ABSTRACT Alex Abdi Chalik. 2011. Policy Formulation for Sustainable Urban Waste Treatment System (Case Study: DKI Jakarta). Under the guidance of Bibiana W. Lay as chairman and Akhmad Fauzi and Etty Riani as members. Solid waste is still considered as worthless goods, so that it is still causing many problems. The purpose of this study is to formulate a sustainable urban waste management policy. The study was conducted in DKI Jakarta. The research is devided into four stages of analyses which include the availability and needed of land for a solid waste treatment, waste treatment technology optimization analysis of environmentally friendly, multi-criteria evaluation and policy analysis. Indonesia has many waste management policy, but not synergize together and not yet operational. Solid Waste management in DKI Jakarta has led to efforts to minimize waste, and waste reduction programs integrated between recycling, composting, combustion (incineration) and waste disposal system with a system of sanitary landfills, and will be pursued to zero waste program. DKI Jakarta needs to improve management efficiency and improved quality of service to the community, one with separation of regulator and operator functions, but managed by one institution to improve its performance and to cover the financing gap, ideally to cooperate with the private sector. The result of regression analysis shows a significant effect of economic growth in waste generation and characteristics. Increased in prosperity will increase the amount of inorganic waste, and lower amount of organic waste. Increased inorganic waste will increase the calorie content which is more beneficial if done with incinerator waste to energy (WTE), while providing the understanding that the waste is a resource that can be utilized as an energy alternative to electricity. Production of electricity from WTE incinerator is influenced by the calorie content, and type of waste. WTE incinerators have the advantage in processing speed and the required land area, but WTE incinerator required high initial investment. The result of CBA analysis shows that WTE incinerator is more expensive, but it is the most cost effective in the long term (25 years). The variables have a very strong influence on the cost of processing waste is waste transportation costs. In the context of environmental, sanitary landfill waste treatment system, which is placed far away from services area, can lead to a much larger greenhouse gases and generate leachate. The existence of designated land use and changes that are uncontrolled by DKI Jakarta complicate the placement of garbage processing unit. WTE technology or HRC which indoor system is more acceptable to local communities, compared to the open SLF. Incinerator technology is more efficient for processing large scale with a capacity of more than 500 tons / day, with the optimal point on the capacity of 3000 tons / day, which is supported by segregation. Organic waste treatment system is most optimal at high-rate composting system (HRC). WTE processing unit and HRC, should be placed in administrative of DKI. The sensitivity analysis shows that if the government would buy in a good price the electricity production and energy from solid waste, will raise the level of feasibility WTE incinerator system. Implementation of WTE incinerator technology, need to involve the private sector. Keywords: Waste, urban, incinerators, energy, WTE, SLF, HRC
RINGKASAN Alex Abdi Chalik. 2011. Formulasi Kebijakan Sistem Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus: DKI Jakarta). Dibawah bimbingan Bibiana W. Lay sebagai ketua dan Akhmad Fauzi dan Etty Riani sebagai anggota. Sampah selama ini masih dianggap masalah yang trivial dan belum menjadi sentra kebijakan pemerintah yang mengikat. Padahal tanpa penanganan yang baik, sampah dapat mengganggu kehidupan sosial ekonomi masyarakat perkotaan, seperti berdampak negatif pada kesehatan dan lingkungan serta dapat menimbulkan konflik spasial seperti konflik lahan dan wilayah lainnya. Tujuan umum penelitian ini untuk memformulasikan kebijakan pengolahan sampah perkotaan berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian ini adalah mengidentifikasi kebijakan makro dan mikro pengolahan sampah di DKI Jakarta; menentukan tingkat efisiensi pengelolaan sampah baik secara teknis, ekonomi, dan lingkungan; serta menentukan rekomendasi kebijakan yang tepat bagi pengelola sampah di DKI Jakarta. Penelitian dilakukan di DKI Jakarta dari November 2005hingga akhir 2010. Penelitian dibagi menjadi empat tahapan yakni analisis ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk tempat pengolahan sampah, analisis optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, multi kriteria evaluasi dan analisis kebijakan. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan kebutuhan lahan sebagai tempat pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi pengolahan sampah system sanitary landfill (SLF), insinerator waste to energy (WTE) dan High rate composting (HRC). Perhitungan dilakukan dengan melakukan proyeksi jumlah timbulan sampah selama 25 tahun ke depan dengan mempergunakan program exel. Analisis Ketersediaan lahan dilakukan dengan mempergunakan data perubahan pemanfaatan lahan di DKI Jakarta. Penelitian ini juga membandingkan opsi-opsi teknologi sistem pengolahan sampah secara parsial maupun terintegrasi dengan melakukan perhitungan cost benefit analysis (CBA). Optimasi teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan, dilakukan melalui tahapan pendefinisian obyek penelitian, mengidentifikasi dampak, menentukan dampak yang relevan secara ekonomi, mengkuantifikasi fisik dari dampak yang sesuai, melakukan valuasi moneter dari dampak yang relevan, melihat discounting dari aliran cost dan benefit, uji NPV dan uji sensitifitas. Selanjutnya dilakukan multi kriteria evaluasi dengan bantuan program TOPSIS, untuk memilih alternatif sistem pengolahan sampah di DKI Jakarta yang paling optimal antara sistem HRC, WTE incinerator, dan SLF, baik secara individual maupun terintegrasi, dengan kondisi input sampah yang belum terpilah antara sampah anorganik dengan organik, maupun input sampah yang telah terpilah antara sampah organik dan anorganik. Di samping itu juga dilakukan analisis dengan sistem dinamik untuk melihat kecenderungan jangka panjang, dengan bantuan program Vensim. Pengolahan sampah yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta saat ini telah mengarah pada usaha-usaha untuk meminimalisasi sampah, sejak dari sumber timbulan sampah. Usaha ini diharapkan mampu mengurangi volume pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir di TPA yang dapat menurunkan biaya transportasi dan pengolahan sampah. Selain itu juga memperkenalkan program zero waste melalui sistem pengolahan sampah terpadu dengan mengaplikasikan pengolahan sampah daur ulang, pengkomposan, pembakaran (insenerasi) dan sistem pembuangan akhir sampah dengan sistem sanitary landfill. Hasil analisis
menunjukkan bahwa aplikasi teknologi yang dipergunakan tidak didasarkan pada kajian kelayakan baik aspek teknis, keuangan maupun lingkungan, sehingga sistem pengolahan yang dilakukan tidak dapat mencapai tingkat keberlanjutan. Penelitian memperlihatkan bahwa perlu meningkatkan efisiensi pengelolaan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dengan cara memisahkan fungsi regulator dan operator. Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh satu institusi akan lebih baik dari pada dilakukan oleh beberapa institusi dalam satu wilayah yang sama, untuk menghindari tumpang tindihnya kewenangan, terjadinya saling lempar tanggung jawab, dan lebih mudah mengukur kinerjanya. Pada pengelolaan sampah perlu melibatkan sektor swasta sehingga dapat meningkatkan kinerja dalam pengelolaan sampah dan dapat menutupi kesenjangan pembiayaan Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh nyata pada timbulan dan karakteristik sampah. Peningkatan kesejahteraan akan meningkatkan kandungan sampah anorganik, dan menurunkan kandungan sampah organik. Peningkatan sampah anorganik akan meningkatkan kandungan kalori yang lebih menguntungkan jika pengolahan sampah dilakukan dengan incinerator WTE. Pengolahan sampah dengan insinerator WTE, memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa sampah bukanlah barang yang tidak bermanfaat, namun dapat menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif untuk listrik. Produksi listrik dari insinerator WTE sangat dipengaruhi oleh input kandungan kalori sampah, semakin tinggi kandungan kalori sampah semakin tinggi pula produksi listrik yang dihasilkan, dengan kandungan kalori sampah DKI yang tercampur sebesar 2.146 kkal/kg untuk 500 ton/hari masukan sampah akan dihasilkan listrik sebesar 9,4 MW, dan jika ada pemilahan sampah di sumber timbulan sampah antara sampah organik dan anorganik, serta melakukan pengolahan sampah yang terintegrasi antara WTE dengan komposting, akan didapat peningkatan kandungan kalori sebesar 3.044 kkal/kg sehingga produksi listrik untuk 500 ton/hari sebesar 13,3 Mw, dengan efisiensi produksi listrik di ketel uap sebesar 18%. Pengolahan sampah dengan insinerator WTE, perlu investasi awal (initial investment ) jauh lebih mahal, untuk kapasitas 3000 ton/hari memerlukan investasi Rp 3.575 milyar, sedangkan sanitary landfill Rp 983 Milyar, dan high rate composting Rp1.863 Milyar. Walau mahal, namun insinerator mempunyai keunggulan yakni pengolahannya cepat, kebutuhan lahan jauh lebih kecil, sehingga memungkinkan ditempatkan di wilayah DKI, serta dapat mengolah sampah B3 yang berasal dari limbah rumah sakit, rumah tangga ataupun industri. Hasil analisis CBA memperlihatkan, walaupun initial investment WTE lebih mahal, namun dalam jangka panjang (25 tahun) paling cost effective. Pada pengolahan 500 ton/hari, untuk jangka waktu 25 tahun, sistem WTE memerlukan biaya Rp 346.610,- /ton sedangkan SLF Rp 419.200,- dan komposting Rp 294.940,-. Biaya akan semakin murah apabila pengolahan sampah dikombinasi antara sistem HRC, WTE dan SLF secara terintegrasi. Biaya pengolahan kombinasi dengan kapasitas 500 ton/hari, adalah Rp 289.520,- lebih cost efficient dibanding pengolahan sistem individual. Variabel yang memiliki pengaruh sangat kuat terhadap besaran biaya pengolahan sampah adalah biaya angkutan sampah. Hasil perhitungan NPV jika terdapat biaya pengangkutan sampah ke sanitary landfill yang berjarak 45 km mengakibatkan naiknya biaya total pengolahan sampah di sistem sanitary landfill, dan dalam jangka panjang (25 tahun), biaya pengolahan sistem sanitary landfill
menjadi lebih mahal dibanding sistem HRC maupun WTE yang ditempatkan di Wilayah DKI Jakarta. Dalam konteks lingkungan, pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill, yang ditempatkan jauh di luar wilayah pelayanan (timbulan sampah), menimbulkan gas rumah kaca CO2 dan CH4 yang jauh lebih besar, dibanding sistem pengolahan komposting bio fertilizer ataupun insinerator WTE Adanya penggunaan dan perubahan peruntukan lahan yang tidak terkendali, Di DKIJ menyulitkan penempatan unit pengolahan sampah, namun untuk mendapatkan pembiayaan paling cost efficient maka insinerator WTE harus ditempatkan sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah. Pengolahan dengan sanitary landfill pada tempat yang jauh dari sumber timbulan sampah (45 km) biaya angkutan sampahnya mencapai Rp 6.000,-/ton/km, serta mencemari lingkungan mengingat kendaraan angkut berbahan bakar Solar akan mengeluarkan emisi gas CO2, sebesar 2,64 kg/liter, dan untuk jarak 45 km, akan dikeluarkan emisi 2168 ton/tahun untuk 500 ton sampah/hari, dan menjadi 13.009 ton/th untuk timbulan sampah 3000 ton/hari. Pengolahan sampah dengan teknologi WTE ataupun HRC yang tertutup lebih dapat diterima oleh masyarakat yang berdekatan, dibandingkan teknologi SLF yang terbuka. Hal ini disebabkan frekwensi angkutan sampah yang melalui wilayah permukiman, gangguan timbulnya bau yang tidak dapat dihindarkan, serta kebisingan yang terjadi akibat operasi alat berat. Selain itu pengolahan sampah dengan sanitary landfill akan menghasilkan leacheate (air lindi), yang berpotensi mencemari air tanah yag sangat menghawatirkan penduduk yang menggunakan air tanah sebagai sumber air minumnya, mengingat penduduk kota Jakarta hingga saat ini hanya 50% saja yang mendapatkan pelayanan air minum melalui sistem perpipaan dari Perusahaan Air Minum Jaya yang dioperasikan oleh swasta (Aetra dan Palija). Pengolahan sampah dengan teknologi insinerator, akan lebih effisien untuk skala pengolahan dengan kapasitas yang lebih besar dari 500 ton/hari. Titik optimal didapat untuk skala pengolahan dengan kapasitas 3000 ton/hari, yang didukung dengan pemilahan sampah antara sampah organik dan anorganik, dan untuk sampah organik dilakukan pengolahan dengan sistem high rate composting (HRC). Dalam rangka menurunkan biaya pengangkutan sampah ke unit pengolahan WTE dan HRC, selayaknya unit pengolahan sampah ditempatkan di bagian-bagian wilayah DKI, sehingga dapat meminimalkan biaya angkut, baik sampah yang akan diolah maupun transportasi produk olahan seperti abu yang dihasilkan dari proses WTE. Selain itu hasil perhitungan juga memperlihatkan bahwa semakin besar skala pengolahan sanpah yang dilakukan, akan semakin murah biaya sistem pengolahan per tonnya. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah untuk membeli produksi listrik dengan energi yang dihasilkan dari limbah (sampah) dengan harga yang tinggi, akan menaikkan tingkat kelayakan pengolahan sampah dengan mempergunakan teknologi insinerator WTE, yang memungkinkan untuk sektor swasta berperan serta terhadap penyediaan unit pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE. Dalam rangka mendorong keterlibatan sektor swasta pada pengolahan sampah dengan teknologi insinerator WTE, diperlukan dukungan pemerintah (government support) dengan menyediakan pendanaan investasi bagi swasta dengan
bunga rendah (BI rate), mengingat intial investment yang tinggi dari aplikasi teknologi WTE Insinerator.