ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB III
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
1) Implikasi pelaksanaan kontrak kerja konstruksi pemerintah Dalam Bab II telah disinggung mengenai jenis kontrak kerja konstruksi oleh pemerintah, hal spesifik dalam kontrak kerja konstruksi pemerintah ini mempunyai 2 (dua) ciri-ciri; pertama subyek hukum selaku pengguna jasa konstruksinya adalah pihak pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara / Daerah (BUMN/BUMD), dan yang kedua sumber pendanaan proyek pekerjaan konstruksi adalah berasal dari Keuangan Negara. Oleh karena kontrak kerja konstruksi pemerintah ini mempunyai 2 (dua) ciri-ciri sepesifik sebagaimana tersebut di atas, maka perbuatan hukum dalam kontrak kerja konstruksi pemerintah disamping mempunyai persamaan implikasi dengan kontrak kerja konstruksi non pemerintah juga terdapat beberapa perbedaan. Persamaan implikasi antara kontrak kerja konstruksi pemerintah dengan non pemerintah adalah dari aspek hukum perdata (privat law) jika kontrak kerja konstruksinya syah dan dalam pelaksanaan ternyata salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban kontraktual, maka terjadilah yang dinamakan cidera janji atau wanprestasi. Perbedaan implikasi antara antara kontrak kerja konstruksi pemerintah dengan non pemerintah adalah dilihat dari aspek hukum pidana (public law). Dalam kontrak kerja konstruksi non pemerintah implikasi perbuatan hukum yang memungkinkan terjadi adalah perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dalam aspek hukum pidana umum.
Sedangkan dalam kontrak kerja konstruksi pemerintah implikasi perbuatan 97
Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
hukum yang memungkinkan terjadi adalah perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) termasuk penyalahgunaan kewenangan dalam aspek hukum pidana khusus karena berdampak merugikan keuangan atau perekonomian negara. Selanjutnya muncul suatu pertanyaan mengapa dalam kontrak kerja konstruksi pemerintah atau badan usaha milik negara/daerah jika terjadi perbuatan melawan hukum akan berimplikasi pada tindak pidana korupsi, bukan pada tindak pidana umum lainnya ? Hal yang mendasari adanya pertanyaan ini karena terdapatnya formulasi perbuatan melawan hukum yang sama namun diatur oleh berbagai perundang-undangan yang berbeda dan diberikan ancaman dengan sanksi yang berbeda pula. Sebagai contoh dalam ketentuan Pasal 43 UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi telah mengatur tentang perbuatan pidana dengan sanksinya sebagai berikut : (1) Barang siapa yang melakukan perencanaan pekeriaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari nilai kontrak. (2) Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (ima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (Lima per seratus) dari nilai kontrak. (3) Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana
98 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari nilai kontrak. Formulasi perbuatan/feit yang serupa dengan ketentuan pasal 34 Undangundang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi tersebut, juga dijumpai dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 7 yang isinya bahwa : (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian 99 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Namun dalam praktek perbuatan melawan hukum yang terkait dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Pemerintah khususnya terhadap formulasi perbuatan/feit serupa sebagaimana terdapat dalam Pasal 43 UU No. 18 Tahun 1999 tersebut,
justru penerapannya lebih cederung menggunakan ketentuan pasal-pasal
sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kecenderungan diterapkannya unsur-unsur pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam praktek pelaksanaan kontrak kerja jasa konstruksi ini sejalan dengan asas hukum lex posteriori deragat legi priori dan asas hukum lex specialis derogat legi generali, dimana formulasi perbuatan/feit yang terdapat pasal 43 UU No. 18 Tahun 1999 merupakan perbuatan pidana yang telah diserap (absorpsi) dan dikualifisir dalam ketentuan pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang tujuannya adalah tidak semata-mata mengenakan pidana penjara, tetapi lebih jauh lagi adalah untuk menyelamatkan atau mengembalikan kerugian negara. Dengan demikian hal ini dapat mengesampingkan penerapan hukum terhadap perbuatan untuk feit yang sama mengingat dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tidak mengatur tentang ganti rugi atau uang pengganti terhadap kerugian negara, selain itu subyek hukum yang dapat dikenakan hanya orang tetapi tidak untuk korporasi, sedangkan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengaturnya. Hal yang melandasi dengan lebih diuatamakannya menggunakan ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang pemberantasan korupsi dan perubahannya sesuai asas hukum lex posteriori deragat legi priori dan asas hukum lex specialis derogat legi 100 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
generali adalah dapat diketahui dari filosofi atau ratio legis yang melatarbelakangi terbentuknya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Filosofi atau ratio legis yang melatarbelakangi dikeluarkannya undang-undang pemberantasan tinda pidana korupsi dapat dilihat dalam konsiderans maupun penjelasan umum dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 maupun perubahannnya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang antara lain sebagai berikut : Konsiderans dan Penjelasan UU Nomor 31 Tahun 1999 : • Konsiderans huruf a dan b : a.
bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b.
bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomlan negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi;
• Penjelasan Umum alenia 1, 2 3, 4 dan 5 : 1) Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. 2) Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. 3) Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
101 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
4) Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. 5) Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara “melawan hukum" dalam pengertian formil dan materiil. Konsiderans dan Penjelasan UU Nomor 20 Tahun 2001 • Konsiderans huruf a dan b : a.
bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa;
b.
bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
• Penjelasan Umum alenia 2 dan 5 : 2) Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. 5) Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan dalam Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 102 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sebagai ketentuan yang bersifat "premium remidium" dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Hal-hal yang tergambar dari makna konsiderans dan penjelasan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 maupun perubahannnya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut di atas, selanjutnya dapat penulis rumuskan yang pada hakekatnya mempunyai makna esensial , sebagai berikut : Praktek korupsi di Indonesia jaman orde baru dan sebelumnya terjadi sangat parah sampai menyebabkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dampak korupsi sangat merugikan 1) keuangan negara, 2) perekonomian negara, 3) menyengsarakan kehidupan sosial ekonomi rakyat dan 4) menghambat pembangunan. Demi mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera, perlu ditingkatkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya (lex specialis lex specialis derogat legi generali) Tindak
pidana
korupsi
perlu
digolongkan
sebagai
kejahatan
yang
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra ordinary crime)
Dari ke empat hakekat dibentuknya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut, maka segala bentuk perbuatan melawan hukum terkait dengan ke empat aspek tersebut yang merugikan atau berpotensi dapat merugikan : keuangan negara atau perekonomian negara yang berakibat dapat menurunkan kesejahteraan ekonomi-sosial rakyat dan menggangu kelancaran pembangunan, maka secara khusus atau lex specialis 103 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
termasuk dalam kompetensi penanganan hukum dalam dimensi hukum pidana dalam Tindak Pidana Korupsi. Hal mana walaupun belum tentu formulasi perbuatan yang dituangkan dalam unsur-unsur
pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 maupun
perubahannnya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut tidak secara langsung telah menyebabkan terjadinya kerugian atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, sebagaimana secara spesifik tertuang dalam Pasal 2 Ayat (1) yang mengatur perbuatan : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan Pasal 3 yang mengatur perbuatan : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Namun selain itu terdapat perbuatan-perbuatan lain yang tidak secara langsung berkaitan dengan dampak kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi merupakan bentuk perbuatan yang berkaitan dengan 2 (dua) dari 4 (empat) aspek hukum lainnya yaitu :
dapat berdampak turunnya kesejahteraan ekonomi-sosial rakyat dan
menghambat kelancaran pembangunan, maka penanganan masalahnya juga termasuk dalam kompetensi tindak pidana korupsi.
Unsur-unsur pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang tidak secara langsung berdampak merugikan keuangan / perekonomian negara namun secara lex specialis termasuk kompetensi tindak pidana korupsi terdapat dalam formulasi perbuatan dan pasal-pasal sebagai berikut : 104 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
1.
Memberikan atau menjanjikan sesuatu (Suap) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, supaya berbuat atau tidak berbuat atau ada hubungan dengan sesuatu
yang
bertentangan
dengan
kewajibannya;
kepada
hakim
untuk
mempengaruhi putusannya; dan kepada advokat untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara (Pasal 5 dan 6) 2.
Pemborong, ahli bangunan, pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang. Dan pengawas pembangunan atau penyerahan bahan bangunan sengaja membiarkan perbuatan curang (Pasal 7)
3.
Menggelapkan, memalsu, merusak, menghilangkan, menghancurkan, uang, barang, akta, surat atau daftar untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 8, 9, 10)
4.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara, badan usaha atau perorangan yang menerima hadiah atau janji (Pasal 11 dan 12).
5.
Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi (Pemberian dalam luas berupa uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya (Pasal 12B).
6.
Memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara (Pasal 13).
7.
Tindakan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi berupa: Mencegah, merintangi atau menggagalkan baik langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang perkara korupsi (Pasal 21); Tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar pada saat penydidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang perkara korupsi (Pasal 22);
Laporan palsu, 105
Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
merusak, menghancurkan barang sitaan memaksa orang untuk mengakui dan menyuruh orang menunjukkan dokumen rahasia (Pasal 23); dan
Larangan
menyebut nama dan alamat pelapor (Pasal 24) Dari uraian di atas maka formulasi perbuatan yang bekaitan dengan dampak khususnya kerugian keuangan/perekonomian negara serta formulasi perbuatan yang berkaitan dengan dampak menurunkan kesejahteraan ekonomi-sosial masyarakat dan menghambat pembangunan adalah termasuk dalam kompetensi tindak pidana korupsi. Selanjutnya karena hal ikhwal yang terkait kontrak kerja konstruksi pemerintah atau BUMN/BUMD, yang mana subyek hukumnya selaku pengguna jasa adalah pejabat pemerintah atau pejabat BUMN/BUMD yang mewakili kepentingan negara demi komunitas publik, yang mana sumber pendanaan pekerjaan konstruksi tersebut termasuk dalam Keuangan Negara (dana APBN/APBD atau dana investasi dari kekayaan negara yang dipisahkan BUMN/BUMD), maka segala bentuk formulasi perbuatan melawan hukum di dalam pelaksanaan kegiatan kontrak kerja konstruksi pemerintah atau BUMN/BUMD tersebut, maka berdasasarkan pada asas hukum lex specialist derogat legi generali akan berimplikasi pada terjadinya delik pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
2) Perbedaan konsep antara bentuk perbuatan cidera janji (wanprestasi) dengan bentuk perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dalam tindak pidana korupsi, sebagai bentuk implikasi pelaksanaan kontrak kerja konstruksi. Pelaksanaan kontrak kerja konstruksi pada dasarnya merupakan pelaksanaan kewajiban kontraktual oleh para pihak yang melakukan hubungan hukum dalam kontrak
106 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
tersebut. Dari sisi pengguna jasa konstruksi kewajiban utamanya adalah melakukan pembayaran atas selesainya bangunan fisik konstruksi sesuai spesifikasi tekhnik yang ditentukan dalm kontrak, sedangkan yang menjadi kewajiban penyedia jasa konstruksi adalah melaksanakan pekerjaan sesuai syarat dan ketentuan teknis (bestek) dalam kontrak dan bagian-bagian lain yang menjadi kesatuan dengan kontrak induk. Pengguna jasa konstruksi hanya akan menerima pekerjaan konstruksi yang dikerjakan penyedia jasa, jika pekerjaan itu sesuai dengan spesifikasi kontrak dan syarat lain dalam lampirannya dan tidak mengandung cacad konstruksi (construction defect) dalam tenggang waktu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak. Jika tidak terdapat kesesuaian spesifikasi baik menyangkut disain, kuantitas (volume), maupun kualitas (mutu) pekerjaan, maka pengguna jasa konstruksi dapat melakukan penolakan pengajuan pembayaran termyn pekerjaan atau bahkan dapat memutuskan kontrak. Dalam pelaksanaan kontrak pihak penyedia jasa konstruksi tidak hanya diwajibkan melaksanakan kewajiban yang secara tegas tertuang dalam kontrak, tapi juga wajib menaggung terhadap kualitas pekerjaan terhadap adanya cacat konstruksi (construction defect) dalam masa tertentu setelah selesainya pekerjaan 100 % (masa pemeliharaan). Sebagai jaminanya maka pihak pengguna jasa konstruksi memegang jaminan pemeliharaan yang diserahkan oleh penyedia jasa konstruksi sebesar 5 % dari nilai kontrak yang mana biasanya dapat berupa bank garansi atau penundaan kekurangan pembayaran (retensi) sebesar 5% dari nilai kontrak. Yang dimaksud penundaan kekurangan pembayaran (retensi) adalah walaupun pekerjaan
fisik konstruksi telah
diselesaikan oleh penyedia jasa konstruksi dengan progres 100 % yang selanjutnya diikuti serah terima selesainya pekerjaan, namun pengguna jasa konstruksi baru melaksanakan kewajiban pembayarannya sebesar 95%, sedangkan sisa pembayaran 5%
107 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
akan dibayarkan setelah bangunan konstruksi selama waktu masa pemeliharan yang disepakati kondisinya masih tetap seperti pada saat penyerahan pekerjaan 100%. Kewajiban menanggung ini dapat bersifat tegas dalam kontraknya (express warranty) maupun secara diam-diam (implied warranty).88 Jika kewajiban menanggung ini secara tegas diatur dalam kontrak kerja konstruksi pemerintah maka berlaku ketentuan sesuai masa pertanggungan yang disebutkan dalam kontrak, tetapi jika dalam kontrak tidak disebutkan maka berlaku ketentuan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah (Kepres No. 80 Tahun 2003 atau Perpres No. 54 Tahun 2010). Adanya kewajiban menanggung pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa konstruksi selama masa pemeliharaan, maka perlu diketahui batas waktu masa pemeliharaan. Batas waktu masa pemeliharaan dilakukan setelah serah terima pekerjaan tahap pertama (STT I) karena pekerjaan selesai 100% sampai dengan serah terima pekerjaan tahap kedua (STT II). Untuk lebih jelasnya berikut ini penulis uraikan mengenai 2 (dua) tahap serah terima pekerjaan dalam kontrak kerja konstruksi yaitu : 1) Serah Terima Pekerjaan Tahap Pertama (STT I) atau biasa disebut BAST I (Berita
Acara Serah Terima Pekerjaan I) atau PHO/Provitional Hand Over,
maksudnya
:
Serah terima pekerjaan konstruksi dari Penyedia Jasa kepada
Pengguna Jasa setelah wujud fisik bangunan selesai dengan progres pekerjaan 100 % (baik dari sisi desain konstruksi, kuantitas/volume, maupun kualitas/mutu material terpasang) yang selanjutnya diikuti dengan pembayaran pekerjaan dari Pengguna Jasa kepada Penyedia Jasa yang biasanya sebesar 95% dari nilai kontrak dan diikuti masa pemeliharaan. (Pengertian mengadopsi ketentuan Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 95 : Serah Terima Pekerjaan dan Lampiran 3: Tata Cara Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi, huruf C angka 2 huruf o. Serah Terima Pekerjaan) 88
Yohanes Sogar Simamora, Op.Cit., h. 301
108 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
2) Serah Terima Pekerjaan Tahap Kedua (STT II) atau biasa disebut BAST II (Berita
Acara Serah Terima Akhir Pekerjaan)
atau
FHO/Final Hand Over,
maksudnya : Serah terima pekerjaan konstruksi dari Penyedia Jasa kepada Pengguna Jasa setelah berjalannya waktu masa pemeliharaan (kewajiban penyedia jasa menanggung kondisi pekerjaan agar tetap sama 100 % seperti saat BAST I/PHO) sesuai waktu yang ditetapkan dalam kontrak dengan ketetentuan waktu minimal untuk pekerjaan konstruksi permanen paling sedikit 6 bulan semi permanen paling sedikit 3 bulan, yang selanjutnya diikuti kekurangan pembayaran pekerjaan sebesar 5% dari nilai kontrak oleh Pengguna Jasa kepada Penyedia Jasa. (Pengertian mengadopsi ketentuan Perpres 54 Tahun 2010 Pasal 95 : Serah Terima Pekerjaan dan Lampiran 3: Tata Cara Pemilihan Penyedia Pekerjaan Konstruksi, huruf C angka 2 huruf o. Serah Terima Pekerjaan )
Saat dilakukannya serah terima pekerjaan dalam kontrak kerja konstruksi ini merupakan titik tolak penilaian hukum terhadap implikasi terjadinya cidera janji/wanprestasi (dari dimensi hukum privat) atau terjadinya perbuatan melawan hukum/wederrechtelijk (dalam dimensi hukum publik). Dikatakan terdapat cidera janji/wanprestasi dalam kontrak kerja konstruksi, jika salah satu pihak yang terikat dalam hubungan kontrak kerja konstruksi melakukan perbuatan hukum yang bertentangan atau tidak sesuai dengan klausul-klausul kontrak kerja konstruksi yang telah disepakati, sebagai contoh : - Penyedia jasa konstruksi terlambat menyelesaikan pekerjaan konstruksi sampai progres 100 % sesuai batas waktu yang disebutkan dalam kontrak. - Pengguna jasa konstruksi terlambat melakukan pembayaran progres pekerjaan, baik setelah STT I maupun STT II. 109 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
- Penyedia jasa konstruksi ketika menyerahkan pekerjaan konstruksi tahap pertama (STT I/PHO) ternyata masih terdapat ketidaksesuaian disain sesuai perencanaan, terdapat
ketidaksesuaian
kualitas
(mutu)
material
terpasang,
atau
terdapat
ketidaksesuaian kuantitas (volume) material terpasang. -
Penyedia jasa konstruksi ketika menyerahkan pekerjaan konstruksi tahap kedua (STT II/FHO) setelah masa pemeliharaan ternyata terdapat kondisi pekerjaan yang sudah tidak sesuai dengan kondisi 100 % seperti saat serah terima pekerjaan I (STT I/PHO) karena mengalami kerusakan, namun penyedia jasa tidak melakukan perbaikan.
Dikatakan terdapat perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk), jika salah satu pihak yang terikat dalam hubungan kontrak kerja konstruksi atau justru kedua belah pihak melakukan konspirasi perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan hukum (undang-undang), sebagai contoh : - Penyedia jasa konstruksi terlambat menyelesaikan pekerjaan konstruksi sampai progres 100 % sesuai batas waktu yang disebutkan dalam kontrak, namun untuk menghindari dikenakannya denda kemudian penyedia jasa melakukan kolusi dengan pihak pengguna jasa sehingga keterlambatan itu seolah-olah dinyatakan tidak terlambat dalam laporan serah terima pekerjaan tahap pertama (STT I/PHO) atau seolah-olah sesuai batas waktu selesainya pekerjaan dalam kontrak. - Penyedia jasa konstruksi ketika menyerahkan pekerjaan konstruksi tahap pertama (STT I/PHO) ternyata masih terdapat ketidaksesuaian kualitas (mutu) material terpasang atau terdapat ketidaksesuaian kuantitas (volume) material terpasang, namun antara pihak penyedia jasa, konsultan pengawas dan panitia penerima hasil pekerjaan terdapat kolusi dan dibuat berita acara seolah-olah pekerjaan telah selesai dengan progres 100 %. 110 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
-
Penyedia jasa konstruksi ketika menyerahkan pekerjaan konstruksi tahap kedua (STT II/FHO) setelah masa pemeliharaan ternyata terdapat kondisi pekerjaan yang sudah tidak sesuai dengan kondisi 100 % seperti saat serah terima pekerjaan I (STT I/PHO) karena mengalami kerusakan dan penyedia jasa tidak melakukan perbaikan, namun saat serah terima pekerjaan tahap kedua (STT II/FHO) terjadi kolusi antara penyedia jasa dengan panitia pemeriksa hasil pekerjaan serta Pejabat Pembuat Komittem (PPK) sehingga dibuat seolah-olah kondisinya tetap baik sesuai saat progres 100% (saat STT I/PHO).
Dari beberapa contoh di atas maka wanprestasi atau cidera janji merupakan implikasi dari tidak dilaksanakannya suatu kewajiban oleh para pihak dalam suatu perjanjian atau kontrak. Hak dan kewajiban timbul sebagai konsekuensi karena adanya perikatan dalam perjanjian yang sah. Hal-hal yang disepakati para pihak dalam suatu perjanjian hanya berlaku mengikat bagi para pihak tersebut dan tidak mengikat bagi pihak ketiga, bahkan kekuatan mengikatnya seperti laksana undang-undang bagi para pihak.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 (1) BW bahwa “semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Sehingga oleh karena kekuatan mengikatnya perikatan yang
timbul dari perjanjian tersebut adalah laksana undang-undang bagi para pihak, maka dapat dikatakan wanprestasi atau cidera janji merupakan suatu bentuk perbuatan melawan perikatan atau perbuatan yang betentangan dengan perikatan yang timbul dari hubungan kontraktual. Istilah yang dikemukakan penulis tersebut merujuk pada istilah yang dikemukakan oleh DY. Witanto dari tulisannya dalam Varia Peradilan No. 308 Juli 2011 bahwa melawan perikatan adalah istilah yang digunakan untuk membedakan dengan 111 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
istilah melawan hukum dalam tindak pidana, oleh karena yang dilanggar adalah hak dan kewajiban dalam hukum perikatan maka digunakan istilah “sifat melawan perikatan.”89 Sedangkan istilah perbuatan melawan hukum yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda dengan istilah wederrechtelijk adalah suatu perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan hukum (recht) yang mengadung sifat melawan hukum sehingga perbuatan tersebut dapat dipidana, baik karena bertentangan dengan undang-undang maupun melanggar hak subyektif orang lain, yang pada akhirnya perbuatan tersebut harus dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan hukum yang dimaksud adalah hukum yang berlaku secara umum baik dalam formil maupun materiil. Pengertian hukum yang berlaku secara umum disini adalah hukum yang mengatur dan mengikat kehidupan masyarakat secara umum atau komunitas publik (public community). Sedangkan terminologi wederrechtelijkheid dalam kaitannya sebagai bentuk “melawan hak” adalah semata-mata menunjuk pada hak yang diberikan oleh hukum yang berlaku secara umum/dibuat oleh penguasa, bukan hak yang timbul dari hubungan kontraktual.90 Sifat “melawan hukum” melekat pada suatu perbuatan, sehingga perbuatan itu dapat dipidana, baik karena bertentangan dengan undang-undang maupun karena telah melanggar hak subjektif orang lain (melawan hak), namun pada akhirnya perbuatan tersebut harus pula telebih dahulu dilarang oleh suatu peraturan perundangan yang berlaku.
Sedangkan “melawan perikatan” melekat pada suatu perbuatan yang
bertentangan dengan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian atau kontrak.
89
DY. Witanto, Memahami Perbedaan antara Wanprestasi dan Delik Penipuan dalam Hubungan Kontraktual, Varia Peradilan dalam Varia Peradilan No. 308 Juli 2011, h. 74. 90 Ibid, h. 74
112 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Kembali menurut DY. Witanto, secara umum “melawan hukum” dengan “melawan perikatan” memiliki beberapa perbedaan, antara lain: 91 Sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana merupakan suatu keadaan atau
•
perbuatan yang telah bertentangan dengan hukum yang berlaku secara umum, sedangkan melawan perikatan adalah suatu keadaan atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku secara khusus, karena hanya mengikat bagi mereka yang membuatnya. Suatu tindak pidana mengandung sifat melawan hukum yang oleh karenanya
•
perbuatan tersebut dapat dipidana, sedangkan wanprestasi mengandung sifat melawan perikatan yang oleh karenanya kreditur dapat menuntut pemenuhan prestasi, gantirugi, denda dan bunga Sifat melawan hukum melekat pada perbuatannya yang telah melanggar aturan
•
hukum yang dibuat oleh penguasa, sedangkan sifat melawan perikatan melekat pada perbuatan yang telah melanggar aturan yang dibuat oleh para pihak dalam suatu perjanjian.
Dengan adanya perbedaan di atas, maka sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana memiliki karakteristik yang berbeda dengan sifat melawan hukum perikatan dalam suatu perjanjian, sehingga diantara keduanya harus dipisahkan secara tegas agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran dalam proses penyelesaian terhadap dua bentuk perbuatan yang melanggar hukum, dimana dalam satu sisi merupakan perbuatan hukum dalam dimensi hukum perdata dan disisi lain termasuk dalam dimensi hukum pidana.
91
Ibid, h. 75
113 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Dimensi hukum pidana sebagai implikasi dari permasalahan pelaksanaan kontrak kerja konstruksi pemerintah sebagaimana telah penulis uraikan dalam sub bab di atas adalah bukan dari aspek pidana umum, namun mempunyai aspek hukum dalam dimensi tindak pidana khusus atau lex specialis dalam tindak pidana korupsi, karena secara esensial terdapat adanya dampak kerugian keuangan atau perekonomian negara yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang oleh aparatur pemerintah (selaku pegawai negeri) atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah. Dari uraian di atas, maka jika diperhatikan bentuk-bentuk perbuatan hukum dalam kontrak kerja konstruksi pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah dapat mempunyai implikasi permasalahan hukum yang rumit, terutama dalam mengkualifisir jenis-jenis permasalahan hukumnya dan termasuk dalam dimensi hukum apa yang mungkin timbul. Sehingga untuk dapat memberikan identifikasi secara jelas mengenai jenis-jenis perbuatan hukum mana yang termasuk perbuatan melawan perikatan (wanprestasi) dalam aspek hukum perdata (privat law) dan jenis-jenis perbuatan hukum mana yang termasuk perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) khusunya tindak pidana korupsi dalam aspek hukum pidana (public law), maka dalam hal ini diperlukan suatu batasan yang jelas dengan ciri-ciri khusus yang bagaimana serta dengan formulasi perbuatan/feit yang seperti apa untuk menyelesaikan permasalahan hukum dalam hubungan kontraktual kerja konstruksi. Selanjutnya perbuatan-perbuatan hukum sebagai implikasi dari pelaksanaan kontrak kerja konstuksi yang akan penulis cermati lebih beserta batatasn-batasannya adalah perbuatan hukum yang mana di satu sisi termasuk cidera janji (wanprestasi) dalam aspek hukum perdata dan di sisi lain termasuk perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dalam aspek hukum pidana (public law) khususnya dalam tindak pidana korupsi. 114 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Sebelum penulis menjawab permasalahan dalam memberikan suatu batasan dan ciri-ciri khusus terhadap suatu perbuatan hukum dalam hubungan kontraktual yang di satu sisi merupakan wanprestasi (ranah hukum privat) dan di sisi lain merupakan perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dalam tindak pidana korupsi, maka terlebih dahulu penulis akan menyajikan contoh kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam kontrak kerja konstruksi pemerintah sebagai berikut : ……………………………………………………………………… Dugaan Penyimpangan Pelaksanaan Pekerjaan Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng Tahap II TA. 2006 Pemerintah Kabupaten Ngawi Kasus Posisi : - Anggaran Proyek : Dana Alokasi Umum Pemerintah Kabupaten Ngawi TA. 2006. - Satuan Kerja : Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Cipta Karya, Pemerintah Kabupaten Ngawi. - Paket Pekerjaan : Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng Tahap II. - Lokasi Pekerjaan : Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi. - Surat Penunjukan pemenang pelaksana pekerjaan Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng Tahap II TA. 2006 di Kec. Geneng s/d Kec. Gerih, Kabupaten Ngawi kepada PT. Manira Arta Rama (PT. Mataram). - Penandatangan kontrak kerja konstruksi dalam bentuk Surat Perjanjian Pemborongan (Kontrak) tentang Pelaksanaan Pekerjaan Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng Tahap II Nomor : 050/1560.07/404.101/2006 tanggal 16 Oktober 2006, antara : 1) Ir. H. Suparyanto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pembangunan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten Ngawi Tahun 2006, yang bertindak dalam jabatan tersebut atas nama Pemerintah kabupaten Ngawi sebagai Pihak Kesatu, sedangkan. 2) Waseso, ST, Direktur PT. Manira Arta Rama (PT. Mataram) berdasarkan Akta Notaris Dradjad Uripno, SH Nomor 15 Tanggal 15 Februari 2005 tentang PEndirian Perseroan Terbatas (PT) Manira Arta Rama yang beralamat di Jalan Mataram No 11 RT. 01 RW. XI Banyuanyar Surakarta, sebagai Pihak Kedua. - Dalam kontrak tersebut, telah disepakati pihak Kesatu dan Pihak Kedua untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng Tahap II Kabupaten Ngawi yang mengacu pada Bestek (Dokumen Prencanaan), RAB (Rencana Anggaran Belanja) dan Rencana Kerja dan Syarat-Syarat: 115 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
•
Pekerjaan pemeliharaan berkala jalan Widodaren – Geneng Kabupaten Ngawi dengan volume pekerjaan jalan sepanjang 6 km / 6.000 m lebar 4 m dengan luas 24.000 m2 terdiri dari : Pekerjaan Persiapan Dalam hal ini mencakup semua kelengkapan pekerjaan yang harus disiapkan sebelum pekerjaan dimulai, meliputi : pembersihan lokasi, rizet, pengkuran, pematokan, pemasangan bawplank, pembuatan direksi kit, papan nama proyek. Termasuk pengaturan lalulintas dengan rambu-rambu jalan dan penyiapan lahan untuk areal kerja. Pekerjaan jalan Pekerjaan konstruksi jalan meliputi pekerjaan teflord, macadam, ATBL volume 588,66 ton, dan HRS tebal 3 cm (0,03 m) volume 23.460 m2 . Pekerjaan pengaspalan dilakukan dengan alat mesin gilas roda karet 8-15 ton, mesin penghampar 1,82 m, mesin gilas tandem 6-10 ton, truck tangki 68 hp, dump truck, aspal sprayer, dan compressor. Pelaksanaan pengaspalan agar tidak menggangu lalulintas dapat dilakukan malam hari. Pekerjaan sayap dan talud Meliputi pekerjaan galian tanah, urugan tanah dan pasangan batu kali termasuk pembuatan sayap sebagai dinding penahan. Maerial yang dipergunakan adalah batu kali, pasir pasang, dan PC yang telah ditentukan. Pelaksanaan peekrjaan di areal genangan air diperlukan pompa untuk dewatering sebelum pekerjaan pasangan dilakukan.
•
Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan sclama 90 (sembilan puluh) hari kalender yang terhitung sejak tanggal 16 Oktober 2006 s/d 14 Januari 2007.
•
Masa pemeliharaan selarna 180 (seratus delapan puluh hari) kalender yang terhitung sejak tanggal serah terima pekerjaan pertama darl diterirna oleh Pihak Kesatu dalam keadaan baik yang dinyatakan dalam Berita Acara Penyerahan Pertama.
•
Dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Pihak Rekanan/ kontraktor harus mentaati semua peraturan/petunjuk tekhnis dari Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS) dan Tenaga Pengawas Lapangan.
•
Biaya pekerjaan sebesar Rp. 1.101.400.000.- (satu milyar seratus satu juta empat ratus ribu rupiah)
•
Pembayaran pekerjaan dilakukan Pihak Pertama secara bertahap dalam 4 (empat) termin sesuai prosentase kemajuan/progres pekerjaan yang diselesaikan Pihak Kedua, dengan perincian : 1. Uang Muka sebesar 20 % dari nilai kontrak sebesar Rp 220.280.000,2. Pembayaran berdasarkan kemajuan pekerjaan dilapangan dikurangi uang muka berdasarkan prosentasi pekerjaan total 75 % dari nilai kontrak sebesar Rp 826.050.000,116
Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3. Pembayaran termin terakhir (fisik lapangan 100% / PHO) dibayar total 95 % dari nilai kontrak sebesar Rp 1.046.330.000,4. Retensi pembayaran selama masa pemeliharaan 6 (enam) bulan sejumlah 5 % dari nilai kontrak sebesar Rp 55.070.000,- yang dibayarkan setelah serah terima pekerjaan tahap II (FHO). - Bahwa sesuai Rincian Anggaran Belanja yang telah disepakati antara pihak pengguna jasa dengan kontraktor Manira Arta Rama (PT. Mataram) untuk kebutuhan material hot mix berupa lapisan ATB dan HRS sebagai berikut : • •
Hampar ATB sebanyak 588,66 ton Hampar HRS untuk jalan seluas 23.460 m2 dengan tebal 3 cm (0,03 m ), sehingga jika di perhitungan dalam tonase adalah 23.460 m2 x 0,03 x 2 (BJ) sebanyak 1.4076 ton.
- Dalam pelaksanaan pekerjaan pemeliharaan jalan Widodaren Geneng sepanjang 6 km lebar 4 m, dilakukan penggelaran aspal hotmix HRS atau ATB oleh pihak PT. Manira Arta Rarna (PT. Matararn) yang volumenya kurang sesuai volume yang terdapat dalam RAB Kontrak, dengan perincian = •
Volume HRS yang seharusnya dibutuhkan sesuai RAB Kontrak Final (Final Quantity) adalah luas hampar 23.460 m2 dengan tebal 3 cm (0,03m ), sehingga jika diperhitungan dalam tonase dalah 23.460 m2 x 0,03 x 2 (BJ) sebanyak 1.4076 ton. Namun oleh Kontraktor PT. Manira Arta Rama hanya digelar HRS dengan volume 1.233,29 ton (dari AMP Jatisono 819,61 ton dan dari AMP UPCA 413,680 ton), sehingga terdapat selisih kekurangan HRS sebanyak 174,31 ton.
•
Volume ATB yang seharusnya dibutuhkan sesuai RAB Kontrak Final (Final Quantity) adalah 588,66 ton. Namun oleh Kontraktor PT. Manira Arta Rama hanya digelar ATB dengan volume 21.39 ton (dari AMP UPCA), sehingga terdapat selisih kekurangan ATB sebanyak 567,27 ton.
-
Terdakwa Hani Gunanto (Terdakwa II) selaku Pelaksana Lapangan PT. Manira Arta Rama atas perintah Dierktur PT. Manira Arta Rama (Terdakwa I / Waseso, ST / Pihak Kedua dalam kontrak) berusaha menyamakan jumlah pembelian material Aspalt Hot Mix jenis HRS sesuai kebutuhan dalam RAB Kontrak Final (Final Wuantity), dengan cara terdakwa meminta dari Suplier AMP UPCA maupun UPCA berupa beberapa lembar ticket/bon pengiriman aspal Hot Mix (HRS) kosongan dengan alasan untuk penggantian ticket/bon yang rusak dilapangan.
-
Selanjuntya ticket/bon pengiriman Hot Mix Aspalt HRS tersebut oleh terdakwa II atas perintah terdakwa I dengan sepengetahuan dan bahkan bersama Pengawas Lapangan dari Konsultan Pengawas (Terdakwa Suparji) di tuliskanlah tambahan dalam bon/ticket kosong dengan tulisan data pengiriman HRS dan ATB fiktif, untuk memenuhi kekurangan volume pengiriman sesuai RAB Kontrak dengan tujuan agar seolah-olah pekerjaan tersebut telah dilaksanakan sesuai volume tonase hot mix aslapt jenis ATB dan HRS dalam kontrak. 117
Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
-
Bahwa penulisan/penambahan data fiktif berupa ticket/bon pengiriman Hot Mix jenis HRS dan ATB tersebut juga dilakukan atas sepengetahuan atau diijinkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (Terdakwa Ir. Suparyanto) selaku Pihak Pertama dalam kontrak yang mewakili Pemerintah Kabupaten Ngawi.
-
Bahwa selanjutnya pada tanggal 20 April 2007 dilakukan serah terima pekerjaan tahap I (PHO/Post Hand Over) yang sebelumya didahului dengan pemeriksaan hasil pekerjaan MC (Mutual Check) 100% yang seolah-olah telah mencapai progress 100 % baik kuantitas (volume) maupun kualitas pekeraan sesuai dengan spesifikasi tekhnik yang tercantum dalam kontrak, sehingga selanjutnya pihak pertama membayar pekerjaan tersebut pada pihak kedua dengan nilai total 95% dari nilai kontrak Rp. 1.101.400.000.- sebesar Rp 1.046.330.000,-
-
Bahwa setelah serah terima pekerjaan tahap I, maka selanjutnya berlangsunglah masa pemeliharaan selama 6 (enam) bulan dan setelah selesai dilakukan serah terima pekerjaan tahap II (FHO/Final Hand Over) pada tanggal 19 November 2007 yang seolah-olah kualitas dan kuantitas volume pekerjaan masih tetap seperti dalam kondisi ketika serah terima pekerjaan tahap I progress 100%, selanjutnya pihak pertama membayarkan sisa kekurangan pembayaran dengan nilai 5 % dari nilai kontrak Rp. 1.101.400.000.- sebesar Rp 55.070.000,-
-
Bahwa akibat yang ditimbulkan dengan adanya pengurangan volume/kuantitas material berupa Hot Mix Aspalt baik HRS sebanyak 174,31 ton dan ATB sebanyak 567,27 ton, maka berdasarkan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dari BPKP Perwakilan Propinsi Jawa Timur Nomor : SR14189/ PW.13/5/2008 tanggal 21 Nopember 2008 terdapat kerugian Negara Cq. Pemerintah Kabupaten Ngawi sebesar Rp 324.178.330,93 (tiga ratus dua puluh empat juta seratus tuju puluh delapan ribu tiga ratus tiga puluh ribu koma sembilan puluh tiga sen) yang terdiri atas kekurangan material ATB/ATBL sebesar Rp 206.411.767,75 dan material HRS/HRSS sebesar Rp 117.766.563,18.
Dakwaan dan Tuntutan : Dakwaan : Primair : Bahwa mereka para terdakwa I. WASE,SO, ST selaku Direktur Utama PT. Manira Arta Rama (PT. Mataram) berdasarkan atas Akta Notaris Dradjad Uripno, SH Nomor : 15 tanggal 15 Pebruari 2005 tentang Pendirian Perseroan Terbatas (PT) Manira Arta Rama yang beralamatkan di Jalan Mataram Nomor 11 Rt.01/ XI Banyuanyar Surakarta, bersama-sama dengan terdakwa II HANI GUNANTO selaku Pelaksana Lapangan pada PT. Manira Arta Rama (PT Mataram), secara bersama-sama dengan saksi Suparji, BA, E selaku Konsultan Pengawas Lapangan pada CV. Wahana Tata Ngawi (dalan berkas perkara tersendiri) antara kurun waktu pada tahun 2006 s/d tahun 2007 atau setidaktidaknya pada suatu waktu tertentu pada tahun 20006 s/d tahun 2007, pada saat pembangunan pemeliharaan berkala jalan umum yang menghubungkan wilayah Widodaren sampai dengan Geneng termasuk dalam wilayah Kecamatan Gerih 118 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Kabupaten Ngawi atau setidak-tidaknya pada suatu tempar dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Ngawi yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, “ mereka para terdakwa secara bersama-sama secara melawan hukum telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara", perbuatan mana mereka para terdakwa lakukan dengan cara-cara sebagai berikut : ---------- uraian selengkapnya data putusan -------Perbuatan mereka para terdakwa I dan terdakwa II sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (l) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (l) ke-1 KUHP. Subsidiair : Bahwa mereka para terdakwa I. WASE,SO, ST selaku Direktur Utama PT. Manira Arta Rama (PT. Mataram) berdasarkan atas Akta Notaris Dradjad Uripno, SH Nomor : 15 tanggal 15 Pebruari 2005 tentang Pendirian Perseroan Terbatas (PT) Manira Arta Rama yang beralamatkan di Jalan Mataram Nomor 11 Rt.01/ XI Banyuanyar Surakarta, bersama-sama dengan terdakwa II HANI GUNANTO selaku Pelaksana Lapangan pada PT. Manira Arta Rama (PT Mataram), secara bersama-sama dengan saksi Suparji, BA, E selaku Konsultan Pengawas Lapangan pada CV. Wahana Tata Ngawi (dalan berkas perkara tersendiri) antara kurun waktu pada tahun 2006 s/d tahun 2007 atau setidaktidaknya pada suatu waktu tertentu pada tahun 20006 s/d tahun 2007, pada saat pembangunan pemeliharaan berkala jalan umum yang menghubungkan wilayah Widodaren sampai dengan Geneng termasuk dalam wilayah Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi atau setidak-tidaknya pada suatu tempar dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Ngawi yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, “ mereka para terdakwa secara bersama-sama dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara", perbuatan mana mereka para terdakwa lakukan dengan cara-cara sebagai berikut : ---------- uraian selengkapnya data putusan -------Perbuatan mereka para terdakwa I dan terdakwa II sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (l) ke-1 KUHP. Lebih Subsidiair : Bahwa mereka para terdakwa I. WASE,SO, ST selaku Direktur Utama PT. Manira Arta Rama (PT. Mataram) berdasarkan atas Akta Notaris Dradjad Uripno, SH Nomor : 15 tanggal 15 Pebruari 2005 tentang Pendirian Perseroan Terbatas (PT) Manira Arta Rama yang beralamatkan di Jalan Mataram Nomor 11 Rt.01/ XI Banyuanyar Surakarta, bersama-sama dengan terdakwa II HANI GUNANTO selaku Pelaksana Lapangan pada PT. Manira Arta Rama (PT 119 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Mataram), secara bersama-sama dengan saksi Suparji, BA, E selaku Konsultan Pengawas Lapangan pada CV. Wahana Tata Ngawi (dalan berkas perkara tersendiri) antara kurun waktu pada tahun 2006 s/d tahun 2007 atau setidaktidaknya pada suatu waktu tertentu pada tahun 20006 s/d tahun 2007, pada saat pembangunan pemeliharaan berkala jalan umum yang menghubungkan wilayah Widodaren sampai dengan Geneng termasuk dalam wilayah Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi atau setidak-tidaknya pada suatu tempar dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Ngawi yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, “ mereka para terdakwa secara bersama-sama sebagai pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau menjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang", perbuatan mana mereka para terdakwa lakukan dengan cara-cara sebagai berikut : ---------- uraian selengkapnya data putusan -------Perbuatan mereka para terdakwa I dan terdakwa II sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (l) ke-1 KUHP. TUNTUTAN (Requisitoir) : Menuntut : Supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ngawi, yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : •
Membebaskan mereka para terdakwa dari Dakwan Primair
•
Menyatakan Terdakwa I WASESO, ST dan Terdakwa II HANI GUNANTO tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (l) ke-1 KUHPidana.
•
Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I WASESO, ST dan Terdakwa II HANI GUNANTO dengan pidana penjara masing-masing selama 2 (dua) tahun dengan perintah supaya mereka para terdakwa ditahan, serta Terdakwa I WASESO, ST membayar uang pengganti sbesar Rp 324.178.330,93, dan jika Terdakwa I WASESO, ST tidak membayar Uang Pengganti dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah Putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta benda terdakwa I WASESO, ST disita untuk dilelang. Dan jika harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka Terdakwa I WASESO, ST dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun, dan denda masing-masing sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidiair masing-masing selama 6 (enam) bulan kurungan. 120
Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
•
Menyatakan barang bukti berupa : 36 bendel dokumen masih digunakan dalam pemeriksaan di persidangan an. Terdakwa Suparji, BA.E dan terdakwa Ir. H. Suparyanto, dkk
•
Membebani kepada mereka Terdakwa I WASESO, ST dan Terdakwa II HANI GUNANTO jika ia dipersalahkan dan dijatuhi pidana supaya membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah).
Putusan Pengadilan : Pengadilan Negeri Ngawi Nomor : 57/Pid.B/2009/PN.Ngw tanggal 10 September 2009 Mengadili : •
Menyatakan Terdakwa I WASESO, ST dan Terdakwa II HANI GUNANTO tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan primair.
•
Membebaskan Terdakwa I WASESO, ST dan Terdakwa II HANI GUNANTO dari dakwaan primair tersebut.
•
Menyatakan Terdakwa I WASESO, ST dan Terdakwa II HANI GUNANTO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “korupsi yang dilakukan bersama-sama “
•
Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa I WASESO, ST dan Terdakwa II HANI GUNANTO, masing-masing dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
•
Menjatuhkan pidana denda kepada para terdakwa masing-masing sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan apabila para terdakwa tidak membayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
•
Menyatakan barang bukti berupa : 36 dokumen dikembalikan pada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain
•
Membebankan pula kepada para Terdakwa dibebani membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah).
Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor : 682/PID/2009/PT.SBY tanggal 15 Desember 2009 Mengadili : •
Menerima permintaan banding dari para terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum;
•
Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Ngawi tanggal 10 September 2009, No. 57/Pid.B/2009/PN.Ngw, yang dimintakan banding; 121
Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
•
Membebankan kepada para terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding masingmasing sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah).
ANALISA KASUS : 1) Analisa Dalam Dimensi Hukum Perdata (Privat Law) Untuk menganalisa kasus kontrak kerja konstruksi tersebut dalam dimensi hukum perdata (Privat Law), terlebih dahulu dilakukan deteksi atau analisa terhadap syarat-syarat sahnya perjanjian atas kontrak kerja konstruksi dalam kasus tersebut apakah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPer (BW) yang mana untuk sahnya suatu perjanjian atau kontrak dan dapat mempunyai keonsekwensi hukum berupa munculnya hak dan kewajiban bagi para pihak yang mengadakan hubungan hukum kontraktual, maka harus memenuhi 4 (empat) syarat yaitu : 1) Kata sepakat, 2) Kecakapan para pihak yang berkontrak, 3) Adanya hal tertentu, dan 4) Sebab atau causa yang diperbolehkan. Syarat “kata sepakat” dalam kontrak kerja konstruksi kasus tersebut telah dipenuhi dengan di keluarkannya Penunjukan Pelaksanaan Pekerjaan (Gunning) oleh Pemerintah Kabupaten Ngawi Cq Dinas PU Bina Marga dan Cipta Karya kepada PT. Manira Arta Rama (Mataram) Nomor : 050/1528.07/404.101/2006 tanggal 11 Oktober 2006 untuk melaksanakan Pekerjaan Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng II, yang kemudian disanggupinya pelaksanaan pekerjaan oleh Direktur PT. Manira Arta Rama (Mataram) dengan Surat Kesanggupan Kerja Nomor : 468/Mtr/Pnw/VIII/2006 tanggal 12 Oktober 2006.
122 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Syarat “kecakapan para pihak yang berkontrak” dalam kontrak kerja konstruksi
kasus
ditandatangainya
tersebut kontrak
telah kerja
dipenuhi konstruksi
dengan berupa
dilaksanakan Surat
dan
Perjanjian
Pemborongan (Kontrak) tentang Pelaksanaan Pekerjaan Pemeliharaan Berkala Jalan
Widodaren
Geneng Tahap
tanggal 16 Oktober 2006, antara :
II
Nomor 050/1560.07/404.101/2006
1) Ir. H. Suparyanto, Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) Pembangunan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten Ngawi Tahun 2006, yang bertindak dalam jabatan tersebut Pemerintah Kabupaten Ngawi sebagai Pihak Kesatu,
atas nama
dengan 2) Waseso,
ST, Direktur PT. Manira Arta Rama (PT. Mataram) berdasarkan Akta Notaris Dradjad Uripno, SH Nomor 15 Tanggal 15 Februari 2005 tentang Pendirian Perseroan Terbatas (PT) Manira Arta Rama yang beralamat di Jalan Mataram No 11 RT. 01 RW. XI Banyuanyar Surakarta, sebagai Pihak Kedua.
Para pihak yang melakukan dan menandatangani perjanjian atau kontrak adalah sama-sama orang yang telah dewasa, sehat jasmani dan rohani serta tidak di bawah pengampuan. Selain itu masing-masing pihak mempunyai kapasitas yang diperbolehkan melakukan perjanjian atau kontrak pekerjaan pemborongan pemerintah sebagaimana ketentuan dimaksud Kepres Nomor 80 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2, 3, 17 dan Pasal 31 yaitu pihak pertama sebagai Pengguna Jasa dilakukan oleh Ir. H. Suparyanto selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), sedangkan pihak kedua sebagai Penyedia Jasa dilakukan oleh Waseso, ST selaku Direktur PT. Manira Arta Rama (PT. Mataram) berdasarkan Akta Notaris (Akta Pendirian).
123 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Syarat “adanya hal tertentu” dalam kontrak kerja konstruksi kasus tersebut telah dipenuhi, karena terdapatnya hal tertentu sebagai objek kontrak yang terlihat dalam
Perjanjian Pemborongan (Kontrak) tentang Pelaksanaan
Pekerjaan Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng II Nomor: 050/1560.07/404.101/2006 tanggal 16 Oktober 2006 Pasal 1 mengenai Tugas Pekerjaan yaitu “ Pihak Kesatu memberikan tugas kepada Pihak Kedua, Pihak Kedua menerima tugas tersebut yaitu untuk melaksanakan pekerjaan : Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng II, yang berlokasi di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi dengan baik dalam keadaan selesai seluruhnya sesuai dengan Dokumen Kontrak.” Syarat “sebab atau causa yang diperbolehkan” dalam kontrak kerja konstruksi kasus tersebut telah di penuhi yang terlihat dalam Perjanjian Pemborongan (Kontrak) tentang Pelaksanaan Pekerjaan Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng II Nomor : 050/1560.07/404.101/2006 tanggal 16 Oktober 2006 dimana dari seluruh isi pasal dalam kontrak tersebut baik mengenai sumber pendanaan pekerjaan, dasar pelaksanan pekerjaan, metode pelaksanaan pekerjaan, penyerahan pekerjaan, dan pembayaran pekerjaan menggambarkan terdapatnya sebab atau causa yang tidak terlarang atau diperbolehkan baik oleh perundang-undangan, norma ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Oleh karena kontrak kerja konstruksi dalam kasus tersebut telah memenuhi 4 (empat) syarat sahnya perjanjian sesuai ketentuan Pasal 1320 KUHPer (BW), maka kontrak kerja konstruksi dalam kasus tersebut telah sah sehingga melahirkan sebuah perikatan
berupa terjalinnya hubungan hukum yang
berlaku mengikat antara kedua belah pihak sebagai undang-undang. 124 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Konsekuensi dari sahnya kontrak kerja konstruksi tersebut maka menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak pertama dan pihak kedua. Pihak pertama selaku pengguna jasa konstruksi mempunyai hak
berupa
terbangunnya atau terpasangnya bangunan konstruksi Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng Tahap II sepanjang 6.000 km lebar 4 m dengan spesifikasi teknis baik kuantitas/volume maupun kualitas/mutu bagunan yang sesuai RKS, Asbult Drawing, dan rincian uraian pekerjaan sesuai RAB, yang harus diselesaikan dengan progress pekerjaan 100 % sesuai batas waktu kontrak.
Disamping itu pihak pertama selaku pengguna jasa konstruksi
mempunyai kewajiban berupa membayar harga pekerjaan tersebut kepada pihak kedua selaku penyedia jasa berupa uang sebesar Rp. 1.101.400.000.(satu milyar seratus satu juta empat ratus ribu rupiah) sesuai temyn atau waktu pembayaran dalam kontrak. Pihak kedua selaku penyedia jasa konstruksi mempunyai kewajiban mengerjakan dan membangun bangunan konstruksi Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng Tahap II sepanjang 6.000 km lebar 4 m dengan spesifikasi teknis baik kuantitas/volume maupun kualitas/mutu bagunan yang sesuai RKS, Asbult Drawing, dan rincian uraian pekerjaan sesuai RAB, yang selesai dengan progress pekerjaa 100 % sesuai batas waktu kontrak. Disamping itu pihak kedua selaku penyedia jasa konstruksi mempunyai hak berupa dibayarnya harga pekerjaan tersebut oleh pihak pertama selaku penguna jasa berupa uang sebesar Rp. 1.101.400.000.- (satu milyar seratus satu juta empat ratus ribu rupiah) sesuai termyn atau waktu pembayaran dalam kontrak.
125 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Bahwa setelah pekerjaan konstruksi Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng Tahap II Pemerintah Kabupaten Ngawi TA 2006 sepanjang 6.000 km lebar 4 m tersebut selesai progres 100 % dan dilakukan serah terima pekerjaan baik tahap pertama (STT I/PHO) maupun setelah masa pemeliharaan lalu dilakukan serah terima tahap kedua (STT II/FHO), selanjutnya pekerjaan tersebut oleh Kejaksaan Negeri Ngawi dilakukan penyelidikan dan penyidikan dan hasilnya sesuai alat bukti keterangan saksi-saksi, ahli konstruksi, surat hasil lab dan data/surat fiktif, serta keterangan terdakwa, maka diperoleh kesimpulan bahwa terdapat ketidaksesuaian spesifikasi tekhnik berupa kuantitas/volume pekerjaan hampar Hotmix Aspalt dengan jenis material ATB dan HRS yang kurang dari jumlah volume/kuantitas yang telah disepakati dalam kontrak (final quantity contract) yaitu : -
Kekurangan pekerjaan hampar ATB sebanyak 588,66 ton
-
Kekurangan pekerjaan hampar HRS sebanyak 1.4076 ton.
Dengan adanya ketidaksesuaian spesifikasi tekhnik berupa kekurangan kuantitas (volume) pekerjaan dan material yang terpasang yaitu ATB sebanyak 588,66 ton dan HRS sebanyak 1.4076 ton tersebut, maka tentunya pihak kedua yaitu kontraktor penyedia jasa PT. Manira Arta Rama telah melakukan cidera janji (wanprestasi) kepada Pihak Pertama Pemerintah Kabupaten Ngawi Cq Dinas PU Binamarga dan Cipta Karya, karena ternyata pekerjaan hampar material ATB dan HRS yang dikerjakan Pihak Kedua selaku Penyedia Jasa Konstruksi kurang dari jumlah sesuai yang telah disepakati. Sehingga dalam hal ini telah terjadi pelanggaran kontraktual atau perbuatan melawan perikatan yang dilakukan oleh pihak kedua selaku penyedia jasa atau kontraktor pelaksana pekerjaan konstruksi yang melanggar 126 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
klausul kontrak sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 yang berbunyi “ ….Pihak Kedua menerima tugas tersebut yaitu untuk melaksanakan pekerjaan: Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng II, yang berlokasi di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi dengan baik dalam keadaan selesai seluruhnya sesuai dengan Dokumen Kontrak”, namun dalam kenyatannya setelah pekerjaan selesai dan diserahkan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama pekerjaan tersebut terdapat kekurangan kuantitas pekerjaan hampar Hotmix
HRS sebanyak 174,31 ton dan Hotmix ATB
sebanyak 567,27 ton sesuai dokumen kontrak, sehingga perbuatan Pihak kedua selaku Penyedia Jasa tersebut termasuk cidera janji (wanprestasi) yang masih dalam dimensi hukum perdata (privat law). Konsekuensi hukum dengan terjadinya cidera janji (wanprestasi) yang dilakukan Pihak Kedua mendasar pada Perjanjian Pemborongan (Kontrak) Pelaksanaan Pekerjaan Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng II Nomor : 050/1560.07/404.101/2006 tanggal 16 Oktober 2006, maka Pihak Pertama dapat melakukan gugatan pemenuhan hak (prestasi) sesuai kontrak dan ganti kerugian serta bunga, sedangkan Pihak Kedua wajib memenuhi gugatan Pihak Pertama.
2) Analisa Dalam Dimensi Hukum Pidana Korupsi
Bahwa setelah pelaksanaan kontrak kerja konstruksi tersebut selesai dilakukan serah terima pekerjaan baik tahap I (PHO) dan Tahap II (FHO) atas Pemeliharaan Berkala
Jalan
Widodaren
Geneng Tahap
II Pemerintah
Kabupaten Ngawi TA 2006 sepanjang 6.000 km lebar 4 m sampai Tahap II
127 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
(FHO), Kejaksaan Negeri Ngawi melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pekerjaan konstrksui tersebut, dan hasilnya sesuai alat bukti keterangan saksi-saksi, ahli konstruksi, surat hasil lab dan data fiktif, serta keterangan
terdakwa
maka
diperoleh
kesimpulan
bahwa
terdapat
ketidaksesuaian spesifikasi tekhnik berupa kurangnya kuantitas (volume) pekerjaan berupa hampar Hotmix Aspalt dengan jenis ATB dan HRS dengan kuantitas (volume) yang telah disebapati dalam kontrak (final quantity contract) yaitu : -
Kekurangan pekerjaan hampar ATB sebanyak 588,66 ton
-
Kekurangan pekerjaan hampar HRS sebanyak 1.4076 ton.
Selanjutnya oleh karena pihak kedua dalam menyerahkan progres pekerjaan baik dalam Serah Terima Tahap I (PHO) maupun Serah Terima Tahap II kepada pihak pertama selaku Pengguna Jasa dengan seolah-olah bahwa volume ATB dan HRS yang telah dikerjakan pihak penyedia jasa tersebut telah sesuai spesifikasi kontrak,
maka dalam hal ini telah terjadi tipu
muslihat atau keterangan palsu dengan cara membuat data-data yang dipalsukan (fiktif) terkait bukti pengiriman material hotmix aspalt berupa ATB dan HRS yang kurang, guna melengkapi kekurangan riil volume material yang dibutuhkan sesuai volume kontrak (final quantity contract).
Tindakan penyedia jasa membuat data-data fiktif pengiriman hotmix yang dituangkan dalam bukti pengiriman material berupa ATB dan HRS berupa ticket yang dipalsukan dengan kuantitas (volume) seolah-olah sesuai dengan kontrak,
maka
tindakan
tersebut
sebenarnya
merupakan
formulasi
perbuatan tambahan dengan tujuan untuk mengelabuhi keadaan dari 128 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
kuantitas (volume) uraian pekerjaan hampar ATB dan HPS yang sebenarnya kurang dari volume kontrak, sehingga dengan pembuatan data pengiriman ATB dan HRS atau ticket fiktf tersebut maka seolah-olah kuantitas (volume) pekerjaan hampar ATB dan HRS yang dilakukan Penyedia Jasa telah sesuai dengan jumlah volume/kuantitas yang telah disepakati para pihak dalam dokumen kontrak beserta lampirannya. Bahwa perbuatan dari pihak kedua selaku penyedia jasa konstrksi yang awalnya adalah melakukan cidera janji atau wanprestasi karena melanggar klausula kontrak sesuai Surat Perjanjian Pemborongan (Kontrak) tentang Pelaksanaan Pekerjaan Pemeliharaan Berkala
Jalan
Widodaren
Geneng
Tahap II Nomor 050/1560.07/404.101/2006 tanggal 16 Oktober 2006 beserta lampirannya yakni mengenai ketidaksesuaian kuantitas (volume) material terpasang dalam uraian pekerjaan hampar hotmix jenis ATB yang seharusnya dalam RAB kontrak sejumlah 588,66 ton hanya dihampar 21.39 ton dan hotmix jenis HRS yang seharusnya dalam RAB kontrak sejumlah 1.4076 ton hanya dihampar 1.233,29 ton.
Dalam hal ini jika perbuatan pihak
kedua selaku penyedia jasa konstuksi dalam kasus ini hanya berhenti sampai di sini, maka formulasi perbuatan tersebut hanyalah merupakan bentuk perbuatan wanprestasi atau cidera janji yang melanggar perikatan. Namun oleh karena pihak penyedia jasa konstruksi tersebut kemudian melakukan tindakan berupa perbuatan tambahan dengan tujuan untuk mengelabuhi agar seolah-olah tidak melakukan cidera janji atau wanprestasi dengan cara membuat dukungan data-data pengiriman ATB dan HRS fiktif yang berisi volume uraian pekerjaa seolah-olah telah menghampar HRS dan ATB sesuai volume kontrak, maka dengan formulasi perbuatan tambahan 129 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
yang dilakukan dengan tujuan untuk menutupi/mengelabuhi adanya fakta wanprestai oleh penyedia jasa ini dalam kasus ini bukan lagi merupakan perbuatan melawan perikatan dalam dimensi hukum privat (privat law) berupa cidera janji (wanprestasi), namun perbuatan Penyedia Jasa ini sudah menjadi sebuah tindakan yang bertentangan dengan norma hukum publik (publik law) yang dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk).
Hal ini disebabkan formulasi perbuatan/feit dengan tujuan mengelabuhi dengan cara membuat kebohongan, keterangan palsu/dipalsukan, data fiktif, keadaan palsu/dipalsukan, tipu muslihat, tipu daya/muslihat, dan melakukan penggelapan termasuk dalam perbuatan melawan hukum yang unsur perbuatannya telah diatur dalam ketentuan bebarapa perundang-undangan antara lain : -
Membuat surat palsu (Pasal 263 – 266 KUHP)
-
Membuat catatan atau laporan palsu atau dipalsukan yang merupakan catatan atau laporan untuk pertanggungjawaban yang sebagai obyek pemeriksaan (Pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001)
-
Rangkaian bohong, tipu muslihat, dan tipu daya (Pasal 378 KUHP).
-
Penggelapan (Pasal 372 KUHP).
-
melaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan (Pasal 43 UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstrkusi).
130 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Bahwa pendapat penulis tersebut juga sejalan dengan pendapat yang telah dikemukakan oleh beberapa pakar hukum yang menyebutkan bahwa “…. suatu kontrak kerja konstruksi dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum (wedderechtelijkeheids),
jika perbuatan tersebut bukan disebabkan
faktor-faktor natural (Acts of God) yang lazim disebut force majeur, tetapi karena human error, terjadi karena adanya kehendak jahat atau mens rea sebelum atau sesudah adanya kontrak kerja konstruksi.”92 Menurut Muladi perbuatan tersebut harus mengandung elemen-elemen yang bernuansa : kecurangan
(deceit),
manipulasi,
penyesatan
(misrepresentation),
penyembunyian kenyataan (concealment of facts), pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau pengelakan peraturan (illegal circumvention).
93
Selanjuntya karena formulasi perbuatan tambahan yang dilakukan pihak kedua selaku penyedia jasa terkait dengan pelaksanaan pekerjaan Pemeliharaan Berkala Jalan Widodaren Geneng Tahap II Pemerintah Kabupaten Ngawi TA 2006 yang sumber danaya sebesar Rp. 1.101.400.000.- (satu milyar seratus satu juta empat ratus ribu rupiah) adalah berasal dari Anggaran Proyek Dana Alokasi Umum Pemerintah Kabupaten Ngawi TA. 2006, yang termasuk dalam limitasi Keuangan Negara menurut Penjelasan UU No 31 Tahun 1999 dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka perbuatan melawan hukum yang dilakukan pihak kedua selaku Penyedia Jasa tersebut bukanlah 92
Marwan Effendy, Korupsi dan Pencegahan, Timpani Publishing, Cetakan Pertama, Jakarta, Juni 2010, h. 102 93
Muladi, “Konsep Total Enforcement Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi", Makalah dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh kerjasama Lemhanas dengan Asosiasi DPRD Kota dan Kabupaten se-lndonesia (ADEKSI & ADKASI), Jakarta,8 Desember 2005, h. 12, dalam bukunya Marwan Effendy, Korupsi dan Pencegahan, Timpani Publishing, Cetakan Pertama, Jakarta, Juni 2010, h. 102.
131 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
merupakan perbuatan melawan hukum biasa yang bersifat umum dan termasuk dalam Pidana Umum (Pasal 263, 266, 372, 378, atau Pasal 43 UU No. 18 tahun 1999), namun termasuk perbuatan melawan hukum khusus yang sesuai asas hukum lex specialis derogat legi generali merupakan melawan hukum (wedderechtelijk) dalam tindak pidana korupsi, yang formulasi unsur-unsur perbuatan/feit dan sanksinya sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sebagai berikut:
Setiap orang ;
yang secara melawan hukum ;
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ;
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara ;
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Jika melihat mekanisme dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi mendasar pada ketententuan Undang-Undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Keperes No 80 Tahun 2003 maupun perubahannya Perpres No. 54 Tahun 2010, maka tentu saja sejak Penyedia Jasa menandatangani kontrak kerja konstruksi dan mulai melaksanakan pekerjaan konstuksi setiap hari diawasi dan diperiksa hasil pekerjannya oleh Konsultan Pengawas yang ditetapkan pihak Pengguna Jasa yaitu Pejabat Pembuat Komitmen, agar pekerjaan Penyedia Jasa sesuai dengan spesifikasi kontrak baik disain, kuantitas, maupun kualitas pekerjaan konstruksinya. Selanjutnya setiap 132 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
minggu Penyedia Jasa membuat laporan mingguan yang berisi kegiatan dan progres pekerjaan setiap harinya, yang untuk itu juga ditandatangani oleh Konsultan Pengawas dan Pejabat Pembuat Komitmen sebagai bentuk laporan progres pekerjaan yang sesuai dengan kenyataan progres pekerjaan di lapangan sampai dengan laporan minggu terakhir yang menunjukkan bahwa progres pekerjaan telah selesai mencapai 100% baik disain, kuantitas dan kualitas pekerjaan konstruksi yang terpasang. Selain mekanisme pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi oleh Konsultan Pengawas, maka setelah pekerjaan selesai 100% pihak Pengguna Jasa dalam hal ini Pejabat Pembuat Komitmen memerintahkan kepada Pemeriksa Hasil Pekerjaan untuk memeriksa hasil pekerjaan yang telah dinyatakan selesai oleh Penyedia Jasa dan telah diperiksa oleh Konsultan Pengawas apakah telah benar-benar selesai mencapai progres pekerjaan 100% sesuai spesifikasi kontrak baik disain, kuantitas dan kualitas pekerjaan yang terpasang. Selanjutnya jika benar-benar pekerjaan tersebut telah selesai mencapai progres 100%, lalu dilakukan Serah Terima Pekerjaan Tahap Pertama (STT I / PHO) antara pihak Penyedia Jasa dengan pihak Pengguna Jasa yang dalam hal ini dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen selaku para pihak yang menandatangani kontrak kerja konstruksi. Jika melihat mekanisme sebagaimana tersebut di atas, maka logikanya sangatlah sulit bagi Penyedia Jasa untuk melakukan kecurangan dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi yang dibangunnya sehingga menyimpang dari ketentuan spesifikasi kontrak. Hal ini karena ada Konsultan Pengawas yang memang mempuyai kapasitas keteknikan dan keahlian dibidang konstruksi yang mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi dan memeriksa 133 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
progres pekerjaan setiap harinya sampai dengan selesainya pekerjaan sesuai waktu yang disepakati dalam kontrak. Selain itu masih ada Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan dari pihak Pengguna Jasa yang ditunjuk untuk memeriksa kembali hasil pekerjaan yang telah diawasi Konsultan Pengawas sehingga benar-benar telah selesai progres pekerjaannya 100%. Sehingga jika terjadi kecurangan dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi terpasang yang tidak sesuai spesifikasi kontrak baik disain, kuantitas dan kualitasnya, selanjutnya dilaporkan dalam progres pekerjaan laporan mingguan atau bulanan seolah-olah telah sesuai dengan kenyataan progres di lapangan, maka besar dugaan kecurangan ini dapat terjadi karena adanya konspirasi antara pihak Penyedia Jasa dengan pihak Konsultan Pengawas yang melakukan kecurangan dan membuat laporan progres pekerjaan konstruksi dengan cara tidak benar, bohong, tipu daya, palsu atau fiktif. Sehingga dalam hal ini pihak Penyedia Jasa dan juga Konsultan Pengawas telah melakukan kesalahan dan patut mempertanggungjawabkan perbuatannya. Demikian juga dengan mekanisme penerimaan hasil pekerjaan oleh pihak Pengguna Jasa yang dilakukan oleh Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan, dimana panitia ini melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya memeriksa pekerjaan hanya pada akhir pekerjaan, tidak seperti Konsultan Pengawas yang mulai memeriksa pekerjaan sejak awal sampai akhir, maka jika Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan ini hanya bisa memeriksa secara visual hasil pekerjaan konstruksi yang telah selesai terpasang, tanpa mengetahui kuantitas (volume) pekerjaan yang tidak nampak secara visual (karena tertanam) misalnya ternyata terdapat kekurangan kuantitas material tertanam yang dilakukan oleh Penyedia Jasa dan diketahui Konsultan Pengawas, namun seolah-olah 134 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dilaporkan kepada Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan telah sesuai seluruh kuantitas (volume) pekerjaan sesuai kontrak telah selesai 100%, maka dalam hal
ini
Panitia
Pemeriksa
Hasil
Pekerjaan
tidak
dapat
dibebani
pertanggungjawaban kesalahan bersama-sama dengan Penyedia Jasa dan Konsultan Pengawas. Namun jika dalam hal lain Panitia Pemeriksa Hasil Pelerjaan juga berkonspirasi mengetahui kecurangan Penyedia Jasa yang tidak memasang kuantitas (volume) pekerjaan sehingga
kurang atau tidak sesuai dengan
spesifikasi kontrak, maka dalam hal ini Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan juga telah melakukan kesalahan yang mempunyai beban pertanggungjawaban pidana. Demikian juga dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang menerima hasil pekerjaan konstruksi dari Penyedia Jasa konstruksi, baik pada serah terima pekerjaan tahap pertama (STT I / PHO) atau kedua (STT II/FHO), maka jika PPK benar-benar tidak melakukan konspirasi atau tidak mengetahui perbuatan Penyedia Jasa, Konsultan Pengawas, atau Pemeriksa Hasil Pekerjaan, maka PPK dalam hal ini tidak melakukan kesalahan yang mempunyai beban pertanggungjawaban pidana. Namun jika PPK juga terlibat ikut melakukan konspirasi atau minimal mengetahui kecurangan yang dilakukan Penyedia Jasa bersama Konsultan Pengawas atau Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan, maka PPK juga melakukan kesalahan yang mempunyai beban pertanggunjawaban pidana.
Dengan adanya peran perbuatan pihak Penyedia Jasa, Konsultan Pengawas, Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan dan atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) 135 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
yang
bersama-sama
melakukan
konspirasi
kecurangan
terhadap
ketidaksesuaian / kekurangan dengan spesifiksi kontrak baik disain, kuantitas, maupun kualitas pekerjaan konstruksi, maka konstruksi hukum atas konspirasi perbuatan mereka ini adalah : perbuatan melawan hukum (wedderechtelijk) yang dilakukan bersama-sama (melakukan penyertaan perbuatan pidana / deelneming), yang rumusan unsur-unsur deliknya terdapat dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHPidana sebagai berikut : Dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Namun tidak semua pihak yang terlibat dalam konspirasi pelaksanaan kontrak kerja konstruksi yang secara sengaja atau mengetahui tidak sesuainya / kekurangan disain, kuantitas, maupun kualitas konstruksi yang terpasang adalah mempunyai beban pertanggungjawaban pidana dengan kualifikasi delik yang sama. Hal ini disebabkan kedudukan Penyedia Jasa sebagai pelaku (plager) sedangkan Konsultan Pengawas berkedudukan sebagai pelaku peserta (medeplager) yang melakukan kecurangan untuk mengurangi spesifikasi kontrak baik berupa disain, kuantitas maupun kualitas material konstruksi yang terpasang, selanjutnya untuk menutupi kekurangan spesifikasi kontrak kontruksi ini dibuatlah pertanggungjawaban berupa laporan atau data yang dipalsukan, dusta, fiktif atau tidak benar,
maka dalam hal ini formulasi
perbuatan Penyedia Jasa bersama Konsultan Pengawas adalah memenuhi rumusan unsur : sebagai orang melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara, unsur-unsur mana sebagaimana terdapat dalam 136 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Sedangkan kedudukan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan adalah sebagai pejabat pemerintahan atau aparatur negara
yang
diberikan
kewenangan
untuk
menjalankan
tugas
dan
tanggungjawabnya yang mempunyai tujuan tertentu. Sehingga PPK bersama Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan ikut serta melakukan konspirasi bersama yang sebenarnya mengetahui namun dengan tidak melakukan koreksi atau pembenahan terhadap kekurangan spesifikasi pekerjaan konstruksi yang dikerjakan Penyedia Jasa dan diawasi Konsultan Pengawas, selanjutnya Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan bersama PPK memeriksa dan menerima hasil pekerjaan konstruksi pada saat serah terima pekerjaan tahap pertama (STT I/PHO) atau kedua (STT II/FHO) seolah-olah telah sesuai dengan spesifikasi kontrak baik disain, kuantitas, maupun kualitas pekerjaan konstruksi terpasang,
maka dalam hal ini formulasi perbuatan Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) bersama Panitia Penerima Hasil Pekerjaan adalah memenuhi rumusan unsur : sebagai orang melakukan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukan atau jabatan, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara, unsur-unsur mana sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
137 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Selanjutnya jika terhadap dampak perbuatan Penyedia Jasa dalam studi kasus tersebut yang mengurangi sepesifikasi kuantitas (volume) pekerjaan hampar ATB dan HRS yang tidak sesuai dengan Gambar Perencanaan (Asbult Drawing), Rencana Kerja Dan Syarat-syarat (RKS) dan Rencana Anggaran Belanja (RAB) kontrak adalah telah melanggar ketentuan keteknikan yang ditetapkan dan mengakibat-kan kegagalan konstruksi atau kegagalan bangunan yang mana rumusan serupa itu jika mendasar pada ketentuan Undang-Undang Jasa Konstrkusi adalah perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 43 atau melawan hukum dalam jasa konstruksi, namun sesuai asas hukum lex specialis derogat legi generali formulasi perbuatan/feit yang sama dari penyedia jasa konstruksi (pemborong) tersebut diserap (absorpsi) oleh ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi, yaitu melanggar ketentuan Pasal 7 Ayat (1) a UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi, dengan unsur-unsur sebagai berikut : Pemborong atau ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)
138 Tesis
PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI YANG BERIMPLIKASI PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Prasetya Raharja