Adab Di Masjid 1: Membaca Do’a Masuk Masjid Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah.. Kita tahu bahwa setiap muslim pasti dalam kesehariannya selalu berinteraksi dengan Masjid. Setidaknya 5 Kali dalam sehari ia melangkahkan kakinya menuju masjid. Tentu kita tahu bahwa masjid adalah Rumah Allah; tempat yang paling afdhal di muka bumi. Tempat kaum mukminin beribadah kepada Allah. Kalau saja, seseorang tidak boleh berbuat sembarangan saat berkunjung ke rumah orang lain, walaupun itu rumah kerabatnya sendiri. Maka barang tentu Rumah Allah lebih berhak untuk dijaga hak-haknya. Tapi sangat disesalkan ketika masih banyak kaum muslimin yang belum paham hak-hak yang harus dia lakukan ketika berada di masjid, sehingga tak jarang berbagai pelanggaran mereka lakukan. Mengingat pentingnya permasalahan ini, maka kami berupaya berturut serta mencurahkan usaha yang kami miliki dengan menjelaskan adab-adab ketika seorang muslim berada di masjid. Semoga usaha kami ini diberi balasan kebaikan yang berlipat di sisi Al-Maula Azza wa Jalla. Pembahasan ini akan terus berlanjut, setiap pembahasan kami cukupkan satu Bab Permasalahan. =============
Membaca Do’a Masuk Masjid Membaca do’a sebelum masuk masjid adalah Sunnah. Adapun lafazh do’any ialah sebagai berikut:
َﻚﺘﻤﺣ رابﻮﺑ ا ﻟ اﻓْﺘَﺢﻢاﻟﻠﱠﻬ Allahummaftahli Abwaba Rohmatika
“Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.” [1]
Boleh juga membaca do’a yang lebih panjang seperti berikut,
ِﻄَﺎن اﻟﺸﱠﻴﻦ ﻣ، اﻟْﻘَﺪِﻳﻢﻪﻠْﻄَﺎﻧﺳ و،ﺮِﻳﻢْ اﻟﻬِﻪﺟﺑِﻮ و،ﻴﻢﻈ اﻟْﻌﻪﻮذُ ﺑِﺎﻟﻋا ابﻮﺑ ا ﻟ اﻓْﺘَﺢﻢ اﻟﻠﱠﻬ،ٍﺪﻤﺤ ﻣَﻠ ﻋﻢّﻠﺳ وﻞ ﺻﻢ اﻟﻠﱠﻬﻪ اﻟﻢ ﺑِﺴ،ﺟِﻴﻢاﻟﺮ َﻚﺘﻤﺣر ِﻄَﺎن اﻟﺸﱠﻴﻦ ﻣ اﻟْﻘَﺪِﻳﻢﻪﻠْﻄَﺎﻧﺳ وﺮِﻳﻢْ اﻟﻬِﻪﺟﺑِﻮ وﻴﻢﻈ اﻟْﻌﻪﻮذُ ﺑِﺎﻟﻋا ابﻮﺑ ا ﻟ اﻓْﺘَﺢﻢ اﻟﻠﱠﻬ،ٍﺪﻤﺤﻣَﻠﻋﻢّﻠﺳوﻞﺻﻢاﻟﻠﱠﻬ،ﻪاﻟﻢ ﺑِﺴ،ﺟِﻴﻢاﻟﺮ َﻚﺘﻤﺣر “A’Udzu billahil ‘adzim wa biwajhihil karim wa sulthonihil qadim minasy syaithanir rajim. Bismillah. Allahumma shalli wa sallim ‘ala Muhammad. Allahummaf ftahlii abwaba rahmatika (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dan (berlindung) dengan wajahNya Yang Mulia, dan kekuasaan-Nya yang kekal dari (gangguan) syaithan yang terlaknat. Dengan menyebut Nama Allah. Ya Allah, shalawat dan salam curahkanlah kepada Muhammad. Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu).” [2] Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, “Tempat ke delapan dari tempat-tempat (yang disyari’atkan) bershalawat kepada Nabi e adalah ketika akan masuk masjid dan ketika akan keluar darinya.” [3] ============= [1]Dari Shahabat Abu Humaid dan Abu Usaid Al-Anshari –Semoga Allah meridhai keduanya-, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam bersabda, ”Apabila salah seorang kalian hendak masuk masjid maka bacalah, ”Allahummaftahli Abwaba Rohmatika (Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.” (HR. Muslim no. 713)
[2] Dalil-dalil untuk gabungan do’a di atas adalah: Dalil Isti’adzah:Abdullah bin Amr bin ‘Ash menuturkan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila masuk masjid mengucapkan: “A’Udzu billahil ‘adzim wa biwajhihil karim wa sulthonihil qadim minasy syaithanir rajim. Bismillah. Allahumma shalli wa sallim ‘ala Muhammad. Allahummaf ftahlii abwaba rahmatika (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dan (berlindung) dengan wajah-Nya Yang Mulia, dan kekuasaanNya yang kekal dari (gangguan) syaithan yang terlaknat.” Beliau r bersabda: “Apabila seseorang membacanya, syaithan berkata, ‘dia telah dijaga dariku sepanjang hari ini.” (HR. Abu Daud no.466, dishahihkan oleh Asy-Syaikh AlAlbani dalam Al-Misykah no.749, Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud no.466, dan Ats-Tsamarul Mustathob hal.603) Dalil Shalawat dan Salam, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, Nabi e jika masuk masjid mengucapkan, “Bismillah, Allahumma shalli ‘ala Muhammad,” dan apabila keluar mengucapkan, “Bismillah, allahumma shalli ‘ala Muhammad (Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam atas Muhammad).” Makna serupa juga diriwayatkan dari Fathimah, Abu Hurairah, Abu Humaid dan Abu Usaid Al-Anshari. (Lihat Ats-Tsamarul Mustathob hal 604-609) [3] Dinukil dari ‘Aunul Ma’bud(2/93) ===================== Admin Warisan Salaf
Menelisik Berbagai Tradisi di Bulan Muharram Bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram dalam Islam, bulan ini berada pada urutan pertama penanggalan hijriyah sejak diresmikan oleh Khalifah Umar bin KhattabRadhiallahu ‘anhu.
Pada mulanya, terjadi silang pendapat di antara para shahabat dalam menentukan awal masuk kalender Islam, dengan bulan apa dimulai? Sebagian mereka mengusulkan dimulai dengan bulan Rabi’ul Awwal, sebagian lagi mengusulkan dengan bulan Ramadhan. Namun, Khalifah Umar dan sejumlah shahabat lainnya lebih memilih bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender Islam, dengan alasan bahwa di bulan inilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membulatkan tekadnya untuk berhijrah ke negeri Madinah. Oleh karena itu, penanggalan Umar ini disebut penanggalan hijriyyah. (Al-Bidayah wa An-Nihayah) Bulan Muharram Menurut Islam Muharram termasuk salah satu dari empat bulan suci dalam Islam yang tersebut dalam Al-Qur’an, مﺮﺔٌ ﺣﻌﺑرﺎ اﻨْﻬ ﻣضراﻻاتِ وﺎوﻤ اﻟﺴ ﺧَﻠَﻖمﻮ ﻳﻪﺘَﺎبِ اﻟ ﻛا ﻓﺮ ﺷَﻬﺸَﺮ اﺛْﻨَﺎﻋﻪﻨْﺪَاﻟﻮرِﻋﺪﱠةَاﻟﺸﱡﻬنﱠ ﻋا “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS. At-Taubah: 36) Keempat bulan itu adalah: Muharram, Rajab, Dzulqo’dah, dan Dzulhijjah, sebagaimana yang dideklarasikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada saat haji perpisahan. Disebut bulan haram karena ia mengandung kemuliaan lebih (dari bulan-bulan lainnya) dan karena pada bulan-bulan ini diharamkan untuk berperang. (Tafsir As-Sa’di, hal.192) Cukuplah menunjukkan kemuliaan bulan Muharram ini ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjulukinya sebagai bulan Allah, beliau bersabda, “… yaitu bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim, no.1982) Kata para ulama’, segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah itu memiliki kemuliaan lebih dari yang tidak disandarkan kepada-Nya, seperti baitullah (rumah Allah), rasulullah (utusan Allah), dll. Dalam Islam, bulan Muharram memiliki nilai historis (sejarah) yang luar biasa; pada bulan ini, tepatnya pada tanggal sepuluh, Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya serta menenggelamkan
mereka di laut merah. Di bulan ini juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertekad kuat untuk berhijrah ke negeri Madinah, setelah mendengar bahwa penduduknya siap berjanji setia membela dakwah beliau. Walaupun tekad kuat beliau ini baru bisa terealisasi pada bulan Shafar. Selain itu, di bulan ini terdapat ibadah puasa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagai puasa terbaik setelah Ramadhan, beliau bersabda: مﺮﺤ اﻟْﻤﻪ اﻟﺮﺎنَ ﺷَﻬﻀﻣﺪَ رﻌ ﺑﺎمﻴ اﻟﺼﻞﻓْﻀا “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah berpuasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim, no.1982 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) Beliau ` juga bersabda ketika ditanya tentang keutamaannya: “Menghapuskan dosa-dosa tahun yang lalu.” (HR. Muslim, no.1977 dari shahabat Abu Qotadah Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu) Berkaitan dengan puasa Asyuro, untuk lebih lengkapnya bisa dibaca kembali pada edisi sebelumnya. Bulan Muharram Menurut Masyarakat Jawa Bagi masyarakat Jawa, bulan Muharram atau yang lebih dikenal dengan bulan suro memiliki nilai religi yang tinggi. Bulan ini dianggap sebagai bulan keramat yang tidak boleh dibuat pesta dan bersenang-senang, sehingga banyak aktivitas yang ditunda atau bahkan dibatalkan. Lebih dari itu, mereka meyakini siapa yang mengadakan hajatan pada bulan ini akan ditimpa musibah dan malapetaka. Sebagai contoh adalah pernikahan, masyarakat Jawa pada umumnya, enggan menikahkan putra atau putri mereka di bulan ini karena khawatir ditimpa petaka dan kesengsaraan bagi kedua mempelai. Ketika ditanya mengenai alasan mereka menilai bulan Muharram sebagai bulan keramat nan penuh pantangan, tidak ada Jawaban berarti dari mereka selain, ‘Beginilah tradisi kami’ atau‘Beginilah yang diajarkan bapak-bapak kami’. Para pembaca rahimakumullah, sikap mengikuti tradisi atau leluhur tanpa
bimbingan Islam adalah terlarang, bahkan sikap seperti ini termasuk sifat orangorang jahiliyyah dan para pembangkang yang hidup jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Berkaitan dengan orang-orang Jahiliyyah, Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an menyebutkan Jawaban orang-orang Quraisy ketika diajak oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk meninggalkan kesyirikan, kata mereka: َﺘَﺪُونﻬ ﻣﻢﺛَﺎرِﻫ اَﻠﻧﱠﺎ ﻋا وﺔﻣ اَﻠﻧَﺎ ﻋﺎءﺑﺪْﻧَﺎ اﺟﻧﱠﺎ وا “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 22) Demikian pula Fir’aun, ketika diajak oleh Nabi Musa ‘Alaihis Salam agar beriman kepada Allah, ia malah berkata: ﻧَﺎﺎءﺑ اﻪﻠَﻴﺪْﻧَﺎ ﻋﺟﺎ وﻤﺘَﻨَﺎ ﻋﺘَﻠْﻔﺘَﻨَﺎ ﻟﺟِﯩﻗَﺎﻟُﻮ اا “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya.” (QS. Yunus: 78) Kemudian, anggapan sial untuk melakukan aktivitas di bulan Muharram yang diyakini oleh keumuman masyarakat Jawa saat ini dalam ajaran Islam disebut Tathoyur atau Thiyaroh, yaitu meyakini suatu keburuntungan atau kesialan didasarkan pada kejadian tertentu, atau tempat tertentu. Anggapan seperti ini sebenarnya sudah ada sejak zaman jahiliyah. Setelah Islam datang, maka ia dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus ditinggalkan. Allah berfirman: “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 131) Dalil yang menunjukkan bahwa Thatoyur atau Thiyaroh termasuk kesyirikan adalah sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam:
كٌ ﺛَﻼﺛًﺎﺮةُ ﺷﺮﻴّكٌ اﻟﻄﺮةُ ﺷﺮﻴّاﻟﻄ “Thiyaroh adalah kesyirikan”, beliau mengulangnya sebanyak tiga kali.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, dari shahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘anhu)
Apabila kita telah tahu bahwa anggapan sial atau keberuntungan seperti itu termasuk kesyirikan, kewajiban kita selanjutnya adalah menjauhinya dan menjauhkannya dari anak dan istri kita. Sehingga kita beserta keluarga kita tidak terjerembab kedalam kobangan dosa besar yang paling besar, yaitu dosa syirik. Bulan Muharram Menurut Syi’ah Berbeda halnya dengan orang-orang syi’ah, apabila keumuman masyarakat Jawa menjadikan bulan Muharram sebagai bulan pantangan untuk melakukan aktivitas tertentu, justru orang-orang syi’ah menjadikannya sebagai hari berkabung. Pada setiap tanggal 10 Muharram, orang-orang syi’ah di Iran mengadakan pawai akbar untuk memperingati hari terbunuhnya cucu RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Sallam, Husein bin Ali Radhiallahu ‘anhuma di padang Karbala. Acara rutin mereka tersebut dimulai sejak tanggal 1 sampai tanggal 10 Muharram. Pada tanggal 1 Muharram sampai tanggal 9 Muharram mereka mengadakan pawai besar-besaran di jalan-jalan menuju Al-Huseiniyah. AlHuseiniyah adalah tempat ibadah syi’ah, kalau kaum muslimin menyebutnya masjid, tetapi biasanya Al-Huseiniyyah digunakan untuk makam Imam, bukan untuk shalat, sedang shalat dilakukan di luar bangunan. Penamaan ini diambil dari nama Imam syi’ah ke 3, yaitu Al-Imam Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu. Peserta pawai hanya mengenakan celana atau sarung saja sedangkan badannya terbuka. Selama pawai, mereka memukul-mukul dada dan punggungnya dengan rantai besi sehingga meninggalkan luka memar yang mencolok. Kemudian, pada acara puncak, mereka mengenakan kain berwarna putih dan ikat kepala berwarna putih pula. Setelah itu, mereka menghantamkan pedang, pisau, atau benda tajam lainnya ke kepala dan dahi mereka sehingga darah pun bercucuran. Darah yang mengalir ke kain putih membuat suasana semakin haru dan duka, bahkan tak sedikit di antara mereka yang menangis histeris. Demikianlah gambaran ringkas tentang aktivitas syi’ah di bulan Muharram. Seperti yang telah kami sebutkan, tujuan utama mereka adalah untuk mengenang terbunuhnya Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma. Para pembaca rahimakumullah, sebagai seorang muslim tentu kita juga sangat bersedih dengan peristiwa tragis nan menyayat hati yang menimpa cucu RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Sallam itu. Namun, Islam melarang pemeluknya
yang tertimpa musibah untuk berucap atau berbuat sesuatu yang menunjukkan ketidak-ridhaan kepada keputusan Allah, seperti, merobek baju, menampar pipi, menjambak rambut, menangis histeris, apalagi menyayat kepala dan dahi seperti yang dilakukan orang-orang syi’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Bukan dari golongan kami barang siapa yang menampar pipi, menyobek baju, atau meratap dengan ratapan jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu) Lebih dari itu, bagi wanita peratap yang mati dan belum bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan pakaian dari tembaga yang meleleh, sebagaimana dijelaskan RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam haditsnya yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dari Abu Malik Al-Asy’ari Radhiallahu ‘anhu. Maka tahulah kita bahwa apa yang dilakukan orang-orang syi’ah tersebut bukan hanya tidak ada dasarnya dalam Islam, bahkan ia bertolak belakang dengan ajaran Islam. Lebih parah lagi, di Lahore, kota terbesar kedua di Pakistan, orang-orang syi’ah menutup acara mereka itu dengan ‘malam gembira’ berupa mut’ah (baca; zina) masal. Na’audzu billahi min dzalik. Para pembaca rahimakumullah, peringatan 10 Muharram untuk mengenang terbunuhnya Imam Husein tidak hanya diadakan di Iran saja, tetapi juga di negara-negara lainnya, seperti India, Pakistan, Lebanon, dan juga Indonesia, hanya saja tata caranya berbeda. Di Indonesia, contohnya, sudah menjadi acara rutin tahunan bagi syi’ah mengadakan acara ini yang mereka istilahkan dengan arba’in-an, yaitu mengenang 40 hari syahidnya Imam Huseinradhiallahu ‘anhu. Yang paling ‘unik’ adalah yang dilakukan orang-orang syi’ah dari kota Lawang, Bondowoso, Situbondo, dan beberapa daerah lainnya beberapa tahun silam, mereka menyelenggarakan ritual tahunan itu di Gereja Berzicht di kota Lawang, Jawa Timur. La haula wala quwwata illa billah. Penutup Para pembaca rahimakumullah, itulah fenomena yang terjadi di tengah-tengah
umat seputar perbedaan menyikapi bulan Muharram. Sebagai seorang muslim seharusnya kita bisa membedakan antara syari’at dan perkara adat. Tentunya Syari’at harus dikedepankan walaupun menyelisih adat. Sebaliknya, adat harus disingkirkan ketika menyelisihi syari’at, demikianlah Islam. Karena dengan sikap inilah Islam akan jaya. Adapun jika umat masih mengedepankan adat dan tradisi, walaupun bertentangan dengan syari’at, maka pada saat itulah mereka akan ditimpa kehinaan dan kerendahan. Inilah makna hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: ﺮِيﻣ ا ﺧَﺎﻟَﻒﻦ ﻣَﻠ ﻋﻐَﺎراﻟﺼ اﻟﺬِّﻟﱠﺔُ وﻞﻌﺟو “Dan dijadikan kerendahan dan kehinaan bagi siapa saja yang menentang syari’atku.” (HR. Al-Bukhari, dari shahabat Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma) Semoga tulisan ringkas ini bisa memberikan tambahan ilmu bagi saudarasaudaraku seiman dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin ya Rabbal ‘alamin… Ditulis oleh Admin Warisan Salaf Untuk Buletin Al-Ilmu
Pentingnya Al-Ilhah (Merengek) Ketika Berdo’a Di antara adab penting di dalam berdo’a adalah mengulang-ulang hajat yang ia butuhkan atau merengek. Merengek merupakan salah satu sebab dikabulkannya do’a, karena itu pertanda bukti sangat butuhnya seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Imam Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Sunan-nya sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
«ﻪﻠَﻴ ﻋﺐﻐْﻀ ﻳﻪلِ اﻟﺎﺴ ﻳ ﻟَﻢﻦ»ﻣ “Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, Dia akan murka kepadanya.” Dan Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘annu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,”Janganlah kalian lemah di dalam berdo’a. Karena sesungguhnya tidak seorangpun akan binasa bersama do’a.” Al-Auza’i menyebutkan sebuah riwayat dari Az-Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai seorang yang merengek dalam do’anya.” Di dalam kitab Az-Zuhd karya Al-Imam Ahmad, disebutkan sebuah Atsar dari Qotadah, dari Muwarriq, “Aku tidak mendapati permisalan yang tepat bagi seorang mukmin, kecuali ibarat seseorang yang berada di tengah lautan yang hanya berpegangan sebatang kayu. Lalu ia berdo’a, “Wahai Rabbku, Wahai Rabbku..” Ia berharap Allah akan menyelamatkannya.” Maksudnya adalah, seorang mukmin hidupnya di dunia dipenuhi dengan rasa butuh kepada Allah, ia selalu berdo’a dalam setiap kebutuhannya. Dan di dalam berdo’a dia seperti seorang yang berada di tengah lautan yang hanya berpegangan kepada sebatang kayu. Keadaan darurat tersebut membuat ia sangat khusyu’ dan mengulang-ulang permintaannya. Sumber panduan: Al-Jawabul Kaafi (hal.11)
Ulasan Surat Al-Fatihah: Mewujudkan Ayat “IYYAKA
NA’BUDU“ Dengan Empat Hukum (Ibnul Qoyyim) Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in adalah ayat ke lima dari surat Al-Fatihah. Setiap muslim yang taat pasti membacanya setiap hari, minimalnya 17 kali dalam shalat lima waktu. Ayat ke lima tersebut yang berbunyi,
إﻳﺎك ﻧﻌﺒﺪ وإﻳﺎك ﻧﺴﺘﻌﻴﻦ artinya adalah, “Hanya kepada-Mu (ya Allah) kami beribadah dan hanya kepada-Mu (ya Allah) kami memohon pertolongan.” Di dalam ayat di atas seorang muslim mengikrarkan diri sebagai hamba yang hanya beribadah serta memohon pertolongan kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Kaum muslimin yang dirahmati Allah, menjadi hamba yang benar-benar beribadah kepada Allah -seperti tersebut dalam ayat di atas- hanya akan terealisasi dengan empat perkara. Bila berhasil memenuhi keempatnya berarti dia masuk dalam golongan ayat tersebut. Tapi Jika ternyata tidak, berarti ikrar dia di dalam setiap raka’at shalatnya adalah fatamorgana. Ke empat perkara yang kami maksudkan adalah apa yang disebutkan oleh Ibnul Qoyyim di dalam kitabnya Madarijus Salikin. Di Jilid ke 1 halaman 120 beliau meletakkan sebuah Fasal yang sangat berharga. Dengan Fasal ini kita akan benar-benar paham maksud yang terkandung dalam ayat tersebut. Beliau berkata, “Fasal: Membangun Iyyaka Na’budu di atas Empat Kaedah” Kata beliau, “Dan Iyyaka Na’budu “Hanya kepada-Mu (ya Allah) kami beribadah” dibangun di atas empat kaedah, yaitu mengamalkan Perkaraperkara yang dicintai dan diridhai Allah dan Rasul-Nya, berupa: 1. Ucapan Lisan. 2. Dan (ucapan) hati. 3. Amalan hati,
4. Dan (amalan) anggota tubuh.” Inilah makna peribadahan yang sesungguhnya. Seorang muslim yang benar-benar mengaku hanya beribadah kepada Allah harus membuktikan dengan melaksanakan empat perkara di atas. Ibnul Qoyyim melanjutkan, “Al-‘Ubudiyyah adalah semua nama yang mencakup empat tingkatan ini. Maka orang-orang yang mengucapkan Iyyaka Na’budu ( ) إﻳﺎك ﺗﻌﺒﺪyang sesungguhnya ialah yang merealisasikannya (yakni mangamalkan empat kaedah tersebut,pen).” Kemudian Ibnul Qoyyim mulai merinci makna dari empat perkara tersebut: “Maka (yang dimaksud) ucapan hati ialah, meyakini (dengan sesungguhnya) berita-berita yang telah Allah sampaikan melalui lisan Rasul-Nya terkait tentang diri-Nya, nama dan sifat-sifat-Nya, malaikatmalaikat dan pertemuan dengan-Nya.” “Sedangkan ucapan lisan ialah, menyebarkan berita-berita tersebut, mendakwahkannya, membelanya, dan menjelaskan batilnya kebid’ahan yang menyelisihinya, serta selalu berdzikir kepada-Nya, dan menyampaikan perintah-perintah-Nya.” Adapun amalan hati ialah, seperti rasa cinta kepada-Nya, hanya bertawakkal kepada-Nya, kembali (taubat) kepada-Nya, takut dan berharap hanya kepada-Nya, ikhlas dalam beragama, bersabar di dalam melakukan perintah-perintah-Nya, dan (bersabar) dari (menjauhi) larangan-larangan-Nya, dan (bersabar) di dalam menjalani ketentuan (takdir)Nya, ridho terhadap takdir yang baik dan yang jelek, menumbuhkan kecintaan karena-Nya dan bermusuhan karena-Nya pula, merendahkan dan menundukkan diri hanya kepada-Nya, ikhbat kepadaNya, thuma’ninah kepada-Nya, dan amalan-amalan hati lainnya yang mana amalan hati yang fardhu lebih fardhu dari amalan anggota tubuh, dan amalan mustahabnya lebih dicintai Allah ketimbang amalan mustahab anggota tubuh, karena amalan anggota tubuh tanpa disertai amalan hati bisa jadi tidak bermanfaat atau ada manfaatnya tapi sedikit. Dan amalan anggota tubuh ialah, seperti shalat, jihad, mengayunkan langkah menuju shalat jum’at dan (shalat) jama’ah, menolong orang yang
lemah, berbuat baik kepada sesama, dan selain itu. Berarti, seorang yang mengikrarkan diri “hanya beribadah kepada Allah” tapi tidak mau beriman kepada berita-berita yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadits nabi, baik menolaknya secara langsung atau dengan alasan-alasan tertentu, seperti menolak Nama atau sifat Allah dengan alasan Allah tidak sama dengan makhluknya, atau memusuhi orang-orang yang mendakwahkan kebenaran, atau perkara-perkara lain yang telah disebutkan Ibnul Qoyim di atas menunjukkan bahwa orang itu tidak jujur dalam ikrarnya. Dan itu juga menunjukkan bahwa dia masih beribadah kepada selain Allah, dalam hal ini beribadah (tunduk dan patuh) kepada hawa nafsu, guru, atau kepada syaithan.. Kemudian Ibnul Qoyyim menutup penjelasannya, “Maka IYYAKA NA’BUDU merupakan keharusan (mengamalkan) empat hukum ini dan meyakininya.”
Lihat Madarijus Salikin (1/121) Admin Warisan Salaf ———–
Begini Caranya Agar Terhindar dari Bisikan Syaithan (Syaikh Abdul Aziz bin Baaz) Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya, “Do’a apa yang bisa dibaca oleh seseorang agar terhindar dari bisikan Syaithan?” Beliau menjawab, “Seseorang dapat berdo’a dengan do’a-do’a yang Allah mudahkan baginya (seperti),
“Ya Allah lindungi aku dari syaithan” “ya Allah selamatkan aku dari syaithan” “ya Allah jagalah aku dari syaithan” “ya Allah bantulah aku untuk berdzikir mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan ibadah yang bagus” “ya Allah jaga diriku dari tipu daya musuhmu yaitu syaithan” Dan hendaknya ia memperbanyak berdzikir mengingat Allah, memperbanyak bacaan Al-Qur’an, dan berlindung kepada Allah ketika mendapati bisikan syaithan. Apabila mendapati bisikan (syaithan) hendaknya ia berlindung kepada Allah dari (gangguan) syaithan yang terkutuk. Walaupun itu terjadi di dalam shalat. Apabila (bisikan dari syaithan) mengalahkannya hendaknya ia meniup (disertai semburan ludah) ke arah kirinya (sebanyak) tiga kali dan berlindung kepada Allah dari (godaan) syaithan tiga kali pula. Telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya shahabat Utsman bin Abil ‘Ash Ats-Tsaqofi Radhiallahu ‘anhu mengeluhkan kepada Nabi apa yang ia dapati dari gangguan syaithan di dalam shalatnya. Maka beliau memerintahkannya agar meniup (disertai semburan ludah) ke arah kirinya (sebanyak) tiga kali dan berlindung kepada Allah dari gangguan syaithan, dan itu dilakukan ketika shalat. Lantas beliapun melaksanakan hal itu dan hilanglah gangguan tersebut dari dirinya.” (HR. Muslim no.2203) Alhasil, bila seorang mukmin dan mukminah diuji dengan perkara ini hendaknya ia bersungguh-sungguh memohon keselamatan kepada Allah, dan banyak berlindung kepada Allah dari godaan Syaithan, dan bersungguh-sungguh memeranginya jangan sampai merasa tenang dengannya di dalam shalat atau di selainnya. Jika ia sudah berwudhu’ maka yakinlah kalau sudah berwudhu’, jangan sampai mengulangi wudhu’nya (karena bisikan syaithan). Jika ia sudah shalat maka yakinlah kalau sudah shalat, dan jangan sampai mengulangi shalatnya (karena bisikan syaithan).
Jika ia sudah bertakbir maka yakinlah kalau sudah bertakbir dan jangan sampai mengulangi takbirnya dalam rangka menyelisihi (bisikan) musuh Allah (yaitu syaithan) dan (dalam rangka) memeranginya. Demikian seharusnya setiap mukmin untuk selalu menjadi musuh yang siap memerangi dan melawan syaithan, dan tidak pernah tunduk kepada (bisikanbisikan)nya. Apabila syaithan membisikkan kepadamu bahwa dirimu belum berwudhu’ atau belum shalat, padahal engkau yakin sudah berwudhu’ dan sudah shalat, dan engkau masih melihat tanganmu basah (karena air wudhu’) yang dengannya engkau yakin telah shalat maka jangan sampai engkau mengikuti (bisikan) musuh Allah tersebut. Yakinlah bahwa engkau sudah berwudhu’ dan jangan mengulanginya. Berlindunglah kepada Allah dari musuh Allah tersebut yaitu syaithan. Demikian seharusnya seorang mukmin, ia harus kuat dalam memerangi dan melawan musuh Allah, agar tidak dikuasai dan disakiti (oleh syaithan). Karena ketika syaithan berhasil menguasai seseorang, maka orang itu akan dipermainkan hingga seperti orang gila. Maka kewajiban seorang mukmin dan mukminah adalah waspada dari musuh Allah dan berlindung kepada Allah dari kejahatan dan tipu dayanya. Dan agar selalu kuat dan sabar (di dalam menghadapinya), agar tidak mentaatinya untuk mengulangi shalat, atau mengulangi wudhu’, atau mengulangi takbir, atau yang lainnya. Demikian juga bila ia berkata kepadamu, “bajumu najis” atau “tempat ini najis” atau “kamar mandi ini najis” atau “tanah yang engkau injak najis” atau “tempat shalatmu ini demikian” maka jangan sampai engkau mengikuti (bisikannya). Telah dusta musuh Allah tersebut. Berlindunglah kepada Allah dari kejahatannya, dan shalatlah di tempat yang biasa engkau shalat, dan (sujudlah) di atas sejadah yang biasa engkau gunakan untuk shalat, dan di tanah yang biasa engkau injak dan engkau tahu kesuciannya, kecuali bila engkau melihat ada najis yang masih basah engkau injak maka cucilah kakimu, walhamdulillah. Adapun bisikan-bisikan musuh Allah janganlah diikuti. Ketahuilah bahwa hukum asal dari sesuatu adalah suci. Ini hukum asalnya. Maka janganlah engkau mengikuti (bisikan-bisikan) musuh Allah dalam hal apa pun kecuali engkau benar-benar yakin dengan melihat dan menyaksikan langsung
dengan kedua matamu. Agar engkau tidak dikalahkan oleh musuh Allah. Kami memohon kepada Allah agar semua diselamatkan (dari bisikan Syaithan).
Sumber: FATAWA NUUR ‘ALA AD-DARB LIBNI BAAZ (1/78)
Fatawa Waris: Pengantin Meninggal Dunia Sebelum Malam Pertama Apakah Mendapatkan Warisan? (Syaikh Shalih AlFauzan) Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala ditanya, “Apabila telah diselenggarakan akad nikah antara seorang pria dengan seorang wanita tapi keduanya belum sempat berhubungan. Lalu salah satu dari keduanya meninggal dunia. Apakah yang hidup akan mewarisi dari yang meninggal? Dan apa hukumnya dari sisi ‘iddahnya. Seandainya suami meninggal sebelum berhubungan dengan isterinya. Apakah berlaku masa ‘iddah baginya atau tidak? Beliau menjawab, “Apabila telah terselenggara akad pernikahan yang memenuhi persyaratan dan rukun-rukunnya. Kemudian salah satu dari kedua mempelai meninggal dunia sebelum melakukan hubungan (suami isteri), maka akad pernikahan tersebut tetap berlaku, dan antara keduanya saling mewarisi. (hal ini) berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, {ﺔﻴﺻﺪِ وﻌ ﺑﻦ ﻣﻦﻛﺎ ﺗَﺮﻤ ﻣﻊﺑ اﻟﺮﻢَﻟَﺪٌ ﻓَﻠ وﻦﺎنَ ﻟَﻬنْ ﻛﻟَﺪٌ ﻓَﺎ وﻦ ﻟَﻬﻦ ﻳنْ ﻟَﻢ اﻢاﺟزْوكَ اﺎ ﺗَﺮ ﻣﻒﺼ ﻧﻢَﻟو ﻦ ﻣﺘُﻢﻛﺎ ﺗَﺮﻤ ﻣﻦ اﻟﺜﱡﻤﻦﻟَﺪٌ ﻓَﻠَﻬ وﻢَﺎنَ ﻟنْ ﻛﻟَﺪٌ ﻓَﺎ وﻢَ ﻟﻦ ﻳنْ ﻟَﻢ اﺘُﻢﻛﺎ ﺗَﺮﻤ ﻣﻊﺑ اﻟﺮﻦﻟَﻬ وﻦﻳ دوﺎ ا ﺑِﻬﻴﻦﻮﺻﻳ 12 :{ ]اﻟﻨﺴﺎءﻦﻳ دوﺎ اﻮنَ ﺑِﻬ ﺗُﻮﺻﺔﻴﺻﺪِ وﻌ]ﺑ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istriistrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu.” (QS. An-Nisaa: 12) Ayat ini berlaku umum bagi orang-orang yang ditinggal mati, atau ayat ini berlaku umum bagi orang yang meninggal sebelum berhubungan atau setelahnya. Maka jika sebuah akad nikah telah sempurna dan salah satu dari kedua mempelai meninggal sebelum berhubungan, maka hubungan suami isteri tetap berlaku, dan saling mewarisi antara keduanya telah disyari’atkan, berdasarkan keumuman ayat tadi. Adapun dari sisi ‘iddahnya. Sama juga, (tetap) berlaku masa ‘iddah bagi si isteri jika suaminya meninggal sebelum berhubungan. Berdasarkan keumuman firmanNya Ta’ala, {234 :ا{ ]اﻟﺒﻘﺮةﺸْﺮﻋﺮٍ وﺷْﻬﺔَ اﻌﺑر اﻬِﻦﻧْﻔُﺴ ﺑِﺎﻦﺼﺑﺘَﺮﺎ ﻳاﺟزْوونَ اﺬَرﻳ وﻢْﻨنَ ﻣﻓﱠﻮﺘَﻮ ﻳاﻟﱠﺬِﻳﻦ]و “Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) selama empat bulan sepuluh hari.” (QS. AL-Baqarah: 234) (ayat ini) berlaku umum bagi para isteri yang ditinggal mati suaminya sebelum berhubungan atau setelah berhubungan. Dan si isteri juga mendapatkan warisan seperti yang telah kami sebutkan. Sumber: Majmu’ Fatawa Al-Fauzan (2/629)
Hukum Menantu Melarang Mertuanya Mengunjungi Anak dan Cucunya (Syaikh Shalih Al-Fauzan) Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –semoga Allah selalu menjaganya- ditanya, “Anak saudaraku (keponakan) menikahi puteriku lebih dari 20 tahun yang lalu. Tapi sekarang dia malah melarangku menjenguk puteriku dan cucucucuku. Bagaimana pandangan syari’at tentang permasalahan ini? Berilah aku jawaban, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan. Beliau menjawab, “Allah Subahanhu wa Ta’ala memerintahkan agar menyambung tali silaturahmi dan melarang memutuskannya. Permasalahan yang telah anda sebutkan dimana suami putri anda menghalangi anda untuk menjenguknya dan menjenguk anak-anaknya adalah perkara yang tidak dibolehkan. Karena hal itu akan membawamu memutus tali silaturahmi, hal itu sama saja dia telah menghalangimu dari perkara silaturahmi yang telah Allah wajibkan atasmu agar dijaga. Dan dikarenakan pula dia mengharamkan engkau untuk melihatnya padahal telah diketahui bagaimana (besarnya) rasa sayang seorang ayah kepada anaknya, dan keinginannya untuk melihatnya. Lalu dia menghalangimu untuk menjenguknya maka dia telah berdosa melakukan hal tersebut. Kecuali jika dia (si menantu) memiliki udzur yang syar’i yang dapat melegalkan perbuatannya tersebut, seperti jika engkau melihat mereka akan berdampak sesuatu, atau menimbulkan mafsadah. Jika demikian maka alasannya benar, dan boleh baginya melarang (anda menjenguk mereka). Adapun jika dia tidak memiliki udzur (alasan syar’i) maka haram baginya menghalangi seseorang menjenguk kerabatnya, terlebih (menghalangi) bapak menjenguk anaknya. Wallahu a’lam. Sumber: Majmu’ Fatawa Al-Fauzan (2/587)
Fatawa Ar-Radha’ah: Menyusu dengan Isteri Pertama Paman, Apakah Mahram dengan Anak Paman dari Isteri Kedua? (AsySyaikh Shalih Al-Fauzan) Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –semoga Allah selalu menjaganya- ditanya, “Seorang anak laki-laki tumbuh besar di rumah pamannya, dan dia menyusu kepada isteri pamannya. Selang beberapa waktu pamannya menikah lagi dengan wanita lain dan diberi keturunan anak-anak perempuan. Apakah boleh bagi anak laki-laki tadi untuk menikah dengan salah satu putri pamannya dari isteri yang kedua? Karena yang menyusui dia adalah isteri pertama saja. Berilah kami jawaban semoga Allah selalu berikan taufiknya kepada anda. Beliau menjawab, “Tidak boleh. Tidak boleh baginya menikahi salah satu putri pamannya dari isteri kedua yang merupakan madu dari isteri pertama yang telah menyusuinya. Sedangkan kedua isteri tersebut berada di bawah satu suami. Karena ini adalah pokok permasalahan labanul fahl. Dan yang shahih (dalam permasalahan labanul fahl) adalah: bahwasanya haram (menikahi puteri pamannya tersebut). Karena pada hakekatnya puteri pamannya dari isteri kedua adalah saudari-saudarinya satu bapak dalam persusuan. Wallahu a’lam. Sumber: Majmu’ Fatawa Al-Fauzan (2/615)
Fatawa Ar-Radha’ah: Cucu dari Isteri Pertama Apakah Mahram bagi Isteri Kedua? (Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan) Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –semoga Allah selalu menjaganya- ditanya, “Suamiku punya anak perempuan dari isterinya yang lain, dan anak perempuan tersebut mempunyai anak laki-laki. Apakah anak laki-laki dari putri suamiku tersebut adalah mahram (bagiku), yang dengannya aku boleh membuka hijabku di hadapannya?” Beliau menjawab, “Tidak mengapa (membuka hijab di hadapannya). Karena dia (yakni si wanita penanya,pen) adalah isteri bapaknya (kakek juga dinamakan bapak,pen), yaitu isteri kakeknya dari ibunya. Dia masuk di dalam apa yang telah Allah sebutkan, {22 :{ ]اﻟﻨﺴﺎءﺎءﺴّ اﻟﻨﻦ ﻣﻢﻛﺎو آﺑﺢَﺎ ﻧﻮا ﻣﺤْ ﺗَﻨ]و “Dan Janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh bapakbapak kalian.” (QS. An-Nisaa: 22) Dan wanita tadi (yakni si wanita penanya) adalah isteri salah satu bapak-bapaknya. Sumber: Majmu’ Fatawa Al-Fauzan 2/614
Fatawa Radha’ah: Anak Susuan Adalah Mahram Bagi Saudara
Wanita Orang Yang Menyusui (Syaikh Shalih Al-Fauzan) Anak Susuan Adalah Mahram Bagi Saudara Wanita Orang Yang Menyusui Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya, “Aku telah menyusui bayi laki-laki. Apakah dia menjadi mahram bagi saudaraku yang wanita sehingga boleh bagi saudariku tersebut untuk tidak berhijab di hadapannya? Beliau menjawab, “Apabila penyusuan dilakukan pada masa (umur bayi) dua tahun, dan dilakukan sebanyak lima kali sebagaimana dijelaskan di dalam haditshadits, maka bayi tadi menjadi anak bagi wanita yang menyusuinya, dan saudarinya akan menjadi bibi baginya (anak tersebut), yakni anak tadi adalah mahram bagi wanita-wanita tersebut; menjadi mahram bagi ibu karena telah menyusuinya, dan menjadi mahram bagi bibinya dari penyusuan. Akan tetapi (ini berlaku) dengan dua syarat yang telah kami sebutkan tadi, yaitu penyusuan dilakukan dalam masa dua tahun berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “ إﻧﻤﺎ اﻟﺮﺿﺎﻋﺔ ﻣﻦ اﻟﻤﺠﺎﻋﺔ “Hanyalah penyusuan yang sah adalah yang menghilangkan rasa lapar” (HR. Muslim) Dan berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ﻻ ﻳﺤﺮم ﻣﻦ اﻟﺮﺿﺎع إﻻ ﻣﺎ ﻓﺘﻖ اﻷﻣﻌﺎء وﻛﺎن ﻗﺒﻞ اﻟﻔﻄﺎم “Penyusuan tidak akan menjadikan mahram kecuali yang mengenyangkan dan itu sebelum disapih.” (HR. Tirmidzi) Dan penyusuan dilakukan sebanyak lima kali berdasarkan hadits Aisyah Radhiallahu ‘anha ia berkata, ذﻟﻚﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ واﻷﻣﺮ ﻋﻠ اﻟﻪ ﺻﻠ رﺳﻮل اﻟ وﺗﻮﻓ،ﺧﻤﺲ رﺿﻌﺎت ﻣﻌﻠﻮﻣﺎت ﻳﺤﺮﻣﻦ “Penyusuan yang maklum sebanyak lima kali menyebabkan menjadi mahram. Dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sedangkan perkara ini tetap pada hal ini (yaitu susuan sebanyak lima kali menjadi mahram).” Sumber: Majmu’ Fatawa Al-Fauzan 2/614 Admin Warisan Salaf