ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pengunaan bahasa yang ada pada masyarakat multilingual di kelurahan Senggarang ditinjau dari kajian sosiolinguistik. Penelitian ini difokuskan pada tuturan sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat dalam keanekabahasaan dan keanekaragaman budaya yang ada di wilayah Senggarang. Variasi bahasa juga melibatkan alih kode dan campur kode yang terjadi di masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melalui metode survey dengan pendekatan sosiologi. Data yang diambil dari penelitian ini yaitu dalam bentuk peristiwa tutur yang terjadi pada masyarakat di kelurahan Senggarang, kecamatan Tanjungpinang Kota, Provinsi Kepulauan Riau. Informan dilibatkan untuk memberikan informasi tentang tuturan yang berhubungan dengan kode yang digunakan di kelurahan tersebut. Tuturan yang digunakan oleh masyarakat di kelurahan tersebut kemudian direkam dan dicatat (Sudaryanto). Untuk melengkapi data, untuk mengetahui factor-faktor social yang mempengaruhi terjadinya masyarakat multilingual, data hasil wawancara akan digunakan. Setelah data direkam dan dicatat, langkah selanjutnya yaitu mengklasifikasikannya ke dalam berbagai tuturan yang ditemukan. Tuturantuturan itu kemudian dianalisis. Kata kunci: Multilingual, alih kode, campur kode.
PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI KELURAHAN SENGGARANG PROVINSI KEPULAUAN RIAU
1. Pendahuluan 1.1 latar Belakang Bahasa lahir dan hidup bersama masyarakatnya karena masyarakat tidak dapat berkomunikasi di antara sesamanya tanpa alat untuk berkomunikasi yaitu bahasa. Bahasa adalah milik manusia yang paling utama. Hakekat bahasa tidak lepas dari individu, kelompok individu, dan masyarakat yang memilikinya. Demikian pula secara sosial dapat dikatakan bahwa bahasa it uterus menerus memahami fungsi sosialnya di segala bidang, sebagai wadah dari perilaku dan aktivitas masyarakat, di samping fungsinya sebagai alat komunikasi, yakni bidang sosial, ekonomi, politik, kedokteran, perdagangan, teknologi, sains, komunikasi, transportasi, dan sebagainya (Sumarsono, 2004). Sebagai ilmu yang mengkaji keterkaitan bahasa dengan masyarakat, sosiolinguistik semakin berkembang dan diakui pada awal tahun 1970-an (Hudson, 1980). Lewat kajian ini, pengenalan identitas seseorang dapat dilakukan dengan melihat bahasa atau ragam bahasa yang digunakan dalam percakapan yang melibatkan orang atau kelompok lain. Hubungan bahasa dan masyarakat atau faktor-faktor sosial banyak dikaji oleh para sosiolinguis (Fishman, 1971; Wardaugh, 1986; Hudson, 1980, Holmes, 1992). Di dalam sosiolinguistik, tidak hanya dibahas struktur formal semata sebagaimana dalam kajian linguistic teoritis, melainkan didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat.
Banyak hal yang dapat dikaji dalam sosiolinguistik antara lain variasi bahasa, sikap bahasa, kepunahan dan pemertahanan bahasa dan salah satunya yaitu penggunaan bahasa di masyarakat. Kelompok-kelompok orang atau masyarakat saling berinteraksi dan terjadilah kontak bahasa dengan menghasilkan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang salah satunya dinamakan multilingualisme atau keanekabahasaan karena kontak antara penutur dan mitra tutur melibatkan lebih dari dua bahasa dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Arthur Yap (1978) yang mengutip Labov (1971) mengemukakan bahwa semakin hari semakin banyak menunjukkan bahwa masyarakatmasyarakat yang monolingual tidak sepenuhnya homogen. Jadi heterogenitas berbahasa bukan saja lumrah, tetapi juga bersifat alamiah. Bila tidak terdapat alih gaya dan system komunikasi yang bersifat ganda, maka kondisi homogen suatu masyarakat akan mengalami kelainan fungsi. Para ahli bahasa tadinya tidak menyadari bahwa sesungguhnya heterogenitas merupakan kekhususan masyarakat bahasa. Dengan kata lain, walaupun suatu masyarakat bersifat homogeny dari perspektif politik, sosioekonomi dan budaya, namun dari perspektif bahasa, masyarakat tersebut adalah heterogen. Selanjutnya Lyons (1970) mengatakan bahwa masyarakat tutur adalah semua orang yang menggunakan suatu bahasa atau dialek tertentu. Demikian pula dengan Bloomfield dan Gumperz dalam Hudson (1971) yang mendefinisikan masyarakat tutur sebagai sekelompok orang atau beberapa orang yang berinteraksi dengan menggunakan ujaran atau bahasa. Penggunaan bahasa oleh masyarakat multilingual merupakan kajian yang penting untuk diteliti karena dalam berinteraksi, seorang penutur akan terlibat berkomunikasi
dengan mitra tuturnya. Hal ini dapat dikatakan merupakan hal yang wajar sebab tidak ada negara yang monolingual. Asumsi yang sama dikemukakan bahwa bahasa tidak pernah monolitik keberadaannya (Bell, 1975). Karena adanya beberapa bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam berinteraksi, maka hal ini menjadi sangat menarik untuk dikaji. Apalagi penggunaan multilingual itu terjadi pada masyarakat yang skalanya lebih kecil misalnya di sebuah kelurahan. Fenomena seperti ini terjadi pula pada masyarakat di kelurahan Senggarang, sebuah kelurahan di kecamatan Tanjungpinang Kota Provinsi Kepulauan Riau. Di kelurahan Senggarang ini, masyarakat tuturnya bisa berkomunikasi dengan menggunakan beberapa bahasa yang berbeda yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan bahasa nasional, bahasa Bawean, bahasa Tionghoa, dan bahasa Melayu. Karena menggunakan lebih dari satu bahasa, maka masyarakat tersebut dinamakan masyarakat multilingual. Oleh sebab itu, karena bisa menggunakan lebih dari satu bahasa atau kode, mereka dapat melakukan pemilihan kode bahasa sesuai dengan situasi tutur yang berlangsung, beralih dari satu kode ke kode yang lain, bahkan mencampurkan kodekode tersebut. Selanjutnya Wardaugh (1990: 94) mengemukakan bahwa multilingualisme terjadi mungkin karena menjadi imigran, pengunjung, atau anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Salah satu contohpenggunaan bahasa di kelurahan Senggarang dapat dilihat sebagai berikut: A: Kamakna bekna? (bahasa Bawean) (mau pergi kemana?) B: nak ke pasa (bahasa melayu)
(mau ke pasar) Tuturan seperti itu sering ditemukanpada masyarakat senggarang ketika mereka saling berinteraksi. Pemilihan kode tergantung pada siapa yang memulai pembicaraan dan lawan tutur secara spontan menggunakan kode yang lain untuk merespon tuturan penutur. Contoh tuturan seperti itu bisa juga terjadi ketika orang Tionghoa bertemu dengan Orang Bawean , maka untuk mengawali pembicaraan, dia akan memilih kode bahasa yang diketahui oleh lawan tuturnya. Penggunaan bahasa sebagaimana dikemukan oleh labov (1972) berhubungan dengan variabel non linguistic dan variabel tersebut berhubungan dengan siapa yang berbicara dengan bahasa apa, tentang apa, kepada siapa dan kapan (Fishman, 1976). Merujuk pada kenyataan yang dikemukakan Fishman mengenai ranah pemilihan bahasa, kebocoran diglosia terjadi apabila terdapat tumpang tindih ranah pemilihan bahasa. Artinya bahasa yang satu merembes ke ranah penggunaan bahasa lain. Sebagai contoh, penggunaan kode di dalam keluarga di kelurahan Senggarang. Hal ini tentu saja akan membawa dampak pergeseran bahasa (language shift) dan kepunahan bahasa (language death) (Sumarsono dan Partana, 2002).
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukan sebelumnya, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu: 1. Jenis-jenis kode apa yang digunakan di kelurahan senggarang beserta fungsi kemasyarakatannya? 2. Faktor-faktor sosial apa yang mempengaruhi pemakaian kode-kode bahasa itu?
3. Bagaimana realisasi alih kode dan campur kode pada masyarakat multilingual di kelurahan Senggarang? 4. Apa fungsi alih kode dan campur kode yang terjadi di masyarakat?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang dirumuskan di atas, maka tujuannya adalah sebagai berikut: 1. mendeskripsikan jenis-jenis kode yang digunakan di kelurahan Senggarang beserta fungsi kemasyarakatnnya. 2. Mendeskripsikan faktor-faktor social yang mempengaruhi pemakaian kode-kode bahasa itu. 3. Mendeskripsikan alih kode dan campur kode yang terjadi di masyarakat tersebut. 4. Mendeskripsikan fungsi alih kode dan campur kode yang terjadi di masyarakat tersebut.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang penggunaan bahasa pada masyarakat multilingual dan dapat member sumbangan teoritis kepada ilmu sosiolinguistik. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat dalam kaitan dengan peneltian di bidang linguistic lainnya. Melalui penelitian ini, juga diharapkan dapat member sumbangan dalam mengatasi ketegangan politik akibat persoalan bahasa karena masyarakat yang multilingual pikirannya lebih fleksibel dan lebih toleran daripada
masyarakat monolingual. Deskripsi ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya.
1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai penggunaan bahasa telah banyak dilakukan oleh para peneliti di Indonesia. Penelitian-penelitian itu sebagian dapat disebutkan sebagai berikut. Sina Wain (2005) dalam tesisnya yang berjudul Bahasa Makasai di Timor Leste: Kajian Geografi Dialek. Kajian ini mengemukakan tenatng penggunaan bahasa Makasai sebagai bahasa yang utama di antara beberapa bahasa lainnya yang terdapat di Timor Leste. Selain itu, Zultiyanti (2005) juga dalam tesisnya yang berjudul Variasi Pemakaian Bahasa Pada Masyarakat Kelas Bawah juga mengaitkan penggunaan bahasa tertentu yang dipakai oleh mayasarakat yang berasal dari golongan perekonomian kelas bawah. Penggunaan bahasa tersebut juga turut mewarnai multilingualisme yang terjadi di masyarakat tersebut. Fauziah (2005) juga pernah membuat sebuah penelitian bahasa yang ada di wilayah Surakarta Jawa tengah. Adapun judul penelitian tersebut adalah Pemertahanan Bahasa Arab dalam Komunitas Warga keturunan Arab di Surakarta. Penelitian ini juga menggambarkan suatu kondisi etnis minoritas yang penting untuk diketahui sebagai rekaman sebuah budaya. Pembahasan tentang pemertahanan bahasa dari suatu kelompok minoritas akan sangat menarik untuk dikaji mengingat kecenderungannya untuk tergantikan oleh bahasa kelompok mayoritas.
Penelitian yang dilakukan oleh Haryono (1990) yang berjudul Kelompok Dwibahasawan Indonesia-China Putonghoa di Pancoran-Jakarta Barat. Dalam tulisannya dikatakan bahwa sejak adanya kontak dagang langsung antara Indonesia dan RRC, dan dengan adanya politik terbuka pemerintah terhadap penanaman modal asing, maka Nampak adanya gejala penggunaan bahasa Cina Putonghoa sebagai alat komunikasi kelompok tertentu. Di dalam komunikasi, mereka tidak sepenuhnya menggunakan bahasa Cina, tetapi juga menggunakan bahasa Indonesia secara bergantian. Disertasi Fathur Rahman (2003) yang berjudul Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian sosiolinguitik di Banyumas. Penelitian ini menyangkut pemilihan bahasa karena dipengaruhi factor social dan budaya serta hubungan antara penutur dan mitra tutur berdasarkan pada norma tutur yang berlaku pada masyarakat Banyumas. Sebuah tesis yang ditulis oleh Munira Hasyim (2003) yang berjudul Penggunaan Bahasa pada Masyarakat Tutur Makassar. Penelitian ini juga mengkaji penggunaan bahasa yang melibatkan empat bahasa etnis di Sulawesi selatan. Dalam tesisnya dikatakan bahwa empat bahasa daerah yang digunakan di Sulawesi selatan itu tidak dapat dipahami satu sama lainnya. Dari beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas, tampaknya masih kurang kajian mengenai penggunaan bahasa oleh masyarakat multilingual yang mana masyarakat tersebut dapat menggunakannya dengan sama baiknya dan dengan kode yang lebih banyak. Peneliti bermaksud meneliti penggunaan bahasa yang digunakan oleh masyarakat multilingual dengan mengkaji satuan lingualnya dan factor-faktor yang mempenagruhi penggunaan bahasa-bahasa itu.
1.6 Landasan teori Crystal (1992) mengemukakan bahwa multilingualisme adalah cara hidup alami yang terjadi dari hasil kontak bahasa yang tidak dapat dielakkan. Selanjutnya dikatakan multilingualisme yang umumnya ditemukan pada seorang penutur disebut bilingualism. Chaer dan leonie (2004) mengatakan bahwa bilingualism adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual atau dwibahasawan. Kemampuan
untuk
menggunakan
dua
bahasa
disebut
bilingualitas
atau
kedwibahasawanan. Sedangkan multilingualisme atau keanekabahasaan yaitu keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Selanjutnya Mackey (1962) berpendapat bahwa kedwibahasaan adalah praktek penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain oleh seorang penutur. Untuk penggunaan dua bahasa, diperlukan penguasaan kedua bahasa tersebut dengan tingkat yang sama. Namun Haugen (1961) berpendapat, bahwa seorang penutur tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa atau lebih, tapi cukup kalau bisa memahaminya saja. Dia berpendapat bahwa orang yang mempelajari bahasa kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya mempengaruhi bahasa aslinya. Sebagai aspek penutur, penggunaan bahasa relative tidak stabil dan selalu berubah sejalan dengan perubahan unsure-unsur lainnya dalam konteks sosialnya. Unsure-unsur demikian disebut variable non linguistic (Labov, 1972). Demikian juga dengan Holmes (1992) yang menyebutkan bahwa faktor sosial tertentu relevan dengan variasi tertentu yang digunakan sehubungan dengan pemakai bahasa atau partisipan; lainnya
berhubungan dengan penggunaannya yaitu situasi social dan fungsi interaksi. Siapa berbicara dengan siapa, situasi atau konteks social, dan tujuan atau maksud berinteraksi sangat mempengaruhi pemilihan bahasa. Sementara itu, Fishman (1971) menganjurkan bahwa dalam mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa hendaknya diperhatikan kaitannya dengan ada tidaknya diglosia. Fishman juga mengatakan bahwa diglosia tidak hanya terdapat pada masyarakat yang mengenal satu bahasa dengan dua ragam bahasa semata-mata; diglosia dapat juga ditemukan pada masyarakat yang mengenal lebih dari dua bahasa, bahkan dapat juga dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun. Dan lebih lanjut dkatakan pula bahwa ketepatan pemilihan variasi bahasa dalam hubungan social banyak ditentukan oleh kesadaran penutur terhadap kapan dan di mana tuturan itu diungkapkan. Topic percakapan merupakan satu rangkaian dengan tempat bicara dan waktu bicara. Selain itu, Hymes (1972) mengemukakan beberapa variabel linguistik yaitu tempat bicara, suasana bicara, orang yang terlibat dalam pembicaraan, tujuan percakapan, tindak tutur, nada dan aksen, alat pengungkapan, norma-norma bicara dan jenis pembicaraan. Dengan melihat pengertian kedwibahasaan tersebut, pengertian Fishman yang dijadikan kerangka acuan dalam penelitian ini karena gambaran multilingual anggota masyarakat memperlihatkan bahwa mereka dapat menggunakan semua kode yang ada dengan sama baiknya. Alasan utama yang menyebabkan terjadinya perubahan adalah kebutuhan orang untuk berkomunikasi secara akrab secara satu sama lainnya. Bila dua individu yang berbeda bertemu dan berkomunikasi, yang pertama dilakukan adalah mereka cenderung menyesuaikan cara bicara mereka dan hal ini cenderung dilakukan agar mereka dapat
saling berkomunikasi dan memahami (Poedjosoedarmo, 2004). Ketika berkomunikasi, mereka bisa saja mengabaikan aturan kode standar, kemudian utnuk menjaga hubungan mereka biasanya saling menyesuaikan diri. Gejala seperti ini dapat dilihat pada dua atau lebih individu yang berasal dari latar belakang dialek atau bahasa yang berbeda. Mereka terbiasa mengalihkan pola pikir mereka dan berpikir lebih fleksibel. Selanjutnya orang yang bilingual atau multilingual lebih toleran dari orang yang monolingual (De Cuellar, 1995). Selanjutnya dikatakan bahwa identitas penutur akan mempengaruhi pemilahan bahasa. Orang yang dialamatkan sebagai mitra tutur akan mempengaruhi pemilihan kode tersebut. Hal yang tak kalah pentingnya yaitu bagaimana peranan yang mereka lakukan dalam situasi tuturan tertentu. Orang kadang-kadang mengalihkan kode dalam satu ranah atau situasi sosial. Ketika ada perubahan situasi, seperti datangnya orang baru, maka mudah berubah untuk beralih kode. Alih kode bisa berhubungan dengan partisipan tertentu atau mitra tutur. Seorang penutur menurut Holmes (1992) bisa beralih ke bahasa lain sebagai tanda keanggotaan kelompok dan etnis dengan mitra tutur dan juga untuk menunjukkan solidaritas dengan lawan tutur. Campur kode terjadi bilamana penutur menggunakan kedua bahasa secara bersama-sama pada tingkatan bahwa mereka mengubah dari satu bahasa ke bahasa lain dalam satu ujaran (Wardaugh, 1990). Sehubungan dengan dampak penggunaan bahasa oleh masyarakat multilingual, maka dapat mengakibatkan hilangnya bahasa dan juga difusi (Wardaugh, 1986).
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Metode Pengumpulan Data Metode yang dipakai dalam penelitian ini yaitu metode survey dengan pendekatan sosiologi. Data yang diambil dari penelitian ini yaitu dalam bentuk peristiwa tutur yang terjadi pada masyarakat di kelurahan Senggarang, kecamatan Tanjungpinang Kota, Povinsi Kepulauan Riau. Informan dilibatkan untuk memberikan informasi tentang tuturan yang berhubungan dengan kode yang digunakan di kelurahan tersebut. Tuturan yang digunakan oleh masyarakat di kelurahan tersebut kemudian direkam dan dicatat (Sudaryanto). Untuk melengkapi data, untuk mengetahui faktor-faktor sosial yang mempengaruhi terjadinya masyarakat multilingual, data hasil wawancara akan digunakan.
Setelah
data
direkam
dan
dicatat,
langkah
selanjutnya
yaitu
mengklasifikasikannya ke dalam berbagai tuturan yang ditemukan. Tuturan-tuturan itu kemudian dianalisis.
1.7.2 Metode Analisi Data Setelah pengumpulan data selesai, data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kulaitatif. Penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret tanpa mempertimbangkan benar salahnya penggunaan bahasa oleh penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1992).
1.7.3 Metode Penyajian Data Metode yang digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif. Maksudnya data-data yang digunakan tidak berupa statistik melainkan hanya diuraikan secara deskriptif.
1.8 Rencana Biaya Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian ilmiah dosen tahun 2012, biaya penelitian berjumlah Rp.5.000.000,- dari anggaran UMRAH Tahun 2012.
1.9 Jadwal Penelitian Minggu I
: Persiapan
Minggu II-IV
: Pengumpulan dan Analisis Data
Minggu V-IX
: Penyusunan Laporan
Minggu X-XII
: Laporan Akhir
HASIL PENELITIAN Dalam masyarakat Indonesia terdiri atas bermacam-macam budaya, ras, dan etnik dengan sendirinya terdapat bermacam-macam bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi antar anggota masyarakatnya. Hal ini selaras dengan pendapat Poedjosoedarmo (1982: 526) bahwa masyarakat Indonesia sebagian besar adalah masyarakat yang dwibahasa. Fenomena seperti itu terjadi pula pada masyarakat tutur di Kelurahan Senggarang. Secara geografis, Kelurahan Senggarang merupakan kawasan perairan yang berdekatan dengan kota Tanjungpinang jika menggunakan transportasi laut berupa sampan kecil (pompong). Masyarakat di daerah Senggarang merupakan kelompok masyarakat yang multietnik, yaitu kelompok etnik Tionghoa, Bawean, Melayu, Jawa, serta kelompok etnik lainnya. Masyarakat yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat etnik Tionghoa, Bawean, dan Melayu. Pemilihan masyarakat etnik Tionghoa, Bawean, dan Melayu didasarkan pada anggapan sebagai berikut. Secara umum, mereka sekurang-kurangnya mempunyai tiga bahasa, yaitu bahasa daerah Melayu (BM), Bawean (BBw), dan Tionghoa (BTi) sebagai alat komunikasi kelompok, dan Bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa nasional. Dalam berinteraksi sosial, bahasa-bahasa tersebut digunakan oleh masyarakat etnik Melayu, Bawean, dan Tionghoa di berbagai ranah. Ranah pada hakikatnya merupakan konstelasi dari faktor-faktor lokasi, topik, dan partisipan (Fishman dalam Fasold, 1984: 180). Selain itu, ia juga membagi ranah menjadi lima yaitu: ranah rumah, sekolah, kehidupan sehari-hari, agama, dan ranah pemerintahan. Penelitian ini difokuskan pada ranah kehidupan sehari-hari. Pemilihan ranah tersebut didasarkan anggapan bahwa ranah ini terdapat pada setiap masyarakat bahasa.
Kemudian, di dalam ranah tersebut dapat terlihat adanya interaksi masyarakat sehingga diasumsikan adanya pemakaian bahasa yang bervariatif. Hubungan bahasa dan masyarakat atau faktor-faktor sosial banyak dikaji oleh para sosiolinguis (Fishman, 1971; Wardaugh, 1986; Hudson, 1980, Holmes, 1992). Di dalam sosiolinguistik, tidak hanya dibahas struktur formal semata sebagaimana dalam kajian linguistik teoritis, melainkan didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat. Banyak hal yang dapat dikaji dalam sosiolinguistik antara lain variasi bahasa, sikap bahasa, kepunahan dan pemertahanan bahasa dan salah satunya yaitu penggunaan bahasa di masyarakat. Kelompok-kelompok orang atau masyarakat saling berinteraksi dan terjadilah kontak bahasa dengan menghasilkan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang salah satunya dinamakan multilingualisme atau keanekabahasaan karena kontak antara penutur dan mitra tutur melibatkan lebih dari dua bahasa dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Arthur Yap (1978) yang mengutip Labov (1971) mengemukakan bahwa semakin hari semakin banyak menunjukkan bahwa masyarakat-masyarakat yang monolingual tidak sepenuhnya homogen. Jadi heterogenitas berbahasa bukan saja lumrah, tetapi juga bersifat alamiah. Bila tidak terdapat alih gaya dan sistem komunikasi yang bersifat ganda, maka kondisi homogen suatu masyarakat akan mengalami kelainan fungsi. Para ahli bahasa tadinya tidak menyadari bahwa sesungguhnya heterogenitas merupakan kekhususan masyarakat bahasa. Dengan kata lain, walaupun suatu masyarakat bersifat homogen dari perspektif politik, sosio-ekonomi dan budaya, namun dari perspektif bahasa, masyarakat tersebut adalah heterogen. Selanjutnya Lyons (1970) mengatakan bahwa masyarakat tutur adalah semua orang yang menggunakan suatu bahasa atau dialek tertentu. Demikian pula dengan Bloomfield dan Gumperz
dalam Hudson (1971) yang mendefinisikan masyarakat tutur sebagai sekelompok orang atau beberapa orang yang berinteraksi dengan menggunakan ujaran atau bahasa. Penggunaan bahasa oleh masyarakat multilingual merupakan kajian yang penting untuk diteliti karena dalam berinteraksi, seorang penutur akan terlibat berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Hal ini dapat dikatakan merupakan hal yang wajar sebab tidak ada negara yang monolingual. Asumsi yang sama dikemukakan bahwa bahasa tidak pernah monolitik keberadaannya (Bell, 1975). Karena adanya beberapa bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam berinteraksi, maka hal ini menjadi sangat menarik untuk dikaji. Apalagi penggunaan multilingual itu terjadi pada masyarakat yang skalanya lebih kecil misalnya di sebuah kelurahan. Wacana percakapan berikut ini merupakan contoh pemakaian bahasa yang terjadi pada saat peristiwa tutur pada masyarakt etnik Melayu, Bawean, dan Tionghoa. Campur Kode Bahasa Melayu dalam Bahasa Indonesia Campur kode yang terjadi dalam peristiwa tutur pada ranah kehidupan sehari-hari masyarakat etnik Melayu di wilayah Senggarang dapat berwujud campur kode bahasa Melayu dalam bahasa Indonesia. Campur kode BM dalam BI ini terjadi pada tuturan antar warga di daerah pasar Senggarang. Hal ini dapat dilihat pada contoh wacana percakapan (1) berikut ini. (1) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTAR WARGA KELURAHAN SENGGARANG YAITU AHMAD DAN MUNAWAR. Ahmad
: Setiap hari hujan terus, macam mane nak keje. „Setiap hari hujan terus, bagaimana mau kerja‟.
Munawar
: Pokoknya diatur…macam mane baeknye aje tu jadwal.
„Pokoknya diatur…bagaimana baiknya sajalah jadwal itu‟. Ahmad
: Ya sudah kalau begitu…rehat aje dulu. „Ya sudah kalau begitu…istirahat saja dulu‟.
Tuturan wacana percakapan (1) di atas merupakan campur kode BM dalam Bahasa Indonesia. Hal ini terlihat pada perckapan antara Ahmad dan Munawar yang ditunjukkan oleh kata-kata BM, yaitu macam mane nak keje, „bagaimana mau kerja‟ di antara BI pada kata-kata „setiap hari hujan terus‟. Selain itu, pada macam mane baeknye aje tu, „bagaimana baiknya sajalah itu‟ juga disisipkan BI „pokoknya diatur‟ dan „jadwal‟. Kata rehat aje dulu juga termasuk sisipan BM dalam BI „ya sudah kalau begitu‟. Hal ini menunjukkan adanya campuran atau sisipan bahasa dalam bahasa lain. Dengan demikian, wacana percakapan (1) merupakan campur kode BM dalam BI. Selain itu, campur kode BM dalam BI dapat pula dilihat pada peristiwa tutur yang antar warga masyarakat di warung makan. Hal ini dapat dilihat pada penggalan wacana (2) berikut ini. (2) KONTEKS
: DI SALAH SATU WARUNG MAKAN KELURAHAN
SENGGARANG SEDANG TERJADI PERCAKAPAN ANTARA HASAN DAN UDIN. Hasan
: Barangkali terjadi macam ni dekat Ayup, tidak benar semua! „Barangkali terjadi seperti ini di tempat Ayub, tidak benar semua!‟
Udin
: Betul itu, tak de yang betol dan orangnya pergi semua. „Betul itu, tidak ada yang betul dan orangnya pergi semua‟.
Tuturan wacana percakapan (2) di atas merupakan campur kode BM dalam BI. Hal ini dapat terlihat pada percakapan antara Hasan dan Udin yang ditunjukkan oleh kata-kataBM, yaitu macam ni dekat Ayup, „seperti ini di tempat Ayub‟ di antara BI pada kata-kata „Barangkali terjadi‟ dan „tidak benar semua‟. Selain itu, pada tak de yang betol, „tidak ada yang betul‟ setelah kata-kata BI „betul itu‟ dan „dan orangnya pergi semua‟. Hal ini menunjukkan adanya campuran atau sisipan bahasa dalam bahasa lain. Untuk itu, wacana percakapan (2) di atas merupakan merupakan campur kode BM dalam BI. Campur Kode Bahasa Bawean dalam Bahasa Indonesia Campur kode yang terjadi dalam peristiwa tutur pada ranah kehidupan sehari-hari masyarakat etnik Bawean di wilayah Senggarang dapat pula berwujud campur kode bahasa Bawean dalam bahasa Indonesia. Campur kode BBw dalam BI ini terjadi pada tuturan antar warga di salah satu warung nasi di Kelurahan Senggarang. Hal ini dapat dilihat pada contoh wacana percakapan (3) berikut ini. (3) KONTEKS
: DARYONO DATANG KE WARUNG NASI UNTUK
BERTEMU KASIMIN. DI WARUNG NASI, TERJADILAH DIALOG ANTARA DARYONO DAN KASIMIN. Daryono
: sendiri saja..tadi ta dek orang caing nang. Mareng makan? „sendiri saja..tadi tidak ada orang jalan‟. Sudah makan?
Kasimin
: lagi sakek tabuk.
Dalam wacana percakapan (3) di atas digunakan campuran atau sisipan kata-kata dari BBw yang dapat dilihat pada ta dek orang caing nang. Mareng makan? „tidak ada orang jalan. Sudah makan?‟. Selain itu pada kata-kata ta dek orang caing nang. Mareng makan?, „tidak ada orang jalan‟. Sudah makan?‟ juga disisipkan kat-kata BI seperti ‟ sendiri saja..tadi‟. kata sakek tabuk, „sakit perut‟ merupakan BBw yang juga disisipkan BI „lagi‟. Hal ini menunjukkan adanya campuran atau sisipan bahasa dalam bahasa lain. Dengan demikian wacana percakapan (3) di atas merupakan campur kode BBw dalam BI. Selain itu, campur kode BBw dalam BI dapat pula dilihat pada antar warga. Hal ini dapat dilihat pada penggalan wacana percakapan (4) berikut ini. (4 )KONTEKS
: AKHMADI DATANG MENUJU PELANTAR SUNGAI
SENGGARANG. DI SANA IA BERTEMU DENGAN SARIMAN. Akhmadi
: sibuk sekali..ke bai apa bak na. „sibuk sekali..kamu sedang buat apa‟.
Sariman
: biasa saja…kamak na?. „Biasa saja…mau kemana?‟
Akhmadi
: moleh. „pulang‟.
Tuturan dalam wacana percakapan (4) di atas menggunakan campuran atau sisipan katakata dari BBw yang dapat dilihat pada ke bai apa bak na, „kamu sedang buat apa‟ di antara BI „sibuk sekali‟. Selain itu, BI „biasa saja‟ juga disisipkan BBw kamak na, „mau kemana‟ dan moleh, „pulang‟. Hal ini menunjukkan adanya campuran atau sisipan bahasa dalam bahasa lain. Dengan demikian, wacana percakapan (4) di atas merupakan campur kode BBw dalam BI.
Campur Kode Bahasa Tionhoa (Tiochu) dalam Bahasa Indonesia Campur kode yang terjadi dalam peristiwa tutur pada ranah kehidupan sehari-hari masyarakat etnik Tionghoa di Kelurahan Senggarang dapat pula berwujud campur kode bahasa Tionghoa dialek Tiochu dalam bahasa Indonesia. Campur kode BTi dalam BI ini terjadi pada tuturan antara warga Kelurahan Senggarang. Hal ini dapat dilihat pada contoh (5) berikut ini. (5) KONTEKS
: DI PASAR
SENGGARANG, BONG BERTEMU
DENGAN AKIANG. KEMUDIAN TERJADILAH PERCAKAPAN DI ANTARA MEREKA. Bong
: ai ke di dong…cepat sekali. Cak peng?. „Mau kemana..cepat sekali. Sudah makan?‟
Akiang
: bo..hong ki? „tidak..rokok?‟
Bong
: bo hoi kiak..beli dulu. „tidak ada korek..beli dulu‟.
Wacana percakapan (5) di atas menggunakan campuran atau sisipan kata-kata dari BTi dalam BI yang dapat dilihat pada ai ke di dong, „mau kemana‟ dan Cak peng?, „sudah makan‟ yang disisipkan BI „cepat sekali‟. Selain itu kata-kata bo..hong ki?, tidak..rokok? dan bo hoi kiak, tidak ada korek‟ juga disisipkan BI „beli dulu‟. Hal ini menunjukkan adanya campuran atau sisipan bahasa dalam bahasa lain. Untuk itu, wacana percakapan (5) di atas merupakan campur kode BTi dalam BI.
Campur Kode BBw dalam BM Campur kode yang terjadi dalam peristiwa tutur pada ranah kehidupan sehari-hari masyarakat etnik Melayu dan Bawean di Kelurahan Senggarang dapat pula berwujud campur kode BBw dalam BM. Campur kode BBw dalam BM ini terjadi pada tuturan antar warga. Hal ini dapat dilihat pada contoh (6) berikut ini. (6) KONTEKS
: DI PELANTAR SUNGAI SENGGARANG, DARSA
BERTEMU DENGAN AMIN. KEMUDIAN TERJADILAH PERCAKAPAN ANTARA MEREKA. Darsa
: ku laku ka Pinang…nak ikot tak awak? „besok saya ke Pinang..kamu mau ikut tidak?‟
Amin
: tak nak..tak de aeng. „tidak mau..tidak ada air‟
Dalam wacana percakapan di atas (6) terdapat campuran atau sisipan kata-kata dari BBw ku laku ka Pinang, „besok saya ke Pinang‟ yang disispi dengan BM nak ikot tak awak, „kamu mau ikut tidak‟. Selain itu, BM tak nak, „tidak mau‟ juga diikuti dengan BBw tak de aeng, „tidak ada air‟. Hal ini menunjukkan adanya campuran atau sisipan bahasa dalam bahasa lain. Dengan demikian, wacana percakapan (6) di atas merupakan campur kode BBw dalam BM.
Campur Kode BM dalam BTi Campur kode yang terjadi dalam peristiwa tutur pada ranah kehidupan sehari-hari masyarakat etnik Melayu dan Tionghoa di Kelurahan Senggarang dapat pula berwujud campur kode BM dalam BTi. Hal ini dapat dilihat pada contoh wacana percakapan (7) berikut ini. (7) KONTEKS
: PERCAKAPAN ANTAR ALENG DAN AMIN
Amin
: kenape le tak ce bo? „kamu tidak sekolah..kenapa?‟
Aleng
: bo „tidak‟
Amin
:ciak kui tak? „mau kue tidak?‟
Tuturan wacana percakapan (7) di atas menggunakan campuran atau sisipan kata-kata dari BM kenape, „kenapa‟ dalam BTi le tak ce bo, „kamu tidak sekolah‟. Selain itu, BTi bo, „tidak‟ dan ciak kui, „mau kue‟ juga disisipkan BM tak, „tidak‟. Berdasarkan contoh wacana percakapan di atas, pemakaian bahasa pada masyarakat di wilayah Senggarang dalam ranah kehidupan sehari-hari dapat dipandang mempunyai kekhasan kode bahasa yang dapat dianalisi, di antaranya variasi kode bahasa yang terdiri atas alih kode dan campur kode, pola pemilihan bahasa, sikap bahasa, serta faktor-faktor sosiokultural dalam pemilihan bahasa pada masyarakat etnik Melayu, Bawean, Tionghoa dalam ranah kehidupan
sehari-hari. Namun penelitian ini difokuskan pada permasalahan campur kode pada masyarakat etnik Melayu, Bawean, dan Tionghoa dalam ranah kehidupan sehari-hari. Sumber data penelitian ini adalah masyarakat tutur etnik Melayu, Bawean, dan Tionghoa di Kelurahan Senggarang di Kecamatan Tanjungpinang Timur yang terlibat dalam peristiwa tutur. Masyarakat tutur etnik Melayu, Bawean, dan Tionghoa yang menjadi pengamatan dalam penelitian ini adalah daerah Sungai, yang menjadi perwakilan beberapa daerah di Kelurahan senggarang. Alas an pemilihan daerah Sungai dan pasar senggarang ini adalah dikarenakan akses masyarakat di wilayah Tanjungpinang maupun Senggarang sendiri lebih dominan melewati wilayah Sungai dan pasar senggarang dengan menggunakan transportasi laut berupa sampan kecil (pompong). Pemilihan dua daerah tersebut sesuai pula dengan hasil penghitungan dialektometri yang dilakukan oleh Noor (1999: 188-191). Kemudian untuk mengungkap akar permasalahan tersebut digunakan tiga tahap strategis, yaitu (1) pengumpulan data, (2) penganalisisan data, dan (3) penyajian hasil analisis. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui dua prosedur, yaitu (1) analisis selama proses pengumpulan data dan (2) analisis setelah pengumpulan data (Miles dan Huberman, 1984: 21-25; Muhajir, 1996: 105). Prosedur pertama dilakukan dengan langkahlangkah: (1) reduksi data, yaitu identifikasi kode bahasa, (2) sajian data, dan (3) pengambilan simpulan (verifikasi). Prosedur kedua dilakukan dengan langkah-langkah: (1) transkripsi data hasil rekaman, (2) pengelompokkan data yang berasal dari perekaman dan pencatatan lapangan berdasarkan ranah kehidupan sehari-hari, (3) penafsiran kode bahasa, serta (4) penyimpulan tentang kode tuturan masyarakat etnik Melayu, Bawean, Tionghoa dalam ranah kehidupan sehari-hari di Kelurahan Senggarang.
Selanjutnya, hasil analisis data disajikan dengan dua metode, yaitu: (1) metode informal dan metode formal (Sudaryanto, 1993: 145-146). Metode informal dimanfaatkan untuk menyajikan hasil analisis data yang berupa kata-kata biasa dalam terminology sosiolinguistik, sedangkan metode formal dimanfaatkan untuk menyajikan hasil analisis data yang berupa lambang-lambang. Sosiolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa dan masyarakat yang mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistic dan struktur masyarakat oleh sosiologi (Wardaugh, 1986: 4; Holmes, 1992: 1; Hudson, 1996: 2). Bahasa dalam kajian sosiolinguistik Tidak didekati sebagai bahasa dalam kajian linguistic teoretis, tetapi didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat. Istilah sosiolinguistik muncul pada tahun 1952 dalam karya Haver C. Currie (Dittmar, 1976: 27) yang menyatakan bahwa perlu adanya kajian mengenai hubungan antara perilaku ujaran dan status sosial. Pada akhir tahun 1954 sosiolinguistik mulai berkembang, dipelopori oleh Committee on Sociolinguistik of the Sosial Science research Council (1964) dan Research Committee on Sociolinguistik of the International Sociology Association (1967). Dalam kenyataan ini, sosiolinguistik dapat dipandang sebagai disiplin ilmu yang relative baru. Pada dasarnya, pemakaian bahasa dalam bahasa tidaklah monolitis, melainkan variatif (Bell dalam Rokhman, 1998: 232). Pernyataan ini berarti bahwa bahasa atau bahasa-bahasa yang dimiliki oleh satu masyarakat tutur dalam khazanah bahasanya selalu memiliki variasi karena bahasa yang hidup dalam masyarakat selalu digunakan dalam peran-peran sosial tempat penggunaan bahasa atau variasi bahasa itu. Peran-peran sosial itu berkaitan dengan berbagai
aspek sosial psikologis yang kemudian dirinci dalam bentuk komponen-komponen tutur (Poedjosoedarmo, 1982). Adanya fenomena pemakaian variasi bahasa dalam masyarakat tutur control oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan situasional (Kartomiharjo, 1981; Fasold, 1984; Hudson, 1996; Wijana, 1997: 5). Hymes (dalam Wardaugh, 1986: 238-239) merumuskan unsur-unsur itu dalam akronim SPEAKING, yang meliputi: (1) the setting and scene (latar dan suasana tutur), (2) the participants (peserta tutur), (3) ends (tujuan tutur), (4) act sequence (topic tutur), (5) key (nada tutur), (6) instrumentalities (sarana tutur), (7) norms of interaction and interpretation (normanorma tutur), dan (8) genre (jenis tutur)- yang merupakan salah satu topic dalam etnografi komunikasi- yang oleh Labov (1972: 283) dan Fishman (1976: 15) disebut sebagai variable sosiolinguistik. Kedelapan komponen peristiwa tutur tersebut merupakan faktor luar bahasa yang dapat menentukan pemilihan bahasa. Selanjutnya, menurut Haugen (1972: 79-80) dalam Rokhman (1998: 234), campur kode merupakan bahasa campuran (mixture of
language ) yaitu peristiwa pemakaian satu kata,
ungkapan atau frasa pendek dalam tuturan. Di Indonesia, Nababan (dalam Rokhman, 2000: 6) menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia. PENUTUP Pemakaian bahasa dalam masyarakat berdwibahasa atau bermultibahasa merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji dari perspektif sosiolinguistik. Masyarakat Indonesia sebagian
besar
adalah
masyarakat
yang
dwibahasa.
Adanya
kedwibahasaan
atau
kemultibahasaan tersebut dapat memunculkan pemakaian bahasa yang bervariasi dalam
masyarakat. Berdasarkan paparan di atas, pemakaian bahasa pada masyarakat etnik Melayu, Bawean, dan Tionghoa dalam ranah kehidupan sehari-hari mempunyai kekhasan yang berupa campur kode. Selanjtunya, wujud campur kode dalam masyarakat etnik Melayu, Bawean, dan Tionghoa pada ranah kehidupan sehari-hari di wilayah Senggarang terdiri atas (1) campur kode BM, (2) campur kode BBw, (3) campur kode BTi. Dari Simpulan di atas disarankan bahwa penelitian yang terfokus pada paparan campur kode pada masyarakat etnik Melayu, Bawean, Tionghoa dalam ranah kehidupan sehari-hari di wilayah Senggarang diharapkan dapat menjadi acuan dalam pembinaan bahasa, serta memberikan kontribusi dalam pengembangan teoretis dan metodologis pada bidang linguistic. Topik penelitian ini diharapkan dapat menjadi pilihan model dalam mengkaji fenomena situasi kebahasaan dalam konteks sosiokultural pada masyarakat berdwibahasa atau bermultibahasa yang lainnya. Selain itu, situasi kebahasaan dalam masyarakat berdwibahasa atau bermultibahasa dengan segala fenomena kebahasaan dan dengan segala keunikan lingkungan sosiokultural yang melatarbelakanginya memerlukan kajian dari berbagai perspektif keilmuwan. Untuk itu, kolaborasi interdisipliner yang terkait dengan fenomena tersebut sangat diperlukan sehingga akan diperoleh paparan yang sistematis dan mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, A, Agustina, L. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Crystal, David. 1987. The Cambridge Encyclopedia of Language. USA: Cambridge University Press. De Cuellar, Javier Perez, et.al. 1995. Our Creative Diversity: Report of the world Commission on Culture and Development. Paris: UNESCO. Downes, William. 1988. Language and Society. England: Fontana. Dittmar, Nobert. 1976. Sociolinguistik: Goals, Approaches, and Problems. London: Bastford. Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistik of Society. Oxford: Basil Blackwell. Finegan, Edward, et.al. Language. Its Structure and Use. Australia: Harcourt Brace Jovanovich. Fishman, J. 1972. The Sociology of Language: An interdisciplinary Social Science Approach to Sociolinguistics. Rowley, Mass: Newbury House. Haryono, C. Inny. 1990. Kelompok Dwibahasawan Indonesia-China Putonghoa di PancoranJakarta Barat. Depok: Fakultas Sastra UI. Haugen, E. 1953. The Norwegian Language in America: A Study in Bilingual Behavior. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Holmes, janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistik. New York: Longman. Hudson, R.A. 1996. Sociolinguistik. Cambridge: Cambridge University Press.
Kartomiharjo, Soeseno. 1981. Ethnography of Communicative Codes in East Java. Disertasi, Pasific Linguistik, Series D, No.39, The Australian National University. Canberra. Labov, Williams. 1972. Sociolinguistik Pattern. Philadelpia: University of Pennsylvania Press. Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1988. Qualitative Data Analysis. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rehidi. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Edisi III). Yogyakarta: Rakesarasin. Poedjosoedarmo, Soepomo. 1982. “Kode dan Alih Kode” dalam Widyaparwa no 22 Tahun 1982. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa, halaman 1-43. Rokhman, Fathur. 1998. “Fenomena Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Multibahasa: Paradigma Sosiolinguistik”. Lingua Artistika no.3 Tahun XXI Tahun 1998. Semarang: IKIP Semarang Press, halaman 229-241. Romaine, Suzanne. 1995. Bilingualism. USA: Blackwell. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University. Sumarsono, Partana Paina. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda Wardaugh, Ronald. 1986. An introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell. Wijana, I Dewa Putu, 1997. “Linguistik, Sosiolinguistik, dan Pragmatik” dalam makalah Temu Ilmiah Bahasa dan Sastra di Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta.
Linguistik
LAPORAN HASIL PENELITIAN
PENGGUNAAN BAHASA OLEH MASYARAKAT MULTILINGUAL DI KELURAHAN SENGGARANG PROVINSI KEPULAUAN RIAU
Oleh: DEWI MURNI, S.S., M. Hum RIAUWATI, S.S., M. Hum
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI DESEMBER 2012
3.1 Halaman Pengesahan I. Judul Penelitian II. Ketua Peneliti
:.Penggunaan Bahasa oleh Masyarakat Multilingual di Kelurahan Senggarang Provinsi Kepulauan Riau
a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIPY d. Jabatan Struktural e. Jabatan Fungsional f. Fakultas/Jurusan g. Perguruan Tinggi h. Alamat i. Telpon/Faks j. Alamat Rumah k. Telpon/Faks/E-mail 2. Jumlah Anggota 3. Jangka Waktu Penelitian 4. Pembiayaan Jumlah Biaya yang Diajukan
: Dewi Murni, S.S., M.Hum : Perempuan : 751070046 : Ka.Labor Bahasa FKIP : Asisten Ahli : FKIP : Univ. Maritim Raja Ali Haji : Jl. Politeknik Senggarang : :Jl.Sultan Sulaiman Kp.Bulang Bawah no.18 : 081270011980 :1 orang : 3 bulan : Rp ..5.000.000,Tanjungpinang, 12 November 2012
Mengetahui, Dekan/Pembantu Dekan I/Ka. Puslit
Ketua Peneliti,
Drs. H. Abdul Malik, M.Pd.
Dewi Murni, S.S., M.Hum.
NIP: 19804091986011002
NIPY: 751070046
Menyetujui, Ketua Lembaga Penelitian UMRAH Ir. Soeharmoko, M.Sc NIPY: 751070003 IDENTITAS PENELITIAN
I.
Judul Penelitian: Penggunaan Bahasa oleh Masyarakat Multilingual di kelurahan Senggarang Provinsi kepulauan Riau.
1. Ketua peneliti a. Nama lengkap
: Dewi Murni, S.S., M.Hum.
b. Bidang Keahlian
: Linguistik
c. Jabatan Struktural
: Ka. Labor Bahasa FKIP
d. Jabatan fungsional
: Asisten Ahli
e. Unit kerja
: Fak. Keguruan dan Ilmu Pendidikan
f.
: Fak. Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Alamat Surat
g. Telepon/Faks
: 081270011980
h. E-mail
:
[email protected]
2. Anggota Peneliti No
Nama
Bid. Instansi keahlian
Alokasi Jam/Minggu
1.
Riauwati, S.S., M.Hum
Linguistik
5 jam
3. Bidang penelitian (Isu/tema yang akan diteliti): (sosiolinguistik) Linguistik 4. Masa Pelaksana Penelitian
Mulai
: 30 Nopember 2012
Berakhir
: 28 Februari 2013
5. Anggaran yang diusulkan
Anggaran keseluruhan
: Rp. 5.000.000
6. Lokasi Penelitian
: Kelurahan Senggarang Tanjungpinang
7. Institusi Lain yang Terlibat
: Tidak ada
8. Luaran yang Akan Dihasilkan: Mampu memberikan khazanah pemikiran dalam kajian sosiolinguistik yang berhubungan dengan bahasa, budaya, dan masyarakat.