ABSTRACT This study aimed to analyze the effect of pay satisfaction on intention turnover and to evaluate the influence of demographic and organizational factors differences based on age, position (title), length of work, division and work location on pay satisfaction and intention turnover in the PT. BTMU BRI Finance. The populations were all of the employees from staff level to management level (except the board of Directors). Census methods were used, with the member of population takes 133 employees as the sample of this study. To answer the research questions, used simple regression analysis techniques and different test. The conclusion of this study as the following 1) pay satisfaction has negative effect on turnover intention employees of PT. BTMU BRI Finance. 2) There is a difference pay satisfaction of employees of PT. BTMU BRI Finance reviewed based on the location and division 3) There were differences in the turnover intention of employees of PT. BTMU BRI Finance based on age, especially at age 20-29 years with more than 40 years and turnover intention based on length of work especially under 5 years and more than 10 years. In efforts of decreasing turnover rate, it recommended for PT BTMU BRI Finance to provide regular performance incentives and provide benefits in accordance with the employee's contribution to the company so that employees can live decent. To improve employee satisfaction on different locations, the company needs to consider providing the expensiveness allowance in salary component based on the location where employee works. In addition, to reduce turnover intention at a young age, the company needs to design a career path and remuneration system that is transparent based on performance.
Key Words: Pay Satisfaction, Intention Turnover
xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kepuasan kerja merupakan sesuatu yang penting karena menentukan
loyalitas karyawan dalam suatu perusahaan. Ketika karyawan merasa tidak puas dalam pekerjaannya maka akan menimbulkan dampak pada penurunan kinerja. Kemerosotan itu dapat berwujud antara lain keterlibatan kerja semakin berkurang, komitmen pada organisasi rendah, suasana kerja terasa negatif, dan serangkaian akibat negatif lain akan muncul. Lebih dari itu, pekerja yang tidak puas dapat terjebak dalam suatu kemerosotan yang bersifat psikologis dan kemerosotan fisik, misalnya tidak masuk kerja tanpa alasan jelas, pulang lebih awal, istirahat lebih lama, kelambatan kerja, munculnya tindakan agresi yang berlebihan dan pembalasan terhadap kesalahan yang terjadi. Para karyawan yang puas dapat membuat tindakan-tindakan kinerja secara lebih baik misalnya melayani konsumen di luar panggilan tugas, membuat laporan kerja yang baik, dan aktif terjun dalam semua bidang pekerjaan (Newstroom, 2007). Hal ini mengisyaratkan betapa kepuasan kerja sangat penting dan vital bagi kehidupan karyawan dan organisasi sehingga perlu dipelihara eksistensinya dari waktu ke waktu, bahkan terus ditingkatkan sejalan dengan dinamika perkembangan individu dan organisasi. Kepuasan kerja berhubungan dengan sejumlah hal, antara lain: gaji, kondisi lingkungan kerja, keinginan (passion), kepemimpinan, dan karir. Sistem
1
imbalan meliputi pengupahan atau gaji, penghargaan, pujian, bonus, tunjangan. Kondisi lingkungan kerja berkaitan dengan mitra kerja, lingkungan fisik tempat bekerja, sarana dan prasarana tempat kerja. Passion merupakan dorongan atau keinginan dari diri sendiri akan suatu pekerjaan, misalnya pekerjaan guru, dokter, pengacara, kerap kali berhubungan dengan passion seseorang. Kepemimpinan yang adil, bijaksana dan memperhatikan karyawan di tempat kerja akan menimbulkan
suasana
yang
kondusif
dalam
bekerja,
sebaliknya
jika
kepemimpinan bersifat otoriter dan tidak memperhatikan karyawan, menyebabkan karyawan tidak merasa nyaman bekerja. Dari semua hal yang berkaitan dengan kepuasan kerja, yang menjadi gejala umum relatif menonjol adalah gaji. Gaji yang diterima seorang karyawan mempengaruhi keputusan seseorang untuk bertahan atau tidak bertahan di dalam organisasi kerja. Besaran gaji yang dapat menimbulkan kepuasan bersifat relatif dan bervariasi, bergantung dari faktor-faktor yang mempengaruhi seperti faktor demografi dan faktor organisasional karyawan dari suatu perusahaan. Faktor demografi antara lain, domisili, kondisi sosial, jenis kelamin, usia, jumlah tanggungan, menghasilkan persepsi yang berbeda-beda dalam menyatakan besaran gaji yang layak dan memuaskan karyawan. Demikian pula faktor-faktor organisasional seperti lamanya bekerja, divisi, lokasi bekerja dan posisi dalam suatu perusahaan mempengaruhi tingkat kepuasan gaji dan pada akhirnya mempengaruhi intensi keluar karyawan. Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi kepuasan gaji dan intensi keluar. Mobley (1986) mengemukakan bahwa pekerja muda mempunyai
2
tingkat turnover yang lebih tinggi daripada pekerja-pekerja yang lebih tua. Karyawan berusia muda berada pada tahap bereksperimen pada kehidupan profesionalnya sehingga memiliki intensi keluar yang lebih besar dari karyawan yang lebih berumur. Masa kerja juga memiliki pengaruh pada kepuasan gaji dan intensi keluar. Masa kerja menunjukan komitmen dan loyalitas yang lebih kuat terhadap perusahaan. Semakin lama orang bekerja diikuti dengan peningkatan karir yang bersangkutan. Dengan meningkatnya karir sesorang maka secara umum akan meningkatkan prestige, previlige, welfare dan power seseorang meningkat (Popenoe, 1991). Ditinjau dari divisi tempat karyawan bekerja juga berpengaruh pada kepuasan gaji dan intensi keluar. Karyawan yang bekerja pada divisi bisnis (marketing) memiliki kepuasaan gaji yang berbeda dengan karyawan pada divisi operasional. Hal ini disebabkan tekanan kerja yang lebih kuat pada divisi bisnis dibandingkan tekanan kerja pada divisi operasional. Untuk itu faktor kepuasan gaji menjadi sangat penting dalam rangka menekan faktor intensi keuar. Lokasi kerja juga berpengaruh pada kepuasan gaji dan intensi keluar, Sistem pengajian yang sama baik di kantor pusat maupun kantor cabang mepengaruhi kepuasan karyawan dan keinginan untuk keluar. Faktor biaya hidup dan faktor jarak dengan kantor dan keluarga menjadi pertimbangan karyawan untuk bekerja secara total. Intensi merupakan niat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu (Dayaksini dan Hudaniah, 2009). Pada dasarnya intensi berkaitan erat dengan kepercayaan (belief) seseorang terhadap sesuatu hal, sikap (attitude) pada hal itu,
3
serta dengan perilaku itu sendiri dibagai perwujudan nyata dari intensinya. Individu merasakan apakah ada rasa keadilan (equity) terhadap gaji yang diterima sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukannya. Rasa keadilan tersebut akan berpengaruh pada kepuasan pekerja atas gaji yang diterimanya. Kepuasan gaji dapat diartikan bahwa seseorang akan terpuaskan dengan gajinya ketika persepsi terhadap gaji dan apa yang mereka peroleh sesuai dengan yang diharapkan. Bagi suatu organisasi, tingkat intensi yang mengarah pada turnover (keluar) akan menimbulkan dampak negatif bagi organisasi. Turnover berarti perilaku menarik diri dari organisasi yang bersifat permanen, baik itu dilakukan secara sukarela maupun tidak sukarela (Kinichi dan Kreitner, 2010). Intensi keluar yang tinggi akan menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpastian (uncertainity) terhadap kondisi tenaga kerja dan peningkatan biaya sumber daya manusia. Peningkatan biaya dipicu oleh adanya biaya perekrutan tenaga kerja baru, pelatihan yang sudah diinvestasikan pada karyawan lama, dan pelatihan bagi karyawan baru. Turnover yang tinggi juga mengakibatkan organisasi tidak efektif karena perusahaan kehilangan karyawan yang berpengalaman dan perlu melatih kembali karyawan baru. Saat ini intensi keluar telah menjadi masalah serius bagi banyak perusahaan, bahkan beberapa perusahaan mengalami frustasi ketika mengetahui proses rekrutmen yang telah berhasil menjaring staf berkualitas pada akhirnya menjadi sia-sia karena staf yang direkrut tersebut lebih memilih bekerja di perusahaan lain. Tingginya tingkat turnover pada perusahaan akan semakin menimbulkan berbagai potensi biaya, baik itu biaya pelatihan yang sudah
4
diinvestasikan pada karyawan, tingkat kinerja yang mesti dikorbankan, maupun biaya rekrutmen dan pelatihan kembali (Suwandi dan Indriantoro,1999). Menurut Mobley (dalam Judge, 1993), keinginan untuk mengakhiri tugas atau meninggalkan organisasi berhubungan negatif dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja yang dirasakan dapat mempengaruhi pemikiran seseorang untuk keluar. Evaluasi terhadap berbagai alternatif pekerjaan, pada akhirnya akan mewujudkan terjadinya turnover karena individu yang memilih keluar organisasi akan mengharapkan hasil yang lebih memuaskan di tempat lain. Permasalahan yang terjadi di setiap perusahaan, terutama masalah sumber daya manusia, menuntut perhatian lebih. Secanggih apa pun teknologi dan seberapa besar modal dalam organisasi tersebut, keberadaan manusia (karyawan) penting sebagai penggerak utama roda organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa dukungan manusia (karyawan) yang berkualitas, keberhasilan perusahaan mustahil tercapai. Kontribusi pegawai pada organisasi akan menentukan maju ataupun mundurnya organisasi (Usmara, 2002). Fenomena yang sering terjadi, ketika kinerja perusahaan telah berjalan baik, maka kondisi tersebut dapat terganggu secara langsung maupun tidak langsung akibat intensi keluar karyawan. Permasalahan intensi ini juga dialami oleh PT. BTMU BRI Finance, sebuah perusahaan patungan (joint venture) antara dua raksasa perbankan di Jepang dan Indonesia, yaitu Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ Co. Ltd dan Bank Rakyat Indonesia. Berdasarkan pengamatan data pada PT BTMU BRI Finance bahwa dalam satu tahun terakhir, perusahaan dihadapkan
5
pada banyaknya karyawan yang mengajukan pengunduran diri, baik karyawan senior maupun junior. Perusahaan dalam rangka meningkat mutu sumber daya manusia, secara konsisten melakukan perekrutan karyawan baru yang berusia lebih muda. Namun kaum muda cenderung mudah mengambil keputusan untuk melakukan turnover. Karyawan yang lebih muda mungkin mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan baru, karena beban tanggung jawab terhadap keluarga masih belum berat, sehingga akan lebih mudah untuk berganti pekerjaan. Namun dapat juga terjadi karena karyawan muda usia mempunyai harapan yang tinggi mengenai pekerjaan dan gaji yang diterima, sehingga ketika tidak terpenuhi maka mereka berganti pekerjaan. Lamanya bekerja juga mempengaruhi kepuasan gaji dan intensi keluar. Hal ini dapat dipahami semakin lama karyawan bekerja sejalan dengan peningkatan karirnya. Peningkatan karir maupun posisi
secara umum akan
meningkatkan prestige, previlige, welfare dan power seseorang meningkat (Popenoe, 1991). Dengan adanya peningkatan tersebut, maka kepuasan gaji juga meningkat dan intensi keluar juga berkurang. Demikian pula faktor lokasi kerja, perusahaan menerapkan sistem pengajian yang sama baik dikantor pusat maupun kantor cabang. Dilihat dari taraf hidup dari setiap kota yang berbeda-beda, maka kepuasan gaji dari kantor pusat dan cabang berbeda. Karyawan juga akan lebih nyaman bekerja di lokasi kerja yang dekat dengan keluarga dan kota di mana mereka berasal. Faktor ini menjadi pertimbangan karyawan untuk mempertimbangkan intensi keluar.
6
Berdasarlan problematika di atas, penting untuk melakukan penelitian mengenai kecenderungan intensi keluar pada PT BTMU BRI Finance selama kurun waktu 2012-2013 ditinjau dari perspektif kepuasan gaji.
1.2
Rumusan Masalah Perpindahan karyawan yang terjadi pada PT. BTMU BRI Finance
mengundang masalah manajerial bagi perusahaan. Manajemen perusahaan terganggu dalam usaha mencapai visi dan misi perusahaan. Dalam rangka meningkatkan kemampuan daya saing industri pembiayaan (finance), maka intensi keluar karyawan perlu diredam agar perusahaan dapat mewujudkan visi dan misinya. PT. BTMU BRI Finance yang bergerak di bidang usaha pembiayaan ini telah berdiri sejak 1983. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir (2012-2013), perusahaan dihadapkan pada banyaknya pengunduran diri karyawan, baik di tingkat junior maupun senior. Berdasarkan data Turnover karyawan PT. BTMU – BRI selama kurun waktu 2012 dan 2013 menunjukkan tingkat intensi keluar karyawan yang relatif tinggi seperti terlihat pada tabel 1.1 sebagai berikut :
7
Tabel 1.1 Data Turnover Karyawan PT. BTMU BRI Finance Tahun 2012 – 2103 Jan
Feb
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agust
Sept
Okt
Nov
Des
Jumlah Rata2
Masuk
2
14
1
2
2
0
6
2
6
4
5
0
44
%
1.53%
10.69%
0.76%
1.53%
1.53%
0.00%
4.58%
1.53%
4.58%
3.05%
3.82%
0.00%
33.59%
Keluar
3
3
1
0
2
0
1
0
2
6
0
1
19
%
2.29%
2.29%
0.76%
0.00%
1.53%
0.00%
0.76%
0.00%
1.53%
4.58%
0.00%
0.76%
14.50%
2012
Jumlah Karyawan
131
2013 Masuk
3
2
3
3
3
2
2
1
2
3
3
1
28
%
2.26%
1.50%
2.26%
2.26%
2.26%
1.50%
1.50%
0.75%
1.50%
2.26%
2.26%
0.75%
21.05%
Keluar
2
2
1
3
2
2
0
3
4
1
2
4
26
%
1.50%
1.50%
0.75%
2.26%
1.50%
1.50%
0.00%
2.26%
3.01%
0.75%
1.50%
3.01%
19.55%
Jumlah Karyawan
133
Sumber :Departmen Sumber Daya Manusia PT. BTMU BRI Finance Dari tabel 1.1 terlihat bahwa tingkat turnover karyawan cukup tinggi selama dua tahun dari 2012 – 2013. Hal ini mengindikasi adanya penyebab mengapa karyawan tersebut keluar. Hasil diskusi dengan beberapa informan (karyawan PT BTMU BRI Finance), diperoleh keterangan bahwa masih banyak karyawan yang berkeinginan untuk mengakhiri hubungan kerja dengan perusahaan. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis yang juga terlibat aktif sebagai bagian dari PT. BTMU BRI FINANCE berkeinginan untuk meneliti seberapa tinggi pengaruh kepuasan kerja terutama kepuasan gaji terhadap intense keluar pada PT. BTMU BRI Finance dan bagaimana perbedaan kepuasan gaji dan turnover intetion ditinjau berdasarkan usia dan faktor organizational (lama bekerja, tempat kerja, departmen, posisi dan jabatan)
8
1.3
Pertanyaan Penelitian Dari rumusan masalah di atas, pertanyaan yang dapat diajukan dalam
penelitian ini adalah: 1. Apakah kepuasan gaji berpengaruh pada intensi keluar? 2. Apakah ada pengaruh faktor demografi dan organisasional berdasarkan usia, posisi (jabatan), lama bekerja, divisi dan lokasi kerja pada kepuasan gaji dan intensi keluar ?
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kepuasan gaji
pada intensi keluar karyawan dan untuk mengevaluasi pengaruh faktor demografi dan organisasional berdasarkan usia, posisi (jabatan), lama bekerja, divisi dan lokasi kerja pada kepuasan gaji dan intensi keluar .
1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terdiri dari dua manfaat, yakni manfaat teoretik dan manfaat praktis. Adapun rincian detail manfaat teoretis dan praktis yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
9
1. Manfaat Praktis bagi PT. BTMU BRI Finance a. Hasil penelitian dan pembahasannya dapat dijadikan acuan bagi PT. BTMU BRI Finance untuk melakukan transformasi dalam upaya mewujudkan tujuan organisasi dan keunggulan bersaing. b. Bagi pimpinan perusahaan, hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam pengambilan kebijakan baik sekarang maupun yang akan datang dalam rangka meningkatkan kepuasan gaji dan mengurangi intensi keluar. 2. Manfaat Teoritis Sebagai sumbangan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengembangan Sumber Daya Manusia dalam kaitannya dengan pengelolaan intensi keluar pada karyawan suatu organisasi dan diharapkan dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya.
1.6
Ruang Lingkup atau Batasan Penelitian Kepuasan kerja mengandung sejumlah faktor diantaranya adalah kepuasan
gaji. Penelitian ini akan membatasi pada intensi keluar pada PT BTMU BRI Finance yang dipengaruhi oleh kepuasan gaji beserta perbedaan kepuasan gaji dan intensi keluar ditinjau berdasarkan faktor demografi dan faktor organizational. Intensi keluar PT BTMU BRI Finance dibatasi pada rentang tahun 2012-2013.
10
1.7
Susunan Laporan Penelitian Hasil penelitian yang diperoleh disajikan dalam lima bab, yaitu
BAB I
Pendahuluan, BAB II Landasan Teori, BAB III Metode Penelitian, BAB IV Analisis dan Pembahasan, serta BAB V Kesimpulan dan Saran.
BAB I
Pendahuluan Mengemukakan latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian yang memberikan gambaran mengenai apa yang ingin dicapai, batasan penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II
Landasan Teori Berisi tentang tinjauan pustaka, teori dasar atau landasan teori penilitian serta hipotesis penelitian ini.
BAB III
Metode Penelitian Menguraikan tentang desain penelitian, populasi dan sampel penelian, instrumen penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data.
BAB IV
Hasil Penelitian dan pembahasannya Berisikan mengenai pembuktian penelitian dan pembahasan tentang kepuasan gaji dan intesi keluar pada PT. BTMU BRI Finance yang meliputi desktipsi data, pengujian hipotesi dan pembahasannya.
11
BAB V
Kesimpulan dan Saran Berisikan mengenai kesimpulan dan saran yang diperoleh setelah melakukan penelitian, bab ini juga merupakan intisari dari permasalahan
yang
diajukan
sekaligus
mencari
alternatif
pemecahannya.
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Intensi Keluar 2.1.1 Pengertian Intensi Keluar Robbins dan Judge (2012) mengatakan bahwa turnover karyawan dibedakan menjadi dua tipe, yaitu turnover yang sukarela (voluntary turnover) yang diprakarsai karyawan dan tipe turnover yang terpaksa (involuntary turnover) yang diprakarsai oleh perusahaan. Semakin tinggi turnover berarti semakin sering terjadi pergantian karyawan. Jika dilihat dari sisi perusahaan yang karyawannya melakukan perilaku turnover atas kehendak karyawan sendiri, maka perusahaan tersebut akan mengalami kerugian. Karena perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk proses rekrutmen dan seleksi karyawan maupun biaya untuk melatih karyawan yang baru masuk. Apabila karyawan yang keluar cukup banyak maka hal itu dapat menimbulkan ganguan arus kerja, apalagi kalau yang keluar adalah karyawankaryawan yang cukup terlatih, berbakat, terampil maupun berpengalaman. Demikian juga bila tindakan turnover dilakukan oleh karyawan yang bekerja dalam teamwork, maka keluarnya karyawan tersebut dapat mengakibatkan hilangnya sinergi kelompok. Perpindahan kerja biasanya merupakan salah satu pilihan terakhir bagi seorang karyawan apabila mendapati kondisi kerjanya sudah tidak sesuai lagi dengan apa yang diharapkan. Turnover bagi karyawan merupakan salah satu jalan keluar untuk mendapatkan keadaan yang lebih baik bagi dirinya, namun seperti 13
telah dikemukakan di atas bagi perusahaan hal ini juga dapat menjadi suatu kerugian tersendiri. Keluarnya karyawan secara sukarela umumnya didahului oleh Intensi Keluar (Intensi Keluar). Panggabean (2004) mengatakan bahwa keinginan untuk pindah kerja didefinisikan sebagai keinginan untuk meninggalkan organisasi dengan sengaja dan sadar. Sementara itu Munandar (2010) menyatakan bahwa Intensi Keluar adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya.
2.1.2 Dampak Turnover bagi Organisasi Intensi keluar yang kuat akan diikuti oleh turnover dari karyawan pada suatu perusahaan. Dampak turnover yang paling besar bagi perusahaan adalah masalah biaya (Mobley, 1986). Turnover merupakan petunjuk kestabilan karyawan. Semakin tinggi turnover, berarti semakin sering terjadi pergantian karyawan. Tentu hal ini akan merugikan perusahaan. Sebab, seperti yang dikemukakan Aamodt (2009) bahwa dampak dari turnover akan terbagi dua, yaitu dampak yang tampak dan dampak yang tidak tampak. Dampak yang tampak dari turnover diantaranya biaya iklan, biaya agensi karyawan, bonus, biaya perjalanan penerimaan, gaji dan biaya yang dikeluarkan selama proses aplikasi dan wawancara kandidat, serta biaya penempatan bagi karyawan baru. Dampak yang tidak tampak termasuk hilangnya produktivitas berhubungan dengan pindahnya karyawan, karyawan lain harus melakukan pekerjaan yang lebih banyak, tidak ada produktivitas pada masa lowong, dan merendahnya produktivitas berkaitan
14
dengan karyawan yang baru mendapat pelatihan. Sebagai tambahan pada dampak yang tidak terlihat termasuk waktu kerja yang melebihi seharusnya pada karyawan yang menggantikan posisi yang lowong dan biaya pelatihan ketika karyawan pengganti telah diterima. Penelitian yang dilakukan Kosseff (dalam Dore, 2005) terhadap pekerja bidang teknologi menunjukkan biaya yang diperlukan untuk mengganti pekerja yang berhenti sebesar satu setengah kali gaji pertahun karyawan. Bahkan dalam penelitian Longenecker dan Scazzero (dalam Dore, 2005), biaya tersebut sampai dua setengah kali gaji pertahun karyawan. Mobley (1986) menyatakan keinginan (intensi) untuk keluar dari organisasi merupakan prediktor dominan yang bersifat positif terhadap terjadinya turnover. Faktor-faktor organizational characteristic dapat diasumsikan sebagai faktor eksternal yang berhubungan dengan kualitas kehidupan bekerja di dalam organisasi. Faktor- faktor yang berhubungan dengan kualitas kehidupan bekerja, yaitu pay level, dan training program (existence of training program dan length of training program). Dengan diberikan upah yang mencukupi dan adil serta training yang diberikan oleh perusahaan, diharapkan dapat mengurangi Intensi Keluar karyawan serta meningkatkan kualitas kehidupan bekerja di dalam organisasi.
15
2.1.3 Indikasi Terjadinya Intensi Keluar Menurut Harnoto (2002), Intensi Keluar dapat ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain: absensi yang meningkat, mulai malas kerja, bertambahnya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, timbulnya keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan, maupun keseriusan dalam menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan yang tampak sangat berbeda dari biasanya. Indikasi-indikasi tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan Intensi Keluar karyawan dalam perusahaan. a) Peningkatan Absensi Karyawan yang sudah mempunyai keinginan untuk pindah kerja, biasanya ditandai dengan tingkat absensi yang semakin meningkat. Tanggungjawab karyawan terhadap pekerjaannya dalam fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya. b)
Mulai malas bekerja Karyawan yang sudah mempunyai keinginan untuk pindah kerja, biasanya terlihat akan lebih malas bekerja dibandingkan dengan sebelumnya karena orientasi karyawan ini bekerja ditempat lain yang dirasa dan dipandang akan lebih mampu memenuhi semua keinginan karyawan bersangkutan.
c)
Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan pekerjaan mulai sering dilakukan karyawan yang akan melakukan pindah kerja. Karyawan mulai berani untuk sering meninggalkan tempat kerja pada saat jam kerja
16
masih berlangsung, maupun mulai berani melakukan berbagai bentuk pelanggaran lain. d)
Peningkatan protes terhadap atasan Karyawan yang sudah mempunyai keinginan untuk pindah kerja, lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi protes yang dikemukakan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang dirasa berbeda dengan keinginan karyawan.
e) Perilaku karyawan yang sangat berbeda dari biasanya Hal ini terjadi pada karyawan yang berkarakteristik positif. Karyawan ini mempunyai
tanggungjawab
yang
tinggi
terhadap
tugas-tugas
yang
dibebankan padanya, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru perlu diwaspadai apakah ada kemungkinan karyawan tersebut akan meninggalkan perusahaan tempat dia bekerja. Indikasi-indikasi tersebut di atas dapat digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan Intensi Keluar karyawan dalam sebuah organisasi. Sementara itu, Mobley (dalam Schwepker, 2001) mengemukakan tiga indikator yang digunakan untuk mengukur Intensi Keluar, yakni: a. Pikiran-pikiran untuk berhenti (thoughts of quitting). b. Keinginan untuk meninggalkan (intention to quit). c. Keinginan untuk mencari pekerjaan lain (intention to search for another job). Banyak faktor yang cukup kompleks dan saling berkaitan yang mempengaruhi terjadinya Intensi Keluar dalam suatu perusahaan. Mobley (1986) mengemukakan bahwa pekerja muda mempunyai tingkat turnover yang lebih
17
tinggi daripada pekerja-pekerja yang lebih tua. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara usia dan Intensi Keluar, yang berarti semakin tinggi usia seseorang, semakin rendah Intensi Keluarnya. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Porter dan Steer (1983) bahwa karyawan yang lebih muda mungkin mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan baru, karena beban tanggung jawab terhadap keluarga masih belum berat, sehingga akan lebih mudah untuk berganti pekerjaan. Namun dapat juga terjadi karena karyawan muda usia mempunyai harapan yang terlalu tinggi mengenai pekerjaannya, sehingga ketika tidak terpenuhi maka mereka berganti pekerjaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor demografi seperti usia juga turut mempengaruhi terjadinya Intensi Keluar dalam perusahaan. Pendapat lain dikemukakan oleh Arnold dan Fieldman (1982) yang menjelaskan bahwa faktor kepuasan kerja seseorang akan turut mempengaruhi dorongan Intensi Keluar. Mereka menemukan bahwa semakin tidak puas seseorang terhadap pekerjaannya maka akan semakin kuat dorongan dalam dirinya untuk melakukan turnover. Demikian pula sebaliknya, bila semakin puas seseorang terhadap pekerjaannya maka semakin kecil dorongan dalam dirinya untuk melakukan turnover. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Kepuasan bisa tercapai bila tidak ada perbedaan antara apa yang menurut persepsinya seharusnya didapat (harapan, kebutuhan dan nilai-nilai) dengan apa yang menurut persepsinya telah diberikan kepada perusahaan melalui pencapaian pekerjaan yang dilakukan. Semakin
18
banyak aspek atau nilai-nilai dalam perusahaan yang dirasa sesuai dengan dirinya, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan, tetapi sebaliknya semakin banyak aspek yang tidak sesuai dengan harapan dirinya, maka semakin rendah tingkat kepuasan yang dirasakan Keinginan pindah kerja dapat diukur dengan menggunakan daftar kuesioner yang terdiri atas beberapa pertanyaan yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu, yaitu: a. Jaros (1995) menggunakan tiga pertanyaan untuk mengukur keinginan untuk pindah kerja yaitu; (1) seberapa sering mereka berpikir untuk meninggalkan perusahaan (2) seberapa senangnya mereka dengan pekerjaan yang sekarang sehingga mereka tidak mau mencari jabatan dengan majikan yang lain, dan (3) seberapa senangnya mereka selama ini, sehingga mereka tidak berminat untuk pindah kerja pada tahun mendatang b. Daftar kuesioner untuk mengukur keinginan pindah kerja yang dikemukakan oleh Hom, Griffeth, dan Sellaro (1984) menggunakan dua pertanyaan yaitu; (1) saya acapkali berpikir untuk pindah kerja, dan (2) seberapa sering anda berpikir untuk pindah kerja. c. Chen dan Franseco (2000) menggunakan empat pertanyaan untuk mengukur Intensi Keluar yaitu; (1) pemikiran untuk meninggalkan pekerjaan (2) kemungkinan pindah kerja pada waktu yang akan datang (3) keinginan untuk tetap tinggal guna mengembangkan karir di perusahaan yang sekarang dan (4) merasa tidak punya masa depan bila tetap bekerja di perusahaan ini. Demikian pula Panggabean (2004) yang mengadaptasi pengukuran Chen dan Fransesco (2000) yang terdiri dari 4 item. Sedangkan Micheals dan Spector
19
(1982) mengemukakan bahwa Intensi Keluar dapat diukur melalui indikator pertanyaan: (1) secara
serius saya mempertimbangkan untuk pindah dari
pekerjaan yang sekarang, (2) saya sudah
merencanakan untuk berhenti dari
pekerjaan saya yang sekarang, dan (3) saya mau berhenti dari pekerjaan saya sekarang.
2.2 Kepuasan Gaji Istilah kepuasan gaji atau kepuasan pada gaji (pay satisfaction) tidak dapat dipisahkan dengan konsep kepuasan kerja (job satisfaction). Dalam sejumlah literatur, kepuasan gaji merupakan bagian yang terpisahkan dari kepuasan kerja. Dengan kondisi demikian, maka akan lebih baik apabila uraian teoretik mengenai kepuasan gaji diawali dengan sajian konseptual tentang kepuasan kerja agar diperoleh pemahaman secara komprehensif. Kepuasan kerja dimaknai secara beragam oleh
para pakar. Menurut
Spector (1997), kepuasan kerja adalah bagaimana orang merasakan tentang pekerjaannya dan berbagai aspek pekerjaannya. Bagi Nelson dan Quick (2006), kepuasan kerja sebagai kondisi emosi positif atau menyenangkan yang muncul dari penilaian kerja atau pengalaman kerja. Sedangkan Wanous, Reiches dan Hudy (1997) mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap mengenai pekerjaan atau kerja seseorang. Sementara itu Robbins dan Judge (2012) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang muncul dari penilaian sifat-sifat pekerjaannya. Di pihak lain Locke (dalam Luhtans, 2008) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perilaku yang melibatkan reaksi kognitif, afektif dan evaluatif atau sikap dengan menyebut 20
sebagai kondisi emosi positif atau menyenangkan dari penilaian kerja atau pengalaman kerja seseorang. Lebih dari itu, kepuasan kerja juga berkaitan dengan situasi kerja seseorang dan tergantung pada banyak faktor, termasuk pasar, kondisi kerja, lokasi kerja dan pengaruh dinamis lainnya (Zingeser, 2004). Menurut Noe (2006), kepuasan kerja mengandung tiga aspek: pertama, kepuasan kerja merupakan fungsi nilai yang dijelaskan sebagai “apa yang sengaja atau tidak sengaja ingin dicapai oleh seseorang.”; kedua, menekankan bahwa berbagai karyawan memiliki pandangan berbeda tentang nilai-nilai apa yang penting, dan ini sangat penting dalam menentukan sifat dan tingkat kepuasan kerja. Seseorang dapat menghargai upah tinggi dibandingkan orang lain; orang lain dapat menghargai kesempatan berkeliling; yang lain lagi menyukai tinggal dalam batas geografi tertentu saja; ketiga, persepsi individu yakni cara berbagai orang memandang situasi yang sama secara berbeda. Menurut Luthans (2008), ada tiga dimensi kepuasan kerja. Pertama, kepuasan kerja merupakan reaksi emosi terhadap situasi kerja. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan oleh bagaimana hasil-hasil kerja dapat memenuhi atau melebihi harapan. Ketiga, kepuasan kerja mewakili beberapa sikap terkait: (1) Kerja itu sendiri: sejauhmana pekerjaan memberi individu tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar dan peluang menerima tanggung jawab; (2) Upah: jumlah ganti rugi keuangan yang diterima dan sampai di mana upah dianggap sepadan dibandingkan upah orang lain dalam organisasi; (3) Peluang promosi. Peluang bagi kemajuan dalam organisasi; (4) Pengawasan. Kemampuan pengawas memberikan bantuan teknik dan dukungan tingkah laku; (5) Mitra kerja: 21