Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
83
2.������� 2. ������ Dasar Yuridis Alokasi Anggaran Publik untuk Memenuhi �������� �������� ��������� ������� ������ ��������� Hak Anak atas Pendidikan. 1. Undang-Undang Dasar 1945 • Pasal 28 C (1): Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia.137 • Pasal 28E: (1) Setiap orang bebas …memilih pendidikan dan pengajaran,… • Pasal 31: (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya138 (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. 1. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia • Pasal 12: Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia. • Pasal 13: Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa dan umat manusia. • Pasal 48: Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. 139 • Pasal 54: Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, 137 Lihat Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Pasal 13 (1) 138 Lihat DUHAM, Pasal 26 (1) yang menyatakan, Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan. Lihat pula Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pasal 13 (2) 139 Lihat Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Pasal 10
84
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
•
berbangsa dan bernegara. 140 Pasal 60 (1): Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.141
1. UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak • Pasal 9: (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. • Pasal 48: Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. • Pasal 49: Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan • Pasal 50: Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diarahkan pada : a. pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal; b. pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi; c. pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradabanperadaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri; d. persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan e. pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup. • Pasal 51: Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. • Pasal 53: (1) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
140 Lihat pula ketentuan Konvensi Hak Anak, Pasal 23 (1) yang menyatakan, Negara-negara Pihak mengakui bahwa seorang anak yang cacat mental atau cacat fisik harus menikmati kehidupan yang utuh dan layak, dalam keadaan-keadaan yang menjamin martabat, meningkatkan percaya diri dan memberikan fasilitas partisipasi aktif si anak dalam masyarakat. Kemudian ayat 2 menyatakan, Negaranegara Pihak mengakui hak anak cacat atas perawatan khusus dan harus mendorong dan menjamin, dengan tunduk pada sumber-sumber yang tersedia, pemberian kepada anak yang memenuhi syarat dan mereka yang bertanggung jawab atas perawatannya, bantuan yang untuknya permintaan diajukan dan yang sesuai dengan keadaan si anak dan keadaan-keadaan orang tua atau orang-orang lain yang merawat anak itu. 141 Lihat pula ketentuan Konvensi Hak Anak, Pasal 29 yang menyatakan bahwa pendidikan anak harus diarahkan ke: pengembangan kepribadian anak, bakat-bakat dan kemampuan mental dan fisik pada potensi terpenuh mereka; penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar dan prinsip-prinsip yang diabadikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
85
1. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional • Pasal 4: (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. • Pasal 5: (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.142 (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. • Pasal 6: (1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. • Pasal 11: (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. • Pasal 12: (1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak : b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; • Pasal 32: (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,… (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. • Pasal 34: (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. • Pasal 36: (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. 142 Lihat pula Komentar Umum No.11 (1999) tentang rencana-rencana tindakan dalam bidang pendidikan dasar (CESCR), Paragraf 7 dan paragraf 10 yang menyatakan, Pendidikan dasar merupakan hak anak, oleh karena itu negara wajib membebaskan biaya pendidikan dasar. Oleh ����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������� karena itu negara dengan segera mengimplementasikan untuk membebaskan biaya pendidikan dasar dengan capaian yang terukur
86
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
• • •
•
• • •
Pasal 38: (1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 41: (3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Pasal 45: (1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. Pasal 46: (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.143 Pasal 47: (1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pasal 48: (1) Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Pasal 49: (1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
2.3. Dasar Yuridis Alokasi Anggaran Publik untuk Memenuhi Hak Anak atas Kesehatan. 1. Undang-Undang Dasar 1945 • Pasal 28 H: (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan • Pasal 34: (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan fasilitas umum yang layak 1. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia • Pasal 49: (3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi 143 Lihat pula Komentar Umum No.11 (1999) tentang rencana-rencana tindakan dalam bidang pendidikan dasar (CESCR), Paragraf 9 : Negara tidak boleh untuk mengelak kewajiban untuk memenuhi hak atas pendidikan dasar dengan alasan ketidaktersediaan sumber daya
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
• •
87
oleh hukum. Pasal 54: Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan … bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan,… Pasal 62: Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya.
1. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak • Pasal 8: Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. • Pasal 44: (1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. (2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh peran serta masyarakat (3) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan. (4) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu.144 • Pasal 45 : (1) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. (2) Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pemerintah wajib memenuhinya. • Pasal 46: Negara, pemerintah ... wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan 1. UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan • Pasal 2: Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, serta kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri • Pasal 3: Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal 144 Lihat pula Komentar Umum No 14 (2000) tentang Hak atas kesehatan (CESCR), Paragraf 43 : Negara berdasarkan Rencana Aksi Konferensi Penduduk dan Pembangunan (deklarasi Alma Ata) mempunyai kewajiban utama untuk : memastikan akses layanan dan fasilitas kesehatan terutama untuk orang yang sangat membutuhkan dan kelompok yang termarjinal; memastikan pemenuhan kebutuhan pangan yang mendasar;memastikan hak atas penampungan, rumah yang layak, sanitasi, dan air yang layak dikonsumsi; memastikan terpenuhinya obat yang esensial; memastikan distribusi layanan dan fasilitas kesehatan secara adil; dan membuat rencana aksi untuk memenuhi hak atas kesehatan
88
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
• • • • •
•
•
Pasal 4: Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak145 Pasal 6: Pemerintah bertugas mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan. Pasal 7: Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Pasal 9: Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.146 Pasal 10: Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan Pasal 11:147 Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilaksanakan melalui kegiatan: a. kesehatan keluarga; b. perbaikan gizi; c. pengamanan makanan dan minuman; d. kesehatan lingkungan; e. kesehatan kerja; f. kesehatan jiwa; g. pemberantasan penyakit; h. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan; i. penyuluhan kesehatan masyarakat; j. pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan; k. pengamanan zat adiktif; l. kesehatan sekolah; m. kesehatan olahraga; n. pengobatan tradisional o. kesehatan matra. Pasal 17 (1) Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak (2) Kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui peningkatan kesehatan anak dalam kandungan, masa bayi, masa balita, usia prasekolah, dan usia sekolah.
145 Lihat UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 12 : Kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui peningkatan kesehatan anak dalam kandungan, masa bayi, masa balita, usia prasekolah, dan usia sekolah 146 Lihat UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 11 (1) : Penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan : kesehatan keluarga; perbaikan gizi; pengamanan makanan dan minuman; kesehatan lingkungan; kesehatan kerja; kesehatan jiwa; pemberantasan penyakit; penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan; penyuluhan kesehatan masyarakat; pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan; pengamanan zat adiktif; kesehatan sekolah; kesehatan olahraga; pengobatan tradisional; kesehatan matra. 147 Kewajiban Pemerintah dielaborasi lebih lanjut dari Pasal 12 - Pasal 48
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
•
•
89
Pasal 56 (1) Sarana kesehatan meliputi balai pengobatan, pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit umum, rumah sakit khusus, praktik dokter, praktik dokter gigi, praktik dokter spesialis, praktik dokter gigi spesialis, praktik bidan, toko obat, apotek, pedagang besar farmasi, pabrik obat dan bahan obat, laboratorium, sekolah dan akademi kesehatan, balai pelatihan kesehatan, dan sarana kesehatan lainnya. (2) Sarana kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Pasal 64: (1) Penyelenggaraan upaya kesehatan dibiayai oleh pemerintah dan atau masyarakat
2.���� 4. Dasar Yuridis Alokasi Anggaran Publik untuk Memenuhi ������ �������� �������� ��������� ������� ������ �������� Hak Anak atas Permukiman 1.
UUD 1945 Pasal 28E: (1) Setiap orang bebas …memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. • Pasal 28G: (1) Setiap orang berhak atas perlindungan … harta benda yang di bawah kekuasaannya.. • Pasal 28 H: (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, ... 148 (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun • Pasal 34: (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan fasilitas umum yang layak149 •
1. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia • Pasal 9: (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat150 148 Lihat Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, Pasal 25 (1) yang menyatakan, Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya. 149 Lihat pula, Deklarasi Kota dan Hunian Manusia dalam Milenium Baru (Resolusi MU PBB No. S. 25/2), paragraf 31 : Strategi penghapusan kemiskinan melalui penguatan kebijakan sosial dan ekonomi yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan akan rumah bagi keluarga secara khusus untuk melindungi anak 150 Komentar Umum No.4 (1991) tentang Hak untuk memperoleh tempat tinggal yang layak (CESCR), Paragraf 8 : Hak untuk mempero-
90
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
• • •
•
•
Pasal 27: (1) Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia. Pasal 29: (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya Pasal 31 : (1) Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu. (2) Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Pasal 36: (1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum. (2) Tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Pasal 40: Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak151
2. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak • Pasal 11: Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. • Pasal 22: Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak152 • Pasal 55: (1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga153 • Pasal 62: Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik leh tempat tinggal yang layak sedikitnya memenuhi kondisi antara lain : hak milik terjamin secara hukum; dilengkapi dengan fasilitas yang bersifat esensial seperti kesehatan, keamanan, kenyamanan; terdapat sistem subsidi bagi orang yang berkemampuan ekonomi lemah 151 Lihat Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Pasal 11(1) : Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela. 152 Lihat pula KHA, Pasal 27 (1) : Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak atas suatu standar kehidupan yang memadai bagi perkembanga fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. 153 Lihat pula KHA, Pasal 27 (3) : Negara-negara Pihak, sesuai dengan keadaan-keadaan nasional dan di dalam sarana-sarana mereka, harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk membantu orang tua dan orang-orang lain yang bertanggung jawab atas anak itu untuk melaksanakan hak ini, dan akan memberikan bantuan material dan mendukung program-program, terutama mengenai gizi, pakaian dan perumahan.
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
91
bersenjata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b, huruf c, dan huruf d, dilaksanakan melalui : a. pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; 3. UU No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman • •
• •
•
Pasal 3: Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.154 Pasal 4: Penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk: a. memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat; b. mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur; …155 Pasal 5: Setiap warganegara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.156 Pasal 9: Pemerintah … dapat menyelenggarakan pembangunan perumahan untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan tetap memperhatikan ketentuan Undang-undang ini Pasal 13: (1) Pemerintah mengendalikan harga sewa rumah yang dibangun dengan memperoleh kemudahan dari Pemerintah. Pasal 18: (1) Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap (2) Pembangunan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan untuk: a. menciptakan kawasan permukiman yang tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman; b. mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang telah ada di dalam atau di sekitarnya.
154 Lihat pula, Deklarasi Vancouver Hunian Manusia, Bagian III Paragraf 9 : Kesehatan lingkungan dan layanan dasar kesehatan harus menjadi tujuan bagi pembangunan hunian yang layak. Kemudian Deklarasi Kota dan Hunian Manusia dalam Milenium Baru (Resolusi MU PBB No. S. 25/2), paragraf 30 : Perencanaan Hunian harus memperhatikan peran konstruktif keluarga baik dalam desain, pembangunan, dan pengelolaannya. Masyarakat harus difasilitasi terhadap semua kebutuhan berdasarkan kondisi yang layak untuk integrasi, reunifikasi, preservasi, dan perlindungan dalam suatu tempat hunian yang layak dan juga akses bagi pemenuhan layanan dasar untuk kehidupannya. 155 Lihat pula, Deklarasi Vancouver Hunian Manusia, Bagian III Paragraf 8 : Hunian yang layak dan layanan dasar yang terkait dengan hunian merupakan hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Kemudian Komentar Umum No. 7 (1997) tentang Pengusiran secara paksa (CESCR), Paragraf 9 mengatur bahwa Negara mempunyai kewajiban untuk mengambil segala tindakan temasuk tindakan legislatif untuk menjamin pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak 156 Lihat pula, Deklarasi Vancouver Hunian Manusia, Bagian III Paragraf 10 : Martabat dasar manusia merupakan hak asasi manusia secara individu maupun kolektif oleh karenanya pegembangan hunian untuk manusia harus ditujukan bagi pemenuhan hak dasar manusia. Kemudian Deklarasi Habitat II (Deklarasi Istanbul Hunian Manusia), paragraph 8 : Perumahan yang memadai adalah hak asasi manusia (HAM) paling mendasar. Negara berkewajiban untuk merealisasikan secara penuh dan progresif terhadap hak atas perumahan. Kewajiban pemerintah memberi fasilitas bagi akses kepada perumahan dan mengacu kebijakan dan aksi yang dibutuhkan.
92
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
•
Pasal 19: (1) Untuk mewujudkan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, pemerintah daerah menetapkan satu bagian atau lebih dari kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah. bukan perkotaan yang telah memenuhi persyaratan sebagai kawasan siap bangun.
•
Pasal 29: (1) Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.
2.5. Justisiabilitas Pemenuhan Hak Anak atas Pendidikan, Kesehatan, dan Permukiman 1. Undang-Undang Dasar 1945 • Pasal 24: (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan157 (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi • Pasal 24A: (1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang • Pasal 24C: (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,… • Pasal 27: (1) Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum … dan wajib menjunjung hukum … • Pasal 28D: (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum158 2. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 157 Lihat Pasal 8, DUHAM yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum. 158 Lihat Pasal 6, DUHAM yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada. Kemudian ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pasal 7 yang menyatakan, Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
93
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
BAB III
SIKLUS PENGALOKASIAN ANGGARAN
• •
•
•
Pasal 3: (2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.159 Pasal 5: (1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. (2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak. Pasal 7 : (1) Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia. Pasal 17: Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana, Perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.160
159 Lihat Pasal 16 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang menyatakan, Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum di mana pun ia berada. 160 Lihat Pasal 2 ayat 3, Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang menyatakan, Setiap Negara : (a) Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi; (b) Menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem hukum Negara tersebut, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan; (c) Menjamin, bahwa lembaga yang berwenang tersebut akan melaksanakan penyelesaian demikian apabila dikabulkan.
94
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Untuk dapat merubah anggaran publik agar pro-poor dan berdampak secara signifikan bagi terpenuhinya hak-hak anak, rangkaian aktivitas penganggaran publik perlu dikawal secara saksama karena advokasi anggaran publik yang efektif terkait erat dengan ketepatan momentum politik yang melingkupinya. Dengan demikian proses-proses penganggaran mutlak untuk diketahui. Proses penganggaran pada prinsipnya memiliki elemen sebagai berikut: 1. Proses penyusunan anggaran publik melibatkan institusi negara; 2. Dilakukan secara sistematis; 3. Menggunakan metode dan pendekatan tertentu; 4. Melalui penyusunan rencana dan program; 5. Dituangkan ke dalam nilai mata uang. 161 Keterlibatan institusi negara, baik eksekutif maupun legislatif dalam proses penganggaran, mengharuskan upaya advokasi yang akan dilakukan mempertimbangkan aspek-aspek yang melekat pada anggaran publik. Adapun aspek-aspek anggaran publik tersebut meliputi : 1. Aspek Ekonomi Besaran anggaran pemerintah mencerminkan skala kegiatan ekonomi sektor pemerintahan dan pengaruhnya terhadap ekonomi swasta. 2. Aspek Politik Anggaran merupakan perwujudan dari kehendak politik yang pihak-pihak yang sedang berkuasa ke dalam kebijakan keuangan. 3. Aspek Hukum Anggaran perlu ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan dipatuhi oleh semua pihak yang melaksanakan anggaran. 4. Aspek Managemen Anggaran mencerminkan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen pemerintahan (POAC) 162 Dengan melihat aspek-aspek tersebut terlihat bahwa proses penyusunan anggaran publik merupakan serangkaian aktivitas yang melibatkan banyak pihak, termasuk semua departemen/dinas dan lembaga, dan DPR/DPRD. Dalam konteks advokasi anggaran publik berbasis hak anak, anggaran publik di daerah menjadi pilihan strategi dan fokus utama advokasi. Relevansi fokus dan tekanan pada anggaran publik di daerah sebagai wilayah (locus) advokasi berdasarkan pertimbangan: (i) berkaitan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah; (ii) seiring dengan era desentralisasi dan otonomi daerah, pelanggaran HAM juga akan mengikuti konfigurasi politik tersebut. Dengan kata lain locus pelanggaran HAM tidak lagi didominasi oleh Pemerintah Pusat, tetapi akan tersebar locusnya pada pemerintah daerah; (iii) pelanggaran HAM cenderung terjadi pada HAM rumpun hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk hak atas lingkungan hidup yang layak; dan (iv) aparat pemerintah daerah akan lebih menonjol sebagai pelaku pelanggaran HAM rumpun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan perencanaan dan penyusunan penganggaran khususnya APBD, UU Nomor 17 Tahun 2003163 tentang Keuangan Negara telah mengatur penyusunan dan penetapan APBD. Pengaturan 161 Mengadopsi Khoirunurrofik, op. cit 162 Khoirunurrofik, �������������� ibid
163 Selain undang-undang tersebut peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perencanaan dan desentralisasi perlu juga dicermati karena terkait dengan kewenangan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi perencanaan dan penganggaran. Adapun ����������������� peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan yuridis (legal framework) tersebut, sebagai berikut : 1. UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional terutama pasal 21 – 27. 2. UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terutama pasal 150 – 154 dan pasal 179 – 199. 3. UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pemerintah Daerah terutama pasal 66 – 86.
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
95
tersebut terdapat pada Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20. Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut serta ditambah dengan ketentuan UU Nomor 25 Tahun 2004 dan 2 (dua) undang-undang otonomi daerah —UndangUndang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 —, tahapan penganggaran APBD sebagai berikut : a. Pemerintah daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sebagai landasan penyusunan rancangan APBD paling lambat pada pertengahan bulan Juni tahun berjalan. Kebijakan umum APBD tersebut berpedoman pada RKPD. Proses penyusunan RKPD tersebut dilakukan antara lain dengan melaksanakan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Musrenbang selain diikuti oleh unsur-unsur pemerintahan juga mengikutsertakan dan/atau menyerap aspirasi masyarakat terkait, antara lain asosiasi profesi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemuka adat, pemuka agama, dan kalangan dunia usaha; b. DPRD kemudian membahas kebijakan umum APBD yang disampaikan oleh pemerintah daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya; c. Berdasarkan Kebijakan Umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, pemerintah daerah bersama DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap SKPD; d. Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyusun RKA-SKPD tahun berikutnya dengan mengacu pada prioritas dan plafon anggaran sementara yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah bersama DPRD; e. RKA-SKPD tersebut kemudian disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD; f. Hasil pembahasan RKA-SKPD disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan Perda tentang APBD tahun berikutnya; g. Pemerintah daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai dengan penjelasan dan dokumendokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober tahun sebelumnya; h. Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai rancangan Perda tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. 164 Pembahasan Rancangan Perda tentang APBD antara Pemerintah Daerah dan DPRD dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD. Dalam pembahasan Perda RAPBD, DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Perda tentang APBD. Pengambilan keputusan mengenai Rancangan Perda tentang APBD dilakukan oleh DPRD selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. 165 Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Perda yang diajukan Pemerintah Daerah untuk membiayai keperluan setiap bulan, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya. Dalam melaksanakan APBD, Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya. Laporan tersebut disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah. Pentahapan proses perencanaan dan penganggaran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : 166
164 Pedoman Penyusunan APBD Berbasis Kinerja (Revisi), Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah, Direktorat Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah Wilayah 3, BPKP, tanpa tahun 165 Suhirman, Kerangka Hukum dan Kelembagaan untuk Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Indonesia, tanpa tahun, 14 - 16 166 Suhirman, Kerangka Hukum dan Kelembagaan …, ibid
96
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Bulan
Bappeda
SKPD
Rancangan Awal RKPD
BPKD
Walkot
DPRD
Renja SKPD
Januari Rancangan RKPD Februari
Musrenbang
Maret
April
Pokok-pokok Pikiran Dewan
Penyusunan RPKD
Mei
RKPD
KUA, Prioritas, & Platon
Juni
Juli
Agustus
Penyusunan RKA-SKPD dan Prakiraan belanja untuk tahun berikutnya Setelah tahun anggaran yang sudah disusun
Pembicaraan Pendahuluan RAPBO membahas RKA-SKPD
Komplasi RKA SKPD
September Raperda APBD Oktober
Nota RAPBD
Pembahasan RAPBD November APBD Desember SK Prosedur Implementasi APBD
97
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Rangkaian proses aktivitas penganggaran sebagaimana tergambar dalam diagram di atas apabila dilihat dari sisi durasi waktu terlihat pada tabel berikut:167 NO
Tahapan
Durasi (bulan)
Rentan Waktu
1.
Penyusunan
6
April - September
2.
Pengesahan
3
Oktober - Desember
3.
Pelaksanaan
12
Januari - Desember
4.
Pertanggung jawabaan
3
Januari - Maret
Jika merujuk pada ketentuan-ketentuan dan pentahapan penganggaran maka siklus dan jadwal penyusunan dan pembahasan anggaran publik sangat ketat dan rigid (kaku). Oleh karenanya kondisi tersebut sudah seharusnya dijadikan pijakan untuk melakukan upaya advokasi sehingga upaya advokasi yang akan dilakukan tidak kehilangan momentum. Selanjutnya, APBD dalam perjalanan 1 (satu) tahun anggaran bisa mengalami penyesuaian. Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan prakiraan Perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: 1. Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD; 2. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan,dan antarjenis belanja; 3. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan. Langkah-langkah penganggaran sebagaimana telah diuraikan di atas menampakkan keterkaitan antarinstrumen hukum penganggaran APBD, sebagaimana tampak pada gambar berikut.168 UU No. 25 tahun 2004
UU No. 17 tahun 2003
UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004
Peraturan Pemerintah
Peraturan Daerah
167 Ahmad Helmi, et.al, Memahami �������������������������������� Anggaran Publik�������� , op.cit. hal. 44 168 Suhirman, Kerangka Hukum dan Kelembagaan …, op. cit, hal. 5
98
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa UU Nomor 25 Tahun 2004 mengenai Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) berkaitan erat dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hubungannya bersifat langsung karena proses penganggaran daerah menurut UU Nomor 17 Tahun 2003 dimulai dengan merumuskan Kabijakan Umum Anggaran (KUA) yang harus merujuk pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Sedangkan RKPD merupakan proses akhir dari proses perencanaan yang diatur oleh UU Nomor 25 Tahun 2004. Kemudian, UU Nomor 25 Tahun 2004 maupun UU Nomor 17 Tahun 2003 juga mengatur perencanaan dan keuangan di tingkat nasional yang meliputi pusat dan daerah. Khusus untuk daerah, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini mengatur mengenai berbagai aspek pemerintahanan daerah. Salah satunya ketentuan yang penting dalam undang-undang ini mengenai perencanaan dan penganggaran di tingkat daerah.169 Melihat keterkaitan tersebut maka dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh daerah terkait dengan dokumen perencanaan dan dokumen penganggaran perlu dicermati. Dokumen-dokumen perencanaan yang dikeluarkan oleh setiap pemerintah daerah meliputi : 1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD); 2. Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD); 3. Rencana Strategis Satuan Perangkat Kerja Daerah (Renstra-SPKD); 4. Rencana Kerja Pemerintah/Pembangunan Daerah (RKPD); 5. Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD). 170 Adapun substansi yang termuat dalam dokumen-dokumen tersebut nampak pada tabel
Dokumen RPJP DAERAh
RPJM Daerah
Isi • • • (UU (UU
visi misi dan arah pembanggunan Daerah No. 5/2004 pasal 5 ayat 2 ) No. 31/2004 pasal 150 ayat 2 )
• • •
arah kebijakan keuangan daerah strategi pembagunan daerah Kebijakan umum, dan
•
program satuan kerja perangkat daerah, lintas satuaan kerja daerah dan program kewilayahhan.
•
disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. (UU No. 5/2004 pasal 5 ayat ) (UU No. 32/2004 pasal 150 ayat 3 butir b)
169 Suhirman, Kerangka Hukum dan Kelembagaan .., ibid 170 Suhirman, Kerangka Hukum dan Kelembagaan .., ibid, hal. 6 171 Suhirman, Kerangka Hukum dan Kelembagaan …, ibid, hal. 6- 8
Rujukan •
Menagacu pada RPJP NAsional
•
Penjabaran dari visi, misi dan program kepala daerah.
berikut :
171
Ditetapkan Oleh RPJ Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah(UU No.25/2004 pasal 13 ayat 3) (UU No.32/2004 Pasal 150 Ayat 3 Butir e) Peraturan Kepala daerah (paling lamabat setelah 3 bulan dilantik) (UU No. 24/2004 Pasal 19)
99
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Renstra - SKPD
• • • • • • •
Visi, misi. tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
• •
disusun sesuai dengan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah. berpedoman kepda RPJM Daerah
(UU No. 25/2004 Pasal 7 Ayat 1) (UU No. 32/2004 Pasal 151 Ayat 1) RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah)
•
membuat rancangan kerangka ekonomi daerah,
•
prioritas pembanguna daerah,
•
rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Rensra-SKPD ditetapkan dangan peraturan pimpinan satuan kerja perangkat daerah setelah disesuaikan dengan RPJM Daerah (UU No. 25/2004 pasal 19 ayat 4) Tidak diatur
•
Penjabaran RPJM Daerah
Peraturan Kepala Daerah (UU No. 25/ 2004 pasal 26 ayat 2)
•
Mengacu RKP
Tidak diatur
(UU No. 25/2004 pasal 5 ayat 3) (UU No. 32/2004 pasal 150 ayat d) Renja-SKPD
•
Kebijakan (Kerangka regulasi)
•
Berpedoman pada SKPD
•
Program (Kerangka Kegiatan), dan
•
Mengacu pada rancangan awal RKPD
•
Kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat
Tidak diatur
(UU No. 25/2004 pasal 7 ayat 2) (pasal 151 ayat 2) Pengendalain dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Tidak diatur
Tidak diatur
Tidak diatur
100
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Sedangkan berikut.172
substansi dokumen-dokumen
Dokumen
penganggaran yang perlu dicermati tertera pada tabel
Isi
Rujukan
Ditetapkan Oleh
Kenijakan Umum APBD
Tidak diatur
Sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah
Kesepakatan Pemerintah dengan DPRD (Nota Kesepakatan)
Prioritas dan plafon anggaran sementara
Tidak diatur
KEbijakan Umum APBD
Kesepakatan Pemerintah dengan DPRD
Dokumen RKA-SKPD
Isi Tidak diatur
Rujukan •
KUA APBD
•
Prioritas dan Plafon
Ditetapkan Oleh Tidak diatur
RAPBD
Tidak diatur
Kompilasi RKA-SKPD yang telah dikonsultasikan dengan DPRD
Tidak diatur
APBD
APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja (pasal 20 ayat 5).
Tidak diatur
Peraturan Daerah
Penyesuaian APBD
Tidak diatur
Tidak diatur
Peraturan Daerah
Pelaksanaan APBD
Tidak diatur
UU Pebendaharaan Negara
Tidak diatur
Kemudian, proses penyusunan dokumen perencanaan, baik untuk Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Jangka Menengah Daerah (RPJMD), maupun untuk Rencana Kerja Pemerintah/Pembangunan Daerah berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2004 dan UU Nomor 32 Tahun 2004, adalah sama yaitu: a. Kepala Bappeda menyiapkan rancangan Dokumen Rencana (RPKPD/RPJMD/RKPD); b. Rancangan Dokumen Rencana menjadi bahan utama bagi Musrenbang; c. Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang; d. Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RPJP Daerah berdasarkan hasil Musrenbang. Sedangkan Renstra-SKPD disusun oleh Kepala satuan kerja perangkat daerah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan berpedoman pada rancangan awal RPJM Daerah. Demikian pula halnya dengan RenjaSKPD yang disusun oleh Kepala satuan kerja perangkat daerah, selain mengaju pada tugas pokok dan fungsinya serta rancangan awal RKPD, juga berpedoman pada Renstra-SKPD. Dari proses tersebut, terdapat 2 (dua) kegiatan penting yang akan menentukan kualitas dokumen perencanaan yaitu: (i) kegiatan menyusun rancangan awal dokumen rencana; dan (ii) kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). ����������������� Kegiatan pertama 172
Suhirman, Kerangka Hukum dan Kelembagaan …, ibid, hal. 9-10
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
101
adalah proses teknokratis, sedangkan kegiatan kedua adalah proses partisipatif.173 Terkait dengan penetapan APBD melalui Perda, mekanisme pembuatan Perda menjadi penting juga untuk diperhatikan karena menyangkut persoalan akses partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan publik. Oleh karena itu, penyusunan APBD perlu dicermati karena APBD sebagai salah satu priduk kebijakan publik agar berlaku dan mengikat harus mengikuti proses-proses legislasi. Dalam perspektif ilmu peraturan perundangundangan, penyusunan APBD juga harus memenuhi dimensi yuridis, dimensi sosiologis, dimensi filosofis, dan dimensi adminitratif sehingga APBD yang dihasilkan sah dan valid. Mengikuti alur pemikiran di atas, maka proses legislasi merupakan tahapan strategis dan krusial dalam rangkaian pengambilan kebijakan publik. Karena pada tahapan inilah suatu peraturan perundang-undangan dibuat untuk disahkan dan dijadikan kebijakan publik yang mengikat. Proses legislasi merupakan ajang pertemuan dan pertarungan kepentingan politik antara partai politik, kepentingan pihak asing, maupun kepentingan masyarakat sipil. Namun demikian, dalam sistem demokrasi, partai politik merupakan pelaku utama yang mendapatkan legitimasi karena kedudukannya sebagai wakil rakyat di parlemen. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah menjamin partisipasi masyarakat dalam proses legislasi. Pasal 53 UU tersebut menjelaskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan dan pembahasan RUU dan RanPerda. Ketentuan ini menjadi jaminan strategis dan politis bagi masyarakat untuk terlibat untuk mempengaruhi kebijakan publik baik dalam level perundang-undangan maupun Perda. Meskipun partisipasi masyarakat dalam proses legislasi dijamin, posisi publik masih rentan karena: (i) mekanisme dan tata cara partisipasi partisipasi masyarakat tidak diatur lebih rinci; dan (ii) hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan UU dan Perda masih harus diatur dalam Tata Tertib DPR dan DPRD seperti termaktub dalam penjelasan pasal 53 UU Nomor 10 tahun 2004. Ketentuan ini berpotensi mereduksi akses partisipasi publik, khusus partisipasi anak untuk terlibat dalam proses legislasi. Sebagaimana proses pembuatan undang-undang, proses pembuatan Perda melalui 2 (dua) jalur, yaitu atas usulan eksekutif (pemerintah daerah) dan atas usulan legislatif (DPRD). Sampai saat ini landasan penyusunan peraturan di tingkat daerah terbatas pada PP Nomor 1 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, dan Kepmendagri Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.174 Apabila dibuat ke dalam bentuk diagram, urutan pembuatan kebijakan daerah berdasarkan kedua peraturan tersebut dapat terlihat seperti di bawah ini:
173 Suhirman, Kerangka Hukum dan Kelembagaan …, ibid, hal.12 174 Pasal 40 ayat (4) UU Nomor 10 tahun 2004 mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Ranperda diatur dengan Peraturan Tata tertib DPRD
102
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Diagram 1: Mekanisme pengusulan RaPerda dari DPRD175
1. Usul dari Anggota DPRD
4. Tanggapan Anggota DPRD lainnya, Kepala Daerah terhadapa usulan
7. Tanggapan dari pengusul
13. Rapat Paripurna menyetujui Raperda dituangkan dalam Keputusan DPRD
2. Usul disampaikan kedapa Pipina DPRD dalam bentuk rancangan disertai penjelasan secara tertulis.
5. Dalam Rapat Paripurna pengusulan menjelaskan atas usulan.
8. Keputusan DPRD unutuk menerima atau menolak usul menjadi usul DPRD
12. Sambutan Kepala Daerah atas Raperda yang hendak disetujui
3. Sekertariat DPRD memberi nomor pokok terhadap usulan
6. Setelah mendapatkan pertimbangan dari Panitia Musyawarah, usulan disampaikan Pimpinana DPRD Pada Rapat Paripurna
9. Pembahasan Raperda oleh komisi/rapat gabungan komisi/pansus bersama penjabat yang dituju oleh kepala daerah
11. Pendapat akhir Farksi-fraksi dalam Rapat Paripurna
14. Pengesahan dan Pengundangan
175 HuMA, ������ Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek��, hal. 4
10. Laporan hasil pembahsan oleh Pimpinan Pansus dalam Rapat Paripurna
103
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Diagram 2: Mekanisme pengusulan RaPerda dari Eksekutif176
1. Pimpinan unit kerja memprakarsai Penyusunan Raperda
5. Penyusunan dan pembahasan Raperda oleh bagian hukum atau tim anat unit kerja
6. Penyampaian hasil pembahasan kepada sekertari daerah melalui bagaian hukum yang selanjutnya diajukan kepada Kepala Daerah untuk disetujuin
11. Pengesahan dan Pengundangan Perda
2. Usulan yang dilampirkan pokok-pokok pikiran diajukan kepada sekertaris daerah untuk diadakan singkronisasi dan haromisasi yang ditugaskan pada bagian hukum
4. Pembahasan draft awal oleh unit kerja yang meli batkan bagian hukum dan unir kerja terkait
7. Sekertariat Daerah menyampaikan Raperda Kepada DPRD
10. Raperda yang disetuji selanjutnya ditetapkan oleh keputusan DPRD
3. Setelah mendapatkan persetujuan dari sekretaris Daerah, unit kerja menyiapkan draft awal
8. Sidang pembahasan Raperda oleh pejabat yang ditujukan oleh kepala daerah bersama DPRD
9. Rapat Paripurna DPRD untuk menyetuji hasil pembahasan dengan mengagenda kan penjelasan resmi dari pemda terhadap Raperda
Meskipun pembuatan Perda telah diatur, dalam prakteknya terjadi dualisme rujukan yuridis. Prosedur penyusunan rancangan Perda atas usulan DPRD diatur dalam tata tertib DPRD – yang penyusunannya mengacu pada PP Nomor 21 Tahun 2001 – maka usulan rancangan Perda atas usulan DPRD lebih mengacu pada PP Nomor 1 Tahun 2001. Sedangkan Kepmendagri Nomor 23 Tahun 2001 lebih diperlakukan sebagai pedoman penyusunan rancangan Perda atas usulan pemda. Terkait dengan partisipasi publik, jika dilihat dari isi PP Nomor 1 Tahun 2001, maka ruang bagi partisipasi publik untuk memberikan masukan sangat sempit. Ironisnya, tata tertib DPRD juga menutup diri sama sekali dan tidak mengagendakan konsultasi publik dan cenderung elitis. Permasalahan yang sama juga terjadi usulan RaPerda dari eksekutif. Kepmendagri Nomor 23 Tahun 2001 pun belum memberikan peluang yang banyak kepada publik untuk berpartisipasi dalam penyusunan RaPerda.177
176 177
HuMA, ������ Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek,����� ibid HuMA, Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek, op.cit, hal.3
104
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
BAB IV
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES PENGANGGARAN PUBLIK
Pada dasarnya fungsi anggaran publik dapat dibagi menjadi 2 (dua) fungsi : pertama, sebagai alat politik pemerintah, anggaran publik sebagai alat politik dapat digunakan sebagai sarana atau alat bagi kekuatan politik untuk mencapai tujuan dan aspirasi politik. Fungsi ini dimungkinkan karena anggaran merupakan produk/hasil pembahasan antara pemerintah dan parlemen. Kedua, sebagai alat kebijakan, anggaran dapat digunakan untuk mengatur dan mempengaruhi kegiatan perekonomian nasional melalui : a. Kebijakan fiskal ini dipergunakan untuk: • Penetapan besaran dan sistem perpajakan; • Penetapan besaran pengeluaran/belanja; • Penetapan besaran subsidi. b. Kebijakan moneter ini dipergunakan untuk: • Penetapan besaran pinjaman luar negeri; • Penetapan besaran cicilan hutang LN; • Belanja negara pengaruhi jumlah uang beredar. 178 Berdasarkan pada fungsi yang diembannya tersebut anggaran publik dikatakan pro-poor jika kebijakannya: (i) diarahkan untuk mengakselerasi peningkatan pendapatan secara agregat; (ii) memberikan akses pada orang miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan untuk berkembang; dan (iii) sekaligus sebagai instrumen utama untuk mengurangi kesenjangan distribusi pendapatan. Ini berarti anggaran yang pro-poor memfokuskan pada pelibatan orang miskin dalam proses pembuatan kebijakan, orientasi pengalokasian, dan penilaian dampak yang mengarusutamakan pemenuhan kebutuhan orang miskin. Anggaran pro-poor memungkinkan orang miskin memiliki oportunitas untuk mengakses sarana kesehatan, pendidikan, dan usaha-usaha produktif. Dari segi alokasi belanja, anggaran pro-poor harus memberikan benefit yang proporsional terhadap orang miskin.179 Namun yang terjadi, pemerintah melalui politik kebijakan anggaran publik justru menutup akses orangorang miskin untuk dapat menikmati hak-haknya. Pencabutan aneka subsidi yang diikuti kebijakan kenaikan harga BBM merupakan bukti empiris bahwa anggaran publik dapat didesain berdasarkan kepentingan suatu pihak, tetapi merugikan pihak yang lain. Pada akhirnya, anggaran publik seperti ini berdampak pada semakin terhambatnya anak-anak – terutama anak-anak dari kalangan keluarga miskin – mengakses layanan publik yang semestinya menjadi haknya. Kondisi ini jika ditelusuri lebih dalam bersumber pada tidak dilibatkannya partisipasi 178 Khoirunurrofik, ���������������� Membedah APBD, op. cit 179 Suhirman, Kerangka Hukum dan Kelembagaan, op. cit
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
105
publik dalam menentukan suatu kebijakan. ������������������������������������������������������������ Padahal partisipasi masyarakat penting karena menunjukkan bahwa Pemerintah tersebut demokratis dan terlegitimasi. Legitimasi ini didapati karena berbagai kepentingan seluruh elemen masyarakat dapat terwakil dan berbagai sudut pandang dan pendapat masing-masing elemen tersebut dihargai dan diintegrasikan pada suatu kebijakan publik. Dengan demikian, partisipasi masyarakat selain akan meningkatkan arus informasi, kebijakan yang diambil dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat berdasarkan kebutuhan spesifiknya. Namun ������������������������������������������������������ sebaliknya, hak berpartispasi telah dilanggar oleh negara apabila warga negara sebagai pemegang kedaulatan dan dilekati hak asasi tidak dilibatkan secara penuh dalam menentukan jalannya pemerintahan. Demokrasi mensyaratkan adanya pengakuan kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk pengakuan masyarakat madani180 sebagai kekuatan penekan dan pengimbang vis a vis negara. Demikian pula halnya anggaran publik berbasis HAM menyaratkan adanya partisipasi warga negara. Rakyat sebagai elemen utama negara demokratis secara mutlak mendapatkan kedudukan strategis yang dijamin konstitusi untuk menjalankan peran-perannya sebagai bentuk partisipasi aktif. Dalam konstruksi negara demokratis, masyarakat madani yang kuat akan mendorong terjadinya balance of power, sehingga terjadi keseimbangan kekuasaan dalam proses penyelenggaraan negara. Partisipasi warga negara akan maksimal apabila akses informasi terbuka untuk publik. Persoalan kebebasan atas informasi adalah persoalan mengenai bagaimana informasi harus terbuka (disclose) terhadap publik atau secara spesifik kewenangan individu untuk mengakses informasi publik, terutama yang dikuasai pemerintah juga tersedia.181 Kebebasan ini merupakan HAM dan telah dijamin serta mendapatkan pengakuan internasional yang sangat luas, bahkan hukum domestik juga telah memberikan pengakuan serupa. Dari perspektif HAM, kebebasan informasi merupakan bagian dan hak untuk berekspresi (freedom of expression). Oleh karenanya, kebebasan atas informasi bukan hanya menerima dan menyebarkan informasi, tetapi harus disertai dengan hak untuk menyatakan pendapat.182 Sebangun dengan konsep negara demokratis, jaminan dan pengakuan partisipasi anak telah dicantumkan dalam KHA. Malahan hak anak untuk berpartispasi merupakan salah satu pilar pokok prinsip-prinsip konvensi ini. Terdapat 4 (empat) pasal kunci yang melandasi partisipasi anak-anak dan keterlibatan anak-anak dalam masyarakat secara aktif, yaitu: 1. Pasal 12, menekankan bahwa anak-anak mempunyai hak untuk menyatakan pendapat dengan bebas tentang segala hal yang berdampak pada kehidupan anak; 2. Pasal 13, memberikan jaminan bagi anak-anak kebebasan berekspresi, mencari dan menerima informasiinformasi. Kebebasan tersebut juga mencakup kebebasan mengungkapkan gagasan-gagasan tentang segala sesuatu melalui media pilihannya; 3. Pasal 14, mengatur kebebasan anak-anak atas pikiran, hati nurani, dan keberagamaan (religiusitas); 4. Pasal 15, mengakui hak-hak anak akan kebebasan berorganisasi dan melakukan pertemuan-
180 Muhammad A.S. Hikam mengidentifikasi 3 (tiga) ciri utama masyarakat madani. Pertama, adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; kedua, adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik; ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis. Sebagai bentuk pengakuan kedaulatan rakyat, maka segala keputusan negara sejauh mungkin harus melibatkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan baik melalui wakil rakyat yang berada di parlemen maupun melalui organisasi masyarakat sipil sebagai representasi kelompok kepentingan. Lihat Muhammad A.S. Hikam, HAM dalam Proses Pemberdayaan Civil Society dan Demokratisasi, dalam Diseminasi HAM: Perspektif dan Aksi, E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah, Jakarta, CEDSA LP3ES, 2000, hal. 36-37 181 Antonio Pradjasto, Hak Asasi Manusia Kebebasan Atas Informasi : Catatan-Catatan Pokok, Makalah disampaikan di KOMNAS HAM, 19 Februari 2003, hal. 1 182 Antonio Pradjasto, Hak Asasi Manusia Kebebasan Atas Informasi ..., op. cit hal. 2
106
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
pertemuan.183 Apa yang tercantum dalam pasal 12 KHA tentu memiliki implikasi terhadap ruang pengambilan keputusan bagi orang dewasa baik di rumah, di dalam organisasi kemasyarakatan maupun dalam lembaga negara. Pasal 12 yang secara eksplisit mengatur tentang partisipasi anak tidak dapat di salah-artikan sebagai perlawanan anakanak terhadap orang dewasa atau perampasan hak-hak orang dewasa. Pasal 12 tidak memberikan hak terhadap anak untuk menjadi otonom (the rights to autonomy). Karena hak partisipasi anak tidak memberikan hak kepada anak untuk mengontrol semua keputusan yang tidak berdampak pada dirinya atau anak-anak lain, tidak pula memberi hak kepada anak untuk tidak mengindahkan hak-hak orang tuanya, dan berlaku tidak sopan pada pemimpinnya. Pasal ini memberikan tantangan dan mendorong orang dewasa untuk merubah secara radikal sikap dan perilaku tradisionalnya terhadap anak yang selama ini menganggap bahwa anak-anak tidak penting untuk di dengar, tapi cukup di hadirkan saja. Hak anak untuk menyatakan pendapat dengan bebas ini memerlukan pemahaman bahwa anak baru bisa berpendapat dengan bebas apabila orang dewasa membuka ruang kesempatan bagi anak untuk menggunakan hak tersebut. Dengan kata lain, pasal 12 mewajibkan orang dewasa dalam kapasitasnya sebagai orang tua, atau profesional, atau aktivis, atau pelaku politik atau pengambil keputusan publik untuk memastikan bahwa anakanak dapat berkontribusi atau berpendapat pada saat terjadi proses pengambilan keputusan yang berpengaruh pada kehidupan anak. Hak untuk menyatakan pendapat dengan bebas ini berkait erat dengan hak untuk didengar pendapatnya. Sebab akan sia-sia anak-anak di dorong dan dikuatkan untuk berpendapat apa bila tidak satu pun dari orang dewasa yang kompeten mendengar pendapatnya. Para pengambil kebijakan publik harus mulai mendengarkan suara anak apabila mereka mendiskusikan alokasi anggaran untuk pendidikan, perumahan, kesehatan, dan transportasi publik, yang kesemuanya itu berimplikasi pada kehidupan anak. Tidak perlu membahas tentang teori-teori pendidikan atau tata ruang untuk perumahan, ataupun ilmu-ilmu kesehatan dan transportasi, tetapi cukup mendengarkan dengan seksama pendapat anak-anak tentang isu-isu penting mengenai hal-hal tersebut. Jika anak-anak sudah bisa berpendapat dan orang dewasa dengan sadar menyediakan diri untuk mendengar, tidak ada gunanya apabila pendapat tersebut tidak di pertimbangkan dalam pengambilan keputusan akhir. “Dipertimbangkan pendapatnya” berarti bahwa pendapat mereka menjadi arus utama dari seluruh proses diskusi pengambilan keputusan publik, dan bukan hanya sekedar menjadi legitimasi semata. Pasal 12 KHA adalah hak substantif (substantive rights) yang menyatakan bahwa anak berhak menjadi aktor dalam kehidupannya dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka. Namun seperti halnya dalam kehidupan orang dewasa, partisipasi dalam pengambilan keputusan yang demokratis bukanlah tujuan akhir. Partisipasi masyarakat dalam demokrasi adalah alat untuk mendapatkan keadilan, mempengaruhi hasil keputusan, dan mengurangi penyalahgunaan kekuasaan dari penguasa. Sehingga dengan kata lain pasal ini juga merupakan hak prosedural (procedural rights) yang memungkinkan anak-anak untuk menolak penyalahgunaan kekuasaan orang dewasa, atau mengurangi penelantaran hak-hak mereka, dan mengambil tindakan untuk melindungi serta mempromosikan hak-hak tersebut. Pasal ini juga mendorong anak untuk berperan aktif dalam sebuah proses yang merealisasikan penghormatan terhadap kepentingan terbaik mereka. Selanjutnya, pasal-pasal yang������������������������������������������������������������� mengatur hak anak atas informasi berkaitan dengan kebebasan anak untuk menyatakan pendapat dan kebebasan berorganisasi. Kendatipun anak-anak sudah seharusnya 183 Partisipasi anak memang tidak secara eksplisit disebutkan dalam KHA, namun jika diinterpretasikan secara luas, pasal-pasal yang dapat dikonstruksikan sebagai hak partisipasi anak terdapat pada selain pasal di atas: (i) Pasal 5; (ii) Pasal 9; (iii) Pasal 16; (iv) Pasal 17; (v) Pasal 21; (vi) Pasal 22; dan Pasal 29. Carol Bellamy,The State of The World’s Children 2003, hal. 24-25
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
107
berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, namun partisipasi tersebut harus sesuai dengan tingkat kematangannya. Dalam kaitannya dengan partisipasi anak, terdapat alasan-alasan yang menghambat partisipasi anak sehingga mereka tersisih dalam proses pengambilan keputusan. Alasan-alasan tersebut pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga), yakni: 1. Alasan-alasan yang berdasarkan pada sikap sosial, antara lain: • Anak-anak dipandang tidak matang, tidak kompeten, tidak bertanggung jawab dan irasional, karenanya tidak dipercaya untuk berpartisipasi; • Karena orang dewasa pernah menjadi anak-anak, maka orang dewasa merasa layak untuk bertindak atas nama anak-anak; • Anak-anak dilihat sebagai urusan domesti����������������������������������������������������� k keluarga karena itu sudah sepantasnya diperlakukan sebagai pihak yang pasif dan bergantung pada orang tua; • Bagi kebanyak orang dewasa memberikan apa yang seharusnya menjadi hak-hak anak dipandang sebagai ancaman terhadap relasi kekuasaan antara orang dewasa dengan anak-anak; • Anak-anak dipandang sebagai anggota masyarakat yang tidak produktif; • Memberi hak kepada anak untuk di dengar pendapatnya akan menghilangkan masa kanak-kanaknya, karena masa kanak-kanak adalah masa bermain dan bukan masa mengambil keputusan. 2. Alasan-alasan yang terkait dengan struktur dan fungsi otoritas setempat, antara lain: • Sikap paternalistik birokrat yang mendasarkan pada pandangan bahwa selaku abdi negara mereka diberikan legitimasi untuk mengambil keputusan bagi anak-anak berdasarkan perspektif orang dewasa; • Struktur birokrasi yang ada, belum membuka ruang-ruang yang memungkinkan anak untuk berpartisipasi; • Kerangka legislatif menghambat partisipasi; • Anak-anak cenderung tidak terlihat dalam hitungan statistik. 3. Alasan-alasan yang terkait dengan adanya pandangan bahwa isu anak tidak berdampak secara politis sehingga tidak masuk dalam agenda politik, antara lain: • Kebijakan pemerintah secara substansial cenderung didominasi masalah perekonomian ketimbang tujuan-tujuan pelayanan jaminan sosial sehingga cenderung reaktif daripada proaktif; • Belum ada kebijakan pemerintah yang benar-benar menempatkan anak sebagai partisipan dalam proses pengambilan keputusan di berbagai tingkatan pemerintahan atau institusi non pemerintah.184 Ketiga alasan tersebut dalam perspektif advokasi merupakan hambatan yang bersumber pada 3 (tiga) dimensi kebijakan publik yang saling terkait dan sinergis satu dengan yang lain. Secara konseptual kebijakan publik pada dasarnya mempunyai 3 (tiga) dimensi yakni : Pertama, isi hukum (content of law); yakni uraian tertulis dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan (legislasi), peraturan-peratura, dan keputusan-keputusan pemerintah (regulasi). Meskipun dalam praktiknya kebijakan tidak hanya terbatas pada kebijakan yang tertulis, namun dalam advokasi titikberat penekanan ditujukan pada naskah (text) hukum tertulis, atau aspek tekstual dari sistem hukum yang berlaku. 184 Mengadopsi Victoria Jhonson, et.al, Institusi dan Kekuasaan, dalam Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta, REaD Book, 2002, hal. 483 - 485
108
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Kedua, tata laksana hukum (structure of law); yakni semua perangkat kelembagaan dan pelaksana isi hukum yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan, penjara, birokrasi pemerintah, partai politik, dll) dan aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara, pejabat pemerintah, anggota parlemen, dll). Ketiga, budaya hukum (culture of law); yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktik-praktik pelaksanaan, penafsiran terhadap 2 (dua) dimensi sistem hukum di atas, isi dan tata-laksana hukum. Dalam pengertian ini juga tercakup bentuk-bentuk tanggapan (response) masyarakat luas terhadap pelaksanaan isi dan tata-laksana hukum tersebut. Karena ������������������������������ itu, hal ini merupakan ‘aspek �������������������� kontekstual’ ������������������������������� dari sistem hukum yang berlaku. 185
Hak berpartisipasi secara konseptual masuk ke dalam rumpun hak-hak sipil dan politik, sehingga mengemuka pandangan bahwa partisipasi politik hanya disimplifikasikan dalam kaitannya dengan pemilihan umum saja, sehingga keterlibatan publik dalam urusan kenegaraan yang lain mengalami hambatan. Demikian pula dalam proses penyusunan anggaran publik derajat keterlibatan warga masyarakat sangat rendah, apalagi anak-anak yang dianggap sebagai sosok yang belum pantas berpolitik (alasan politis). Padahal apabila anakanak diberikan ruang untuk berpartispasi mereka bisa menjadi agen sosial (sosial agent) untuk melakukan perubahan sosial (sosial transformation) karena setiap anak mempunyai potensi untuk melakukan sesuatu yang menurut mereka baik untuk dilakukan. Berbagai temuan membuktikan bahwa anak-anak ternyata dapat melakukan sesuatu yang lebih kreatif daripada yang diyakini oleh orang dewasa. Pengetahuan, persepsi, dan prioritas anak-anak yang seringkali berbeda dari pemahaman orang dewasa seringkali membuahkan solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Pijakan utama yang paling penting dalam membangun partispasi anak adalah keterlibatan anak melalui komunikasi dua arah atau dialog. Bentuk-bentuk keterlibatan tersebut dapat berupa : 1. Keterlibatan anak dalam menyampaikan ide atau inisiatif, 2. Keterlibatan anak dalam merencanakan, 3. Keterlibatan anak dalam mempersiapkan.
Sampai saat ini, ruang-ruang partispasi anak masih saja tertutup karena orang-orang dewasa mempertahankan “status quo” mereka. Penetapan prioritas anggaran tanpa mendengar dan memperhatikan suara anak berakibat biasnya prioritas dalam pengalokasian anggaran publik. Persoalan anak dalam kehidupan sehari-hari yang sangat penting dan mendesak seperti drop out sekolah, busung lapar, rendahnya kemampuan mengakses kesehatan tidak menjadi prioritas utama dalam penganggaran publik. Gambaran situasi hak-hak anak semakin memburuk seiring dengan memburuknya situasi sosial masyarakat. Ini membuktikan bahwa meniadakan suara kelompok rentan dalam proses pengambilan keputusan publik sama dengan mengabaikan hak-hak dasarnya dan memperburuk situasi hidupnya. Ketidaktersediaan alokasi anggaran untuk memenuhi kebutuhan spesifik anak-anak secara memadai dengan jumlah anak dengan permasalahan yang melingkupinya 185 Roem Topatimasang, Advokasi Kebijakan Publik : Ke Arah Suatu Kerangka Kerja Terpadu dalam, Merubah Kebijakan Publik, Yogyakarta, Pact dan Insist, 2000, hal. 41
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
109
merupakan bentuk pelanggaran HAM oleh negara melalui tindakannya (act commission). Kemudian terkait dengan partisipasi publik, berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2004, sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN) merupakan satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Selanjutnya Pasal 2 ayat 3 menyatakan bahwa SPPN diselenggarakan berdasarkan pada asas umum penyelenggaraan negara dengan merujuk pada UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraaan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.
yaitu:
Terdapat 3 (tiga) asas penting yang membuka partisipasi masyarakat dalam undang-undang tersebut
1. Asas “kepentingan umum” yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif; 2. Asas “keterbukaan” yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia Negara 3. Asas “akuntabilitas” yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika mengacu pada ketentuan di atas secara expresive verbis dinyatakan bahwa dalam perencanaan diisyaratkan harus ada unsur keterlibatan penyelenggara negara dan masyarakat.186 Demikian pula halnya dengan perencanaan anggaran publik karena terdapat pertautan antara perencanaan dan anggaran publik. Titik taut tersebut pada saat menetapkan APBD harus merujuk pada perencanaan daerah. Gambar pertautan antara perencanaan pembangunan dengan penganggaran sebagai berikut.187 Berbeda dengan UU Nomor 25 Tahun 2004 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menekankankan pentingnya partisipasi masyarakat, UU Nomor 17 tahun 2003 sama sekali tidak menyebutkan mengenai pentingnya partisipasi. UU Nomor 17 tahun 2003 menyerahkan mekanisme proses-proses sosial dalam penganggaran kepada kebijakan di daerah.188 186 UU No. 25/2004 juga menetapakan “mengoptimalkan partisipasi masyarakat” sebagai salah satu tujuan SPPN (pasal 2 ayat 4 huruf d). Yang dimaksud dengan “partisipasi masyarakat” adalah keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasikan kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan (Penjelasan Pasal 2 ayat 4 huruf d). Sedangkan Yang dimaksud dengan “masyarakat” adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat atau badan hukum yang berkepentingan dengan kegiatan dan hasil pembangunan baik sebagai penanggung biaya, pelaku, penerima manfaat maupun penanggung risiko (Penjelasan Pasal 2 ayat 4 huruf d). Selain sebagai tujuan, UU No. 25 tahun 2004 juga menempatkan partisipasi sebagai salah satu pendekatan SPPN disamping pendekatan politik dan teknokratik. Penjelasan UU 25 tahun 2004 menyatakan bahwa Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. 187 Suhirman, Kerangka Hukum dan Kelembagaan …, op. cit, hal. 11 188 Jika UU Nomor 25 tahun 2004 menempatkan pentingnya partisipasi masyarakat baik dalam penejelasan maupun dalam batang tubuh peraturan, maka UU 32 tahun 2004 hanya memberikan penekanan pada pentingnya partisipasi dalam bagian penjelasannya saja. Berdasar��������� kan UU Nomor 32 tahun 2004 partisipasi masyarakat penting dalam sitem pemerintahanan daerah. Partisipasi masyarakat berguna untuk:
110
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak Dijabarkan
Pedoman
Dijabarkan RPJM Nasional
RKP
Diperhatikan
Diacu
Pedoman
RKA-KL
Rincian APBN
Pedoman
RAPBN
APBN
Disertai melalui Musrenbang
RPJM Daerah
Dijabarkan
Pedoman
RKP Daerah
Pedoman
RAPBD
APBD
Pedoman
RKASKPD
Rincian APBD
Diacu
Renstra SKPD
Pedoman
RenjaSKPD
PEMERITAH DAERAH
RPJP Daerah
Pedoman
Diacu
Pedoman
RPJP Pedoman Nasional
RenjaKL
PEMERITAH PUSAT
Renstra KL
UU SPPN UU KN Sumber : Bahan Sosialisasi UU SPPN Bappenas 2004
Setidaknya terdapat 5 (lima) alasan mengapa perencanaan dan alokasi anggaran publik harus partisipatif. Pertama, di hampir semua negara yang menjalankan pemerintahan berdasarkan sistem demokrasi perwakilan ada kecenderungan bahwa orang yang terpilih sebagai wakil adalah kelompok elit yang seringkali tidak memiliki hubungan langsung dengan konstituennya. Proses ini seringkali disebut sebagai proses pembajakan demokrasi oleh kelompok elit (capture by elite). Selain itu, mekanisme demokrasi perwakilan juga memiliki kelemahan internal yaitu kelemahan antar waktu yaitu adanya jarak yang cukup lama antara satu pemilihan dengan pemilihan berikutnya (rata-rata 4 sampai 5 tahun). Jarak yang lama ini memungkinkan para wakil rakyat (baik yang duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif) melupakan janji-janji yang telah dikemukakannya waktu kampanye baik karena kebutuhan pragmatis, kepentingan pribadi, maupun penyalahgunaan jabatan. 1. 2. 3. 4. 5.
Mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat Menciptakan rasa memiliki pemerintahan Menjamin keterbukaan, akuntabilitas dan kepentingan umum Mendapatkan aspirasi masyarakat dan Sebagai wahana untuk agregasi kepentingan dan mobilisasi dana
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
111
Untuk itu perlu instrumen kelembagaan yang memungkinkan negara melalui pejabat publik yang terpilih dan kekuatan politik (partai politik) dapat terus menerus berkomunikasi dengan organisasi masyarakat sipil. Instrumen kelembagaan ini bukan merupakan pengganti dari demokrasi perwakilan melainkan instrumen untuk memperdalam demokrasi (depeening democracy). Jika demokrasi perwakilan berkaitan dengan bagaimana partai politik berebut kekuasaan untuk menduduki jabatan publik, maka demokrasi partisipatoris berkaitan dengan bagaimana pejabat publik “berkomunikasi” dengan masyarakat sipil dalam menentukan kebijakan publik. Kedua, kenyataan sosial bersifat kompleks. Karena itu, para ahli dan birokrat tidak mungkin memiliki seluruh informasi yang memadai untuk membuat kebijakan yang menguntungkan semua orang (optimum). Karena itu, merujuk pada Majone dan Kooman, optimasi sumber daya publik –atau yang biasa disebut dengan pareto optimum- hanya akan terjadi dalam proses-proses sosial yang terbuka dan adil. Dalam ruang terbuka yang adil inilah masyarakat dapat menegosiasikan berbagai preferensi utuk kemudian memutuskan mana yang terbaik untuk semua. Ketiga, Kecenderungan yang terjadi dalam negara-negara yang menjalankan demokrasi perwakilan adalah semakin rendahnya rasa kepemilikan rakyat terhadap pemerintahan. Proses pemerintahan hanya dipandang sebagai wahana negosiasi dan difusi kepentingan partai politik di parlemen. Pada akhirnya proses ini dapat juga mengurangi legitimasi pemerintah, karena jumlah pemilih cenderung menurun karena pemilih menganggap proses-proses pemerintahan tidak terkait langsung dengan kepentingan mereka. Untuk ��������������������������� itu perlu komunikasi langsung antara pemerintah dengan rakyat tidak dengan melalui jalur partai politik. Melalui komunikasi langsung dengan masyarakat maka masyarakat menjadi merasa memiliki pemerintahan. Selain itu proses Ini juga penting untuk mengatasi krisis legitimasi pemerintahan. Keempat, partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dapat meningkatkan kinerja administrasi pemerintahan. Melalui partisipasi maka informasi yang tidak seimbang (asimetri informasi) dapat di minimalisir. Informasi yang tidak seimbang merupakan penyebab utama terjadinya korupsi di tingkat administrasi pemerintahan. Partisipasi juga meningkatkan akuntabilitas pemerintahan, serta dapat meningkatkan pendapatan di sektor pajak. Kelima, ruang yang terbuka dan adil merupakan wahana bagi pembelajaran politik masyarakat sipil dalam bernegosiasi dan memutuskan mana yang terbaik mengenai kebijakan publik. Ruang belajar ini penting, karena dalam sistem demokrasi, pada akhirnya pemerintahan harus diisi oleh orang-orang yang semula merupakan anggota dari masyarakat sipil. Jika orang-orang ini masuk dalam pemerintahan maka dia sudah memiliki pemahaman dan pengalaman yang memadai mengena negosiasi dan pengambilan keputusan publik yang adil dan demokratis. 189
189
Suhirman Kerangka Hukum dan Kelembagaan…op.cit, hal. 21- 24
112
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Gambar peran warga, pemerintah, dan DPRD dalam perencanaan dan penganggaran yang partispatif
• • •
Eksekutif Penyediaab data dan informasi Asistensi Teknis Pelaksanaan Monev
• •
• • •
Nota Kesepakatan Pembahasan RAPBD Penetapan APBD
Pengambilan Keputusan kesepakatan
• •
Legislatif Regulasi Pengawasan
•
• • • • •
190
Komunikasi Politik
Masyarakat Konsolidasi partisipan Agregasi kepentingan Memilih preferensi Memilih delegasi Monev
Proses-proses pembuatan kebijakan publik yang partisipatif pada dasarnya terjadi pada ruang masyarakat sipil. Pada proses ini masyarakat mengkonsolidasi partisipan, mengagregasi kepentingan, memilih preferensi, memilih delegasi, dan melakukan monitoring dan evaluasi. Ketika terjadi proses partisipatif di masyarakat, bukan berarti pemerintah berdiam diri. Pemerintah harus terlibat aktif dalam proses tersebut. Hanya dalam proses ini pemerintah tidak bertindak sebagai wakil yang diberi mandat oleh rakyat melainkan menyediakan data dan informasi karena data sumber daya publik ada di pemerintah, melakukan asistensi teknis karena pemerintah memang dididik untuk memiliki keterampilan teknis perencanaan, dan melaksanakan keputusan yang disepakati. Sedangkan legislatif dapat terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran partisipatif sebagai bagian dari komunikasi politik dengan konstituen.191 Bila kita sandingkan kerangka regulasi dengan konsep perencanaan dan penganggaran partisipatif, maka perencanaan dan penganggaran partisipatif sangat mungkin dilakukan di tingkat daerah. Untuk rencana jangka panjang (RPJPD) dan rencana jangka menengah (RPJMD), musrenbang merupakan wahana utama bagi warga untuk mengagregasi kepentingan, menegosiasikan kepentingan, dan memilih alternatif kebijakan dan kegiatan. Sedangkan untuk perencanaan dan penganggaran tahunan, ada dua wahana yang tersedia bagi partisipasi masyarakat yaitu Musrenbang (proses perencanaan) dan penyusunan RKA-SKPD (penganggaran). 192 Ruang-ruang partisipasi bagi publik memang telah tersedia, sejak dari penggalian usulan program dalam musrenbang di tingkat kelurahan. �������������������������������������������������������������������������������� Namun demikian, proses di tingkat terbawah ini sering dilewatkan begitu saja, 190 Suhirman Kerangka Hukum dan Kelembagaan, ibid, hal 24 191 Suhirman Kerangka Hukum dan Kelembagaan ibid, hal. 26 192 Suhirman Kerangka Hukum dan Kelembagaan.., ibid
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
113
sehingga hasil yang di bawa ke musrenbang tingkat kecamatan hanyalah usulan dari lurah dan perangkatnya, yang tidak selalu mencerminkan kebutuhan masyarakat. Dalam musrenbang tingkat kecamatan usulan program kelurahan sudah banyak dipotong karena kelurahan diwakili oleh kepala kelurahan dan perangkatnya tanpa melibatkan masyarakat.193 Selain itu, partisipasi masyarakat sebagaimana diatur UU Nomor 25 Tahun 2004 masih hanya terbatas partisipasi dalam perencanaan, tidak termasuk partisipasi dalam monitoring dan evaluasi.194 Lebih jauh, dalam praktiknya, proses bottom up tersebut selalu terhalang oleh 2 (dua) hal, yaitu : Pertama, bersinggungan dengan program-program yang telah disusun oleh pemerintahan yang lebih tinggi. Propenas merupakan rencana strategis yang akan menentukan blue print perencanaan pembangunan secara nasional. Rencana ini yang pada akhirnya ditekankan sebagai rujukan utama yang harus dilaksanakan dan diterapkan oleh pemerintah daerah tanpa melihat kondisi dan permasalahan yang berbeda di masing-masing wilayah; Kedua, pemotongan program oleh pemerintah pusat karena keterbatasan anggaran yang tersedia. Melihat struktur APBN, terdapat alokasi dana untuk pemerintah daerah. Apabila pemerintah daerah mendapatkan Dana Alokasi Umum (DAU) lebih kecil daripada yang ditargetkan sebelumnya, otomatis usulan dari bawah akan dipotong.195 Hambatan partisipasi masyarakat juga terjadi pada mekanisme pengesahan RAPBD karena hampir selalu inisiatif datang dari eksekutif. Hal ini disebabkan, perangkat kelembagaan yang digunakan untuk menyusun anggaran publik semuanya merupakan perangkat eksekutif. DPRD memang diberikan kewenangan dalam mengesahkan RAPBD, namun kewenangan ini tidak didukung dengan kecakapan yang memadai. Selain itu kondisi ini diperparah dengan rendahnya transparansi dan akuntabilitas lembaga dewan serta arogansi yang berlebihan sehingga mengisolasi lembaga dewan dari partisipasi masyarakat.196 Tata tertib DPRD yang menjadi pedoman penyusunan rancangan Perda, termasuk APBD, ternyata tidak hanya sekadar mengacu pada PP Nomor 1 Tahun 2001. Kenyataannya tatib yang disusun oleh DPRD yang dituangkan dalam keputusan DPRD, menyerupai PP Nomor 1 Tahun 2001. Padahal dilihat dari isinya ketersediaan ruang bagi partisipasi publik untuk memberikan masukan sangat sempit. Dalam perspektif advokasi, landasan yuridis penyusunan anggaran publik yang meliputi perencanaan dan penganggaran, secara substansif (content of law) telah mereduksi partisipasi publik. Kondisi ini juga tidak didukung oleh tata laksana hukum (structure of law) yang maksimal, ditandai dengan terdapatnya kesenjangan kapasitas dan kompetensi antara eksekutif dengan anggota DPRD dalam menyusun anggran publik. Hal yang memperparah kondisi tersebut adalah rendahnya budaya hukum (culture of law) para pembuat kebijakan dalam menerapkan prinsip-prinsip anggaran publik. Prinsip-prinsip yang harus termuat dalam anggaran publik, meliputi: 1. Keadilan anggaran; 2. Efisiensi dan efektifitas anggaran; 3. Anggaran berimbang dan dinamis; 4. Disiplin dan tertib anggaran; 193 Ahmad Helmi, et. al. Memahami Anggaran Publik, op. cit, hal. 52 194 Astia Dendi dan Arif Roesman, Mengembangkan Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif di Daerah, Makalah disampaikan pada Forum Regional/ Forum Nasional FPPM di Lombok, 26-29 Januari 2005. 195 Ahmad Helmi, et.al, Memahami Anggaran Publik op.cit, hal. 53 196 Ahmad ������������� Helmi, et.al, Memahami Anggaran Publik, ibid, hal. 58
114
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
5. Tranparansi dan akuntabilitas anggaran; 6. Partisipasi secara simultan; 7. Alokasi dan distribusi yang adil. 197 Dalam konteks partsipasi anak dalam proses pengambilan keputusan, tentu hambatannya akan lebih besar ketimbang orang dewasa. Hal ������������������� ini disebabkan, pertama, anak-anak berhadapan dengan otoritas orangorang dewasa dan kultur masyarakat yang memarjinalkan suara mereka. Orang-orang dewasa akan berusaha mempertahankan status quo mereka agar anak-anak tetap menempati struktur sosial pada level yang paling bawah. Dengan kata lain, upaya anak-anak untuk memikirkan dan memecahkan persoalan mereka sendiri, berhadapan dengan tradisi yang resisten. Resistensi ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak sependapat dengan ide anak-anak atau karena status mereka yang berpengaruh dan menikmati kekuasaan dalam masyarakat.198 Resistensi tersebut lebih menguat lagi apabila partisipasi tersebut dilakukan oleh anak-anak perempuan. Masyarakat yang masih dilingkupi kultur patriarkhi akan menempatkan anak-anak perempuan dalam relasi yang jauh subordinatif ketimbang dengan anak-anak laki-laki. Dampaknya akses anak-anak perempuan untuk berpartisipasi semakin tertutup. Kedua, kerangka hukum (legal frame work) dalam perencanaan dan penganggaran secara substansif menghambat partisipasi anak. Kebijakan publik seringkali hanya dikondisikan untuk mengatur orang-orang dewasa yang oleh hukum dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sehingga konstruksi hukum yang terbangun menegasikan anak-anak. Konstruksi hukum seperti ini berakibat anak-anak cenderung dipandang sebagai anggota masyarakat yang tidak produktif, apolitis, dan tidak layak masuk kalkulasi politik. Kemudian, kondisi ini diperburuk dengan struktur birokrasi yang ada ����������������������������������������������� belum membuka ruang-ruang yang memungkinkan anak berpartisipasi. Dalam kehidupan bernegara, semestinya keterlibatan anak-anak dalam penyusunan anggaran publik tidak boleh dilupakan karena anak-anak juga merupakan kelompok yang perlu dilibatkan sebagai publik relevan (relevant publik)199 sehingga anak-anak tidak semata-mata dijadikan sebagai penerima manfaat pembangunan.
Merujuk pada Samuelson, salah satu peran pemerintah yang tidak dapat digantikan oleh institusi lain adalah mengurangi kesenjangan distribusi pendapatan. Peran ini dapat dilakukan melalui 2 (dua) instrumen yaitu regulasi dan anggaran. Berdasarkan beberapa studi, kegagalan pemerintah dalam merancang instrumen regulasi tidak hanya menyebabkan ketimpangan pendapatan, tetapi juga menghambat orang-orang miskin mengakumulasi kekayaan. Untuk itu instrumen anggaran menempati posisi penting guna merealisasikan peran tersebut melalui pajak dan belanja pemerintah. Melalui pajak, pemerintah mengumpulkan pemasukan dari warga negara yang lebih mampu, selanjutnya uang yang terkumpul dibelanjakan untuk biaya operasional 197 Dian Kartika Sari, Asas-Asas Keuangan Daerah, makalah, tanpa tahun, hal. 1 -2 198 Pat Pridmore et.al , Pengaruh Budaya Terhadap Pandangan dan Sikap Anak dalam Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis, op. cit, hal. 244 199 Thomas J. Clayton menyatakan bahwa publik relevan terhadap suatu isu adalah semua representasi kelompok atau individu masyarakat, baik yang terorganisir amaupun tidak terorganisir, sebagai publik yang dapat menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk penyelesaian suatu isu. Lihat Fadillah Putra, Kebijakan Tidak untuk Publik, Yogyakarta, Resist Book, 2005, hal. 35
115
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
BAB V
ANGGARAN TIDAK
BERBASIS
HAK ANAK
organisasi pemerintahan, untuk pelayanan publik, dan mengurangi kemiskinan.200 Namun realitanya fungsi tersebut tidak terefleksikan dalam anggaran publik yang ditetapkan oleh pemerintah. Ketiadaan good will pemerintah nampak pada kebijakan menaikan harga BBM 2 (dua) kali dalam periode satu tahun, yakni Bulan Maret dan Bulan Oktober. Dalam arti, kenaikan harga BBM merupakan upaya pemerintah mengurangi subsidi BBM. Namun kenaikan ini tidak diberangi dengan belanja pemerintah untuk investasi pada layanan sosial kepada publik. Akibatnya rakyat miskin semakin terkuras penghasilannya untuk menanggung dampak kenaikan BBM yang terjadi pada hampir semua aspek kehidupan mereka. Di sisi lain, secara simultan pemerintah malahan menaikan tunjangan DPR sebesar Rp 10 juta dan anggaran lembaga kepresidenan. Celakanya penetapan alokasi anggaran tersebut tidak melalui partisipasi masyarakat, hanya melibatkan pemerintah dengan parlemen. Dengan kata lain, proses kenaikan anggaran tersebut amat tertutup sehingga dapat diindikasikan merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) pengelolaan keuangan negara. Padahal Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menyatakan bahwa kerangka normatif instrumen Hukum HAM Internasional telah menjamin hak untuk berpartisipasi dalam setiap proses pembuatan kebijakan publik yang relevan. Lebih jauh Komite menegaskan bahwa realisasi hak dan kewajiban yang timbul dari kebijakan publik tersebut mensyaratkan akuntabilitas. Bagaimanapun mekanisme akuntabilitas tersebut harus terakses, transparan, dan efektif.201 Proses pengambilan kebijakan yang tertutup perlu dicurigai sebagai indikasi awal praktik korupsi. Rumusnya, corruption is authority plus monopoly minus transparency.202 Rumus ini amat relevan untuk diterapkan dalam penyusunan anggaran publik yang selama ini terjadi di Indonesia karena UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan memang memberikan monopoli penyusunan APBN/APBD kepada eksekutif dan legislatif. Namun monopoli ini amat rentan diselewengkan jika (i) terjadi relasi kolutif antara eksekutif dan legislatif; dan (ii) tidak mendapatkan monitoring dari masyarakat sipil. Kasus ������������������������������������� kenaikan tunjangan DPR dan anggaran kepresidenan menggambarkan betapa mudah anggaran publik digunakan untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan. Hal yang sama terjadi pada kasus kenaikan pendapatan anggota DPRD Jakarta, atau beberapa daerah lain di Tanah Air. Eksekutif yang mengharap dukungan politik dari legislatif cenderung memanfaatkan penyusunan anggaran tahunan guna ”membeli dukungan” legislatif. Anggaran publik yang disusun dalam atmosfer relasi kolutif eksekutif-legislatif demikian berpotensi menjadi praktik state corruption. State corruption melalui peraturan perundang-undangan penganggaran seakan sah secara prosedural karena dilakukan melalui 200 Suhirman mengutip Hernando de Soto, Perencanaan dan Penganggaran Daerah : Sudah Pro-Poor kah, Buletin Lesung, Edisi III nomor 1, November 2004 201 UN Doc. E/C.12/2001/10, Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Paragraf 12 dan 14 202 Denny Indrayana, Korupsi Anggaran Jelang Lebaran, Kompas, 7 November 2005. Dalam RUU APBN 2006 direncanakan anggaran kepresidenan meningkat dari Rp 727,209 miliar pada 2005 menjadi Rp 1,147 trilyun pada 2006. Ini berarti naik sekitar 50%. Sementara anggaran wapres direncanakan meningkat dari Rp 165,744 miliar pada 2005 menjadi 179,203 miliar pada 2006. Lihat www.kompas. com, 25 Oktober 2005. Bandingkan dengan distribusi dana kompensasi BBM melalui BLT dimana orang-orang miskin hanya menerima Rp 100.000 per bulan.
116
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
mekanisme legislasi.203 Perspektif HAM mengkategorikan alokasi yang koruptif demikian sebagai pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh eksekutif dan legislatif melalui politik kebijakan anggaran publik (act of commission). Alokasi anggaran yang tidak adil tersebut, nyata-nyata menghalangi penikmatan hak-hak asasi warga negara yang seharus dapat terpenuhi apabila anggaran tersebut dialokasikan untuk publik. Kewajiban utama negara untuk memenuhi HAM warga negaranya (obligation to fulfill) melalui pengambilan tindakan melalui regulasi dan anggaran gagal pula ditunaikan. Dalam wilyah ini pula, pelanggaran HAM dapat disebabkan oleh penempatan skala prioritas program yang satu dengan program yang lain serta besaran alokasi anggaran publik untuk mendanai suatu program. Perbandingan persentase alokasi anggaran antara sektor pendidikan, kesehatan, dan pertahanan keamanan dengan total APBN di bawah ini menjadi bukti empiris pelanggaran HAM tersebut. Grafik : Perbandingan persentase antar sektor204 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 2005
2004
2003 Pertahanan
2002
2001
Pendidikan
Kesehatan
2000
1999
Grafik tersebut memperlihatkan pada tahun 2004 – 2005, anggaran pertahanan di atas anggaran pendidikan. Peningkatan yang cukup besar terjadi pada tahun 2004. Padahal konsitusi menentukan anggaran pendidikan minimal mencapai 20% dari APBN. Namun, anggaran pendidikan dalam RAPBN 2005 hanya Rp 25,71 triliun atau hanya 9,7% dari APBN. Seharusnya untuk memenuhi ketentuan konstitusi, alokasi anggaran pendidikan harus mencapai Rp. 52,97 triliun atau dua kali lipat anggaran yang dialokasikan pada RAPBN 2005. Komparasi ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak pernah memprioritaskan pendidikan. ����������������������������������������������������������������������������������������������������� Sementara itu, alokasi untuk sektor kesehatan jauh di bawah alokasi pertahanan dan pendidikan. APBN 1999 – 2005 mengalokasikan anggaran kesehatan yang sangat terbatas, hanya 1%-3%.205 Dengan anggaran yang minim, tentu saja tidak mencukupi untuk memberikan pelayanan kesehatan yang optimal, yang mencakup 203 Denny Indrayana, Korupsi Anggaran Jelang Lebaran, ibid 204 J. Danang Widoyoko, Menyoal Anggaran Pertahanan, Makalah untuk Workshop Reformasi Sektor Pertahanan Imparsial ������������������������� di Jakarta, 25 – 26 April 2005, hal. 8 205 J. �������������������� Danang Widoyoko, Menyoal Anggaran Pertahanan������ , ibid
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
117
sarana prasarana, tenaga medis, dan obat-obatan. Keterbatasan anggaran ini membuat pelayanan kesehatan semakin mahal. Pada akhirnya masyarakat yang harus menanggung sepenuhnya pengeluaran kesehatan. WHO mensyaratkan alokasi untuk sektor kesehatan dapat memenuhi hak atas derajat kesehatan yang tinggi, apabila negara mengalokasikan anggarannya minimal 20% dari APBN dan minimal 5% dari APBN untuk mencapai derajat kesehatan minimal. Kemudian u������������������������������������������������������������������� ntuk sektor pemukiman setidak-tidaknya negara harus mengalokasikan anggarannya minimal 10% dari APBN. Menurut GAPRI, dibutuhkan minimal 55% alokasi anggaran dari total anggaran publik yang berasal dari penerimaan dalam negeri, untuk memenuhi hak-hak asasi yang bersifat mendasar seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, pangan, pekerjaan, layanan air, lingkungan yang bersih, dan partisipasi. Berikut grafik komparasi alokasi antarbeberapa sektor206 yang memperlihatkan APBN tahun 2005 ternyata mengalokasikan sektor pertahanan dan keamanan lebih tinggi dibanding sektor lain. Jika dijumlahkan alokasi untuk sektor ini sebesar Rp 33,14 trilyun, lebih tinggi dibanding sektor pendidikan dan sektor kesehatan.
Di samping itu, pereferensi politik alokasi anggaran publik yang lebih mengutamakan prioritas membayar utang luar negeri ketimbang mengalokasikan dan mendistibusikan bagi kepentingan publik juga merupakan pelanggaran HAM. Pembayaran utang luar negeri telah menggerogoti 25,10% dari total belanja negara yang berjumlah Rp 441,61 trilyun, serta menguras pendapatan negara sebesar 29,33%. Alokasi ini terdiri dari bunga hutang dalam negeri sebesar Rp 38,84 trilyun, bunga hutang luar negeri Rp 25,14 trilyun dan cicilan pokok hutang luar negeri Rp 46,84 trilyun. Selain utang luar negeri, anggaran negara juga digerogoti utang dalam negeri, akibat politik pereferensi negara yang lebih memilih menyelamatkan kolapsnya perbankan. Dalam nota keuangan APBN-P, pembayaran bunga hutang dalam negeri diperkirakan mencapai Rp 41.587,1 miliar, atau Rp 2.592,6 millliar (6,8 %) lebih tinggi dari yang ditetapkan dalam APBN 2005.207 Dengan situasi anggaran seperti 206 Andi Widjajanto, Ekonomi Pertahanan Indonesia, Universitas Indonesia, 2005 207 Isadi, Analisa APBN-P dan Pendidikan, www.kau.or.id, 2005
118
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
ini, ���������������������������������������������������������������������������������������������������� artinya puluhan tahun ke depan alokasi pemerintah untuk pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya jelas akan dikorbankan. Padahal menurut seorang ekonom untuk menggratiskan pendidikan dasar cukup mengalokasikan dana sebesar Rp 10 trilyun.208 Hal ini tentu tidak lah adil jika kita membandingkannya dengan alokasi anggaran publik untuk menutup kejahatan perbankan yang besarnya mencapai puluhan trilyun per tahun. Seharusnya dana masyarakat tersebut harus dikembalikan dalam bentuk pemenuhan hak konstitusi rakyat. Namun karena alokasi pembayaran utang sudah menyedot lebih dari sepertiga dari anggaran belanja pemerintah. Tentu saja alokasi untuk memenuhi kebutuhan pubik yang bersifat fundamental dan subsisten yang menjadi korban. Kebijakan pemerintah yang mengorbankan pemenuhan hak konstitusi rakyat ini disebabkan ketiadaan good will pemerintah untuk mengatasi beban utang yang sudah menguras uang rakyat dalam pos belanja negara. Ketimpangan alokasi tersebut, nampak dalam grafik perbandingan pembayaran utang luar negeri dengan alokasi untuk menjalani kewajiban konstitusional negara (belanja sosial) dalam RAPBN 2005.209
Rp. Miliyar
120,000,00
110,823,40
Pembayaran Utang Menguras 25% Belanja dalam APBN
100,000,00 Hanya 5,82% Belanja dalam APBN dialokasikan untuk Pendidikan
80,000,00 60,000,00 40,000,00
25,710.70 20,000,00 0,00
Hanya 1,54% Belanja dalam APBN dialokasikan untuk Kesehatan
6,790.90 Pembayaran Utang
Pendidikan
Kesehatan
2,206.20 Perumahan dan Fasilitas UMUM
1,926.30 Perlindungan Sosial
Memang terdapat kebijakan pemerintah yang ditujukan bagi kepentingan kelompok miskin baik di perdesaan maupun di perkotaan guna merespon terjadinya krisis ekonomi seperti JPS, beras miskin, IDT, dan lain-lain. Namun kebijakan tersebut hanya bersifat karitatif dan didesain dalam rangka memperoleh donasi dari luar negeri. Senada dengan pola tersebut, untuk mengantisipasi dampak sosial kenaikan harga BBM, pemerintah juga mengalokasikan anggarannya untuk kepentingan kelompok miskin. Alokasi tersebut ditujukan untuk menggratiskan biaya pendidikan dasar (BOS), pengobatan gratis, dan pembangunan infrastruktur di wilayahwilayah yang masih tertinggal. Kendati ditujukan untuk kelompok miskin, namun alokasi tersebut dimotivasi untuk memberikan legitimasi kebijakan kenaikan harga BBM, bukan melaksanakan kewajiban konstitusional pemerintah. Sektor lain yang juga menyerap anggaran lebih banyak adalah belanja daerah, meliputi (a) dana bagi 208 209
Eko Prasetyo, Orang Miskin Tanpa Subsidi, Yogyakarta, Resist Book, 2005, hal. 75 – 76 Kusfiardi, RAPBN 2005 Melanggar Hak Konstitusi Rakyat, www.kau.or.id
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
119
hasil (Rp 59.358.4 miliar); (b) dana alokasi umum (Rp 145.664.2 miliar); (c) dana alokasi khusus (Rp 11.569.8 miliar); dan (d) dana otonomi khusus(Rp 3.477.1 miliar). Seluruh sektor ini mencapai Rp 220.068.5 miliar atau lebih besar 30 persen APBN.210 Alokasi ini ditujukan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah (desentralisasi). Namun dalam perjalanannya konsepsi desentralisasi berhenti hanya sebatas pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan dan pengelolaan anggaran. Pada akhirnya hanya menciptakan dominasi kekuasaan oleh elit lokal. Monopoli kewenangan untuk menyusun kebijakan dan mengelola anggaran membuat akses terhadap sumber-sumber daerah hanya kepada elit dan atau politisi lokal yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.211 Penetapan kebijakan seperti ini menyebabkan terjadinya distorsi penggunaan dana APBD antara lain : (1) terjadinya asimetri anggaran dengan problem nyata yang dihadapi masyarakat; (2) sebagian besar dinikmati birokrat; (3) anggaran tidak peka gender; (4) oligarkhi parlemen;212 (5) kesenjangan antara pendapatan aktual dan potensinya; dan (6) belanja rutin semakin tinggi.213 Distorsifitas penggunaan anggaran nampak pada Nota Keuangan APBD Pemda DKI tahun Anggaran 2005. Dalam nota tersebut persoalan pemenuhan hak-hak anak tidak menjadi arus utama (paradigma) dalam penyusunan anggaran. Berdasarkan nota tersebut permasalahan anak hanya menjadi sub bagian dari 8 (delapan) program prioritas yang telah ditetapkan.214 Dalam arti issue anak belum menjadi arus utama bagi pengambil kebijakan. Kondisi ini dapat dilihat dari penetapan prioritas program yang kira-kira berdampak pada anak hanya dialokasikan untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan bidang sosial budaya. Alokasinya pun masih terbagi ke dalam anggaran biaya langsung dan biaya tidak langsung. Di samping itu program tersebut hanya menjadi sub program bidang prioritas pembangunan.
210 H. Soedijarto, Pendidikan dan Pelanggaran UUD 1945, Kompas, 14 Januari 2006, hal. 7 211 Adnan Topan Husodo, Otonomi Daerah, Lahan Subur Korupsi, Laporan Akhir Tahun 2004 Indonesia Corruption Watch, Otonomi Daerah, Lahan Subur Korupsi. 212 Dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) mulai Januari hingga Desember 2004, terdapat 239 kasus korupsi di berbagai daerah dengan bermacam aktor, modus dan tingkat kerugian yang diderita oleh negara. Yang mengkhawatirkan, sebagian besar praktek korupsi yang terjadi pada era desentralisasi justru dilakukan oleh anggota parlemen (DPRD) yang notabenenya secara fungsional merupakan lembaga kontrol yang seharusnya merepresentasikan kehendak publik. Setidaknya sudah ada 102 kasus korupsi DPRD yang diberitakan oleh media massa selama kurun waktu Januari-Desember 2004.ibid 213 Suhirman & Dedi Haryadi, Distorsi Proses Anggaran dan Penguatan Masyarakat Sipil, Bandung, BIGS, 2002, hal 10 - 16 214 Berdasarkan Nota Keuangan APBD Pemda DKI 2005 ditetapkan 8 (delapan) program dan kegiatan prioritas yang meliputi : (1) Bidang hukum, ketentraman ketertiban umum dan kesatuan bangsa, (2) Bidang Pemerintahan, (3) Bidang Ekonomi, (4) Bidang pendidikan dan kesehatan, (5) Bidang kependudukan dan ketenagakerjaan, (6) Bidang sosial dan budaya, (7) Bidang sumber daya alam, dan lingkungan hidup, dan (8) Bidang sarana dan prasarana kota.
120
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Tabel Alokasi anggaran yang kira-kira berdampak kepada anak Uraian
Besaran Alokasi
I. Fungsi Pendidikan Program Pengembangan Pendidikan Sekolah Tingkat Dasar
Rp
698.665.941.490,00
Program Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah
Rp
20.268.897.000,00
Program Pengembangan Pendidikan Sekolah Tingkat Menengah Umum dan Kejuruan
Rp
322.398.808.265,00
Program Peningkatan Kesehatan Masyarakat
Rp
71.823.026.500,00
Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan
Rp
305.378.019.048,00
Program Penanganan Gawat Darurat
Rp
10.362.672.500,00
Program Perbaikan Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Rp
257.583.747.185,00
Program Peningkatan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Rp
74.765.645.332,00
Program Peningkatan Peran Serta Sosial Masyarakat
Rp
8.187.029.000,00
IV. Fungsi Pemberdayaan Masyarakat Program Pemberdayaan Perempuan
Rp
7.804.000.000,00
Total
Rp
II. Fungsi Kesehatan
III. Fungsi Kesejahteraan Sosial
1.777.237.786.320,00 Sumber : Diolah dari Nota Keuangan APBD DKI 2005
Alokasinya pun, tidak diterjemahkan ke dalam program yang bersifat konkrit untuk memecahkan persoalan anak, seringkali alokasi itu diejawantahkan ke dalam program yang masih dalam tataran wacana, perencanaan, dan kegiatan yang bersifat seremonial. ��������������������������������������������������������������������� Penetapan alokasi anggaran publik seperti ini berimplikasi terhadap upaya pemenuhan hak anak. Alokasi anggaran publik yang demikian menunjukkan distorsifitas alokasi APBD akibat dominannya kepentingan ideologi pengambil kebijakan (top down approach). Padahal salah satu akar persoalan utama untuk sektor pendidikan adalah semakin mahalnya biaya pendidikan dasar yang berdampak pada kenaikan angka putus sekolah. Berdasarkan penelitian ICW angka anak putus sekolah di wilayah DKI masih tinggi berkisar 15 ribu orang. 215 Faktor utama biaya pendidikan mahal ini ���� akibat aneka pungutan masih membebani orang tua peserta didik di wilayah DKI.216 Akibatnya keluarga miskin semakin enggan menyekolahkan anaknya karena terbentur faktor biaya. Faktor ini diperburuk terdapatnya kultur masyarakat yang beranggapan anak sebagai penopang ekonomi keluarga. Akibatnya anak cenderung diarahkan untuk membantu orang tua mencari nafkah keluarga. 215 Ade Irawan, et.al, Mendagangkan Sekolah : Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI, Jakarta, ICW, 2004, hal 4 – 5 216 Temuan ICW dilapangan berdasarkan FGD di 5 (lima) wilayah di DKI Jakarta bersama guru, orang tua siswa, dan siswa. Dari FGD tersebut ditemukan aneka pungutan yang diterapkan pihak sekolah. Berdasarkan temuan tersebut paling tidak ada 17 dana potongan ditemukan di SD di Jakarta seperti biaya ujian, bagunan sekolah, seragam sekolah, seragam SD, buku paket, wisata belajar, kegiatan ekstrakurikuler, daftar ulang, uang rapor, OSIS, UKS, perpustakaan, perayaan hari besar, gaji guru honorer, dana taktis sekolah, hingga mutasi kepala sekolah. Akibatnya porsi penghasilan orang tua tersedot untuk membiayai sekolah anaknya. Untuk itu mereka kerap mengorbankan kebutuhan primer lainnya seperti makan, baik kualitas maupun kuantitas, Ade Irawan, et.al, Mendagangkan Sekolah ibid, hal. 94 – 97
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
121
Namun respon Pemda DKI seperti terlihat dalam APBD DKI sangat minimalis dan hanya berorientasi proyek. Hal ini dapat dilihat capaian program yang hanya mengidentifikasi, menganalisis serta menyusunan data penyebab anak putus sekolah. Pihak yang akan menerima manfaat dalam program ini hanya ditargetkan sebanyak 1.187 siswa SD dan 2.263 siswa SMP termasuk anak usia sekolah yang bekerja.217 Melihat respon seperti ini maka eradikasi anak putus sekolah akan sulit terealisasi. Kondisi-kondisi yang telah diuraikan di atas semakin diperburuk dengan banyaknya fasilitas SD dan SMP yang rusak. Catatan Dinas Pendidikan Dasar DKI menyebutkan di wilayah DKI terdapat 68 SDN dan 50 SLTPN ambruk yang perlu diperbaiki. Program rehabilitasi gedung sekolah yang terancam ambruk hanya mendapatkan kucuran dana sebesar Rp 200 miliar. Bandingkan dengan program Busway yang lebih diprioritaskan oleh PemdaDKI yang menyediakan dana mencapai Rp 458,8 miliar.218 Perefensi politik kebijakan alokasi ini jelas berdampak pada jaminan penikmatan hak atas sarana pendidikan yang aman dan nyaman. Demikian pula halnya, sektor kesehatan yang tidak dijadikan sebagai kegiatan dengan skala besar dan prioritas (dedicated program), Pemda DKI malahan lebih mengalokasikan anggarannya untuk membangun flyover dan underpass Pasar Minggu sebesar Rp 153,8 milyar, Islamic Center sebesar Rp 61,2 milyar, dan penguatan manajemen kecamatan dan kelurahan sebesar Rp 81,4 milyar,219 ketimbang mengalokasikannya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya. Padahal, sebagaimana disinyalir oleh media massa hampir setiap tahun wabah demam berdarah menjangkiti warga DKI Jakarta di mana sebagian besar korbannya adalah anak-anak. Respon Pemda DKI dengan kebijakan pengobatan gratis bagi penderita demam berdarah, memang perlu mendapatkan apresiasi. Namun upaya ini belum menjawab akar masalah munculnya wabah demam berdarah yang justru timbul karena kesehatan lingkungan yang buruk. Permasalahan ini menyangkut terhambatnya akses untuk mendapatkan perumahan yang layak, air bersih, dan kecukupan pangan yang bergizi. Selain pengobatan gratis bagi penderita demam berdarah, untuk sektor kesehatan Pemda DKI telah menganggarkan dana kesehatan sebesar Rp 100 milyar melalui program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin). Program ini ditujukan bagi 291.324 orang penduduk miskin yang ber KTP Jakarta. Program JPK Gakin ini sudah mulai diuji cobakan sejak 2004 dan akan berakhir pada tahun 2006.220 Namun dilihat dari perspektif HAM, program ini selain bersifat diskriminatif terhadap keluarga miskin pendatang, pendekatannya berorientasi proyek bukan bersifat programatik dalam rangka menunaikan kewajiban negara. Selanjutnya, untuk menjamin hak atas permukiman yang layak, Pemda DKI justru mengalokasikan anggaran yang berpotensi menghilangkan hunian-hunian warga miskin DKI. Program-program yang berpotensi melanggar hak atas permukiman antara lain : Program Banjir Kanal Timur didanai sebesar Rp 450 miliar untuk membebaskan tanah seluas 401,2 ha.; program Kali Angke, Kali Ciliwung, dan situ-situ didanai sebesar Rp 401,5 miliar. Sementara itu pembangunan rumah susun hanya dianggarkan sebesar Rp 166,8 miliar.221 Alokasi yang tidak sebanding ini akan semakin meningkatkan angka backlog (kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi). Padahal kebutuhan unit perumahan baru di Indonesia memiliki backlog sebesar 4,5 juta unit (2001), 7,3 juta unit (2004), dan 11,7 juta unit (2009). Kemudian dari perspektif gender, APBD DKI 2005 maka anggaran yang tersedia belum mencerminkan keadilan gender (gender justice) dan responsif secara gender. Hal ini nampak pada distribusi alokasi anggarannya 217 Nota Keuangan APBD DKI 2005, Bab IV Program dan Kegiatan Prirotas, bidang Pendidikan dan Kesehatan khususnya Program Pengembangan Pendidikan Sekolah Tingkat Dasar. Lihat halaman IV-37. 218 Nota Keuangan APBD DKI 2005, Bab III bagian 3.3. Arah dan Kebijakan Umum, halaman III-4 219 Nota Keuangan APBD DKI 2005, Bab III bagian 3.3. Arah dan Kebijakan Umum ibid, hal. III-5 220 www.kompas.com, 5 April 2005 221 Lihat Nota Keuangan APBD DKI 2005, Bab III bagian 3.3. Arah dan Kebijakan Umum, op. cit
122
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
belum tersegregasi menurut jenis kelamin. Artinya masalah-masalah anak-anak perempuan yang mengalami hambatan untuk menikmati hak-haknya belum teridentifikasi dan terakomodasi ke dalam program. Seharusnya kultur patriarkhi yang masih menghinggapi sebagian besar masyarakat dapat dieliminasi melalui intervensi aktif negera melalui kebijakannya, salah satunya melalui anggaran publik. Dengan demikian, sudah semestinya alokasi anggaran didesain secara de jure dan de facto mewujudkan tatanan yang berkesetaraan gender (gender equality). Terkait dengan persoalan tersebut dalam APBD DKI 2005 hanya terdapat satu program yang menggunakan term pemberdayaan perempuan dengan alokasi dana sebesar 7,8 milyar. Alokasi-alokasi belanja sosial sebagaimana telah diurai di atas jauh lebih kecil dibandingkan dengan belanja untuk melaksanakan fungsi pemerintahan. Tabel Alokasi anggaran untuk melaksanakan fungs���������������������� i kepemerintahan PEMDA Uraian Besaran alokasi 1. Bidang Hukum, Trantib, dan Kesbang
Rp
634.993.282.400,00
2. Pemerintahan
Rp
3.518.399.713.349,00
Rp
4.153.392.995.749,00
Total
Sumber : Diolah dari Nota Keuangan APBD DKI 2005
Alokasi tersebut cenderung akan semakin bertambah karena melalui Peraturan Gubernur Nomor 114 tahun 2005 tentang Belanja DPRD DKI yang ditetapkan 30 September sehari menjelang kenaikan harga BBM sebesar lebih dari 100%, peraturan tersebut menaikan tunjangan kesejahteraan anggota DPR sebesar 100% dibanding tahun sebelumnya. Melalui peraturan ini anggota DPRD DKI mendapat 8 (delapan) bentuk pendapatan, yaitu uang representasi, uang paket, dan 6 (enam) jenis tunjangan khusus keluarga meliputi istri/suami dan anak-anak serta tunjangan beras 10 kg per bulan. Melalui regulasi ini juga uang representasi bagi ketua DPRD ditetapkan Rp 3 juta, wakil ketua Rp 2,4 juta dan anggota Rp 2,25 juta. Sementara uang paket diberikan sebesar 10% dari uang representasi sesuai dengan masing-masing kedudukan anggota DPRD. Anggota DPRD juga mendapatkan tunjangan jabatan Rp 4,35 juta (ketua), Rp 3,48 (wakil ketua), dan Rp 3,26 juta (anggota). Tunjangan sebagai anggota panitia atau alat kelengkapan dewan lainnya diberikan sebesar 3 – 7,5% dari tunjangan jabatan. Tunjangan kunjungan kerja Rp 1,5 juta/ sekali kunjungan. DPRD DKI mendapatkan jatah kunjungan kerja 17 kali tiap bulan. Kalau kegiatan ini diambil penuh maka seorang anggota bisa mengantongi Rp 25,5 juta/bulan. Semua ini belum termasuk tunjangan lain, termasuk menerima delegasi. 222 Korupsi model ini dianggap seolah-olah bukan merupakan tindakan korupsi karena telah dinaungi dalam suatu peraturan perundang-undangan sehingga tindakan tersebut legal. Padahal dari sisi materi peraturan, banyak terdapat penyimpangan (corrupt), baik terhadap peraturan yang lebih tinggi maupun dari aspek normatif lainnya seperti rasa keadilan, kepantasan umum atau kelaziman. Oleh karena dipayungi dalam bentuk peraturan, korupsi jenis ini sering disebut sebagai korupsi yang dilegalkan atau legalisasi korupsi. Mengingat legalisasi penyimpangan ini didasari atas kesepakatan dua pihak pengelola daerah. Korupsi yang telah melibatkan anggota dewan itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung jawab pihak eksekutif sebagai penyusun anggaran publik.223 Gejala ini, dalam perspektif Aristotelian, merupakan pemerintahan yang 222 www.kompas.com. 14 Oktober 2005 223 Adnan Topan Husodo, op. cit.
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
123
dilaksanakan oleh sekelompok orang untuk kepentingan kelompoknya sendiri. Negara yang dikawal dengan pemerintahan semacam ini dikenal dengan oligarchie. Dalam hal pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan orang-orang kaya , pemerintahan ini dikenal dengan plutokrasi. Kedua bentuk pemerintahan ini merupakan pemerosotan bentuk ideal negara (good form of government) menuju bentuk negara yang tidak baik (bad form of government). Kesimpulannya j������������������������������������������������������������������������������������������ ika melihat gejala penggunaan anggaran publik seperti telah diuraikan di atas, maka upaya penghapusan separuh angka kemiskinan pada tahun 2015 sebagaimana ditegaskan dalam MDGs gagal terealisasi. Kegagalan ini bisa dihindari apabila Pemerintah Indonesia mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi, berhasil memperkuat institusi dan melaksanakan kebijakan pro rakyat kecil, serta tidak terperangkap dalam utang.224 Dengan kata lain, semestinya alokasi anggaran publik dikaitkan sebagai pelaksanaan kewajiban pemerintah guna memenuhi HAM setiap warga negara, tidak hanya semata-mata untuk membiaya aktivitas pemerintahan dan aparat pemerintah. Artinya manakala penggunaan anggaran publik lebih dominan dialokasikan pada pos yang kedua maka dapat dikatakan penggunaan anggaran tersebut telah melanggar HAM.
224
Ivan A Hadar mengutip Daseking dan Kozack, Utang dan Pengurangan Kemiskinan, Kompas, 14 November 2005
124
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
BAB VI
LANGKAH-LANGKAH ADVOKASI ANGGARAN BERBASIS HAK ANAK
��������������������������������������������������������������������������������������������� Anggaran publik, baik APBN maupun APBD merupakan produk hukum, di mana legitimasinya dapat bersumber dari orotitas atributif, mandat, dan delegasi. Dalam titik ini terdapat pertanyaan besar berasal dari mana legitimasinya. Sebagai produk hukum, anggaran publik dapat ditinjau berdasarkan teori hukum. Karena kecenderungan yang terjadi, hukum tidak lagi memadai untuk mencapai keadilan yang substansif. Hukum bekerja hanya untuk melayani pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan. Hukum mempunyai kecenderungan tidak lagi berpihak kepada masyarakat yang tuna kuasa (powerless). Persoalan legitimasi hukum tidak terlepas dari serangkaian variabel-variabel yang terkait dengan hukum, yakni: hubungan timbal balik hukum dan politik; diskresi; partisipasi masyarakat; dan legitimasi. Terkait dengan variabel-variabel ini, terdapat 3 (tiga) konfigurasi khas hukum yang menggambarkan keterkaitan variabel tersebut, yaitu: (i) hukum yang represif, (ii) hukum yang otonom, dan (iii) hukum yang responsif.225 Dalam konteks legalisasi anggaran publik, fenomena anggaran publik yang distorsif dan reduktif bagi pemenuhan HAM, baik dilevel pusat maupun daerah, dapat dikategorikan sebagai anggaran publik yang terlegitimasi melalui hukum yang otonom. Legitimasi anggaran publik dengan hukum otonom tersebut ditandai dengan hal-hal berikut : • Tujuan anggaran publik hanya untuk mendapatkan legitimasi secara atributif; • Legitimasi anggaran publik dimaknai sebagai keadilan yang prosedural; • Penyusunan anggaran publik hanya berdasarkan pertimbangan pihak yang dilekati otoritas legal sehingga bersifat formal dan cenderung legalistis; • Perubahan anggaran publik melalui diskresi dibatasi oleh peraturan; • Moralitas kelembagaan penyusun anggaran publik hanya dilegitimasi melalui proses hukum; • Anggaran publik disusun hanya berdasarkan kalkulasi ekonomi dan politis; • Akses partisipasi publik dibatasi oleh yang prosedur baku;226 • Ruang partisipasi anak belum terakomodasi dalam sistem hukum penganggaran. Landasan hukum yang otonom tersebut pada akhirnya menghasilkan kebijakan penganggaran publik yang didominasi oleh birokrat dan sangat teknokratis. Kondisi ini ditandai dengan indikasi-indikasi seperti: 225 226
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif: Pilihan di Masa Transisi, Jakarta, HuMA, 2003, hal. 9 – 12 Mengadopsi pemikiran Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, ibid, hal. 13
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
• • • •
125
Tujuan anggaran publik teridentifikasi dengan jurisdiksi yang ditetapkan oleh birokrat; Otoritas penyusun anggaran publik terbagi dalam bidang-bidang kompetensi yang terbagi secara hirarkis dan mekanisme komunikasi tersedia hanya melalui saluran-saluran yang rasional dan formal; Kerangka hukum anggaran publik terkodifikasi, bersumber pada cetak biru, dan terfokus pada keteraturan administrasi; Pembuatan keputusan anggaran publik sistematik, rutin, delegasi terbatas, dan terdapat asumsi mengenai lingkungan sosial yang stabil yang terdiri dari unsur-unsur yang sudah diklasifikasikan dan dibuat taat pada aturan.227
Anggaran publik yang dilegitimasi oleh hukum yang otonom, bersifat birokratis, dan teknokratis berdampak pada kebutuhan anak-anak yang bersifat spesifik tidak teridentifikasi dan terakomodasi dalam anggaran publik. Melihat fenomena tersebut, upaya advokasi selayaknya ditujukan untuk merubah legitimasi anggaran publik yang dilandasi dengan hukum yang otonom, birokratis, dan teknokratis menjadi anggaran publik yang berlandaskan hukum yang responsif dan bersifat post birokratik. Tujuan akhirnya dapat terwujud anggaran yang partisipatif dan secara substansif berparadigma child mainstreaming. Anggaran partisipatif didefinisikan oleh Sergio Baierle sebagai semacam kontrak sosial dari bawah dengan mengkombinasi struktur (kebijakan publik) dan proses (gerakan sosial terbuka bagi tindakan warga) dengan berbasis partisipasi langsung yang berkeadilan sosial. Partisipasi yang berkeadilan sosial mensyaratkan penyusunan anggaran publik dilakukan secara kolaboratif. Artinya anggaran tersebut disusun dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Di samping itu, anggaran partisipatif tidak hanya sebuah program pemerintah, melainkan bagian dari proses yang lebih luas, yakni pembangunan sebuah kontrak sosial baru. Berdasarkan definisi ini, terdapat 3 (tiga) pengertian kunci dalam memahami praktik dan substansi anggaran partsipatif: pertama, kontrak sosial dari bawah (bottom up sosial contract); kedua proses yang patisipatif (process); dan ketiga kriteria keadilan sosial (as a sosial justice criteria). Kontrak sosial dari bawah berarti perselisihan, persetujuan, dan pengambilan keputusan datang dari basis dalam pengertian nyata, bukan basis dalam arti delegasi-perwakilan.228 Dengan kata lain, anggaran partisipatif dimaknai sebagai proses penganggaran yang mempunyai 2 (dua) dimensi, pertama, rakyat membuat aturan yang mereka setujui untuk disampaikan kepada wakilnya. Kedua, masyarakat sipil dapat bertindak secara aktif dalam arena politik untuk menikmati hak-hak politik yang melekat pada setiap warga negara. Sementara itu, anggaran publik yang memiliki kriteria keadilan sosial berarti proses penganggaran dapat dijadikan sebagai arena yang memungkinkan terjadi proses transformasi aparat birokrasi negara. Dibalik proposisi ini terdapat asumsi bahwa ide tentang ketidakadilan sosial adalah situasi ketidakadilan yang harus menjadi prioritas pertama untuk diperangi pemerintah. 229 Dalam penyusunan anggaran, prinsip anggaran partisipatif ialah bahwa yang kaya seharusnya membayar pajak lebih tinggi melalui 227 Mengadopsi pemikiran Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, ibid, hal. 19 228 Coen Husain Pontoh, Anggaran Partisipatif, op.cit, hal. 48 229 Menurut Sergio Baierle, ada (3) tiga tahapan dalam proses penyusunan anggaran partispastif. Pertama sosialisasi, pada tahap ini rakyat langsung berpartisipasi manakala pemerintah memberikan informasi tentang rencana program. Kemudian mendiskusikan anggarannya sehinga keterbatasan anggaran publik dapat diketahui dan muncul alternatif terhadap permasalahan tersebut. Di samping itu , pemerintah seharusnya mendengarkan pendapat dari warga tentang pelayanan dan pekerjaan yang seharusnya dilakukan atau bagaimana masyarakat memberikan prioritas pada tahun selanjutnya. Tahap kedua, adalah mendiskusikan dan memilih proposal anggaran pemerintah dalam dewan anggaran partispatif. Dewan ini akan menguji apakah aturan sudah diikuti (ketepatan dalam hal kekurangan pelayanan, populasi, dan prioritas di setiap dareah), apakah aspek-aspek legal telah dilaksanakan, demikian pula dengan hal-hal yang kompatibel dengan anggaran yang diperkirakan untuk tahun depan dan tahun sebelumnya. Tahap ketiga, setelah proposal ini disetujui di dewan perwakilan anggaran partisipatif, proposal harus mendapatkan persetujuan dari eksekutif. Lihat Coen �������������������� Husain Pontoh, Anggaran Partisipatif ibid
126
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
reformasi pajak, sementara yang miskin harus mendapatkan prioritas tertinggi bagi pelayanan publik. Prioritas anggaran publik bagi orang miskin bermakna: (i) distribusi yang adil; dan (ii) memperkuat posisi kaum miskin guna mengurangi sejauh mungkin eksploitasi.230 Namun esensi anggaran yang demokratis tersebut hingga kini belum juga terlihat di Indonesia. Kecenderungan yang terjadi pembangunan demokrasi pasca reformasi hanya menghasilkan demokrasi prosedural bukan demokrasi substansif. Kondisi ini ditandai dengan terdapatnya jurang antara aspirasi rakyat dengan wakil rakyat, di samping itu masih ada jurang antara kepentingan massa dengan kepentingan elit. Dengan demikian, reduksi dan distorsi substansi anggaran publik justru terjadi dalam wilayah-wilayah para pihak yang diberikan kewenangan untuk menyusun, menetapkan, dan mengesahkannya. Oleh karena itu sasaran kontrak sosial dari bawah ialah memangkas jurang tersebut sehingga rakyat tidak lagi memberikan cek kosong (blanket cheque) pada wakil rakyat untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya. Dalam kerangka tersebut, Denises Vitale-Mendes mengatakan bahwa program anggaran partisipatif bekerja dengan mempromosikan sistem pemerintahan semidirect democracy, sebagai tandingan sistem bourgeois institutions of representative. Anggaran publik yang dikonstruksi pada sistem yang pertama ini dapat terjadi jika terdapat kombinasi antara demokrasi perwakilan dengan kontrol masyarakat melalui kebijakan publik.231 Dengan demikian, kekuasaan eksekutif tetap menempati posisi utama dalam mengendalikan proses karena mereka memiliki otoritas dan sumber daya. Namun tetap dalam koridor pengawasan kekuasaan legislatif karena anggaran publik tetap harus mendapatkan persetujuan pihak legislatif. Kedua prasyarat ini harus dikerangkai dengan partisipasi aktif setiap elemen warga Negara. Mewujudkan anggaran yang partisipatif mensyaratkan landasan hukum yang responsif sehingga landasan tersebut sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan analisis bidangbidang ilmu lain agar pola pikir atau nalar hukum dapat mencakup pengetahuan sesuai konteks sosial lokal dan akan memberikan pengaruh terhadap tindakan resmi para aparat hukum. Lebih jauh, institusi hukum berkemampuan untuk mempertimbangkan fakta-fakta sosial di mana hukum itu berproses dan diaplikasikan. Dalam perspektif ini, hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih baik bukan sekedar prosedural hukum semata. Dengan demikian hukum selain memiliki kompetensi, juga berdimensi nilai-nilai keadilan. Hukum seharusnya mampu mengenali publik dan mempunyai komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif.232 Sebangun dengan konsep tersebut maka anggaran publik yang dibuat dengan berdasarkan pada hukum yang responsif akan menghasilkan anggaran publik yang bersifat post birokratik. Anggaran publik yang bersifat post birokratik dilekati tanda-tanda sebagai berikut: • Anggaran publik beroreintasi pada misi sehingga bersifat fleksibel; • Anggaran publik dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama oleh sebuah tim dan gugus tugas melalui komunikasi terbuka, difusi otoritas, dan rasionalitas substansif; • Anggaran publik merupakan subordinat terhadap tujuan, dan tidak bersandarkan pada keterikatan yang absolut terhadap peraturan; • Anggaran yang disusun secara partisipatif, berpusat pada penyelesaian masalah, delegasi luas, dan terdapat asumsi yang dikembangakan berdasarkan lingkungan yang sesuai dengan tuntutan dan kesempatan yang berubah-ubah.233 230 231 232 233
Coen Husain Pontoh, Anggaran Partisipatif, ibid, hal. 48 – 50 Coen �������������������� Husain Pontoh, Anggaran Partisipatif, ibid ���� Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, op.cit hal. 59 – 60 Mengadopsi pemikiran Philippe ���������������������������������� Nonet dan Philip Selznick ibid, hal. 19
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
127
Dalam rangka mengupayakan perubahan sebagaimana disebut di muka, maka diperlukan terjadinya perubahan paradigma pada ranah sistem penganggaran anggaran publik, baik sistem hukum yang melandasi proses penganggaran maupun proses penganggaran anggaran publik itu sendiri. Terkait dengan sistem hukum yang melandasi proses penganggaran, maka diperlukan kajian-kajian mengenai bagaimana sistem hukum penganggaran merespon konteks kebutuhan masyarakat. Untuk itu kajian mengenai fenomena respon sistem hukum penganggaran harus difokuskan paling tidak pada 4 (empat) aspek pokok, yaitu: (i) proses pembuatan hukum (law making process); (ii) norma hukum/ peraturan perundang-undangan (legal norms); (iii) implementasi hukum (law implementation); dan (iv) penegakan hukum (law enforcement).234 Kajian pada tingkatan proses pembuatan hukum akan memberi pemahaman bagaimana pertarungan berbagai kepentingan (ekonomi, politik, sosial, dan religi), termasuk ideologi partai dan tekanan dunia internasional (negara-negara/lembaga-lembaga internasional) mempengaruhi proses pembahasan, perdebatan, sampai pengambilan keputusan untuk menyetujui dan mensahkan (lembaga ekskutif-legislatif) suatu produk hukum negara (state law). Selain itu, akan diamati dan dicermati apakah proses pembuatan hukum tersebut sudah melalui mekanisme yang benar, seperti dimulai dengan membuat background paper dan naskah akademik. kemudian penyusunan rancangan undang-undangnya apakah dilakukan melalui konsultasi publik (puclic consultation) oleh ekskutif-legislatif dan dengar pendapat (hearing) sebagai cerminan dari prinsip transparansi dan partisipasi publik dengan melibatkan semua komponen stakeholders sebelum persetujuan dan pensahan oleh eksekutif-legislatif dilakukan?. Dengan demikian, proses dan pertarungan kepentingan yang mendominasi proses tersebut dapat diketahui secara eksplisit karena akan memberi warna dan nuansa, jiwa dan semangat dari produk hukum yang dihasilkan seperti tercermin pada asas dan norma-norma hukumnya. Kajian pada tingkatan norma-norma hukumnya, akan memberi pemahaman mengenai jiwa dan semangat serta prinsipprinsip yang dianut dari suatu produk hukum/peraturan perundang-undangan. �������������������������������� Hal-hal krusial di atas akan dapat terjawab selain dengan mencermati dan mengkritisi norma-norma hukumnya, juga dengan meniti kembali proses pembuatannya ketika berlangsung di tingkat ekskutif dan legislatif. Kajian pada tingkatan implementasi hukum (law implementation) dan tingkatan penegakan hukum (law enforcement) dapat memberi pemahaman mengenai apakah di satu segi aparat pelaksana hukum dan penegak hukum secara konsisten dan konsekuen sudah melaksanakan norma-norma hukum sebagai bagian dari kewenangan, kewajiban, dan tugas-tugasnya. Pada tingkatan ini akan dapat dipahami bagaimana aspek-aspek ekonomi, politik, sosial, religi, sosial, bahkan ideologi partai atau tekanan negara/lembaga internasional mempengaruhi kinerja pelaksanan hukum maupun penegakan hukum berlangsung dalam masyarakat.235 Pada dasarnya proses penganggaran publik tidak jauh berbeda dengan sistem hukum yang melandasinya karena keduanya merupakan produk hukum. Oleh karenanya, terdapat 4 (empat) siklus penganggaran anggaran publik yang penting untuk dicermati, yakni: (i) penyusunan anggaran (budget formulating), ketika anggaran direncanakan bersama oleh cabang-cabang eksekutif yang berwenang; (ii) pengundangan (enactment), ketika perencanaan anggaran diperdebatkan, dirubah, dan disahkan oleh legislatif; (iii) pelaksanaan (execution), ketika kebijakan anggaran tersebut dilaksanakan oleh eksekutif; dan (iv) pengauditan dan penilaian (auditing and assessment), ketika pengeluaran aktual anggaran terhitung dan ternilai sesuai dengan peruntukkannya(ef ektif).236 234 I. Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum, Makalah untuk dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004, hal. 14 235 I. Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum,������� ibid, hal. 15 236 The International Budget Project, A Guide to Budget Work for NGOs, op.cit, hal. 18
128
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Kemudian dalam kaitan dengan anggaran publik yang berfokus pada pemenuhan hak anak, akan dicermati apakah prinsip-prinsip penting, seperti: prinsip kepentingan terbaik bagi anak; prinsip pengakuan dan perlindungan anak tanpa diskriminasi; dan prinsip deferensialitas dan pereferensialitas bagi anak kelompok rentan dan termarjinal sudah diatur secara eksplisit dalam anggaran publik. Oleh karenanya, anggaran publik berbasis hak anak semestinya merupakan produk hukum dari (i) sistem hukum penganggaran anggaran publik yang responsif; dan (ii) proses penganggaran anggaran publik disusun guna merespon kebutuhan anak yang spesifik. Kedua hal ini dapat terwujud apabila di dalam proses perencanaan, penyusunan, dan penetapannya membuka kesempatan setiap stake holders untuk berpartisipasi. Dengan cara ini, wilayah anggaran publik menjadi suatu bentuk khusus dari forum politik. Dengan kata lain, anggaran publik menjadi sarana bagi setiap elemen masyarakat madani atau organisiasi sosial kemasyarakatan untuk berpartisipasi dalam penetapan kebijakan publik. Anggaran publik tidak lagi dipandang secara eksklusif sebagai cara mempertahankan klaim-klaim kepentingan kelompok semata. Upaya advokasi pada prinsipnya untuk melengkapi pengakuan hukum (legal entitlement) hak-hak anak agar kemudian terimplementasi menjadi substansi kehendak politik para pembuat kebijakan publik anggaran publik. Dalam titik ini upaya advokasi sosial untuk mendekatkan antara jaminan hukum dengan realita menjadi strategis untuk dilakukan, melalui langkah-langkah sebagai berikut :
LANGKAH I: Penguatan Kapasitas Lembaga
Advokasi anggaran publik berbasis hak anak, mengharuskan LSM Anak – sebagai pelaku advokasi – memasuki ranah politik karena locus advokasi bersinggungan dengan pengambil kebijakan, yakni eksekutif dan legislatif yang diberikan kewenangan atributif dan monopolitif untuk menyusun dan menetapkan anggaran publik. Titik persinggungan ini membutuhkan strategi yang tepat sehingga dampak yang muncul akan memberikan pengaruh kepada para pengambil kebijakan. Oleh karena itu, menilai kekuatan dan kelemahan internal menjadi langkah awal bagi LSM Anak dan Kelompok Anak sebelum mengadvokasi anggaran publik. Penilaian kekuatan dan kelemahan organisasi akan berkorelasi secara positif dengan capaian, tujuan, dan dampak advokasi anggaran publik berbasis hak anak. Untuk itu ketersediaan sumber daya yang mempunyai kapasitas: (i) mampu melakukan advokasi anggaran publik; (ii) paham substansi hak-hak anak, dan (iii) mengetahui peta permasalahan anak, menjadi kebutuhan yang signifikan. Persyaratan ini menjadi keharusan karena pelaku advokasi harus bisa mengemas isu-isu anak yang bersifat spesifik. Kemudian isu ini dianalisis dengan mengkaitkan dengan politik anggaran publik yang ada
129
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
sehingga muncul preposisi bahwa isu-isu pemenuhan hak asasi anak mengemuka sebagai dampak dari politik anggaran publik yang tidak berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak. Untuk melakukan analisis tersebut maka instrumen Hukum HAM Internasional, khususnya Konvensi Hak Anak, menjadi pisau analisis sehingga akan terlihat hak-hak anak apa yang hilang atau dilanggar akibat politik anggaran publik tersebut. Dengan kata lain konstruksi yuridis ini digunakan untuk melakukan eksaminasi sampai sejauhmana politik anggaran publik yang ditetapkan tersebut dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran hak asasi anak. Analisis tersebut dapat digambarkan dalam gambar berikut. Gambar analisis anggaran berbasis HAM237
Paradigma Anggaran berbasi HAM
Kasus peta situasi pelanggaran Hak Anak
Standar HAM
Data-data lain
Data Anggaran
Berdasarkan identifikasi ini, maka Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) menggagas Workshop Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak. Workshop ini merupakan upaya awal untuk mengkonsolidasikan LSM-LSM yang mempunyai fokus pada isu-isu anak. Melalui konsolidasi ini diharapkan akan terbentuk sebuah jaringan advokasi. Pembentukan jaringan (networking) advokasi anggaran berbasis hak anak dengan anggota LSM-LSM Anak 237
Mengadopsi Fundar, Dignity Counts : A guide to using budget analysis to advance human rights, op.cit, hal. 6
130
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
dilandasi pertimbangan anggota jaringan telah memiliki kesamaan persepsi, komitmen, dan visi bagaimana mewujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi anak. Dengan kata lain, LSM-LSM Anak telah bekerja sesuai dengan mandat konstituen mereka, yakni kelompok anak. Melalui jaringan ini, diharapkan advokasi anggaran publik ini mendapatkan dukungan yang luas dan kuat. Di samping itu, pelaksanaan workshop merupakan upaya memberikan penguatan kapasitas LSM Anak yang akan melakukan advokasi anggaran. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka workshop didesain dengan tujuan sebagai berikut : 1. LSM Anak mempunyai kemampuan untuk melakukan advokasi anggaran publik berbasis hak anak; 2. LSM Anak dapat menganalisis anggaran publik; 3. Teridentifikasi langkah-langkah strategis dan kebutuhan-kebutuhan LSM Anak untuk melakukan advokasi anggaran publik berbasis hak anak melalui pembentukan jaringan. Untuk mencapai tujuan tersebut, workshop diselenggarakan dengan proses berikut ini : 1. Menganalisis dan memetakan isu-isu yang terkait dengan pemenuhan hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman; 2. Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan LSM Anak guna mengkapasitasi diri untuk melakukan advokasi anggaran berbasis hak anak; 3. Merancang langkah-langkah strategis advokasi anggaran publik melalui pembentukan jaringan advokasi dengan basis keanggotaan LSM Anak. Materi-materi yang diberikan kepada peserta workshop diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan kemampuan ketika menganalisis permasalahan anak dengan pisau analisis berbasis HAM dengan berpijak pada instrumen Hukum HAM Internasional. Dengan pijakan ini LSM Anak dapat menganalisis dan mengeksaminasi apakah anggaran publik tetap dalam kerangka prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Untuk itu materi-materi yang diberikan dalam workshop tersebut tertera pada tabel di bawah ini. Tabel Materi Workshop POKOK BAHASAN HAK ANAK adalah HAK ASASI MANUSIA
TUJUAN •
•
Peserta mempunyai pemahaman yang benar mengenai hak anak baik secara historis, filosofis, dan yuridis Peserta dapat mengetahui mekanisme penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan, hak anak baik melalui mekanisme hukum nasional maupun hukum internasional
•
Peserta mampu memanfaatkan mekanisme pemajuan, perlindungan pemenuhan, dan hak anak
•
Peserta memahami parameter pemenuhan hak anak dalam MDG’s
•
Peserta dapat mengidentifikasi dan memetakan situasi dan kondisi pelanggaran hak anak khususnya di DKI Jakarta
TOPIK •
Pengertian HAM khususnya hak anak
•
Peran negara dalam menghargai, melindungi, dan memenuhi HAM khususnya hak anak
•
Mengidentifikasi pelaku pelanggaran HAM khususnya hak anak
•
Konsekuensi politis MDG’s bagi suatu negara
•
Situasi dan kondisi pemenuhan hak anak di DKI Jakarta
131
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
ANGGARAN BERBASIS HAK ANAK
ADVOKASI ANGGARAN BERBASIS HAK ANAK
•
Peserta memahami fungsi, sistem, struktur, dan komponen anggaran publik
•
Peserta memahami siklus penyusunan anggaran publik
•
Peserta memahami relasi kekuasaan antar aktor-aktor yang berpengaruh secara signifikan dalam proses penyusunan anggaran publik baik di lembaga eksekutif maupun legislatif
•
Peserta dapat memahami bagaimana dinas-dinas merespons pemenuhan hak anak melalui program kerja yang diajukan kepada pemerintah daerah
•
Peserta dapat megetahui indikator apa yang dipakai oleh Bappeda sebagai institusi teknis daerah dalam merespon program kerja yang diajukan oleh dinas-dinas di daerah dan bagaimana partisipasi masyarakat dalam penyusunan anggaran publik
•
Peserta dapat menyusun perangkat dan strategi advokasi anggaran berbasis hak anak secara holistik dan terpadu
•
Peserta dapat mengidentifikasi sasaran primer dan sasaran sekunder dalam upaya advokasi
•
Peserta dapat memanfaatkan strategi dan upaya advokasi melalui jejaring
•
Pemahaman terhadap anggaran publik
•
Proses penyusunan anggaran publik
•
Peran, fungsi, dan tanggung jawab lembaga ekekutif dan legislatif terhadap anggaran publik
•
Bagaimana dinas mengajukan program kerja untuk merespon situasi dan kondisi anak
•
Bagaimana Bappeda menetapkan program kerja yang diusulkan oleh dinas-dinas pemerintah daerah dan bentuk partisipasi masyarakat
•
Makna dan pentingnya Advokasi anggaran berbasis hak anak: definisi, lingkungan advokasi, kapasitas organsisasi, dan agenda advokasi
•
Strategi dan upaya mendesakkan muatan advokasi kepada target sasaran
•
Bagaimana membuat jejaring yang efektif dan berkelanjutan
Selain workshop, untuk memperkuat kemampuan anggota/partisipan jaringan dalam melakukan analisis anggaran publik, dilakukan pelatihan “Membaca APBD DKI 2005”. Pelatihan ini dimaksudkan untuk memperkenalkan metode-metode analisis anggaran publik. Metode-metode tersebut kemudian dikonstruksikan ke dalam kerangka hukum (legal frame work) HAM sehingga dalam melakukan analisis terlihat titik-titik kesenjangan antara jaminan yuridis hak asasi anak dengan realita yang ada. Berikut beberapa analisis anggaran yang digunakan untuk mengeksaminasi sejauhmana anggaran publik dapat menjamin penikmatan hak asasi anak.
a. Metode analisis proses penganggaran
Metode ini merupakan analisis yang banyak membantu gerakan advokasi anggaran untuk menumbuhkan kesadaran dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam gerakan advokasi. Selain itu analisis ini juga penting untuk mendorong lahirnya anggaran publik yang demokratis dengan melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi dan menjunjung tinggi akuntabilitas. 238 Analisis ini penting dilakukan karena proses penganggaran tetap saja masih menjadi misteri bagi sebagian 238
Ahmad Helmi Fuady, et.al. Memahami Anggaran Publik, op.cit, hal. 72 - 73
132
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
besar masyarakat. Kebijakan anggaran selalu disusun dan dikelola dalam kotak hitam Negara, sementara masyarakat hanya menjadi obyek dari kebijakan tersebut. Pada akhirnya masyarakat akan menjadi korban akibat penetapan politik kebijakan anggaran publik. Bahkan sampai saat ini pembatasan akses informasi anggaran oleh pengambil kebijakan masih ditemui. Padahal akses informasi menjadi syarat pembuka kotak pandora politik anggaran publik. Argumentasi yang dikemukan oleh pejabat negara adalah anggaran dipersepsikan sebagai dokumen dan informasi rahasia negara. Padahal anggaran adalah dokumen publik yang semestinya terbuka untuk publik karena (i) sumbernya dari rakyat baik dari pungutan pajak dan ekstraksi SDA; dan (ii) dampaknya akan dirasakan secara langsung oleh rakyat. Dengan demikian, akses informasi proses penganggaran yang tertutup menjadi tujuan awal dari advokasi anggaran berbasis hak anak. Rasionalitasnya, kebijakan anggaran yang tidak berpihak pada kepentingan anak adalah buah dari proses penganggaran yang tertutup dan tidak melibatkan partisipasi anak. Output yang dihasilkan adalah untuk mengeksaminasi sampai sejauhmana keterlibatan masyarakat stricto sensu anak dalam proses penganggaran. Kemudian untuk melihat ada atau tidaknya pengaruh partisipasi anak terhadap prioritas program yang ditetapkan pemerintah. Tabel Metode Analisis Proses Penganggaran239 Deskripsi Analisis ini menjadi prasyarat untuk memahami bagaimana anggaran bekerja. Mencakup analisis untuk setiap tahapan anggaran, baik penyusunan, pengesahan, pelaksanaan maupun pertanggungjawaban anggaran publik
239
Data yang dibutuhkan
Output Analisis
•
Tata tertib dewan
•
Efektifitas peran lembaga legislatif
•
Juklak pelaksanaan anggaran
•
•
Rencana anggaran dan pergeseran dalam proses pengesahan
Tingkat keterlibatan masyarakat dalam penganggaran
•
•
Anggaran yang disahkan
Relasi antar stake-holders dalam penganggaran
•
Laporan pertanggungjawaban anggaran
•
•
Alur proses penyusunan anggaran
Bagaimana dampak proses penyusunan terhadap kebijakan yang diambil
•
Daftar warga yang terlibat dalam penyusunan anggaran
•
Tingkat transparansi dan akuntabilitas anggaran
•
Rekaman proses debat anggaran di legislatif
•
•
Upaya legislatif untuk mendorong transparansi dan keterlibatan masyarakat
Efektifitas pengawasan dan pemeriksaan anggaran
•
Mekanisme pengambilan keputusan di legislatif
•
Daftar keterlibatan warga dalam pelaksanaan anggaran
•
Langkah eksekutif untuk membuat pelaksanaan anggaran transparan dan akuntabel
•
Bagaimana peran legislatif dalam mengawasi pelaksanaan anggaran
•
Langkah lembaga pengawas dan pemeriksa terhadap pertanggungjawaban anggaran
Ahmad Helmi Fuady, et.al. Memahami Anggaran Publik, ibid
133
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
b. Metode Analisis Sektoral
Analisis ini berbasis pada pengelompokan data menurut pembagian sektoral. Dokumen anggaran publik biasanya sudah mengklasifikasikan berdasarkan kelompok dinas. Analisis ini juga penting untuk dilakukan untuk menguji konsistensi kebijakan pemerintah daerah dari kebijakan yang paling dasar yang terdiri dari: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah (RPJMD), Rencana Strategis Satuan Perangkat Kerja Daerah (Renstra-SPKD), Rencana Kerja Pemerintah/Pembangunan Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD), hingga ke penganggarannya. Bila dalam RPJPD disebutkan bahwa misi pemerintah daerah lima tahun ke depan adalah menuntaskan pendidikan dasar, apakah alokasi anggaran pendidikan dasar tahun ini, tahun depan, dan seterusnya sampai tahun kelima mendukung pencapaian misi tersebut. 240 Analisis atas beberapa sektor seringkali harus dilakukan dengan menggunakan alat bantu perbandingan dengan anggaran untuk sektor serupa di negara lain. Juga perlu dikomparasikan dengan jumlah minimal alokasi anggaran yang dianjurkan oleh lembaga-lembaga multilateral seperti WHO, UNICEF, dan lain-lain. Alat bantu yang lain adalah analisis perbandingan antar sekor. Salah satunya dengan membandingkan alokasi anggaran militer dan alokasi untuk pembayaran utang luar negeri maupun dalam negeri versus alokasi anggaran untuk kesejahteraan sosial. Hal lain yang perlu diperbandingkan adalah besaran alokasi anggaran rutin dengan anggaran pembangunan. Tabel metode analisis sektoral241 Deskripsi Analisis ini untuk menilai skala prioritas anggaran terhadap sektor anggaran. Sektor adalah wilayah penting dalam ekonomi atau pemerintahan yang mana mendapatkan alokasi anggaran yang cukup besar. Contoh : pendidikan, kesehatan, dan keamanan
240 241
Data yang dibutuhkan
Output Analisis
•
Alokasi anggaran per sektor per tahun
•
Perbandingan anggaran antar sektor
•
Alokasi anggaran per sektor bila dilakukan perubahan anggaran
•
Perbandingan anggaran rutin dengan anggaran pembangunan
•
Realisasi anggaran yang dialokasikan per sektor
•
Perbandingan anggaran satu sektor atas keseluruhan volume anggaran
•
Peta masalah versi masyarakat sipil
•
•
Evaluasi atas capaian program sektoral yang dibiayai dalam tahun anggaran sebelumnya
Perbandingan anggaran sektor terhadap PDB
•
•
RPJP, RPJM, RKP, Renstra
Perbandingan sebuah sektor dengan sektor tersebut pada periode anggaran sebelumnya
•
Kecenderungan perbandingan di atas dari waktu ke waktu
•
Perbandingan anggaran per sektor dengan kebutuhan masyarakat untuk sektor tersebut
Ahmad Helmi Fuady, et.al. Memahami Anggaran Publik, ibid., hal. 79 Ahmad Helmi Fuady, et.al. Memahami Anggaran Publik, ibid
134
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
c. Metode Analisis Dampak Anggaran terhadap Kelompok Masyarakat
Sebagai salah satu produk kebijakan publik, anggaran merupakan hasil dari proses politik antar banyak kelompok yang mempunyai kepentingan terhadap kebijakan anggaran. Interaksi antara negara dengan pengusaha, kelompok perempuan, kelompok anak, kelompok petani, buruh, nelayan, dan kelompok lainnya termanifestasikan dalam kebijakan anggaran. Sayangnya, relasi ini tidak selalu berjalan dengan seimbang242 dan memperhatikan kekuatan daya tawar politik setiap kelompok. Seringkali masyarakat miskin lebih sering dikalahkan oleh negara, apabila kepentingannya berhadapan dengan kepentingan pemilik modal. Atau kepentingan anak malahan seringkali tidak terakomodasikan dalam anggaran publik. Karenanya, sangat penting untuk mengeksaminasi, bagaimana dampak anggaran bagi konstituen gerakan advokasi anggaran yakni kelompok miskin, kelompok perempuan, kelompok anak-anak, dan banyak kelompok marjinal lainnya. Bagi kepentingan advokasi anggaran, analisis ini dapat digunakan untuk memperjuangkan kepentingan konstituen apakah kepentingan anak akan terpenuhi dengan baik ataukah justru semakin buruk dengan adanya kebijakan anggaran yang dibuat tersebut? Analisis dampak akan lebih mudah bila dilakukan untuk mengeksaminasi proyek-proyek pembangunan tertentu yang akan dilakukan di suatu wilayah. Dalam hal ini, analisis dampak penting dilakukan untuk melihat bagaimana dampak pembangunan tersebut bagi pemenuhan hak-hak anak. Tabel Metode Analisis Dampak243 Deskripsi •
•
242 243
Analisis ini untuk membantu menjawab siapa yang sebenarnya diuntungkan dan siapa yang dirugikan akibat ditetapkannya kebijakan anggaran Analisis ini juga mengidentifikasi apa saja ,konsekuensi, dan dampak yang ditimbulkan oleh anggaran bagi kelompok masyarakat tertentu, misalnya kelompok anak pada keluarga-keluarga dengan pendapat rendah di sebuah kota
Data yang dibutuhkan •
Anggaran yang diajukan atau telah disetujui
•
Informasi komunitas sasaran yang dituju oleh setiap anggaran sektoral
•
Permasalahan kelompok-kelompok masyarakat dan skala prioritasnya
Ahmad Helmi Fuady, et.al., Memahami Anggaran Publik, ibid, hal. 83 Ahmad Helmi Fuady, et.al., Memahami Anggaran Publik, ibid
Output Analisis •
Dampak anggaran bagi kelompok masyarakat miskin dibandingkan dengan kelompok kaya
•
Apakah anak-anak dan perempuan diuntungkan atau dikorbankan dengan anggaran ini
•
Bagaimana dampak anggaran terhadap kepentingan kelompok anak-anak, perempuan, dan kelompok termarjinal lainnya
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
135
Kesulitan metode ini adalah karena klasifikasi anggaran biasanya sektoral, sehingga harus ditelusuri dari anggaran maupun informasi di luar anggaran yang terkait, atau informasi lintas sektor. Karenanya, kerumitan utama yang dihadapi adalah dalam hal mengumpulkan data yang memadai untuk melakukan analisis ini. 244 Misalnya dampak APBD DKI 2005 terhadap anak-anak dan perempuan harus dibaca dari banyak sektor anggaran yang terkait dengan kelompok ini, baik anggaran pendidikan, kesehatan, kesejahteraan masyarakat, dan sektor lainnya yang berpengaruh. Selain metode-metode di atas, terdapat perspektif lain untuk menganalisis anggaran yakni : Pertama, analisis biaya digunakan untuk menyoroti seberapa besar alokasi anggaran untuk suatu program. Analisis ini berguna untuk menilai beberapa persoalan seperti: apakah wajar, apakah tidak tumpah tindih, dan apakah program tergambarkan secara jelas dalam anggaran tersebut. Kedua, analisis kinerja digunakan untuk melihat hal-hal sebagai berikut: • Siapa penerima manfaat dari program dan bagaimana dampaknya; • Apakah menyelesaikan masalah; • Apakah memberdayakan; • Apakah terdapat perubahan/perbaikan, dan; • Apakah target capaiannya. Ketiga analisis politik, mencoba untuk memetakan kelompok mana yang paling diuntungkan dengan politik anggaran publik yang dibuat. Indikatornya dapat dengan cara melihat perbandingan pos-pos anggaran antara biaya rutin dengan biaya untuk kepentingan publik. 245
244 245
Ahmad Helmi Fuady, et.al., Memahami Anggaran Publik, ibid Dian Kartika Sari, Prosiding Workshop Jejaring LSM Anak untuk Anggaran Berbasis Hak Anak, Jakarta, April 2005
136
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Ketiga analisis ini jika secara diagramatik tergambarkan
sebagai berikut:246
ANALISA KINERJA
Outcome Benefit Impak
• • • • • • • •
Program/kegiatan Siapa pelaksana Bentuknya apa Dilaksanakan di mana Hasilnya apa Apa manfaatnya Siapa penerima manfaat Impak/dampaknya apa : - apakah menyelesaikan masalah - apakah memberdayakan - perubahan/ perbaikan apa: target, capaian
EVALUASI
Output
ANALISA BIAYA • • • •
Berapa besarnya Masuk akal atau tidak (kewajaran) umpang tindih atau tidak (efisiensi anggaran) Menggambarkan kejelasan proyek atau tidak
Keseluruhan APBD
Dimana/bagaimana prioritas pembangunan pemerintah daerah • • •
Kewajaran- efektif & efisiensi Perbandingan pos-pos anggaran epentingan siapa yang dilindungi
Politik Kebijakan Anggaran
Untuk dapat menganalisis anggaran publik dengan metode-metode di atas, dibutuhkan pula pengetahuan mengenai struktur anggaran publik. Oleh karena penerapan struktur anggaran menggambarkan efektifitas proses penganggaran. Pada dasarnya terdapat 2 (dua) macam anggaran yaitu: (i) anggaran terpilah (the divided budget) dan anggaran komprehensif (the comprehensive budget). Karakteristik anggaran terpilah yaitu terdapatnya pengelompokan secara tegas berdasarkan kriteria tertentu, misalnya pemilahan belanja rutin dan belanja pembangunan. Kelebihan struktur anggaran ini, disamping memudahkan pertanggungjawaban, juga 246
Dian Kartika Sari, Prosiding…, ibid
137
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
memudahkan pemantauan utang. Sebaliknya kelemahan struktur anggaran demikian sering terjadi perbedaan kategori pengelompokan, kesulitan koordinasi antarunit organisasi, persepsi keliru antara anggaran rutin dan pembangunan, dan membuka peluang pergeseran dana. Sedangkan anggaran komprehensif adalah anggaran tunggal yang mencakup seluruh aktivitas pemerintahan. Alokasi sumber dana dilakukan secara lebih rasional, yaitu dengan cara mengevaluasi sumber dana dan penggunaannya secara menyeluruh. Kelebihannya alokasi sumber dana lebih rasional, namun kelemahannya memungkinkan terjadinya penganggaran berulang dan sulitnya konsolidasi dengan anggaran nasional. 247 Struktur anggaran daerah di Indonesia (APBD) menganut struktur anggaran terpilah. Dengan demikian struktur anggarannya mencakup dua kelompok utama, yaitu : (a) anggaran belanja rutin; dan (b) anggaran belanja pembangunan. APBD berdasarkan struktur terpilah seperti tergambarkan di bawah ini. Gambar bentuk dan struktur APBD
RINGKASAN APBD PENERIMAAN
BELANJA
PENDAPATAN
BELANJA RUTIN
1. 2.
Sisa Lebih Anggaran Tahun Pendapatan Hasil Daerah a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah c. Bagian Laba BUMD d. Lain-lain
1.
3. 4.
Dana perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah
PINJAMAN DAERAH
2.
3.
4.
Bel, Adm, Umum a. Belanja Pegawai b. Belanja Barang c. Belanja Perjalanan Dinas d. Belanja Pemiliharaan Belanja O & P a. Pemeliharaan Sarana b. Pemeliharaan Prassarana Biaya Transfet a. Angsuran Pinjaman b. Bantuan c. Dana Pertimbangan d. Cadangan Pengeluaran tidak disangka
BELANJA PEMBANGUNA 1.
2.
TOTAL PENERIMAAN
247
Belanja Publik a. Belanja Modal b. Belanja Non Modal Belanja Aparatur a. Belanja Modal b. Belanja Non Modal
TOTAl PENGELUARAN
Ahmad ������������������� Helmi Fuady, et.al., Memahami Anggaran Publik, op.cit, hal. 25
138
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Apabila dilihat secara menyeluruh, komponen APBD secara garis besar terbagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu : a. Anggaran pendapatan, terdiri atas : • Pendapatan Asli Daerah (PAD) PAD merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD, bagian laba pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Hal yang perlu dicermati adalah adanya keinginan daerah untuk mengejar target PAD dengan menempuh cara yang membebani masyarakat, misalnya menaikkan pajak dan retribusi. • Dana perimbangan yang meliputi : (i) Dana bagi hasil perpajakan dan sumber daya alam; (ii) Dana Alokasi Umum (DAU), adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antardaerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Besarnya DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, dengan imbangan 10% untuk propinsi dan 90% untuk kabupaten/kota. Penentuan besarnya DAU untuk masing-masing daerah dilakukan dengan memperhatikan: 1. Kebutuhan daerah yang tercermin paling sedikit dari jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis, tingkat pendapatan masyarakat dengan ����������������������������������� memperhatikan orang miskin; 2. Potensi ekonomi daerah yang antara lain tercermin dari potensi ����������������������������������� penerimaan Daerah, seperti potensi industri, SDA, SDM, dan PDRB. 248 Dalam pelaksanaannya, DAU pada akhirnya dijadikan sebagai komponen utama APBD dan dialokasikan untuk belanja rutin pemerintah daerah. Hampir semua daerah, alokasi belanja rutin mencapai lebih dari 70% dari APBD, sedangkan belanja pembangunan kurang dari 30%. (iii) Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana APBN. Kebutuhan khusus yang dapat dibiayai DAK : (�������������������������������������������������������������������������� a) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus DAU dan atau (b) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. a. Anggaran belanja rutin Belanja rutin adalah pengeluaran-pengeluaran pemerintah daerah yang ditujukan untuk membiayai kegiatan sehari-hari. Secara khusus pengeluaran rutin dapat dipilah menjadi pengeluaran operasi dan pengeluaran konsumsi. Sebagian besar manfaat belanja rutin ini tidak langsung dirasakan masyarakat, namun secara langsung dinikmati aparatur daerah karena digunakan untuk belanja pegawai. Manfaat yang diharapkan dapat dinikmati masyarakat adalah berupa peningkatan pelayanan umum dari aparatus pemerintahan. Pada dasarnya, selain gaji pegawai, pengeluaran-pengeluaran dalam belanja rutin potensial untuk dimanipulasi dan digunakan oleh pegawai pemerintah untuk mencari pendapatan tambahan sehingga penting diperhatikan: • Munculnya negosiasi dalam proses penyusunan anggaran rutin, sehingga jumlah biaya rutin mengalami peningkatan. Termasuk juga adanya pos-pos titipan dari unit kerja lain; • Jumlah anggaran yang diperbesar, misalnya dengan mempertinggi frekuensi kegiatan atau acaraacara pejabat dengan anggaran yang bisa diambil dari dana taktis dan sesudahnya dikembalikan berdasarkan pembebanan atau urusan dari dinas-dinas; • Biaya perjalan dinas dari berbagai sumber untuk perjalanan yang sama. Selain itu, sering terjadi 248
Khoirunurrofik, �������������� Membedah APBD, op. cit
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
• •
139
penyimpangan berupa perhitungan hari dilebihkan, jumlah orang diperbanyak dan biaya perjalanan dinas yang tidak wajar; Pengeluaran-pengeluaran yang tidak wajar atas suatu kegiatan dan penggandaan jumlah kebutuhan dalam kaitannya dengan belanja barang; Pemberian honor kepada petugas atau unit tertentu, padahal tugas tersebut sebenarnya adalah tugas, pokok, dan fungsinya sendiri.249
b. Anggaran belanja investasi atau pembangunan Belanja pembangunan adalah pengeluaran pemerintah daerah yang bersifat investasi dan ditujukan untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah daerah. Bentuk belanja ini dapat berupa proyek-proyek fisik seperti pembangunan jalan, jembatan, gedung-gedung, dan dapat pula proyek-proyek non fisik seperti pelatihan, pendidikan, dan penelitian. Dari segi alokasi dana, dalam belanja pembangunan masih belum dilandasi indikator kinerja yang jelas. Satu-satunya indikator yang dipergunakan adalah jumlah dana untuk belanja pembangunan yang tercantum dalam anggaran merupakan jumlah dana maksimal yang dapat dibelanjakan untuk setiap pos belanja pembangunan. 250
249 Ahmad ������������������� Helmi Fuady, et.al., Memahami Anggaran Publik, op.cit 250 Terdapat 22 komponen belanja pembangunan yang terdiri dari: industri; pertanian dan kehutanan; sumber daya air dan irigasi; tenaga kerja; perdagangan, pengembangan usaha daerah, dan koperasi; transportasi; pertambangan dan energi; pariwisata dan telekomunikasi daerah; pembangunan daerah dan pemukiman; lingkungan hidup dan tata ruang; pendidikan dan kebudayaan nasional, kepercayaan terhadao Tuhan YME, pemuda dan olah raga; kependudukan dan keluarga sejahtera; kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, anak dan remaja; perumahan dan permukiman; agama; ilmu pengetahuan dan teknologi; hukum; aparatur pemerintah dan pengawasan; politik penerangan, komunikasi, dan media massa; keamanan dan ketertiban umum; subsidi pembangunan daerah bawahan; dan proyek lanjutan. Lihat Ahmad ������������������� Helmi Fuady, et.al., Memahami Anggaran Publik, ibid, hal. 28 -39
140
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Diagram di bawah ini menggambarkan struktur APBD251
BL Belanja Publik
Blnj, Operasional - Blnj. Pegawai/Personalia - Blnj. Barang & Jasa - Blnj. Perjalanan Dinas - Blnj. Pemeliharaan
BTL
Kegiatan Non investasi Belanja Aparatur
BL
BTL
Blnj, Adm, Umum - Blnj. Pegawai - Blnj. Barang & Jasa - Blnj. Perjalanan Dinas - Blnj. Pemeliharaan
Program Unit Kerja
BL Belanja Publik BTL
Kegiatan Investasi
Belanja Aparatur Keterangan diagram : •BL : Belanja Langsung •BTL : Belanja Tidak Langsung
251
Dian Kartika Sari, Prosiding ..., op. cit
Modal yang dikeluarkan karena perluasan cakupan layanan, tambahan aset kemanfaatannya> 1 thn
BL
BTL
Blnj, Adm, Umum - Blnj. Pegawai - Blnj. Barang & Jasa - Blnj. Perjalanan Dinas - Blnj. Pemeliharaan
141
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
LANGKAH 2 : Membentuk Jaringan
Dalam advokasi, Lisa Veneklassen, dari Just Associates Washington DC, mengatakan bahwa penyampaian knowledge (pengetahuan) harus dibarengi dengan penyampaian noise (bunyi) agar menghasilkan perubahan baik perubahan kebijakan ataupun perubahan politik. Gabungan knowledge (berupa informasi, fakta, dan analisis) dan noise (berupa organisasi, aliansi, strategi, taktik, dan gabungan lembaga) akan membuat kerja-kerja advokasi memiliki posisi, argumen, dan daya tawar untuk menghasilkan perubahan.252 Advokasi karena bertujuan untuk merubah kebijakan publik maka proses tersebut harus melalui mekanisme yang ada. Dengan kata lain, terjadinya tranformasi sosial dilakukan dengan menggunakan semua saluran dan piranti demokrasi perwakilan, proses-proses politik, dan legislasi yang terdapat dalam sistem yang berlaku.253 Celakanya mekanisme yang ada malahan mereduksi aspirasi masyarakat. Elit-elit politik berangkat dari asumsi-asumsi mereka sendiri, tanpa mengkontekstualkan/membumikan dengan realita yang terjadi di masyarakat. Pada akhirnya kebijakan publik yang dihasilkan hanya menguntungkan pihak-pihak terentu yang mempunyai akses untuk memberikan intervensi terhadap proses, penyusunan, dan penetapan kebijkan publik. Oleh karenanya kebijakan dan agenda tidak akan berubah tanpa tekanan yang kuat terhadap para pembuat kebijakan. Dalam dinamika seperti itu maka knowldege menjadi senjata ampuh. Informasi dan fakta merupakan alat yang penting untuk menciptakan tekanan kepada pembuat kebijakan. Namun demikian, informasi dan data tidak cukup kuat untuk menekan akuntabilitas kepentingan politik dan tidak cukup kuat pula untuk mengalihkan agenda sosial dan ekonomi. Para politisi akan sangat lihai untuk mengotak-atik informasi jika tidak ada pengorganisasian kekuatan politik yang besar. Jadi bagi kelompok-kelompok marginal, cara yang paling bisa dilakukan untuk menciptakan tekanan yang berarti adalah dengan membangun aliansi yang luas dengan berbagai organisasi yang bisa memobilisasi massa yang terinformasi dengan baik untuk menciptakan noise. Menciptakan noise berarti membangun organisasi dan aliansi untuk memunculkan strategi, seperti mengajukan pertanyaan, mendapatkan informasi, mendorong proses dan input pembuatan keputusan dilakukan secara transparan, menelusuri bagaimana uang dibelanjakan, atau memprotes proses-proses yang tertutup. Dengan strategi seperti ini organisasi masyarakat dapat menggunakan fakta dan analisis untuk mengembangkan posisi dan argumen mereka secara lebih spesifik mengenai isu dan kebijakan serta mengkristalkan permintaannya untuk perubahan.254 Membangun jaringan merupakan upaya meningkatkan impak politik terhadap isu pemenuhan hak anak. Dengan demikian, Jaringan LSM Anak yang terbentuk diharapkan mampu secara sinergis menghadapi para pembuat kebijakan yang berada pada institusi pemerintahan dan legislatif (visible power). Disamping itu, 252 BIGS, Meningkatkan Impak Politik dari Sebuah Advokasi, www.bigs.or.id 253 Roem Topatimasang, Merubah Kebijakan publik, op. cit. hal. iv 254 BIGS, Meningkatkan Impak Politik, op.cit
142
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
jaringan yang terbangun juga mampu mengkritisi substansi kebijakan anggaran publik yang tidak pro poor dan tidak berpihak pada kepentingan terbaik untuk anak. Pengaruh invisible power dan hidden power yang signifikan mempengaruhi kebijakan publik, akhir-akhir ini semakin kentara terlihat di hadapan kita, perlu mendapatkan ”perlawanan”. Karena kebijakan anggaran publik saat ini telah dimuati ideologi neoliberalisme yang melapangkan jalan bagi penetrasi agenda tersembunyi yang didesain oleh institusi-institusi finansial seperti Bank Dunia, IMF, korporasi multinasional, dan pengusaha yang tergabung dalam Kadin. Mungkin pula kebijakan anggaran publik didesain untuk mendukung kekuasaan yang berpotensi represif, yang ditandai dengan kecenderungan meningkatnya persentase alokasi anggaran untuk sektor pertahan dan keamanan. Dengan demikian memperluas basis dukungan, memperbesar sumber daya yang ada, menambah kredibilitas dan pengaruh kampanye advokasi, dan memperluas ruang lingkup kerja-kerja advokasi melalui jaringan menjadi mutlak dilakukan. Dalam kerangka itu, jaringan sekutu strategis LSM Anak untuk advokasi anggaran berbasis hak anak dibangun berdasarkan 2 (dua) titik pijakan, yakni: (1) berangkat dari konsepsi anak yang membutuhkan perlindungan khusus (children in need special protection) sebagaimana telah diatur dalam KHA; dan (2) berdasarkan isu mandat dari masing-masing organisasi yakni mandat isu organisasi yang berfokus pada penanganan isu-isu anak. Berpijak pada kedua hal tersebut, terdapat kategorisasi LSM Anak yang tergabung dalam jaringan sekutu strategis sebagai berikut : • Anak yang berhadapan dengan hukum LSM Anak yang mempunyai isu mandat menangani anak yang berkonflik dengan hukum antara lain : LAPA dan Sahabat Andik • Anak yang dipekerjakan LSM Anak yang mempunyai isu mandat menangani anak yang dipekerjakan antara lain: YPSI, Perkumpulan Gapura Indonesia, Yayasan Mitayani, dan KoAGE • Anak yang dilacurkan dan atau penyandang HIV /AIDS LSM Anak yang mempunyai isu mandat menangani anak yang dilacurkan dan atau anak penyandang HIV/AIDS antara lain : BMS, YKAI, YPI, PKBI Jakarta, dan Icodesa • Anak jalanan LSM Anak yang mempunyai isu mandat menangani anak jalanan antara lain : Yayasan Sekar, Yayasan Sekam, Sikap, Yayasan Kaki, Rumah Singgah Tjiliwoeng, Kembara, dan Yayasan Dian Mitra Selain itu, terdapat pula sekutu taktis untuk membantu gerakan advokasi anggaran publik berbasis hak anak sehingga di samping lebih memiliki basis legitimasi sosial yang luas dan juga menambah kekuatan politis upaya advokasi tersebut. Sekutu taktis adalah individu maupun institusi yang memiliki kesamaan persepsi dan komitmen untuk memperjuangkan pemenuhan HAM. Keberadaan sekutu taktis beragam sesuai dengan posisi yang melekat pada dirinya, mereka bisa berada di suatu organisasi massa, institusi pemerintah , institusi pendidikan, maupun institusi politik.
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
143
LANGKAH 3 : Menyusun Kertas Posisi (Position Paper)
Advokasi melibatkan penggunaan informasi yang seksama dan strategis sehingga diharapkan dapat memberikan pengaruh kepada pembuat kebijakan. Advokasi terkadang disebut lobby karena salah satu fungsi advokasi mengkomunikasikan informasi, yaitu bagaimana amanat jaringan dan konstituen jaringan mencapai sasaran. Dalam hal ini melobby pada prinsipnya merupakan upaya bagaimana memenangkan isu. Untuk memenangkan isu langkah pertama yang mesti dilakukan adalah: (i) menganalisis permasalahan; dan (ii) menentukan pemecahan yang harus diupayakan.255 Analisis masalah yang baik penting untuk menentukan apa fokus, tujuan, dan target-target advokasi. Berangkat dari analisis masalah yang telah ditentukan, penting kiranya untuk merancang strategi advokasi yang efektif. Strategi advokasi yang efektif ditujukan pada masalah apa yang paling urgen dan signifikan untuk diselesaikan melalui tindakan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah melalui perbaikan dan atau perubahan kebijakan. 256 Langkah pertama dalam memilih masalah adalah proses penilaian bersama LSM Anak yang tergabung dalam jaringan dan konstituen melalui konsultasi untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan masalah pemenuhan hak anak yang paling mendasar. Langkah ini kemudian diikuti dengan penentuan solusi yang bisa diterapkan terhadap permasalahan yang ada. Pada akhirnya diharapkan terdapat perubahan tidak terbatas pada kebijakan publik dan program (perubahan struktur) tetapi praktik dan perilaku pembuat kebijakan (perubahan kultural). Untuk mencapai tujuan tersebut, Jaringan LSM Anak membuat kertas posisi (position paper) yang akan dipergunakan sebagai salah satu alat advokasi. Kertas posisi pada dasarnya berfungsi sebagai posisi dasar dan sikap politik jaringan untuk diajukan kepada target advokasi. Jaringan LSM Anak menyimpulkan bahwa permasalahan terhambatnya hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan perumahan akibat tidak adanya kemauan politik (political will) Pemerintah Daerah DKI untuk mengarusutamakan kepentingan anak. Indikasinya terlihat pada politik kebijakan anggaran publik yang tidak berpihak pada kepentingan anak dan kelompok miskin. Secara ringkas substansi dari kertas posisi jaringan terdapat pada tabel di bawah ini.257
255 256 257 melakukan
Democrito T. Mendoza, Kampanye Isu dan Cara Melobi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2004, hal. 22 dan 61 Mengadopsi Valerie Miller dan Jane Covey, op. cit, hal. 71 Kertas posisi ini menjadi rujukan sikap politik Jaringan LSM Anak untuk Advokasi Anggaran Publik Berbasis Hak Anak ketika lobby dengan beberapa DPP Partai Politik. Kertas Posisi ini telah diterbitkan oleh YPHA pada tahun 2005
144
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Berdasarkan analisis masalah tersebut di atas, Jaringan LSM Anak untuk Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak mengajukan rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut : 258 1. Menjadikan indikator-indikator yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak dan instrumen Hukum HAM Internasional, MDG’s, dan Deklarasi Dunia yang Layak bagi Anak, sebagai rujukan ketika membuat dan menyusun legislasi, regulasi, dan anggaran publik untuk mengurangi permasalahan anak dan permasalahan sosial yang berdampak pada pemenuhan hak-hak anak; 2. Paradigma child mainstreaming dan pro poor budget harus dijadikan perspektif baru bagi setiap pengambil kebijakan baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif baik pada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, untuk mempercepat tercapainya kesetaraan substantif bagi kelompok-kelompok masyarakat yang termarginal, terutama kelompok anak; 3. Melakukan tindakan khusus (affirmative action) melalui perbaikan substansi anggaran dengan cara menetapkan isu anak dalam situasi khusus (CNSP) sebagai program prioritas mulai tahun anggaran 2006 dengan program dan penerima manfaat program sebagai berikut : a. Bidang Kesehatan: • Pencegahan dan penanggulangan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) bagi anak yang dilacurkan (AYLA) dilokalisasi melalui program kesehatan reproduksi dan pencegahan penularan HIV/AIDS; • Pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS untuk anak dan perempuan. b. Bidang Pendidikan: • Pendidikan bagi AYLA (anak yang dilacurkan) di lokalisasi. 4. Mendesakkan peningkatan alokasi biaya pembangunan secara progresif setiap tahun sebesar 5% khususnya bidang kesehatan, pendidikan, dan perumahan �������������������������������������������� dari total anggaran mulai tahun anggaran 2006 dengan berlandasan pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak; 5. Mengkaji kembali besaran alokasi biaya pembangunan di tahun-tahun mendatang khususnya bidang kesehatan, pendidikan, dan perumahan terutama kesesuaian peruntukan program dan ketepatan penerima manfaat sehingga anak-anak benar-benar menjadi penerima manfaat dari program tersebut; 6. Melibatkan peran serta dan partisipasi masyarakat khususnya kelompok anak-anak dalam proses penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi anggaran publik; 7. Menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dalam pelaksanaan anggaran sehingga tercipta transparansi dan akuntabilitas pemerintahan dan memberikan laporan tahunan sebagai wujud tanggung jawab publik kepada masyarakat; 8. Dalam konteks Propinsi DKI Jakarta, Pemerintah Daerah berkewajiban meregistrasi semua penduduk yang berada dan bermukum di wilayah hukum dan administrasi Propinsi DKI Jakarta melalui pemberian kartu registrasi massal sebagai upaya membuka akses layanan publik yang selama ini hanya dinikmati oleh pemilik KTP Jakarta; 9. Khusus bagi anak-anak yang tidak memiliki orang tua atau keluarga penunjukkan wali hukum sesuai dengan wilayah kediaman anak-anak sehari-hari perlu dilakukan sehingga layanan publik dapat menjangkau anak-anak. Rekomendasi-rekomendasi ini menjadi ruang lingkup dan locus tanggung jawab negara (state responsibility) stricto sensu Pemerintah Daerah. Tanggung jawab Pemerintah Daerah seiring desentralisasi dan otonomi daerah adalah mengimplementasikan substansi aturan yang terkandung dalam instrumen HAM internasional 258
YPHA, ������ Kertas Posisi : Merubah Paradigma dan Alokasi Anggaran 2006, op.cit.
145
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
inter alia hak-hak anak ke dalam: rumusan kebijakan (beleid); pengurusan/administrasi (bestuursdaad); pengaturan (regelendaad), melakukan pengelolaan (behersdaad), dan pengawasan (toezichhoudendaad). Terkait dengan pemenuhan hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman, muaranya solusi permasalahan berada pada politik kebijakan anggaran publik. Perubahan tersebut ditujukan pada ranah landasan hukum penganggaran dan ranah penetapan angaran publik. Landasan hukum penganggaran anggaran publik saat ini memerlukan perubahan (amandement) dengan dilandasi desain tata hukum baru (ius constituendum) yang responsif sehingga nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan norma-norma yang terkandung dalam internasional hukum HAM internasional tersebut termuat dalamnya. Kemudian anggaran publik disusun dan ditetapkan dengan melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat secara kolaboratif.
LANGKAH 4: Memilih Sasaran Advokasi
Advokasi anggaran berbasis hak anak dapat berhasil secara efektif jika mampu mempengaruhi pengambil kebijakan ketika menyusun anggaran publik dan mengimplementasikannya ke dalam penetapan prioritas program disertai alokasi anggarannya. Untuk itu diperlukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Mendesakkan child mainstreaming budget menjadi paradigma baru para pemimpin, pengambil keputusan atau mereka yang melaksanakan kebijakan itu; 2. Mendorong reformasi kebijakan publik melalui perubahan peraturan undang-undang yang menjadi landasan yuridis penganggaran; 3. Mendesak perubahan prioritas program pembangunan yang diorientasikan pada kepentingan terbaik bagi anak dan menambah alokasi anggaran publik untuk merealisasikannya; 4. Mengembangkan struktur dan prosesdur pengambilan keputusan yang lebih demokratis, lebih terbuka, dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. 259 Dalam titik ini advokasi bersinggungan dengan pengambil kebijakan di mana secara eksplisit, sistem ketatanegaraan Republik Indonesia memosisikan 3 (tiga) cabang pemegang kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagai lembaga yang merepresentasikan eksistensi kedaulatan rakyat. Anggaran publik baik di level nasional maupun daerah, hanya menjadi monopoli kewenangan lembaga eksekutif dan legislatif. Meskipun hasil penetapan tersebut dapat dieksaminasi oleh yudikatif dengan mekanisme judicial review apabila hak konstitusional dan hak hukum warga Negara dipergunakan oleh warga Negara. Oleh karenanya untuk melakukan advokasi anggaran publik, mengidentifikasi target advokasi yakni para pemegang kebijakan anggaran publik mutlak dilakukan. Salah satu cara mengidentifikasi para pemegang kebijakan anggaran publik dengan memilah target advokasi menjadi 2 (dua), yakni target primer dan target sekunder. Target primer adalah para pengambil 259
Mengadopsi Ritu R. Sharma, Pengantar Advokasi, op. cit. , hal. 8 - 9
146
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
kebijakan dengan kewenangan mempengaruhi substansi dan hasil kebijakan publik secara langsung. Mereka ini adalah pribadi, kelompok, dan institusi yang harus aktif menerima dan menyetujui perubahan kebijakan. Sedangkan sasaran sekunder adalah pribadi, kelompok, dan institusi yang dapat mempengaruhi para pengambil kebijakan (sasaran advokasi primer). Pendapat dan tindakan dari “pihak berpengaruh” ini penting dalam mencapai tujuan advokasi sepanjang mereka mempengaruhi pendapat dan tindakan pengambil kebijakan.260 Sebagaimana disebutkan di atas locus advokasi Jaringan LSM Anak untuk Advokasi Anggaran difokuskan pada Pemerintah Propinsi DKI Jakarta maka pola struktur Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta menjadi salah satu alat untuk menentukan target advokasi. Dengan melihat pola struktur tersebut maka pemilahan target primer dan targer sekunder advokasi dapat dilakukan sehingga kekeliruan penentuan target advokasi anggaran publik dapat dihindari. Pola struktur Pemerintah Daerah DKI Jakarta di bawah ini mengambarkan pola pembagian kekuasaan antar aktor pengambil kebijakan.261
260 261
Ritu R. Sharma, Pengantar Advokasi, ibid, hal. 66 - 67 www.dki.go.id
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
147
Sebagaimana telah disebutkan, advokasi anggaran berbasis hak anak ini tujuan pokoknya adalah agar Pemerintah Daerah DKI Jakarta menambah alokasi anggaran APBD DKI untuk memenuhi hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman. Untuk itu tugas, pokok dan fungsi dari masing target advokasi baik primer dan sekunder perlu diketahui karena terkait dengan kewenangannya dalam mengajukan program pembangunan, mengubah atau mencabut kebijakan, dan mengalokasikan sumber daya. Berdasarkan tugas, pokok, dan fungsinya maka identifikasi target advokasi anggaran berbasis hak anak sebagai berikut : I. Sasaran advokasi primer : 2. Eksekutif Eksekutif mempunyai kewenangan menyusun rencana anggaran pemerintah daerah yang terdiri dari rencana anggaran pendapatan dan rencana anggaran belanja bersama dengan dinas-dinas dan institusi teknis daerah sesuai dengan bidang tugas pokok dan fungsinya. Terkait dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing dinas dan instansi teknis seharusnya menyusun program yang dituangkan dalam Rencana Anggaran Satuan Kerja. Adapun aktor-aktor pengambil kebijakan anggaran publik dengan tugas pokok dan fungsinya terkait dengan pemenuhan hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman, terdiri atas : a. Gubernur DKI Jakarta Gubernur sebagai pimpinan eksekutif merupakan aktor yang paling berpengaruh dalam pengambilan kebijakan. Pada era otonomi daerah, Gubernur yang sesungguhnya menentukan dan memutuskan berlakunya suatu kebijakan karena kewenangan atributif, delagatif, dan mandate Pemerintah Pusat diletakkan padanya. b. Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta • Ketentuan: 1. Dinas Pendidikan Dasar merupakan dasar merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah di bidang pendidikan dasar, luar sekolah dan pendidikan luar biasa. 2. Dinas Pendidikan Dasar dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. 3. Dinas Pendidikan Dasar dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dikoordinasikan oleh Asisten Kesejahteraan Masyarakat. • Tugas Pokok: Dinas Pendidikan Dasar mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan penyelenggaraan pendidikan dasar, luar sekolah dan pendidikan luar biasa. • Fungsi: 1. Perumusan kebijakan teknis di bidang pendidikan dasar, luar sekolah dan pendidikan luar biasa. 2. Pembinaan kurikulum taman kanak - kanak, pendidikan usia dini, sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, luar sekolah, dan sekolah luar biasa. 3. Pemberian bantuan penyelenggaraan pendidikan dasar, luar sekolah, dan pendidikan luar biasa. 4. Pembinaan tenaga pendidikan. 5. Pembinaan dan pengurusan saran, prasarana, dan sumber belajar. 6. Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi pelaksanan kebijakan di bidang pendidikan dasar, luar sekolah dan pendidikan dasar, luar sekolah, dan pendidikan luar biasa. 7. Penyediaan, pengelolaan, dan pendayagunaan gedung dan perlengkapan sekolah taman kanakkanak, sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama, luar sekolah dan sekolah luar biasa. 8. Penyediaan, pengelolaan, dan pendayagunaan alat- alat pelajaran, media pendidikan dan sumber belajar pendidikan dasar, luar sekolah, dan pendidikan luar biasa.
148
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
c. Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta • Ketentuan: 1. Dinas Pendidikan Menegah dan Tinggi merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah di bidang pendidikan menengah, pendidikan tinggi, luar sekolah dan luar biasa. 2. Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. 3. Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dikoordinasikan oleh Asisten Kesejahteraan Masyarakat. • Tugas Pokok: Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan menyelenggarakan pendidikan menengah, pendidikan tinggi, luar sekolah dan luar biasa. • Fungsi: 1. Perumusan kebijakan teknis di bidang pendidikan menengah, pendidikan tinggi, luar sekolah dan luar biasa. 2. Pembinaan kurikulum sekolah menengah umum, sekolah menengah kejuruan, luar sekolah dan pendidikan luar biasa. 3. Pemberian bantuan penyelenggaraan pendidikan. 4. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang pendidikan menengah, luar sekolah dan pendidikan luar biasa. 5. Penyediaan, pengelolaan dan pendayagunaan gedung dan perlengkapan pendidikan menengah, luar sekolah dan pendidikan luar sekolah. 6. Penyediaan, pengelolaan dan pendayagunaan alat - alat pelajaran, media pendidikan dan sumber belajar pendidikan pendidikan menengah, luar sekolah dan pendidikan luar biasa. d. Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta • Ketentuan: 1. Dinas Kesehatan merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah di bidang kesehatan. 2. Dinas Kesehatan dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. 3. Dinas Kesehatan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dikoordinasikan oleh Asisten Kesejahteraan Masyarakat. • Tugas pokok: Dinas Kesehatan mempunyai tugas menyelenggarakan kegiatan di bidang kesehatan yang meliputi pelayanan kesehatan klinis, kesehatan masyarakat, kesehatan gawat darurat dan bencana, pemasaran sosial dan sistem informasi kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sistem manajemen mutu kesehatan, perencanaan kesehatan, pembiayaan kesehatan dan jaringan pelayanan kesehatan yang berwawasan lingkungan. • Fungsi: 1. Perumusan kebijakan teknis di bidang kesehatan. 2. Perencanaan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan pelayanan kesehatan klinis. 3. Perencanaan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan pelayanan kesehatan masyarakat. 4. Perencanaan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan pelayanan kesehatan gawat darurat dan bencana. 5. Perencanaan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan pelayanan kesehatan dan sistem
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
149
informasi kesehatan. 6. Perencanaan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan sistem manajemen mutu kesehatan. 7. Perencanaan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan sistem perencanaan dan pembiayaan kesehatan. 8. Perencanaan, pengawasan, pengendalian, dan pengembangan jaringan pelayanan kesehatan. 9. Pemberian bantuan penyelenggaraan kesehatan. 10. Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat. e. Kepala Dinas Perumahan • Ketentuan: 1. Dinas Perumahan merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah di bidang perumahan. 2. Dinas Perumahan dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. 3. Dinas Perumahan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dikoordinasikan oleh Asisten Pembangunan. • Tugas Pokok: Dinas Perumahan mempunyai tugas merencanakan penataan lingkungan perumahan dan pemukiman, melaksanakan, mengawasi dan mengendalikan pembangunan perumahan serta pelayanan atas penghunian perumahan. • Fungsi : 1. Perumusan kebijakan teknis di bidang pembangunan perumahan, pelaksanaan penataan lingkungan dan pemukiman. 2. Perencanaan penataan, pemeliharaan dan perawatan perumahan. 3. Pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan perumahan. 4. Pelaksanaan penilaian dan bimbingan teknis pengelolaan perumahan. 5. Pemberian izin tertentu di bidang penghunian perumahan. 6. Pelayanan masyarakat atas sengketa penghunian perumahan. 7. Pembinaan teknis dan pengendalian di bidang usaha pembangunan dan pengelolaan perumahan. f. Kepala Bappeda DKI Jakarta • Ketentuan: 1. Badan Perencanaan Daerah merupakan unsur penunjang Pemerintah Daerah di bidang perencanaan. 2. Badan Perencanaan Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. • Tugas Pokok: Badan Perencanaan Daerah mempunyai tugas membantu Gubernur dalam menyelenggarakan pemerintah daerah di bidang perencanaan pembangunan di daerah, penelitian dan pengembangan serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan perencanaan pembangunan di daerah. • Fungsi: 1. Perumusan kebijakan teknis di bidang perencanaan daerah. 2. Pengkoordinasian penyusunan perencanaan jangka panjang, jangka menengah, arah dan kebijakan umum tahunan APBD strategi dan prioritas tahunan APBD. 3. Pengkoordinasian kebijakan perencanaan di bidang pembangunan perekonomian, pembangunan fisik, pembangunan kesejahteraan masyarakat, serta keuangan. 4. Pengkoordinasian penyusunan program secara terpadu antar perangkat daerah, antar daerah, antar sektor dan antar lintas pelaku lainnya.
150
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
5. Pengkoordinasian kebijakan teknis dalam lingkup perencanaan daerah. 6. Penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD) dalam satu tim anggaran yang dikoordinasikan Sekretaris Daerah. 7. Pengkoordinasian serta pelaksanaan penelitian dan pengembangan perencanaan daerah. 8. Pemantauan persiapan dan perkembangan pelaksanaan perencanaan daerah. 9. Pengkoordinasian evaluasi perencanaan daerah. 262 1. Legislatif Kedudukan, fungsi, tugas, dan kewenangan DPRD sangat signifikan mempengaruhi substansif suatu kebijakan publik, termasuk anggaran publik. Pengaruh tersebut tercermin dalam kewenangan DPRD sebagai berikut: 1. DPRD merupakan lembaga Perwakilan Rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai lembaga Pemerintah Daerah. 2. DPRD sebagai unsur lembaga Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab yang sama dengan Pemerintah Daerah dalam membentuk Perda untuk kesejahteraan rakyat. 3. DPRD mempunyai fungsi sebagai: Legislasi, Anggaran; Pengawasan ����������� 4. DPRD mempunyai tugas dan wewenang : a. membentuk Perda yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama; b. menetapkan APBD bersama dengan Gubernur c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Perda, Keputusan Gubernur, APBDaerah, kebijakan pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan Daeraha; d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil gubernur kepda Presiden melalui Menteri dalam Negeri; e. memberi pendapat dan pertimbanagan kepada pemerintah Daerah terhadap rencana perjanjian Internasional yang menyangkut kepentingan Daerah; f. meminta laporan pertanggungjawaban gubernur dalam pelaksanaan tugas Desentralisasi ; g. Tugas-tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang. Dalam menjalankan kewenangannya tersebut DPRD juga dilengkapi dengan komisi-komisi. Komisi merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotan DPRD. Komisi mempunyai tugas, antara lain: 1. melakukan pembahasan terhadap rancangan Perda, dan rancangan keputusan DPRD; 2. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaann pembangunan, pemerintahan, dan kemasyarakatn sesuai dengan bidang komisi masing-masing ; 3. menerima, menampung, dan membahas serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat; 4. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat diDaerah; 5. mengadakan rapat kerja dan dengar pendapat; 6. mengajukan usul kepada pimpinan DPRD yang termasuk dalam ruang lingkup bidang tugas masingmasing komisi. Adapun bidang Komisi yang terkait dengan pemenuhan permasalahan pemenuhan hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman adalah sebagai berikut : 262
www.jakarta.go.id
151
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
1. Komisi C, bidang keuangan meliputi: keuangan daerah. 2. Komisi D, bidang pembangunan meliputi: pekerjaan umum, pemetaan dan tata ruang wilayah, kebersihan, perumahan rakyat, dan lingkungan hidup. 3. Komisi E, bidang Kesejahteraan rakyat meliputi: pendidikan (dasar, menengah, tinggi), ilmu pengetahuan dan teknologi, kepemudaan, kebudayaan, sosial, kesehatan, dan keluarga berencana, dan peranan wanita. 263
Keterkaitan antaraktor primer pengambil kebijakan dalam pembuatan kebijakan anggaran publik nampak dalam diagram berikut :264
Sekda
RASK
Dinas
Gubernur
263 264
www.jakarta.go.id Dian Kartika Sari, Prosiding…, op. cit.
Dinas
Panitia Anggaran Eksekutif
DPRD
152
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Para aktor tersebut dalam penyusunan APBD tidak terlepas dari proses legislasi Perda karena APBD harus mendapatkan pengesahan oleh DPRD untuk dijalankan oleh Gubernur dan jajarannya. Pengesahan APBD dituangkan dalam bentuk Perda. Proses penyusunan dan persetujuan Perda tersaji dalam diagram di bawah ini. 265
PROSES PENYUSUNAN / PERSETUJUAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA EKSEKUTIF
EKSEKUTIF
Masukan Bahan Hasil : 1. Staf Unit Terkait 2. Rakorbang
Masukan legislatif hasil : 1. Kunjungan Kerja 2. Pokok-pokok Kerja 3. Rapat Kerja Rapat Intern 4. Lobying. 5.
Staf Eksekutif Menyusun RAPERDA (Berita Daerah)
Raperda Usul Inisiatif DPRD
Masingmasing Farksi membahas RAPERDA
Rapat Paripurna Pidato GUBERNUR Penyampaian RAPERDA Kepada DPRD
Pemandagan Umum Fraksi-Fraksi
Staf menyusun Jawaban
Rapat Paripurna Jawaban GUBERNUR Atas Pemandangan Umum Dengan Fraksi
A. Komis-komis Membahas Dalam : Rapat Intern 1. Rapat Kerja 2. B. Masing-masing Fraksi Menyusun Kata Akhir.
Pidato GUBERNUR
Rapat Paripurna 1.Laporan Komisi 2. Kata Akhir Fraksi
II. Sasaran Advokasi Sekunder Sasaran advokasi sekunder semestinya diidentifikasi karena pribadi, kelompok, dan institusi ini selain berkontribusi dalam proses penyusunan anggaran publik, mereka juga sebagai pelaksana pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya terkait pemenuhan hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman. Target ������� sekunder advokasi jika melihat tugas, pokok, dan fungsi yang melekat pada dinas-dinas tersebut, meliputi: a. Sekda Pemda DKI Jakarta Sekda merupakan alat kelengkapan propinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Salah satu fungsi Sekda adalah me�������������������������������������������������������������������������������������������������� nerima pertanggungjawaban kepala-kepala dinas sebagai pelaksana pemerintah propinsi sesuai dengan bidang tugasnya.266 Dalam kaitannya dengan advokasi anggaran, maka kelengkapan Sekda berdasarkan tugas pokok dan fungsinya yang perlu dijadikan target advokasi: 1. Asisten pembangunan • Tugas Pokok: Asisten Pembangunan mempunyai tugas melaksanakan koordinasi perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembangunan. • Fungsi: a. Pengkoordinasian kebijakan di bidang pekerjaan umum, antara lain: ketatakotaan, perumahan, kebersihan, 265 266
www.jakarta.go.id/dprd/produk_hukum Lihat Pasal 18 dan Pasal 19 UU Nomor 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan DKI Jakarta
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
153
dan pengelolaan lingkungan hidup. b. Pengkoordinasian pelaksanaan di bidang pekerjaan umum, antara lain: ketatakotaan, perumahan, kebersihan, dan pengelolaan lingkungan hidup. c. Pengendalian pelaksanaan di bidang pekerjaan umum, antara lain: ketatakotaan, perumahan, kebersihan, dan pengelolaan lingkungan hidup. 2. ����������������� Asisten Keuangan • Tugas Pokok: Asisten Keuangan mempunyai tugas memimpin penyelenggaraan pengelolaan keuangan daerah, serta mengkoordinasikan perumusan dan pelaksanaan kebijakan keuangan daerah. • Fungsi: Pengkoordinasian perumusan kebijakan di bidang pengelolaan keuangan 3. ���������������������� Asisten Kesejahteraan Masyarakat : ������������ • Tugas Pokok: Asisten Kesejahteraan Masyarakat mempunyai tugas melaksanakan koordinasi perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesejahteraan masyarakat. • Fungsi : a. Pengkoordinasian perumusan kebijakan di bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, olahraga, kepemudaan, kebudayaan, pemberdayaan masyarakat. b. Pengkoordinasian pelaksanaan di bidang, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, kepemudaan, kebudayaan, pemberdayaan masyarakat. c. Pengendalian pelaksanaan kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, kepemudaan, kebudayaan, pemberdayaan masyarakat. 4. Biro Keuangan • Ketentuan: Biro Keuangan merupakan unsur staf yang membantu Asisten Keuangan dalam memberikan pelayanan unsur administratif kepada seluruh unsur pemerintah daerah di bidang keuangan. • Tugas Pokok: Biro Keuangan mempunyai tugas merumusakan kebijakan keuangan daerah dan melaksanakan pengelolaan anggaran. • Fungsi: a. Penyiapan bahan penyusunan kebijaksanaan keuangan daerah. b. Penyiapan bahan penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah. c. Evaluasi dan analisa pendapatan dan belanja daerah. d. Penelitian dan pengujian serta evaluasi pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah. e. Pembinaan pelaksanaan pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah 5. Biro Administrasi Sarana Perkotaan • Ketentuan: Biro Administrasi Sarana Perkotaan merupakan unsur staf yang membantu Asisten Pembangunan dalam melaksanakan koordinasi perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang sarana perkotaan. • Tugas Pokok : Biro Administrasi Sarana Perkotaan mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan di bidang pekerjaan umum, antara lain : ketatakotaan, perumahan, kebersihan, pengelolaan lingkungan hidup. • Fungsi :
154
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
a. Pengumpulan dan pengolahan data yang diperlukan dalam perumusan kebijakan di bidang pekerjaan umum, antara lain: ketatakotaan, perumahan, kebersihan, dan pengelolaan lingkungan hidup. b. Penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang pekerjaan umum antara lain: ketatakotaan, kebersihan, dan pengelolaan lingkungan hidup. c. Penyusunan laporan hasil pelaksanaan kegiatan di bidang pekerjaan umum, antara lain: ketatakotaan, perumahan, kebersihan, dan pengelolaaan lingkungan hidup. 6. Biro Administrasi Kesejahteraan Masyarakat • Ketentuan: Biro Administrasi Kesejahteraan Masyarakat merupakan unsur staf yang membantu Asisten Kesejahteraan Masyarakat da���������������������������������������������������������������������������������������� lam melaksanakan koordinasi perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesejahteraan masyarakat. • Tugas Pokok : Biro Administrasi Kesejahteraan Masyarakat mempunyai tugas antara lain menyiapkan bahan perumusan kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, kepemudaan, kebudayaan, pemberdayaan masyarakat. • Fungsi : a. Pengumpulan dan pengolahan data yang diperlukan dalam perumusan kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, kepemudaan, kebudayaan, pemberdayaan masyarakat. b. Penyiapan bahan perumusan kebijakan antara lain di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, olahraga, kepemudaan, kebudayaan, dan pemberdayaan masyarakat. c. Penyiapan bahan evaluasi dan laporan hasil pelaksanaan program antara lain di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, kepemudaan, kebudayaan, pemberdayaan masyarakat. 7. Biro Hukum • Ketentuan : Biro Hukum merupakan unsur staf yang membantu Asisten Tata Praja dan Aparatur dalam memberikan pelayanan administratif kepada seluruh unsur pemerintah daerah di bidang hukum. • Tugas pokok: Biro Hukum mempunyai tugas merumuskan peraturan perundang-undangan, memberikan pertimbangan, bantuan dan perlindungan hukum, mengevaluasi, mengkaji peraturan perundang-undangan. • Fungsi: a. Penyiapan bahan, perumusan dan penyelesaian peraturan perundang-undangan daerah. b. Pemberian pertimbangan dan bantuan hukum kepada semua unsur pemerintah daerah. c. Perlindungan hukum. d. Evaluasi dan pengkajian peraturan perundang-undangan daerah. 8. Sekretaris Daerah • Ketentuan : Sekretariat Daerah adalah unsur staf Pemerintahan Daerah yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah yang berada di ����������������������������������������������� bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur. • Tugas pokok: Sekretariat Daerah mempunyai tugas membantu Gubernur dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintah, administrasi, organisasi dan tata laksana, serta memberikan pelayanan administratif kepada seluruh perangkat daerah.
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
155
• Fungsi: a. Pengkoordinasian perumusan kebijakan Pemerintah Daerah. b. Penyelenggaraan administrasi pemerintahan c. Pengelolaan sumber daya aparatur, keuangan, prasarana dan sarana Pemerintahan Daerah. d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan Gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya. 9. Sekretariat DPRD • Ketentuan 1. Sekretariat DPRD merupakan unsur pelayanan terhadap DPRD dalam menyelenggarakan hak dan kewajiban serta wewenangny�� a. 2. Sekretariat DPRD dipimpin oleh seorang Sekretariat yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan secara administratif dibina oleh Sekretaris Daerah. • Tugas Pokok : Sekretariat DPRD mempunyai tugas memberikan pelayanan untuk kelancaran kegiatan DPRD, mempersiapkan persidangan, mempersiapkan produk perundang-undangan, kegiatan kehumasan, pelayanan umum untuk kelancaran kegiatan dewan dan melaksanakan kegiatan administrasi keuangan. • Fungsi : a. Penyiapan penyelenggraan rapat - rapat dan peninjauan DPRD, pembuatan surat, risalah dan catatan rapat DPRD. b. Perumusan rancangan produk dewan, penyiapan bahan perundang-undangan, pengkajian peraturan dan penyelenggaraan perpustakaan. c. Pengaturan keprotokolan dan pengurusan perjalanan dinas DPRD, pengurusan penerimaan delegasi masyarakat dan tamu DPRD serta pelaksanaan kegiatan kehumasan. b. Dinas-Dinas Terkait Dinas-dinas di lingkungan Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta yang tugas pokok dan fungsinya terkait dengan pemenuhan hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman, antara lain: 1. Dinas Tata Kota • Ketentuan: a. Dinas Tata Kota merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah di bidang penataan ruang kota. b. Dinas Tata Kota dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. c. Dinas Tata Kota dalam melaksanakan tugas dan fungsinnya dikoordinasikan tugas dan fungsinya dikoordinasikan oleh Asisten Pembangunan. • Tugas Pokok: Dinas Tata Kota mempunyai tugas merumuskan kebijakan pengembangan kota ke dalam rencana rinci tata ruang wilayah kecamatan, menyusun panduan rancang kota dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat di bidang penataan ruang kota. • Fungsi: a. Perumusan kebijakan teknis di bidang penataan ruang kota yang mencakup kebijakan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kota. b. Survei dan pendataan primer dan atau data sekunder baik untuk keperluan penataan ruang kota maupun penyusunan pedoman teknis perencanaan unsur kota. c. Pengkajian struktur ruang kota yangn meliputi persebaran dan kepadatan penduduk, peruntukan lahan, jaringan prasarana wilayah, dan intensitas ruang kota untuk keperluan penjabaran rencana tata ruang
156
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
dan atau evaluasi rencana tata ruang kota. d. Perumusan arahan rencana tata ruang baik dua maupun tiga dimensi dalam rangka pengembangan kawasan baru, perbaikan lingkungan, peremajaan lingkungan dan pemugaran lingkungan. e. Penyiapan rencana prasarana dan sarana kota yang diperlukan oleh instansi teknis maupun masyarakat. f. Pengkajian untuk menyajikan informasi dan publikasi untuk mewujudkan keterbukaan rencana kota dalam rangka peningkatan peran serta masyarakat di bidang penataan ruang. 2. Dinas Bina Mental dan Spiritual dan Kesejahteraan Sosial • Ketentuan: a. Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah di bidang pembi����������������������������������������������� naan mental spiritual dan kesejahteraan sosial. b. Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. c. Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dikoordinasikan oleh Asisten Kesejahteraan Masyarakat. • Tugas Pokok : Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan kegiatan di bidang mental spiritual, keagamaan dan kesejahteraan sosial yang meliputi pembinaan mental spiritual, keagamaan, pemberdayaan sosial masyarakat, penyantunan dan rehabilitasi sosial penyandang cacat, resosialisasi tuna sosial, bina bantuan dan perlindungan sosial serta bimbingan kesejahteraan sosial. • Fungsi : a. Perumusan kebijakan teknis di bidang mental spiritual dan kesejahteraan sosial. b. Pelaksanaan pendataan, perencanaan, pemantuan, evaluasi, penelitian serta pengembangan kegiatan usaha kesejahteraan sosial dan mental spiritual. c. Penyelenggaraan peningkatan kualitas dan perluasan jangkauan pelayanan usaha kesejahteraan sosial. d. Pembinaan dan peningkatan profesionalisme sumber daya manusia di bidang mental spiritual. e. Penyelenggaraan rekomendasi pengangkatan anak, perizinan pengasuhan anak, dan perizinan operasional taman penitipan anak. f. Penyelenggaraan pelayanan perlindungan korban tindak kekerasan, bantuan sosial korban bencana dan musibah sosial lainnya serta orang terlantar. g. Pemberian bantuan penyelenggaraan pelayanan sosial lembaga - lembaga kesejahteraan sosial. h. Penyediaan dan pengolahan sarana dan prasarana pelayanan di bidang mental spiritual dan kesejahteraan sosial. 267 Identifikasi target advokasi di atas, hanya bersinggungan dengan aktor pengambil kebijakan dalam lingkup formal (visible power). Kecenderungannya saat ini, kelompok-kelompok kepentingan yang tidak kasat mata (invisible power), dan memiliki motif yang sangat kuat pada pengejaran keuntungan finansial (hidden power) untuk mempengaruhi pengambil kebijakan juga perlu diidentifikasi. Intervensi kelompok ini kepada negara agar negara agar memfasilitasi kepentingan mereka melalui kebijakan publik semakin kian nyata. Dampaknya kini peran negara sebagai pengemban kewajiban menjamin penikmatan HAM seluruh warga negara semakin berkurang. 267
www.jakarta.go.id
157
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Penetrasi kepentingan kelompok pemodal sebenarnya dapat dicegah apabila pengambil kebijakan publik tidak mengakomodasi kepentingan kelompok ini. Dengan demikian, upaya advokasi anggaran berbasis hak anak juga juga harus mendeteksi sampai sejauhmana kepentingan kaum pemodal difasilitasi pemerintah daerah. Hal ini mungkin terjadi karena realitanya kebijakan publik pada dasarnya merupakan arena kontestasi aneka kepentingan. Dalam perspektif doktrin HAM, negara melalui kebijakannya dapat melakukan pelanggaran dengan cara mengalokasikan anggarannya untuk melakukan penggusuran suatu permukiman untuk kepentingan kelompok pemodal. Dalam titik ini negara telah gagal melaksanakan kewajibannya untuk melindungi HAM warga negara melalui politik anggaran publik dan sekaligus melakukan pelanggaran HAM melalui tindakannya tersebut.
LANGKAH 5 : Lobby Terdapat instrumen advokasi yang dapat digunakan agar capaian advokasi mendapatkan respon dari pengambil kebijakan publik. Instrumen ini dikenal dengan lobby. Lobby seringkali digunakan oleh non-state actor untuk mempengaruhi kebijakan publik. Dalam konstruksi negara demokratis upaya lobby dapat dilakukan oleh setiap komponen masyarakat sebagai bagian dari hak politiknya. Lobby merupakan upaya agar preferensi atau keinginan warga terakomodasi dalam kebijakan negara. Hal ini sesuai dengan rumusan Robert A. Dahl yang menyebut ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus-menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya. Tatanan politik seperti itu bisa digambarkan dengan menggunakan 2 (dua) dimensi teoritik, yaitu (i) seberapa tinggi tingkat kontestasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan; dan (ii) seberapa banyak warga negara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu. Selanjutnya, Dahl menyatakan bahwa untuk menjamin agar pemerintah berperilaku demokratis, harus ada kesempatan yang diberikan kepada rakyat untuk: (i) merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri; (ii) memberitahukan perihal preferensinya itu kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif; dan (iii) mengusahakan agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak didiskriminasikan berdasar isi atau asal-usulnya. Dengan kata lain deliberasi publik tersebut memadukan sinergitas masyarakat – penguasa guna merumuskan common good.268 Berdasarkan perspektif Habermas perumusan ini membutuhkan 2 (dua) prinsip yakni refleksitas dan inklusivitas. Prinsip reflektivitas mengandaikan adanya perenungan terhadap realitas obyektif keberagaman masyarakat. Kemudian apa yang diputuskan tersebut merefleksikan concern bersama setiap anggota masyarakat. Untuk mencapai reflektivitas tinggi, diperlukan prinsip kedua, yakni prinsip inklusivitas. Artinya proses deliberasi politik dan regulasi publik harus melibatkan sebanyak mungkin peserta dialog sehingga kebijakan yang akan 268
Masyarakat Transparansi Indonesia, Amandeman UUD 1945 Menuju Masyarakat yang Demokratis, 1999, hal. 14 - 15
158
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
diambil dapat dikonsultasikan dengan sebanyak mungkin konsideran dari seluruh elemen masyarakat yang berbeda-beda. Oleh karena merupakan forum konsultasi maka apapun keputusan tersebut nantinya, tiap orang diberi ruang yang sama untuk berekspresi dan memberi kontribusi. Melalui konsultasi publik demikian bisa jadi memunculkan kearifan-kearifan yang tak terpikirkan.269 Berangkat dari konsepsi ini, upaya lobby menjadi strategi pilihan Jaringan LSM Anak untuk melakukan advokasi, baik kepada target primer maupun sekunder. Sikap politik jaringan yang tertuang dalam kertas posisi menjadi prinsip yang mendasari upaya advokasi. Kertas posisi tersebut diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam menetapkan basis rasionalitas publik oleh pengambil kebijakan. Karena substansi kertas posisi tersebut berpijak pada nilai-nilai universalitas perlindungan hak-hak anak sebagaimana tertuang dalam KHA. Lebih jauh prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan norma yang terkandung di dalam KHA tetap dapat dijadikan sebagai parameter untuk menilai aneka kepentingan yang mencoba mewarnai anggaran publik sehingga kepentingan terbaik untuk anak tidak lagi terpinggirkan. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut, strategi yang dijalankan adalah melobby Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai-partai politik. Mengingat kultur politik yang dianut oleh partai politik adalah menjadikan politikus pusat yang notabene pengurus DPP sebagai kiblat dan sumber pengambilan kebijakan politikus level daerah. Berikut pemetaan kekuatan yang diidentifikasi selama persiapan lobby partai politik.270 Target Lobby DPP Partai Politik
Pendukung/Sekutu • • •
Aktivis Hak Anak Partai politik progresif Anggota DPR progresif
Lawan-Lawan Advokasi • •
Partai politik Anggota DPR
Konstituen Advokasi
konservatif konservatif
Anak-anak CNSP
Dalam konteks advokasi APBD DKI, konstelasi politik level nasional dan level daerah menjadi pertimbangan dalam memilih dan menentukan target lobby. Dalam menetapkan partai politik yang dijadikan mitra lobby, Jaringan LSM Anak menentukan 2 (dua) kriteria : (1) mempunyai posisi tawar politis yang kuat, dilihat dari jumlah kursi yang dimilikinya melebihi batas electroral treshold; dan atau (2) Partai politik tersebut menjadi bagian dari pemerintahan (incumbent party). Rasionalitasnya partai politik tersebut diharapkan dapat memberikan pengaruh politik yang signifikan dalam pengambilan kebijakan. Tabel berikut memperlihatkan partai politik yang memenuhi kriteria di atas. Tabel Perolehan Kursi Partai Politik di DPR RI Pemilu 2004 No.
269 270
Partai Politik
Jumlah Kursi
Persentase
1.
Partai Golkar
128
23,27%
2.
PDIP
109
19,82%
3.
PPP
58
10,55%
Masdar Hilmy, Mewarnai Ruang Publik, Kompas, 9 Maret 2006 Mengadopsi Sheila Espine-Villaluz, Manual Advokasi Kebijakan Strategis,op. cit, hal. 120
159
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
4.
P Demokrat
57
10.36%
5.
PAN
52
9,45%
6.
PKB
52
9,45%
7.
PKS
45
8,18%
Sementara perolehan kursi partai politik di atas di DPRD DKI Jakarta sesuai dengan hasil Pemilu 2004 sebagai berikut : PKS 18 kursi; Partai Demokrat 16 kursi; PDIP 10 kursi; Partai Golkar 7 kursi; PPP 7 kursi; PAN 6 kursi; dan PKB 4 kursi. Hipotesa yang dijadikan pijakan untuk melakukan lobby dengan partai-partai tersebut adalah : 1. Partai politik sebagai bagian dari masyarakat madani berpotensi melakukan perubahan kebijakan secara substantif melalui institusi politik formal baik di legislatif maupun di eksekutif; 2. Jumlah kursi yang diperoleh merepresentasikan jumlah konstituen, artinya partai tersebut telah dipilih oleh rakyat untuk menyuarakan aspirasinya; 3. Proses politik penyusunan anggaran publik berkorelasi dengan kekuatan posisi tawar (bargaining position) partai politik yang duduk pada institusi negara; 4. Partai politik dapat melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah termasuk incumbent party melalui oposisi. Hipotesis ini perlu mendapatkan respon dari partai politik melalui maksimalisasi fungsi legislasi dan budget yang diemban lembaga legislatif dalam mengakomodasi pereferensi/kepentingan Jaringan LSM Anak sehingga anggaran publik yang akan disusun kemudian berpijak prinsip children mainstreaming budget. Dengan demikian tujuan dari lobby ini adalah mendialogkan permasalahan yang melingkupi pemenuhan hak-hak anak dengan DPP partai politik sehingga terbentuk : 1. Kesepemahaman persepsi dan perspektif yang sama antara Jaringan LSM Anak Untuk Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak dengan DPP Partai Politik mengenai permasalahan anak-anak khususnya dalam menikmati hak atas pendidikan, kesehatan dan pemukiman; 2. Kesepakatan untuk menjadikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak sebagai rujukan dalam penyusunan anggaran publik; 3. Terbentuk jaringan kerja yang sinergis antara Jaringan LSM Anak dengan DPP partai politik dalam menangani permasalahan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak.
160
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Alur lobby digambarkan dalam diagram berikut : Realita Pemenuhan dan perlindungan hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan pemukiman
Tanggung jawab negara untuk memenuhi hak asasi anak
Mempengaruhi kader-kader
Perspektif Hak Anak (Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)
Respon negara melalui alokasi anggaran publik berdasar kepentingan terbaik untuk anak (child mainstreaming budget)
Lobby
Networking antara LSM dengan DPP Partai Politik
Mempengaruhi legislatif dan eksekutif
Peran DPP Partai Politik
Dalam pelaksanaan lobby untuk merealisasikan anggaran publik berbasis hak anak, Jaringan LSM Anak telah berhasil melakukan lobby dengan bebarapa target advokasi sebagai berikut: 1. Pengurus DPP PDIP, Heri Akhmadi selaku Wakil Ketua Komisi X DPR RI271 Lobby ini bertujuan memberikan masukan kepada Komisi X DPR RI agar lebih memahami peta permasalahan anak khususnya anak-anak yang dikategorikan sebagai CNSP dalam menikmati hak atas pendidikan. Pada prinsip jika mengacu pada Konvensi Hak Anak, anak-anak membutuhkan intervensi spesifik karena mereka memiliki kebutuhan yang spesifik pula. Dalam kesempatan tersebut YPHA mendapatkan kesempatan untuk mendialogkan permasalahan pemenuhan hak anak atas pendidikan dan menyerahkan 271 Lobby ini merupakan rangkaian kegiatan dari aksi anti pemiskinan yang dilakukan oleh Komite Anti Pemiskinan untuk menekan Komisi X DPR RI untuk menekan Pemerintah agar merealisasikan tujuan MDG’s, khususnya pendidikan. Lobby ini diikuti oleh YPHA, INFID, dan perwakilan organisasi kelompok diffable. Komisi X DPR RI merupakan komisi yang bertanggung jawab atas sektor pendidikan.
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
161
kertas posisi Jaringan LSM Anak sebagai bahan masukan bagi sidang-sidang Komisi X selanjutnya. Menanggapi permintaan tersebut, Heri Akhmadi bersepakat bahwa peningkatan alokasi anggaran merupakan solusi guna menjawab permasalahan pemenuhan hak anak atas pendidikan. Lebih jauh, Komisi X akan terus berusaha merealisasikan kesepakatan antara Pemerintah, pada saat Menteri Pendidikan Nasional dijabat oleh Malik Fadjar, dengan DPR untuk merealisasikan alokasi 20% APBN untuk sektor pendidikan pada tahun 2009 nanti. DPR sebenarnya telah melakukan penekanan kepada Pemerintah untuk mengupayakan terealisasikannya alokasi tersebut sejak kesepakatan dibuat. Namun kesepakatan ini gagal dilaksanakan oleh pemerintah dengan dalih keterbatasan anggaran. Pengakuan Pemerintah pada Juli 2005 bahwa alokasi pendidikan belum mencapai 20% menjadi bukti nyata minimalisnya komitmen pemerintah. Kemudian, pada tahun anggaran 2006 , pemerintah juga gagal mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebesar 12% sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR tersebut. Hal yang perlu dicatat adalah kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR jika ditilik berdasarkan perspektif HAM, merupakan bentuk pelanggaran hak atas pendidikan oleh negara. Karena hak pendidikan merupakan HAM yang bersifat mendasar yang harus dipenuhi negara meskipun sumber daya yang tersedia terbatas. Dalam kaitan ini, Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya telah mengembangkan konsep kewajiban minimum dan menegaskan bahwa setiap negara harus memenuhi kewajiban minimumnya guna memenuhi hakhak ini. Akar permasalahan ini berasal dari rendahnya komitmen politik Pemerintah untuk menunaikan kewajiban konstitusionalnya mengalokasikan anggaran pendidikan minimal sebesar 20% dari total APBN. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya daya tekan politis anggota parlemen kepada Pemerintah. 2. DPP PKS, DPP PKB, dan DPP Partai Golkar Lobby ini bertujuan agar masing-masing DPP Partai Politik mitra lobby mengakomodasi kepentingan Jaringan LSM Anak melalui kader-kader partai politik yang menduduki jabatan di lembaga legislatif maupun eksekutif. Kader-kader tersebut dapat mendesakkan peningkatan alokasi anggaran publik yang khusus dialokasikan untuk merespon kebutuhan anak yang bersifat spesifik. Jika memetakan kekuatan politik masing-masing partai politik tersebut, khususnya di DPRD DKI, secara hipotesis cukup kuat untuk menekan pemerintah daerah karena mendapatkan kursi yang signifikan. Di sisi lain masing-masing partai politik tersebut saat ini, kecuali PDI P, menjadi bagian dari rezim pemerintah yang berkuasa. Pada saat melakukan lobby dengan para pengurus di DPP partai politik, DPP PKS mewakilkan pada Departemen Kewanitaan DPP PKS, DPP PKB menunjuk Maria Pakpahan dan Ketua Satgas Busung Lapar, dan DPP Partai Golkar mempercayakan kepada Departemen Pendidikan untuk menerima delegasi Jaringan LSM Anak. Hal yang perlu mendapatkan perhatian masing-masing DPP secara organisasi menempatkan permasalahan anak dalam ruang ruang lingkup tugas kewenangan yang berbeda-beda. Kondisi ini menunjukkan bahwa perspektif DPP dalam merespon permasalahan anak masih menganut pemahaman sektoral. Urgensitas permasalahan anak seharusnya disikapi dengan perspektif komprehensif, holistik, dan lintas sektoral melalui tindakan afirmatif dan diskriminatif positif (menempatkan anak sebagai prioritas preferensi politik) kebijakan partai politik mengingat anak-anak adalah konstituen partai politik di masa yang akan datang. Hasil-hasil lobby dengan masing-masing DPP terbaca pada tabel berikut :
162
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
DPP PKS •
•
•
DPP Pusat PKB
Hasil Audiensi akan disosialisasikan kepada seluruh kader-kader PKS baik di Pusat maupun Daerah-Daerah Tetap menjaga komunikasi untuk saling memberikan informasi aktivitas-aktivitas yang bisa dilakukan bersama dan sharing data-data kebijakan DPP maupun data-data temuan lapangan dari Jaringan NGO Jaringan LSM Anak apabila merencanakan melakukan audiensi lebih lanjut dengan DPRD DKI dapat menghubungi kader PKS di DPRD DKI dan akan difasilitasi oleh DPP PKS
•
• •
DPP PKB bersedia memfasilitasi suatu seminar guna membahas perihal anggaran berbasis hak anak dengan melibatkan partai-partai politik lain yang mempunyai konsituen dan kursi yang signifikan Kader-kader PKB dilibatkan apabila ada Pelatihan Membaca Anggaran Jaringan LSM Anak apabila merencanakan melakukan audiensi dengan kader PKB yang duduk di Komisi Anggaran DPR RI dapat menghubungi kader PKB sehingga DPP PKB dapat memfasilitasi pertemuan tersebut
DPP Pusat Partai Golkar •
•
•
DPP Partai Golkar bersedia memfasilitasi suatu seminar untuk membahas anggaran berbasis hak anak dengan melibatkan partai-partai politik yang mempunyai konsituen dan kursi yang signifikan Sepakat bahwa persoalan anak memang secara khusus harus dianggarkan tersendiri dan tidak masuk dalam sub anggaran program lain Jaringan LSM Anak apabila merencanakan melakukan audiensi dengan kader Partai Golkar yang duduk di Komisi-Komisi DPR RI dapat menghubungi DPP Partai Golkar, dan DPP Partai Golkar bersedia memfasilitasi pertemuan tersebut
LANGKAH 6: Monitoring Anggaran
Sebagai sebuah proses, anggaran publik melewati tahapan perencanaan, legislasi, implementasi, dan auditing. Namun sayang peraturan perundang-undangan hanya membatasi partisipasi hanya dalam tahapan perencanaan tidak dalam tahapan monitoring dan evaluasi. Untuk itu, upaya memonitor anggaran publik harus dibangun dan dikembangkan oleh masyarakat sipil (civil society) termasuk LSM Anak. LSM Anak dapat melakukan monitoring implementasi anggaran publik dalam rangka mengeksaminasi apakah pengalokasian dan distribusi anggaran bagi masyarakat sudah berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan kemanfaatan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, khususnya bagi kepentingan terbaik anak. Untuk mengeksaminasi tindakan negara atau memonitor negara dalam memenuhi hak-hak anak setidaknya memerlukan hal-hal sebagai berikut : 1. Penggunaan indikator-indikator, karena indikator ini yang akan menjadi ukuran sejauhmana negara dari waktu ke waktu merealisasikan pemenuhan hak-hak tersebut. Indikator ������������������������������ ini digunakan untuk mengukur situasi tertentu dan perubahan-perubahan yang telah tercapai; 2. Monitoring tindakan pemerintah maupun hasil-hasil dari tindakan pemerintah tersebut; 3. Mengajukan tuntutan ke pengadilan berdasarkan standar-standar HAM������������������������������� apabila pemerintah menetapkan kebijakan yang melanggar HAM atau realisasi kebijakan tersebut dengan standar di bawah indikator universalitas HAM; 4. Memonitor alokasi anggaran pembangunan; 5. Memonitor sejauhmana standar-standar HAM menjadi ukuran dalam perencanaan hingga evaluasi
163
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
proses pembagunan.272 Terkait dengan upaya memonitor pemenuhan HAM, Guzman dan Verstappen mengidentifikasi 2 (dua) model monitoring yang dikembangkan untuk memonitor pelanggaran HAM oleh negara, yakni: (i) berbasis kasus (case monitoring), dan (ii) berbasis situasi (situation monitoring). Perbedaan kedua model tersebut di bawah ini :
Berbasis kasus • • •
Kasus-kasus yang diajukan melalui proses hukum Menyediakan layanan bantuan dan rehabilitasi kepada korban Bentuk-bentuk intervensi lain berdasarkan spesifikasi kasus
Berbasis situasi • • • •
Pelanggaran HAM Pengajuan counter drafting melalui upaya-upaya legislasi Implementasi hukum (perundangan- undangan) dan kebijakan Pembentukan dan pengembangan institusi HAM
Model yang pertama fokus dan orientasi pada kepentingan korban yakni bagaimana korban mendapatkan keadilan. Sedangkan model kedua fokus monitoring berorientasi pada kemajuan proses legislasi dan kinerja dari institusi HAM.273 Sejalan dengan kerangka di atas HURIDOCS274 mengembangkan model monitoring pelanggaran HAM melalui 2 (dua) metodologi yaitu : metodologi berbasis peristiwa (events/act based methodology) dan metodologi berbasis indikator (indicators based methodology).275 Bilamana satu peristiwa dijadikan sasaran pemantauan HAM, maka paling tidak, ada satu tindakan yang isinya dapat dikualifikasikan sebagai satu pelanggaran HAM.276 Untuk mengkualifikasi apakah negara telah melanggar HAM, dapat merujuk pada ketentuan-ketentuan konvensikonvensi HAM. Konvensi HAM telah menetapkan indikator-indikator yang menjadi kewajiban negara untuk menghargai, melindungi, dan memenuhi HAM. Dalam titik ini, peran LSM Anak sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society) mempunyai peran yang penting untuk melakukan monitoring dan pendokumentasian pelanggaran HAM. Oleh karenanya pengembangan model monitoring pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, khususnya untuk pemenuhan hak-hak anak, menurut pandangan YPHA penting untuk dilakukan oleh LSM Anak. Pertimbangan tersebut meliputi: (i) sebagi counter terhadap upaya-upaya yang dilakukan Negara melalui mekanisme PBB yang cenderung bias kepentingan politis; (ii) menggugah memori kolektif bangsa yang dipaksa mengalami amnesia sejarah; dan (iii) menggugah kesadaran publik (publik awareness) bahwa pelanggaran HAM oleh negara dan aktor negara lain (korporasi) semakin massif terjadi di depan mata kita. Kasus-kasus yang menimpa anak-anak seperti busung lapar, wabah polio, muntaber, demam berdarah, 272 Antonio Pradjasto, Monitoring Penegakan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, makalah pada Workshop Monitoring dan Advokasi HAM, CHRF, Makasar, 2002 273 Canadian Human Rights Foundation, Pemantauan dan Advokasi HAM, Lokakarya Nasional Bagi LSM, Jakarta, 2003, hal. 54 274 HURIDOCS (Human Rights Information and Documentation Systems, International) merupakan jaringan global organisasi HAM yang mempunyai fokus kegiatan mengembangkan sistem komunikasi universal untuk informasi HAM. Salah �������������������������������������� satu yang dikembangkan HURIDOCS berupa model monitoring pelanggaran HAM. HURIDOCS mendefisinikan monitoring sebagai pengamatan dengan teliti atas suatu situasi dalam masyarakat dalam jangka waktu tertentu untuk melihat apakah standar-standar HAM telah ditegakkan.��� 275 Manuel Guzman, The Investigation and Documentation of Events as a Methodology in Monitoring Human Rights Violations, HURIDOCS 276 Lihat M.M. Billah, Tipologi dan Praktik Pelanggaran HAM, makalah dalam Seminar BPHN VIII, 2003
164
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
anak putus sekolah, anak gantung diri karena tidak bisa bayar sekolah, dan sederet pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi contoh nyata betapa negara telah melanggar kewajiban konstitusional mengurusi kelompok warga negara yang di sebut anak. Model-model monitoring dan pendokumentasian yang telah ada dapat diadopsi dan dikembangkan sesuai dengan karakteristik anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (CNSP) yang selama ini telah menjadi fokus kerja dan mandat lembaga. Berdasarkan landasan pemikiran di atas maka YPHA menyelenggarakan Workshop Pengembangan Model Monitoring dan Pendokumentasian Pelanggaran HAM. Tujuan penyelenggaraan Workshop Pengembangan Model Monitoring Pelanggaran HAM sebagai berikut : 1. Menginisiasi suatu kerangka monitoring dan pendokumentasian pelanggaran HAM oleh negara, yang termasuk ke dalam rumpun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya khususnya hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman; 2. Memperkuat kapasitas LSM Anak untuk mengembangkan perangkat pemantauan dan pendokumentasian pelanggaran HAM sesuai dengan konteks wilayah dan mandat lembaga; 3. Membangun dan mengembangkan kerangka pemantauan dan pendokumentasian pelanggaran HAM oleh negara sehingga tercipta sistem dukungan (supporting system) untuk kerja-kerja penyadaran publik dan kerja-kerja advokasi yang sedang dan yang akan dilakukan baik dalam bentuk koalisi maupun lembaga; 4. Terbangunnya kesadaran publik bahwa pelanggaran hak-hak anak oleh negara dan pihak lain (korporat) tidak boleh ditoleransi; 5. Terciptanya model-model monitoring yang dikembangkan oleh publik sesuai dengan konteks lokal. Sedangkankan hasil yang diharapkan dari workshop ini adalah adanya suatu model kerangka monitoring dan pendokumentasian pelanggaran HAM yang termasuk rumpun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya khususnya hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman. Model monitoring tersebut dikembangkan dalam workshop tersebut merujuk pada : a. Concluding Observation CRC Committee tentang pemenuhan Hak Pendidikan, Hak Kesehatan, Hak Pemukiman; b. Hasil Konsultasi dengan Anak Secara Berkala; c. Hasil Media Tracking. Berdasarkan hal tersebut, workshop menghasilkan sebuah model eksplorasi indikator pemenuhan hak anak sebagai berikut: Tabel Contoh: HASIL EKSPLORASI INDIKATOR
Kasus Penderita cacat (anak dengan kebutuhan khusus) tidak bisa bisa masuk SLTA Negeri (Kompas, 14 Juni 2005)
Pelanggaran Hak Anak dengan kebutuhan khusus tidak mendapatkan hak pendidikan (akses ke sekolah negeri)
Pelaku Dikmenti DKI Jakarta
Perubahan yang diinginkan Anak dengan kebutuhan khusus mendapat akses di SLTA Negri Merubah persyaratan penerimaan siswa, membuka kesempatan bagi anak dengan kebutuhan khusus bisa menikmati pendidikan di SLTA Negeri, sama dengan siswa lainnya
Indikator Perubahan Tahun 2006 Dikmenti mencabut kebijakan yang ada 100 % SLTA Negeri di jakarta membuka akses bagi anak dengan kebutuhan khusus Adanya kelas inklusi (tidak ada pemisahan kelas)
165
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Langkah selanjutnya berdasarkan eksplorasi indikator dikembangkan model monitoring sebagai alat untuk mengeksaminasi sampai sejauhmana kepatuhan negara dalam melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak anak. Model tersebut ditampilkan dalam tabel berikut.
Tabel MODEL MONITORING dan ADVOKASI untuk PEMENUHAN HAK PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERMUKIMAN BAGI ANAK
Situasi yang ada di lapangan
A K T I V I T A S C A R A
Refrensi Standar Internasional Perlindugan Hak
Perubahan yang diinginkan
Laporan publik
Mengawal proses perubahan
• Menemukan informasi dan data baik tentang perlindungan maupun pelanggaran hak-hak yang difokuskan hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman • Memvalidasi data • Menemukan pola
• menemukan instrumen yang relevan dengan hak pendidikan, kesehatan, permukiman • mengidentifikasi pasalpasal yang relevan
• Membuat laporan temuan lapangan dan hasil analisa • Menyiapkan media publikasi
• memformulasikan kondisi baru yang diinginkan • membuat indicator perubahan • menentukan jangka waktu • menentukan sasaran yang bisa merubah kondisi
• menguatkan stakeholder • melakukan intervensi regulasi
• media tracking • observasi dan interview (narasumber, korban) • konsultasi dengan anak • analisis data • membangun networking • pendokumentasian (data dan informasi)
• mengumpulkan dan membaca semua instrumen internasional (konvensi, kovenan, statuta, deklarasi, pacta) • kategorisasi berdasarkan isu
• • • •
• • • • •
• pengorganisasian stakeholder • lobby dan negosiasi Parpol, pemerintah dan parlemen
Linkup
Monitoring
kritikal paper press release press briefing press confrence
mapping actor menemukan sekutu position paper rekomendasi politik networking
Laporan publik
• Membuat laporan temuan hasil pengawalan dan hasil analisa • Menyiapkan media publikasi
• press release • press briefing • buku
Dokumentasi Proses
• Membuat dokumentasi keseluruhan kegiatan modifikasi dokumen
• mengumpulkan dokumenasi kegiatan dari jaringan (tulisan, audio-visual) • membuat berbagai bentuk media publikasi (buku, film, dll)
Advokasi
Selanjutnya, model monioring ini digunakan untuk menjawab permasalahan seberapa efektif, seberapa besar distribusi anggaran, seberapa adil anak-anak dapat menikmati anggaran ini. Lebih jauh permsalahan yang harus dieksaminasi adalah apakah dalam pengalokasian anggaran publik terjadi diskriminasi terhadap individu maupun kelompok karena faktor ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.
166
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Langkah 7 : Evaluasi Advokasi
Evaluasi adalah masalah pembelajaran dari apa yang efektif dan apa yang tidak efektif, sehingga dapat dijadikan bahan reflektif untuk memperbaiki upaya advokasi di masa-masa yang akan datang. Untuk mengevaluasi seberapa efektif, seberapa jauh capaian, siapa yang berubah dalam rangkaian kerja-kerja advokasi, dibutuhkan indikator-indikator yang dipergunakan untuk mengukur kinerja advokasi tersebut. Dimensi dampak advokasi dapat digunakan sebagai parameter penilaian upaya advokasi yang telah dilakukan. Terdapat 3 (tiga) dimensi yang dapat digunakan sebagai indikator, yakni pertama, kebijakan; kedua masyarakat sipil; dan ketiga demokrasi. Keberhasilan dimensi kebijakan diindikasikan dengan kondisi-kondisi: (i) adanya tanggapan positif dari pembuat kebijakan; (ii) adanya perubahan retorika dan wacana pembuat kebijakan; dan (iii) adanya perubahan atau penghapusan atau pembuatan kebijakan, program, dan alokasi anggaran. Kemudian, keberhasilan dimensi masyarakat sipil dengan melihat terdapatnya sebuah kondisi: (i) menguatnya kelompok masyarakat rentan; dan (ii) meningkatnya kapasitas LSM-LSM yang mempunyai mandat sesuai dengan konstituennya dalam melakukan advokasi. ���������������������������������������������������������������������������������������������������� Indikasinya terjalinnya relasi yang setara (demokratis) antara kelompok masyarakat rentan sebagai konstituen dengan LSM yang mengorganisir kelompok tersebut. Kondisi ini merupakan prasyarat bagi masyarakat sipil untuk menekan pemerintah agar lebih bertanggung jawab dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Dimensi yang terakhir ditandai dengan terbuka ruang-ruang politik bagi LSM dan masyarakat dalam melakukan interaksi dengan rezim yang berkuasa. Lebih jauh indikasi keberhasilannya, nampak pada meningkatnya legitimasi politis dan perbaikan sikap dan tindakan pejabat pemerintah terhadap LSM dan kelompok masyarakat. 277 Dalam titik ini implementasi kebijakan publik oleh aparat negara dan aparat penegak hukum menjadi indikator penting di mana keduanya akan mengoperasionalisasikan substansi kebijakan tersebut berdasarkan konteks ruang dan waktu. Seiring dengan hal tersebut yang perlu mendapatkan catatan adalah keberhasilan advokasi seringkali cenderung hanya diukur dalam rangka mendapatkan kemenangan legislatif atau kebijakan langsung yakni terjadinya peruban kebijakan, program, sikap aparat, dan alokasi sumber daya. Penetapan indikator ini mengabaikan indikator yang lain seperti terbangunnya kesadaran kritis kelompok masyarakat dan meningkatnya kemampuan LSM. Keberhasilan ini justru akan mempertahankan kemenangan legislatif atau kebijakan publik
277
Valerie Miller dan Jane Covey, Pedoman Advokasi : Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi, op. cit., hal. 112
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
167
yang telah tercapai.278 Dalam konteks advokasi anggaran berbasis hak anak yang dilakukan YPHA bersama kelompok Anak dan Jaringan LSM, menunjukkan adanya titik-titik pencapaian pada ketiga dimensi tersebut. Titik-titik pencapain tersebut setidaknya dapat dijadikan sebagai langkah awal (entry point) upaya advokasi di masa yang akan datang. Di sisi lain, disadari bahwa advokasi ini dapat dikatakan masih jauh membuahkan hasil yakni anggaran publik yang ditetapkan untuk menjawab kebutuhan anak yang spesifik berdasarkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain anggaran publik sebagai instrumen kebijakan yang ditujukan untuk memenuhi hak asasi anak. Tujuan ini pada dasarnya merupakan kerja yang semestinya berkelanjutan sehingga kelompok anak sebagai konstituen dan sekaligus subyek dalam advokasi ini dapat berpartisipasi di dalamnya. Meskipun belum mencapai hasil yang maksimal, beberapa indikator-indikator keberhasilan yang telah dapat dicapai antara lain: 1. Dimensi kebijakan, yakni terdapatnya perubahan perilaku beberapa politisi. Perubahan perilaku ini dapat dijadikan sebagai indikasi keberhasilan pencapaian upaya advokasi karena keberhasilan ini dapat menjadi modalitas untuk mewujudkan anggaran publik berbasis hak anak. Modalitas-modalitas tersebut antara lain: Terbukanya ruang dialog antara kelompok masyarakat sipil dengan pihak-pihak perencana, pembuat kebijakan dan pengambilan keputusan. Tercapainya kesamaan persepsi antara Jaringan LSM Anak dengan para pengurus DPP partai politik bahwa : a. Permasalahan terhambatnya pemenuhan hak anak bermuara pada rendahnya alokasi anggaran publik; b. Paradigma child mainstreaming budget belum dijadikan anutan para politisi baik di level nasional maupun daerah; c. Alokasi anggaran publik yang tertuang dalam program belum menjawab permasalahan anak yang bersifat spesifik dan belum memadai jika melihat cakupan masalah dan jumlah anak sebagai penerima manfaat. Tercapainya kesepakatan antara Jaringan dengan DPP untuk melakukan kerja sama lebih lanjut dalam upaya merealisasikan child mainstreaming budget 2. Dimensi masyarakat sipil, ditandai dengan : Tercapainya kesepemahaman bahwa isu mandat lembaga yang berbeda-beda dapat dimuarakan dalam isu utama yakni tidak diakomodasikannya prinsip kepentingan terbaik untuk anak dalam penyusunan anggaran publik. Terdapatnya kesepakatan bahwa isu utama Anggaran Berbasis Hak Anak ini dijadikan sebagai landasan dalam membangun kerjasama dalam kerja-kerja advokasi dalam wadah Jaringan LSM Anak untuk Advokasi Anggaran Publik Berbasis Hak Anak. Meningkatnya kapasitas LSM Anak yang ditandai hal-hal berikut : a. Memiliki kemampuan untuk mempertautkan isu mandat lembaga dengan isu utama pemenuhan hak asasi anak dalam kerangka analisis berbasis HAM; b. Memiliki kemampuan membaca anggaran publik; c. Menciptakan kebersamaan dan meningkatkan kapasitas secara bersama-sama dalam 278
Valerie Miller dan Jane Covey Pedoman Advokasi : Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi, ibid
168
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
membangun argumen untuk advokasi dalam upaya peningkatan alokasi anggaran untuk pemenuhan hak anak; d. Menciptakan sinergi dalam menyusun strategi lobby dan kampanye untuk advokasi anggaran berbasis hak anak; e. Memiliki pengetahuan dan pemahaman monitoring pelanggaran HAM berbasis hak anak sebagai dasar pengembangan model monitoring sesuai dengan isu mandat lembaga dan konteks wilayah masing-masing. 3. Dimensi demokrasi, ditandai dengan kondisi-kondisi berikut : Keterlibatan LSM anak dalam proses-proses politik melalui lobby dengan DPP partai politik; Terbukanya ruang-ruang publik untuk memasukkan kepentigan LSM Anak dan konstituennya. Di samping capaian-capaian tersebut, evaluasi juga diarahkan untuk menilai kekurangan jaringan. Kekurangan ini diasumsikan sebagai faktor yang signifikan dapat menghambat kerja-kerja advokasi dan pada akhirnya berpotensi mempengaruhi pencapaian tujuan advokasi anggaran publik berbasis hak anak. Berdasarkan identifikasi, kekurangan yang bersifat mendasar adalah selama ini LSM Anak dalam melakukan intervensi permasalahan anak menggunakan metode pendekatan sesuai dengan isu mandat lembaga masingmasing. Hasil identifikasi dan pemetaan menunjukkan bahwa hampir sebagian besar LSM Anak belum pernah melakukan advokasi untuk merubah anggaran publik, vis a vis berhadapan dengan para pengambil kebijakan. Selama ini pendekatan yang dilakukan adalah pendampingan kelompok anak-anak dengan kondisi khusus (CNSP) sesuai dengan pilihan isu mandat lembaga. Pendekatan ini berdampak pada tercurahkannya energi dan sumber daya sebagian besar LSM Anak pada upaya penanganan dan pendampingan korban. Sementara itu, sumber permasalahan yang bersifat struktural yang bersumber pada kebijakan publik jarang disentuh. Pada akhirnya upaya advokasi yang telah dirancang bersama-sama seringkali mengalami hambatan. Untuk itu diperlukan perubahan paradigma dan metodologi pendekatan untuk menangani isu anak-anak CNSP. Untuk merubah kondisi ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah penguatan basis material dan ideologis LSM Anak untuk memperkuat kapasitasi lembaga yang tergabung dalam jaringan untuk melanjutkan advokasi. Berdasarkan kesepakatan partisipan jaringan perlu dibentuk ”Sekolah Advokasi Berbasis Hak Anak”.
169
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
LANGKAH 8 : Pendokumentasian
Pendokumentasian adalah proses pengumpulan, pengolahan, dan penyimpanan data-data menjadi sebuah informasi yang sistematis dan terorganisir. Merujuk pada definisi ini pekerjaan utama dokumentasi adalah melakukan pengklasifikasian sebuah informasi.279 Tujuan klasifikasi informasi adalah mempermudahkan pelaku advokasi untuk mempelajari informasi-informasi yang sudah terkumpul. Dalam kaitannya dengan pengelolaan kegiatan, dokumentasi berfungsi sebagai alat penilai perencanaan dan realisasi; informasi; bukti pelaksanaan; pemantauan dan perekam proses.280 Untuk itu, prinsip yang dikembangkan dalam upaya mendokumentasikan upaya advokasi anggaran publik berbasis hak anak adalah mendeskripsikan keseluruhan rangkaian kegiatan advokasi sehingga tujuan pendokumentasian ini dapat terealisasi. Adapun tujuan dari dokumentasi tersebut sebagai berikut : 1. Membangun kesadaran LSM Anak bahwa hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan permukiman memiliki legitimasi untuk diperjuangkan melalui upaya advokasi anggaran publik. Bahkan perjuangan tersebut kini semakin kuat karena perlindungan hak asasi anak dapat diupayakan melalui mekanisme hukum (justiciable); 2. Para pengambil kebijakan dapat membuka ruang partisipasi bagi publik, termasuk kelompok anak dalam proses perencanaan, penyusunan, penetapan dan evaluasi suatu kebijakan publik. Tujuan ini secara ekplisit mengidentifikasi 2 (dua) sasaran pendokumentasian advokasi, yakni : 1. Masyarakat sipil 2. Pengambil kebijakan Agar substansi dokumentasi mengena kelompok sasaran, bentuk dokumentasi yang dipilih adalah audio visual berupa film dokumenter. Pilihan ini dilandasi pertimbangan:(i) karakteristik masyarakat indonesia cenderung lebih menyukai pesan yang disampaikan melalui gambar/visual ketimbang melalui tulisan; (ii) pesan lebih efektif tersampaikan melalui gambar karena dalam hal-hal tertentu tulisan tidak dapat mengungkapkan realita sepenuhnya; dan (iii) visual sebagai penanda dapat diinterpretasikan dan dimaknai sesuai dengan perspektif dan persepsi setiap individu termasuk oleh anak-anak. Oleh karena itu film dokumenter advokasi yang dikembangkan paling tidak memiliki unsur-unsur sebagai 279 Agung Putri dan Sri Palupi, Menelusuri Jejak, Menyingkap Fakta : Panduan Investigasi Pelanggaran HAM, Jakarta, Elsam-TRK, 2000, hal. 77 280 M. Agung Sardjono, et. al, Panduan Praktis Program PMDH, Buku III : Dokumentasi, Komunikasi, dan Pelaporan, SFMO-Dephut-GTZ, 2000, hal. 5
170
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
berikut: a. ideografis, berpihak pada kepentingan anak; b. berangkat dari permasalahan anak-anak yang aktual; c. realita kegagalan pemerintah untuk melaksanakan kewajiban utamanya memenuhi hak-hak anak melalui anggaran publik; d. rangkaian aktivitas-aktivitas advokasi anggaran publik berbasis hak anak secara kronologis. Meskipun dokumentasi ini ditujukan bagi kedua sasaran di atas, anak-anak sebagai subyek advokasi juga semestinya dapat memahami pesan yang menjadi substansi dokumen tersebut. Oleh karenanya pengemasan isu advokasi melalui media yang ramah anak perlu dikembangkan. Dengan kata lain dibutuhkan media penyampai isu yang tepat sesuai dengan tingkat kematangan dan usia anak-anak. Pada titik ini media advokasi yang dikembangkan seharusnya membuka ruang seluas-luasnya partisipasi bagi anak.
171
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
Daftar Pustaka
o Ahmad Helmi Fuady, et.al., Memahami Anggaran Publik, Yogyakarta, IDEA Press, 2002 o Ade Irawan, et.al, Mendagangkan Sekolah : Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI, Jakarta, ICW, 2004, o Adnan Topan Husodo,Laporan Akhir Tahun 2004 Indonesia Corruption Watch, Otonomi Daerah, Lahan Subur Korupsi, Jakarta ICW, 2004. o Alexandra Vennekens dan Shun Govender, Local Government Budget Guide, IDASA Budget Information Service, 2005 o Andi Widjajanto, Ekonomi Pertahanan Indonesia, Universitas Indonesia, 2005 o Astia Dendi dan Arif Roesman, Mengembangkan Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif di Daerah, Makalah disampaikan pada Forum Regional/ Forum Nasional FPPM di Lombok, 26-29 Januari 2005 o Agus Hartono, Memahami Anak dalam Berpartisipasi, Buletin Kelopak, Indonesia, Juni 2004 o Agung Putri dan Sri Palupi, Menelusuri Jejak, Menyingkap Fakta : Panduan Investigasi Pelanggaran HAM, Jakarta, Elsam-TRK, 2000 o Antonio Pradjasto, Hak Asasi Manusia Kebebasan Atas Informasi : Catatan-Catatan Pokok, Makalah disampaikan di KOMNAS HAM, 19 Februari 2003 o ____________, Monitoring Penegakan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, malakalah pada Workshop Monitoring dan Advokasi HAM, CHRF, Makasar, 2002 o Allan McChesney, Memajukan dan Membela : Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Yogyakarta, Insist Human Rightss, 2003 o A. Patra M. Zen, Kumpulan Tulisan HAM Dalam Praktik di Indonesia, Jakarta, YLBHI, 2005 o Asbjorn Eide, Hak Atas Standar Hidup yang Layak Termasuk Hak Pangan dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus (ed.), Jakarta, 2001 o Canadian Human Rights Foundation, Pemantauan dan Advokasi HAM, Lokakarya Nasional Bagi LSM, Jakarta, 2003, o Candra Gautama, Konvensi Hak Anak : Panduan Bagi Jurnalis, Jakarta, LSPP, 2001 o Coen Husain Pontoh, Anggaran Partisipatif : Pengalaman Sukses di Porto Alegre, Brazil dalam Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global, Yogyakarta, Resist Book, 2005 o Commonwealth Youth Programme, One Participation in the Second Decade of Life What and Why? Commonwealth Secretariat, London, UK, 2005 o Carol Bellamy,The State of The World’s Children 2003 o Deklarasi Dunia yang Layak bagi Anak, dalam Buku : Dunia yang Layak bagi Anak-Anak, UNICEF o Denny Indrayana, Korupsi Anggaran Jelang Lebaran, Kompas, 7 November 2005
172
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
o Democrito T. Mendoza, Kampanye Isu dan Cara Melobi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2004 o Dian Kartika Sari, Asas-Asas Keuangan Daerah, makalah, tanpa tahun o Dian Kartika Sari, dalam Prosiding Workshop Jejaring LSM Anak untuk Anggaran Berbasis Hak Anak, Jakarta, April 2005 o Dom Helder Camara, Spiral Kekerasan, Yogyakarta, Resist Book, 2005 o Eko Prasetyo, Orang Miskin Tanpa Subsidi, Yogyakarta, Resist Book, 2 005 o Fadillah Putra, Kebijakan Tidak untuk Publik, Yogyakarta, Resist Book, 2005 o Fundar, Dignity Counts : A guide to using budget analysis to advance human rights, 2004 o Gerison Lansdown, Promoting Children’s Participatiom in Democratic Decision Making, UNICEF Innocenti Insight, 2001 o H. Soedijarto, Pendidikan dan Pelanggaran UUD 1945, Kompas, 14 Januari 2006 o HuMA, Proses Penyusunan Perda Dalam Teori dan Praktek, tanpa tahun o Ifdhal Kasim, “Prinsip-Prinsip van Boven” Mengenai Korban Pelanggaran Berat HAM, Kata Pengantar dalam Mereka yang Menjadi Korban : Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta, ELSAM, 2002 o ___________, Kata Pengantar, Memajukan Advokasi terhadap Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya : Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus (ed.), Jakarta, 2001 o INFID Annual Lobby, Overview Proses dan Substansi PRSP di Indonesia, Background Paper, 2004 o I. Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum, Makalah untuk dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004 o Iskandar Hoesin, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak-Anak, Suku Terasing, dll) dalam Perspketif HAM, Makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum VIII, 2003 o Isadi, Analisa APBN-P dan Pendidikan, www.kau.or.id, 2005 o Ivan A Hadar mengutip Daseking dan Kozack, Utang dan Pengurangan Kemiskinan, Kompas, 14 November 2005 o J. Danang Widoyoko, Menyoal Anggaran Pertahanan, Makalah untuk Workshop Reformasi Sektor Pertahanan Imparsial di Jakarta, 25 – 26 April 2005 o Jeff King, An Activist’s Manual on The International Covenant on the Economic, Sosial, and Cultural Rights, Law & Society Trust & Center for Economic & Sosial Rights, 2003 o Joachim Theis, Promoting Rights-Based Approaches: Experiences and Ideas from Asia and the Pacific, Save the Children Sweden, 2004 o Johan Galtung, Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, Surabaya, Pustaka Eureka, 2003 o Judith Asher , The Rightss to Health : A Resource Manual for NGOs, London, Commonwealth Medical Trust, AAAS, & HURIDOCS, 2004 o Katarina Tomasevski, Manual on rights-based education: global human rights requirements made simple, Bangkok: UNESCO Bangkok, 2004 o Kathleen Comeau, Involving Children in Decision Making: A model for developing Children’s Participation, Surrey Children Fund, 2005 o Ki Supriyoko, HDI Indonesia Tetap Rendah, Kompas, 20 Juli 2004 o Kusfiardi, RAPBN 2005 Melanggar Hak Konstitusi Rakyat, www.kau.or.id o Khoirunurrofik, Membedah APBD, Tim Formulasi DAU-Departemen Keuangan Sumatera Utara, Juli 2002
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
173
o M.M. Billah, Tipologi dan Praktik Pelanggaran HAM, makalah dalam Seminar BPHN VIII, 2003 o M. Agung Sardjono, et. al, Panduan Praktis Program PMDH, Buku III : Dokumentasi, Komunikasi, dan Pelaporan, SFMO-Dephut-GTZ, 2000 o Makinuddin, Air untuk Secangkir Kopi Petani : Refleksi Pengalaman Advokasi Irigasi di Way Seputih, Bandung, Yayasan AKATIGA dan World Education Indonesia, 2004 o Manuel Kaisiepo, ”Soft State” dan ”Powerhouse State”, Kompas, 23 Februari 2006 o Manfred Nowak, Hak atas Pendidikan, dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus (ed.), Jakarta, 2001 o Manuel Guzman, The Investigation and Documentation of Events as a Methodology in Monitoring Human Rights Violations, HURIDOCS, 2002 o Masyarakat Transparansi Indonesia, Amandeman UUD 1945 Menuju Masyarakat yang Demokratis, 1999 o Masdar Hilmy, Mewarnai Ruang Publik, Kompas, 9 Maret 2006 o Moelyono, dkk, Praksis Seni Penyadaran Desa Kebonsari (Pengalaman Indoensia dalam Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis ,Yogyakarta, REaD Book & PLAN, 2002 o Muhammad A.S. Hikam, HAM dalam Proses Pemberdayaan Civil Society dan Demokratisasi, dalam Diseminasi HAM: Perspektif dan Aksi, E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah, Jakarta, CEDSA LP3ES, 2000 o Naning Mardiniah, Meneropong Hak atas Pendidikan dan Layanan Kesehatan : Analisis Situasi Tiga Kabupaten : Indramayu, Sikka, dan Jayapura, Jakarta, CESDA-LP3ES, 2005 o Nota Keuangan APBD DKI 2005 o Nina Toyamah & Saikhu Usman, Alokasi Anggaran Pendidikan di Era Otonomi Daerah : Implikasinya terhadap Pengelolaan Pelayanan Pendidikan Dasar, Laporan Lapangan SMERU, Juni 2004 o Nono Sumarsono, Children Mainstreaming, Suatu Peluang dan Tantangan, dalam Jurnalisme Anak Pinggiran, Jakarta, Kelompok Kerja Anak Pinggiran, 1999 o Office of the United Nation High Commissioner For Human Rights, Economic, Sosial and Cultural Rights Handbook for National Human Rights Institutions, Professional Training Series No. 12, New York & Geneva, 2005 o Philip Alston dan Henry J. Steiner, International Human Rights in Context: Law, Politics, Morals, New York, Oxford University Press, 2000 o Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif : Pilihan di Masa Transisi, Jakarta, HuMa, 2003 o Pedoman Penyusunan APBD Berbasis Kinerja (Revisi), Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah, Direktorat Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah Wilayah 3, BPKP, tanpa tahun o Pat Pridmore et.al , Pengaruh Budaya Terhadap Pandangan dan Sikap Anak dalam Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis, Yogykarta, ReaD Book, 2002 o Pojka Advokasi Kebijakan Publik, Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, Kertas Posisi : Tindakan Khusus Sementara : Menjamin Keterwakilan Perempuan, Jakarta, 2002 o R. Nimi’s presentasi pada UNICEF’s, Global Lifeskills Workshop in Salvador dalam Carol Bellamy,The State of The World’s Children 2003, New York, UNICEF, 2002 o Rachel Hodgkin dan Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF, New York, USA, 1998 o Redhi Setiadi dan Wawan Sobari, Participatory Budget Utopikah, Research Executive Jawa Pos Institute of Pro-otonomi, 2004
174
Advokasi Anggaran Berbasis Hak Anak
o Ritu R. Sharma, Pengantar Advokasi :Panduan Latihan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005 o Roem Topattimasang, et.al., Merubah Kebijakan Publik, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2000 o Rolf Kunnemann & Sandra Epal – Ratjen FIAN International, The Rightss to Food : A Resource Manual for NGOs, New York, AAAS & HURIDOCS, 2004 o Save The Children, Empowering Children and Young People Training Manual : Promoting Involvement in Decision-Making, Children’s Rights Office, tanpa tahun o Save the Children Alliance, Child Rights Programming: How to Apply Rights-Based Approaches to Programming, Lima, Save The Children, Second Edition, 2005 o Sheila Espine-Villaluz et.al., Manual Advokasi Kebijakan Strategis, Jakarta, IDEA, 2004 o Sulton Mawardi & Sudarno Sumarto, ��, Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin (Fokus : Pro Poor Budgeting), SMERU, Maret 2003 o Suhirman, Kerangka Hukum dan Kelembagaan untuk Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Indonesia, tanpa tahun o ________, & Dedi Haryadi, Distorsi Proses Anggaran dan Penguatan Masyarakat Sipil, Bandung, BIGS, 2002 o Sri Mastuti dan Dian Kartikasari, Panduan Advokasi Anggaran, Jakarta, FTRA dan KPI, 2001 o The International Budget Project, A Guide to Budget Work for NGOs, 2001 o Valerie Miller dan Jane Covey, Pedoman Advokasi : Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005 o Victoria Johnson, et. al. Institusi dan Kekuasaan dalam Anak-Anak Membangun Kesdaran Kritis,Yogyakarta, REaD Book & PLAN, 2002 o YPHA, Kertas Posisi : Merubah Paradigma dan Alokasi Anggaran 2006 Akan Merubah Nasib Anak-Anak dan Orang Miskin : Dampak Alokasi APBD DKI 2005 terhadap Pemenuhan Hak-Hak Anak Atas pendidikan, Kesehatan, dan Permukiman, Jakarta, 2005 o YPHA, Laporan Persepsi dan Perspektif Anak-Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (CNSP) mengenai Dampak Alokasi APBD DKI Jakarta 2005 terhadap Pemenuhan dan Perlindungan Hak Anak atas Pendidikan, Kesehatan, dan Permukiman, Jakarta, 2005 o www.bigs.or.id o www.hdr.undp.org o www.jakarta.go.id o www.kompas.com, o www.foreignpolicy.com o www.ipcos.or.id o www.kau.or.id