Hubungan Mindfulness dan Kualitas Hidup Orang Dewasa Endang Fourianalistyawati*, Ratih Arruum Listiyandini, Titi Sahidah Fitriana Universitas YARSI Fakultas Psikologi e-mail:
[email protected]
*
Abstract Density and high stress levels in Jabodetabek could be trigger poor health-related quality of life in the community. One of the factors that can reduce stress levels and support the achievement of a better quality of life in individuals is the ability to recognize, manage and receive a variety of events that occur at this time, a condition known as mindfulness. This research seeks to determine the role of mindfulness towards the healthrelated quality of life in adults who living at Jabodetabek. Using quantitative methods and correlational design, Five Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ) and quality of life questionnaire, namely EQ-5D-5L were distributed to 324 people aged 21-60 years with vary gender and backgrounds. From the analysis using Spearman correlation, it was found that there is a significant negative relationship between the dimensions of non-reactivity and non-judging of the trait mindfulness with depression / anxiety, as well as the positive relationship between the dimensions of non-reactivity and observing to their perceptions of health status. This indicates that the more a person is able to fully alert, pay attention, and receive all internal and external experiences that exist without judgement or react negatively, the lower the tendency to experience depression or anxiety, and the more he feels in good health. The implications of the research are described in the discussion. Keywords: adults, health status, mindfulness, quality of life, Jabodetabek
Pendahuluan Sebagian besar dari populasi dunia saat ini tinggal di kota besar sehingga pemerintah memberi prioritas dalam peningkatan kesejahteraan penduduk di kota (Dye, 2008). Jabodetabek merupakan salah satu jaringan perkotaan di Indonesia, yang terdiri dari DKI Jakarta sebagai kota utama, serta Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sebagai kota satelit pendukung DKI Jakarta. Disebut sebagai salah satu kota megapolitan terbesar di dunia, Jabodetabek memiliki populasi kurang lebih 30 juta orang, menduduki posisi nomor 2 setelah Tokyo-Yokohama (Suhendra, 2014). Kehidupan di kota besar dapat membawa dampak baik dan buruk. Meskipun warga kota, pada umumnya, memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan pedesaan dalam hal sanitasi, nutrisi, kontrasepsi, dan perawatan kesehatan, namun kehidupan perkotaan juga dapat diikuti dengan peningkatan kemunculan penyakit kronis, kehidupan sosial yang membuat stres, serta kesenjangan sosial yang besar (Laderbegen, Kirsch, Haddad, dkk, 2011). Kondisi stress yang dialami oleh warga perkotaan, tentunya akan berdampak pula pada kualitas hidup yang dimiliki, khususnya terkait kesehatan. Kualitas hidup dapat diartikan sebagai persepsi seseorang mengenai posisinya di dalam kehidupan, dalam konteks sistem budaya dan nilai yang dianutnya, serta terkait dengan tujuan, harapan, standar, dan hal-hal yang mereka pedulikan (WHO dalam Skevington, Lotfy dan Connell, 2004). Kualitas hidup adalah konsep yang luas terkait dengan kesejahteraan seseorang pada berbagai domain, dengan kualitas hidup terkait kesehatan adalah salah satunya (Davies dalam Petersson, Simeonsson, Enskar & Huus, 2013). Kualitas hidup terkait kesehatan adalah konsep multidimensional yang merujuk pada persepsi seseorang mengenai kemampuannya dalam hal perpindahan tempat (mobilitas), perawatan diri, aktivitas sehari-hari, adanya nyeri/ketidaknyamanan fisik yang dirasakan, serta ada tidaknya depresi/kecemasan yang ia rasakan (Willie, dkk, 2010).
1
2 Salah satu dampak buruk terkait kualitas hidup yang dinilai terbukti muncul pada warga perkotaan adalah masalah kesehatan mental, yaitu depresi serta kecemasan. Hasil meta-analisis menunjukkan bahwa warga kota memiliki peningkatan resiko yang lebih besar untuk mengalami gangguan kecemasan (sebesar 21%) dan gangguan mood (sebesar 39%) (Peen, Schoevers, Beekman, & Dekker, 2010). Data ini didukung pula oleh hasil eksperimen dari Laderbegen, dkk (2011) yang menunjukkan bahwa warga kota memiliki aktivitas amygdala, bagian otak terkait dengan emosi dan stress, yang lebih tinggi saat menghadapi stress sosial dibandingkan warga yang tidak tinggal di perkotaan. Dengan kata lain, kehidupan di perkotaan dan stress sosial yang dialami warga kota, dapat memicu terganggunya kualitas hidup. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas hidup warga yang tinggal di perkotaan, maka perlu untuk diketahui mengenai faktor yang dapat membantu atau berkontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat kota. Belakangan ini, di berbagai negara umumnya, dan khususnya Indonesia, sudah mulai berkembang penelitian-penelitian mengenai topik transpersonal, dimana mindfulness sebagai salah satu bagian di dalamnya. Mindfulness didefinisikan sebagai kemampuan untuk memberi atensi atau perhatian terhadap diri secara apa adanya tanpa memberikan penilaian serta menerima segala pengalaman yang muncul saat ini (Kabat-Zinn, 1999 dalam Baer, Smith, & Allen, 2004). Kemampuan mindfulness dapat dilatih dan ditingkatkan melalui serangkaian proses pelatihan. Namun demikian, terdapat pula orang-orang yang sudah cenderung mampu menampilkan kesadaran secara utuh dan penuh dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga dapat dikatakan memiliki trait mindfulness. Orang dengan trait mindfulness yang tinggi, cenderung mampu bersikap sadar utuh dalam berbagai konteks. Menurut Baer., dkk (2004) dan Lilja, dkk (2011), trait mindfulness dapat dipandang sebagai sesuatu yang multidimensional. Terdapat lima dimensi dari trait mindfulness yang biasa diukur dalam skala FFMQ (Five Facet Mindfulness Questionnaire), yaitu: 1) observing atau mengamati serta memberi perhatian pada berbagai stimulus yang di sekitarnya; 2) describing, yaitu mampu mengungkapkan berbagai fenomena internal maupun eskternal dengan kata yang tepat; 3) acting with awareness, atau terlibat secara penuh dalam situasi saat ini tanpa membagi atensi dengan lainnya, 4) acceptance without judgement atau non-judging, yaitu menerima segala perasaan atau pikiran yang terjadi tanpa memberi penilaian, dan 5) nonreactivity, yaitu berusaha menerima, memahami, dan merasakan sepenuhnya dahulu mengenai apa yang terjadi sebelum kemudian melakukan tindakan tertentu. Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan pentingnya peran trait mindfulness dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian Mas’udah (2014) tentang mindfulness dalam komunikasi antar budaya, menggunakan subjek dari peserta yang berasal dari Indonesia dan Polandia, menunjukkan hasil bahwa bagi peserta yang menggunakan mindfulness dalam berkomunikasi dengan peserta lain yang berbeda negara, berhasil mengatasi kecemasan dan ketidakpastian mengenai topik yang disampaikan oleh peserta lain tersebut. Penelitian lainnya oleh Evanytha (2012) mengenai pengaruh mindfulness terhadap kekuatan ego menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari mindfulness terhadap kekuatan ego sebagai sistem kepribadian yang terkait dengan regulasi keadaan dalam diri dan perilaku individu. Dari hasil penelitian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa, trait mindfulness tampak bisa memiliki manfaat dalam peningkatan kesehatan mental dan emosional. Hal ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat oleh Kabat Zin (dalam West, 2008) yang menemukan bahwa individu dengan trait mindfulness tampak memiliki fisik dan mental yang sehat, tidak mudah cemas, tidak mudah depresi, memandang hidup lebih baik, memiliki hubungan positif dengan orang lain, dan memiliki harga diri yang baik. Meskipun demikian, belum ada penelitian di Indonesia yang membahas mengenai hubungan langsung antara trait mindfulness dengan kualitas hidup warga di perkotaan. Pada
3 masyarakat perkotaan seperti di Jabodetabek, kehidupan yang serba cepat, kemacetan, serta ada banyaknya distraksi dengan adanya paparan informasi teknologi, bisa menjadi pengganggu kualitas hidup. Dengan demikian, trait mindfulness dibutuhkan agar mereka tetap bisa fokus, sadar dengan berbagai hal yang sedang dilakukan, menerima segala sesuatu tanpa harus menghakimi, serta mampu memilih respon yang tepat dari berbagai situasi. Pada penelitian ini, peneliti akan mengkaji mengenai hubungan antara mindfulness dengan kualitas hidup warga di Jabodetabek. Peneliti berhipotesis bahwa mindfulness memiliki hubungan dengan kualitas hidup terkait kesehatan warga di Jabodetabek, khususnya pada aspek kesehatan mental. Metode Pendekatan dan Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain asosiatif, yang terdiri atas dua variabel yaitu trait mindfulness sebagai variabel pertama dan kualitas hidup sebagai variabel kedua. Partisipan Penelitian Partisipan penelitian adalah penduduk yang tinggal di kawasan Jabodetabek dan berusia 18 tahun ke atas. Populasi ini dipilih karena individu yang telah dewasa memiliki pengalaman psikologis yang lebih kaya dan kompleks sehingga dianngap lebih mampu memahami dirinya secara kognitif maupun afektif. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah non-probability sampling karena tidak adanya kesempatan yang sama pada setiap individu yang menjadi populasi untuk menjadi sampel penelitian. Proses pengambilan sampel dilakukan secara incidental didasarkan pada ketersediaan dan kebersediaan partisipan. Proses ini dilakukan dengan cara memberikan kuesioner pada orang-orang yang ditemui peneliti, misalnya keluarga maupun teman-teman yang dapat dijangkau dan bersedia mengisi kuesioner tersebut berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Jumlah partisipan yang berhasil diperoleh peneliti adalah sebanyak 324 orang terdiri dari 182 orang pria (56.2%) dan 142 orang wanita (43.8%). Persebaran tempat tinggal partisipan adalah sebagai berikut: Jakarta (42.3%), Bogor (9%), Depok (13.6%), Tangerang (22.8%), dan Bekasi(12%). Rentang umur partisipan dari 21 sampai 60 tahun (M=37.5, SD=8.50). Umumnya partisipan yang mengikuti penelitian ini adalah pegawai swasta (54.3%), bersuku Jawa (29.6%)dengan latar belakang pendidikan Sarjana (50.6%), dan rentang penghasilan serta pengeluaran lebih dari 3 juta per bulan (70-80%). Ditinjau dari pengalaman meditasi, tampak bahwa sebagian besar partisipan (83%) tidak pernah melakukan meditasi. Alat Ukur Penelitian a. Skala FFMQ FFMQ adalah alat ukur yang disusun untuk mengukur trait mindfulness dalam diri seseorang. FFMQ ini disusun oleh Baer, dkk (2006), dan mengukur lima aspek multidimensional dari mindfulness, yaitu: observing, describing, acting with awareness, non-reactivity, dan non-judgement. Skala asli FFMQ terdiri dari 39 item dengan menggunakan skala likert dari 1-5. Penghitungan skor akhir FFMQ didasarkan pada penghitungan skor total per dimensi dibagi dengan jumlah item yang ada, sehingga akan didapatkan skor paling tinggi 1 dan paling rendah 5. Dari 39 item yang diujicoba, terdapat
4 satu item pada dimensi non-reactivity yang tidak diikutsertakan dalam pengolahan data karena memiliki korelasi item-total <0.2. Setelah dilakukan proses adaptasi, hasil uji psikometri menunjukkan FFMQ memiliki reliabilitas internal per dimensi sebesar >0.70.8, dan didapatkan total 38 item yang terdiri dari 8 item untuk empat dimensi (Describing, Observing, Acting with Awareness, dan Non-Judging), serta 6 item untuk dimensi Non-Reactivity. b. Skala EQ 5D5L Untuk mengukur kualitas hidup, peneliti menggunakan skala EQ 5D-5L, yaitu skala standar dan umum yang secara luas digunakan untuk mengukur kualitas hidup terkait dengan kesehatan. Dengan kata lain, skala ini dapat digunakan untuk mengukur status kesehatan seseorang dan keberfungsiannya dalam sehari-hari. Skala ini dirancang oleh konsorsium EuroQoL untuk digunakan pada populasi dewasa (>18 tahun), dan sudah dimanfaatkan secara internasional pada berbagai setting, baik pada uji klinis maupun survey lapangan. Skala ini sudah diujicobakan kepada populasi di enam negara,yang melibatkan patien dengan penyakin kronis maupun populasi mahasiswa. Properti pengukuran dalam EQ-5D ini tergolong baik dalam hal feasibility, ceiling effect, daya diskriminasi, dan validitas konvergen (Reenen & Jansen, 2015). Skala ini juga sudah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia oleh peneliti dari Universitas Padjajaran dan Universitas YARSI Jakarta. Di dalam skala EQ-5D ini, terdapat 5 pertanyaan multidminesional mengenai sejauh mana individu mengalami masalah dalam hal mobilitas, perawatan diri, aktivitas seharihari, nyeri/tidak nyaman, dan depresi/kecemasan. Setiap pertanyaan terdiri dari lima pilihan jawaban, yaitu dari tidak memiliki masalah (level 1), sedikit masalah (level 2), bermasalah pada level sedang (level 3), sangat bermasalah (level 4), dan bermasalah secara parah (level 5). Semakin tinggi skor yang dipilih pada tiap dimensi, maka mengindikasikan adanya masalah yang lebih besar. Selain itu, di bagian akhir skala, juga ditanyakan mengenai seberapa baik status kesehatan partisipan menurut persepsinya sendiri, dari skala 0-100. Skor 0 menggambarkan kondisi kesehatan yang terburuk dan 100 kondisi kesehatan yang paling baik yang bisa dibayangkan. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan beberapa teknik analisis data. Berdasarkan hasil uji normalitas terhadap data menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, ditemukan bahwa data berdistribusi tidak normal (P<0.05). Selain itu, skala EQ-5D, juga merupakan skala yang menggunakan jenis data ordinal. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan menggunakan uji statistik non-parameterik, yaitu korelasi spearman, untuk mengetahui kaitan antara trait mindfulness dengan kualitas hidup pada orang dewasa di Jabodetabek. Hasil dan Pembahasan Berikut ini akan dipaparkan hasil penelitian pada 324 partisipan terkait dengan gambaran trait mindfulness, kualitas hidup, dan hubungan antara kualitas hidup dengan trait mindfulness. Gambaran Trait Mindfulness Partisipan Penelitian Berikut adalah gambaran trait mindfulness dari partisipan pada penelitian ini dari kemungkinan skor 1-5:
5 Tabel 1. Deskripsi Trait Mindfulness pada Partisipan penelitian Dimensi Mindfulness
Nilai Minimum
Nilai Maksimum
Rata-Rata
Standar Deviasi
Observing Describing Acting with Awareness Non-Reactivity Non-Judging
1.13 1.63
5.00 5.00
3.1501 3.1551
.64567 .60271
1.00
5.00
2.9657
.84974
1.33 1.13
5.00 5.00
3.1919 2.9090
.61357 .62551
Berdasarkan data yang tertera pada tabel 1, tampak bahwa partisipan penelitian memiliki mindfulness paling baik pada dimensi Non-Reactivity. Sementara untuk dimensi Non-Judging ditemukan paling rendah di antara skor pada dimensi lainnya. Bila disajikan dalam bentuk grafik, berikut adalah profilnya: Gambar 1. Grafik Profil Mindfulness 3.25 3.2 3.15 3.1 3.05 3 2.95 2.9 2.85 2.8 2.75
Mindfulness
Observing
Describing
Act Awareness
Non-React
Non-Judge
Gambaran Kualitas Hidup Partisipan Penelitian Berdasarkan data yang didapat di dalam kuesioner EQ-5D, berikut adalah gambaran kualitas hidup dari 324 partisipan penelitian: Tabel 2. Gambaran Kualitas Hidup Partisipan Penelitian Dimensi EQ-5D
1. Mobilitas (bergerak atau berjalan)
2. Perawatan Diri (seperti mandi dan memakai baju sendiri)
Level*
Jumlah/Frekuensi
Persentase (%)
Level 1 Level 2
305 18 0 1 0 319 5 0 0 0
94.1 5.6 0 .3 0 98.5 1.5 0 0 0
Level 3 Level 4 Level 5 Level 1 Level 2 Level 3 Level 4 Level 5
6 3. Aktivitas Sehari-hari (seperti bekerja, belajar, pekerjaan rumah tangga, aktivitas waktu luang)
Level 1
291
89.8
Level 2 Level 3
32 1 0 0 219 93 9 3 0 221 89 10
9.9 .3 0 0 67.6 28.7 2.8 .9 0 68.2 27.5 3.1
Level 4 Level 5 Level 1 Level 2 Level 3 4. Sakit/Tidak Nyaman Level 4 Level 5 Level 1 Level 2 Level 3 5. Depresi/Kecemasan Level 4 4 1.2 Level 5 0 0 Valuasi 11111 175 54% Kombinasi Lima Aspek *Ket: Level 1=tidak bermasalah, Level 2=sedikit bermasalah, Level 3=bermasalah dalam taraf sedang, Level 4=sangat bermasalah, Level 5=bermasalah pada level parah.
Data pada tabel 2 menunjukkan bahwa: 1. Pada dimensi mobilitas, tampak bahwa sebagian besar partisipan, yaitu sebanyak 94.1% tidak memiliki masalah dalam hal berjalan atau bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Hanya ada 5.6% yang menyatakan sedikit masalah dalam hal pergerakan sehari-hari dan 0.3% yang menyatakan mobilitasnya sangat bermasalah. 2. Terkait dengan perawatan diri, tampak bahwa hampir seluruh partisipan, yaitu sebanyak 98.5% menyatakan tidak memiliki masalah dalam hal perawatan diri. Artinya, hampir seluruh partisipan mampu untuk merawat dirinya, yang meliputi mandi atau menggunakan pakaian sendiri. Hanya sekitar 1.5% partisipan yang menyatakan bahwa mereka memiliki sedikit masalah dalam perawatan diri. 3. Pada aktivitas sehari-hari, tampak bahwa sebagian besar partisipan, yaitu sebanyak 89.8% menyatakan bahwa mereka tidak memiliki masalah untuk melakukan aktivitas sehari-hari, seperti bekerja, belajar, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ataupun mengisi aktivitas waktu luang. Namun demikian, ada sekitar 9,9% yang menyatakan adanya sedikit masalah dalam hal aktivitas seharihari dan 0.3% (1 orang) yang menyatakan adanya masalah pada taraf sedang untuk melakukan aktivitas sehari-hari. 4. Terkait dengan kondisi sakit/tidak nyaman, tampak bahwa sebagian besar partisipan, yaitu 67.6% menyatakan bahwa mereka tidak mengalami sakit atau tidak nyaman pada bagian tubuh tertentu. Hanya saja, ada sekitar 28.7% yang merasakan sedikit sakit/tidak nyaman, 2.8% yang merasakan sakit pada taraf moderat, dan terdapat 3 orang (0.9%) yang merasakan sakit pada taraf yang lebih parah. 5. Pada dimensi kecemasan/depresi, tampak bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian ini, yaitu 68.2% tidak merasa depresi/cemas. Namun demikian, jumlah yang merasakan adanya depresi/kecemasan juga cukup banyak, yaitu 27.5% merasa sedikit depresi/cemas, 3.1% merasakan depresi/kecemasan pada taraf sedang, dan ada 4 orang (1.2%) yang merasakan sangat depresi/cemas.
7 Selain gambaran mengenai level kualitas hidup pada tiap dimensi, di bawah ini juga ditampilkan skor persepsi partisipan terkait dengan status kesehatan yang dimilikinya. Rentang skor adalah berkisar dari 0-100, yaitu 0 mengindikasikan bahwa status kesehatan yang dipersepsikannya sangat buruk dan 100 yang mengindikasikan bahwa status kesehatan yang dipersepsikannya sangat baik.
Dimensi
Tabel 3. Gambaran Persepsi Status Kesehatan Partisipan Nilai Minimum Nilai Rata-Rata Maksimum
Persepsi Status Kesehatan
40.00
100.00
83.2438
Standar Deviasi 12.40490
Tampak bahwa partisipan penelitian memiliki rata-rata persepsi status kesehatan yang cukup baik, yaitu M=83.2438 (SD=12.40). Hubungan Trait Mindfulness dengan Kualitas Hidup Berikut adalah tabel yang menggambarkan korelasi antara trait mindfulness dengan kualitas hidup partisipan. Tabel 4. Korelasi Spearman antara Trait Mindfulness dengan Kualitas Hidup Dimensi Trait Mindfulness Observing Describing Act with NonNonAwareness Reactivity Judging Dimensi EQ-5D Mobilitas Perawatan Diri Aktivitas Sehari-hari Sakit/Tidak Nyaman Depresi/Kecemasan Persepsi Status Kesehatan
0.024
-0.013
0.056
-0.023
0.052
0.045
0.032
0.041
0.012
-0.033
-0.03
-0.010
-0.011
-0.068
0.033
-0.034 0.011
-0.107 -0.058
-0.042 -0.033
-0.061 -0.117*
-0.061 -0.113*
0.120*
0.074
0.010
0.165**
0.077
Ket: *p signifikan pada level 0.05; **p signifikan pada level 0.01 Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4, tampak bahwa: 1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara trait mindfulness dengan dimensi kualitas hidup terkait dengan mobilitas, perawatan diri, aktivitas sehari-hari, dan ketidaknyamanan/sakit. 2. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dimensi non-reactivity (r= -0.017, p<0.05) dengan depresi/kecemasan. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin seseorang mampu untuk tidak langsung bersikap reaktif dan menjaga jarak terhadap masalah atau rasa sakit yang dirasakannya, maka kecenderungannya untuk merasa depresi atau cemas juga akan lebih rendah. 3. Selain itu, ditemukan pula bahwa non-judging juga berhubungan negatif dengan masalah depresi/kecemasan (r= -0.113, p<0.05). Hal ini berarti apabila seseorang
8 mampu untuk menerima dan tidak memberi penilaian baik buruk terhadap perasaan dan pikirannya, maka semakin rendah kecenderungan depresi/kecemasan yang dimilikinya. 4. Terdapat hubungan yang positif antara dimensi observing dengan persepsi partisipan mengenai status kesehatan yang dimilikinya (r = 0.120, p<0.05), yang mengartikan bahwa semakin seseorang mampu untuk mengamati dan merasakan berbagai sensasi, pikiran, emosi, baik bersumber dari internal maupun eksternal, maka semakin ia merasa memiliki kesehatan yang lebih baik. 5. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara dimensi non-reactivity dengan persepsi seseorang mengenai status kesehatan yang dimilikinya (r = 0.165, p<0.01). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin seseorang mampu menjaga jarak, tetap tenang, dan tidak bereaksi berlebihan terhadap pikiran, emosi, atau sensasi tubuh yang dirasakannya, maka ia akan semakin merasa memiliki kesehatan yang lebih baik. Pembahasan Seperti halnya dipaparkan dalam hasil, tampak bahwa sesuai hipotesis penelitian, trait mindfulness memiliki hubungan dengan kualitas hidup warga di Jabodetabek. Dalam hal ini, dimensi non-reactivity dan non-judging berhubungan terbalik dengan depresi/kecemasan, serta terdapat pula hubungan positif antara dimensi non-reactivity dan observing dengan persepsi partisipan mengenai status kesehatannya secara umum. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Kabat Zin (dalam West, 2008) yang menemukan bahwa individu dengan trait mindfulness tampak memiliki fisik dan mental yang sehat, tidak mudah cemas, tidak mudah depresi, dan memandang hidup lebih baik. Non-reactivity adalah kemampuan individu untuk bisa menunda respon, tidak terburuburu dalam memberikan reaksi mengenai pengalaman, pemikiran, serta perasaan yang dialaminya, sehingga mampu bersikap tenang dalam berbagai situasi (Baer, 2004). Saat individu mampu bersikap non-reaktif, maka ia akan lebih memiliki kontrol diri dan lebih bijak dalam memandang segala hal yang terjadi pada dirinya. Seperti diketahui, depresi merupakan suatu gejala gangguan mood, yang ditandai pula dengan adanya pikiran negatif mengenai diri sendiri hingga kecenderungan bunuh diri, sedangkan kecemasan bersumber dari pikiran-pikiran negatif yang tidak realistis mengenai hal yang belum terjadi (Pinel, 2007). Dengan non-reactivity, individu akan selalu mampu bersikap tenang dalam menghadapi masalah. Ketenangan dalam menghadapi masalah ini membantu warga perkotaan untuk tetap bisa berpikir jernih dalam berbagai masalah ataupun menilai kejadian, hingga pada akhirnya menurunkan kecenderungan terjadinya depresi/kecemasan. Dengan non-reactivity, maka individu pun juga akan cenderung mampu untuk bersikap apa adanya dan tidak melebih-lebihkan segala hal yang terjadi di hidupnya (Baer, dkk, 2004). Oleh karena itu, selain membantu menurunkan kecenderungan depresi/kecemasn, non-reactivity juga berhubungan positif dengan persepsi seseorang mengenai kesehatan yang dimilikinya. Individu yang bersikap apa adanya, tidak melebih-lebihkan segala sesuatu yang dirasakan atau dialaminya, akan cenderung memandang dirinya memiliki kesehatan yang baik. Para warga Jabodetabel yang memiliki non-reactivity yang tinggi, menjadi tidak terlalu mengeluh atau memandang negatif masalah-masalah kesehatan yang mungkin dimiliki akibat kehidupan di perkotaan dan merasa bahwa kesehatan yang dimilikinya cenderung baik. Bila non-reactivity lebih terkait dengan bagaimana seseorang mampu menunda respon terhadap masalah yang muncul, maka non-judging lebih terkait dengan adanya penerimaan terhadap berbagai fenomena yang muncul tanpa perlu menghakimi (Baer, dkk, 2004). Dengan adanya non-judging, seseorang mampu menerima segala hal dengan hati terbuka, ,
9 dan memaknai segala sesuatu secara netral dan apa adanya, tanpa menghakimi benar atau salah. Sikap penerimaan apa adanya ini, membantu individu untuk terhindar dari pikiranpikiran negatif dan menghakimi yang biasanya muncul pada orang dengan depresi atau kecemasan. Oleh karena itu, non-jugding pun berhubungan terbalik dengan masalah depresi/kecemasan pada partisipan. Semakin partisipan mampu menerima segala masalah yang muncul sebagai konsekuensi dari hidup di perkotaan, tanpa menghakimi, dan bersikap terbuka, maka semakin mereka mampu terhindar dari masalah depresi/kecemasan. Pada dimensi observing, ditemukan terdapat pula kaitannya dengan persepsi mengenai status kesehatan. Observing melibatkan kemampuan individu untuk bisa mengamati, merasakan dengan seksama, dan menghayati segala sesuatu yang dirasakan, dipikirkan, atau dialami sehari-hari (Baer, dkk, 2004). Dengan kemampuan ini, individu mampu untuk menyadari segala hal yang sedang terjadi atau sensasi yang ia rasakan. Kemampuan ini tampaknya membantu para partisipan untuk menjadi lebih tahu waktu dan kondisi yang tepat dalam rangka memeriksa atau menjaga kesehatannya. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa kondisi mindful membantu orang untuk berperilaku lebih sehat (Roberts & DanoffBurg, 2010). Oleh karena itu, para warga Jabodetabek yang mampu melakukan observing dengan baik, diduga cenderung lebih mampu berperilaku sehat, dan pada akhirnya merasa memiliki kesehatan yang lebih baik. Kaitan antara observing dengan persepsi akan kesehatan ini perlu diuji lebih lanjut di penelitian selanjutnya. Pada penelitian ini, describing dan acting with awareness ditemukan tidak memiliki hubungan langsung dengan kualitas hidup. Describing menggambarkan kemampuan seseorang untuk mampu mendeskripsikan atau menggambarkan pengalaman yang dimilikinya dengan kata-kata, sedangkan acting with awareness menggambarkan kemampuan individu untuk selalu bisa memberi perhatian penuh mengenai satu hal pada satu waktu, di sini dan saat ini (Baer, dkk, 2004). Tidak adanya hubungan langsung antara describing dan acting with awareness dengan kualitas hidup yang diukur dalam penelitian ini, tampaknya karena dua dimensi tersebut mengukur hal yang berbeda dengan apa yang dilihat di dalam kualitas hidup. Kualitas hidup terkait kesehatan yang diukur dalam penelitian ini, melibatkan komponen fisik dan mental atau emosional. Di sisi lain, kemampuan describing lebih melibatkan aspek kognitif dan verbal, sedangkan acting with awareness juga lebih melibatkan domain atensi dalam kemampuan kognitif. Oleh karena itu, faktor dalam mindfulness yang lebih terkait dengan kualitas hidup adalah memang hanya faktor yang relevan dengan aspek emosional. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut dalam penelitian lainnya. Bila kita meninjau profil trait mindfulness dari partisipan, tampak bahwa faktor nonreactivity adalah yang paling baik dimiliki oleh partisipan, sebaliknya faktor act with awareness partisipan tampak terlihat paling rendah di antara faktor lainnya. Seperti yang sudah dijelaskan, non-reactivity akan membantu seseorang untuk bersikap tenang, menerima apa adanya, dan tidak berlebihan dalam menilai sesuatu. Pada warga Jabodetabek, kemampuan non-reactivity ini tergolong baik, hal ini tampaknya karena sebagian besar warga Jabodetabek tampaknya sudah cenderung sudah biasa menjalani kehidupan yang padat di perkotaan tanpa terlalu banyak mengeluh. Namun demikian, di antara seluruh dimensi mindfulness, dimensi non-judging of inner experience dan acting with awareness tergolong rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa warga Jabodetabek mempersepsi bahwa mereka kurang mampu untuk memberi perhatian penuh terhadap suatu hal pada satu waktu dan cenderung memberi penilaian atau evaluasi baik dan buruk terhadap pengalaman internal dan eksternal yang mereka rasakan. Kecenderungan acting with awareness yang rendah tampaknya bisa terkait dengan kehidupan di Jabodetabek yang cenderung sibuk, sehingga masyarakat sering melakukan berbagai hal dalam waktu yang sama. Sebagai contoh, menyetir kendaraan sambil menerima laporan, mengetik laporan sembari berselancar di internet, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan
10 adanya teknologi ponsel pintar mengakibatkan warga di Jabodetabek tampaknya tidak mampu berhenti dari distraksi informasi yang muncul di sosial media ataupun internet. Tercatat dari data penelitian dari Yahoo-TNS Net Index Indonesia tahun 2010 (Ratih, 2011), bahwa pengguna ponsel pintar di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi adalah yang terbesar di Indonesia. Selain itu, kecenderungan non-judging of inner experience yang tergolong rendah dapat mengakibatkan warga Jabodetabek menjadi lebih mudah terganggu akan perasaan dan pikiran yang negatif, sehingga muncul pula gejala depresi serta kecemasan yang dengan persentase yang cukup tinggi, yaitu lebih dari 20%. Terkait dengan kualitas hidup, tampak bahwa partisipan memiliki kualitas hidup yang tergolong cukup baik. Hal ini terlihat dari skor status kesehatan masyarakat yang di atas 80 (M=83.4) dari skala 100, serta sebagian besar partisipan (54%) memiliki kualitas hidup yang paling prima dengan tidak adanya satu pun masalah dalam domain kesehatan, yaitu dengan mendapat indeks valuasi 11111 pada semua dimensi. Bila dilihat berdasarkan per dimensi, tampak pula bahwa 89-90% partisipan tidak merasa memiliki masalah dalam hal mobilitas, perawatan diri, dan aktivitas sehari-hari. Namun demikian, terdapat 32-33% partisipan yang memiliki masalah dari taraf ringan hingga sedang dalam hal nyeri/ketidaknyamanan serta depresi/kecemasan. Data ini sesuai dengan pendapat sebelumnya dari Laderbegen, dkk, (2011) bahwa meskipun warga kota, pada umumnya, memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan pedesaan dalam hal sanitasi, nutrisi, kontrasepsi, dan perawatan kesehatan, namun kehidupan perkotaan juga dapat diikuti dengan peningkatan kemunculan penyakit kronis, kehidupan sosial yang membuat stres, serta kesenjangan sosial yang besar. Hasil meta-analisis menunjukkan bahwa warga kota memiliki peningkatan resiko yang lebih besar untuk mengalami gangguan kecemasan (sebesar 21%) dan gangguan mood (sebesar 39%) (Peen, Schoevers, Beekman, & Dekker, 2010). Terdapat beberapa keterbatasan dari penelitian ini. Di antaranya adalah persebaran demografi responden yang cenderung kurang merata. Sebagian besar partisipan adalah lakilaki, berpusat di DKI Jakarta, dan datang dari kelas ekonomi menengah atas. Selain itu, pengambilan sampel di wilayah Jabodetabek saja membuat penelitian ini tidak mampu dijadikan acuan dalam menilai kualitas hidup warga di kota lainnya di Indonesia. Terkait dengan skala FFMQ yang digunakan, perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai validitas dan reliabilitas dari skala pada populasi yang lebih luas dengan teknik psikometri yang lebih dapat diandalkan. Dengan demikian, gambaran trait mindfulness yang didapatkan juga bisa menjadi lebih akurat pada berbagai seting populasi. Di samping itu, hasil korelasi dimensi pada trait mindfulness dengan kualitas hidup dapat tergolong rendah (r=0.1-0.2, p<0.05), sehingga ada kemungkinan bahwa hubungan yang terjadi adalah hubungan yang tidak langsung atau dimediasi oleh variabel lainnya. Penelitian selanjutnya perlu menggali mengenai hal ini. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa trait mindfulness memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas hidup terkait kesehatan, khususnya pada domain kesehatan mental serta persepsi akan status kesehatan. Semakin seseorang mampu untuk tidak bersikap reaktif, menerima apa adanya, dan tidak melebih-lebihkan segala sesuatu yang terjadi (memiliki sikap non-reactivity), maka semakin rendah kecenderungan depresi/kecemasan yang dimilikinya serta semakin ia merasa sehat. Menerima segala sesuatu secara terbuka tanpa memberi penilaian (accepting without judgement), juga membantu untuk seseorang terhindar dari depresi/kecemasan. Selain itu, kemampuan untuk bisa mengamati
11 dan memperhatikan berbagai sensasi fisik maupun emosional yang terjadi di sekitarnya (observing) juga membantu seseorang memiliki persepsi status kesehatan yang lebih baik. Saran Saran dalam penelitian ini terdiri dari saran teoretis dan praktis. Saran teoretis meliputi teknik sampling yang perlu diperbaiki agar lebih mampu mewakili profil demografis dari warga Jabodetabek, validasi skala dengan menggunakan standar psikometri yang lebih baik, serta meneliti variabel lainnya yang mungkin memediasi hubungan antara kualitas hidup dan trait mindfulness. Secara praktis, implikasi dari penelitian ini adalah terkait dengan pentingnya mengembangkan trait mindfulness untuk peningkatan kualitas hidup warga Jabodetabek. Mengingat bahwa mindfulness juga adalah keterampilan yang bisa dikembangkan, terdapat beberapa pelatihan dapat dilakukan untuk meningkatkan mindfulness, seperti pelatihan meditasi mindfulness, yoga, ataupun body scanning. Diharapkan bahwa dengan meningkatnya mindfulness, warga Jabodetabek akan lebih mampu bersikap non-reaktif, menerima segala sesuatu tanpa menghakimi, dan memperhatikan berbagai sensasi serta pengalamannya dengan seksama, sehingga mampu memiliki kondisi emosional yang stabil, terhindar dari depresi maupun kecemasan, serta memiliki status kesehatan yang baik. Daftar Pustaka Baer, R. A, Smith, G. T., & Allen, K. B. (2004). Assessment of mindfulness by self-report: the Kentucky inventory of mindfulness skills. Assessment, 11(3), 191–206. doi:10.1177/1073191104268029 Brown, K. W, & Ryan, R. M. (2004). Fostering healthy self-Regulation from within and without: A Self Determination Theory Perspective. dalam Linley, P. A., & Joseph, S. (Ed). Positive Psychology in Practice. New Jersey: John Wiley&SonsCohen, R.J., & Swerdlik, M.E. (2005). Psychological Testing and Assesment: An Introduction to Tests and Measurements. McGraw Hill. Dye, C. (2008). Health and urban living. Science 319, 766–769. Kabat-Zinn, J. (2004). Mindfulness-based Interventions in Context : Past, Present, and Future. Clinical Psychology : Science and Practice, 10, 144-156Kaplan, R.M., & Saccuzzo, D.P. (1997). Psychological Testing : Principles, applications, and issues (4th Ed.). California: Brooks/Cole Publishing Company. Lederbogen, F., Kirsch, P., Haddad, L., Streit, F., dkk (2011). City living and urban upbringing affect neural social stress processing in humans. Nature . Vol 474, pg 498. Lilja, J. L., Frodi-lundgren, A., Hanse, J. J., Hansen, E., & Broberg, A. G. (2011). Five Facets Mindfulness Questionnaire — Reliability and Factor Structure : A Swedish Version, 40(4), 291–303. Mas’udah, D. (2014). Mindfulness dalam Komunikasi Antarbudaya. Skripsi. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Peen, J., Schoevers, R. A., Beekman, A. T. & Dekker, J (2010). The current status of urban rural differences in psychiatric disorders. Acta Psychiatr. Scand. 121, 84–93 Petersson, C., Rune J Simeonsson, Karin Enskar & Karina Huus (2013). Comparing children’s self-report instruments for health-related quality of life using the International Classification of Functioning, Disability and Health for Children and Youth (ICF-CY). Health and Quality of Life Outcomes 2013, 11:75
12 Roberts, K. C., & Danoff-Burg, S. (n.d.). Mindfulness and health behaviors: is paying attention good for you? Journal of American College Health : J of ACH, 59(3), 165– 173. doi:10.1080/07448481.2010.484452 Skevington, S.M., Lotfy, M.& O’Connel, K.A. (2004). The World Health Organization’s WHOQOL-BREF quality of life assessment: Psychometric properties and results of the international field trial : A Report from the WHOQOL Group. Journal of Quality of Life Research, 13 : 299 – 310 Wille, Nora., Xavier, B. Gouke, B.,dkk. (2010) Development of the EQ-5D-Y: a childfriendly version of the EQ-5D. Qual Life Res 19:875–886 Sumber Internet/Media Massa Suhendra. (2014). Jabodetabek Calon Megapolitan Terbesar ke-2 di Dunia, diunduh dari http://finance.detik.com/read/2014/02/19/123111/2501962/1016/jabodetabek-calonmegapolitan-terbesar-ke-2-di-dunia, tanggal 5 Agustus 2016. Ratih, K. (2011). Pengguna internet di Indonesia meningkat drastis. Diunduh dari http://ratihsubagyo.blogspot.co.id/2011/01/pengguna-internet-di-indonesia.html, tanggal 5 Agustus 2016.