BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Mortalitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) menduduki peringkat kedua masalah yang paling besar didunia (Pohan, 2006). Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara diseluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. Infeksi HIV di Indonesia sudah merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian. Menurut Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2MPLP) Departemen Kesehatan Republik Indonesia jumlah pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS yang dilaporkan dari 1 Juli 1987 sampai dengan Maret 2008 angka kumulatif per 100.000 penduduk nasional sebesar 5,23 dengan jumlah keseluruhan 17.998 orang, dimana 11.868 penderita AIDS dan 6130 penderita HIV ( Djoerban, 2006). Pada awalnya penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terjadi pada pekerja seks komersial (PSK) beserta pelanggannya dan kaum homoseksual. Setelah itu mulai terjadi penularan ke ibu-ibu rumah tangga yang tertular dari pasangannya dan berlanjut ke bayi-bayi yang lahir dari ibu yang positif HIV. Hal ini menunjukkan
1
bahwa HIV sudah menyebar ke populasi umum, bukan hanya terkonsentrasi pada kelompok yang berisiko tinggi saja. Populasi penderita HIV/AIDS di Yogyakarta banyak terdistribusi merata (Soewadi at al, 2013) Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia secara umum memang masih rendah, tetapi Indonesia telah digolongkan menjadi negara dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi (concentrated level epidemic) yaitu adanya prevalensi lebih dari 5% pada sub populasi tertentu.Tingkat epidemik ini menunjukkan tingkat perilaku berisiko yang cukup aktif menularkan penyakit di dalam satu sub populasi tertentu. Selanjutnya perjalanan epidemik akan ditentukan oleh jumlah dan sifat hubungan antara kelompok berisiko tinggi dengan populasi umum. Perjalanan penyakit AIDS yang progesif dan berakhir dengan kematian, serta penyebaran yang cepat, adanya stigma dan diskriminasi terhadap penderita dapat menimbulkan keadaan stress dan gangguan psikiatrik pada penderita tersebut (Laserman, 1999). Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi gangguan psikiatrik pada orang yang hidup dengan HIV/AIDS adalah antara 30%-60% (Goldenberg D, 2013). Berbagai gangguan psikiatrik yang sering menyertai HIV/AIDS antara lain depresi, ansietas, post traumatic stress disorder (PTSD), dan lain-lain (Chandra PS, 2005). Diagnosa yang paling banyak adalah depresi berat, ansietas, dan gangguan penyesuaian, walaupun tidak ada bukti insidensi yang tinggi dari psikosis pada infeksi HIV (Fell M, et al, 1993). Depresi merupakan keadaan psikiatrik yang paling umum pada orang dengan infeksi HIV(Fell M, et al, 1993). Bing et al menyatakan secara keseluruhan, angka 2
depresi diantara orang-orang dengan infeksi HIV adalah mencapai 50% (Cournos F, 2008). Dilaporkan bahwa 50% individu dengan HIV positif melaporkan beberapa gejala-gejala depresi (Vardana S, 2008). Diantara pasien-pasien yang depresi, 20% menunjukkan harapan untuk mati, dan 12% dilaporkan kadang-kadang muncul ideide suicide sedang 8% melakukan percobaan suicide (Chandra PS, 2005). Infeksi HIV dan gangguan psikiatrik mempunyai hubungan yang kompleks. Terinfeksi HIV akan menyebabkan gangguan psikiatrik sebagai konsekuensi psikologis dari infeksi atau karena efek dari virus HIV dalam otak (Chandra PS, 2005). Orang dengan HIV positif, kemungkinan hampir dua kali lebih banyak didiagnosa dengan depresi berat dan orang dengan HIV simtomatik dan asimtomatik umumnya adalah sama mengalami depresi. Stadium klinis infeksi HIV simtomatik pada penderita dengan HIV positif angka gangguan depresif berat tinggi daripada penderita dengan HIV positif yang asimtomatik (Olatunji, 2006). Beratnya gejalagejala fisik yang berhubungan dengan HIV berkorelasi dengan skor Beck Depression Inventory (BDI) dan Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D), (Vardhana, 2007). Pada penelitian yang lebih banyak terhadap 129 orang-orang dengan HIV/AIDS, diperkirakan sepertiganya mempunyai skor Beck Depression Inventory (BDI) 14 atau lebih tinggi (≥ depresi ringan hingga sedang), (Olatunji, 2006). Kualitas hidup merupakan konsep yang meliputi fisik dan psikologis secara keseluruhan dalam menilai persoalan sosial dan kehidupan (Molken, et al., 1995). Untuk mengetahui bagaimana kualitas hidup seseorang maka dapat diukur dengan 3
mempertimbangkan penilaian akan kepuasan seseorang terhadap status fisik, psikologis, sosial, lingkungan, dan spiritual (Polonsky, 2000). Pada penelitian Douaihy (2001) yang juga mendapatkan 62,6% pasien HIV memiliki kualitas hidup yang buruk. Penelitian yang dilakukan di Lampung didapatkan hasil yang tidak jauh berbeda yakni hampir separuh dari responden (ODHA) mempersepsikan tingkat kualitas hidupnya rendah. Oleh karena itu, hal ini memerlukan perhatian khusus dari tenaga kesehatan ( Agustanti, 2006). Meluasnya HIV/AIDS akan menimbulkan dampak buruk terhadap pembangunan nasional secara keseluruhan, baik terhadap bidang kesehatan maupun bidang sosial ekonomi. Apalagi penyakit ini paling banyak terjadi pada kelompok usia produtif. Oleh karena itu informasi tentang perkembangan kasus HIV/AIDS perlu terus dilakukan agar didapatkan gambaran besaran masalah sebagai salah satu pendukung dalam upaya pencegahan maupun penanggulangan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan suatu masalah yaitu “Apakah terdapat hubungan antara depresi dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di Poliklinik Edelweis RSUP.DR.Sardjito Yogyakarta?”
C.
Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi terdapatnya hubungan antara depresi dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di Poliklinik Edelweis RSUP.DR.Sardjito Yogyakarta.
4
D. 1.
Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Kedokteran Jiwa mengenai hubungan antara depresi dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS.
2.
Manfaat Praktis Apabila terdapat hubungan, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada penderita HIV/AIDS, keluarga, bidang kesehatan dan bagi peneliti. E.
Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran, diperoleh beberapa penelitian yang serupa, sebagai berikut: Peneliti (tahun)
Listiawan (2009)
Karapolat (2007)
Judul Gambaran Kualitas Hidup Penderita Infeksi HIV/AIDS Bukan Pengguna NAPZA dengan menggunakan WHOQOL-HIV Bref Hubungan antara gejala depresi dan kualitas hidup dan kapasitas fungsional pada pasien Transplantasi Jantung
Persamaan
Perbedaan
Hasil
Cross sectional. WHOQOLhiv Bref
Pengguna NAPZA, eksklusi. Scor depresi tidak dinilai
Kualitas hidup penderita cukup terganggu, meskipun tidak berlebihan
Cross sectional. BDI
responden FS-36 STAI. pVO2
Kapasitas fungsional pasien mempengaruhi derajat depresi dan kecemasan
5
Padua 2008
Iman 2013
Hubungan antara pemeriksaan klinik, kualitas WHOQOL. hidup, ketidakmampuan dan depresi pada pasien CMT Kualitas hidup pada Individu dengan Ketergantungan Opioid yang mendapatkan Terapi dengan Terapeutik Community dan Metadon
Cohort. responden
Cross sectional. WHOQOL60 pasien BREF. PTRM GAF Scale
Beberapa pemeriksaan klinis menunjukkan hasil pemeriksaan yang lebih bagus dibandingkan dengan yang lainnya. Karena pemeriksaan tersebut berhubungan dengan aspek kehidupan yang sesuai pada pasien
Terapi Community memberikan nilai rerata WHOQOL lebih tinggi dibandingkan pada terapi Metadon
6