Editorial
Advokasi sebagai Usaha untuk Membangun Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Masyarakat
Endang Basuki,* Hadi S. Topobroto** *Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas **Masyarakat Peduli Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan Kerja (MPK2LK) Society for Occupational Safety, Health and Work Environment (SOSHWE)
Pendahuluan Tujuan pembangunan adalah mensejahterakan rakyat, termasuk di dalamnya pekerja. Ancaman terhadap menurunnya kesejahteraan terutama yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan pekerja perlu menjadi perhatian berbagai pihak. Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan tugas dan tanggungjawab semua sektor, baik sektor kesehatan, industri, pertanian, pertambangan dan sebagainya. Penerapan K3 di industri skala kecil-menengah masih jauh dari memuaskan, sementara itu penerapan K3 di industri skala besar atau di instansi pemerintah masih perlu perbaikan. Hal ini ditunjukkan oleh masih tingginya angka kecelakaan kerja. Delapan orang pekerja setiap hari meninggal dunia karena kecelakaan kerja dan 36 orang setiap hari mengalami cacat yang disebabkan oleh kecelakaan kerja. Penyakit akibat kerja juga merupakan ancaman. Sebagai contoh, penelitian pada 114 petugas kesehatan di 10 puskesmas DKI Jakarta menunjukkan sekitar 84% di antaranya pernah tertusuk jarum bekas. Ditemukan prevalensi HBsAg positif sebesar 12,5% pada kelompok dokter gigi dan 13,3% pada petugas laboratorium, padahal prevalensi pada petugas kesehatan umumnya sekitar 4%.1
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 3, Mei 2007
Belum semua instansi/perusahaan memberikan perlindungan yang menjamin terlaksananya K3. Kalaupun ada, tampaknya belum ada usaha yang optimal dalam melakukan peningkatan pemahaman pekerja tentang K3 sehingga mereka dapat menerapkan prinsip K3 dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari. Hanya 16,7% petugas kesehatan mempunyai pengetahuan yang baik tentang kewaspadaan universal, dan tingkat kepatuhan petugas dalam menerapkan kewaspadaan universal pada setiap tindakan hanya sebesar 18,3%.1 Penelitian di pabrik plywood di Jawa Barat menunjukkan bahwa 57% supervisor tidak secara rutin mengontrol penggunaan alat pelindung diri oleh pegawainya. Ketersediaan alat pelindung diri juga sering tidak dimonitor dengan baik. Sekitar 86% pekerja merasa belum pernah mendapat penyuluhan tentang pentingnya menggunakan alat pelindung diri terhadap bising. Penelitian juga menunjukkan bahwa 77,27% pekerja tidak pernah menggunakan alat pelindung telinga.2 Kenyataan tersebut tentunya sangat jauh berbeda dengan jiwa dan tujuan kebijakan serta peraturan perundangan keselamatan dan kesehatan kerja yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) Republik Indonesia.
135
Advokasi Sebagai Usaha untuk Membangun Budaya Keselamatan dan Kesehatan Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja Dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 245/Men/1990 tertanggal 12 Mei 1990, tertulis bahwa 1) Budaya K3 adalah perilaku kinerja, pola asumsi yang mendasari persepsi, pikiran dan perasaan seseorang yang berkaitan dengan K3; 2) Memberdayakan adalah upaya untuk mengembangkan kemandirian yang dilakukan dengan cara menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam bertindak dan memahami suatu permasalahan, dan 3) Pembudayaan adalah upaya/proses memberdayakan pekerja sehingga mereka mengetahui, memahami, bertindak sesuai norma dan aturan serta menjadi panutan atau acuan bagi pekerja lainnya.3 Menjadi pengetahuan kita bersama bahwa struktur masyarakat Indonesia bersifat kompleks. Di samping struktur etnik yang beragam, juga beberapa variabel lainnya ikut menjadi penyebab masalah budaya K3, misalnya masalah pendidikan pekerja, jenis pekerjaan, teknologi yang dipakai, gender dan sebagainya. Otonomi daerah ternyata juga menjadi penyumbang masalah budaya. Makin kerasnya kehidupan, serta kehidupan yang individualistik yang menjadi ciri kehidupan di kota besar akan makin memperbesar masalah yang mendasari budaya K3. Struktur demikian yang bersifat multikompleks, tentunya memerlukan perhatian, bila kita ingin menggerakkan pembudayaan K3 dalam masyarakat Indonesia dengan harapan memperoleh keberhasilan. Agar pelaksanaan K3 dapat berjalan secara optimal dan terarah, Depnakertrans RI telah menetapkan visi K3 secara nasional yaitu menjadikan K3 sebagai kebutuhan masyarakat. Sebagai kelanjutannya ditetapkan program dan kegiatan yang terintegrasi dengan misi Depnakertrans RI yang diemban melalui strategi nasional di bidang K3 yang meliputi: (1) Penyempurnaan peraturan perundangan, standar dan pedoman K3, (2) Peningkatan sumber daya manusia K3 baik internal maupun eksternal, (3) Pengembangan dan pemantauan jejaring informasi baik pada tataran nasional maupun internasional, (4) Pemberdayaan masyarakat dalam pembinaan dan pengawasan K3, (5) Pembentukan sistem informasi dengan menggunakan teknologi informasi yang modern, (6) Peningkatan pelayanan kepada masyarakat menuju pelayanan prima, dan (7) Penegakan hukum. Dalam pelaksanaannya di lapangan, strategi tersebut harus dimasyarakatkan pada semua tingkatan baik pada tingkat Pemerintah Pusat, propinsi, kabupaten melalui instansiinstansi yang bertanggungjawab dalam bidang ketenagakerjaan.3 Berbagai pihak sebenarnya dapat berperan dalam pembudayaan K3 yang pada gilirannya nanti dapat menurunkan angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Sebagai hasil akhir, maka efisiensi perusahaan akan tercapai. Bentuk peranan yang dapat disumbangkan bisa bermacammacam, tetapi pada umumnya untuk dapat mencapai hasil yang optimal diperlukan pemahaman tentang advokasi agar 136
bentuk aktivitas yang dilakukan dapat terencana dan terkoordinir serta terlaksana dengan baik. Tulisan ini berusaha untuk membahas prinsip advokasi, cara melaksanakannya serta relevansinya dengan pembudayaan K3 di Indonesia. Dengan bekal ini diharapkan semua pemerhati K3 dapat berperan lebih baik sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya masing-masing. Kesadaran mengenai pentingnya K3 perlu digugah, ditingkatkan dan bahkan dibudayakan, mengingat keselamatan dan kesehatan kerja merupakan bagian dari hak azasi manusia. Sejalan dengan makin modernnya paradigma pembangunan, di mana hak azasi pekerja perlu dihargai dan dihormati secara proporsionmal, maka kebijakan K3 merupakan hal yang sangat penting diwujudkan dalam mendukung dan menyukseskan pembangunan industri dan pembangunan ketenagakerjaan. Prinsip Advokasi Advokasi adalah suatu kata yang telah digunakan berpuluh-puluh tahun dalam kesehatan dan kedokteran. Manifestasi awal advokasi digambarkan sebagai langkah yang dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga/organisasi untuk mewakili konsumen kesehatan dan pelayanan publik yang kurang beruntung. Beberapa rumah sakit misalnya, mempunyai advokat bagi pasien, yang merupakan cikal bakal pembela hak pasien pada dewasa ini. Sejak 1983, istilah advokasi menjadi salah satu istilah dalam kesehatan masyarakat, dan merupakan salah satu kunci dari Ottawa Charter of Public Health.4 Advokasi adalah suatu alat untuk melaksanakan suatu tindakan (aksi), merupakan ikhtiar politis yang memerlukan perencanaan yang cermat untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Diperlukan langkah-langkah sistematis dengan melibatkan “masyarakat” yang akan diwakili. Penggunaan tanda kutip pada masyarakat, penulis gunakan karena masyarakat di sini bisa bervariasi tergantung siapa yang melakukan advokasi. Masyarakat atau suatu komunitas tertentu suatu saat bisa berperan sebagai advokat, tetapi di lain waktu bisa juga berperan sebagai saluran advokasi itu sendiri, dan pada saat lain bisa berperan sebagai kelompok yang diwakili oleh seseorang dalam melakukan suatu advokasi.5 Dalam contoh kasus flu burung, seorang petugas peternakan yang menyadari penyakit akibat kerja yang dapat diperolehnya, bisa berperan sebagai advokat dengan mewakili teman-temannya sesama pekerja di peternakan. Di lain pihak dia dapat juga berperan sebagai kelompok yang diwakili, bila seorang pemerhati K3 berperan sebagai advokat memperjuangkan nasib pekerja peternakan tersebut. Dalam melakukan advokasi, pemerhati K3 tersebut dapat menggunakan pekerja peternakan sebagai saluran advokasinya atau mungkin dengan menggunakan media lain. Perlu diingat bahwa advokasi merupakan suatu strategi, bukan merupakan tujuan. Setiap advokasi yang dilakukan harus selalu dipertimbangkan dengan cermat tujuannya serta kemudian dievaluasi seberapa jauh sumbangannya terhadap Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 5, Mei 2007
Advokasi Sebagai Usaha untuk Membangun Budaya Keselamatan dan Kesehatan tujuan kesehatan masyarakat yang akan kita atasi permasalahannya. Berarti setiap langkah advokasi harus direncanakan secara rinci dan cermat, sampai akhirnya dicapai tujuan yang diinginkan. Dalam merencanakan program advokasi, pengalaman yang telah dilakukan oleh kelompok lain dalam bidang yang sama atau yang mirip akan sangat berharga. Penelaahan mendalam terhadap berbagai pengalaman yang lalu merupakan keharusan dalam menyusun strategi advokasi. Contoh tujuan kesehatan masyarakat yang dapat diatasi dengan advokasi antara lain: § Mengubah “political will” untuk kepentingan kesehatan masyarakat § Mengubah “social climate” untuk mendukung kesehatan masyarakat § Menerbitkan atau memperbaharui undang-undang atau peraturan § Pelaksanaan undang-undang yang seolah-olah tertidur § Mengubah alokasi sumberdaya serta pendanaan § Mengubah pelaksanaan serta prioritas suatu institusi § Meningkatkan pengawasan pelayanan bagi publik § Mempercepat modifikasi produk.4 Resistensi dari beberapa pihak atau oposisi pasti ada dalam melakukan advokasi. Sebagai contoh pada waktu kasus Buyat mencuat ke permukaan, ada dua kubu yang berhadapan yakni masyarakat Teluk Buyat yang diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat dan oposisinya yakni PT. Newmont. Dua kubu tersebut saling menyerang dan pertentangan tersebut terlihat dengan jelas baik di media cetak maupun media audiovisual. Sementara pada beberapa kasus misalnya pada masalah rokok. atau flu burung pertentangan tersebut tidak terlalu signifikan. Saluran Advokasi Semua ide dapat dikomunikasikan melalui berbagai cara misalnya dengan menulis surat, menelepon, berkunjung, buletin, demonstrasi, laporan di media baik media cetak atau elektronik dan sebagainya.6 Badan legislatif/legislator dapat merupakan saluran apabila tujuan akhir yang diinginkan adalah perbaikan situasi yang memerlukan adanya pemberlakuan undang-undang. Jadi selain dapat berfungsi sebagai sasaran, ia juga dapat berperan sebagai saluran advokasi. Saluran apa yang akan dipakai tentunya bergantung pada lingkup masalah, siapa yang melakukan advokasi, siapa yang diwakili serta siapa yang akan menjadi sasaran advokasi tersebut. Semakin kuat posisi oposisi, tentu dibutuhkan saluran yang bervariasi, yang tentunya membutuhkan dana yang cukup besar. Dibandingkan dengan saluran advokasi lainnya, media merupakan saluran yang sangat efektif dalam advokasi karena media menjangkau lebih banyak sasaran advokasi, dan juga orang-orang atau instansi yang bisa menjadi saluran, bahkan masyarakat yang diwakili. Ada beberapa bentuk pemanfaatan media untuk advokasi, antara lain meMaj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 5, Mei 2007
dia advisory, press release, surat kepada editor, the op-ed, editorial dan memberikan wawancara. Media advisory digunakan untuk mengingatkan atau memberikan informasi kepada media tentang kegiatan yang akan dilaksanakan oleh kita. Media advisory harus ringkas, sederhana, mencakup beberapa hal antara lain: Apa, siapa, kapan, di mana, dan sponsor bila ada. Selain itu yang paling penting harus berisi informasi mengapa kegiatan tersebut sangat penting dan perlu diliput oleh media. Press release berguna untuk menjelaskan suatu kegiatan/isu secara detail. The op-ed merupakan tulisan tentang isu tersebut yang dibuat oleh seseorang, siapa pun, tentunya yang mempunyai kompetensi untuk menulis isu tersebut. Di media nasional biasanya ditulis oleh seseorang yang cukup terkenal di bidang tersebut.6 Tujuan advokasi melalui media bisa mencakup beberapa hal antara lain: 1. Mengemas sebaik-baiknya definisi isu kesehatan yang sedang ditangani, sebagai contoh: mempromosikan bahwa rokok merupakan suatu bahan yang bisa menimbulkan adiksi, bukan merupakan suatu pilihan. 2. Mengemas kembali definisi lainnya tentang isu kesehatan tersebut yang kiranya akan merupakan penghambat program kita 3. Mengenalkan dan menekankan informasi terbaru tentang isu kesehatan tersebut 4. Mengurangi atau menekan jumlah liputan media dari oposisi kita 5. Meningkatkan kredibilitas advokat 6. Menurunkan kredibilitas oposisi kita (misalnya dengan mengingatkan masyarakat terhadap motif komersial dibalik riset yang dibiayai oleh industri rokok).6 Perencanaan Strategik pada Advokasi Kesehatan Masyarakat Semua perencana advokasi perlu untuk secara terusmenerus bertanya kepada dirinya sendiri mengenai tiga hal: 1. Berbekal dengan masalah kesehatan yang ada, apakah kebijakan kesehatan masyarakat yang menjadi tujuan saya? 2. Apakah tujuan advokasi media saya? 3. Bagaimana tujuan advokasi media saya akan dapat memfasilitasi tujuan kebijakan kesehatan masyarakat saya?4 Sedangkan untuk melakukan perencanaan strategik dengan baik ada sembilan pertanyaan penting yang perlu diajukan oleh pembuat perencanaan tersebut. 1. Apakah isu kesehatan yang diangkat tersebut cukup bermakna bagi kesehatan masyarakat? Bagaimanakah dampak isu kesehatan yang ada terhadap kesehatan masyarakat? 137
Advokasi Sebagai Usaha untuk Membangun Budaya Keselamatan dan Kesehatan 2. Apakah tujuan kesehatan masyarakat anda? Nyatakan secara sederhana dan langsung apa yang ingin anda capai dengan melakukan advokasi sebagai jawaban terhadap masalah kesehatan tersebut. Bila advokasi anda berhasil perbedaan apa yang yang akan anda lihat? 3. Kemudian “kemas” tujuan tersebut menjadi tujuan komunikasi yang sederhana. 4. Apakah kekuatan dan kelemahan posisi oposisi anda? 5. Strategi akses dan pengemasan (framing). Inisiatif seperti apa yang dapat menghasilkan liputan yang maksimal (framing for access) serta pencapaian tujuan yang optimal (framing for content)? Lakukan curah pendapat (brainstorming)! Lakukan secara ekstensif, jangan berhenti bila telah menemukan satu atau dua strategi, belakangan anda dapat membuang ide yang kurang cocok. Cari contoh yang mungkin dapat direplikasi. 6. Cari strategi advokasi selain media yang kiranya dapat mempunyai sumbangan terhadap tujuan yang anda inginkan. 7. Pertimbangkan mungkin ada suara atau pendapat dari masyarakat yang dapat dipakai dalam debat tersebut yang tentunya amat penting dalam mengemas kasus anda. 8. Riset epidemiologi dan strategi yang kreatif: Apakah ada fakta, perspektif serta perbandingan yang dapat anda pakai dalam menanggapi oposisi anda? Dari mana kiranya anda dapat memperoleh informasi tersebut?
9. Media bites: Reporter menginginkan komentar dari anda mengenai isu tersebut. Kemas sebuah “media bite” (kirakira 20 kata atau 15 menit) yang kiranya akan mendukung dan menunjukkan tujuan anda. Bila ada waktu buat beberapa.7 Ruang Lingkup Advokasi Ruang lingkup advokasi sangat bervariasi. Bisa bersifat lokal, nasional bahkan internasional. Kasus yang sebenarnya bersifat lokal kadang menjadi kasus nasional karena pada kenyataannya pihak oposisi melibatkan instansi yang bersifat nasional. Sebaliknya kasus yang bersifat nasional, dapat ditarik oleh seorang pemerhati menjadi kasus lokal atau bahkan dalam dimensi yang lebih sempit misalnya ke dalam lingkup instansi. Pada kasus flu burung, setelah ditemukannya beberapa kasus di Indonesia pada 2005 serta ditemukannya virus H5N1 pada populasi unggas di beberapa negara di Eropa, kasus yang tadinya bersifat regional berkembang menjadi kasus internasional. Dampaknya adanya antisipasi alokasi penyediaan dana yang lebih besar dari negara donor serta kesiapan tiap-tiap negara dalam mengantisipasi pandemi flu burung. Peran Advokasi dalam Pembudayaan K3 Tujuan utama pembudayaan K3 adalah penurunan angka kecelakaan serta penyakit akibat kerja. Pembudayaan yang
Tabel 1. Contoh Advokat, Populasi Terwakili, Ruang Lingkup serta Saluran Advokasi yang Digunakan Advokasi
Populasi Terwakili
Sasaran Advokasi
Ruang Lingkup
Saluran Advokasi
Dokter perusahaan
Karyawan sakit/berisiko
Pimpinan perusahaan
Intern perusahaan
Seorang karyawan yang sakit
Karyawan sakit/berisiko
Pimpinan perusahaan
Intern perusahaan
Face-to face Menulis surat Dokter perusahaan Menulis surat
Dokter perusahaan
Karyawan berisiko Karyawan berisiko (penggunaan alat pelindung diri)
Karyawan yang sakit/berisiko di 1 perusahaan LSM
Karyawan berisiko di semua perusahaan yang sejenis
Pimpinan semua perusahaan Nasional sejenis
Legislator MediaDemonstrasi
Karyawan berisiko di semua perusahaan sejenis
Pimpinan semua perusahaan Nasional sejenis
Legislator Depnakertrans Depkes, press release, demonstrasi TheOp-Ed, media advisory,
Serikat pekerja
Karyawan berisiko
Pimpinan perusahaan
Nasional
Depnakertrans Depkes, Legislator
Pemerhati K3
Karyawan berisiko
Depnakertrans Depkes
Nasional
Surat kepada editor, The Op-EdLegislator dan lain sebagainya
Depnakertrans/Depkes
Karyawan berisiko
Pimpinan perusahaan
Nasional/regional
Media advisory, Press release
138
Intern perusahaan
Face to face Buletin Role-play
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 5, Mei 2007
Advokasi Sebagai Usaha untuk Membangun Budaya Keselamatan dan Kesehatan berhasil akan meningkatkan penyediaan alat pelindung diri yang efektif, eliminasi risiko pajanan yang dapat mengakibatkan penyakit, serta penerapan peraturan yang berhubungan dengan perlindungan tenaga kerja oleh perusahaan. Di sisi lain pembudayaan yang berhasil akan meningkatkan penggunaan alat pelindung diri oleh pekerja yang dilaksanakan secara sadar oleh pekerja untuk melindungi dirinya sendiri. Advokasi jelas sangat diperlukan dalam pembudayaan K3. Siapa yang melakukan, mewakili siapa, sasarannya siapa, serta salurannya apa tentunya akan sangat bergantung pada besar masalah, ruang lingkup masalah, serta apa tujuan advokasi tersebut. Pada tabel berikut dapat dilihat contoh advokasi secara umum yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak yang merasa terpanggil membudayakan K3.
langkah-langkah advokasi - bahkan seyogianya - pelatihan advokasi dapat dilakukan oleh instansi terkait misalnya Depnakertrans atau Departemen Kesehatan. Daftar Pustaka 1.
2.
3.
4.
Penutup Untuk membudayakan K3 tampaknya budaya advokasi harus digalakkan, terutama advokasi yang dilakukan oleh dokter perusahaan, serikat pekerja ataupun oleh pekerja yang mempunyai risiko untuk mendapat kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Sudah barang tentu, untuk penerapan K3 peran serta Pimpinan dan Pemilik perusahaan sangat mendasar. Pemerhati K3, baik praktisi K3 maupun unsur dari perguruan tinggi sangat diharapkan partisipasinya memulai kegiatan tersebut. Untuk dapat merencanakan strategi advokasi yang baik dan nantinya diharapkan bisa mendapatkan hasil yang memuaskan, penyebarluasan
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 5, Mei 2007
5.
6. 7.
Hudoyo KS. Hubungan Kewaspadaan Universal Dengan Status HBsAg Petugas Kesehatan Puskesmas Kecamatan di Jakarta Timur. Program Studi Kedokteran Kerja Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta, Indonesia. 2004. Lusiana T. Gangguan Pendengaran Akibat Bising Pada Tenaga Kerja di Perusahaan Plywood PT.X, Jawa Barat. Program Pasca Sarjana Kesehatan dan Keselamatan Kerja Kekhususan Hiperkes Medis, Universitas Indonesia; Jakarta, Indonesia, 1998. Sub. Departemen Kedokteran Okupasi. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI bekerjasama dengan Panitia Lulusan Dokter FKUI 2005. Bahan Pelatihan Dokter Hiperkes Bagi Dokter Lulusan FKUI, Jakarta 8-19 Agustus 2005. Chapman S. Media Advocacy for Public Health. ASEAN Tobacco Control Fellowship Program: First Workshop on Advocacy 1920 Dec 2003, Bangkok, Thailand, 2003. Indonesia-Australia Specialised Training Project Phase III. Advocacy for Health Services Training Manual. Collaboration of Australian Government and State Secretariat Republic of Indonesia, Jakarta 2005. Global Health Advocacy. diunduh dari http://www. globalhealth.org, 15 October 2005. Chapman Simon. Advocacy for Public Health. ASEAN Tobacco Control Fellowship Program: First Workshop on Advocacy 1920 Dec 2003, Bangkok, Thailand, 2003.
RP
139