ADAPTASI EKONOMI DI PASAR MASALEMBU, KABUPATEN SUMENEP (&2120,&$'$37$7,21,17+(0$5.(72)0$6$/(0%8 680(1(35(*(1&< Mudjijono Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Jalan Brigjen Katamso 39 Yogyakarta Pos-el:
[email protected] Handphone: 085642749395 Diterima: 13 Juli 2015; Direvisi: 21 September 2015; Disetujui: 26 November 2015 ABSTRACT 7KLVVWXG\DLPHGWRGHVFULEHWKHHFRQRPLFDGDSWDWLRQLQWKHPDUNHWRI0DVDOHPEX6XPHQHS5HJHQF\ZKLFK the HFRQRPLFDFWRUVZHUHIURPGLIIHUHQWHWKQLFV7KLVVWXG\ZDVDGHVFULSWLYHTXDOLWDWLYHE\XVLQJWHFKQLTXHV RILQWHUYLHZVREVHUYDWLRQDQGOLWHUDWXUHVWXG\LQFROOHFWLQJGDWD7KHUHVXOWVVWXG\VKRZHGWKDWWKHDGDSWDWLRQ RIHFRQRPLFWUDGHUVLQWKHPDUNHWRI0DVDOHPEXDUHVWURQJO\UHODWHGZLWKWKHODQGRZQHUVWRJHWWKHPDUNHW stand to hold merchandises:KHUHDVWKHPHUFKDQGLVHVFDPHIURP3HPHNDVDQ6XUDED\DDQGRWKHUDUHDVLQ -DYDHLWKHUVHQWE\RUGHURUGLUHFWO\EURXJKWE\WKHWUDGHUV:KLOHWUDQVDFWLRQZDVJRLQJRQWKHWUDGHUXVHG Madura ODQJXDJHDOWKRXJKQRW0DGXUHVH)RUEX\HUVZHUHIURPRWKHUWULEHVRUSODFHVWKH\XVHGWKHLUORFDO language for interaction. Keywords: economic adaptation,transaction, the market of Masalembu.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan adaptasi ekonomi di pasar Masalembu, Kabupaten Sumenep, yang pelaku ekonominya berasal dari berbagai suku. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik wawancara, observasi, dan studi pustaka pada pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adaptasi ekonomi para pedagang di pasar Masalembu sangat terkait dengan pemilik lahan pasar untuk mendapatkan kios atau tempat menggelar dagangan. Sementara itu, barang dagangan yang dijual berasal dari Pemekasan, Surabaya, dan daerah lainnya di Pulau Jawa, baik dikirim sesuai dengan pesanan maupun dibawa langsung oleh pedagang yang bersangkutan. Selama proses transaksi jual beli berlangsung, para pedagang menggunakan bahasa Madura, meskipun bukan orang Madura. Akan tetapi, para pembeli yang berasal dari suku atau daerah lain pada umumnya menggunakan bahasa daerah masing-masing dalam berinteraksi. Kata kunci: adaptasi ekonomi, transaksi, pasar Masalembu.
PENDAHULUAN SHFDUD JHRJUD¿V OHWDN ,QGRQHVLD VDQJDW strategis dalam konteks perdagangan laut internasional antara dunia Barat dan Timur. Dunia Barat dalam hal ini mencakup kawasan dagang yang berada di sebelah barat Selat Malaka seperti India, Persia, Mesir, dan negara-negara Eropa, sedangkan dunia Timur mencakup kawasan di sebelah timur Selat Malaka seperti Cina, Jepang, dan Filipina. Letak Indonesia strategis karena berada di tengah-tengah kawasan itu. Perdagangan dengan memakai transportasi laut sudah dilakukan
sejak lama. Sebagai contoh terkait perdagangan semacam itu (Sulistiono, 2004:3-4). Pada tahun 1615 orang Belanda melaporkan telah bertemu di dekat pantai Sumatra dengan 60-80 MXQJdari Jawa, sebagian besar di antaranya berasal dari Japara dan tempat-tempat sekitarnya. Kapalkapal tersebut memuat makanan untuk dibawa ke Malaka. Sumber-sumber Belanda melaporkan pula bahwa ada hubungan langsung antara Jambi dan Japara. Malahan dikatakan bahwa lada yang dimasukkan dari Jambi ke Japara menarik pedagang-pedagang Cina untuk datang ke 495
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 495—507 Japara. Di sini lada dari Sumatra ditukar dengan sutra, porselin dan belanga besi dari negeri Cina. Rupanya antara Japara dan Jambi terdapat hubungan dagang yang erat pada waktu itu, akan tetapi juga dengan Palembang dan Indragiri ada perdagangan lada, dan perahu-perahu Melayu dari Patani (Siam) juga membawa lada ke Japara (Kartodirdjo dkk, 1977:30-31). Perdagangan beras antarpulau, bahkan sampai ke Selat Malaka pada dekade 1800an dikemukakan Creutzberg dan Laanan (1987:95), menurutnya, di Hindia Belanda perdagangan beras berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama berasal dari lumbung zaman lampau dengan pelabuhannya di Jepara dan Demak, bahkan sebelum tanaman padi meluas di seluruh Jawa. Sejumlah besar beras dikirimkan ke bagian Timur Indonesia untuk ditukar dengan rempahrempah. Bahkan sampai diperdagangkan ke Selat Malaka. Tahun 1825-1873 terdapat angka impor ke Jawa dan Madura, demikian juga untuk angka ekspor dari Jawa dan Madura. Horridge dalam bukunya Madura dalam Empat Jaman juga membahas perdagangan antarpulau. Menurutnya, Parindu merupakan pusat perdagangan kelapa. Pada musim hujan, kelapa didatangkan dari pulaupulau kecil seperti Masalembu dan Karamian. Di pulau-pulau tersebut terdapat beberapa kebun besar berisi pohon-pohon kelapa (De Jonge, 1989:30 dan 140). Pulau Masalembu merupakan salah satu pulau dari gugusan pulau yang ada di wilayah Kabupaten Sumenep. Pulau ini berada di bagian utara wilayah Kabupaten Sumenep. Dari pusat pemerintahan kabupaten, perjalanan ke pulau itu dapat ditempuh dengan memakai kapal very selama satu hari melalui Pelabuhan Kalianget. Pulau yang terdekat dengan Masalembu yakni Pulau Masakambing, berada di sebelah barat laut. Taksi merupakan kapal transportasi yang melayani siapapun yang akan menuju atau pergi dari Pulau Masalembu, Masakambing, dan Pulau Keramean. Pulau Keramean dan Pulau Kambing merupakan pulau terdekat ke dua dan ke tiga setelah Pulau Masakambing. Pulau ini terletak di utara Pulau Masalembu, dapat ditempuh dengan taksi selama lima hingga enam jam perjalanan laut. Sejauh
496
60 mil ke arah timur laut dari Pulau Masalembu terdapat gugusan pulau, antara lain Pulau Matasiri dan Sembilan. Pulau-pulau itu termasuk wilayah Pulau Kalimantan. Suku bangsa Madura, Mandar, dan Bugis merupakan suku bangsa yang tinggal dan mendominasi di Pulau Masalembu. Suku bangsa Mandar dan Bugis yang tinggal di sana, selain dapat dilihat dari lokasi tempat tinggalnya, juga GDSDWGLNHWDKXLGDULNRQGLVL¿VLNDWDXEDQJXQDQ rumah tinggalnya. Jikalau memperhatikan wilayah permukiman dan atau habitasi suku bangsa Bugis, Makasar, dan Mandar yang gemar merantau, pada umumnya berdiam di tanah dataran rendah yang dialiri sungai besar maupun kecil. Selain itu, juga berdiam di tanah berdekatan dengan laut atau danau (Ima, 2004:91). Suku bangsa Bugis di Masalembu banyak menghuni bagian barat pulau, yaitu di daerah yang disebut Masalima. Secara umum, Orang Bugis sering direpresentasikan sebagai masyarakat pengelana lautan yang kuat, yang dulu terlibat dalam perdagangan budak dan perompakan, penganut agama Islam yang taat, serta pedagang sukses. Tetapi jika menilik lebih dalam sejarah mereka, ternyata hanya sedikit dari mereka yang terlibat dalam aktivitas maritim dan hampir tidak ada yang jadi perompak (Pelras, 2005:37). Orang Bugis sangat diakui sebagai pelaut yang gigih dan sangat berpengalaman; pada masa lalupun mereka merupakan kelompok etnis yang sudah menyambangi berbagai daerah di dunia dengan perahu-perahu khasnya. Jaringan orang Bugis dari Sulawesi tetap merupakan salah satu jaringan yang paling makmur di Nusantara. Lambang kehadiran mereka ada di mana-mana, adalah sosok perahu layar pinisi yang terdapat berpuluh-puluh, dan belum lama ini beratus-ratus, di semua pelabuhan besar: di Jakarta, Surabaya, Banjarmasin, dan Palembang (Lombard, 2008:89). Suku bangsa Mandar banyak tinggal di Pulau Masalembu bagian utara; di daerah asalnya suku bangsa Mandar tinggal di wilayah sekitar Teluk Mandar, Sulawesi Selatan. Setelah ada pemekaran wilayah masuk wilayah Sulawesi Barat. Keunggulan bahari suku bangsa Mandar bisa ditemukan pada tiga bentuk teknologi perikanan yang mereka kembangkan yakni:
Adaptasi Ekonomi di Pasar ... 0XGMLMRQR
roppong, menangkap ikan sambil menghanyut di tengah laut, dan perahu Sande (Ridwan, 2005:2-3). Suku bangsa Madura di Masalembu disebut juga orang Raas banyak tinggal di daerah pusat pemerintahan, yaitu berada di sebelah utara Dermaga Masalembu. Dermaga di sini diartikan sebagai suatu bangunan pelabuhan yang digunakan untuk merapat dan menambatkan kapal yang melakukan bongkar muat barang dan menaik-turunkan penumpang (Triatmodjo, 1996:157). Penduduk di Masalembu acapkali menyebut daerah ini sebagai Kampung Raas. Para pelaut Madura, seperti halnya dengan orang Bugis dan orang Makassar, terkenal dengan seni navigasi dan keberanian mereka. Kapal-kapal yang lebih besar, termasuk sekunar-sekunar Bugis dengan daya muat lebih dari seratus ton dan 15 sampai 20 awak kapal, terutama ikut serta dalam lalu lintas pelayaran yang tak teratur. Kapal itu berlayar tergantung pada angin musim ke Surabaya, Gresik, Semarang, Batavia, Palembang, Kepulauan Riau, Singapura atau ke Banjarmasin, Makassar, dan ke Nusa Tenggara (De Jonge, 1989:30). Pasar Masalembu terletak di Kampung Raas. Pasar tersebut merupakan satu-satunya pasar yang ada di Laut Jawa bagian Timur Sumenep, tepatnya di perairan Masalembu.Walaupun GHPLNLDQ VHFDUD JHRJUD¿V OHELK GHNDW GHQJDQ Pulau Kalimantan. Penduduk Pulau Masalembu, Pulau Masakambing, Pulau Kramean, dan penumpang kapal serta ABK kapal jalur laut dari Kalimantan ke Surabaya, dari Pulau Selayar ke Surabaya, banyak yang pergi ke pasar itu untuk belanja kebutuhan sehari-hari, sedangkan para nelayan atau penumpang kapal lainnya juga dapat membeli perlengkapan memancing, jaring atau perlengkapan mesin kapal. Berbagai ikan laut banyak dijual oleh ibuibu dalam jumlah yang tidak besar. Perlengkapan dapur dan kebutuhan rumah tangga banyak didatangkan dari Sumenep atau Surabaya.Sayursayuran hijau seperti bayam, kol, sawi juga didatangkan dari Pulau Jawa, sehingga harganya relatif lebih mahal. Harga kol di Yogyakarta Rp 5. 000,00 untuk setiap kilogramnya; di Masalembu seharga Rp 25.000,00 untuk berat yang sama. Kentang di Masalembu seharga Rp
30.000,00 setiap kilogramnya, harga di pasarpasar Yogyakarta Rp 10.000,00 untuk barang yang sama. Sebaliknya, harga ikan tongkol di Masalembu Rp 10.000,00 untuk setiap kilogramnya; harga ikan tongkol di Yogyakarta Rp 25.000,00 untuk berat yang sama. Para pedagang di Pasar Masalembu mempunyai aktivitas mencari barang dagangan, untuk kemudian dijual di pasar. Selama melakukan aktivitas semacam itu mereka melakukan interaksi dengan pedagang lain di luar Pulau Masalembu, sesama pedagang di Masalembu, dengan pembeli, dan calon pembeli. Para pedagang dan pembeli tersebut ada yang berasal dari suku yang sama dengan dirinya, namun ada pula yang berbeda dengan sukunya. Mereka dalam melakukan interaksi minimal harus mengerti bahasa yang digunakan oleh pedagang atau pembeli lainnya. Para pedagang dan calon pembeli paling tidak harus beradaptasi agar mereka dapat berkomunikasi dan melakukan transaksi untuk pengadaan barang atau menjualnya. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini difokuskan pada “Bagaimana adaptasi ekonomi di dalam pasar Masalembu? Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan aktivitas ekonomi yang ada di Pasar Masalembu yang terletak di Kampung Raas. Mengingat di Pulau Masalembu dan sekitarnya tinggal berbagai suku bangsa, tentunya ada sikap para pedagang dan masyarakat untuk memahami atau melakukan adaptasi dalam melakukan transaksi. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh mereka menjadi tujuan dari penelitian ini. Penelitian tentang strategi adaptasi pedagang di Pasar Masalembu ini pada akhirnya menghasilkan laporan penelitian (output) yang dapat dipergunakan oleh berbagai pihak yang tertarik dengan hasil penelitian ini. Hasil penelitian tersebut melahirkan saran mengenai perlunya para pedagang bersikap agar aktivitas perekonomian di pasar tersebut menjadi relatif lebih baik (input). Terakhir, dengan dilakukan penelitian ini diharapkan ada respon baik secara personal, lembaga, atau instansi terkait subjek penelitian ini. Studi tentang ekologi manusia sudah banyak dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu (Effendi, 1997:285-300), misalnya Biologi yang lebih menekankan pada tumbuh-tumbuhan dan 497
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 495—507 fauna. Ekonomi dengan penekanan sumber daya alam, sumber daya manusia, hasil, konsumsi, dan distribusi. Antropologi dengan studinya tentang FDUD EHU¿NLU KXEXQJDQ DQWDU VHVDPD PDQXVLD dan adaptasi. Ada persamaan perhatian antara ekonomi dengan antropologi. Keduanya samasama mempunyai interes alokasi barang dan jasa, yang dapat diaktualisasi dengan resiprositas, redistribusi, dan pasar. Lihat tiga model dasar alokasi barang dan jasa yang dikemukakan Polanyi yaitu reciprocity, redistribution,dan market exchange (Bohanan, 1963:230-231). Penelitian terkait strategi adaptasi pernah dilakukan oleh Sadilah pada masyarakat Desa Klaces, Kampung Laut Cilacap Jawa Tengah. Dikemukakan dalam tulisan itu adanya perubahan ekosistem akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia di lingkungan itu. Mata pencaharian misalnya, akan mengalami perubahan mengikuti perubahan alam sekitar. Agar hidupnya survive, berbagai strategi telah dilakukan misalnya diversifikasi pekerjaan, pengerahan anggota keluarga dalam unit-unit produksi, mobilitas penduduk, dan mencari bantuan dari pemerintah. Langkah-langkah itu dikemukakan secara detail (Sadilah, 2006:342-350). Penelitian lain terkait adaptasi yakni penelitian Pola Adaptasi Migran Bajo terhadap Masyarakat di Pulau Wangi-Wangi, Kepulauan Wakatobi. Buku yang ditulis Abdul Asis, tahun 2013 setebal 123 halaman ini berisi adaptasi dengan lingkungan, adaptasi dalam kehidupan bermasyarakat, ekonomi, kawin-mawin, dan keagamaan. Dua konsep dasar yang dimiliki oleh orang Bajo yaitu sama dan bagai. Sama mempunyai arti sama-sama orang Bajo dan saudara. Bagai diartikan sebagai orang lain. Adaptasi yang telah terjadi pada orang Bajo di sana misalnya tentang perkawinan. Awalnya mereka hanya bersedia kawin dengan sesama orang Bajo yang stratanya sama. Saat ini mereka banyak yang kawin dengan etnis lain. Antara sama dan bagai terdapat kesamaan kepercayaan yaitu memeluk agama Islam yang banyak menguntungkan karena dapat dipakai sebagai pendekatan di antara mereka (Asis, 2013). Kemudian, masih banyak tulisan-tulisan lain tentang adaptasi, secara umum membahas 498
hubungan lingkungan sosial, upacara-upacara, kelahiran, pertunangan, dan kematian. Selain itu juga membahas adaptasi yang berkaitan dengan budaya. Tulisan tersebut antara lain berjudul Adaptasi Budaya Masyarakat Lampung yang tulis oleh (ed.) Andayani.R.S., Galba.S (2006) dan tulisan masyarakat Kubu yang ditulis oleh Affar. Z, Wijaya dan Makki. (ed.) Zulheppy. Z (1996). Tulisan-tulisan atau hasil penelitian tentang adaptasi sudah banyak dilakukan, akan tetapi berbeda dengan tulisan adaptasi yang ada di Pasar Masalembu. Tulisan lain terkait adaptasi kebanyakan terkait dengan bagaimana masyarakat beradaptasi dengan lingkungan alam dan budaya pada masyarakat yang relatif baru, misalnya sedang berpindah lokasi tempat tinggal. Adaptasi yang terjadi pada masyarakat di Pasar Masalembu lebih menekankan pada adaptasi secara ekonomi dan sosial di antara para pedagang dan pembeli yang mempunyai latar belakang suku yang saling berbeda. Banyak pengertian tentang pasar, antara lain pasar saham, pasar bebas, pasar (berpengertian pangsa pasar), dan pasar yang menyediakan keperluan sehari-hari atau keperluan rumah tangga lainnya. Selain itu, bentuk-bentuk pasar dapat pula digolongkan atas dasar luas pasar dan organisasinya. Menurut luasnya pasar digolongkan menjadi pasar lokal, regional, dan dunia. Menurut organisasinya, pasar digolongkan menjadi pasar sempurna dan tidak sempurna (Winardi, 1990:75). Lain lagi menurut Pelly, menurutnya pasar diartikan sebagai pusat perbelanjaan kecil yang hanya memiliki los-los dan kios-kios sementara (Pelly, 1994:85); dan menurut Rex, pasar adalah suatu bentuk interaksi bersusun yang kompleks yang meliputi penawaran, pertukaran dan persaingan (Rex, 1985:38). Pasar yang akan menjadi objek penelitian ini merupakan pasar sebagai pusat belanja penduduk dan orang lain yang berada di sekitar perairan Masalembu. Mengingat para pedagang di Pasar Masalembu berasal dari berbagai suku bangsa, maka tentu ada strategi adaptasi dalam berinteraksi dengan pembeli, sesama pedagang, dan dengan pedagang yang berada di luar Masalembu. Meminjam konsep Parsudi Suparlan tentang suku bangsa, di sini diartikan sebagai golongan sosial
Adaptasi Ekonomi di Pasar ... 0XGMLMRQR
yang askriptif berdasarkan atas keturunan dan tempat asalnya. Dengan demikian, jatidiri suku bangsa atau kesukubangsaan adalah jatidiri yang askriptif yang didapat bersamaan dengan kelahiran seseorang atau tempat asalnya. Kesukubangsaan bersifat primordial (yang pertama didapat dan menempel pada diri seseorang sejak masa kanakkanak dan utama dalam kehidupannya karena merupakan acuan bagi jatidiri dan kehormatannya) (Suparlan, 2003:28). Kemudian, strategi adaptasi oleh (Whitten and Whitten dalam Pelly, 1994:84) diartikan sebagai cara-cara yang dipakai perantau untuk mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan untuk memperoleh suatu keseimbangan positif dengan kondisi-kondisi latar belakang perantau. Kluckhohn mempunyai pendapat yang menegaskan, bahwa setiap kebudayaan merupakan perangkat teknik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapi dan dengan orang lain. Tetapi selain memberikan cara pemecahan masalah-masalah, kebudayaan juga menimbulkan masalah-masalah (Kluckhohn, 1993:84). Para pedagang di Pasar Masalembu dengan kebudayaan yang dimiliki akan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Bennett (1978:265) dalam penjelasannya tentang interaksi, juga memunculkan konsep adaptasi, yang diartikan sebagai suatu bentuk perilaku manusia yang merupakan suatu proses (adaptasi) dalam kelompok-kelompok dan populasi sosial. Adaptasi bersifat individual dan merupakan kebutuhan kepuasan terhadap kelompok dan kesejahteraannya atau survivalnya. Kepuasan individu dapat menjadi variabel independen, pembicaraan yang bersifat ekologi. Strategi adaptasi secara khusus diikuti oleh individu-individu untuk dapat beradaptasi dalam kelompoknya tetapi adaptasi dan mal DGDSWDVLEDJLVRVLDOGDQDWDXOLQJNXQJDQ¿VLNQ\D Kemungkinannya banyak, yakni multidimensi atau multi potensi dari aksi atau tindakan manusia menciptakan pusat problem dari suatu kebijakan yang berorientasi pada ekologi yang bersifat budaya. Ekologi yang bersifat budaya terjadi karena konsekuensi-konsekuensi yang bersifat adaptasi dari tindakan-tindakan manusia. Penawaran konsep adaptasi oleh Bennett ini
sangat masuk akal, mengingat dalam konteks itu ia lebih menekankan pada adaptasi manusia pada transisi lingkungan budaya. Ruang lingkup penelitian ini yakni pedagang di Pasar Masalembu Kabupaten Sumenep. Perilaku para pedagang di pasar itu akan menjadi perhatian dalam penelitian ini. Saat mereka saling berinteraksi, saat berkomunikasi dengan pembeli, dan perunutan alokasi barang dagangannya, baik yang berasal dari lokasi setempat atau yang berasal dari daerah lain. METODE Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif dengan sasaran substansi adaptasi ekonomi dan sosial di dalam pasar Masalembo. Teknik pengumpulan data dilakukan berbagai cara yaitu wawancara, observasi dan studi pustaka. Wawancara dilakukan terhadap 10 informan, yang terdiri atas pedagang sayur, ikan, dan kelontong. Selain itu, juga terhadap pemilik warung makan dan pertokoan, yang berasal dari suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Madura. Pada saat wawancara peneliti mengalami kendala karena tidak memahami bahasa-bahasa daerah dari berbagai suku tersebut, sehingga peneliti harus menggunakan bahasa Indonesia. Di sisi lain, beberapa informan tidak fasi berbahasa Indonesia, menyulitkan peneliti untuk melakukan wawancara mendalam. Pengumpulan data melalui observasi dan dilakukan di pasar, dermaga, pertokoan dan rumah penduduk. Observasi difokuskan pada perilaku pedagang, pembeli pada saat transaksi jual beli. Demikian pula interaksi sosial warga masyarakat terutama yang berbeda suku di arena sosial, seperti pasar, dermaga, pertokoan, dan lain sebagainya. Pengumpulan data melalui studi pustaka dimaksudkan untuk mendapatkan konsep dan teori terkait dengan substansi penelitian. Sasaran studi pustaka adalah buku, jurnal, tesis, desirtasi dan sebagainya. Suluruh data yang terkumpul dianalisis secara induktif.
499
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 495—507 PEMBAHASAN Deskripsi Pasar Masalembu Tahun 1900 Haji Muhammad Ali melakukan perjalanan dari Pulau Madura ke Pulau Masalembu. Mulai saat itu beliau beserta keluarga dan kerabatnya tinggal menetap di Masalembu. Mereka membuka lahan di dekat dermaga saat ini. Oleh karena penduduk di wilayah itu banyak yang berasal dari Madura (Raas), maka acapkali daerah itu disebut sebagai Kampung Raas atau Kampung Madura. Haji Muhammad Ali mempunyai beberapa anak. Salah satu anaknya mempunyai empat anak, yaitu Maesuri, Islamiyah, Imran Rusadi, dan Imam (pemilik lahan Pasar Desa Masalima). Pasar ini oleh masyarakat disebut sebagai Pasar Masalembu, karena letaknya di Pulau Masalembu. Setelah beliau wafat masingmasing keturunannya mendapat warisan tanah, salah satu di antaranya adalah Haji Imam Ali Akbar yang merupakan cucu Haji Muhammad Ali. Saat ini Haji Imam Ali Akbar tinggal di Masalima. Beliau menikah dengan Hj. Hamsiah yang tidak lain adalah sepupunya sendiri (wawancara dengan Haji Imam Ali Akbar, tanggal 23 Maret 2013). Haji Imam Ali Akbar mempunyai lahan yang relatif luas di Pulau Masalembu, selain rumah yang sekarang ditinggali di Masalima, beliau juga mempunyai tanah dan rumah di luar Pulau Masalembu. Seperti Haji Ali pedagang bahan bakar bensin dan solar, yang juga memiliki toko onderdil mesin otor dan kapal, serta toko kelontong dan bangunan. Beliau juga memiliki rumah di Kota Sumenep. Saat diwawancari di atas Kapal Kumala yang membawa kami dari Pelabuhan Pamekasan ke Pelabuhan Masalembu, beliau berbelanja berbagai bahan keperluan seperti onderdil kapal, onderdil motor, barangbarang kelontong, dan lain lain. Barang-barang tersebut selanjutnya untuk persediaan di tiga toko miliknya yang ada di Masalembu, tepatnya di sebelah barat Pasar Masalembu. Semenjak kakek dan ayah Haji Imam Ali Akbar tinggal di Pulau Masalembu, mereka telah berdagang berbagai barang untuk keperluan hidup. Untuk itu mereka membuka toko untuk tempat menyediakan barang daganganny. Oleh karea bahan dagangannya selalu berkembang Kakek 500
dan ayahnya membuka beberapa toko dan kios. Lama kelamaan ada penduduk Masalembu yang menyewa kios atau lahan yang dimiliki yang ada di Kampung Raas itu. Menurut Haji Imam, mulai saat itu lahan yang sekarang menjadi miliknya itu menjadi pasar yang kemudian sering disebut Pasar Masalembu (diutarakan oleh H Imam). Sampai sekarang Pasar Masalembu masih berada di lahan milik Haji Imam Ali Akbar. Pasar tersebut mempunyai kios sebanyak 300 buah. Para pemilik kios ini ada yang langsung mendapatkan dari pemilik tanah atau membeli dari orang lain yang berhenti berdagang. Biasanya pedagang menjual kios jika sudah tidak ada yang melanjutkan berdagang atau pindah ke daerah lain. Awalnya mereka membeli kios dari Haji Imam Ali Akbar masih dalam hitungan ratusan ribu. Namun saat ini pedagang yang memakai kios mendapatkan dengan harga minimal Rp 5.000.000,00. Penjual sayur, ikan, dan buahbuahan atau berjualan apapun yang berada di bawah atau menaruh dagangannya di tanah ditarik Rp 500,00. Petugas penarik tersebut dari desa. Pemerintah Desa Sukajeruk pernah menyediakan lahan untuk pasar agar para pedagang berjualan di lahan milik pemerintah. Namun dipandang kurang strategis dan relatif jauh, maka penduduk kembali berjualan di lahan milik Haji Imam Ali Akbar. Pintu utama untuk masuk pasar berada di ujung selatan. Kios-kios di Pasar Masalembu berada di tengah membujur dari selatan ke utara, kemudian pada sisi timur berderet dari selatan ke utara. Kios yang berada di tengah pasar, mulai dari selatan berjualan beras, kacang-kacangan, kerupuk mentah, tepung, gula, minyak goreng, dan berbagai jenis bahan makanan mentah lainnya. Di bagian tengah pasar, merupakan kios-kios tempat berjualan pakaian jadi, sandal, tas, dan keperluan sandang lain. Kios-kios yang berada di bagian timur berjualan mainan anakanak, dan makanan siap saji. rujak, lontong, bubur, dan gorengan. Kios-kios yang berada di bagian barat pasar dan bagian utara menjual sayursayuran, seperti kentang, kol, tomat, wortel, dan bumbu dapur. Timur laut pada Pasar Masalembu merupakan tempat berjualan buah-buahan seperti pisang, jambu, dan sirkaya. Para pedagang ini
Adaptasi Ekonomi di Pasar ... 0XGMLMRQR
menggelar dagangannya di atas tanah. Mereka menyebutnya pedagang bawah. Di deretan ujung utara menghadap ke timur ada seorng ibu muda yang selalu menjual minyak kelapa, bulu landak, dan beberapa unting daun kelor. Di pasar Masalembu sulit di dapat penjual sayuran seperti bayam, kangkung, dan kol. Kalaupun ada harga jenis sayuran itu relatif mahal. Begitu pula untuk mendapatkan sayuran jenis itu di Pulau Masalembu dan Keramean juga sulit. Pedagang keliling pagi hari yang menawarkan dari rumah ke rumah yang acapkali membawa sayuran bayam, daun ketela, dan pare ular. Para pedagang ini mendapat sayuran jenis itu dari memetik di lahan pertaniannya. Bagian barat laut pasar tersebut, membujur dari selatan ke utara para pedagang ikan laut juga menggelar dagangannya di atas tanah. Mereka membawa ember, panci lebar, atau menggelar plastik untuk alas menempatkan dagangannya. Biasanya mereka datang paling pagi, sekitar pukul 6.00 dan sekitar pukul 10.00 mereka sudah pulang ke rumah. Sejajar dengan para pedagang ikan ini, di sisi timurnya juga berjejer penjual sayuran, mereka menggunakan tikar atau meletakkan dagangannya di atas tanah. Namun ada beberapa penjual sayur yang memakai lincak. Penjual sayuran ini juga sudah sepi jika sudah pukul 10.00, biasanya barang dagangan yang mereka bawa akan cepat habis, karena tidak terlalu banyak dagangannya. Mulai jam 06.00 di pinggir jalan sepanjang Masalima ke Pasar Masalembu atau Sukajeruk ada orang berjualan lotis (lotek) dengan lontong. Mereka menggunakan lincak, dan pada siang hari mereka akan tutup. Di Pulau Masalembu banyak penjual makanan seperti itu dan beberapa warung makan nasi. Bakso yang disukai banyak orang akan banyak ditemui di wilayah Pulau Masakambing. Dua orang penjual bakso berasal dari Godean Yogyakarta. Setiap harinya mereka menggiling daging ikan rata-rata lima kilogram untuk membuat bakso. Perlu diketahui bakso yang dijual di wilayah Pulau Masalembu tidak ada yang menggunakan daging sapi, semuanya menggunakan bahan dasar ikan. Ikan tongkol sangat disukai oleh masyarakat di sana.
Di sekitar pintu masuk pasar juga banyak orang berjualan rujak, es, dan jajan pasar. Berbagai kue dengan bahan dasar gandum banyak di jual di pasar, selain itu berbagai jenis makanan berbahan dasar jagung juga banyak dijual. Pojok selatan Pasar Masalembu banyak digunakan untuk berjualan makanan, mulai kue dan rujak. Bagian timur laut ada yang berjualan bubur, nasi rames, dan makanan yang digoreng. Persis di bagian utara pasar terdapat warung kopi dan warung makan. Di warung yu Yah ini banyak orang membeli makanan dan minum kopi. Para ABK kapal yang sedang berlabuh di Dermaga Masalembu. Biasanya mereka tinggal untuk beberapa hari karena menunggu datangnya es untuk dibawa melaut. Adaptasi Ekonomi Strategi para pedagang di Pulau Masalembu untuk mencari barang dagangannnya, antara lain dengan belanja ke daerah-daerah lain yang menyediakan barang dagangan, seperti ke Surabaya, Sumenep, atau daerah lainnya. Kedatangan kapal-kapal besar dari berbagai daerah seperti dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya atau dari Pamekasan sangat dinanti oleh masyarakat Masalembu, Masakambing, dan Kramean. Mereka berkumpul memenuhi dermaga dan wilayah sekitarnya. Datangnya kapal-kapal tersebut berarti datangnya keluarga, sanak famili, tetangga, atau bahan-bahan keperluan hidup mereka. Para pedagang bahan makanan pokok dan keperluan rumah tangga lain (selain bahan bangunan dan bahan bakar) biasanya diangkut bersama kapal penumpang. Sedangkan bahan bakar dan bahan bangunan biasanya dibawa kapal yang relatif kecil. Kapal pembawa bahan bangunan atau bahan bakar yang mudah terbakar biasanya dicarter oleh pedagang. Apabila kapal membawa bahan-bahan seperti itu hanya ada beberapa orang yang menumpang. Saat saya mau menumpang kapal pengangkut drum bahan bakar dari Pulau Masalembu menuju Pamekasan sama sekali tidak ada tempat duduk. Padahal perjalanan relatif lama, yakni sekitar 24 jam perjalanan dengan catatan tidak ada angin. Apabila kapal akan mengadakan perjalanan 501
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 495—507 ke pulau lain, terlebih dahulu harus mendapat izin dari syahbandar. Izin akan dikeluarkan jikalau cuaca memang memungkinkan. Selain itu jenis barang yang diangkut juga harus sesuai dengan perijinan yang diberikan oleh kapal yang bersangkutan. Kapal yang mempunyai izin untuk mengangkut brang-barang yang mudah terbakar mempunyai izin tersendiri, kemudian kapal untuk mengangkut barang juga harus mempunyai izin untuk mengangkut barang. Namun karena menunggu kapal penumpang relatif lama kadangkadang ada orang yang menumpang di kapal pengangkut barang. Material pasir, batu bata, dan batu gunung tidak ada di wilayah Pulau Masalembu, Masakambing, dan Kramean. Untuk itu jikalau penduduk akan membangun rumah, maka material tersebut harus didatangkan dari Pulau Sumenep. Begitu pula para pedagang batu bata, mereka mendatangkan batu bata putih (batu gunung) dari Pulau Sumenep. Saat pembangunan Dermaga Pulau Keramean, batu gunung untuk pondasi didatangkan dari Yogyakarta. Tukang yang mengerjakan dermaga banyak yang berasal dari kota-kota di Jawa Timur. Tentunya berbagai jenis material untuk pembangunan yang semuanya didatangkan dari luar Pulau Masalembu akan mempengaruhi semakin besarnya biaya untuk pembangunan rumah. Di sisi lain jika rumah dibuat model rumah atas atau panggung, ketersediaan kayu sebagai bahan utama sulit didapat. Sulitnya mencari kayu untuk bahan bangunan karena banyaknya kasus penebangan liar di berbagai daerah di Indonesia yang menjadikan semakin ketat pengangkutan kayu antar pulau. Selain material tersebut, berbagai bahan kebutuhan pokok masyarakat Masalembu juga didatangkan dari Surabaya atau Pamekasan. Para pedagang kadang pergi ke luar Masalembu untuk mencari barang dagangan, namun kadang pedagang ada di rumah barang-barang keperluannya dikirim melalui kapal. Onderdil motor dan kapal banyak yang dikirim dari Surabaya. Para pedagang onderdil di Masalembu tinggal menghubungi lewat telepon dan barang akan dikirim sesuai pesanan. Pembayarannya pun juga dititipkan kadang saat pemesan pergi 502
ke Surabaya. Jenis sayuran kentang, wortel, tomat, dan kol mempunyai harga yang tinggi mengingat didatangkan dari Jawa Timur. Sayuran yang umum setiap hari dapat dijumpai di Pulau Maslembu yakni daun kelor. Satu ikat daun kelor dijual dengan harga Rp 1.000,00. Satu-satunya barang yang diperjualbelikan tanpa harus mendatangkan dari luar Masalembu yakni ikan. Para penjual ikan yang ada di Pasar Masalembu jumlahnya lebih dari 20 orang .Mereka menggelar dagangannya di atas tanah dengan alas plastik atau dengan panci dan ember. Pedagang ikan berangkat pukul 03.00 mencari ikan, pulang sore hari dan membawanya ke pasar untuk dijual pagi harinya. Ada pula yang mencari sore hari pagi pukul 5,00 pulang dan langsung dibawa ke pasar. Strategi Menjual Barang Dagangan Toko yang menyediakan bahan bakar solar dan bangunan berada di toko yang beralamat di jalan Kampung Raas, tepatnya di depan Pasar Masalembu. Begitu pula untuk penjualan onderdil motor dan kapal. Haji Ali yang mempunyai tiga toko di Masalembu mempunyai satu tempat sendiri untuk menyediakan onderdil dan peralatan yang dibuat dari besi. Ibu Faridah yang juga istri Bapak Kepala Desa Sukajeruk, M. Sapuri memiliki toko kelontong yang ada di depan Pasar Masalembu. Mulai dari makanan ringan, kue, minuman, dan perlengkapan kosmetik dijual di tokonya. Beliau tidak selalu harus ke Sumenep atau Surabaya untuk membeli barang dagangan untuk mengisi tokonya. Kue misalnya, cukup menelpon berapa dan jenis apa yang dibutuhkan dan selanjutnya akan dikirim dari Jawa Timur. Satu kali kirim untuk roti kering yang dimasukkan dalam blek (kaleng) besar sebanyak 100 blek. Apabila musim hajatan atau hari raya, satu kali kirim bisa 10 macam jenis roti. Berbagai sayuran jenis kacang panjang, daun kelor, terung, dan pare ular cepat habis. Pukul 10.00 sayuran semacam itu biasanya sudah tidak ada lagi. Sayuran kentang, tomat, wortel, dan kol banyak dijual, namun harganya relatif
Adaptasi Ekonomi di Pasar ... 0XGMLMRQR
tinggi. Jenis sayuran tersebut mahal harganya karena didatangkan dari luar Pulau Masalembu. Buah yang selalu ada di Pasar Masalembu yakni pisang. Bukan hanya dijual secara lirangan, namun buah ini juga banyak dijual secara tundun. Konsumen yang membeli pisang dalam jumlah banyak biasanya untuk membuat kue lalu dijual lagi atau penduduk yang akan mempunyai hajat. Penjual sayuran dan buah kebanyakan berasal dari Sukajeruk atau Masalima keturunan Madura. Selain di pasar, setiap hari di Desa Masalima ada penjual sayuran yang menawarkan dagangannya secara berkeliling dari rumah ke rumah. Selain pedagang toko yang relatif besar, distribusi barang dagangan di Pulau Masalembu juga dipasarkan secara keliling ke warung atau toko yang relatif kecil. Mereka tidak mencari dagangan ke luar Pulau Masalembu, namun mencari bahan dagangan di dalam pulau. Rokok misalnya, ada toko-toko yang setiap hari ditawari rokok dalam jumlah yang banyak. Mereka berkeliling dari warung atau toko satu ke langganan lainnya. Jenis dagangan lain yang cepat laku yakni ayam hidup dan ikan. Cara menjual ikan dengan hitungan ekor, misalnya tongkol akan ditawarkan per ekor. Begitu pula jenis ikan lainnya. Apabila ikannya relatif kecil, misalnya ikan kembung atau layang, maka menjualnya dengan cara berkelompok. Satu kelompok sekitar 10 hingga 15 ekor. Penjual ikan yang ada di Pasar Masalembu yakni warga Desa Sukajeruk atau Masalima keturunan Bugis. Mereka sudah puluhan tahun tinggal di Pulau Masalembu. Di sebelah barat Pasar Masalembu terdapat tempat pengolahan ikan. Setiap sore mereka memasak ikan, untuk kemudian dilakukan penggaraman dan dimasukkan dalam keranjang. Ikan jenis itu tidak dipasarkan di Pasar Masalembu, mengingat jika penduduk memerlukan untuk membeli dapat langsung ke rumah.Penjualan ikan asin kranjangan tersebut lebih banyak ke luar Pulau Masalembu, misalnya ke Jawa dan Kalimantan. Berbagai makanan yang dapat langsung dimakan dapat ditemukan di Pasar Masalembu. Makanan-makanan tersebut lebih banyak yang berbahan dasar jagung atau gandum. Makanan
sejenis itu harganya sangat murah, cukup mengeluarkan uang Rp 500,00 bisa didapat makanan jagung atau satu biji kue. Proses Adaptasi Penduduk Pulau Masalembu ada yang keturunan Bugis, Mandar, Jawa, dan Madura. Oleh karena wilayah tersebut lebih dekat dengan Pulau Madura, maka sangat logis jika mayoritas penduduk keturunan Madura. Terlebih orang yang lebih awal datang ke pulau itu juga orang Madura, maka tidak heran jikalau daerah yang paling ramai dan paling makmur di Pulau Masalembu adalah Kampung Raas atau acapkali juga disebut sebagai Kampung Madura. Begitu pula untuk bahasa sehari-hari, walaupun ada yang memakai Bahasa Bugis, Mandar, atau Indonesia, namun pemakaian Bahasa Madura lebih dominan dipakai oleh penduduk Pulau Masalembu. Dalam komunitas di Pasar Masalembu pun demikian juga. Bahasa yang digunakan oleh penjual dan pembeli atau sesama penjual atau sesama pembeli kadang memang memakai bahasa Bugis atau Mandar, namun kadang personal yang terlibat pembicaraan juga memakai Bahasa Madura, walaupun mereka sesama orang Bugis atau Mandar. Terlebih jika di tempat-tempat umum, mereka lebih banyak menggunakan Bahasa Madura. Apabila di dalam lingkungan terbatas, misalnya keluarga atau kerabatnya, barulah Bahasa ibu yang dipakai untuk komunikasi. Dalam suatu pembicaraan di Pasar Masalembu, seorang ibu keturunan Bugis menanyakan harga ikan tongkol pada penjualnya yang juga keturunan Bugis. Pembeli bertanya: “Siaga alinna bale akalettak sikaju ?” (berapa harga ikan tongkol satu ekor ?); kemudian di jawab oleh penjual “Limasebbu sikaju” (lima ribu satu ekor). Komunikasi seperti itu juga akan dipahami jika ada keturunan Madura di sampingnya. Begitu pula sebaliknya jika ada orang Madura menanyakan hal yang sama dengan Bahasa Madura “Berempa reggena cukok tongkol settong ?” Kemudian dijawab oleh penjual, Lema ebu 503
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 495—507 Orang yang ada di sekitar mereka baik dari Bugis atau Mandar juga akan mengetahui maksud kalimat itu. Pemahaman Bahasa Madura di Pulau Masalembu merupakan cara adaptasi yang dipakai oleh pendatang dari luar pulau. Kalaupun ada penduduk yang lahir di Pulau Masalembu, namun keturunan Jawa, Bugis, atau Mandar mereka akan secara otomatis belajar Bahasa Madura, karena dalam kesehariannya selalu ada kata-kata atau kalimat dari bahasa itu. Paling tidak dengan semakin banyaknya mereka bergaul dengan orang lain yang banyak menggunakan Bahasa Madura atau bahasa lain selain bahasa ibunya, maka mereka akan semakin banyak kosa kata yang dimiliki. Kosa katanya semakin bertambah maka personal yang bersangkutan akan semakin lancar menggunakan bahasa lain selain bahasa ibunya. Saat bermain agar teman bermainnya mengerti yang dibicarakan, anak akan berusaha mempelajari bahasa lain yang dipakai oleh temannya bermain agar suasana menjadi enak. Begitu pula dengan orang tua yang berada di lingkungan kerja atau bertetangga dengan orang lain yang memakai bahasa yang berbeda dengan bahasa yang kesehariannya dipakai, maka secara otomatis ia akan berusaha untuk mencari tahu dan belajar agar komunikasi dengan tetangga atau teman sekerjanya menjadi lancar. Kasus komunikasi semacam itu perlu dipertimbangkan bahwa beberapa bahasa daerah pada satu pihak menjamin kesinambungan (kontinuitas) kebudayaan, suatu syarat penting dalam pertumbuhan suatu bangsa yang sehat, namun pada pihak lain bahasa-bahasa daerah itu sangat terjalin dengan stratifikasi sosial tradisional, yang justru harus diatasi jikalau usaha pembangunan sosial hendak berhasil. Dalam proses sosialisasi anak melalui bahasa daerah si anak, belajar melihat pelapisan masyarakat sebagai suatu yang wajar dan langgeng, yang tidak dapat dan tidak boleh diubah. Oleh karena itu bahasa juga merupakan alat suatu kebudayaan untuk meneruskan dan melanggengkan suatu stratifikasi sosial (Soedjadmoko, 1996:182). Langkah semacam itu seperti merupakan langkah 504
adaptasi seperti yang dikemukakan oleh Whitten and Whitten bahwa sebagai cara-cara yang dipakai perantau untuk mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan untuk memperoleh suatu keseimbangan positif dengan kondisi-kondisi latar belakang perantau (Pelly, 1994:84). Kemudian jika diperhatikan pendapat Kluckhohn yang juga menegaskan, bahwa setiap kebudayaan merupakan perangkat teknik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapi dan dengan orang lain. Tetapi selain memberikan cara pemecahan masalah-masalah, kebudayaan juga menimbulkan masalah-masalah (Kluckhohn, 1993:84). Para pedagang di Pasar Masalembu tersebut dengan kebudayaan yang dimiliki akan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Hal tersebut terkait dengan penjelasan Bennett dalam tentang interaksi, juga memunculkan konsep adaptasi. Apabila melihat pendapat keduanya tentang adaptasi, ada persamaan yang diprediksikan, bahwa dalam berinteraksi manusia juga akan menemukan kesulitan atau kalau dalam pemikiran Bannett disebut sebagai mal adaptasi. Untuk memperjelas itu perlu dikemukakan contoh berikut, ada cerita yang dapat dikemukakan oleh siapa saja penduduk Masalembu yang sudah usia lanjut. Baik itu dari keturunan Bugis, Madura, maupun Mandar. Cerita ini dikemukakan oleh pak Sapuri: Suatu ketika saat malam hari dan udara dingin. Suami istri keluarga Wak Nasar yang keturunan Madura kedinginan dan membuat api di bawah rumah panggungnya. Tak berapa lama lewat Wak Sampala (keturunan Bugis) dari Labuseka. Ia permisi dan menanyakan sedang apa di bawah rumah panggung. Kemudian Wak Nasar menjawab kami sedang ngindu-ngindu (Bahasa Madura yang berarti memanaskan badan). Sambil berlalu Wak Sampala bergumam,
o ….. sedang ngendru-endru …(Bahasa Bugis yang berarti bersetubuh). Mendengar jawaban itu Wak Nasar marah dan mengajak berkelahi, ia merasa diejek dan dipermalukan karena dikira sedang bersetubuh di bawah rumah panggung. Wak Sampala mau menjelaskan tidak
Adaptasi Ekonomi di Pasar ... 0XGMLMRQR
diberi waktu, karena menurutnya ia hanya menirukan yang ia dengar. Oleh karena ditantang, Wak Sampala pantang menolak karena berarti malu. Selanjutnya, ke duanya berkelahi dengan masing-masing membawa pisau. Kedua saling tikam dan tidak ada yang mati. Oleh karena perkelahian tidak berhenti, maka keduanya memutuskan untuk berhenti dan karena keduanya tidak juga luka maka mereka menganggap mereka sebenarnya bersaudara. Mulai saat itu, mereka bersumpah kalau anak turun Wak Nasar dan Sampala tidak akan bermusuhan. Mulai saat itulah orang-orang Bugis yang berada di Pulau Masalembu menganggap orang-orang Madura adalah saudaranya (diceritakan oleh Sapuri pada 24 Maret 2013). Kasus semacam itu sebenarnya banyak terjadi di dalam proses hubungan antarwarga masyarakat Masalembu, namun para sesepuh atau aparat dengan seksama dan sigap selalu menyelesaikan jika muncul persoalan yang teramat kecil. Malahan dalam perkembangan selanjutnya hingga saat ini banyak keturunan Madura yang nikah dengan keturunan Bugis, atau keturunan Mandar dengan keturunan Madura atau Bugis. Kondisi semacam itu menjadikan semakin erat persaudaraan di antara mereka. Dalam aktivitas di pasar misalnya, tidak ada masalah yang serius terjadi, mengingat walaupun mereka bukan satu suku akan tetapi karena sanak saudara yang ada di satu pulau dapat diketahui bahwa ia keturunan dari keluarga siapa. Terlebih tanah yang dipakai untuk pasar semua menyadari kalau itu merupakan milik H Imam, jadi samasama berstatus menyewa. PENUTUP Masyarakat yang tinggal di Pulau Masalembu, Kecamatan Masalembu, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur terdiri dari berbagai etnis, antara lain etnis Jawa, Madura, Bugis, dan Mandar.Etnis Madura dianggap paling awal datang di daerah itu. Oleh karenanya Kampung Madura atau yang acapkali disebut Kampung Raas merupakan daerah yang paling ramai. Selain Pulau Masalembu, Pulau Masakambing
dan Pulau Kramean penduduknya bervariasi etnis seperti halnya yang tinggal di Pulau Masalembu. Penduduk ke tiga pulau itu dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya selalu berbelanja ke Pasar Masalembu. Bahkan, ada pula ABK kapal yang sedang berlabuh di Pulau Masalembupun menyempatkan diri berbelanja. Oleh karena itu dalam komunitas pasar di sana sangat bervariasi yang terlibat di dalamnya, yang menjadikan penduduk Pulau Masalembu sangat adaptatif karena sudah terbiasa bergaul dengan etnis lain. Adaptasi ekonomi dilakukan oleh para pedagang di Pasar Masalembu antara lain dengan mencari jalan ke daerah mana mereka harus mencari barang dagangan. Setelah mereka mendapat barang dagangan para pedagang akan menjual barang dagangan di Pasar Masalembu atau menjajakan di sekitar pasar. Selain itu, adaptasi penduduk di sana dimulai sejak masa kanak-kanak dan berlangsung setiap hari. Mereka bermain dengan penduduk Masalembu yang mempergunakan bahasa yang berbeda, misalnya Mandar dan Bugis. Walaupun acapkali muncul ketidaktahuan, akan tetapi karena bertemu dan bergaul terus menerus, maka menjadi saling mengetahui. Adaptasi sosial merupakan adaptasi lain yang dilakukan oleh para pedagang, mereka harus memahami berbagai bahasa lokal yang bukan etnisnya. Bahasa Mandar, Madura, dan Bugis merupakan bahasa yang banyak dikuasai oleh para pedagang Pasar Masalembu. Walaupun pada dasarnya Bahasa Madura lebih banyak digunakan dalam berkomunikasi di pasar. Adanya kata yang sama namun berbeda artinya menggambarkan bahwa dalam cerita masyarakat di Masalembu waktu lalu memang sering ada pertengkaran antarsuku. Melalui pemikiran yang luhur dan ide yang sederhana dibuatlah cerita tentang Wak Nasar dan Wak Sumpala. Pelajaran yang dapat dipetik atau makna dari cerita tersebut sesungguhnya diharapkan berbagai etnis yang menetap dan hidup di wilayah Pulau Masalembu mempunyai toleran yang tinggi, walaupun mereka berbeda etnis namun anggaplah sebagai saudara. Dalam cerita ke dua tokoh tersebut digambarkan, walaupun mereka saling menusuk akan tetapi ke duanya tidak ada 505
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 495—507 yang luka yang diartikan jika ada luka yang kecil sebaiknya dimaafkan dan dimaklumi karena mereka bersaudara. Pemahaman dan pemakaian berbagai bahasa lokal yang diterapkan secara bersamasama oleh para pedagang sebenarnya merupakan adaptasi sosial yang paling kuat dilakukan oleh para pedagang. Namun jikalau direnungkan sebenarnya pemakaian berbagai bahasa lokal oleh penduduk yang berada di pasar itu merupakan cerminan dari multikultural yang telah dilakukan dan telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat di sana. Saran dari pengalaman penelitian tentang Pasar Masalembu, sebaiknya kondisi pasar tradisional semacam itu dipakai sebagai model untuk pengembangan pasar tradisional. Fenomena saling menghargai dan saling memahami lewat pemahaman dan penguasaan bahasa lokal merupakan contoh kehidupan sosial yang saling toleransi. Perlu diingat bahwa pemakaian bahasa apapun dengan dipahami oleh suku apapun akan menjadikan mereka yang terlibat dalam aktivitas sosial itu menjadi berdekatan secara psikis. Perbedaan penafsiran yang muncul akan dapat dimaklumi di antara mereka. Selain itu kondisi Pasar Masalembu yang multikultural akan menjadi daya tarik sendiri bagi siapapun untuk datang berkunjung di masyarakat itu. Terlebih hunian yang mengelompok dan familiar juga akan menjadikan masyarakat dari daerah lain terkesan dan menceritakan pada publik lain akan keelokan masyarakat Masalembu. DAFTAR PUSTAKA Affar. Z, Wijaya dan Makki. 1996. Adaptasi Sosial Budaya Masyarakat Kubu Terhadap Perubahan Lingkungan di Jambi. (Ed: Zulheppy. Z). Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Asis, Abdul. 2013. Pola Adaptasi Migran Bajo Terhadap Masyarakat di Pulau Wangiwangi, Kepulauan Wakatobi. Makassar: Diterbitkan atas kerjasama Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar dengan penerbit De La Macca. Bennett, John W. 1978. The Ecological transition: 506
Cultural Anthropology and Human Adaptation.Washington University at St. Louis. New York, Toronto, Sydney, Paris, Frankfurt: Pergamon Press. Bohanan, Paul.1963. Social Anthropology. USA: Holt Rinehart and Winston Inc. Creutzberg, Pieter dan Laanen J.T. M. Van.1987. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. De Jonge, Huub.1989. Madura. Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam. Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Jakarta: Perwakilan Koninklijk Instituut Voo Taal, Land-en Volkenkunde (KITLV), Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI), bersama Penerbit PT Gramedia. Effendi, Nursyirwan.1997. “Pasar dan Fungsi Kebudayaan” dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia (Ed: E.K.M Masinambow). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Farid. H. 1996. “Menemukan Bangsa, Menciptakan Bahasa: Bahasa, Politik, dan Nasionalisme Indonesia” dalam BAHASA DAN KEKUASAAN: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. (Ed: Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim). Bandung: Mizan. Galba, S. 2006. Adaptasi Budaya Masyarakat Lampung (Ed: Andayani R.S.). Bandung: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Ima, Andi Kesuma. 2004. Migrasi dan Orang Bugis. Yogyakarta: Ombak. Kartodirdjo, Sartono dkk.1977. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kluckhohn, Clyde.1993. “Cermin Bagi Manusia” dalam Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya (Ed: Parsudi Suparlan). -DNDUWD375DMD*UD¿QGR3HUVDGD Kompas. 2002. “Kelautan Nyaris Tak Ada Terobosan” dalam Kompas, 26 Desember. Halaman 15 dan 19. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Lombard, D. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II: Jaringan Asia. Alih Bahasa: Winarsih Partaningrat,
Adaptasi Ekonomi di Pasar ... 0XGMLMRQR
Rahayu S. Hidayat, Nini Hidayati Yusuf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Forum Jakarta-Paris Ecole Francaise d.ExtremeOrient. Ridwan, Muhammad Alimuddin. 2005. Orang mandar Orang laut. Kebudayaan Bahari Mandar. Mengarungi Gelombang.Perubahan Zaman. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI. Pelras, Christian. 2005. “Budaya Bugis: Sebuah Tradisi Modernitas” dalam Tapak-Tapak Waktu. Makasar: Ininnawa. Pelly, Usman.1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES. Rex, John.1985. Analisa Sistem Sosial. Jakarta: PT Bina Aksara. Sadilah. E. 2006 . “Strategi Adaptasi Masyarakat Desa Klaces, Kampung Laut Cilacap Jawa Tengah” dalam Patrawidya Halaman: 341381. Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
Soedjadmoko.1996. “Bahasa dan Transformasi Bangsa”dalam BAHASA DAN KEKUASAAN: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. (Ed: Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim). Bandung: Mizan. Soedjono, Wiwoho. 1982. Hukum Perkapalan dan Pengangkutan Laut. Jakarta: PT Bina Aksara. -------------1987. Hukum Pengangkutan Laut Di Indonesia dan Perkembangannya. Yogyakarta: Liberty. Sulistiyono, Singgih Tri. 2004. Pengantar Sejarah Maritim Indonesia. Semarang: Program Hibah Penulisan Buku Teks. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Suparlan, Parsudi. 2003. “Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan” dalam Antropologi Indonesia tahun XXVII No. 72. Jakarta: Departemen Antropologi FISIPOL Universitas Indonesia. Winardi.1990. Ilmu Ekonomi (Aspek aspek Sejarahnya). Bandung: PT Citra Aditya.
507