Tingkat Adopsi Petani terhadap Teknologi Jamu Ternak di Kecamatan Pulau Laut Utara, Kabupaten Kotabaru Susanto dan Noor Amali Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat no. 4 Banjarbaru E-mail :
[email protected] Abstrak Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai akhir September 2015 di Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui tingkat adopsi petani terhadap teknologi pemakaian jamu ternak pada ternak ruminansia besar khususnya sapi. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling sebanyak 30 orang responden dengan kriteria petani yang memelihara ternak sapi minimal 1 ekor. Pengumpulan data meliputi data primer dan sekunder. Variabel yang diamati adalah tingkat adopsi petani melalui perubahan perilaku sasaran meliputi aspek perubahan sikap mau dan mampu untuk membuat jamu ternak sampai dengan menerapkan. Metode penyuluhan dilakukan melalui pendekatan perorangan dan kelompok dengan teknik ceramah, diskusi, dan demonstrasi cara, sedangkan media yang digunakan adalah folder, peta singkap, dan LCD. Analisis data untuk mengukur perubahan perilaku responden pada kelompok tunggal (O1 - T - O2) dengan metode Deskriptif Comparatif. Hasil pengkajian menunjukkan aspek sikap terjadi peningkatan nilai sebesar 16,8 dari pra test nilai 6 dan post test sebesar 22,8 dari kategori tidak mau menjadi mau dengan Efektifitas Penyuluhan (EP) sebesar 91,2% (efektif) dan Efektifitas Perubahan Perilaku (EPP) sebesar 88,4% (efektif). Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan perubahan sikap dan perilaku petani dari adopsi rendah menjadi adopsi tinggi. Kata kunci : Adopsi, jamu ternak Sapi, pakan tambahan Pendahuluan Kabupaten Kotabaru sebagai salah satu wilayah pengembangan ternak potensial di Provinsi Kalimantan Selatan memiliki peran penting dan strategis dalam pengembangan ternak dan menyediakan kebutuhan daging sapi. Pengembangan ternak sapi terutama sangat tergantung dengan ketersediaan pakan. Keberhasialan pemeliharaan ternak sapi tidak pernah terlepas dari efesiensi kualitas dan kuantitas pakan. Hijauan Makanan Ternak (HMT) merupakan bahan pakan yang sangat penting bagi ternak terutama ternak ruminansia seperti sapi. Kendala utama masalah hijauan pakan ternak ketika tiba musim kemarau, karena pada musim kemarau persediaan hijauan pakan ternak berkurang dan susah dicari. Ternak sapi menjadi kurus karena tidak mendapatkan pakan yang cukup sehingga sering kali peternak mengalami kerugian. Untuk mengatasi masalah kekurangan pakan tersebut, perlu dicarikan pakan alternatif sebagai pengganti hijauan, salah satu alternatifnya yaitu jerami padi. Jerami padi merupakan salah satu limbah hasil pertanian yang potensial untuk pakan ternak sapi. Namun demikian, nilai kecernaan dan kandungan gizi terutama kandungan protein. Kandungan protein jerami padi bervariasi antara 3-5%. Hal ini lah yang menjadi kendala dalam pemanfaatannya. Namun kendala tersebut dapat dikurangi antara lain melalui proses fermentasi. Jerami padi cukup potensial sebagai bahan pakan ternak sapi, tetapi tidak dapat digunakan sebagai sumber pakan ternak tunggal. Oleh karena itu perlu tambahan pakan berupa kosentrat dan jamu ternak sebagai feed supplemen atau feed additive. Jamu ternak diberikan sebagai stimulant kepada ternak sapi dengan manfaat sebagai perangsang nafsu makan, meningkatkan kesehatan ternak, meningkatkan pertumbuhan secara optimal, aroma daging tidak amis, menurunkan kadar lemak pada daging,
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1367
mempercepat adaptasi dalam perubahan pakan dan mengurangi bau tak sedap di sekitar kandang. Beberapa kajian di BPTP Kalimantan Selatan tentang penggunaan kosentrat dan jamu ternak dapat mempercepat peningkatan pertambahan bobot badan harian (PBBH) dari 0,32 menjadi 0,52 kg/ekor/hari (62,50%) pada sapi Bali induk, sedangkan pada sapi unggul Simental dapat meningkatkan PBBH dari 0,88 menjadi 1,14 kg/ekor/hari atau (29,54%). Makalah ini bertujuan untuk mengetahui tingkat adopsi petani terhadap teknologi pemakaian jamu ternak pada ternak ruminansia besar khususnya sapi. Metodologi Metode analisis data dalam pelaksanaan pengkajian dengan menggunakan analisis diskriptif komperatif yaitu membandingkan perubahan perilaku sebelum penyuluhan dan sesudah penyuluhan, dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan variabel yang telah ditetapkan. Untuk menentukan hasil kajian tingkat adopsi setiap pertanyaan telah ditetapkan parameternya dengan kreteria: adopsi baik (a) skor 5, adopsi sedang (b) skor 3, adopsi kurang baik (c) skor 1. Data yang di peroleh dari hasil jawaban pertanyaan dikuesioner dibuat skala berdasarkan modifikasi skala likert (Padmowiharjo, 1996). (O1 - T - O2) dengan penjelasan sebagai berikut: O1 : Pra test, untuk mengetahui keadaan sikap adopsi awal dalam mengikuti penyuluhan. T : Treatmen kegiatan penyuluhan/demcar O2 : Post test, untuk mengukur keadaan akhir tentang sikap adopsi pada kegiatan sesudah diadakan penyuluhan (Suryabrata, 2005). Untuk mengetahui perubahan perilaku, dihitung efektifitas penyuluhan (EP) dengan rumus: skor post test EP
=
X 100 % skor maksimal yang dikategorikan
Efektifitas perubahan perilaku (EPP) digunakan dengan rumus: skor post test – skor pra test EPP
=
X 100 % skor maksimal – skor minimal
Menurut Ginting (1993) bahwa kriteria nilai efektifitas adalah sebagai berikut :
< 33,3 % dinyatakan kurang efektif
33,3 % - 66,6 % dinyatakan cukup efektif
66,6 % dinyatakan efektif. Hasil dan Pembahasan
Karakteristik Responden Petani responden pada pelaksanaan penelitian memiliki umur yang bervariasi antara 20 tahun sampai dengan 50 tahun. Pengalaman petani dalam beternak berpengaruh terhadap cara merespon suatu inovasi. Semakin lama pengalaman, maka tingkat respon terhadap suatu teknologi akan semakin tinggi. Seperti yang terlihat pada Tabel 1 berikut ini:
1368
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Tabel 1. Keadaan Responden Berdasarkan Pengalaman Berternak. Pengalaman Berternak (tahun) 1-5 6 - 10 11 - 15 Jumlah
Jumlah (orang) 16 10 4 30
Persentase 53,33 33,34 13,33 100,00
Sumber : Data primer terolah
Keadaan responden ditinjau dari pengalaman beternak dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1) 1-5 tahun sebanyak 16 orang (53,33%), 2) 6-10 tahun sebanyak 10 orang (33,33%), dan 3). 11-15 tahun sebanyak empat orang (13,33%). Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar jumlah orang responden mempunyai pengalaman beternak 1-5 tahun (53,33%), hal ini berarti petani belum memiliki banyak pengalaman beternak sehingga perlu penyuluhan agar dapat lebih maju pengalamannya dalam usaha tani khususnya dibidang pemeliharaan ternak. Mardikanto (1993), menyatakan bahwa, pengalaman pribadi petani menyebabkan petani berani mengambil resiko atas keputusan yang diambil dalam pengelolaan usaha taninya. Semakin lama petani berpengalaman dalam berusaha tani maka semakin banyak pengalaman, sehingga usaha taninya berpotensi untuk lebih maju dan lebih berkembang. Tabel 2. Keadaan Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pendidikan Sekolah Dasar SMP/SLTP SMA/SLTA
Jumlah (orang) 17 8 5
Jumlah
Persentase 56,67 26,67 16,66
30
100,00
Sumber : Data primer terolah
Berdasarkan data pada Tabel 2 tersebut dapat dilihat
bahwa dari tiga puluh orang
responden menunjukkan : Tujuh belas orang petani tamat SD (56,67%), delapan orang petani tamat SMP/SLTP (26,67%), dan 5 orang petani tamat SMA/SLTA (16,66%). Dengan demikian sebagian besar responden berpendidikan Sekolah Dasar (SD) oleh karena itu perlu adanya penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani, agar dapat menerapkan suatu inovasi teknologi yang mereka terima. Nawawi (2005), mengatakan bahwa, pendidikan mempengaruhi tingkat kemampuan belajar seseorang. Lebih lanjut dikatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang akan lebih cepat lebih mudah menerima dan mengadopsi teknologi baru. Atas dasar tersebut dapat diketahui bahwa peternak dengan latar belakang pendidikan yang berbeda tersebut agar efisien dalam mengelola usahataninya memerlukan bimbingan dari lembaga terkait. Oleh karena sebagian besar pendidikan responden yang masih rendah maka daya tangkap dan pemahaman tentang inovasi-inovasi dalam proses adopsi teknologi baru di bidang pertanian besar kemungkinan berjalan lambat. Tabel 3. Keadaan Responden Berdasarkan Kepemilikan Ternak Sapi. Jumlah Kepemilikan Sapi Bali 1 4 5
Jumlah (orang) 4 11 15
Jumlah
30
Persentase 13,33 36,67 50,00 100,00
Sumber : Data primer terolah
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1369
Kepemilikan ternak sapi dari tiga puluh responden yang diambil dalam pelaksanaan penelitian dapat dikelompokkan tiga kreteria yaitu : 1) Memiliki satu ekor sapi sebanyak empat orang (13,33%), 2) Memiliki empat ekor sapi sebanyak sebelas orang (36,67%), 3) Memiliki lima ekor sapi sebanyak 15 orang (50,00%). Petani yang memiliki ternak yang banyak biasanya lebih cepat dalam merespon ataupun mengadopsi inovasi/ teknologi baru karena kemampuan ekonominya juga lebih tinggi, selain itu jumlah ternak akan memberikan hasil yang lebih banyak sehingga petani akan semakin merespon teknologi inovasi yang mampu mengelola hasil usaha ternaknya agar dapat meningkatkan skor jual dan pendapatannya, Mardikanto (1993). Hal ini berarti semakin banyak ternak yang dipelihara maka respon yang diberikan terhadap teknologi baru semakin besar. Rutinitas anggota kelompok tani dalam mengikuti kegiatan penyuluhan akan berdampak baik bagi petani yang bersangkutan. Kegiatan penyuluhan memegang peranan penting untuk peningkatan pengetahuan sikap dan keterampilan petani. Intensitas petani responden mengikuti penyuluhan terdapat pada Tabel 4 berikut : Tabel 4. Intensitas Responden Mengikuti Penyuluhan Intensitas mengikuti penyuluhan (bulan) 1 kali 2 kali 3 kali
Jumlah (orang) 5 8 17
Jumlah
30
Persentase 16,67 26,67 56,66 100,00
Sumber : Data primer terolah
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar petani responden mengikuti penyuluhan sebanyak tiga kali dalam sebulan yaitu tujuh belas orang (56,66%) termasuk sangat rutin. Hal ini terjadi karena peran penyuluh pertanian lapangan dan pembina SDM yang aktif serta intensitas kehadiran petani dalam kegiatan penyuluhan tinggi. Keberhasilan penyuluhan tidak hanya ditentukan oleh aktivitas penyuluh tetapi juga ditentukan oleh intensitas kehadiran petani dalam kegiatan penyuluhan tersebut, karena jika tidak hadir dalam penyuluhan maka tujuan yang hendak dicapai kurang dipahami oleh petani. Petani dengan frekuensi tingkat kehadiran yang tinggi akan memperoleh informasi secara lengkap dan lebih memahami sehingga petani yang mengikuti penyuluhan secara rutin akan mempunyai respon positif terhadap informasi yang diberikan (Iswandari, 2006). Adopsi Teknologi Jamu Ternak Adopsi petani terhadap teknologi pertanian sangat ditentukan dengan kebutuhan akan teknologi tersebut dan kesesuaian teknologi dengan kondisi biofisik dan sosial budaya. Oleh karena itu, introduksi suatu inovasi teknologi baru harus disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya (Suprapto dan Fahrianoor, 2004). Tingkat adposi petani terhadap suatu inovasi baru cukup bervariasi. Hal ini dapat dikarenakan tingkat pengetahuan atau pendidikan maupun pengalaman yang dienyam oleh setiap petani berbeda-beda, selain itu umur juga mempengaruhi tingkat adopsi petani. Petani maju mudah menerima, mencoba dan menerapkannya dalam usaha tani mereka. Akan tetapi pada petani
1370
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
pengikut, mereka hanya menerapkan inovasi setelah usaha tani yang dilakukan kelompok petani maju mengalami keberhasilan. Hasil kajian tingkat adopsi petani terhadap inovasi teknologi pembuatan jamu ternak melalui perubahan perilaku sasaran setelah dilakukan penyuluhan meliputi aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Wiratmadja (1995), menyatakan bahwa perubahan sikap tidak secara tiba-tiba tetapi memerlukan waktu yang agak lama yang dinamakan proses mental atau proses adopsi yaitu dari tahap menyadari, minat, meskor, mencoba dan akhirnya mengadopsi inovasi baru. Apa bila seorang petani atau peternak mampu mengadopsi tentang inovasi baru yang dikenalkan maka secara langsung mereka sudah sangat mengadopsi inovasi teknologi yang ajarkan oleh seorang penyuluh. Sikap petani peternak tentang pembuatan, pemberian dan manfaat jamu ternak sebelum dilakukan penyuluhan masih rendah atau tidak setuju. Tabel 5. Hasil Pra test dan Post test dari Aspek Sikap Adopsi Variabel Pertanyaan
Pra test
Post test
Peningkatan
penyuluhan tentang jamu ternak
1,3
4,5
2,2
kemauan melakukan pemberian jamu ternak
1,3
4,4
3,3
kemauan membuat jamu ternak
1,2
4,7
3,5
kemauan mengikuti anjuran pemberian jamu
1,1
4,7
3,6
kemauan penggunaan jamu ternak sesuai dosis
1,1
4,5
3,4
Jumlah Rata-rata
6 1,2
22,8 4,56
16,8 3,36
Sumber : Data primer terolah Adopsi sedang
5
Adopsi rendah
11.6
18.32
Setu Adopsi Tinggi
6
22,8
(Pra Test)
(Post test)
25
Skor pra test aspek sikap adopsi pada Tabel 5 menunjukkan bahwa, skor enam dikategorikan petani peternak dengan adopsi rendah, sedangkan hasil post test menunjukkan skor 22,8 dikategorikan petani dengan adopsi tinggi. Terjadi peningkatan skor sebesar 16,8. Ini berarti setelah dilakukan rangkaian kegiatan penyuluhan terjadi peningkatan perubahan sikap adopsi yang sangat positif. Berdasarkan penilaian pra test dan post test diatas, maka perhitungan Efektifitas Penyuluhan (EP) dan Efektifitas Perubahan Perilaku (EPP) digunakan dengan rumus sebagai berikut: 22,8 EP
=
X 100 % = 91,2 % (efektif) 25
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1371
22,8 - 6 EPP
=
X 100 % = 88,4 % (efektif) 25 – 6 Perhitungan diatas menunjukkan bahwa, efektifitas Penyuluhan (EP) pada aspek sikap
adopsi sebesar 91,2% adalah efektif, berarti bahwa program penyuluhan dengan materi teknologi jamu ternak, dengan metode pendekatan individu dan kelompok serta dengan teknik ceramah, diskusi dan demontrasi cara dapat berpengaruh dan berdampak bagi perubahan sikap adopsi petani terhadap teknologi jamu ternak dapat dilihat dari peningkatan skor aspek sikap adopsi dari sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan. Efektifitas Perubahan Perilaku (EPP) sebesar 88,4% adalah efektif, berarti penyuluhan yang dilaksanakan membawa perubahan bagi sikap adopsi petani dari tidak setuju menerima teknologi jamu ternak menjadi setuju dan berarti tingkat adopsi petani dapat dikatakan tinggi. Kesimpulan
1. Pada awal kegiatan yakni sebelum dilakukan penyuluhan dan demonstrasi cara pembuatan jamu ternak aspek keterampilan pada petani ternak berada pada skor pra test 6 (tidak terampil/adopsi rendah) 2. Pasca dilakukan penyuluhan dan demonstrasi cara menunjukkan hasil skor post test 21,8. Berarti terjadi kenaikan terhadap skor maksimal sebesar 15,3 dan dikatagorikan pada tingkat adopsi tinggi yaitu terampil menerapkan yang berakibat pada perubahan perilaku yang positif. 3. Perhitungan evektifitas penyuluhan (EP) berada pada angka 91,2% berarti efektif. 4. Perhitungan efektifitas perubahan perilaku (EPP) menunjukan angka 88,4% berarti juga efektif. 5. Perubahan adopsi dari tingkat mencoba ke tingkat adopsi menerapkan, disebabkan karena petani merasakan manfaat jamu ternak yang sangat baik untuk kesehatan ternak dan peningkatan bobot badan ternak. Petani ternak juga merasa mendapatkan pembelajaran partisipatif secara langsung selama pelaksanaan kegiatan penyuluhan dan demonstrasi cara. 6. Kegiatan penyuluhan dan demonstrasi cara dinilai berhasil dilakukan sebagaimana yang dikehendaki karena terjadi peningkatan adopsi petani ternak dari adopsi rendah sampai dengan adopsi tinggi dalam hal penerapan teknologi inovasi pembuatan jamu tenak.
Daftar Pustaka Ginting, 1993. Metodologi KKL. Mahasiswa APP Penanggungan Malang. Ibrahim, J.T, Sudiyono, A dan Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Bayumedia Publishing. Malang. Iswandari. 2006. Respons Petani Terhadap Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Teknologi
Pengolahan
Ubi
Kayu.
Kusnadi. 1994, Teknik Penyuluhan Pertanian, Universitas Terbuka. Jakarta.
1372
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
Mardikanto. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret Universsity Press. Surakarta. Mardikanto dan Sutarni. 2006. Petunjuk Penyuluhan Pertanian. Usaha Nasional. Surabaya. Nawawi, H. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Padmowiharjo dan Sudiyanto. 1996. Evaluasi Penyuluhan Pertanian. Universitas Terbuka, Jakarta. Sarwono dan Arianto. 2006. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Penebar Swadaya. Jakarta.2002. Soekartawi.1988. Pedoman Penyuluhan Pertanian. CV. Yasaguna, Jakarta. Suprapto, T. dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek. Arti Bumi Intaran. Yogyakarta. Suprapto, T. dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek. Arti Bumi Intaran. Yogyakarta. Suryabrata, S. 2005. Psikologi Pendidikan. PT Raja Grafindo Persada.Jakarta. Winugroho. 2002. Strategi Perbaikan Pakan Tambahan Ternak Sapi. Jurnal Litbang Pertanian. Wiraatmadja, S., 1995. Alsintan Pengiris Dan Pemotong. Penebar, Swadaya, Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016
1373