1
PENGARUH MODIFIKASI HABITAT PADI VARIETAS IR 64 DENGAN APLIKASI TRAP CROP MENGGUNAKAN SERAI WANGI (Andropogon nardus) TERHADAP KOMPOSISI, KELIMPAHAN, DAN KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA Erna Rofidah*, Indah Trisnawati Dwi Tjahjaningrum
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Gedung H Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia Abstrak Trap crop merupakan teknik yang digunakan untuk menarik serangga berpotensi hama agar tidak menyerang tanaman utama. Serai wangi ditanam 20 hari sebelum tanaman utama (padi varietas IR 64). Penelitian ini dilakukan di Pasuruan, Jawa Timur. Sampel diambil menggunakan sweep net dan yellowpan trap. Sampling dilakukan dari Desember 2012 hingga Maret 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Komposisi, kelimpahan, dan keanekaragaman Arthropoda pada habitat yang berbeda. Komposisi taksa berpengaruh pada lahan trap crop terutama Ordo Hymenoptera dan Ordo Diptera pada lahan kontrol. Jika dilihat dari tiap fase pertumbuhan padi komposisi spesies terutama herbivora terpengaruh oleh adanya trap crop yaitu pada fase generatif dan pemasakan Komposisi berdasarkan peran fungsional Arthropoda tidak berpengaruh terhadap aplikasi trap crop. Kelimpahan herbivora berpengaruh pada lahan trap crop dibandingkan lahan kontrol. Lahan dengan aplikasi trap crop tidak terpengaruh terhadap nilai keanekaragaman jenis (H’) namun berpengaruh pada nilai kemerataan jenis (E). Nilai kesamaan komunitas (Imh) pada kedua lahan menunjukkan nilai kesamaan komunitas yang tinggi. Kata Kunci: Modifikasi habitat, Trap crop, Arthropods, sweep net, yellowpan trap Abstract The trap crop technique relies on the attraction of insect pests to plantings other than the main crop. The lemon grass was planted 20 day before main crop (paddy variety IR 64). This study was conducted in Pasuruan, East Java. Samples were taken using sweep net on vegetative paddy stage then using sweep net and yellowpan trap on generative paddy stage and ripening paddy stage. Sampling periods from Desember 2012 to March 2013. Study on Arthropoda diversity at different habitats by comparing the species richness is useful for determining ecological indicators at each habitat. The taxa compotition of Ordo Hymenoptera affected on trap crop field and Ordo Diptera affected on control field. On growing stage of paddy, the species compotition of herbivore affected with trap crop on vegetative and reproductive stage . The Arthropods compotition as it’s function not affected with trap crop. The trap crop not affected on Shannon-Wiener Index (H’), but affected on Evenness (E) indeks, and Species Similarity Index (Imh) showing high similarity on both field Keyword: Habitat modification, Trap crop, Arthropods, sweep net, yellowpan trap
*Coresponding Author Phone: 085851499850
2
1. Pendahuluan Tanaman padi merupakan tanaman semusim yang biasa dibudidayakan pada pertanian yang keadaan ekologinya sering berubah-ubah. Hal ini mengakibatkan tidak stabilnya keseimbangan antara populasi di dalamnya yaitu berupa Arthropoda hama dan musuh alaminya (predator dan parasit), karena pada tanaman semusim sering terjadi pemutusan masa bertanam yang akan mengakibatkan tidak berkembangnya musuh alami. Dengan demikian, perkembangan Arthropoda hama meningkat terus tanpa ada faktor pembatas dari alam (Tjahjadi, 1989). Menurut Jumar (2000), tanaman padi merupakan inang yang ideal untuk beberapa spesies Arthropoda. Seluruh bagian tanaman dapat dimakan Arthropoda, bagian-bagian utama yang dimakan adalah daun, batang dan cairan bulir padi muda. Pada ekosistem pertanian dijumpai komunitas Arthropoda yang terdiri atas banyak jenis dan masing-masing jenis memperlihatkan sifat populasi yang khas. Tidak semua jenis Arthropoda dalam agroekosistem merupakan Arthropoda hama. Sebagian besar jenis Arthropoda bukan merupakan Arthropoda hama yang merugikan tetapi merupakan musuh alami hama (predator, parasitoid), Arthropoda penyerbuk bunga dan Arthropoda penghancur sisa-sisa bahan organik yang sangat bermanfaat. Arthropoda hama umumnya terdiri dari serangga herbivora. Arthropoda hama merupakan salah satu kendala dalam usaha mempertahankan dan meningkatkan produksi pangan di Indonesia. Kurang lebih 100 spesies serangga hama yang menyerang tanaman padi, tetapi hanya 20 spesies yang menyebabkan kerusakan yang berarti (Pathak, 1968). Contoh Arthropoda hama yang berpotensi merusak pertanaman padi adalah wereng punggung putih, wereng hijau, lembing batu, ulat grayak, pelipat daun, dan walang sangit. Masalah hama tersebut tidak bisa diabaikan, karena akan mempengaruhi produksi secara kualitatif maupun kuantitatif dan mampu menurunkan produksi sebesar 20,7%, bahkan menyebabkan kegagalan panen, kalau tidak dilakukan pengendalian secara efektif. Seperti terjadinya ledakan penyakit tungro yang dibawa
oleh salah satu Arthropoda hama berupa wereng hijau pada akhir tahun 1995 di wilayah Surakarta menyebabkan kehilangan hasil panen senilai Rp25 miliar (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 1995). Adapun contoh lain di indonesia, pada tahun 2010, terjadi serangan wereng batang coklat imigran yang jumlahnya 15 ekor/rumpun pada tanaman umur satu bulan, menyebabkan tanaman padi dalam 10 hari menjadi puso sehingga gagal panen (Sumiarti, 2011). Begitu besar dampak yang ditimbulkan oleh serangan Arthropoda herbivora ini sehingga diperlukan suatu strategi yang terpadu untuk menanggulanginya. Dalam bidang pertanian terdapat teknologi yang dikembangkan untuk mengendalikan hama dan pertanaman padi yang disebut dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT merupakan konsep sekaligus strategi penanggulangan hama dengan pendekatan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan. lni berarti bahwa pengendalian hama harus terkait dengan pengelolaan ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan ekosistem dimaksudkan agar tanaman dapat tumbuh sehat sehingga memiliki ketahanan ekologis yang tinggi terhadap hama. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) ini mempertimbangkan ekosistem, stabilitas, dan kesinambungan produksi sesuai dengan tuntutan praktek pertanian yang baik (Good Agricultural Practices, GAP) (Departemen Pertanian, 2003). Dengan semakin meningkatnya kesadaran lingkungan dan keinginan untuk hidup selaras dengan alam maka berkembanglah konsep PHT secara ekologis, dalam hal ini pengendalian hama didasarkan pada pengetahuan dan informasi tentang dinamika populasi hama dan musuh alami serta keseimbangan ekosistem. Konsep PHT secara ekologis cenderung menolak pengendalian hama dengan cara kimiawi. Salah satu penerapan PHT secara ekologis adalah dengan menggunakan trap crop (tanaman perangkap) yaitu menyediakan tanaman perangkap yang nantinya dapat menarik hama agar tidak menyerang tanaman inti. Tanaman perangkap berfungsi sebagai tanaman inang alternatif yang lebih disukai oleh Arthopoda hama untuk menyediakan pangan atau tempat meletakkan telur dibandingkan dengan tanaman inti. Penggunaan tanaman perangkap ini
3
termasuk dalam Strategi ‘tolak-tarik’ (‘push-pull’ strategy) yang merupakan salah satu teknik pengendalian hama yang berprinsip pada komponen pengendalian non-toksik, sehingga dapat diintegrasikan dengan metode-metode lain yang dapat menekan perkembangan populasi hama. Strategi ini juga dapat meningkatkan peran musuh alami, terutama parasitoid dan predator pada pertanaman (Effendi, 2009). Tanaman dari genus Andropogon cukup banyak digunakan sebagai tanaman trap crop bagi tanaman rumput-rumputan serta memiliki fungsi lain yaitu untuk mencegah erosi pada lahan pertanian. Pada penelitian Klein (2012), genus Andropogon mampu menolak dan menurunkan populasi serangga famili pentatomidae. Sedangkan dalam penelitian Van den Berg et al., (2000) tanaman Vetiver (Andropogon zizanioides) merupakan tanaman repellen bagi serangga yang memiliki potensi sebagai tanaman trap crop yang menerapkan strategi ‘tolak-tarik’ untuk mengkonsentrasikan oviposisi Chilo partellus (penggerek padi kuning) menjauh dari tanaman inti yaitu jagung sehingga mengurangi hama ini. Berdasarkan penelitian Amalia, (2012) Salah satu bahan alami yang berpotensi untuk digunakan sebagai trap crop adalah tanaman serai wangi (Andropogon nardus) yang mampu menarik lalat-lalatan. Selain itu, Andropogon nardus memiliki sifat repellen (menolak) aphids, belalang dan tungau. Pada penelitian ini digunakan penerapan tanaman serai wangi (Andropogon nardus) sebagai aplikasi trap crop dalam penerapan PHT secara ekologis. Adapun metode penanaman trap crop yang digunakan yaitu perimeter trap cropping yang berguna sebagai pelindung dari serangan hama yang mungkin datang dari beberapa atau arah yang tidak diketahui. Sistem pengelolaan padi dengan modifikasi trap crop secara tidak langsung akan menyebabkan adanya perbedaan jumlah komposisi, kelimpahan, dan keanekaragaman Arthropoda yang berada dalam ekosistem tersebut. Oleh karena itu, dilakukan penelitian tentang komposisi taksa, kelimpahan, dan keanekaragaman Arthropoda pada lahan budidaya padi varietas IR 64 dengan modifikasi trap crop dan tanpa modifikasi trap crop. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
komposisi, kelimpahan, dan keanekaragaman Arthropoda pada lahan padi varietas IR 64 dengan modifikasi trap crop menggunakan serai wangi (Andropogon nardus) dan tanpa modifikasi trap crop. 2. Metodologi Penelitian ini akan dilakukan selama 4 bulan (Desember 2012 – Maret 2013) meliputi kegiatan penentuan dan persiapan lahan, pengolahan lahan sampai pemanenan, pengambilan sampel, dan identifikasi Arthropoda. Alat, Bahan dan Cara Kerja Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu sweep net, nampan kuning, kayu penyangga, botol sampel, jarum suntik, styrofoam, kapas, plastik kresek, jarum pentul, kertas label, alat tulis, cawan petri, kuas, botol sprayer dan mikroskop stereo. Teknik Penerapan Lahan yang digunakan pada penelitian ini ada berukuran 7x10 meter. Lahan yang digunakan adalah adalah tiga petak lahan kontrol dan tiga petak lahan dengan modifikasi habitat trap crop menggunakan serai wangi (Andropogon nardus). Trap crop ditanam dengan model perimeter yaitu menanam serai wangi (Andropogon nardus) 20 hari sebelum menanam tanaman inti kemudian menanamnya menggelilingi tanaman inti yaitu padi varietas IR64 sebanyak 25% dari populasi tanaman inti (Litsinger, 1994). Pengambilan Sampel Arthropoda Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan sweep net atau jaring ayun. Jaring ayun berbentuk kerucut, mulut jaring terbuat dari kawat melingkar berdiameter 30 cm dan jaring terbuat dari kain kasa. Cara menggunakan sweep net yaitu dengan masuk 10 langkah ke tenggah lahan sawah kemudian memegang ujung sweep net dengan erat dan ujung lingkaran menyentuh tanaman yang ada di depan, kemudian sweep net diayunkan membentuk angka 8. Kemudian serangga yang tertangkap dikumpulkan pada plastik kresek. Sweep net diayunkan dengan terus berjalan sepanjang lahan sehingga mewakili seluruh lahan yang akan diamati. Di vegetasi pendek ayunan sweep net harus sedalam mungkin, sedangkan untuk vegetasi tinggi ayunan
4
cukup dalam sebatas untuk menjaga tepi atas dan tepi bawah. Pengambilan sampel Arthropoda dilakukan secara berkala setiap 10 HST (Hari Setelah Tanam). Pengambilan untuk metode ini dilakukan sekali setiap pengambilan yaitu pada pagi hari pukul 06.00 WIB - 10.00 WIB. Metode sweep net digunakan pada fase vegetatif (30-60 HST), reproduktif (70-80 HST), dan pemasakan (90-100 HST) (Rachmawaty, 2012). Adapun gambar sweep net yang digunakan yaitu: Selain itu, digunakan pula metode tambahan yaitu metode yellowpan trap pada fase padi reproduktif (70-80 HST), dan pemasakan (90-100 HST). Metode yellowpan trap merupakan metode peranggap jebak serangga dengan menggunakan nampan plastik berwarna kuning yang telah berisi 1/3 air yang dicampur dengan detergen. Perangkap dipasang sebanyak 5 buah tiap petak sawah yang ditempatkan setinggi 3/4 dari tinggi tanaman padi dan dibiarkan selama 24 jam. Serangga yang tertangkap kemudian dibersihkan dan segera dimasukkan pada botol berisi alkohol 70% (Rachmawaty, 2012). Arthropoda yang telah tertangkap, kemudian disortir untuk dilakukan pengoleksian. Pengoleksian Arthropoda ada dua cara yaitu koleksi kering dan koleksi basah. Koleksi kering untuk Arthropoda yang berukuran besar dengan sayap tipis dan bermembran yang tidak tereduksi, sedangkan koleksi basah adalah untuk Arthropoda yang berukuran kecil yang sayapnya tebal dan telah mengalami reduksi atau modifikasi. 3. Hasil dan Pembahasan Komposisi Taksa Arthropoda O r th o p te r a O d o n ata M an to d e a L e p id o p te r a Hym e n o p te r a Ho m o p te r a He m ip te r a D ip te r a Co lle m b o la Co le o p te r a Blattid e a A r an e ae
1 1
11
5
2 2
5
7 11
3
8
2
7
3
12
1 1 1 1
12
5 7 Sp e sie s
10
Fam ili
Gambar 1. Komposisi Arthropoda berdasarkan jumlah famili dan jumlah spesies pada lahan kontrol
15
O r th o p te r a M an to d e a L e p id o p te r a H ym e n o p te r a H o m o p te r a H e m ip te r a D ip te r a C o lle m b o la C o le o p te r a Blattid e a A r an e ae
10
5
1 1 2
3 6 3 3
7
1 1 1 1
17 7 8 8 16
4 12
8 Sp e sie s
Fam ili
Gambar 2. Komposisi Arthropoda berdasarkan jumlah famili dan jumlah spesies pada lahan dengan aplikasi trap crop
Pada lahan kontrol dan lahan dengan aplikasi trap crop ditemukan 85 spesies Arthropoda, namun terdapat perbedaan pada jumlah famili dan spesies yang ditemukan. Ordo yang paling banyak ditemui di lahan kontrol adalah dari kelas Insekta yaitu Diptera (15 spesies dari 12 famili), Coleoptera (12 spesies dari 5 famili), Araneae ( 10 spesies dari 7 famili). Pada lahan kontrol Ordo yang paling mendominasi adalah Ordo Diptera memiliki tubuh kecil sampai sedang, sepasang sayap depan dan sepasang sayap belakang yang tereduksi, alat mulut bertipe penjilat atau pencucuk penghisap, larvanya bisa berpotensi sebagai hama terutama dari spesies lalat-lalatan (Siwi, 1991). Lahan dengan aplikasi trap crop memiliki perbedaan dengan lahan kontrol, ordo yang paling banyak ditemui adalah dari kelas Insekta yaitu Hymenoptera (17 spesies dari 6 famili), Coleoptera (16 spesies dari 4 famili), Ordo Araneae (12 spesies dari 8 famili). Pada lahan trap crop Ordo yang paling mendominasi adalah Ordo Hymenoptera memiliki tubuh sangat kecil sampai besar, sayap dua pasang seperti selaput tipe alat mulut penggigit penghisap, betina memiliki ovipositor beberapa mengalami modifikasi menjadi alat penyengat, umumnya hidup sebagai predator atau parasit serangga (Siwi, 1991). Jika dilihat berdasarkan spesies yang menyusun pada tiap fase pertumbuhan padi terdapat perbedaan spesies yang mendominasi serta jumlah individu yang bervariasi pada tiap spesies. Adapun susunan spesies pada tiap fase pertumbuhan padi diperlihatkan pada gambar berikut.
Jumlah individu
5 187 200 180 143 160 129 124 118 140 105 108 120 6970 100 58 777076 64 4570 80 49 47 41 60 30 26 28 24 26 19 40 29 17 0 0 0 0 5 00 00 00 00 20 0
Nama spesies Kontrol (a)
Trap crop (b)
Jumlah individu
Gambar 3. Komposisi Arthropoda berdasarkan jumlah tiap spesies saat fase padi vegetatif
40 35 30 25 20 15 10 5 0
36 20
17 14
15
26 16
9 0
4 4
13
1
4
7
33 1 31 0
7
15 14 13 13 8 7 7 3 52 3 4 12 10 3
Nama spesies Kontrol (a)
Trap crop (b)
Jumlah individu
Gambar 4. Komposisi Arthropoda berdasarkan jumlah tiap spesies saat fase padi reproduktif 70 60 50 40 30 20 10 0
61 42 41 27 52
3 4
33
9
33 15
3
19 18 13 14 9 10 8 9 9 8 7 1 3 3 2
1
11 8 7 5
Nama spesies Kontrol (a)
Trap crop (b)
Gambar 5. Komposisi Arthropoda berdasarkan jumlah tiap spesies saat fase pemasakan padi
Gambar 3 menunjukkan bahwa spesies yang mendominasi pada lahan kontrol dan lahan dengan aplikasi trap crop adalah Marasmia patnalis yang merupakan Arthopoda herbivora dari famili Pyralidae, spesies ini merupakan fitofag yang berpotensi sebagai hama yang umum ditemukan pada semua fase padi terutama di fase vegetatif (Litsinger, et al., 1995). selanjutnya adalah Oxya hyla dari famili Acrididae, belalang ini teradaptasi dengan baik di lingkungan akuatik. Nimfa dan dewasa memakan
jaringan daun, meraka memakan sebagian besar tepi daun (Litsinger, et al., 1995). Selanjutnya Tetragnatha javana merupakan famili tetragnathidae yaitu laba-laba yang sangat memanjang dan sangat tipis, berkaki panjang ber-chelicerae (rahang) besar, spesies ini merupakan Arhtropoda karnivor yang memakan agas, serta larva Arthopoda herbivora (Litsinger, et al., 1995). Arthropoda herbivora yang berpotensi sebagai hama (Marasmia patnalis dan Oxya hyla) pada fase vegetative ini ternyata tidak berpengaruh terhadap trap crop karena jumlah individunya lebih banyak dibandingkan lahan kontrol. Begitu pula dengan Arthropoda karnivor Tetragnatha javana ia tidak terpengaruh terhadap trap crop. Tingginya jumlah Arthropoda herbivora yang berpotensi sebagai hama (Marasmia patnalis dan Oxya hyla) pada fase ini karena padi memaksimalkan pertumbuhan pada daunnya. Jumlah anakan daun daun semakin bertambah dan daun semakin meluas (Khan and Pathak, 1994). Pertumbuhan daun ini dapat menarik kedatangan serangga fitofagus seperti pada data di atas yaitu Marasmia patnalis terutama larvanya merupakan pemakan daun padi dan Oyxa hyla merupakan golongan belalang yang memiliki gigi untuk mengunyah daun padi (Litsinger, et al., 1995). Gambar 4. menunjukkan bahwa spesies yang mendominasi pada lahan kontrol dan lahan dengan aplikasi trap crop adalah Leptocorisa oratorius yang merupakan Arthopoda herbivora dapat berpotensi sebagai hama pada padi, Nimfa dan dewasanya memasukkan mulut mereka yang berbentuk jarum ke dalam biji padi, biji yang diserang pada fase generative ini dapat menyebabkan bulir kosong atau berbulir kecil (Litsinger, et al., 1995). Selanjutnya adalah Chrysosoma leucopogon yang merupakan Arthropoda karnivora pemakan serangga yang lebih kecil. Spesies ini berupa lalat kecil dengan mata besar dan memiliki tubuh hijau yang mengkilap, dan memiliki kaki yang panjang (Litsinger, et al., 1995). Serangga selanjutnya adalah Conocephalus longipennis yang merupakan Arthropoda karnivora berupa belalang berantena panjang yang memakan telur serangga herbivor. Spesies ini merupakan predator telur penggerek padi dan walang sangit.
6
Arthropoda herbivora yang berpotensi sebagai hama (Leptocorisa oratorius) pada fase reproduktif ini ternyata berpengaruh terhadap trap crop karena jumlah individunya lebih sedikit dibandingkan lahan kontrol. Hal ini menunjukkan serai wangi mampu menolak kehadiran Arthropoda yang berpotensi hama. Begitu pula dengan Arthropoda karnivor Conocephalus longipennis dan Chrysosoma leucopogon juga terpengaruh dengan trap crop. Tingginya jumlah Arthopoda herbivora dapat berpotensi sebagai hama (Leptocorisa oratorius) pada fase ini karena pada fase ini padi sudah mulai bunting dan berbunga. Pada fase ini terjadi pertambahan tinggi tanaman padi hingga mencapai nilai maksimal serta terjadi pertumbuhan panikel padi yang menghasilkan bunga (Litsinger, et al., 1995). Pertumbuhan bunga menjadi gabah ini dapat menarik kedatangan serangga fitofagus seperti Leptocorisa oratorius. Gambar 5 menunjukkan bahwa spesies yang mendominasi pada lahan kontrol dan trap crop adalah Conochepalus longipennis, Leptocorisa oratorius, dan Chrysocoma leucopogon Conochepalus longipennis yang merupakan Arthropoda karnivora yang merupakan belalang bersungut panjang berperan sebagai predator. Tingginya jumlah serangga ini juga karena pada fase ini lahan mulai kering, belalang menyukai tempat kering untuk berkembang biak (Vergara, 1992). Arthropoda herbivora yang berpotensi sebagai hama (Leptocorisa oratorius) pada fase pemasakan ini ternyata berpengaruh terhadap trap crop karena jumlah individunya lebih sedikit dibandingkan lahan kontrol. Hal ini menunjukkan serai wangi mampu menolak kehadiran Arthropoda yang berpotensi hama. Begitu pula dengan Arthropoda karnivor Conocephalus longipennis. Komposisi Arthropoda Berdasarkan Peran Fungsionalnya Arthropoda memiliki peran fungsional yang berbeda tiap spesiesnya, peran fungsional yang dimaksud antara lain apakah arthropoda tersebut sebagai arthropoda herbivora, predator, detritivor, atau parasitoid. Perbedaan komposisi peran fungsional arthropoda pada masing- masing lahan adalah sebagai berikut:
Kontrol 1% 5% Herbivore carnivore 42%
52%
parasitoid detritivore
Gambar 6. Persentase komposisi Arthropoda berdasarkan peran fungsional pada lahan kontrol Trap crop 1% 6% Herbivore ca rnivore 39% 54%
pa ra sitoid detritivore
Gambar 7. Persentase komposisi Arthropoda berdasarkan peran fungsional pada lahan kontrol
Gambar 6 dan 7 menunjukkan total komposisi Arthropoda berdasarkan peran fungsional pada lahan kontrol dan trap crop mulai fase padi vegetatif, reproduktif, dan pemasakan. Gambar tersebut memperlihatkan perbandingan herbivor yang lebih tinggi pada lahan trap crop yaitu 54% sedangkan pada lahan kontrol herbivor sebanyak 52%. Sedangkan karnivor pada lahan kontrol lebih tinggi yaitu 42% dibandingkan lahan trap crop yang hanya 39%. Jumlah parasitoid pada kedua lahan adalah sama yaitu 1% sedangkan jumlah detritivor lebih tinggi pada lahan trap crop yaitu 6% daripada lahan kontrol 5%. Kelimpahan Arthropoda Tiap Fase Pertumbuhan Padi Terdapat pola kelimpahan terutama terlihat pada herbivor dan karnivor. Pada fase vegetatif dan reproduktif kelimpahan herbivor lebih banyak dibandingkan dengan karnivor hal ini karena pada fase vegetatif tersedianya daun-daun muda padi sebagai sumber makanan bagi Arthropoda herbivor dan pada fase reproduktif, pertumbuhan bulir padi dapat menarik serangga. Sedangkan pola yang terbalik terjadi saat fase pemasakan padi, kelimpahan karnivor lebih tinggi dibandingkan kelimpahan herbivor. Pola fluktuasi kelimpahan parasitoid tidak terlihat secara jelas
7
karena jumlahnya yang sedikit. Pola fluktuasi kelimpahan detritivor semakin bertambah terutama pada fase reproduktif dan pemasakan hal ini karena daun-daun pada tanaman padi mulai mengering kemudian jatuh ke permukaan tanah sehingga menyediakan makanan bagi Arthropoda detritus (Vergara, 1992). Pada lahan trap crop berpengaruh terhadap jumlah herbivor, karena memiliki tertinggi dengan jumlah 284 individu pada fase pertumbuhan padi vegetatif namun, jumlah karnivor hanya meningkat pada nilai 154, sedangkan pada lahan kontrol nilai tertinggi untuk herbivor tidak begitu jauh dengan karnivor yaitu 253 individu herbivor dan 244 individu karnivor. Keanekaragaman Arthropoda Keanekaragaman dan kelimpahan spesies dihitung secara terpisah pada lahan kontrol dan lahan dengan aplikasi trap crop untuk melihat bagaimana kontribusi independennya. Komposisi taksa kemudian dapat dianalisis menggunakan indeks Shannon wiener dan indeks Evenness untuk mengetahui keanekaragaman dan kemerataan jenis (spesies evenness). Keanekaragaman dihitung menggunakan indeks Shannon- Wiener sebab pengambilan sampel dilakukan secara random (acak) tanpa harus mengetahui jumlah semua anggota komunitas (Magguran, 1991). Nilai H’ bertujuan untuk mengetahui derajat keanekaragaman suatu organisme dalam suatu ekosistem. Parameter yang menentukan nilai indeks keanekaragaman (H’) pada suatu ekosistem ditentukan oleh jumlah spesies dan kelimpahan relatif jenis pada suatu komunitas (Price, 1975). Tabel 4. Nilai keanekaragaman dan kemerataan spesies pada kedua lahan Fase Vegetatif Fase Fase Reproduktif Pemasakan Kontrol Trap Kontrol Trap Kontrol Trap crop crop crop H' 3,07 2,94 3,41 3,36 3,12 3,19 E 0,43 0,42 0,61 0,63 0,55 0,57 Imh 0,92 0,75 0,76
Nilai keanekaragaman (H’) pada lahan kontrol dan lahan trap crop menunjukkan nilai yang rendah (3,07dan 2,94) pada fase vegetatif
kemudian meninggi pada fase reproduktif (3,41 dan 3,36) dan sedikit menurun pada fase pemasakan (3,12 dan 3,19). Pada kedua lahan menunjukkan nilai >3 artinya keanekaragamannya tinggi, trap crop serai wangi ternyata kurang berpengaruh pada nilai keanekaragaman. Karena nilai keanekaragaman pada lahan trap crop lebih rendah pada fase padi vegetatif dan reproduktif dibandingkan lahan kontrol, namun tinggi pada fase pemasakan saja. Nilai kemerataan jenis (E) pada lahan kontrol dan lahan trap crop menunjukkan nilai yang rendah (0,43 dan 0,42) pada fase vegetatif kemudian meninggi pada fase reproduktif (0,61 dan 0,63) dan sedikit menurun pada fase pemasakan (0,55 dan 0,57), artinya pada fase vegetatif penyebaran spesiesnya masih rendah kemudian meninggi pada fase reproduktif dan sedikit menurun pada fase pemasakan. Trap crop serai wangi ternyata berpengaruh pada nilai kemerataan jenis karena nilainya lebih tinggi pada fase reproduktif dan pemasakan serta rendah pada fase vegetatif saja. Nilai Kesamaan komunitas (Imh) menunjukkan nilai 0,92 pada fase Vegetatif, nilai 0,75 pada fase reproduktif dan nilai 0,76 pada fase pemasakan, ketiga nilai ini menunjukkan nilai yang mendekati angka 1 artinya komunitas pada lahan kontrol maupun lahan trap crop memiliki kemiripan spesies yang sama. 4. Hasil dan Pembahasan Sistem pengolahan lahan dengan aplikasi trap crop menggunakan tanaman sereh wangi (Andropogon nardus) dan lahan tanpa aplikasi trap crop (Kontrol) memiliki pengaruh pada komposisi taksa terutama Ordo Hymenoptera pada lahan trap crop dan Ordo Diptera pada lahan kontrol. Jika dilihat dari tiap fase pertumbuhan padi komposisi spesies terutama herbivora terpengaruh oleh adanya trap crop yaitu pada fase vegetatif dan reproduktif. Komposisi berdasarkan peran fungsional Arthropoda tidak berpengaruh terhadap aplikasi trap crop. Kelimpahan herbivora berpengaruh pada lahan trap crop dibandingkan lahan kontrol. Lahan dengan aplikasi trap crop menggunakan tanaman sereh wangi (Andropogon nardus) tidak terpengaruh terhadap nilai keanekaragaman jenis (H’) namun berpengaruh pada nilai kemerataan jenis (E) nilai Imh pada kedua lahan menunjukkan nilai kesamaan komunitas yang tinggi
8
Daftar Pustaka Amalia, Herma. 2012. Effectiveness of Fruitflies Pest Management Componen on Chili. IPB.Bogor Ani Sumiati, 2011. Pengendalian Hama Wereng Batang Coklat Pada Tanaman Padi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jambi Bambaradeniya, C.N.B., J.P. Edirisinghe. 2008. Composition, Structure And Dynamics Of Arthropod Communities In A Rice Agro-Ecosystem. Cey. Journal. Sci. (Bio. Sci.) 37 (1): 23-48 Borror, D.j., C.A. Triplehorn, dan N. F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Penerjemah: Soetiyono Partosoedjono. Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Departemen Pertanian. 2003. Kebijakan dan Strategi Nasional Perlindungan Tanaman dan Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian. Jakarta. 140 hlm. Dewani, M. 2001. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Ayam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Dua Varietas Tanaman Padi (Oryza sativa L) di Lahan Kering. J. Habitat. Sci. 12(3): 32-38. Effendi, B.S. 2009. Strategi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi Dalam Perspektif Praktek Pertanian Yang Baik (Good Agricultural Practices). Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian. 2(1), 2009: 65-78 Godfray, H.C.J. 1994. Parasitoids: Behavioral and Evolutionary Ecology. Princeton University Press.Princeton. New Jersey Grower, Yankee. 2002. New England Journal for Profitable Horticulture. Vol. 4, No. 1 Year 2002 p.8-11
Gurr, G.M. 2009. Prospects for ecological engineering for planthoppers and other arthropod pests in rice. Planthoppers: new threats to the sustainability of intensive rice production systems in Asia. International Rice Research Institute. Los Baños (Philippines). Pp 371-388 Hardjono, R., Bahrinsomad dan Soemartono. 1984. Bercocok Tanam Padi. Yasaguna. Jakarta. Heinrich, E. A. 1994. Biology and Management of Rice Insect.Wiley Eastern Limited. New Delhi. Hidayat, P. 2009. Perlintan. http://web.ipb. ac. id/ phidayat/perlintan/ kunci %20 bab% 20IV.pdf. [3 April 2013] Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Klein, Joana Tartari., Luiza, Rodrigues Redaeli,. Alone, Barcellos. 2012. Occurrence of Diapause and The Role of Andropogon bicornis (Poaceae) Tussouks an The Seasonal Abundance and Mortality of Tibraca limbativentris (Hemiptera: Pentatomidae). Florida Entomologist. 95 (4): 813-818 Krebs, J. C. 1989. Ecology Methodology. Herper Collins Peblisher. New York. Litsinger J.A., 1994. Cultural, mechanical and physical control of rice insects. Biology and Management of Rice Insects. International Rice Research Institute, Philippines, 779p. Litsinger J.A., B.M. Shephard, and A.T Barrion. 1995. Rice-Feeding Insect of Tropical Asia. IRRI. Manila
9
Magguran, Anne. 1991. Ecological Diversity and its Measurement. Chapman and Hall. New York. Odum,
E. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Penerjemah: Tjahyono Saminginan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Pathak, M.D. 1968. Ecology of Common Insect Pest in Rice. Ann. Rev. Entomol. 13:257-294 p Pathak, M.D. and Z.R. Khan. 1994. Insect Pest of Rice. IRRI. Manila Pelawi,
Abadi Pramana. 2009. Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga pada Beberapa Ekosistem di Areal Perkebunan PT. Umbul Mas Wisesa Kabupaten Labuhan Batu. Universitas Sumatera Utara. Medan
Price, 1975. Insect Ecology. John Wiley and Sons. Inc New York Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 1995. Laporan serangan tungro di Jawa tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangann Tanaman Pangan. Bogor. 15 hlm. Rachmawaty, Devia. 2012. Keanekaragaman dan Kelimpahan Ordo Orthoptera di Lahan Berbeda. Universitas Pendidikan Indonesia. Schowalter, T.D. 2000. Insect Ecology: An Ecosystem Approach. Academic Press. San Diego Sinclair, B.J and Cummming, J.M. 2006 The morphology, higher-level phylogeny and classification of the Empidoidea (Diptera). Zootaxa. 1180: 1–172.
Siwi, Sri Suharni. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Kanisius. Yogyakarta Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Sukamto, M. Djazuli, dan Dedi Suheryadi. 2011. Serai wangi (Cymbopogon nardus L) Sebagai Penghasil Minyak Atsiri, Tanaman Konservasi Dan Pakan Ternak. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor Sumiarti, 2011., Hama-hama Pertanian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Suprihatno, Bambang., Daratjat, Aan A., Satoto. 2009. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Tjahyadi, N. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Tjitrosoepomo, G. 1994. Taksonomi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta Van den Berg, J,. C. Midega, L.J. Wadham, Z.R. Khan,. 2000. Can Vetiver Grass be Used to Manage Insect Pests on Crops?. School of Environmental Sciences of the Potchefstroom University. South Africa Vergara, B, S. 1992. A Farmer’s Primer on Growing Rice. IRRI. Manila Waterhouse, D.F., Carne, P.B., Numan I.D., 1991. The Insect of Australia “A Textbook for Student and Research workers”. Cornell University Press. New York