AKAR KETERPURUKAN INDONESIA Sritua Arief/ Adi Sasono Editor: Achmad Rofi’ie 1. PROSES PEMBANGUNAN YANG PINCANG Dinamika pembangunan ekonomi Indonesia selama ini, telah menghasilkan pertumbuhan tinggi untuk sekelompok kecil orang, kemiskinan untuk banyak orang, dan ketergantungan untuk seluruh masyarakat. Pertumbuhan tinggi yang dinikmati sekelompok kecil orang tersebut merupakan pertumbuhan dengan ketergantungan yang sangat kental. Di sisi lain, kemiskinan yang diderita banyak orang merupakan produk dan ketergantungan, diikuti proses pertukaran yang sama sekali tidak adil dan pencangkokan sistem produksi asing, diiringi model hubungan sosial yang menyingkirkan mereka dan sistem produksi yang bertahun-tahun telah mereka lakukan untuk mencari nafkah. Proses tersingkirnya banyak orang dan sistem produksi tersebut diperparah lagi dengan penerapan sistem produksi baru yang tidak pro-buruh. Sistem baru ini bersifat padat modal dan merupakan hasil pengembangan teknologi untuk menggantikan peran buruh. Pada dasarnya proses substitusi yang dilakukan untuk mengurangi komponen buruh dalam sistem produksi merupakan sistem sosial negara maju yang tidak memiliki surplus tenaga kerja di sektor pertanian tempat proses transformasi mulai digerakkan. Proses industrialisasi dengan dinamika sistem produksi seperti ini, dan dalam konteks tidak adanya surplus tenaga kerja di sektor pertanian, bukan hanya menimbulkan naiknya produktiviias per pekerja di sektor pertanian, tetapi juga naiknya produktivitas per pekerja di sektor industri dan non-pertanian secara keseluruhan. Proses transformasi tersebut telah mengakibatkan penyerahan secara bulat-bulat penentuan alokasi berbagai sumber daya pada kekuatan pasar atau invisible hand, sehingga proses transformasi telah mengakibatkan biaya sosial yang sangat tinggi. Pelaksanaan proses industrialisasi dengan sistem produksi yang tidak pro-buruh, sementara terdapat surplus tenaga kerja yang berlimpah, ditambah adanya berbagai kelemahan struktural dalam sistem sosial, jelas bukan alternatif yang tepat untuk membangun masyarakat. Sebaliknya, proses ini akan mengganggu keseimbangan yang ada dalam industri rakyat, bahkan telah menghancurkannya secara cepat. Dalam hubungan ini, menarik untuk disimak pendapat Profesor Joan Robinson, ekonom Inggris, yang pada tahun belakangan ini telah tampil memperkuat barisan pemikir ekonomi pembangunan yang berpijak atas realitas sosial yang ada di negara Dunia Ketiga. Joan Robinson mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: "Bagi negara Dunia Ketiga, upaya
kemiskinan melalui proses industrialisasi berdasarkan pola Barat adalah pilihan yang sama sekali salah. Betul bahwa negara Dunia Ketiga membutuhkan akumulasi surplus tetapi hendaknya mengarahkan akumulasi yang diinginkan dalam bentuk yang sesuai dengan situasi mereka sendiri” .
Pemikiran Robinson yang juga merupakan pemikiran para ekonom strukturalis dan Dunia Ketiga secara prinsip menolak tegas faham neoklasik, namun proses industrialisasi di Indonesia ternyata masih menuruti dengan setia ajaran Barat yang terbukti telah menyesatkan perjalanan
pembangunan. Kita menyaksikan secara kasat mata, proses industrialisasi di Indonesia merupakan proses berdasarkan pola Barat yang sama sekali tidak berlandaskan realitas sosial yang ada di Indonesia. Akibatnya, Indonesia telah terperangkap dalam situasi keterasingan dan kehidupan rakyatnya, baik ditinjau dan sisi penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan hidup mereka yang kian sulit, maupun dari segi penyebaran ketrampilan yang dapat menimbulkan mobilitas sosial. Dalam proses pembinaan dan perluasan enklaf baru di Indonesia tersebut, pembangunan Indonesia pada hakekatnya adalah proses ekonomi lanjutan dari proses yang sudah dirintis oleh pemerintahan kolonial Belanda melalui pelaksanaan tanam paksa (cultuurstelsel) dan pengerahan modal swasta Belanda dan asing lainnya di sektor perkebunan komoditi primer dan pertambangan yang merupakan bentuk enklaf semasa penjajahan Belanda. Ironisnya, pada tahap “penjajahan lanjutan" ini justru dipelopori dan dimantapkan oleh bangsa tndonesia sendiri. Karenanya, sejarah ekonomi Indonesia sampai saat ini dapat dikatakan sebagai sejarah pertumbuhan sektor enklaf, bukan sejarah pertumbuhan ekonomi massa rakyat. Berbagai strategi dan rangkaian kebijaksanaan ekonomi yang dirumuskan dan diterapkan justru makin memperkuat keseluruhan sektor enklaf tersebut. Karena seluruh sektor enklai berorientasi ke luar negeri, baik ditinjau dan sudut input maupun permintaan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka sebagian besar proyek pembangunan dikonsentrasikan ke sektor enklaf ini. Selain itu, kebutuhan untuk menumbuhkan sektor enklaf tersebut ditempuh dengan cara pembiayaan asing, baik secara langsung maupun berupa pinjaman luar negeri, untuk membiayai infrastruktur guna memudahkan dan menopang pertumbuhan sektor-sektor tersebut. Walhasil, fenomena pembangunan Indonesia tidak ubahnya seperti yang dialaml oleh negaranegara Amerika Latin, yaitu: 1. Disparitas pendapaian antara sektor modern (padat modal) dan pertanian (padat karya) semakin lebar. Ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan pun semakin parah bersamaan dengan tersisihnya sebagian besan rakyat dari proses pembangunan. 2. Karena sistem produksi di sektor enklaf dijadikan leading sectors dan bersifat padat modal, maka surplus tenaga kerja yang terdapat di sektor pertanian tradisional tidak dapat ditampung secara signifikan di sekior modern, terlebih lagi diperparah dengan deretan kemaiian berbagai industri rakyat. 3. Porsi nilai tambah sektor peftanian dalam produk Domestik Bruto atau Produk Nasional Bruto yang kemudian menurun tidak dapat dikatakan sebagai pertanda berlangsungnya transformasi dalam struktur ekonomi, karena situasi tersebut tidak diikuti dengan mobilitas sosial para pekerja yang ditampung di sektor industri. Mereka padi hakekatnya ditampung dalam pasar tenaga kerja sekunder, yaitu pasar tenaga kerja dengan upah rendah, ketrampilan rendah dan prospek karier yang tidak jelas. Hal ini sejajar dengan salah satu motif masuknya modal asing ke Indonesia, yaitu memperoleh buruh murah 4. Peranan pembiayaan luar negeri, baik berupa modal asing untuk tujuan investasi langsung maupun pinjaman luar negeri, bertujuan menutupi foreign exchange gap yang didasarkan pada two gap model yang disodorkan beberapa ekonom Barat. Dalam hal ini seluruh modal luar negeri berfungsi membiayai surplus impor dalam perkiraan sedang berjalan ( current account) dan neraca pembayaran. Dalam situasi peranan tersebut, Indonesia telah membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pihak asing untuk melaksanakan operasi
monopoly price, yaitu penentuan harga secara sepihak sehingga defisit dalam perkiraan
sedang bejalan dan neraca pembayaran berlangsung terus-rnenerus yang mengakibatkan perlunya Indonesia unluk rnenambah hutang secara terus menerus pula. 5. Dalam periode 1970-I977 saja, setiap US$ 1 modal asing yang masuk untuk tujuan investasi langsung ternyata telah diikuii dengan US$ 2.71 yang keluar, berupa keuntungan yang diangkut dan lndonesia. Saat ini perhitungan arus keluar menjadi jauh berlipat-ganda sehingga membuat neraca pembayaran negara Indonesia benar-benar tidak berdaya. 6. Nilai pinjaman luar negeri bersih secara terus-menerus telah menurun kemampuannya untuk membiayai impor barang dan jasa. Kemampuan impor yang diukur dengan membandingkan nilai pinjaman luar negeri bersih dengan nilai impor barang dan jasa telah turun sebesar 24 persen pada tahun I970-197I menjadi 7% persen pada tahun 1978-1979. Diramalkan, persetase ini akan selalu menurun tiap tahunnya sehingga Indonesia harus melakukan pinjaman luar negeri untuk membiayai surplus, sehingga Indonesia masuk dalam perangkap hutang 7. Cadangan devisa yang terkumpul ternyata bukan sepenuhnya sebagai akibat dari naiknya nilai ekspor. Kita buktikan bahwa kenaikan harga minyak ternyata tidak mampu menekan defisit neraca sedang berjalan pada saat kenaikan cadangan devisa terjadi dan juga dalam perkiraan modal pemasukan investasi bersih setelah menghitung pendapatan investasi yang ditarik keluar dari Indonesia secara keseluruhan. Hal ini berarti bahwa sebagian dari cadangan devisa tersebut adalah komponen hutang, yang kebanyakan terdiri dan hutang komersial sehingga cadangan devisa yang relatif tinggi sebenarnya tidak menggambarkan prestasi ekonomi dalam negeri, bahkan justru menimbulkan biaya tinggi dalam perekonomian Indonesia. Dinamika pembangunan ekonomi yang menimbulkan proses pemiskinan massa rakyat bukan karena tidak berfungsinya sistem ekonomi yang ada, tetapi justru merupakan ciri utama dari sistem ekonomi yang ada dan bekerjanya sistem tersebut. Hal ini seiring dengan pendapat Profesor Kurien mengenai pembangunan India, yakni: "Penelitian atas dinamika pembangunan
ekonomi telah menunjukkan bagaimana kemiskinan telah menjadi komponen yang melembaga dalam sistem ekonomi dan bagaimana bekerjanya system tersebut, yang tidak hanya memperbesar ketidakmerataan pendapatan, tetapi juga menciptakan kepincangan baru secara terus menerus dan bahkan mempersuburnya". 2. ALIANSI PENJERUMUS
Penciptaan kondisi ketergantungan dan keterbelakangan Indonesia merupakan buah karya antara peranan negara asing dan para kolaborator dalam negeri. Para kolaborator tersebut, sadar atau tidak, telah membentuk aliansi sesama mereka dalam melaksanakan pengalihan surplus ekonomi dan massa rakyat Indonesia ke pihak asing. Golongan dan kelas dalam struktur masyarakat Indonesia yang merupakan komponen dalam proses interaksi dalam sistem ekonomi Indonesia adalah: (1) pemilik tanah; (2) petani menengah dan kaya; (3) golongan miskin desa; (4) borjuasi industri domestik; (5) kapitalis dagang; (6) borjuasi kecil; (7) golongan miskin kota; (B) birokrat dan penguasa; dan (9) kapitalis asing. Di Indonesia dipercayai telah terbentuk beberapa model aliansi sebagai berikut: 1. Aliansi antara pemilik tanah, petani sedang dan kaya, kapitalis dagang, birokrat dan penguasa, dan kapitalis asing
Aliansi terbentuk dalam membawa dan menerapkan teknologi padat modal dan padat input (selain tenaga kerja) ke sektor pertanian tradisional. Kapitalis asing memerlukan birokrat dan penguasa untuk membuat keputusan bagi masuknya teknologi dan perlengkapannya ke sektor pertanian tradisional. Kapitalis dagang mendatangkan dan mendistribusikannya berbagai mesin, alat pertanian dan input pertanian. Pemilik tanah, petani sedang dan kaya menjadi pelaksana langsung atau tidak langsung proses produksi di sektor pertanian tradisional dengan menggunakan teknologi tersebut. 2. Aliansi antara kapitalis asing, birokrat dan penguasa, borjuasi industri domestik, kapitalis dagang, dan borjuasi kecil. Kapitalis asing memerlukan birokrat dan penguasa untuk memperoleh izin masuk mendirikan industri, baik dengan penguasaan penuh atau patungan dengan borjuasi industri domestik. Banyak kejadian, pihak kapitalis asing memerlukan oknum birokrat atau penguasa yang dekat dengan mereka duduk dalam badan usaha yang mereka dirikan di Indonesia, sehingga aliansi antara kapitalis asing dengan birokrat dan penguasa menjadi aliansi yang awet. Golongan kapitalis dagang dan borjuasi kecil yang menguasai jaringan distribusi merupakan mitra pihak kapitalis asing tersebut dalam memasarkan barang-barang yang mereka produksi. 3. Aliansi antara borjuasi industri domestik, pemilik tanah, petani sedang dan kaya, dan birokrat dan penguasa Borjuasi industri domestik berterima kasih kepada pemilik tanah, petani sedang dan kaya, dan birokrat dan penguasa atas jasa-jasa mereki menyingkirkan banyak orang dan sistem produksi di sektor pertanian tradisional. Mereka yang tersingkir menjadi proletar desa yang kemudian menjadi sumber buruh murah untuk industri di sektor modern. Sementara itu, pemilik tanah, petani sedang dan kaya dan birokrat serta penguasa adalah golongan yang menyediakan pasaran utama untuk barang-barang yang diproduksi borjuasi industri domestik tersebut. Di sini borjuasi kecil turut memegang peranan dalam distribusi. 4. Aliansi antara kapitalis asing, pemilik tanah, petani sedang dan kaya, dan birokrat dan penguasa Kapitalis asing juga berterima kasih kepada pemilik tanah, petani sedang dan kaya, dan birokrat dan penguasa atas jasa mereka dalam melahirkan golongan proletariat desa sebagai sumber buruh murah. Selain itu, golongan ini pulalah yang menjadi pembeli utama barang-barang produksi mereka. 5. Aliansi antara borjuasi industri domestik, kapitalis dagang, borjuasi kecil, dan birokrat dan penguasa Borjuasi industri domestik memerlukan kapitalis dagang untuk memasarkan barangbarang mereka. Banyak kejadian borjuasi industri domestik tersebut adalah juga golongan kapitalis dagang yang semula bergerak dalam bidang impor. Borjuasi kecil yang terdiri dari pedagang antara juga turut menjadi pihak yang melakukan kegiatan distribusi, baik sebagai agen kapitalis dagang maupun secara lepas. Banyak birokrat dan penguasa selain membantu perizinan dan fasilitas juga menjadi peserta dalam unit industri yang dikuasai oleh borjuasi industri domestik sehingga masa aliansi mereka menjadi panjang.
6. Aliansi antara birokrat dan penguasa dengan kapitalis dagang, dan borjuasi industri domestik Para birokrat dan penguasa banyak memperoleh manfaat ekonomi, sebagai akibat dan berbagai transaksi dalam proses, ekonomi yang harus diraksanakan melalui pemerintah. Manfaat ekonomi yang berbentuk modal yang terkumpul telah mendorong mereka menggalang kerjasama dengan pihak kapitalis dagang dan borjuasi industri domestik untuk memutarkan modal yang terkumpul tersebut dalam bentuk berbagai usaha. Karena itulah kemudian muncul kelas birokrat-pengusaha dan penguasa pengusaha. Dalam melakukan aliansi tersebut, para birokrat dan penguasa, baik secara terbuka atau tersembunyi, memilih mitra yang pada umumnya terdiri dari pengusaha dari golongan nonpribumi sehingga apa yang populer di Indonesia dengan istilah percukongan menjadi tumbuh subur dan meluas kemana-mana. Situasi aliansi dengan pelayanan yang relatif lebih baik terhadap golongan non-pribumi oleh birokrat dan penguasa dipercayai telah menempatkan golongan ini pada posisi yang jauh lebih baik di keseluruhan sektor swasta dalam sektor modern, seperti industri, perdagangan, impor-ekspor, jasa keuangan, pengangkutan dan konstruksi. Fenomena ini sekaligus mencerminkan bahwa kedudukan dan kesempatan yang diberikan pemerintah kolonial Belanda pada zaman penjajahan dahulu secara lebih luas mereka nikmati kembali sesudah Indonesia merdeka, justru pada saat golongan pribumi memegang kekuasaan polilik. Semeniara golongan non-pribumi, sadar atau tidak, telah ditempatkan oleh pihak penguasa dalam posisi yang rawan. Mereka telah menjadi elit minoritas dalam mayoritas masyarakat miskin, sehingga mereka akan menjadi sasaran utama jika timbul kerusuhan sosial sebagai akibat kemelaratan rakyat. Dalam kaitan ini, golongan non-pribumi mudah menjadi korban dan suatu social fabic yang dibuat oleh penguasa sebagai actor Pembangunan. Karenanya jika seringkali didengungkan kritik yang menganjurkan agar kekuasaan ekonomi di sektor swasta harus diusahakan berada di tangan golongan pribumi dengan proses yang wajar, tanpa mengganggu upaya dan keuletan golongan non-pribumi, maka pada dasarnya upaya tersebut juga sekaligus untuk "melindungi" golongan non-pribumi dari serbuan amuk massa. Kedua golongan tersebut akan "menyatu" dalam gerak dinamika pembangunan. 3. DISTORSI KEHIDUPAN EKONOMI Hadirnya birokrat dan penguasa sebagai komponen dalam berbagai aliansi telah mendorong kehidupan ekonomi yang mengandung distorsi. Dipercayai, distorsi ini akan mengganggu kewajaran yang bersifat destruktif terhadap keseluruhan sistem ekonomi dan prosesnya. Dalam kaitan ini Sritua Arief mengemukakan: "Berbarengan dengan proses pertumbuhan ekonomi
yang bersifat sektor "modern sentris" dan "kota sentris" maka proses pertumbuhan juga diwarnai oleh pola tingkah laku penguasa dan keseluruhan birokrasi pemerintah yang tidak wajar sehingga menimbulkan distorsi dalam proses ekonomi.”
Distorsi dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Penghisapan parasitis atas sumber-sumber nasional oleh pihak-pihak dan pusat kekuasaan dan keseluruhan birokrasi pemeriniah dan perusahaan negara. Penghisapan tersebut mengakibatkan beban nasional yang berat yang harus ditanggung oleh massa rakyat. Pergeseran pendapatan yang anti-sosial yang terjadi sebagai akibat penghisapan
parasitis sumber nasional oleh kelompok orang dalam pemerintahan dan perusahaan Negara dipercayai telah turut menjadi salah satu penyebab utama kenaikan berbagai barang yang diperlukan rakyat. 2. Proses monopolisasi kesempatan dan fasilitas yang dilakukan oleh kelompok pengusaha swasta berkolaborasi dengan orang-orang dan pusat kekuasaan dari birokrasi pemerinlah. Fenomena ini kemudian menimbulkan pula pemberian berbagai dispensasi dan perlakuan istimewa bagi perusahaan yang terbentuk dari hasil kolaborasi tersebut, sehingga kompetisi menjadi tidak sehat. Inilah biang keladi dari proses akumulasi manfaat ekonomi yang hanya jatuh pada segelintir orang saja. 3. Berbagai keputusan teknokratis yang rasional untuk kepentingan ekonomi nasional seringkaii tidak menjadi kenyataan, karena dalam praktek bermain suatu proses yang secara efektif dapat menimbulkan berbagai penyimpangan. Peristiwa pembangunan seperti ini menciptakan situasi chaotiq yaitu kepentingan ekonomi nasional sudah diputuskan dengan apa yang sebenarnya terjadi. 4. Sebagai akibat dari manajemen ekonomi yang chaotic tersebut maka skala prioritas dalam penjurusan investasi dalam situasi keterbatasan dana investasi menjadi tidak menentu, apalagi kalau kita gunakan aspek kesempatan kerja dan suatu investasi yang telah dijalankan sebagai ukuran. Efek destruktif yang ditimbulkan oleh pola tingkah laku golongan birokrat dan penguasa tidak pernah secara serius dikemukakan dalam laporan Bank Dunia maupun IMF, karena kedua badan tersebut mungkin merasa bahwa pembeberan masalah dan melakukan tekanan untuk mengoreksinya akan mengganggu keseimbangan dalam aliansi yang ada. Terlebih lagi jika aliansi tersebut sudah memberikan manfaat kepada kaum kapitalis asing, yang secara langsung atau tidak, merupakan golongan yang mendukung eksistensi dan kelanjutan operasi kedua badan tersebut. 4. STRATEGI ALTERNATIF Proses ekonomi Indonesia dapat juga diterangkan dengan model sirkuit yang diperkenalkan oleh Kurien. Model ini membagi sistem ekonomi dalam dua sistem, yaitu Sistem Ekonomi Kebutuhan (Need-Based Economy) dan Sistem Ekonomi Kemauan (Want-Based Economy). Interaksi sistem ini membentuk inti proses ekonomi di sebagian besar negara Dunia Ketiga yang telah menyebabkan keterbelakangan dan kemiskinan sebagian besar penduduk. Sistem ekonomi kebutuhan adalah sistem ekonomi pedalaman dengan ciri utama, yaitu proses ekonomi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia. Pada permulaan sejarah perkembangannya, sistem ekonomi kebutuhan bergerak mengikuti dinamikanya sendiri. Surplus yang diperoleh tidak digunakan untuk mengakumulasi surplus yang lebih banyak pada periode produksi berikutnya. Surplus yang diperoleh, yang umumnya sebagian besar pada awalnya jatuh ke kelas penguasa feodal sebagai akibat penguasaan tanah dan pembayaran upeti, digunakan untuk membiayai kelompok di sekitar kelas penguasa feodal, membiayai produksi barang mewah untuk keperluan kelas penguasa feodal dan membiayai pembinaan serta pemeliharaan harta tidak produktif seperti monumen dan istana. Satu-satunya harta produktif yang dibiayai surplus adalah sistem irigasi perdesaan. Karena seluruh penggunaan surplus mengandung proses padat karya maka surplus yang diperoleh kelas penguasa feodal beralih ke massa rakyat.
Secara meluas telah diketahui bahwa proses pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak pemerintahan pasca 1966 pada hakekatnya bersifat pertumbuhan dengan ketergantungan, diiringi dengan proses pemiskinan massal, mengandung implikasi bagi perlunya strategi alternatif untuk memutar proses yang berlangsung menuju ke jenis pertumbuhan yang otonom. Strategi dimaksud hendaknya diselenggarakan berdasarkan realitas sosial yang ada, sehingga proses penyingkiran massa rakyat dan sistem produksi tidak terjadi dan bersamaan dengannya proses akumulasi yang berjalan tidak akan mengalihkan begitu banyak surplus ekonomi ke luar negeri. Strategi alternatif tersebut akan langsung menunjukkan perhatian pada akar persoalan, yaitu struktur ekonomi itu sendiri, proses bekerjanya struktur ekonomi dan struktur sosial serta proses interaksi sosial yang mengiringinya sehingga strategi alternatif akan menjadi strategi pilihan untuk melaksanakan transformasi sosial, karena inilah esensi dan pembangunan ekonomi. Strategi alternatif tidak anti pertumbuhan, tetapi anti kepada pertumbuhan yang didasarkan pada prioritas yang salah. Strategi alternatif harus memberikan prioritas utama untuk menaikkan dan mendinamiskan permintaan efektif di dalam negeri dan bukan permintaan efektif pihak luar negeri. Strategi alternatif tidak anti hubungan ekonomi dengan luar negeri, tetapi anti kepada hubungan yang membelenggu, dengan ketergantungan karena sifat hubungan seperti ini dalam jangka panjang akan menimbulkan pengaruh negatif pada kehidupan sosial ekonomi yang tidak baik kepada sernua pihak. Kebudayaan dunia harus menuju pada tata hubungan yang adil antara bangsa-bangsa. Setiap bangsa mempunyai dignity kalau kebudayaan dunia ingin disebut sebagai sualu civilization. Setiap negara, utamanya negara maju yang saat ini mempunyai posisi lebih baik dalam tata hubungan ekonomi internasional, harus concerned terhaciap kemiskinan negara Dunia Ketiga. Negara maju harus aktif, langsung atau tidak langsung, dalam melakukan koreksi terhadap proses eksploitasi massa rakyat di negara Dunia Ketiga sebagai salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam masyarakat dunia. Persoalan pokok yang harus segera ditanggulangi adalah bagaimana melaksanakan perubahan struktur kemasyarakatan, menyangkut aspek politik, ekonomi dan sosial-budaya, dalam suatu proses pembangunan, yang memberikan landasan bagi proses pembangunan alternatif. Tanpa perubahan mendasar, kehendak pemerataan dan keswadayaan sebagai alternatif terhadap pembangunan yang bergantung kepada luar negeri untuk pertumbuhan ekonomi hanya akan berwujud pernyataan dan langkah sporadic yang tidak membawa perubahan sebenarnya. Berbagai kekuatan riil, ekonomi dan poliiik, akan menyabot setiap usaha yang mengubah status quo, yang dimungkinkan oleh budaya feodal sebagian masyarakat, ketika mereka menikmati kedudukan dan kekuasaan selama ini. Atau mereka akan mengubah bentuk dan upaya pemerataan dan keswadayaan hanya sampai batas tertentu, sekedar sebagai program kosmetik. Selanjutnya proses perkembangan ekonomi Indonesia akan dipertahankan pada posisi yang pada hakekatnya kepanjangan dan ekspansi kapitalisme internasional yang dimotori perusahaan asing dan dikemudikan dari berbagai pusat metropolis. Tujuan ekspansi kapitalis ini jelas untuk melanggengkan pertumbuhan dan mencari ruang hidup baru guna mempertahankan dan meningkatkan taraf dan gaya hidup masyarakat yang sudah afiluent.
Orientasi kepada pemerataan dan keswadayaan dari sebuah kebijaksanaan ekonomi nasional yang harus diwujudkan sebagai alternatif, mengandung pengertian tentang arah dan ukuran keberhasilan. Pengertian itu sendiri sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Hal ini tersimpul dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pembukaan UUD 45 menyatakan antara lain: “ ....
kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ... " Bab-bab di dalam UUD 45 juga mengandung amanat untuk memberi hak dan pekerjaan serta kehidupan yang layak bagi kemanusiaan; model perekonomian yang berasas usaha bersama dan kekeluargaan; bumi dan air serta kekayaan alam digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. 5. KEMBALIKAN KEDAULATAN RAKYAT
Persoalan yang lebih fundamental adalah menyangkut ketentuan UUD' 45 yang menyatakan bahwa kedaulatan terletak di tangan rakyat. Ketika pemerintahan yang semi otoriter diciptakan, demi pembangunan, kita memiliki struktur kekuasaan tertentu warisan kolonial. Didalamnya terdapat kelompok tertentu yang lebih kuat, demi alasan ekonomi, sistem nilai masyarakat atau alasan historis yang selalu dikedepankan. Berhadapan dengan kelompok elit tersebut, lapisan masyarakat yang lebih luas, namun kurang pendidikan dan miskin, tidak memiliki kekuasaan untuk mengubah nasibnya. Maka yang berkembang adalah justru yang sudah kuat karena mereka mendapatkan segala fasilitas dari pemerintah, mereka dekat dengan kekuasaan. Masalah ekonomi kaum miskin pada akhirnya mutlak tergantung pada struktur kekuasaan. Sementara itu, dalam proses kehidupan negara pada dasawarsa 7O-an, peran serta rakyat dalam proses pengambilan keputusan politik tampak melemah, pada saat yang sama perananannya dalam proses ekonomi makin mengecil. Kue nasional memang membesar tapi pengelolaan dan pemilikannya memusat. Ekspansi aparat pemerintah dan birokrasi telah menjalar ke segala bidang. Rakyat seolah kehilangan prakarsa dan keativitas, menjadi terlalu terguntung pada pemerintah, mengharapkan segala sesuatu dari atas. Anggaran pemerintah menjadi makin besar karena berkembangnya berbagai tuntutan baru. Masalah lain yang timbul adalah kemampuan birokrasi pemerintah itu sendiri, memikul beban tertalu berat dan berkembang terlalu besar dan cepat. Sementara itu kekuatan control masyarakat sudah semakin lemah. Korupsi telah melembaga dan membudaya. Persoalan lanjutan yang dapat disimpulkan adalah bahwa orientasi kepada pendekatan alternatif, ke arah pemerataan dan keswadayaan, mempunyai dimensi majemuk dalam implementasinya yang perlu didalami secara seksama. Pertama, hal ini bukan masalah ekonomi yang bersifat otonom. Ini menyangkut penataan kembali pranata sosial-ekonomi dimasyarakat. Membutuhkan prasyarat politik untuk dapat menyelenggarakannya. Elit primer menguasai kendali pemerintahan, dan elit sekunder yang mendukungnya telah tersandera oleh gaya hidup mewah. Karenanya mereka akan selalu berusaha dengan segala cara untuk memelihara keadaan status quo. Kedua, hal ini menyangkut hubungan antar-negara, baik dalam kaitan ekonomi maupun politik. sebagai alternatif dan sesuatu yang sudah mapan, yang selama ini dipandang memberikan
keuntungan politis dan ekonomis kepada negara atau kelompok negara, atau kepada suatu kelompok kepentingan ekonomi multinasional, maka penyelenggaraannya tentulah tidak mudah dan sederhana. Ketiga, sebagai persoalan strategi pembangunan, maka orientasi kepada femerataan dan keswadayaan, memerlukan perencanaan yang bersifat khas bagi setiap negara. Artinya, tidak ada suatu model pembangunan yang dapat berlaku umum bagi setiap Negara berkembang. 6. PENUTUP Harapan dan keberhasilan bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan reformasi struktural dalam proses pembangunan masyarakat di masa mendatang, akan bergantung pada dua upaya pokok, yaitu: 1. Kemampuan seluruh masyarakat untuk menumbuhkan dan mengembangkan kekuatan yang mampu melawan hambatan dan belenggu struktural dari kekuasaan ekonomi dan politik yang ada. 2. Kemampuan seluruh masyarakat untuk menumbuhkan sikap budaya dan semangat kemanusiaan, yang dapat mengatasi arus materialisme dan konsumerisme, yang secara nyata makin menggejala dalam pergaulan sehari-hari. Akhirnya perlulah kita renungkan kembali bahwa pembangunan tidak semata-mata membutuhkan stabilitas, tetapi juga membutuhkan iklim bebas yang menumbuhkan kreativitas. Pembangunan membutuhkan modal, ilmu dan teknologi, tetapi lebih utama lagi adalah pembangunan membutuhkan idealisme dan patriotism sebagai landasan utamanya. Referensi: Samir Amin. Unqual Development. Monthly Review Press, New York, USA, 1976. Sritua Arief dan Adi Sasono. Indonesia: Ketergantungan dan Keterbelakangan. Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta, Indonesia 1981. Theotonio Dos Santos. The Crisis of Development Theory and the Problem of Dependence in latin America, dalam Henry Bernstein (ed.), underdevelopment anda Development: The Third World Today. Penguin, Hammondsworth, UK, 1976. Lihat juga: Theotonio Dos Santos. the Structure of Dependence. The American Economic Review, Vol. 64, May 1970. Sumber: Buku Panduan Partai Merdeka “MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT”