Afiliasi Politik Kiai Nadhlatul Ulama Dalam Pemenangan Pasangan Irsyad-Gagah Pada Pilkada Kabupaten Pasuruan 2013 Lucky Dhandy Yudha Kusuma Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pola interaksi Kiai Nahdlatul Ulama (NU) dengan warga nahdliyin, pola interaksi politik Kiai NU dengan DPC PKB Kabupaten Pasuruan serta hal yang melatarbelakangi Afiliasi Kiai NU dengan pasangan calon Irsyad Yusuf dan Riang Kulup Prayuda pada Pilkada Kabupaten Pasuruan tahun 2013. Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti menggunakan teori patronase dan konsep elite agama dalam konteks politik untuk menganalisis. Penelitian ini bersifat deskriptif, menganalisa data yang diperoleh melalui wawancara dan dokumen. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa hubungan warga nahdliyin dengan Kiai masih bersifat patron-klien yang kuat. Kiai merupakan elit NU yang memiliki kekuasaan hierarkis atas masyarakat dan santri, keduanya memiliki hubungan patron-klien. Kdua hubungan politis Kiai dan PKB terbentuk sebagai konsekuensi kesadaran kritis kiai dalam menanggapi dinamika politik dan menjadikan PKB sebagai aspirasi politiknya. Hal ini juga didukung Khittah 26 yang membebaskan kiai dalam menentukan arah politiknya. Kiai tidak dapat memenuhi kepentingannya tanpa menjalin komunikasi dengan elit lain yang memiliki akses politik. Ketiga terdapat 5 faktor yang melatarbelakangi kiai NU dalam berafiliasi dengan pasangan Irsyad-Gagah. Pertama, kedua pasngan tadi dianggap paling mewakili kultur Nahdlatul Ulama. Kedua, terakomodasinya visi-misi dakwah dan pendidikan Nahdlatul Ulama dalam visi-misi pasangan ini. Ketiga, adalah kedua pasangan tadi merupakan tokoh yang sangat terkenal di domisilinya masing-masing. Keempat, elektabilitas IrsyadGagah yang dinilai relatif bersih dibandingkan dengan calon lainnya. Faktor yang terakhir adalah faktor trah darah biru dari seorang Yusuf Irsyad. Keterlibatan Kiai NU dalam tim pemenangan Irsyad-Gagah adalah bersifat pribadi dan bukan sikap instisusi (NU) Kata Kunci : Kiai, Nahdlatul Ulama, Afiliasi, Kepentingan Politik, Pemilihan Kepala Daerah Pendahuluan Pertama kali Kiai NU terjun pada politik praktis pada saat Nahdlatul Ulama menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955 sabagai salah satu partai peserta pemilu. Setelah reformasi 1998, berawal dari usulan warga NU, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Bukan tanpa alasan, sebagian besar Kiai beranggapan perlunya partisipasi politik di luar NU. Hal tersebut yang mengilhami berdirinya beberapa partai Islam baru berbasis NU yakni Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh KH. Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999. Sebagian
besar Kiai Nahdlatul Ulama dan warga nahdliyin masih menganggap PKB lah yang paling merepresentasikan NU. Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Bojonegoro menjadi pilkada yang mendapat perhatian banyak pihak pada akhir tahun 2007 karena keterlibatan Kiai Nahdlatul Ulama dalam pilkada ini. Pilkada ini diikuti oleh 3 pasang calon yakni; ThalhahTamam Syaifuddin (TAHTA), SOWAN (M. Santoso-Irawanto) dan TOTO (Suyoto-Setyo Hartono). Pasangan TAHTA yang diusung oleh Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memang diprediksi bakal tampil sebagai jawara. Dua partai tersebut memiliki basis massa cukup kuat di Bojonegoro, TAHTA juga memperoleh dukungan tokoh-tokoh dan Kiai NU dari tingkat nasional, ada nama KH Hasyim Muzadi (ketua umum PBNU) dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sedangkan dari lokal, ada sederet nama kiai pengasuh pesantren-pesantren besar di Bojonegoro. Foto pasangan ini berlatar belakang lambang NU. Kemungkinan mereka bermaksud menunjukkan bahwa mereka adalah wakil dari institusi NU.1 SOWAN (M. Santoso-Irawanto), mereka juga menampilkan dukungan dari nama besar lokal, salah satunya KH Abdullah Faqih (pengasuh Ponpes Langitan, Tuban) dan KH Maemun Zuber (pengasuh salah satu pesantren di Rembang, Jawa Tengah), mereka memang juga memiliki bassis masa dari kalangan kiai dan pesantren karena latar belakang mereka adalah orang-orang Ponpes. Pasangan TOTO (Suyoto-Setyo Hartono) adalah pasangan ini diusung oleh partaipartai kecil seperti PAN, PPP, dan PNBK. Partai-partai yang disebutkan barusan memang tidak memiliki bassis massa sebesar koalisi Partai Golkar-PKB. Suyoto sendiri adalah orang Bojonegoro asli dan anggota DPRD Provinsi Jawa Timur, dia juga dipercaya sebagai orang nomor satu di PAN Jawa Timur. Partai PAN yang memang sebagian besar basis massanya dari kalangan Muhammadiyah. Namun Suyoto meyakinkan publik bahwa dia juga keluarga besar NU. Pertama, dia meyakinkan publik bahwa dirinya merupakan alumnus salah satu pesantren NU di Bojonegoro. Di koran lokal, jati diri istrinya dibeber ke masyarakat. Yakni, sebagai anak salah satu tokoh NU, mantan aktivis PMII, serta pernah tinggal belajar bersama dengan Muhaimin Iskandar (ketum PKB) di kompleks Ponpes Denayar, Jombang.2 Secara mengejutkan pasangan TOTO keluar sebagai kampiun. Masyarakat banyak yang tidak menduga dengan kemenangan pasangan Suyoto-Setyo Hartono (TOTO). Pilkada Kabupaten Tuban juga mencatatkan hal yang sama dimana bupati terpilihnya juga kader NU, Pasangan Fathul Huda-Noor Nahar Hussein (Huda Noor) memenangi Pilkada Kabupaten Tuban, Jawa Timur, periode 2011-2016. Seperti yang di prediksi berbagai kalangan, bahwa Pilkada Tuban 2011 hanya akan ada 2 pasang calon yang memperoleh suara signifikan. Tetapi perolehan suara pasangan Huda Noor yang lebih dari 50% diluar prediksi para pengamat politik di Tuban. Akhmad Zaini, NU dan Pilkada Bojonegoro, sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=316783, http://gazali.wordpress.com/2007/12/12/nu-dan-pilkada-bojonegoro/ diakses tanggal 10 Juni 2013 18.52 WIB 2 Ali Shahab, Perilaku Memilih Masyarakat Bojonegoro dalam Pilkada “Kenapa Harus TOTO ?” , http://alisahab09fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-41929-UmumPerilaku%20Memilih%20Masyarakat%20Bojonegoro%20dalam%20Pilkada%20%E2%80%9CKenapa%20Harus %20TOTO%20%E2%80%9D%20%20%20.html diakses tanggal 6 Juni 2013 15.32 WIB 1
Pilkada Sumenep juga mencatatkan hal yang sama, Pasangan Cabup-Cawabup yang diusung PDI Perjuangan dan PKB, A. Busyro Karim-Soengkono Sidik (Abussidik) akhirnya tampil sebagai pemenang KH A. Busyro Karim merupakan figur kiai dan tokoh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sedangkan lawan terberatnya, Azasi Hasan, figur calon bupati dari kalangan prefesional yakni perbankan. Kemenangan kubu Abussidik pada putaran kedua memang tidak terlepas dari kekuatan PKB yang lebih solid. Selain itu, kekuatan kultur Nahdhatul Ulama (NU) juga memberikan keuntungan. Tokoh Kiai NU, pesantren, dan kaum muda NU mendukung Kiai Busyro.3 Puluhan pengurus dan Kiai Nahdlatul Ulama (NU) Sumenep, Madura, Jawa Timur, menjadi tim sukses bakal calon bupati yang akan maju pada pemilu kepala daerah Sumenep tersebut. Di level provinsi Jawa Timur, nama-nama calon yang bertarung pada pilgub Jawa Timur masih saja dikaitkan dengan Nahdlatul Ulama (NU). Pasangan Soekarwo-Saifulah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa punya basis massa yang kuat karena mereka adalah kader NU dan Jawa Timur merupakan basis terbesar NU di nusantara. Keduanya bertarung sengit dalam Pilgub Jatim 2008 lalu dimana pemenangnya ditentukan lewat pemungutan suara ulang di Madura. Sebelumnya Pasangan KarSa sempat ngos-ngosan dan kalah tipis pada perhitungan quick qount hingga akhirnya dinyatakan menang setelah perhitungan suara putaran ketiga tersebut. Gambaran diatas memperlihatkan masih terlibatnya sosok Kiai-Kiai NU ke dalam arena politik praktis pasca Khittah. Pilkada Kabuaten Pasuruan yang berlangsung pada 3 Maret 2013 lalu akan menjadi pembahasan yang menarik seputar keterlibatan Kiai NU dalam Pilkada sebab Kemenangan Pasangan Irsyad-Gagah diwarnai dengan pergeseran perilaku kultural Kiai NU ke arah politik praktis. Sebelumnya, KPU Kab. Pasuruan merilis 6 pasangan calon Bupati periode 20132018. Enam pasangan bakal calon tersebut adalah Eddy Paripurna-Bambang Pudjiono (DIBA’), Udik Djanuantoro dan Joko Cahyono (DIKJOYO), Anwar Sadad dan Dade Angga (ANDA), Irsyad Yusuf dan Riang Kulup Prayuda (IRSYAD-GAGAH), Muzamil Syafi’i dan Juraida (MUJUR), Kelana Aprilianto dan Agus Asyari (BERKELAS). Dari nama-nama di atas tercatat ada tiga kader NU yang menjadi calon yakni, Irsyad Yusuf, Anwar Sadad, dan Muzamil Syafi’i. Para Kiai NU akan mengarahkan suara mereka kepada satu suara agar suara warga nahdliyin tidak terpecah, Irsyad Yusuf menjadi kader terbaik pilihan Kiai. Namun secara terang-terangan Kiai memobilisasi nahdliyin dalam mendukung Gus Irsyad dalam beberapa kesempatan kampanye. Pasangan nomor urut pertama diisi oleh Eddy Paripurna dan Bambang Pudjiono (DIBA’), Eddy Paripurna adalah Wakil Bupati Kab. Pasuruan 2008-20013, sedangkan Bambang Pudjiono mantan Kadis Infokom Pemkab Pasuruan. Pasangan ini diusung PDIP dan PAN, selain itu juga didukung 16 partai non-parlemen. Pasangan kedua Udik Djanuantoro dan Joko Cahyono (DIKJOYO), Udik Djanuantoro kini menjabat sebagai Arfi Bambani Amri, Kiai Vs Bankir di Putaran II Pilkada Sumenep, Surat Kabar Online Viva News, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/157772-kiai-vs-bankir-di-putaran-ii-pilkada-sumenep diakses tanggal 9 Juni 2013 20.30 WIB 3
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan tersebut dipastikan akan menggandeng Joko Cahyono, Ketua Komisi B DPRD yang notabene pernah mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati Pasuruan bersama almarhum Jusbakir Al-Jufri pada pilkada 2008 lalu. Pasangan ini diusung oleh Partai Golkar. Pasangan ketiga Anwar Sadad dan Dade Angga (ANDA), Anwar Sadad adalah anggota DPRD Jawa Timur, sedangkan Dade Angga adalah Bupati Pasuruan yang sudah menjabat 2 kali yakni periode 1998-2003 dan 2008-20013, kali ini Dade mencalonkan lagi tapi sebagai Wakil Bupati. Pasangan ini diusung partai PKNU,Hanura dan PKS. Pasangan keempat Irsyad Yusuf dan Riang Kulup Prayuda (IRSYAD-GAGAH), Gus Irsyad (sapaan Irsyad Yusuf) adalah Ketua DPC PKB Kabupaten Pasuruan, dia juga adik kandung Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf, sedangkan Riang Kulup Prayuda atau lebih akrab disapa Gagah adalah Ketua Koperasi Usaha Tani Ternak (KUTT) Suka Makmur Grati, Kab. Pasuruan dan lebih dikenal sebagai pengusaha. Pasangan ini diusung oleh Partai Demokrat dan PKB. Pasangan kelima Muzamil Syafi’i dan Juraida (MUJUR), Muzamil Syafi’i adalah mantan Wakil Bupati Kab. Pasuruan periode 2003-2008, sedangkan pasangannya Juraida lebih dikenal sebagai seorang bidan. Pasangan ini mendaftar di KPU lewat jalur independen. Pasangan terakhir Kelana Aprilianto dan Agus Asyari (BERKELAS), Kelana lebih dikenal masyarakat sebagai pengusaha dari Kota Pasuruan, sedangkan Agus Asyari adalah anggota DPRD Kab. Pasuruan. Pasangan ini diusung oleh Partai Gerindra dan PPP. Latar belakang Pasangan calon Bupati Pasuruan periode 20013-2018 ini cukup menarik, sebab Kab. Pasuruan yang terkenal dengan pondok pesantren, kiai, dan ulama ini sejak awal diprediksi bakal mengunggulkan calon berlatar belakang orang pondok seperti Gus Irsyad sebagai calon terkuat dibanding Anwar Sadad dan Muzamil. Gus Irsyad juga orang nomor satu di PKB Kab. Pasuruan. Prediksi bakal terjadinya politis praktis Kiai NU mengiringi pencalonan Gus Irsyad. Gus Irsyad juga bakal mendompleng nama besar kakak kandungnya Syaifullah Yusuf sebagai usaha mendapatkan dukungan suara. Diluar anggapan tersebut muncul pertanyaan mengapa Kiai NU lebih mendukung nama Gus Irsyad darpada dua nama calon lainnya yang juga berlatar belakang orang NU, Anwar Sadad, dan Muzamil Syafi’i. Teori Patronase Istilah patronase dalam istilah ilmu-ilmu sosial lebih banyak dikaitkan dengan birokrasi patrimonial. Dalam birokrasi patrimonial ini serupa dengan lembaga perkawulan, dimana patron adalah gusti atau juragan dan klien adalah kawula. Hubungan antara gusti dan kawula tersebut bersifat ikatan pribadi, implisit dianggap mengikat seluruh hidup, seumur hidup, dengan loyalitas primordial sebagai dasar tali perhubungan.4 Menurut Keith R. Legg, konsep hubungan tuan-hamba yang dasarnya merupakan salah satu bidang studi pada disiplin ilmu antropologi. Kemudaian konsep tersebut dipinjam oleh studi ilmu politik. Inti konsep tersebut pada umumya diterima untuk digunakan dengan ilmu politik antara lain karena pihak peminjam dapat menyadap dari saluran yang sama. Misalnya hasilo kajian ilmu antropologi mengenai masyarakat petani kecil. Di dalam sistem politik yang sudah maju, tautan tuan-hamba disamakan dengan pengampuan oleh partai (party patronage), yang ditafsirkan hanya sebagai suatu tahap Dorodjatun Kuntjorojakti. The Political Economy of Development: The Case Study of Indonesia under the New Order Government, unpublished Ph.D. thesis, University of California, Berkelet. 1978. Hlm.6 4
perkembangan partai atau konsep tersebut digolongkan ke dalam paradigma yang sudah ada.5 Keith R. Legg menambahkan, hubungan tuan-hamba dalam ilmu poilitik merupakan salah satu bentuk hubungan antara dua orang atau hubungan tuan hamba berkenaan dengan: (1) Hubungan pelaku atau perangkat yang menguasai sumber daya yang tidak sama. Sumber daya yang dimaksud adalah seperti kekayaan, kedudukan, ilmu pengetahuan, atau pengaruh-pengaruh pihak yang terlibat dalam hubungan tuan hamba. (2) Hubungan yang bersifat khusus (particularistic), hubungan pribadi dan sedikit banyak mengandung kemesraan (affectivity), atau hubungan yang pribadi (personalized relationship). Hal-hal tersebut dianggapsebagai syarat utama bagi terjadinya tautan tuanhamba di dlaam kepustakaan tentang tautan tyuan-hamba. Menurut Lande, intisari unsur kemesraan mengenai tautan tuan-hamba adalah “pihak tuan memperlihatkan perhatian yang hampir-hampir seperti orang tua dan tanggap pada kebutuhan pihak hamba, dan pihak hamba memperlihatkan kesetiaan seseorang anak kepada sang tuan. (3) hubungan yang berdasarkan saling menguntungkan dan saling memberi dan menerima. Pihak tuan sesuai dengan sifat dasarnya akanselalu lebih banyak menguasai sumber daya yang dapat dipertukarkan dariapada pihak hamba.6 Kiai memiliki pengaruh lintas desa, sebagian memiliki pengaruh yang sifatnya nasional. Rasa hormat masyarakat terhadap kiai sebenarnya diperkuat oleh budaya Islam masyarakat di Jawa. Terdapat hubungan yang tidak seimbang antara Kiai sebagai patron, dan Santri sebagai Klien. 7 Pola Interaksi Warga Nahdliyin dengan Kiai NU Kiai dalam konteks kekuasaan adalah sebagai elite dalam Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama adalah institusi, maka Pondok pesantren adalah institusi pendidikan yang berada dibawah pimpinan seorang santri senior dan Kiai. Pesanteren merupakan bagian penting dari kiai untuk mengembangkan dan melestarikan ajaran, tradisi dan pengaruhnya di masyarakat. Masyarakat yang memakai ajaran produk dari Nahdlatul Ulama disebut warga nahdliyin. Warga nahdliyin menjadi besar sebab berkembang pesatnya pesantren di Jawa Timur, maka santri dan anggota keluarganya hingga turun temurun memakai ajaran yang sama itulah cikal bakal besarnya entitas kekeluargaan warga nahdliyin. Eksistensi NU terhadap warga nahdlyin juga tidak lepas dari “jama’ah tradisional” yang saat itu NU berhadapan dengan gerakan pembaharuan fundamental islam, Muhammadiyah dan Persis misalnya. Karakteristik santri kejawen inilah yang menghadirkan representasi NU dalam sebagian besar masyarakat Jawa Timur secara tidak langsung. Secara tidak langsung mereka menganggap NU terutama kiai NU sebagai panutan dalam menjaga ortodoksi tradisional. Posisi Kiai sebagai elite informal dan tokoh agamis masyarakat secara tidak langsung dipatuhi masyarakat terutama santri-nya baik pengaruh keagamaan dan politisnya. Kiai sebagai center class mempunyai “self development” yang tinggi sehingga Keith R. Legg. Tuan, Hamba, dan Politisi , terjemahan oleh Affab Gaffar, Sinar Harapan, Jakarta. 1993. Hlm.8-9 Ibid. Hlm.9-10 7 Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKiS, Yogyakarta. 2004. Hlm.246 5 6
memiliki peran, fungsi dan prestasi tinggi dalam masyarakat. Jawa Timur yang memiliki basis masa dari warga nahdliyin masih memiliki kepercayaan terhadap partai berbasis NU karena kuatnya entitas kekeluargaan warga nahdliyin yang kuat. Hal diatas diperkuat dari pernyataan teori Patronase diamana dijelaskan masyarakat tradisional jawa masih sangat erat dengan tradisi pesantren. Hubungan antara Kiai dengan santri dan warganya dalam bentuk patron-klien. Kiai memiliki pengaruh yang besar terhadap santri dan warganya, kiai dianggap memiliki ilmu yang tinggi, memiliki kewibawaan, sehingga terjadi kepatuhan santri dan warga terhadap sosok kiai. Pelajaran dan pendidikan yang diberikan kyai berbagai ilmu pengetahuan dan pengajaran, terutama pelajaran agama Islam dan kebutuhan hidup, sedangkan para santri dituntut untuk taat pada ajaran-ajaran kyai sebagai bentuk imbalan. Nilai-nilai tersebut mempengaruhi perilaku para kyai dan santri dalam berpolitik. Dalam dinamika sosial dewasa ini, kiai tidak lagi dimaknai sebagai orang yang berkecimpung di bidang keagamaan saja, namun tugas kiai bertambah menjadi melakukan kontrol terhadap masyarakat, menata kehidupan sosial, dan agen perubahan. Peran Kiai mulai bergeser dan meluas ketika mereka merambah ke wilayah politik dengan ikut berperan dalam kegiatan politik praktis.8 Nahdlatul Ulama dengan Kiai nya saat ini berkembang menjadi salah satu episentrum yang strategis dalam proses dinamika politik terutama dalam mobilisasi massa. Hal ini dikarenakan NU sendiri bertumpu kepada kultur tradisi patronase. Nilai-nilai yang terdapat di pondok pesantren mengandung tiga unsur yang mengarah pada terbentuknya hubungan patron klien antara kyai dan santri, yaitu yang pertama, hubungan patron klien mendasarkan diri pada pertukaran yang tidak seimbang yang mencerminkan perbedaan status. Seorang klien, dalam hal ini santri telah menerima banyak jasa dari patron dalam hal ini kyai, sehingga klien terikat dan tergantung pada patron. Yang kedua, hubungan patron klien bersifat personal. Pola resiprositas yang personal antara kyai dan santri menciptakan rasa kepercayaan dan ketergantungan di dalam mekanisme hubungan tersebut. Hal ini dapat dilihat pada budaya penghormatan santri ke kyai yang cenderung bersifat individu. Yang ketiga, hubungan patron tersebar menyeluruh, fleksibel dan tanpa batas kurun waktunya. Hal ini dimungkinkan karena sosialisasi nilai ketika menjadi santri berjalan bertahun-tahun. Suatu bentuk nilai yang senantiasa dipegang teguh santri, misalnya tidak adanya keberanian santri berdebat soal apa pun dengan kyai atau membantahnya karena bisa kualat dan ilmunya tidak bermanfaat. Suatu kutukan dirasa berat, bila sampai dilontarkan kyai kepada santri9 Pola Interaksi Politis Kiai NU dengan DPC PKB Kabupaten Pasuruan Melihat sisi historis NU sebelum kembali ke khittah 1926, NU adalah organisasi sosial keagamaan yang menjalankan trilogi fungsional sosial dalam masyarakat (sosial-politik, sosial-kultural, dan sosial-ekonomi). Berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak bisa terlepas dari campur tangan kiai-kiai NU yang tersebar hampir di semua daerah dan merupakan konsekuensi logis terhadap suka duka perjalanan politik NU dalam Greg Fealy. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama, 1952-1967, terjemahan Bahasa Indonesia), LKiS, Yogyakarta. 2003. Hlm.69 9 Abdurrahman Mas’ud. “Intelektual pesantren : perhelatan agama dan tradisi”, LKiS. Jogjakarta. 2004. Hlm.84 8
sejarahnya. Berdasarkan semangat khittah 1926, posisi NU tetap sebagai organisasi sosial keagamaan. Namun NU merasa masih membutuhkan suatu wadah untuk menampung aspirasi politik para kiai dan warga nahdliyin. Keputusan Muktamar ke-30 NU di Lirboyo, Kediri pada tahun 1999 menjadi tonggak bagi warga NU untuk membentuk partai politik baru. Keputusan Muktamar ke-30 itu mempertegas bahwa warga NU tetap dianjurkan untuk menggunakan hak politiknya secara bebas, kritis dan rasional sesuai dengan kultur dan aspirasi politik masing-masing, tetap tetap memegang prinsip khittah 1926 dan sembilan pedoman berpolitik NU yang diputuskan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta.10 Sejak Gus Dur membentuk PKB, terjadi gelombang euforia besar-besaran dari Ulama dan Kiai-kiai berbondong-bondong hijrah ke PKB. Hal tersebut juga dibuktikan dengan perolehan suara yang tinggi di pemilu 1999 dan menjadikan Ketua PBNU sekaligus pendiri PKB, Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Euforia reformasi tidak hanya membuat pengurus NU berpaling ke PKB, paling tidak ada beberapa Kiai NU yang lebih memilih untuk mendirikan partai sendiri selain Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yakni Partai Kebangkitan Ummat (PKU), dan Partai Nahdlatul Ummat (PNU). Hubungan patronase juga terjadi antara NU dan PKB dimana hubungan tersebuat adalah patron-patron. Patron yang pertama adalah NU, NU memiliki sumberdaya (resources) berupa masa yang begitu besar, Sedangkan patron lainnya, PKB memang sama-sama memiliki massa yakni simpatisan dan warga nahdliyin, namun sumberdaya terbesar yang dapat ditukarkan dengan kiai NU adalah akses politik, saluran aspirasi politik bagi warga nahdliyin. Akses ini lah yang dibutuhkan NU untuk mempengaruhi kebijakan penguasa. Tanpa akses ini, NU dan warga nahdliyim akan kesulitam untuk memperjuangkan aspirasi politik mereka dimana PKB meyakini visi-misi yang dibawa calon yang diusungnya sama dengan apa yang diharapkan oleh kiai NU dan warga nahdliyin. Latar Belakang Afiliasi Kiai NU dengan Pasangan Irsyad-Gagah Kronologi keterlibatan Kiai dalam menjadi Tim Pemenangan Irsyad-Gagah dimulai dengan bergabungnya pengurus-pengurus harian PCNU Kabupaten Pasuruan untuk memberikan saran solutif kepada partai yang awalnya memang ingin mengusung beberapa calon bupati dari kalangan NU. Sebut saja ada Gus Irsyad, Gus Mujib, Muzamil dan Anwar Saddad. narasumber dari internal NU dan PKB sendiri memang mengatakan bahwa ada rencana dari beberapa pengurus untuk mengawinkan dua orang Kader NU yakni Gus Mujib dan Gus Irsyad menjadi salah satu pasangan calon. Salah satu kiai yang mendukung terwujudnya pasangan ini adalah KH Nawawi Abdul Jalil saat menghadiri Harlah Fatayat di Bangil pada tanggal 15 April 2012. Terdapat lima faktor yang ditemukan oleh peneliti, apa yang membuat pasangan Irsyad-Gagah dinilai oleh kiai mengungguli lima pasang calon lainnya dan akhirnya memilih merapat dan berafiliasi kepada pasangan Irsyad-Gagah.
10
Khoirudin. Menuju Partai Advokasi, Pustaka Tokoh Bangsa, Yogyakarta. 2005. Hlm.4-9
Faktor pertama adalah kedua pasangan calon ini dianggap paling mewakili kultur Nahdlatu Ulama. Menilik loyalitas kedua pasangan ini, Gus Irsyad sebagai warga nahdliyin sejak muda sudah aktif di IPPNU atau Ikatan Pemuda Pemudi Nahdlatul Ulama sebelum tahun 1998. Ketika Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa, Gus Irsyad juga mengikuti langkah Gus Dur untuk terjun di dalamnya. Bersama kakak sulungnya, Syaifullah Yusuf, Gus Irsyad menapaki karir politik yang sejalan dengan kakak kandungnya tersebut. Beranjak di tahun 2004 beliau menjadi anggota DPRD Kabupaten Pasuruan. Di tahun 2006, Gus Irsyad menjadi Wakil Ketua PC GP Ansor Kabupaten Pauruan selama 4 tahun. Karirnya pun beranjak melejit di tahun 2009 setelah berhasil menjadi Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan sekaligus satu tahun kemudian menjadi ketua DPC PKB Kabupaten Pauruan. Hal ini juga didukung oleh nama besar kakaknya yang sudah menjadi wakil gubernur Jawa Timur. Pasangannya, Riang Kulup Prayuda atau lebih dikenal Haji Gagah ini adalah Wakil Bendahara PCNU Kabupaten Pasuruan sejak 2011. Sekaligus menjadi MPC Partai Demokrat Kabupaten Pasuruan setahun kemudian. Kolaborasi NU ini menjadi nilai poin penting, keduanya pun menjadi orang nomor satu di partainya masing-masing. Loyalitas ini didukung dengan komitmen dan tindakan nyata beliau mencoba dapat berafiliasi dengan Kiai-kiai yang tentu saja beliau memberikan visi-misi yang sesuai dengan keinginan warga nahdliyin. Dan mengembalikan Kabupaten Pasuruan kepada kesantriannya atau selama ini dikenal dengan Kota Santri. Kesamaan visi-misi dianggap sebagai faktor kedua yang melatarbelakangi kiai NU berafiliasi dengan pasangan Irsyad-Gagah. Visi-misi yang dibawa pasangan PKBDemokrat inidianggap oleh seluruh narasumber menjadi kunci utama ketersediaan kiai mendukung pasangan Irsyad-Gagah. Tim pemenangan yang dibentuk oleh KH. Shonhaji tersebut diberi nama tim empat (Tim 4 atau lebih mengacu kepada nomor urut pasangan Irsyad-Gagah yakni nomor 4) yang melakukan kegiatan pendekatan terhadap kiai dan santri yang ada di kecamatan-kecamatan. Tim 4 ini bahkan tidak hanya diisi oleh kiai simpatisan PKB namun juga ada Gus Mujib Imron yang notabene adalah kader PPP dan Kiai Muhammad Subadar. Kiai Muhammad Subadar adalah kader terbaik NU yang berkiprah di PAC NU Bangil sekaligus Kiai NU yang menjadi pengasuh Pondok Pesantren Besuk, Kejayan. Faktor ketiga adalah Irsyad dan Gagah menjadi tokoh yang sangat dikenal masyarakat di daerah domisilinya masing-masing, Irsyad terkenal di wilayah selatan yakni Purwosari dan Gagah terkenal di wilayah timur yakni Nguling. Gagah juga dikenal sebagai pengusaha susu dan menjadi sekretaris pusat koperasi industri susu sakar tanjung Purwosari. Terbukti, di daerah masing-masing mereka meraup suara yang signifikan. Faktor keempat adalah elektabilitas Irsyad-Gagah, keduanya relatif bersih, bisa dibilang tidak ada masalah hukum yang pernah menghampiri keduanya. Dari faktor ini, pasangan ini unggul karena di calon lain ada yang pernah terlibat kasus hukum.
Faktor kelima adalah yang paling utama, secara psikologis memang sosok Gus Irsyad menjadi daya tarik tersendiri mengingat nasabh beliau. Sekadar untuk diketahui, dalam tubuh Irsyad mengalir trah darah biru kiai besar organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini. Nenenk Syaifullah Yusuf dan Irsyad Yusuf adalah Nyai Hj Muasshomah, yaiutu saudara kandung Nyai Hj Sholihah yang tak lain adalah ibu kandung Alm. KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal Gus Dur. Keduanya adalah putri KH. Bisri Syansuri Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Maarif, Denanyar, Jombang. Faktor trah darah biru ini menjadi dominan dan penting bagi tingkat keterpilihan Irsyad, karena mayoritas masyarakat Kabupaten Pasuruan adalah warga nahdliyin. Sehingga hal itu menjadi pertimbangan cukup mendasar bagi para Kiai dan pengurus NU untuk mendukungnya. Hubungan yang terjalin antara Gus Irsyad dan Kiai NU memang sudah terjalin sejak lama bahkan sebelum Gus Irsyad lahir, ayahnya adalah seorang kiai yang disegani di Pasuruan. hal ini menimbulkan ikatan emosional yang cukup erat dengan warga nahdliyin. Gerakan politik yang dilakukan sejumlah kiai NU untuk menyukseskan PKB sifatnya tradisional dan konservatif, dalam hal ini mereka memanfaatkan kelompokkelompok pengajian warga nahdliyin yang tersebar dalam kecamatan. Namun seluruh Narasumber menolak apabila gerakan dukung-mendukung ini adalah membawa nama institusi NU. Walaupun jelas pengurus-pengurus PCNU menjadi pendukung dan tim sukses, namun hal ini lebih bersifat pribadi atau personal. Gerakan ini adalah bersifat pribadi dan bukan sikap institusi. Kesimpulan Terjadinya politik praktis Kiai berimplikasi kepada komitmen dan kesadaran kritis kiai dalam menyikapi kepentingan kemaslahatan warga nahdliyin menjadi alasan utama kiai untuk terjun ke arena politik. Peran kiai sebagai center class, elit informal dan tokoh agamis ini dapat mempengaruhi pola pikir komunitasnya. Hal ini dikarenakan pola interaksi tradisional yang tercipata antara Kiai Nahdlatul Ulama dan warga nahdliyin yakni patron-klien masih sangat kuat dijumpai di Kabupaten Pasuruan. Kiai dianggap memiliki ilmu yang tinggi, berkarismatik, berwibawa, dan figur seorang guru besar yang telah berjasa mendidik para pengikutnya, baik santri atau warga, hal tersebut membuat santri dan warga nahdlyin percaya bahwasanya pilihan kiai merupakan yang terbaik, kepatuhan kepada kiai juga dianggap sebagai konsekuensi dari apa yang telah mereka terima dari seorang kiai. Kiai memiliki peran sosio-kultural dan sosio politis, dimana dalam kegiatan politik, kiai memiliki sumberdaya politik berbasis tradisional yakni kekuasaan hierarki atas masyarakat (santri dan warga nahdliyin). Hal ini yang menjadikan kiai sebagai episentrum yang strategis dalam dinamika politik dalam hal mobilisasi massa. Hubungan Kiai NU dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan hubungan antara patron, dan elit. Berafiliasinya kiai ke dalam tubuh partai ini dianggap sebagai pemenuhan hak politik setiap warga negara. Hal ini didukung oleh Khittah 26 dimana sangat menjunjung tinggi hak politik kadernya. Jadi, Khittah sendiri tidak melarang kiai NU berpolitik, atau berafiliasi kepada partai politik selagi itu adalah bersifat pribadi bukan sikap institusi (NU). PKB sendiri sejauh ini berhasil mempertahankan eksistensinya dan menjadi satu-satunya partai yang mingidentifikasi diri sebagai partainya
NU atau warga nahdliyin. Banyak sekali dijumpai Kiai NU juga menjadi pengurus di PKB, sebagian besar kiai yang menginginkan terjun ke arena politik menganggap PKB-lah partai yang sesuai dengan ideologi NU, walaupun tidak dipungkiri banyak juga kiai yang memilih singgah di partai lain atau membuat partai sendiri. Namun PKB sebagai partai yang mengusung Irsyad Yusuf sebagai calon ini masih menjadi pilihan mayoritas kiai di Kabupaten Pasuruan. Terdapat 5 faktor yang melatarbelakangi berafiliasinya kiai NU mendukung pasangan Irsyad-Gagah yang diusung PKB-Demokrat. Pertama, kedua pasngan tadi dianggap paling mewakili kultur Nahdlatul Ulama, keduanya adalah kader NU dan besar di NU. Kedua, adalah terakomodasinya visi-misi dakwah dan pendidikan Nahdlatul Ulama dalam visi-misi pasangan ini, apa yang ingin dicapai kiai adalah kemaslahatn umat yang sempat dianggap terabaikan oleh bupati sebelumnya yang bukan seorang kader NU. Ketiga, adalah kedua pasangan tadi merupakan tokoh yang sangat terkenal di daerahnya atau domisilinya masing-masing. Hal ini dibuktikan dengan dominannya suara IrsyadGagah di daerah domisili mereka. Keempat, elektabilitas Irsyad-Gagah yang dinilai relatif bersih dibandingkan dengan calon lainnya, hal ini dibuktikan tidak adanya permasalahan hukum saat Irsyad menjadi Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan. Faktor yang terakhir adalah faktor trah darah biru dari seorang Yusuf Irsyad. Yusuf Irsyad yang keturunan seorang kiai ternama di Kabupaten Pasuruan memiliki ikatan darah langsung dengan pendiri NU dan KH. Abdurrahman Wahid. Faktor Nasabh inilah yang masih dinilai penting di daerah Kabupaten Pasuruan. Masyarakat dengan kultur patron-klien masih menganggap penting hubungan darah seorang kiai bahkan anak seorang kiai sekali. DAFTAR PUSTAKA Fealy, Greg. (2003), Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama, 1952-1967, terjemahan Bahasa Indonesia), LkiS, Yogyakarta. Khoirudin. (2005), Menuju Partai Advokasi. Pustaka Tokoh Bangsa, Yogyakarta. Kuntjorojakti, Dorodjatun. (1978), The Political Economy of Development: The Case Study of Indonesia under the New Order Government, unpublished Ph.D. thesis, University of California, Berkelet. Legg, Keith R. (1993), Tuan, Hamba, dan Politisi, terjemahan oleh Affab Gaffar, Sinar Harapan, Jakarta. Mas’ud, Abdurrahman. (2004), Intelektual pesantren : perhelatan agama dan tradisi, LkiS, Jogjakarta. Turmudi, Endang. (2004), Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LkiS, Yogyakarta. NU
dan Pilkada Bojonegoro [diakses tanggal 10 Juni http://gazali.wordpress.com/2007/12/12/nu-dan-pilkada-bojonegoro.
2013]
Perilaku Memilih Masyarakat Bojonegoro Dalam Pilkada [diakses 6 Juni 2013] http://alisahab09-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-41929-UmumPerilaku%20Memilih%20Masyarakat%20Bojonegoro%20dalam%20Pilkada%20 %E2%80%9CKenapa%20Harus%20TOTO%20%E2%80%9D%20%20%20. Kiai vs Bankir di Putaran II Pilkada Sumenep [diakses 9 Juni 2013] http://nasional.news.viva.co.id/news/read/157772-kiai-vs-bankir-di-putaran-iipilkada-sumenep. Pengurus NU Sumenep Diduga Jadi Tim Sukses [diakses 9 Juni 2013] http://softwarepilkada.com/component/content/article/57-pilkada/245-pengurus-nu-sumenepdiduga-jadi-tim-sukses.