Gambaran Wanita Jawa sebagai Pasangan Hidup dalam Serat Nitimani dan Tiga Tokoh Wanita dalam Pewayangan Fahmi Adlan Syah Pembimbing: Prapto Yuwono S.Hum Sastra Daerah Untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424, Indonesia.
Email:
[email protected]
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang cara bagaimana memilih wanita untuk dijadikan pasangan hidup. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan. Hasil penelitian ini adalah kriteria Serat Nitimani yang bisa di representasikan dalam tiga lakon wayang karya Sekar Budaya Nusantara.
Kata kunci: Serat Nitimani, wayang dan kriteria.
Overview Javanese Woman as a Life Partner in Serat Nitimani and Three Female Characters in the Puppet
ABSTRACT
This script explain about how to chose woman as spouse. The method that being used is library research. The result of this research is criteria of Serat Nitimani, that can be represented in three puppets lakon created by Sekar Budaya Nusantara.
Keywords: Serat Nitimani, puppet, and criteria.
2
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kegiatan pertama yang dapat disebut sebagai ciri khas mahluk hidup ialah asimilasi, mahluk hidup berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri (Loisi Leahy,1989:45). Manusia juga mempunyai akal budi untuk bertindak menghadapi tantangan yang ada di dunia ini, dari situ manusia menghasilkan kebudayaan. Manusia berkarya dengan keadaan alam setempat dan berkembang pemikirannya lalu cara- cara ini yang dilakukan manusia untuk bertahan hidup dan hal tersebut akan di ajarkan kepada keturunannya kemudian kebudayaan menjadi proses belajar yang menjadi milik semua manusia. Dijelaskan juga oleh Koentjaraningrat (1983:182183) bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kegiatan manusia lainnya ialah menikah atau terjalinnya hubungan yang sakral antara pria dan wanita. Pernikahan adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama (Geertz 1982: 58). Menjalani perkawinan dalam jagad pikir orang Jawa bukanlah konsep yang sederhana. Bagi orang Jawa, menikah sama seperti menapaki dunia baru, dua dimensi dunia yang sama pentingnya, yang harus diperjuangkan untuk sebuah ide dan harmoni. Dua dunia itu meliputi dunia spiritual, gaib, mistis dan dunia riil, jagat alit dan jagat gedhe, bukan untuk dipertentangkan atau berjalan sendiri-sendiri, tapi bersama-sama menggapai harmoni. Maka dalam konsep ini orang Jawa mencap „tidak Jawa‟ terhadap orang yang tidak „menerapkan‟ budaya Jawa dan sebaliknya menyebut Jawa atau njawani meskipun terhadap orang yang secara genetika bukan keturunan Jawa (Anderson, 1996: 75). Menikah merupakan awal dari sebuah keluarga. Keluarga adalah kelompok manusia yang terikat oleh hubungan dan perkawinan, setiap anggotanya dapat berhubungan dan bergaul secara terus menerus (Koentjaraningrat, 2010: 178). Menurut Magnis Suseno, keluarga merupakan sarana keamanan dan sumber perlindungan. Dalam keluarga Jawa orang tua menjadi sumber kesejahteraan jasmani dan rohani bagi anak-anak. Budaya Jawa sangat menyadari sepenuhnya hakikat memilih pasangan hidup dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu pengetahuan dalam memilih pasangan hidup ini diturunkan kepada orang Jawa 3
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
dalam berbagai cara baik secara lisan ataupun tertulis. Dalam konteks budaya Jawa, banyak karya sastra yang isinya mengandung hal bertemakan pemilihan pasangan hidup. Karya sastra Jawa lama yang sangat terkenal ialah Serat Centhini, di dalamnya berisi gambaran keadaan masyarakat Jawa dengan berbagai aspek kehidupan pada masa itu. Serat Centhini menjelaskan keadaaan sosial masyarakat termasuk gambaran orang Jawa dalam memilih pasangan hidup. Salah satu hal terpenting dalam pernikahan adalah bagaimana memilih calon pendamping atau istri yang baik. Penelitian ini mengangkat sebuah karya klasik Jawa berjudul Serat Nitimani yang ditulis pada abad ke-19. Pada dasarnya, teks Serat Nitimani secara umum berbicara tentang ajaran seks. Akan tetapi, salah satu bagian dari teks yang akan dikaji dalam penelitian ini berisi kriteria pemilihan wanita yang ideal untuk dijadikan istri (dari sudut pandang pria). 1.2 Masalah Penelitian Bertolak dari uraian di atas, penelitian ini difokuskan untuk mengurai permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah wanita yang ideal untuk dijadikan pendamping hidup dalam pandangan masyarakat Jawa seperti tertuang dalam Serat Nitimani? 2. Bagaimanakah citra wanita ideal tersebut dalam dunia pewayangan dikaitkan dengan kriteria-kriteria yang tertuang dalam Serat Nitimani? Penelitian ini mengambil salah satu bagian dari Serat Nitimani yang berisi tentang kriteria-kriteria wanita yang dikatakan ideal sebagai pasangan hidup. Bagian ini dalam teks Serat Nitimani terdapat pada bagian 3, 4 dan 5. Akan dijelaskan sedikit tentang bab yang telah diteliti, bab 3 menjelaskan tentang awal pertemuan juru Patanya dan sang Murwenggita. Bab 4 dan 5 menjelaskan tentang ajaran-ajaran tentang cara memilih wanita untuk dijadikan pasangan hidup. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan kriteria wanita ideal yang patut dijadikan sebagai pasangan hidup dalam pandangan masyarakat Jawa yang tertuang dalam Serat Nitimani. 4
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
2. Memberi gambaran yang lebih jelas tentang kriteria-kriteria tersebut dengan menghadirkan sejumlah tokoh-tokoh wanita dalam wayang purwa sebagai representasi dari poin-poin kriteria di atas.
2. Tinjauan Teoritis 2.1 Serat Nitimani Sebuah Pengantar Serat Nitimani (SN) merupakan naskah Jawa klasik yang secara umum berisikan ajaran seks dalam budaya Jawa. Namun, ternyata SN tidak hanya menjelaskan semata-mata tentang seks. Ajaran tentang cara pemilihan wanita yang baik juga dijelaskan. Sebelum membahas latar belakang penulisan SN, pengertian Nitimani yang menjadi judul teks yang menjadi objek dalam penelitian ini akan dibahas terlebih dahulu. Menurut Baoesastra Djawa, serat berarti “surat”. Niti berarti memeriksa, sedangkan mani berarti air mani atau intan (Prawiroatmodjo, 1981: 200-201). Dengan demikian, SN secara kontekstual dapat diartikan menjadi surat, atau teks, yang menjelaskan (secara terperinci) tentang bagaimana proses menyemai benih manusia yang baik sehingga benih tersebut dapat tumbuh menjadi manusia utama. Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, SN ditulis oleh Bandara Raden Mas Adipati Arya (B.R.M.A.A.) Harjasoeganda. Seperti telah disebutkan sebelumnya, secara umum, SN berisi tentang ajaran seks yang secara khusus ditujukan bagi laki-laki Jawa yang sudah berumahtangga. Ajaran dalam SN disampaikan melalui dialog tanya jawab antara tokoh-tokoh Juru Patanya sebagai penanya, dengan Sang Murwenggita sebagai narasumber. Keduanya adalah pasangan guru dan murid. Dialog kedua tokoh tersebut berawal dari Juru Patanya yang mulai memasuki usia dewasa. Dengan itu, ia lalu sangat berhasrat untuk mengetahui lawan jenis yang ideal untuk dijadikan pasangan, dan bermaksud menjalin hubungan rumah tangga. Tanpa keraguan, ia pun menanyakan hal-hal tersebut pada gurunya, Sang Murwenggita. Titik fokus SN adalah pada tema besar, bahwa pernikahan, termasuk hubungan intim di antara suami dan istri, pada saatnya akan menghasilkan keturunan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan keturunan yang utama, segala sesuatunya haruslah disiapkan sejak awal, mulai dari pemilihan wanita yang sekiranya memenuhi syarat sebagai “wadah” penyemaian benih
5
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
yang kelak akan tumbuh sebagai manusia baru, hingga kepada tatacara melakukan hubungan suami-istri yang baik. Penelitian ini tidak akan menganalisis SN secara keseluruhan. Fokus dalam penelitian ini adalah menganalisis bagaimana SN, yang dalam penelitian ini dianggap sebagai representasi dari bagaimana masyarakat Jawa, dalam hal ini kaum prianya, menentukan wanita yang ideal untuk dijadikan sebagai istri. 2.2 Wayang Sebagai Representasi Wanita Ideal Versi SN Kriteria wanita ideal yang ada dalam SN, memang bersifat lugas, mengacu langsung pada objek yang diklasifikasikan, yaitu wanita itu sendiri.
Akan tetapi, penelitian ini
memandang perlu untuk mencitrakan kriteria-kriteria yang ada dalam teks SN ke dalam tokoh-tokoh (wanita) dalam dunia pewayangan. Pemilihan tokoh-tokoh wanita dalam wayang yang dilakukan dalam penelitian ini untuk merepresentasikan kriteria-kriteria wanita yang ideal untuk dijadikan sebagai pasangan hidup seperti terkandung dalam SN, dipandang tidak menyimpang. Bahkan, melalui tokohtokoh wanita dalam wayang yang dipilih di sini, diharapkan pembaca dapat langsung mendapatkan visualisasi dari tiap kriteria yang ada, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih baik atas kriteria-kriteria tersebut. Penelitian ini akan mengambil tokoh-tokoh wanita dalam wayang purwa yang diambil dari serial Mahabharata atau Serat Bratayuda. Pencocokkan dengan kriteria yang ada dalam teks SN, ditelusuri melalui pemetaan lakon atau cerita yang melibatkan tokoh-tokoh tersebut. Penelusuran yang telah dilakukan kemudian menghasilkan tokoh-tokoh dalam lakon-lakon sebagai berikut: 1. Dewi Drupadi dalam lakon Pandhawa Dhadhu; 2. Dewi Wara Sumbadra dalam lakon Parta Krama; dan 3. Dewi Kunthi Talibrata dalam lakon Kunthi Pilih. 2.3 Wanita Ideal Dalam Kriteria Serat Nitimani Dalam SN, terdapat 14 kriteria yang memiliki turunannya masing-masing. Kriteria tersebut tidak hanya mencirikan wanita yang baik saja. Ada pula beberapa kriteria yang menjadi ciri-ciri wanita yang tidak baik dan harus dihindari.
Pada penelitian ini, 6
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
keempatbelas kriteria tersebut disederhanakan, dan dibagi ke dalam empat kategori besar yaitu: 1. Latar belakang keluarga; 2. Karakter berdasarkan kondisi fisik secara umum; 3. Karakter sebagai individu; 4. Karakter sebagai istri. Latar belakang keluarga dijadikan kriteria pertama dalam SN. Hal ini terkait pula dengan dasar pemilihan pasangan dalam budaya Jawa yang tertuang dalam ungkapan bobot, bebet, dan bibit1. Berdasarkan SN, adalah penting untuk melihat garis keturunan ayah wanita yang akan dipilih karena hendaknya wanita yang akan dipilih sebagai istri berasal dari orang yang memiliki garis keturunan dari manusia-manusia yang terpilih. Oleh karena itu, SN kemudian membagi dalam tujuh turunan kriteria, yaitu sebagai berikut:
Keturunan bangsawan (awirya) yang artinya berasal dari garis keturunan yang masih memiliki kedudukan yang tinggi.
Keturunan agamawan (agama) atau rohaniwan yang artinya berasal dari garis keturunan para ulama yang ahli dalam bidang agama.
Keturunan pertapa (atapa) yang artinya berasal dari keturunan para brahmana atau pendeta yang tekun menjalankan tapabrata.
Keturunan cendekiawan (sujana) yang artinya berasal dari garis keturunan para cerdik cendekia, kritis dan bijaksana.
Keturunan ilmuwan (aguna), artinya berasal dari garis keturunan orang pintar dalam bidang ilmu tertentu.
Keturunan perwira (prawira) yang artinya berasal dari garis keturunan para ksatria pelindung negara yang terkenal keberaniannya.
Keturunan petani (supatya), yang artinya berasal dari garis keturunan kaum petani yang rajin, tangguh, dan patuh. Kriteria yang kedua adalah karakter berdasarkan kondisi fisik secara umum. Keadaan
fisik yang dimaksud dalam SN, tidak semata-mata berkaitan langsung dengan bentuk tubuh 1
Bobot, bebet, dan bibit, atau seringkali dalam pengucapan umum diurutkan menjadi bibit, bebet, bobot merupakan standar yang berlaku umum dalam masyarakat Jawa untuk menentukan calon pasangan hidup, atau calon menantu. Berdasarkan penjelasan Respationo, bibit berarti latar belakang keluarga calon pasangan/menantu, yang terkait dengan genealogisnya. Bebet berarti karakter dan perilaku calon pasangan/menantu. Sedangkan, bobot berarti kualitas dirinya yang dapat dilihat dari kepandaian (tingkat pendidikan), keterampilan, pangkat (dalam pekerjaan), status sosial, dan sebagainya (Respationo, 1994: 4).
7
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
dan segala hal yang secara langsung dapat dilihat. Dalam beberapa turunan kriterianya, seringkali yang dimaksud adalah hal-hal non-fisik, namun terletak pada fisik wanita tersebut, seperti air muka, senyuman, atau pancaran mata dan wajah.
Bongoh, dalam SN, kondisi bongoh dijelaskan sebagai gambaran tubuh yang subur, yang dianggap mengandung sifat ikhlas.
Sengoh, dalam SN, kondisi sengoh terpancar dari wajah yang sedap dipandang dan dianggap mampu membuat pria yang melihatnya jatuh hati.
Dlongeh, dalam SN, wanita dengan kondisi ini mewakili gambaran wanita yang penuh dengan kesungguhan, keikhlasan, serta jujur.
Ndhemenakaken, dalam SN, wanita berciri ndhemenakaken disebut sebagai endhemipun angecakaken yang kurang lebih berarti „tindak dalam diam‟.
Sumeh, dalam SN wanita yang bersifat Sumeh wajah dan senyumnya menggambarkan sifat sabar.
Manis, dalam SN wanita berciri artinya suka bergaya atau kreatif yang merupakan simbol dari kekuatan daya yang bersifat rahasia.
Mrak ati, dalam SN wanita berciri seperti ini dapat diartikan matanya mempunyai pancaran yang indah serta tutur katanya bisa membuat hati bergetar.
Jatmika, dalam SN wanita yang berciri seperti ini yaitu penjaga ketenangan jiwa dan kejernihan cara pandang.
Susila, dalam SN wanita yang berciri susila, yaitu terampil dalam berbicara, segala perilaku indah dipandang, memiliki sifat setia dan ikhlas yang menumbuhkan kearifan, ketepatan langkah, kekritisan yang proposional, serta dapat menyebabkan terbukanya pintu anugerah lantaran segala sikap selalu didasarkan pada tata krama.
Kewes, dalam SN ciri wanita yang seperti ini berarti wanita yang pandai dalam berbicara.
Luwes, dalam SN wanita yang berciri seperti ini adalah wanita yang mempunyai cara bicara yang enak didengar.
Gandhes, dalam SN ciri wanita yang seperti ini mempunyai daya pesona kata-kata dan tingkah laku yang sangat indah.
Dhemes, dalam SN wanita yang mempunyai ciri seperti ini adalah wanita yang mempunyai kata-kata dan tata cara bersikap senantiasa menimbulkan ketentraman.
8
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
Sedhet, dalam SN wanita yang mempunyai ciri seperti ini adalah wanita yang memiliki postur tubuh sesuai antara besar dan tinggi sehingga tampak tangkas dalam setiap gerakan.
Bentrok, dalam SN ciri wanita yang seperti ini adalah wanita yang bertubuh tinggi dan padat berisi, artinya memiliki badan yang kuat.
Lencir, wanita yang mempunyai ciri fisik seperti ini biasanya memiliki tubuh yang tinggi dan badan yang berisi.
Wire, dalam SN wanita yang mempunyai ciri sepertini ini biasanya memiliki tubuh yang badannya ramping dan langsing.
Gendruk, dalam SN wanita yang mempunyai ciri fisik seperti ini biasanya bertubuh agak gemuk namun padat.
Srenteg, dalam SN wanita yang mempunyai ciri fisik seperti ini memiliki tinggi dan ukuran tubuh yang tidak seberapa namun padat dan berisi.
Lenjang, dalam SN wanita yang memiliki ciri seperti ini bertubuh kecil namun panjang.
Rangkung, dalam SN wanita seperti yang memiliki ciri seperti ini bertubuh tinggi, kurang berisi, dan terkesan kerempeng. Kriteria ketiga adalah karakter ideal sebagai individu. Karakter yang dimiliki oleh
seorang perempuan sehingga dapat dikatakan ideal untuk dijadikan istri tentu saja harus memiliki sifat, kepribadiannya dan perilaku yang baik.
Tepa ing rasa, artinya mampu menghindarkan diri dari sifat benci terhadap orang lain, karena jika tidak memiliki sifat tersebut terkadang menimbulkan watak iri yang berujung pada kedengkian.
Dana ing tepa, artinya mampu menjauhkan diri dari hasrat menyakiti serta menyengsarakan orang lain, sebab apabila tidak memiliki sifat tersebut, cenderung dapat memunculkan watak serakah yang akhirnya dapat menjelma menjadi jahat.
Temen tobatipun rila, artinya tobat yang dilandasi kesungguhan dan keikhlasan. Seorang wanita yang mampu bersikap demikian akan disegani oleh setiap laki-laki. Karakter yang terakhir adalah Karakter Ideal Sebagai Istri. Yang dimaksud di sini
adalah karakteristik yang ditujukan bagi perempuan yang sudah berstatus sebagai istri. Untuk dapat disebut sebagai istri ideal, hendaknya seorang perempuan mempunyai tiga sifat yang akan diuraikan di bawah ini. 9
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
Sama, memiliki rasa sayang pada sesama makhluk.
Beda, memiliki sifat mengutamakan pertimbangan sebagai wujud kearifan.
Dana, memberi imbalan, maksudnya adalah wanita hendaknya memiliki sifat suka memberi kepada sesama.
Dhendha, seorang wanita dalam posisi sebagai istri hendaknya memiliki sifat teliti dalam menentukan sesuatu sehingga dapat memilih dengan tepat mana yang baik dan mana yang buruk.
Selanjutnya, hendaknya seorang wanita yang telah menjadi seorang istri memiliki sifat kepekaan terhadap guna, busana, baksana dan sasana. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Guna, berarti keterampilan atau kepandaian.
Busana, berarti pakaian.
Baksana berarti pangan.
Sasana berarti rumah atau papan.
Selain itu, dalam hal kesetiaan, wanita hendaknya memiliki sifat-sifat sebagai berikut.
Sawanda berarti serupa, sebangun, atau sewarna.
Saeka praya berarti menyatukan kehendak.
Sajiwa berarti sehati. Bagi wanita yang telah berumahtangga hendaklah melaksanakan apa yang menjadi
tugas seorang istri, dalam hal ini berjumlah tiga tingkatan. Masing-masing tingkatan terdapat tiga komponen sebagai berikut.
Gemi berarti hemat, nastiti berarti cermat, dan ngati-ati berarti hati-hati.
Tegen berarti tidak mengecewakan, rigen berarti terampil, dan mugen meyakinkan.
Titi berarti teliti, rukti berarti manfaat, dan rumanti berarti merata.
Sedangkan dalam hal melakukan pekerjaan, seorang istri harus memimiliki lima sifat yaitu:
Rikat artinya cepat
Cukat artinya tangkas
Cakut artinya cekatan
Prigel artinya lihai
Trampil artinya terampil
Perihal pengabdian, hendaknya seorang istri memiliki sifat di bawah ini.
Hendaknya dilandasi oleh kejernihan idhep (berpikir), madhep (niat), manteb (kesungguhan), sregep (rajin). 10
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
Hendaklah wekel (tekun), pethel (telaten), mungkul (tanpa kenal lelah), dan atul (sabar). Berikutnya, SN juga menjabarkan secara riil hal-hal apa saja yang harus dijalankan
oleh seorang wanita Jawa dalam kedudukan sebagai seorang istri agar dapat mencapai kehidupan rumah tangga yang ideal. Penerapannya dapat dilihat sebagai berikut:
Apabila diberi nafkah materi jangan lengah, usahakan untuk berhemat.
Apabila diserahkan amanat jangan lengah, upayakan secermat mungkin menjaga amanat.
Apabila dipercaya janganlah teledor, usahakan untuk tetap berhati-hati.
Apabila merasa kurang puas janganlah mengeluh, akan tetapi memohonlah secara baik-baik.
Apabila disegani janganlah membanggakan diri, tetapi hendaklah bersifat penuh pengertian dan perasaan.
Apabila dihargai janganlah sombong, namun hendaklah mawas diri.
Apabila dikasihi janganlah bertingkah, namun hendaklah bersikap sebagaimana mestinya.
Apabila disayangi janganlah lupa diri, namun hendaknya tetap waspada.
Apabila dicintai janganlah bersikap berlebihan, namun hendaklah tetap bijaksana.
Apabila disukai jangan bersikap acuh namun hendaklah ditanggapi. Selanjutnya seorang istri juga harus dapat menghayati kata-kata sabar dan berserah
diri. Pengertiannya akan dibahas sebagai berikut:
Apabila diperlakukan secara tidak menyenangkan janganlah lepas kendali, namun syukurilah.
Apabila dimaafkan janganlah merasa bangga, hendaklah waspada.
Apabila selalu dituruti janganlah disalahgunakan, namun hendaklah berserah diri.
3. Metode Penelitian Secara metodologis, penelitian ini merupakan penelitian berbasis kepustakaan yang akan menjadikan Serat Nitimani sebagai sumber data primer, yang akan ditunjang dengan data-data lain akan dikaji melalui teori yang diungkapkan oleh A.Teeuw dalam bukunya 11
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
Membaca dan Menilai Sastra
untuk memahami sebuah karya sastra pembaca harus
menguasai berbagai sistem kode, baik kode bahasa maupun kode budaya dan kode bersastra yang khas (Teeuw. 198; 15). Pada penilitian ini fungsi teori yang ada diungkapkan oleh A.Teuuw, dalam penelitian ini dari ketiga aspek yang diungkapkan, akan digunakan hanya dua dengan sesuai fungsinya. Pertama kode budaya dan kedua adalah kode bahasa.
4. Analisis (1) Dewi Wara Sumbadra Dalam Lakon Parta Krama Dalam lakon Parta Krama yang digarap oleh SBN, tokoh Dewi Sumbadra tidak berperan secara aktif, bahkan dalam sekian menit tayangan lakon tersebut tidak ada dialog yang disampaikan oleh Dewi Wara Sumbadra. Akan tetapi, ada adegan-adegan tertentu dalam tayangan tersebut yang dapat dilihat sebagai wujud implisit dari aplikasi nila-nilai wanita ideal menurut kriteria yang ada dalam SN. - Analisis Kode Bahasa Berhubung tokoh Dewi Wara Sumbadra tidak berperan secara aktif, hampir dalam tayangan yang digarap oleh SBN, Dewi Wara Sumbadra tidak berdialog sama sekali. Maka dari itu analisis kode bahasa yang akan dilakukan tidak bisa dilaksanakan. - Analisis Kode Budaya Penjelasan kriteria SN yang terdapat dalam tokoh Dewi Wara Sumbadra sebagai berikut: Di awal tayangan, pada menit ke 05.42, Ibu Nani Soedarsono memberikan ulasan terkait dengan lakon Parta Krama. Terkait dengan tokoh Dewi Wara Sembadra, beliau menggambarkan tokoh tersebut sebagai sosok wanita dan istri yang sabar dalam menghadapi situasi permaduan yang dilakukan oleh suaminya. Cinta, kasih, dan pengabdian Dewi Wara Sumbadra tidak berkurang meskipun dia bukanlah satu-satunya istri bagi Permadi. Apabila kita hendak melakukan interpretasi atas ulasan Ibu Nani Soedarsono terhadap kesabaran dan kesediaan Dewi Wara Sumbadra untuk dimadu berdasarkan kriteria yang ada dalam SN maka 12
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
poin tersebut dapat dimasukkan ke dalam tepa ing rasa (Mampu menghindarkan diri dari sifat benci terhadap orang lain, karena jika tidak memiliki sifat tersebut terkadang menimbulkan watak iri yang berujung pada kedengkian) dengan arti Dewi Wara Sumbadra sangatlah sabar sesuai yang dijelaskan (Hardjowirogo 195-198; 1989) dalam bukunya sejarah wayang purwa. Berikutnya, pada menit 01.16.19, Dewi Wara Sumbadra memberi sembah kepada Permadi dalam acara pernikahan. Sembah dalam tradisi budaya Jawa merupakan wujud dari penghormatan sekaligus bakti seseorang yang lebih rendah, baik dari segi usia, status, maupun kedudukan, kepada orang yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan penjelasan Koentjaraningrat bahwa seorang istri diharuskan menunjukan rasa hormat kepada suaminya karena seorang suami dianggap lebih tua usianya dari pada istrinya (1984: 145). Apabila sikap Dewi Wara Sumbadra yang melakukan sembah kepada Permadi yang saat itu sudah berstatus sebagai suaminya dikaitkan dengan isi ajaran dalam SN maka sikap tersebut mencakup pula poin-poin kriteria madhep(niat) dan manteb(kesungguhan) karena di dalam adegan itu, Dewi Wara Sumbadra sangat menunjukan niat dan kesungguhan untuk menikah dengan Permadi apapun yang menjadi halangan dan rintangannya. Dari pembahasan atas tokoh Dewi Wara Sumbadra dalam lakon Parta Krama produksi SBN yang dikaitkan dengan kriteria wanita yang ideal untuk dijadikan pasangan hidup dalam SN seperti telah diuraikan diatas, dapat dilihat bahwa cinta Dewi Wara Sumbadra kepada Permadi, suaminya, adalah cinta yang utuh. Dalam keutuhan cinta Dewi Wara Sumbadra kepada Permadi, terkandung pula karakter-karakter utama yang mencirikan dirinya sebagai sosok istri atau pasangan yang ideal yaitu kesabaran kepandaian dalam memainkan peran sebagai seorang istri kerelaan berkorban serta kemampuan untuk menyatukan hati dan pikiran dengan suami. (2) Dewi Drupadi Dalam Lakon Pandhawa Dhadhu - Analisis Kode Bahasa Dalam pertunjukan ini peran Dewi Drupadi terlihat sekali, tidak seperti analisis sebelumnya. Di bawah ini akan dialih bahasakan kutipan dialog Dewi Drupadi yang ada pada lakon Pandawa Dadhu sebagai berikut:
13
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
Sebelum keberangkatan para Pandhawa, Dewi Drupadi dipesan oleh suaminya, Puntadewa, untuk tidak memedulikan aneka kejadian yang tidak baik yang mungkin terjadi selama permainan dadu berlangsung di antara Puntadewa dengan Duryudana.
Sebagai
seorang istri, Dewi Drupadi pun menuruti apa kata suaminya tanpa banyak protes sebagaimana tersirat dalam kutipan dialog berikut: Dialog 1 P
: Yayi Drupadi
D
: Nuwun kula, Sinuwun.
P
: Jeneng sira sun parengake ndherek. Nanging sun wanti-wanti, yen ana rupa aja didulu, yen ta ana swara aja dirungokake.
D
: Nuwun inggih, ngestokaken dhawuh Paduka, Sinuwun.
P
: adinda Drupadi
D
: saya paduka
P
: adinda saya ijinkan ikut. Tetapi pesanku, jika ada wujud (sesuatu) jangan diperhatikan, jika ada suara jangan didengarkan.
D
: daulat paduka. Selanjutnya, ketika intensitas permainan telah terasa membahayakan, Dewi Drupadi
sebagai seorang istri menyampaikan peringatan, tentunya secara halus, kepada suaminya agar menyudahi permainan dan kembali ke istana. Meskipun pada akhirnya saran itu ditolak oleh Prabu Puntadewa karena dianggap akan melunturkan kewibawaannya sebagai seorang raja, bahkan Puntadewa mengulangi pesannya seperti sebelumnya, Drupadi tidak menjadi kecewa dan marah.
Ia tetap bersabar menuruti keputusan suaminya untuk tetap meneruskan
permainan. Hal tersebut tersirat dalam kutipan dialog sebagai berikut:
Dialog 2 D
: Mbok inggih sampun ta, Sinuwun. Kendel semanten kemawon anggen paduka kasukan dhadhu. Mangga sami kondur, Sinuwun.
P
: Yayi Wara Drupadi. Si adhi sun keparengake ndherek, ananging kaya kang wus ndakwelingake, yen ta ana rupa aja didulu, ana swara aja dirungokake, yayi.
D
: O inggih sampun menawi mekaten. Ingkong garwa nyuwun gunging samudra pangaksami, Sinuwun. 14
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
Dialog 2 D
: sudahlah Paduka. Cukup sekian saja Paduka tergila-gila dengan dadu. Mari kita pulang, Paduka.
P
: dinda Wara Drupadi. Dinda saya ijinkan ikut, tetapi sesuai dengan yang telah saya pesankan, jika ada wujud (sesuatu) jangan diperhatikan, ada suara jangan didengarkan, dinda.
D
: oh baiklah jika seperti itu. Istrimu minta maaf sebesar-besarnya, Paduka. Dalam perjalanan selanjutnya, sesuai dugaan Werkudara dan Drupadi, Sengkuni yang
merupakan patih sekaligus penasehat Kurawa, berlaku curang dalam permainan dadu. Kecurangan Sengkuni berbuah kekalahan telak di pihak Pandhawa yang diwakili oleh Puntadewa. Tak urung, ketika harta dan negara telah habis dipertaruhkan, Drupadi pun turut dipertaruhkan oleh Puntadewa. Meski hatinya hancur, Drupadi hanya mampu menerima segala pelecehan yang dilakukan oleh Kurawa dengan tangis tertahan dan sikap diam. Namun demikian, tak urung keluar juga sumpahnya sebagai berikut: Sumpah Drupadi Sengkuni berlaku curang dalam permainan dadu. Drupadi dipermalukan oleh Duryudana dan para Kurawa. Pandhawa tidak melakukan pembelaan. Werkudara yang sudah mau bergerak memberi pertolongan pada Drupadi dicegah oleh Puntadewa. D
: Dhuh dhuh Dewa nyeksenana sumpah mami sun tan nggelung rikma lamun tan keramas yekti ludirane Dursasana.
D
: duh para dewa jadilah saksi sumpahku. Saya tidak akan menyanggul rambut sebelum keramas dengan darah Dursasana. Penderitaan Drupadi tak cukup hanya sampai pada peristiwa pelecehan dirinya.
Namun juga ketika akhirnya Pandhawa harus menjalani hukuman buang selama 12 tahun, ditambah satu tahun harus hidup menyamar di sebuah negara tanpa diketahui. Saat Pandhawa hendak bersiap-siap masuk ke dalam hutan Kamiyaka sebagai narapidana, Puntadewa sempat mengajukan opsi pada Drupadi untuk kembali pada ayahnya di Pancala dan menunggu hingga saat-saat hukuman selesai, atau menikah kembali dengan pria lain. Di saat-saat segenting itu pun ketika sebenarnya Drupadi dapat saja memperbaiki nasib dan hidupnya, Drupadi tetap memilih untuk mendampingi suaminya. Hal tersebut tersirat dalam kutipan dialog berikut ini: Dialog 3 15
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
P
: Yayi Wara Drupadi.
D
: Nuwun kula, Sinuwun.
P
: Kang kudu manjing wana minangka pidana salawase rolas warsa, muhung Pandhawa lima, si adhi ora kapetung, yayi. Mula, jeneng sira sun paringi kamardikan, kondur marang Praja Pancala, baliya marang Rama Prabu Drupada. Yen ta si adhi isih gelem ngenteni pundhating lelakon, sokur bage sewu. Ananging, yen ta kodrate si adhi kudu apalakrama maneh, borong mangsa boronga marang si adhi Yayi Wara Drupadi.
D
: Dhuh Sinuwun, jejimat pepundhen kula. Titikaning wanita setya bekti dhaleng kakung menika, inggih naming pinuju nandhang sedhih utawi sengsara ngaten menika, Sinuwun. Pramila kepareng boten kepareng, pejah gesang kula, tut wuri dhateng sagandhap pepada Paduka, Sinuwun.
P
: Adhuh, jagad dewa bathara. Yayi,yen Ta si adhitansah bebarengan lawan pun kakang, oh yayi, yayi Drupadi, si adhi nyata wanodya kang setya tuhu marang garwa. Ananging yayi, ana ing wana, anane bakal rekasa ora bakal ana kepenake. Mula aja nganti cilik sambat, gedhene nggresula Taksuwun si adhi bakal tansah bebarengan kalawan para Padhawa kanthi tabah, yayi.
D
: Sinuwun, nadyan manjing wonten lak-lakaning naga, ingkang garwa boten purun kantun, Sinuwun.
P
: Iya, yayi. Sokur bage yen ta kaya mangkana.
Dialog 3 P
: adinda Drupadi
D
: saya Paduka
P
: yang harus masuk hutan sebagai hukuman selama duabelas tahun, hanya lima Pandhawa, dinda tidak terhitung dinda. Maka dari itu, dinda saya berikan kebebasan, pulang ke kerajaan Pancala, pulanglah kepada Rama Prabu Drupada. Jika adinda masih bersedia menanti sampai selesai hukuman ini, saya sangat bersyukur. Akan tetapi, jika kodrat adinda harus menikah lagi, silahkan ..... 16
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
D
: duh Paduka, tambatan hidup saya. Ciri perempuan yang setia kepada suaminya adalah, yaitu ketika dilanda kesedihan atau kesengsaraan seperti ini Paduka. Maka dari itu, diijinkan ataupun tidak, hidup mati saya, ikut kepada perintah Paduka.
P
: duh dewa yang agung. Dinda, jika adinda ikut bersama kakanda, oh dinda, dinda Drupadi, adinda memang wanita yang sangat setia kepada suami. Tetapi dinda, di dalam hutan, yang ada hanya kesengsaraan tidak akan ada kesenangan sama sekali. Maka, jangan sampai berkeluh kesah, lapangkan dada. Saya harap adinda akan terus bersama Pandhawa dengan tabah, dinda.
D
: paduka, walaupun masuk ke dalam mulut naga sekalipun, istrimu tidak boleh ketinggalan, Paduka.
P
: iya dinda. Saya sangat bersyukur kalo begitu.
- Analisis Kode Budaya Dalam dialog tersebut Dewi Drupadi dapat disebutkan bahwa dia mempunyai sifat saeka praya yang ada di dalam kriteria SN, yang berarti Dewi Drupadi bisa menyatukan kehendak dengan suami karena merasa permintaan yang diinginkan oleh sang suami adalah sebagai kebaikan untuk Dewi Drupadi. Sesuai pada ensiklopedi wayang jilid 2 (1999: 475476) Dewi Drupadi merupakan orang yang sangat mengerti akan keinginan suami. Selanjutnya Dewi Drupadi juga mempunyai kriteria yaang ada di dalam SN yaitu sajiwa yang sikap nya yang selalu sama terhadap suaminya dan diri sendiri, pada saat Dewi Drupadi dan para pandawa dihukum atas kekalahan pada saat bermain judi dadu, dia diperbolehkan menikah lagi namun Dewi Drupadi lebih memilih untuk ikut dalam hukuman itu. Berikutnya Dewi Drupadi juga mempunyai ciri sawanda, yang berarti bersedia melakukan dan menyatukan tubuhnya dengan cara saling memahami keinginan dengan suaminya. Terlihat jelas ketika Dewi Drupadi ingin mengikuti jamuan yang dilakukan korawa dan namun dengan berbagai syarat yg diajukan oleh Puntadewa. Seperti pribahasa Sabaya mati sabaya mukti (Hariwijaya: 2004: 272) yang berarti sehidup semati sepenanggunan, disini Dewi Drupadi menunjukan sikap seperti yang ditunjukan pribahasa tersebut. Dewi Drupadi juga menyiratkan kriteria-kriteria ideal seorang istri yang selalu menjaga amanat, tetap bersikap baik pada suami meski sebenarnya ada hal-hal yang dirasanya 17
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
kurang memuaskan dirinya, tetap mawas diri meski suaminya menghargainya, tetap bersikap wajar sebagaimana mestinya meski ia dikasihi, dan tetap waspada meski ia disayangi, tetap berserah diri meski kehendaknya dituruti. Selain itu, Drupadi juga memenuhi kriteria busana, yaitu kecakapan berbusana dan mematut diri, bahwa saat ia mendampingi suaminya sebagai raja dan ia sendiri sebagai ratu, Drupadi berbusana sesuai peran dan kedudukannya. Dengan demikian, ia turut menjaga citra dan kewibawaan suami. Namun, ketika ia harus mengikuti suami dan saudara-saudaranya
dalam pembuangan, ia pun menanggalkan segala atribut
keratuannya dan menampilkan dirinya secara sederhana layaknya mereka yang tinggal di hutan. Kriteria SN selanjutnya yang dimiliki oleh Dewi Drupadi adalah tegen dan ngati-ati. Untuk dua kriteria ini sangat berhubungan, tegen yang berarti tidak mengecewakan dalam hal apapun dan ngati-ati yang berarti hati-hati dalam bertindak apapun. Kedua hal ini muncul ketika Dewi Drupadi ingin mengingatkan kepada Puntadewa yang sedang bermain judi dadu agar segera berhenti, namun Dewi Drupadi disitu mengalami penolakan yang dilakukan oleh Puntadewa. Dalam suatu adegan Dewi Drupadi diperlakukan sangat tidak senonoh oleh Dursasana. Dewi Drupadi sangat kecewa dan terucaplah sebuah sumpah untuk Dursasana. Mengucapkan Sumpah dalam pribahasa Jawa atau piwulang bisa disebutkan sabda laksana yang berarti kata-kata yang diucapkan lalu dilaksanakan. (Hariwijaya, 2004: 272). Sikap sabar dan penuh kontrol diri dari Drupadi di atas telah membuahkan perlindungan dari dewa pada kehormatan dan harga dirinya. Tidak hanya ia dihindarkan dari rasa malu yang lebih hebat dengan perpanjangan kainnya sehingga Dursasana kelelahan membuka kain Drupadi yang tak kunjung habis, namun juga dewa dan seluruh alam menyaksikan dan mengafirmasi sumpah Drupadi yang kelak akan terlunasi pada perang Baratayuda. Menurut kriteria SN, Dewi Drupadi mempunyai karakter apabila diperlakukan secara tidak menyenangkan janganlah lepas kendali namun bersyukurlah. (3) Dewi Kunthi Dalam Lakon Kunthi Pilih - Analisis Kode Bahasa Berikutnya, analisis kode bahasa terhadap tokoh Dewi Kunthi dalam lakon Kunthi Pilih. Di bawah ini akan dialih bahasakan dialog tokoh Dewi Kunthi sebagai berikut: 18
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
Kutipan dua dialog antara Kunthi dengan kakaknya, Basudewa. Pada menit 20.26 Basudewa (B) : Ya, ya, yayi. Pun kakang ora maido mungguh sepira panandangmu. Nanging, jeneng sira Yayi Kunthi kudu bisa mapanake bedaning katresnan lan kuwajiban, Yayi. Kapan anggone si adhi nandukake rasa tresna, lan kapan anggone si adhi netepi marang kuwajiban. Si adhi aja tanggungtanggung anggone melu rumeksa karaharjaning praja, nusa, bangsa, lan Negara, Yayi. K
: Nuwun inggih, kakang. Sanadyan awrat kados menapa, ingkang rayi badhe ngestokaken dhawuh Paduka, kakang.
(Dialog Basudewa dengan Kunthi tentang peristiwa pembuangan Karna yang dalam pandangan Basudewa memang menjadi kewajiban Kunthi demi keharuman nama ayah dan negaranya.) B
: iya dinda. Suamimu tidak akan mencela terhadap seberapa peranmu. Akan tetapi, kamu dinda Kunthi harus bisa menempatkan bedanya cinta dan kewajiban, dinda. Kapan waktunya dinda mendahulukan rasa cinta, dan kapan waktunya dinda melaksanakan kewajiban. Adinda jangan ragu-ragu dalam ikut membangun kemajuan keraton, nusa, bangsa dan negara, dinda.
K
: baiklah kakanda. Walaupun seberat apapun, adinda akan melaksanakan perintah kakanda.
Pada menit 21.17 B
: Malah dina iki, Kanjeng Rama Kunthiboja wus kebacut nganakake sayembara pilih. Nalendra sewu Negara kang wus siyaga neng alun-alun, tumuli pilihen salah sawiji.
K
: Nuwun inggih, sumangga kula dherekaken, Kakang Basudewa.
B
: Malahan hari ini, kanjeng Rama Kunthiboja sudah terlanjur mengadakan sayembara pemilihan. Raja dari seribu kerajaan yang sudah bersiaga di alun-alun, pilihlah salah satu. 19
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
K
: baiklah, mari saya persilahkan, kakanda Basudewa. Akan tetapi, ada adegan-adegan tertentu dalam tayangan tersebut yang dapat dilihat
sebagai wujud implisit dari aplikasi nila-nilai wanita ideal menurut kriteria yang ada dalam SN. Seperti dalam adegan pada menit dibawah ini: Pada menit 25.58 Kunthi memilih raja-raja dan ksatria yang melamarnya. Pada menit 42.31 Kunthi memberi hormat kepada Pandhu. Pada menit 45.18 Kunthi menerima Madrim sebagai madunya. - Analisis Kode Budaya Menurut kriteria SN dan berdasarkan diatas Dewi Kunthi memiliki sifat beda yang berarti memiliki sifat yang selalu mengutamakan pertimbangan sebagai wujud kearifan, karena Dewi Kunthi dengan arifnya mau mempertimbangkan apa yang disarankan oleh Basudewa dalam peristiwa pembuangan anaknya Karna. Di dalam ensiklopedi wayang (1991:308) dijelaskan pula bahwa Dewi Kunthi mempunyai sifat belas asih dan sangat setia. Selanjutnya Dewi Kunthi mempunyai kriteria tegen yang berarti tidak mengecewakan, karena Dewi Kunthi menuruti apa yang baik untuk kerajaan dan nama baik kemajuan keraton. Dewi Kunthi juga dikenal sebagai sosok yang pandai dan awas mata batinnya seperti yang dapat dilihat pada adegan di menit 25.58 ketika ia harus memilih satu di antara sekian banyak raja-raja yang mengikuti sayembara untuk dapat menjadi pasangannya.
Dalam
adegan tersebut, dapat dilihat secara tersirat munculnya kriteria-kriteria dalam SN yaitu ngatiati dan tetap cermat dalam menjalankan amanat, yang dalam kasus ini adalah amanat dari ayahnya untuk memilih satu di antara sekian banyak pelamar untuk dijadikan suaminya. Di menit ke 42.31, keluarlah pemenang sayembara yaitu Pandhu Dewanata dari Astina. Kunthi serta-merta memberi sembah kepada Pandhu. Sikap ini, seperti juga yang telah sempat dibahas dalam tokoh Dewi Wara Sumbadra di atas, adalah wujud penghormatan Kunthi kepada pria yang menjadi suaminya. Hal ini tentunya sejalan dengan poin guna dalam SN yang mengandung makna kecakapan dalam memosisikan diri sebagai istri yang diharuskan menghormati suami. Selanjutnya, ketika Pandhu menerima Madrim yang diserahkan oleh Narasoma sebagai istri keduanya di menit ke 45.18, Dewi Kunthi tetap dapat bersikap lapang dada. Cinta dan pengabdiannya pada Pandhu tidak kemudian berkurang karena peristiwa ini. Dewi 20
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
Kunthi menerima Madrim sebagai madunya dengan penuh kerelaan dan kebijaksanaan. Hal tersebut sesuai dengan sikap-sikap yang tidak bertingkah meski Pandhu mengasihinya dan tetap bijaksana meski ia dicintai, serta sama yang berarti kemampuan untuk menyayangi sesama dengan kualitas yang sama.
5. Kesimpulan Berdasarkan pembacaan dan analisis atas Serat Nitimani, terdapat beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dalam penelitian ini. Pertama, Serat Nitimani sebagai teks didaktis, dapat diposisikan dengan dua sudut pandang, yaitu semata sebagai teks yang berisi ajaran seks dan kerumahtanggaan, atau sebagai refleksi dari bagaimana masyarakat Jawa pada masa teks diciptakan, yang diwakili oleh penulis teks, memandang hubungan seks, pernikahan, dan perempuan sebagai unsur utama yang menentukan terjadi dan langgengnya sebuah pernikahan. Dari hasil yang terdapat di dalam analisis yang menggunakan teori A.Teeuw. Dengan menggunakan sistem kode bahasa dan kode budaya maka terbukti bahwa Serat Nitimani dapat mendeskripsikan kriteria wanita ideal yang bisa diaplikasikan kedalam kehidupan masa sekarang. Demikian kesimpulan yang dapat diambil dari analisis interpretatif atas Serat Nitimani. Tentunya masih banyak rumpang yang belum mampu diisi dalam penelitian ini terkait dengan Serat Nitimani sebagai objek kajian karena sejumlah keterbatasan yang ada. Serat Nitimani sebagai sebuah teks berlatar budaya, tentunya membuka kesempatan yang masih cukup luas untuk dapat dieksplorasi dan dikaji dengan sudut pandang yang berbeda dengan apa yang telah dilakukan sebelumnya.
Oleh karena itu, di masa mendatang
diharapkan ada peneliti-peneliti lain yang berminat untuk melakukan kajian atas Serat Nitimani demi aktualisasi konteks ajarannya pada masyarakat di masa mendatang.
21
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
6. Daftar Referensi
Geertz, Hildred. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers. (penerjemah Hesri), 1982. Hardjowirogo. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Hazeu, GAJ. Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kalitan Agami Ing Jaman Kina. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979. Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1984. --------------------. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Cetakan ke 23. Jakarta: Djambatan,2010. --------------------. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Leahy, Louis. Manusia, Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis tentang Mahluk Paradoksal. Jakarta: Gramedia, 1989. Mulyono, Sri. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Gunung Agung, 1979. Respationo, Suyadi. Upacara Mantu Jangkep: Gagrag Surakarta. Semarang: Dahara Prize, 1994. Soemahatmaka, R.M.Ng. Pratelan Para Darah Dalem Soewargi Kangdjeng Goesti Pangeran Adipati Arja Mangkoenagara I Hing Soerakarta Hadiningrat. Surakarta: Terbit hanya untuk kalangan terbatas, 1973. Teeuw, A. Membaca Dan Menilai Sastra, Edisi Kedua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991. Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. Poerwardarminta, WJS. Baoesastra Djawa. Groningen, Batavia: JB Wolkers UitgeversMaatscappij N. V, 1939. Tim Penulis KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke dua. Jakarta: Balai Pustaka,1991. 22
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013
-----------------------. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke dua. Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Sumber Internet: www.kerajaannusantara.com www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/35/name/jawatimur/detail/3514/pasuruhan www.poswayang.wordpress.com/2011/04/29/pengertian-sanggit-dan-kerjanya/
23
Gambaran wanita..., Fahmi Adlan Syah, FIB UI, 2013