AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009
ISSN. 0852-5426
KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN MANGROVE DI TAMAN NASIONAL BUNAKEN SULAWESI UTARA Analysis of theComposition and Structure of Mangrove Forest in the Bunaken National Park, North Sulawesi Tinny D. Kaunang dan Joi Daniel Kimbal Dosen Jurusan Biologi , FMIPA, Universitas Negeri Manado
ABSTRACT Mangrove forest ecosystem in southern part of the Bunaken National Park constitutes one of the typical natural resources remained in North Sulawesi. However the existence of this ecosystem begins to be threatened by various environmental factors and human activities that affect existence and stability of ecosystem. Objective of this study are to find out the geophysical characteristic (physical property and soil chemistry as well as tides), the structure and composition of vegetation, attitude and perception and to study degradation susceptibility mangrove forest ecosystem in Southern Bunaken National Park. Survey method is used to identify mangrove vegetation by using transect with quadrate plot technique, soil substrate sample is employed and questioner data is also applied as well as the interview with 130 respondents which consist of common people, government and businessman. The analysis is carried out by doing vegetation analysis (density, dominance, frequency, value index and diversity index) and laboratory analysis (physical property and soil chemical) as well as other geophysical factor such as tide data from BMG Bitung. Composition of vegetation formation at research site generally consists of several species namely Avicennia marina, Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Avicennia officinalis, Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza and Bruguiera parviflora. The density of tree in location is about 80-1.150 tree/ha. Biodiversity index shows the value around 0,519 – 1,418. Keywords : vegetation composition, mangrove, degradation susceptibility level
ABSTRAK Ekosistem hutan mangrove di Taman Nasional Bunaken merupakan salah satu dari beragam sumberdaya alam tipikal yang ada di Sulawesi Utara. Eksistensi ekosistem ini mulai terancam oleh adanya beragam aktivitas manusia dan kejadian alam yang mempengaruhi stabilitas dan kelestarian ekosistem. Tujuan penelitian ini untuk menemukan karakteristik geofisik (sifat-sifat fisika dan kimia tanah, pasang-surut) , struktur dan komposisi vegetasi, persepsi dan sikap masyarakat, serta tanda-tanda degradasi ekosistem huitan mangrove . Metode survei lapangan digunakan untuk mengidentifikasi vegetasi mangrove dengan menggunakan teknik transek dengan petak persegi, contoh tanah juga diambil; sedangkan daftar isian dan wawancara dilakukan dengan melibatkan responden dan nara sumber sebanyak 130 orang, terdiri atas warga masyarakat, pemerintah dan suasta. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis vegetasi (densitas, dominansi, frekuensi, nilai indeks dan indeks diversitas), dan metode analisis laboratorium (sifat fisika dan kimia tanah). Informasi geofisik lainnya yang juga dianalisis adalah pasang-surut yang diperoleh dari stasiun BMG Bitung.
1163
AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009
ISSN. 0852-5426
Komposisi formasi vegetasi di lokasi penelitian terdiri atas beberapa spesies, yaitu Avicennia marina, Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Avicennia officinalis, Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza dan Bruguiera parviflora. Kepadatan pohon di lokasi ini berkisar 80 – 1150 pohon per hektar. Indeks biodiversitas berkisar antara 0.519 hingga 1.418. Kata kunci: hutan marove, komposisi dan struktur vegetasi, degradasi
PENDAHULUAN Taman Nasional Bunaken merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi untuk perlindungan ekosistem penyangga kehidupan, konservasi jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional karena memiliki tipe ekosistem laut dan pesisir tropis yang lengkap meliputi habitat-habitat terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Eidman dkk, 1999). Taman Nasional Bunaken bagian utara memiliki kekayaan dan keindahan terumbu karang yang terkenal di dunia. Kawasan bagian selatan memiliki kekayaan hutan mangrove. Kawasan bagian selatan ini ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional melalui SK Menteri Kehutanan No. 730/Kpts-II/91 dengan luas ± 13.800 ha yang letaknya berada di Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Minahasa Selatan. Hutan mangrove di kawasan ini merupakan hutan mangrove yang sudah berumur tua dengan ketinggian pohon ada yang mencapai ± 30 meter. Luas hutan mangrove yang ada Taman Nasional Bunaken sekitar 960 ha, luasnya kira-kira 20 % dari seluruh hutan mangrove yang ada di Sulawesi Utara. Luas hutan mangrove yang ada di kawasan TN Bunaken bagian selatan sekitar 351 ha (Eidman dkk, 1999). Berdasarkan luasnya kawasan, hutan mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia yaitu ± 2,5 juta hektar melebihi Brazil 1,3 juta ha, Nigeria 1,1 juta ha dan Australia 0,97 ha (Noor dkk, 1999). Namun demikian, kondisi
mangrove Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 5.209.543 ha sedangkan pada tahun 1993 menjadi 2.496.185 juta ha, terjadi penurunan luasan hutan mangrove sekitar 47,92 %. Luas hutan mangrove di Sulawesi Utara pada tahun 1982 adalah 27.300 hektar, namun pada tahun 1993 luasnya menjadi 4.833 hektar. Terjadi penurunan sekitar 17,70 (Dahuri, 2001). Potensi sumberdaya alam ekosistem hutan mangrove rawan terhadap degradasi, terutama pertumbuhan dan perkembangan mangrove tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) rawan berarti keadaan berbahaya, gawat, dikeadaan genting (kerugian, kekurangan), sedangkan degradasi berarti penurunan kualitas yang dapat diakibatkan oleh penanganan. Demikian pula keberadaan hutan mangrove yang berada di daerah pesisir Taman Nasional Bunaken bagian selatan. Berdasarkan kondisi fisik di lapangan pola zonasi mangrove di kawasan ini mulai mengalami kerawanan degradasi. Fenomena ini, jelas mengindikasikan akan terjadinya kerusakan kualitas dan kuantitas potensi sumberdaya ekosistem pesisir yang berimplikasi pada hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove tersebut. Oleh karena itu, untuk mengembalikan fungsi dan manfaat hutan mangrove yang mengalami penurunan kualitas dan kuantitas harus dilakukan kegiatan dengan terlebih dahulu mengetahui komposisi struktur vegetasi, pengaruh faktor geofisik dan kerusakan yang diakibatkan oleh perilaku manusia antara lain perusakan habitat, fragmentasi hutan/habitat,
1164
AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009
gangguan pada habitat dan penggunaan spesies yang berlebihan. Permasalahan yang mempengaruhi eksistensi dan stabilitas ekosistem hutan mangrove perlu diteliti dan ditindaklanjuti sebelum terjadi kerusakan yang dapat mengakibatkan hilangnya fungsi ekologis kawasan tersebut. Adapun yang perlu dilakukan adalah melakukan kajian kerawanan degradasi berdasarkan parameter struktur dan komposisi vegetasi pada ekosistem hutan mangrove yang berada di kawasan Taman Nasional Bunaken bagian selatan Provinsi Sulawesi Utara . Bertolak dari latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Mengetahui komposisi dan struktur vegetasi hutan mangrove di Kawasan Taman Nasional Bunaken Bagian Selatan; 2. Mengkaji kerawanan degradasi ekosistem hutan mangrove di Kawasan Taman Nasional Bunaken Bagian Selatan.
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan ± 3 bulan pada bulan April sampai Juni 2009. Penelitian lapangan dilakukan pada 3 (tiga) lokasi meliputi desa-desa pesisir yang berada di kawasan Taman Nasional Bunaken bagian selatan yaitu : Teling, Sondaken dan Popareng. Variabel dan cara pengambilan data Penelitian ini meliputi parameter ekosistem mangrove dengan variabelvariabel yang diamati sebagai berikut : 1.
Parameter biologi hutan mangrove Sebelum mengadakan pengumpulan data, dilakukan pengamatan lapangan yang meliputi keseluruhan kawasan hutan dengan tujuan untuk melihat secara umum komposisi tegakan hutan secara fisiognomi
ISSN. 0852-5426
serta keadaan pasang surut daerah setempat dan lain sebagainya. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan pertimbangan kerapatan vegetasi dilihat secara fisiognomi. Selanjutnya dilakukan pembagian daerah pengamatan (lokasi sampel) menjadi tiga stasiun sampel yaitu : a) Stasiun I, lokasi di Desa Teling; b) Stasiun II, lokasi di Desa Sondaken; c) Stasiun III, lokasi di Desa Popareng. Pada masing-masing stasiun ini di buat garis transek yang memotong tegak lurus garis pantai ke arah darat (yang ditumbuhi mangrove). Panjang garis transek bervariasi menurut ketebalan garis hijau (keberadaan vegetasi mangrove yang menjadi penghubung terestrial dan perairan). Pengambilan sampel dilakukan pada jarak antara 0-10 meter, 30-40 meter, dan 50-60 meter dari zone belakang mangrove ke arah garis pantai. Dari setiap transek, data vegetasi diambil dengan menggunakan metode kuadrat plot. Ada beberapa tahapan dalam mengambil data transek yaitu : a) Menarik meteran ke arah laut dengan posisi awal yang telah diberi tanda (patok atau pengecatan pohon). b) Menentukan blok (petak contoh/petak ukur) di sebelah kiri dan kanan garis transek berbentuk bujursangkar dengan ukuran : 1) 10 x 10 m untuk pengamatan fase pohon; 2) 5 x 5 m untuk pengamatan fase pancang (sapling); 3) 2 x 2 m untuk pengamatan fase semai (anakan). c) Mekanisme pengambilan data sebagai berikut : 1) Identifikasi setiap jenis mangrove yang ada. Apabila belum ada di ketahui nama jenis vegetasi mangrove yang ditemukan, ambil bagian ranting yang lengkap dengan daun, bunga dan buahnya. Bagian tersebut selanjutnya
1165
AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009
dipisahkan berdasarkan jenisnya dan dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label keterangan; 2) Mengukur diameter pohon setinggi dada dengan cara mengukur lingkaran pohon, kemudian dihitung : Diameter = keliling pohon / 3.14; 3) Ambil sampel tipe substrat (lumpur, lempung, pasir dsb) pada setiap plot (petak ukur) secara komposit; 4) Setiap data yang telah terkumpul dan teridentifikasi langsung
ISSN. 0852-5426
dicatat dalam tabel pengamatan (tabulasi). Metode Analisis Vegetasi Data yang telah ditabulasi kemudian dianalisis menggunakan metode analisis vegetasi sehingga didapatkan struktur dan komposisi vegetasi mangrove. Metode analisis menggunakan formula-formula (Gopal dan Bhardwaj, 1979 dalam Indriyanto, 2006) yaitu :
Jumlah total individu suatu jenis Kerapatan (K) = ---------------------------------------Luas petak ukur pengamatan (ha)
…..................……………(1)
Indeks Keragaman H′ =
n ni ni − ∑ ln i =1 N N
……………………(9)
Keterangan : H′ = Indeks keanekaragaman; ni = nilai penting dari setiap spesies; N = total nilai penting.
Adapun dasar untuk mengkaji kerawanan degradasi hutan mangrove dinilai berdasarkan skoring (tinggi, sedang, rendah) eksistensi ekosistem hutan mangrove dengan parameter biologiseperti yang tercantum dalam Tabel 1.
Penentuan Tingkat Kerawanan Degradasi Dalam menentukan potensi kerawanan degradasi mangrove di Kawasan Taman Nasional Bunaken dilakukan dengan membandingkan hasil deskripsi lapangan yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif dan uji laboratorium yang bersifat kuantitatif.
Tabel 1. Penentuan Tingkat Kerawanan Degradasi ekosistem hutan mangrove No
Parameter
1.
Karakteristik Vegetasi Kerapatan) - Fase Pohon (pohon/ha) - Fase Pancang (pancang/ha) - Fase Semai (semai/ha) Indeks Biodiversitas (H’)
R0
Tingkat Kerawanan Degradasi R1 R2
> 1.500 > 2.500 > 5.000 >3
1166
750–1.500 750–2.500 1.000–5.000 1-3
< 750 < 750 < 1.000 <1
AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009
ISSN. 0852-5426
Keterangan : R0 = rawan 0 (rendah); R1 = rawan 1 (sedang); R2 = rawan 2 (tinggi) HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi dan Struktur Vegetasi Mangrove. Stasiun I (Desa Teling) Berdasarkan hasil identifikasi dan pengamatan lapangan terhadap mangrove yang tumbuh di stasiun I (Desa Teling) pada 12 petak ukur ditemukan 5 jenis vegetasi mangrove pada fase pohon antara lain Api-api hitam(Avicennia marina) sebanyak 2 pohon, Lolaro putih (Rhizophora stylosa) sebanyak 3 pohon, Lolaro merah (Rhi-zophora apiculata) sebanyak 16 pohon, Api-api (Avicennia officinalis) sebanyak 2 pohon, dan Posiposi (Sonneratia alba) sebanyak 10 pohon. Total keseluruhan tumbuhan mangrove yang di amati dan didentifikasi berjumlah 43 pohon pada fase pohon. Dari hasil analisis vegetasi, ke-rapatan tegakan di stasiun I, jenis Rhi-zophora apiculata mempunyai kerapatan lebih tinggi dibanding jenis lain sebesar 160 pohon/ha dari total 330 pohon/ha untuk fase pohon. Tingkat penguasaan spesies di dominasi oleh Sonneratia alba sebesar 98,69 m2/ha serta INP = 117,31 %. Indeks keragaman pada fase ini yaitu 1,418 yang menunjukkan tingkat keragaman yang kurang untuk kemantapan struktur komunitas. Sedangkan pada fase pancang ditemukan beberapa jenis mangrove antara lain Lolaro merah (Rhizophora apiculata) sebanyak 4 tegakan, dan Posi-posi (Sonneratia alba) sebanyak 2 tegakan. Total keseluruhan tumbuhan mangrove yang di amati dan teridentifikasi berjumlah 6 tegakan. Dari hasil analisis vegetasi, kerapatan tegakan di stasiun I ini, jenis Rhizophora apiculata mempunyai kerapatan lebih tinggi dibanding jenis lain sebesar 80 pancang/ha dari total 120 pancang/ha untuk fase pancang. Tingkat penguasaan spesies didominasi juga oleh Rhizophora apiculata sebesar 0,69 m2/ha serta nilai penting =
235,90 %. Indeks keragaman pada fase ini yaitu 0,519 yang menunjukkan tingkat keragaman yang kurang untuk kemantapan struktur komunitas. Pada fase semai ditemukan beberapa jenis mangrove antara lain Lolaro Merah (Rhizophora apiculata) sebanyak 2 tegakan, dan Posi-posi (Sonneratia alba) sebanyak 6 tegakan dan api- api (Avicennia marina) sebanyak 15 tegakan. Total keseluruhan tumbuhan mangrove yang diamati dan teridentifikasi berjumlah 25 tegakan. Dari hasil analisis vegetasi, kerapatan tegakan di stasiun I ini, jenis Avicennia marina mempunyai kerapatan lebih tinggi dibanding jenis lain sebesar 750 semai/ha dari total 1150 semai/ha untuk fase semai. Tingkat nilai penting spesies di dominasi oleh Avicennia marina dengan INP = 85,22 %. Indeks keragaman pada fase ini yaitu 0,891 yang menunjukkan tingkat keragaman yang kurang untuk kemantapan struktur komunitas. Stasiun II (Desa Sondaken) Hasil identifikasi dan pengamatan terhadap tumbuhan mangrove yang berada di stasiun II (Desa Sondaken), pada 6 petak ukur ditemukan 5 jenis vegetasi mangrove pada fase pohon antara lain Api-api hitam (Avicennia marina) sebanyak 11 pohon, Lolaro (Rhizophora mucronata) sebanyak 12 pohon, Bruguiera gymnorrhiza sebanyak 4 pohon, Bruguiera parviflora sebanyak 8 pohon, dan Posi-posi (Sonneratia alba) sebanyak 1 pohon. Total keseluruhan tumbuhan mangrove yang di amati dan diidentifikasi berjumlah 36 tegakan pada fase pohon. Hasil analisis vegetasi, kerapatan tegakan di stasiun II, jenis Rhizophora mucronata mempunyai kerapatan lebih tinggi dibanding jenis lain sebesar 120 pohon/ha dari total 360 pohon/ha untuk fase pohon. Tingkat penguasaan spesies didominasi oleh Avicennia marina sebesar 25,10 m2/ha serta INP = 128,14 %. Indeks keragaman pada fase ini 1,408 me-
1167
AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009
nunjukkan tingkat keragaman yang cukup untuk kemantapan struktur komunitas. Beberapa jenis mangrove ditemukan pada fase pancang antara lain, Lolaro (Rhizophora mucronata) sebanyak 2 pohon, Bruguiera gymnorrhiza sebanyak 1 pohon, Bruguiera parviflora sebanyak 1 pohon. Total keseluruhan tumbuhan mangrove yang di amati dan teridentifikasi berjumlah 4 tegakan. Dari hasil analisis vegetasi, kerapatan tegakan di stasiun II ini, jenis Rhizophora mucronata mempunyai kerapatan lebih tinggi dibanding jenis lain sebesar 40 pancang/ha dari total 80 pancang/ha untuk fase pancang. Tingkat penguasaan spesies didominasi juga oleh Rhizophora apiculata sebesar 0,46 m2/ha serta INP = 151,58 %. Indeks keragaman pada fase ini 1,034 menunjukkan tingkat keragaman yang cukup untuk kemantapan struktur komunitas. Pada fase semai ditemukan beberapa jenis mangrove antara lain Lolaro (Rhizophora mucronata) sebanyak 15 pohon, Bruguiera gymnorrhiza sebanyak 5 pohon. Total keseluruhan tumbuhan mangrove yang diamati dan teridentifikasi berjumlah 20 tegakan. Hasil analisis vegetasi, kerapatan tegakan di stasiun II ini, jenis Rhizophora mucronata mempunyai kerapatan lebih tinggi dibanding jenis lain sebesar 750 semai/ha dari total 1000 semai/ha untuk fase semai. Tingkat nilai penting spesies di dominasi juga oleh Bruguiera gymnorrhiza dengan INP = 125 %. Indeks keragaman pada fase ini yaitu 0,660 yang menunjukkan tingkat keragaman yang kurang untuk kemantapan struktur komunitas. Stasiun III (Desa Popareng) Identifikasi tumbuhan mangrove yang berada di stasiun III (Desa Popareng), pada 9 petak ukur pengamatan ditemukan 3 jenis vegetasi mangrove pada fase pohon antara lain Api-api hitam (Avicennia marina) sebanyak 4 pohon, Lolaro putih (Rhizophora stylosa) sebanyak 1 pohon, dan Posi-posi (Sonneratia alba) sebanyak 16 pohon. Total keseluruhan tumbuhan mangrove yang di amati dan diidentifikasi
ISSN. 0852-5426
berjumlah 21 pohon pada fase pohon. Hasil analisis vegetasi, kerapatan tegakan di stasiun III, jenis Sonneratia alba mempunyai kerapatan lebih tinggi dibanding jenis lain sebesar 160 pohon/ha dari total 210 pohon/ha untuk fase pohon. Tingkat penguasaan spesies didominasi oleh Sonneratia alba sebesar 147,96 m2/ha serta INP = 213,34 %. Indeks keragaman pada fase ini yaitu 0,754 yang menunjukkan tingkat keragaman yang kurang untuk kemantapan struktur komunitas. Pada fase pancang ditemukan beberapa jenis mangrove antara lain, Api-api hitam (Avicennia marina) sebanyak 1 pohon, Lolaro putih (Rhizophora stylosa) sebanyak 1 pohon, dan Posi-posi (Sonneratia alba) sebanyak 2 pohon. Total keseluruhan tumbuhan mangrove yang diamati dan teridentifikasi berjumlah 4 tegakan. Hasil analisis vegetasi, kerapatan tegakan di stasiun III ini, jenis Sonneratia alba mempunyai kerapatan lebih tinggi dibanding jenis lain sebesar 40 pancang/ha dari total 80 pancang/ha untuk fase pancang. Tingkat penguasaan spesies didominasi oleh Avicennia marina sebesar 0,27 m2/ha dengan INP = 111,36 %. Indeks keragaman pada fase ini yaitu 1,087 yang menunjukkan tingkat keragaman yang cukup untuk kemantapan struktur komunitas. Pada fase semai ditemukan beberapa jenis mangrove antara lain Api-api hitam (Avicennia marina) sebanyak 1 pohon, dan Posi-posi (Sonneratia alba) sebanyak 3 pohon. Total keseluruhan tumbuhan mangrove yang diamati dan teridentifikasi berjumlah 4 tegakan. Hasil analisis vegetasi, kerapatan tegakan di stasiun III ini, jenis Sonneratia alba mempunyai kerapatan lebih tinggi dibanding jenis lain sebesar 150 semai/ha dari total 200 pohon/ha untuk fase semai. Tingkat nilai penting spesies di dominasi juga oleh Sonneratia alba dengan INP = 150 %. Indeks keragaman pada fase ini yaitu 0,562 yang menunjukkan tingkat keragaman yang kurang untuk kemantapan struktur komunitas.
1168
AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009
Pembahasan umum Komposisi dan Struktur Vegetasi Komposisi dan struktur vegetasi mangrove pada tiga lokasi menunjukkan variasi jenis penyusunnya. Adapun komposisi jenis penyusun vegetasi di lokasi penelitian secara umum terdiri atas beberapa spesies, yaitu : Avicennia marina, Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Avicennia officinalis, Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza dan Bruguiera parviflora. Nilai penting dan kerapatan spesies Stasiun I (Desa Teling) pada fase pohon dan pancang didominasi oleh Rhizophora apiculata, pada fase semai didominasi Avicennia marina. Untuk nilai penting dan kerapatan spesies Stasiun II (Desa Sondaken) pada fase pohon dan pancang didominasi oleh Rhizophora mucronata, pada fase semai didominasi Brugueira gymnorrhiza, sedangkan di Stasiun III (Desa Popareng) nilai penting pada fase pohon didominasi Avicennia marina dan fase pancang didominasi oleh Rhizophora mucronata, dan kerapatan spesies pada fase pohon dan pancang didominasi oleh Rhizophora mucronata pada fase semai nilai penting dan kerapatan spesies didominasi oleh Brugueira gymnorrhiza. Kerapatan pohon pada lokasi penelitian berkisar 80-1.150 pohon/ha, dan tidak sesuai dengan kisaran toleransi 7505000 pohon/ha (Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi lahan, 1997). Indeks biodiversitas menunjukkan nilai yang berbeda-beda pada lokasi penelitian, nilai keragaman tersebut berkisar 0,519 – 1,418. Semakin tinggi nilai keragaman menunjukkan semakin mantap komunitas tersebut. Tingkat Kerawanan Degradasi Ekosistem Hutan Mangrove di TN Bunaken Bagian Selatan
ISSN. 0852-5426
terdiri atas beberapa spesies, yaitu : Avicennia marina, Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Avicennia officinalis, Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Brugueira gymnorrhiza dan Brugueira parviflora. Penyebaran masingmasing spesies pada setiap stasiun membentuk zonasi spesifik yang dipengaruhi oleh kekhasan bentang lahan masing-masing sampling daerah penelitian. Berdasarkan parameter kerapatan vegetasi pada beberapa lokasi pengambilan sampel, kemudian di formulasikan ke dalam analisis vegetasi, maka kerapatan vegetasi bervariasi dan tidak berada pada kisaran toleransi yang disyaratkan untuk kemantapan dan kestabilan komunitas. Keanekaragaman (biodiversity), suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas tersebut disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit saja spesies yang dominan. Komunitas tumbuhan hutan memiliki dinamika atau perubahan, baik yang disebabkan oleh adanya aktivitas alamiah maupun manusia. Kerapatan tegakan secara keseluruhan dari tiap lokasi penelitian menunjukan berkurangnya vegetasi mangrove yang seharusnya berada pada kisaran toleransi 750-5.000 pohon/ha. Kerapatan tegakan pada lokasi penelitian, 77,7 % berada pada tingkat rawan R2 (tinggi), hanya pada fase semai Teling dan fase semai Sondaken yang berada pada tingkat rawan R1 (sedang). Nilai keanekaragaman pada tiap-tiap lokasi penelitian berada dibawah nilai yang disyaratkan yaitu 1-3, sehingga berada pada tingkat kerawanan sedang dan tinggi. Bahkan sekitar 55,5 % plot berada pada tingkat rawan R2 (tinggi). Hal ini menunjukkan keanekaragaman yang kurang untuk kestabilan tegakan.
Secara umum komposisi penyusun vegetasi mangrove di lokasi penelitian
1169
AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009
ISSN. 0852-5426
Tabel 11. Tingkat Kerawanan Degradasi berdasarkan Parameter Kerapatan Tegakan dan Indeks Biodiversitas Lokasi Teling
Sondaken
Popareng
Fase Pohon Fase Pancang Fase Semai Fase Pohon Fase Pancang Fase Semai Fase Pohon Fase Pancang Fase Semai
Kerapatan Tegakan Data TR 330 R2 120 R2 1.150 R1 360 R2 80 R2 1.000 R1 210 R2 80 R2 250 R2
Indeks Biodiversitas Data TR 1,418 R1 0,519 R2 0,891 R2 1,408 R1 1,034 R1 0,660 R2 0,754 R2 1,087 R1 0,562 R2
Sumber : Pengukuran lapangan 2008, analisis laboratorium, analisis data. Keterangan : Tingkat Kerawanan (TR ): R0 = rawan 0 (rendah); R1= rawan 1 (sedang); R2= rawan 2 (tinggi).
Kawasan hutan mangrove mengalami ketidaknormalan pertumbuhan yang disebabkan oleh beberapa faktor penunjang kawasan tersebut. Ketidaknormalan pertumbuhan tersebut ditunjukkan oleh tingkat kerapatan vegetasi yang rendah, bercampurnya vegetasi yang membentuk pola zonasi atau berkurangnya areal kawasan mangrove karena tekanan dari arah lautan (abrasi) sehingga hanya tertinggal beberapa jenis saja seperti yang terjadi di stasiun III Popareng. Beberapa spesies seperti Avicennia marina dan Soneratia alba mengalami gangguan pada bentuk pertumbuhannya, dimana tumbuhan kelihatan mulai kerdil dan beberapa spesies mulai menjadi kering. Bahkan yang lebih parah lagi proses suksesi berjalan lambat hal ini terbukti dengan analisis vegetasi fase semai yang rata-rata tidak mencapai nilai toleransi kemantapan komunitas tumbuhan mangrove.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Komposisi jenis penyusun vegetasi di lokasi penelitian secara umum terdiri atas beberapa spesies, yaitu : Avicennia marina, Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Avicennia officinalis, Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza dan Bruguiera parviflora. Nilai penting dan kerapatan spesies Stasiun I (Desa Teling) pada fase pohon dan pancang didominasi oleh Rhizophora apiculata, pada fase semai didominasi Avicennia marina. Nilai penting dan kerapatan spesies Stasiun II (Desa Sondaken) pada fase pohon dan pancang didominasi oleh Rhizophora mucronata, pada fase semai didominasi Brugueira gymnorrhiza. Sedangkan di Stasiun III (Desa Popareng) nilai penting pada fase pohon didominasi Avicennia marina dan fase pancang didominasi oleh Rhizophora mucronata, dan kerapatan spesies pada fase pohon dan pancang didominasi oleh Rhizophora mucronata, pada fase semai nilai penting dan kerapatan spesies didominasi oleh Brugueira gymnorrhiza. Struktur vegetasi dinilai dengan kerapatan
1170
AGRITEK VOL. 17 NO. 6 NOPEMBER 2009
pohon pada lokasi penelitian berkisar 801.150 pohon/ha dan indeks biodiversitas yang berkisar 0,519 – 1,418. Semakin tinggi kerapatan dan nilai keragaman maka semakin mantap komunitas tersebut. Tingkat kerawanan degradasi ekosistem hutan mangrove dinilai berdasarkan nilai skoring dari beberapa sumber teoriteori yang ada dan dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapangan, hasil analisa laboratorium dan hasil analisa data. Kerapatan dan nilai keanekaragaman (indeks biodiversitas) sebagian besar lokasi berada pada tingkat rawan R2 (tinggi).
DAFTAR PUSTAKA Day, J. W., Hall, C.A.S, W.M. Kemp, and A. Yanez-Arancibia. 1989. Estuarine Ecology. John Willey & Sons, New York. Dewanti. R. C. Kusmana, T. Gantini, S. Utaminingsih, Munyati, N. Ismail, Suwargana dan E. Parwati. 1996. Pengembangan Model Aplikasi Pembangunan Data Inderaja Satelit untuk Inventarisasi dan Kerapatan Hutan Bakau. Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S, P., Sitepu, M, J., 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2003. Pokok-Pokok Pikiran Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Wilayah Pesisir (PWP). Jakarta. Djohan, T. S. 2007. Mangrove Succesion In Segara Anakan, Cilacap. Jurnal Berkala Ilmiah Biologi (6) 1 : 5362. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
ISSN. 0852-5426
Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1997. Pedoman Penentuan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI, Jakarta. Eidman, M., Djamaludin, R., Lalamentik, L.T.X., Soeroto, B., 1999. Buku Panduan Lapangan Taman Nasional Bunaken. Balai Taman Nasional Bunaken. Balai Taman Nasional Bunaken. FAO. 1994. Mangrove Forest Management Guidelines. FAO Forestry Paper 117, Rome Noor, Y.R., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor. Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology. W. B. Sandu. Philadelphia. Odum. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono Samingan dari buku Fundamentals of Ecology. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Tomlinson, P. B. 1994. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press. United States of America. Watson, L., and M. J. Dalwitz. 1992. The Families of Flowering Plants : Descriptions, Identifications and Information retrieval : 14th December.
1171