ANALISIS SOSIO – EKONOMI TERHADAP PEMBERDAYAAN PEREMPUAN : KASUS PEKERJA SEKTOR INFORMAL DI KOTA SOLO, JAWA TENGAH Oleh: Agus Muqorrobin, M. Nasir, dan Sri Murwanti Abstract The findings of the research indicated that from the kinds of businesses including meal, non-meal and beverage, the group of non-meal is a kind of most businesses of PKLs beverage in Solo. From the demographic aspect, the amount of the 21-30-year-old vendors is 52 people (35%); 49 (33%) vendors are a graduate of Senior High School; the majority of the vendors’ sex is male (90 people or 60%); they are migrants (61 people or 41%) and the rest are natives (89 people or 59%); they are married (94 people or 63%); and their children average one child (43 people or 29%). The high group of productive age amounts 70 people (35%). It indicated that the interest in the formal sector is very limited and therefore, the labor force of productive age is not included in it. The finding indicated that the graduates of Higher Education to be a vendor amount 31 people (21%). It stated that the ethos of businessman not only include primary school but also Higher Education. The ownerships of business places mostly belong to PKLs themselves (109 places or 55%). It indicated that they have utilized their land optimally, particularly being on the urban transportation line. Most of their jobs in hometown are a farmer (61 people or 41%) and temporary labourer (27 people or 23%). This indicated that the agricultural sector no longer guarantee the people’s welfare, therefore it is reasonable that if many farmers change their profession in being an informal sector worker and vendor in the urban area. It is an interesting issue that being a vendor could change their social status. It seems from the aspect of land and field ownership after and before being a vendor. Referring to the data of before and after being a vendor, the land and field ownership amount 99 (66%) and 121 (81%), respectively. Keywords: informal sector, vendors, economic crisis A. Pendahuluan Sektor informal terus berkembang. Versi Hidayat (1983) definisi umum dari sektor informal yaitu bagian dari sistem ekonomi kota-desa yang belum mendapat bantuan ekonomi pemerintah atau belum mampu menggunakan bantuan yang disediakan dan atau sudah menerima bantuan tapi belum berdikari. Dari definisi ini dapat dibedakan sektor informal di perdesaan (sektor informal tradisional di bidang pertanian) dan sektor informal di perkotaan yang sebagian besar adalah pedagang kaki lima - PKL. PKL didefinisikan sebagai usaha yang memerlukan modal kecil, berusaha di bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan konsumen tertentu (Soeratno, 2000). Sektor usaha PKL seringkali menjadi rujukan bagi masyarakat dan pendatang baru untuk membuka usaha di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena adanya ciri khas dan relatif mudahnya membuka usaha (tidak memerlukan modal besar) di sektor tersebut (Suryahadi, dkk, 2003, Santoso, 2006 dan Tambunan 2006).
1
B. Perumusan Masalah Permasalahan penelitian ini: (1) Bagaimanakah identifikasi sektor informal – PKL di Solo?, (2) Bagaimana keterlibatan kaum perempuan pada sektor informal – PKL dan kontribusinya terhadap eksistensi sektor informal, baik dari sisi ekonomi atau non-ekonomi?, (3) Bagaimana komitmen pemberdayaan perempuan pekerja sektor informal dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarga dan kesejahteraan sosial. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini: (1) Untuk mengetahui identifikasi sektor informal – PKL di Solo?, (2) Untuk mengetahui keterlibatan kaum perempuan pada sektor informal – PKL dan kontribusinya terhadap eksistensi sektor informal, baik dari sisi ekonomi ataupun non-ekonomi?, (3) Untuk mengetahui komitmen pemberdayaan perempuan pekerja sektor informal dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan sosial. Manfaat penelitian ini: (1) Memberikan sumbangan bagi ilmu ekonomi terutama masalah pengangguran - penanganan sektor informal, (2) Memberikan sumbangan bagi ilmu kependudukan khususnya menangani masalah pengangguran dan sektor informal, dan (3) Memberikan sumbangan bagi pengambil kebijakan terutama pemerintah daerah dalam menangani sektor informal. D. Tinjauan Pustaka Solo sebagai salah satu potret perkembangan perkotaan tak bisa lepas dari problem kependudukan, urbanisasi, kesenjangan sosial, dan kasus PKL. Ini diperparah oleh industrialisasi dan urbanisasi yang memicu kemiskinan perkotaan (Nugroho, 1995). Keberadaan PKL seolah menjadi bagian dari problem perkotaan (Suharto, 2003 dan Becker, 2004). Kasus ini harus dicari titik temu agar persepsi atas PKL tidak hanya dilihat dari satu sisi saja (Haryono, 1989). Solusinya tentu bukanlah program sosial (seperti welfare system) tapi justru individual self-care (Braudel, 1992). Selain persoalan klasik PKL, ancaman lain yang memicu kerawanan pembangunan perkotaan adalah migrasi dan kekumuhan (Arango, 2000). Ini secara tidak langsung membenarkan asumsi bahwa kasus PKL identik dengan migrasi (Greenwood, 1997). Migrasi telah menjadi persoalan klasik di semua negara, terutama terkait mobilisasi kependudukan dan ketenagakerjaan (Massey., et.al., 1993 dan Lucas,1997). Di Solo, jumlah sektor informal dan PKL secara pasti tak diketahui. Secara eksplisit, ini bisa terlihat dari aktivitas sektor informal di sejumlah daerah serta rumah tangga dan sentra-sentra PKL yang ada di Solo. Pada tahun 2003 tercatat 3.834 PKL, hasil pendataan pada akhir tahun 2005 meningkat 51,7 persen menjadi 5.817 PKL. Pelaku sektor informal-PKL di Solo tidak hanya masyarakat kecil golongan ekonomi lemah tapi banyak juga mahasiswa lulusan sarjana (Kompas, 10-2-2006). Persoalan sektor informal – PKL harus diselesaikan. Secara eksplisit ada 2 yaitu pertama: kebijakan secara proaktif. Cara ini lebih mengedepankan aspek manusiawi dengan meminimalisasi terjadinya penumpukan PKL di daerah tertentu dengan cara memantau setiap ada indikasi pemunculan PKL. Bibit-bibit PKL bisa dilihat dari pendirian kios semi permanen. Cara ini sebenarnya bisa lebih bijak. Selain itu, hal ini juga lebih mengarah pada aspek penertiban PKL dalam arti yang sebenarnya. 2
Kedua: kebijakan reaktif. Format kebijakan ini memang dirasa lebih ekstrim karena dilakukan saat PKL kian menjamur. Sebenarnya, kesalahan atas pemanfaatan format kebijakan ini yaitu karena pemkot enggan melakukan cara pertama. Oleh karena itu, beralasan jika kebijakan kedua lebih mengarah penggusuran daripada penertiban. Di satu sisi, hal ini justru memicu sentimen negatif bagi pemkot karena dianggap tidak peduli kepada rakyat kecil (komunitas miskin perkotaan) dan di sisi lain kebijakan ini memicu konfrontasi yang akibatnya dirasakan oleh rakyat miskin – PKL. Memang tak mudah menangani persoalan PKL, meski di sisi lain sektor informal PKL juga memberikan nilai kemanfaatan. Oleh karena itu, sangat bijak jika pemkot melihat ini secara arif dengan mengedepankan sisi manusiawi demi kepentingan bersama, bukan hanya pembersihan yang justru terkesan negatif terutama mengacu fakta kasus kemiskinan perkotaan yang meningkat setiap tahun (Ibnusalam, 2002). E. Metode Penelitian 1. Bidang dan Bentuk Penelitian Bidang penelitian ini lebih terfokus persoalan analisis sosio - ekonomi terhadap pemberdayaan perempuan pekerja sektor informal di Solo untuk meningkatkan pendapatan keluarga dan kesejahteraan sosial. Penelitian ini deskriptif dengan penekanan pada analisis kualitatif. Mengacu urgensi pendalaman persoalan yang diangkat penelitian ini, maka aspek inti yang tidak bisa terlepas dari penelitian kualitatif yaitu pendekatan eksploratif atas semua persoalan yang berkembang terkait dengan tujuan pencapaian hasil yang optimal. 2. Obyek dan Lokasi Penelitian Penekanan penelitian ini yaitu analisis sosio - ekonomi terhadap pemberdayaan perempuan pekerja sektor informal di Solo untuk meningkatkan nilai pendapatan keluarga dan juga sisi kesejahteraan sosial masyarakat. Adapun lokasi penelitian ini yaitu di Solo, Jawa Tengah. 3. Data dan Identifikasi Variabel Identifikasi variabel penelitian penekanannya lebih terfokus di persoalan tentang pemberdayaan perempuan, kondisi makro perekonomian terkait peluang-potensi membangun kemandirian, kesempatan untuk berkiprah, keterbatasan lapangan kerja, minimnya investasi, fenomena dampak berlanjut krisis, dukungan sektor perbankan terhadap permodalan bagi UKM sektor informal yang kian minim, dan kepedulian - komitmen semua pihak terhadap pemberdayaan perempuan. 4. Analisis Data Analisis data dilakukan di lapangan dan bersamaan dengan proses pengumpulan datanya. Reduksi data dan sajian data merupakan dua komponen dalam analisis data. Penarikan kesimpulan dilakukan jika pengumpulan data dianggap cukup memadai dan dianggap selesai. Jika terjadi kesimpulan yang dianggap kurang memadai, diperlukan aktifitas verifikasi dengan sasaran yang lebih terfokus. Ketiga komponen aktifitas tersebut saling berinteraksi sampai diperoleh hasil kesimpulan yang mantap.
3
F. Hasil dan Pembahasan Sektor informal - PKL di riset ini digolongkan 16 kelompok. Pengelompokan ini sesuai dengan penelitian C. Supartomo dan Edi Rusdiyanto (2003) yang membahas eksistensi PKL di Tangerang yaitu: 1) buah-buahan, 2) makanan pokok, 3) makanan suplemen, 4) minuman - jamu, 5) tanaman hias, 6) burung, 7) rokok, 8) surat kabar majalah, 9) mainan anak 10) bensin, 11) makanan hewan, 12) peralatan kendaraan bermotor, 13) bambu, 14) makanan ikan/alat-alat pancing, 15) tambal ban, dan 16) reparasi kunci dan jam. Dari 16 kelompok PKL, lalu dikelompokkan menjadi 4 jenis perdagangan yaitu: (1) Jasa (tambal ban, reparasi kunci dan jam), (2) Makanan dan minuman (makanan pokok, makanan suplemen, minuman dan jamu), (3) Nonmakanan (tanaman hias, burung, rokok, surat kabar dan majalah, mainan anak-anak, bensin, makanan hewan, peralatan kendaraan bermotor, bambu, makanan ikan/alat pancing), dan (4) Buah-buahan. Cakupan wilayah Solo yang terdiri 5 kecamatan dan upaya untuk menjawab problem riil dari sektor informal – PKL, maka obyek penelitian terdiri dari 2 area yaitu: 1. PKL yang tertata oleh kebijakan pemkot Solo dan dipilih sektor informal – PKL di Galabo (Gladag Langen Bogan) dan di kawasan Manahan sisi sebelah barat. Untuk kawasan Manahan dipilih 4 untuk obyek dan di Galabo yang dikhususkan untuk kawasan kuliner maka obyeknya hanya fokus PKL menjual makanan. 2. PKL yang tidak tertata oleh pemkot Solo. Dari setiap kecamatan, setelah dipilih area kawasannya, lalu dipilih 4 PKL yang mencerminkan klasifikasi PKL yaitu: (1) Kecamatan Banjarsari: kawasan kota barat, (2) Kecamatan Jebres: kawasan seputar kampus UNS, (3) Kecamatan Laweyan: kawasan seputar jalan Dr Rajiman, (4) Kecamatan Serengan: kawasan seputar barat Stadion R Maladi (Sriwedari), dan (5) Kecamatan Pasar Kliwon: kawasan seputar Semanggi Alasan utama pemilihan obyek di daerah yang dipilih ini karena dari pengamatan memang diketahui bahwa daerah tersebut kian marak keberadaan PKL. Terlepas dari klasifikasi kawasan yang dipilih, bahwa secara umum ada 2 klasifikasi PKL dalam menjalankan usahanya, yaitu: 1. PKL Mandiri yaitu PKL di tempat usaha yang mandiri sehingga mereka tak tergantung pemilik lahan dimana PKL mendirikan tempat usahanya. Hal ini bisa dalam bentuk mengontrak tempat atau memang lahan itu milik sendiri. Yang dimaksud lahan adalah tanah atau rumah yang ditempati dan sekaligus tempat usaha. Mereka yang mengontrak mayoritas adalah pendatang, meski ada juga beberapa warga sekitar yang mengontrak untuk usaha menjadi PKL dan yang mempunyai rumah sekaligus dipakai untuk kios PKL mayoritas adalah warga asli sekitar kawasan tersebut. Mereka yang termasuk kelompok ini biasanya membuka usaha PKL dari pagi sampai malam karena memang tidak ada tanggungan dengan pemilik areal.
4
2. PKL Non-Mandiri yaitu yang tergantung pemilik lahan. Biasanya pemilik lahan membuka usaha yang membuka usahanya dari pagi sampai sore hari. Oleh karena itu, PKL yang termasuk kelompok ini biasanya membuka usaha setelah si pemilik lahan tutup usaha. Mayoritas PKL yang termasuk pada kelompok ini yaitu PKL yang bergerak di usaha makanan - minuman, baik berbentuk warung lesehan, juga angkringan HIK. Meskipun demikian ada juga dari mereka yang berjualan VCD dan burjo. Klasifikasi terhadap jenis PKL pada dasarnya bisa dibedakan menurut jenis usaha. Identifikasi jenis usaha PKL yaitu makanan-minuman, VCD, potong rambut, kios rokok - koran, tanaman hias, atribut otomotif (plat nomer, tambal ban, strom accu, bengkel dan kios oli), sepeda onthel, peralatan rumah tangga, mainan anak-anak, serta sayuran dan buah-buahan, dll. Klasifikasi 16 jenis usaha PKL ini tidak bisa digeneralisasi karena beberapa penelitian mengakomodasi klasifikasi PKL berbeda (Purwanugraha dan Harsiwi, 2003). Mengacu klasifikasi dari C. Supartomo dan Edi Rusdiyanto (2003) terdapat 4 kelompok perdagangan PKL yaitu: jasa, makanan dan minuman, non-makanan dan buah-buahan. Temuan penelitian ini terlihat di tabel 1: Tabel 1 Klasifikasi jenis PKL di Solo JASA JENIS
Tertata
FORMAT
Mandiri
LETAK
Tidak Tertata
Sub Jumlah Jumlah
BUAHBUAHAN L P 1
P 2
-
-
4
16
-
-
-
3
2
9
26
3
6
Banjarsari Jebres Laweyan Serengan Ps Kliwon
2 2 2 2 2 10
-
1 2 1 4
3 4 2 3 4 16
1 1 2 4
Banjarsari Jebres Laweyan Serengan Ps Kliwon
2 2 2 2 2 10 20
-
2 2 1 5 9
2 2 3 4 4 15 31
1 1 2 6
Sub Jumlah
NonMandiri
NONMAKANAN L P 3 6
L 3
Manahan (Pagi-Malam) Galabo (Sore-Malam)
Jumlah
Mandiri
MAKANAN -MINUMAN L P 5 10
JUMLAH L 11
P 19
-
4
16
-
1
15
35
2 1 2 1 6
1 2 1 1 1 6
1 1 1 1 4
4 5 5 5 5 24
6 5 5 5 5 26
2 1 2 2 1 8 14
1 1 2 8
2 1 1 2 2 8 12
6 6 4 2 3 21 45
4 4 6 8 7 29 55
Ket: L = pelaku usaha yang utama adalah laki-laki dan ada keterlibatan dari peran perempuan P = pelaku usaha yang utama adalah perempuan dan ada keterlibatan dari peran laki-laki Sumber: Data Primer (2009)
Obyek yang menjadi pengamatan dalam penelitian ini berjumlah 150 sektor informal – PKL yaitu terbagi menjadi dua, yaitu: 1. PKL yang termasuk jenis tertata. Pemkot Solo telah melakukan penataan sektor informal - PKL pada 3 kelompok yaitu shelter di kawasan Manahan 5
yang terdiri di sebelah barat dan utara, pasar klitikan di Semanggi dan kawasan kuliner di depan Pusat Grosir Solo (PGS) yang kemudian dikenal sebagai Galabo (Gladag Langen Bogan). Obyek yang diteliti dalam jenis PKL ini mencapai 50 obyek yaitu di kawasan Manahan dan Galabo. 2. PKL yang termasuk jenis tidak tertata. Jenis PKL ini diklasifikasikan dalam 2 kelompok yaitu PKL mandiri mencapai 50 obyek dan juga non-mandiri mencapai 50 obyek. Kelompok PKL yang berjualan makanan-minuman memang paling dominan dan kasus ini tidak hanya terjadi di Solo tapi juga banyak terjadi di sejumlah daerah. Alasan riil dari temuan ini karena usaha makanan-minuman relatif lebih mudah dilakukan dan modal awal usaha tak terlalu besar, serta tidak banyak membutuhkan alokasi tempat bagi usahanya, dan juga fleksibel dilakukan jam usahanya. Jenis PKL tertata yang termasuk kategori mandiri dengan pelaku usaha perempuan di kawasan Manahan ternyata dilakukan 19 orang (38%) sedangkan yang dilakukan pria ada 11 orang (22%). Kasus yang sama untuk PKL di kawasan Galabo ternyata yang dilakukan perempuan mencapai 16 orang (32%) dan yang dilakukan pria ada 4 orang (8%). Dari temuan ini, secara keseluruhan kaum perempuan masih menjadi pelaku utama di usaha sektor informal - PKL dari kasus PKL tertata dan mandiri di Solo mencapai 35 orang (70%) dibanding kaum pria yang hanya 15 orang (30%). Pada kasus jenis PKL yang tidak tertata yang mandiri ternyata pelaku usaha perempuan mencapai 26 orang (52%) sedangkan yang dilakukan oleh pria yaitu 24 orang (48%). Hal ini juga terjadi pada PKL tidak tertata yang non-mandiri dimana pelaku usaha dari kaum perempuan mencapai 29 orang (58%) sedangkan yang dilakukan oleh pria yaitu mencapai 21 orang (42%). Aspek lain yang juga menarik untuk dipaparkan dari sampel yaitu aspek demografis, misal tentang umur yaitu didominasi oleh usia antara 21-30 tahun yang mencapai 52 orang (35%), status pendidikan formal PKL terbanyak yaitu lulusan SMU mencapai 49 orang (33%), mayoritas jenis kelamin adalah perempuan 90 orang (60%), status daerah asal para PKL mayoritas adalah warga asli 89 orang (59%) dan status perkawinan juga didominasi PKL yang berstatus sudah menikah yaitu 94 orang (63%) sedangkan yang belum menikah mencapai 56 orang atau 37% (lihat tabel 2). Tabel 2 Karakteristik PKL di Solo UMUR
PENDIDIKAN
≤ 20 th = 11 Tak lulus SD = 7 21-30 th = 52 Lulus SD = 21 31-40 th = 41 Lulus SMP = 42 41-50 th = 22 Lulus SMU = 49 51-60 th = 15 Lulus PT = 31 ≥ 61 th = 9 Sumber: data primer (2009)
JENIS KELAMIN Pria = 60 Perempuan = 90
STATUS Menikah = 94
DAERAH ASAL Warga Asli = 89 Pendatang = 61
Belum Menikah = 56
Hasil penelitian yang menunjukan bahwa jenjang pendidikan yang bekerja sebagai PKL di Solo adalah lulusan SMU secara eksplisit menunjukan bahwa ancaman 6
serius dari krisis adalah kemampuan para orang tua untuk memacu pendidikan anakanaknya. Di sisi lain, sempitnya lapangan kerja di sektor formal juga menjadi faktor dominan dibalik tingginya anak lulusan SMU yang berprofesi menjadi PKL. Hal ini juga didukung oleh dominasi PKL yang berstatus sebagai warga asli, bukan pendatang dan tempat usahanya adalah milik pribadi, bukan kontrakan. Tingginya klasifikasi usia produktif yang terjun menjadi PKL menunjukan bahwa daya serap pada sektor formal memang sangat terbatas sehingga tidak semua angkatan kerja produktif tertampung di sektor formal. Di satu sisi, ini memang memicu dampak positif dalam bentuk berkembangnya sektor informal perkotaan, termasuk juga menjadi PKL. Di sisi lain, jika sektor informal ini terus di gusur dan dikerdilkan eksistensinya, maka justru memicu ancaman yang lebih serius yaitu kerawanan di perkotaan. Oleh karena itu pihak-pihak yang berkompeten dengan hal ini haruslah lebih peduli dan mengutamakan pendekatan yang lebih manusiawi agar sektor informal, terutama yaitu PKL tidak selalu dikucilkan atau digusur dengan dalih keindahan dan ketertiban kota. Temuan bahwa sejumlah alumi perguruan tinggi yang mau terjun menjadi PKL yaitu mencapai 31 orang (21%) justru menunjukan bahwa semangat kewirausahaan memang harus dipupuk, tidak saja dari pendidikan dasar tetapi juga di pendidikan tinggi. Hal ini penting terutama untuk melihat realita bahwa sektor formal sangatlah terbatas daya serapnya sehingga para alumni perguruan tinggi tidak perlu merasakan risi ketika harus terjun berwirausaha, termasuk juga untuk menjadi PKL. Bahkan ini bisa menjadi suatu cambuk untuk memacu daya serap sektor informal agar lapangan kerja yang ada bisa terakumulasi secara penuh dan meminimalisasi pengangguran. Pada tabel 3 terlihat bahwa status pekerjaan yaitu menjadi PKL atau bekerja di sektor informal ternyata mayoritas adalah sebagai pekerjaan utama yaitu 105 orang (70%) dan yang melakukan sebagai pekerjaan sambilan hanya 45 orang (30%). Identifikasi lainnya yang juga menarik ternyata mayoritas mempunyai jumlah tanggungan keluarga hanya 1 orang yaitu mencapai 43 orang (29%), dan kemudian tanggungan 2 orang mencapai 37 orang (25%). Akumulasi rata-rata pendapatan per bulan bersih dari sektor informal atau PKL di Solo ternyata berbeda yaitu untuk jenis PKL tertata mandiri memiliki tingkat pendapatan rata-rata Rp.1.250.000, PKL tidak tertata mandiri lebih kecil yaitu mencapai Rp.1.000.000 dan PKL tidak tertata non-mandiri hanya mencapai Rp.900.000 per bulan karena harus dikurangi biaya sewa tempat dan biaya listrik kepada pemilik lahan. Tabel 3 Karakteristik PKL di Solo STATUS PEKERJAAN MENJADI PKL
Utama = 105 Sambilan = 45
JUMLAH TANGGUNGAN KELUARGA
0=4 1 = 43 2 = 37 3 = 29
RATA-RATA PENDAPATAN BERSIH TERTATA TIDAK TIDAK MANDIRI TERTATA TERTATA MANDIRI NONMANDIRI Rp.1.250.000 Rp.1.000.000 Rp.900.000
7
4 = 25 > 5 = 12 Sumber: data primer (2009)
Temuan yang menunjukan bahwa status tempat usaha mayoritas adalah milik pribadi menunjukan bahwa masyarakat telah mampu memanfaatkan lahan yang dimiliki secara optimal, terutama mereka yang berada di jalur utama transportasi di perkotaan atau jalur strategis. Dengan memanfaatkan lahan menjadi tempat usaha, maka secara tak langsung ini mempengaruhi pendapatan keluarga. Artinya mereka yang memiliki pekerjaan tetap justru bisa mendapatkan penghasilan ekstra, sedangkan mereka yang belum mempunyai penghasilan tetap maka bisa mendapatkan penghasilan utama melalui tempat usaha yang didirikannya tersebut. Tabel 4 Karakteristik PKL di Solo PEKERJAAN ASAL DI DAERAH ASAL
PEMILIKAN TANAH/SAWAH SEBELUM MIGRASI
Petani = 31 Buruh = 27 Lainnya = 3
Milik sendiri = 99 Milik sendiri = 121 Tak memiliki = 51 Tak memiliki = 29
PEMILIKAN PEKERJAAN TANAH/SAWAH SEBELUM MENJADI PKL SETELAH MIGRASI Petani = 61 Buruh = 35 Bengkel = 11 Pembantu = 29 Calo – makelar = 10 Lainnya = 4
Sumber : Data Primer (2009)
Dari tabel 4 terlihat bahwa mayoritas pekerjaan di daerah asal para PKL yaitu sebagai petani yang mencapai 61 orang (41%) dan buruh yaitu 35 orang (23%). Hal ini secara tidak langsung justru menunjukan bahwa sektor pertanian saat ini memang tidak lagi menjanjikan terhadap kesejahteraan sehingga sangat beralasan jika petani banyak yang bermigrasi beralih profesi menjadi pekerja sektor informal di perkotaan termasuk juga menjadi PKL. Bahkan, fenomena ini makin menguatkan hipotesis bahwa industrialisasi dengan berbagai atribut kapitalisnya makin kuat mengecoh sektor pertanian dan sektor primer lainnya untuk kemudian terkucilkan oleh kuatnya sektor industri – perdagangan dan jasa yang memang berkembang lebih pesat. Yang justru menarik, ternyata mejadi PKL bisa merubah status sosial dan hal ini terlihat dari status kepemilikan tanah - sawah sebelum dan setelah menjadi PKL. Data sebelum menjadi PKL ternyata status kepemilikan tanah - sawah mencapai 99 yang milik sendiri (66%), dan setelah berprofesi menjadi PKL ternyata status kepemilikan tanah - sawah meningkat menjadi 121 orang yang memiliki hak pribadi (81%). Peningkatan ini tidak terdeteksi yaitu setelah berapa lama hal ini bisa terjadi. Artinya, apakah mereka setelah 5 tahun menjadi PKL atau justru lebih dari 10 tahun menjadi PKL baru bisa merubah status kepemilikan tanah - sawah itu.
8
Temuan lain yang juga menarik bahwa sebelum menjadi PKL ternyata banyak yang berstatus sebagai pekerja di sejumlah tempat usaha, baik yang berskala besar atau kecil dan juga industri rumahan. Jumlah mereka yang menjadi buruh ini mencapai 35 orang (23%), kemudian disusul profesi sebagai pembantu rumah tangga yaitu 29 orang (20%). Perubahan status dari pekerjaan ini secara tidak langsung menunjukan bahwa profesi sebagai PKL juga menjanjikan. Tabel 5 Karakteristik PKL di Solo JUMLAH HARI KERJA PER MINGGU 7 hari = 103 < 7 hari = 47
JAM KERJA PER HARI
MASA KERJA DAN ATAU PENGALAMAN MENJADI PKL < 12 jam = 59 < 5 tahun = 58 > 12 jam = 91 > 5 tahun = 87 > 10 tahun = 5
ASPEK PERMODALAN
Sendiri = 93 Pinjaman = 31 Patungan = 26
Sumber : Data Primer (2009)
Hasil riset menunjukan bahwa peralihan profesi dari pekerjaan sebelum menjadi PKL dan kemudian menjadi PKL ternyata diikuti keyakinan bahwa menjadi PKL adalah hal utama mencapai 105 orang (70%) dan yang mengaku sebagai pekerjaan sambilan hanya 45 orang (30%). Konsekuensi dari pengakuan sebagai pekerjaan utama maka jumlah hari kerja mereka juga 7 hari per minggu (103 orang = 69%) dan lebih dari 12 jam per hari (91 orang = 61%). Yang juga menggembirakan, mayoritas PKL adalah bermodal sendiri yaitu mencapai 93 orang (62%) dan sisanya bermodal pinjaman, baik dari saudara ataupun perbankan yaitu mencapai 31 orang (21%) dan usaha patungan (26 orang = 17%). Secara umum, rata-rata dari mereka telah bekerja menjadi PKL lebih dari 5 tahun yaitu ada 87 orang (58%) dan yang lebih dari 10 tahun menjadi PKL hanya 5 orang (3%). Meskipun ada beberapa dampak positif atas eksistensi sektor informal - PKL di Solo, namun rumor atas penertiban PKL tetap saja ada dan ini secara tidak langsung memicu kecemasan publik, terutama bagi kelangsungan hidup para PKL. Di satu sisi, pemkot Solo juga terkesan mendua sebab kebijakan penertiban atau penataan PKL dilaksanakan setengah hati, sedang di sisi lain, dengan ketiadaan kepastian berusaha bagi PKL juga berimbas pada proses kelangsungan usaha PKL. Oleh karena itu, seharusnya pemkot Solo bisa lebih memacu peran sektor informal - PKL secara umum demi pemberdayaan ekonomi kerakyatan. G. Kesimpulan, Saran dan Keterbatasan 1. Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil penelitian ini yaitu: (1) Peran kaum perempuan di sektor informal, terutama PKL cenderung penting dan ada diantaranya yang dominan, (2) Keterlibatan kaum perempuan di sektor informal ada yang bersifat langsung, tapi ada juga yang tidak secara langsung, dan (3) Implikasi sosial – ekonomi dari keterlibatan kaum perempuan di sektor informal perlu dipertimbangkan sebagai basis kekuatan untuk meningkatkan bargaining power kaum perempuan secara lebih luas lagi. 9
2. Saran Beberapa aspek perlu diperhatikan dan menjadi saran yang harus ditindaklanjuti: (1) Pemerintah dan pihak terkait perlu memberikan perhatian lebih kepada kaum perempuan, terutama yang berhasil melakukan kegiatan atau peran ganda sebab ini juga berdampak positif bagi pemerintah - keluarga, (2) Perlu ada pendekatan makro untuk bisa lebih memberdayakan kaum perempuan sehingga keterlibatan mereka tidak lagi dianggap remeh, dan (3) Bias jender perlu diminimalisasikan agar perempuan dalam kapasistasnnya bagi kegiatan produktif bisa lebih dipacu. 3. Keterbatasan Keterbatasan dari penelitian ini: (1) Untuk kasus PKL yang tertata oleh pemkot semestinya tak hanya terfokus pada bidang usaha makanan sebab untuk kasus PKL yang tertata juga bisa melibatkan kasus di pasar klitikan di Semanggi, namun dalam penelitian ini tidak dilakukan, dan (2) Perlu dilakukan pendekatan yang berbeda untuk keterlibatan kaum perempuan pada kasus PKL yang tertata dan yang tidak tertata, termasuk juga untuk kasus PKL mandiri dan non-mandiri. H. Daftar Pustaka Arango, J. (2000), Explaining migration: A critical view. International Social Science Journal, 165:283–296. Braudel, Fernand (1992), Civilization and Capitalism 15th – 18 th Century, Vol.II: The Wheels of Commerce, Barkeley and Los Angeles: University of California Press. Greenwood, M.J. (1997), Internal migration in developed countries. In: Rosenzweig, M.R. dan Stark, O. (eds). Handbook of population and family economics. Volume 1B. Amsterdam: Elsevier, pp. 647–720. Haryono, Tulus, (1989), Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha Pedagang Kaki Lima: Studi Kasus di Kodya Surakarta, Tesis, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Hidayat (1983), Pengembangan Sektor Informal dalam Pembangunan Nasional: Masalah dan Prospek. Pusat Penelitian Ekonomi dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomi. Bandung: Universitas Pedjajaran. Ibnusalam (2002), Analisa faktor-faktor penyebab kemiskinan masyarakat desa: Suatu studi pada Desa Bulucina, Tarutung Sihoda-Hoda dan Desa Gontong Jae Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan, Tesis Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Lucas, R.E.B. (1997), Internal migration in developing countries. In: Rosenzweig, M.R. dan Stark, O. (eds). Handbook of population and family economics. Volume 1B. Amsterdam: Elsevier, pp. 721–798. Massey, D.S., Arango, J., Hugo, G., Kouaouci, A., Pellegrino, A. dan Taylor, J.E. (1993), Theories of international migration: A review, Population and Development Review, 19(3):431–466. Nugroho, Heru (1995), Kemiskinan, ketimpangan dan kebijakan dalam kemiskinan dan kesenjangan di Indonesia, Adity Mulia, Yogyakarta. Santoso, Slamet (2006), Kemampuan bertahan pedagang warung Hik di Kota Ponorogo, Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, 2006: 188-201 10
Soeratno (2000), Analisa Sektor Informal : Studi Kasus Pedagang Angkringan di Gondokusuman Yogyakarta, Jurnal OPTIMUM. Volume 1, Nomor 1 September, Yogyakarta. Suharto, E. 2003. Accomodating the Urban Informal Sector in the Public Policy Process: A Case Study of Street Enterprises in Bandung Metropolitan Region (BMR), Indonesia. Policy Paper – International Policy Fellow. (www.policy.hu). Suryahadi, A., W. Widyanti, D. Perwira, S. Sumarto, (2003), mMinimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Formal Sector, Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 39 No 1, hal.29-50. Tambunan, Tulus (2006), Keadilan dalam ekonomi, Makalah Kadin Indonesia – Jetro, Jakarta.
11