarkannya. Oh lalu bagaimana dengan alfan? Kau tahu kan, sudah diceritakan Reza sebelumnya bahwa alfan seputih suci kertas yang tidak kenal tentang pedih dan serba kurang padahal dilingkupi dengan fenomena itu setiap harinya. maka saat dilihatnya berbagai manusia datang dari yang berbau bunga hingga berbau buaya, alfan banyak terdiam. seperti terkaku-kaku, kembali seperti menunggu perintah. Rava yang sedari tadi berbincang dengan kenalan kenalan barunya memerhatikan lewat sudut matanya. Menganalisa. Dan bisa kukatakan hari itu berjalan luar biasa. Belasan orang datang mampir. Tidak terlalu buruk untuk percobaan pertama, bukan? Memang belum semeriah dan seramai yang kukira tapi aku lihat Rava tersenyum senang sekali, hingga merah pipinya menyeimbangi perasaan meluap-luap dari hatinya. alfan manggut-manggut senang saja, wajahnya masih menampakkan semburat ragu, seperti menunggu sesuatu. Ah Reza, andai kamu lihat betapa sumringah wajah Rava sekarang. Aku yakin hilang semua gundah gulana yang kamu punya. hingga kamu tidak akan ragu jatuh cinta untuk yang kedua kalinya pada orang yang sama.
145
Mendekati Titik Penutup Takdir Pertama Karangan Mereka Rumah alfan? Meriah, penuh gegap gempita. Hatinya? Sepi tanpa satupun dekorasi. Rava sepertinya mengabaikan perasaan alfan yang kesepian. Mungkin Rava memang benar-benar mengabaikan dunia. Reza yang terkapar, Alfan yang hidupnya datar. Rava lupa sekitar. Biarkan aku bercerita tentang hidup alfan yang kalian kira datar, sembari menunggu Reza sadar. Alfan. Seorang pemuda yang tadinya biasa-biasa saja. Lebih tertarik dengan dunia kesendirian. Apapun yang penting ia sendirian. Suatu hari ia tersentuh goresan pena Reza dan Rava, maka ia terlibat dengan imajinasiimajinasi liar sepasang tukang cerita itu. Hari-hari yang membosankan berubah seketika menjadi menakjubkan. Warna yang tadinya hanya hitam-putih kini beranak menjadi jutaan nama warna. Tubuh yang tadinya terbiasa melakukan hal-hal yang itu-itu saja kini mulai bisa lelah. Atau baru saja kenal lelah. Sekali waktu ia berjalan sendirian mengabaikan tugas dari bosnya. Sampailah ia di depan sebuah gedung yang tingginya tak terukur mata. Puncaknya tak terlihat sebab terpotong awan. Dengan pakaian yang menempel di tubuhnya ia nekat masuk ke dalam gedung yang isinya orang-orang bergaya parlente, necis, klimis. Royal. Sebut saja gedung itu gedung yang berisi kantor-kantor biasa. Hingga ia sampai di puncaknya. Sebuah kasino. Ekslusif hanya bisa masuk dengan kartu keanggotaan. Entah apa yang membuatnya tanpa ragu mencoba masuk. Tapi sayang ia di halangi petugas. "Hey santai saja bung, dia orangku," tiba tiba ia dirangkul pria bergaya bos mafia di film-film Italia. Singkat cerita ia masuk. Satu dua percakapan mengawali perkenalan alfan dengan seseorang yang bernama, Miguel Di Alvaro. Orang Italia asli, singgah di Indonesia bertahun-tahun. Lihatlah sekarang alfan sudah dibelakangnya memperhatikan cara bermain judi. Matanya jeli lirik sana-sini melihat, mengamati bahkan memperhitungkan kemungkinan dan peluang yang muncul. Siang itu alfan membuat temannya menang. "Ini sedikit recehan untukmu, cobalah bermain." Maka siang itu alfan memilih mejanya, duduk bersama orang-orang bergaya kaya.
146
mulutnya bergerak membantu menyebut angka kartu-kartu yang sudah muncul, otaknya terus bekerja mengingat dan menghitung. Sesekali ia naikkan taruhan, jika ia yakin betul ia akan menang. berkali-kali orang-orang kaya itu dimentahkan alfan, berkali kali alfan berseru allin. Satu dua orang-orang kaya itu pergi, kantungnya sudah kosong, alfan masih disana bersama token-token yang menggunung. Dari siang ke malam, alfan masih di sana, sudah tidak ada yang berani bermain dengannya. Alfan seketika menjadi buah bibir. Anak baru, berpenampilan kampungan, namun otaknya sekelas Rene Descartes. Itu ide Reza kalian tau? Rava? Rava yang mengantarnya ke depan pintu gedung itu. Kini alfan sudah memiliki segala macam harta dunia. Cukup seharian duduk di depan meja judi, beratus juta ia menangkan. Tapi tak satu wanita ia bawa dari sana, padahal ia sendirian. Sampai akhirnya Rava datang, memastikan hidupnya seperti apa yang Rava dan Reza ceritakan. alfan merasa ia membutuhkan teman. dari Rava Reza belajar kebersamaan, berbagi, bertukar pikiran. Hari itu Rava membawa keramaian. Tapi alfan tak pernah merasa ramai. Sampai sore itu di saat rumah buku yang dibuat Rava sudah mau tutup seorang wanita datang. "Sudah mau tutup ya mas?" Tanyanya memecah lamunan alfan. "Eh, sepertinya iya mbak," jawabnya. "Sayang saya telat, oh iya, saya Anggraini," ia memperkenalkan diri "Alfan," jawabnya singkat Setelah perkenalan itu alfan dan Anggraini berbincang panjang, mata mereka menyiratkan ketertarikan. Entahlah maafkan aku yang kurang memahami arti ketertarikan. Tiba-tiba Rava menyela pamit. Meninggalkan alfan yang masih di sana bersama wanita bernama Anggraini. Juga meninggalkan tanya. "Siapa wanita itu? Bagaimana bisa alfan terasa begitu dekat? Apa ceritanya masih di garis yang benar? Reza harus mempertanggungjawabkan ini," ucapnya dalam hati. Angin senja mengiringi langkah Rava yang cepat, firasat menuntunnya menuju rumah Reza, bukan danau mereka.
147
Ada Apa?! Pintu diketuknya beberapa kali. Tidak ada sahutan. Rava memecah hening dengan ketukan ketiganya. Masih tidak ada jawaban. Lalu Rava mencoba membuka pintu, sedikit tersentak mengetahui pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Memanggil nama Reza dan Laras beberapa kali. Namun Rava tetap saja bersahut-sahut sendiri dengan hening. Hingga ia terduduk diruang tamu menuju pilihan terakhir yang paling dibencinya, menunggu. Rava sudah mencoba menghubungi Reza beberapa kali, tapi berakhir tanpa sahutan. Sial sekali ia tidak memiliki apapun yang membuatnya terhubung dengan Laras. Saat berbincang kemarin tidak sedikit pun teringat untuk berjanji bertukar pesan. Setelah sekian lama menunggu Rava mulai bosan. Entah berapa lama sudah ia menunggu tapi yang pasti buku yang dibacanya sudah habis cerita. Tamat dalam sekali duduk menunggu Reza dan Laras pulang. Tidak ada lagi bahan untuk membunuh waktu. Rava resah bukan kepalang. ia berjalan-jalan ke sekeliling rumah, melihat foto-foto lama, tercenung lama pada sosok Reza kecil yang menggemaskan dan penuh tawa. Sampai ia berhenti secara tak sadar pada pintu kamar Reza. Nama Reza Adhipramana tertulis didepannya, pahatan kayu yang dibuat laras hati-hati. Maka Rava tanpa berpikir lebih jauh bahwa ia hanya seorang tamu yang tidak sepantasnya mondar-mandir dan masuk sembarang ruangan membuka pintu itu perlahan. Seperti diperintah saja, padahal Rava tidak pernah seberani itu lancang ingin tahu. Pintu terbuka perlahan-lahan, deritnya bagai musik penantian. Rava sedang membuka lebar keseharian Reza, tingkah tingkahnya saat ia berbicara sendiri dengan kata. Bukan pesona yang pertama kali menyambutnya, justru Rava tersentak kaget saat melihat apa yang sebenarnya menantinya dari berjam-jam lalu. Kurasa tentang apa yang sebenarnya terjadi disana, tuan yang lebih berhak menceritakannya kepadamu.
148
Rasa Bersalah Rava tak berkedip melihat apa yang ada di depan matanya sekarang. Sebuah kesedihan yang nyata kini tampil di hadapannya. Tanpa aba-aba air mata Rava turun. Ia antara percaya dan tidak percaya. Melihat Reza yang kini menderita. Tubuh Reza kurus, kulitnya pucat, bibirnya kering, tatapannya kosong. Padahal di depannya Rava. "Hai," Reza mencoba menyapa dan tersenyum walaupun terlihat begitu menyedihkan. Rava mengambil tempat di sisi ranjang Reza, ia tak mampu berkata-kata. Saat tak ada bahasa yang mampu menyampaikan kesedihan, maka air mata menjadi bahasa universal bagi seluruh makhluk di muka bumi. Rava menangis, air matanya berkata, “Mengapa begini Reza?” "Masihkah Rava adalah obatmu nak?" Bisik seseorang yang ada di benak Reza. Reza mengangguk. Tangan Reza mencoba menunjuk ke arah meja, memerintah Rava mengambil buku mereka. "Ceritanya sudah ku selesaikan," ujar Reza dengan suara yang amat lemah. "Buku itu sudah tidak penting lagi Reza, sebaiknya kamu tidak memikirkannya lagi." Belum selesai Rava bicara tiba tiba dipotong oleh laras. "Sebaiknya kau baca dulu Rava, dia menderita untukmu, untuk mimpi-mimpimu!" Seisi kamar terdiam, Reza ingin protes tapi tak mampu. Rava tak lagi berkilah, langsung diambil buku itu, lalu laras pergi setelah memberikan Reza obat. Dua orang berada di dalam satu ruangan, percakapan mereka terhalang sekat. Sekat bernama rasa bersalah. Reza merasa bersalah karena merasa telah merusak observasi Rava. Rava merasa bersalah karena merasa membuat Reza repot-repot memuluskan mimpinya. Yang penting bagi Reza lembaran cerita Rava sudah tidak ada, walau ia tak tau entah di mana sekarang.
149
Akhirnya Sadarkan Diri Kemudian yang kutahu Rava khidmat membaca tulisan Reza. Dia kira hanya sepatah-patah kata saja, ternyata berlembar-lembar bagian sudah ditulis Reza. Seiring kata ia menahan nafas, berbentur dengan kenyataan kesehariannya selama bersama alfan. Bedanya alfan begitu kaku dituliskan Reza. Malah berasa namanya yang paling banyak diceritakan, begitu erat dengan keseharian, begitu nyata mimpinya dalam genggaman. Rava naik pitam. Saat bagian akhir cerita berkata betapa ia berhasil meraih mimpinya, betapa bahagia hatinya, hingga sampai keberapa jumlah orang yang hadir pada hari peresmian mimpinya. Maka langsung saja tanpa aba-aba ia masuk kembali ke kamar Reza, meminta konfirmasi. Memaksakan penjelasan-penjelasan. "Kamu tidak percaya jika aku bisa melakukannya sendiri? Tanpa perlu keajaiban, Reza? Kamu tidak percaya?" Suaranya meninggi, tapi tetap terlihat sopan duduk disamping Reza yang masih terlihat lemah. Bagaimanapun sayangnya begitu meluap-luap, mana berani ia bentak kesayangannya yang terbaring pucat seperti ini. "Aku percaya, mana pernah aku berani meragukan mimpimu," lemah Reza berujar. Tanpa sedikitpun melirik ke wajah Rava. "Lalu, mengapa harus dituliskan? Biarkan saja aku gagal mati terhina daripada kamu harus menyusun bagaimana jalan hidupku, Reza." "Aku lelah, Rava. Jika kamu datang hanya untuk memojokkanku lagi lebih baik kamu pulang. Aku ingin istirahat. Ajak saja alfan menemanimu berbicara sore ini ya," Reza membalikkan badan, memasang headset untuk melenyapkan suara-suara, memejamkan mata, berusaha tidur. Rava habis kata. Berbendung air matanya. Menyesal atas segala ucapannya yang memberatkan, menuduh tanpa alasan, menyalahkan tanpa ampun. Tapi bukan Rava kalau ia sampai menangis sekarang. Lebih baik ia pergi membiarkan Reza menenangkan diri. Mungkin selama ini ia sibuk sendiri dengan mimpinya, tanpa sedikitpun bertanya apa yang terjadi, apa harapan tertinggi, siapa orang yang paling dikasihi dari kekasihnya. Yah, bagaimanalah. Rava acuh tak acuh nyaris pada segala hal yang tidak dianggapnya penting dalam hidupnya. Dia sudah lama tidak mengenggam tangan kekasih, sudah lama abai pada kisah cinta, hingga ia lupa bagaimana menghargai perasaan dalam kata. "Maafkan aku, Reza," ujarnya didepan pintu kamar. "Akan aku tuliskan beberapa kisah untukmu," ujarnya kemudian. Kata maafnya yang pertama. Semoga kisah berikutnya tidak mendung lagi dengan kesedihan kesedihan yang nampaknya tanpa jeda.
150
Jalan-jalan Sore Rava pergi, Reza sendirian lagi. Baginya tak mengapa. Sebab akhir-akhir ini ia terbiasa sendirian kan? Tapi hatinya tak pernah sendiri. Orang-orang terdekatnya bersemayam di hatinya. Dalam bentuk pesan dan pelajaran yang dulu mereka tanamkan. Laras datang mengajaknya bicara "Kau tidak marah kan?" "Bagaimana aku tidak marah, aku dicampakkan." Reza jawab acuh tak menoleh kepada lawan bicaranya. "Lupakan saja Reza, kadang memang ambisi menutup mata orang orang terhadap sekellingnya." Mereka berdua terdiam. Yang satu tenggelam dalam pikirannya, yang satu memikirkan katakata selanjutnya. "Kupikir Rava sudah sadar, semoga dia memang benar sadar." Yang di ajak bicara masih diam sampai bahkan laras pergipun ia masih diam. "Lupakan saja Rava, baiknya aku cepat-cepat pulih lalu mencari kesibukan lain sehingga bayangan Rava tersingkir," gumam Reza dalam hati. Sorenya ia melangkahkan kaki keluar, dengan jaket mengurung tubuhnya ia berjalan. Mencari udara. Rumah alfan ia lewati, basecamp anak jalanan ia lewati, danaunya ia lewati tak ada yang menarik untuk dihampiri. Rumah alfan kosong, pasti sedang berjudi, atau sedang berkencan dengan perempuannya. Basecamp anak jalanan kosong, hanya ada beberapa anak kecil asik bermain kelereng di depannya. Danaunya juga kosong sebab Rava pasti sedang sibuk dengan dunianya. Reza berjalan menjauhi hal-hal yang berbau Rava. Ia berhenti di sebuah pinggir jalan, di depannya ada anak kecil menjajakan koran. Ia beli satu, karena ia berempati. Tapi matanya tertarik membaca sebuah judul cerpen yang pengarangnya begitu mengejutkan dirinya. 'Hidupku ditakdirkan dalam sebuah cerita karangan manusia.' "Apakah alfan sudah menyadarinya? Atau hanya sebuah kebetulan? Sial aku harus tau penyebabnya, sial aku harus bertemu Rava."
151
Tidak Peduli, Apapun yang Telah Terjadi Terserahlah bila Reza sedang mencari Rava entah untuk yang keberapa kalinya. Aku tidak mau ambil pusing. Setelah semua percakapn itu lewat, setelah permintaan maaf, setelah semua keajaiban, setelah realisasi mimpi aku ingin Rava kembali nyata. Bergaul dengan keseharian biasa, berbincang dengan orang orang menyenangkan yang tidak melulu ambil pusing mengenai masalah hidup. "Jalani saja, setiap masalah sebesar apapun kau pasti menemukan jalan keluarnya," ujar Ahmad pada suatu sore saat mereka sedang berkumpul bersama, saat yang lainnya memuntahkan seluruh keluhan-keluhannya. Selama seminggu penuh, Rava menghindari segala pembicaraan dengan Reza. Rasa bersalahnya begitu meluap-luap dan ia tidak terbiasa meminta maaf. Ia hanya tidak tahu cara bersikap, dan ia pergi jauh menghindari masalah. Itu salah satu sifat Rava yang paling memuakkan kurasa, dan aku tidak memiliki kuasa apapun untuk mengubahnya. Seminggu tanpa Reza bukan masalah besar baginya. Aku lihat dari kilat-kilat matanya yang tiap hari datang ke kampus, berbincang nyaris dengan semua orang. Bertukar pikiran, menyegarkan pagi dengan obrolan ringan. Apapun, topeng setebal apapun, kegiatan semacam apapun akan dilakukannya demi menutupi segudang resah dihatinya. Dan terimakasih banyak atas keresahan namamu, Reza. Kini Rava nampaknya sudah menjalin banyak sekali hubungan baik dengan orang orang yang dulu bahkan tidak ia kenali namanya. Dan, atas nama Rava yang tidak tahu diri. Aku meminta maaf sebesar besarnya padamu. Memang kamu lihat dia seperti sempurna tanpa cacat, nampak jauh dari kesedihan-kesedihan. Tapi aku yakin sebenarnya hatinya porak-poranda. Rava pintar bersandiwara, Reza. Bahkan kamu lebih tahu itu. Bisakah kamu, dan mungkin hanya kamu yang bisa, melembutkan hatinya?
152
Dipertemukan Oleh Hujan Sudah berhari-hari Reza tidak menemui Rava. Ke danau juga tidak. Setelah habis aktivitasnya ia langsung pulang. Menyendiri di kamarnya. Ia sudah memaafkan Rava, dan Rava juga pasti telah memaafkan Reza. Mereka hanya tidak mampu membobol rasa tidak enak di dalam hati mereka masing-masing, yang membuat semesta ini tak bisa mempertemukannya. Semacam ada batas yang tak mampu digapai semesta. Tapi hari itu seketika berubah ketika rindu benar-benar menjadi candu. Reza tak kuasa menahan sakitnya menahan. ada berjuta kata yang akan meledak di ujung lidahnya. Di setiap katanya ada pesan yang hendak di sampaikan. Di setiap pesan mengandung makna yang disiratkan. Sorenya setelah Reza menyelesaikan seluruh kegiatannya ia pergi menuju danau. Walaupun ia tidak yakin Rava ada di sana. Sore itu Rava tidak datang. Besok sorenya juga sama, besok lusanya pun sama. Reza tetap di sana, seakan ia tau alam telah menyampaikan rindunya lewat angin, lewat tetes hujan yang jatuh, bahkan lewat komet yang lewat. Reza tertekan oleh galaunya, saat mulut enggan menerbitkan kata rindu, maka tiap peluhmu adalah bulir-bulir sendu yang berbau pilu. Jarak malah memberikan mereka sekat. Tapi sekat itu sekat jerami, bisa saja langsung hangus jika dibakar dengan sebuah api bernama pertemuan. Sialnya mereka tak kunjung bertemu, bertemu pandang pun tidak. Hujan kala itu, pada sebuah sore yang sekian, saat Reza hendak pergi ke danau, di tengah jalan hujan tiba-tiba turun begitu derasnya. Bagai air yang hendak membersihkan seluruh daratan dari dosa dan air mata. Reza yang hendak menuju danau langsung membelokkan arahnya menuju sebuah halte untuk berteduh. Tak lama beberapa saat setelahnya, seorang perempuan berlari-lari menuju halte karena sudah kehujanan, dia Rava. Tanpa kata, hanya mata yang berkaca-kaca, mampu meluruhkan rindu yang makin detik makin menebal. Tak ada senyum, tapi mata mereka mengekspresikan kegembiraan yang amat membuncah. Waktu serasa berhenti diantara tatap mata mereka. Tapi tiba-tiba bergerak normal kembali ketika tatap mata mereka selesai. Mata yang bertatapan, adalah percakapan paling sunyi yang pernah kusaksikan. Tak ada tawa, tak ada tangis. Semuanya mengalir tersampaikan dari pancaran cahaya dua insan yang saling mencinta. Gerakan itu otomatis, Reza melepas jaketnya, lalu menyangkutkan begitu saja di pundak Rava. Tanpa menatap Rava berterimakasih.
153
Tanpa menatap Reza bertanya kabar. Tanpa menatap Rava menjawab baik. lalu bertanya balik. Tanpa menatap Reza menjawab tak baik. Tanpa menatap Rava bertanya mengapa. Tanpa menatap Reza menjawab rindu, ingin bertemu kekasihnya. Tanpa menatap Rava tersenyum. Tanpa menatap tangan mereka saling menggenggam. Genggaman tangan yang saling melepas rindu adalah ritual berpelukan paling panjang yang pernah kusaksikan. Dua ujung-ujung jari bertemu merobohkan rindu, telapak tangan saling beradu, menampar segala galau yang lalu seketika hilang, Reza kini menemukan potongan hatinya, begitupun Rava. Sore itu mereka harus berterimakasih pada hujan.
154
Rava Sudah Benar-Benar Gila "Nampaknya sejauh apapun aku berjarak darimu, tetap saja semesta memaksa kita terus bersama," ujar Rava datar. Senyumnya hilang tanpa jejak. Rasa bersalah menyeruak begitu dalam hingga senyuman hanya sesaat saja datang. "Maka dari itu aku tidak pernah khawatir." Hening. Hujan mengisi sunyi. Sudah biasa, mereka tanpa perlu berkata-kata juga sudah mengerti apa maksud diantara keduanya. "Kurasa kita pulang dengan arah yang berbeda. Bis arah jalanku sudah datang. Semoga kita bertemu lagi kapan-kapan." Rava bergegas melepaskan genggaman tangannya. Meraih payung kecil, sebab hujan tidak mau kompromi. "Kapan-kapan? Tidak bisakah kita berjanji bertemu saja nanti?" Reza nampak jelas keruh dimukanya. Wanita ini mulai menyebalkan luar biasa. Ada-ada saja maunya. "Aku.. Aku senang bertemu denganmu. Sungguh. Hanya saja, aku butuh jarak, Reza…" Rava tidak berani menatap apapun selain butiran air yang jatuh dihadapannya. Reza tercenung. Bingung. Rava benar-benar payah. “Apa lagi yang kamu risaukan? Ya Tuhan, kamu mulai bertingkah seperti idiot. Baru saja senang bertemu, bangkit lagi semangatku karenamu, entah kalimat negatif macam apa yang kamu lontarkan, Rava.” Bis mendekat. Sepi. Beberapa orang mulai masuk memenuhi. Sesaat sebelum pintu benar benar ditutup, Rava berbisik pelan ditelinga Reza. “Aku tidak mengada-ada. Aku tidak ingin menghancurkan apapun atas nama kita. Aku ceritakan padamu apa yang sesungguhnya, tunggu suratku besok, karena kata-kata jauh lebih baik diatas segalanya.” Rava melambai perlahan. Bis beranjak pergi, dan Reza sudah siap mati. Jangan pernah tanya apapun padaku, akhir-akhir ini Ravanda berubah jauh dari kuasaku. Apalah, nona pun terseret arus tokoh fiktifnya, tidak mampu lagi mengarahkan cerita. Tuan, selagi Reza masih dalam genggaman, tolong bantu aku mengembalikan Ravaku seperti apa adanya dia dahulu.
155
Maaf, Memaafkan dan Dimaafkan Reza lemas, kaki-kakinya tidak mampu menahan beban penderitaannya. Hujan membuat segalanya mendayu-dayu. Senja yang berujung sendu. Reza meninggalkan halte tadi, mengabaikan hujan, baginya dingin yang menusuk ini masih lebih baik ketimbang terbayang kata-kata Rava tadi. "Apa yang salah Rava, bukankah harusnya kita sudah terbiasa?" Gumamnya ditengah lebatnya hujan. Sore itu langkahnya bukan menuju rumahnya. Tapi menuju makam bapak dan ibunya. hal ini juga pernah dilakukan Revan, bapaknya saat sedang merasa begitu patah hati. Karena anak bapak itu selalu percaya keajaiban. Hujan belum berhenti saat ia sampai di depan pusara kedua orang tuanya. Ia hanya berdiri di depannya, tanpa melakukan apapun. Di balik sebuah pohon kamboja, seseorang seakan-akan sudah menunggu kedatangannya, seakan akan membaca pikiran Reza. “Maafkan Rava, Reza…” Ternyata Satya. "Apa yang salah paman? Apa kesalahanku sangat tidak termaafkan?" "Tidak ada yang salah, Reza. semuanya baik-baik saja. Hanya kalian sedang berada dalam kabut rasa bersalah. Membutakan segala rasa, membiaskan segala rindu. Cepat bawa Rava keluar. Hanya maaf yang terucap yang dapat menuntun kalian keluar dari kabut itu." Setelah menutup kata itu, Satya hilang dari hadapan Reza. Reza maklum. Itu bukan Satya, hanya bayangan yang mewujud. Tidak di alam nyata, tapi diakui panca indra. Hujan sudah berhenti. Reza pulang. Menunggu surat dari Rava. Yang di kepalanya hanya maaf. Apapun isi surat Rava. Memaafkan dan dimaafkan. Sialnya aku juga tidak bisa mengendalikan cerita ini. Reza dan Rava telah mengendalikan alurnya. Maaf nona aku tidak banyak membantu.
156
Surat Keduanya Sepucuk surat sampai tepat diatas meja belajar Reza. Kertas putih dengan tulisan tangan rapih. Dibungkus cantik dengan amplop biru dengan nama Reza tertulis dipojokan kirinya. Jika kamu balik, tulisan ‘dari Rava’ menyahut dibelakangnya. Karena aku tahu nyaris tentang segalanya, kusampaikan padamu apa yang tertulis didalamnya. "Maaf. Bukan karena namamu sudah terlepas dari genggaman tapi aku hanya meragukan masa depan. Bukan masa depan milikku, tapi milikmu. Semakin aku berlama-lama, semakin aku membuat banyak praduga, semakin aku menggerogoti segala cahaya darimu hingga kamu tenggelam jauh dalam lubang tanpa ujung. Aku tidak ingin jadi benalu. Aku tidak ingin berperan sendiri dalam mimpi-mimpi. Kamu begitu jauh, sayang. Hingga aku takut untuk memperbaiki patahan-patahan tubuhmu. Dan aku lihat patahan itu semakin lama semakin berkeping, selagi waktumu habis-habis berkata tentangku. Tulislah tentang kamu. Bercahayalah seperti yang lalu-lalu, buatlah aku kagum seperti apa yang kamu lakukan dahulu. Mungkin jarak kita bisa menyembuhkanmu, Reza. Tapi selamanya aku berjanji akan terus berdoa atasmu dan selamanya tinggal didalam hatimu, bila kamu mengizinkan, bila semesta mengiyakan. Berjanjilah padaku, akan kembali aku lihat cahaya matamu itu sewaktu-waktu jika kita bertemu. Karena sungguh Reza, aku benar-benar rindu” Entah apalah yang Reza lakukan setelah membacanya. Mau gundah atau curiga. Senang atau bahagia, itu bukan kuasaku. Yang aku tahu, Rava menulisnya dengan segala harap, dengan segala kata yang tidak pernah berani ia ucap. Semoga berhasil mengartikan sesuatu.
157
Menerima Kenyataan Jika aku tidak berlebihan menyerupakan, Reza kini serupa mozaik yang kehilangan warnanya. Sedangkan Rava serupa warna-warni yang tercecer dari mozaiknya. Jika mereka berpisah, atau hanya berjarak walau hanya sejengkal, maka hilang keindahannya. Surat itu memperlebar luka Reza, membentangkan semilyar hasta jarak antara mereka berdua. Masih ampuhkah sebuah kata maaf? Jika salah satu dari mereka hilang toleransi? "Rava yang baik hatinya. Tegakah kamu meninggalkan kesatria berkudamu terkapar bersimbah luka di pinggir jalan menuju kematian? Aku sudah tak jauh dari pintu mati. Masihkah ada belas kasihan Rava?" Dalam kesedihan yang amat mendalam Reza berkatakata tanpa telinga yang mendengar. Air matanya turun tapi mulutnya tersungging senyum yang disangga ketegaran. Kini Reza sudah tak lagi memiliki apa-apa kecuali semangat yang masih secuil di dalam hatinya. Semangat itu akan ia gunakan untuk apa? Mengejar Rava? Kurasa percuma. Reza masih berlinang air mata, mulutnya masih ada senyum walau tipis hampir tak terlihat. Di kepalanya masih berputar segala rencana untuk hidupnya kedepan. Tanpa Rava, juga tanpa cerita karangan mereka.
158
Jika Kamu. Maka Aku. Maka dengan pedih aku katakan(sementara waktu) kisah Reza dan Rava tidak akan satu. Entah untuk selamanya atau sesaat, aku sungguh tidak tahu. Yang pasti kini harapanmu tentang kisah cinta mereka kebih baik diangankan dulu saja karena Rava tidak ingin berkompromi tentang apapun mengenai kisah cintanya. Aku jelaskan kepadamu terlebih dahulu. Rava tidak bodoh, tidak gila, apalagi tidak sedang menyia nyiakan kekasihnya. Ia hanya tidak ingin menang sendiri, berdiri tegak sendiri, bahagia saat sang kekasih dirundung pedih tanpa akhir. Rava hanya merasa namanya justru menghalangi Reza untuk berkarya, menghalangi Reza untuk mencurahkan keseluruhan isi otak cerdasnya yang tanpa penghujung dan menghalangi Reza untuk menunjukkan kemampuannya pada dunia. Rava tahu Reza mampu, tapi tidak bila dengannya. Maka dibuatnya saja Reza habis kata dengan sikap bodohnya, semoga saja dia sadar diri dan tidak melulu dirundung mendung. Semoga nanti saat bertemu, binar mata Reza yang dulu itu muncul lagi hingga Rava tidak memiliki alasan lain untuk berpaling dari pandangan matanya. Sekarang, urusi dulu segudang mimpi yang akhir-akhir ini justru menimbulkan banyak masalah. Mimpi sedikit beralih peran jadi petaka nampaknya. Ravanya terlalu habis dirundung pilu. “Kekasih, jika mimpiku menjadi alasan bagi nyatanya mimpimu, maka jangan pernah berhenti meyakininya. Karena aku yakin aku tidak akan pernah berhenti bermimpi.” Rava menulis untuk yang terakhir kali pada sebuah kertas kecil, menempelkannya ditempat biasa mereka bertemu. Lalu berjalan pergi, seiring menunggu. Reza, mungkin, ini saatnya untukmu berbinar?
159
Lupa, melupakan, dilupakan Secara Paksa Reza dan Rava berpisah, namun kisah ini akan terus berlanjut. Namun ketahuilah berpisah dipisahkan rasa bersalah. Entahlah, sebenarnya siapa yang salah? Mereka? Atau aku dan nona yang salah bercerita. Maka hari itu setelah Reza menemukan surat terakhir dari Rava, Reza benar-benar kembali sendirian. Juga kesepian. Reza berjalan sendirian pulang ke rumah. Dilemparkannya begitu saja tas berisi buku-buku kuliahnya. Mahasiswa tingkat dua. Hampir mati bunuh diri atas segala rasa kecewa yang menerkamnya. Diselamatkan seseorang yang baru saja dilupakan riwayatnya. Dilupakan, namun tak bisa dihilangkan. Di raihnya secarik kertas. Ia mencoba menulis sebuah nama. R.. Ra.. Rav.. Rav.. Entahlah. ia seperti lupa ingatan, namun ada satu bayangan yang ingin diingatnya, ada apa? Sudahkah ia lupa? Kurasa ingatan itu terhapus. Entahlah. Mampu menulis sampai huruf itu kurasa bentuk tidak bisa dihilangkannya sosok Rava itu. Tapi kini hidupnya seperti dimulai dari pertama kali. Tepat sejak ia hampir tenggelam di pinggir danau. Di meja belajar ada sebuah bingkai foto yang fotonya begitu aneh, dua orang di dalamnya saling berangkulan amat akrab, namun wajahnya yang satu begitu buram. Di meja belajar ada amplop biru bertinta luntur. Mungkin itu surat, tapi isinya juga sudah tidak jelas, tintanya seperti dibasuh air. Apakah segala ingatan dan kenangan Rava sengaja dicabut seseorang? Ulahmu kah Rava? Mengingat buku itu berada ditanganmu. Aku berhak curiga.
160
Tidak memperbaiki keadaan Gawat aku ketahuan. Rava memang sudah lama memporak-porandakan isi buku Satya Revan. Dia mengambil keputusan sendiri tanpa banyak bertanya. Habis Rava bingung, Rava lelah dan Rava sudah mulai merasa jenuh. Kisah ia dan Reza sudah entah berjalan kemana mana, ia bahkan ragu konsep tentang ‘kita’. Terlalu lama hanyut dalam segala kelembutankelembutan yang ditawarkan pesona cinta dan ribuan keajaiban semesta yang ia tidak siap menanggungnya. Sudahlah, saatnya berbicara berdasarkan fakta saja dan membuat cerita jadi bahan yang cukup rasional untuk dibaca. Maka setelah kisah ditutup, setelah puas diporak-poranda, Rava menyerahkan buku itu menjadi sebuah paket kejutan bagi Reza. Ia sudah penuh terasuk orang dewasa, karena Rava tidak lagi tahan dengan segala hal semu dan subjektif berbilang rasa cinta. Mimpinya sedikit banyak mengikis hal remeh-temehnya dan memberikan porsi jauh lebih banyak kepada hal nyata yang sedang dijalaninya. Penuh kesibukan dan kesuksesan dia sekarang, Membanggakan siapapun yang pernah mengenalnya memang, tapi sayang habis manis sepah dibuang. Bukan bermaksud demikian tapi aku merasa Reza hanya alat transportasi menuju kenyataan. Entah penafsiranku ini benar ataupun salah, aku hanya menangkapnya begitu saja karena Rava berkuasa penuh atas kisahnya. Aku kira aku sudah mati bahasa. Mati kata. Bagaimanapun tuan mengatakan untuk memberi rasanya kembali, membangkitkan romansa dan keajaiban kembali, aku benar-benar undur diri. Oh iya, soal masalah proyek proyek Rava. Anak-anak jalanan itu sudah pintar sekarang. Sudah berani berfikir dan memberikan pendapat. Bangkit dari senyuman kakak-kakak yang mengayominya selama berbulan-bulan. Sayang, suatu hari saat beberapa anak kecil dengan mata bersih berbinar itu bersemangat menyambut hari sekolah baru di pondokan warna-warni mereka, beberapa orang bertubuh tegap datang. Membentak-bentak, mengacaukan setengah isi pondokan. Bentakan penuh ancaman, hingga hilang segala ingatan. Preman pasar itu menginginkan mesin uang mereka bekerja. Bukan duduk-duduk bernyanyi tentang alfabet dan perkalian angka. Rava bergetar mengiyakan, teman yang lain gentar menyela pembicaraan. Serangan ini tanpa duga. Jika benar mereka tidak lagi boleh sekolah, habislah anak jalanan akan selamanya jadi kenangan.
161
Kiriman Tak Dikenal Jadi apa yang terjadi di rumah Reza? Sepeninggal Rava. Di depan rumah Reza seorang pengantar surat mengetuk-ngetuk pintu, laras yang menerima paket dari Rava. Yang dituju paket itu adalah Reza, langsung saja ia letakkan di meja belajarnya. Toh ia sudah tau apa isinya. Namun sialnya. Reza tak lagi kenal Rava, apalagi embel-embel kenangan yang melekat padanya. Termasuk buku takdir. Saat membuka paket kiriman yang ia terima ia sama sekali tak bisa mengingat benda apa ini dan siapa yang mengirimnya. Hanya sekelebat sekelebat ingatan yang muncul hilang di kepalanya. "Buku apa ini kak?" Tanya Reza kepada kakaknya. Yang ditanya terdiam, matanya membelalak tak percaya. Tak ada satu gambaran pun tentang masa depan ataupun masa lalu saat ia menatap Reza. Normalnya dalam satu kali pandangan laras langsung mampu melihat masa depan dan masa lalu seseorang. Tapi kali ini Reza sama sekali kosong. "Oh ini pasti kiriman buku tua ayah yang dikembalikan teman lamanya, ya kau tau beberapa teman ayah dulu sering meminjam bukunya." Reza hanya mengangguk. lantas kembali naik ke kamarnya. "Rava harus mempertanggungjawabkan ini semua," Ujar laras begitu Reza pergi. Kalian ingin tau apa yang tertulis di buku itu? Nona lebih tau. Dia pasti akan menceritakannya
162
Rava Menulis Cerita Tentang Mereka "Tentang kamu dan aku. Pergilah mengejar mimpi, sayang. Berhentilah jatuh diatas kenangan. Aku menunggumu berdiri tegak, sayang. Berhentilah mengeluh tentang cobaan. Aku menjauh bukan berarti pergi, aku hilang bukan berarti tidak kembali. Segala hal tentangku lama-lama membuatmu lemah dan jatuh. Kulihat dari sekian lama ini kita berjalan beriring. Aku untukmu, tapi aku tidak ingin pikiranmu berlarut larut memikirkan bagaimana jalannya kita dimasa depan. Maka nyatakanlah selagi mampu, mimpi berbatas kenangan sama sekali bukan kamu. Bukan Reza adhipramana yang aku banga -anggakan namanya. Diatas kertas ini aku nyatakan, pergilah mengejar mimpimu, nyatakan, abadikan dan buat sebuah peubahan dari isi kepalamu yang hebat tiada tara. Aku akan terus dan selamanya di sisi, tapi tidak nyata dalam genggamanmu. Maka, lupakan saja tentang keajaiban kertas dan pena. Lupakan tentang segala pilu dan duka. Setelah tulisan ini, semoga kita berjuang atas keringat dan usaha, bukan keajaiban keajaiban semata. Yatuhan, semoga Reza adhipramana benar benar kamu buat lupa segala pilu hatinya.” Mengerti? Itulah yang dituliskan Rava hingga linglung hati Reza. Tidak ada kata-kata lebih baik, lebih bertanggung jawab dan lebih mengarahkan. Rava menulis dengan segenap perasaan, maka ia menjadi nyata dalam sekelebat tangan. Semoga Reza mengerti, semoga tuan memahami.
163
Keluar Dari Cerita, Mencari Penulisnya Buku itu masih serasa asing bagi Reza. Tapi kata-katanya dan kode “rez” amat akrab dengannya. Kode itu adalah kode yg ia bubuhkan di setiap karyanya mulai dari tulisan hingga lukisan. Begitu juga dengan Rava. Ia selalu membubuhkan kode “rav” di setiap karyanya. Setiap cerita-cerita di tiap lembarnya makin membuat terang siapa Rava dan buku apa ini. Tentang Revan, Satya, Rava. Ia ingat kembali dengan siapa Satya, dan apa yg ia kerjakan bersama Revan, ayahnya, juga ia jadi menyadari bahwa sesorang bernama Rava adalah kekasihnya dan belakangan hidupnya diceritakan oleh Rava. Halaman terakhir yang berisi pesan Rava telah benar-benar membuat Reza tak percaya bahwa ia telah menjadi seroang tokoh seperti ia menokohkan Rava dalam cerita-cerita sebelumnya. Kini sedikit demi sedikit pecahan pecahan kenangan itu mulai kembali tersusun indah di dalam otak Reza. Bagaimana ia bertemu Rava, melewati segala hal bersama Rava, cinta, perjuangan dan pengorbanan. Kini ia kembali mengenal Rava. "Rava. Entah bagaimana aku harus mencarimu," ucap Reza dalam hati. Baginya ini adalah sebuah titik untuk kehidupannya. Ia akan mencari Rava, berarti ia akan mencari ingatannya. "Laras katakan padaku, siapa Rava dan siapa aku sebenarnya!" Ujar Reza kepada kakaknya. "Ah, akhirnya aku bisa membaca lagi masa depanmu walaupun aku rasa berbeda dari yang terakhir aku lihat. Namun aku belum bisa masa lalumu Reza. Carilah Rava, dia yang bertanggung jawab atas masa lalumu. Foto di meja belajarmu dialah Rava, perempuan yang bersamamu. Ingat?" Laras menjawab. "Ya.. beberapa ingatanku mulai bermunculan.. Danau? Kau tau tentang danau?" Tanyanya lagi kepada laras. Lalu Laras langsung membawa Reza ke danau tempat Reza dan Rava sering menghabiskan waktu bersama. Di sana Laras mempertemukan ujung telunjuk dan jempolnya membentuk lingkaran lalu menempelkan ke mata Reza seperti kacamata. Reza melihat semuanya. Walau sepotong sepotong tapi itu sudah lebih dari cukup. Ia ingat siapa Rava. Dan ia sedikit tau masa lalu bersamanya.
164
Seharian Reza menelusuri kisah lamanya, dibantu laras. Dan ia memutuskan untuk keluar dari cerita yang ditulis Rava. Sesuai dengan kehendak Rava. Kisah ini Rava beri judul Reza. Dan memang akhirnya tokoh utama cerita itu bebas dari cerita dan pergi mencari penulisnya. Seperti itu yang aku baca saat melihat nona menceritakan Rava. Reza menjadi manusia biasa, bukan lagi tokoh cerita. Dan ia akan mencari Rava bukan untuk kembali tapi untuk berterimakasih. Entahlah mengapa terimakasih. Setidaknya setelah ingatannya kembali ternyata ia sudah memiliki kekasih, dan mungkin Reza akan mengajaknya kembali merangkai mimpi bersama sama. "Sendiri aku tak bisa seimbang." Tulisnya pada sebuah kertas yg ia tempelkan di tubuh pohon. Dibawah tulisan Rava "Kekasih, jika mimpiku menjadi alasan bagi nyatanya mimpimu, maka jangan pernah berhenti meyakininya. Karena aku yakin aku tidak akan pernah berhenti bermimpi." Seakan membalas pesan Rava. Sengaja ia menempelkan di sana, karena ia yakin sesekali Rava akan kembali ke danau itu, dan akan membaca pesannya. Lalu ia akan terus menunggu Rava di sana. Karena ia tak tau harus ke mana. Rava kau harus tau sepeninggalmu ia memang seakan lupa. Namun dengan hati yang seakan utuh ia mencapai puncak prestasinya. Ia merasakan ada yang hilang tapi ia tak tau apa. Di puncak prestasinya ia tak sepenuhnya bahagia. Di danau ini ia kembali menemukan bayangmu dan ia ingin kau kembali. Karena kau pasti tau kau adalah separuh nafasnya.
165
Memperbaiki Keadaan Rava datang suatu hari. Rindu dengan sang pemilik hati. Gerah juga ia tidak sekalipun mendengar kabar pemiliknya, seperti tiba tiba saja mati tanpa cerita. Beberapa minggu lewat, dan selama itulah mereka tidak pernah bercerita lagi. Jarak mengiris rasa, lama lama perih dan Rava datang untuk sedikit menyembuhkan lukanya. Dan sekali lagi aku ceritakan kisah romansa dua manusia yang sulit sekali dipahami isi hatinya, karena disana nampak Reza duduk ditempat biasa. Sulit dihindari karena memang setiap hari Reza kesana, sekedar hanya untuk menyegarkan pikiran, menghapus rindu. Rava ragu-ragu berjalan. tapi bagaimanapun, menghindar bukanlah hal yang bijaksana untuk dilakukan, bukan? Langkah Rava terdengar oleh Reza, tanpa perlu menoleh pun Reza tahu. Siapa lagi yang datang dipenghujung hari untuk sekedar duduk duduk disini selain mereka berdua? "Jadi, apa dengan datangnya kamu, ini berarti kita beriring lagi mengejar mimpi?" Reza tanpa menatap bertanya. Matanya memandang lurus, namun berbinar. Kata-kata itu membuat langkah Rava terhenti. Kabur bukan opsi yang baik saat ini, sudah ketahuan dia datang. "Kenapa tiba-tiba? Aku baru saja datang, hanya ingin berkunjung sebentar. Lagipula bukankah semua cerita sudah jelas?" uUar Rava sambil melangkah mendekat. Seluruh katanya penuh ragu. "Cerita itu tidak ada apa -panya jika kamu bandingkan ia dengan kenyataan cerita kita. Dia tidak akan nyata karena aku tidak mengizinkannya. Jawab saja pertanyaanku, Ravanda." "Aku.. Aku hanya tidak yakin kamu nanti bisa berdiri tegak bila bersamaku Reza. Aku ragu," sekarang Rava berdiri tepat dibelakang Reza. Belum bergerak untuk duduk bersamanya "Tidak, keraguan itu yang justru membuatku jatuh, seperti tanpa alasan. Apa ada yang harus aku lakukan agar kamu yakin?" "Ya, jadikan aku alasanmu bermimpi dan bukan alasanmu bersedih hati. Jangan, jangan biarkan lagi kamu jatuh hanya karena kita, dan segala rasa ini, Reza,” kemudian Rava duduk tepat dihadapan Reza. Mengambil alih pandangan matanya. "Aku berjanji akan selamanya berbinar dan tidak akan redup lagi jika membahas soal kita dan segala rasa ini asal kamu juga berjanji untuk tidak dengan bodohnya membiarkan aku sendiri mengejar mimpi," Reza masih memandang lurus kedepan. Tapi bukan lagi ke danau, tapi tepat ketengah bola mata Rava. "Ya, aku berjanji padamu. Hanya tolong jangan pernah bertindak bodoh seperti yang lalulalu," Rava berkata pelan, mengambil posisi duduk disebelah Reza. "Ya, aku berjanji padamu. hanya tolong jangan pernah pergi lagi," Reza menjawab tidak kalah pelan. Memperbaiki segala hubungan penuh tanda tanya yang sempurna membuat cerita ini melayang entah kemana-mana.
166
Dan sesederhana itu mereka kembali. Sesederhana itu percakapan terjadi. Kebetulankebetulan menyelamatkan banyak keadaan. Aku berharap setelah ini tuan benar-benar membuat Reza berdiri berarti. Maka aku berjanji tidak akan lagi melepaskan Rava dari sisi, bagaimana? Kamu berani tidak, tuan?
167
Cerita Kedua Tadinya mereka adalah sepasang orang asing yang saling menemukan pada kehilangannya masing-masing. Kini mereka adalah sepasang kekasih yang tersesat dalam pelukan. Hilang sudah rasa bersalah, penyesalan, dan kecewa. Mereka menjadi kesatuan yang utuh dalam kejanggalan hidup mereka. Buku takdir mereka abaikan, tidak ada lagi saling menceritakan hidup satu sama lain. Mereka fokus menatap masa depan mereka. Alfan? Soal itu akan kuceritakan sekarang. Alfan menulis cerpen di sebuah surat kabar nasional yang berjudul 'Hidupku Ditakdirkan Dalam Sebuah Cerita Karangan Manusia'. Apakah kebetulan? Sore itu saat Reza dan Rava masih duduk berhadap-hadapan datanglah Alfan kehadapan mereka berdua. "Reza Rava, sudah lama kutunggu kalian berdua di sini. Aku hanya ingin berterimakasih karena telah memuluskan hidupku. Tapi aku mohon maaf yang amat sangat, izinkan aku melepaskan diri dari cerita kalian berdua." "Jadi kau sudah menyadari? Lalu kau tulis cerpen itu?" Tanya Reza. "Ya memang itu akhir ceritamu alfan, kau sadar lalu tamat," tukas Rava. "Pergilah alfan, kami juga sudah selesai menulis ceritamu, masih banyak cerita-cerita yang harus kami tulis setelah ini," sahut Reza. "Kalau begitu terimakasih, aku pamit dulu, Reza, Rava." "Hati-hati di jalan," jawab Reza dan Rava kompak. Lalu saling berpandangan lalu tertawa. alfan pergi, menjawab segala tanya di kepala Reza. “ternyata selama ini memang ulahmu ternyata.” ujar Reza. yang jadi lawan bicara hanya tersenyum dan mengangguk. "Kamu harus bertanggung jawab atas hilangnya ingatan-ingatanku Rava, dan aku ingin kamu yang merekontruksi ulang otakku, bawa aku menuju kenangan-kenangan itu" "Tidak perlu, malah bagus kamu seperti terlahir kembali kan?” Sore itu mereka tenggelam dalam perdebatan-perdebatan ringan mengenai ingatan. Entahlah kupikir semesta punya mekanisme rahasia untuk membentuk senyuman di wajah mereka berdua. "Setelah ini apa Reza?" tanya Rava memutar topik pembicaraan. "Setelah ini aku punya rencana. Dengan fasilitas yang kita punya, aku ingin mengumpulkan seluruh pemuda untuk mendiskusikan krisis di negri ini, lalu diskusi mereka akan menghasilkan ide-ide untuk menyelesaikan masalah. Hebat bukan?"
168
"Fasilitas? Maksudmu? Buku warisan Satya dan Revan?" "Yap! Kita akan memulai cerita baru." "Bagaimana? Cerita pertama kita saja membuat kita hancur." "Kuncinya jangan khawatir cerita kita akan berhasil atau gagal Rava, terus saja menulis. Aku sudah membayangkannya. Nanti kita akan menulis narasi panjang, dimulai dari kesadaran pemuda, sampai mereka mengambil alih kemudi negara ini." "Oke kapten!" Secerah cerahnya senja, adalah senja yang dipenuhi gagasan orang-orang berpikiran terbuka. Reza dan Rava akan merubah dunia.
169
Memulai Cerita Kedua "Bagaimana kalau kamu yang memulai cerita lebih dulu? Biasanya ide gilamu itu menuntun hal-hal spektakuler berikutnya," Rava berbicara sambil membereskan barang barang, senja menyuruhnya untuk segera pulang. "Kamu yakin? Percobaan pertama aku yang memulai dan kita gagal total." "Lah, justru aku ingin bertanya kembali padamu. Siapa yang sebenarnya merusak segala cerita?" "Kamu," Reza berujar cepat tanpa merasa bersalah. "Nah kan sudah jelas, masih percaya kalau awal ceritanya diberikan padaku?" Rava tertawa mendengar jawaban itu, begitu jujur dan terucap begitu saja. "Baiklah. Tapi jika aku mengangkat kisahmu untuk menjadi pijakan awal, bagaimana?" Reza bangkit membantu Rava membawa barang barangnya. "Itu tolong sekalian ambilkan buku gambarku disebelah sana, Reza," ujar Rava sedikit memerintah. Sedari tadi dia tampak rusuh sekali menyusun barang barangnya dan Reza tidak kunjung membantunya. Sekali Reza menawarkan diri, dimanfaatkan saja sekalian. "Kubilang terserah padamu. Mau aku atau siapapun yang menginspirasi hidupmu. Jadikan dia tokoh utama cerita. Biar hidup jalannya," ujar Rava kemudian sambil berdiri beranjak pulang. "Secepat itu kamu harus pergi? Senja masih beberapa menit lagi habis, Rava." "Kamu tidak tahu apa yang sedang terjadi pada komunitas anak jalanan itu sekarang. Premanpreman kurang ajar itu sok ambil alih. Lelah aku meladeninya dari dua hari lalu. Aku harus sering datang kesana sekedar untuk mengawasi keadaan agar tetap berjalan lancar." "Apa perlu aku ikut dan membantumu?" Reza ikut berdiri, baru saja bertemu dengan penuh kedamaian lalu harus berpisah lagi? Tidak tidak, lebih baik ia ikut saja sekalian. "Perlu, tidak melakukan apapun nanti kamu disana juga sudah sangat membantuku menyelesaikan masalah. Ayo ikut! Oh iya sekalian kalau begitu ini tolong bawakan buku bukunya," jujur Rava berucap, tapi tetap dalam nada menyuruh-nyuruh, memang kadang tak tahu diri. Nah bagaimana nantinya disana, kuserahkan saja pada tuan yang pandai bercerita untuk menjelaskan padamu bagaimana kisah sesungguhnya. Tuan lebih tau bukan?
170
Kejutan Senja sudah habis, berganti pekatnya malam. Reza dan Rava melangkah cepat menuju tempat yang mereka sebut markas anak jalanan. Sesampainya di sana, tak ada satupun keanehan. Tidak ada preman-preman yang dikeluhkan Rava, tidak ada pula anak-anak yang bermain di sana. Tidak ada anak-anak. Wajar, ini pukul tujuh, anak-anak itu pasti sudah tidur di rumah gubuk masing-masing, namun tidak ada preman yang membuat ini membingungkan. "Mana premannya Rava?" Tanya Reza "Harusnya mereka tidur di bale-bale kita," jawab Rava. Mereka berdua terdiam, sambil memasuki bale-bale memastikan semuanya utuh dan aman. Namun yang didapati rak buku-buku itu penuh dengan buku-buku baru, karpet baru, kipas angin, papan tulis, dan juga berbagai macam mainan. Reza dan Rava bingung sambil saling berpandangan. "Ehm.. Merindukan tempat ini pendongeng?" Ujar seseorang yang bersembunyi di balik pekatnya malam. "Alfan?!" Ujar Reza dan Rava serentak dan sama kagetnya. Alfan ditemani dua pengawalnya yang bertubuh besar dan tegap, berambut panjang dikuncir kuda, wajahnyapun sama. "Kau kemari mencari preman-preman itu? Sudah kubereskan, Oh iya perkenalkan dua temanku yang berbadan besar ini, mereka kembar namanya Nakula dan Sadewa," yang diperkenalkan hanya melirik sama sekali tidak tersenyum. Membuat Reza dan Rava segan mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Aku pernah mendengar tentang komunitas kalian, tadinya aku hanya ingin memberi kejutan dengan menambahkan properti-properti baru, tapi yang kutemukan malah segerombolan sampah tidak berguna, dengan senang hati kubereskan," lanjut Alfan. Reza dan Rava masih terdiam tidak percaya. "Wilayah ini sudah menjadi kekuasaanku, aku bisa pastikan kalian aman. Aku pamit dulu," ujar Alfan lalu berbalik pergi. Reza dan Rava masih terdiam tidak percaya. Setelah alfan pergi barulah mereka sadar. “Kita telah menciptakan tokoh yang hebat Rava!!!” Ujar Reza kepada Rava yang masih bengong.
171
“Apapun itu aku masih tidak percaya." Lalu mereka pulang sambil tertawa-tawa, keesokannya mereka harus memulai lagi aktivitas komunitas itu. Di otak Reza juga sudah tergambar jelas siapa yang akan ia jadikan tokoh dalam cerita mereka nanti. Aku yakin akan menjadi hebat.
172
Terus Menebar Senyum! "Jadi aku tunggu saja ceritamu ya. Terimakasih sudah mengantarku pulang, Reza." Sesampainya di depan rumah Rava mereka berpisah. Jalani hidup masing-masing dengan cara mereka sendiri lagi. Mungkin, sekarang seluruhnya berjalan baik-baik saja. Apalagi Rava, tidak pernah sekalipun aku lihat redup dimatanya karena masalah hidup. Semua begitu lancar mengalir untuknya. Masalah itu kadang kadang justru datang dari orang terkasihnya, dengan puluhan cerita kemarin yang sudah kami ceritakan. Sudah, itu saja. Tidak ada lagi tantangan hidup yang benar-benar menerpa dirinya, jika kamu lihat ia dari luar. Dari ceritanya. Dari mimpinya. Sesungguhnya Rava sangat pandai berpura-pura. Setelah segala mimpinya satu-persatu teraih, hatinya seperti lompong kosong. Pencapaian itu seperti angin. Ada tapi tidak berasa, Rava sedikit merasa mengawang-awang. Entah setan macam apa yang merasuki dirinya tapi segala kehebatan itu mendadak hambar, hening, basi, tidak lagi ada letusan semangat didalamnya. Maka, setiap hari, saat pulang Rava melepas topeng bahagianya. wajah murung dan bingung menemani kesendiriannya. Rava putuskan untuk tidur lama, satu-satunya cara untuk melupakan. Namun sebegitu bangun perasaan hampa itu semakin besar dan semakin bertumbuh. Ia seperti salah berucap salah bertindak. Rava melayang di awang-awang. Ragu menyentuh awan, malu menyentuh tanah. Dan sungguh ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Topeng itu memang yang terbaik untuk saat ini. Agar siapapun tidak bertanya, termasuk Reza. Rava hanya tidak suka jika sisi lemahnya ia umbar-umbar. Ia tidak suka terlihat lemah dihadapan orang lain, tapi ya beginilah jadinya, ia keropos perlahan dari dalam, entah kapan puncaknya hingga keropos itu tampak bolong dipermukaan. Ya sudahlah mau bagaimanapun tidak ada satupun orang yang akan tahu. Selagi ia bisa mengatasinya dan menjaga topengnya agar tetap utuh. Ia yakin semuanya akan berjalan baikbaik saja. "Teruskan saja, menebar senyum! Dan mimpi-mimpi!" Ujarnya sendiri, memberi semangat pada hampanya hati.
173
Cerita Ini Semoga Menghapus Lelahmu Anggukan Reza malam itu adalah iya dan selamat malam untuk Rava, tanpa kata Reza begitu saja pergi. Tanpa tanda Reza bertanya di dalam hati, “Sampai kapan mau menyembunyikan lelahmu, Rava.” Rava yang angkuh, kau harusnya tau betapapun kebodohan Reza, ia tetaplah jiwamu yang satunya, betapapun kau menyembunyikan sesuatu, Reza akan tau tanpa harus bertanya ada apa. "Laras, mana yang harus kubereskan lebih dulu? Rencanaku atau Ravaku?" Tanya Reza kepada kakaknya. Laras yang sudah tanggap akan masa depan Reza dan Rava sebenarnya sudah tau Reza akan mengurus yang mana, tapi ia tidak akan menceritakannya karena apa menantangnya hidup jika kita sudah tau akhir ceritanya. Maka ia hanya mengarahkan adik-adiknya, “Sebaiknya kamu selesaikan dulu rencanamu, urusan hati Rava akan selesai seiring kamu menyelesaikan masalahmu.” Malam itu juga Reza mulai menulis ceritanya. Ia telah berjanji pada Rava dan dirinya sendiri untuk tidak lagi memasukkan nama Rava atau namanya ke dalam cerita mereka. Sampai malam begitu legam ia masih mengalirkan imajinasinya ke dalam kertas itu. Kata menjadi kalimat, kalimat menjadi baris, baris menjadi paragraf, paragraf menjadi halaman, halaman menjadi lembar. Isi kepalanya tumpah ruah menuliskan kisah perjuangan, pengorbanan, gagasan, dan masih banyak lagi. Hingga jarum panjang tepat di angka dua belas dan jarum pendek di angka tiga Reza berhenti. Menabrakkan ujung penanya ke ujung tulisan. Titik. Ia selesai. "Besok giliranmu Rava. Dan aku masih akan pura-pura tak tau kelelahanmu. Semoga ceritaku menghapus lelahmu," gumamnya.
174
Kisah Nyata Tetap Berlanjut Yap. Oke. Aman. Pasang topeng lagi, beraktivitas lagi seperti biasa. Sudah pagi dan kenyataan menanti saatnya kembali menata diri. Pertemuan dengan Reza nanti sajalah dibuat. Kemarin-kemarin juga sudah seharian bertemu. Rava ingin punya waktunya sendiri. Berkumpul dengan sesiapa saja yang tidak begitu mengenalnya sehingga ia dapat berbincang seluas luasnya tanpa perlu berkedok muka dua. Nah, siang ini juga pagelaran buku dibuka lagi. Masih dihalaman Alfan lokasinya. Hal ini mungkin bisa sedikit menyembuhkan lukanya, melihat dan menginfeksi orang-orang untuk berkumpul, mengenalkan pada orang-orang tentang hal yang disukainya. Tenggelam dalam diskusi, tenggelam bersama ilusi. Rava hanya akan menjadi nyata dalam kata, matanya bisa kamu lihat berbinar-binar tanpa jeda. Maka setelah kuliah selesai, Rava melesat pergi, ia perlu menyusun dan mempersiapkan pagelaran. Agar nanti sore bisa langsung dibuka. Namun sesampainya disana semua rak-rak dan meja-meja kecil serta beberapa dekorasi tambahan sudah tersusun rapi. Seperti piknikpiknik orang Inggris disana suasananya. Ditambah lagi pohon-pohon rindang mendukung, mengundang sesiapa saja untuk datang barang sebentar. Hari kedua ini jauh lebih pesat perkembangannya. Kemarin yang datang berbilang belasan saja. Kali ini puluhan dan hampir setengahnya antusias, membuat forum-forum kecil untuk berdiskusi. Aku yang menceritakannya saja tergiur untuk ikut serta. Memang, selain tempat yang sangat menarik, terimakasih banyak untuk Alfan akan hal itu, kemarin-kemarin Rava sempat membuat poster dan selebaran selebaran warna-warni. Desainnya menarik perhatian sehingga 100 lembar habis dalam beberapa jam. Mungkin dari sana mulai banyak yang berdatangan, penasaran dengan ide sederhana Rava yang jarang ada dikota carut marut seperti ini. Sesekali aku lihat dalam beberapa waktu, sendiri Rava terdiam. Seperti menyusun dan menata ulang dirinya agar tidak terlihat betul gelisah hatinya. Entahlah, selama ia merasa senang, kurasa juga semuanya akan berjalan baik-baik saja. "Nanti sore setelah ini, lebih baik bertemu Reza, atau tidak?" Rava bertanya, mengakhiri cerita.
175
Senja Mereka Bisu Reza menunggu Rava sembari menyaksikan matahari tenggelam ditelan danau. Senja selalu tak sama, entah ini senja keberapa Reza dan Rava. Bukan hanya soal senja, tapi juga rasa, selalu tak sama. Boleh jadi senja hari ini berwarna bahagia, senja kemarin berwarna sedih, senja besok? Besoknya lagi? Dan besok besoknya lagi? Siapa yang tau. "Sudah lama ya?" Ujar Rava sambil berjalan menghampiri Reza "Belum, aku juga baru datang," jawabnya sambil memberikan buku cerita mereka. Lalu mereka duduk di depan pohon, menghadap ke danau. Tidak ada percakapan, entah katakata mereka tertahan di mana, senja itu mereka seperti bisu. "Oh iya aku belum tentukan tokohnya, setiap ada kalimat yang harus menyebutkan nama aku selalu kosongkan. Boleh aku datang ke komunitas anak jalananmu? Aku mau cari target," ujar Reza memecah keheningan. "Ya datang saja," jawab Rava datar. Reza hanya tersenyum. Ia tau Ravanya kosong. Tapi ia tidak tau bagaimana caranya bertanya ada apa. Sementara Rava hanya akan bicara hanya jika ditanya. Senja itu mereka bisu. Entah Rava akan mengaku, atau akan tetap bertopeng.
176
Bagaimana? "Jadi ini seperti aku saja yang berjalan dan kamu betah berdiam diri. Kapan mau memulai kenyataan Reza? Jangan terpaku padaku, atau pada kisah kita yang tidak jelas kemana arahnya," Rava datar menanggapi. "Ini, aku sudah menuliskan banyak sekali cerita tentang kenyataan! Sebentar lagi aku yakin, negeri kita mulai carut marut memaki perubahan yang begitu cepat. Mau lihat?" Rava mendesah. Seperti kecewa. Untuk kali pertama ia sendiri yang memegang tangan Reza, menatap lurus kematanya untuk mempertegas keyakinan kata-katanya. “Bukan, bukan tentang keajaiban, tentang mimpi atau ilusi atau khayalan, Reza. Tentang kamu , tentang hidupmu, apa yang akan kamu lakukan? Kenyataan, aksi apalah itu yang disebutkan orang. Yang berjalan rasional, dari keringatmu sendiri menghasilkan karya. Apa?” Pertanyaan Rava begitu mendesak begitu mengkritik, begitu tidak tahu diri. Ini Reza, kekasihnya. Tidak bisakah ia menyaring kata-katanya? "Lalu karenamu yang sekarang sering kudengar disebut namanya atas karya-karyanya sudah merasa hebat? Aku menata kenyataan dari cerita dan kamu kira aku bercerita ilusi? Sudah sebegitu tingginya kenyataanmu ternyata Ravanda?" Reza menjawab ketus, merasa diremehkan, melepaskan genggaman. "Bukan begitu, aku hanya bertanya. Kan sudah dari awal kita berjanji akan tumbuh bersama, dan sejauh ini aku tidak melihatmu melakukan apapun. Justru dengan aku berdiam diri mengiyakan saja semua kata-kata mu, bukankah nanti berujung sama saja dengan ribuan wanita lain yang sengaja bermulut manis hanya untuk meyenangkan kekasihnya?" Reza terdiam. Tidak menanggapi apapun. Tatapannya tepat kehadapan Rava tapi kosong. Rava ambil alih lagi perhatiannya, digenggamnya lagi kedua tangan Reza. “Aku ingin tumbuh bersamamu, berbagi cerita satu persatu. Cerita tentang kenyataan kita, cerita tentang keberhasilan kita, cerita tentang hambatan-hambatan diatasnya. Tidak melulu dirundung sedih dan khayalan. Binar matamu jika bicara kenyataan itu mengilat tanpa perlu kamu sadari, membuat siapapun rindu melihatnya. Termasuk aku.” Reza refleks memasang muka sinis. Entah siapa yang memerintahkannya. Ekspresi seperti itu bagi siapapun yang memandangnya pasti langsung merasa hina. “Sepertimu? Menyatakan mimpi sepertimu maksudnya? Untuk apa jika aku ternyata bermuram durja saat sedang sendiri lalu berpura-pura bahagia dikeramaian? Sungguh, aku tidak berminat hidup diantara dua wajah.” Rava tersentak. Ekspresinya terkejutnya mewakili semua pertanyaan. Selang beberapa detik, keterkejutannya hilang. Berakhir sendu. “Aku yakin lama-lama kamu pasti akan menyadarinya, Reza. Maka dari itu, aku mengajakmu tumbuh bersama-sama sehingga lukanya bisa dibagi berdua. Apapun yang nanti menghalangimu, aku akan selalu ada, menerima segala cerita luka, apapun bentuknya. Begitupun kamu jika aku dirundung gelisah. Jadi, bagaimana? Bangkit bersama? Tolonglah.. Hanya kamu satu satunya yang bisa kuandalkan.” Jadi, tuan? Bagaimana?
177
Mengakhiri Cerita, Memulai Hidup Baru Perbincangan mereka berdua serius sampai gelap membungkam terang. Masih dalam genggaman tangan kekasih yang sama, namun sudah di dunia yang berbeda. Dimensi lain waktu di antara detik pertama dan kedua. Waktu di dunia nyata berhenti, di dunia yang serba putih ini berjalan dengan tenang. Di depan Reza, Rava kaku menatap sendu wajahnya, tangannya masih digenggam Rava. Ia hanya bisa menoleh sana-sini ketika seseorang berpakaiian serba putih memanggilnya. "Reza, disini Reza, tajamkan lagi pandangan batinmu," ternyata Revan. Dan di sebelahnya Satya. "Yang dikatakan Rava benar nak, pergilah. Setelah selesai ceritamu di buku itu pergilah, bidik mimpimu, buru sampai habis. Kau harus bebas bersama Rava," ujar Satya setelah Reza berhasil mereka berdua. "Setelah habis ceritamu, maka akan habis halaman di buku itu, juga habis tinta pena itu. Maka tuntas hutang-hutangmu kepada pendahulumu." Belum sempat menjawab Reza langsung kembali lagi ke dunia yang semestinya. "Entahlah Rava, aku belum pernah memimpikan apapun setelah aku tau terlahir untuk apa. Dan dengan buku itu aku akan hidup. Seharusnya kamu tau dan kamu sadar peranmu," Reza melunak tapi kata-katanya masih ketus. Rava terdiam, matanya masih menatap mata Reza. Ia tak kuasa melepas genggaman tangannya. Ia sungguh-sungguh sedang dalam keadaan serapuh-rapuhnya. Ia sangat membutuhkan Reza. "Kamu tau? Beberapa kali aku terlempar ke dunia serba putih, bertemu dengan Revan dan Satya. Diberikan pemahaman-pemahaman sampai aku berada di tempat ini. Sampai aku memberikan titik pada kalimat terakhir ceritaku." "Tapi barusan mereka berdua seakan-akan mendukungmu, mengiyakan kata-katamu, dan aku diminta menyelesaikan cerita terakhirku." "Jadi biar aku yang menyelesaikan cerita itu, lalu aku memohon bantuan mu, tolong aku menentukan apa yang harus aku kejar selanjutnya." Mata Reza berbinar mengharap kekasihnya mengiyakan ucapannya. Rava masih menatap wajah Reza, genggamannya masih erat. "Maka cepat selesaikan ceritamu, sayang," Rava hanya berkata itu lalu memeluk Reza amat erat mengiyakan segala permintaan Reza. Dalam legamnya malam, dua orang mengikat janji lebih erat. Sambil bergandengan mereka mendaki ke puncak kehidupan. Terjawab, Nona.
178
Teruskan. Teruskan Saja. Reza sibuk dalam hari-harinya berkhayal tentang mimpi. Mengarahkan jalan hidupnya, memperjelas masa depannya. Tidak lagi mengawang-ngawang diudara, hanya berhenti pada pikiran-pikiran liarnya saja. Dituliskannya beriring amin dan doa. Semesta khusyuk menyimak, setiap harapan adalah doa, setiap satu kebaikan akan dimohonkannya untuk menjadi nyata. Rava tidak tahu harus apa, sungguh. Reza terlihat asyik sekali dengan rencana-rencana masa depannya. Bicara pun nampaknya hanya menjadi interupsi, maka saat sekali waktu mereka bertemu Rava memberikan suatu semangat untuk kekasihnya. Diselipkan dalam selembar kertas bertuliskan kata. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan, jika ia tidak mampu bicara empat mata. Kuiintip sedikit kemarin tentang apa yang ditulisnya. Begini kira kira, "Lihat kan, cahayamu sebenarnya lebih terang benderang dari bintang jika kamu berani mengakuinya pada dunia, binar bola mata yang lama hilang itu aku lihat sekarang bersinar, semenjak kita pertama bertemu aku belum pernah melihatmu sebegitu bernyawa pandangannya, sebegitu meyakinkan kata katanya. Jika bermimpi saja kamu sudah sebegitu menakjubkannya, aku yakin suatu saat kamu akan berani menggengam dunia. Mengatur pemikiran lewat kata-kata. Menyebarkan kebaikan lewat seribu makna yang kamu punya. Berdiri tegaklah, sayang. Ribuan orang membutuhkanmu. Habisi saja segala halangan disisi, terjang dengan segala keyakinan hati. Mengapa aku begitu percaya diri? Karena dengan menggerakkan sedikit saja keyakinanmu lalu menyatakan segala keinginanmu, kamu langsung berdiri begitu tinggi. berdiri dan menjadi berbeda. keluar dari rutinitas yang orang orang sebut biasa. jika terus berada pada jalur ‘seharusnya’ kita tidak akan pernah memandang dunia dari berbagai sudut pandang. terkotak kotak dalam rutinitas selamanya. dan kamu sungguh berbeda, aku tahu itu sejak dari awal mula pertemuan kita. teruskan. teruskan cahayamu. dengan begitu saja sudah mampu membuatku senang bukan kepalang, apalagi jika nanti cahaya itu mampu kamu sebarkan pada banyak orang. Hebat, bahkan kata kataku tidak mampu menampung segala kekagumanku padamu. Lain kali, buat saja aku mati kata saat kamu menyatakan mimpimu pada dunia.” Jika Reza berani lagi putus asa setelah membacanya, nanti aku sendiri yang akan memenggal kepalanya hingga jatuh menggelinding. Tanpa ragu.
179
Awal Perjalanan Reza Reza sudah tidak lagi menulis di buku takdir warisan Revan dan Satya. Sudah selesai ceritanya. Beberapa bagian di awal ceritanya juga sudah mulai terlihat menjadi nyata. Para pemuda mulai sadar, dan sudah mulai saling bertukar pikiran. Tapi ia masih menulis. Bedanya ia sudah lagi tidak menulis takdir. Seperti bapaknya persis. Bedanya hanya ia berhenti karena memang sudah waktunya, bapaknya berhenti karena sudah tidak sanggup. Kau tahu? Reza amat berbakat dalam bidang tulis-menulis dan juga desain. Yang sedang ia kerjakan hari ini adalah membuat poster tipografi yang berisi kritik sosial. Ia membuat komunitas semacam perkumpulan anak-anak yang memiliki keinginan menyampaikan pesan maupun protes lewat poster. Selain itu Reza juga aktif membuat artikel-artikel sastra. Aku baru sadar dia adalah pujangga yang akan besar namanya di mata dunia. Kebenciannya kepada kesewenang-wenangan pemerintah membuatnya tergerak untuk melakukan aksi kritik lewat media ini. seiring rencananya berkembang ia teringat temantemannya yang memiliki bakat dan pemikiran yang sama dengannya. Biarpun sibuk Reza masih sering bertemu Rava walaupun sebentar. Sedikit banyak Reza memang membutuhkan Rava walau hanya untuk sekedar menyemangatinya. Kertas itu, yang waktu itu Rava selipkan, Reza tempel di dinding kamarnya. Dengan melihat surat itu cukup menghibur penatnya. Rava taukah kau Reza begitu membutuhkanmu seperti pena yang membutuhkan tinta?
180
Kemudian-kemudian Untuk jawaban pertanyaanmu, tidak. Rava tidak tahu. Dia begitu bodoh untuk memahami hal hal klise seperti itu. Dan hal ini menjelaskan mengapa kemarin-kemarin seperti susah sekali ia mengungkapkan apa yang dirasakannya. Karena memang terkaku-kaku gerak badannya jika ia bicara mengenai hal hal membutuhkan-dibutuhkan, mencintai-dicintai, memperhatikan-diperhatikan. Apapun yang berkaitan dengan itu, sekali lagi kujawab, tidak. Rava tidak akan pernah tahu dan menyadari apapun. Kecuali nanti pelan pelan kamu lembutkan lagi hatinya, Reza. Aku yakin lama lama ia juga akan terbiasa. Dua proyek Rava sendiri sekarang perlahan lahan memuncak. Tersebar dari satu mulut ke mulut lain. Membuat beberapa orang yang haus akan kepedulian dan rasa ingin tahu mampir dan berkumpul. Berbagai aspirasi tertampung. Kritikan lebih banyak lagi, sampai menggunung. Walaupun begitu hari demi hari ada saja beberapa belas orang bertanya padanya, menawarkan diri untuk ikut serta, pertanda bahwa komunitasnya memang bukan main-mainan. Bukan sekedar ajang mencari tenar. Alfan sendiri begitu rajin datang mampir. Meski ia tidak terlalu mengerti kesenangan macam apa yang didapat Rava dari kegiatan seperti ini. "Bikin repot saja, kamu tidak lelah apa?" Ujarnya suatu hari saat melihat mereka sibuk melatih anak anak jalanan mendongeng untuk tampil di pagelaran seni tahunan kota mereka. "Kamu sendiri, mampir melulu tiap hari. Tidak lelah apa?" Rava justru balas menyindir. "Habis, kamu dan semua ini, menarik sekali untuk diperhatikan setiap hari," Alfan berujar ringan. Kesungguhan dimatanya membuat Rava terenyuh. Reza tidak salah memilih, Alfan memang yang paling tepat dahulu ia jadikan tokoh utama ceritanya. Hari yang hebat, sore yang menyenangkan. Dan diatas semua realita mimpinya, Rava tidak berhenti berdoa. Semoga Reza benar-benar sanggup. Semoga apa saja yang nanti dituliskannya benar-benar ada dan nyata. Sebab sudah beberapa hari terakhir setelah percakapan mereka, tidak ada lagi pertemuan. Mungkin ia begitu terlarut dengan obsesinya. Biarlah, sesekali memberikan waktu pada Reza untuk memikirkan dirinya sendiri karena akhir-akhir ini Rava merasa dirinya terlalu banyak menginterupsi. Sebenarnya tuan, Reza sedang apa?
181
Terima Kasih Tumpukan kertas, spidol warna, tulisan, lagu, gelak tawa memenuhi ruangan itu. Berisi enam orang. Tadinya tujuh, baru saja satu pamit. Sebut saja ruangan itu adalah markas. Sebuah ruang kosong yang lama tidak Reza tempati di rumahnya. Ya kamar bapaknya. "Sore kita cetak, malam kita sebar di dinding-dinding kota," ujar Reza tegas kepada lima temannya. "Jangan lupa ajak Roy juga nanti malam," sambung Reza. Inilah Rezamu yang sekarang Rava, bergelut di dunia aksi sosial, meneriakkan kegundahan lewat poster juga tulisan. Malam ini adalah malam pertama kelompoknya menyebarkan poster-poster mereka, sedikit saja, mereka hanya akan menyebar di blok-blok pertokoan. Hingga malam itu tiba, mereka berkumpul di titik yang telah di tentukan. Dengan santai Reza membuka lem lalu mengoleskan ke dinding dengan kuas panjang, sementara temannya menyiapkan posternya lalu ditempelkan begitu lemnya siap. Begitu terus mereka ulang-ulang sampai posternya habis. Tidak lama, mereka bertujuh, hanya satu jam poster mereka habis. Dengan senyum puas mereka pulang ke rumah masing-masing. Reza sudah berpisah dengan teman-temannya, ia jalan sendiri menuju rumah. Di tengah jalan ia seperti enggan pulang. Ia merindukan danaunya. Danau ia dan Rava. Begitu sepi, jika memang bulan bisa bicara mungkin Reza mendengar bisikannya. Angin berdesir pelan. Reza duduk menghadap danau. Beberapa keping kenangan membuatnya tersenyum. Paling jelas saat ia diselamatkan Rava saat hampir tenggelam. Reza menyeluarkan buku catatannya dari tas. Menatap langit menarik nafas panjang lalu tenggelam dalam tulisan. "Hey, aku di sini, di danau kita. Aku teringat lagi masa masa sulitku, di ujung penyesalan kamu menyelamatkanku. Membakar lagi semangat yang hampir padam. Tanpa kisah romantis yang layak dikenang dan diceritakan, kita sepakat menjadi pasangan dalam keadaan apapun, suka dan duka kita lewati bersama, rintangan dan halangan kita hadapi berdua. Jika kamu tengok lagi ke belakang, kita sudah begitu jauh berjalan Rava. Tidak ada ucapan lain selain terima kasih karena berkali-kali kamu bangunkan aku dalam keterpurukanku, kamu papah lagi aku saat aku terantuk batu, kamu genggam tanganku saat aku butuh. Terima kasih karena sudah membuatku tetap hidup sampai saat ini, Rava. *Lupakan kejadian-kejadian bodoh yang membuat kita terpisah beberapa waktu, itu hanya membuat kalimat-kalimatku tidak romantis.” Ia tutup buku itu, lalu ia robek kertas tadi, ia selipkan di antara akar yang keluar. “Barangkali Rava besok datang,” ucapnya sebelum meninggalkan danau.
182
Sama-Sama? Benar saja, Rava memang datang keesokan harinya. Tidak jauh berbeda dengan Reza, ia datang hanya untuk melepas penat, bercerita pada alam. Selembar kertas putih tergeletak dibawah pohon, tempat biasa mereka bercerita. Selama membaca, senyuman tak lepas dari bibir. Surat terbaik dari Reza yang pernah diberikan untuknya. Berterimakasih untuk apa? Padahal sudah jelas Reza sendiri yang menentukan takdir hidupnya. Rava hanya pemeran tambahan, pemeran pendukung. Justru hidupnya yang bergantung pada pemeran utama, terimakasih ini seharusnya datang dari arah sebaliknya. Oh iya, Ingat orang-orang yang sempat mengacaukan segala harapan dan isi kepalanya? Para pesolek-pesolek itu? Nah, Rava tidak berminat pergi menang sendiri sedang teman temannya itu pergi jatuh jauh kedalam jurang kisah cinta yang tidak ada jedanya setiap hari. Ia tidak mengajari ini itu, tidak menggurui apapun. Tapi dengan kisah ia berujar, dengan pemahaman ia mempengaruhi. Walaupun kadang penolakan yang dirasakannya berarti, Rava tidak terlalu ambil pusing. Karena ia yakin suatu hari satu persatu juga mulai sadar diri. Seperti pada pagi hari ini, teman terdekatnya tiba tiba menariknya untuk berbicara. “Masalah penting, aku lelah sekali jatuh cinta,” ujar Andro sambil menarik pergelangan Rava. Rava kaget. Terdiam, patah-patah mengikuti langkah. Dan kulihat kemudian mereka berbincang lama, dan senyum Rava merekah begitu kembali ke kelasnya. Tentang apa dan siapa, lain kali aku sempatkan kata kataku untuk bercerita
183
Biarkan Saja Cerita Ini Tanpa Judul Malam kesekian untuk Reza dan teman-temannya menebar ekspresi di dinding kota. Pasukannya bertambah, menjadi 30-an orang. Kini ia sudah pindah markas, ke sebuah rumah kosong milik salah satu krunya. "Kita bagi tiga kelompok, satu kelompok satu blok. Berpencar!" Perintah Reza kepada krunya. Malam itu seperti malam biasanya sepi, satu dua kendaraan melintas cepat tidak memperdulikan aktivitas Reza dan kawan-kawannya. Sampai tiba-tiba satu kelompok krunya berlari terbirit-birit di kejar sesuatu. “Lari!!! satpol!!!” Teriak salah satu dari mereka. Mereka semua berpencar, memecah menjadi kelompok-kelompok kecil, satu kelompok berisi tiga orang, mereka cepat, lincah, tak terlihat. Hitungan menit seketika mereka hilang. Meninggalkan beberapa alat yang tertinggal dan akan menjadi barang bukti. "Hahahaha sial rugi berapa poster kita?" Celetuk salah satu kru Reza. "Yang pasti mereka sudah mengincar dari lama, dan kita akan menjadi buronan kota hahahaha," sahut yang lain. "Sejauh ini strategi melarikan diri kita selalu berhasil, Reza. Selamat," ujar cesar, tangan kanan Reza. "Ini semua hasil kerjasama tim kawan, setelah ini kita harus menciptakan jeda, tunggu sampai situasi mendingin lalu kita mulai lagi. Saat menunggu buat lagi desain dan kata-kata baru, gambar, apapun. Aku pamit dulu," ujar Reza lalu menyalami seluruh krunya. Malam terlalu malam, pagi terlalu pagi. Reza melangkah santai menuju rumah, tangan masuk ke saku, wajah tertunduk sesekali mendongak menghirup udara dingin. Matanya sayu kelelahan namun bersinar. "Rava sedang apa, kadang aku merindukan cerita-cerita bodohnya," ujarnya dengan suara amat pelan, lebih pelan dari jangkrik yang berbisik. "Apakah Rava sadar kalau ceritaku sudah mulai menunjukkan kenyataan? Apa Rava sadar kalau aku yang memulai pergerakan, dan apa Rava tau kalau sebenarnya tidak ada tokoh utama dalam cerita terakhirku, hanya narasi saja," gumamnya Tapi tahukah Reza dibelakangnya ada yang mengikuti?
184
Kesepakatan Reza menoleh ke belakang, yang dilihat hanya jalanan yang sepi. sebentar, lalu muncul seseorang berbadan tegap dari balik lampu jalan. hanya badannya yang tersorot lampu. "Kau menyadariku Reza?" Ucap seseorang yang hanya terlihat badannya itu. Lalu ia maju selangkah baru terlihat wajahnya. "Hey aku mengenalimu, komandan satpol pp tadi malam, kan?" Reza berusaha tenang walaupun kakinya sudah siap berlari lagi. "Aku tidak ingin menangkapmu Reza, aku bisa berjanji." "Tapi maaf pak aku tidak bisa memercayaimu." "Tapi kau harus." "Dengan alasan?" “aku bukan anggota apalagi ketua satpol pp itu.” “siapa kau? Dan apa yang kau inginkan?” "kau bisa sebut aku pemegang kekuasaan anak anak jalanan, Kita bisa buat kesepakatan." "Teruskan." "Aku terkesan dengan kegiatanmu, kau ingin membuat revolusi? Jika iya aku bisa bantu." Reza terkejut, ia tidak menyangka ceritanya akan secepat ini. "Apa yang akan kau tawarkan pak?" "Apa wajahku pantas dipanggil pak? Panggil saja namaku, umur kita tidak jauh Reza. Aku akan memback-up kegiatanmu. Setiap malam peletonku melakukan patroli. Dan aku takut ulahmu membuat pengetatan patroli, ditambah pasukannya, di perketat pengawasannya. Dan pasukanku siap membantumu." "Lalu apa yang bisa aku lakukan untukmu?" "Gulingkan walikotamu yang korup itu." Reza terkesiap kaget dengan permintaannya. "Maaf Dimas, ini agak sulit. Kegiatanku baru ku mulai, kupikir belum saatnya aku melakukan konfrontasi dengan aparat." "Tidak apa Reza santai saja, tapi tambah lagi anggotamu, perbanyak poster-postermu, atau kau bisa bekerja sama dengan komunitas-komunitas mural. Aku punya kenalan."
185
"Baik, kapan punya waktu luang?" "Jika kau bisa, besok siang saat matahari tepat diatas kepala kutunggu di cafe perempatan jalan itu," ujar Dimas sambil menunjuk cafe yang dimaksud. "Oke." Tanpa kata pamit mereka berbalik menuju tujuannya masing masing. Reza pulang dengan senyuman, senang usahanya banyak yang membantu. Akan sempurna jika Rava tau. Sayang nona memutuskan untuk pergi sebentar, seminggu ini mungkin hanya ada cerita Reza.
186
Aliansi Blok Karya Matahari tepat berada di atas ubun-ubun manusia di bawahnya. Di antara banyak pejalan kaki, Reza berjalan hati-hati, matanya tajam mengawasi. Jaket putihnya membuat dirinya membaur namun tak terlihat. Sebelum masuk ke cafe itu ia berhenti sebentar, matanya mematikan kalau benar benar aman. Reza tidak sendirian. Tak jauh di tempat ia berdiri ada empat orang temannya yang juga mengawasi. Saat Reza masuk mereka juga ikut masuk. "Wah.. wah.. kupikir kau sendirian Reza," sapa Dimas saat Reza menarik bangku di depannya. "Jaga-jaga aku takut masuk perangkapmu haha," disusul empat temannya di belakang. "Aku juga tidak sendiri. Kenalkan, ini pemimpin komunitas mural yang karyanya menghiasi dinding-dinding kosong seantero kota ini," Dimas memperkenalkan. "Bobby, aku tak menyangka bisa berkenalan dan berkerja sama dengan orang yg ada di balik poster-poster provokatif itu," setelah memperkenalkan diri Bobby langsung berkomentar. "Haha jadi bagaimana Dimas?" Tanya Reza. "Sesuai dengan perundingan kita tadi malam, kita harus melakukan provokasi terus menerus, lewat postermu, lewat muralmu, Bob. Aku juga punya kenalan orang media besar, dia punya posisi penting, aku sudah menceritakan semua kepadanya, sayang ia tidak bisa ikut hadir di sini." "Oke, kau terbiasa kerja di siang hari Bob?" Tanya Reza "Ya siang malam kami bisa, bebas," jawab Bobby. "Kelompokku terbiasa keluar malam, jadi kita tentukan saja dinding mana punyamu, dinding mana punyaku." "Baik." Siang itu keluar hasil rapat mereka, malam ini mereka akan mulai bergerak dengan misi yang sama provokasi lewat karya. "Kita namakan apa aliansi ini?" Tanya dimas asal. Bobby melirik ke Reza, Reza melirik ke empat temannya. "ALIANSI BLOK KARYA!!" Pekik cesar tangan kanan Reza. Mereka semua tersenyum lalu mengangguk. Lalu berpisah. Lagi-lagi di jalan Reza teringat Rava. “Andai Rava tau,” ujarnya pelan.
187
Setelah Sekian Lama Reza tidak langsung pulang atau pergi ke basecamp komunitasnya. Ia menuju danau. karena firasatnya Rava menunggunya disana. Dan benar Rava di sana. Angin semilir menggoda mata untuk terpejam, tapi mata Rava seperti tajam enggan terpejam. Matanya memantulkan kata-kata dari buku. Ia sedang meringkas materi kuliahnya yang tidak lama lagi di ujikan. "Jangan lupa berkedip, nona," ujar Reza yang langsung selonjoran di sebelahnya. Agak lama Rava tidak menyahut, lalu ditutup bukunya dan langsung mengehembuskan nafas panjang, “Oh ada orang,” ledeknya. Reza yang sudah tiduran berbantal kedua lengan hanya tertawa. "Jadi orang sibuk masih sempat santai-santai kemari?" Tanya Rava meledek sambil ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Reza. "Yang sibuk siapa sebenarnya? Aku setiap saat bisa saja kesini, tapi tidak ada kamu, untuk apa. Oh, aku maklum kamu kan harus meringkas materi sana-sini, untuk apa namanya itu? ah iya ujian.. aku lupa kapan terakhir ujian," balas Reza meledek. "Sombong!" balas Rava sambil menoyor pelan kepala Reza. "Serius Rava, semenjak aku sibuk dengan duniaku, lalu aku lupa bahwa aku punya dunia lain di kampus ini. Ya Tuhan sudah berapa banyak aku alpa," Reza mulai membagi keluh kesah kepada kekasihnya. "Aku baru lihat orang yang punya anak buah banyak khawatir dengan absen, tenang pasti teman-temanmu memalsukan tanda tanganmu Reza haha." "Memangnya tidak dosa?" "Demi revolusi." "Hey kamu tau tentang revolusi yg aku rencanakan?" "Bagaimana aku bisa lupa, aku orang pertama yang membaca ceritamu." "Yang pertama dan yang terakhir," balas Reza memasang ekspresi genit. Rava hanya tertawa, entah terlalu sibuk atau apa Reza sampai lupa bahwa Rava sudah membaca ceritanya. Dan yang membuat Reza lega adalah kini Rava percaya bahwa ceritanya sudah berjalan dengan semestinya dan tidak perlu campur tangan penulisnya.
188
Siang berganti senja. Warna cakrawala selalu indah dipandang mata. Mereka berdua pamit berpelukan, satu dua kata penyemangat dan doa kesuksesan meluncur dari mulut mereka berdua. "Tenang saja rinduku adalah doa untukmu, sayang," ujar Reza sebelum berbalik melangkah pulang. Rava hanya pura-pura mencibir, setelah Reza sempurna berbalik ia senyum menahan gembira. Nona, kamu harus lihat ini, Ravamu ikut bersinar.
189
Perubahan Rencana, ya? Esoknya datang. Minggu pagi yang menyenangkan. Sudah menjadi kebiasaan Rava untuk tidak berlama lama berada dirumah. Markas anak jalanan itu sudah menjadi rumah utamanya. Tempat ia mengadu segala kisah dan berbagi lelah. Dan sepertinya akhir akhir ini tempat itu tidak lagi miliknya sendiri. Seperti pagi ini, ia sudah berjalan menuju markas padahal matahari belum tampak terangnya. "Sejak subuh sudah duduk disini? Apa kamu menginap?" Ia berujar pada Reza yang berbaring sambil membaca buku di rerumputan. Rava mengawali paginya datang ke markas, membawa beberapa bahan kuliah yang harus diselesaikan. Lebih menyenangkan jika mengerjakannya disini, katanya saat coba kuterawang isi kepalanya. Tapi benar ia tidak menyangka jika Reza rela pagi pagi begini sudah datang mendahuluinya. "Sejak subuh. Nyaman sekali disini. Aku mendapat banyak sekali ide karenanya. Sini sini duduk bersamaku. Banyak sekali rencana rencana yang ingin aku bagi kepadamu." Reza langsung duduk begitu tahu Ravanya datang. "Tunggu tunggu.. Sebelum itu aku juga berfikir semalam tentang segala rencana gilamu. Tidak sesederhana itu jalannya, Reza. Lebih baik kita lewat cara belakang. Cara yang lebih… Semacam underground plan? Tidak akan ada yang tahu bagaimana karena kita tidak melakukannya secara besar besaran." "Maksudmu? Tidak perlu berdemo ataupun segalanya? Ini namanya mengubah semua rencanaku Rava…" "Yah… Itu terserah padamu. Aku hanya memberi saran. Sarapan? Aku tadi membawa roti bakar." Reza mengambil satu, mengunyahnya perlahan sambil berfikir. Rava tidak begitu peduli. Ia membuka bukunya, mencatat beberapa hal penting darinya. Memasang headset, lupa pada dunia sekitarnya. Membiarkan Reza sibuk dengan semua khayalan khayalan. Hari mulai nampak terangnya. Tapi tidak satupun suara terdengar lagi dari mereka berdua. Beberapa saat kemudian, Reza mengambil tangan Rava cepat, segera berkata, “aku tahu hal macam apa yang akan aku lakukan! Ini lebih hebat dari sebelumnya. Dan kamu, kamu harus membantuku, Rava. Idemu berperan besar didalamnya. Mau ikut aku?” Dilepaskannya headsetnya, menyerengit sebentar. “Apa? Ikut apa?” "Ikut aku untuk membantu menyatakan mimpiku, bodoh. Ya apa tidak?" Rava tertawa, kebodohannya membuat Reza kesal seketika. “Tentu saja tuan, apapun untukmu. Apa yang harus aku lakukan?” Bercerita panjang, aku yakin tuan lebih tahu.
190
Rencana Lain, Lebih Berbahaya Rava menuggu Rezanya berkata-kata. bersiap mendengar rencana-rencana hebat yang selalu keluar dari mulut Reza. matanya berbinar menunggu, jidatnya berkerut bertanya apa. "Aku temukan rencana ini ketika tiba-tiba teringat film-film agen rahasia hehe." Ujar Reza sambil menunjukkan deret gigi putihnya yang rapi. Rava masih diam. Sorot matanya mengintruksikan Reza untuk melanjutkan. "Aku punya kawan namanya dimas, jaringannya luas. Dia pasti punya kenalan orang dalam." Lanjut Reza. Rava masih diam, sorot matanya masih sama. "Ini semacam spionase, Rava. Mengumpulkan bukti-bukti, jebak, lalu tangkap. Ya walaupun terdengar seperti mustahil." Ujar Reza mengakhiri. "Tapi jika ia dijebak malah akan merugikan kita Reza, ia akan berdalih "Saya dijebak" lalu bebas." Sanggah Rava. "Kalau begitu kumpulkan bukti, lalu lapor KPK. hehe" jawab Reza. Rava masih menunggu Reza melanjutkan kata-katanya. "Kamu akan menyamar menjadi anggota komunitas pers amatir. Berdalih ingin melakukan wawancara. Di ruangannya nanti kamu pasang alat rekam, tinggalkan disana, orangku akan mengamati 24 jam." "Kamu yakin?." "Selagi ada kemauan, pasti ada jalan." Mereka berdua tersenyum. Memang agak menyimpang dari cerita Reza. Tapi siapa yang tau takdir tuhan. "Menurutmu, masih perlukah demo? Propaganda?." Tanya Reza "Supaya terlihat tidak mendadak sih kurasa masih perlu." Jawab Rava. Pagi mereka penuh rencana, tapi seperti ada yang mengganjal hati Rava. Soal Rava nona lebih mengerti.
191
Mulai Saja Perlahan Lahan "Kenapa? kamu seperti ragu." Reza berujar sesaat setelah senyuman Rava berubah keruh diakhir. "Kenapa cepat sekali? Kamu setidaknya harus memberi alasan alasan. Ini bukan hal yang sebegitu mudahnya dilakukan. Memang berapa banyak orang yang mau kamu libatkan? Jangan begitu terburu-buru Reza." Rava pelan berkata. Dia bingung tapi tidak tahu bagaimana menyampaikan kata yang tepat. Tidak sedikitpun ingin ia rusak segala euforia Rezanya yang begitu meledak ledak daritadi. "Mimpiku terlalu absurd ya? Susah dicapai dengan waktu singkat maksudmu? Nah justru itu Ravanda sayang, segala khayalanku yang terkesan mengada ada ini dirasionalkan dengan pikiran pikiran ‘nyata’ mu. Maka dari itu mengapa betul aku membutuhkanmu." Reza berkata sambil tersenyum. Tulus sekali. "Tidak pernah aku lihat orang sebegitu hebat idenya selain dirimu, sungguh. Tapi kita mulai pelan pelan ya? Dari perencanaan awal saja bagaimana? Kita susun dalam sebuah map besar. Skema skema. Hingga orang lain bisa mengerti." Rava pelan menjelaskan. Senyumnya kembali meyakinkan. "Tahap tahapnya juga jangan sampai lupa. Kalau bisa dengan tanggal tanggal." Reza menambahkan cepat, seperti takut tertinggal. "Baik baik, tuan. Sekretaris pribadimu ini siap mencatat apapun segala mimpi itu. Tapi haruskah kita mulai sekarang? Tugas tugas kuliah sinting ini harus aku selesaikan. Bagaimana kalau siang hari sambil kita makan siang?" Rava memohon, memasang wajah memelas sambil memegang buku buku tebal dan kertas kertas dihadapannya. Meyakinkan perkataannya. "Baik, baiklah. Tapi ideku ini sudah tumpah tumpah rasanya. Aku tulis saja dulu. Nanti tinggal baca saja karena aku pasti sudah tidak lagi mengingatnya. Sini, aku minta kertas dan pulpen!" Rava berdecak sebal. sudah mengambil persediaan kertasnya, meminjam satu satunya pulpen yang ia punya, menyuruh nyuruh lagi. Mau tak mau diberikannya. Meski kesal tapi Rava begitu senang melihat Rezanya kembali berbinar matanya, menyatakan mimpi mimpi yang hebat luar biasa. Semoga selamanya. Semoga selamanya.
192
Langkah Reza Jadi Ringan Siang menjelang, di balik tumpukan buku-buku tebal Rava dan Reza asik merancang skema, jadwal dan rencana. Tugas Rava selesai lebih awal karena didesak Reza. Hari itu Reza bersemangat sekali, seperti anak kecil yang pertamakali diajak pergi ke toko mainan. "Bukan begitu tapi begini Ravaaa." Ucapan itu banyak terucap dari mulut Reza mengoreksi tulisan Rava yang tidak jarang melenceng dari pikiran Reza. "Iya iyaaa." jawabannya pasti itu. Sampai langit menguning, tanda senja telah tiba. Mereka selesai dengan berlembarlembar hasil kerja mereka dari siang. Lembaran-lembaran itu lengkap berisi tanggal, rencana, tempat, dan siapa yang terlibat. "Sudah sore, ayo pulang." Ujar Rava kepada lelakinya. "Kuantar ya, naik angin." Jawab Reza sambil bercanda. Mereka pulang sambil melepas tawa. Bergandengan sampai di depan rumah Rava. "Malam ini aku turun lagi ke jalan." Ujar Reza sebelum melepas tangan Rava. "Oke, hati-hati jagoan." Jawab Rava sambil mengacak-acak rambut Reza. Mereka berpisah, setelah pelukan mereka selesai. Reza pergi dengan langkah ringan dan tangan yang dimasukkan ke kantong celana. Rava mengamatinya dari jendela sampai tidak terlihat lagi Reza di ujung jalan.
193
Tidak Akan Semulus Apa Yang Kamu Pikirkan Beberapa hari menjelang. Reza tidak berkabar seperti biasa. Rava juga tidak begitu peduli walau kadang bertanya pada diri sendiri sesekali. Dia sibukkan saja dengan hal hal lain yang lebih perlu, seperti menyelesaikan satu masalah baru pada komunitas anak jalanannya. Kemarin, sepulang kuliah Rava melihat Ahmad duduk diteras rumahnya. menunggu. Tidak pernah sekalipun orang selain Reza pernah khusus datang kerumah. kecuali jika benar benar diperlukan. Dari jauh Ahmad tampak bersemangat namun gelisah gerak geriknya. Belum lagi dekat dengan rumah pun, karena heran, Rava berteriak kencang memanggil namanya, "Ahmad! sedang apa?" Yang dipanggil tersentak, kemudian bergegas berjalan kearah Rava. "Aku ingin membicarakan sesuatu hal denganmu. Penting." "Yatuhan, hal macam apa hingga kamu begitu terburu buru?" ujar Ravanda santai. berdiri mereka ditengah halaman rumah. Enggan melanjutkan jalan bahkan untuk mengambil posisi duduk diteras rumah. "Tentang komunitas kita. Aku… aku ingin.. mengambil alih" Rava terdiam. matanya membelalak. Marah. “Maksudmu?” Ahmad yang mengetahui betul respon apa yang akan didapatnya buru-buru menjelaskan. “Demi keberlangsungan komunitas ini Rava. Demi kamu. Preman preman itu tidak tahan lagi. Yang kemarin memang sudah lewat. Temanmu yang mengurusi semuanya itu terlibat judi besar besaran kemarin. Dia nyaris bangkrut. Aku bertemu dengannya kemarin malam saat aku sedang membereskan ruangan. bajunya kacau balau, mukanya berdarah-darah, lalu…” Rava kaget hingga menutup mulutnya, “Alfan? Anak kaya raya itu bangkrut?” "Aku belum selesai menjelaskan! dan dia tidak bangkrut. Nyaris. Dengarkan dulu baru kamu berkomentar, Rava. Temanmu itu menjelaskan segalanya. Preman yang kemarin mengancam kita itu memang pergi tapi tidak melepas dendam. Aku tidak tahu cara kotor macam apa yang digunakan temanmu itu tapi jika preman itu menjadi sebegitu marahnya, aku yakin itu bukan cara baik baik." Ahmad cepat menjelaskan dengan suara yang sedikit tinggi. Dia benci sekali jika ada siapa saja yang berani memotong pembicaraannya. "Aku tahu Alfan, dan ia tidak seburuk itu." Rava menambahkan, kesal sekali tokoh kesayangannya itu dijelek jelekkan. "Tahu sampai mana? Alfan bahkan menyuruhku berhati hati. Ia tidak tahu kapan mereka datang dan mengacaukan markas kita. Mengambil kembali sumber pencarian mereka. Anak jalanan itu Rava, kita tidak mungkin membiarkan mereka jatuh lagi untuk yang kedua kalinya. ditambah lagi dengan kekalahan temanmu kemarin malam.
194
Mereka tahu satu satunya yang melindungi kita sedang lemah posisinya. " Ia tidak menggubris kesalnya pada Rava yang terus saja memotong cerita. "Lalu mengapa harus kamu yang mengambil alih kalau begitu?" "Karena jika ini berjalan rumit, aku tidak ingin kamu terlibat. Dan ini akan berjalan sementara saja. Jika sudah tenang, aku akan serahkan lagi padamu. lagipula, jika Rezamu sampai tahu apa yang terjadi, jika aku tidak segera mengamankanmu pasti aku yang dihabisinya pertama kali, Rava." volume suaranya merendah, cemas dan panik terdengar jelas. Intonasi tidak teratur, nafas yang terburu-buru. "Baik. tapi tidak dengan sebegitu mudahnya aku mengatakan ya, Ahmad. ikut aku. Kita kerumah Alfan sekarang." Rava berujar sambil menarik lengan Ahmad. "Tapi aku tidak yakin akan baik baik saja disana, Rava." Ujarnya pelan, takut takut. "Maka dari itu, segera kita cari tahu."
195
Semoga Saja Bukan Apa-apa Pada hari Rava yang kalut, di lain tempat Reza sedang melakukan pertemuan dengan Dimas. ia merundingkan rencana-rencana yang akan mereka jalankan setelah ini. "Jika hanya itu mudah saja Reza. Aku bisa urus beritanya dengan kawanku yang wartawan itu." ujar Dimas. "Baiklah. Rencananya tidak berubah. Hanya ditambahkan sedikit." "Ya sejauh aku bisa membantumu Reza." Mereka berpisah, setelah salaman tanda untuk berpisah. Hari ini seperti hari biasanya, malamnya juga, menyebar poster-poster kritik sosial. Bersama teman-temannya. urusan kampusnya sedikit-sedikit ia tinggalkan, yang terakhir kudengar surat pengunduran dirinya tinggal ditandatangani. Ia melangkah pulang, di siang hari yang berdebu. Ia jalan dengan tatapan tajam memikirkan sesuatu. Firasatnya buruk. Seperti ada suatu hal buruk ia rasakan sedang terjadi. Namun ia tidak tau apa. "Kukira kau akan ke markas anak jalanan, Reza." Ujar Laras ketika Reza baru sampai di rumah. Reza yang dari tadi merasakan hal buruk langsung berbalik arah menuju markas anak jalanan. Karena ia tau pesan tersirat yang ingin dikatakan Laras. Ia berjalan cepat. Sesekali berlari. Di jalan ia keluarkan handphone lalu memilih nomor Dimas untuk dihubungi. "Ke markas anak jalanan yang waktu itu aku ceritakan Dimas, bawa pasukanmu." ujar Reza dan langsung ia matikan. "Semoga hanya firasat, dan tidak terjadi apa-apa." bisik Reza Entah apa yang terjadi, mata manusia terbatas. Hanya lewat tanda tertentu tuhan mengabarkan sesuatu pada manusia.
196
Berusaha Mencari Pembenaran Sepi. Gerbang tertutup rapat. Kunci ganda, berantai rantai. Tidak ada celah bagi siapa saja yang ingin masuk. Aneh? tentu saja. Pintu ini memang berada dalam posisi terkunci rapat berbulan bulan lalu, sebelum Alfan tertuliskan kisahnya pada buku Reza dan Rava. Namun, semenjak bertemu mereka berdua, tidak pernah sekalipun Alfan menutup diri, pintu gerbang terbuka lebar. Mempersilahkan siapa saja yang ingin menikmati keindahan tamannya. Jika tiba tiba terkunci rapat seperti ini, pasti suatu hal buruk sedang terjadi. Berteriak beberapa kali. Tidak ada sahutan. Bel berdering dering hingga terdengar suaranya sampai keluar rumah. Tetap tidak ada jawaban. Jangan tanya telefon, nada sambung saja tidak terdengar sama sekali. "Apa mungkin Alfan pergi?" Ahmad takut takut bertanya pada Rava yang sedari tadi meggedor pintu gerbang seheboh-hebohnya. "Tidak. Ia tidak akan mengambil resiko untuk pergi jauh. Dia bercerita dia bangkrut atau berhutang?" Rava menarik nafas pendek pendek. Lelah berteriak teriak. "Bangkrut. Nyaris bangkrut.`Tapi aku tidak tahu pasti. Jika memang tidak berhutang Mengapa harus panik dan mengurung diri seperti ini?" "Alfan berbeda. Dia bukan orang yang terbiasa berada dalam situasi sulit." Rava berbicara sambil berjalan sepanjang dinding depan rumah Alfan yang tinggi menjulang. Diatasnya pecahan kaca tajam tertanam, mengamankan. "Atau kita, masuk secara paksa?" Ujarnya ringan. "Dasar gila. Aku tidak mau ambil resiko apapun. Lebih baik kita segera ke markas saja Rava. memberitahu anak anak tentang apa yang akan terjadi." "Mau kita amankan pun sia sia jika pembuat masalahnya tidak kita tanya dulu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Coba kamu pinjam tangga atau apapun di toko sana Ahmad, aku tidak tahan menunggu lama-lama." Ujar Rava sambil menunjuk tangga panjang yang bersandar disalah satu toko kelontong tidak jauh dari mereka. "Yatuhan Rava. Aku memberitahumu agar kamu pergi jauh dari segala bahaya dan kamu justru berjalan menghampirinya. tidak, aku…" Ahmad protes, suaranya meninggi. "Cepat saja ambil. Ini tentang bagaimana aku mempertahankan agar mimpiku tetap mampu menjalani kenyataan. dan aku tidak membiarkan siapapun membuat kenyataan itu berhenti." tidak ada nada perintah, namun tegas Rava mengucapkan. Ahmad tidak mampu lagi membantah. Maka berlari Ahmad untuk memenuhi permintaan Rava. Lima menit kemudian tertatih-tatih ia membawa tangga panjang. Tidak begitu berat, tapi cukup merepotkan. Rava bukannya membantu, ia hanya sibuk berteriak menyemangati saja dari pintu gerbang. Ahmad mendecak kesal, tidak sudi berkata kata lagi.
197
Kemudian disandarkannya tangga tersebut ke dinding samping rumah Alfan. Rava memberi perintah lagi untuk menahan tangga agar tidak meluncur jatuh saat ia memanjatnya. Baru setengah perjalanan, seseorang berteriak memanggil namanya. Rava tersentak. Spontan membalik badannya, mencari sumber suara. Reza diujung jalan. Entah tahu darimana dia jika Rava sedang berada disana. "HEY BODOH, KAMU SEDANG APA?!"
198
Musnah Sudah "Reza? apa yang kamu lakukan di sini?." ujar Rava setengah kaget "Laras memberiku tanda, Rava. Sebaiknya kita pergi ke markas anak jalanan sekarang." Reza menjawab sambil berjalan mendekat "Tapi…." "Yang kamu cari pasti ada hubunganya dengan markas anak jalanan. Ayo cepat." Potong Reza. Ahmad hanya menggeleng-geleng. Dua pasang aneh itu pergi, Ahmad kerepotan mengembalikan tangga ke tempat ia pinjam. Lalu bergegas menyusul. "Sebenarnya apa yang terjadi Reza?" Tanya Rava sambil mengimbangi langkah Reza yang cepat "Entahlah." Jawab Reza singkat Dibelakang Ahmad sibuk menatap ke layar handphone-nya entah siapa yang dihubungi. Mereka bertiga berjalan cepat menuju markas anak jalanan. Di jalan Reza bertemu Dimas. "Sebenarnya apa yang terjadi Reza?" Tanya Dimas sambil menjabat tangan Reza. "Aku khawatir preman-preman yang waktu itu mengganggu kami lagi, bisa kau tangani?" "Kami terbiasa menghadapi orang-orang itu." Jawab Dimas percaya diri. Bisa jadi ini akhir dari mimpi Rava yang sudah menjadi nyata. Bisa jadi ini awal dari mimpi Reza yang akan menjadi nyata. Jika memang harus terjadi. Untuk Reza kurasa Rava rela. Yang kudengar hari itu markas rumah anak jalanan dibakar. Karpet, buku-buku, rak, semuanya ludes hangus dilalap api. Rava menangis dalam pelukan Reza, di depan kobaran api yang menyala-nyala. Ahmad, disebelahnya Syifa dan Dina yang ternyata ia hubungi saat perjalanan tadi. mereka berlima tak kuasa menahan pilu, satu dua tetes air mata mengalir. hanya Reza yang kelihatan tegar walaupun ia tak bisa menyembunyikan amarah. Semua preman sudah dibereskan Dimas dan anak anak buahnya, entah dengan cara apa. sebelum Dimas pergi ia berbisik pelan kepada Reza. "Sepertinya aku tau ini perintah siapa."
199
Mencoba Menyelesaikan Masalah Yatuhan ini benar benar kacau. Tuan hancurkan segala mimpi yang aku buat bersama Rava. Tanpa sisa. Anak jalanan lari jauh entah kemana. Sudah berapa hari terkahir ini tidak lagi nampak batang hidungnya. Tidak berkabar, tidak ada aba aba, tidak ada cerita. Semua habis, seakan akan api ikut melalap habis keberanian mereka. Menyala nyala pada awalnya namun redup habis berasap saat beramai ramai disiram air. Habis semua keberanian termakan ketakutan. Rava jatuh. Begitu jauh. Ia belum pernah merasakan gagal begitu menusuk. Begitu menyakitkan. salahku yang selama ini membuat jalan ceritanya begitu lembut, hingga saat bertemu gagal Rava hanya megap megap. Hilang percaya diri. "Alfan. sudah berhari hari aku tidak melihatnya. Alfan, Reza. cari Alfan." ujarnya suatu sore. diantara puing puing sisa kebakaran. "Bukankah kemarin kau berbisik kepadaku tentang siapa yang menyebabkan semua ini terjadi?" Reza berdiri tenang. memandang Rava yang sedari tadi gelisah. Berjalan mondar mandir tidak berarah. "Ya, tapi aku tidak ingin memberitahumu sekarang. Aku butuh Alfan untuk memastikannya, Reza. Yatuhan apa yang harus aku lakukan?" Reza perlahan lahan menghampiri langkah Rava yang semakin tidak beraturan. Dipegangnya pundak Rava, ditatapnya kedua mata sendu itu dengan kesungguhan, kemudian berkata. "Serahkan padaku. Perlahan lahan kita susun strategi untuk mencari tahu. Sekarang, maukah kamu tenang sebentar dan duduk bersamaku ditempat kita pertama kali bertemu?" Ravanda Medhira, masih panik luar biasa. Namun sekilas kulihat, mukanya bersemu merah merona. Benar benar pintar sekali berkata kata Rezamu itu, tuan.
200
Pengkhianat? Lagi-lagi senja menjadi latar. Jika langit senja bisa bicara, ikut bercengkrama bersama mereka, senja pasti akan berkata “Sudah kusaksikan berbagai macam rasa yang kalian tampilkan, terimakasih sudah membuat waktu bertugasku tidak membosankan, manusia.” Reza dan Rava duduk di bawah pohon favorit mereka. Keduanya menghela nafas ketika duduk. kejadian berat telah mereka alami. Menyisakan luka menganga yang tak tau bagaimana sembuhnya. "Kamu bilang tadi namanya rama, siapa dia?" Tanya Reza. "Aku pernah melihatnya di depan markas rumah anak jalanan. Waktu itu ia sedang mencari pak dayat pemimpin wilayah kumuh itu. Singkat cerita rama ini seorang kontraktor, ia memegang proyek besar. Dan ia menginginkan tanah itu. Pak Dayat menolaknya, mentah mentah. Pak Dayat sendiri yang cerita padaku. Ya begitulah aku bisa menarik kesimpulan." Jawab Rava. "Guru agamaku memang tidak menganjurkanku untuk berprasangka buruk. Tapi setelah mendengar ceritamu aku boleh curiga hehe." Ujar Reza sambil sedikit bercanda, berusaha mencairkan suasana. Rava masih diam, tak bergeming. Tatapannya kosong. Ia masih terguncang setelah meliat mimpinya hangus dilibas api. "Kamu pasti kuat Rava, aku yakin." Ujar Reza nguatkan sambil merangkul erat pundak Rava. di bahunya Rava menangis. Senja digeser pekatnya malam. Reza masih sabar meminjamkan bahunya untuk Rava. Rava sudah berhenti menangis, namun sekarang ia tertidur. Rava pasti lelah dan Reza pasti jauh lebih tau dariku. "Bangun Rava, sudah malam ayo pulang." Ujar Reza sambil membelai halus rambut Rava. Rava terbangun namun yang keluar dari mulutnya malah “Kita harus cari Alfan sekarang Reza.” "Baiklah kalau itu maumu." ujar Reza sabar menanggapi polah keasihnya. Tapi Reza tanggap dangan segala tanda. Ia yakin permintaan Rava bukan sekedar permintaan. Di jalan mereka hanya membicarakan penyesalan, maksudku di jalan Rava hanya membicarakan penyesalan, sedangkan Reza sabar menanggapi dan membesarkan hati Rava. Penyesalan, amarah, dan segala macam rasa yang serupa menggumpal jadi satu di hati Rava. Tugas Reza yang mengurai dan membuangnya satu persatu, sehingga binar wajah Rava kembali lagi.
201
Mereka sudah dekat dengan rumah Alfan, rumahnya terlihat sepi sampai tiba-tiba pintu pagar terbuka otomatis dan sebuah mobil langsung keluar cepat menjauhi rumah. "Mobilnya sama persis dengan mobil Rama." ujar Rava. Reza hanya menoleh. wajah Rava menunjukan amarah. Lalu Rava berjalan cepat menuju rumah Alfan, diikuti Reza yang masih bingung. Pintu rumah dibuka begitu menimbulkan suara keras yang disusul teriakkan Rava memanggil Alfan. Seseorang turun dari tangga “Wah ada tamu, silakan duduk pengarang-pengarangku.” Sambut Alfan sopan. "Jelaskan apa hubunganmu dengan Rama?" Tanya Rava ketus tanpa sedikitpun menurunkan emosi. Di belakang Rava, Reza sepertinya diam dengan kedua tangan dibelakang ternyata mengetik pesan di handphonenya, “Bawa banyak pasukan. Dugaanmu benar Dimas.” Terkirim.
202
Kau, Jangan Banyak Berpura pura "Teman dekat, kurasa. ada apa ini? Tiba-tiba kamu datang lalu langsung memandangku tidak enak begitu, Rava." Alfan tenang menjawab, lalu menyuruh beberapa pelayannya untuk menyediakan minuman untuk mereka. Rava membelalak matanya. marah luar biasa. bisa bisanya orang bodoh ini bertanya ada apa padahal jelas jelas dia penyebab utamanya. Sebelum menyembur semua sumpah serapah Rava, Reza cepat dan tegas menjawab. Menyelamatkan keadaan. "Apa kamu mendengar kabar tentang markas anak jalanan, Alfan? Sudah lama tidak aku lihat kamu bermain kesana. Tahu tentang sesuatu, mungkin?" "Terbakar habis dilalap api. Tanpa sisa. Anak-anak yang kabur, tidak kembali. Kacau sekali ya disana." Alfan tetap menanggapi dengan suara tenang. Ekspresi senyumnya tidak hilang dari kali pertama menyambut mereka berdua. Rava mengenggam tangannya erat. Menahan emosi. Ia sudah mengerti maksud Reza. Tidak bertanya dengan nada menuduh apalagi marah marah. Itu hanya akan membuat Alfan semakin senang, semakin bertingkah, semakin mengada ada jawabannya jika ditanya. "Lalu, mengapa tidak berempati hadir saat keadaan kacau begitu? Padahal kamu sempat sempat saja mampir beberapa hari sebelumnya untuk berbicara pada Ahmad kan?" Bergetar suara Rava menahan emosi. Mukanya tenang, tapi genggaman tangannya tidak lepas. Reza menepuk tangan Rava perlahan. Berusaha membuatnya tenang. "Cih, pengadu itu memang benar benar sialan. Jadi begitu ya? Kalian berdua disini datang untuk menuduhku? Sia-sia saja bodoh. Aku sungguh tidak melakukan apa apa." Hilang Senyum Alfan sekarang. Mukanya berubah datar. Kata-kata Rava sudah cukup mengartikan maksud kedatangan mereka. Reza berdecak kesal. Habis rencananya termakan emosi Rava. "Jika memang itu tujuan kami datang kesini, sekarang coba jelaskan padaku apa yang membuat kau, dan temanmu rama siapalah itu bukan orang gila yang ada dibalik semua kekacauan ini? Semua bisa saja tertuduh, Alfan. Beri aku alasan terlogis yang kamu punya." Reza berujar dingin, seperti biasa. Alfan terdiam beberapa lama.Tuan pasti lebih mengerti tentang apa yang dipikirkannya.
203
Evakuasi "Memang rencana kami, Reza. Membakarnya, lalu meratakan dengan tanah. Kuusir semua penduduk lalu kutancapkan batas. Ini bisnis. aku hampir bangkrut. Akhir-akhir ini kemampuan berjudiku menurun. banyak rugi. Lalu aku bertemu Rama dan kami membuat kesepakatan. Dan kalian pasti paham mengapa begitu mudah aku bercerita pada kalian. Dua mulut akan dibungkam oleh tangan orang-orang itu." Ujar Alfan sambil menunjuk sebuah pintu yang terbuka lalu keluar orang-orang berbadan kekar. Matilah Reza dan Rava. Apa daya. Singkatnya mereka berdua disekap. Dengan luka lebam disekujur tubuh Reza. Beruntung Rava hanya sedikit ‘tersentuh’ pukulan-pukulan mereka. Rupanya para tukang pukul itu masih punya harga diri untuk tidak memukul wanita. Mereka disekap di sebuah ruangan gelap dan berdebu. Di depan mereka dua orang berbadan tegap menjaganya. Lalu dibalik pintu juga ada dua orang yang menjaga. Mereka berdua dilarang saling berbicara. Tidak perlu waktu lama Reza dan Rava menunggu. Suara ribut dari pintu masuk membuat mulut Reza tersenyum. Suara bedebum benda yang jatuh, botol pecah, tamparan, suara kayu yang patah gaduh membuat dua orang yang menjaga Reza dan Rava di dalam ruangan panik ketakutan. Tak lama suara gaduh semakin lama semakin hening. tapi sama sekali tidak mengendurkan kewaspadaan dua penjaga itu. Keheningan tidak begitu lama, tiba tiba pintu di tendang, jatuh menimbulkan bunyi bedebum yang keras. Puluhan orang menyeruak masuk, rusuh sekali, dua orang lawan tiga puluhan lebih. Telak. "Kudengar jagoannya disekap." Ujar Cesar menggoda sambil melepaskan ikatan tangan Reza. "Biar seperti adegan di film film." Balas Reza yang langsung membantu Rava melepas ikatannya. Puluhan orang itu adalah anggota kelompok Reza yang tiap malam menyebar menempelkan poster kritik dan sindiran. "Dimas tidak bisa datang, Reza. makanya kami yang ke sini." Ujar Cesar. "Aku mengerti, atasan dimas pasti sudah disuap sehingga dimas dilarang patroli melewati rute ini." jawab Reza. "Dimana Alfan?" tanya Rava.
204
"Oh pria kurus itu? tadi dia di….." Cesar hendak menunjuk namun yang ingin ia tunjuk sudah hilang. "Dia kabur!" Lanjut Cesar.
205
Terdiam. Habis kata. Setelah kejadian entah macam apa itu Rava banyak diam. Reza yang tadi menggiringnya pulang. Sebenarnya Reza tidak ingin langsung pulang. Alfan, lelaki tidak tahu diuntung itu masih jadi beban pikirannya. Namun saat tadi ia berbicara panjang lebar tentang kemungkinan kemana Alfan akan pergi dan beberapa strategi singkat untuk meringkusnya, dilihatnya Rava tidak mengeluarkan sepatah katapun sedari tadi. Pandangannya kosong, mukanya seperti berfikir, pucat pula. Rava tersentak. Begitu dalam. Tokoh yang selama ini dibanggakannya hilang habis, begitu mengecewakan. Setelah begitu lama ia berbincang dan bertukar pikiran dengannya tapi justru Alfan selama ini hanya berpura pura. Mengarang ngarang cerita. Selama perjalanan di gelapnya malam, mereka berdua kembali akrab dengan keheningan. Reza merangkul Rava perlahan. Memaksanya untuk lebih cepat berjalan. "Aku habisi dia. Tenang saja. Apapun pikiranmu sekarang, lupakan saja sayang. Istirahat, kemudian besok pagi bangun tanpa merasa hari ini pernah ada." Bisik Reza perlahan. Seiring mereka berjalan. Rava masih menggigil. Masih sibuk dengan ribuan pikiran pikiran.
206
Tolong Aku, Kumohon "Terima kasih Reza." Sepatah kata keluar dari mulut Rava tanpa sama sekali menoleh ke arah Reza. Reza maklum. Reza menunggu sampai Rava benar-benar masuk rumah. Sampai bunyi kunci pintu rumahnya terdengar. Setelah itu baru Reza berjalan pulang. Tapi langkah kakinya tidak membawanya ke rumah. Melainkan ke markas kelompoknya. Sesampainya di sana yang Reza dapati adalah sunyi. Seluruh anggotanya sedang berkeliaran di jalanan, menebar poster-poster bernada kritik, langsung setelah misi penyelamatan raza dan Rava. Ia rebahkan tubuhnya di sofa yang tidak begitu empuk. Baru sebentar ia pejamkan mata tiba tiba ada suara gaduh dari arah dapur. Sontak Reza memungut cutter yang berada tak jauh darinya. Lalu ia berjalan mengendap-endap dan saat berada di depan dapur ia berhenti sebentar dan berfikir. “Ah paling cuma tikus. Tapi kalau tikus kenapa bunyi jatuhnya keras sekali.” Lalu ia masuk makin dalam. Ternyata manusia. Ia nyalakan lampu, lalu ia kaget setengah mati. Ternyata Alfan, dengan wajah lebam sana sini teronggok lemah di pojok dapur. Kagetnya Reza hanya sebentar, karena langsung dibalut lagi dengan kemarahan. Lalu ia tarik tubuh Alfan yang lemah ia seret menuju ruang tengah dan menyandarkannya ke sofa bengitu saja. Sambil menodongkan cutter ke leher Alfan Reza bertanya membentak. “APA YANG KAU RENCANAKAN BODOH?!” Yang ditanya tidak menjawab. "Mengapa kau lari ke tempat yang malah akan menghancurkanmu?!" Tanya Reza lagi, nadanya sedikit turun. "Karena kau… akan melindungiku.." jawab Alfan lemas. Dhugg!! Kepalan tangan Reza menghantam tulang pipi Alfan. "Karena jika aku pergi ke tempat Rama dia malah akan langsung menghabisi nyawaku." lanjut Alfan memelas
207
Buku Itu Kembali Lagi Mengapa begitu berani dan begitu bodohnya, Alfan? Kemudian kamu bertanya. Tadi padahal seperti jagoan, penjahat kelas kakap, mengancam sampai sok sok menyandera. Sekarang malah dengan tampang pengecutnya minta pertolongan. Belum dalam hitungan hari saja, begitu cepat berubah penampilan. Seperti tidak tahu malu. Kalau cerita berubah cepat, berubah singkat, dan bertolak belakang hingga terpikir tidak masuk akal bagimu, berarti ada yang sedang mengambil alih cerita. Diam diam, tanpa diperintahkan tanpa disuruh. Sepulangnya dari segala kekacauan itu, dirumah Rava masih tercenung. Duduk tenang dia diruang tamu. Memikirkan segala kemungkinan, menenangkan segala gemuruh kekacauan dalam hatinya. Beberapa belas menit kemudian, air mukanya berubah. Seperti mendapat solusi dari semua jawaban. Tanpa suara, dia berjalan ke arah meja kerja ayahnya. Lalu diambilnya kertas buku takdir Satya Revan yang tersimpan rapi dalam laci laci meja kayu besar itu. Mungkin Reza dan Tuan tidak pernah tahu. Sebelum benar benar mengembalikan buku itu, Rava mengambil beberapa lembar, untuk persediaan jika sewaktu waktu ia membutuhkannya. Masalah pena, sudah lama sekali ia menemukan sebotol tinta tambahan. Tinta penggoresan takdir, ciptaan nenek moyang Satya-Revan. Maka digariskanlah segala kejadian malam itu. Melesat menjadi kenyataan dalam hitungan mili-detik. Rava tidak ingin membuat Rezanya terluka maka dihabisinha dulu Alfan. Tidak tanggung tanggung, Rama, oleh orang yang paling dipercayai Alfan yang sekaligus turun tangan. Menghabisi badannya hingga lelah lemah, meremukkan kepercayaannya hingga remuk redam. Alfan kembali jatuh. Tidak kenal ampun. Tidak tahu malu. Setelahnya Rava menarik nafas panjang. Air mukanya kembali sendu. Kertas itu disimpannya kembali, tidak akan ada siapapun yang akan tahu tentang hal ini. Termasuk Reza, termasuk siapapun juga. Kemudian ia bergegas membersihkan diri dan berusaha tidur. Semua kejadian ini benar benar membuat lelah hati dan pikirannya. Semoga nanti saat pagi menjelang, ia lupa tentang apapun, yang terjadi malam ini.
208
Mereka Tertangkap, Aku Tak Peduli Masih malam, menuju pagi. Rava sibuk dengan kesedihannya. Reza sibuk dengan Alfan. Urusan pria memang akan selesai jika diselesaikan dengan cara lelaki. Tapi sayangnya Alfan memilih untuk menjadi banci. Menyerah, takut pada Rama. Reza melunak? Tidak akan, bukan sifat Reza untuk melunak kepada orang yang menghancurkan mimpi kekasihnya. Dipukulnya wajah Alfan sekali lagi, yang satu itu untuk kebodohan Alfan. Sambil menertawakan Alfan, Reza berkata. “Antarkan aku ke tempat Rama sekarang.” Alfan menggeleng, Reza lelah, ia jatuhkan dirinya disebelah Alfan. Di tempat lain, di halaman markas rumah anak jalanan yang masih berbau hangus, tiga mobil besar berisi orang-orang berbandan besar berhenti. Isi mobil itu keluar semua, masing masing memegang kapak kecuali satu, orang yang bepostur agak kecil, berkumis tipis, senyum selalu terpancar di wajahnya, sayang senyumnya senyum licik. Keluar pemimpin kampung itu, menghadapi sendirian. Aku tak begitu mendengar apa percakapannya. Pagi masih dingin, tapi jika kau merasakan suasana pagi itu pasti kau akan merasakan ketegangan yang memanas. Sialnya kedipan mataku melewatkan tertebasnya pak tua pemimpin kampung. aku langsung merunduk, tak sanggup melihat pak tua itu di siksa. Tapi tiba-tiba suara begitu membahana membuat kepalaku terangkat lagi, seisi kampung membawa senjata seadanya menyerbu orang orang itu. Aku pergi. Sudah tau apa yang pasti selanjutnya terjadi. Di markas Reza? Reza lelah, memilih menghabiskan lelahnya di rumah, ia meninggalkan begitu saja Alfan yang tak sanggup berdiri. Reza keluar pintu, puluhan temannya baru pulang, Mereka masuk. aku tinggalkan Alfan, lebih memilih mengikuti Reza pulang. Akupun sudah tau apa yang pasti terjadi selanjutnya. Satu mobil polisi kembali ke markasnya, disusul satu lagi. Isinya? Kau sebagai pambaca yang cendikia pasti sudah menduga. Sudahlah, dua orang itu setidaknya sudah tertangkap.
209
Tentang Semalam Paginya, seperti biasa Rava melakukan rutinitasnya. berusaha menolak ingatan macam apapun tentang apa yang terjadi. Begitu banyak tugas tugas kuliah yang harus diselesaikannya, bahkan lebih suram dari apa yang terjadi semalam. Ia memaksa lupa, walau ia tahu itu akan sia sia. Selagi ia sibuk menyiapkan diri, membereskan sana sini, bel berdentang dua kali. Rava terhenyak. Takut takut memandang kearah jendela. Siapa lagi yang akan memberikan berita berita kacau balau tentang kejadian semalam. Ia tidak mau tahu tentang apapun, tapi bel dua tiga empat kali berdentang. Memaksanya untuk segera membuka pintu. Tanpa berpikir lebih jauh ia bergegas. Membuka pintu perlahan. "Hey, kamu baik baik saja?" Dua pasang mata Reza yang lelah menatapnya sungguh sungguh. "Baik. Sangat baik baik saja. Kenapa sempat kesini? Kamu tidak ada kelas?" Lega Rava menjawab. Senyum memenuhi wajahnya. "Justru aku ingin mengajakmu pergi bersama. Ada beberapa hal yang ingin aku ceritakan padamu." "Tentang semalam? Tidak aku tidak mau tahu soal apapun." Mukanya yang sumringah perlahan hilang, berganti sendu. "Ya, tapi kamu harus tau dan tidak akan memercayainya. Percayalah padaku. Ayo pergi sekarang." Rava terdiam, berpikir. Kemudian diambilnya tas dan beberapa buku, mengunci pintu dan berjalan seiring langkah Reza. "Jadi, bagaimana?" Sahut Rava kemudian.
210
Berdua, Kita Mulai Lagi dari Awal Mula Mereka berdua meniti jalan, satu diantaranya menerima, satu diantaranya kehilangan. Ini perkara mimpi mereka yang saling bertabrakan, atau saling bertemu dipersimpangan lalu memberi nafas. Maksudku yang satu mati, nyawanya melebur dengan sisa nyawa yang satunya. ya kan? Mimpi Rava hancur agar mimpi Reza dapat tegak berdiri. Tapi Rava tidak siap. Sungguh tidak siap. Selama ini keberuntungan begitu hebat menyertainya. Kemudian ia hilang saja dalam sekelebat mata. Belum lagi kegagalannya sebenarnya merupakan tonggak mimpi Reza berdiri. Pasukan pasukan yang Reza miliki semakin hebat dan erat hubungannya semenjak kehebohan malam itu. Seperti berdiri pada dua sisi. Mendukung kekasih mengejar mimpi atau tenggelam dalam kisah kisah sendiri hingga lupa janji mendukung sehidup semati? Karena anak jalanan telah pergi jauh diujung mata. Entah bagaimana cara untuk menariknya kembali. Rava habis akal, ia memutuskan untuk tidak peduli. Rezapun hidup penuh caci maki, kekecewaan terhadap kehidupan yang semena-mena membawanya pada keterpaksaan. memaksanya untuk menyakiti Rava. maksudku, jika tak ada Reza, mungkin Rava tidak merasakan cinta, maka Rava tidak akan pernah terluka kan? Reza dan Rava sama-sama menanggung perih. Mereka tumbuh bersama. Menulis takdir berdua. Melewati segalanya nyaris bersama berdua. Kini mereka berada di simpang jalan, pilih mimpi, atau kebersamaan mereka. Atau malah meraih mimpi bersama? Tak semudah kata-kata kurasa. Reza sibuk dengan kelompoknya, Rava? Terlantar menyedihkan. Selama perjalanan sepanjang panjang itu Reza menceritakan tentang apa yang terjadi. semakin cerita itu didengar Rava, semakin tunduk wajahnya. Disela cerita ia berkata, "Biarlah yang kemarin tetap menjadi kisah, Reza. Tidak perlu kamu perpanjang. Sudah cukup aku untuk tahu tentangnya." Rava menarik nafas panjang, melanjutkannya dengan tanya. "Lalu sekarang bagaimana? Bagaimana dengan kisahmu, kisahku…kisah kita? Jauh berbeda mimpiku berjalan atasmu Reza." "Bukannya kita ditakdirkan bersama untuk membuat nyata segala mimpi? Adakah mimpimu yang belum kamu selesaikan?" Tanya Reza "Ya anak jalanan itu. Dan sekarang justru sedang porak poranda. Bagaimana aku mendapat kepercayaan dari anak anak itu Reza?" "Kamu bukan orang jahatnya Rava, mengapa mereka harus tidak percaya?" "Payah ya, sedikit saja tantangan aku terseruduk jatuh Reza. Ajari aku bagaimana caranya menerima."
211
"Ikuti saja alurnya, Rava. Ikuti saja bagaimana dunia ini memberimu kecewa, lalu kamu tinggal menerima. Mudah kan? Konsepnya mudah, aplikasinya kadang susah. Tenang makin sering kamu gagal dan kecewa maka kamu akan semakin terbiasa hahaha." "Tapi aku tidak berani melangkah sendirian lagi sekarang. Mau membantuku menyusunnya? Kamu, sebagai pendukung utama yang meyakinkan padaku jika kecewa itu hal yang biasa." "Jika memang rasa takut di ciptakan untuk menghalangimu maju, maka aku orang yang paling depan untuk meruntuhkannya, Rava. Aku tercipta untuk itu." "Kaik, besok aku bereskan semuanya. Mulai lagi dari awal mula." Mimpi-mimpi mereka takkan pernah rusak, biar hancur setengah badan. Mereka salalu punya kekuatan. Cinta selalu berhasil meringkus ketakutan. Mulai dari awal lagi, Reza, Rava? Nona?
212
Kembali Memulai Di markas kelompok Reza, ada peluk perpisahan, jabat terakhir, namun tak ada air mata, perpisahan yang mengharu biru bkan gaya kelompok ini kurasa. Reza meninggalkan kelompoknya, baginya sudah cukup ia menanamkan ambisinya yang kini telah mantap tertancap di pikiran teman-temannya. ia pergi meninggalkan jabatan ketua yang ia berikan kepada Cesar. juga memberikan konsep dan rencana untuk kelanjutan masa depan kelompoknya. Di luar Rava sudah menunggu, begitu Reza keluar diantar lambaian tangan temantemannya Reza, Rava langsung menyambutnya dengan pelukan. "Siap untuk perjuangan selanjutnya Rava?" Tanya Reza dalam pelukan "Lalu bagaimana dengan mimpimu menurunkan walikota?" Sambil melepas pelukan. "Melihat dari sorot mata serius mereka dan merasakan suasana kota ini saja menurutku mimpi dan rencanaku sudah tercapai hehe." Rava tersenyum, bangga lelakinya mampu membuat perubahan yang cukup besar. "Lalu bagaimana dengan rencana penyadapan? Demonstrasi? Penangkapan?" Tanya Rava lagi. "Ah itu sudah di urus teman temanku, Cesar, Dimas, Bobby. Mudah saja, tinggal kita tunggu kabarnya." Jawab Reza. Rava tersenyum lagi kini ia percaya bahwa Reza sudah benar-benar bersinar. Mereka berjalan meniti jalan menuju pencapaian. berdua, hanya berdua. Jangan ada lagi yang memisahkan mereka, sekalipun itu sebuah mimpi salah satu dari mereka, semoga takkan ada lagi.
213
Tidak Semuanya Berkata “Ya” Seperti berapi api dalam beberapa hari terakhir Rava banyak bicara dengan teman teman terdekatnya. Tentang bagaimana dan apa yang harus dilakukannya segera. Yang lain ikut semangatnya, mengikuti alur berpikir Rava yang menggelegak tentang rencana rencana baru. Pagi itu, saat Rava sedang sendiri duduk dibangku taman dekat dengan kampusnya, sibuk menuliskan rencana rencana, Ahmad datang.seperti tau euforia Rava yang baru dan dimana ia biasa menuliskannya. "Aku rasa lebih baik jika kita lanjutkan saja Rava, dengan ekstensi keberbagai bidang lain. Memperluas pengajaran. Tapi jangan berhenti sama sekali, jangan coba cari ide baru. Anak anak itu aku yakin juga masih berusaha mencari kesempatan." Panjang Ahmad menjelaskan. ia langsung duduk disebelah Rava, memberikan solusi solusi, memberi harapan pada kemungkinan yang masih terjadi. Yang diajak bicara tidak begitu peduli dengan kehadiran Ahmad, merespon acuh tak acuh, perhatian masih penuh tertuju pada tulisan yang sedang dibuatnya. “Begitu banyak resiko. Anggaplah pengacau kemarin sudah dihabisi. Aku yakin masih ada puluhan orang yang sama dibelakang anak anak jalanan itu.” "Reza bagaimana?"ujar Ahmad cepat. Membuat Rava yang tadi menunduk, mengangkat kepalanya. “Kenapa dengan dia?”wajahnya bingung, memaksakan penjelasan. “Aku dengar dia ikut menjadi anggota tim kita. Bukankah ia memiliki proyeknya sendiri?” “Aku membutuhkannya, begitupun yang lain. Ada masalah?” Ahmad terdiam. Bukan masalah tentang kenyataan ia kekasih Rava tapi Ahmad tidak begitu suka berlama lama dengannya. Reza begitu cerdas dan mendominasi, Ahmad merasa terpuruk sendiri. Geraknya dibatasi. Apalagi jika sedang bersama Rava. “Aku hanya merasa lebih baik dia melanjutkan proyeknya. Mendukungmu, mendukung kita, dari sana. Penyelesaian masalah ini juga semua karenanya kan?” Rava segera mengambil posisi memberi perhatian sepenuhnya. “Aku tidak tahu tentangmu, tapi sejauh ini kurasa lebih baik seperti ini dulu adanya. Aku tetap akan menjalankan proyek anak jalanan kita, Ahmad. Tapi dengan cara yang sama sekali berbeda. Tentang bagaimana urusanmu dengan Reza….” Rava terdiam, mengambil nafas perlahan. “Kurasa itu bukan urusanku. Jadi, urusi saja dengannya langsung. Kau kemari ingin membantuku menyusun kekacauan itu kembali atau justru ingin membuatku sakit kepala lagi?” Suasana berubah tidak nyaman. Rava berberes, bersiap pergi.
214
Menolak Menemui Ibu "Kau tinggalkan kelompokmu Reza?" Tanya Rava begitu Reza turun dari kamarnya pagi tadi. Laras terlihat buru-buru menyembunyikan sesuatu, berlembar kertas yang sudah kusam menguning. Ya, itu catatan rahasia milik revan yang disembunyikan dari Reza. "Beberapa serigala lebih memilih mengembara sendirian kak." Jawab Reza sok. Tak sadar ada gelagat aneh kakaknya Laras tersenyum lalu menimpuk Reza dengan botol minuman yang sudah habis isinya. Reza menghampiri kakaknya lalu duduk di sebelahnya. “Menurutmu, apa yang harus kulakukan sekarang?” Tanya Reza. "Temui Ibu Mandadari." jawab Laras. Reza menghela nafas terlihat tak bergairah. Ada sepenggal kisah masa lalu yang membuat Reza membuat jarak kepada ibu tirinya itu. "Ayolah Reza, kau harus mulai memaafkan masa lalu." Sambung Laras. "Apapun itu Laras, walaupun kau orang yang kupercayakan sebagai penunjuk jalan, aku takkan melakukakannya." Jawab Reza ketus. Laras menghela nafas panjang. “Masa depanmu buram sekali kulihat Reza, kau mulai terlepas dari cerita revan.” ujar Laras dalam hati sambil menatap mata Reza. Reza pergi, entah kemana, barangkali danau. ya pasti ke danau. Sementara Laras menatap muram lembaran catatan rahasia ayahnya. Ini aneh. Nanti akan kuungkit satu rahasia tentang Reza.
215
Mengusir Dari Dalam Ahmad habis kata, salah langkah. entah apa yang ingin dilakukannya. ia sangat ingin membantu Rava, menjalani masa masa sulitnya. Rava sudah menjadi semacam kebutuhannnya. demi dirinya sendiri. Tapi nama satu itu, jika bisa tidak usah terlibat. Seperti awal mula. Biar bebas ia bergerak, membicarakan tentang rencana diatas kepalanya. Setelah ditinggal Rava pergi, giliran Ahmad yang sibuk membuat rencana. Tentang bagaimana agar Reza kembali sibuk pada kelompok konyolnya itu, bagaimana agar orang orang dikelompoknya memintanya untuk datang kembali. Sehingga tidak tega, ia tinggalkan Rava sendiri dan disana Ahmad ambil kesempatan. cari muka, ambil hati dari Rava dan segala mimpinya menjadi milik Ahmad lagi. Semua akan berjalan mudah. Bobby itu teman lamanya. tinggal bicara, semua masalah habis hingga akar akarnya. "Hey, Bob! Sudah lama sekali kita tidak bicara. masih ingat padaku?" Ujarnya saat nada dering berubah suara berat ‘halo’ dari Bobby. "Ahmad! bagaimana aku bisa lupa, kawan. apa kabarmu?" Yang menjawab bernada riang. Bahagia tersambung kembali dengan kawan lama. "Baik. baik sekali. Hey, apa kau sedang sibuk? Bagaimana kalau kita bertemu? Banyak sekali yang ingin kuceritakan kepadamu, Bob." "Untukmu aku luangkan banyak waktulah, kawaan. Besok siang? Sekalian kutraktir makan makan." "Baiklah, besok siang di restoran favorit kita. Tidak usahlah traktir mentraktir. Aku rasa mereka juga nanti memberi kita diskon besar besaran saat makan disana. Rindu dengan dua orang pelarisnya." Tawa berat Bobby menyahut perkataan Ahmad, “Baiklah. sampai bertemu besok siang kawan. Aku pamit dulu, ada sedikit hal yang ingin aku bereskan.” "Baiklah. sampai jumpa besok siang, Bobby." Telfon ditutup. Senyum Ahmad kemudian menyambut. Beres. Beres. Beres. Kesempatan terbuka lebar lebar. Jangan sampai dengan bodohnya ia salah langkah.
216
Maaf Bu Hari itu Reza berjalan ternyata bukan ke danau. Langkah kakinya gontai berjalan. Pikirannya ke masa lalu melayang. Mendarat pada kenangan tersuram sepanjang hidupnya. Disambut sebuah gema bentakan yang dulu pernah keluar dari mulutnya. "Aku bukan anakmu! Aku hanya titipan!" Betakannya bagai petir di siang bolong. Menghujam hati sang ibu yang tak tertolong. Di ujung tebing serigala melolong. Mewakili kisah sekeping jiwa yang kosong. Reza adipramana saat itu usianya lima belas tahun. Masih penasaran akan hakikat kebebasan. Masih meraba raba arti kedewasaan. Jiwa muda yang menggebu dibarengi dengan semangat yang bergejolak. Termenung ia di sebuah meja belajar pada sebuah kelas. Memikirkan betapa gagahnya ia jika dapat berdiri di puncak gunung tertinggi. Mimpi pertamanya ia tulis besar besar pada sebuah buku harian. “Mendaki gunung mahameru.” Tulisnya. Langsung ia cari artikel tentang pendakian. Ia pelajari ilmu betahan hidup di alam liar. Ia bergabung dengan klub pecinta alam. Ia yang paling muda. Tapi semangatnya bagai mampu berpijak pada semua puncak gunung di dunia. Beberapa bulan setelah bergabung ia diajak ikut mendaki mahameru. Sebuah gunung tertinggi di ujung timur pulau jawa. Yang menjadi impian seluruh pemuda. Lalu ia pulang dengan sebuah permohonan yang menggantung di ujung senyum. Begitu sampai di rumah ia hampiri ibunya mencium tangan lalu berlutut di hadapannya. "Ibu.. minggu depan aku akan mendaki mahameru.. boleh yaa?" "Tidak nak." "Tapi buu sekali ini saja." "Ingat tugas utamamu sebagai pelajar nak." "Bu bukankah alu sudah mrmberikan nilai nilai yang baik untuk ibu dan ayah?" "Sekali kubilang tidak ya tidak Reza!" Manda sudah memanggil namanya. Itu berarti serius. Tapi taukah kalian bahwa selama lima belas tahun baru itu mandadari membentak anaknnya. Sekalipun itu anak tirinya. Reza kesal. Selangkah lagi ia akan mencoret mimpinya karena tercapai kini menjadi amat jauh kemungkinannya. Amarah sudah di ujung kepala. Wajahnya memerah seperti akan meledak. Benar saja dari mulutnya keluar sebuah kalimat yang membentak.
217
Hati mereka berdua hancur menjadi kepingan. Reza pergi sambil berurai air mata, manda berdiri memegang dada yang tiba tiba sesak. Ternyata mereka tidak benar benar berdua. Tak jauh dari tempat manda berdiri anaknya yang lain. Anak kandungnya Laras. Laras ikut menangis. Ikut merasakan luka yang dirasakan ibu kandungnya. Sambil datang dan tiba tiba memeluk ibunya Laras berkata “ia pergi ke maoama ibunya bu.” "Biarkan nak, ia memang membutuhkan sosok ibunya saat ini." Semenjak itu Reza sekalipun tak pernah berbicara kepada manda. Dan setelah lama diacuhkan Reza, manda memutuskan pergi. Tinggal berpisah dengan anak dan suaminya. Tapi sebelum berpisah. Mandadari. Berpesan pada Laras. “Selama adikmu masih mengabaikan nasihat dan larangan ibu, iya tidak akan pernah mengejar mimpinya sampai dapat. Ia selalu akan terhenti di tengah jalan. Ibu titip ia Laras.” Semenjak itu Reza selalu mendatangi makam ibunya ketika ia butuh hangat dekap dan belai seorang ibu. Reza dapat merasakan walau ia hanya menatap sebuah nisan. Reza, begitu lemahkah ia sampai sampai sekali dibentak langsung acuh? Manda, begitu lemahkah ia ketika diacuhkan langsung pergi? Tidak. Keduanya tidak. Mereka bukan orang lemah. Reza tumbuh tanpa sentuhan seorang ibunya yang benar benar melahirkannya. Kerinduanlah yg membuat ia tumbuh menjadi amat rapuh dan goyah. Jika kerinduan begitu dalam. Maka cinta yang Reza pancarkan kepada mendiang ibunya juga amat besar. Mengalahkan pancaran kasih sayang dan perhatian seorang manda. Sama sekali tidak mengizinkan cintanya masuk. Manda terpojok. Maka ia keluar. Reza tak sadar langkahnya sudah berhenti. Tetes air mata yang juga tidak ia sadari sudah jatuh bersama peluh. Sudah sampailah ia pada sebuah rumah berpagar tinggi. Ditekannya bel yang menempel di dinding pintu. Keluar seorang perempuan dengan rambut yg memutih beberapa helai. "Reza?" Sontak Reza langsung memeluknya. Tangis makin kencang peluk makin erat. Kerinduan akan seorang ibunya kini terobati. "Maafkan aku telah mengacuhkanmu bu."
218
Langit yang tadinya mendung langsung cerah. Langit bagai memaafkan Reza. Kutukannya lepas sudah. "Sudah kumaafkan nak. Bahkan sebelum kamu lahir." Reza masih memeluk erat manda. "Nah kini ibu sudah bisa menyusul ibu dan ayahmu dengan tenang, Reza." Dalam peluk Reza berbisik jangan pergi. Tapi terlanjur. Jiwa Manda memang tertahan untuk mendengar Reza meminta maaf. Mandadari mati, teriakan Reza mengundang tetangga, langit yang baru saja cerah, langsung menurunkan hujan deras. Mandadari dikuburkan disebelah kuburan revan. Ini kisah tentang kasih sayang yang hampir disia-siakan.
219
Keputusan Lain Tidak perlu aku jelaskan lebih lanjut tentang apa yang Ahmad dan Bobby bicarakan berdua kemarin sore. Yang pasti sekarang kulihat wajah Reza bimbang, tadi barusan saja Bobby datang ke rumahnya menyampaikan beberapa pesan. Lama mereka berdua terdiam setelah perbincangan itu, Bobby pamit pulang, Reza mengiyakan tapi tidak berubah posisi duduknya. Berpikir. Lama. Menimbang nimbang yang mana yang harus didahulukannya, Kemudian, Siang itu juga Reza pergi menghampiri Rava ditempat ia biasa sibuk dengan rencana rencana didalam kertasnya. Reza menghampirinya perlahan, berujar dengan suara yang jauh lebih pelan, "Hey, masih sibuk dengan rencana rencana baru Rava?" Rava mendongak, melihat siapa yang datang. Sumringah wajahnya mengetahui itu Reza, kemudian bersemangat menjawab, "Tidak! Tidak ada rencana baru tidak ada pemikiran baru. Kemarin aku bertemu dengan tokoh desa disekitaran tempat tinggal anak jalanan itu Reza, mereka memintaku kembali. Mereka membutuhkanku! Untuk pertama kalinya aku merasa dibutuhkan seperti ini dan aku bersemangat sekali untuk melanjutkannya. Tidak masalah kan?" Reza semakin bertambah merasa bersalah, keputusan yang diambilnya tepat untuk segalanya tapi ia sudah keburu berjanji. Lihatlah wajah sumringah ini, siapa yang begitu tega mengacaukan sinarnya? "Aku…. Aku tidak…. Aku tidak bisa membantumu. Maaf Rava. Proyekku kemarin memintaku membantu mereka. Aku.. Aku.. Tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Ini tahap akhir, jika salah sedikit saja, sia sia usaha berbulan bulan merebut perhatian. Aku.. Bukan aku tidak mau, sungguh.. Tapi.." Selagi Reza terbata menyampaikan sesuatu yang sedari tadi mengganjal hatinya, Rava tersenyum, memotong pembicaraan Reza, "Tenang, sayang. Apapun untukmu. Aku tahu akan lebih baik kita berjalan pada mimpi masing masing. Tidak perlu berada pada mimpi yang sama untuk mendukung satu sama lain kan? Sebenarnya aku menyayangkan keputusanmu mundur dari proyek itu, tapi jika mereka membutuhkanmu. Selesaikanlah. Kamu yang memulai, kamu yang lebih pantas mengakhirinya kan? Jangan khawatir!" Reza mengangkat kepalanya. Tidak menyangka jawaban Rava akan semudah itu. Kemudian ia ikut tersenyum, duduk bersama Rava. Mengusap kepalanya pelan kemudian bertanya tanya tentang rencana apalagi yang disusunnya. Selanjutnya, hingga sore pun tidak kulihat mereka berpindah tempat, sibuk bercengkrama tentang segala hal yang ada dipikiran mereka. Dilain tempat Ahmad tersenyum. Semua sesuai rencana. Berita tentang bergabungnya Reza kembali dari Bobby merupakan salah satu alasannya. Semua berjalan lancar,
220
sekarang saatnya dia ambil peran. Satu kesempatan untuk selamanya, jangan sampai ia salah langkah.
221
Adu Domba Sore digeser malam, mereka sepakat pulang. Seperti biasa Reza mengantar wanitanya pulang, digandeng tangan Rava sepanjang jalan, seakan kehangatan malam ini takkan terulang lagi. Sepanjang jalan mereka bersenda gurau, sesekali tawa mereka amat terbahak mengusik ketenangan bintang-bintang. Sesekali Rava tertawa kecil sembari melihat wajah lelakinya yang sejuk. Sudah sampai. Mereka berpelukan, lambaian tangan memisahkan mereka. Di dalam rumah Rava tersenyum lega. Di jalan, Reza malah dirundung gundah. "Kenapa selalu ada yang memisahkanku dengan Rava?" Ujarnya dalam hati. Sesampainya di rumah, Reza disambut tebakan laras. “Berpisah lagi Reza?” "Ya kau tak usah bertanya nyonya serba tahu." Jawab Reza cuek langsung pergi ke kamarnya. Begitu di kamar ia buka jendela lebar-lebar membiarkan angin dingin masuk, lebih baik ditusuk dingin malam dari pada ditusuk kegelisahan. Bisiknya tadi. kertas-kertas kosong disebar di atas meja, peta kota digelar di atas lantai. Sesekali duduk menulis, sesekali berdiri mengamati peta. Kemarin Bobby yang menemuinya, ia bilang ia ada spot yang kosong dan harus diisi, Cesar payah tidak dapat membantu Bobby dengan penuh. Jadi malam ini ia terpaksa kembali untuk mengisi dinding-dinding yang kosong, memaksa Reza kembali Selesai menyusun rencana, tengah malam. Reza langsung pergi ke markasnya. sesampainya di sana ia disambut teman-temannya, namun sambutan sinis. “Hey untuk apa kau ke mari Reza?” Ujar rey salah satu anggotanya dulu. Kedatangan Reza disambut mata mata yang sinis. Cesar yang langsung menghadapinya. “Maaf Reza tapi kau sudah tidak berhak lagi kembali ke sini.” "Hey, ada apa ini?" Tanya Reza gusar. "Ada apa katamu? Setalah kau berencana menghancurkan kami kau tanya ada apa?!" Jawab Cesar tak kalah emosi. "Aku kembali karena Bobby bilang kerja kalian kurang optimal dan kalian membutuhkanku." Ujar Reza. "Sebentar.. Bobby bilang juga pada kami kalau kau akan datang dan membawa banyak satpol pp." Balas Cesar. "Sekarang mana satpolnya?" Tanya Reza sambil tersenyum. "Kita diadu domba." Tukas Cesar sambil menyedekapkan tangannya di depan dada
222
"Tidak mungkin Bobby melakukan ini tanpa ada tujuan dibaliknya, mungkin ia dibayar, mungkin di belakangnya ada seseorang yang berkepentingan dan membayarnya." Sialnya seseorang itu berada di balik Bobby, terhalang. Sehingga mungkin akan sulit mengungkapnya. Ahmad, seberapa liciknya engkau?
223
Perbincangan Sore Itu Biar kusampaikan tentang apa yang terjadi sore itu, saat Bobby dan Ahmad berbincang berdua. Mengapa tidak ada curiga, mengapa sepertinya semua berjalan bagaimana semestinya. Mereka berdua bertemu, di cafe tempat biasa anak-anak seumuran mereka berkumpul. Awalnya hanya berbincang basa basi berjam jam. Ahmad pintar membawa suasana hingga tenggelam maksud kedatangannya sebenarnya. Sebenarnya.. ia tidak picik, jahat, bermuka dua ataupun keji hingga merencanakan berbagai hal busuk untuk sedikit menjauhkan Reza dari Rava. Ia hanya berusaha mempertahankan harga dirinya dan wanita yang (mungkin sedikit) dikasihinya. Hingga demi hal itu ia terlihat buruk, rela menjadi tokoh antagonis baru dalam cerita. Hingga sampai pada momen yang tepat saat Bobby meminta sarannya tentang proyek Reza yang dilanjutkannya. Terjadi sedikit masalah memang tapi begitu rumit hingga masalah kecil itu merusak sedikit solidaritas kelompok mereka. Gerak terbatas, tujuan mengambang, nyaris menuju kegagalan. Setelah puas Bobby mengadu, Ahmad menjawab tenang, "Kenapa padaku kamu bercerita? Reza mungkin lebih tepat untuk kamu coba ajak berunding, kan? Ia lebih tahu banyak tentang seluk beluk pergerakan kalian." Bobby bimbang, kemudian mengusap kepalanya perlahan. “Entahlah, ini semakin rumit. Reza jika sekali saja mengundurkan diri itu berarti ia tidak akan lagi mau terlibat sama sekali.” "Demi kau, demi pergerakan yang dibuatnya. Apa prinsipnya itu masih berguna?" "Aku tidak tahu. Karena itu aku bertanya padamu. Belum lagi banyak sekali yang kecewa mengetahui Reza undur diri karena wanitanya." Ahmad terdiam, kalimat terakhir Bobby menghentikan pikirannya. "Aku tahu ini saran yang buruk" ujar Ahmad kemudian setelah hening yang cukup lama. "tapi mungkin cukup efektif. kau paksa saja Reza itu datang, ceritakan tentang kegagalan. aku yakin ia pasti tidak akan membiarkan apapun yang telah dibangunnya kandas begitu saja kan?" Ahmad bertanya lagi, membuat Bobby berdecak pelan. nada bertanya itu membuatnya sedikit kesal. "Ya, itu mudah saja dilakukan. tapi bagaimana dengan yang lain? Ada beberapa yang justru tidak ingin Reza kembali karena kecewa atas sikapnya kemarin. Itu yang justru membuatku bingung." "Soal mereka, serahkan padaku. Aku akan membuat perintah atas namamu asalkan jangan pernah kau libatkan aku dalam penyelesaian masalah ini. Aku tidak mau diungkit ungkit." Ahmad menjawab tenang. Memberi penegasan pada akhir kalimatnya.
224
"Setidaknya aku harus tahu apa yang ingin kau lakukan." "Tidak, serahkan dan percayakan padaku. Semua berjalan aman asalkan kau bisa membujuk Reza kembali pada pergerakan kalian. Jika aku tidak peduli untuk apa aku bersusah payah membantumu, Bob?" Bobby menyerengit, sedikit aneh tapi Ahmad ini kawan lamanya, tidak mungkin ia bermaksud apa apa. Mungkin Ahmad hanya ingin meringankan bebannya, sehingga ia tidak perlu repot berpikir tentang bagaimana menyelesaikan masalah dengan anggota lain. "Baik. tapi jangan menambah masalah atau hal buruk apapun bisa terjadi padamu, Ahmad. aku tidak peduli." Ujar Bobby kemudian. Kalimatnya mengancam tapi nadanya datar. Gilirannya memberikan penegasan. "Baik. Aku tunggu kabar darimu."
225
Aku Sudah Tau tapi Setelah Ini Apa? Jadi Reza dan kelompoknya diadu domba, supaya Reza disibukkan membangun lagi solidaritas kelompoknya. Dan Ahmad tau membangun dan mengokohkan solidaritas adalah pekerjaan yang tidak sebentar. Sialnya Bobby terlalu bodoh untuk berbuat licik. Ahmad juga terlalu mudah merencanakan hal jahat. maka membuat rencana mereka kurang matang. Cesar dan Reza langsung jalan ke rumah Bobby. tanpa salam mereka masuk karena tau Bobby pasti hanya sendiri, orang tuanya sudah lama meninggal. ditemukan Bobby masih tertidur, Cesar yang berbadan besar menariknya begitu saja, dengan satu hempasan ringan Bobby terlempar ke sudut ruangan. "Siapa yang menyuruhmu?!" Suara Cesar yang berat dan serak mendadak menjadi hantu di kepala Bobby. Yang ditanya diam ketakutan. "Oh mungkin bukan begini caranya sobat." Ujar Reza sambil menengok ke arah Cesar. Lalu Bobby dinaikkan ke kursi, tubuhnya lemas ketakutan. "Siapa?!" sekali lagi Cesar bertanya. Plakk!!! Satu tamparan dari Reza. "Ahmad….." Satu nama meluncur begitu saja. Ringan dan mudah. "Oke cukup Cesar kita sudah dapat nama dalangnya, Aku kenal dan aku tau di mana dia bisa ditemukan." Lalu Cesar dan Reza meninggalkan Bobby begitu saja di kamarnya. "Tunggu Reza. Jangan bilang kau tau dariku." Ujar Bobby memelas. "Mana mungkin bodoh." Jawab Reza. Mereka saling berpandangan, Bobby muram namun Reza lalu tersenyum dan berkata. “Tapi tenanglah kawan, kau masih terhitung sahabatku, jadi namamu akan aman. Urusan kami hanya kepada biangnya.” Mereka setuju. Lalu Cesar dan Reza benar-benar pergi setelah Bobby menatakan maaf dengan penuh penyesalan. "Aku heran Cesar, kenapa Ahmad begitu menyebalkan. Kenapa dia menjebakku, apa ia tidak suka keberadaanku di proyeknya?"
226
"Itu jawabannya bos hahaha." "Oh sial. Aku mencium bau busuk penelikungan." "Ada urusannya dengan Rava?" "Yap." Cesar hanya tersenyum geli, wajah Reza menggelembung kesal. Tapi bagusnya konflik dari luar malah membuat kelompok mereka makin kuat dan erat. Maka dalam hati Cesar ia berterimakasih kepada Ahmad. "Mungkin satu pukulan di wajahnya bisa membuatku lega Cesar." ujar Reza sambil menyeringai. "Your command, is my wish." Entah apa yang terjadi selanjutnya, aku enggan menceritakan. Aku benci kekerasan.
227
Bertemu dengan penuh kebencian Tidak tuan, tidak ada kekerasan. Tidak akan pernah ada. Reza tidak sebegitu bodohnya menghabisi orang kepercayaan Rava. Semuanya nanti berjalan terlalu rumit, membutuhkan banyak penjelasan penjelasan. Sampai saat ini, masih itu yang dipikirkan Reza. Maka malam itu yang ada hanya nada mengancam. Reza sebegitu geram hingga ia datang ke tempat Ahmad segera setelah mendapat informasi dari Bobby. Digedornya pintu kos Ahmad keras, memaksa siapapun didalamnya untuk membuka pintu. Sesaat kemudian pintu keras terbuka, dengan umpatan dari pemiliknya "HEY BODOH! Ini jam 12 malam! Mau apa?!" Ahmad begitu kesal berteriak tanpa melihat siapa lawan bicaranya, ia baru sebentar saja tidur setelah beberapa hari ini terjaga setiap malam. “Aku tidak akan datang sebegini memaksanya jika kau, tidak membuat masalah. Mengerti?” Reza sinis, menarik kasar Ahmad keluar. Ahmad begitu sadar siapa yang ia teriaki, hilang rasa kantuknya. Kata kata Reza barusan sudah mewakili segalanya. Bobby memang betul seperti dugaannya, tidak bisa dipercaya. “Cih, jika kau datang kesini hanya karena takut wanitamu aku apa apakan, sia sia saja. Mau kau habisi aku, tidak akan merubah apapun.” Reza geram, menggenggam tangannya erat erat. Menahan diri untuk tidak menghancurkan muka Ahmad, menyelesaikan semua omongan tidak bergunanya. Ahmad tersenyum sinis, memegang bahu Reza, menggenggamnya erat hingga Reza meringis kesakitan. “Nah, karena kini kau sudah mengerti, jangan marah padaku kawan. Aku tidak melakukan apa apa. Belum, mungkin. Bersaing secara sehat? Pilihan terbaik kurasa.” Bukan salahku, Reza menghantam wajah Ahmad hingga ia tersungkur jatuh. Sialan.
228
Kamu Hampir Bernasib Sama Dengan Bulan "Setelah ini kau harus bertapa dulu sebelum memutuskan untuk berbicara." Ujar Reza yang langsung meninggalkan Ahmad yang terkapar di teras kamar kosnya. "Puas bos?" Tanya Cesar setengah tertawa. Dibalas tawa Reza yang terbahak-bahak seakan sudah melupakan apa yang telah terjadi dan sudah mengabaikan apa yang akan terjadi. Malam berganti pagi, matahari menyiramkan sinarnya ke bumi. Terang mengusik mata yang terpejam. Reza terbangun kesal. Tapi matanya langsung terbelalak ketika melihat sesosok manusia yang mirip bapaknya, Berpakaian serba putih duduk di jendelanya yang terbuka. "Pagi anakku. Berhati-hatilah." Ujar sosok itu. Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Ternyata Laras membawakan sarapan. Ketika Reza tengok lagi ke arah jendela sosok itu sudah menghilang. "Sarapan dik." Ujar Laras. "Oh ya terimakasih." Sosok tadi masih menggantungi pikirannya. Laras memandanginya penuh heran. Lalu ia pergi, Diabaikan rasa penasaran. Sarapan sudah habis. Reza tak ada urusan apapun hari ini, maka ia putuskan pergi ke danau dengan memanggil-manggil nama Rava. Rava datang? Ya tentu. Semesta ini yang meneruskan panggilan hati dari Reza, disampaikannya lewat firasat yang amat kuat. Begitu mekanisme telepati mereka. "Hey, sudah lama?" Sapa Rava membuka percakapan. "Belum terlalu, sini duduklah."jawab Reza sambil menepuk-nepuk tanah di sebelahnya. Setelah terdiam beberapa jeda Reza bertanya. "Kamu tau kenapa bulan kesepian?" Rava hanya menengok dan memosisikan duduknya menghadap Reza betul-betul. "Dulu bulan pernah berdua. Entah siapa aku tak begitu mengenalnya. Mereka begitu akrab mengitari bumi selalu berdua. Hingga membuat matahari cemburu. Kenapa? Sebab matahari yang memberikan bulan cahaya, mengapa bulan tak bersamanya? matahari adalah makhluk yang amat pencemburu. Lalu matahari menjebak pasangan bulan, dimintanya ia mengambil bunga di bumi. Ia mengangguk saja karena ingin membuktikan bahwa ia sungguh-sungguh.
229
Tapi sial. Atmosfer bumi begitu kuat sehingga menghancurkan apapun yang lewat. Maka sampai saat ini bulan sendirian dan kesepian.” "Cerita yang hebat Reza." ujar Rava memuji sambil memeluk lengan Reza. "Aku hampir ditipu matahari." "Eh? maksudmu?"
230
Salah Langkah Ahmad yang sebegitu tersungkur dihantam Reza memeram perih disekitar hidungnya. Tidak berdarah, tapi membiru. Dan hal itu tidak membuatnya mundur sama sekali. Bukan, ia bukan maju dan kemudian memperjuangkan cintanya untuk Rava. Masalah itu, dia jadikan saja bonus jika memang tuhan menghendakinya. Terlalu berbatas rendah jika itu ia jadikan orientasinya untuk menghancurkan reputasi Reza sampai tuntas. Persaingan ini bertambah tambah dengan amarah. awalnya ingin berniat menyingkirkan agar ia bisa dengan leluasa berkembang tanpa merasa kecil dihadapan Reza, berubah dan berbuah menjadi niat untuk benar menghabisinya sampai titik putus asa saat sebelum ia mengenal Rava. Bukan Ahmad jika ia menghabisinya dengan satu sisi saja. Apalah artinya jika memang nanti pun Reza akan jatuh tersungkur tanpa nyawa dan tanpa kekasih, namun ia tetap tidak berubah menjadi lebih tinggi dan lebih ternama. Maka ia harus berdiri lebih tinggi. Apapun yang terjadi, besok ia harus segera bertemu Rava dan tim kecil mereka, bertemu untuk segera mewujudkan rencana baru Rava. Harus lebih hebat, lebih besar, lebih berani dan tanpa ragu, demi membesarkan namanya. Dan demi apa yang selama ini diperjuangkannya. Berawal dari kisah cinta yang diam diam dipendam, berkembang menjadi muak yang membatasi cinta itu berjalan lebih jauh, dan kemudian berubah menjadi kebencian tidak beralasan dan rencana rencana konyol tentang jatuh menjatuhkan. Begitu rumit. Kesuksesan tidak seindah bayangan ya, tuan? Banyak sekali yang tiba tiba nantinya berubah menjadi benci. Menghancurkan kisah kita tentang indahnya menggengam mimpi.
231
Keruh Lagi Pikirannya Siang. Sebuah belahan dunia yang disorot pijar matahari. Jutaan manusia mengabaikan cahayanya, mengeluhkan panasnya. Tapi tidak dengan Reza dan Rava. Seakan mereka sudah paham betul makna dari keberadaan segala hal di dunia ini. Buktinya, mereka membarkan kulit mereka digenggam panas matahari. Mereka berdua saling mencari makna pada sorot mata satu sama lain. "Jawab kenapa Reza!" desak Rava. "Ahmad.. yang sejauh ini membantu proyekmu.. setidaknya ia memberikanmu cahayanya, menipuku, mengadu domba aku dengan kelompokku. Dan aku hampir hancur dibuatnya." Rava terperanjat tak percaya. Tangannya menutup mulutnya, gestur pasaran yang begitu saja terjadi saat seseorang kaget. "Tadi malam aku tak mampu meredam emosi. Tak usah kuceritakan lah, besok juga kamu akan lihat bentuk wajahnya." Lanjut Reza. "Dan aku sadar, itu malah memperburuk suasana. Bahkan malah akan menjadi musuh dalam selimut. Aku khawatir dia juga akan menghancurkanmu." Reza meneruskan ceritanya, Rava masih terdiam. "Tapi tenanglah, biar aku yang urus. Kamu diam saja bertingkah seakan tidak terjadi apa-apa. maaf ya aku menambah keruh pikiranmu." Pungkas Reza berkata, dirangkulnya bahu Rava. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, aku kurang pandai dalam menerka.
232
Aku Tidak Peduli, Katanya. Aku tidak tahu apa percakapan antara Reza dan Rava. Yang pasti setelah mereka berbicara siang itu Rava segera pulang kerumah. Mengambil beberapa barangnya, persiapan tentang rencananya dan bergegas berjalan kerumah Ahmad. Pintu diketuknya perlahan, terdengar sahutan pelan dari dalam. Lama sekali baru terbuka, Ahmad keluar dengan balutan kain dihidungnya. Terkesiap melihat siapa yang datang, mukanya yang sayu kesakitan berubah cepat menjadi tangguh meyakinkan. "Aku.. aku ingin membicarakan beberapa hal padamu. Apa menganggu?" Rava bertanya perlahan. tidak basa basi, langsung pada inti mengapa ia datang. "Tidak. Tidak sama sekali. Ditempat biasa kan? tunggu sebentar aku bersiap siap." ujar Ahmad cepat. tanpa pertimbangan. Rava mengiyakan dalam diam. Ia menunggu sambil melihat lagi lembaran lembaran rencananya. Tidak ada satupun yang dibacanya, hanya aksi singkat untuk tetap membuatnnya sibuk. "Hey, apa rencanamu begitu hebat hingga ia berubah menjadi setebal buku?" Selesai berberes Ahmad menyusul dan menyapanya hangat. Rava yang sedari tadi gelisah ingin menyampaikan sesuatu tertahan bicaranya. Ia sama sekali tidak ingin merusak suasana. Namun jika ia berpura-pura itu sama saja ia membohongi dirinya sendiri. Maka selagi mereka berjalan menuju taman tempat biasa mereka berkumpul, Rava ragu ragu bertanya, "Hidungmu.. ulah Reza?" Ahmad meliriknya, terkejut tapi tak lagi heran, "Ya. tapi itu urusanku dengannya. Tentang rencana kita, tidak akan berubah walau bagaimanapun. Kau tenang saja." "Aku pun tidak berniat untuk tahu apa saja yang bukan urusanku. Asal itu tidak menganggu hubungan kita berdua, lanjutkan saja urusan entah apa mu itu dengan Reza. Aku tidak peduli." Rava menanggapi datar tanpa nada sinis ataupun menyindir. Peduli apa dia, mereka berdua semakin ditanya semakin tidak jelas arahnya. Lebih baik dia diam saja. "Bagus, bagus sekali. Itu yang aku suka darimu. Intinya apapun yang terjadi aku selalu akan jadi orang pertama yang membantumu." "Ya ya ya, lagipula kerja kita jauh lebih berat dari sebelumnya. Semoga kita mampu." Tersenyum Rava setelahnya, meyakinkan hati sahabatnya. "Kita pasti mampu." Balas Ahmad kemudian. Dengan senyum yang sama.
233
Rumit Terhenti, langkah-langkah yang pasti berubah gontai tak ber-arah. Reza Adipramana kehilangan arah, enggan menciptakan kembali. "Bukannya aku enggan. Aku hanya butuh jeda untuk diriku sendiri." Ujarnya saat kutemui di hatinya. Dunia begitu kejam, persaingan memperjuangkan kepentingan, mimpi, ambisi. Lengah sedikit hilang tangan, hilang kaki, hilang kepala, hilang nyawa. "Aku berhenti karena aku tak ingin mengusik ketenangan kelompok Rava." Ujarnya padaku saat kutemui di hatinya. Reza mencintai Rava, begitupun sebaliknya. Sial Ahmad cinta karena biasa. Sebuah benih yang terbiasa disiram air, disinari, makin tumbuh, makin tinggi. Makin hari makin cinta. Mimpi, ambisi, cinta. Hidup penuh persaingan. Dan kalian tau? Bersaing soal cinta, bukan cara Reza menikmati hidup. Habis kata, keluar air mata.
234
Ada apa? Berminggu berlalu, nampak benih benih pencapaian Rava. Ia belum lagi mencari kemana perginya anak anak jalanan yang dulu rajin datang kemarkasnya tapi yang pasti ia sudah membuat barrier lebih kuat dari sebelumnya. Markas lebih besar sedang dibangun, tokoh masyarakat dan orang berpengaruh sudah diminta bantuan dan mereka berantusias penuh atas idenya dan bersiap membantu atas apapun yang dimintanya. Melihat dukungan sebegitu hebat, ia dan Ahmad begitu bersemangat untuk kemudian melanjutkan ide berikutnya, menarik kembali anak anak yang jauh pergi ketakutan. Kali ini mereka tidak melakukannya berdua saja, harus dalam tim. Memanggil kembali Syifa dan teman terdekatnya yang lain. Membagi tentang bagaimana aksi untuk melakukan rencana dalam kertas yang sudah dituliskan Rava sebelumnya. Namun, ada satu hal yang mengganjal. Reza tidak pernah datang mampir dalam diskusinya, ataupun bertanya lagi tentang pemulihan proyeknya. Mereka bertemu nyaris tiap sore ditepian danau, berbagi kisah tentang hari yang mereka lewati, namun tidak sedikitpun pertanyaan tentang proyeknya ataupun Ahmad keluar dari mulut Reza. Sinar matanya lebih redup tapi Rava masih abai, tidak ingin bertanya lebih lanjut karena tidak ingin merusak sore sempurnanya dengan Reza. Hingga hari ini, setelah ia bertemu Ahmad dan menjanjikan waktu pertemuan mereka berikutnya, Rava tidak tahan lagi. Maka ia bertanya. Bagaimana ia tidak bertanya? Setelah panjang menjelaskan dengan penuh semangat tentang perjalanan proyeknya, Reza hanya manggut iya-iya, perkataan basa basi semacam bagus, lanjutkan, hebat, dan tetap semangat saja yang disampaikannya. "Kamu kenapa? Setelah pembicaraan tentang Ahmad hari itu kamu menghindari pembicaraan apapun tentangnya, ataupun tentang apa yang kulakukan sekarang." "Akan jauh lebih baik jika kamu tidak usah membicarakannya." Reza menjawab datar, padahal barusan sebelumnya aku lihat dia habis tertawa bercanda bersama Rava. "Dia sahabatku, salah satu yang berperan besar dalam mimpiku. Aku tidak bisa berlama lama menjadi penengah, Reza. Ada apa?" "Sungguh kamu ingin tahu? Biasanya juga kamu tidak peduli." "Ya, dan jelaskan. Sekarang." Rava mendesak, segera duduk tepat dihadapan Reza. Tentang apa yang dijelaskan, tuan lebih tahu.
235
Cemburu Rava sudah duuk menghadap Reza. Sudah siap mendengarkan penjelasannya. Lalu Reza berbicara, deras, mengalir begitu saja sulit dijeda. "Pernah datang seorang pecundang kepadaku, datang lewat kabar buruk yang keluar dari mulut temannya, yang kukira pejuang sepertiku, ternyata juga pecundang. Kamu jelas sudah tau itu. Setelah kutendang pecundang itu, aku jadi malas ikut membantu proyekmu, karena aku benci mataku menangkap rupa pecundang itu. Haha klise memang, maksudku, aku hanya malas berurusan lagi dengannya. Lagipula kamu tidak gerah jika pecundang itu dekat dekatmu terus? Isi kepalanya apa Rava? kamu pasti tau, hati hati saja nanti ikut jadi pecundang.” "Koreksi sebutan pecundangnya Reza." potong Rava. "Oh… iya maksudku matahari.. iya mataharimu. Kamu bulan, takkan bersinar terang jika tak ada cahaya dari matahari. Wah wah kalian memang saling melengkapi. Ya kalau sudah begitu untuk apa aku ikut campur? Lagian apa aku ini? Sampah luar angkasa, satelit rusak." Pungkas Reza sambil menyeringai. Sumpah jika kau melihat seringai Reza, pasti kau akan merasa kesal dan terhina. Rava mendengus sebal, jelas itu bukan jawaban yang ingin ia dengar, tapi itu murni keluar dari mulut Reza, mengalir begitu saja bercampur benci dan dengki. Sial bagimu Rava, lelakimu tak suka kehadiran Ahmad didekatmu, sederhananya, ia cemburu. Rava kesal, pergi begitu saja meninggalkan Reza tanpa pamit. Senyuman Reza luntur sebegitu punggung Rava menjauh.
236
Pecundang dan Matahari? Dasar, tiba tiba marah marah tidak jelas seperti itu. Siapa yang tidak kesal? Alasan mengapa ia marah pun tidak jelas. Pecundang? Matahari? apa apaan. Kalau semua itu benar ditujukannya pada Ahmad hingga ia marah marah seperti itu, jelas semuanya omong kosong. Setelah sejauh ini Ahmad membantunya jatuh bangun, sudah pasti ia bukan seorang pecundang. Dan matahari? Ia tadi bilang secara tidak langsung jika Ahmad itu mataharinya? Itu jelas tidak masuk akal sama sekali karena satu satunya matahari yang ia kenal dan ia percaya ya si tukang marah marah itu, Reza Adhipramana. Kurang apalagi ia berusaha menunjukkannya? Dasar bodoh. Padahal sudah berjanji mereka untuk tidak membuat satu masalah lagi jadi beban pikiran karena jauh lebih banyak hal yang lebih penting untuk diselesaikan. Entahlah Rava tidak mengerti, yang pasti sekarang ia kesal bertubi tubi. baru saja ingin mengajaknya pada satu proyek yang bisa mereka kerjakan berdua. Gabungan antara pikiran pikiran mereka, pendukung mimpi satu sama lain, harapan baru atas kekosongan yang lama setelah kekacauan itu. Namun, baru sepatah kata disampaikannya, dipatahkan Reza dengan segala kekonyolannya itu seputar pecundang dan matahari. "Pecundang itu tidak ada. Dan matahari hanya kamu. Pembuktian apa lagi yang kamu butuhkan Reza Adhipramana?" Rava menggumam seiring perjalanannya kembali.
237
Melihat Ceritanya Menjadi Kenyataan "Sudahlah" Reza menghela nafas, tatapannya menatap kedepan, kosong. Sekarang apa lagi yang Reza miliki? Kelompoknya sudah ia lepas, Rava malah ia buat menjauh. "Waktumu tak banyak Reza, cepat kejar Rava." Dari belakang muncul kakaknya, Laras. "Apa aku harus?" Tanya Reza. "Melihat wajah Rava yang ditekuk aku pikir harus." Jawab Laras. "Sialnya aku malas, sibuk, banyak urusan." Ujar Reza sembari melengang pergi meninggalkan Laras. Laras menggeleng heran, takdir adiknya makin tidak terbaca. Hampir sempurna lepas dari cerita semesta. Reza berjalan, siang tak begitu terik. Tapi melihat massa yang sedang berdemo di depan gedung walikota membuatnya ikut kegerahan. Ia tersenyum, cerita buatannya semakin terlihat menjadi kenyataan. "Reza!" Reza menoleh tak jauh ada Dimas, berpakaian polisi anti huru-hara. "Loh? Terakhir bukannya….." "Aku pindah, menertibkan pedagang kaki lima membosankan, lebih seru menertibkan pendemo." Reza hanya mengangguk, Dimas langsung pamit. Sebelum pamit dimas menepuk bahu Reza penuh arti. "Cerita sudah kutinggalkan, lalu dihidupkan. Aku ditinggalkan, mungkin sebentar lagi dimatikan." Gumam Reza, kepalanya memikirkan Rava.
238
Nyatakan Rencana-rencana Ya sudahlah, daripada sibuk bicara terus tentang cinta, akan jauh lebih mudah jika kita bicara soal realita. Kembali pada jalur sebenarnya. Esoknya sepulang kuliah, Ahmad, Syifa dan Rava kembali bertemu. Mereka merencanakan ide gila untuk kembali merebut perhatian anak anak itu. Tidak hanya bicara dari mulut kemulut, mereka turun tangan langsung mengetuk pintu rumah satu dan yang lainnya ditempat paling kumuh dipinggiran kota mereka. Dengan diimingi berbagai kesenangan dan hadiah kecil kecilan, satu harian penuh mereka jelas membuahkan hasil. Dua puluh anak baru terkumpul, dua puluh janji masa depan terpenuhi, empat puluh pasang mata berbinar harapan. Rava yang luka hatinya dari awal mula tersembuhkan, melalui pancara bahagia anak anak lusuh itu. Setelah sore menjelang matahari terbenam mereka bertiga duduk dilapangan luas. Beristirahat setelah berjam jam menguras tenaga, menghabiskan malu. Wajahnya lelah namun tak lepas senyum dari wajah mereka. "Kerja kerasmu berbuah bahagia walaupun belum seberapa Rava." Ahmad berujar kemudian. “Sudah lama aku tidak merasakan bahagia sampai selelah ini, kau tahu?” Syifa menambahkan. “Aku tidak ada apa apanya tanpa kalian. Justru aku yang harusnya berterimakasih.” Rava tersenyum setelahnya. "Ayo dirayakan dengan makan malam dirumahkuu!!" Syifa kemudian cepat berdiri dan menarik tangan Rava dan Ahmad. Mereka berdua tertawa mengiyakan. “Dan undang Reza untuk datang, Rava!” Hening. Sejenak berasa selamanya.
239
Kembali Menulis Takdir Sendiri hanya akan membuat hidupnya makin sunyi. Bapaknya mati menyatu dengan tanah, ibunya mati menyatu dengan langit. Reza? menyatu dengan derita. Ditinggal orang tuanya, ditinggal pula oleh kekasihnya. Ia punya apa sekarang? "Turunlah Reza, makan malam sudah kuhidangkan." Ujar kakaknya tanpa tanda-tanda masuk kamar Reza. "Ya masuk saja, pintunya tidak dikunci." ujar Reza menyindir. Laras hanya tertawa lalu pergi, diikuti Reza yang berjalan gontai. "Apa yang akan kau lakukan seyelah ini Reza?" tanya kakaknya setelah menghabiskan suapan terakhir. "Loh? tumben bertanya, biasanya langsung memberi tanda." Ujar Reza heran "Entahlah, kau makin sulit kuterawang dik, kau makin keluar dari cerita semesta." "Apa yang kau bicarakan?!" "Mungkin kau harus menulis lagi kisahmu sendiri." "Tidak mungkin kak, kertas-kertas itu sudah habis. Kutulis." "Kertasnya tidak terbatas Reza, ambil sebuah kotak di lemari Ayah." Reza kembali sambil membawa berlembar-lembar kertas tua yang menguning, matanya heran. "Ajaib kan? Keluarga kita memang ajaib Reza." "Haruskah kurahasiakan dari Rava?" "Takkan bisa, Rava itu partnermu, ia merasakan apa yang kau rasakan, mengetahui apa yang kau ketahui, memikirkan apa yang kau pikirkan. Idealnya begitu. MMungkin satu dua tahun kedepan insting pasangan kalian akan terasah hehe" "Oh jadi satu atau dua tahun lagi baru Rava akan mengetahui hal ini?" "Bukan begiru bodoh." "Hehe oke aku mengerti. Bagaimanapun terimakasih kak." Reza lantas pergi sebelum sempat mendengar “Sama-sama” Dari laras. Tutup pintu, lalu mulai menulis.
240
Menghindari Pembicaraan Malam itu penuh perayaan perayaan. Canda tawa, berbagi kebahagiaan. Tidak begitu ramai memang yang datang tapi jelas suara mereka memecah sunyi ditengah keheningan. Rava tidak mengundang Reza, sama sekalipun tidak berusaha memberi kabar padanya. Semakin ditanya semakin ia tidak mengerti, semakin ia tidak mengerti semakin ia cepat naik darah. Lebih baik sendiri sendiri saja, lebih tenang. Dipenghujung kesenangan aku lihat Ahmad dan Rava lama berbincang. Tidak jauh jauh dari proyek mereka pada awal mulanya, tapi kemudian berpanjang lebar hingga cerita tentang hidup, dan bagaimana cara mereka menghadapinya. Saat yang lain sibuk bersenang senang bernyanyi karaoke dengan suara alakadarnya, Ahmad dan Rava sibuk pula dengan pembicaraan mereka. "Ada apa dengan Reza? Sudah lama aku lihat kalian tidak sering lagi bersama." Ahmad, pertama kali membuka topik seputar kisah kisah romansa. “Tidak ada apa apa. Kami baik baik saja. Hanya karena sibuk. Belum sempat bertemu.” Rava menjawab datar. Ia memang senang bercerita, tapi jika itu sudah mengenai hal pribadinya, ia tidak akan bicara kecuali dengan orang yang benar dipercayainya. “Apa benar hanya dengannya saja kamu jadi nyata, Rava?” “Apa apaan? Itu urusanku. Tidak usah susah susah bertanya tentang masalah itu. Bahas yang lain saja.” Nada Rava mendadak sinis, namun raut wajahnya tetap tenang. “Wuaah, ampuni aku nona judes. Aku hanya bertanya, jawab seperlunya saja.” “Menurutku memang kamu tidak perlu begitu tau tentang hal itu. Serius, Ahmad. Ganti bahan pembicaraan.” Ahmad tersenyum kecut. Mau bagaimanapun caranya, perempuan satu ini sulit sekali memang dibuka hatinya. “Baik… Jadi tentang anak jalanan itu, kemarin aku mendapat ide baru tentang….” Dan seterusnya dan seterusnya. tidak lagi ada pembahasan mengenai Reza dan Rava. Hingga menjelang larut akhirnya mereka berpamitan. Mengakhiri kesenangan tanpa ujung malam itu. Ia percaya hanya padamu. Masih berani cemburu tanpa alasan, Reza?
241
Sempurna Lepas dari Cerita "Segala hal yang kutulis dalam lembaran-lembaran ini adalah sebenar-benarnya yang terjadi, satu tahun, dua tahun, sepuluh, dua puluh, lima puluh tahun yang akan datang, siapapun yang menemukan dia akan menyaksikan sebuah catatan anak manusia yang menjelma menjadi nyata." Kira-kira begitu yang Reza tulis dalam lembaran-lembaran takdir yang ia temukan. Menulis jalan hidupnya sendiri bukan berarti ia menulis sesuka hati lantas hanya menuliskan yang luar biasa menyenangkan bagi dirinya. Tidak. Pikirannya berpikir seperti itu, namun hatinya berbicara tentang sebuah roda kehidupan, maka tangannya begitu saja bergerak lincah di atas kertas. Senyum, tawa bahkan tangis pecah disaksikan tinta yang menggurat tiap kata dalam catatannya. Dua hari dua malam Reza menutup diri dalam kamar, lima ratus lembar, seribu halaman ia selesaikan. Tanpa makan, minum apalagi tidur. Selesai menulis Reza begitu saja langsung tertidur di ranjangnya. Saat nanti membuka matanya kembali, ia terlahir sebagai manusia baru yang berhasil menakdirkan dirinya sendiri. Sempurna keluar dari pertokohan cerita semesta. Aku tadi sedikit membaca isinya saat Reza tertidur. bisa dikatakan dari halaman-halaman awal sampai titik terakhir, selalu ada nama Rava. tapi bukan berarti ia hanya mencatat hal hal manis dan romantis. Reza hanya ingin membeber luka, menjatuhkan air mata, tersenyum bersama Rava seorang. Mereka selalu rindu dalam diam, air mata menyusup luka, makin dalam makin perih. Mereka dekat namun bersekat, namakan sekat itu dengan tanya. Cemburu Reza terhenti di jalan buntu, Rava takkan pernah tau. Tapi Rava ikut merasakan. Cinta Rava juga terhenti di ujung jalan, Reza tau, tapi tak merasakan. Memikirkan hal yang sama, merasakan hal yang sama, mengetahui hal yang sama, segala hal milik mereka berdua. Waktu yang akan mengasah rasa kebersamaan itu. Sudahlah. Reza sudah bangun.
242
Cerita apa lagi? Akhir akhir ini tidak ada apapun seputar mimpi. Rava terlalu sibuk dengan segala persiapan kuliahnya. Minggu ujian didepan mata, sekaligus penentuan apa ia bertahan atau justru terusir dari pendidikan profesi yang sedang diambilnya. Tidak main main, bahkan segala tindak tanduk seru yang disampaikan Ahmad disetiap kunjungannya kerumah rava tentang proyek mereka hanya ia gubris ala kadarnya. Asal tanggung jawabnya pada proyeknya selesai, sudah. Ia kembali berkubu pada kesibukannya. Sesaat waktu terasa berhenti. Rava tahu, Reza pasti sedang menulis di buku takdir. Membawa namanya. Perasaan itu sudah menjadi suatu kebiasaan, hingga Rava sadar akan perbedaan yang terjadi diantaranya. Sontak ia berdiri, meninggalkan tumpukan bukunya. Bergegas pergi kerumah Reza. Ia tidak ingin lagi terlibat apapun dengan cerita yang dibuat Reza. Nanti semuanya berjalan terlalu rumit. Rava tidak siap menerima kejutan apapun sekarang, isi kepalanya terlalu penuh untuk dipecahkan dengan kejutan cerita Reza. Biarlah ia menanggung malu karena kemarin pergi tanpa kata dari hadapan Reza daripada ia harus menanggung lika-liku cerita yang tergoreskan pada buku takdir. Sesampainya ia, pintu diketuk perlahan. Paras cantik laras yang pertama kali dilihatnya. senyum keduanya merekah, sudah lama sekali tidak berjumpa. "Kamu benar, ia sedang menulis." Sambut Laras sambil memeluk hangat Rava. "Dan kali ini ceritanya indah sekali, aku saja rela dihabiskan ceritanya oleh Reza." Bisik laras setelahnya. Cerita apa lagi?
243
Entah yang Keberapa Kalinya Mereka Menulis Bersama Kembali Saat ditemui di kamarnya, Reza sama sekali tak menoleh, bahkan tidak menyahut saat dipanggil. Mungkin jiwanya sedang menari dengan gerakan pena di atas kertas kertas itu. Baru ketika ditepuk bahunya oleh Rava ia menoleh. Matanya seketika berbinar melihat siapa yang datang. "Rava?" Ia kaget tidak sadar Rava sudah ada di sebelahnya. "Mencoba mencampuri takdirku lagi, tuan?" Tanya Rava sebal sambil mencubit perut Reza. "Eh? Bukan bukan, aw." Jawab Reza gelagapan. Mereka berdua tertawa, kerinduan mereka tumpah dengan kejadian aneh pagi pagi. "Kita ditakdirkan untuk menulis cerita, Rava." Ujar Reza membuka percakapan. Mereka sudah duduk di depan meja kerja Reza, Rava duduk di kursi sebelah Reza. Reza berbicara sambil meneruskan menulis. "Ya tapi bukan takdirku." "Jangan ge er yang ku tulis bukan hanya kamu, ada aku, ada laras, ada teman-temanmu, ada teman-temanku. Aku menulis dunia ini Rava.” "Bagaimana kamu bisa percaya ceritamu akan menjadi kenyataan?" "Aku tinggal percaya, dan bercerita begitu lepas sesukaku." "Apa kamu pernah merasa semua yang kamu lakukan berjalan sesuai dengan maumu? Maksudku apa kamu merasa segala yang terjadi adalah kehendakmu?" "Ah tidak juga Rava, sebenarnya aku hanya penulis cerita, boleh kamu sebut aku pembual. Tapi ceritaku ditakdirkan tuhan untuk menjadi kenyataan. Masih ada takdir tuhan diatas ceritaku, cerita kita. Dan kita ditakdirkan untuk itu." Rava terdiam. Reza melanjutkan kata katanya, kini ia genggam tangan wanitanya. "Ravanda Medhira, maukah kau menulis lagi bersamaku? Selamanya?" Anggukan Rava membuat terang suasana hati Reza.
244
Argumen Rava “Kenapa berniat mengajakku lagi jika memang aku yang selalu menghancurkan cerita yang kita buat?” “Karena Satya dan Revan.” “Untuk apa menulis atas nama mereka berdua jika kisah kita lagi yang kamu tuliskan?” “Karena aku sudah ditakdirkan menulis bersamamu, Rava. Apapun kekacauan yang kamu buat, aku akan tetap membuatmu memulainya kembali.” “Cerdas, kali ini kamu melibatkan cerita kita sehingga jika aku membuat kegagalan, aku sendiri yang akan merasakannya.” “Nah, nampaknya kamu kini sudah mulai mengerti. Masih bersedia?” Rava berpikir lagi. Jalan cerita hidupnya sudah sempurna, menurutnya. Jika proyek gila Reza ini dia lanjutkan, habislah semua cerita. Setelah beberapa saat kemudian dia berujar, “Baik. Mungkin aku butuh sedikit merasakan naik turun tanpa dugaan dalam hidupku. “Oke, kita mulai sekarang?” “Tapi aku mengajukan satu syarat, bisakah kamu menulis perpisahan di akhir cerita? Lalu kamu harus mau membantuku melawan takdir yang kita buat sendiri. “Apa?!” “iya, Reza. Aku ingin membuktikan rasa penasaranku. Aku yakin jika cerita alfan tidak aku arahkan maka tidak menjadi cerita yang seperti kita tuliskan. Begitupun Satya dan Revan, mereka mengontrol kita lewat Laras. Dengan sugesti sugesti yang telah ia berikan pada kita, dengan dugaan dugaan penuh kebetulan yang ia beberkan. Laras yang mengontrol kita, Reza.” Reza tertegun tak percaya perempuannya bisa seberani itu berhipotesa. Secara tak sadari ia menuruti begitu saja perintah Laras yang (mungkin) ternyata sama sekali tidak mampu mengetahui cerita yang akan datang. Kita semua telah tertipu. Laras dengan senyuman menaiki tangga untuk mengantarkan minuman, senang melihat dua adiknya akur kembali. Namun langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara rava yang berapi-api melontarkan argumennya. Setelah kalimat Rava ia rasa habis, ia masuk. “Minuman spesial untuk merayakan kembalinya Rava.” Ujar Laras sambil tersenyum. Entahlah mudah sekali baginya menyembunyikan emosi, padahal baru saja ia mencuri dengar sebuah pernyataannya yang bernada melecehkannya. “Eh, terimakasih kak.” Reza yang menjawab.
245
Rava tertunduk diam, sadar bahwa Laras baru saja mencuri dengar perkataannya. Mata Laras dan Rava beradu, Laras sinis, Rava lesu. Kemudian laras berjalan keluar dengan tenang. Rava yang kalut mengingat ucapan sinisnya barusan, berusaha menyelamatkan keadaan dengan berkata, “Laras, aku tahu kamu tadi pasti mendengarkan. Apa itu benar? Apa yang aku ucapkan tentangmu tadi benar?” Laras tidak berubah air mukanya. Tetap tenang seperti biasa. “Jika aku berkata ya pun. Takdir telah tertuliskan dan tidak ada cara lain bagimu untuk merubahnya. Maafkan aku. Memang sudah tugasku untuk mengawasinya.” “Untuk apa diawasi jika memang berjalan sendirinya?” “Untuk apa kamu harus tahu?” suara Laras meninggi. Hilang semua ketenangannya termakan rasa penasaran Rava. “Karena kami yang dititahkan untuk menuliskannya, maka kami harus tahu, Laras. Apa benar ada hal-hal yang kamu belum beritahu kepadaku?” jawab Reza, mendengar pertanyaan Laras yang begitu sinis. Muka laras memerah menahan malu, menahan emosi. “Ada beberapa hal yang memang tidak perlu kamu urusi. Sibukkan saja dengan cerita-cerita baru kalian tanpa melibatkan aku.” Kemudian Laras keluar perlahan, menutup pintu dan bergegas pergi. Ada beberapa kalimat yang harus ia bereskan nanti. Laras keluar kamar dengan meninggalkan tanda Tanya besar di kepala Reza dan Rava. Mereka berdua saling berpandangan, saling keheranan. Tanpa dikomando mereka berjalan menuju kamar Laras. Reza dan Rava menerka laras pasti berjalan pergi ke kamarnya. Namun tak mereka temukan Laras di dalamnya. Kemudian, mereka menelisik tiap jengkal ruangan. Tanpa sengaja tentu saja. Tumpukan rasa penasaran membuat mereka begitu berani. Setelah sekian lama, tidak ada benda ganjil lain yang mereka temukan selain tempat tidur, lemari kayu besar, dan sebuah lukisan bergambar sepasang mata yang indah. aneh? Tentu saja, kamar laras terletak pada bagian paling belakang rumah tanpa akses keluar sama sekali. Ia hanya memiliki dua jendela yang dilapisi dengn jeruji putih dengan hiasan bunga-bunga. Saat Reza terduduk, mencoba mencari celah kemana Laras mungkin pergi, ia menangkap sesuatu yang tidak biasa persis di sebelah lemari. Nampak tanda bekas benda besar menggesek lantai. Reza yang penasaran kemudian berdiri dan menggeser lemari itu sesuai dengan tanda gesekannya. Rava yang sedang sibuk mengusik sudut lain terpanggil dengan berisiknya suara gesekan lemari yang dibuat Reza
246
Di depannya kini adalah sebuah lorong menuju sebuah ruangan lain. Lorong itu hanya diterangi beberapa obor yang masih menyala, pertanda ada orang di balik ruangan itu. Reza da Rava memberanikan diri melangkah, mereka berdua saling berpegangan saling menguatkan nyali mereka. Dibukanya pintu yang menutup ruangan itu oleh Reza. Ruangan itu hanya diterangi oleh satu lampu minyak, dan lampu itu juga masih menyala. Di ruangan itu hanya ada sebuah meja, lemari dan rak berisi kertas kertas penuh tulisan. “Di mana Laras, Reza?” “Baru aku mau bertanya hal yang sama.” Laras tidak ada di sana. Tidak meninggalkan jejak. Hanya meninggalkan kertas kertas yang berserakan di meja, juga di rak, dan lemari kosong. Pada meja yang berdebu mereka berdua melihat bekas buku yang diletakkan di atasnya, terlihat dari bagian meja yang tak berdebu berbentuk persegi seperti habis diletakkan sebuah buku. “Apa Laras membawa lari sebuah buku, Reza?” “Sepertinya, ya.” “Buku takdir?” “Sepertinya, ya.” “Bagaimana bisa ia menulis takdir?” “Entahlah, tapi….. Seingatku penulis takdir adalah seorang piatu dan hanya kita berdua.” “Ibu Mandadari sudah meninggal bukan?” “Apa semudah itu?” “Entahlah.” Baru dihajar pertanyaan besar oleh Laras, ditambah heran tentang kepergian Laras, kini mereka dihadapkan lagi pada pertanyaan apa yang dilakukan Laras dengan buku takdir? Laras yang sedari tadi menenangkan hatinya dengan kembali membereskan rumah beranjak pergi kekamar. Emosinya sudah lebih tenang sekarang, dan ini saat yang tepat untuk menuliskan kembali beberapa kalimat agar keadaan berbalik menjadi sesuai kehendaknya. Reza dan rava sudah pergi terlalu jauh. Nanti jalan cerita takdir tidak akan lagi dipercayai siapapun jika ia tidak teguh menjaganya. Namun sesampainya dikamar pintu terbuka lebar dan lemari besarnya sudah bergeser kearah biasa ia menggesernya jika ingin pergi menulis. Betapa kagetnya ia ketika melihat dua adiknya sudah berada di sana. Laras habis kata ketika Reza dan Rava berbalik dan melihatnya berada di mulut pintu.
247
Mereka bertiga terdiam kaget juga panik. Laras panik rahasianya terbongkar, Reza dan Rava panik ketahuan masuk ke area privasi kakaknya tanpa izin. Lama mereka bertiga saling berpandangan sampai akhirnya Reza membuka suara. “Eh, kak.” Reza salah tingkah. “Keluar Reza, ada beberapa kalimat yang harus aku perbaiki. Tidak usah ikut campur urusanku. Kalian sudah jauh keluar dari cerita.” Perintah Laras “Maksudmu? Kamu yang menulis cerita? Apa-apaan?” rava tanpa sopan santun meninggikan suaranya. “Asal kamu tahu, aku dan rava belum menyentuh apapun semenjak masuk kesini. Apa maksud pernyataanmu tadi, kak?” Laras habis kata. “keluar cepat!” Mulai dari malam semenjak kejadian itu, hubungan Reza-Rava dengan Laras menjadi renggang. Hampir tidak ada percakapan sama sekali di antara mereka. Yang lebih menyedihkannya lagi, Rava menjadi pendiam semenjak kejadian hari itu. sebuah pukulan telak tepat di jantung hatinya. Siapa pula yang mau dengan mudah hidupnya ditentukan manusia. Hingga keesokan hari setelah kejadian itu. rava sungguh tidak tahan lagi untuk tidak bertanya pada laras. Pagi itu juga ia kembali kerumah Reza. Sesampainya disana, dari jauh terlihat laras dan Reza sedang berdebat sengit di beranda. Hingga memerah muka laras dihantam teriakan Reza. Rava datang dengan wajah bingung. Semua amarahnya sudah terwakili Reza hingga tidak sanggup lagi bertanya pada laras. “harusnya kau jujur dari awal, Laras. Kalau ternyata kau yang menuliskan cerita, bukan Revan atau Satya. Dan harusnya aku dan Rava tak usah repot repot menulis cerita dan menjadi penerusmu, ikut menuliskan cerita-cerita bodohmu.” Laras masih diam, wajahnya menggelembung merah seperti ingin meledak. “aku tidak bisa meneruskan cerita bodohmu Laras, aku ingin menjalani hidup seperti orang normal.” tandas Reza bicara. Lalu sadar Rava memperhatikannya dari luar, lalu ia anggukkan kepala, memerintahkan Rava untuk masuk. Rava yang berdiri diluar ragu ragu melangkahkan kakinya. Semua caci maki sumpah serapah yang membendung dalam kepalanya hilang seiring teriakan Reza dihadapan laras. Seiring langkahnya menuju pintu masuk, laras memperhatikannya dalam bungkam, tajam menusuk, mendikte luar dalam. Rava yang tidak tahan kemudian refleks berkata sinis,
248
“jika kamu yang awalnya membuat semua kekacauan ini terjadi, untuk apa menyalahkanku dengan tatapan tidak bergunamu itu, laras?”
249
Ragu "Bagaimana bisa ayah begitu tega membiarkan anaknya hidup dalam dongeng, laras? Jelaskan padaku!" Rava berteriak kencang pada laras yang termagu, sadar ia sudah salah bicara. "Justru karena sayangnya ia mengarahkan, Rava. Sama seperti yang laras buat untuk kita. Walaupun yanglaras buat itu adalah kesalahan besar karena itu bukan haknya, tapi aku tahu ia hanya ingin menjaga keabadian buku takdir saja." Reza meredam amarahnya, dengan pembelaan lain, kini berpihak jelas pada laras yang belum lama dimakinya. "Tidak. Tidak. Tidak. Aku memeras keringat, membersihkan luka menganga, mencari nafas demi mimpi mimpiku, Reza. Aku hanya tidak terima jika segala susah payah itu ternyata hanya beberapa bagian dari sebuah dongeng seorang lelaki tua." "Rava!" Teriak laras, terkejut mendengar omongan Rava tentang ayahnya. "Ia menghidupimu, bersyukurlah sedikit!" Makin naik emosinya seiring kata yang terucap. Rava langsung bergegas masuk kedalam. Langkahnya besar dan cepat. Disusul Reza dan Laras yang heran. Ternyata kamar Laras yang dituju Rava. "Apa yang kau cari, Rava?!" Rava mengangkat tangannya yang memegang buku tebal bersampul kulit yang disamak amat rapih. Mata Rava melotot kejam kearah Laras. Di depan pintu Reza hanya diam tak mampu berkata-kata. Tak menyangka ia akan kembali bertemu persimpangan yang memisahkan pendapat ia dan Rava. Mereka kini bersebrangan. "Akan kubuktikan aku tidak butuh bantuan ayah!!!" Teriak Rava. "Kendalikan dirimu, Rava. Kumohon." Ujar Reza sambil mendekat kearah Rava. "Diam, Reza. Diamlah jika kau tak ingin membantuku!!!" "Bukan begitu, maksudku.." Belum selesai Reza berkata lalu Rava begitu saja berlari keluar hendak meninggalkan Laras, Reza, juga kenyataan. Reza mengejar. Di ruang tamu Rava berhenti. Sontak Reza memelankan langkahnya. Lalu Rava mengeluarkan sebuah buku kecil daru dalam tasnya. Diberikan kepada Reza.
250
Lalu Rava mengeluarkan sebuah buku kecil daru dalam tasnya. Diberikan kepada Reza. Reza tertegun. "Kamu mau ke mana, sayang?" Rava menangis tak kuasa menahan luka. Tenaganya habis tak mampu lagi ia berkata. Lalu ia jawab hanya dengan peluk. Siang itu, tidak ada lagu yang lebih lirih dibanding sesenggukan tangis Rava. Rava akan mengambil langkah besar dalam hidupnya. Meninggalkan Reza, meninggalkan Satu satunya tempat kembali untuk sekedar bersandar, meninggalkan satu satunya tempat terbaik untuk membersihkan luka. Rava pergi, bulir air mata Reza bergulir kebawah pipi, digiring sesal. Sudah jelas Reza masih menyembunyikan rahasia terbesar alam semesta. Nampak sekali bahwa Reza belum percaya sepenuhnya dengan Rava. Jangan jangan rasa sayangnya pada Reza juga hanya bualan saja? Kemudian Rava bias. Ragu antara mana kebenaran, mana kenyataan, mana khayalan. Ia tersungkur di pojok ruangan. Menangis hingga sulit bernafas. Ia harus pergi dari semua kekonyolan ini. Ia harus pahami mana dulu yang benar benar digariskan untuknya. Terserah bagaimana Reza dan laras bertindak, Rava tidak lagi peduli karena satu satunya ya g ia inginkan sekarang adalah lari. Dari segala kemungkinan terburuk bahwa kehidupannya kini bukan kehidupan yang ditakdirkan untuknya, ia sedikit berharap, bahwa Reza memang bagian dari kenyataanya. Tapi terserahlah.
251
Cerita Rava I "Ayo kita pergi nonton konser." Ujar Rava pada sekumpulan teman kampusnya yang sudah lama tidak ia tegur sapa karena kesibukannya. Yang diajak bicara hanya planga plongo. Bingung. "Kau? Nonton konser?! Masih ada porsi bersenang senang bersama kami ternyata?" Ujar teman laki lakinya yang paling vokal dengan perubahannya beberapa waktu kemarin. Semenjak dekat dengan Reza, porsi Rava bermain dnegan teman temannya berkurang drastis. Mereka kecewa, Rava tidak peduli. Namun sekarang, lihat saja siapa yang pertama kali mencari. "Ya aku minta maaf. Kemarin aku tidak tahu itu diriku apa bukan. Jadi mau tidak?" Yang lainnya menatap ragu. "Kemarin itu memangnya kau kenapa?" Ujar salah satu teman perempuannya yang lain. "Khilaf. Dibutakan tulisan. Aku sekarang mencari kenyataan." Andro berdiri kemudian menepuk bahunya perlahan. "Lain kali, jangan datang ketika kamu sedang jatuh saja, Rava. Libatkan saja kami dengan apapun ambisimu, mungkin saja kami mengerti. Ayo nonton konser. Malam ini kan?" Senyum Rava merekah perlahan. Senyum pertamanya sejak seminggu terakhir. Rava isi hari harinya dengan bersenang senang. Sebutlah semua kegiatan anak muda, itu yang dihabiskannya selama sebulan terakhir. Persetan soal mimpi soal ambisi. Rava tidak ingin berhenti karena jika sekalinya ia memutuskan begitu, hampa hatinya akan menganga lebar tanpa ampun. Rava tidak suka merasa sendiri. Ditempat lain, tempat yang dirintis oleh Rava pertama kali kini sudah ramai, menyenangkan dan penuh warna. Teman teman Rava (yang berambisi tinggi tentu saja) mengembangkan proyeknya luas tanpa ampun. Mengundang sang mahaguru untuk segera datang kembali dan berkarya bersama. Rava terbersit niat untuk kembali pun tidak. Ia benar benar muak dengan segala hal yang berkaitan dengan buku takdir sialan itu. Mau kata apa? Semakin jauh dia pergi semakin tidak karuan isi pikirannya. Rava kira ia bisa tenang dengan pergi jauh dari ketentuannya dan membiarkan tuhan yang menuliskan langsung cerita hidupnya. Namun Rava malah berasa hampa. Ini tahun terakhirnya menjadi mahasiswa. Jika memungkinkan ia lulus tahun depan, ia akan membawa selembar ijazah ditangan dan sorak sorai kebanggaan. Sudah. Tanpa ada tambahan
252
lain pencapaian mimpinya dulu dulu. Ia meraih telefon genggamnya. Mencari nama Reza. Gerakan refleks sederhana saat ia menghadapi kesulitan biasanya. Tapi nama itu hilang, ia tidak ingat kapan ia menghapusnya. Atau memang nama itu tidak pernah ada disana? Rava bias. Ia nyaris samar samar mengingat Reza. Apa karena mereka berdua berjalan jauh dari cerita, maka yang lalu lalu itu mulai terhapus tanpa sengaja? Semua kebersamaan itu hilang? Bahkan tidak bisa sekedar jadi kenangan? Rava terduduk. Dadanya berdegup kencang. Bias. Semakin hari semakin bias. Ia tidak lagi merindukan, bahkan menginginkan untuk berada di sisi Reza. Maka ia berhenti mencari. Mengisi kekosongan lagi sendiri. Ini yang ditakutkan laras. Mereka lupa tentang masa lalu. Karena apapun yang terjadi di masa lalu adalah karangan. Selangkah mereka memutuskan untuk mengikuti perintah tuhan, maka segala cerita habis. Tanpa sisa. Rava bukannya peduli, ia belum lagi ingin merajut mimpi mimpi. Kesenangan merupakan kebebasan berarti. Ia tidak ingjn lagi ambil pusing soal pikiran dan hati. Dan Rava meluruh, bersama kenangan masa lalu. Aku tidak lagi sanggup mengenali rupanya. Benar saja. Rava lepas sempurna dari cerita. Aku yakin betul. Tidak ada lagi kenangan tersisa didalam kepalanya dan tidak ada lagi kisah yang sama terjadi pada dirinya. Aku intip isi buku satya perlahan, seharusnya kini Rava sudah berdiri dipanggung ternama. Diwawancara soal pergerakannya. Hebat sekali, dideskripsikan gemerlap dan membanggakan sekali. Namun yang kulihat kini Rava hanya berkutat pada buku buku tua. Menganalisa satu paragraf, berbicara sendiri, mencoba menyimpulkan. Tidak ada karya tidak ada cerita. Ia berhenti berusaha, hanya berkutat pada kelulusannya yang berada didepan mata. Rava bukan lagi meluruh, Rava hilang. Buku takdir bicara soal siapa yang sesungguhnya paling benar. Maka, langit membuat cerita baru. Menentukan yang seharusnya terjadi. Setelah peralihan masa cerita, Rava yang sempurna lepas dan lupa menggoreskan lukisan baru mengenai kisahnya dilangit terbuka. Tapi hampa. Rava lupa akan Reza tapi ia tidak lupa rasanya cinta. Seperti ada hal besar yang hilang dari hatinya. sebutlah berbagai kasih datang menghampiri, menyambut ulur tangan kelelahannya, mengjsi namun ia enggan membalas. Hanya senyum
253
tipis tanda penolakan. Hatinya sudah hilang, bagaimana mau ia berikan ke orang? Tapi terserah soal hati karena kini Rava masih kuat untuk tegak berdiri. Nilai nilai nya naik drastis tanpa ragu, tawaran beasiswa untuk naik ke jenjang cakrawala didepan mata. Tidak ada dinding penghalang menuju kesuksesan, tidak ada rintangan menuju kemenangan. Tapi Rava hampa. Ia hampa. hampa. Maka disetiap siang kebanggaannya, tangis tersedu pasti datang di malam harinya. Ia rindu cintanya yang tidak mampu ia kenali rasanya. Ia hampa. Lupa segalanya. "Hey, jadi mendaftarkan beasiswa hari ini? Mengapa lesu sekali, Rava?" Salah satu temannya berbicara padanya setelah sekian hari tidak melihatnya berbicara seperti biasa. "Jadi, tapi aku belum tau ingin kemana" "Ikuti saja kata hatimu, jangan dipaksakan. Kamu bisa memilih hampir diseluruh universitas dunia. Untuk apa khawatir jika semua orang berharap untuk berada dalam posisimu Rava?" "Karena setidaknya hati mereka berisi kasih sayang sedangkan aku kosong tanpa perasaan." "Itu tidak lagi penting, isi saja kepalamu penuh penuh hingga kosongnya hati seperti tidak ada rasanya lagi" Ide bagus. Semakin ia menyibukkan diri, semakin ia lupa soal kosongnya rasa dihati. Senyum yang lama hilang kini merekah, ia memeluk temannya yang kemudian menepuk bahunya perlahan, mendoakan kesuksesannya. Rava punya pelarian. Setidaknya ini cukup untuk mengobatinya sementara waktu. Penuh kesibukan lagi sana sini. Rava mengabaikan perasaan meneguhkan pikiran. Entah dia perempuan atau bukan. Sesekali kulihat ia menghibur dirinya dengan bercengkrama kosong dengan teman temannya. Ia tak lagi mampu tersenyum maupun tertawa sendiri, maka ia mencari tawa dari orang orang yang masih menyimpan hati. Lalu datang sebuah momentum kesuksesan. Aplikasi beasiswanya diterima tanpa perlu seleksi apa apa. Buah pengorbanannya mengabaikan isi hati. Tidak ada lagi satu kata pun dari cerita buku takdir yang sesuai dengan perjalanan hidup Rava kini. Seharusnya Reza dan Rava sudah mengikat janji. Kuintip sedikit halaman paling mendebarkan dari kisah buku takdir satya. Indah sekali seharusnya. Bahagia sekali kenyataannya.
254
Tapi apalah, justru Reza Rava berjarak sejauh jauhnya. Buku takdir tidak lagi punya kuasa. Ia berbalik habis, tanpa tanda, tanpa ampun.
255
Cerita Reza I Kini giliran Reza. Mata yang sayu jadi jendela jiwanya yang hampa menghadapi dunia. Kau tau? Reza sudah lama tidak berkuliah di universitasnya. Menulis takdir, mengembalikan kepercayaan Rava, mengejar ambisi, dan terakhir kehilangan Ravanya membuat ia tidak tertarik lagi kembali menimba di sumur tak berdasar bernama pengetahuan. Toh ilmu bisa ia dapat dari manapun. Seperti sekarang ini. Di tempat kerjanya sekarang. Tempat pembangunan proyek besar, apartemen mewah ratusan lantai. Namanya Pak Bram. Reza sering memanggilnya mas gun. Adalah mandor sekaligus rekan dekat Reza yang sekarang. Ilmu yang ia bagi tiap sore menjelang pulang selalu menjadi bekal pulang Reza. Oiya kau tau? Reza tak lagi pulang ke rumah tempat dulu ia tinggal bersama Laras. Kini ia menempati rumah bekas Mandadari. Bersama teman temannya yang juga bekerja di proyek itu. Akan kumulai ceritanya. Senja. Di gedung kontruksi lantai 19. Reza duduk menghadap Pak Bram, guru kehidupannya tiap senja. Seluruh pekerja sudah pulang, beberapa masih terlihat membereskan peralatannya. Tapi Reza dan Pak Bram masih di sana, bisa sampai larut malam. Pertemuan mereka unik. Reza memang selalu sengaja pulang selepas petang, sebab matahari terbenam selalu menawan. Sementara Pak Bram, ada alasan khusus ia tetap berada di sana. Lantai 19. Reza memilih tempat itu karena dari sana ia sudah cukup untuk melihat seluruh kota. Hari itu Reza duduk sendirian, semilir angin mengajak rambutnya yang panjang menari. Angin membuat matanya terpejam, menghayati tiap detik kebebasannya. Pikirannya? Sudah ia rapikan kenangan tentang Rava. Sudah ia anggap kisah masa lalu yang tak perlu lagi dibongkar. "Kau tidak pulang, bocah? Siapa namamu?" Suara Pak Bram, mandornya. Berat suaranya memecah keheningan, merenggut kesenduan Reza yang menyendiri. "Belum pak, saya Reza." Jawab Reza ramah. Hanya itu yang keluar dari mulut mereka di senja pertama. Reza fokus pada senjanya, pak bram fokus pada ingatan ingatannya. Begitupun keesokannya. Entah mengapa pak bram juga memutuskan untuk menghabiskan
256
senjanya di lantai yang sama dengan Reza. Lantai 19. Dan juga percakapan yang sama seperti senja yang kemarin. "Kau belum pulang, bocah? Siapa namamu?" "Belum pak, saya Reza" Dua minggu berlalu, dengan senja yang sama, orang yang sama, juga percakapan singkat yang sama. Reza jenuh setelah ditanya nama selama dua minggu. Maka sore itu ia protes. "Aku bisa saja menghabiskan seribu senja bersama orang tua dan percakapan singkat yang sama. Tapi aku tidak mau mati kebosanan. Apa yang terus membawamu kemari pak tua?" Ujar Reza sambil menyeringai sok asik. "Kau tidak sabaran, pasti tertular orang yang meninggalkanmu." Suara Reza tercekat di pangkal tenggorokan. Bagai guntur di siang bolong Reza seperti tersambar tepat di pangkal hati. Matanya terbelakak tidak mampu menahan kaget. Timbul sebuah tanya. Siapa dia. "Eh? Apa maksudmu?" Tanya Reza heran sambil menutupi rasa takjubnya. Namun pak bram diam hanya memandangi senja mereka dengan senyum. Reza makin heran. Sudah ada puluhan senja mereka lewati. Namun Reza tak kunjung mengetahui siapa sebenarnya pak bram ini. Yang Reza tau Pak Bram hanyalah mandor di proyek tempat ia bekerja. Rusak sudah pikiran Reza. Ia gagal menjaga tapa menyepi dari bayangan Rava. Reza tergetar tiap nama itu mendengung dipikirannya. Kurasa Reza masih cinta. Lalu senja ke seratus. Pak Bram tidak ada di sebelahnya. Juga keesokannya, juga lusa. Reza yang kesepian mencari. Setidaknya ada wujud yang menemaninya. Setidaknya ada tanya yang menghangatkan batinnya. "Mau kemana Reza?" Tiba tiba suara Pak Bram mengagetkan konsentrasinya. "Saya mencari bapak, hehe" jawabnya. "Lebih baik kau cari jawaban tentang segala tanya yang bersemayam di dalam pikiranmu, anak muda."
257
"Ke mana?" "Pria di depanmu" "Aku sudah melewati hari-hari yang aneh sebelum bertemu denganmu, dan kalau kan orang hebat pasti kau tau maksud keberadaanku disini." "Untuk lari. Aku tau." "Betul, dan itu berarti aku sama sekali tidak tertarik dengan pembicaraan ini. Masa bodo kau utusan siapa dan dari mana." "Ya ampun Revan anakmu ini menyusahkan sekali." "Dan jangan dua kali kau sebut nama itu." "Revan." DHUAGG!!! Tanpa rasa segan Reza memukul wajah pak bram. Namanya Brama. Dia bukan penulis takdir. Dia hanya teman baik Revan saat revan masih sebagai penulis takdir. Keahliannya adalah ia dapat menjadi siapapun, tujuannya untuk srlalu berada di lingkaran Reza dan Rava. Ia selalu ada untuk mengawasi. Mengawasi dan menjaga cerita Revan berjalan sempurna. Persis seperti yang Rava lakukan dulu bedanya hanya Rava mengawasi langsung, Revan menggunakan Brama. Lalu Brama datang saat cerita mulai kacau. Dan kalian mulai sadar bahwa cerita Revan tidak benar benar menggantung. Brama memegang bagian akhirnya. "Hahahaha bunuh saja aku bocah ingusan. Dasar tokoh cerita fiksi. Bahkan watakmu sama persis dengan apa yang ada di buku cerita ayahmu. Hahahaha." Reza berdiri menatap dingin ke arah Pak Bram. Emosinya belum surut. Tangannya masih terkepal. Lama ia memandangi wajah Pak Bram. Lalu dari sudut-sudut matanya jatuh berbutir-butir air mata. "Jika memang kedatanganmu adalah sebuah bagian dari cerita baik karangan ayahku, maka bantulah aku, pak." "Kau membenci dirimu sendiri?"
258
"Sangat, aku sangat membenci diriku sendiri." "Kau merindukan sebelah jiwamu yang mampu membuat kau merasa berguna?" "Ya, aku sangat merindukan Rava." "Lalu kau yakin akan bertemu dengannya lagi?" "Tidak, Rava memutuskan meninggalkanku." "Tidak bisa, ia tidak bisa meninggalkanmu. Sekalipun ia melawan takdirnya sendiri." Reza terdiam. "Kau ingat? Kau pernah menulis kisahmu sendiri? Lalu kau menuliskan takdir cinta kalian?" Pak Bram melanjutkan. Reza masih terdiam. "Bagaimana bisa terwujud jika aku sudah tidak percaya keajaiban buku takdir?" "Aku hidup di zaman bapakmu, dan kau. Dan aku sudah berkali kali memastikan bahwa takdir kalian berjalan sempurna. Aku tidak pernah mencampuri, aku hanya memastikan. Kau tau? Aku suka sekali dengan debut pertamamu. Cerita tentang alfan. Apa kabar dia sekarang. Hahahaha" Reza bergeming. Ia diam tak memerhatikan Pak Bram. "Aku sudah sempurna lepas dari cerita, pak tua." "Hey bab terakhirmu aku yang pegang. Tepat di hari kematiannya Revan memberikannya padaku." "Apakah aku masih berada di dalam cerita?" "Persis sama." "Bahkan kisahku sudah berakhir sebelum aku memulainya." "Cari Rava. Kejar. Kembalikan kepercayaannya. Hanya kaulah yang mampu." Senja menjadi saksi. Tekad Reza bulat sempurna bagai matahari yang ditelan garis laut. Lalu Reza bangkit meninggalkan Pak Bram dan senjanya. Ia tau harus mulai dari mana
259
Hidup Reza seperti mengulang dari awal. Jelas ini bukan jalan takdir yang Laras lanjutkan dari tulisan terakhir ayah mereka, Revan. Reza tidak tahu harus mencari Rava ke mana. Sebab Rava seperti tenggelam bersama matahari senja namun tak ikut kembali saat fajar. Berkali-kali ia berkata, Rava hilang maka hidupnya pun akan hilang. Tapi kadang ia kesal. Mengapa Rava selalu keras kepala memaksakan kehendaknya. Tidak pernah mau pasrah dengan kenyataan namun selalu terkapar mengiba bantuan Reza setelahnya. Sedangkan kata-kata Reza tidak pernah ia terima. Hasutan setan mengotori pikiran Reza. Habis sudah keinginan mencari. Kotor sudah sebelangga rindu yang menenggelamkan hatinya kini. Biarlah Rava pergi, biarlah ia hancur menjadi serpihan. Mereka berdua sudah menyerah tanpa ampun. Entah hal macam apa yang kemudian akan menyatukannya kembali. Tulisan tentang keadaan berpisah yang mereka tuliskan di buku takdir lalu lalu menjadi benar adanya. Tanpa bertambah cerita, namun sama sekali datang dengan alasan tak terduga. Padahal mereka berdua sudah berjanji sepenuh hati, tidak akan berpisah walau sejengkal, walau semenit, tanpa permisi. Memang kurasa tidak perlulah lancang menuliskan tentang masa depan yang tidak diharapkan pada lembaran buku takdir. Ia membuktikan dengan kenyataan, lihat saja, bahkan sepasang kekasih yang tidak terlepaskan, lepas begitu saja dari genggaman. Malang sekali. Reza yang malang, ditinggal pergi oleh nafasnya. Kini Reza bagai jasad yang bergerak tanpa jiwa. Hampa tak bernyawa. Bergerak bagai mesin buatan manusia. Mata sayu tak ada tenaga. Tubuh makin kurus, lunglai, layu bagai manusia tanpa daya. Beginilah Reza yang sekarang. Reza yang ditinggal Rava entah kemana. Lalu Rava? Entah, nona yang mengejar. Takdir punya kesepakatannya sendiri dengan waktu. Apakah kebersamaan Reza dan Rava memang cukup sampai disini atau takdir dan waktu punya kesepakatan lain untuk mempertemukan mereka kembali.
260
Takdir memang tak dapat dikendalikan. Setidaknya manusia bisa mengendalikan dirinya sendiri. Begitu kata orang bijak. Reza adalah bukti nyata bahwa manusia dikendalikan penuh atas takdirnya. Beberapa purnama berlalu. "Aku ingin mati, Rava." Bisiknya kepada pohon di depan danau tempat mereka sering menghabiskan waktu. Rava sendiri belum begitu nampak peduli, ia sibuk dalam dunianya sendiri. Ia tepis jauh jauh tentang buku takdir, dan apapun yang berkaitan didalamnya. Termasuk Reza. "Aku tidak ingin terjebak lebih lama." Ujarnya suatu hari. Begitu kecewa ia mengetahui bahwa apapun yang ia usahakan, ternyata hanyalah sebuah cerita karangan sempurna ayahnya. Dan orang orang yang ia percaya justru menjaganya untuk tetap berpura pura, memperjuangkan dongeng yang sama sekali bukan keinginannya. Belum ada segelentir kata maaf pun terpikirkan, apalagi rindu. Rava kini berjuang bersama angin, ribut, tapi hampa. Lalu Laras? Begitu saja menjalani hidupnya. Sekarang ia penulis takdir kan? Dengan latar belakang alasan menjaga keseimbangan dunia, ia perkaya dirinya. Picik sekali. Sambil menulis di meja kerjanya, ia menyeringai. "Kau belum sepenuhnya lepas dik." Setengah hidup setengah mati. Reza bernyawa tak punya kuasa atas tenaganya. Ia masih terikat cerita Revan yang diteruskan laras. Beruntung Rava membawa pergi buku takdirnya. Mungkin ia telah sepenuhnya lepas. Entahlah. Siapa yang tau jika ternyata Rava pergi ke tempat yang jauh dari perkiraan Reza. Reza hanya tau danau, tempat anak anak jalanan Rava, dan rumah Rava. Tiga tempat itu tak ditemukan Rava sama sekali. Tapi ia temukan petunjuk dari tempat anak anak jalanan. "Syifa?" "Pangeranku."
261
"Kau lihat Rava?" "Hah?! Apa yang terjadi dengan kalian berdua? Rava pergi ke ke paris sore ini Reza!!! Pantas Rava murung sekali akhir akhir ini. Senyumnya dipaksakan, tawanya tidak lepas." Reza langsung bergegas pergi. Memberhentikan taksi. Membentak supirnya untuk duduk di bangku penumpang lalu menginjak pedal gas dalam dalam. Di kepalanya hanya Rava. Senja di lantai 19 Pak Bram tersenyum tipis di balik siluetnya sambil membaca bagian kisah Reza yang mengejar cintanya. Setelah kemarin mengucapkan perpisahan ke banyak orang yang pentinh dalam hidupnya, termasuk komunitas anak jalanan yang menyambutnya dengan tangisan, Rava seperti mengenali lagi masa lalu yang ditinggalkannya. Tidak banyak, tapi mampu membuat gemercik api di hatinya yang hampa. Betapa mereka masih merindukan dan menginginkan keberadaannya. Perasaan yang hanya datang jika ia mau mampir ke masa lalu. Tapi Rava harus pergi. Ia yakin ini mimpinya yang asli, yang benar digariskan untuknya selagi ia masih bayi. Paris tujuan utamanya. Dan ia tidak ragu untuk memilih pergi. Oh, tidak kusebutkan bahwa Rava sedikitpun tidak berpikir untuk bertemu Reza. Memberi kabar pun tidak. Bukan karena benci, tapi Reza (mungkin) kini tidak lagi berarti. Reza tak semudah Rava menyingkirkan bayang bayangnya dari kehidupannya. Reza malah mati matian mengejar Rava mengendus jejaknya menelusuri aroma kesedihannya. perpisahan tinggalah perpisahan. bandar udara terlalu besar untuk mencari gadis mungil seperti Rava. ditelponnya handphone Rava berkali kali, dijawab nada sibuk dari seberang sana. sudahlah Reza, wanitamu sudah tak lagi mengenalmu. Kini benar kisah cintanya habis ditelan masa. Tidak perlu lagi aku untaikan ribuat nasehat dan kata yang membuat nyawanu melayang keudara. Lebih tinggi dari pengharapan dan kasih sayang Rava pergi. Meninggalkan apa yang benar benar ia yakini. Padahal kosong. Biarlah, yang terpenting baginya sekarang berjalan lurus tanpa perlu tersandung rasa sama sekali. Perih. Aku titipkan salam cinta Rava yang telah hilang ke relung hati Reza agar sedikit membuatnya tenang. bagiku seorang laki laki yang tangguh keyakinannya takkan menangis ketika ia melihat punggung kekasihnya menjauh pergi. bukan ia harus mengejar. lelaki sejati akan membuat kekasihnya berbalik kembali. biarlah Ravamu pergi, Reza. kirim cintamu. kirim cahayamu untuk menuntun Rava pulang ke
262
hatimu. dan aku lihat Reza mengangguk tanda ia mendengarkanku.
263
Cerita Reza II Terseok, sesekali tersandung akar pohon. Kainnya robek sana sini tersangkut duri tersangkut ranting. Mahkotanya entah jatuh di mana, wajahnya dihinggapi debu, ia menghitam namun tetap menunjukkan pesona putri bangsawan. Pada sebuah hutan, burung, serangga, dan pohon menjadi saksi perjuangan seorang wanita yang sedang lari dikejar kenyataan pahit kehidupan. Aku hanyalah makhluk halus yang tak mengerti arti perjuangan. Hidupku datar tak mengenal naik turun. Namun melihat wanita itu, aku jafi sedikit tau arti sulitnya menjadi manusia. Melihat hidup dari segala sisi. Dari bait puisi ia menumpahkan isi hati tanpa rasa ragu apalagi peduli. Kata katanya mengakar kuat sampai tak kenal mati. Pancaran sinarnya begitu kemilau hingga gelap tersamar dari pandangan siapa siapa. Tidak ada yang sadar atas gerak gerik langkahnya, karena dibalik layar kebijaksanaannya bekerja. Bahkan ia sendiri tak sadar atas dirinya sendiri. Sungguh tuan, bahkan melodi puji memuji terdengar jelas diseluruh bumi. Apa tidak terdengar sama sekali oleh telingamu? Mungkin ia tertutupi kata hati. Aku banyak belajar dari bait bait puisi seorang lelaki. Entah mampu atau tidak aku mengenalnya lebih jauh, karena hidupnya hanya ia yang mengizinkan siapa siapa saja yang nanti teristimewa mendengarkan kisah sumpah serapahnya tentang dunia. Wanita itu kini duduk kelelahan pada sebuah batang pohon yang tumbang. Aku tak jauh bertengger di atasnya. Aku ragu jika aku menawarkan diri untuk menemani, akankah ia terima? Ia duduk menutup wajahnya, menangis tanpa mengeluarkan suara. Kukira ini hanya gejala alam, tapi aku tak yakin. Hujan ini pasti pertanda bahwa wanita ini bukan wanita sembarangan. Ah aku tak mengerti apapun tentangnya. Yang pasti ia lari tanpa membawa apa. Ia abaikan luka, ia genggam lagi asa. Tanpa apa ia melangkah. Aku masih dibelakangnya. Mendekat saja aku tidak mampu. Entah apa yang mungkin dilakukannya saat ini. Aku sungguh ingin belajar darimana ia mengenal kata berani dan berdiri sendiri. Hidupku kelabu dan penuh teka teki. Sibuk mengelabui sana sini agar banyak pihak yang mengerti. Namun ia tidak. Jujur tutur katanya berucap, lugas kata hatinya mengalir. Tanpa koma tanpa
264
tanda tanya. Tegas. Menggetarkan siapa saja yang mencoba memahaminya. Entah kemana lelaki itu pergi. Tidak terlihat dimanapun aku berusaha memandang. Aku tidak mencari, tidak pula menunggu dicari. Biarlah, jika memang kata cinta aku kenali nanti dari tutur katanya, kuasa langit pasti menuntunku untuk berdiri dihadapannya. Pandangannya lurus kedepan. Aku tak tau pasti apa yang ia tatap, tapi matanya berbinar, merona bahagia. Mungkin menemukan jalan keluar. Aku yang ribuan tahun hidup di sini tak pernah bisa keluar dari hutan ini. Hutan ini lambang kepelikan hidup yang merimba. Banyak manusia masuk dan mati di dalamnya. Dan menjadi siluman sepertiku. Wanita itu hilang. Aku kehilangan dia dalam sekelebatan mata. Entah siapa yang menolongnya. Mungkinkah ia mampu bertahan hidup jika di hutan ini ia sendirian? Ia pasti ditemani seseorang yang hidup di dalam jiwanya. Hutan yang lebat, dingin dan lembab. Tak ada yang hidup di sini selain makhluk makhluk suram sepertiku. Lalu wanita itu datang. Berhari hari berlari entah kemana. Sekali ia diam lalu jalan lagi. Kemudian menghilang. Kucari kesegala penjuru nestapa ia tak ada. Entah uluran tangan mana yang menarik ia keluar. Aku berpegang pada lelaki khayalanku. Dia yang nyata, aku jadikan penggerak mimpi mimpiku. Bila yang nyata tak tergenggam, lebih baik aku jadikan saja bayangannya penguat kisah sumpah serapah hidupku. Maka dari kasih sayang semu itu aku bangkit tanpa ragu. Wahai kamu yang meluap bersama bunga tidurku kapan kita bisa bertemu? Keluar dari pelik kehidupan. Ini sungguh bukan karena diriku. Ini hasil sorakan dari bisik bisik lelaki khayalanku. Ia sudah pergi, keluar dari hutan penuh nestapa. Kudengar kabar dari kelelawar yang lewat. Ada uluran tangan yang bentuknya khayalan menolongnya. Aku tak begitu paham. Yang kutangkap ada seseorang dalam jiwanya yang begitu hidup sehingga mampu menolongnya. Kuterbangkan mimpi kuterbangkan khayal. Di langit aku menyaksikan ia asik menari bersama lelaki yang keluar dari kepalanya, ia mampu memanusiakan khayalannya. Berbahagialah nona. Kini lelaki di dalam khayalanmu menjadi milikmu selamanya dalam nyata. Sekarang aku bisa melihatmu berdiri tegap didepanku. Menakjubkan, bahkan ini jauh lebih indah dari khayal khayal ku. Entah ini akan berubah menjadi bertambah baik atau justru berputar arah menjadi mimpi
265
buruk. Aku tidak berani mengandai karena kadang kenyataan terlalu rumit dipahami oleh tukang khayal dan peracau sepertiku. Selama semuanya masih baik baik saja, jangan kembali menjadi angan, tuan. Karena sungguh hutannya terlalu gelap dan mencekam jika nanti harus dipaksa berjalan sendirian.
266
Menuju Akhir Cerita Jika memang tak ada bahasa yang mampu menafsirkan kerinduan, biarlah luka merindu ini mengubah tenaga menjadi upaya. Biarlah Reza berbuat sesuatu agar cahayanya mampu menuntun Rava kembali. Hari itu juga setelah Reza gagal mengejar Rava, ia kumpulkan semua anak anak jalanan di depan balai yang ia bangun untuk komunitas Rava. Ia mencoba menggantikan posisi Rava sebagai pemimpin di sana. Memberdayakn nak jalanan untuk kemajuan generasi muda bangsa adalah visinya. Sorenya ia bergegas menuju markas kelompoknya dulu, yang ia temukan adalah kekosongan, debu-debu tebal duduk di sofa, jejaring laba-laba bertamu di sudut lanngit langit rumah. Segalanya mencekam. Lalu suara berat menolehkan kepalanya. “sudah lama sekali, sorot matamu berubah, dalam dan tajam.” “Cesar?!” “Bos.” Dua sahabat itu bersalaman erat. “Orang-orang kita pergi, Reza. Mereka mencari hidup masing-masing.” Ujar cear membuka obrolan. “Cari mereka dalam satu malam. Besok kita berkumpul lagi melakukan sesuatu yang bisa memberikan pekerjaan hebat untuk kita semua.” Ujar Reza dengan tatapan yang serius. Rupanya memang hal ini yang ia maksudkan dalam kedatangannya ke sini. Dan cesar memang orang yang tepat untuk tugas ini. “Maksudmu?” “Kita jaga rumah kita yang besar ini dengan tangan kita sendiri. aku tak suka melihat wajahwajah sok seram para preman yang berlagak menguasai wilayah ini.” Cesar terlihat mengangguk-ngangguk sambil tersenyum. Rupanya ia juga merindukan tugas seperti ini. “kembalilah besok sore, semoga aku bisa menarik semua orang-orang kita, bahkan lebih.” “Tidak, datanglah besok ke rumah anak jalanan Rava.” “Siap bos” Reza mengangguk puas. Lalu ia pamit pergi meninggalkan cesar dan markasnya. Senja. Reza sudah bertengger di lantai 19. Di sana sudah ada pak Bram, dengan dua gelas kopi and sepiring pisang goring entah ia masak di mana. Jangan kau Tanya dari mana, pak Bram sama ajaibnya dengan Revan dan Satya.
267
“Mulanya kau salah tangkap maksudku soal mengejar Rava, bocah. Tapi kini kau sudah mengerti rupanya. Semoga berhasil, hahahaha selamat memancing ikan tercantik di dunia, bocah.” “Apa yang kau bicarakan pak tua? Haha apa aku mulai keluar cerita?” “Entahlah, mungkin tidak. Aku belum memeriksanya. “Apa Rava akan kembali?” “Kau sendiri yang menuliskan bersamanya selamanya, apa itu artinya ia tidak akan kembali?” “Apa yang harus kulakukan setelah ini?” “Berjalanlah sesuai keyakinanmu.” “Keyakinan apa? Aku sudah tidak punya tempat bernaung.” “Ikuti saja hidupnya di masa lalu, nanti sepotong demi sepotong cerita takdirmu akan kembali.” “Masa lalu siapa? Ayah?” “Pemilik hatimu, cahayamu pergi terlalu jauh sehingga takdir kesulitan untuk mengembalikan cerita ke tempat seharusnya.” Saat Reza membuka mulutnya untuk bertanya kembali, cepat pak Bram memotong. “aku sudah terlalu banyak bicara. Tidak ada lagi pertanyaan.” Reza menunduk kecewa. Diseruputnya kopi hitam sambil memikirkan tentang semua hal yang disampaikan Pak Bram barusan. “Aku akan selalu menjadi pengarah jalanmu. Hidupi saja hidup. Aku akan selalu tau kemana langkah kakimu menuju.” Ujar Pak Bram sambil beranjak pergi, Meninggalkan Reza dengan ribuan pertanyaan dan duga-duga penuh terka tak pasti. Keesokannya , di tempat proyek gedung tempat Reza dan Pak Bram bekerja. Reza meminta izin pergi kepada mandornya yang tak lain adalah Pak Bram. “Bisa bicara sebentar bos? Aku ingin..” Belum selesai Reza menyampaikan maksudnya Pak Bram menutup mulut Reza dengan jari telunjuknya lalu mengangguk dan member isyarat mengizinkan Reza untuk pergi. Yang Reza tuju adalah rumah anak jalanan komunitas yang Rava dirikan untuk membuktikan padanya bahwa mimpinya bukan sekedar kata. Duduk ia di halaman depan, dengan syifa bersila saling berhadapan, membelakangi pintu masuk, membelakangi cahaya yang masuk. Wajah Reza disiluetkan cahaya surya.
268
“Aku ingin memperluas komunitas ini, Syif.” Ujar Reza membuka percakapan. “Kita tidak punya cukup tenaga, Reza. Apalagi tanpa Rava dan Ahmad. Aku dan Dina saja sudah kerepotan mengurus satu rumah ini.” Reza hanya tersenyum. Dari belakang muncul banyak pemuda, laki-laki dan perempuan. Tentu saja cesar berjalan paling depan. Gerombolan yang dibawa Cesar terdiri dari bekas anggota kelompok Reza dulu, juga beberapa orang baru. Entah bagaimana cara cesar mengumpulkan orang sebanyak itu. “Kamu yakin? Komunitas ini sudah jatuh bangun berkali-kali.” Tanya Syifa meminta ketegasan. “Sungguh, tidak ada yang lebih aku inginkan dari ini.” “Terserah padamu. Aku tidak pedulu. Aku hanya menjaga apa yang Rava tinggalkan.” Syifa kemudian membereskan barang-barangnya, bersiap pergi. “Hey, kamu tidak suka aku membantu membangunnya kembali?” Syifa mendongakkan kepalanya, menatap Reza sinis. “aku hanya ragu ini sungguh sungguh ingin kamu usahakan segenap hatimu atau tidak. Yang kemarin kemarin saja kamu tinggalkan begitu mudahnya. Bagaimana yang ini?” sembari berjalan pulang Syifa menarik nafas dan berkata tegas di hadapan Reza. “jika sekali lagi kamu buat komunitas ini jatuh, aku tidak akan pernah memaafkanmu Reza. Kesempatanmu hanya sekali, jangan buat apapun menjadi kacau dan dengan mudahnya kamu tinggalkan tanpa rasaa bersalah,: “karena hanya ini, yang membuat nyawa Rava mungkin mencoba kembali ke tempat yang seharusnya.” Kata-kata terakhir Syifa membungkam keramaian yang dibawa Reza siang itu. “jangan malu untuk kembali sekalipun tempat ini akan membuatmu menyesal telah pergi, Syifa, pangeranmu akan selalu menunggumu hahaha” teriak Reza meledek Syifa yang berjalan semakin jauh. “dia akan kembali lagi kan, bos?” Tanya Cesar “tentu saja kawan. Ini rumahnya.” Jawab Reza teriak seakan tau Syifa berhenti kata penyesalan dari Reza. Belum ada satu menit Syifa kembali lagi dengan wajah menggelembung menahan tawa. “siaaaaal!!!!! Hahahahaha apa maumu tuanku? Kita mulai dari mana? Tanya Syifa. “nah kan belum ada seperempat jam dia sudah kembali. Kau arahkan semua orang yang kubawa. Mereka sepenuhnya mengabdi kepada masyarakat kelas bawah. Perlakukan mereka seperti saudaramu sendiri, Syifa. Aku ada pekerjaan lain.” Ujar Reza sambil memberi tanda kepada cesar agar menemuinya.
269
“selanjutnya apa bos?” “berapa banyak pengamen, pengemis, dan preman-preman yang kau pegang?” “entahlah, aku hanya memegang kunci-kuncinya saja. Satu orang pimpinan mungkin ada sekitar dua puluh orang di dalamnya.” “baguslah, aku ingin kita memegang semua kelompok itu.” “untuk apa Reza?!” “kau seharusnya tau kita harus mendapatkan informasi dan juga penjagaan. Aku akan menawarkan keuntungan untuk mereka.” “hebat, kau selalu punya gagasan hebat kawan.” Maka semuanya dimulai kembali. Demi mengejar hatinya, ia bersusah payah masuk kembali pada peliknya perjuangan mengumpulkan semangat anak-anak jalanan. Walaupun Reza tampak tidak melakukan apapun, namun orang-orang disekelilingnya begitu percaya atas kekuatan pikirannya sehingga apapun yang ia perintahkan secara tiba-tiba dan tampak tidak terencana, pasti mereka selalu siap untuk berdiri di garis terdepan untuk membantu. Membantu mengejar belahan jiwanya. senja itu huru hara mecari orang-orang untuk diajak berjuang. Selagi mereka berjalan pulang cesar bertanya. “matamu lebih sayu dan menyiratkan luka dari terakhir kita bertemu kemarin. Rava benr-benar tidak akan kembali?” “justru karena aku percaya ia akan pulang aku bangun mimpi-mimpinya, Cesar. Hanya itu satu-satunya jalan untuk membuatnya kembali.” Reza menjawab mantap tanpa keraguan. Matanya berkilat menyiratkan kesungguhan. “semoga benar. Bila aku perempuan yang kau kejar, sungguh aku benr-benar merasa hebat memilikimu.” “kau seperti jatuh cinta kepadaku Cesar, menggelikan sekali.” Reza menatap curiga, Cesar kemudian tergelak. Mereka tertawa sejadi-jadinya. Jumlah orang yang dibawa Cesar lebih dari cukup, dan itu artinya Reza bisa mencari daerah kumuh lain untuk menyalurkan jumlah orang yang ada. “apa kau menemukan lokasi baru Cesar?” Tanya Reza “tidak juga. Sebenarnya kita berada di tengah-tengahnya.” Reza hanya tertawa mendengar lelucon sarkas yang dilontarkan Cesar. Banyak sekali daerah kumuh di kota ini, hampir di semua pusat distrik bisnis. Reza tak seharusnya bertanya. “tapi aku punya orang-orang yang bisa kau percayakan, ayo ikut aku.” Ujar Cesar.
270
Lalu mereka pergi ke sebuah tempat. Sebuah gedung yang belum rampung terbengkalai. Di pojok tingkat dua tak terlihat dari jalan utama ada sebuah pondokan yang dibangun sederhana menggunakan papan tripleks dan kain, terlihat sebuah tempat tinggal gelandangan. Di dalamnya tinggal lima orang dengan perawakan sedang, semuanya laki-laki seumuran orang tua Reza dan Cesar. Mungkin kisaran 49 tahun. “pernah dengar cerita lima serigala jalanan? Inilah mereka” ujar Cesar dingin. Reza menyeringai. “mereka akan ikut?” “tentu.” “jelaskan rencana kalian, kami bergerak sesuai perintah.” Ujar yang sedang menyalakan rokok. “datanglah ke markasku malam ini. Agar berjalan lancer tanpa huru-hara, aku butuh meluruskan beberapa hal dengan kalian.” Jawab Reza. “dengarkan aku anak kecil, kmi tidak bergerak dengan suara dan kami tidak suka dengan halhal yang rumit. Sebaiknya jika kau benar-benar mengharapkan bantuan, segera saja. Cepat katakana apa maumu sekarang.” Ujar yang paling kiri sambil mengelus kucing liar. Reza menyeringai. Mengetahui kondisi yang sedang dia hadapi. Berurusan dengan orangorang seperti ini sudah menjadi rutinitas, sehingga ia sudah terbiasa dan tak perlu curiga lagi. “kekuatan seperti kalian ini akan berkumpul dalam suatu malam, bayangkan betapa kuat aura yang kalian rasakan nanti. Datanglah, kalian tidak akan merasa rugi.” “sebentar, kutanya.” Ujar salah satu dari mereka yang janggutnya lebat. “ini demi kekuatan, atau cinta?” Lima lainnya menatap tanpa berkedip. Menunggu jawaban. Penting sekali sepertinya bagi mereka, penting untuk mendengarkan jawaban Reza. “apa maksud kalian? Ini murni ambisi kekuasaan kawan. Ayolah apa aku tampak seperti bocah ingusan yang masih pusing memikirkan cinta?” Mereka semua tertawa, jelas mengetahui kalau maksud Reza memang murni untuk mengejar cinta. Juga Cesar yang terlihat menahan tawa. Dan Reza Nampak seperti orang bodoh. Baik baik siapa namamu anak kecil? Reza? Santai saja Reza hehe” lalu Reza pamit. Mereka berpisah. Diperjalanan pulang Reza penasaran bagaimana preman legendaries itu mengetahui namanya, dan dengan mudah menuruti kemauannya. “hey bagaimana mereka tau namaku, Cesar?” “kekuatan namamu jauh lebih besar daripada nama pemimpin kota ini Reza. Ingat peristiwa Alfan dan Rama? Lalu demo besar-besaran yang dipentaskan Dimas? Skenariomu membuat
271
namamu besar di kalangan menengah kebawah Reza. Dan sebentar lagi kau akan membantu kehidupan mereka, kau akan menjadi dewa mereka Reza.” “Wow wow wow kau terlalu melebih-lebihkan kawan.” Gelak tawa mereka menggelegar memenuhi langit kota mereka yang sudah sesak. “sebenarnya apa yang kau rencanakan, Reza?” “sudah kubilang, hanya menghimpun kekuatan.” “bohong.” “sungguh.” “tidak, kau bohong.” “ikuti saja perintahku Cesar.” “aku bukan budakmu.” “huft, baiklah. Kau ingin tahu?” “tentu.” “benar, ini soal Rava. Aku ingin membuat Rava kembali karena kota ini. Aku ingin membuat mimpi-mimpi Rava nyata di seluruh penjuru kota.” “kau sebegitunya mencintai Rava?” Reza tak menjawab. Hanya tersenyum tipis, hatinya sedikit terganjal. Andai Rava tau.
272
Cerita Rava II Rava menginjakkan kakinya dengan penuh bangga saat turun dari pesawat terbang sore itu. Langitnya cerah berawan, sempura jingga. Senyumnya merekah tanpa henti. Kenyataan sedang bersapa dengannya tanpa ragu sekarang. Menghidupi mimpi sungguh perasaan bahagia yang tiada banding. Maka kemudian ia jalan perlahan. Meniti keyakinan bahwa sekelilingnya adalah kenyataan, dan takdir yang jelas tergariskan selama ini oleh tuhan tanpa ragu. kuasaNya membawa Rava pada ketenangan. Hari itu, Kamga, mahasiswa Indonesia jurusan hukum yang menjemputnya dengan mobil Jeep. Mereka berkenalan dan tidak lama kemudian kau pasti menyangka jika baru saja bertemu beberapa saat lalu, semua cerita sudah tertumpahkan, segala keluh kesah tersalurkan, sepanjang perjalanan menuju apartemen mahasiswa Indonesia, Rava menghela nafas tanpa beban. Tidak sama sekali aku tidak senang atas senyumnya hari itu. Kuintip hatinya masih kosong. Hanya akan terisi senja ada langit Negara baru yang disinggahinya. Semoga Rava tidak apaapa. Semoga ia segera menyadari kekosongan hatinya.
*** Ravanda medhira. Lama tidak kudengar kabarnya, mengembara hingga negeri tanpa nama mengejar impian sepanjang usia. Ia sekarang memegang kuasa langit, ia hantam habis segala kesempatan yang ditawarkan hingga ia naik tinggi tanpa peduli siapa-siapa saja yang ia jatuhkan selagi ia mendaki. Namanya penuh sorak sorai sekarang. Selain kuliah, Rava aktif dalam komunitas budaya Indonesia. Ia menjadi duta utama, mempromosikan Negara berkembang penuh budayanya ke segala macam ras dan warna kulit. Ia juga sering menuliskan perjuangan, harapan, sesuatu yang masih bias dalam pikirannya. Sesuatu yang mengebalikan memorinya ke masa lalu namun tertahan ego di hatinya. Gemerlap kau lihat namanya, kusam kau lihat isi hatinya. Semakin keras ia menerima kelembutan. Tidak ada lagi saying menyayang. Ia bercerita berdasarkan kepentingan. Namun begitu hebat ia menyimpan segala keegoisannya dalam hati sehingga tak ada satu orangpun di sekelilingnya yang menyadari. Rava tidak begitu gemerlap. Kau tahu? Mau sebagus apa rupamu kau poles, jika hatimu berparas kumal dan kusam. Percayalah, lama-lama ia merambat pada pada gemerlap rupamu dan merenggut kebahagiaan tanpa perlu berucap tanda. Aku takut Rava menjadi serupa. ***
273
Di saat gemerlap kesuksesan di depan matanya, pada suatu malam kulihat Ravanda meringkuk dalam kamarnya. Sorak sorai tadi siang selesai. Ia memberikan makalah panjang mengenai pentingnya memahami suatu budaya sirna seketika. Larut dalam kegelisahannya malam ini. Entah apa yang mengacaubalaukan pikirannya. Semenjak sore tadi perasaan tanpa alasan datang. Bila ditanya mengapa, hanya rindu yang sanggup diucapkannya. Kepada siapa rasa rindu itu ditujukan, ia tak mampu menjawabnya. Entah karena memang tidak tahu, atau berpura-pura tidak ingin tahu. Hatinya ia lepaskan seluruhnya, tertinggal ribuan kilometer jauhnya. Bagaimana ingin merasa bahagia bila hati saja ia tidak punya? Rava mencari akar kegelisahannya kemana-mana segala kemungkinan ia telisik. Tidak ada rasa lelahnya setelah seharian berkegiatan penuh tadi. Rasa penasaran atas rasa rindu yang memenuhi hatinya membuatnya cukup kuat untuk bergerak mengambil segala barang-barang yang ia bawa dari rumahnya. Mencari serpihan memori yang tertinggal, yang ia harapkan dapar memberi jawaban. Hingga pagi menjelang. Tidak ada satu hal pun yang dapat menjawab perasaan rindunya. Nihil. Ia benar-benar memutuskan dirinya dengan masa lalu. Atau mungkin ada yang sedang menunggunya di sana. Atau mungkin ia harus pulang segera. Libur dua hari lagi, tidak ada cerita ekstensi lebih lama libur keliling eropa. Ada yang sedang dirindukannya, ada yang sedang menunggunya. Entah apa entah siapa, ia hanya tahu bahwa ia harus pulang segera.
274
Pulang Reza tak pernah tahu apa yang terjadi dengan Rava. Andai Reza tahu, mungkin ia akan langsung berlari menyelamatkan kekasihnya yang tengah sekarat. Tapi sial di seberang sana yang dirindukan tak lagi mengenalnya. Lantai 19 bangunan proyek yang ditinggal Reza bersama Pak Bram dan senjanya yang kesekian. Reza menatap lurus, tatapannya menuju cakrawala, pikirannya melayang ke rembulan. Hatinya menyelam mencari sebuah nama, Rava. “kau masih di sana anak muda?” Pak Bram mencoba mengusik lamunan Reza. “oh sudah pergi rupanya.” Terlontar ke suatu waktu di mana ia melahap kebosanan bersama Rava. Mengupas misteri dunia. Melakukan segalanya berdua. Kini ia berada di bawah pohon besar di pinggir danau. Angin semilir menyibak rambut mereka berdua. Membiaskan suara tawa, menyatukan dengan suara alam. “kau ingat Rava? Pertama kali kita bertemu? Dalam keadaan sangat putus asa.” Tanya Reza yang rupa wajah dan tubuhnya seperti arwah, tembus pandang dan bercahaya. “aku tidak ingat, kau ingat?” jawab Rava yang berwujud serupa. “bagaimana bisa aku lupa awal mula kebangkitanku hehe” Mereka berpelukan erat. Seakan dunia hanya dihuni mereka berdua. Lalu Rava menghilang dalam peluknya, meluruh seiring suara menggema memenuhi kepalanya. “Reza taukah kau wanitamu sekarat merindu di seberang sana? Jemput ia pulang!” ujar suara yang muncul di dalam kepalanya. Suara yang entah muncul dari mana sontak memenuhi kepalanya. Penuh sesak tak menyisakan ruang berfikir. Jiwa Reza tak bisa masuk kembali ke dalam Raganya. Tubuhnya di luar sana rubuh. Ia berada di sebuah ruangan putih, benar-benar putih. “jangan sekarang Revan, biarkan anakmu menikmati senjanya, kawan.” Ujar seseorang dengan suara yang lain. “sudah saatnya kita memberi tahu tentang kabar anakmu, satya.” Balas orang yang dipanggil Revan. “Terserah kau sajalah.” Di luar Pak Bram tersenyum sambil membetulkan posisi tubuh Reza yang berbaring. “sudah mati masih saja mengganggu yang hidup, hahaha” Di dalam sana Reza bergetar. Bagaimana bisa dua arwah bersemayam dalam jiwanya. Mungkinkah ini terjadi karena Reza masih percaya dengan warisan takdir mereka?
275
“bangunlah nak, kau sudah tau apa yang harus kau lakukan, pancing Rava kembali, ia akan ingat tentangmu ketika ia melihat mimpi-mimpinya dibangun sempurna olehmu. Bram yang akan mengawalmu, ia serupa kami.” Reza tak bergeming, hanya itu yang kudengar dari percakapan mereka. Lalu suasana makin lama menggelap, semakin gelap, lalu Reza tersadar. “jam berapa ini Pak Bram?” “sepuluh malam.” *** Hari berlalu semakin cepat. Hampir tiap gang disusuri Reza, mencari simpati orang pinggiran. Tidak ada yang tidak mengenal Reza, kini namanya besar di mana-mana. Lihat saja headline koran pagi ini “RAJA MUDA MENGAUM, RIBUAN PRAJURIT JALANAN BERSATU”. Banyak hal yang terjadi setelah Reza bertemu Revan dan Satya di dalam dirinya. Bagai menemukan nafas baru. Pak Bram masih menjadi ‘supervisor’nya, guru, juga pendengar. Ia yang memastikan Reza tetap berada di dalam cerita besar. Siapa yang sangka, Reza yang bertahun-tahun lalu menjadi seorang pesakitan, kini menjadi orang besar hanya karena ia tetap percaya dan berusaha. Taukah kau? Dalam senyumnya Reza menangis tersedu-sedu memanggil Rava. Denyut nadinya mengalirkan nama Rava, degup jantungnya berdetak mengalunkan nama Rava. Besar cintanya lebih besar dari usaha besarnya untuk memanggil Rava pulang. Sementara itu, di sebuah rumah, “sudah kubulang, kau akan membuktikan bahwa buku takdir akan menjadi kenyataan untuk orang yang percaya.” Lalu ia tersenyum. Ia adalah Laras. Setelah kepergian Reza, ia tidak pergi kemanapun. Ia terus menyaksikan dan berdoa agar tulisan-tulisan Reza di buku takdir menjadi kenyataan. Pulanglah Rava, kuyakin kabar ini sudah sampai di telingamu. Ternyata Rava pulang hari itu. Meninggalkan segala tanggung jawab karena rindu yang tumpah ruah pada kampong halaman. Alasan irrasional yang tidak dapat diterima teman seperantauannya di negeri seberang. Namun Rava, dalam kesempatan yang biasaya nyaris tidak mungkin, mengikuti ketidaklogisan kata hatinya. Entah magnet rindu siapa yang membuatnya menurut dan benar-benar pulang, mendekati hati yang meronta memanggil namanya. Pagi beralih sore. Setelah berjam-jam perjalanan yang menguras semua tenaganya, kota lama itu menyambutnya dengan lembut. Aroma yang sama, suasana yang tidak jauh berbeda, memori yang indah tiada tara. Rava sudah begitu lama tidak merasakan euphoria semacam ini, tapi ia seperti berostalgia mengecap indahnya. Rava sudah banyak lupa, tapi pulang adalah jawaban untuk diingatnya.
276
Selagi tubuh mungil dan lunglai kelelahan dengan senyum merekah itu berjalan membawa koper besar menuju rumah lamanya, ia berpapasan dengan sekelompok bocah kumuh yang berlari sambil tertawa-tawa. Sekelompok anak muda memegang bendera warna-warni di depannya menyemangati mereka untuk terus berlari mengejar sesuatu entah apa di depan sana. Rava bergetar. Seperti mengingat sesuatu yang sudah lama hilang. Masalah terbesarnya adalah ia bahkan tidak tahu apa hal yang begitu penting ia lupakan, ia abaikan. Tuntun satu-satu, langkah lunglai itu bertambah gemetar ketakutan. “apa? Hal macam apa?” ujarnya dalam hati. Lalu seorang bocah menghampirinya dengan wajah takjub. Mata membelalak, mulut ternganga, nafas tertahan. Wajahnya melempar Rava ke dalam ingatan-ingatan yang ragu. Siapa dia? Mengapa wajahnya begitu ia kenal. Wajah yang begitu dekat namun teramat samar. Dua tahun yang lalu, sebelum Rava pergi. Seseorang bocah pemalu berjongkok di luar bale buatan Reza, markas anak jalanan Rava. Malu-malu menatap ke dalam. Wajah ingin tahu bercampur kesepian. Wajah yang mirip sekali dengan Reza. Kau tau? Namanya Adi, sebelum ia bertemu Rava ia hanyalah anak jalanan yatim piatu, kesepian, kedinginan, dan kelaparan. Dua tahun setelah ‘diselamatkan’ Rava, bergabung dengan anak-anak jalanan yang diasuh Rava dan kawan-kawannya ia berubah menjadi anak yang periang dan banyak teman. Adi adalah seorang bocah yang paling dicintai Rava. Hari ini, Adi menemukan Rava. “kak Rava?” “eh.. kamu siapa?” “ini beneran kak Rava? Kakak seriusan lupa? Aku adi kak.” Rava mengerutkan dahinya, mencoba mengingat-ingat suatu bagian besar dalam hidupnya yang terlupa. Adi menunduk melihat wajah bingung Rava, lalu bergumam. “mungkin kak Reza bisa membantu. Aku tadinya mau ke tempatnya. Kakak ayo ikut, yang lain sudah kangen bertanya kabar kakak. Ayo ka kayo ikut aku.” Rava yang masih lunglai akibat perjalanan jauh lintas benua masih menampakkan wajah bingungnya. Tanpa kata ia berjalan ke teras rumahnya, meletakkan tas, kemudian berjalan beriring dengan anak itu entah kemana.
277
“adi,” potongnya ditengah jalan. “mungkin aku tidak akan langsung pergi ikut denganmu. Ada orang yang harus kutemui. Mungkin ia bisa membantuku mengingat sesuatu. Salam untuk Reza ya.” Rava berujar sambil menepuk halus kepala Adi. “kalau kak Laras yang ingin kakak temui, ia ada di beranda rumah kak Reza. Kakak masih ingatkan di mana?” Rava terdiam lagi, ragu-ragu. “ah, aku antarkan sajalah sekalian. Hey kalian ke markas saja dulu, aku nanti menyusul!!!” ujar adi pada gerombolan teman-temannya yang ternyata menungguinya sambil sibuk berebut gundu curian dari rumah yang paling besar di sana. “adi, tadi Laras mengatakan ia sedang menunggu seseorang?” “ya, dan ia sudah menunggu dari seminggu lalu. Dia seperti orang gila, seram sekali diam seharian di beranda.” Rava terenyuh. Meski samar-samar ia mengingat Laras. Karena hanya nama itu yang ia ingat, maka dialah yang ia tuju. Mungkin Laras menunggunya. Entahlah. *** “jadi.. bagaimana sekolahmu Raava? Masih ingat aku? Pasti ingatanmu menjadi kacau ketika kau memutuskan untuk melawan cerita.” Laras, tentu saja ia, dengan gaya bicaranya yang tak kenal halus. “aku lupa semuanya, Laras” “kau terlihat menyedihkan Rava, mau kuantar berkeliling? Ke tempat kau dan Reza sering menghabiskan waktu berdua.” “sebelum itu, bisakah kau jelaskan siapa aku? Maukah kau ceritakan apa yang kulakukan dua tahun sebelum hari ini?” Laras mengangguk sambil tersenyum. Seharian itu Laras dengan sabar menceritakan kembali. Tanpa ada rasa benci yang mengendap akibat kejadian dua tahun lalu. Laras sudah memaafkan adiknya. Lagipula Rava sudah pulang. Segala tentang kejadian buruk masa lalu sudahlah tidak penting. “kau pasti merindukan Reza.” Tanya laras di akhir cerita. Aku melihat ada keraguan di dalam hati Rava, seperti ada tanda Tanya, mengapa bisa sebegini jauhnya dari Reza. Ketika nanti tiba waktunya pasti ada kecanggungan. Aku dan Nona bertaruh sekantung emas. ***
278
“sudah siap bertemu Reza?” Tanya Rava memecah keheningan. “entahlah kak.” “kamu masih ragu dengan semua yang kukatakan?” Rava terdiam, merubah posisi duduknya. “aku hanya merasa bersalah sudah benar-benar melupakan sebagian besar hidupku. Apa kakak yakin semua akan baik-baik saja ketika aku bertemu dengannya?” Laras tersenyum, menepuk bahu Rava perlahan. “berandai-andai bisa membuka seribu kemungkinan lain. Dengan banyaknya pilihan baik dan buruk yang tercipta dikepalamu, semakin bertambah gelisah semakin tertumpuk rasa ragu. Satu-satunya cara untuk menyembuhkannya adalah mencari tahu dengan melakukannya, Rava. Semua pertanyaan dalam kepalamu hanya ada jawabannya jika kamu bertemu dengan Reza.” “dia bahkan tidak tahu aku ada di sini.” Tepat setelah Rava berbicara, terdengar derap langkah dan suara bising anak-anak mendekati rumah Laras. “kak Rava!!! Kak Rava!!! Kak Rava!!!” anak-anak kecil dari luar memanggil-manggil riang, ada kerinduan juga antusias yang meluap dari anak-anak itu. Di dalam rumah jantung Rava berdegup cepat. Kenangan-kenangan itu sempurna terangkai, hidup lagi di dalam pikiran Rava. Segala tentang mimpinya yang ia perjuangkan bersama Reza, juga segala hal tentang buku takdir. Lalu Rava dengan berani keluar dan menyambut peluk anak-anak jalanannya yang dulu ia selamatkan kebahagiaannya. Satu-satu ia usap kepalanya. Tak sadar air mata merayapi dua belah pipinya. “bisakah kalian antarkan kakakmu ini ke rumah anak jalanan kita?” Tanya Rava kepada mereka. “tentu saja bisa kak! Kakak tau? Kak Reza membuat pondokan yang lebih besar. Sekarang banyak pondok anak jalanan di kota ini. Semua berkat kak Reza. Bukan Cuma itu kak, nama kakak juga sekarang dikenal dimana-mana. Kak Reza yang memperkenalkan kakak kepada semua orang, dan kak Reza juga berjanji suatu saat kak Rava akan pulang, ternyata hari ini ia menepati janjinya.” Ujar Adi bocah yang paling semangat menceritakan semuanya. Rava tersenyum haru, dalam hati ia berkata. “sebesar inikah upayamu untuk membuatku pulang?”
279
Mungkin Sudah Waktunya Aku Istirahat, Dihatimu Yang Kusebut Rumah Ini akan menjadi hari terpenting dalam hidup Reza. Mimpinya terwujud seiring mewujudkan mimpi Rava. Semua anak jalanan hadir di sana, juga para pemegang wilayah-wilayah penting di kota itu. Wartawan, polisi, dan Dimas yang pernah berjuang bersamanya. Semua kalangan terlihat berbaur, antara polisi dan preman, tidak ada kecurigaan atau usaha penertiban. Polisi hanya bertugas mengamankan, preman di sana hanya menghadiri undangan Reza. “aku tidak bermaksud untuk mengambil alih kekuasaan kalian. Kota ini akan tetap menjadi milik kalian. Satu hal yang kuminta, tolong jaga semua rumah anak jalanan yang sudah kubuat untuk anak-anak dan adik-adik kalian. Aku akan menjaga dan menduduk mereka untuk kalian.” Lantang Reza berkata diikuti tepuk tangan dan sorak sorai yang meriah. Di sebelahnya Syifa dan teman-teman Rava, terlihat menyeka air mata. Juga Ahmad, yang tersenyum bangga melihat Reza, tampaknya waktu telah mendamaikan mereka. Juga para relawan yang dikumpulkan Cesar, yang makin hari bertambah banyak, kutaksir jumlahnya sudah menyentuh angka ribuan. Bagaimana bisa Reza membangun mimpi Rava begitu hebatnya dalam waktu yang tak lebih dari satu tahun. Segala mimpi Rava. Rumah untuk menampung anak-anak jalanan, lengkap dengan perpustakaan di dalamnya. Rumah anak jalanan menjadi buah bibir di mana mana, banyak komunitas dan lembaga swadaya lain yang sejenis sebelumnya mati tak lama mereka berdiri, tapi Reza membuktikan kalau pengabdian yang didasarkan cinta akan abadi berdiri selamanya. Reza sama sekali tidak membangun rumah untuk anak jalanan, ia hanya sedang meneriakkan kerinduannya kepada Rava. “Rava sudah pulang, Reza.” Sambut Pak Bram setelah Reza turun dari podium. Pak Bram juga hadir di sana, mereka sudah seperti ayah dan anak, Pak Bram menjaga tiap langkah Reza, dan Reza merawat Pak Bram yang semakin tua. “kau yakin?!” “anak-anak itu yang mengabarkan, Rava ada di rumahmu tadi.” Sambil menunjukkan kerumunan anak kecil yang membicarakan kepulangan Rava. “aku harus menjemputnya.” “tak perlu Reza, Rava sudah berada di perjalanan.” “masa bodo hahaha” jawab Reza sambil berlari. Reza berlari sekencang-kencangnya, meninggalkan pestanya. Senyum merekah lebar-lebar di wajahnya.
280
“kamu pasti menrasakan kerinduan yang kurasakan, Rava.” Ujarnya dalam hati. Belum jauh ia berlari, ia melihat iring-iringan anak kecil yang mengarak seorang tuan putri di seberang jalan. Itu Rava. Waktu serasa berhenti, Reza otomatis berteriak memanggil nama Rava. Mata mereka beradu. Lalu segala kerinduan memuncak, air mara keluar dari sudut mereka. Lalu Rava ingat segalanya tentang Reza, tentang mereka, dan tentang pohon besar di pinggir danau. Ingatan itu pulang ke kepala Rava. Rava menjadi Rava dalam sekali tatap. Tanpa lihat kiri kanan Reza berlari menyebrang. Entah kenapa, rindu selalu membuat manusia kadang bertindak ceroboh cenderung bodoh, melupakan nalar dan kehati-hatian. Memusnahkan kewaspadaan, rindu membuat kita buta. Wajah sumringah Rava berubah kelam dalam satu jentikan jari. Kegembiraannya berubah menjadi ketakutan. “Reza awas!!!” teriak Rava melengking. Terlambat. Sebuah mobil melaju begitu cepat menghantam tubuh Reza. Tubuhnya terpental begitu saja seperti boneka beruang yang dihempas kaki balita yang marah. Pemilik mobil keluar dari mobil penuh emosi, jelas Reza yang salah, bagaimanapun Reza harus dibawa ke rumah sakit. Ceceran darah seketika membuat Susana begitu muram dan mencekam. Kegembiraan penuh haru berubah tangis sesenggukan yang amat pilu. Suram, menyesakkan dada. Tubuh Reza terkapar di tengah jalan, luka mengucur deras dari kepala lengkap dengan lukaluka lain di sekujur tubuh akibat bergesek dengan aspal kasar. Beberapa anak jalanan yang mengiringi Rava membawa kabar buruk ke rumah anak jalanan. Jalanan seketika padat, massa yang terkumpul di rumah anak jalanan, pindah memenuhi tempat kejadian. Rava menjerit sekeras-kerasnya. Dua tahun terpisah, lalu reuni mereka dikacaukan kenyataan. Suka terlanjur berubah menjadi duka. Kuharap Reza baik-baik saja, walaupun aku melihat nyawanya sudah setengah terangkat. Nona di sana, menenangkan hati Rava. Ravamu pulang Reza. Bertahanlah, ia mendekapmu dan menangis sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. *** Dua.. tiga.. empat jam hingga habis tetes air mata Rava menangis. Pandangannya kosong tanpa isi. Mengiba dan mengutuk diri sendiri. cintanya yang ia agungkan selama ini ia tolak keberadaannya. Kekasihnya, kesayangannya, kini terbaring penuh luka. Bernapaspun tak mampu. Selangselang meliputi tubuhnya, satu-satunya hal yang mampu membuat Reza untuk tetap hadir, menahannya untuk tidak pergi menghadap yang maha kuasa terlebih dahulu. Kemudian pria berbaju hijau yang terlihat kelelahan itu keluar. Rava menyentak badannya, berdiri tepat di hadapan pria itu.
281
“saya tidak bertanya bagaimana keadaannya. Saya hanya bertanya apa masih ada waktu untuk berbicara dengannya dok?” Rava lemas berbicara, patah-patah kata-katanya menyebutkan kemungkinan terburuk. “saya tidak tahu, kami sudah mengupayakan yang semestinya namun benturan keras di kepalanya membuat segala kemungkinan bisa terjadi. Saat ini ia sudah stabil, tapi belum juga sadar. Oh iya, apa kamu yang bernama Rava?” pria yang disebut dokter itu berbicara jelas, tidak memberi harapan, tidak pula memberi kesempatan untuk berputus asa. “iya saya dok.” Jawab Rava. “sebelum kami melakukan tindakan operasi, tadi ia masih sadar walaupun tidak memberikan respon tertentu dari pemeriksaan yang kami berikan. Ia menyebut namamu, sampai satu rungan menerka-nerka siapa kamu.” Rava terhenyak. Ia menganggukkan kepala, tersenyum tanda terima kasih, lalu lunglai duduk di kursi. Tangis menjadi hal yang ia lakukan selanjutnya. Tanpa henti, tanpa suara. Laras masih berbicara panjang dengan dokter itu untuk mengetahui apa yang terjadi pada adik kesayangannya, beberapa anak jalanan masih tertidur tanda kelelahan namun tetap setia menunggu kaar terbaik dari orang kesayangannya. Dina, Ahmad, dan Syifa sedari tadi sibuk menenangkan Rava. Reza berada di sekeliling orang yang mencintainya dan aku harap ia bisa sembuh berbekal rasa saying, cinta, dan harapan mereka. Tolong Reza, entah apa jadinya Ravamu tanpa kau di sisinya. Ia benar-benar bisa berubah menjadi gila.
282
Setidaknya, Kamu Pulang Hanya ada Reza dan Rava. Bersama tetes cairan infuse dan alunan alat pengukur denyut jantung. Reza dibalut perban, dijejal selang, luka dimana-mana. Rava juga terluka, di hatinya. Beberapa tulang Reza patah, lehernya ditopang alat penyangga. Rusuknya juga retak, juga rusuknya yang kembali pulang, Rava. Sudah hampir satu purnama. Rava masih setia di sana. Dengan tangan yang menggenggam erat tangan kekasihnya. Tiap malam ia alunkan puisi cinta, kadang satir, kadang elegi. Siangnya ia ceritakan cerita lucu, berharap bibir Reza menyunggingkan senyum. Tiap pagi, ada kecup di kening dan ucapan “selamat pagi saying, ayo bangun.” Hampir satu purnama Laras mengantar makanan untuk Rava. Kadang Laras ikut menjaga. Rava tidak nafsu makan. Makanan pagi dimakan siang, makanan siang dimakan malam, makanan malam dimakan pagi, bahkan kadang dibiarkan basi. Tapi Laras tidak jemu mengantar makanan. Demi kembalinya kehidupan Reza dan Rava yang bahagia. Seminggu sekali anak jalanan, teman-teman Reza, teman-teman Rava datang menjenguk. Tiap hari sebelum matahari naik, mereka semua berdoa di tempat aktivitas masing-masing. Mendoakan orang yang sangat berjasa dalam kehidupan mereka. Seharian tangan Reza digenggam. Tiap detik doa mengalir melalui mulut Rava, menuju nadinadi Reza. “bangun Reza.” Bisiknya tiap saat. Dokter pernah bilang,dalam komanya ia tetap mendengar. Maka Rava terus berinteraksi.menceritakan segala hal, mengenang segala hal, seolah Reza merespon. Di malam hari terakhir bulan itu, Rava jatuh tertidur, Reza bangun dari koma. Yang disebut pertama kali adalah nama Rava. Sambil mengusap ubun-ubun Rava, ia memanggil kekasihnya. “Rava Rava Rava.” “Reza?! Kau sudah bangun! Sebentar kupanggilkan perawat!.” Ujar Rava tersentak kaget. “tidak, tidak perlu. Ada satu hal yang ingin kukatakan untuk terakhir kalinya Rava.” “bicara apa kamu?! Jangan bicara yang tidak-tidak. Kamu akan tetap hidup Reza, kumohon.” Derai air mata Rava membasahi malam mereka. Rava genggam erat jemari Reza, seakan ia tidak sudi jika sewaktu-waktu Reza harus pergi. Reza hanya tersenyum, lalu melanjutkan kata-katanya. “Rava, terimakasih telah datang di kehidupanku. Aku tak bisa membayangkan akan jadi apa aku sekarang jika kau tidak menyelamatkanku di danau itu, danau kita.” Reza tersenyum. “lalu ternyata hidup kita saling terkait, sudah direncanakan. Aku tidak tahu apa yang sedang aku jalani, lalu kamu membuatku percaya bahwa kita harus menjalani kehidupan bagaimanapun keadannya. Buku takdir pertamaku, kutulis namamu di sebelah namaku, di halaman paling awal. Supaya kita abadi seperti tinta yang melekat pada kertas.” Reza tertaw kecil.
283
“takdir yang kita tulis menjadi kenyataan, mewujud seorang manusia bernama Alfan. Kita berdua bangga karena kita bisa mewujudkan keajaiban. Jangankan buku takdir, pertemuan kitapun ajaib. “mimpimu, menyadarkanku bahwa takdir bisa berubah jika kita memperjuangkan hal lain. Kamu membuktikan bahwa bermimpi berarti hidup bebas. Kamu bangun rumah anak jalanan pertama, aku bentuk pasukan pemberontak haha. Aku merasa hidup.” Kini Reza juga berlinang air mata. “namun setelah rahasia terungkap, kamu pergi meninggalkan mimpimu yang setengah jadi. Kamu cabut paksa dirimu dari jalan cerita. Kamu pergi aku merana.” Genggam tangan keduanya semakin erat. Ada kata maaf yang tertahan diujung lidah Rava yang kelu. “Rava aku mencintaimu, aku hidup diatas kepercayaanmu. Kamu pergi, ke sudut dunia aku cari, di dalam hatiku yang paling dalam kutemukan kamu. Aku sadar kamu takkan kembali jika kuminta, maka kuteriakkan kerinduanku dengan melanjutkan mimpi-mimpimu, agar kau tetap hidup di dalam duniaku. Aku mencintaimu, sangat, sungguh. Aku punya satu buku takdir lagi, isinya tentang kita. Kutulis selama dua tahun ini. Selama kamu pergi. Tapi kuisi dengan doa dan harapan, bukan takdir. Karena kamu sudah tak lagi percaya. Jadi biarlah aku yang tetap percaya dengan mendoakanmu agar segera kembali.” “sialnya aku lupa berdoa agar tetap hidup saat kamu kembali. Mungkin sudah jalan ceritanya seperti ini, maafkan aku Rava. Aku tidak bermaksud malah meninggalkanmu ketika kamu datang. Sumpah aku tidak bermaksud begitu.” Kata-kata Reza begitu membuat Rava merasa bersalah telah meninggalkannya. Belum sempat Reza melanjutkan kata-kata, Rava memotong. “diam! Diam Reza! Aku bilang diam! Jangan kamu sebut lagi tentang kepergian dan perpisahan! Aku di sini Reza, kembali untukmu, teganya kamu pergi saat aku kembali! Kumohon Reza tinggalah bersamaku satu malam lagi, aku ingin membayar kerinduanku dua tahun terakhir ini. Kumohon dengan sangat Reza.” Deras air mata Rava, nanar matanya, parau suaranya. “aku harus pergi.” Reza tersenyum tulus sambil mengusap air mata Rava yang terlanjur deras. “aku ikut!” jawab Rava sengit. Reza hanya menggeleng, lalu terpejam. Rava menjerit memanggil-manggil nama Reza, memukul mukul badan Reza. “jahat!!! Kamu jahat Reza! Teganya kamu tinggalkanku sendirian!!!” Rupanya para perawat dan petugas rumah sakit sudah berada di dalam kamar inap, lalu menarik Rava menjauhi tubuh Reza yang membeku.
284
Senyummu Reza, menyiratkan kelegaan. Biarlah Rava belajar merelakan kepergianmu. Pergilah dengan tenang, ceritakan kisah cinta kalian kepada kaum langit. Luka Rava akan sembuh bersama waktu. Rava, Reza amat mencintaimu.
285
Selamat Jalan, Sayang Rava linglung, sungguh ia terduduk meringis tersedu-sedu di lorong rumah sakit. Sekelilingnya duka, murung menyaksikan pilunya hati sepasang kekasih yang berpisah untuk selamanya. Ia tadi ditarik keluar oleh petugas medis yang sibuk dengan segala peralatan yang melekat pada Reza agar bisa kembali ke pelukan kekasihnya. Saying, setelah beberapa saat hasilnya nihil. Reza memang sudah waktunya bertatap muka dengan yang maha memiliki seluruh nyawa di muka bumi. Tidak ada lagi harapan, maupun senyuman dan tepukan lembut di atas kepala Rava. Reza pamit, dengan seluruh cinta yang menggebu-gebu dan tersimpan erat dalam tubuh yang mulai kaku. Rava ridak lagi mampu bicara. Ia mengigil. Ia gigit jarinya, gelisah. Anak-anak jalanan menatap iba, menggenggam tangan Rava yang dingin dan gemetar. Menyuruhkan melantunkan doa doa agar hatinya tenang. Tatapan terakhir mata Reza tadi sungguh membuat luka besar dalam hati Rava. Mata besar dengan bola mata hitam legam itu. Mata yang selalu ia rindukan sepanjang waktu. Genggaman tangannya yang lembut dan selalu membuatnya merasa aman, segala senyuman yang membuat hatinya tenang. “tidak, tidak akan lagi ada, sampai kapanpun.. Rava.. apapun yang kau pikirkan.. Reza membutuhkanmu untuk pergi ke tempat terakhirnya. Kuatlah saying, ia mati dengan membawa seluruh cintanya kepadamu. Berdirilah..” Laras yang menahan tangis memegang bahu Rava yang lemah. Menuntunnya berdiri. Memaksanya bangkit dari rasa pilu. Bagaimanalah, cintamu pergi ke tempat yang tak bisa kamu tuju. Satu-satunya cara adalah bersabar menunggangi waktu agar bisa menyusul dan kembali memuaskan rindu. Begitu luka hati Rava hingga tidak bisa aku bayangkan rasa pedihnya. Menganga lebar, seperti mustahil untuk disembuhkan. *** Tubuh kaku Reza sudah dipindahkan kke rumah Reza dan Laras yang kini penuh sesak tidak terkira. Tidak hanya anak-anak jalanan dan temen-temen Reza yang merasa kehilangan, ternyata juga kalangan tokoh masyarakat dan elit pemerintahan. Bagaimana tidak, Reza sudah dua tahun ini gerak-geriknya mendapat perhatian dunia. Maka sekali lagi Reza menjadi judul headline Koran pagi. “SELAMAT JALAN PAHLAWAN AKAR RUMPUT’ Pemakamannya ramai. Hujan air mata dari penjuru kota. Di sisi makam ada Pak Bram, Cesar, Laras, dan Rava. Hanya Pak Bram yang terlihat tenang. Sebelum jenazah di masukkan ke dalam liang lahat, Pak Bram sedikit memberikan kata-kata. “Reza Adhipramana, salah satu pemuda kebanggan kota kita. Hari ini ia wariskan harapan kemerdekaan kaum akar rumput kepada kita semua. Mari kita jaga, kita jaga kedamaian, den kesejahteraan yang telah ia ciptakan. Seluruh pasang mata tertuju ke makam ini, juga ada banyak pasang telinga yang mendengar semangatnya masih menggelora. Warisannya adalah
286
tanggung jawab kita. Atas nama keluarga, kuucapkan terimakasih atas segala bela sungkawa yang kalian berikan, terima kasih.” Lalu jenazah diturunkan. Hujan tangis makin deras, bercampur dengan gemuruh suara haru. Rava jatuh terduduk, Laras dibelakangnya mengusap bahu Rava. Semua orang sudah tau betapa besar cinta mereka berdua. Tanah merah ditimbun, pelayat melangkah pulang, kini tinggal Pak Bram, Cesar, Laras dan Rava. Tapi Cesar memilih untuk pergi lebih dulu. Usai bersalaman dengan Pak Bram dan member isyarat pamit kepada Laras yang masih sibuk menenangkan Rava. Ia berjalan sambil menyeka air matanya. “terakhir kita bertemu, kau masih setinggi pinggangku, Laras.” Ujar Pak Bram basa-basi. Yang diajak bicara hanya tersenyum. Rava masih menangis. Matanya tidak lepas dari batu nisan bertulis nama kekasihnya. Lama Pak Bram menatap batu nisan Reza, kebersamaan mereka memang singkat, hanya satu tahun. Namun buku takdir membuat Pak Bram begitu Familiar dengan Reza, begitupun Reza. Lalu ia terlihat mengusap pelupuk matanya yang mulai mengeluarkan kembang air mata. Belum jauh ia berjalan ia berhenti lalu melihat ke arah Rava lalu berkata. “jangan menangis seperti menangisi air yang tumpah dari cangkirnya Rava. Reza tidak mati. Ia hidup di dalam hatimu, rawat ia dengan doa. Jiwa kalian abadi, tubuh kalian akan mati.” Isak tangisnya semakin keras. Ketika ia pergi sejenak dari tulisan takdir, kembali ke kenyataan, dan memutuskan untuk kembali menjalani semua imajinasi itu, salah satu dari mereka berhak mati. Karena jalan cerita berjalan begitu rumit. Tak sanggup lagi tulisan mengarahkan, maka semua diserahkan kepada kehendak tuhan. Penyesalan menggebu-gebu, mengingat segala memoar masa lalu, dan pencapaian sang kekasih demi menjemputnya kembali pulang. Reza tidak bermain, tidak asal berucap, tidak menebar kata cinta tanpa makna. Sungguh bukan karena buku takdir menyatakan mereka akan bertemu, kemudian menyebut kekasih. Bahkan tanpa dituliskan Revan dengan jelas pun, sesiapa saja yang bertemu akan tahu, jika memang suatu hari. Mereka menjadi sebagian dari satu sama lain. Begitu indahnya hingga begitu pedih untuk dituliskan, untuk dijadikan kenyataan. Reza mengangkasa, hingga saat menengadah, langit seperti mewakili Reza menenangkan hati Rava. Warna jingganya menenangkan, sepoi anginnya memeluk pelan. Berangsur-angsur Rava tenang. Ia temukan Reza di dalam hatinya. Ia temukan Reza dimanamana. Lalu ia perlahan berjalan pulang, antara tenang dan gamang
287
EPILOG Jika manusia lain baru mampu berencana, kita sudah menentukan. Terima kasih telah mengajarkanku satu pelajaran hidup yang amat bermakna, Reza, Rava. Jiwa kalian abadi, tubuh kalian mati. Tertanda, penggemar kalian dari masa depan, Tuan dan Nona.
TAMAT
288
289