Siti Maryam Qurotul Aini
ABORSI DALAM PERSPEKTIF FIQH Siti Maryam Qurotul Aini1 Abstract: Abortion can not see just from one aspect. Such as moral, abortion is one of disobey human right. There are two kinds on abortion, spontaneous abortion (al-isqath al‘afw) and artificial abortion is abortus artificialis therapicus (al-isqath al-dharuri), it is recommended by medical cause troble medical result and abortus provocatus criminalis (alisqath al-ikhtiyari) which conciously do abortion without reason before partus time. There is no low punishment for spontaneous abortion, but for second and third have low punishmant effect. Some fuqaha’ divide categories of abortion before and after embryo has roh. Fuqaha’ have different perception about abortion before embryo has roh or before 120 days. All fuqaha’ agree that abortion after embryo get roh is forbiden (haram). Ulama’ have diferent opinion relate abortion, it shows their consider to embryo has roh or human live. Ulama’ are recomended to do abortion if she is worried troble to her live and soul. So the most priority is mother live althought sacrifice embryo’s life. It considers minimal risk. Keywords : abortion, mother safe, Islamic law Pendahuluan Aborsi merupakan realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan kemasyarakatan. Banyak alasan yang mendasari tindakan aborsi, mulai dari alasan bersifat medis sampai alasan yang termasuk kategori kriminal. Berbagai alasan yang mendasari tindakan 1
Penulis adalah dosen tetap STAI Darussalam Krempyang Nganjuk.
73
Aborsi Dalam Perspektif Fiqh
aborsi mempengaruhi hukum yang diterapkan pada tindakan tersebut. Aborsi dengan segala permasalahannya tidak dapat dilihat hanya dari satu aspek tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Permasalahan aborsi selain dibahas dari segi hukum formal, juga penting dilihat dari segi agama, moral dan kesehatan. Secara moral, aborsi merupakan tindakan yang menyalahi etika moral kemanusiaan. Agama juga memandang aborsi sebagai pelanggaran larangan memelihara kehidupan (hifdz al-nasl). Hukum formal di Indonesia juga menjadikan aborsi sebagai sebuah tindakan kriminal yang diancam sanksi hukuman. Aborsi yang dilakukan secara ilegal juga sangat berpotensi membahayakan kesehatan bahkan nyawa seorang ibu. Berbagai aspek permasalahan aborsi di atas, dapat dikatakan bahwa secara umum aborsi menjadi hal negatif, dilarang, harus dijauhi dan diancam hukuman. Namun, tentu terdapat beberapa pertimbangan yang dapat mendasari tindakan aborsi dapat dilakukan. Fiqh sendiri juga memiliki rumusan tentang aborsi yang dilarang maupun yang mendapat dispensasi hukum sehingga menjadi “boleh” dengan berbagai syarat. Tulisan ini akan membahas tentang hukum aborsi perspektif fiqh. Pembahasan akan difokuskan kepada hukum aborsi menurut berbagai ulama, baik mengenai aborsi yang dilarang maupun yang dibolehkan. Pembahasan akan diawali dengan definisi aborsi yang diajukan oleh berbagai kalangan, termasuk kalangan medis. Selanjutnya akan dibahas perbedaan pendapat ulama tentang hukum aborsi dan argumentasinya serta syarat-syarat tindakan aborsi yang diperbolehkan karena adanya darurat. Pembahasan A. Definisi Aborsi Secara etimologis, kata aborsi berasal dari abortion (Inggris) atau abortus (Latin) yang berarti gugur kandungan atau keguguran.2 Dalam ensiklopedi Indonesia, dijelaskan bahwa aborsi atau abortus diartikan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 2 Saifullah, “Abortus dan Permasalahannya,“ dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer II, ed. Chuzaimah T. Yanggo (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), 129.
74
Siti Maryam Qurotul Aini
minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.3 Sardikin Ginaputra dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memberikan definisi aborsi sebagai pengakhiran masa kehamilan atau hasil konsepsi (pembuahan) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.4 Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa aborsi adalah suatu perbuatan untuk mengakhiri masa kehamilan dengan mengeluarkan janin dari kandungan sebelum tiba masa kelahiran secara alami. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya aborsi, setidak-tidaknya terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi, yaitu (1) adanya embrio atau janin yang merupakan hasil pembuahan antara sperma dan ovum dalam rahim, (2) pengguguran itu adakalanya terjadi dengan sendirinya, tetapi lebih sering disebabkan oleh perbuatan manusia, (3) keguguran itu terjadi sebelum waktunya, artinya sebelum masa kelahiran tiba secara alami.5 Dalam istilah fiqh, untuk menyatakan tindakan abortus, para fuqaha’ menggunakan kata-kata isqath al-haml, al-ijhadh, tharh, ilqa’ dan inzal. Kelima kata tersebut, seperti disebutkan oleh Dr. Abdullah bin Abd al-Mukhsin al-Thariqi, mengandung pengertian yang berdekatan sehingga salah satu di antaranya dapat digunakan untuk menyatakan tindakan aborsi. B. Hukum Aborsi Sebelum membahas tentang hukum aborsi, perlu diketahui secara sekilas tentang cara pelaksanaan aborsi, macam-macam aborsi serta akibat pelaksanaan aborsi. Aborsi dapat dilaksanakan dengan beberapa cara, baik yang dilakukan oleh tenaga medis maupun tenaga non-medis, seperti dukun. Aborsi pun ada yang dilakukan secara legal, namun lebih banyak aborsi ilegal, sehingga membahayakan nyawa ibu. Aborsi secara medis di beberapa rumah sakit, biasanya menggunakan metode (1) Curattage & Dilatage atau C&D, (2) menggunakan alat khusus untuk memperlebar mulut rahim kemudian janin dikiret atau curet dengan alat seperti sendok kecil, (3) aspirasi, yaitu penyedotan isi rahim dengan pompa kecil, (4) hyterotomi atau 3
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Indonesia 1 (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1980), 60. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), 78. 5 Saifullah, “Abortus dan Permasalahannya,“ 130-131. 4
75
Aborsi Dalam Perspektif Fiqh
operasi. Di luar cara medis, aborsi juga terkadang dilakukan dengan menggunakan obat-obatan maupun ramuan jamu untuk melunturkan kandungan. Aborsi juga dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama adalah aborsi spontan, yaitu pengguguran kandungan tidak sengaja dan terjadi tanpa tindakan apapun. Biasanya hal ini terjadi karena faktor di luar kemampuan manusia seperti pendarahan dan kecelakaan. Dalam diskursus fiqh, aborsi semacam ini dinamakan al-isqath al-‘afw. Aborsi semacam ini tidak menimbulkan akibat hukum.6 Kedua adalah aborsi buatan, yaitu pengguguran kandungan yang terjadi sebagai akibat dari suatu tindakan. Di sini campur tangan manusia tampak jelas. Aborsi buatan terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu abortus artificialis therapicus dan abortus provocatus criminalis. Abortus artificialis therapicus adalah pengguguran yang dilakukan oleh dokter atas indikasi medis. Dalam istilah lain dapat disebutkan sebagai tindakan mengeluarkan janin dari rahim sebelum masa kehamilan. Hal ini dilakukan sebagai penyelamatan terhadap jiwa ibu yang terancam jika kehamilan diteruskan, karena pemeriksaan medis menunjukkan gejala seperti itu. Di kalangan ulama fiqh, aborsi jenis ini dinamakan dengan al-isqath al-dharuri atau al-ijhadh al-‘ilaji. Sedangkan abortus provocatus criminalis adalah pengguguran kandungan yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis. Di kalangan ulama fiqh, aborsi semacam ini disebut dengan al-isqath al-ikhtiyari atau al-ijhadh al-ijtima’i, yaitu tindakan mengeluarkan janin dari rahim secara sengaja tanpa sebab yang membolehkan (darurat) sebelum masa kelahiran tiba. Pada umumnya abortus provocatus criminalis terjadi karena didorong beberapa hal, seperti dorongan individual, kecantikan maupun moral. Berbagai tindakan aborsi yang dilakukan oleh bukan ahlinya dan tidak memenuhi persyaratan medis, banyak menimbulkan akibat negatif yang dapat menimbulkan komplikasi atau kematian. Hal ini bukan berarti tindakan aborsi yang dilakukan oleh ahli medis aman dari akibat negatif, namun hal itu tidak sebanyak yang dilakukan oleh aborsi oleh bukan ahlinya. 6
76
Ibid, 130-132.
Siti Maryam Qurotul Aini
Melihat berbagai pertimbangan di atas mengenai macammacam tindakan aborsi dengan resiko yang menyertai, ulama fiqh membagi hukum aborsi menjadi beberapa hal. Pembahasan tentang hukum aborsi mesti terkait dengan proses kehidupan janin dalam kandungan. Hal ini dilakukan untuk menjawab persoalan yang berkaitan dengan status aborsi itu dianggap sebagai pembunuhan manusia. Banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan proses perkembangan janin dalam kandungan, namun tidak ada ayat yang secara eksplisit menyatakan waktu janin itu sudah bisa disebut sebagai manusia.7 Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan perkembangan janin adalah QS. al-Qiyamah: 37-38 berikut ini:
Artinya: Bukankah Dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim). Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya. Di samping itu, juga terdapat QS. al-Sajdah: 7-9 berikut ini:
Artinya: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaikbaiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. 7 Istibsjaroh, “Hukum Aborsi Dalam Islam,“ al-Qanun, Vol. 6, No. 2 (Desember, 2003), 404.
77
Aborsi Dalam Perspektif Fiqh
Di dalam QS. al-Hajj : 5, juga menjelaskan proses pembuatan manusia. Perhatikan QS. al-Hajj: 5 berikut ini:
Artinya: Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. Penegasan proses pembuatan manusia juga gterdapat di dalam QS. al-Mu’minun: 12-14 berikut ini:
78
Siti Maryam Qurotul Aini
Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Ayat-ayat al-Qur’an di atas menjelaskan bahwa pada awal kejadiannya, manusia diciptakan dari tanah (Adam as), selanjutnya anak cucu Adam diciptakan dari air mani atau nuthfah yang mengandung beribu-ribu sperma yang tidak dapat terlihat secara kasat mata. Setelah salah satu sel sperma bertemu dengan ovum lalu menyatu dan menempel pada dinding rahim, beberapa waktu kemudian nuthfah itu menjadi segumpal darah atau ‘alaqah. Kemudian dari nuthfah berkembang menjadi segumpal daging atau mulghah, kemudian Allah Swt menciptakan tulang belulang dari mulghah dan membungkusnya dengan daging dan akhirnya menjadi makhluk yang memiliki bentuk indah sampai dilahirkan ke dunia sebagai bayi.8 Ayat-ayat di atas tidak memberikan informasi secara eksplisit tentang kapan janin memiliki ruh. Informasi tentang hal ini terdapat dalam hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud9sebagai berikut:
8 9
Ibid, 405. Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Juz VIII (tt: Dar wa Matabi’ al-Tab, tt.), 152.
79
Aborsi Dalam Perspektif Fiqh
Hadits tersebut bermakna bahwa proses kejadian manusia itu pertama merupakan bibit yang telah dibuahi dalam rahim ibu selama 40 hari, kemudian berubah menjadi ‘alaqah yang memakan waktu selama 40 hari, kemudian menjadi mulghah yang memakan waktu selama 40 hari pula. Setelah itu Allah Swt mengutus malaikat yang diperintah menulis empat hal, yaitu tentang amalnya, rejekinya, ajalnya dan nasibnya celaka atau bahagia, kemudian kepadanya ditiupkan ruh.10 Menurut isi kandungan dari hadits ini, sebagaimana dinyatakan oleh Ahmad Zahro, janin baru dapat dikatakan menjadi makhluk hidup setelah melampaui batas waktu 120 hari, memasuki minggu 18 setelah terjadinya konsepsi atau pembuahan. Jika ingin lebih akurat secara intelektual-medis, seharusnya ada konfirmasi dan klarifikasi dari para spesialis kandungan. Selama hal itu belum terjadi, menurut Ahmad Zahro, sebagai muslim seharusnya yakin terhadap kebenaran sabda Nabi Muhammad Saw. Berdasarkan hadits di atas, para fuqaha’ membedakan antara hukum menggugurkan kandungan sebelum dan sesudah ditiupkah ruh. Fuqaha’ berbeda pendapat tentang aborsi sebelum ditiupkan ruh atau di bawah usia kehamilan 120 hari. Tidak hanya di kalangan fuqaha’ antar madzhab, melainkan juga antar para fuqaha’ di internal madzhab. Pertama, ulama madzhab Zaidiyah Syi’ah, sebagian Hanafiyah dan sebagian Syafi’iyah membolehkan secara mutlak. Kedua, sebagian ulama Hanafiyah, sebagian Syafi’iyah membolehkan jika ada halangan atau ‘udzur dan makruh jika tidak ada ‘udzur. Ketiga, sebagian ulama Malikiyah menyatakan makruh secara mutlak. Keempat, mayoritas ulama Malikiyah dan Dzahiriyah 10
80
Ahmad Zahro, Fiqh Kontemporer (Jombang: Unipdu Press, 2012), 70-71.
Siti Maryam Qurotul Aini
menyatakan bahwa hukum aborsi adalah haram, meskipun usia kehamilan belum mencapai 40 hari sekalipun.11 Dalam literatur lain12 didapatkan kesimpulan bahwa hukum aborsi terhadap janin di bawah usia 120 hari adalah sebagai berikut, (1) boleh, sebelum janin berusia 120 hari, pendapat ini dikemukakan oleh sebagian besar ulama Hanafiyah dan sebagian kecil ulama Syafi’iyah, (2) boleh, sebelum 40-45 hari atau takhalluq, pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha’ Syafi’iyah, sebagian besar fuqaha’ Hanabilah dan sebagian kecil fuqaha’ Hanafiyah, (3) makruh cenderung haram, baik sebelum maupun sesudah 40 hari, pendapat ini dikemukakan sebagian kecil fuqaha’ Hanafiyah, (4) haram mutlak, pendapat ini dikemukakan oleh sebagian besar fuqaha’ Malikiyah, Imam al-Ghazali,13 Ibnu al-Jauzi dan Ibnu Hazm al-Dhahiri. Dengan kata lain, di luar fuqaha’ Malikiyah, dalam semua madzhab terdapat ulama yang mengharamkan aborsi secara mutlak. Sedangkan mengenai hukum aborsi setelah ditiupkan ruh atau kandungan telah mencapai usia 120 hari, para fuqaha’ sepakat tentang keharamannya.14 Hal ini didasarkan pada keumuman QS. al-Isra’: 31 dan QS. al-An’am: 151 berikut ini:
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan,Kamilah yang akan memberi rejeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. al-Isra’: 31)
11
Ibid. Istibsjaroh, “Aborsi Perspektif Hukum Islam,“ Qualita Ahsana, Vol. X, No. 2 (Agustus, 2008), 35. 13 Imam al-Ghazali menganalogkan pelenyapan nuthfah yang telah bertemu ovum dengan sebuah ‘aqad atau perjanjian yang sudah disepakati. Sperma laki-laki seperti ijab dan ovum perempuan adalah qabul. Jika keduanya bertemu, maka ‘aqad tidak boleh dan tidak bisa dibatalkan. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, tindakan melenyapkan kehidupan yang merupakan tindakan kriminal dapat dihitung mulai tahap nuthfah. Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz II (tt: Dar al-Fikr, tt.), 59. 14 Ahmad Zahro, Fiqh Kontemporer, 71-72. 12
81
Aborsi Dalam Perspektif Fiqh
Artinya: Katakanlah, “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberikan rejeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar[518]”. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). (QS. al-An’am: 151) C. Aborsi yang Diperbolehkan Aborsi yang telah dirumuskan hukumnya oleh para fuqaha di atas adalah berlaku dalam kondisi normal, berbeda jika terdapat keadaan tidak normal atau darurat (amat terpaksa) dengan alasan yang dapat dibenarkan syari’at dan medis, seperti jika janin dibiarkan tumbuh dalam kandungan, maka akan berakibat kematian ibu, para fuqaha’ memperbolehkan (mubah) bahkan mewajibkan aborsi. Yang termasuk aborsi semacam ini adalah abortus artificialis therapicus.15 15 Undang-U ndang RI Nomor 23 Tahun 19 92 tentang Kesehatan Pasal 15 menyatakan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu dan hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi medis yang mengaharuskan diambilnya tindakan tersebut, oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya dan pada sarana kesehatan tertentu. Menurut Istibsjaroh, aturan ini menimbulkan kebingungan penafsiran dan terasa ada keragu-raguan pemerintah dalam menghadapi
82
Siti Maryam Qurotul Aini
Dasar yang digunakan pengambilan hukum ini antara lain adalah QS. al-Baqarah: 173 berikut ini:
Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Di samping itu, juga dalil dari QS. al-Ma’idah: 3 berikut ini:
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk 83
Aborsi Dalam Perspektif Fiqh
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalil pengambilan hukum ini juga menggunakan qa’idah fiqhiyyah yang berbunyi: yang berarti bahwa keadaan darurat itu dapat menyebabkan dibolehkannya suatu yang semula dilarang.16 Pada kasus aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa ibu yang dipastikan akan meninggal dunia jika tetap dengan kehamilannya, karena jelas menyelamatkan nyawa ibu lebih urgent dan mengorbankan janin yang masih dalam kandungan lebih kecil kerugiannya, hal ini berdasarkan kepada qa’idah fiqhiyyah di atas dan qa’idah fiqhiyyah yang berbunyi:
Artinya: Jika terdapat dua hal yang merugikan padahal tidak mungkin dihindari keduanya, maka harus ditentukan pilihan pada yang lebih kecil kerugiannya.17 D. Aborsi yang Dilarang Aborsi yang dilakukan bukan dengan dasar darurat, maka mutlak dilarang, seperti aborsi karena faktor ekonomi, malu hamil tanpa suami sebagai akibat pergaulan bebas atau zina, malu jika anak yang dilahirkan cacat dan sebagainya.18Hal ini didasarkan pada keumuman QS. al-Nahl : 58-59 berikut ini:
masalah aborsi. Aturan di atas belum menjawab persoalan “kriteria darurat“ secara pasti, sehingga tidak memberi ruang jawaban bagi ibu untuk melakukan aborsi karena mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Istibsjaroh, “Aborsi Perspebktif Hukum Islam,“ 40-41. 16 Jalaluddin al-Suyuti, al-Ashbah wa al-Nadha’ir (tt: tp, t.th), 59-60. 17 Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyah (Jakarta: Sa’adiyah Putra, tt.), 35. 18 Zahro, Fiqh Kontemporer, 72-75.
84
Siti Maryam Qurotul Aini
Artinya: Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Dia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah secara hidup-hidup? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. Juga berdasarkan isi dari QS. al-Isra’: 31 berikut ini:
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rejeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. Juga berdasarkan isi kandungan dari QS. Hud: 6 di bawah ini:
Artinya: Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rejekinya dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya, semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). 85
Aborsi Dalam Perspektif Fiqh
Menurut Ahmad Zahro, aborsi terhadap janin hasil pemerkosaan dapat dibenarkan dengan alasan darurat, bukan karena malu atau takut kemiskinan dan lainnya, jika janin belum berumur 120 hari. Jika janin sudah memasuki usia 120 hari, maka tindakan aborsi diharamkan secara mutlak.19 Berbeda dengan aborsi yang dilakukan pada janin hasil zina akibat seks bebas, penulis sependapat dengan para fuqaha’ kontemporer20 tentang keharamannya secara mutlak, baik dilakukan sebelum ditiupkan ruh atau sesudahnya. Hal ini sebagai pelajaran berharga agar perilaku seks bebas yang berujung kepada kehamilan tidak diinginkan dapat dihentikan. Hal ini juga berdasarkan kepada qa’idah fiqhiyyah yang menyatakan bahwa rukhsah atau dispensasi hukum, dalam hal ini aborsi karena darurat, tidak berlaku kepada perbuatan maksiat (al-rukhas la tunatu bi al-ma’ashi).21 Penutup Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aborsi merupakan tindakan mengeluarkan janin dari rahim sebelum waktu lahir secara alami. Aborsi terbagi menjadi tiga macam, yaitu aborsi spontan, abortus artificialis therapicus dan abortus provocatus criminalis. Aborsi spontan tidak menimbulkan efek hukum, sedangkan aborsi jenis kedua dan ketiga inilah yang berefek hukum. Para fuqaha’ berbeda pendapat tentang hukum aborsi yang dilakukan sebelum ditiupkan ruh. Hal ini terjadi karena perbedaan persepsi fuqaha’ tentang waktu janin dikatakan sebagai makhluk hidup sehingga membunuhnya merupakan tindakan kriminal yang harus dikenai hukuman. Sedangkan aborsi yang dilakukan setelah ditiupnya ruh, para fuqaha’ bersepakat mengharamkannya. Aturan ini diterapkan kepada aborsi dalam kondisi normal. 19
Ibid. Sa’id Ramadhan al-Buthi, sebagaimana dikutip Istibsjaroh, dengan tegas mengatakan bahwa aborsi dalam kasus kehamilan karena zina adalah haram mutlak. Al-Buthi berargumen dengan QS. al-Isra’:16. Hadits tentang Ma’iz yang dihukum rajam karena berzina dengan perempuan yang melahirkan anaknya. Hukuman rajam atas perempuan tadi ditangguhkan sampai dia dapat menyapih anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang dikandung akibat zina tidak boleh digugurkan. Dengan demikian, aborsi dalam fiqh kontemporer dipandang sebagai tindak kriminal yang berkaitan erat dengan moralitas sosial. Pengecualian hanya berlaku jika perempuan diancam dibunuh jika tidak melakukan aborsi. Dalam kasus seperti ini, aborsi diperbolehkan karena untuk menyelamatkan jiwa ibu. Sa’id Ramadhan al-Buthi, Ma s’a lah Ta hd id al-Nasl (Syiria: Maktabah al-Farabi, 2 000 ), 80 dan 12 7-1 39 sebagaimana dalam Istibsjaroh, “Aborsi Dalam Perspektif Hukum Islam,” 36-37. 21 Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyah, 43. 20
86
Siti Maryam Qurotul Aini
Aborsi karena darurat, seperti halnya abortus artificialis therapicus, dapat dilaksanakan secara mutlak, baik sebelum atau sesudah janin ditiupkan ruh. Sedangkan aborsi yang dilakukan tanpa dasar darurat, seperti halnya aborsi yang dilakukan terhadap janin hasil zina, aborsi karena malu anaknya terlahir cacat, takut kemiskinan dan lainnya, diharamkan secara mutlak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa permasalahan aborsi terkait dengan perlindungan jiwa pada janin maupun ibu yang mengandungnya. Perbedaan pendapat ulama terkait aborsi sebelum ditiupkan ruh merupakan bukti bahwa yang dijadikan pertimbangan hukumnya adalah waktu janin itu dikatakan makhluk hidup sehingga perlu dipelihara jiwanya. Sedangkan kesepakatan ulama tentang kebolehan atau bahkan “wajib” melakukan tindakan aborsi jika dikhawatirkan atau dipastikan ibu terancam jiwanya dengan kehamilannya menunjukkan bahwa perlindungan jiwa terhadap ibu harus diutamakan dengan mengorbankan jiwa janin berdasar pertimbangan pengambilan resiko yang lebih kecil. Kesimpulan ini terkait dengan aborsi pada janin hasil pernikahan yang sah. Berbeda dengan aborsi yang dilakukan atas janin hasil zina, ulama kontemporer menghukuminya berdasar sadd al-zari’ah dan qa’idah fiqhiyyah yang berbunyi alrukhas la tunatu bi al-ma’ashi. Namun menjadi persoalan sekarang adalah banyaknya aborsi karena pergaulan bebas atau zina. Selain biasanya aborsi pada kasus tersebut dilakukan secara diam-diam, juga sering dilakukan dengan jalan non-medis yang membahayakan janin maupun jiwa ibu. Hal ini mengakibatkan persoalan aborsi semacam ini harus diperhatikan semua pihak dengan arif dan bijak, karena kehamilan di luar nikah adalah hasil dan akibat suatu perbuatan (zina). Namun jika sudah terjadi, maka yang mengalami dilema adalah pihak perempuan (ibu) dan itulah resiko yang harus dihadapi karena tidak mengindahkan larangan Allah Swt berupa zina.*
87
Aborsi Dalam Perspektif Fiqh
DAFTAR PUSTAKA al-Bukhari, Imam. Shahih al-Bukhari Juz VIII. tt: Dar wa Matabi’ alTab, tt. al-Buthi, Sa’id Ramadhan. Mas’alah Tahdid al-Nasl. Syiria: Maktabah al-Farabi, 2000. Dewan Redaksi. Ensiklopedi Indonesia 1. Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1980. al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulumuddin Juz II. tt: Dar al-Fikr, tt. Hakim, Abdul Hamid. Mabadi’ Awwaliyah. Jakarta: Sa’adiyah Putra, tt. Istibsjaroh. “Hukum Aborsi Dalam Islam,” al-Qanun, Vol. 6, No. 2. Desember, 2003. __________. “Aborsi Perspektif Hukum Islam,” Qualita Ahsana, Vol. X, No. 2. Agustus, 2008. Saifullah. “Abortus dan Permasalahannya,” dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer II, ed. Chuzaimah T. Yanggo. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. al-Suyuti, Jalaluddin. al-Ashbah wa al-Nadha’ir. tt: tp, tt. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Zahro, Ahmad. Fiqh Kontemporer. Jombang: Unipdu Press, 2012. Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997.
88
Siti Maryam Qurotul Aini
PEDOMAN TEKNIS PENULISAN 1. Artikel merupakan tulisan konsepsional (library research) atau hasil penelitian studi keislaman dari lapangan (field research) yang belum pernah diterbitkan oleh media lain. 2. Topik kajian meliputi pendidikan atau hukum Islam dari berbagai perspektif. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa Arab atau bahasa Inggris baku dengan jarak 1,5 spasi pada kertas HVS ukuran A4 dan dikirim ke redaksi dalam bentuk cetak (print out) sebanyak satu eksemplar beserta file dalam CD, flashdisk atau dikirim ke alamat e-mail :
[email protected]. 4. Panjang tulisan antara 15-25 halaman, tidak termasuk Daftar Pustaka. 5. Artikel yang memenuhi syarat akan diseleksi dan diedit dewan redaksi untuk penyeragaman format dan gaya penulisan, tanpa merubah isi substansinya. 6. Nama penulis artikel (tanpa gelar akademik, jabatan atau kepangkatan) harus dicantumkan disertai alamat korespondensi, alamat e-mail dan atau nomor telepon kantor, rumah atau telepon seluler (hand phone). 7. Artikel berupa library research meliputi judul, nama dan identitas penulis, abstrak (sekitar 200 kata), keywords, pendahuluan, isi atau pembahasan, penutup dan daftar pustaka. 8. Artikel berupa field research meliputi judul, nama dan identitas penulis, abstrak (sekitar 200 kata), key words, pendahuluan (masalah, tujuan dan manfaat penelitian), metode penelitian, hasil penelitian, pembahasan atau analisis, penutup dan daftar pustaka. 9. Key words dapat berbentuk kata atau frase. 10. Istilah-istilah asing (non-Indonesia) harus dicetak miring atau Italics. 11. Penulisan catatan kaki (foot note) dan daftar pustaka berbeda. Perbedaannya dapat diketahui pada contoh berikut : a. Catatan Kaki 89
Aborsi Dalam Perspektif Fiqh 1
Bernard Lewis, Islam and The West (New York : Oxford University Press, 1994), 212. 2
Crane Brinton, “Enlightenment,” dalam Encyclopedia of Philosophy, Vol. 2 (New York : Macmillan and the Free Press, 1967), 522. 3
M. Syamsul Huda, “Rasionalisme Telaah Pemikiran Imre Lakatos,” dalam www.geocities.com/HotSprings/6774/j-40. 4
M. Amin Abdullah, “Dialektika Agama antara Profanitas dan Sakralitas,” dalam Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme (Yogyakarta : IRCiSoD, 2006), 12. 5
Mukani, “Character Education in Indonesia,” dalam Jurnal Islamica, Vol. 1, No. 2 (Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2007), 146-161. b. Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin. “Dialektika Agama antara Profanitas dan Sakralitas” dalam Moh. Shofan. Jalan Ketiga Pemikiran Islam Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme. Yogyakarta : IRCiSoD, 2006. Brinton, Crane. “Enlightenment” dalam Encyclopedia of Philosophy, Vol. 2. New York : Macmillan and the Free Press, 1967. Huda, M. Syamsul. “Rasionalisme Telaah Pemikiran Imre Lakatos,” dalam www.geocities.com/HotSprings/6774/j-40. Lewis, Bernard. Islam and The West. New York : Oxford University Press, 1994. Mukani. “Character Education in Indonesia” dalam Jurnal Islamica, Vol. 1, No. 2. Surabaya : Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2007. 12. Penulisan artikel menggunakan pedoman transliterasi ArabIndonesia sebagaimana berikut :
90
Siti Maryam Qurotul Aini
13. Penulis berhak memperoleh hard copy sebanyak 3 (tiga) eksemplar. 14. Artikel diserahkan ke Dewan Redaksi paling lambat tanggal 31 Mei dan 30 Nopember setiap tahunnya.
91