37 POTENSI BIOMASA DAN PRODUKSI SERESAH POHON DAN UBIKAYU PADA SISTEM AGROFORESTRI POTENCY OF BIOMASS AND LITTERFALL PRODUCTION OF TREES AND CASSAVA IN AGROFORESTRY SYSTEM Mofit Saptono Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya Jalan Yos Sudarso, Kampus UNPAR, Palangka Raya 73112, Telp.: (0536) 3222664 ; 3227863 ABSTRAK Pada daerah tropika basah mempertahankan kandungan bahan organik tanah merupakan kunci keberhasilan pengelolaan tanah yang berkelanjutan, tetapi ketersediaan bahan organik (BO) terbatas. Agroforestri adalah teknologi budidaya yang diyakini mampu mempertahankan bahan organik tanah. Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur potensi biomasa dan produksi seresah pohon dan ubikayu pada sistem agroforestri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sengon memproduksi seresah gugur (litterfall) terbanyak yaitu sekitar 4,7 Mg ha-1 tahun-1, atau dua kali lebih banyak daripada produksi seresah mahoni dan karet (berturut 1,8 dan 2,1 Mg ha-1 tahun-1), sementara kelapa sawit menghasilkan seresah terendah yaitu sekitar 0,02 Mg ha-1 tahun-1. Karet menggugurkan seresah lima kali lebih banyak di musim hujan (6,59 g m-2 minggu-1) daripada di musim kemarau (1,35 g m-2 minggu-1), sedangkan kelapa sawit tidak menunjukkan perbedaan produksi seresah antara dua musim.. ABSTRACT At wet tropical zone maintaining organic matter content of soil represents a key of success in sustainable land management. However, the availibility of organic matter is limited. Agroforestry is a cultivation technology believed to be able to maintain soil organic matter. This research aimed to measure potency of tree’s biomass and litterfall production of tree and cassava in an agroforestry system. The results showed that paraserianthes produced litterfall about 4,7 Mg ha-1 year-1, or more than twice the amount produced by mahagony and rubber (i.e 1.8 and 2.1 Mg ha-1 year-1), while litterfall production by oil palm tree was the loweest i.e. 0.02 Mg ha-1 year-1. The amount of itterfall from rubber in the rainy season was about five times (6,59 g m-2 week-1) the amount in dry season (1,35 g m-2 week-1), while those of oil palm tree was not different between the two seasons. ____________________________________________________________________ Kata kunci : Agroforestri, seresah gugur, mahoni, sengon, karet, kelapa sawit, ubikayu Keyword : Agroforestry, litterfall, mahagony, paraserianthes, rubber, oil palm, cassava
PENDAHULUAN Pola tanam ubikayu selama ini dikenal dengan cara monokultur dan tanaman tersebut banyak ditanam di lahan marginal. Keputusan petani untuk menanam ubikayu di lahan marginal didasarkan pada anggapan bahwa tanaman tersebut mampu beradaptasi pada kondisi lahan yang ekstrim. Anggapan bahwa tanaman ubikayu banyak memerlukan unsur hara, dan bisa menyebabkan penurunan kesuburan tanah, merupakan alasan lain petani untuk tidak menanam tanaman tersebut di lahan yang subur. Agroforestri merupakan salah satu alternatif pola tanam yang disarankan untuk budidaya ubikayu. Alternatif tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa, masih terdapat ruang (space) kosong diantara barisan pohon yang dapat
dimanfaatkan untuk ditanami ubikayu. Di samping itu, pohon diyakini mempunyai potensi untuk mempertahankan kesuburan tanah. Potensi tersebut meliputi kemampuan akar untuk menahan erosi dan pencucian unsur hara, seresah pohon yang gugur merupakan sumber bahan organik dan keberadaan pohon dapat menjaga kelembaban tanah. Luas tanaman ubikayu di Indonesia mencapai 1,21 juta ha, dari total luasan tersebut 22% diantaranya mempunyai jenis tanah ultisol (Koes Hartojo et al., 2001 ; FAO STAT, 2005). Lahan ultisol adalah areal marginal yang berasal dari deforestasi dan aforestasi hutan tropika basah (de Forestra dan Mitchon, 2000). Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian akan menyebabkan perubahan kondisi fisik, kimia dan
Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
38 biologi tanah pada tanah tersebut (Martinez, 1998 ; Salim dan Ullsten, 1999). Permasalahan ultisol yang menyebabkan perubahan kesuburan tanah adalah kandungan bahan organik yang rendah, sifat tanah masam dan pencucian hara yang tinggi (Van Noordwijk et al., 1996). Disamping itu, perombakan bahan organik yang cepat, jumlah bahan organik terlapuk lebih banyak dari jumlah yang dikembalikan ke dalam tanah (Hairiah, 1993) dan pengangkutan hasil panen ke luar petak tanpa pengembalian sisa panen adalah masalah lain yang menyebabkan perubahan kesuburan ultisol (Fownes et al., 1989). Teknologi agroforestri diharapkan mampu mempertahankan dan mengembalikan kesuburan tanah. Disamping itu petani tidak kehilangan kesempatan memanfaatkan lahannya untuk ditanami ubikayu. Agroforestri saat ini lebih banyak diarahkan pada penggunaan spesies pohon yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi. Pohon yang banyak dipergunakan adalah pohon perkebunan (cash crop) dan pohon penghasil kayu (timber tree). Spesies pohon yang dipergunakan dalam agroforestri ada yang mempunyai pertumbuhan cepat (fast growing species) dan lambat (slow growing species) (Ranganathan dan de Wit, 1996 ; Roshetko dan Purnomosidhi, 1999). Beberapa spesies pohon yang sering dipergunakan pada sistem agroforestri adalah Paraserianthes falcataria, Alstonia scolaris, Swetinia. mahagony, Peronama canescens, Acacia mangium dan Tectona grandis (Roshetko dan Purnomosidhi, 1999) dari jenis penghasil kayu. Di samping itu jenis lainnya adalah Hevea brasiliensis, Coffea arabica, dan Elaeis guinensis (Roshekto dan Purnomosidhi, 1998), dari jenis pohon perkebunan. Bagaimana potensi beberapa pohon pada sistem agroforestri adalah studi yang menarik untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur potensi biomasa dan produksi seresah beberapa spesies pohon dan tanaman ubikayu pada sistem agroforestri. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan percobaan lapangan yang disusun berdasarkan rancangan acak kelompok faktorial dengan empat ulangan. Faktor pertama adalah sistem agroforestri, yaitu : mahoni+ubikayu, sengon+ubikayu, karet+ ubikayu, kelapa sawit+ ubikayu. Faktor kedua adalah zona pada sistem agroforestri, yaitu : zona 2, zona 3 dan zona 4. Pada percobaan ini juga dilakukan penanaman ubikayu dengan pola tanam monokultur. Tanaman ubikayu (M. Mofit Saptono: Potensi biomasa dan …
esculenta Crantz.) yang dipergunakan adalah Klon Adira-4, pohon yang digunakan dalam penelitian ini berumur 5 tahun. Petak percobaan tersebar di wilayah Desa Karang Sakti, Kecamatan Muara Sungkai, Kabupaten Lampung Utara. Ubikayu ditanam di antara barisan pohon, jarak tanam pohon disesuaikan dengan yang dipergunakan petani setempat. Jarak tanam pohon dan ubikayu dalam penelitian dapat dilihat dalam Tabel 1. Estimasi biomasa pohon dihitung dengan menggunakan persamaan allometry yang dikembangkan oleh Katterings et al. (2001) untuk pohon mahoni, sengon dan karet ; Frangi dan Lugo (1985 dalam Delaney dan Roshetko, 1999) untuk pohon kelapa sawit, masing-masing dengan persamaan sebagai berikut : Y = 0,11 . ρ. D 2 + c …Katterings et al. (2001) Y = 4,5 + 7,7 . H …..Frangi dan Lugo (1985) Dimana : Y = biomasa pohon (kg pohon-1) atau (Mg pohon-1) D = diamater setinggi dada (diameter at breast height = 1,3 m) ρ = berat jenis kayu (g dm-3) H = tinggi pohon (m) c = konstanta (0,62) Tabel 1. Jarak tanam pohon dan ubikayu pada sistem agroforestri. Agroforestri mahoni+ubikayu sengon+ubikayu karet+ubikayu k. sawit+ubikayu Ubikayu monokultur
Jarak tanam pohon, m ubikayu, m 2,0 x 4,0 1,0 x 0,5 2,0 x 4,0 1,0 x 0,5 3,0 x 6,0 1,0 x 0,5 8,5 x 8,5 1,0 x 0,5 1,0 x 0,5
Pengukuran biomasa pohon dilakukan satu kali (Murdiyarso et al., 1994 ; Hairiah et al., 2001) yaitu pada saat tanaman ubikayu berumur 90 hari setelah tanam (hst). Tinggi pohon diukur menggunakan hagameter, sedangkan pengukuran diameter pohon dilakukan dengan menggunakan alat ukur (meteran) untuk menentukan keliling lingkar batang pohon. Diameter pohon diukur pada ketinggian 1,3 m dari atas permukaan tanah (diameter at breast height/dbh). Jumlah pohon yang dipakai untuk sampel pengamatan adalah 100 pohon untuk masing masing spesies.
39
Tabel 2. Ukuran zona jaring seresah yang diinstalasi di bawah pohon pada sistem agroforestri No. 1 2 3 4
Agroforestri Mahoni + ubikayu Sengon + ubikayu Karet + ubikayu K.sawit + ubikayu
zona 1 0,25 x 2,0 0,25 x 2,0 0,25 x 3,0 0,50 x 2.0
Dinamika pertumbuhan daun pohon diukur dengan menghitung penambahan dan pengurangan daun di cabang atau ranting yang menggambarkan pertumbuhan daun yang tumbuh dan daun yang gugur. Pengamatan dilakukan satu minggu sekali (30 kali pengamatan). Penambahan daun pohon kelapa sawit dilakukan dengan jalan menghitung penambahan jumlah pelepah yang telah membuka sempurna. Jumlah pohon yang dipakai sebagai contoh pengamatan adalah 5 (lima) pohon untuk setiap jenis. Setiap pohon ditetapkan 6 (enam) cabang/ranting sebagai sub contoh. Posisi sub contoh tersebut adalah 2 (dua) cabang/ranting masing-masing di lapisan tajuk pohon bagian bawah, tengah dan atas. Masukan seresah pohon yang gugur diukur berdasarkan metode penelitian Alternatives to Slash and Burn (Hairiah et al., 2001), dengan memasang jaring seresah (littertrap) secara permanen selama 10 (sepuluh) bulan. Jaring seresah dibuat dari bahan polyvinil dengan ukuran lubang ≤1 mm mesh (Anderson dan Ingram, 1993; Murdiyarso, Hairiah dan van Noordwijk, 1994). Jaring seresah dipasang di bawah pohon mahoni, sengon, karet, kelapa sawit dan tanaman ubikayu (monokultur). Pengumpulan seresah dilakukan satu minggu sekali di semua jaring seresah di setiap petak percobaan. Di empat sudut jaring seresah dibuat penyangga dari kayu dengan tinggi 0,25 m, sehingga jaring tidak bersentuhan dengan permukaan tanah. Masing-masing luas jaring seresah dan ukuran zona (Tabel 2) di setiap petak percobaan yang dibuat disesuaikan dengan jarak tanam setiap jenis pohon. Seresah yang gugur dikumpulkan dijemur, dan dioven pada suhu 65o C selama 48 jam untuk penetapan berat kering oven seresah (SAFODS, 2002). Seresah kering digiling halus lolos ayakan ukuran mata lubang 2 mm untuk dianalisis kandungan Corganik (Walkey dan Black), Ntotal (Kjeldahl), lignin (Goering dan van Soest) dan polifenol (FolinDenis).
Ukuran zona pada jaring seresah, m zona 2 zona 3 zona 4 0,50 x 2,0 0,50 x 2,0 0,75 x 2,0 0,50 x 2,0 0,50 x 2,0 0,75 x 2,0 1,00 x 3,0 1,00 x 3,0 1,25 x 3,0 1,00 x 2,0 1,00 x 2,0 1,50 x 2,0
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran biomasa pohon dilakukan terhadap semua jenis pohon yang dipergunakan dalam sistem agroforestri. Hasil pengukuran terhadap pohon yang dijadikan sampel (masingmasing jenis 100 pohon) diperoleh rata-rata biomasa pohon mahoni, sengon, karet dan kelapa sawit berturut-turut adalah 9,25; 72,83; 36,42; 3.218,48 kg pohon-1 atau berturut-turut setara dengan 11,56; 91,04; 20,23; 445,46 Mg ha-1. Perbandingan estimasi jumlah biomasa masing-masing pohon yang dipergunakan dalam sistem agroforestri dengan ubikayu dapat dilihat pada Gambar 1 Hasil pengamatan dinamika pertumbuhan daun pohon mahoni, sengon, karet dan kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 2. Dinamika daun dari ke empat jenis pohon menunjukkan pola yang berbeda. Pertumbuhan daun sengon paling dinamis, pertumbuhan daun sengon juga tidak dipengaruhi oleh adanya musim, pohon tersebut tetap membentuk daun baru dan menggugurkan daunnya sepanjang tahun. Masa pengguguran daun pada sengon terjadi lebih awal daripada pohon lainnya. Sampai dengan pengamatan minggu ke 16 belum terdapat daun mahoni, sengon, karet, kelapa sawit yang gugur atau tumbuh. Setelah minggu ke 16, memasuki musim kering pohon mahoni dan karet mulai menggugurkan daunnya. Memasuki awal musim hujan (September 2003) pohon mahoni dan karet menumbuhkan daundaun baru (flush) di cabang atau ranting. Sementara itu, kelapa sawit menunjukkan pola yang sangat berbeda dengan pohon mahoni, sengon atau karet. Sampai akhir pengamatan tidak terdapat pelepah kelapa sawit yang gugur. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penambahan pelepah kelapa sawit terjadi setiap 3-4 minggu. Jumlah kumulatif pelepah kelapa sawit yang membuka sempurna sampai dengan pengamatan minggu ke 30 adalah 11 pelepah setiap pohon.
Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
40
80
60
60
40
40
20
20
0
0 mahoni
karet
-1 Bobot biomasa (kg pohon )
80
3500 3000
3000
2500
2500
2000
2000
1500
1500
1000
1000
500
500
0
0
sengon -1
Jenis pohon
3500
B
-1 Bobot biomasa (Mg ha )
100
A
-1 Bobot biomasa (Mg ha )
-1 Bobot biomasa (kg pohon )
100
biomasa (kg pohon ) -1 biomasa (Mg ha )
k. sawit
Jenis pohon
Gambar 1. Perbandingan bobot biomasa pohon mahoni, sengon, karet (A) dan bobot biomasa kelapa sawit (B) pada sistem agroforestri.
Gambar 2.
Dinamika penambahan dan pengurangan (gugur) daun mahoni, sengon, karet pada berbagai posisi cabang dan jumlah penambahan pelepah kelapa sawit pada setiap pengamatan
Mofit Saptono: Potensi biomasa dan …
41 tanaman. Interval pemunculan primordia daun (plastokron) dan helaian daun (filokron) dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban udara dan cahaya (Bunting dan Drennan, 1966 dalam Gardner et al., 1991). Sementara itu daun yang gugur lebih banyak dipengaruhi oleh temperatur udara, kadar air dan konsentrasi asam absisik di dalam daun (Taiz dan Zeiger, 1998). Pohon sengon lebih awal menggugurkan daun dibandingkan dengan pohon mahoni dan karet. Memasuki musim kemarau, pada pengamatan minggu ke dua, pohon sengon telah menggugurkan daunnya. Sementara itu pohon mahoni dan karet mulai menggugurkan daunnya berturut-turut setelah minggu ke 10 dan ke 16 (Gambar 2) Kondisi ini diduga karena pohon sengon lebih peka terhadap kekeringan dibandingkan dengan mahoni dan karet. Pohon mahoni dan karet oleh petani di lokasi penelitian dikelompokkan sebagai pohon yang tahan terhadap kekeringan, sedangkan pohon sengon dikelompokkan sebagai pohon yang peka terhadap kekeringan (Hairiah et al., 2000). Pohon yang peka terhadap kekeringan cenderung akan menggugurkan daunnya lebih awal. Hal ini berkaitan dengan respon fisiologis pohon terhadap kekeringan untuk mengurangi kehilangan air dari dalam tubuh pohon atau tanaman melalui proses transpirasi. Pohon mahoni, sengon, karet dan kelapa sawit selama 36 minggu pengamatan berturutturut menghasilkan jumlah kumulatif seresah 172, 310, 167 dan 27 g m-2. Sementara itu jumlah kumulatif seresah yang dihasilkan ubikayu di bawah pohon yang sama berturutturut sekitar 77, 52, 53, dan 56 g m-2 ; dan seresah dihasilkan tanaman ubikayu monokultur sekitar 161 g m-2 (Gambar 3).
Jumlah kumulatif daun yang gugur pada setiap pohon bervariasi, pada mahoni dan karet pengguguran daun di cabang atas lebih banyak daripada di cabang bawah, dan pengguguran terbanyak terjadi antara minggu ke 18 hingga ke 20. Sengon menunjukkan pola yang berbeda, setelah minggu ke 2 terjadi peningkatan tajam pada jumlah daun gugur pada semua cabang, tetapi jumlah daun gugur pada cabang bagian bawah tetap paling rendah bila dibandingkan dengan cabang atas dan tengah. Jumlah kumulatif daun mahoni dan karet di cabang atas tajuk berkisar antara 13-15% lebih banyak dibandingkan daun di cabang tengah (6-11 daun) dan di cabang bawah (6-12 daun). Jumlah kumulatif daun sengon di cabang atas dan tengah tajuk hampir sama (sekitar 43 daun), jumlah tersebut 7% lebih banyak dari jumlah daun di cabang bawah tajuk. Keadaan ini diduga karena umur cabang yang berbeda dan adanya perbedaan intersepsi intensitas cahaya yang diterima di masing-masing bagian tajuk. Daun yang berada di bagian atas dan tengah tajuk mempunyai kesempatan untuk mendapatkan intensitas cahaya matahari yang lebih banyak. Daun pohon yang tumbuh (flush) berasal dari tunas ujung dan tunas samping cabang. Dikemukakan oleh Gardner, Pearce dan Mitchell (1991), bahwa pemula daun (primordia) berasal dari kubah ujung yang membelah dan menghasilkan pembengkakan (protuberances) pada ujung batang. Pada fase berikutnya, helaian daun (lamina) dan tangkai yang muncul berasal dari meristem interkalar yang terdapat diantara jaringan yang terdeferensiasi. Pemunculan primordia daun dan helaian daun pertama dan berikutnya mempunyai interval yang berbeda pada setiap spesies
200
225 h u ja n k e m a ra u
A
175 150 125 100 75 50 25 0 m hn + uk
sgn + uk
k rt + u k
S i s te m a g r o fo r e s t r i
ksw + uk
BKO seresah ubikayu (g m-2)
BKO seresah pohon (g m-2)
225
200
h u ja n k e m a ra u
B
175 150 125 100 75 50 25 0 m hn + uk sgn + uk
krt + u k
k s w + u k u k (m o n o )
S is t e m a g r o f o r e s t r i
Gambar 3. Berat kering oven seresah pohon (A) dan ubikayu (B) pada musim hujan dan musim kemarau di berbagai sistem agroforestri dan pola tanam ubikayu monokultur Ket. : mhn = mahoni ; sgn = sengon ; krt = karet ; ksw = kelapa sawit ; uk = ubikayu ; mono = monokultur ; BKO = berat kering oven.
Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
42
Gambar 4. Berat kering oven seresah pohon (g m-2 minggu-1) pada berbagai sistem agroforestri (A) dan di masing-masing zona (B). Ket.: Tanda bar menunjukkan nilai standard error of difference/SED. mhn = mahoni ; sgn = sengon ; krt = karet ; ksw = kelapa sawit ; uk = ubikayu ; mono = monokultur ; BKO = berat kering oven.
Gambar 5.
Berat kering oven seresah ubikayu (g m-2 minggu-1) pada sistem agroforestri (A) dan yang jatuh di masing-masing zona (B). Ket. : Tanda bar menunjukkan nilai standard error of difference/SED. mhn = mahoni ; sgn = sengon ; krt = karet ; ksw = kelapa sawit ; uk = ubikayu ; mono = monokultur ; BKO = berat kering oven.
Hasil pengukuran seresah gugur menunjukkan bahwa produksi seresah pohon yang gugur berbeda nyata (p<0.05) antar spesies dan antar jarak terhadap pohon (Gambar 4). Sementara itu produksi seresah ubikayu pada sistem agroforestri tidak berbeda nyata, akan tetapi produksi seresah tanaman tersebut berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan seresah yang dihasilkan tanaman ubikayu pola monokultur (Gambar 5). Produksi seresah pohon sengon sekitar 9,04 g m-2 minggu-1 atau sekitar 4,7 Mg ha-1 tahun-1. Jumlah tersebut dua kali lebih besar dari Mofit Saptono: Potensi biomasa dan …
produksi seresah mahoni atau karet, yaitu 3,36 dan 3,97 g m-2 minggu-1 (sekitar 1,8 dan 2,1 Mg ha-1 tahun-1). Kelapa sawit menghasilkan seresah paling rendah (0,03 g m-2 minggu-1 atau sekitar 0,02 Mg ha-1 tahun-1) dari pohon lainnya yang diuji. Dari hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa, interaksi antara perbedaan jenis pohon dan musim berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap produksi seresah. Selama musim kemarau, mahoni dan sengon menggugurkan daunnya dua kali lebih banyak dari pada di musim hujan, tetapi hal tersebut tidak terjadi pada karet dan kelapa sawit. Karet menggu-
43 gurkan seresah lima kali lebih banyak di musim kemarau (6,59 g m-2 minggu-1) dibandingkan pada musim hujan (1,35 g m-2 minggu-1), sedangkan kelapa sawit tidak menunjukkan perbedaan produksi seresah antara dua musim. Jumlah seresah gugur pada berbagai jarak terhadap pohon berbeda nyata (p<0.05), tetapi interaksi jenis pohon dan jarak terhadap pohon tidak berpengaruh nyata (p>0.05). Pada umumnya semakin jauh jaraknya dari pohon, jumlah seresah yang gugur semakin berkurang, pada zona 1 (terdekat dengan pohon) jumlah seresah gugur sekitar 4 g m-2 minggu-1, zona 2 dan 3 rata-rata sekitar 3,5 g m-2 minggu-1, dan di zona 4 (terjauh) sekitar 3,0 g m-2 minggu-1. Setiap jenis pohon atau tanaman mengalami proses yang sama dalam pengguguran daun. Secara fisiologi daun tanaman atau pohon akan gugur setelah memasuki tahap penuaan (senecence). Pada fase ini konsentrasi asam fenolat di sekitar tangkai (petiolus) dan pangkal daun (basis folii) akan meningkat. Peningkatan konsentrasi asam fenolat distimulasi oleh aktivitas zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh yang berperan dalam proses tersebut adalah asam absisik, seperi ABA (absisic butiric acid) dan etilen yang banyak terdapat di tangkai daun (Gardner et al., 1991 ; Taiz dan Zeiger, 1998). Pada keadaan demikian tangkai daun (petioulus) akan mengering. Mengeringnya tangkai daun menyebabkan pengiriman (suplai) bahan makanan ke helaian daun (lamina) menjadi terhambat. Kondisi ini selanjutnya menyebabkan helaian daun dan tangkai daun mengering, dan akhirnya daun akan gugur. Daun yang gugur adalah sumber bahan organik tanah, oleh karena itu daun yang gugur merupakan pengaruh positif pohon yang dapat dimanfaatkan. Jumlah daun yang gugur dari cabang/ranting pohon atau tanaman menunjukkan potensi pohon atau tanaman tersebut memberikan masukan bahan organik tanah. Setiap jenis pohon atau tanaman mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memberikan masukan bahan organik melalui seresah yang gugur. Di bawah pohon mahoni dan sengon, peningkatan jumlah kumulatif seresah ubikayu yang gugur di zona 2, zona 3 dan zona 4 hampir sama. Jumlah kumulatif seresah ubikayu di bawah pohon mahoni atau sengon jumlahnya lebih kecil dibanding-kan di bawah pohon karet atau kelapa sawit. Di bawah pohon karet dan kelapa sawit, jumlah kumulatif seresah lebih banyak didapatkan dari tanaman di zona 4. Di zona tersebut tanaman ubikayu cukup mendapatkan intensitas cahaya untuk menstimulasi inisiasi primordia daun. Kondisi ini akan
mengoptimalkan interval plastokron dan filokron, selanjutnya cabang/ranting tanaman akan mempunyai jumlah daun yang lebih banyak. Perbedaan waktu daun yang gugur secara internal dipengaruhi oleh umur daun, luas daun dan tebal daun. Pada musim kemarau, daun akan lebih awal gugur. Otto (1998) dan Howeler (2001) mengemukakan bahwa tanaman ubikayu mulai menggugurkan daunnya menjelang umur 90 hari setelah tanam. Daun yang gugur adalah respon fisiologis pohon/tanaman untuk mengurangi kehilangan air dari dalam tubuh pohon atau tanaman melalui proses transpirasi. Pada kondisi kering (musim kemarau), jumlah air yang dapat diserap oleh pohon atau tanaman berkurang. Beardsell dan Cohen (1975) dalam Taiz dan Zeiger (1998) mengemukakan bahwa kondisi kering akan meningkatkan konsentrasi ABA dan etilen di dalam daun dan menurunkan kandungan auksin. Perubahan keseimbangan hormon (antara ABA, etilen dan auksin) akan mengakibatkan peningkatan proses hidrolisis di dalam dinding sel. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya separasi sel dan penguguguran daun. KESIMPULAN Kesimpulan Sistem agroforestri dengan pohon mahoni, sengon dan karet berpotensi memberikan masukan bahan organik ke dalam tanah melalui seresah yang gugur. Pohon sengon mampu menghasilkan seresah mencapai 4,7 Mg ha-1 tahun-1. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan mahoni atau karet dengan potensi seresah yang dihasilkan 1,8 dan 2,1 Mg ha-1 tahun-1. Kelapa sawit mempunyai potensi produksi seresah yang paling rendah yaitu 0,5 Mg ha-1 tahun-1. Ubikayu pada sistem agroforestri dengan pohon mahoni, sengon, karet dan kelapa sawit mampu menghasilkan seresah berturut-turut 1,5; 0,8 ; 0,9 dan 1,4 g m-2 minggu-1. Sementara itu ubikayu monokultur mampu menghasilkan seresah mencapai 3,8 g m-2 minggu-1. Mempertahankan diversitas vegetasi (pohon dan tanaman) dalam sistem agroforestri berpeluang untuk meningkatkan diversitas masukan bahan organik melalui seresah. Kondisi ini akan menyebabkan siklus hara dan kondisi hidrologi tanah tetap terjaga. Penanaman pohon dan tanaman dengan pola agroforestri dalam jangka panjang dapat dipertimbangkan untuk dipergunakan mempertahankan kandungan bahan organik tanah, dan perbaikan sifat fisik tanah lainnya. Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
44 Saran Diperlukan penelitian lanjutan untuk menentukan kualitas seresah pohon dan ubikayu sehingga dapat ditentukan laju dekomposisi masing-masing seresah tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Smallholder Agroforestry Option for Degraded Soils (SAFODS) Project Universitas Brawijaya (UB), bekerjasama dengan International Center for Research in Agroforestry (ICRAF) SEA, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis dalam melakukan penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Guritno (Faperta UB), Prof. Ir. Kurniatun Hairiah, Ph.D. (Faperta UB, ICRAFSEA) dan Ir. Didik Suprayogo, M.Sc., Ph.D. (Faperta UB) atas bimbingan kepada penulis selama melakukan studi dan penelitian di Program Doktor PPS FPUB. DAFTAR PUSTAKA Anderson, J. A. and J. S. I. Ingram, 1993. Tropical soil biology fertility. A handbook of methods. 2nd edition. CAB International. 221 p De
Foresta, H dan G. Michon. 2000. Agroforestri Indonesia : Beda sistem beda pendekatan. Hal. 1 – 18 dalam H. de Foresta. A. Kusworo, G. Michon dan W. A. Djatmiko (ed). Ketika kebun berupa hutan : Agroforest khas Indonesia. Sebuah sumbangan masyarakat. ICRAF. Bogor. 249 hal.
Delaney, M and J. Roshetko. 1999. Field test of carbon monitoring methods fo home gardens in Indonesia. In : Field test of carbon monitoring methods in forestry Projects. Forest carbon monitoring program, Winrock International, Arlington, VA, USA 45-51 pp. http: //www.winrock.org FAO STAT, 2005. A review of cassava in Asia with country case studies on Thailand and Vietnam. Proc. of the Validation Forum on The Global Cassava Development Strategy 32 : 22. Fownes, J. H., P. Hendrix, H. Ikawa, S. Jones, M. van Noordwijk and G. Uehara. 1989. Organic input management in tropical agroecosystems. p 125 – 152 In D. C. Coleman, J. M. Oades and G. Uehara (eds.) Dynamics of soil organic matter in tropical
Mofit Saptono: Potensi biomasa dan …
ecosystems. Publ. NifTAL Project Dept. Agron. And Soils Sci. University of Hawaii 249 p. Gardner, F. P., R. B. Pearce and R. G. Mitchell, 1991 Physiology of crop plants. The Iowa State University Press. Herawati Susilo (penterjemah). 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerbit Universitas Indonesia. 428 hal. Hairiah, K. 1993. Pengelolaan nitrogen pada tanah masam yang berwawasan lingkungan. Hasil Penelitian Pengelolaan Nitrogen. Universitas Brawijaya Malang-Institute voor Boden-vruchtbaarneid, Haren. Netherlands. 43 hal. Hairiah, K., S. M. Sitompul, M. van Noordwijk and C. A. Palm, 2001. Models for sampling carbon stocks above and below ground. ASB Lecture Note 4B. ICRAF. Bogor 23 p. Hairiah, K., Widianto, S. R. Utami, D. Suprayogo, Sunaryo, S. M. Sitompul, B. Lusiana, R. Mulia, M. van Noordwijk dan G. Cadisch. 2000. Pengelolaan tanah masam secara biologi. Refleksi pengalaman dari Lampung Utara. ICRAF. Bogor. 187 hal. Howeler, R. H., 2001. Cassava agronomy research in Asia : Has it benefitted cassava farmers ?. In Cassavas Potential in Asia in the 21st Century : Present Situation and Future Research and Development Needs. Proc. of the Sixth Regional Workshop Held in Ho Chi Min City, Vietnam. Feb. 21 – 25, 2000. IAS, CIAT, The NIPPON Foundation. Ketterings, Q. M., R. Coe, M. van Noordwijk, Y. Ambagau and C. A. Palm, 2001. Reducing ubcertainity in the use of allometric biomass equations for predicty above ground tree biomass in mixed secondary forest. Forest Ecology and Management 146 : 199 – 209 Koes Hartojo, S. Poespodarsono and P. Puspitorini. 2001. Cassava breeding and varietal dis-semination in Indonesia during 1975 – 2000 In Cassavas Potential in Asia in the 21st Century : Present Situation and Future Research and Development Needs. Proc. of the Sixth Regional Workshop Held in Ho Chi Min City, Vietnam. Feb. 21 – 25, 2000. IAS, CIAT, The NIPPON Foundation. Martinez, K. E., 1998. Social determinants of deforestation in developing countries : A cross-national study. Social Forbes Journal 77 (2) : 567 -586
45 Murdiyarso, D., K. Hairiah, M. van Noordwijk. 1994. Modelling and measuring soil organic matter dynamics and greenhouse gas emisions after forest conversion. ASBIndonesia Report No. 1. Bogor Otto, J. A., 1998. Rapid multiplication of cassava. IITA Research Guide No. 51. Ranganathan, R. and C. F. de Witt, 1996. Mixed cropping of annuals and woody perennials : An analytical approach to productivity and management. p 25-49. In C. K. Ong and P. Huxley (eds.) Tree-crop interactions. CAB International. UK 386 p. Roshetko, J. R and P. Purnomisidhi, 1998. Second field report : Expanding options for smallholder tree production in North Lampung. Training Course on Participatory on Farm Experimentation and Intergrated Approach to Land Management Material. ICRAF-Indonesia
Roshetko, J. R. and P. Purnomosidhi. 1999. Establishment and early growth of five timber species grown under smallholder condition in Lampung, Indonesia. Forest, Farm and Community The Research Reports 4:1–5 Salim, E. and O. Ullsten, 1999. Our Forest our future. Report of the world commision on forests and sustainable development.Cambridge University Press. 205 p Taiz, L. and E. Zeiger, 1998. Plant physiology, The benyamin-Cunmings Publ. Co. California. Van Noordwijk, M., B. Lusiana, Suyanto and T. P. Tomich, 1996. Soil and other constrain to agricultural production with or without trees in the North Lampung Benchmark area of the alternative to slash and burn project. Agrivita 19 (4) : 136-145
Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008