Akhmad Nuzul Arifin., Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah
1
Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah (Judicial Authority of Religion Court for Syari'ah Economics Dispute Resolution) Akhmad Nuzul Arifin, Hj. Liliek Istiqomah, S.H., M.H., Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H., M.Hum Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Jember (UNEJ) Jln. Kalimantan 37, Jember 68121 E-mail:
[email protected]
Abstrak Di era reformasi kesadaran dan semangat untuk menerapkan lebih banyak lagi norma ajaran Islam melalui kekuasaan (legislasi) semakin tumbuh. Pengadilan Agama sebagai salah satu aparat penegak keadilan di Indonesia telah membuktikan hal itu. Terutama setelah penerapan sistem peradilan di Indoneia satu atap dalam wadah Mahkamah Agung. Ternyata kewenangn Peradilan Agama pun ada perubahan, dalam hal ini penanganan masalah ekonomi syariah menjadi kewenangan Peradilan Agama. Tentunya bertambah luas pula tugas dan wewenang Peradilan Agama, tidak dapat dihindarai para aparat peradilan harus mengerti masalah baru tersebut. Melihat semakin luasnya tentang ekonomi syari'ah, maka dalam penulisan ini memfokuskan terhadap kewengan peradilan agama terhadap penyelesaian sengketa ekonomi syari'ah. Dimana dalam penulisannya dipergunakan metode penelitian yuridis normatif. Kata Kunci: Kewenangan, Peradilan Agama, Penyelesaian, Ekonomi Syari'ah.
Abstract In the reform era of awareness and enthusiasm to implement more Islamic norms through power (legislation) is growing. Religious Court as one of the enforcers of justice in Indonesia has proven that. Especially after the implementation of the justice system in Indonesia a container roof in the Supreme Court. Apparently the Religious authority was no change, in this case the handling of the economy under the authority of sharia religious court. Surely also expanded the duties and authority of the Religious, unavoidable justice officials need to understand the new problems. Seeing the breadth of the economic Shariah, then in this paper focused on the authority of religious courts for the settlement of economic disputes Shariah. Where the writing on normative research methods used. Keywords: Authorities, Religious Courts, Settlement, Islamic Economics.
Pendahuluan Manusia memiliki kebutuhan dasar yang berupa kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa memilki dan dimiliki, rasa kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri serta kebutuhan akan pertumbuhan.[1] Setiap orang akan merasa senang apabila mendapat penghargaan atas sesuatu yang dilakukannya. Sebalikanya dia akan merasa kecewa, marah apabila harga dirinya tersinggung atau diremehkan. Apalagi jika ia merasa mendapat perlakuan yang tidak wajar. Terkait dengan hal tersebut diatas sudah menjadi kodrat bahwa setiap orang ingin mendapat perlakuan dan penghargaan dari pihak lain terutama perlakuan adil dan manusiawi. Terlebih jika menghadapi masalah atau kesulitan sosial dalam bentuk sengketa. Oleh karena itu ia membutuhkan bantuan dan pelayan dari suatu pihak yang dapat menyelesaikan sengketanya yakni salah satunya pengadilan. Kajian tentang Peradilan Agama banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
fuqaha, ahli hukum tata negara dan para pakar dalam bidang lain. Ia akan tetap menarik sebagai sasaran pengkajian, karena memiliki keunikan tersendiri sebagai satu-satunya pranata ke Islam an yang menjadi bagian dari penyelenggara kekuasaan negara.[2] Sejarah menjelaskan bahwa perkembangan Peradilan Agama di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat menarik, karena bukan saja mampu bertahan dari perkembangan masalah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hukum ke Islama an dan mengenai hak dan kewajiban personal ke Islam an, Peradilan Agama juga mengalami banyak perkembangan dalam berbagai hal terutama dalam hal kewenangan untuk menyelesaikan sengketa syaria’ah. Perkembangan itu semakin terasa terutama sejak disahkannya UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian pada perkembangan selanjutnya Undang-undang ini dinyatakan mengalami perubahan dengan disahkannya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan selanjunya mengalami Perubahan Kedua UU Nomor 50 Tahun 2009
Akhmad Nuzul Arifin., Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Tentang Peradilan Agama. Keluarnya UU Nomor 7 Tahun 1989, membuat peradilan agama semakin mendapat kejelasan wewenang, hukum acara, dan susunan peradilan agama. UU Nomor 6 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, mempunyai wewenang baru sebagai bagian dari yurisdiksi absolutnya, yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi syari’ah. Wewenang baru tersebut bisa dikatakan sebagai tantangan dan sekaligus peluang bagi lembaga peradilan agama. Dikatakan sebagai tantangan karena selama ini bagi Pengadilan Agama belum ada pengalaman apa pun dalam menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syari’ah, sehingga kalau pun sekiranya datang suatu perkara tentang sengketa ekonomi syari’ah , maka bagi lembaga peradilan agama ini mesti mencari dan mempersiapkan diri dengan seperangkat peraturan perundangan maupun norma hukum yang terkait dengan persoalan ekonomi syari’ah. Kemudian terkait ekonomi syariah, penjelasan Pasal 49 huruf i UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah meliputi: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. Pada UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah diberikan kompetensi mengadili secara litigasi kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum. Padahal dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sengketa ekonomi syari’ah menjadi kompetensi absolut peradilan agama.[3] Pada pasal 1 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989, disebutkan : Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Berdasar pasal ini dapat disimpulkan bahwa yang bisa berperkara di peradilan agama hanyalah orang-orang yang memeluk agama Islam, mengenai perkara-perkara perdata tertentu yang juga diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989.[4] Ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 UU Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Kedua tentang Peradilan Agama ini muncul sebuah asas di Peradilan Agama yang dikenal dengan asas Personalitas ke Islam an. Sedangkan UU Nomor 3 Tahun 2006, sebagai perubahan terhadap UU Nomor 7 Tahun 1989, tetap menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Dalam pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 juga disebutkan bahwa : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam. Berdasar ketentuan ini dapat diketahui bahwa UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebenarnya masih berusaha mempertahankan asas personalitas ke Islam an di Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
2
Peradilan Agama. Mengenai asas personalitas ke-Islam-an di Pengadilan Agama, ada hal yang menarik setelah munculnya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Penambahan kekuasaan dan wewenang Pengadilan Agama dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan masalah pada permasalahan sengketa ekonomi syari’ah menjadi sangat menarik untuk dikaji karena fakta mengatakan bahwa untuk permasalahan ekonomi, termasuk ekonomi syari’ah, dalam prakteknya tidak bisa dibeda-bedakan antara muslim dan non muslim. Banyak pihak yang meragukan kesiapan jajaran peradilan agama menangani sengketa ekonomi syari’ah ini. Kesadaran jajaran peradilan agama atas kekurangan itu mendorong mereka untuk terus meningkatkan kemampuannya. Walau demikian Hakim Pengadilan Agama yang berlatar belakang Sarjana Syari’ah, setidaknya sudah mengambil mata kuliah Fiqih Muamalah sehingga basik keilmuan mereka mengenai asas-asas fiqih muamalah (ekonomi syari’ah) akan amat medukung tugas menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka penulis ingin membahas permasalahan yang timbul dalam suatu karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “ Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah “. Berdasarkan pendahuluan diatas sehingga penulisan ini mengangkat permasalahan : 1. Bagaimana ruang lingkup dan kewenangan Peradilan Agama setelah diberlakukan UU No. 3 Tahun 2006 Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 2. Bagaimana makna asas personalitas keislaman setelah diberlakukannya UU No. 3 Tahun 2006 Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Tipe penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berlaku. Tipe penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji berbagai aturan hukum yang bersifat formil seperti Undang-Undang, peraturanperaturan serta literatur yang berisi konsep-konsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.[5] Metode pendekatan masalah yang dipergunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan tujuan untuk menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Terkait hal ini yang dimaksud peratuturan perundang-undangan tentang arbitrase, dan kontrak. Bahan hukum primer yang digunakan dalam skripsi ini diantaranya adalah: 1. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan Kedua atas UU Nomor 3 Tahun 2006;
Akhmad Nuzul Arifin., Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; 4. Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbangkan Syari’ah; 6. Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku-buku teks relevan dengan tema dari penulisan skripsi. Metode analisa bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deduktif berpangkal dari prinsip-prinsip umum menuju prinsip-prinsip yang khusus.
Hasil Penelitian Kekuasaan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding. Artinya, cakupan dan batasan kekuasaan relatif pengadilan ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan kekuasaan absolut artinya kekuasaan pengadilan agama yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan. Kewenangan absolut Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mengalami perubahan strategis sebagai respon atas perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, terutama menyangkut ekonomi syariah seiring kehadiran Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Kompetensi absolut yang dikemukakan adalah ketentuan Pasal 49 dan Pasal 50. Pasal 49 menyebutkan bahwa pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat ; g. Infaq; h. Shadaqah, dan i. Ekonomi Syariah. Penjelasan Pasal 49 menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa tidak dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Adapun dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
3
Kemudian terkait ekonomi syariah, penjelasan Pasal 49 huruf i menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. Menurut Mukti Arto, ada dua asas untuk menentukan kompetensi absolut Pengadilan Agama, yaitu apabila: suatu perkara menyangkut status hukum seorang muslim, atau suatu sengketa yang timbul dari suatu perbuatan/peristiwa hukum yang dilakukan/terjadi berdasarkan hukum Islam atau berkaitan erat dengan status hukum sebagai muslim.[6] Sedangkan masalah personalitas keislaman pada praktek ekonomi, keterlibatan masyarakat non muslim dalam kegiatan ekonomi yang dilaksanakan berdasar pada prinsip syari’ah mungkin bukan merupakan suatu permasalahan. Kegiatan ekonomi kerap diikuti dengan berbagai bentuk permasalahan atau sengketa, yang mana jika dalam praktek ekonomi syari’ah, maka secara litigasi berdasarkan Undangundang no. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undangundang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama harus diselesaikan di Pengadilan Agama. Kaitannya dengan asas personalitas keislaman dan kenyataan bahwa peminat konsep ekonomi syari’ah tidak hanya dari golongan orang-orang beragama Islam, sehingga dengan demikian membuka peluang bagi non muslim untuk berperkara di Pengadilan Agama, perlu dikembalikan pada pasal UU No. 3 tahun 2006. Kewenangan absolut Pengadilan Agama yang termuat dalam UU No. 3 tahun 2006 adalah merupakan suatu aturan pasti yang harus tetap dijalankan walaupun pelaku hukumnya adalah bukan orang yang beragama Islam Hal ini sangat beralasan, karena hal itu memang sudah sesuai dengan amanat Undang-undang No. 3 tahun 2006. Selain itu, memang hanya Peradilan Agama yang secara khusus diberi amanat untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Pendapat ini juga perlu diteliti lagi mengingat hal itu akan sangat bertentangan dengan pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang menyebutkan bahwa : “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orangorang yang beragama Islam.” Dalam pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 juga ada penyebutan “antara Orang-orang yang beragama Islam”. Pasal 1 ayat (1) dan pasal 49 ini merupakan dasar adanya asas personalitas keIslaman di Peradilan Agama. Pengertian asas Personalitas keIslaman adalah yang tunduk dan yang dapat di tundukkan kepada kekuasaan lingkungan peradilaln agama, hanya mereka yang mengacu menganut dan memeluk agama islam. penganut agama lain di luar islam atau yang “Non Islam ” harus tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama.[7]
Akhmad Nuzul Arifin., Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah
Pembahasan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah disahkan di Jakarta pada tanggal 20 Maret 2006 tanpa kontroversi. Tanpa ada perdebatan alot baik ditingkatan politisi, akademisi maupun masyarakat umum. Seolah semua mengamini dan meneguhkan akan pentingnya revisi UU tersebut bagi Pengadilan Agama (PA) pasca satu atap dengan Mahkamah Agung (MA).[8] Lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah suatu konsekuensi logis dari pemberlakuan konsep satu atap dalam pembinaan lembaga Peradilan di bawah Mahkamah Agung RI atau yang biasa dikenal dengan istilah “one roof system”, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI. Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tersebut, di samping merubah ketentuan pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial pengadilan oleh Mahkamah Agung seperti diatur pada Pasal 5dalam UU No. 7 Tahun 1989 Pasal 5 yang berbunyi pembinaan teknis dilakukan oleh Mahkamah Agung RI sedangkan pembinaan non teknis organisasi, perlengkapan, kepegawaian dan keuangan dilakukan oleh Menteri Agama, yang artinya pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memumtus perkara, salah satu yang paling penting adalah mengatur mengenai penambahan kewenangan Pengadilan Agama. Dalam Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 ditegaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infaq; h. Shadaqah; dan i. Ekonomi Syari’ah. Bila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989, dalam Pasal 49 Undangundang No. 3 Tahun 2006 terdapat 3 (tiga) tambahan kewenangan baru bagi Pengadilan Agama, yaitu : zakat, infaq dan ekonomi syari’ah. Penjelasan huruf (i) pasal ini mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syari’ah; b. Lembaga keuangan mikro syari’ah; c. Asuransi syari’ah; d. Reasuransi syari’ah; e. Reksa dana syari’ah;
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
4
f. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; g. Sekuritas syari’ah; h. Pembiayaan syari’ah; i. Pegadaian syari’ah; j. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k. Bisnis syari’ah. Aturan yang menetapkan kewenangan absolut Pengadilan Agama pada penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di atas, sebenarnya masih cukup global. Batasan dan ruang lingkup kewenangan mengadili perkara ekonomi syari’ah tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Undangundang tersebut. Hal ini tentu harus diperjelas mengingat aturan yang terkait dengan aktifitas operasional ekonomi, termasuk ekonomi syari’ah, perbankan syari’ah misalnya, selalu meliputi tiga bidang hukum, yaitu : bidang hukum perdata, bidang hukum pidana, dan bidang hukum tata Negara. Untuk lebih memperjelas muatan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, khususnya yang berkenaan dengan penambahan kewenangan absolut, setidaknya membutuhkan dua pembahasan, yaitu yang berkaitan dengan kewenangan absolut dan bidang hukum Pengadilan Agama serta tentang pihak yang dapat berperkara di Pengadilan Agama. Keduanya sangat erat hubungannya dengan asas personalitas keIslaman di Pengadilan Agama. Kewenangan Absolut Peradilan Agama Pada bab sebelumnya telah sedikit disinggung mengenai kewenangan absolut Pengadilan Agama yang mana kewenangan absolut ini berkaitan dengan jenis perkara yang menjadi kekuasaan Pengadilan agama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tersebut. Kewenangan ini diatur dalam Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 49 sampai dengan pasal 52. Dalam pasal 49 disebutkan bahwa : Pengadilan Agama bertugas da berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam…. Pihak yang berperkara Kalimat yang termuat dalam pasal 1 ayat (1) Undangundang No. 7 Tahun 1989 dan pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama ini secara tekstual dapat dipahami bahwa jangkauan kewenangan lingkungan Peradilan Agama hanya sebatas perkara yang terjadi antara orang-orang yang beragama Islam saja. Hal ini sesuai dengan asas personalitas keIslaman Pengadilan Agama yang mengharuskan 3 hal, yaitu : a. Pihak-pihak yang berperkara / bersengketa harus samasama pemeluk agama Islam. b. Perkara Perdata yang dipersengketakan harus mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat, wakaf, sedekah, dan ekonomi syari’ah. c. Hubungan hukum dari perkara tersebut diikat dengan hukum Islam atau berdasar pada prinsip syari’ah.
Akhmad Nuzul Arifin., Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Perubahan Undang-undang Peradilan Agama Awal pembentukan UU No. 7 Th 1989 berdasarkan : 1. Mempertegas kedudukan dan kekuasaan peradilan agama sebagai kekuasaan kehakiman Sesuai dengan UU No. 14 Th. 1970. 2. Menciptakan kesatuan hukum peradilan agama khususnya terkait perkara kewarisan. 3. Peradilan Agama hanya diperuntukkan oleh orang-orang Islam. 4. Menerapkan opsi hukum dalam hal kewarisan. 5. Kompetensi Absolut Peradilan Agama : a. Perkawinan b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasar hukum islam c. Wakaf dan Shadaqah. Pada tanggal 20 Maret 2006 keluar UU No. 3 Th 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Th 1989 Tentang Peradilan Agama, beberapa perubahan pokoknya : 1. Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan penghususan yang di atur dalam Undang-undang. 2. Kompetensi Absolut yang ditambah : a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infaq; h. Shadaqah; i. Ekonomi syariah ( Pasal 49). 3. Sengketa hak milik antar orang Islam diputus bersama perkara Pasal 49. 4. Opsi hukum dalam perkara kewarisan dihapus Pada tanggal 29 Oktober 2009 keluar UU No. 50 Th 2009 Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Th 1989 tentang Peradilan Agama. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh putusan MK No. 005/PUU-IV/2006, tgl 23 Agustus 2006. Bahwa Pasal 34 ayat (1) UU No. 4 Th 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan ketentuan-ketentuan pasal yang menyangkut mengenai pengawasan Hakim dalam UU No. 22 Th 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. UU Kekuasaan Kehakiman yang berlaku sekarang adalah UU No. 48 Th 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Penyelesaian sengketa Ajaran Islam ada tiga sistem dalam menyelesaikan sengketa atau perselisihan; yaitu: secara damai (as-shulh), arbitrase (at- tahkim), dan peradilan (al- qadha). a. Secara Damai (as-shulh) Secara bahasa, “sulh” berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah “sulh” suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselisihan atau pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai. Menyelesaiakan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara sangat dianjurkan oleh Allah SWT sebagaimana tersebut dalam surat An Nisa ayat 126 yang artinya “ Perdamaian itu adalah perbuatan yang baik “. Ada tiga rukun yang Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
5
harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian yang harus dilakukan orang melakukan perdamaian, yakni ijab, qabul dan lafadz dari perjanjian damai tersebut. Islam mengajarkan agar para pihak yang terjadi sengketa, harus melakukan perdamaian. Perdamaian dilakukan dengan cara musyawarah oleh pihak-pihak yang bersengketa. b. Secara Arbitrase (at- tahkim) Dalam perspektif islam, arbitrase dapat disamakan dengan “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama” secara etimologis berarti menjadikan seorang sebagai pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaiakan perselisihan mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan “hakam”. Cara arbitrase (tahkim), para pihak yang bersengketa menunjuk perwakilan mereka masing (hakam), untuk menyelesaikan sengketa mereka. Kemudian pada tanggal 24 Desember 2003 berdiri Badan Arbitrase Syariah Nasional (basyarnas), yang berwenang menyelesaikan sengketa perdata secara Islam.[9] c. Melalui Lembaga Peradilan (al- qadha) Apabila para pihak bersengketa, tidak berhasil melakukan as-shulh atau at- tahkim, atau para pihak tidak mau melakukan kedua cara tersebut, maka salah satu pihak bisa mengajukan masalahnya ke pengadilan agama. Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya, hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara tersebut. Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara tersebut dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume tentang perkara yang ditanganinya sebelum dimulainya proses pemeriksaan dipersidangan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalm hal memeriksa perkara ekonomi syariah khususnya perkara perbankan syariah ada beberapa hal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu antara lain yaitu :[10] 1. Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase. Pentingnya memastikan terlebih dahulu apakah perkara tersebut termasuk sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan sampai pengadilan agama yang memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di luar jangkauan kewenangan absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara tersebut sudah berjalan sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus. Kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau sengketa atau perkara perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan dan dipastikan terlebih dahulu sebelum proses pemeriksaan perkara tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan seharusnya hal ini dilakukan sebelum mengpayakan perdamaian bagi para pihak. Perkara tersebut merupakan sengketa
Akhmad Nuzul Arifin., Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, maka tdak perlu lagi hakim melanjutkannya dengan mengupayakan perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak termasuk wewenang absolute lingkungan peradilan agama. Termasuk dalam hal mengupayakan perdamaiannya, pengadilan agama tidak berwenang. Perkara yang mengandung klausula arbitrase adlah jika dalam perjanjian tersebut terdapat klausula yang pada prinsipnya menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa (disputes) di antara mereka mengenai perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara melalui suatu badan arbitrase yang telah mereka tentukan, berarti perjanjian tersebut jelas mengandung apa yang dinamakan dengan klausula arbitrase. Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan agama, jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase sebelum memeriksanya lebih jauh adalah menjatuhkan putusan negative berupa pernyataan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. 2. Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antar para pihak. Setelah dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani tersebut bukan merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, lalu dilanjutkan dengan upaya perdamaian bagi para pihak. Ini merupakan penyeleksian yang dilakukan oleh Peradilan Agama dalam menyelsaikan masalah sengketa ekonomi syari’ah seperti sengketa perbankan syari’ah. Selanjutnya apabila upaya damai ternyata tidak berhasil, hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad yang mendasari kerjasama para pihak yang menjadi sengketa tersebut. Adapun hukum perjanjian yang dapat dijadikan acuan dalam hal ini, baik yang diatur dalam KUHPerdata dari Pasal 1233 sampai Pasal 1864 yang disebut dengan perjanjian nominaat maupun hukum perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, seperti kontrak production sharing, kontrak join venture, kontrak karya, leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim dan lain lain yang disebut dengan perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.[11] Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam penerapannya tentu saja harus relevan dengan ketentuanketentuan hukum perjanjian dalam islam baik yang diatur dalam Al-Quran, As-Sunnah atau pendapat ulama dibidang tersebut. Dengan perkataan lain dalam hal ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ternyata dalam penerapannya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum islam, maka hakim harus mengutamakan ketentuan-ketentuan hukum islam.
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
6
Sumber Hukum Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah. Sumber hukum yang dapat digunakan dasar hukum untuk untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah :[12] 1. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil) a. Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syari’ah adalah hukum acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 UU No 7 Tahun 1989 Jo Undang-undang 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Artinya sementara ini hukum yang berlaku di lingkungan peradilan umum adalah HIR dan R.Bg yang berlaku di Pulau Jawa dan Madura untuk HIR dan R.Bg luar pulau Jawa dan Madura. Kedua aturan tersebut berlaku di Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah di atur secara khusus dalam Undangundang 7 Tahun 1989 Jo Undang-undang 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. 2. Sumber Hukum Materiil[13] a. Al Qur’an Dalam Al-Qur’an terdapat berbagai ayat yang membahas tentang ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan berbagai masalah ekonomi dan keuangan. b. Al Hadist Melihat kepada kitab-kitab Hadist yang disusun oleh para ulama ahli Hadist dapat diketahui bahwa banyak sekali hadist Rasulullah SAW yang berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi dan keuangan Islam. 2. Peraturan Perundang-undangan UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama; Banyak sekali aturan hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai titik singgung dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan memahaminya untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi syari’ah. 3. Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN); Dewan syari’ah Nasional (DSN) berada dibawah MUI, dibentuk pada tahun 1999. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah. 4. Aqad perjanjian (kontrak); Dalam mengadili perkara sengketa ekonomi syari’ah, sumber hukum utama adalah perjanjian, sedangkan yang lain merupakan pelengkap saja. Oleh karena itu, hakim harus memahami jika suatu aqad perjanjian itu sudah memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu perjanjian. Syarat suatu aqad perjanjian itu sudah memenuhi azas kebebasan berkontrak, azas persamaan dan kesetaraan, azas keadilan, azas kejujuran jika aqad perjanjian itu mengandung hal-hal yang dilarang oleh Syariat Islam, seperti mengandung unsur riba’ dengan segala bentuknya, ada unsur gharar atau tipu daya, unsur maisir atau spekulatif dan unsur dhulm atau ketidakadilan. Ketentuan tersebut tentu saja dapat diterapkan seluruhnya dalam hukum keperdataan Islam, karena dalam aqad
Akhmad Nuzul Arifin., Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah perjanjian Islam tidak dikenal adanya bunga yang menjadi bagian dari tuntutan ganti rugi. Oleh karena itu, ketentuan ganti rugi harus sesuai dengan prinsip Syariat Islam. Jika salah satu pihak tidak melakukan prestasi, dan itu dilakukan bukan karena terpaksa (overmach), maka ia dipandang ingkar janji (wanprestasi) yang dapat merugikan pihak lain. Penetap wanprestasi ini bisa berbentuk putusan hakim atau atas dasar kesepakatan bersama atau berdasarkan ketentuan aturan hukum Islam yang berlaku. Sehubungan dengan hal di atas, bagi pihak yang wanprestasi dapat dikenakan ganti rugi atau denda dalam ukuran yang wajar dan seimbang dengan kerugian yang ditimbulkannya serta tidak mengandung unsur ribawi. Perbuatan melawan hukum diartikan bahwa berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, atau berlawanan dengan kewajiban hak orang yang berbuat atau tidak berbuat itu sendiri atau bertentangan dengan tata susila, maupun berlawanan dengan sikap hati-hati sebagaimana patutnya dalam pergaulan masyarakat, terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.[14] 5. Fiqih dan Ushul Fiqih; Fiqih merupakan sumber hukum yang dapat dijadikan referensi untuk penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah. Sebagian besar kitab-kitab fiqih yang muktabar berisi berbagai masalah muamalah yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi. Banyak kitab-kitab yang membahas masalah ekonomi syari’ah, terutama masalah muamalah dimana dikelompokkan persoalan harta kekayaan, harta milik, harta kebutuhan, cara mendapatkan, dan cara menggunakan, dengan ini bisa menjadikan sebagai sumber hukum bagi semua perangkat yang ada di lingkungan Peradilan Agama. . 6. Adab kebiasaan; Untuk dapat dijadikan sebagai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah, kebiasaan di bidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling tidak tiga syarat yaitu :[15] 1) Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulangulang dalam waktu yang lama (longaet inveterate consuetindo) ; 2) Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates) dan 3) Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar. Apabila kebiasaan di bidang ekonomi syariah mempunyai ketiga syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara ekonomi syariah. 7. Yurisprudensi. Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara ekonomi syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah dikekuatan hukum tetap, khususnya di bidang ekonomi syariah. Dengan perkataan lain yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum dalam hal ini adalah putusan hakim yang benar-benar sudah melalui proses “eksaminasi” dan “notasi” dari Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi.[16]
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
7
Yurisprudensi mengandung banyak arti, di antaranya adalah: 1. Putusan hakim mengenai kasus tertentu (judge’s decesion in aparticular case). 2. Putusan yang dijatuhkan merupakan kasus yang berhubungan dengan perkembangan hukum, sehingga pada hakekatnya kasus yang diputuskan berkaitan erat dengan perubahan sosial; 3. Putusan terhadap kasus yang kemungkinan besar belum diatur dalam Perundang-Undangan, sehingga diperlukan penciptaan hukum baru.[17] Di Indonesia, Yurisprudensi diartikan sebagai putusan pengadilan atau hukum pengadilan (rechterrechts/judge made law). Menurut Subekti, yurisprudensi adalah putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai peradilan negara tertinggi. [18] Sampai saat ini belum ada yurisprudensi yang berhubungan dengan sengketa ekonomi syari’ah atau khususnya perbankan syari’ah. Yurisprudensi yang ada hanya putusan dari lingkungan Peradilan Umum termasuk di dalamnya putusan Pengadilan Niaga tentang perbankan konvensional atau ekonomi konvensional. Yurisprudensi ini dapat dipergunakan sebagai bahan perbandingan dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara niaga syari’ah atau perbankan syari’ah. Makna Asas Personalitas KeIslaman menurut Undangundang No. 3 Tahun 2006 Perubahan Atas Undangundang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada praktek ekonomi, keterlibatan masyarakat non muslim dalam kegiatan ekonomi yang dilaksanakan berdasar pada prinsip syari’ah mungkin bukan merupakan suatu permasalahan. Kegiatan ekonomi kerap diikuti dengan berbagai bentuk permasalahan atau sengketa, yang mana jika dalam praktek ekonomi syari’ah, maka secara litigasi berdasarkan Undang-undang no. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama harus diselesaikan di Pengadilan Agama. Guna membahas benturan yang dialibatkan adanya asas personalitas keIslaman dan kewenangan absolut Peradilan Agama, maka harus kita kembalikan pada aturan dan dasar hukum yang mengatur keduanya yaitu UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, mengenai perubahan Undangundang tersebut. Seperti yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya, bahwa asas personalitas keiIslaman adalah sebuah asas yang meniscayakan 3 hal, yaitu : a. Pihak-pihak yang berperkara / bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam. b. Perkara Perdata yang dipersengketakan harus mengenai perkaraperkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat, wakaf, sedekah, dan ekonomi syari’ah. c. Hubungan hukum dari perkara tersebut diikat dengan hukum Islam atau berdasar pada prinsip syari’ah. Pergeseran Asas Personalitas KeIslaman Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama :
Akhmad Nuzul Arifin., Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Pasal 1 angka 1“ Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama islam. Pasal 2 “ Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undangundang ini. Pasal 49 ayat (1) “ Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang : a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam; Wakaf dan shadaqah. Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Perubahan Kedua Tentang Peradilan Agama : Pasal 1 angka 1“ Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama islam. Pasal 2 “ Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Pasal 49 ayat (1) “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang : a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infaq; h. Shadaqah; dan i. Ekonomi syari’ah Selain memberikan batasan jenis perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama, pasal 49 juga menegaskan muatan pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan pasal 2 UU Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dengan menyebut kata : “antara orangorang yang beragama Islam”. Ketiga pasal inilah yang melahirkan ketentuan bahwa Pihak-pihak yang berperkara / bersengketa di Pengadilan Agama harus sama-sama pemeluk agama Islam dan 2 ketentuan lain yang timbul akibat adanya asas personalitas keIslaman. Masalah kewenangan absolut Pengadilan Agama yang justru memungkinkan bagi pihak non muslim untuk berperkara di Pengadilan Agama, dapat juga digunakan pengecualian pemberlakuan asas personalitas keIslaman pada perkara perdata tertentu yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Hal ini karena antara kewenangan absolut dan kewenangan absolute peradilan agama samasama mempunyai dasar hukum yang seimbang pada satu Undang-undang yang sama, yaitu UU Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
8
Mengacu pada penjelasan pasal 49 ini, dapat diambil kesimpulan bahwa orang non muslim juga dapat berperkara di Pengadilan Agama dalam perkara tertentu yang menjadi kewenangan absolute Peradilan Agama dengan syarat yang bersangkutan bersedia menundukkan diri dengan sukarela pada hukum Islam. Kenyataan yang menyebutkan bahwa ekonomi syari’ah juga banyak diminati orang non muslim dan adanya upaya lembaga ekonomi syari’ah seperti bank syari’ah yang mengembangkan nasabahnya pada orang- orang non muslim menjadi penyebab perkara ekonomi syari’ah sebagai perkara yang akan paling banyak menarik orang non muslim berperkara di Pengadilan Agama. Oleh karena adanya penyebutan ”perbuatan atau kegiatan usaha” dalam penjelasan pasal 49 huruf i Undang-undang No 3 Tahun 2006, maka yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah transaksi yang menggunakan akad yang beradasarkan prinsip syari’ah, walau pelakunya bukan muslim. Hal ini menjelaskan bahwa ukuran Personalitas ke Islaman dalam sengketa ekonomi syari’ah adalah akad yang mendasari sebuah transaksi, apabila menggunakan akad syari’ah, maka menjadi kewenangan peradilan agama. Dalam konteks ini pelaku non muslim yang menggunakan akad syari’ah berarti menundukkan diri kepada hukum Islam, sehingga oleh karenanya UU Nomor 3 Tahun 2006 menentukan bahwa sengketanya harus diselesaikan di Pangadilan Agama.[19] Atas dasar ketentuan tersebut jelas dapat dipahami bahwa pihak-pihak (person/badan hukum) yang dibenarkan berperkara di Pengadilan Agama tidak hanya terbatas pada mereka yang beragama Islam saja, melainkan juga non muslim. Dengan demikian, jangkauan kewenangan lingkungan Peradilan Agama di semua bidang yang disebutkan dalam pasal 49 berikut penjelasannya tersebut, tidak hanya terbatas pada sengketa yang terjadi antara orangorang yang beragama Islam saja, melainkan juga meliputi sengketa yang terjadi antara orang Islam dengan yang non muslim, bahkan termasuk juga sengketa yang terjadi antar sesama non muslim sekalipun, sepanjang mereka itu menundukkan diri terhadap hukum Islam dalam hal yang menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama tersebut. Berdasarkan pembahasan di atas, penulis berpendapat bahwa ada semacam asas penundukan diri di Pengadilan Agama. Asas ini berlaku pada orang non muslim yang dengan sukarela menundukkan diri pada hukum Islam dalam perkara perdata tertentu yang diatur oleh undang-undang, seperti kasus waris dan ekonomi syari’ah. Adanya asas penundukan diri sangat memungkinkan non muslim berperkara di Pengadilan Agama. Asas penundukan diri sama sekali tidak berarti mengganti asas personalitas Keislaman karena kedua asas ini justru akan saling mendukung dan melengkapi. Penulis menilai bahwa Asas personalitas keIslaman memang harus ada di Pengadilan Agama, karena selain sebagai ciri khas, asas personalitas keIslaman juga berfungsi untuk mengetahui sampai di mana jangkauan kewenangan lingkungan Peradilan Agama dalam mengadili sengketa di bidang perdata yang diatur Undang-undang. Berdasarkan asas personalitas keislaman itu pula pembentuk Undangundang memandang perlu dan tepat melimpahkan kekuasaan
Akhmad Nuzul Arifin., Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah penyelesaian perkara ekonomi syariah kepada Pengadilan Agama yang merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia yang bertugas menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum Islam.[20] Namun demikian, agar tidak timbul kesan pertentangan antara asas personalitas keIslaman dengan asas penundukan diri terhadap hukum Islam di pengadilan agama, penulis juga berpendapat bahwa harus ada sedikit penambahan pada hal-hal yang timbul akibat adanya asas personalitas keIslaman. Rumusan ini yang diamanatkan oleh pasal 49 Undangundang No 3 tahun 2006 berikut penjelasannya. Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka "seluruh" nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah, bank konvensional yang membuka unit usaha syariah ataupun lembaga ekonomi syari'ah lainnya dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan. Pembahasan ini memberikan penjelasan bahwa masih ada kemungkinan bagi non muslim untuk berperkara di Pengadilan Agama. Kemungkinan tersebut bisa terjadi dalam kasus Ekonomi Syari'ah, waris, atau bahkan perkawinan. Kasus waris dan perkawinan di Pengadilan Agama yang mungkin melibatkan non muslim tidak akan membutuhkan pembahasan yang rumit, karena keduanya mensyaratkan keIslaman kedua belah pihak. Walau ada syarat keIslaman, hal itu tetap menjadi wilayah Peradilan Agama jika hubungan hukumnya dilakukan sesuai hukum Islam untuk kasus Perkawinan. Sedang untuk kasus waris yang dilihat adalah KeIslaman pewaris, walaupun ahli warisnya non muslim. Berbeda dengan ekonomi syari'ah yang termasuk dalam bahasan Fiqh Mu'amalah.
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan uraian pembahasan yang terdapat bab sebelumnya yang telah penulis lakukan, sebagai jawaban dari permasalahan yang menjadi objek penelitian ini, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : Ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama dalam bidang ekonomi syari’ah menurut UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama terdapat pada pasal 49 ayat (1), isinya Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang :a) Perkawinan; b) Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam; c) Wakaf dan Shadaqah. Sedangkan ruang lingkup Peradilan Agama dalam bidang ekonomi syari’ah menurut UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama tetap sama terdapat pada pasal 49, isinya Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama orang-orang yang beragama islam di bidang : a) Perkawinan; b) Waris; c) Wasiat; d) Hibah; e) Wakaf ; f) Zakat; g) Infaq; h) Shadaqah; dan i) Ekonomi Syari’ah. Sehingga dari kedua Undang-undang tersebut mengalami perluasan wewenang yang harus dilaksanakan oleh para hakim sehingga mewujudkan peradilan yang berkeadilan. Makna Asas Personalitas keIslaman di UU No. 7 Tahun 1989 adalah bahwa Peradilan Agama hanya mengadili Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
9
perkara yang beragama islam saja dengan berdasarkan hukum islam diatur pada pasal 1 dan pasal 49 ayat (1), serta perkara perdata tertentu ini hanya di adili oleh orang yang beragama islam seperti perkawinan, kewarisan, hibah, wakaf, dan shadaqah yang berdasarkan hukum islam di atur pada pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 Jo. UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Sedangkan pada UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, makna Asas Personalitas keIslaman tetap kepada hanya orang-orang yang beragam islam, akan tetapi ada pergeseran makna dalam perubahan kedua Undang-undang tersebut. Perubahan makna tersebut adalah pada UU No. 3 Tahun 2006 jelas adanya penambahan kewenangan Peradilan Agama yaitu masalah sengketa ekonomi syari’ah, yang pada prakteknya apabila ada sengketa masalah perbankan syari’ah yang beragama non muslim. Maka pergeseran makna ini diartikan bahwa bisa diartikan ada semacam asas penundukan diri di Pengadilan Agama. Asas ini berlaku pada orang non muslim yang dengan sukarela menundukkan diri pada hukum Islam dalam perkara perdata tertentu yang diatur oleh Undangundang. Asas penundukan diri sama sekali tidak berarti mengganti asas personalitas keIslaman karena kedua asas ini justru akan saling mendukung dan melengkapi. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian bagaimana proses pemeriksaan dan beracara yang dilakukan di Pengadilan Agama jika ternyata para pihak yang bersengketa ada yang beragama nonmuslim. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan dengan semakin luasnya kewenangan Peradilan Agama terutama di bidang ekonomi syari’ah, maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan pengatahuan para hakim yang berada di lingkungan Pengadilan Agama dalam menangani perkara ekonomi syari’ah untuk mewujudkan peradilan yang mengedepankan asas keadilan. Dari makna personalitas keIslaman, maka disarankan agar pihak Peradilan Agama menyosialisasikan makna dari Asas Personalitas keIslaman ini kepada orang-orang non muslim, tidak menutup kemungkinan bahwa kebanyakan perkaraperkara yang menyangkut ekonomi syari’ah terutama perkara perbankan syari’ah banyak yang pihak yang berperkara non muslim. sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam perkara yang berlandaskan hukum islam.
Ucapan Terima Kasih 1. 2.
3. 4. 5.
Hj. Liliek Istiqomah, S.H., M.H, Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan arahan dalam skripsi ini; Ibu Dr. Dyah Ochtorina S.S.H., M.Hum Pembantu Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan arahan dengan penuh kesabaran dalam pembuatan skripsi ini; Ketua Panitia Penguji skripsi Mardi Handono, S.H, M.H.; Sekretaris Panitia Penguji Emy Zulaika, S.H, M.H.; Bapak Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember;
Akhmad Nuzul Arifin., Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah 6.
Bapak Echwan Iriyanto, S.H.,M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Jember; Bapak Mardi Handono S.H.,M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Jember; Bapak H. Edi Mulyono, S.H.,M.Hum Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Jember; 7. Bapak Sugijono S.H.,M.H., Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Jember; 8. Bapak Nanang Suparto S.H sebagai Dosen Pembimbing Akademik; 9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember yang telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan selama penulis mengikuti kuliah; 10. Staf Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Jember atas bantuan dan pelayanan selama penulis menjadi Mahasiswa; 11. Ayahanda Margono S.H., M.H. dan Ibunda Halimatus Sya’dyah SPd yang telah memberikan semua kasih dan sayangnya untukku, membesarkanku, membimbingku, memberikan arahan dan nasehat-nasehat yang sangat berharga dan tak lupa pula do’a yang tiada pernah berhenti mereka khususkan untukku, terima kasih Ayah dan Ibundaku tercinta; 12. Adik ku tersayang Mardyah Dwi Nurdini dan Endah Tri Nuramalina yang selama ini selalu bersama; 13. Sahabat-sahabatku yang selalu membuat suasana gembira : Lilik Zubaidah, Salman Alfarizi, Agus Mujiono, Firjon Zundan S, A. Wahid, Sandy PMP, Fandik, Sigit N; 14. Saudara-saudara ku di rumah. Kholik, Cak Wawan, Mbk Rini, Mbk Novi, Pak Haji, Us, Semoga selalu kompak di dalam persaudaraan; 15. Teman-teman Fakultas Hukum : Rony, Yuda, Andik, Nosa, Aris, Fredy, Rozhi, Nuke, Kyky, Ifa, Kukuh, dan semua mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Jember Tercinta; Diatas segalanya ungkapan syukur terucap kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah yang telah berkenan menganugerahkan karunia kemampuan dan kesempatan yang tiada ternilai kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini, semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan berguna bagi semua pihak yang membutuhkan.
Daftar Pustaka [1] Frank G. Goble. Mazhab Ketiga Psikologis Humanistik Abraham Maslow. (Yogyakarta : Kanisius, 1994), hal. 69. [2] Cik Hasan Bisri. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. (Bandung : RemajaResdakarya, 1997),hal. 49. [3] H. Muhammad Karsayuda, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Kewenangan Baru Pengadilan Agama, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), hal. 7. [4] Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013
10
[5] Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum, Kencana Predana Media Group. (Jakarta : Kencana Perdana Media, 2005), hal 81 [6] A. Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 6. [7] Yahya Harahap. Kedudukan, Kewenangan, Dan Acara Peradilan Agama. (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal 25 [8] Cik Hasan Bisri. Peradilan Agama di Indonesia. (Jakaeta : Raja Grafindo Edisi revisi, cetakan keempat. 2003), hal. 17 [9] Jaih Mobarok. Dalam Penyelesaian sengekata Ekonomi Syariah di Indonesia. (Yogyakarta : Pustaka Media, 2009), hal 34 [10] Antonio Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek. (Jakarta : Gema Insani, 2005), hal 10 [11] Salim HS. Teori dan Penyusunan Kontrak. (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal 7 [12] H. Abdul Manam, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Sebuah Kewenangan Baru Pengadilan Agama, Makalah, hal 27 [13] Muhammad Syauqi al Fanjani. Ekonomi Islam Masa Kini. (Bandung : Husaini, 1989), hal 5 [14] CST Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Idonesia. (Jakarta : Balai Pustaka, 1986), hal.254. [15] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1999), Hal. 99. [16] Listyio Budi Santoso. Kewenangan Peradilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah. (Semarang : Pusataka Undip 2009), hal 61 [17] Mahkamah Agung RI. Pustaka Peradilan. (Jakarta : Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI, 1995), Jilid VIII, hal.38. [18] Subekti. Hukum Acara Perdata di Indonesia. (Jakarta: Pradnza Paramita, 1987), hal.97. [19] Muhammad Karsayuda, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Sebagai Kewenangan Baru Pengadilan Agama,” www.badilag.net, (diakses pada 15 januari 2010) [20] Alamsyah, "Reduksi Kompetendi Absolut Peradilan Agama dalam Perbankan Syari'ah", www.badilag.net, (diakses pada 13 Agustus 2012)