1
“ Accelerated Globalization dan Human-(In)Security: Suatu Perenungan Terhadap Situasi Aktual di Indonesia “ Orasio Dies untuk Lustrum ke-XI Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; Universitas Katolik Parahyangan; Oleh: Dr. A. Irawan J. H
Yang terhormat perwakilan dari Yayasan, Bapak Rektor Universitas Katolik Parahyangan dan jajaranannya, Bapak Dekan FISIP dan jajarannya, Ketua Program Studi FISIP dan jajarannya, perwakilan alumni FISIP, panitita lustrum ke-XI FISIP yang saya hormati, para undangan sekalian, rekan-rekan semua yang telah amat banyak bantuannya dalam penyelenggaraan orasio ini, dan adik-adik mahasiswa dan mahasiswi yang saya cintai. Merupakan kebanggaan dan kebahagiaan yang luar biasa bagi saya sebagai pembaca orasio kali ini bahwa bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian menyempatkan hadir pada acara yang amat penting bagi FISIP kami yang tercinta ini. Lustrum ke-XI FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Universitas Katolik Parahyangan kali ini mengusung tema Human-Security (HS), suatu tema yang tidak diragukan lagi amat penting bagi kita semua. Tidak terlalu berlebihan kiranya bahwa saat ini kita merasa terancam oleh sejumlah In-Security: peledakan bom di jl. Thamrin di Jakarta, hal serupa di Surakarta menjelang Hari Raya Ied 2016, jatuhnya korban-korban narkoba, penyakit menular ancaman HIV/AIDS dan Zica, ketegangan di Laut Tiongkok Selatan, rentetan pemboman di Banghdad, di Bangladesh, di Saudi Arabia, di Perancis, di Jerman, dan lainnya. Letupan-letupan kejadian diatas menimbulkan rasa traumatis bagi kita semua, dan ada kehendak yang kuat agar hal-hal tersebut tidak pernah akan terjadi lagi. Security tidak diragukan lagi merupakan keinginan setiap negara, setiap komunitas, dan setiap individu. Pembahasan fenomena Security tentunya juga membutuhkan konsepsi yang relevan, yang dalam hal ini adalah Human-Security. Konsep Human-Security yang mulai diperkenalkan pada awal 1990-an secara langsung muncul karena adanya perubahan mendasar dalam tatanan politik global yang terjadi di Eropa, pada beberapa tahun sebelumnya. Ia kemudian hidup dalam suatu lingkungan baru yang dibentuk secara hampir bersamaan oleh perubahan politik global yang telah kita sebutkan sebelumnya, bersamaan dengan adanya perkembangan teknologi yang luar biasa yang terjadi dibelahan bumi lainnya, di Amerika-Serikat. Kedua faktor tersebut mencapai kulminasinya pada awal 1990-an yang kemudian membentuk lingkungan baru. Lingkungan baru ini seringkali disebut sebagai globalisasi, atau yang oleh penulis dikemukakan dengan konsepsi Accelerated Globalization (AG) 1 karena terutama mengacu pada perkembangannya sejak tahun 1
Penggunaan istilah Accelerated Globalization dalam tulisan ini terinspirasi oleh beberapa karya ilmiah, seperti yang disebut berikut ini. Pertama adalah karya Guillermo de la Dehesa; Winners and Losers in Globalization, Blackwell Publishing, Australia, 2006. Kedua adalah karya Thomas Hylland Eriksen, Globalization: the Key Concepts, Berg, New York, 2007. Ketiga adalah Robert G. Patmand (ed.); Globalization and Conflict: National Security in a New Strategic Era, Routledge, New York, hal. 152. Keempat adalah referensi yang ditulis oleh Andrew Heywood; Global Politics; Palgrave foundations Macmillan; New York, hal. 82 dan 140. Pembahasan tentang globalisasi, Accelerated Globalization dalam hal ini, akan menekankan pada pengertiannya secara luas.
2
1990-an. Selain daripada berbagai kesempatan baru yang muncul, perubahan lingkungan ini juga mengakibatkan terjadinya kerentanan (Vulnerability) 2 . Hal ini terjadi baik dalam cakupan global, regional, nasional, maupun local bahkan individu. Karena sifatnya ini pulalah, berbagai persoalan yang dihadapi Human-Security kemudian mengalami intensifikasi 3 , baik yang terjadi di dunia global maupun di Indonesia. Dalam konteks inilah focus orasio ini akan diletakkan. Dalam tulisan ini kondisi Human-Security di Indonesia, terutama yang bersifat actual, akan difokuskan. Namun sebelumnya akan dikupas faktor-faktor yang menjadi latar belakang kemunculannya dan lingkungan yang berubah ketika ia dimunculkan. Human-Security diterapkan di Indonesia dalam lingkungan yang telah bercirikan Accelerated-Globalization 4 . A. DIMULAINYA ACCELERATED GLOBALIZATION Para hadirin sekalian yang saya hormati… Sejumlah literature globalisasi menggambarkan berbagai pandangan yang tidak selalu sama tentang kondisi ini. Ada yang memandang globalisasi sebagai sesuatu yang telah terjadi dalam kontinum historis, yang tentunya mempunyai kebenarannya tersendiri 5 . Berbeda dengan mereka yang berada dalam kategori ini, penulis cenderung mengartikan globalisasi sebagai suatu proses yang mengalami akselerasi amat signifikan terutama sejak tahun 1990-an, yang membentuk dunia sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Artinya, walaupun penulis mengamini pengertian bahwa globalisasi merupakan suatu proses yang sudah dimulai berabad yang lalu, namun perkembangannya pada akhir abad ke-20 amat penting sehingga harus difahami sebagai sesuatu yang khusus 6 . Arti penting globalisasi telah mendorong berbagai tokoh untuk mengupasnya. Langkah pertama yang biasa dilakukan adalah dengan mendefinisikannya. Beberapa definisi globalisasi 7 telah dikemukakan oleh para akademisi terkemuka misalnya Giddens (1990), Bhagwati (2004), Beck (2000), Held et al.(1999), Scholte (2005). Levitt (1983), Michael Porter (1990), dan Kenichi Ohmae juga memberikan kontribusi yang signifikan disini, dimana mereka secara khusus menyorot berkembangnya perusahaan domestik menjadi sebuah multi-national company. Pengertian globalisasi lainnya yang patut digaris bawahi disini misalnya “ … globalization is a complex process with variegated effects on the state, subnational governments, TNCs,
globalisasi sebenarnya seringkali ditinjau dalam artinya yang lebih spesifik, misalnya Economic-Globalization, Political-Globalization, dan lainnya. Namun penulis memilih untuk membahas dalam artian luasnya, lintas dimensi, karena mempertimbangkan peserta orasio yang berasal dari disiplin ilmu yang beragam. Selanjutnya, dalam tulisan ini seringkali digunakan terminology (In)Security, untuk menggambarkan kondisi ketika kondisi Security mengalami permasalahan. 2 Peadar Kirby; Vulnerability and Violance: the Impact of Globalization; Pluto Press; London; 2006. 3 Paul Battersby and Joseph M Siracusa; Globalization and Human Security; Rowman and Littlefield Publishers, Inc.; UK; 2009: baca untuk memahami hubungan antara globalisasi dan Human-Security. 4 Teks orasio ini tidak diperlengkapi dengan berbagai visualisasi yang perlu, mengingat keterbatasan tempat untuk mencantumkan hal-hal tersebut. Berbagai visualisasi akan ditayangkan dalam orasio yang dilakukan, dalam bentuk PPT. 5 Peter N. Stearns; Globalization in World History; Routledge; 2010; baca juga Zoran Pavlovic; One World or Many?; Chelsea House Publisers, New York, 2010. 6 Theodore H. Cohn, Stephen McBride and John Wiseman (eds.), Power in the Global Era: Grounding Globalization, hal.3: ”the literature of globalization has increased exponentially in the 1990s”: Penjelasan bahwa globalisasi (Accelerated Globalisation) terjadi pada tahun 1990-an. 7 Andrew Heywood; Global Politics; Palgrave foundations; New York; 2011; hal. 11.
3
transnational capital, labor, and social action groups “ 8 ; “ … globalization involves the broadening and deepening of interactions and interdependence among societies and states throughout the world …”9 . Adapun Holm dan Sorensen menyatakan bahwa “ … globalization, … can be defined as the intensification of economic, political, social, and cultural relations across borders (Holm and Sorensen 1995: 1) “10 . Scholte dalam karya Kirby mendefinisikan globalisasi sebagai “…internationalization, … liberalization, ….universalisation…., 11 westernization or modernization, ….. spread of supraterritoriality” . Veseth juga menyuguhkan pengertiannya perihal globalization 12 “Globalization is the process of economic, political, and social change … ” (hal. 23). “ Globalization exists as a process, but it is less complete than many people think and of a different nature than is commonly assumed. Globalization in pract ice turns out not to be the triumph of the irrestible market force over all that stands in its way. The rumors of the deaths of distance and the state and culture and the individual all are exagarated. These forces, which have always limited global market integration, still limit it today” 13 .
Stiglitz, seorang pemenang Nobel yang terkemuka menggaris bawahi tentang persoalan yang dialami negara berkembang dalam memasuki masa AG, dan mendambakan proses adaptasi terhadap globalisasi dapat terjadi dengan lebih manusiawi. Hal ini dituangkan dalam bukunya Globalization and its Discontents 14 . Dari berbagai definisi tersebut, cukup jelas bahwa globalisasi (selanjutnya akan diartikan sebagai AG) adalah suatu proses perubahan, yang terjadi dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Karena merupakan suatu perubahan global tentunya akibatnya (efeknya) juga akan amat mendasar dan bersifat multidimensional. Namun sebelum kita bicarakan akibat-akibat globalisasi, marilah kita perbincangkan secara singkat faktor-faktor utama yang memicu terjadinya Accelerated Globalization. Dalam tulisannya, Eriksen 15 menjelaskan bahwa setidaknya ada dua (sebenarnya dinyatakan tiga, namun penulis memandang bahwa faktor yang ketiga tidak terlalu relevan sehingga tidak penulis ketengahkan disini) faktor yang membawa dunia kepada AG. Fenomena pertama yang telah mengakselerasi globalisasi adalah terciptanya tekhnologi informasi dan komunikasi baru yang memungkinan terjadinya interaksi yang amat intensif, dalam cakupan global. Inovasi teknologi yang dimaksudkan disini adalah peluncuran w.w.w (world wide web) oleh Tim Berners-Lee tahun 1990. Dengan fasilitasi internet ini, teknologi-teknologi komunikasi lainnya (telegraph, telepon, fax, dll.) menjadi tampak usang dan ketinggalan jaman. Ketika dunia usaha ikut mendistribusikan teknologi ini secara komersial, melalui “warung internet”, maka fasilitas ini relative dapat diakses oleh siapapun, sejauh dapat menguasai teknologinya. Melalui 8
Theodore H. Cohn, Stephen McBride and John Wiseman (eds.), Power in the Global Era: Grounding Globalization, hal.3. 9 Ibid, hal.1. 10 Michael T. Snarr and D. Neil Snarr (eds.); Introducing Global Issues; 4th . ed.; 2008, hal.2. 11 Peadar Kirby; Vulnerability and Violance: the Impact of Globalization; Pluto Press; London; 2006; hal.79. 12 Michael Veseth; Selling Globalization: the Myth of the Global Economy; Lynne Rienner Publishers; 1998. 13 14 15
Ibid, hal. 137. Joseph E. Stiglitz, Globalization and its Discontents; Norton company; NY; 2002. Thomas Hylland Eriksen; Globalization: the Key Concepts; Berg; Oxford; 2007.
4
inovasi teknologi komunikasi dan informasi ini, interaksi manusia menjadi tidak terbatas. Eksklusivitas informasi yang sebelumnya merupakan kunci penting keberhasilan seseorang makin lama makin berkurang relevansinya. Informasi nyaris telah terdistribusi secara bebas, dapat diakses oleh siapapun, sepanjang terkait dengan jaringan informasi global. Jarak dan batas negara tidak lagi menjadi penghalang-penghalang yang terlalu penting lagi dalam tukar menukar informasi dan dalam komunikasi. Sarana komunikasi global (the Information Superhighway, meminjam istilah yang digunakan Al Gore) tidak dilahirkan dalam satu malam. Kesemuanya bermula dari konsep dan inovasi yang lebih sederhana, yang tidak secara langsung berhubungan dengan apa yang kita kenal dan gunakan selama ini. Untuk sedikit mengenal proses panjang yang telah dilalui dalam pembentukan sarana komunikasi global, the internet, beberapa nama dan kontribusi mereka akan dipaparkan berikut ini. Pertama adalah Charles Babbage yang mengajukan konsep Analytical Engine tahun 1937, sehingga ia disebut sebagai the Father of Computing. Kemudian Konrad Zuse dengan Z1, Z2, Z3, Z4 nya. Z1 merupakan program elektro mekanika biner yang pertama, sedangkan Z4 dipandang sebagai computer komersial yang paling awal. Berikutnya adalah Henry Edward Roberts yang tahun 1974 meluncurkan computer personal modern dengan “Altair 8800” nya. Tokoh-tokoh diatas adalah beberapa saja diantara sekian banyak yang berkontribusi memunculkan komputer, termasuk disini personal computer, yang amat penting dalam globalisasi. Walaupun penemuan computer merupakan sesuatu yang amat penting, namun pada tahap ini ia belum menyediakan sarana komunikasi global. Terciptanya the Information Superhighway berkaitan dengan sejumlah penemuan dan tokoh lain. Pertama adalah Leonard Kleinrock yang tahun 1961 meluncurkan idenya tentang interaksi komunikasi dalam jaringan yang luas, dengan tulisannya “Information Flow in Large Communication Nets”. Tujuh tahun kemudian, tahun 1968 didirikan NWG (Network Working Group) dimana SRI (Standford Research Institute) menjadi ujung tombaknya, diketuai oleh Elmer Shappiro. UCLA kemudian memperkenalkan internet pada masyarakat melalui IMP (Interface Message Processor), dimana Leonard Kleinrock merupakan tokoh penting didalamnya, tahun 1969. Pada tahun itu jaringan komunikasi yang tersedia hanya menhubungkan empat titik, dimana tiga diantaranya adalah SRIUCLA-Utah. E-mail dua tahun kemudian diperkenalkan oleh Ray Tomlinson tahun 1971. Internet kemudian diperkenalkan oleh Vinton Cerf dan Robert Kehn, yang dipandang sebagai penemu internet, yang mendisain TCP tahun 1973. Penemuan yang amat penting kemudian dihasilkan oleh Tim Berners-Lee dengan HTML-nya, yang kemudian berkembang menjadi www, tahun 1990. Akhirnya www yang mempunyai kapasitas visual ditemukan oleh Marc Andreessen dan Eric Bina. Penemuan ini kemudian memungkinkan lahirnya Internet Explorer, Chrome, Firefox dan lainnya, yang kita pergunakan sehari-hari dalam berkomunikasi dan mencari informasi, termasuk ketika penulis mengolah bagian ini 16 17 . Kedua adalah berakhirnya Perang-Dingin, ketegangan yang membelah negara-negara kedalam dua ‘dunia’, dunia (blok) barat dan timur. Dunia ketiga merupakan konsep yang merujuk kepada negara-negara yang berupaya untuk tidak terseret dalam ketegangan ini. Setelah runtuhnya Uni-Sovyet sebagai salah satu pilar blok timur, bersama dengan Tiongkok, maka 16
www.computerhope.com; dengan judul Who Invented the Internet dan Who is the Father of the Computer; diunduh 8 Agustus 2016. 17 Eric Schmidt dan Jared Cohen; The New Digital Age: Reshapes the Future of People, Nations and Business; John Murray; UK: 2014. Bagi mereka yang ingin mendalami tentang perkembangan dunia maya dan akibat -akibatnya dapat mengakses referensi ini.
5
pembagian dunia atas bagian-bagian ini menjadi blur. Akibatnya terbuka kesempatan untuk melihat dunia sebagai tidak lagi dibatasi oleh sekat formal dalam bentuk blok-blok yang berkonfrontasi. Dalam konteks seperti inilah konsepsi globalisasi menjadi sesuatu yang relevan. Walaupun sampai saat ini dunia yang satu dan terintegrasi belum pernah tercipta, namun diskursus tentang a borderless world atau global village mendapatkan momentum politiknya yang penting dengan berakhirnya Perang Dingin. Terjadinya secara nyaris bersamaan invovasi teknologi informasi dan komunikasi (terutama di AS) dan perubahan konstelasi politik global dengan berakhirnya Perang Dingin (yang terpusat di Eropa) menyebabkan terjadinya Accelerated Globalization, globalisasi dengan tingkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sekat-sekat yang membatasi hubungan antar negara-negara didunia secara seketika menghilang, yang dibarengi dengan ketersediaan instrumen yang memungkinkan komunikasi dalam skala global, yang dapat dilakukan bahkan oleh anggota masyarakat secara bebas. Interaksi ini dapat terjadi secara fisik maupun sekedar secara virtual, dengan efek nyaris sama, langsung setelah tombol “enter” ditekan. Interaksi terjadi dalam berbagai bidang (politik, ekonomi, budaya, dan lainnya) yang menembus batas-batas hierarkhi dan protokoler yang semula membatasi. Negara yang semula dapat mengontrol arus informasi dari warganya dan membatasinya terjadi dalam cakupan domestik semata tidak berdaya untuk mengontrolnya. Ini seringkali dinyatakan dengan konsepsi the end of sovereignity, walaupun tentunya merupakan suatu hal yang berlebihan. Karena interconnectedness ini terjadi pada pelaku-pelaku yang berbeda (nilai, kebiasaan, tingkat pengetahuan, dan lainnya), maka AG seringkali menimbulkan permasalahan. Banyak yang mengalami kebingungan dan juga rasa frustrasi. Pola-pola interaksi lama tampak usang namun sebagian orang enggan meninggalkannya. Pola-pola perilaku baru, yang belum teruji efektivitasnya tampak membingungkan, terutama oleh mereka yang tergolong generasi senior yang hidup pada masa sebelum dimulainye era ini. Dalam AG ini kerjasama, sebagai aspek positif interaksi manusia dan juga konflik sebagai aspek negatifnya dapat terjadi dengan seketika (acceleration). Sebagai akibatnya, berbagai persoalan local dapat dengan mudah tereskalasi menjadi persoalan regional bahkan global 18 . Telah terjadi suatu perubahan social, yang semula terjadi dalam tingkat global namun kemudian juga menjadi karakteristik lingkungan domestik bahkan local. B. ‘MUNCULNYA’ HUMAN-SECURITY Sebelum dimunculkannya terminology Human-Security oleh UNDP tahun 1994, Security umumnya diartikan sebagai suatu kondisi untuk mengamankan negara dari ancaman negara lain, dengan terutama mengandalkan kekuatan militer. Jadi actor yang dikedepankan dalam istilah Security secara tradisional adalah negara, dan instrumen yang digunakan adalah militer. Namun seiring dengan berakhirnya Perang Dingin tahun 1990-an, dimana ancaman kehancuran karena potensi penggunaan senjata nuklir, oleh negara-negara dalam dua blok yang berkonfrontasi (barat dan timur) mereda, dunia mendapatkan kesempatan untuk memberi perhatian pada persoalan-persoalan diluar yang disebut diatas. Tampak cukup jelas bahwa bukan merupakan sebuah kebetulan bahwa konsepsi HS yang dikemukakan pertama kali oleh UNDP tahun 1994 muncul beberapa saat setelah Perang Dingin berakhir, tahun 1989/1990.
18
Kecenderungan-kecenderungan dalam AG akan dibahas dengan lebih mendalam pada bagian lain dari tulisan ini.
6
Kesempatan ini langsung diraih oleh UNDP (United Nations Development Programme), dengan menawarkan konsep Human-Security. Human-Security dikembangkan oleh Dr. Mahbub Ul Haq dari Pakistan 19 , didukung oleh Amartya Zen. Pemikirannya menginspirasi UNDP yang kemudian dengan posisinya sebagai lembaga dunia mengadopsi dan menyebarkannya secara global. Upaya penyebarannya ini sangat didukung oleh Sekjen-Sekjen PBB seperti BoutrosBoutros Gali dan juga Kofi Anan. Dalam konteks seperti inilah ancaman baru dipersepsi bukan berasal dari perseteruan antar negara yang menggunakan instrument militer, tapi pada kondisi yang dihadapi manusia. Ini adalah suatu pergeseran yang fundamental dalam pemahaman tentang Security, seperti yang dapat kita amati dibawah ini. Bahwa perhatian dunia terhadap HS muncul setelah bahaya nuklir dalam Perang Dingin berakhir diungkapkan dalam laporan UNDP tahun 1994 20 . Dinyatakan dalam laporan tersebut bahwa: “At the global level human security nolonger means careful constructed safeguards against the threat of nuclear holocaust – a likelihood greatly reduced by the end of the cold war. Instead it means responding to the threat of global poverty traveling across international borders in th e form of drugs, HIV/AIDS, climate change, illegal migration and terrorism. The prospect of collective suicide through an impulsive resort to nuclear weapons was always exaggerated. But the threat of global poverty affect in all human lives – in rich nations and in poor – is real and persistent “.
Tekanan pada HS kemudian diperkuat dalam sebuah deklarasi PBB, sebagai suatu badan yang menangani berbagai persoalan global, yang disebut A Declaration of Intent 21 yang menekankan pencapaian empat hal: Freedom from Want, Freedom of Fear, a Sustainable Future, dan Renewing the UNs. Selanjutnya digaris bawahi bahwa: “Governance equatios have changed dramatically as a consequence of globalization, but the proliferatin of interested and organized actor has not simplified the policy choices to be made in persuit of human security goals ” 22 .
Human Security sebagai suatu konsepsi dibentuk oleh berbagai definisi yang tidak selalu sama, namun hampir semua tidak memberi tekanan pada perang antar negara dan penggunaan instmen militer. Misalnya adalah yang diungkapkan dalam karya Paul D. William 23 “Human security means protecting fundamental freedoms, … It means protecting people from critical (severe) and pervasive (widespread) threats and situations. It means using processes that build on peple’s strengths and aspirations. It means creating political, social, environmental, economic, military, and cultural systems that together give people the building blocks of survival”. Juga dituliskannya: “… the forces of globalization, ……., are all legitimate subjects of concern in terms of how they affect the ‘security’ of the individual “ (UNDP 1994, Nef 2002). Pada halaman 237 ia menggaris bawahi bahwa: “The 1994 UN Human Development Report Identified drug trafficking, migration, terrorism and weapons of mass destruction (WMD) as a major 19
Tulisan Mahbub Ul Haq: New Imperative on Human Security; 1994. UNDP, Human Development Report, 1994, hal. 24. 21 Paul Battersby and Joseph M Siracusa; Globalization and Human Security; Rowman and Littlefield Publishers, Inc.; UK; 2009, hal. 27. 22 Ibid; hal. 196. 23 Paul. D. Williams (ed.); Security Studies: An Introduction; Routledge; London and New York; 2008; diambil dari berbagai bagiannya; hal. 231, 232, 233, 237, 240. 20
7
threats to human security”. Ia juga mengulang apa yang dikatakan rekannya, Griffin bahwa (h. 240): “Griffin (1995) had concluded by the mid-1990s that it was essential ‘to construct new, post-Cold War structures for global governance and cooperation among peoples, ‘ and to ‘shift the emphasis from national sovereithity and state security to individual rights and human security”. Barry Buzan 24 juga menyuguhkan definisi tentang HS yang menarik. Buzan menginterpretasikan bahwa: “ the absence/presence of concrete threats (objective conception); … the feeling of being threatened or not (subjective conceptions); … through which ‘threats’ manifest themselves as security problems … “. Ia juga berpandangan bahwa: “ Human Security … view that human beings should be the primary referent object of security, and therefore … should include issues of poverty, underdevelopment, hunger and other assaults on human integrity and potential…” Berbeda dengan pengertian tradisional tentang Security, yang amat kental dipengaruhi Realisme, Human-Security cenderung memfokuskan diri pada non-state actors, dan tidak harus menekankan pada perang dan penggunaan instrument militer untuk pencapaian national-interest dan power. Berakhirnya Perang Dingin memberi peluang bagi masyarakat dunia untuk lebih memperhatikan HS, suatu persepsi Security yang tidak hanya menekankan pada perang antar negara dengan menggunakan instrumen militer, termasuk senjata nuklir, namun pada apa yang terjadi ditingkat individu. HS ini kemudian ‘hidup’ dalam masa dan kondisi AG sehingga mau tidak mau mendapatkan dampak daripadanya. Saudara-saudara yang berbahagia… Pengertian Human-Security mempunyai kandungan unsur-unsur Development yang kental, karena proses ‘kelahirannya’ amat erat terkait UNDP (United-Nations Development Programme). Human-Security awalnya adalah suatu kondisi yang terbentuk dari tujuh dimensi kehidupan manusia, sebagaimana yang akan dibahas berikut ini. Walaupun kemudian ada berbagai perubahan terhadap pengertian HS, namun mengingat pengertian ini adalah yang pertama kali diajukan ada baiknya untuk sementara kita memfokuskan pada tujuh dimensi ini. Deskripsi dari ketujuh dimensi HS ini keseluruhannya diambil dari laporan UNDP 1994 25 . Economic Insecurity (contoh dari permasalahan Economic-Security adalah persistent poverty, unemployment 26 ) dihadapi baik oleh negara maju dan terutama negara berkembang. Dinegara maju masalah ini umumnya dihadapi oleh generasi muda, yang tidak mudah mendapatkan lapangan kerja. Jumlah lapangan kerja, terutama dengan adanya efisiensi dan mekanisasi, tidak tersedia dalam jumlah besar. Tersedia kemudian pekerjaan-perkerjaan berjangka pendek, melalui kontrak-kontrak yang umumnya tidak lebih dari lima tahun. Dinegara berkembang, lapangan kerja formal relative masih belum berkembang. Negara berkembang ditandai oleh terbatasnya pekerjaan-pekerjaan formal, disamping derasnya urbanisasi ke kota 24
Barry Buzan and Lene Hansen; The Evolution of International Security Studies; Cambridge University Press.; 2009; hal. 34, dan 36. 25 UNDP Report 1994; hal. 24-33. 26 Human Secuity Unit; United Nations ; Human Security in Theory and Practice: An Overview of Human Security Concept and the United Nations Trust Fund for Human Security. Contoh-contoh issue Economic-Seccurity dan lainnya diambil dari tabel “Possible Types ofn Security Threats”; dalam referensi ini.
8
besar. Akibatnya berkembang sector informal yang massif di kota besar. Walaupun hal ini sering menimbulkan permasalahan, namun dari pengalaman Indonesia dalam masa Krisis Asia 1997/1998 sektor informal justru dapat menjadi “katup penyelamat” ketika pemerintah tidak mampu membuka lapangan kerja yang cukup dalam tekanan kebutuhan ekonomi yang akut, yang muncul dari ledakan jumlah penduduk yang membengkak. Dalam beberapa negara berkembang, dan mungkin juga dinegara-negara maju, kelompok-kelompok minoritas masih terpinggirkan dalam memperoleh akses ekonomi, karena berbagai persoalan yang dapat saja berbeda. Economic-Security sebagai salah satu dimensi HS membutuhkan dukungan negara dan pemerintah. Hal ini disebabkan munculnya masalah Economic-Insecurity sebenarnya merupakan cerminan kegagalan negara dalam menjalankan fungsi ekonominya. Political-Security merupakan dimensi HS yang amat terkait dengan demokrasi, yang berhubungan dengan hak dan kewajiban seseorang dalam konteks kekuasaan. Ancaman terhadap Political-Security misalnya adalah political repression, human rights abuses. Seseorang harus dijamin haknya untuk menjalankan haknya sebagai pemilih, tidak mendapatkan tekanan dari pihak manapun dalam menjalankannya. Tentunya hal ini juga berlaku bagi haknya untuk dipilih. Seseorang juga harus dijamin untuk tidak mendapatkan tekanan dan kekerasan, termasuk dari kepolisian maupun militer. Walaupun demokrasi makin menjadi acuan nilai-nilai politik di dunia, namun pada beberapa wilayah (terutama Asia dan Afrika) hal-hal ini masih harus mendapat perhatian. Dalam beberapa kasus seringkali nilai-nilai kesukuan atau etnik tetap menjadi faktor dominan dalam seleksi kepemimpinan, hal mana berlawanan dengan ide demokrasi yang senyatanya, yang menjadi acuan Political-Security. Environment-Security juga merupakan bagian penting dari HS. Beberapa persoalan yang mengancam Environment-Security adalah environment degradation, resource depletion, natural disasters, pollution. Walaupun untuk sementara gangguan terhadap sistem-sistem keseimbangan alam bersifat tidak langsung, namun ketika dilakukan secara terus menerus dan massif, akibatnya terhadap kehidupan manusia akan amat dahsyat dan tidak memungkinkan untuk diperbaiki lagi. Beberapa persoalan yang seringkali muncul misalnya adalah kelangkaan air, kekeringan, dan deforestration. Dua hal yang disebut pertama merupakan gejala adanya permasalahan lingkungan, sedangkan yang terakhir disebabkan aktivitas manusia (man-made activity) yang karena skalanya demikian besar karena umumnya terkait dengan agro-industry, mampu menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Bumi adalah suatu sistem yang terdiri dari unsur-unsur biotic dan a-biotik yang terjalin erat membentuk suatu kesatuan. Bila semua subsistem berjalan baik, maka unsur-unsur biotiknya dapat hidup dengan nyaman. Namun bila subsistem-subsistemnya terganggu, maka unsur-unsur biotiknya, termasuk tentunya manusia, akan menderita. Berbeda dengan kehidupan manusia yang (sekurangnya secara adminstratif) dapat dibatasi oleh kedaulatan negara (state-boundaries), maka akibat yang terjadi pada lingkungan bumi tidak akan dapat dilokalisir. James Lovelock bahkan menggambarkan bumi sebagai GAIA, dewi Yunani kuno yang memelihara bumi sebagai suatu sistem yang hidup. Apa yang terjadi didalamnya, mau tidak mau akan menentukan nyaman-tidaknya kehidupan warganya. Dalam konteks ini, antiklimaks dari Protokol Kyoto merupakan suatu ironi, yang memperlihatkan lemahnya komitmen negara-negara untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh manusia dan industrialisasi. Food-Security merupakan bagian yang paling mendasar dari HS. Persoalan yang biasanya ada didalam ranah Food-Security misalnya adalah hunger, famine. Kegagalan dalam menjalankan FS akan mengakibatkan terganggunya upaya untuk mendapatkan akses pada
9
dimensi-dimensi HS lainnya. Skema Maslow dapat memberi bantuan teoritis untuk mengerti adanya berbagai kebutuhan manusia, dimana yang paling mendasar adalah pemenuhan kebutuhan akan makanan. Baru setelah kebutuhan ini terpenuhi seorang manusia mulai mencari berbagai dimensi kebutuhan lainnya, sampai yang paling tinggi yakni self-esteem atau pengakuan masyarakat atas eksistensinya. Dalam lingkup global pengejaran FS sebenarnya tidak terkendala dalam hal availabitlity-nya, namun lebih pada distribusinya. Masyarakat di negara maju menurut statistik institusi dalam PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang jauh diatas standar minimun. Kontras dengan hal tersebut adalah negara-negara di benua Afrika (Somalia, Mozambique, Ethiopia, dll.) dan Asia (Bangladesh, Nepal misalnya) yang secara rata-rata hanya mampu mendapatkan makanan dalam tingkat yang jauh dibawah standar HDI (Human Development Index). Pemerintah negara-negara tersebut tentulah merupakan pihak yang secara langsung bertanggung jawab terhadap persoalan ini. Namun solidaritas global juga perlu digalang agar ironi yang mencoreng kemanusiaan tidak terus berlangsung tanpa mendapatkan perhatian. Untungnya berbagai NGO (Non Governmental Organization) telah menunjukkan perhatiannya yang sungguh-sungguh dalam mencoba mengatasi atau setidaknya mengurangi permasalah FS yang terjadi, walaupun masih amat banyak hal yang harus secara terus menerus dilakukan. Health-Security (HtS) merupakan dimensi lain dari HS, yang makin lama makin perlu mendapatkan perhatian. Hal ini disebabkan karena globalisasi mendorong mobilitas yang amat tinggi dari individu. Beberapa persoalan harus dihadapi untuk menegakkan Health-Security misalnya deadly infectious diseases, unsafe food, malnutrion, lack of access to basic health care. HtS dinegara maju biasanya terkait dengan gaya hidup. Hal ini terlihat misalnya dari makin meningkatnya penderita berjenis kanker dan menyebarnya HIV/AIDS. Perlu difikirkan bahwa mungkin hal ini tidak bersifat eksklusif bagi negara maju, namun tampak besar karena adanya kehirauan dan publikasi yang massif. Tingginya tingkat penderita kanker di negara maju dapat saja terkait dengan peningkatan life expectancy di negara-negara tersebut, yang membuka peluang penyebaran kanker karena menurunnya daya tahan tubuh seiring bertambahnya usia. Tingginya konsumsi makanan cepat saji dan yang berbasis rekayasa genetic besar kemungkinan juga menyumbang pada peningkatan penderita kanker di negara-negara maju. Dinegara berkembang Health-Security lebih terkait dengan penyakit-penyakit yang berasal dari infeksi parasit, dan juga yang menyerang saluran pernapasan (misalnya TBC/Tuberculosis). Persoalan kesehatan ini biasanya muncul karena malnutrisi dan keterbatasan penggunaan air bersih. Penderita permasalahan kesehatan jenis ini biasanya terkonsentrasi pada masyarakat miskin, yang berdomisili di pedesaan, dan mereka yang tergolong kanak-kanak. Community-Security merupakan suatu hak yang juga harus diakui keberadaannya dan dinikmati seorang individu terkait dengan komunitasnya. Masalah yang mengancam CommunitySecurity misalnya adalah inter-ethnic, religious and other identity based tensions. Komunitas adalah kumpulan manusia yang mempunyai kesamaan, baik dalam hal-hal yang bersifat fisik maupun abstrak (nilai-nilai). Pada awal keberadaan manusia, beberapa millennium yang lalu, manusia berkumpul menurut suku-suku. Suku menawarkan perlindungan, namun juga menuntut pelaksanaan seperangkat kewajiban. Walaupun instrument-instrumen kesukuan makin lama makin menghilang seiring dengan modernisasi, namun tidak berarti bahwa ia hilang sama sekali. Beberapa suku yang masih secara kuat mempertahankan identitasnya adalah Tuareq di Sahara (yang sempat memproklamirkan sebuah negara namun gagal), Tamil dari Srilanka (juga sempat berkehendak mendirikan negara namun ditumpas tahun 2006). Disisi yang lain suku juga dapat
10
menjadi sumber pelanggaran hak asasi manusia, misalnya pemaksaan sunat wanita pada beberapa suku di Afrika. Personal-Security juga merupakan salah satu dimensi dari HS. Manusia hidup tidak hanya menginginkan pemenuhan kebutuhan penunjang kehidupan biologisnya, namun juga mempunyai kebutuhan untuk tidak mengalami tindak kekerasan. Manusia diberbagai negara, mungkin terlebih dinegara berkembang banyak yang masih mengalami berbagai hal yang berlawanan dengan PS-nya. Misalnya kekerasan fisik, kriminalitas dalam berbagai bentuknya, “drug-trafficing”, pelecehan seksual (baik terhadap wanita maupun anak-anak) dan lain sebagainya. Pelanggaran PS pada dasarnya bersifat pengingkaran hak manusia sebagai individu. Hal-hal yang mengancam Personal-Security misalnya physical violence, crime, terrorism, domestic violence, child labor. Sejak HS diperkenalkan tahun, Security tidak lagi dilihat sekedar terkait dengan perang antar negara namun dengan dimensi-dimensi kemanusiaan, termasuk didalamnya aspek-aspek Development. Pemikiran yang ditawarkan tidak sekedar mempertanyakan sejauh mana negara telah terpenuhi Security-nya, namun lebih pada pengadaan Security yang langsung berkenaan dengan individu. Agar Human-Security terpenuhi maka harus ada perbaikan terhadap tujuh dimensi kehidupan manusia. C. HUMAN-SECURITY DIMASA POST-1998 INDONESIA Kondisi Human-Security di Indonesia mau tidak mau terpengaruhi oleh lingkungannya, Accelerated Globalization. Disamping dampak positifnya, AG juga mendatangkan sejumlah hal yang dapat dipandang sebagai permasalahan. Sebelum bagaimana hal itu mempengaruhi kondisi HS di Indonesia, ada baiknya kita sedikit mendalami berbagai kecenderungan yang ada dalam AG, sebagai hal yang secara langsung atau tidak mempengaruhi HS. Ada beberapa karakteristik khas, kecenderungan dalam hal ini, yang terjadi dalam ‘iklim’ globalisasi 27 . Kecenderungankecenderungan ini adalah 28 Interconnectedness, Movement, Acceleration, Standarization, Mixing, Disembedding, Re-embedding, dan Vulnerability. Kecenderungan-kecenderungan inilah yang merubah pola interaksi social, politik, ekonomi, dan budaya, sehingga menimbulkan dampak-dampak positif dan sekaligus negative pada mereka yang ada dalam masa ini. Dari segi dampak negatifnya, Vulnerability dapat terjadi dalam aspek-aspek politik, ekonomi, dan budaya. Agar lebih jelas, maka kecenderungan atau karakteristik yang terjadi dalam AG akan dikupas dibawah, walaupun tidak secara terinci. Kesemuanya diambil dari referensi Eriksen, yang kemudian penulis intepretasikan berikut ini. Interconnectedness, yang merupakan proses yang memicu kecenderungankecenderungan lain, merupakan suatu proses dalam globalisasi yang paling jelas, dimana manusia kemudian terkoneksi begitu saja. Penemuan teknologi informasi dan komunikasi, serta perubahan konsetelasi politik global melatar belakanginya dengan kuat. Hal ini terjadi dalam bidang ekonomi, politik, budaya, dan lainnya. Interconnectedness bukan berarti terjadinya integrasi global, dimana komponen-komponennya terhubung dan berinteraksi secara harmonis, 27
Sebagaimana yang telah disampaikan pada halaman awal pembahasan tentang globalisasi, Accelerated Globalization dalam hal ini, dilakukan pada pengertiannya secara luas. Globalisasi sebenarnya seringkali ditinjau dalam artinya yang lebih spesifik, misalnya Economic-Globalization, Political-Globalization, dan lainnya. Namun penulis memilih untuk membahas artian luasnya, lintas dimensi, karena mempertimbangkan peserta Orasio yang berasal dari disiplin ilmu yang beragam. 28 Thomas Hylland Eriksen; Globalization: the Key Concepts; Berg; New York; 2007.
11
karena telah ada landasan-landasan yang sama. Interconnectedness berarti terjadinya keterhubungan, tidak lebih dan tidak kurang. Setelah terjadi Interconnectedness sebagai pemicu, maka serangkaian proses akan dengan sendirinya terbentuk dalam AG, seperti yang dikemukakan sebagai berikut. Movement mengacu pada pergerakan barang, manusia, juga ide. Hal ini terjadi dari semua arah, tidak saja dari barat ke timur, namun dari segala penjuru. Banyak yang khawatir bahwa ini akan mengakibatkan kesenjangan pengaruh dalam tingkat global. Disembedding adalah ‘pengangkatan’ interaksi yang semula bersifat local atau domestik ketingkat yang lebih tinggi, sehingga asal-usulnya sudah sulit diketahui lagi. Disini akan munculnya suatu rules global baru yang berasal dari sesuatu yang sulit diketahui. Bagi mereka yang asing dengan nilai-nilai yang menjadi dasar dari interaksi ini, proses ini akan mengakibatkan terjadinya alienasi. Mixing yang terjadi dalam bidang budaya tidak berarti munculnya suatu budaya tunggal, namun sekedar “bertemu” nya nilai-nilai dari budaya yang berbeda-beda. Hasil dari proses ini seringkali dinotasikan sebagai glocalization, mengacu pada suatu budaya yang tidak bersifat tetap (fluid) yang merupakan hasil pertemuan berbagai nilai. Standarization adalah proses penyeragaman berbagai hal yang tadinya bersifat local atau nasional. Hal ini seringkali menimbulkan ketegangan, karena karakteristik yang bersifat local (tentunya) menolak untuk disisihkan begitu saja. Dalam prakteknya seringkali terjadi koeksistensi antara mereka berdua, standarisasi yang bersifat global dan karakteristik local. Re-embedding adalah proses yang mencoba melawan Disembedding. Ini adalah upaya untuk mempertahankan nilai-nilai local atau specific, ditengah tekanan pembentukan sesuatu yang bersifat global dan tunggal. Perlawanan ini dapat dilihat pada identity-politics dan pada upaya mempertahankan praktek ekonomi yang bersifat local dari tekanan ekonomi global. Proses-proses atau kecenderungan yang disebut sebelumnya terjadi dalam kecepatan tinggi, Acceleration. Acceleration dipengaruhi secara kuat oleh perkembangan teknologi komunikasi, informasi, dan juga transportasi. Terjadi perluasan penyebaran komunikasi dan pengetahuan keberbagai pelosok bumi, yang sayangnya tidak secara merata. Interaksi dari sekian banyak proses yang disebut diatas kemudian, dari segi negatifnya, menimbulkan terjadinya Vulnerability. Vulnerability merujuk pada resiko yang meningkat yang terjadi karena terjadinya interdependence dalam cakupan global. Terjadinya persoalan lingkungan karena motivasi bisnis, juga terorisme global merupakan contoh dari munculnya aspek ini. Perubahan dalam lingkungan social yang ada akan mempunyak efek yang kuat pada berbagai dimensi interaksi manusia. Globalisasi adalah suatu proses perubahan lingkungan social secara menyeluruh, dan akibatnya tentunya juga bersifat luas. Akan ada berbagai dampak, baik positif maupun negative pada berbagai dimensi kehidupan manusia, karena terjadinya globalisasi. Disamping sifatnya yang memberi berbagai kemungkinan yang sebelumnya tidak pernah ada, misalnya memberi akses informasi yang nyaris tak terbatas, globalisasi juga menimbulkan terjadinya kerentanan (vulnerability). Kirby menjelaskan vulnerability sebagai dampak dari globalisasi mempunyai beberapa ciri 29 , yakni sebagai berikut:
29
Peadar Kirby; Vulnerability and Violance: the Impact of Globalization ; Pluto Press; London; 2006, hal. 4
12 “ … vulnerability can be seen as a state of high exposure to certain risks and uncertainties, in combination with a reduced ability to protect or defend oneself against those risks and uncertainties and cope with their negative consequences . It exists at all levels and dimensions of society and forms an integral part of the human condition, affecting both individuals and society as whole (UN, 2003: 14)”.
Selanjutnya, dengan merujuk pada dua tokoh lainnya, Kirby menggaris bawahi bahwa kerentanan ini terjadi dalam berbagai dimensi kehidupan manusia: “… Koehane and Nye recognize the multifaceted nature of vulnerability -economic, political, cultural, social and environmental – and see today’s globalization as intensifying interdependence and therefore vulnerability, they devote cursory attention to its impact and manifestations” 30 .
Snarr kemudian juga menekankan hal yang serupa, yakni bahwa globalisasi berdampak pada dimensi politik, ekonomi, dan cultural 31 . Dalam pelaksanaannya oleh anggota-anggota PBB (negara), HS berada dalam suatu kondisi social-ekonomi-politik global yang ditandai (accelerated) globalization. Kondisi yang mempunyai karakteristik-karakteristik yang berbeda dengan dunia yang ada sebelumnya ini selain memberikan peluang-peluang baru juga mengintensifikasikan berbagai persoalan, termasuk yang merupakan dimensi dari HS. Persoalan yang semula bersifat domestic kemudian mengalami interconnectedness dengan faktor-faktor luar yang berasal dari kecenderungan globalisasi. Hal ini juga terjadi di Indonesia, pada dimensi-dimensi HS; diantaranya EconomicSecurity, Community-Security, dan Health-Security. Vulnerability muncul dalam bentuk sejumlah masalah yang mengancam pencapaian Human-Security, yang juga telah diantisipasi sebagian oleh UNDP, dan yang juga kemudian terjadi di Indonesia. Segenap yang hadir yang amat saya hormati… Perubahan lingkungan akan memperngaruhi kehidupan organisme di dalamnya. Globalisasi adalah perubahan besar pada lingkungan social manusia. Perubahan yang bersifat fundamental ini tentunya merubah kehidupan manusia pada berbagai dimensi: ekonomi, social, politik, dan budaya. Perubahan ini dapat bersifat menguntungkan, namun dapat juga merugikan. Indonesia sebagai salah satu anggota komunitas global juga mengalami dampak pada berbagai dimensi kehidupannya. Seiring dengan terjadinya Accelerated Globalization, sejumlah indikasi Human-(In)Security mulai mengalami intensifikasi di Indonesia. Ini dapat diinterpretasikan sebagai vulnerability Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional, akibat terjadinya AG. Berikut akan dibahas beberapa tantangan Human-Security di Indonesia 32 , yang mempunyai efek signifikan dan yang secara actual terjadi di negara ini. Economic Insecurity: Krisis Finansial 1997/1998 Economic-Insecurity telah pernah dialami Indonesia, dengan terjadinya krisis moneter yang diikuti oleh krisis ekonomi dan bahkan krisis politik. Kejatuhan harga saham di Muangthai menjebabkan investors yang mengalami panic mencari safe-haven pada dollar AS. Hal ini 30
Ibid. Michael T. Snarr and D. Neil Snar (eds.), Introducing Global Issues, 4th . ed, Lynne Rienner; USA; 2008, hal. 17. 32 Berasal dari berbagai sumber, terutama dari media masa Indonesia misalnya Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia. 31
13
tentunya mendongkrak harga dollar AS. Informasi ini tersebar melalui pasar capital yang mengalami interconnectedness ke Indonesia, yang kemudian juga mengakibatkan naiknya harga dollar AS. Karena hubungannya yang bersifat berkebalikan dengan Rupiah maka ini berarti merosotnya Rupiah. Pada saat itu nilai Rupiah anjlok dari sekira tiga ribu sampai sekira dua puluh ribu Rupiah per dollar AS. Dan karena produksi Indonesia amat dipengaruhi oleh impor, maka depresiasi radikal nilai Rupiah berarti beratnya beban untuk impor, sehingga produksi terganggu. Hal ini memicu terjadinya inflasi tinggi, yang kesemuanya kemudian menggerakkan masyarakat yang memang sudah jenuh dengan kepemimpinan tunggal memilih untuk menurunkan rejim. Dengan penurunan (mantan) Presiden Soeharto sebagai presiden RI yang kedua, maka krisis bukan lagi bersifat moneter ataupun ekonomi, tapi telah menjadi krisis politik. Interconnectedness pasar-pasar capital secara regional dan global, melalui instrumentinstrumen informasi dan komunikasi digital, yang mengalami intensifikasi dalam masa AG telah membuka “tembok-tembok” pengaman hubungan ekonomi antar negara. Disatu pihak terjadi penggelembungan asset dalam jaringan pasar financial global, karena potensi keuntungan luar biasa bagi yang mampu menggunakannnya. Dilain pihak, potensi terinfeksinya pasar financial yang satu oleh panic33 yang berasal dari pasar lainnya (contagion) menjadi semakin besar. Tanpa adanya suatu sistem yang mampu mengamankan pasar ketika gejala panic telah tampak, maka perekonomian negara-negara berada dalam kondisi rentan (Vulnerable). Diperlukan suatu early warning system yang mampu memberi respon yang efektif ketika contagion mulai terjadi. Penelitian Kindleberger-Minsky34 kiranya dapat menjadi acuan dalam pembuatan sistem ini. Economic-Security: Kemiskinan yang Menurun Secara Gradual Pengentasan kemiskinan di Indonesia sampai saat ini masih menjadi agenda negara yang belum terselesaikan secara memuaskan 35 . Indonesia merdeka tahun 1945 dalam kondisi kemiskinan yang akut. Pemerintahan Indonesia yang pertama memilih untuk tidak menjalin hubungan yang erat dengan negara-negara barat karena memandangnya hanya akan menghasilkan eksploitasi. Akibatnya adalah Indonesia yang baru merdeka mengalami permasalahan ekonomi yang serius, kemiskinan. Pemerintahan Indonesia yang kedua memilih jalan yang amat berbeda, bekerjasama dengan pihak barat dalam mengembangkan perekonomian. Indonesia yang kaya sumber daya alam, dipadukan dengan modal dan teknologi barat kemudian menghasilkan perkembangan ekonomi. Sayangnya dalam masa ini terjadi akumulasi capital pada mereka yang dekat dengan kekuasaan, nepotisme. Disamping itu terjadi banyak pelanggaran hak asasi manusia, terutama buruh, yang sulit dipungkiri. Pemerintahanan dalam masa ketiga Indonesia (masa reformasi), yang benar-benar telah berada dalam era AG, mengalami transformasi fundamental pada perekonomian dan politik akibat tekanan IMF (Internationnal Monetary Fund). Namun kemudian perekonomian Indonesia mulai menunjukkan perkembangan positif, walaupun secara lambat. Mungkin tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa pada masa pemerintahan SBY perekonomian Indonesia mulai bangkit kembali dari akibat yang ditimbulkan oleh krisis 1997/1998 sehingga upaya pengentasan kemiskinan dapat mulai dilakukan secara lebih terstruktur, walaupun belum mencapai apa yang diinginkan. Pola yang terlihat adalah bahwa kemiskinan di Indonesia terkonsentrasi di pedesaan Pulau Jawa dan di 33
Charles P. Kindleberger; Manias, Panics, and Crashes; 5th .ed.; Wiley; Canada; 2005. Michael Veseth; Selling Globalization: the Myth of the Global Economy; Lynne Rienner Publishers; 1998. 35 Human Development Report 2015, Indonesia; UNDP. Juga Summary of Indonesia’s Poverty Analysis; Priasto Aji; ADB Papers on Indonesia; ADB; October 2015. 34
14
Timur Indonesia. Tingkat kemiskinan, dengan mengacu pada HDI (Human Development Index) di Indonesia terlihat menurun secara gradual. AG telah memperkuat upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia, dengan menghubungkannya dengan agenda global (Millenium Development Goals, dan kemudian SDGs/Sustainable Development Goals). Namun beban kemiskinan di Indonesia telah terlanjur membengkak sedemikian besar, seiring dengan meningkatnya penduduk, akibat terganggunya program Keluarga Berencana. AG melalui PBB telah secara positif mendorong implementasi program pengentasan kemiskinan di Indonesia. Sayangnya upaya ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan, antara lain karena magnitude persoalan ini yang telah menjadi demikian besar karena tidak tertanganinya peledakan penduduk dalam masa awal reformasi. Political Security: Demokratisasi yang Belum Selesai Krisis 1997/1998 telah memberikan momentum bagi terjadinya penumbangan rejim otoriter. Terbentuk persepsi bahwa otoritarianisme dibentuk oleh terlalu kuatnya sisi eksekutif, dan terlalu lemahnya sisi legislative. Akibatnya ada kecenderungan untuk memperkuat sisi legislative, terutama karena ini didukung oleh ide demokrasi, yang disertai dengan pelemahan eksekutif. Pemerintahan Orde-Baru yang cenderung otoriter menghasilkan ketertiban, walaupun bersifat semu karena adanya paksaan dari atas. Ketika ini dihentikan, ketertiban yang berasal dari bawah ternyata tidak langsung terjadi, dan perpolitikan Indonesia mengalami chaos dalam masa euphoria-demokrasi, pada fase-fase awal reformasi. Indikasi yang memprihatinkan terlihat ketika usulan parlemen, yang merupakan perwakilan rakyat, justru bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh rakyat sendiri (usulan pembangunan gedung yang baru oleh anggota dewan). Telah cukup banyak komentar yang menggarisbawahi digantikannya otoritarianisme dengan politik-transaksional, bukan praktek demokrasi. Semoga ini bukan merupakan kecenderungan yang bersifat sesaat namun untuk seterusnya. Tidak terlalu banyak yang tidak sepakat bahwa demokratisasi di Indonesia diakselerasi bahkan dipicu oleh lingkungan global yang berubah, AG. Telah terjadi transportasi ide, dalam hal ini demokrasi, dari lingkungan global kedalam lingkungan internal Indonesia, walaupun belum berhasil mencapai bentuk yang diinginkan. Environment-Security: Kasus Kebakaran Hutan di Sumatera dan Kalimantan Pada beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengalami Environment-Insecurity yang parah. Hal ini tampak dari kebakaran hutan yang berkepanjangan di Sumatera dan Kalimantan 36 beberapa saat yang lalu. Peristiwa ini terjadi berbulan-bulan, terutama ketika musim kemarau tiba, tanpa ada penyelesaian yang jelas. Polusi asap sampai terasa ke negara tetangga, Singapura dan Malaysia, dimana keduanya sempat mengajukan protes kepada pemerintah Indonesia. Di samping dampaknya yang parah pada keanekaragaman hayati yang ada, hal ini juga menimbulkan gejala ISPA yang akut, terutama pada anak-anak. Beberapa penerbangan, domestik dan internasional, juga sempat tertunda karena ketebalan asap yang mengganggu keamanan terbang. Ada dua penjelasan yang mengemuka tentang hal ini. Pertama adalah bahwa sifat tanah di Kalimantan mengandung batu bara, sehingga secara alamiah akan terbakar dan menimbulkan kebakaran hutan ketika suhu naik di musim kemarau. Hal ini tampaknya tidak relevan untuk menjelaskan kebakaran yang luas yang terjadi di Sumatera. Kedua adalah bahwa kebakaran ini sengaja dilakukan, dengan menggunakan tangan penduduk setempat, untuk kepentingan industry 36
The Cost of Fire: An Economic Analysis of Indonesia’s 2015 Fire Crisis; World Bank Group; February 2016. Baca juga Menagih Janji Menuntut Perubahan; Walhi; 2015.
15
perkebunan. Tampaknya kedua faktor ini memang terjadi secara bersamaan. Apa yang terjadi menurut penulis mencerminkan ketidak mampuan pemerintah untuk menanggulanginya, bersama dengan ketidakpedulian masyarakat dan industri. Faktor alam tentunya sulit untuk ditangani, namun faktor manusia selayaknya dapat ditanggulangi. Walau ada penjelasan bahwa globalisasi, dengan maraknya perusahaan multinasional yang beroperasi di bumi ini, yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, namun penulis tetap berpandangan bahwa pemerintahlah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam mengatasi masalah lingkungan yang terjadi di teritorialnya. Food-Insecurity: Persoalan Impor Beras Telah terjadi perkembangan yang memprihatinkan dalam bidang pertanian di Indonesia, yang sebagian juga berasal, walaupun tidak secara langsung, dari terjadinya ledakan pernduduk. Sejak terhentinya program Keluarga Berencana setelah krisis 1997/1998, maka terjadi lonjakan penduduk Indonesia dari sekira 100 juta menjadi sekira 250 juta jiwa. Ini berarti terjadi lonjakan pada jumlah konsumen (demand) beras. Ironisnya, demand yang meningkat ini bukannya diimbangi dengan pertambahan jumlah lahan pertanian, namun justru penyusutan yang drastis. Data statistic menunjukkan telah terjadinya penurunan ekstrim dari jumlah lahan pertanian. Tanah-tanah pertanian banyak mengalami perubahan fungsi lahan, menjadi perumahan atau pabrik. Para petani makin tidak kuat menahan godaan untuk menjual lahannya. Apalagi ketika mempertimbangkan kecilnya hasil pertanian, dan usia yang makin renta yang menyulitkan mereka melakukan pekerjaan fisik berat. Menciutnya lahan pertanian lebih diperparah dengan makin menurunnya minat kaum muda menjalani profesi petani. Kehidupan sebagai petani tidak lagi menjanjikan masa depan yang baik, dan juga menjadi amat tidak menarik. Ini berarti tidak terjadinya regenerasi profesi petani. Ada ancaman nyata bagi ketersediaan pangan di Indonesia untuk masa depan yang tidak terlalu jauh. Letupan krisis beras sempat muncul beberapa kali. Apakah dimasa depan Indonesia, negara yang subur ini, akan menjadi pengimpor beras, sehingga mengalami ketergantungan pangan terhadap pihak asing (In-security Pangan)? Health Insecurity: Berbagai Ancaman Penyakit Menular Indonesia telah pernah mengalami serangan penyakit menular yang akut, yang merupakan persoalan yang terkait Health-Security, misalnya Avian Flu (Flu Burung), HIV/AID, dan MERS (yang intensitasnya masih tergolong kecil). Ini adalah gejala-gejala terjadinya Health-Insecurity. Munculnya penyakit-penyakit baru diduga diakibatkan penggunaan obat yang salah, terutama anti-biotik, yang menyebabkan peningkatan resistensi sumber penyakit dan diversifikasi penyakit sehingga makin sulit diobati. Hal lain yang dibalik cepatnya penularan penyakit adalah makin meningkatnya intensitas mobilitas manusia, termasuk antar negara dan kawasan. Mengingat gejala penyakit baru akan tampak beberapa saat (hari, minggu) setelah seseorang tertular, dapat dibayangkan betapa sulitnya mendeteksi seorang carrier dalam lalu lintas transportasi masal antar negara. Mudahnya dan makin tingginya intensitas mobilitas manusia dalam skala global merupakan konsekuensi logis dari makin majunya teknologi transportasi masal. Walaupun ini bukan hal yang dapat dan perlu dibatasi, namun sarana-sarana untuk membuatnya lebih aman perlu disediakan. Kerjasama antara berbagai instansi (misalnya antara imigrasi dan Kementerian Kesehatan), disamping pasokan informasi dari masyarakat sendiri, amat perlu ditingkatkan.
16
Informasi tentang masuknya individu-individu yang potensial menjadi carrier penyakit menular dari pihak imigrasi perlu dibarengi dengan kemampuan Kementerian Kesehatan untuk menemukan atau mengakses penangkalnya serta mendistribusikannya dengan cepat agar penyebaran penyakit menular yang tidak terkontrol dapat dicegah. Community dan Personal Insecurity: Terorisme yang Masih Membayangi Setelah beberapa saat menjadi persoalan Community-Security, persoalan terorisme di Indonesia berubah menjadi hal yang lebih terkait dengan Personal-Security. Hal ini berarti terorisme telah dipersepsi menjadi ancaman bagi seluruh bagian masyarakat, bukan sebagian saja dari padanya. Setelah fase ini terjadi, maka penanganan terorisme di Indonesia menjadi lebih efektif dilakukan. Namun tetap saja tidak dapat dikatakan bahwa persoalan terorisme telah dapat secara tuntas diatasi 37 . Pertumbuhan jaringan-jaringan terorisme masih terus terjadi di Indonesia. Hal ini antara lain dikarenakan penyebab maraknya terorisme di Indonesia sebenarnya amat ditentukan situasi di luar Indonesia, terutama di Timur-Tengah. AG yang memungkinkan transportasi ide dari satu kawasan ke kawasan yang jauh telah mengintensifikasikan persoalan terorisme di Indonesia. Informasi dan ide ini kemudian mendorong mereka yang terpengaruhi untuk melakukan tindak kekerasan bukan pada mereka yang terkait dengan permasalahan, tapi terhadap pihak yang dipersepsi mewakili pihak lawan. AG telah memungkinkan terjadinya bukan saja mobilitas manusia namun juga mobilitas ide, baik yang sifatnya membangun maupun merusak. Diperlukan suatu kemampuan untuk menyaring informasi dan ide yang bersirkulasi secara bebas dan acak dalam jaringan informasi global yang nyaris tanpa pembatas. Disamping tindakan represif, tindakan preventif justru amat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya transmisi ide pada mereka yang rentan. Personal-Security: Meluasnya Penggunaan Narkoba Pada beberapa dekade sebelumnya, Indonesia ‘sekedar’ merupakan tempat transit dalam bisnis narkotika global. Sekarang Indonesia juga telah pasar sekaligus produsen barang haram ini. Indonesia telah mengalami “darurat narkoba”. Ini adalah persoalan yang terkait dengan Personal-Security. Hampir setiap hari terjadi penangkapan terkait narkoba. Beberapa media menyatakan bahwa rata-rata lima puluh warga Indonesia meninggal tiap harinya karena narkotika. Parahnya lagi oknum aparat pemerintahan dalam beberapa kasus ternyata terlibat dan mengambil bagian dalam sirkulasi narkotika. Mengasumsikan bahwa mereka yang tertangkap hanyalah sebagian kecil dari jaringan yang ada, maka dapat diperkirakan bahwa jaringan perdagangan, produksi, dan pengguna narkoba di Indonesia jauh lebih besar dan luas dari yang terlihat. Konsumsi narkoba disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah agar terlihat ‘gaul’, melepaskan diri dari depressi/tekanan, sampai untuk menggenjot prestasi. Pemakaian narkoba kebanyakan adalah kaum muda. Pengaruh narkotika merasuk sampai ketingkat molecular penggunanya, sehingga menimbulkan ketergantungan akut. Pemakai akan melakukan apa saja agar kebutuhanannya, yang akan muncul secara periodik, terpenuhi. Termasuk dalam hal ini mencuri uang dan barang, merampas atau merampok, membunuh, bahkan menjual diri. 37
Country Reports on Terrorism 2014; June 2015; United States Department of State Publication. Baca juga Update Indonesia: Tinjauan Bulanan Ekonomi, Hukum, Keamanan, Politik, dan Sosial; The Indonesian Institute: Centre for Public Policy Research; Volume X, no. 2; January 2016.
17
Mobilitas manusia yang tinggi antar negara, yang terbentuk sejak terjadinya AG telah membuka peluang suburnya perdagangan narkoba. Narkoba yang ada di Indonesia berasal antara lain dari Eropa, Asia-Selatan, dan Tiongkok. Pembiaran persoalan narkoba berakibat fatal. Mengingat lebih dari setengah penggunanya adalah kaum muda, yang seringkali ingin mencoba hal-hal baru, maka penyebaran luas narkotika akan berdampak rusaknya generasi potensial ini. Terlebih lagi, karena potensinya untuk menghasilkan uang secara mudah, meluasnya bisnis narkoba akan merusak berbagai pihak seperti masyarakat pada umumnya dan juga aparat pemerintahan. Gejala terjadinya “darurat narkoba” sudah disadari pemerintah, dan tindakan keras dalam bentuk hukuman mati telah dijatuhkan pada pengedar dan gembong narkoba, bukan pengguna sebagai korbannya. Walaupun ada beberapa negara yang mengecam serangkaian hukuman mati yang diterapkan kepada pada gembong narkoba di Indonesia, tapi melihat kerusakan yang ditimbulkan jual beli barang haram ini, hukuman tersebut dapat dipandang sebagai proporsional, sepanjang telah ada pembuktian hukum yang benar-benar meyakinkan 38 . Ini adalah penanganan dalam bentuk represif. Kerasnya tindakan pemerintah terhadap pelaku-pelaku utama bisnis narkotika perlu diapresiasi, bukan dipersepsi sebagai penggunaan excessive-power atau sekedar pemenuhan nafsu balas dendam, namun sebagai upaya penyelamatan mereka yang potensial akan menjadi korban barang haram ini. Tindakan preventif juga perlu dilakukan bersamaan dengan yang bersifat represif. Sosialisasi bahaya narkotika amat perlu dilakukan dari ibu kota sampai pedesaan. Lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan perlu dilibatkan secara intensif untuk secara sinergis ikut dalam upaya pencegahan perluasan jaringan narkotika. Personal-Security: Kejahatan Seksual yang Disertai Kekerasan Indonesia tengah menghadapi tantangan berat dalam hal Personal-Security 39 , dengan terjadinya gelombang tindak kejahatan seksual yang disertai kekerasan. Walaupun perlu diakui bahwa hal ini telah pernah terjadi dimasa lalu, namun intensitas terjadinya, serta modus yang dilakukan akhir-akhir ini telah menjadi amat mengkhawatirkan. Pelakunya terutama laki-laki, baik dewasa, remaja, maupun (yang amat mengkhawatirkan) mereka yang masih berada dibangku sekolah menengah pertama. Kejahatan seksual dilakukan sendiri atau secara bersamasama. Korban bisa saja wanita dewasa, anak perempuan, dan anak laki-laki. Korban umumnya diiming-imingi (uang, mainan, dan lainnya), diancam untuk disakiti atau dibunuh, atau bahkan dibunuh dengan kejam. Kesemuanya itu dilakukan untuk menutupi jejak kejahatannya atau bahkan merupakan sekedar mencerminkan tindakan psikopatis. Banyak dari mereka yang tertangkap melakukan kejahatan ini ternyata sebelumnya telah melakukan hal yang kurang lebih sama pada korban lainnya, yang malu untuk melapor atau bahkan tidak dapat melakukannya karena jiwanya telah direnggut oleh pelaku. Magnitude kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia dapat diduga jauh lebih besar dari apa yang terungkap. Mobilitas manusia yang amat bebas, dan akses konten pornografi yang nyaris bebas telah mengakselerasi kejahatan seksual di Indonesia. Data mengungkapkan bahwa kejahatan seksual
38
Kita tentunya tidak perlu meniru tindakan negara tetangga dalam ASEAN yang memberi hak pada aparat untuk menghabisi tersangka pengedar dan gembong narkoba tanpa melalui pengadilan yang ketat. Walaupun tampak efektif, namun tindakan semacam itu potensial untuk disalah gunakan , disamping melanggar hak asasi manusia. 39 ECPAT; Global Monitoring: Status of Action Against Commercial Sexual Exploitation of Children, Indonesia; 2nd . ed.; 2011.
18
yang dilakukan remaja dan anak-anak hampir semua dipicu oleh adanya akses kepada informasi pornografi, yang merupakan dampak negative yang muncul bersama Accelerated Globalization. Hubungan seksual yang dipaksakan, terutama yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak (pedofilia), atau yang disertai tindakan kekerasan yang brutal, merupakan hal yang tidak dapat diterima. Pemerintah dan parlemen Indonesia telah mengeluarkan aturan dan hukuman yang tegas dan keras, walaupun ada penentangan sebagian masyarakat terhadap pelaksanaannya. Dalam hal ini penulis mendukung apa yang dilakukan pemerintah dan parlemen. Selama pelanggaran yang dilakukan terbukti secara meyakinkan, keberatan-keberatan dari sudut pandang hak asasi manusia terhadap hukuman berat yang diancamkan selayaknya juga memperhatikan hak asasi para korban. Pembelaan yang berlebihan terhadap hak asasi pelaku kejahatan seksual, dengan mempertimbangkan harkatnya sebagai manusia, dalam kasus seperti ini perlu difikirkan ulang. Walaupun hukuman berat pastilah tidak dapat memberi kompensasi yang memadai terhadap bencana yang dialami korban, namun tindakan represif ini diharapkan dapat memberi perlindungan yang lebih terhadap calon-calon korban kebrutalan para predator seksual dimasa datang. Mengurangi hak asasi predator seksual masih jauh lebih baik daripada meletakkan hak asasi insan-insan yang lemah calon korbannya (wanita, anak perempuan dan anak laki-laki) dalam resiko besar. Tidak ada satupun permasalahan dalam tujuh dimensi HS yang tidak terjadi di Indonesia. Dapat dikatakan semua permasalahan HS di Indonesia berada dalam kondisi berbahaya, bahkan beberapa diantaranya dalam kategori kritis. Kondisi pada beberapa dimensi ada yang bersifat laten, namun beberapa diantaranya baru (demokrasasi transaksional, tendensi contagion di pasar capital, kebakaran hutan massif, narkoba, dan kejahatan seksual dengan kekerasan). Economic-Security, dimana salah satunya tantangannya adalah menjaga perekonomian domestik dengan senantiasa mempertimbangkan faktor-faktor perekonomian global (terutama terhadap fuktuasi nilai tukar), tampaknya mulai tertangani dengan lebih baik. Kita mulai mengenal perekonomian global, sebagai suatu sistem dengan mana kita sekarang terhubung, dengan berbagai kerumitan prosesnya, sehingga makin mampu untuk memberikan respon yang efektif. Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah mulai sedikit menampakkan hasilnya, terutama sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun ini tidak berarti bahwa hal tersebut telah dapat dilakukan secara berhasil, hal mana disebabkan makin kompleksnya persoalan kemiskinan itu sendiri.Berbagai aspek Political-Security telah mengalami kemajuan di Indonesia, bahkan banyak yang memandangnya telah berkembang lebih daripada apa yang seharusnya. Dapat kita amati bahwa seringkali ini menimbulkan politik biaya tinggi daripada menghasilkan kebijakan yang bermanfaat langsung bagi masyarakat. Semoga ini hanyalah suatu periode transisi menuju sesuatu yang lebih baik. Environment-Security, yang terpusat pada persoalan mempertahankan keragaman hayati dan terjaganya kualitas oksigen bagi manusia, merupakan tantangan yang tampaknya belum mendapatkan respon yang cukup untuk menjamin pemeliharaan bumi Indonesia dalam jangka panjang. Food-Security yang tampak misalnya dalam besarnya impor beras, harus benar-benar mendapat perhatian khusus dari pemerintah, terutama karena kuatnya tendensi bahwa persoalan yang amat sensitive ini belum teratasi dengan baik. Ini perlu mendapat perhatian mengingat pentingnya pemenuhan pangan bagi Indonesia, agar tidak memicu gejolak dalam masyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan Health-Security di Indonesia, misalnya dalam mengatasi penyebaran Avian-Flu dan HIV/AIDS, walaupun sulit dikatakan telah berhasil
19
dengan memuaskan. Community-Security di Indonesia yang sempat mendapat tekanan luar biasa dari ancaman terorisme sedikit demi sedikit mulai membaik ketika hal tersebut mulai dipersepsi sebagai Personal-Security. Kewaspadaan tetap harus dijaga, dan upaya represif harus senantiasa dibarengi dengan yang bersifat preventif, agar masalah ini tidak mengalami eskalasi, terutama mengingat pemicu persoalannya bersifat eksternal. Berbagai permasalahan yang terkait dengan perlakuan terhadap kaum minoritas juga tetap harus mendapat perhatian. Yang justru mengkhawatirkan adalah adanya peningkatan yang amat serius dalam ancaman terhadap Personal-Security, dalam bentuk penyebaran narkoba sampai kedesa-desa, dan terjadinya kejahatan seksual dengan kekerasan. Upaya pemerintah untuk secara keras menangani hal ini perlu diapresiasi dan didukung. Penanganan masalah ini secara preventif juga perlu dilakukan secara simultan bersamaan dengan cara-cara represif, untuk mencegah mereka yang masih dalam fase pembentukan nilai-nilai tidak tersesat dan terjebak pada pemikiran yang salah. Pendidikan agama dan moral sampai ketingkat pemahaman, bukan sekedar dalam bentuk formalnya semata, merupakan cara yang patut dipertimbangkan secara serius. D. PENUTUP Perwakilan Yayasan, Bapak Rektor dan jajarannya, Bapak Dekan dan jajarannnya, perwakilan dari alumni, para undangan sekalian, dan para mahasiswa/i yang saya hormati… Ada dua perkembangan yang terkait dengan HS; yang pertama adalah berakhirnya Perang-Dingin, dan yang kedua penemuan teknologi informasi dan komunikasi yang dapat diakses masyarakat luas. Yang pertama secara langsung ‘mendorong’ lahirnya HS (dengan hilangnya ancaman perang-nuklir), sedangkan yang kedua (bersama dengan yang pertama) kemudian membentuk ‘lingkungan’ dimana HS diaplikasikan. HS yang secara aktif disebarkan oleh PBB melalui negara-negara anggotanya menekankan pada pemenuhan Security individu (dengan pencapaian tujuh dimensi HS), bukan negara seperti yang diyakini konsep Security tradisional. Agak terlalu dini sebenarnya memperbincangkan keadaan HS di Indonesia dengan hanya mengajukan beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini. Walaupun demikian, penulis mengharapkan agar dapat kiranya tulisan singkat ini memicu pemikiran yang lebih mendalam pada kondisi HS di Indonesia. Dengan pertimbangan seperti inilah penulis memberanikan diri mengajukan beberapa pemikiran tentang isu Human-Security di Indonesia. Ancaman terhadap pemenuhan HS, yang sebagian besar telah mengalami intensifikasi akibat AG, dapat dikategorikan atas dua bagian: yang bersifat tidak langsung dan yang bersifat langsung. Yang pertama misalnya misalnya Environment Security, Economic Security, dan Political-Security. Sedangkan yang kedua misalnya adalah Food-Security, Health-Security, Community-Security, dan Personal-Security. Dimensi-dimensi yang bersifat tidak langsung (Economic, Political, Environment) tidak berarti kurang berbahayanya bagi Security seorang individu (pemenuhan HS), hanya efeknya akan terasa dalam jangka panjang. Sedangkan persoalan pada dimensi-dimensi yang bersifat langsung (Food, Health, Community, dan Personal) akan terasakan secara cepat.
20
Perubahan yang seringkali mengundang kegundahan, karena mengandung ketidak pastian, perlu tetap disambut dengan antusias 40 . Merupakan suatu hal yang muskil untuk mengajak dunia kembali ke kondisi sebelum perubahan terjadi, AG dalam hal ini. Pun ketika dampak-dampaknya yang menggundahkan mulai terlihat jelas, perubahan ini tetap harus disambut dengan optimisme tinggi. Ini tentunya dapat dilakukan ketika respon yang memadai telah disiapkan. Persoalan yang timbul dari AG tampak tumbuh lebih cepat daripada instrument dan kesiapan untuk mengamankannya. Untuk dapat bertahan dalam suatu perubahan yang bersifat fundamental, persiapan-persiapan yang amat matang harus dilakukan. Generasi yang hidup dalam AG perlu diperlengkapi dengan pandangan baru, institusi-institusi baru, dan kebiasaan serta kehandalan baru. Berbagai kondisi dalam Human-(In)Security yang telah diintensifkan oleh AG telah terjadi di Indonesia, dimana hampir semuanya berada dalam kondisi alarming, bahkan beberapa diantaranya berstatus kritis (lihat penjelasan sebelumnya). Agar dapat dengan lebih percaya diri mengupayakan pemenuhan Human-Security di Indonesia dalam masa Accelerated Globalization, dua hal perlu dengan serius dipertimbangkan. Keduanya terkait satu dengan lainnya; yang pertama terkait jaringan global, sedangkan yang kedua bersifat domestik. Pertama, perlu integrasi dengan kerjasama global yang diperluas, tidak lagi yang sekedar didominasi oleh IGO (Intergovernmental Organization), namun dengan menyertakan dengan aktif pelaku-pelaku society. AG telah membuat berbagai dimensi kehidupan manusia (politik, ekonomi, social-budaya) tidak lagi dapat bersifat local semata, tapi menjadi global. Artinya, persoalan yang melekat dalam dimensi-dimensi tersebut juga akan bersifat global. Persoalan yang bersifat global tidak akan dapat diatasi dengan mekanisme regional, terlebih lagi nasional atau local. Persoalan yang bersifat global membutuhkan jawaban yang juga berada dalam skala ini. Dampak negative dari AG perlu direspons dengan pengadaan konektivitas intensif dengan Global Governance yang diperluas 41 . Berbagai kerjasama global dalam upaya menangani berbagai dimensi persoalan HS telah dibentuk, walaupun dengan keberhasilan yang masih terbatas. Mereka akan diaktifkan terutama ketika suatu persoalan muncul, misalnya ketika terjadi penyebaran penyakit menular secara luar biasa. Namun sebenarnya keberhasilan suatu mekanise global lebih ditentukan oleh kemampuannya mengantisipasi munculnya persoalan. Dengan ini respons yang cepat dan efektif, karena sarana-sarana yang diperlukan sudah tersedia, dapat diberikan, sehingga berbagai permasalahan akan dapat ditangani pada tingkat dini. Akan lebih baik lagi bila mekanisme yang dibentuk bahkan mampu mengantisipasi persoalan sebelum muncul, sehingga upaya preventif dapat dilakukan bahkan ketika gejala persoalannya belum timbul. Berbagai institusi GlobalGovernance telah dibentuk, terutama dalam mengatasi persoalan ekonomi yang mempunyai potensi mengalami penggelembungan sampai tingkat global. Misalnya disini adalah G-20 yang beranggotakan negara-negara dan satu institusi regional (Uni-Eropa). Inisiatif dari pihak nonnegarapun telah diadakan, misalnya dengan pendirian WEF (World Economic Forum) oleh Klaus Schwab. Dibidang penentasan kemiskinan PBB menjadi pelaku sentralnya, misalnya dengan meluncurkan program Millenium Development Goals, yang dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals; dan dibidang kerjasama dalam mengatasi penyakit menular 40
John F. Kennedy mengatakan “Change is the law of life … “, sedangkan Charles Kattering bahkan menggaris bawahi bahwa “The world hates change, yet it is the only thing that brought progress” . 41 Jean Grugel and Nicola Piper; Critical Perspectives on Global Governance: Rights and Regulations in Governing Regimes; Routledte; London and New York; 2007. Untuk CGG halaman 3, dan untuk Weiss halaman 4.
21
misalnya dengan pendirian GHSA (Global Health-Security Agenda) Februari 2014. Upayaupaya seperti ini perlu diapresiasi, dan tentunya perlu lebih ditingkatkan lagi dalam upaya mengatasi persoalan-persoalan yang ada dalam berbagai dimensi HS. Kedua, berbagai aturan dan perangkat implementasi untuk merespons globalisasi, membentuk borders dalam borderless world 42 juga harus dapat dibuat dan diberlakukan dengan segera 43 . Secara domestik berbagai persiapan perlu dilakukan. Setiap inisiasi fasilitas komunikasi dan informasi digital baru perlu dibarengi dengan cara-cara pengamanan yang lebih menjamin. Hal lain lagi yang juga terkait dalam hal ini adalah membatasi informasi yang dapat diakses di the Information Superhighway. Ini perlu dibarengi dengan upaya terus menerus untuk mendewasakan penggunanya dalam memanfaatkan informasi dan instrumen globalisasi. Berbagai jaringan kerjasama domestik dan local juga perlu dibentuk dan diaktifkan, pada berbagai dimensi HS yang ada. Persoalan amuk masa di Tanjungbalai misalnya, merupakan contoh rentannya penyebaran informasi digital yang tidak akurat dan menyesatkan dengan menggunakan media social. Tidak mudah memang untuk dilakukan, baik upaya yang bersifat preventif maupun represif, namun hal ini perlu benar-benar dipertimbangkan, agar AG dapat memberikan manfaat pada penguatan Human-Security, bukan malah melemahkannya. Bagaimana kontribusi yang dapat diberikan FISIP pada khususnya dan Univeristas Katolik Parahyangan pada umumnya dalam upaya mencapai kondisi-kondisi HS? Sebagai suatu institusi pendidikan tentulah upaya-upaya yang dapat dilakukan cenderung bersifat tidak langsung. Namun perguruan tinggi dengan misinya mencerdaskan kehidupan bangsa, walaupun bersifat tidak langsung, namun dapat menjadi amat berarti. Dengan berlandaskan semboyan Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bakti FISIP Unpar dapat menjadi salah satu pelaku penting dalam menghasilkan generasi yang cerdas dan bermoral, yang lebih siap menghadapi tantangan-tantangan HS yang diperkuat oleh AG. Urgensi untuk mencapai hal-hal ini makin penting, terutama mempertimbangkan peringatan World Bank tentang akan datangnya the perfect storm 44 , yang akan menambah beban terhadap berbagai dimensi HS. Disni beberapa konsep untuk meresponsnya seperti Global-Governance yang diperluas (sebagaimana telah dikemukakan diatas), Good-Governance, dan juga Good-Corporate Governance. Akhir kata kami sampaikan kata Jayalah FISIP, Jayalah Unpar. Semoga dalam usianya yang ke-55 tahun ini FISIP makin besar sumbangsihnya bagi Indonesia. 42
Michael Veseth; Selling Globalization: the Myth of the Global Economy; Lynne Rienner Publishers; 1998. Baca salah satu bahasan Veseth dalam bab 2, yakni “the End of Geography and the Last Nation -State”, dari bukunya Selling Globalization…. Global governance dapat diartikan, antara lain sebagaimana yang dimengerti oleh the Commission on Global Governance: “…the sum of the many ways individuals and institutions, public and private, manage their common affairs. It is a continuing process through which conflicting or diverse internests can be accommodated and cooperative action taken. It incudes formal institutions and regimes empowered to enforce compliance, as well as informal arrangements that people and institutions either have agreed to or perceive to be in their interest … governance … mus now be understood as also involving non-governmental organizations, citizens’ movements, multinational corporations and the global market “ (CGG/the Commission on Global Governance; 1995: 2-3). Sedangkan menurut Weiss (2000: 808) ….global governance: “ to capture and describe the confusing and seemingly ever-accelerating transformation of the international system. States are central but their authority is eroding. Their creation, inter-governmental organizations, are no more in control than they ever were”. 43 Terjadinya pengrusakan di Tanjung Balai awal Agustus 2016 ini yang disebabkan oleh penyebaran berita yang tidak benar melalui media social kiranya dapat menjadi contoh betapa penting nya pembentukan borders dalam dunia maya yang borderless. 44 Perlambatan pertumbuhan ekonomi BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South -Africa) yang akan membebani pertumbuhan ekonomi global yang lambat.
22
REFERENSI a. Referensi Umum: Andrew Heywood; Global Politics; Palgrave foundations; New York; 2011 Aseem Prakash and Jeffrey A. Hart (eds.); Responding to Globalization; Routledge; London and New York, 2000. Barry Buzan and Lene Hansen; The Evolution of International Security Studies; Cambridge University Press.; 2009. i Caroline Thomas; Global Governance, Development and Human Security: the Challenge of Poverty and Inequality; Pluto Press.; London; 2000. Human Development Report 1994; UNDP; Oxford University Press; 1994. Joseph E. Stiglitz, Globalization and its Discontents; Norton company; NY; 2002. Michael T. Snarr and D. Neil Snar (eds.); Introducing Global Issues, 4th .ed; Lynne Rienner; USA; 2008. Michael Veseth; Selling Globalization: the Myth of the Global Economy; Lynne Rienner Publishers; 1998. Paul Battersby and Joseph M Siracusa; Globalization and Human Security; Rowman and Littlefield Publishers, Inc.; UK; 2009. Paul. D. Williams (ed.); Security Studies: An Introduction; Routledge; London and New York; 2008. Peadar Kirby; Vulnerability and Violance: the Impact of Globalization; Pluto Press; London; 2006 Theodore H. Cohn, Stephen McBrice and John Wiseman (eds.); Power in the Global Era: Grounding Globalization; MacMilland Press Ltd.; 2000. Thomas Hylland Eriksen; Globalzation: the Key Concepts; Berg; Oxford; 2007.
b. Referensi Tentang Indonesia Country Reports on Terrorism 2014; June 2015; United States Department of State Publication. Global Monitoring: Status of Action Against Commercial Sexual Exploitation of Children, Indonesia; 2nd. ed.; ECPAT; 2011.
23
Human Development Report 2015, Indonesia; UNDP. Menagih Janji Menuntut Perubahan; Walhi; 2015. Summary of Indonesia’s Poverty Analysis; Priasto Aji; ADB Papers on Indonesia; ADB; October 2015. The Cost of Fire: An Economic Analysis of Indonesia’s 2015 Fire Crisis; World Bank Group; February 2016. Update Indonesia: Tinjauan Bulanan Ekonomi, Hukum, Keamanan, Politik, dan Sosial; The Indonesian Institute: Centre for Public Policy Research; Volume X, no. 2; January 2016.