ADOPSI DAN ADAPTASI METODE EKSPERIMEN INQUIRY DAN PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP FISIKA DI SEKOLAH MENENGAH Oleh : Setiya Utari, Selly Feranie, Mimin Irianti Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI Abstrak Penelitian dilatar belakangi oleh hasil penelitian yang menggambarkan bahwa mahasiswa calon guru perlu mendapatkan pola pembianana dan bekal pengalaman yang cukup sebagai calon guru fisika (Mahasiswa belum dapat melaporkan hasil kegiatan eksperimen, terutama dalam menganalisa hasil data yang diproleh,(Utari, 2005), Pengetahuan awal yang dimiliki mahasiswa belum mampu memberikan dukungan terhadap proses pembelajaran problem solving laboratory (Feranie, 2005). Mahasiswa masih merasa kesulitan dalam mengembangkan prosedur eksperimen,(Wiyono,2005)) dan proses pembelajaran fisika di lapangan yang belum optiman (. Implementasi dalam proses pembelajaran sains masih belum secara optimal dapat mengembangkan aktivitas hands-on dan mainds-on ( Utari, 2009). Sekitar 15 % guru IPA SMP dan sekitar 43% guru fisika SMA di Indonesia tidak dapat menggunakan alat-alat laboratorium yang tersedia di sekolahnya (Rustad dkk, 2004)), Berdasarkan permasalahan ini perlu dikembangkan pola bimbingan skripsi sekaligus memperbaiki program perkuliahan. Pola bimbingan dilakukan memalui kegiatan modeling dalam perkuliahan terkait dengan model-model pembelajaran yang akan melalui penelitian ksripsi. Modelling di terapkan di perkuliahan Eksperimen Fisika DAsar II, hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa model (inquiry) yang dikembangkan dalam perkuliahan lebih dari setengahnya (64,44%) telah melatihkan kemampuan berinkuiri, namun beberapa model masih harus diperbaiki ( terutama untuk eksperimen 2 dan 4), kemampuan yang belum terlatihkan adalah kemampuan mengembangkan pertanyaan dan kemampuan menganalisis hasil eksperimen (53,33%). Model Laboratory Problem Solving (LPS) yang dikembangkan belum dapat melatihkan kemampuan problem solving (46,67 %), hanya 1 model yang baik dapat menuntun mahasiswa dalam melatihkan kemampuan problem solving, model inilah yang diambil dari Universitas Minessotta (66,67 %), beberapa draf model perlu dikembangkan kembali dengan menyediakan problem yang kaya dengan konteks. Mahasiswa telah mampu memahami contoh model yang dikembangkan oleh expert, dan melakukan adopsi dan adaptasi yang ditunjukkan oleh skenario pembelajaran yang sesuai berdasarkan langkah-langkah model inquiry dan problem solving. Semua model yang digunakan dipandang efektif sebagai model yang dapat digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar (dengan nilai DL=0,62, DI=0,71 APS1 = 0,50; AITS =0,47; ALI =0,45), meskipun dalam kategori tinggi dan sedang
Kata kunci: adopsi, adaptasi, inquiry, problem solving, pemahaman konsep fisika
I. PENDAHULUAN Terkait dengan pengembang inovasi dalam proses pendidikan sains, pemerintah telah menjelaskan tujuan pembelajaran sains adalah untuk memahami gejala alam (KTSP, 2006). Oleh karena itu dalam proses pembelajaran sains perlu dibangkitkan rasa ingin tahu untuk mendorong siswa agar melakukan proses penyelidikan ilmiah
hingga mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang
dikembangkan berdasarkan hasil analisis terhadap fakta (doing sains). Latihan inilah yang seharusnya muncul dalam proses pembelajaran sains, sehingga kemampuan-kemampuan yang berdampak pada perkembangan potensi diri siswa dapat tumbuh dan terbentuk dengan baik. Pengajaran sains memberikan dampak yang cukup positif bagi kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah. Beberapa ahli yang mendukung tentang pembelajaran sains dalam kaitannya terhadap perkembangan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah (Etkina 2007, Wenning 2006, McDermott et all 2005, Mueller 2005, Heller 2001). Agar pembelajaran sains mampu memberikan pengaruh terhadap kemampuan yang diharapkan, tentunya harus dipikirkan bagaimana proses pembelajaran ini disampaikan kepada anak didik kita, apalagi paradigma pembelajaran sains saat ini tidak hanya menekankan pada hasil tetapi juga proses. Proses pembelajaran hendaknya memberikan sarana untuk melatihkan berbagai kemampuan tersebut, oleh karena itu pembelajaran sains hendaknya melibat aktivitas hands-on dan mainds-on. Namun pada implementasinya proses pembelajaran sains masih belum secara optimal dapat mengembangkan aktivitas hands-on dan mainds-on, hal ini di dukung oleh beberapa temuan, antara lain;
l )Penelitian terkait dengan
instruksi praktikum yang dimiliki sekolah-sekolah
menggambarkan hanya 40% sekolah menggunakan konsep yang sesuai dan hanya 20% sekolah menggunakan prosedur dengan tehnik pengukuran yang benar ( Utari,HB 2009), 2) Hasil penelitian Balitbang (Rustad dkk, 2004) menunjukkan bahwa sekitar 15 % guru IPA SMP dan sekitar 43% guru fisika SMA di Indonesia tidak dapat menggunakan alat-alat laboratorium yang tersedia di sekolahnya). Terkait dengan kemampuan mahasiswa hasil penelitian menunjukkan; 1) Mahasiswa belum dapat melaporkan hasil kegiatan eksperimen, terutama dalam menganalisa hasil data yang diproleh.(Utari, 2005), 2). Pengetahuan awal yang dimiliki mahasiswa belum mampu memberikan dukungan terhadap proses pembelajaran problem solving laboratory (Feranie, 2005). 3) Mahasiswa masih merasa kesulitan dalam mengembangkan prosedur eksperimen,(Wiyanto,2005).
Disisi lain bila kita mengamati kualitas anak-anak Indonesia dalam bidang sains dan matematik masih tergolong tendah, sebagai contoh hasil TIMSS tahun 1999, 2003 dan 2007 menunjukan peringkat yang belum menggembirakan, dan bila kita cermati
materi fisika pada soal TIMSS
mendominasi sekitar 26,9% dengan kemampuan yang diuji meliputi pemahaman, penerapan teori, analisis , problem solving, pemahaman terhadap proses sains dan investigasi. (Eckert, 2008). Beberapa negara yang memiliki peringkat tinggi menggunakan pembelajaran sains dengan penekanan yang berbeda-beda antara lain : inquiry-oriented ( Jepang), Presentation and discussion about science ( Czech Republic), Independence science learning ( Nederlands), Connections between main ideas and real-life isssues ( Australian ), activities and techniques to attempt to communicate concept (US) (Roth et al, 2006). Fisika sebagai salah satu mata pelajaran sains dapat dijadikan sebagai media yang sangat baik dalam melatih berbagai kemampuan peserta didik, dalam hal ini fisika dapat menghadirkan fenomena yang relatif singkat dan fenomenanya dapat diulang. Karena sifat inilah seharusnya para guru fisika menyadari akan pentingnya menghadirkan fenomena sains dimana siswa dapat melatih kemampuan : mengamati, menganalisa, berhipotesa, mempredikdi, merangkai, mengukur dan menarik kesimpulan. Atas gambaran ini maka kemampuan guru untuk dapat menghadirkan fenomena merupakan kemampuan yang penting. Dalam mempersiapkan calon guru IPA hendaknya LPTK memperhatikan berbagai kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh calon guru IPA. Nasional Science Teacher Association in Collaboration with the Association for Education of Teacher in Science, mengembangkan sepuluh standar kemampuan untuk calon guru IPA, yaitu Standard for Science Teacher Preparation: Content, Natural of Science, Inquiry, Context of Science, Skills of Teaching, Curriculum, Social Context, Assessment, Environment for learning, Professional Practice. Berbagai kemampuan yang harus dimiliki calon guru fisika dibangun secara berjenjang dalam suatu kurikulum. Dalam kurikulum Program Pendidikan Fisika dan Program Fisika, matakuliah Eksperimen Fisika Dasar II merupakan matakuliah awal yang membekali mahasiswanya agar berlatih melakukan eksperimen. Gambaran permasalahan di atas menunjukkan bahwa proses pembelajaran fisika belum dilakukan secara optimal dan harus segera di ditemukan langkah yang tepat untuk memperbaiki proses baik dalam perkuliahan maupun di lapangan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengembangkan model kegiatan laboratorium. Model kegiatan laboratorium yang
dikembangkan adalah model Inquiry-Problem Solving. Pengembangan model ini dilandasi oleh peneliti terdahulu yang menyimpulkan bahwa: a)pengembangan model kegiatan laboratorium (Physic by inquiry) dapat mengembangkan kemampuan dalam memahami dan membangun sebuah konsep (Mc Dermott dalam Redist, 1996), b)Penggunaan “guide discovery labs(Discovery Labs)” dirasakan lebih efektif dibandingkan dengan instruksi yang bersifat cooks books (Thornton, dalam Bernhard, 2001), dan c)Implementasi kombinasi pola pengembangan ”group–learning problem solving” dengan menggunakan permasalahan yang bersifat ”content rich” menggambarkan efektifitas yang sangat tinggi (Cooperative–problem solving) (Pat and Ken Heller,2005). Penelitian dilakukan dengan metode eksperimen dengan mengimplementasikan model perkuliahan yang diterapkan dalam matakuliah Eksperimen Fisika Dasar II. Penelitian mencoba untuk mengembangkan suatu model perkuliahan sekaligus memberikan pola pembianaan kepada mahasiswa tingkat akhir untuk melakukan adopsi dan adaptasi model tersebut pada pembelajaran fisika di sekolah menengah. model yang dikembangkan merupakan modivikasi Laboratory by inquiry (LI)dan Laboratory - problem solving (LPS), dimana perkuliahan terbagi menjadi dua tahap, pada tahap pertama akan dilakukan dengan metode Laboratory by Inquiry untuk membangun konsep, dan pada tahap kedua akan diterapkan model Laboratory -problem solving. Assesement yang digunakan dilakukan dengan memodivikasi berbagai kemampuan yang dibangun baik melalui LI maupun LBS dengan menggunakan menggunakan sistem penilaian Writing-Intensive Physics laboratiry Reports (WIPLR) : Taks and Assessment Luaran penelitian yang dihasilkan adalah seperangkat instruksi praktikum dengan metode inquiry dan problem solving untuk perkuliahan Eksperimen Fisika Dasar II serta seperangkat instruksi praktikum dengan metode cook-books, inquiry dan problem solving yang dipergunakan untuk pembelajaran fisika di sekolah menengah. Penelitian ini dirasakan sangat penting untuk dilakukan mengingat perlunya perbaikan perkuliahan baik di lingkungan LPTK sebagai lembaga yang menghasilkan calon guru,
terutama untuk mengembangkan perkuliahan yang terkait dengan
kemampuan calon guru agar dapat melaksanakan kegiatan eksperimen di sekolah serta proses peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
II. METODA Penelitian yang dikembangkan mencoba untuk mengembangkan model pola pembianaan skripsi. Model pola pembianana yang dikembangkan dipadukan sekaian memperbaiki program perkuliahan, dengan desain pola pembianaan sebagai berikut: Mahasiswa yang mengontrak matakuliah skripsi : menjadi asisten dalam matakuliah Eksperimen Fisika dasar II. Mahasiswa , mendapatkan gambaran modelling implementasi inquiry lab dan problem solving lab
Pengembangan program perkuliahan Eksperimen Fisika Dasar II ( Penerapan model Inquiry Laboratory dan Probllem solving Laboratory)
Penelitian Payung : Adopsi dan adaptasi metode eksperimen inquiry dan problem solving untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep fisika di sekolah menengah :
Penerapan model inquiry dan problem solving terkait dengan kemampuan bereksperimen (Brootosiswoyo, 2000)
Meggunakan metode penelitian : Eksperimen
Metode Penelitian : Deskriptif .
Penelitian terhadap pengembangan model perkuliahan yang menerapkan model inquiry laboratory dan problem solving laboratory dilakukan untuk mendapatkan gambaran penerapan model yang dikaitkan dengan kemampuana mahasiswa dalam bereksperimen, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena hanya untuk mendapatkan gambaran awal diterapkannya model tersebut dalam perkuliahan Eksperimen Fisika Dasar II. Untuk menganalisis gambaran penerapan model ini digunakan analisi tafsiran presentasi (Arikunto, 2007), sebagai berikut : Tabel 1 Tafsiran Persentase No. Persentase (%) 1 0 2 1-25 3 26-49 4 50 5 51-75 6 75-99 7 100
Tafsiran Tidak ada Sebagian kecil Hampir setengahnya Setengahnya Sebagian besar Hampir seluruhnya Seluruhnya
Adapun beberapa implementasi Adopsi dan adaptasi metode eksperimen inquiry dan problem solving untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep fisika di sekolah menengah, menggunakan metode eksperimen. Penelitian ini melibatkan sejumlah mahasiswa dengan menggunakan desain penelitian eksperimen yang berbeda-beda, adapun beberapa penelitian yang melibatkan mahasiswa dapat dibamgarkan pada Tabel 2 :
Tabel 2. Tema Penelitian Skripsi dan Tehnik pengolahan data yang digunakan N
Mahasisw ao
Model pembelajaran dan tema ekspeprimen yang dikembangkan
1
Rahmat Rizal
Model diadopsi dengan mengikuti pola Adopsi Discoveri learning dan Demonstrasi Interaktif (ADDI)( Wenning, 2006) untuk meningkatkan pemahaman konsep dan KPS , Untuk mendapatkan gambaran keefektifan model yang diterapkan terhadap peningkatan pemahaman konsep menggunakan tehnik pengolahan data Gain ternormalisasi.
2
Diki Rukmana
Model diadopsi dengan mengikuti pola Adopsi Problem solving (APS 1) (Heller, 2005) untuk meningkatkan hasil belajar ( kognitif, afektif dan psikomotor) ( SMA N Cicalengka). Untuk mendapatkan gambaran keefektifan model yang diterapkan terhadap peningkatan hasil belajar menggunakan tehnik pengolahan data Gain ternormalisasi.
3
Kiki Susilawati
Model diadopsi dengan mengikuti pola Adopsi i Inquiry-based learning and teaching strategy (AITS) (Lower secondary science syllabus Singapur, 2007) untuk meningkatkan hasil belajar ( kognitif, afektif dan psikomotor), Untuk mendapatkan gambaran keefektifan model yang diterapkan terhadap peningkatan hasil belajar menggunakan tehnik pengolahan data Gain ternormalisasi.
Tabel 2. Tema Penelitian Skripsi dan Tehnik pengolahan data yang digunakan (lanjutan) N
Mahasisw ao
Model pembelajaran dan tema ekspeprimen yang dikembangkan
4
Nenden
Model diadopsi dengan mengikuti pola Adopsi Problem solving (APS2) ( Heller, 2005) untuk meningkatkan hasil belajar ( kognitif, afektif dan psikomotor) ( SMA N Kota Bandung). Untuk mendapatkan gambaran peningkatan hasil belajar menggunakan tehnik pengolahan data IPK.
5
Imas Raningsih
Model diadopsi dengan mengikuti pola Adopsi Laborotory By Inquiry (ALI 1) Mc.Dermott, 1996) untuk meningkatkan prestasi dan kemampuan proses sains. ( SMA N Kota Bandung) Untuk mendapatkan gambaran keefektifan model yang diterapkan terhadap peningkatan prestasi dan KPS menggunakan tehnik pengolahan data Gain ternormalisasi.
6
Siti Nurhasanah
Model diadopsi dengan mengikuti pola Adopsi Demonstrasi Interaktif (ADI) ( Wenning, 2006) untuk meningkatkan prestasi ( SMA N Kab. Bandung Barat ). Untuk membuktikan uji hipotesis terhadap model yang diterapkan terhadap kelompok control digunanakan uji t.
III.
DATA DAN ANALISIS DATA
a.
Penerapan Model Inquiry Laboratory dan Problem Solving Laboratory di Perkuliahan Eksperimen Fisika Dasar II
1.
Inquiry Loboratory
Penelitian dilakukan di salah satu kelas parallel dengan jumlah sampel N= 15 orang mahasiswa, yang terbagi menjadi 6 kelompok. Perkuliahan telah mengembangkan 5 instruksi Laboratory inquiry (LI) dengan materi eksperimen (1) Rangkaian Seri dan Paralel, (2) Capasitor, (3) Medan Magnet, (4) Induksi Elektro MAgnetik, (5) Optik ( Pemantulan dan Pembiasan, Pola inquiry mengembangkan enam jenis kemampuan yang terkait dengan kemampuan membangun konsep dan kemampuan bereksperimen, diantaranya mendefinisikan konsep berdasarkan fenomena yang ditampilkan, melakukan prediksi, mengembangkan pertanyaan, melakukan pengukuran, dan menganaalisi. Adapun gambaran perolehan data dapat dilihat pada Tabel 3 : Tabel 3 Perolehan hasil impementasi Inquiry Laboratory No 1 2 3 4 5 6
Kemampuan 1 2 3 Mendef. konsep 4 3 3 Memprediksi 3 3 4 Bertanya 3 2 3 Mengukur 6 3 6 Menganalisis 5 4 3 Menyimpulkan 5 4 5 % 72,22 52,78 66,67
4 4 3 4 4 2 4 58,33
5 5 4 4 6 2 5 72,2
% 63,33 56,67 53,33 83,33 53,33 76,67
X
64,44
Berdasarkan analisi tafsiran persentasi, model yang dikembangkan dalam perkuliahan lebih dari setengahnya (64,44%) telah melatihkan kemampuan berinkuiri, namun beberapa model masih harus diperbaiki ( terutama untuk eksperimen 2 dan 4, kemampuan yang masih belum dilatihkan secara optimal adalah kemampuan mengembangkan pertanyaan dan kemampuan menganalisis (53,33%) 2.
Problem Solving Laboratory
Penerapan model Pproblem solving laboratory diberikan setelah mahasiswa mendapatkan materi konsep-konsep yang digunakan untuk memecahkan problem, konsep tersebut diberikan melalui model inquiry laboratory. Berkait dengan konsep yang telah dibangun melalui kegiatan inkuiry, maka kasus-kasus problem solving yang dibangun sesuai materi yang telah diajarkan antra lain : (1) Rangkaian saklar, (2) Desain lampu pada panggung teater, (3) menentukan nilai kemagnetan bumi, (4) Arus induksi, dan (5) Merancang alat-alat optic sederhana. Kemampuan eksperimen yang dikembangkan dari kegiatan Problem solving laboratory terkait dengan kemampuan, menjawab
pertanyaan, memprediksi, melakukan ekstrapolasi, melakukan pengukuran, menganalisi dan menyimpulkan. Adaapun hasil perolehan dari hasil implementasi dapat di tunjukkan pada Tabel 4: Tabel 4 Perolehan data implementasi Problem Solving Laboratory No 1 2 3 4 5 6
Kemampuan Jwb.Per.Metoda Prediksi Eksplorasi Data Analisis Kesimpulan %
1 2 3 4 3 5 3 3 3 4 2 2 3 3 3 2 3 4 3 2 3 4 3 2 3 4 3 2 50 66,67 47,22 36,11
5 2 2 2 2 2 2 33,3
% Xrerata 53,33 43,33 43,33 46,67 46,67 46,67 46,67
Model Problem Solving Laboratory (PSL) yang dikembangkan belum dapat melatihkan kemampuan problem solving (46,67 %), hanya 1 model yang baik dapat menuntun mahasiswa dalam melatihkan kemampuan problem solving, model inilah yang diambil dari Universitas Minessotta (66,67 %), beberapa draf model perlu dikembangkan kembali dengan menyediakan problem yang kaya dengan konteks. 3.
Gambaran kemampuan bereksperimen
Terkait dengan implementasi Inquiry Laboratory dan Problem solving laboratory, maka berdasarkan perolehan tes , diperoleh gambaran seperti pada Tabel 5: Tabel 5. Hasil tes kemampuan bereksperimen N o
Kemampuan
%
Kemampuan Sebelum Bereksperimen
Rata
1
Membuat prediksi berdasarkan asumsi yang diperoleh dari hasil hipotesis dan situsi eksperimen yang dibayangkan.
60,35
2
Mendesain eksperimen ( menentukan prosedur dan langkah pengolahan data).
69,83
Kemampuan melaksanakan kegiatan eksperimen
65,74
1
Merancang/mengeset alat eksperimen.
62,84
2
Melaporkan data hasil pengukuran
80,25
Kemampuan melaporkan hasil kegiatan eksperimen
%
1
Menginterpretasikan dan mengobservasi data untuk menunjukkan adanya hubungan antar variabel dan kecenderungan data.
49,50
2
Menyimpulkan hasil eksperimen.
71,67
Berdasrakan data perolehan hasil tes kemampuan bereksperimen yang terkait dengan kemampuan yang dikembangkana dapat dijelaskan bahwa , model inqury laboratory dan problem solving laboratory telah mampu meningkatkan kemampuan bereksperimen, hal ini ditunjukkan oleh nilai 65, 74 % yang berarti bahwa lebih dari setengahnya mahasiswa telah memiliki kemampuan prediksi, merancang eksperimen, mengeset alat , mengambil data, mengolah data dan meyimpulkan.Tetapi model ini belum optimal, hal niterkait dengan hanya 49,50% mahasiswa yang dapat menginterpretasikan data dalam menjelaskan hubungan antar variable dan kecenderungan data. 4. Penerapan Pola adopsi dan adaptasi inquiry laboratory dan problem solving laboratory yang dilakukan oleh mahasiswa dalam kegiatan penelitian di sekolah. Penelitian ini merupakan penelitian payung, model penelitian mencoba untuk mengadopsi dan mengadaptasi pola inquiry laboratory dan problem solving laboratory dengan desain seperti pada table 2. Analisis model dilakukan terhadap analisis RPP , LKS dan Hasil implementasi yang dapat dijelaskan pada Tabel 6 berikut : Tabel 6 Analisi model yang diimplementasikan di lapangan. N o
Mode l
RPP
LKS
Hasil Implementasi
1
ADD I
1.Indikator yang dibangun telah menggambarkan ketercapaian kompetensi 2.Skenario telah mengikuti prosedur Discoveri dan demonstrasi inetreaktif
LKS dibangun sesuai dengan RPP, namun beberapa pertanyaan perlu disempurnakan dalam segi kebahasaan
Model dipandang efektif untuk meningkatkan pemahaman konsep dengan kategori Tinggi Model , Discoveri Learning dengan nilai =0,62 dan Demonstrasi Interaktif dengan nilai =0,71
2
APS1
Indikator yang dibangun telah menggambarkan ketercapaian
LKS yang dikembangkan telah memenuhi langkahlangkah problem solving Namun
Beberapa LKS perlu diperbaiki terkait membangun kontekstual dan kaya konsep.Perlu memperhatikan manajement
kompetensi. Skenario pada model telah memenuhi langkah-langkah dalam probem solving 3
AITS
Indikator yang dibangun telah menggambarkan ketercapaian kompetensi. Strategi yang digunakan dalam problem solving; main map hasil kegiatan membaca, lab Inquiry, dan problem solving
4
APS 2
Indikator yang dibangun telah menggambarkan ketercapaian kompetensi. Skenario pada model telah memenuhi langkah-langkah dalam probem solving
problem yang dikembangkan belum secara optimalmenggambark an permasalahn yang kontekstual dan kaya akan konsep.
waktu.
Main map yang dibangun siswa belum dapat memilah konsep-konsep yang dikuasai/yang tidak dikuasai.
Beberapa LKS perlu diperbaiki terkait membangun konsep. Secara signifikan model dipandang efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa dalam kategori sedang (nilai hasil uji coba 0,47.
Sejumlah pertanyaan dalam inquiry belum dapat menggambarkan ketercapaian pemahaman konsep.
Secara signifikan model dipandang efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa dalam kategori sedang (nilai hasil uji coba 0,50 untuk kelas eksperimen dan 0,37 untuk kelas kontrol)
Siswa diberi problem yang berbedabeda,karena keterbatasan waktu LKS yang dikembangkan telah memenuhi langkahlangkah problem solving Namun problem yang dikembangkan belum secara optimal menggambarkan permasalahn yang kontekstual dan kaya akan konsep.
LKS yang dibangun melatihkan kemampuan bereksperimen yang sesuai, namun pada bagian analisis dan kesimpulan kurang mengarah kepada data temuan. Peranyaan arahan perlu dikembangkan disesuaikan dengan kondisi siswaBeberapa LKS perlu diperbaiki terkait membangun kontekstual dan kaya konsep. Secara signifikan model dipandang efektif dalam meningkatkan hasil belaj ar siswa dalam kategori sedang
dengan kenaikan IPK sebesar 24,25 % Tabel 5 Analisi model yang diimplementasikan di lapangan (lanjutan) N o
Mode l
RPP
LKS
Hasil Implementasi
5
ALI1
Indikator yang dibangun telah menggambarkan ketercapaian kompetensi dasar.
Indikator yang dibangun telah menggambarkan ketercapaian kompetensi dasar.
Skenario yang dibangun telah memenuhi langkah-langlah model demonstrasi interaktif.
Skenario yang dibangun telah memenuhi langkahlanglah model demonstrasi interaktif.
Secara signifikan model dipandang efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa dalam kategori sedang (nilai hasil uji coba 0,45 dengan keterampilan proses dalam kategori sedang sebesar 0,55
Indikator yang dibangun telah menggambarkan ketercapaian kompetensi dasar.
LKS yang dibangun melatihkan kemampuan bereksperimen yang sesuai, namun pada bagian analisis dan kesimpulan diarahkan pada data temuan.
6
ADI
Skenario yang dibangun telah memenuhi langkah-langlah model demonstrasi interaktif
Peranyaan arahan perlu dikembangkan disesuaikan dengan kondisi siswa.
Model dapat terlaksana dengan baik, kelemahan model pada alokasi waktu, mengingat prosedur dibangun berdasarkan demonstrasi guru. Berdasarkan pengujian statistik dengan uji t , model dipandang dapat lebih menigkatkan hasil belajar dibanding dengan eksperimen cookbook Tradisional, dengan nilai t hitug t 0,95(58,58)=2,664 dan t tabel t0((58,58) = 2,489
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan data dan anlisi data, maka beberapa kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Model inquiry laboratory dan Problem solving laboratory yang diterapkan dalam perkuliahan Eksperimen Fisika Dasar II telah dapat melatih kemampuan bereksperimen yang terkait dengan kemampuan prediksi, merancang eksperimen, mengeset alat , mengambil data, mengolah data dan meyimpulkan. Mahasiswa telah mampu memahami contoh model yang dikembangkan oleh expert, dan melakukan adopsi dan adaptasi yang ditunjukkan oleh skenario pembelajaran yang sesuai berdasarkan langkah-langkah model inquiry dan problem solving. Beberapa lembar kerja siswa perlu disempurnakan terkait dengan kebahasaan dan kemampuan bertanya terkait dengan membangun konsep, problem yang dikembangkan dengan masalah yang bersifat kontekstual dan kaya konsep. Semua model yang digunakan dipandang efektif sebagai model yang dapat digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar, dalam kategori tinggi dan sedang.
V.
PUSTAKA
Allie Saalih et al.(1997). Writing-Intensive Physics Laboratory Report : Task and Asessment. The Physics Teacher.Vol (35), October 1997, pp 399-405. Allie Saalih et al.(2003). Teaching Measurement in the Introductory Physics Laboratoory . The Physics Teacher.Vol (42), October 2003, pp 394-401. National Science Foundation, Foundation Inquiry, Directorate for Education an Human Resource, tersedia dalam: http//www.ehnsf,gov/HER/ESIE/index.html Mc.Dermott, LC. Et. Al (1996), Physics By Inquiry,Vole 1, New York, John Wiley & Sons, Inc. Heller & Heller (1999), Problem-solving Laboratory, Minesotta Siahaan P, Utari .S. (2007), Hasil Survei Guru Fisika SMP dan SMA se-Jawa Barat. Penelitian Mandiri. Tidak diterbitkan. Suprapto. B, (2000) Hakekat Pembelajaran MIPA (Fisika) di Perguruan Tinggi, Proyek Pengembangan Universitas Terbuka Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Jakarta, Depdiknas. Utari S.(2008) Profil Kemampuan Bereksperimen Mahasiswa Pemula Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI. Penelitian Mandiri. Tidak diterbitkan Wenning Carl J. And Wenning Rebecca E .(2006), A generic model for inquiry-oriented labs in postsecondary introductory physics. J Phys.Teac.Edu .Online , 3 (3), March 2006, pp2433.