STUDI BIOSORPSI ION LOGAM Cu (II) MENGGUNAKAN KOMPOSIT FILM ALGINAT TERIKATSILANG KARAGENAN DARI HASIL EKSTRAKSI BIOMASSA RUMPUT LAUT COKLAT (Sargassum crassifolium) DAN RUMPUT LAUT MERAH (Euchema cottonii) Ellya Sinurat, M.Si 1, Asep Saefumillah, Ph.D.2, Anisa Purwo L.3 1
Balai Besar Pengembangan dan Penelitian Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Slipi 2,3 Departemen Kimia, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424 Email:
[email protected];
[email protected],
Abstrak Pada penelitian ini dilakukan adsorpsi ion logam Cu2+ dengan menggunakan komposit film alginat-karagenan dan rumput laut bergenus Sargassum. Daya adsorpsi kemudian dibandingkan antara komposit film alginat-karagenan dengan S.crassifolium untuk mengetahui adsorben mana yang lebih baik. Kondisi optimum adsorpsi adsorben diketahui dengan melakukan variasi adsorpsi meliputi variasi pH, waktu kontak, konsentrasi awal ion logam Cu2+ serta variasi suhu kontak. Diperoleh pH optimum adsorpsi untuk komposit film alginat-karagenan adalah 5, sedangkan untuk S. crassifolium pada pH 3, dengan waktu optimum berturut-turut 120 menit dan 90 menit. Biosorpsi logam meningkat secara linier sebagai fungsi konsentrasi awal logam sampai konsentrasi 50 mg/L dengan nilai serapan untuk S.crassifolium dan komposit film alginatkaragenan berturut-turut 19,1106; 20,3667 mg/g adsorben kering. Pada variasi suhu diperoleh pula serapannya naik baik untuk S.crassifolium maupun komposit film alginat-karagenan. Diperoleh % recovery dengan menggunakan HCl 3 M paling tinggi sebesar 97,495 % dan 91,771% berturut-turut untuk komposit film alginat-karagenan dan S.crassifolium. Diketahui daya adsorpsi komposit film alginat-karagenan lebih tinggi dibanding S.crassifolium pada semua pengukuran variasi. Selama adsorpsi berlangsung, S.crassifolium melepaskan sejumlah zat organik ke dalam larutan sehingga diperoleh kadar organik terlarutnya tinggi, sehingga penggunaan komposit film alginat-karagenan sebagai adsorben logam lebih disarankan. Kata kunci: Adsorpsi, biosorpsi, alginat, karagenan, Sargassum crassifolium, komposit film alginat-karagenan.
Abstract In this study, adsorption of metal ions Cu2+ was performed by using composite films alginate-carrageenan and brown seaweed (Sargassum sp.). The adsorption between composite films alginate-carrageenan and S.crassifolium was compared to know the best adsorbent. To determine the optimum condition of adsorbent, several variation was conducted, include variation of pH, contact time, initial concentration of Cu2+ ions solution, and temperature. Optimum pH adsorption obtained for composite films alginate-carrageenan is 5, while for S. crassifolium at pH 3, with successive optimum contact time of 120 minutes and 90 minutes. Metal biosorption increased linearly as the function of the initial concentration of the metal until the concentration of 50 mg/L with uptake value for S.crassifolium and composite films alginate-carrageenan consecutive 19.1106; 20.3667 mg/g dry adsorbent. In the effect of temperature is also obtained an increase in adsorption for both S. crassifolium and composite films alginate-carrageenan. The maximum of % recovery using 3 M HCl is 97.495% and 91.771% respectively for the composite films alginate-carrageenan and S.crassifolium. It is found that the adsorption of composite films alginate-carrageenan is higher than S. crassifolium in all the measurement variation. During the adsorption process, a number of organic substances are released from S.crassifolium into solution producing high levels of dissolved organic material, so the use of composite films alginate-carrageenan as metal adsorbent is recommended. Key words: Adsorption, biosorption, alginate, carrageenan, Sargassum crassifolium, composite films alginate-carrageenan
PENDAHULUAN Seiring dengan semakin majunya perkembangan di bidang industri, semakin besar pula dampak yang ditimbulkan, terutama terjadinya peningkatan dalam masalah pencemaran lingkungan. Salah satu pencemaran yang terjadi melalui media air
adalah pencemaran logam berat. Beberapa ion logam pencemar air yang cukup berbahaya adalah Cd, Pb, Zn, Hg, Cu dan Fe (Scragg, A., 1999). Seperti yang sudah kita ketahui bahwa diatas ambang batasnya, logam berat beracun bagi tubuh makhluk hidup. Sementara penghilangan logam berat beracun dari air limbah industri yang telah dipraktekkan selama beberapa dekade, efektivitasnya dan terutama
Studi biosorpsi..., Anisa Purwo Lestari, FMIPA UI, 2013
biaya, yang paling umum proses fisika-kimia terbatas. Biomassa dilihat memiliki potensi untuk menghilangkan logam berat, tetapi juga murah dengan kapasitas mengikat logam yang kuat dan selektivitas untuk logam berat cocok untuk digunakan dalam skala penuh proses biosorpsi (Volesky dan Holan, 1995; Kratochvil dan Volesky, 1998a). Di antara keanekaragaman biomassa yang ada, alga sudah terbukti menjadi biomassa yang paling menjanjikan untuk recovery logam berat (Fourest, E dan Volesky, B, 1996). Jenis alga bergenus Sargassum mempunyai kapasitas untuk berikatan secara selektif dengan kation-kation logam kadmium, tembaga, nikel, timbal, dan zink (Leusch, A, et al,1995 dalam Fourest, E dan Volesky, B, 1996). Biomassa alga dari beberapa spesies alga efektif untuk mengikat ion logam dari lingkungan perairan. Hal ini disebabkan oleh biomassa alga yang mengandung beberapa gugus fungsi dan dapat berperan sebagai ligan terhadap ion logam. Seperti yang dilaporkan dari hasil penelitian terdahulu, bahwa interaksi biomassa Sargassum dengan ion Fe(II) dan Fe(III), terjadi melalui pembentukan kompleks antara ion logam dan gugus karboksil dan gugus sulfonat dari biomassa. (Figueira, M.M., Volesky B., dan Mathieu, H.J, 1999). Salah satu cara untuk studi spesiasi logam berat dalam lingkungan yang tercemar adalah dengan menggunakan teknik diffusive gel in thin layer (DGT). Teknik DGT telah dikembangkan untuk pengukuran secara in situ spesi logam yang labil terhadap lingkungan akuatik dan telah diaplikasikan pada air (Zang dan Davidson, 1995 dalam Pavylianti, 2012). Pengukuran spesi logam labil ini sangat bermanfaat karena sifatnya yang mudah terdisosiasi sehingga dapat menyebabkan spesi dengan mudah berinteraksi dengan biota di sekitarnya. Pada penelitian ini akan dilakukan uji adsorpsi ion logam oleh komposit film alginat-karagenan serta biomassa rumput laut coklatnya sendiri. Pembuatan film sebagai salah satu adsorben ditujukkan pada penyiapannya sebagai binding material pada DGT untuk analisis logam berat. Maka langkah pertama pada penelitian ini adalah ekstraksi alginat dari rumput laut coklat bergenus Sargassum yang dicampur dengan karagenan, yang berfungsi sebagai biosorben dalam mengikat ion logam khususnya Cu (II). Cu (II) dipilih berdasarkan potensial bahayanya yang tinggi pada lingkungan. Setelah dibentuk menjadi komposit film, maka dilakukan identifikasi gugus fungsi yang terdapat dalam alginat-karagenan dan biomassa rumput laut coklat tersebut. Kemudian ditentukan aktivitas daya adsorpsinya untuk ion logam Cu (II) dengan memvariasikan pH, waktu kontak, konsentrasi ion logam Cu (II), temperatur saat kontak serta membandingkan daya adsorpsi ion logam Cu (II) untuk biomassa rumput laut coklat dan komposit film alginat-karagenan.
BAHAN DAN METODE Bahan Rumput laut coklat (Sargassum crassifolium), karagenan, kristal tembaga sulfat (3CuSO4.5H2O), Na2CO3, HCl, HNO3, etanol, NH4OH, CaCl2, gliserol, dan aquades. Bahan yang digunakan ber-grade analitik (Merck) dan teknis (proses ekstraksi alginat dan karagenan). Biomassa S. crassifolium Biomassa rumput laut coklat yang telah disampling dicuci dengan aquades sampai bebas dari pengotor seperti garam-garam dan gulma. Kemudian rumput laut coklat yang telah bersih dikeringkan di bawah cahaya matahari atau pada suhu 40-60ºC. Setelah kering, rumput laut coklat dihancurkan dan disaring agar diperoleh luas permukaan yang homogen Ekstraksi Alginat dari S. crassifolium Rumput laut coklat yang telah disampling, dikeringkan kemudian direndam dalam HCl 1% dengan perbandingan antara rumput laut dengan HCl sebesar 1:30 (w/v). Setelah satu jam, rumput laut coklat diekstraksi dengan Na2CO3 2% dengan perbandingan 1:30 pada suhu 60-70ºC selama 60 menit. Setelah itu dilakukan penggilingan dan diekstraksi kembali pada suhu 60-70ºC selama 60 menit. Campuran disaring dan dilakukan pemucatan terhadap filtrat dengan cara menambahkan NaOCl sebanyak 4% dari volume filtrat selama 30 menit. Asam alginat akan terbentuk dengan menambahan HCl 10% hingga pH 2,8-3,2. Setelah asam alginat terbentuk, asam alginat dicuci hingga netral dengan menggunakan aquades. Dengan penambahan NaOH 10% sampai pH 7-8, asam alginat dikonversi menjadi Na-alginat yang dapat dipisahkan dalam isopropil alkohol (IPA) sebanyak 1:2 (v/v) sambil diaduk merata, setelah itu campuran dibiarkan selama 30 menit. Campuran kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 50ºC selama ± 12 jam. Tepung alginat diperoleh dengan penggilingan Na-alginat. Preparasi Komposit Film Cross-linked AlginatKaragenan Digunakan CaCl2 sebagai agent cross-linking dan gliserol sebagai plasticizer . Tahap pertama, disiapkan larutan polisakarida yang terdiri dari 4,5 gram natrium alginat; 1,5 gram karagenan; dan 3,6 gram gliserol dilarutkan ke dalam 200 mL aquades. Dikocok kuat dengan stirrer dan dijaga suhunya pada temperatur 70oC selama satu jam untuk menghindari pembentukan gelatin dan memastikan homogenitas film. Larutan dimasukkan ke dalam cetakan, kemudian direndam ke dalam larutan cross-linking (10% gliserol dan 3% CaCl2) selama semalam pada
Studi biosorpsi..., Anisa Purwo Lestari, FMIPA UI, 2013
suhu ruang (tahap kedua). Larutan berlebih kemudian ditiriskan dan film dibilas dengan aquades. Film ditempatkan ke dalam permukaan yang datar dan dicetak dengan ukuran diameter 0,5 cm. Keringkan pada suhu ruang. Karakterisasi Alginat-Karagenan dan Biomassa Rumput Laut Coklat Uji karakterisasi film alginat-karagenan dan biomassa S. crassifolium dilakukan dengan menggunakan instrumen Fourier Transform Infrared (FTIR), Scanning Electron Microscope (SEM) dan Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (EDX). Studi Biosorpsi Cu2+ dari Larutan Uji Percobaan biosorpsi didisain untuk parameter yang berbeda seperti dalam Tabel 1. Sebanyak 0,1 g film alginat-karagenan dan S.crassifolium ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL yang berisi 25 mL larutan Cu2+ dengan pH dan konsentrasi yang divariasikan. Kemudian erlenmeyer ditempatkan dalam shaker pada suhu yang berbeda selama interval waktu yang berbeda pula. Kemudian filtrat hasil variasi pH, konsentrasi, waktu, dan suhu dianalisis dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) untuk mengetahui konsentrasi ion Cu2+ sisa. Persamaan yang digunakan untuk menghitung persen adsorpsi Cu2+ adalah : C −C % adsorpsi = i Ci e × 100% (1) Dimana, Ci adalah konsentrasi awal dan Ce adalah konsentrasi sisa pada kesetimbangan. Tabel 1. Range eksperimen pada setiap variabel Variabel pH Waktu (menit) Konsentrasi (mg/L) Suhu (ºC)
Range 2-8 10, 30, 60, 90, 120 5, 10, 20, 30, 50 28, 35, 45
HASIL DAN BAHASAN Ekstraksi Alginat dari S.crassifolium Pada umumnya, sebelum dilakukan proses ekstraksi alginat, rumput laut coklat yang telah dikeringkan mengalami suatu perlakuan pendahuluan yaitu perendaman rumput laut coklat dalam air, dilanjutkan dengan larutan asam. Perendaman rumput laut coklat dalam air bertujuan untuk mengembalikan kondisi segar dari rumput laut coklat dan untuk mempersiapkan tekstur rumput laut coklat menjadi lunak sehingga mempermudah proses ekstraksi alginat dan juga untuk melarutkan laminarian, manitol, zat warna, dan garam-garam (Tseng, 1946 dalam Yunizal, 2004). Perendaman rumput laut coklat dalam larutan HCl 1% dapat melarutkan mineral lain dan kotoran-kotoran.
Ekstraksi alginat dari rumput laut coklat dilakukan dengan cara perebusan dalam larutan basa seperti Na2CO3 pada kondisi panas. Menurut Green (1936) dalam Tseng (1946) dalam Yunizal (2004), pH larutan ekstraksi harus dipertahankan 9,6 sampai 11. Proses ekstraksi dilakukan selama dua kali dimana pada selang waktu antara ekstraksi pertama dan kedua, dilakukan penggilingan larutan S. crassifolium. Hal ini bertujuan untuk menghancurkan rumput laut sehingga diperoleh tekstur yang lebih kecil yang selanjutnya mempermudah ekstraksi alginat. Fungsi dari penyaringan adalah untuk memisahkan filtrat dari selulosa. Filtrat ini harus dipisahkan karena mengandung alginat. Karena larutan campuran yang dihasilkan kental, maka untuk mempermudah proses penyaringan, larutan disaring selagi panas agar viskositas larutan tidak terlalu tinggi. Penyaring yang digunakan untuk menyaring alginat dari campuran ini adalah spinner dengan kecepatan 3000 rpm. Selain itu, agar penyaringan tersebut berjalan lebih mudah, maka bubur rumput laut coklat dapat diencerkan dengan air sebanyak 3 : 7 dari volume bubur rumput laut coklat. Proses pemucatan dilakukan untuk memurnikan alginat yang telah diekstrak dari S. crassifolium karena di dalam rumput laut coklat terdapat zat warna karotenoid (karoten dan fukosantin) yang tidak larut dalam air (Mackinney dan Little, 1963, Davies, 1976 dalam Yunizal, 2004), dan tidak dapat dihilangkan pada proses perendaman dan proses ekstraksi. Larutan pemucat yang digunakan pada proses ini adalah Natrium hipoklorit (NaOCl) . NaOCl merupakan pengoksidasi kuat yang akan mengoksidasi gugus kromofor. Gugus kromofor yang telah teroksidasi akan kehilangan fungsi penyerapan cahayanya, sehingga tidak memberikan warna yang tampak. Pengendapan asam alginat dilakukan dengan menambahkan larutan HCl 10% ke dalam filtrat alginat yang telah dipucatkan. Setelah terbentuk asam alginat, kemudian alginat dikonversi menjadi bentuk garamnya dengan menambahkan larutan NaOH 10%. Pengendapan Na-alginat dilakukan dengan menambahkan isopropil alkohol. Isopropil alkohol akan mengikat air yang terkandung dalam Na-alginat sehingga akan terbentuk serat-serat Na-alginat. Setelah itu Na-alginat dapat dengan mudah dipisahkan dari campuran, yaitu dengan mengeringkan Na-alginat, maka isopropil alkohol akan menguap. Proses selanjutnya adalah proses penepungan Na-alginat. Proses ini dilakukan oleh suatu alat penggiling dengan ukuran saringan 80 mesh. Tepung alginat hasil penggilingan dapat dilihat pada Gambar 1.
Studi biosorpsi..., Anisa Purwo Lestari, FMIPA UI, 2013
Gambar 1. Tepung Na-alginat Karagenan dari Rumput Laut Merah (Euchema cottonii) Pada penelitian kali ini, tidak dilakukan ekstraksi karagenan dari rumput laut merah jenis Euchema cottonii. Karagenan yang telah ada hanya diberi perlakuan penggilingan untuk menghasilkan tepung karagenan dengan ukuran 80 mesh. Karagenan yang digunakan merupakan karagenan yang diolah dengan dengan cara semi refined carrageenan (SRC). Rumput laut merah sebelum diolah menjadi SRC terlebih dahulu dicuci untuk menghilangkan garam dan kotoran lainnya. Rumput laut ini kemudian direbus dalam larutan KOH yang dipanaskan terlebih dahulu hingga suhu 80-850C, selama 2-3 jam. Perebusan rumput laut di dalam larutan alkali bertujuan untuk meningkatkan kekuatan gel. Selama perebusan rumput laut diaduk-aduk sehingga pemanasan merata. Selanjutnya rumput laut direndam dan dicuci berulang-ulang sampai pH netral. Rumput laut kemudian dipotong-potong sepanjang 4-5 cm, lalu dikeringkan selama 2-3 hari, sehingga diperoleh SRC dalam bentuk Chips. Produk akhir yang diperoleh digiling dan disaring menhadu tepung SRC yang berukuran 80-200 mesh. Komposit Film Terikatsilang (Cross-linked films ) Alginat-Karagenan Salah satu sifat fisik dari Na-alginat dan kappa-karagenan adalah mempunyai kelarutan yang tinggi dalam air, sehingga tidak dapat digunakan secara langsung sebagai adsorben untuk mengadsorp ion logam Cu2+ yang larut dalam air. Oleh karena itu diperlukan suatu cara untuk menjadikan keduanya tidak larut dalam air. Salah satu caranya adalah dengan melakukan immobilisasi terhadap Na-alginat dan kappa-karagenan menggunakan agen cross-linked yaitu CaCl2. Immobilisasi merupakan teknik yang menarik untuk memperbaiki dan mempertahankan biomassa pada materi pendukung alami atau sintetik yang cocok untuk berbagai unit operasi fisik dan biokimia (Abu Al-Rub, F.A. et al, 2004). Film dibuat dengan mempersiapkan larutan polisakarida yang mengandung Na-alginat, kappakaragenan, dan gliserol. Na-alginat, karagenan, dan gliserol dilarutkan dengan pemanasan. Ketika mencapai suhu 70o C, pemanasan dipertahankan pada suhu tersebut sambil diaduk selama satu jam. Waktu yang dibutuhkan untuk proses polimerisasi ini disebut
dengan post polymerization period. Selain itu, suhu 70o C dijaga agar tidak terjadi gelatasi dan memastikan kehomogenitasan film. Pembuatan film dimulai dengan cara menaruh larutan ke cetakan dan cetakan tersebut direndam pada larutan CaCl2 3% dan gliserol 10%. Alginat membentuk kompleks kuat bersama karagenan dengan penambahan kation bivalen (Ca2+). Ion Ca2+ dalam larutan kalsium klorida dengan segera akan menggantikan ion Na+ dari alginat, kemudian membentuk ikatan silang dengan ion COO- (alginat) dan ion OSO3- (karagenan). Penggantian dan ikatan silang ini dengan segera menjadikan larutan polisakarida sedikit kaku dan berwarna lebih gelap. Hal ini menandakan film mulai terbentuk dengan kondisi yang lebih stabil (tidak larut). Gliserol digunakan sebagai plasticizer pada pembuatan film alginat lainnya untuk meningkatkan fleksibilitas (M. Altenhofen da Silva, et al, 2009). Pembentukan film alginat-karagenan tidak serta merta langsung sempurna, tetapi terjadi secara bertahap dimulai dari bagian permukaan hingga ke dalam. Oleh karena itu perlu perendaman dalam larutan kalsium klorida dan gliserol selama semalam untuk membuat film sempurna. Hasil film dibersihkan dari sisa-sisa larutan CaCl2 dengan aquades. Komposit film alginat-karagenan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Komposit film alginat-karagenan Karakterisasi Film alginat-karagenan dan S. crassifolium Karakterisasi FTIR Karakterisasi dengan FTIR dilakukan agar diperoleh informasi tentang perkiraan gugus apa yang bertanggung jawab dalam pengikatan dengan ion logam Cu2+. Karakterisasi ini dilakukan pada Naalginat, karagenan, biomassa S. crassifolium dan film alginat-karagenan sebelum dan setelah kontak dengan Cu2+. Spektrum FTIR disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan spektra spektroskopi FTIR dengan puncak-puncak spesifik yang mewakili gugus fungsi dapat disimpulkan bahwa biomassa S.crassifolium, Na-alginat, karagenan dan film alginat-karagenan mengandung gugus-gugus hidroksil, karboksilat, sulfat dan karbonil. Berdasarkan gambaran gugus fungsional yang terkandung dalam S.crassifolium, Naalginat, karagenan, dan film alginat-karagenan maka gugus-gugus tersebut merupakan ligan potensial dalam pengikatan ion logam Cu2+.
Studi biosorpsi..., Anisa Purwo Lestari, FMIPA UI, 2013
a
b
c
d
Gambar 3. Spektrum FTIR (a)Na-alginat, (b)Karagenan, (c)S. crassifolium dan (d)Film alginat-karagenan sebelum dan sesudah kontak diperkirakan luas permukaan dari S.crassifolium lebih besar dibanding film alginat-karagenan. Bentuk permukaan yang agak berongga menyebabkan S.crassifolium memiliki permukaan yang lebih luas.
Karakterisasi SEM a
b
c
Gambar 4. SEM (a) S.crassifolium; film alginatkaragenan (b) sebelum kontak; (c) setelah kontak Karakterisasi SEM dilakukan untuk mengetahui morfologi permukaan dari adsorben. Karakterisasi dengan menggunakan SEM ini dilakukan terhadap biomassa S.crassifolium, film alginat-karagenan sebelum dan setelah kontak dengan ion logam Cu2+.Berdasarkan hasil SEM pada Gambar 5, terlihat morfologi yang sangat berbeda pada permukaan S.crassifolium dan film alginat-karagenan. Pada film alginat-karagenan dengan perbesar 50 kali diperoleh bentuk permukaan yang halus, yang mengindikasikan campuran polisakarida alginat dan karagenan memiliki homogenitas yang tinggi. Pada morfologi S.crassifolium dengan perbesaran 500 kali diperoleh bentuk partikel yang besar dan permukaan yang keriput (Muharromah M., Agustina, 2012). Berdasarkan karakterisasi SEM ini
Karakterisasi EDX Karakterisasi EDX digunakan untuk melihat unsur-unsur yang terkandung dalam adsorben. pada biomassa S.crassifolium terkandung unsur-unsur karbon, oksigen yang merupakan unsur penyusun dari S.crassifolium ini, serta terdapat mineralmineral seperti magnesium, kalsium, kalium. Untuk hasil EDX film alginat-karagenan sebelum dan setelah kontak dengan ion logam Cu2+, terlihat bahwa untuk film alginat-karagenan awal, unsurunsur kandungan yang ada adalah karbon, oksigen yang merupakan unsur penyusun alginat-karagenan. Kemudian terdapat kalsium, klorida, dan silikon. Sedangkan untuk film alginat-karagenan setelah kontak, terdapat kandungan unsur-unsur karbon, oksigen, silikon, kalsium, dan tembaga. Adanya kandungan tembaga (Cu) pada film alginatkaragenan setelah kontak menunjukkan bahwa terjadi pengikatan ion logam Cu2+ pada film alginat-karagenan. Pengaruh variabel yang berbeda pada biosorpsi ion Cu2+ Percobaan biosorpsi dilakukan untuk mengidentifikasi kondisi optimum percobaan seperti pH, waktu kontak, konsentrasi awal Cu, dan suhu kontak terhadap adsorpsi S.crassifolium dan film alginat-karagenan.
Studi biosorpsi..., Anisa Purwo Lestari, FMIPA UI, 2013
a
b
c
serapan tertinggi didapat pada waktu tersebut sehingga dapat diasumsikan bahwa penyerapan ion logam Cu2+ maksimum terjadi pada waktu 90 menit. hasil ini menunjukkan bahwa sisi aktif pada S.crassifolium telah cukup jenuh dengan ion logam dan telah mencapai keadaan setimbang sehingga peningkatan waktu kontak tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penyerapannya. Sedangkan untuk film alginat-karagenan pada penelitian ini, waktu optimum didapat pada menit ke 120.
Gambar 5. EDX (a) S.crassifolium; film alginatkaragenan (b) sebelum kontak; (c) setelah kontak Pengaruh pH Pengaruh perbedaan pH pada larutan awal dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 7. Uji Adsorpsi Variasi Waktu Untuk menganalisis adsorpsi S. crassifolium dan film alginat-karagenan dapat diterapkan persamaan laju Lagergren. Dengan mengasumsikan kapasitas adsorpsi ion logam Cu2+ pada adsorben sebanding dengan jumlah situs aktif pada adsorben, maka pseudo order kedua persamaan Lagergren (Ho dan McKay, 1999) dapat dilihat sebagai berikut 𝑑𝑞 𝑡
Gambar 6. Uji Adsorpsi Variasi pH Berdasarkan grafik adsorpsi ion logam Cu2+ variasi pH pada Gambar 6, diperoleh hasil persen adsorpsi naik seiring dengan meningkatnya pH, namun pada titik tertentu terjadi penurunan. Pada S. crassifolium terjadi hasil persen adsorpsi tertinggi pada pH 3 dan selanjutnya menurun seiring naiknya pH. Pada pH rendah, ion logam Cu2+ yang berada dalam larutan berada pada spesi kationik Cu2+, sehingga gugus fungsi yang berada pada permukaan S. crassifolium dapat dengan mudah mengikat ion Cu2+ dan akibatnya menghasilkan serapan yang tinggi. Sedangkan untuk film alginatkaragenan, persen adsorpsi tertinggi didapat pada pH 5. Pada pH diatas 4, gugus-gugus yang ada pada film mengalami dissosiasi sehingga mampu menarik ion bermuatan positif Cu2+. Setelah pH di atas 5, hasil persen adsorpsi cenderung menurun dan fluktuatif. Hal ini disebabkan karena pada pH tinggi (pH 6-8) terjadi pengendapan Cu(OH)2 dalam larutan yang mengakibatkan penurunan penyerapan ion Cu2+.
𝑑𝑡
= 𝑘(𝑞𝑒 − 𝑞𝑡 )2
𝑡 = 0,
(2)
𝑞𝑡 = 0
Dimana k adalah konstanta laju untuk adsorpsi pseudo order kedua (g/mg min), qt jumlah adsorbat pada adsorben pada waktu t (mg/g), dan qe jumlah adsorbat yang diadsorp pada saat kesetimbangan (mg/g). Persamaan. (2) dapat diintegrasikan untuk memberikan persamaan: 𝑡 𝑡 𝑡 1 1 = + 2 = 𝑡+ (3) 𝑞 𝑞 𝑞 𝑘 𝑞 ℎ 𝑡
𝑒
𝑒
𝑒
Dimana h= 𝑞𝑒2 𝑘 dan menunjukkan laju awal adsorpsi. Grafik penentuan laju adsorpsi pseudo order kedua untuk S. crassifolium dan film alginatkaragenan disajikan pada Gambar 8.
Pengaruh waktu Berdasarkan hasil pada Gambar 7, dapat diperoleh kesimpulan bahwa waktu optimum S. crassifolium adalah pada menit ke-90 karena
Studi biosorpsi..., Anisa Purwo Lestari, FMIPA UI, 2013
a
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinetika adsorpsi mengikuti kinetika pseudo order kedua, karena persamaan-persamaan tersebut memiliki nilai koefisien korelasi (R2) yang mendekati satu. Nilai koefisien korelasi (R2 > 0,99) yang besar menunjukkan pula bahwa ada hubungan baik antara data penelitian dengan model matetika yang digunakan. Bila suatu proses adsorpsi mengikuti kinetika pseudo order kedua, maka adsorbat di adsorp ke dalam permukaan adsorben secara interaksi kimia (Boparai et al., 2010) atau disebut pula dengan kemisorpsi.
b Gambar 8. Kinetika Pseudo Order Kedua untuk (a) S. crassifolium; (b) film alginat-karagenan
Tabel 2. Nilai Koefisien Korelasi (R2), jumlah adsorbat yang diadsorp pada saat kesetimbangan (qe), dan konstanta laju untuk adsorpsi pseudo order kedua (k) R2
Suhu (ºC)
qe
k (g/mg min)
Sc
AlC
Sc
AlC
Sc
AlC
28
0,999
0,997
1,938
3,039
0,9277
0,0577
35
0,993
0,999
2,841
2,874
0,0751
0,1854
45
0,999
0,999
2,632
2,865
2,0629
0,2894
Ket: Sc: S.crassifolium dan AlC: Film Alginat-Karagenan
Pengaruh Konsentrasi ion Cu2+
Persamaan Isoterm Langmuir dapat dituliskan sebagai berikut : 𝑥 1 1 = + 𝐶 (4) 𝑚 𝑥 𝑚 𝑥 𝑚 𝑘 𝑚𝑎𝑘
𝑚𝑎𝑘
Dimana x/m adalah miligram logam yang terserap per gram adsorben kering; k adalah konstanta afinitas serapan, C adalah konsentrasi ion bebas saat setimbang (Ceq) (mg/L) dan x/mmak adalah kapasitas maksimum serapan oleh adsorben dalam mg/g. kurva isoterm adsorpsi Langmuir untuk S.crassifolium dan film alginat-karagenan disajikan dalam Gambar 10.
Gambar 9. Uji Adsorpsi Variasi Konsentrasi Berdasarkan hasil data pengaruh konsentrasi yang disajikan pada Gambar 9, diperoleh serapan logam oleh Ca-alginat dan S.crassifolium naik seiring dengan meningkatnya konsentrasi larutan Cu2+. Dengan memperbesar konsentrasi ion logam, jumlah ion logam yang terserap oleh biomassa akan meningkat secara linier sampai konsentrasi tertentu. Dari data pada variasi konsentrasi, dapat dicari isoterm adsorpsi ion logam Cu2+ oleh S.crassifolium dan film alginat-karagenan. Data isoterm adsorpsi tersebut dapat menjelaskan tentang distribusi spesies adsorbat diantara cairan dan adsorben serta kemungkinan interaksi antara adsorben dengan ion logam Cu2+.
a
b
Gambar 10. Grafik Isoterm Langmuir (a) S.crassifolium; (b) Film alginat-karagenan
Studi biosorpsi..., Anisa Purwo Lestari, FMIPA UI, 2013
Tabel 3. Nilai Koefisien Korelasi (R2), kapasitas adsorpsi maksimum (x/m), dan koefisien afinitas (k) serapan ion logam Cu (II) pada isoterm Langmuir adsorben Adsorben
R2
k
(x/m)mak
S. crassifolium
0,994
1,0331
0,4566
AlC films
0,951
1,5266
0,3323
Sedangkan untuk Isoterm Freunlich dinyatakan dengan : log 𝑥 𝑚 = log 𝑘 + 1 𝑛 log 𝐶 (5)
Pengaruh Suhu Berdasarkan Gambar 12. diperoleh informasi bahwa untuk kedua adsorben daya adsorpsinya naik seiring dengan meningkatnya suhu. Secara teoritis, dengan naiknya suhu maka energi kinetik dari suatu molekul akan naik sehingga laju reaksi adsorpsi ion logam Cd2+ oleh adsorben juga akan meningkat dan mengakibatkan persen adsorpsinya naik. Dari data pada Gambar 11. pula dapat dihitung energi aktivasi adsorpsi. Energi aktivasi (Ea) untuk adsorpsi adsorbat pada permukaan adsorben dapat ditentukan secara eksperimen dari pengukuran konstanta laju adsorpsi pada temperatur yang berbeda berdasarkan persamaan Arrhenius : 𝐸 ln 𝑘 = ln 𝐴 − 𝑎 (6) 𝑅𝑇
Kurva isoterm Freundlich untuk S.crassifolium dan film alginat-karagenan disajikan pada Gambar 11.
a Gambar 12. Uji Variasi Suhu
b
Gambar 11. Grafik Isoterm Freundlich (a) S.crassifolium; (b) Film alginat-karagenan Tabel24 Nilai k dan n pada isoterm Freunlich adsorben Adsorben R2 K N S. crassifolium
0,979
5,6105
1,9417
Al-Ca films
0,918
4,2855
1,0953
Kedua model isoterm telah dipenuhi dengan baik. Koefisien korelasi yang tinggi dari kedua model yang digunakan, mencerminkan kecocokan untuk desain penelitian ini. Dari sisi linieritas data tersebut menunjukkan bahwa proses penyerapan tersebut lebih mengarah pada isoterm Langmuir karena nilai linieritasnya lebih mendekati nilai satu. Dapat diketahui bahwa proses penyerapan tersebut terjadi pada situs aktif yang bersifat homogen.
Energi aktivasi adsorpsi untuk S. crassifolium dan film alginat-karagenan yang besarnya berturutturut adalah 299,18 kJ/mol dan 73,25 kJ/mol. Besaran energi aktivasi biasanya digunakan pula sebagai dasar untuk membedakan antara adsorpsi kimia dan fisika. Reaksi adsorpsi fisika berjalan dengan reversibel, kesetimbangan cepat tercapai sehingga energi yang dibutuhkan kecil, mulai dari 5 sampai 40 kJ mol -1. Sedangkan adsorpsi kimia berjalan dengan spesifik, melibatkan gaya yang lebih besar sehingga dibutuhkan energi aktivasi yang lebih besar (40-800 kJ mol-1) (Boparai et al., 2010). Dengan demikian, diusulkan bahwa ion Cu2+ teradsorp ke dalam permukaan film alginat-karagenan dan S.crassifolium secara interaksi kimia. Recovery Recovery adalah upaya pemanfaatan (adsorben yang sudah digunakan dengan jalan memprosesnya untuk memperoleh kembali salah satu komponen yang terkandung di dalamnya sehingga adsorben tersebut dapat digunakan kembali (Puriyati, 2008 dalam Susanti, 2009). Recovery adsorben pada penelitian ini dilakukan dengan cara mengontakkan adsorben yang sudah mengadsorpsi logam dengan suatu larutan pendesorpsi (HCl 3 M) selama 30, 60, 90, dan 120 menit. Hasil % recovery S.crassifolum dan film alginat-karagenan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 13.
Studi biosorpsi..., Anisa Purwo Lestari, FMIPA UI, 2013
Gambar 14. Grafik COD dari filtrat adsorpsi
Gambar 13. %Recovery Berdasarkan hasil recovery pada Gambar 13, terlihat bahwa untuk S. crassifolium diperoleh % recovery tertinggi sebesar 91,771% pada desorpsi selama 60 menit, sedangkan untuk film alginatkaragenan sebesar 97,495% selama 30 menit. Dari lamanya waktu desorpsi, maka dapat disimpulkan bahwa laju desorpsi ion logam Cu2+ berjalan cukup cepat untuk kedua adsorben. Pengujian Leaching Zat Organik Dari seluruh uji variasi yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa daya adsorpsi dari secara film alginat-karagenan lebih tinggi dibanding dengan daya adsorpsi S. crassifolium. Kedua adsorben sebenarnya memiliki daya adsorpsi yang baik, namun sayangnya disaat mengadsorp ion logam Cu2+, secara bersamaan S. crassifolium juga melepaskan senyawa organik ke dalam larutan, terlihat dari filtrat hasil pengontakkan dengan S. crassifolium yang berwarna coklat yang kemungkinan adalah zat warna dari rumput laut coklat tersebut. Sedangkan filtrat hasil pengontakkan dengan film alginat-karagenan tidak berwarna. Figueira, M, et al. (2000) dalam Chen dan Yang (2005) menyebutkan bahwa alga laut mengandung zat organik dalam jumlah yang tinggi, seperti karbohidrat, protein, lemak, dan pigmen; sebagai dampaknya, beberapa dari zat tersebut tidak dapat diabaikan karena terlarut dalam larutan selama proses adsorpsi. Maka dapat diamati bahwa air setelah biosorpsi berubah menjadi warna kekuningan atau hijau. Oleh karena itu leaching organik dari biosorben dapat menjadi polusi kedua dan melemahkan teknologi biosorpsi untuk treatment air dan limbah (Chen dan Yang, 2005). Penentuan besarnya zat organik dalam filtrat adsorpsi dilakukan dengan melakukan uji Chemical Oxygen Demand (COD) dari filtrat hasil adsorpsi S.crassifolium dan film alginat-karagenan, dan diperoleh hasil pada Gambar 14.
Dari Gambar 14, diperoleh hasil bahwa nilai COD untuk filtrat S.crassifolium lebih tinggi dibanding nilai COD filtrat film alginat-karagenan. Hasil ini mendukung data serapan pada daerah UV/VIS. Menurut UNESCO, WHO/UNEP, 1992, nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/L. Bila dilihat dari nilai COD untuk S. crassifolium, maka filtrat hasil adsorpsi S. crassifolium hampir mendekati perairan yang tercemar. Dan bila filtrat ini dialirkan ke perairan perikanan dan pertanian, maka akan berakibat buruk bagi biota karena menurunkan konsentrasi oksigen terlarut pada daerah tersebut.
KESIMPULAN
Alginat dapat diekstraksi dari biomassa rumput laut coklat jenis S.crassifolium dengan tahap perendaman rumput laut coklat, ekstraksi pada larutan basa, penyaringan, pemucatan zat warna, pengendapan sebagai asam alginat, pengendapan natrium alginat, sampai penepungan. Film alginat-karagenan dan S.crassifolium dapat dijadikan sebagai adsorben logam berat dibuktikan dengan adanya daya adsorpsi terhadap ion logam Cu2+. Dari variasi uji adsorpsi meliputi variasi pH dan waktu kontak diperoleh kondisi optimum adsorpsi ion logam Cu2+ oleh film alginatkaragenan dan S.crassifolium yaitu untuk film alginat-karagenan kondisi optimum penyerapan terjadi pada pH larutan 5 dan waktu kontak 120 menit. Sedangkan untuk S.crassifolium kondisi optimum penyerapannya terjadi pada pH larutan 3 dan waktu kontak selama 90 menit. S.crassifolium melepaskan (leaching) sejumlah zat organik lebih banyak dibandingkan film alginat-karagenan.
Studi biosorpsi..., Anisa Purwo Lestari, FMIPA UI, 2013
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak pemberi dana penelitian, kepada lembaga/ orang yang membantu penelitian, serta orang yang membantu dalam diskusi.
DAFTAR ACUAN Abu Al-Rub, F.A; El-Naas, M.H; Benyahia, F.; Ashour, I. (2004). Process Biochemistry, 39, 1767-1773. Chen, J.P., and Yang, Lei. (2005). Chemical Modification of Sargassum sp. for Prevention of Organic Leaching and Enhancement of Uptake during Metal Biosorption. Ind. Eng. Chem. Res. 44, 9931-9942 Diharmi, A; Fardiaz, D.; Andarwulan, N.; Heruwati, Endang S. (2011). Karakteristik Karagenan Hasil Isolasi Euchema spinosum (Alga Merah) dari Perairan Semenep Madura. Jurnal Perikanan dan Kelautan 16,1, 117-124. Fourest, E.; Volesky, B. (1996). Contribution of Sulfonate Groups and Alginate to Heavy Metal Biosrption by the Dry Biomass of Sargassum Fluitans. Canada : Departement of Chemical Engineering. Mahbub, Agustina M. Studi Ekstraksi Alginat dari Biomassa Rumput Laut Coklat (Sargassum crassifolium) sebagai Adsorben dalam Biosorpsi Ion Logam Cadmium (II). Depok: Departemen Kimia UI. Pascalau, V. et.al. (2011). The alginate/k-carrageenan ratio’s influence on the properties of the crosslinked composites films. Journal of Alloy and Compounds. Sheng, P.X.; Ting, Y.P.; dan Chen, J.P. (2007). Biosorption of Heavy Metal Ions (Pb, Cu, and Cd) from Aqueous Solutions by the Marine Alga Sargassum sp. in Single- and MultipleMetal Systems. Ind. Eng. Chem. Res. 46, 24382444. Yunizal, Teknologi Pengolahan Alginat. Jakarta : Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, ISBN 97997355-9-9.
Studi biosorpsi..., Anisa Purwo Lestari, FMIPA UI, 2013