ABSTRACT DOLLY PRIATNA. Space Use and Habitat Suitability Model for Post Translocation Sumatran Tigers (Panthera tigris sumatrae, Pocock, 1929) Based on Monitoring of GPS Collars. Under the direction of YANTO SANTOSA, LILIK BUDI PRASETYO and AGUS PRIYONO KARTONO. Panthera tigris sumatrae is the last remaining Indonesian tiger after its relatives, the Bali and Javan tigers, became extinct in 1940s and 1980s respectively. Although translocation has been employed in mitigating human-tiger conflict in Sumatra for the last decade, the behavioral ecology of post-release animals is still poorly understood. Furthermore, the spatial modelling of tiger behavior based on global positioning system (GPS) collar tracking has never been done before. This information is urgently needed for improving Sumatran tiger translocation in the future. In this study we examine the movement and home range, activity pattern, and habitat selection of translocated tigers, as well as construct a habitat suitability model for identifying appropriate sites for future tiger translocation in Ulu Masen forest. Between July 2008 and December 2010 we translocated six Sumatran tigers, five males and one female. All tigers were fitted with GPS collars which were set to fix 24-48 location coordinates per day. The logistic regression equation was used to produce the habitat suitability prediction models and the tiger distribution map was overlaid with data on the relative abundance of tiger prey to determine suitable sites for future translocation. The mean distance traveled by the tigers varies from 2.8 to 4.0 km per day, but the female moved further than the males. In general, there was no difference in the mean distance traveled between day-time and night-time among the males, but the female traveled further in the day-time than during night-time. The length of time needed by each tiger to establish home range was significantly affected by the abundance of local tigers already in the area. The home range of each individual tiger, estimated using 95% fixed kernel, varies between 37.5 km2 and 188.1 km2 for males while for the female it was 376.8 km2. The most active period for translocated tigers is in the evening between 6 and 10 pm. However, on certain occasions, the tigers are most active in the morning between 6 and 10 am. The translocated tigers tend to range across all natural land cover types within the landscape, but forest availability within the landscape remains important for their survival. However, it seems that all translocated tigers prefer to conduct their daily activity within the mozaic landscape of lowland forest and regrowth vegetation. Modelling has shown that elevation, distance from rivers, distance from the edge of the forest, density of the forest canopy, and the slope of the terrain significantly influence the habitat model. Extrapolation of the model to the whole area of Ulu Masen forest (7,496.86 km2) has indentified 23.5% of the area as highly suitable habitat, 71.5% as suitable habitat, and 5.0% as less suitable habitat for the Sumatran tiger. It is also predicted that 5.2% of the ecosystem is highly suitable for future tiger translocation. Despite being preliminary, the findings of this study, the first ever conducted in Sumatra, highlight the conservation value of tiger translocation and provide valuable information for improving future translocation of rescued tigers. Key words: GPS collars, habitat suitability model, habitat use, ranging pattern, Sumatran tiger, translocation.
RINGKASAN DOLLY PRIATNA. Pola Penggunaan Ruang dan Model Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) Pasca Translokasi Berdasarkan Pemantauan Kalung GPS. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA, LILIK BUDI PRASETYO dan AGUS PRIYONO KARTONO. Indonesia pernah memiliki tiga dari sembilan subspesies harimau yang ada di dunia. Namun, saat ini harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satusatunya yang masih bertahan hidup setelah dua kerabat dekatnya, yakni harimau bali (P. t. balica) dan harimau jawa (P. t. sondaica), dinyatakan punah pada tahun 1940an dan 1980-an. Selain itu, kondisi populasinya juga sangat memperihatinkan karena jumlahnya diduga terus menurun, dan di alam diperkirakan hanya tersisa sekitar 300 ekor. Meski translokasi telah digunakan dalam mengurangi konflik konservasi harimau (konflik konservasi harimau dengan kepentingan manusia) selama dekade terakhir ini, namun ekologi perilaku harimau pasca peliarannya masih belum difahami. Demikian pula pemodelan spasial berdasarkan data posisi harimau yang dikumpulkan melalui Global Positioning System collars (kalung GPS) belum pernah dilakukan sebelumnya. Padahal, informasi-informasi tersebut sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan pemilihan lokasi translokasi harimau sumatera di masa depan. Studi ini bertujuan mengkaji pergerakan, daerah jelajah, pola aktivitas, dan pemilihan habitat oleh harimau translokasi, serta membangun model kesesuaian habitat untuk mengidentifikasi areal-areal yang cocok untuk translokasi harimau pada masa yang akan datang. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama, yaitu pengambilan data koordinat posisi yang dikumpulkan melalui kalung GPS yang dipasangkan pada enam individu harimau, yang ditranslokasikan ke Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Lampung, Kerinci Seblat (TNKS) di Sumatera Barat, serta ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan kawasan hutan Ulu Masen (KHUM) di Aceh. Tahap kedua, yaitu pengumpulan data pendukung yang diperlukan dalam penyusunan model kesesuaian habitat harimau, dilaksanakan di areal hutan Blangraweu, KHUM. Observasi lapangan juga dilakukan guna memvalidasi data areal contoh tutupan lahan. Pengumpulan data posisi harimau yang ditranslokasikan dilakukan sejak Juli 2008-Agustus 2011; sedangkan observasi lapangan dilakukan sejak 2009-Juni 2010. Enam harimau sumatera yang ditranslokasikan dipasangi kalung GPS (Televilt, Lindesberg, Sweden; Argos/Sirtrack Ltd, Hawkes Bay, New Zealand), yang telah ditetapkan untuk beroperasi selama 1-2 tahun dan mengambil sebanyak 24-48 posisi koordinat setiap harinya. Data koordinat posisi ditransmisikan secara berkala ke satu alat penerima melalui satelit, yang kemudian dikirimkan ke alamat email pengamat. Seluruh kalung GPS yang terpasang pada harimau tersebut telah diprogram untuk terlepas secara otomatis (auto released) ketika masa kerjanya habis. Data yang digunakan untuk menghitung kelimpahan relatif (KR) harimau lokal dan hewan mangsa utama (babi, rusa dan kijang) pada setiap lokasi translokasi, merupakan hasil survey transek sign yang dilakukan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program di TNBBS pada Januari 2008, Yayasan Leuser Internasional
(YLI) di TNGL pada Juli-Agustus 2008, serta Fauna & Flora International (FFI) Indonesia di TNKS (Juli-Agustus 2008) dan di KHUM (Agustus 2008-Juni 2009). Uji Mann-Whitney digunakan untuk membedakan jarak tempuh harian jantan dan betina, uji Wilcoxon untuk membedakan jarak pergerakan siang dan malam, sedangkan uji Chi-square dan Neu digunakan untuk menduga waktu paling aktif harimau. Untuk mendapatkan ukuran daerah jelajah harimau, data posisi dianalisis metode Minimum Convex Polygon (MCP) dan Fixed Kernel (FK). Selanjutnya uji korelasi Spearman digunakan untuk menentukan faktor lingkungan yang mempengaruhi lamanya waktu membangun daerah jelajah dan ukuran daerah jelajah harimau. Data koordinat posisi setiap harimau ditumpang-susunkan (overlay) dengan peta tipe tutupan vegetasi Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) resolusi 250 meter tahun 2010, kemudian dilakukan uji Chi-square dan Neu untuk menduga preferensi harimau terhadap habitat tertentu. Uji Wilcoxon digunakan untuk membedakan penggunaan habitat siang dan malam hari. Pemodelan kesesuaian habitat hanya dilakukan berdasarkan data posisi kalung GPS harimau betina yang ditranslokasikan di KHUM, karena tingkat akuisisi dan proporsi data akuratnya tertinggi. Sebanyak 50% dari data posisi yang terkumpul digunakan untuk menentukan areal presence dan 50% data lainnya digunakan untuk validasi model. Titik pseudo-absence ditentukan berdasarkan pengacakan titik posisi menggunakan ekstensi Hawthstool pada ArcGIS 9.3, pada areal di luar poligon KHUM dan daerah jelajah harimau betina studi yang telah diberi buffer. Variabelvariabel yang diukur dalam penelitian ini adalah elevasi dan kelerengan/slope yang didapat dari peta radar Aster Global Digital Elevation Model (GDEM), jarak posisi harimau dari sungai, jarak dari pemukiman dan jarak dari jalan yang didapat dari peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50:000 yang diproses dengan euclidean distance. Variabel jarak dari tepi hutan diperoleh dari peta tutupan kawasan hutan/non hutan yang diproses dengan euclidean distance, dan kerapatan tajuk direpresentasikan melalui nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Peta tutupan kawasan hutan/non hutan dan tutupan lahan/vegetasi dibuat dari citra Landsat 5-TM menggunakan Erdas Imagine 9.1 yang dilanjutkan dengan pembuatan peta NDVI. Setiap peta di-overlay dengan data posisi harimau dari kalung GPS untuk mendapatkan nilai setiap variabel bebas, untuk menduga variabel terikat berupa kehadiran/ketidak-hadiran harimau. Uji Variance Inflation Factor (VIF) untuk menentukan multikolinearitas masing-masing variabel bebas. Analisis regresi logistik digunakan untuk menentukan persamaan regresi dan peluang penggunaan habitat, yang dilanjutkan dengan analisis spasial dengan memasukkan persamaan regresi logistik yang terbentuk pada raster calculator ArcGIS 9.3. Setelah model dinyatakan layak kemudian dilakukan ekstrapolasi model spasial ke seluruh KHUM. Areal-areal yang sesuai untuk lokasi translokasi mendatang di KHUM, diperoleh dengan melakukan overlay peta kesesuaian habitat harimau hasil ekstrapolasi dengan peta kesesuaian lokasi translokasi, yang dibuat berdasarkan KR harimau lokal dan hewan mangsa utama. Harimau sumatera JD-1 dan JD-2 yang dilepas-liarkan di TNBBS, diamati pergerakannya selama masing-masing 224 hari (menghasilkan 3.469 data posisi) dan 253 hari (1.288 data posisi). Harimau BD-1 yang ditranslokasikan ke KHUM diobservasi selama 213 hari (6.680 data posisi), namun kemudian diketahui juga mati akibat terjerat di sebuah ladang di pinggir hutan setelah kalung GPS-nya bekerja selama 7 bulan. Harimau JD-3 di TNGL diamati pergerakannya selama 79 hari
(1.486 data posisi), dan harimau JD-5 di TNKS dipantau selama 238 hari pengamatan (7.007 data posisi). Kalung GPS yang pasang pada harimau JD-1, JD-3 dan JD-5 rusak setelah masing-masing beroperasi selama 7,5 bulan, 2,5 bulan dan 8 bulan. Kalung GPS pada JD-2 terlepas secara otomatis sesuai rencana setelah 8,5 bulan beroperasi. Sedangkan harimau JD-4 yang ditranslokasikan ke TNKS, ditemukan mati terperangkap jerat di dalam kawasan taman nasional tersebut. Rata-rata jarak tempuh harimau bervariasi antara 2,8-4,0 km per hari, namun betina menempuh jarak yang lebih panjang dari jantan. Secara umum, pada jantan tidak ditemukan perbedaan jarak tempuh antara siang dan malam hari. Bentuk lintasan atau trajektorinya zig-zag dan garis lurus serta berkeliling mengunjungi areal-areal yang pernah didatangi sebelumnya. Pergerakan dan penjelajahan harimau kebanyakan dilakukan pada areal-areal tepi hutan atau batas antara dua tipe vegetasi, terutama pada batas-batas antara vegetasi hutan alam dataran rendah dan belukar/hutan sekunder muda. Harimau yang ditranslokasikan membutuhkan waktu antara 8-17 minggu untuk membangun daerah jelajah tetapnya. Lama waktu yang dibutuhkan harimau dalam penetapan daerah jelajah, dipengaruhi oleh kelimpahan harimau lokal yang lebih dahulu mendiami areal pelepas-liaran. Namun, meski tidak terbukti secara signifikan, ada kecenderungan bahwa umur harimau ketika dilepas-liarkan serta kelimpahan hewan mangsa utama di areal pelepas-liaran turut mempengaruhi lamanya waktu penetapan daerah jelajah. Selain itu, perbedaan karakteristik daerah jelajah harimau di tempat asal dengan di areal translokasi, mungkin juga turut mempengaruhi lamanya waktu penetapan tersebut. Menggunakan metode 95% Fixed Kernel diperkirakan ukuran daerah jelajah jantan antara 37,5 km2 dan 188,1 km2 dan betina 376,8 km2. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, tidak semua harimau translokasi menjadikan areal pelepasliarannya sebagai bagian dari daerah jelajahnya. Dua dari lima harimau translokasi yang diamati, membangun daerah jelajahnya pada jarak 4,06 km dan 14,64 km dari lokasi dimana mereka dilepas-liarkan. Karakteristik habitat yang disukai harimau translokasi adalah lansekap mosaik perpaduan antara hutan dataran rendah dengan vegetasi belukar/hutan sekunder muda, yang berada pada elevasi di bawah 1.000 meter dpl dan dengan topografi datar hingga landai. Harimau sumatera translokasi menggunakan habitat utama dengan proporsi yang sama baik pada siang maupun malam hari, namun waktu paling aktif harimau adalah sore hingga malam hari yaitu antara pukul 14.00-22.00 WIB setiap harinya. Pada situasi tertentu harimau translokasi juga dapat melakukan aktivitasnya pada pagi hari (06.00-10.00 WIB). Pemodelan kesesuaian habitat dengan regresi logistik menunjukkan bahwa faktor-faktor lingkungan seperti elevasi, jarak dari sungai, jarak dari tepi hutan, NDVI dan kelerengan memberikan pengaruh yang nyata terhadap model yang dibangun. Ekstrapolasi model pada seluruh KHUM yang luasnya 7.496,86 km2 telah mengidentifikasi 23,5% kawasan sebagai habitat sangat sesuai, 71,5% sebagai habitat sesuai, dan 5,0% sebagai habitat kurang sesuai untuk harimau. Diprediksi juga bahwa di KHUM terdapat 388,1 km2 (5,2% luas total kawasan) areal yang diduga sangat sesuai, dan 2.135,67 km2 (28,5%) areal yang sesuai untuk lokasi translokasi harimau sumatera. Penelitian ini merupakan studi ekologi perilaku harimau pertama di Indonesia yang memanfaatkan teknologi kalung GPS pada satwa, sehingga informasi yang dihasilkan merupakan sesuatu yang berharga, serta menjawab beberapa hal yang
selama ini menjadi prediksi atau dugaan tentang perilaku harimau sumatera. Meski informasi dasar dihasilkan dari harimau sumatera yang ditranslokasikan, sehingga pada beberapa hal seperti pendugaan luas daerah jelajah mengandung bias, namun dalam beberapa hal lain menjadi pengetahuan baru yang amat berharga. Areal yang didominasi oleh hutan dataran rendah dan vegetasi belukar/hutan sekunder muda merupakan lansekap yang sangat penting bagi kelangsungan hidup harimau sumatera. Sehingga, harus segera dilakukan upaya untuk mengurangi tekanan/konversi terhadap hutan dataran rendah yang tersisa, serta upaya untuk mencegah perburuan hewan yang menjadi mangsa harimau pada habitat belukar/hutan sekunder muda yang berbatasan langsung dengan hutan dataran rendah di Sumatera. Hal ini penting untuk menjaga kelangsungan hidup harimau sumatera, serta untuk mencegah dan mengurangi konflik antara manusia dengan harimau di Sumatera. Perlu kajian yang komprehensif sebelum menetapkan satu kawasan sebagai lokasi translokasi. Kajian tersebut harus meliputi ketersediaan lansekap mosaik hutan dataran rendah dengan vegetasi belukar/hutan sekunder muda, ketersediaan hewan mangsa utama yang cukup, serta keberadaan dan struktur demografi harimau lokal di calon lokasi pelepas-liaran. Mengingat beberapa harimau sumatera yang ditranslokasikan terbunuh akibat jerat (baik yang dipasang masyarakat untuk menjaga ladang dari hama babi hutan maupun yang sengaja dipasang pemburu), maka sangat penting untuk memastikan bahwa calon lokasi translokasi juga terbebas dari gangguan manusia yang dapat membahayakan harimau. Sebagai tambahan, kajian sosial tentang penerimaan masyarakat yang tinggal berdampingan dengan calon lokasi translokasi juga sangat diperlukan sebelum translokasi harimau dilakukan. Dengan adanya kecenderungan bahwa semua harimau yang ditranslokasikan akan kembali mencari dan mengarah pada lansekap campuran antara hutan dataran rendah dengan vegetasi belukar/hutan sekunder muda, maka tidak diperlukan adanya translokasi harimau yang berbiaya sangat mahal ke lokasi-lokasi yang terpencil di daerah pegunungan karena hasilnya tidak akan sesuai dengan harapan. Dengan dihasilkannya model spasial kesesuaian habitat (meskipun model yang digunakan belum tepat), serta teridentifikasinya beberapa areal yang dapat dijadikan sebagai lokasi translokasi harimau di KHUM, paling tidak hasil ini dapat dijadikan panduan bagi pihak berwenang apabila akan melaksanakan kegiatan translokasi harimau pada masa yang akan datang. Kata kunci: harimau sumatera, kalung GPS, model kesesuaian habitat, penggunaan habitat, pola penjelajahan, translokasi.