28
Bab IV.Analisis Dampak dan Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian
Adopsi dan Dampak Penggunaan Benih Berlabel di Tingkat Petani. Pendahuluan Kebutuhan benih bermutu untuk produksi tanaman pangan dan perkebunan relatif tinggi seiring dengan tujuan produksi yang lebih berorientasi komersial. Benih yang bermutu tinggi akan menghasilkan produktivitas tinggi jika budidaya tanaman dilakukan secara memadai. Di lain pihak, harga benih bermutu relatif tinggi karena biaya produksinya mahal. Untuk mendorong penggunanan benih bermutu dengan harga terjangkau, pemerintah memberi subsidi benih padi, jagung, dan kedele. Penyediaan benih bermutu bagi petani dengan harga terjangkau masih mengalami hambatan. Produsen benih yang pusat produksinya tersebar di berbagai wilayah serta luasnya penyebaran areal tanam petani merupakan kendala dalam pengawasan produksi dan distribusi benih. Untuk menunjang industri benih tanaman pangan pemerintah telah membangun berbagai kelembagaan yang melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan, pelepasan varietas, kebijaksanaan dan bimbingan teknis, laboratorium benih acuan, produksi benih sumber, serta pengawasan mutu dan sertifikasi benih. Tulisan ini bertujuan untuk membahas kinerja penggunaan benih bermutu sebagai landasan perlu atau tidak perlunya subsidi benih untuk petani. Studi dilakukan di propinsi Jawa Timur (Surabaya, Jombang, Malang, Pasuruan, dan Sidoarjo). Data sekunder diambil dari Dinas pertanian, BPSB, Balai Benih Induk, Balai Penelitian Komoditas, PT SHS, PT Pertani, serta Perusahaan Benih Swasta. Luas Areal Penggunaan Benih Berlabel Secara nasional luas areal tanaman padi mencapai 11,8 juta ha pada tahun 2005. Dari luas areal tersebut baru 27 persen yang mengunakan benih berlabel. Untuk jagung proporsi areal secara nasional yang menggunakan benih berlabel hanya 7 persen dari total areal 3.6 juta ha. Luas tanaman kedelai yang menggunakan benih bersertifikat hanya 3,90 persen dari total areal tanaman kedele nasoinal seluas 621,3 ribu ha. Di provinsi Jawa Timur yang merupakan salah satu sentra produksi pangan penggunaan benih berlabel untuk padi mencapai 59 persen (997,6 ribu ha) pada tahun 2005. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, penggunaan benih jagung berlabel terutama hibrida menunjukkan penurunan. Sedangkan penggunanan benih kedelai berlabel hanya 6 persen (15,3 ribu ha) dari total areal. Distribusi Benih Berdasarkan peraturan yang berlaku, benih penjenis (BS) yang dihasilkan oleh Balai-Balai Penelitian Komoditas disalurkan oleh Direktorat Perbenihan Tanaman Pangan dibawah Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan ke Balai Benih Induk (BBI) di tingkat provinsi untuk selanjutnya diproduksi menjadi benih dasar (FS). Kemudian benih FS disalurkan kepada Balai Benih Utama (BBU)
Analisis Kebijakan
29
di tingkat kabupaten untuk diperbanyak menjadi benih pokok (SS). Produsen benih membeli benih SS dari BBU untuk diproduksi menjadi benih sebar (ES) dan dijual kepada petani. Kenyataan di lapang menunjukkan sejak tahun 1990-an benih BS bisa dibeli langsung oleh produsen benih dari Balai Penelitian Komoditas. Demikian pula benih FS bisa dibeli langsung oleh produsen benih dari Balai Benih Umum (BBU). Produsen benih hanya memerlukan rekomendasi dari Dinas Pertanian Provinsi untuk membeli benih BS dan FS tersebut. Hal ini yang menyebabkan banyak benih berlabel ungu (SS) yang dijual langsung kepada petani terutama untuk benih padi dan jagung, walaupun yang lazim dijual kepada petani seharusnya benih berlabel biru (ES). Meskipun benih yang dijual tersebut secara resmi berlabel ungu (SS), tetapi kualitasnya secara teknis masih perlu diuji. Alasan Petani Menggunakan Benih Berlabel Petani menggunakan benih berlabel karena produktivitasnya sekitar 1030% lebih tinggi dari benih tidak berlabel. Peningkatan produksi tertinggi terutama terjadi pada penggunaan benih jagung berlabel (hibrida) yang mencapai 30%, disusul benih padi berlabel (15%-25%), dan benih kedelai berlabel (10%). Disamping itu pertumbuhan tanaman di lapang lebih seragam karena campuran varietas lain (CVL) sangat sedikit jika menggunakan benih berlabel sehinga mempermudah pemeliharaan. Dalam membeli benih, petani akan mempertimbangkan kualitas dan harga. Petani akan memilih benih dengan kualitas yang lebih baik walaupun harganya lebih mahal. Hal tersebut berlaku untuk benih padi, jagung dan kedelai. Daya beli petani terhadap benih berlabel cukup tinggi yang ditunjukkan dengan kenyataan bahwa petani cukup mampu membeli benih jagung hibrida produksi perusahaan multinasional walaupun harganya mencapai Rp 36.000/kg. Untuk benih jagung komposit, petani juga memilih produksi perusahaan multinasional dibanding benih asal PT SHS dan PT Pertani karena kualitasnya lebih baik, walaupun harganya lebih tinggi. Petani memiliki cukup akses terhadap benih berlabel. Pada umumnya, ketersediaan benih berlabel di kios-kios cukup memadai dalam hal volume, varietas, serta merek dagang (produsen). Kasus di Jawa Timur kios-kios benih banyak dijumpai benih padi yang diproduksi oleh produsen-produsen swasta diari luar kabupaten maupun provinsi, seperti Perusahaan Penangkar Benih Santosa dari Kabupaten Banyuwangi dan Perusahaan Penangkar Benih Kerja (PP Kerja) dari Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Frekuensi penggunaan benih berlabel di tingkat petani cukup bervariasi. Untuk benih padi, dalam setahun (2x tanam padi), frekuensi penggunaan benih padi berlabel berkisar 1- 2 kali. Petani yang menggunakan benih SS pada MH, pada musim berikutnya (MK I) tidak membeli benih lagi karena benih yang ditanam pada MH diangap berstatus benih ES. Sementara penggunaan benih berlabel 2 kali setahun umumnya dijumpai pada petani baik MH maupun MK yang menggunakan benih ES. Namun demikian, frekuensi penggunaan benih berlabel 2 kali setahun juga sering dijumpai pada petani yang menggunakan benih SS baik pada MH maupun MK, karena petani ini ingin tanamannya tetap seragam.
30
Bab IV.Analisis Dampak dan Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian
Sementara pada petani jagung, penggunaan benih berlabel dilakukan pada setiap musim tanam. Tidak adanya jaminan benih berlabel memberikan produktivitas yang lebih baik dari benih yang tidak berlabel merupakan salah satu satu alasan yang menyebabkan petani tidak menggunakan benih berlabel. Banyak petani yang mengeluh bahwa benih padi berlabel, khususnya yang diproduksi oleh PT SHS dan PT Pertani, tidak memberikan kepastian daya tumbuh dan produktivitas lebih baik dari benih tidak berlabel. Alasan lain petani tidak menggunakan benih berlabel karena harganya lebih mahal dibanding memproduksi sendiri. Selain itu kesulitan akses terhadap benih bersertifikat juga dialami oleh petani di lokasi terpencil. Biaya Produksi dan Harga Benih Harga pokok produksi (HPP) benih padi oleh PT Pertani termasuk biaya kirim ke kios sekitar Rp 2.897/kg. HPP benih padi dari PT SHS sampai kios adalah Rp 3.173/kg. Sementara itu, besarnya HPP benih padi sampai kios dari penangkar lokal di Jawa Timur hanya Rp 1.414/kg. Walaupun telah mendapat subsidi, ternyata HPP benih asal PT Pertani dan PT SHS masih lebih tinggi dari penangkar swasta. Hal ini menunjukkan bahwa PT Pertani dan PT SHS tidak efisien dalam memproduksi benih. Disamping itu kualitas benih juga kurang baik dibanding penangkar swasta/lokal. HPP benih jagung komposit dari PT SHS tanpa subsidi adalah Rp 6.593/kg. HPP benih jagung komposit oleh swasta sebesar Rp 1.950/kg, jauh lebih rendah dari HPP PT SHS. HPP benih kedele dari PT SHS adalah Rp 5.380/g sedangkan HPP benih kedele dari swasta sebesar Rp 3.377/kg atau jauh lebih rendah dari HPP PT SHS. HPP benih jagung hibrida varietas Semar-3 dari PT SHS adalah Rp 23.283/kg. PT SHS juga memproduksi benih jagung hibrida SHS-02, SHS-11, SHS12 (tanpa mendapat subsidi karena penemu varietasnya adalah pihak swasta) yang harganya dijual antara Rp 20.000 sampai Rp 25.000/kg dengan produktivitas lebih tinggi dari Semar-3. Secara umum harga jual benih padi produksi PT SHS sekitar Rp 150/kg lebih mahal dibanding produksi PT Pertani baik untuk benih kelas SS maupun ES. Harga jual benih padi produksi PT SHS di kios untuk kelas benih SS dan ES berturut-turut Rp 4.000/kg dan Rp 3.850/kg, sementara benih padi produksi PT Pertani untuk kelas yang sama berturut-turut Rp 3.850/kg dan Rp 3.700/kg. Harga jual benih padi kelas SS produksi penangkar swasta lebih mahal dari produksi PT SHS dan PT Pertani karena kualitasnya lebih baik, yaitu antara antara Rp 4.300 – Rp 4.500/kg. Benih padi produksi PT SHS dan PT Pertani relatif sedikit dijumpai di kios benih dibanding benih asal produsen swasta. Harga jual benih jagung hibrida dari Produsen Swasta Multinaisonal berkisar Rp 26.000 – Rp 35.000/kg. Harga jual benih jagung komposit yang dihasilkan oleh perusahaan multinasional (PT BISI) sebesar Rp 8.000/kg atau lebih mahal dibandingkan benih asal produsen swasta/lokal, yaitu antara Rp 5.500 – Rp 6.250 per kg.
Analisis Kebijakan
31
Dampak Penggunaan Benih Berlabel Terhadap Produktivitas Produktivitas benih padi berlabel lebih tinggi dibanding benih tidak berlabel, yaitu masing-masing 6.200 kg dan 4.875 kg per hektar. Biaya produksi padi dengan benih berlabel dan tidak berlabel, masing-masing Rp 5,5 juta dan Rp 4,9 juta ha dengan R/C rasio masing-masing sebesar 1,63 dan 1,44. Produktivitas benih jagung berlabel adalah 5.000 kg, sedang produktivitas benih jagung tidak berlabel sebesar 4.000 kg/ha. Biaya produksi jagung dengan benih bersertikifat adalah Rp 3,6 juta/ha, sedangkan dengan benih tidak berlabel sebesar Rp 3,3 juta/ha dengan R/C rasio masing-masing sebesar 1,82 dan 1,57. Produktivitas tanaman kedelai dengan benih berlabel dan tidak berlabel masing-masing 1.700 kg dan 1.400 kg/ha. Biaya produksi dengan menggunakan benih bersertifkat dan tidak bersertifikat masing-masing Rp 4,4 juta dan Rp 3,9/kg dengan R/C rasio masing-masing sebesar 1,26 dan 1,20. Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa secara potensial benih berlabel dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani. Permasalahannya adalah sampai sejauh mana kita dapat mendorong produksi dan distribusi benih berlabel dengan jumlah dan kualitas yang memadai secara lokal dan pada saat yang tepat. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Produktivitas dan keuntungan usahatani padi, jagung dan kedele yang menggunakan benih berlabel lebih tinggi dari benih yang tidak berlabel. Hal ini yang menjadi pendorong utama bagi petani untuk menggunakan benih berlabel walaupun harganya lebih mahal. Petani yang belum menggunakan benih berlabel disebabkan terutama oleh ketidakpastian dampak penggunaan benih tersebut karena jaminan kualitas benih yang tidak jelas, dan kesulitan akses terhadap benih tersebut. HPP benih padi, jagung dan kedele asal PT SHS dan PT Pertani ternyata lebih tinggi dari HPP benih asal produsen swasta walaupun sudah disubsidi pemerintah. Kualitas benih yang dihasilkan juga umumnya lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian subsidi belum mampu mendorong PT SHS dan PT Pertani memproduksi benih dengan lebih baik dengan harga yang lebih murah. Subsidi yang diberikan lebih berperan sebagai tambahan penerimaan bagi perusahaan. Subsidi yang diberikan hanya kepada kedua BUMN tersebut juga tidak kondusif bagi perkembangan produsen benih swasta sehingga lebih sulit lagi untuk bersaing. Oleh karena itu untuk mendorong produksi dan penggunaan benih berlabel yang lebih banyak perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : (a) memberikan subsidi langsung kepada petani dalam kerangka konsep subsidi terpadu, (b) mendorong produksi benih baik oleh BUMN maupun swasta dengan fasilitas investasi terutama untuk prasarana pengolahan benih, (c) memperketat sistem pengawasan dan sertifikasi benih untuk memberikan kepastian kualitas benih bagi petani.
32
Bab IV.Analisis Dampak dan Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian
Karena sebagian petani sudah biasa menggunakan benih berlabel dengan biaya sendiri, maka kebijakan untuk memberikan benih gratis kepada petani sebaiknya dihindari. Kalaupun kebijakan tersebut tetap dilaksanakan sebaiknya terbatas hanya untuk petani-petani miskin yang selama ini belum menggunakan benih berlabel dan kebijakan tersebut juga sifatnya hanya sementara, pasokan untuk benih gratis sebaiknya bersumber baik dari produsen benih BUMN, swasta maupun penangkar lokal.