PENDEKATAN DALAM PENELITIAN MAKNA PADA INSTITUSI MEDIA MASSA Irwanto Program Studi Penyiaran Akademi Komunikasi BSI Jakarta Jl. Kayu Jati V No. 2, Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur
[email protected] Abstract Media institutions in this case the mass media has the power to condition the message to be understood by the people. At a critical perspective, it means that is consumed by the community is the result of a battle between media institutions. In this case, the meaning can not be separated from the text so that cultural factors also contribute to the meaning of the fight in the field. On the other side of the ideological media institutions bring each to be brought to the battlefield meaning to the power of the political economy of the media contributes to the war. Thus there are two approaches that can be used to assess significance. The first is known as the cultural studies approach and the second study political economy approach. As study materials, then both of these approaches are able to reach all aspects of the problem which is attached to the realm of study related to mass media institutions, including the battle of meaning in the mass media institutions Keyword : mass media, meaning, research Abstraksi Institusi media dalam hal ini media massa memiliki kekuatan untuk mengkondisikan pesan yang akan dimaknai oleh masyarakat. Pada perspektif kritis, ternyata makna yang dikonsumsi oleh masyarakat merupakan hasil dari pertarungan antar institusi media. Pada hal ini, makna tidak bisa lepas dari teks sehingga faktor budaya juga turut andil dalam pertarungan di medan makna itu. Pada sisi lain institusi media membawa ideologinya masingmasing untuk dibawa ke medan perang makna hingga kekuatan ekonomi politik media turut berkontribusi pada peperangan tersebut. Dengan demikian terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji makna. Pertama dikenal dengan pendekatan kajian studi budaya serta yang kedua pendekatan ekonomi politik. Sebagai bahan kajian, maka kedua pendekatan ini mampu menjangkau semua aspek persoalan yang tedapat pada ranah kajian yang berhubungan dengan institusi media massa, termasuk pertarungan makna pada institusi media massa. Kata kunci : media massa, makna, penelitian
I.PENDAHULUAN Pengalaman hidup manusia melewati indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan bau. Akan tetapi pengalaman manusia juga diperoleh dari sesuatu yang abstrak. Seperti halnya fenomena dan kesadaran dari yang dipikirkan, bandingkan serta melalui proses mental. Manusia memiliki kapasitas untuk memahami dunia dan sensasinya. Pemahaman yang dihasilkan tidak begitu saja secara sederhana dipahaminya dalam persepsi. Manusia pun sadar akan hal ini. Manusia sebagai makhluk ‘jiwa’ yang mencoba untuk ‘masuk akal’ dari dunianya sendiri. Manusia membagi pemahaman, pemikiran serta perasaan kepada orang lain melalui bahasa. Kapasitas manusia mengajak proses berbagi sangat ditingkatkan oleh perkembangan beragam bentuk media. Pada akhirnya
kemampuan manusia berbahasa, berbagi dan memahami pemahaman berujung pada kemampuan untuk memaknai. Sehingga mampu untuk melakukan persepsi, memprosesnya, memahaminya dan kemudian berbagi dengan orang lain. Pada sebagian orang beranggapan bahwa makna yang dijalani dalam kehidupan ini adalah hal yang sangat sederhana, seperti halnya proses bernafas dengan menggunakan udara. Proses ‘memaknai’ dipahami sebagai proses mengambil lalu diberikan serta refleksi bagaimana pemahaman tersebut dikonstruk. Namun makna tidak begitu saja hadir. Memaknai adalah proses aktif yang terebentuk dari cara manusia menghadapi dan berpikir. tentang dunia serta mencoba mencari cara untuk menyampaikan kepada orang lain mengenai apa yang 80
dipikirkannya. Memaknai juga merupakan menciptakan kembali (rekonstruk) . Dalam dunia kontemporer, memaknai kerap dibuat oleh institusi yang kita kenal dengan istilah media. Lembagai ini memproduksi makna menjadi profesi. Hal ini melibatkan munculnya hubungan kekuatan antara orang-orang dalam pengaturan kelembagaan. Pengungkapan agenda, kepentingan dan perjuangan antara orang-orang seperti itu membantu memberi wawasan ke dalam dunia makna yang dilalui. Memahami makna dalam lingkungan tidak hanya pekerjan akademik saja. Bagaimanapun juga kegagalan dalam merefleksikan makna berpotensi dapat menimbulkan manipulasi bagi mereka yang merefleksikan proses komunikasi ini, dan mengurangi kapasitas keterlibatan dalam lingkungan demokrasi. Bagi mereka yang tertarik dalam pengungkapan makna dalam perspektif kritis terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan, yang pertama dikenal dengan pendekatan kajian studi budaya dan pendekatan ekonomi politik. Kajian budaya fokus pada dekonstruksi teks dan sistem koding sebagai upaya menghilangkan ketidakjelasan makna. Contohnya: kajian budaya tentang penyanyi pop Madona diluar dimensi musik. Kajian ini mengeksplorasi apa yang dikomunikasikannya tentang perilaku kontemporer melalui pemikiran feminisme. Sebuah analisa tentang Madonna dan fans nya bisa menjadi sebuah studi tentang tubuh wanita, seksualitas dan hubungan gender dipahami (dikonstruk) dalam konvensional dan alternatif sub budaya. Sementara pendekatan ekonomi politik fokus pada bagaimana makna dibuat oleh orang-orang yang terlibat dalam proses produksi makna. Hal ini melibatkan eksplorasi posisi sosial orang-orang, hubungan diantara mereka, perebutan makna-produksi dan organisasi. Sebagai contoh, ekonomi politik menggunakan kemungkinan hubungan antara isi pemberitan The Australian dan fakta bahwa surat kabar ini bagian dari korporasi yang dimiliki oleh Rupert Murdoch. Kedua pendekatan kritis ini saling melengkapai dan bisa secara bersama diaplikasikan untuk mendekonstruksi efek maksimum saat menganailsa proses komunikasi. Studi budaya memberikan wawasan bahwa manusia berenang dalam lautan makna yang menghasilkan proses semiosis yang berguna dalam menyediakan titik awal penggunaan semiotika. Kita lahir ke dalam kolam makna dan alami proses internalisasi hingga kita bersosialisasi dan belajar berkomunikasi. Berbagai kolam komunikasi telah muncul sebagai kelompok atau struktur makna yang telah beku dari waktu ke waktu. Kolam komunikatif ini adalah gaya 81
komunikasi atau pola sirkulasi yang diambil pada bentuk identifikasi yang kita sebut sebagai masyarakat atau budaya. Kolam makna telah berkembang menjadi ‘budaya global’ yang telah digabungkan dari berbagai variasi sub kolam (atau masyarakat) termasuk diantaranya Inggris, Amerika, Kanada dan Australia. Pada masyarakat barat, variasi kolam telah tergabung dalam produksi dan sistem sirkulasi yang kita kenal dengan sebutan media. Sebagaimana salah satu diantara kita yang telah terinternalisasi dengan makna yang ada disekeliling kita sebagai manusia dan anggota dari dari variasi grup sosial budaya. Makna ini kita gunakan untuk menghasilkan persona, untuk negosiasi dan posisi kita di lingkungan sosial. Tetapi juga membantu untuk menciptakan dan meyebarkan makna ini untuk proses hidup. Karena masyarakat dan budaya tidak statis-mereka terus menerus menemukan kembali serta berjuang, tiap individu memberikan kontribusi untuk membentuk makna sosial dalam proses komunikasi sehari-hari. Kita tidak dapat menolong tapi hanya mengubah struktur koding ketika individu berjuang agar masuk akal serta memberikan bentuk terhadap dunia ini. Sebab itulah, kolam makna tadi yang membentuk kita dan pada gilirannya kita dibentuk melalui kehidupan kita. Pergeseran kecil dalam kolam makna akan menjadi perbedaan dalam tiap generasi. Budaya kita berubah dan berkembang karena proses komunikasi koding dan dekoding tidak dapat dihitung dan transaksi kreatif antar manusia terus berkembang. Begitu juga yang terjadi pada media massa di Indonesia, baik itu cetak maupun elektronik. Monopoli, konglomerasi dan hegemoni media dipegang oleh kalangan tertentu. Ini berimplikasi terhadap pesan yang berada di ruang publik. Tiap-tiap perusahaan media tersebut berlomba-lomba menguasai opini publik. Hal seperti ini sangat terasa sekali ketika masa menjelang kampanye atau pada saat kampanye, baik itu pada tingkat lokal seperti halnya pemilihan kepala daerah atau pada saat pemilihan presiden. Bahkan pada pemilihan presiden 2014 beberapa media secara terang-terangan berpihak pada salah satu kontestan. Di era kampanye 2014 lalu, bentuk komunikasi politik yang sewajarnya dibolehkan hanya lewat kampanye dan dengan durasi waktu yang telah ditentukan, namun semua itu dilanggar. Berita yang seharusnya tidak bermuatan tendensius mendekung partai politik atau calon presiden malah menjadi mesin kampanye. Ranah jurnalistik berubah menjadi medan perang para kontestan politik. Rakyat awam tidak bisa membedakan mana yang seha-rusnya diterima sebagai berita dan mana yang seharusnya dipahami sebagai kampanye. Ini terjadi karena pertarungan makna pada media massa.
Tentunya persoalan ini akan menarik untuk dijadikan objek penelitian. Tulisan ini menawarkan pendekatan yang dapat digunakan peneliti untuk dijadikan metode yang dapat digunakan dalam penelitian media massa. II. PEMBAHASAN 2.1.Ekonomi-Politik Pada Kontekstualisasi Media Membicarakan makna, lazimnya tidak bisa lepas dari kekuasaan dan otoritas komunikator, dalam hal ini institusi media. Konten yang diterima dan dikonsumsi audien yang berupa makna tadi bukan hanya hasil dari proses komunikasi tapi juga hasil dari proses ekonomi, bahkan kekuasaan. Ekonomi politik media memandang bahwa, institusi media harus dipandang sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga berkaitan erat dengan sistem politik. Teori ini memusatkan perhatian pada media sebagai proses komunikasi yang menghasilkan komoditas (isi). Menurut Garnhan, McQuail dalam Kansong (2009:66) menyebutkan kualitas pengetahuan tentang masyarakat yang diproduksi oleh media, sebagian besar dapat ditentukan oleh transaksi berbagai ragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan pasar, pasar, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik media. Berbagai kepentingan tadi terkait erat dengan kebutuhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil kerja media dan juga untuk kepentingan bidang usaha lainnya untuk memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal maupun horizontal. Keuntungan yang dimaksud tidak hanya berupa uang dan materi saja namun juga kontrol terhadap isu, wacana, serta opini yang berujung pada kekuasaan. Jelas sekali bahwa teori ekonomi politik media memandang media sebagai institusi ekonomi yang berupaya mencari keuntungan dalam bentuk materi dan kekuasaan. Dengan demikian, memandang institusi ekonomi memiliki kekuatan dalam memproduksi dan mendistribusi makna memiliki landasan yang kuat dalam dunia komunikasi. Dalam kajian komunikasi, manusia berada pada kolam makna, dan kolam makna yang kita huni ini tidak didasari oleh tindakan komunikasi individu secara acak. Tentu semua individu berperan dalam pembuatan, serta sirkulasi makna. Namun beberapa dari individu dan kelompok mempunyai kekuasaan yang lebih dibandingkan dengan yang lain dalam hal proses memproduksi makna. Posisi masyarakat dibedakan berdasar hubungan kekuasaan yang ada dalam masyarakat tersebut.
Jabatan seseorang adalah masalah yang kontekstual. Masing-masing orang yang terlibat komunikasi adalah bagian dari konteks yang dibedakan oleh tempat dan waktu. Makna yang dikonsumsi masyarakat membut ikatan kontekstual, berakar, dalam situasi yang unik dan saling berhubungan. Kekuatan pendekatan ekonomi politik menekankan pada analisa kontekstual komunikasi. Selama ekonomi politik hadir, makna dibutuhkan untuk melihat eratnya ikatan (fisik dan sementara) dalam wadah yang dibuat dan digunakan oleh masyarakat sendiri. Seperti halnya gagasan untuk menghilangkan makna kebenaran yang valid. Sebab itulah, pendekatan ekonomi politik mencari ide yang mana makna orisinal si pencetus awal dapat ditransportasikan secara sederhana melampau ruang dan waktu. mungkin naif. Jadi makna bukanlah permainan bahasa gratis, sebagaimana kosmologi Derrida (1976) atau Laclau dan Mouffe (1985). Meski, makna dipahami sebagai permainan bahasa, tapi bahasa tersebut terikat secara khusus pada sebuah hubungan manusia, yang berdasarkan kenyataan dan waktu yang terukur. Periode waktu, tempat dan kekuasaan merelatifkan kebenaran. Banyak kebenaran yang sifatnya kontekstual serta hubungan kekuasaan memberikan sebuah kebenaran. Ekonomi politik menguji ‘makna’ yang menaruh perhatian pada pemetaan hubungan manusia dan cara individu dalam meraih kekuasaan melalui jabatan mereka, dan jabatannya di dalam media serta sistem sirkulasinya. Gagasan ini mutlak bahwa makna berjuang sebagaimana orang-orang bekerja untuk peningkatan jabatan mereka. Pada bingkai ini, makna berimplikasi pada persoalan kontekstual yang berakar pada proses perebutan dan akuisisi kekuasaan. Memperoleh akses ke sarana produksi komunikasi atau sirkulasi merupakan upaya memproleh kekuasan. Dalam konteks apapun, kunci utamanya adalah dengan kekuasaan, akan memperoleh dampak yang luas dalam prose pembuatan makna dan sirkulasinya. Sebab mereka memiliki akses yang luas dalam mengkoding sistem sirkulasi. Tidak heran, wacana yang diproduksi (seperti halnya redaksi, film atau studio tv, parlemen, pengadilan, perguruan tinggi dan balai riset) dan media tempat wacana tersebut akan dilalui sseperti halnya sekolah, media massa dan perusahaan telekomuniksi adalah wadah penting untuk melakukan perjuangan. Terdapat perjuangan yang konstan dalam merebut akses dan atau malah akses itu dibatasi. Kolam makna tempat dimana kita dilahirkan adalah hasil dari pertarungan masa lampau yang berakar pada hubungan konteks masa lalu. Seperti halnya hasil perjuangan dimana kita terlibat dalam kahidupan kita untuk membantu dalam membentuk kolam 82
makna untuk generasi selanjutnya. Sifat dan hasil dari pertarungan ini mendefinisikan tekstur setiap konteks. Dalam ekonomi politik, tekstur bukanlah masalah pokok. Sebaliknya, tekstur unik dari setiap waktu dan tempat malah menyediakan wawasan kunci ke dalam sifat dari setiap ‘makna’. Untuk alasan ini hubungan kekuasaan antar manusia merupakan variabel sentral sebagai peta bagi siapa saja yang mencoba memahami mengapa seperangkat makna beredar pada waktu dan tempat tertentu. Namun peta kekuasan adalah persoalan kompleks seperti makna pemetaan yang terus-menerus mengalami pergeseran, begitu juga halnya distribusi kekuasaan. Terdapat berjuang kekuasaan pada semua kelompok manusia dan penataan yang konstan dalam pemenang dan yang kalah dalam pertarungan itu. Pergeseran kekuasaan pun terjadi sehingga terdapat dinamika makna dan perubahan produksi. Sampai disini, peta mekanik dari produksi makna sangat kontekstual dan digunakan sesuai waktu, tempat serta pergantian hubungan makna sehingga terdapat dinamika makna
.dan perubahan produksi. Sampai disini, peta mekanik dari produksi makna sangat kontekstual dan digunakan sesuai waktu, tempat serta pergantian hubungan makna
dengan harga lebih murah. Sirkulai yang dikenal dengan massa ‘penny press’ terbentuk. Akhir abad 19, Amerika menemukan ‘korporasi’ sebagai bentuk organisasi. Sebuah bentuk industri budaya dan produksi serta distribusi makna.
Selanjutnya hal ini akan menjadi bentuk praktek baru bagi perkembangan suratkabar, majalah, film, radio dan televisi pada akhir abad 20 (praktek edukasi juga termasuk ke dalam industri masif makna). Tibanya jaringan digital elektronik selama tahun 1990 maka
83
2.2. Produksi Makna Secara Institusional – Media Abad 20 memperlihatkan mulainya industrialisasi makna oleh ‘Barat’. Prosesnya dimulai oleh suratkabar. Walau aslinya suratkabar dimulai pada abad 15 di Jerman, namun hal itu tidaklah benarbenar secara institusional. Sirkulai media berkembang sesuai dengan revolusi industri. Abad 19 membawa berbagai perkembangan pada kreasi baru dalam berkomunikasi, diawali oleh negara-negara Anglo lalu menyebar keseluruh penjuru dunia. Penemuan cara untuk memproduksi kertas dan tinta secara murah, mesin cetak dan mesin set mewujudkan teknologi untuk menghasilkan suratkabar. Revolusi industri juga membantu dalam penemuan jalan raya, rel KA sebgai transportasi untuk menyebarkan pasar suratkabar tersebut. Lalu munculah iklan, yang memungkinkan untuk membuat suratkabar
praktek ini mendapat tanda-tanda akan dimodifikasi. Pada dasarnya, bentuk industrialisasi komunikasi ini melibatkan intelektual yang terinstitusional. Intelektual datang untuk bekerja di dalam organisasi yang memiliki hirarkis dan mekanisme. Dalam gambar 1 merepresentasikan komunikasi pada pra industrialisasi. Gambar 2 merepresentasikan efek dari industrialisasi pembuatan makna. Dalam gambar 1 komunikasi adalah proses penyebaran. Makna mengalir diantara komunikator dan penerima (makna). Dalam faktanya peran komunikator dan penerima bisa berubah. Makna yang dihasilkan terlepas dari peran tadi. Medium hanya fasilitas untuk melakukan proses pertukaran tersebut. Pada gambar 2 komunikator bekerja pada institusi komunikasi – bentuk dari medium menjadi bagian inti dari proses komunikasi dan komunikator menajadi berfungsi sebagai industri budaya. Penting dalam model ini bahwa medium ‘kacau’ sebab menjadi satu dengan komunikator. Berangkat dari sudut pandang audiens atau penerima, tiap jarak antara komunikator dan dan medium menjadi tidak penting – ia tampak menjadi bagian dari entitas organisasi ; media. Dalam perasaan komunikator telah terjadi de-personalisasi, ide individunya tidak lagi menjadi penting dalam model komunikasi gambar 2. Pada ini, penerima mengonsumsi makna, dan ketika . menerima produk dari industri budaya, maka hal ini menjadi identitas kolektif organisasi. Produk akhir merupakan hasil kerja para pegawai dalam organisasi. Ini semakin sulit untuk diidentifikasi, apakah opini atau hasil kerja sang pemilik media. Lebih lanjut tentang pemilik, kita akan menemukan peran institusi (yang diarahkan untuk kepentingan institusi). Intelektual organisasi menciptakan makna yang didistribusikan melalui aturan ‘organisasi’ yang memerintah dan mengontrol dirinya. Lebih jauh institusi komunikasi merubah peran penerima dalam proses komunikasi, yang awalnya sebagai partner (gambar 1) dalam menciptakan makna menjadi audiens yang pasif (gambar 2). Alur isi pernyataan menjadi satu arah, dalam industrilisasi komunikasi hanya terdapat jangkauan yang kecil untuk feedback. Secara simultan kapasitas untuk membawa pesan telah jauh berubah. Melalui industrialisasi komunikasi jangkauan dan potensi pesan yang diantar berubah secara dramatis. Saat ini sulit mencari jarak bagi seseorang untuk keluar dari jangkauan media. Jadi media massa secara simultan meningkatkan pula jangkauan komunikator profesional. Ketika secara dramatis menyempitkan peran penerima menjadi makhluk pasif dalam pembuatan makna. Akibat hal ini industri budaya khas melakukan rekonseptualisasi
akan audiens sebagi massa penerima menjadi target yang tidak dikenal (publik). Komunikator secara efektif melakukan de-personalisasi kepada penerima pesan. Termasuk yang dialamatkan kepada manusia, mereka akan lebih konstruk untuk menjangkau publik melalui tekhnik sebagai laiknya komunikator profesional. Karena kualitas kemanusiaan dari pesan itu telah mengalami pengurangan dalam waktu yang bersamaan dan potensinya telah berubah oleh industrialisasi (Schoor, 1986:115-120) Proses industrialisasi komunikasi mengarahkan pada komunikasi massa, yang terdapat konsep top-down dan manipulasi. Industrialisasi mengurangi jarak bagi orang biasa (awam) untuk menciptakan makna. Akhirnya komunikasi massa terstruktur dan top-down serta memiliki satu arahan (uni-directional), tidak sebagaimana laiknya komunikasi popular yang membiarkan arahan dari manapun (multi-directional) dan komunikasi dengan pola bottom-up (White 1980: 24). Mahzab Frankfurt menaruh perhatian mengenai industri budaya yang bertugas untuk mengenali, media massa yang mengarahkan dirinya kepada retorik (top-down), melakukan manipulasi dan kontrol. Bagi mahzab Frankfurt, industrialisasi komunikasi mengkreasikan sisi efek negatif. Hal ini meningkatkan kesempatan untuk memanipulasi/mengkontrol komunikasi ketika terjadi reduksi jarak untuk melakukan (komunikasi) dialog. Mahzab Frankfurt memandang ini sebagai produksi ‘masyarakat’. Pada hal ini masyarakat mayoritas dipercaya menjadi konsumen pasif dari produksi makna secara massif. Perihal ini menumuhkan masyarakat pasif ‘satu-dimensi’. Dimensi ini terlihat sebagai hasil alami dari penyempitan jangkauan suara/opini yang didistribusi secara lebar dan ‘keras’ oleh media massa. Ini adalah efek megapon sebuah industrialisasi yang cenderung untuk ‘mendiamkan’ suara-suara yang menurrut media itu tidak pantas utuk didistribusikan. Dilihat dari sisi yang berbeda, media menjadi agenda-setter. Menurut Cohen (1963;13), media boleh jadi tidak sukses dalam menyuruh orang utuk berpikir tentang apa, tapi sukses menyuruh pembaca tentang apa yang diceritakannya. Ini telah diargumentasikan bahwa masyarakat industri media massa mengatur agenda medianya untuk disebarkan pada masyarakat. Sementara masyarakat cenderung berpikir tentang posisi media dalam diskusi agenda sosial. Bila posisi ini diterima, maka relatif hanya segelintir kelompok komunikator profesional tang terlibat aktif dalam mengambil keputusan agenda untuk ‘massa’. Jadi industrialisasi pemaknaan terlihat menyempitkan pilihan dalam komunikasi. Namun pada 1990 an industri budaya mulai mengalami reorgaisasi sebagai penyesuaaian terhadap kemungkinan 84
adanya temuan teknologi informasi. Intinya ketika logika Ford telah masuk dalam industri budaya. Secara teoritis hal ini mengkreasikan kemungkinan untuk menarik kembali media massa – karena komersialisasi media tidak lagi mengkonfirmasi logika produksi massa yang bertujuan untuk mencari pasar. Bagimanapun juga industri budaya tidak secara fundamental menantang logika industri produksi media. Ini mudah terlihat dari audiens media massa yang terfragmentasi, yang artinya media profesional menjadi spesifik dalam mentargetkan sasaranya. Akan terjadi peningkatan jangkauan kepada komunikator profesional untuk memanipulasi audiens lebih efektif. Tekhnologi media yang baru memiliki banyak kemungkinan untuk pengembangan bentuk alternatif (dialog-non top down) komunikasi yang secara fundamental menantang ‘satu-arah’ industri budaya abad dua puluh. Tapi seiring dengan berkembangya jaman, tidak ‘pas’ lagi, zamannya korporasi media global yang sukses melakukan kolonisasi jarak berdasarkan teknologi masa kini. Dalam pandangan mahzab Frankfurt hal tersebut adalah benar, industrialisasi komunikasi mereduksi jarak dari ‘bawah ke atas’ melakukan pertarungan makna saat mendapat kemungkinan terjadinya kontrol dari atas ke bawah. Kajiannya juga menyadarkan bahwa media memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi opini. 2.3. Pertarungan Makna Makna tidak dapat dipahami dari luar kekuasaan dan pertarungan konteks yang spesifik. Sebagai contoh ‘affirmmative action’ mengandung satu makna di Amerika, ketika hal tersebut dideskripsikan sebagai kebijakan terhadap meningkatnya representasi etnis minoritas dalam beberapa kategori jabatan. Berbeda dengan di Afrika Selatan, affirmmative action dipahami sebagai adanya reposisi etnis mayoritas dalam kekuasaan. Pada akhirnya, seluruh masyarakat memiliki kelompok yang dominan dan mendominasi. Kelompok dominan memiliki dua mekanisme untuk menciptakan dan mempertahankan dominasi, yakni menggunakan kekerasan bagi siapapun yang melawan kepentingan mereka, atau mengkreasikan dominasi pada tatanan sosial yang memberikan mereka posisi dominan. Pada umumnya semakin legitimate sekelompok orang, kian sedikit pula kekerasan yang digunakan. Dalam situasi delegitimasi yang serius, militer bisa dikerahkan. Sebagai contoh; Malaysia pada tahun 1960, Vietnam pada tahun 1950 sampai 1970, Indonesia (Aceh) dan Checna (Rusia) pada tahun 90 an. 85
Pada situasi normal, kelas dominan tidak gunakan kekerasan karena mereka sukses mengkriminalisasi siapapun yang tidak tunduk dengan aturannya. Ini berarti masyarakat ‘memahami’ bahwa hukum hanyalah sekadar ‘hukum’. Jadi ketika polisi, pengadilan, penjara digunakan terhadap para kriminal yang mengancam sistem seolah terlihat hal yang sah. Aturan kelompok dibuat untuk melindungi dominasi mereka. Dalam hal ini proses pembuatan dan sirkulasi makna menjadi hal penting bagi mereka yang akan mendominasi. Louw dalam Gramsci (1971) mencatat, elemen kunci dalam membangun atau mempertahankan dominasi yaitu dengan suksesnya memanipulasi makna. Kelompok dominan tentu terlibat dalam proses membangun hegemoni, dan inti dari proses ini adalah karya intelektual yang terlibat dalam resultan pertarungan makna. Bagi Gramsci, ada dua jenis intelektual yakni, tradisional dan organik. Intelektual tradisional adalah mereka mengadopsi cita-cita luhur dan menahan diri menjauhkan diri dari perjuangan kontemporer. Sedangkan intelektual organik, tumbuh secara organik dari jajaran kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kelompok ini mengasilkan ide yang terjerat dengan aspirasi kelompok mereka berasal. Yang penting, untuk Gramsci, pertarungan tentu terjadi karena akan selalu ada konflik kepentingan antara kelompok dominan dan yang didominasi. Dalam pandangan Gramsci, gagasan bahwa intelektual organik selalu terlibat dalam pertarungan untuk membantu kelompok dominan melawan kolompok yang didominasi. Bagi Gramci, makna merupakan hasil dari pertarungan para intelektual hingga makna itu bersifat cair. Kelompok dominan berada dalam posisi yang untung, karena mereka mempunyai sumber yang bisa digunakan untuk mempayar para profesional intelektual. Dalam angapan ini pemilihan presiden dan legislator dalam sistem demokrasi diuntungkan dengan sumbersumber yang digunaknnya untuk membuat kampanye dan donasi yang besar. Kontestan mampu untuk membayar konsultan terbaik dan public relation (PR) politik untuk meningkatkan peluang sukses dengan meningkatkan kemungkinan menempatkan ide-ide mereka pada agenda sosial. Gramsci melihat mengenai pandangan intelektual yang akan dijadikan titik awal guna menganalisa produksi makna. Bagi Gramsci, para intelektual membangun hegemoni. Hegemoni adalah kreasi dan pemeliharaan dari kelompok yang mendominasi kepada kelompok yang didominasi. Menurut Gramsci, ini melibatkan intelektual dengan tiga tugas nya; Pertama, mereka membantu membangun legitimasi bagi kelompok dominan suatu masyarakat. Ini melibatkan organisasi dan dukungan kepada kepentingan
dan tujuan kelompok dominan tersebut. Ini juga berarti kelompok yang didominasi menerima ‘kepemimpinan’ dan aturan-aturan dari kelompik dominan. Legitimasi ini, hal ini makin mudah terlihat dalam sistem media dan pendidikan. Kedua, para intelektual membantu organisasi dan berkompromi. Perihal ini jelas terlihat dalam parlemen, ketika perjanjian, kompromi dan tawar-menawar terjadi antara kelompok yang saling berkepentingan. Ketiga, para intelektual membantu melakukan strategi untuk mengarahkan kekuatan politik. Bagi Gramsci, kekerasan mendasari seluruh hegemoni. Mungkin tidak benar-benar perlu menggunakan kekerasan terhadap sebagian besar warga namun ancaman kekerasan niscaya ada dimana-mana. Sebuah contoh adalah penegakan aturan hukum oleh polisi dan sistem peradilan. Bagi kebanyakan warga, memahami konsekuensi dari melanggar hukum sudah cukup untuk mencegah mereka dari melakukannya. Para intelektual mengatur hal ini menjadi sebuah 'kekuatan' yang sah. Gramsci menambahkan tugas intelektual, yaitu pengembangan pengetahuan teknokratis, yaitu intelektual membantu untuk mengatur perekonomian yang berhubungan dengan produksi. Louw dalam Habermas (1971) mengemukakan bahwa ideologi teknokratis, yakni naturalisasi 'kemajuan' didasarkan pada perkembangan teknologi, ini telah diadopsi pada masyarakat Barat. Pada akhirnya, kolam makna dalam konteks apapun adalah hasil dari hegemonik dan kontra- hegemonik dan keterlibatan atau pertarungan atau persaingan makna. Budaya dibangun dari hasil perjuangan tersebut yakni dari proses pengkodean hegemonik dan kontra hegemonik, dari proses penerimaan dan pengkodean kembali, dari hybridisasi dan sintesis. Untuk lebih detilnya, hasil (makna) diperoleh juga dari sistem budaya lain karena tidak terisolasi dari satu sama lain . Terkadang makna tersebut sengaja direkayasa oleh para intelektual sebagai bagian dari pertempuran hegemonik mereka. Tetapi banyak informasi dan ide-ide (makna) yang diperoleh dari aliran informasi global. Oleh karena itu , perjuangan dalam satu konteks dapat menghasilkan pergeseran makna yang secara tidak sengaja tumpah ke dalam konteks lain . Sebagai contoh,wacana multikulturalisme pada awalnya dikembangkan untuk yang berurusan dengan masalah sosial Amerika Utara tetapi menyebar melalui intelektual ke Australia. Penting, perjuangan atas makna tidak perlu dilihat sebagai Fenomena murni subjektif karena pergeseran makna memiliki konsekuensi materi dan sebaliknya. Valentin Volosinov (1973) memelopori gagasan perjuangan semiotik yang bersamaan didasarkan pada perebutan makna dan perebutan sumber daya material sehingga dengan mengubah
sifat berarti kita juga bisa mengubah interaksi manusia, organisasi sosial dan distribusi sumber daya. Keberhasilan Feminis dalam menempatkan isu-isu gender dalam agenda sosial, Misalnya, interaksi manusia berubah, praktek kerja dan sumber daya distribusi dalam masyarakat Barat maju. Kebalikannya juga benar dari perspektif Volosinovian: mengubah pergeseran hubungan interaksi manusia yang kemudian menggeser makna. Misalnya, transfer kesejahteraan ke tangan kulit hitam pasca-apartheid di Afrika Selatan dengan cepat mengubah banyak mantan pro-sosialis 'kawan-kawan' ke pro-'perdagangan bebas' pengusaha. Interaktivitas ini antara struktur sosial, ekonomi dan kesadaran signifikasi juga bidang yang menarik buat tertarik Jurgen Habermas. Bagi Habermas, interpenetrasi kompleks dari material dan tindakan subyektif serta kesadaran merupakan ‘kehidupan’. Namun pandangan, Volosinov akan kompleksitas ini termasuk keprihatinan dengan apa yang mungkin disebut ‘pertarungan bahasa ‘ – pertarungan untuk mengkonstruk dan merekonstruksi masyarakat, budaya dan sistem ekonomi, pada beberapa bagian, pertarungan melibatkan pelepasan dan perebutan kembali makna sampai ke tingkat terkecil signifikansi, yaitu tandatanda. Tapi pergeseran semiotik menghasilkan perubahan lebih dari bahasa dan pandangan dunia (bagaimana kita ‘melihat’ dan ‘berbicara’ tentang dunia), dan ini dapat mengubah cara hidup manusia. Manusia selalu diposisikan dan direposisi dalam hubungan yang berubah ini. Jadi ada kemungkinan memproduksi satu set makna dominan yang permanen stabil. Sebaliknya, pekerjaan hegemonik melibatkan tugas yang tidak pernah berakhir menghadapi tantangan, penyimpangan, penerimaan, pelencengan, pergeseran pola aliansi antara relasi sosial. Makna hanya hegemonik sementara. Karena, dari saat konsepsi, mereka berada di bawah tantangan. Meskipun demikian, akan selalu ada beberapa intelektual berusaha mengendalikan dan menstabilkan makna. Kemudian menjadi pertanyaan sampai sejauh mana makna dapat dikendalikan? 2.3. Pengendalian Makna Secara luas terdapat dua perspektif pada kontrol makna. Pendapat pertama menyatakan bahwa makna yang dikonsumsi dapat dikendalikan dan dimanipulasi. Dalam konteks ini mahzab kontrol memegang peranan penting sebagai dasar pemikiranya. Sedang aspek teori peluru dan konsep propaganda menjadi landasan untuk menganalisanya. Sehubungan dalam hal ini konsep kaum Marxis ortodoks (dalam ideologi kelasnya) serta strukturalis menjadi irisan pemikiran ini. Sebab mereka mempercayai adanya 86
penjara rumah bahasa. Makna yang hadir di tengah audiens sebagai sesuatu yang tersandera oleh bahasa. Di sisi lain, ada pendekatan tentang makna yang berpendapat bahwa makna liar yang artinya tidak dapat dikontrol karena penerima aktif untuk membaca, menafsirkan dan mengirim makna bagi diri mereka sendiri. Pendekatan ini menekankan kreatifitas manusia yang aktif dalam proses komunikasi dan menantang gagasan bahwa auidens mudah tertipu dan sangat terbuka untuk dimanipulasi oleh komunikator profesional. Pendukung pendekatan ini David Morley (1992) , John Fiske (1987) dan teori penerimaan Holub (1984) . Dua perspektif ini tidak perlu dipaksa saling mutual. Hal ini dimungkinkan untuk memahami individu dan kelompok yang berusaha untuk mengendalikan produksi dan distribusi makna yang sukses pada kelompok dan konteks tertentu, namun tidak berhasil pada orang lain. Hal ini sama, seperti halnya membayangkan berbagai tingkat pembaca aktif atau penerima yang berada pada konteks yang berbeda, kasus ini menantang pendekatan komunikasi manipulatif. Pada akhirnya, bagi kebanyakan orang, mungkin akan ada dialektika yang terus bergeser antara menjadi rentan terhadap manipulasi atau kontrol dan keterlibatannya dalam penerimaan. Pergeseran dialektika terkait dengan relasional berbasis kontekstual variabel, mengubah keanggotaan kelompok dan perbedaan individu yang menentukan kecenderungan seseorang untuk menjadi audiens yang aktif. Terdapat kejelasan bahwa akan selalu ada beberapa individu atau kelompok yang berusaha mengendalikan makna. Pondasi ini adalah persaingan sumber daya yang mencakup material, budaya dan status. Kehidupan ini ditetapkan oleh parameter sosial yang memfasilitasi atau menghambat akses ke sumber daya tersebut. Konteks berbeda sehubungan dengan bagaimana sumber daya yang terbatas. Selama ada sumber daya yang memadai untuk memenuhi semua, maka pertarungan akan terjadi antara kelompok dan individu. Dan hasil dari perjuangan tersebut adalah aturan tata kelola dalam konteks apapun. Para pendukung perspektif Gramsci sampai Foucault sepakat pertempuran atas makna terpusat dalam hal ini, karena aturan ditetapkan dalam makna-struktur. Setiap pemain yang terlibat dalam proses sirkulasi makna dapat melakukan kontrol. Satu kelompok akan memperoleh keuntungan lebih dari kelompok lainnya. Keyakinan bahwa beberapa telah berhasil melakukan ‘kontrol’ atas makna akan menghasilkan kekhawatiran tentang penyimpaangan dan pembatasan terhadap proses komunikasi. Pandangan ini menimbulkan sebuah gagasan komunikasi yang terdistorsi, 87
yakni terjadi pengurangan dalam bentuk ideal komunikasi. Gagasan 'komunikasi terdistorsi' selalu mengasumsikan bahwa komunikasi non-terdistorsi bisa eksis. Ini juga menyiratkan beberapa agen manusia harus disalahkan akan distorsi tadi. Jadi menimbulkan pertanyaan: apa yang mendorong agen tersebut mendistorsi komunikasi? Eksplorasi ini telah berkembang dari teori mutakhir - sebagian besar berhubungan dengan Marxis yang bermutasi konsep 'ideologi' melalui konspirasi sederhana teori media kontrol dan kepemilikan. Pendekatan lain untuk kontrol makna, yaitu proses komunikasi yang dibatasi dalam beberapa cara. Ada dua pandangan akan hal ini, yaitu; human condition dan human action. Ide pandangan pertama menyatakan bahwa proses komunikasi pada manusia ialah 'alami'. Pendukungnya adalah kaum strukturalis Perancis yang diprakarsai oleh Saussure, yang percaya bahwa manusia lahir ke dalam struktur linguistik yang kemudian mengatur (membatasi) pengalaman dan perilaku. Pada pendekatan ini , ada pembatasan komunikasi karena manusia selalu ditakdirkan oleh ‘penjara-rumah bahasa’ yang permanen. Pemikiran linguistik ‘penjara’ dibangun oleh siapa pun sehingga tidak bisa ditantang atau diubah. Sebuah versi modifikasi dari ‘linguistik penjara’ dikembangkan oleh Volosinov, yang menerima bahwa penataan pembatasan terjadi secara alami , tetapi tidak percaya bahwa struktur seperti itu secara permanen. Sebaliknya, ia melihat tindakan manusia berinteraksi dengan struktur bahasa yang dialami sehingga dapat dialihkan dan berkembang. Pandangan kedua menganggap pembatasan komunikatif tidak ‘alami’ melainkan sebagai hasil produksi manusia. Pembatasan tersebut dilakukan secara sengaja ketika komunikator profesional sadar memutuskan untuk memanipulasi atau mensensor arus komunikasi. Namun bisa jadi, pembatasan tidak perlu dilakukan dengan sengaja. Sebab komunikator profesional dengan sadar melakukan praktek penyempitan aliran informasi sebagai bagian dari standar prosedur ataupun kebijakan institusinya. Ternyata aspek “memilih, bisa diajarkan dan berprilaku sesuai kehendak hati” yang terdapat pada jiwa manusia dilupakan pada kedua pemahaman tentang kontrol komunikasi. Manusia bisa memilih, bisa diajarkan dan berprilaku sesuai keinginannya, ini bisa mengurangi efek “membatasi” tadi. Pada pandangan ini akan muncul kelompok yang bisa menggeser media dan lembaga sejenis dalam memposisikan wacana di ruang publik. Ini bisa dilihat di Amerika Utara dan Australia dengan adanya feminis, gay, dan etnis
minoritas yang bisa dimobilisasi. Contoh lain di Afrika Selatan yakni berubahnya wacana dominan pemerintah yang beredar. Nasionalisme hitam diganti nasionalisme Afrika sebagai wacana dominan dan elit penguasa baru berusaha 'mengajar' orang untuk 'melihat' dan berperilaku berbeda.
Van Schoor, M. 1986. What is Communication? Pretoria: J.L. Van Schaik.
III. PENUTUP Makna yang terdapat dalam dalam dunia komunikasi bukanlah sekadar hasil dari distribusi simbol komunikator dalam hal ini media kepada audiens. Namun lebih pada hasil pertarungan relasi-relasi sosial yang terlibat dalam produksi, distribusi dan konsumsi makna itu sendiri. Betapapun institusi media melalui kekuatan ekonomi-politiknya berupaya untuk melakukan kontrol terhadap makna, namun pada sisi lain audiens mempunyai otoritas sendiri untuk memaknai makna itu sendiri. Semua aktor relasi-relasi sosial yang aktif dalam memproduksi, mendistribusi dan memaknai makna itu sendiri. Pada akhirnya makna dalam komunikasi bukanlah sekadar objek yang dibatasi oleh pemahaman gramatikal namun lebih pada objek yang memiliki ideologi dari pemenang dalam pertarungan makna. DAFTAR PUSTAKA Cohen, B.C. 1963. The Press and Foreign Policy. Princeton. NJ: Princeton University Press. Derrida, J. 1976. Grammatology, Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press. Fiske, J. 1987. Television Culture. London: Routledge. Holub, R. 1984. Reception Theory. London: Methuen. Kansong, Usman. 2009. Ekonomi media : pengantar konsep dan aplikasi, Jakarta, Ghalia Indonesia. Laclau, E. & Mouffe, C. 1985. Hegemony and Socialist Strategy. London: Verso. Louw, P.Eric. 2001. Media and Cultural Production, London, Sage Publications Ltd. Morley, D. 1992. Television, Audiences & Cultural Studies. London. Routledge Tomaselli, K.G. 1986. A Contested Terrain: Struggle through culture, Inaugural Lecture, ietermaritzburg: University of Natal Press. White, R.A. .1980. Communicacion Popular, Language of Liberation, Media Development, XXVII (3/80). 88