PAPER ANALYSIS
“A STRUCTURAL MODEL OF FASHION-ORIENTED
IMPULSE BUYING BEHAVIOR” Presented By Group 5 – E49
ACADEMIC PAPER ANALYSIS
“A STRUCTURAL MODEL OF FASHION-ORIENTED IMPULSE BUYING BEHAVIOR” Eun Joo Park, Eun Young Kim and Judith Cardona Forney Tugas Mata Kuliah Manajemen Pemasaran Dosen Pengampu : Dr. Ir. Kirbrandoko, MSM Disusun Oleh : Kelompok 5 – E49
A.M HERI SAKTIYANTO
[P056132632.49E]
FEBRIANTO ARIF WIBOWO
[P056132742.49E]
FITRIANA PURNAMASARI
[P056132762.49E]
HARYA BUNTALA KOOSTANTO
[P056132772.49E]
HUSNUL INSAN
[P056132782.49E]
SAFITRI LARASATI
[P056132922.49E]
YOGI SYAMRIADI
[P056132972.49E]
Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor Februari 2014
SUMMARY REVIEW LATAR BELAKANG Pengetahuan tentang pelanggan merupakan kunci dalam merencanakan suatu strategi pemasaran suatu perusahaan, tidak terkecuali pada bisnis ritel. Pelanggan dapat menjadi aset perusahaan yang paling berharga, sehingga perusahaan perlu untuk menciptakan sekaligus menjaga ekuitas tersebut. Perusahaan membutuhkan informasi pelanggan yang efektif dari dalam ruang toko dan mengembangkannya menjadi stimulus terhadap perilaku pembelian produk secara umum. Pengecer membutuhkan informasi tersebut untuk menentukan efisiensi penggunaan sumberdaya yang dirancang dalam menambah penjualan dan sebagai salah satu strategi bersaing terhadap pesaing. Ketatnya persaingan menurut Berman dan Evans (2001:24) terjadi karena sifat usaha ritel yang sangat sulit untuk melakukan diferensiasi dan entry barrier (hambatan masuk) dalam usaha ritel sangatlah rendah. Kompetisi pengusaha ritel tidak lagi terjadi antar format ritel yang sama namun terjadi antar format ritel yang berbeda. Sebagai contoh supermarket bukan saja harus bersaing dengan supermarket lain, tetapi bersaing juga dengan hypermarket, department store, super store, maupun toko kulakan. Teridentifikasi dengan jelas bahwa peluang maupun persaingan usaha ritel sangat terbuka. Keputusan pembelian konsumen terutama keputusan yang bersifat impulse buying dapat didasari oleh faktor individu konsumen yang cenderung berperilaku afektif. Perilaku ini kemudian membuat pelanggan memiliki pengalaman dalam berbelanja. Model penelitian yang dilakukan oleh Park, Kim dan Forney (2005) bertujuan untuk melihat intensitas konsumen dalam pembelian secara impulsif terhadap produk fashion. Model ini memperlihatkan hubungan antara empat variabel dalam hal fashion. Ke-empat variabel tersebut adalah fashion involvement, positive emotion, hedonic consumption tendency, dan fashion-oriented impulsive buying. Dalam hal ini, fashion involvement mempengaruhi positive emotion, hedonic consumption tendency, dan fashion-oriented impulsive buying. Selanjutnya positive emotion mempengaruhi fashion-oriented impulsive buying, dimana positive emotion dipengaruhi oleh hedonic consumption tendency yang juga mempengaruhi fashion-oriented impulsive buying. Berikut ini adalah model penelitian pada jurnal yang dilakukan oleh peneliti :
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
1
Gambar 1. Model Penelitian Sumber: Park, Eun Joo., Kim, Young Eun., & Forney, Judith Cardona. (2006). “A Structural Model of FashionOriented Impulsive Buying Behavior”, Journal of Fashion Marketing and Management, vol 10, 4.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam paper ini menggunakan kuisioner yang dikembangkan dari literature dan diberikan kepada 217 mahasiswa dari sebuah universitas metropolitan yang terletak di bagian barat daya Amerika Serikat. Model persamaan structural menggunakan sebuah matriks korelasi dengan kemungkinan maksimum diperkirakan dengan LISREL 8.53.
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian yang dilakukan oleh Park, Kim dan Forney (2005) menunjukkan bahwa keterlibatan dalam dunia fashion dan emosi yang positif memiliki efek positif pada perilaku pembelian produk-produk fashion konsumen secara impulsif, dimana keterlibatan terhadap dunia fashion memiliki pengaruh terbesar. Kecenderungan konsumsi secara hedonis merupakan mediator penting dalam menentukan dorongan konsumen untuk membeli produkproduk fashion secara impulsif.
KETERBATASAN PENELITIAN Penelitian ini terbatas pada mahasiswa-mahasiswa di salah satu universitas metropolitan yang terletak di bagian barat daya Amerika Serikat dan penelitian hanya dilakukan untuk produk-produk fashion saja.
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
2
VARIABEL PENELITIAN Berdasarkan model penelitian yang tertera pada gambar diatas, maka variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1.
Keterlibatan dalam fashion (fashion involvement)
2.
Emosi yang positif (positive emotion)
3.
Kecenderungan melakukan konsumsi secara hedonis (hedonic consumption tendency)
4.
Pembelian secara impulsif (impulsive buying).
KETERLIBATAN DALAM FASHION FASHION INVOLVEMENT Involvement atau keterlibatan seseorang terhadap sesuatu adalah motif yang membuat seseorang tertarik atau ingin membeli suatu produk atau mengkonsumsi jasa yang ditawarkan karena dipajang maupun karena situasi yang memungkinkan (O’Cass, 2004). Secara umum konsep involvement adalah interaksi antara individu (konsumen) dengan objek (produk). Dalam fashion marketing, keterlibatan dalam fashion merujuk pada ketertarikan terhadap kategori produk fashion seperti baju, tas, dan sepatu. Fashion involvement digunakan perusahaan untuk memprediksi variabel tingkah laku konsumen dalam menentukan pakaian yang akan mereka gunakan, seperti product involvement, tingkah laku membeli, dan karakteristik konsumen (Browne and Kaldenberg, 1997; Fairhurst et al., 1989; Flynn and Goldsmith, 1993). Keterlibatan seseorang dalam fashion berhubungan erat dengan dengan karakteristik seseorang dan pengetahuannya mengenai fashion (O’Cass 2000, 2004), yang pada akhirnya mempengaruhi seseorang dalam menentukan barang apa yang akan dibeli. Konsumen dengan keterlibatan yang cukup tinggi dengan fashion cenderung untuk lebih sering membeli produk-produk pakaian (Fairhurst et al, 1989; Seo et al, 2001). Oleh karena itu peneliti berasumsi bahwa konsumen dengan keterlibatan yang tinggi dengan fashion akan lebih tertarik untuk menjadi impulsif dalam membeli barang.
EMOSI POSITIF POSITIVE EMOTION Menurut Park, Kim dan Forney (2005), emosi merupakan sebuah efek dari suasana hati yang merupakan faktor penting dalam pengambilan keputusan konsumen. Biasanya, emosi diklasifikasikan menjadi dua dimensi ortogonal, yaitu positif dan negatif (Watson and Telegen, 1985 dalam Park et al.,2005). Beberapa penelitian kualitatif melaporkan bahwa konsumen mengalami perasaan yang bersemangat dan Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
3
bergairah dalam hidup setelah berbelanja (Bayley and Nancarrow, 1998; Dittmar et al., 1996; Rook, 1987 dalam Park, Kim and Forney, 2005). Emosi positif dapat ditimbulkan oleh suasana hati individu yang sudah ada sebelumnya, kecondongan sifat afektif seseorang dan reaksi terhadap pertemuan arus lingkungan yang mendukung seperti ketertarikan pada item barang yang diinginkan ataupun adanya promosi penjualan. Suasana hati seseorang merupakan faktor yang sangat penting untuk konsumen dalam mengambil keputusan. Suasana hati yang positif ketika melakukan pembelian dapat ditimbulkan dari suasana hati konsumen ketika masuk ke dalam toko atau lingkungan toko tersebut. Emosi sangat mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam membeli suatu barang termasuk pembelian secara impulsif. Penelitian menunjukkan bahwa pengaruh emosi positif dapat memperluas ruang lingkup berpikir dan dapat disimpulkan juga bahwa emosi positif dapat memperluas ruang lingkup tindakan yang akan diambil (Fredrickson, 1998). Fredrickson juga mengatakan hal ini dapat meningkatkan perilaku konsumen yang sebenarnya maupun intensitas yang dapat ditimbulkan karena emosi positif tersebut. Konsumen yang berada di dalam tingkat emosional yang positif akan lebih mengurangi kompleksitas dalam memilih suatu produk dan memiliki waktu lebih singkat dalam menentukan keputusan pembelian (Isen, 1984). Selain itu, jika dibandingkan dengan emosi negatif, konsumen dengan emosi positif menunjukkan dorongan yang lebih besar dalam membeli karena memiliki perasaan yamg tidak dibatasi oleh keadaan lingkungan sekitarnya, memiliki keinginan untuk menghargai diri mereka sendiri, dan tingkat energi yang lebih tinggi (Rook & Gardner, 1993). Saat berbelanja, emosi di dalam toko dapat mempengaruhi niat seseorang untuk membeli suatu produk yang dapat dipicu oleh kualitas barang, kepuasan konsumen, dan nilai dari barang tersebut (value). Konsumen yang sedang mengalami keadaan emosional yang positif juga memiliki keinginan lebih tinggi untuk melakukan pembelian secara impulsif (Beatty & Ferrel, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen yang membeli suatu produk secara impulsif ternyata lebih emosional daripada yang membeli secara terencana (Weinberg & Gottwald, 1982). Karena pembelian secara impulsif menunjukkan perasaan positif yang lebih besar (kesenangan, kegembiraan, kebahagiaan) maka konsumen akan cenderung lebih boros dalam berbelanja (Donovan & Rossiter, 1982). Mehrabian dan Russel (1974) dalam Babin dan Darden (1995) menyatakan bahwa respon afektif lingkungan atas perilaku pembelian dapat diuraik an oleh 3
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
4
variabel yaitu : 1. Kesenangan (Pleasure), mengacu pada tingkat di mana individu merasakan baik, penuh kegembiraan, bahagia yang berkaitan dengan situasi tersebut. Kesenangan diukur dengan penilaian reaksi lisan ke lingkungan (bahagia sebagai lawan sedih, menyenangkan sebagai lawan tidak menyenangkan, puas sebagai lawan tidak puas, penuh harapan sebagai lawan berputus asa, dan santai sebagai lawan bosan). Konseptualisasi terhadap kesenangan dikenal dengan pengertian lebih suka, kegemaran, perbuatan positif. 2. Gairah (Arousal), mengacu pada tingkat di mana seseorang merasakan siaga, digairahkan, atau situasi aktif. Gairah secara lisan dianggap sebagai laporan responden, seperti pada saat ditentang atau diperlonggar. Beberapa ukuran non verbal telah diidentifikasi dapat dihubungkan dan sesungguhnya membatasi sebuah ukuran dari gairah dalam situasi sosial. 3. Kekuasaan (Dominance), ditandai dengan laporan responden yang merasa dikendalikan sebagai lawan mengendalikan, mempengaruhi sebagai lawan dipengaruhi, terkendali sebagai lawan diawasi, penting sebagai lawan dikagumi, dominan sebagai lawan bersikap tunduk dan otonomi sebagai lawan dipandu.
Dichter (1960) menyatakan bahwa ada beberapa keputusan yang dibuat oleh konsumen yang didorong oleh perasaan benci, cinta atau cemburu bukan berdasarkan penalaran yang ekonomis akan tetapi berdasarkan pemikiran secara deduktif. Oleh karena itu, keadaan emosional dari konsumen menjadi faktor yang penting dalam memprediksi pembelian yang dilakukan secara impulsif di dalam toko.
KECENDERUNGAN KONSUMSI SECARA HEDONIS HEDONIC CONSUMPTION TENDENCY Hedonic consumption tendency menurut Semuel (2005) mencerminkan instrumen yang menyajikan secara langsung manfaat dari suatu pengalaman dalam melakukan pembelanjaan, seperti kesenangan, hal-hal baru. Hedonic consumption tendency atau nilai intrinsik yang lebih merefleksikan pengalaman keuntungan yang dinyatakan langsung sebagai pengalaman belanja. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelanggan berhubungan positif dengan hedonic shoping value, yang menjadikan lingkungan toko sebagai tempat yang menarik untuk menghabiskan waktu luang (Babin,et al.,1995).
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
5
Konsumsi secara hedonis mencakup aspek-aspek perilaku yang terkait dengan multiindera, fantasi, dan emosional konsumen yang didorong dari berbagai macam keuntungan yang di dapat dari kesenangan menggunakan produk tersebut dan estetika yang ditimbulkan dari produk tersebut (Hirschman and Holbrook, 1982). Hal ini menunjukkan pengalaman konsumen ketika membeli dapat menjadi yang lebih penting daripada membeli produk tersebut. Melalui paper ini, Park, Kim dan Forney (2005) menyatakan bahwa dorongan membeli memainkan peranan penting dalam memenuhi keinginan hedonis berhubungan dengan konsumsi hedonis (Hausman, 2000; Piron, 1991; Rook, 1987). Peran ini mendukung hubungan konseptual antara motivasi berbelanja hedonis dan perilaku impulse buying. Hal ini menunjukkan konsumen lebih mungkin terlibat dalam impulse buying ketika mereka termotivasi oleh keinginan hedonis atau alasan ekonomi, seperti kesenangan, fantasi, dan sosial atau kepuasan emosional. Konsumen lebih dapat terlibat dalam membeli suatu produk secara impulsif ketika mereka termotivasi atau terdorong karena keinginan yang bersifat hedonis dan bukan alasan ekonomi, hal bersifat hedonis seperti kesenangan, fantasi, dan kepuasan emosional (Hausman, 2000; Rook, 1987). Karena tujuan dari pengalaman dalam berbelanja adalah untuk memenuhi kebutuhan hedonis seseorang, maka produk yang dibeli seperti terpilih tanpa perencanaan sebelumnya atau dapat disebut dengan pembelian secara impulsif. Perilaku membeli barang fashion secara impulsif di motivasi oleh gaya baru dalam fashion, merek barang yang mahal (Gucci, Luis Vuitton, Hermes, dan lain-lain) yang dapat mendorong konsumen untuk mendapat pengalaman berbelanja secara hedonis (Goldsmith dan Emmert, 1991 dalam Park et al.,2005).
DORONGAN UNTUK MEMBELI IMPULSIVE BUYING Impulsive buying atau pembelian suatu barang secara impulsif terjadi ketika konsumen merasakan pengalaman, terkadang keinginan kuat, untuk membeli barang secara tiba-tiba tanpa ada rencana terlebih dahulu (Rook, 1987). Menurut Mowen dan Minor (2002), impulse buying didefinisikan sebagai tindakan membeli yang sebelumnya tidak diakui secara sadar sebagai hasil dari suatu pertimbangan atau niat membeli yang terbentuk sebelum memasuki toko. Pembelian secara impulsif sering kali muncul secara tiba-tiba, cepat, spontan, lebih emosional daripada rasional dan lebih sering dianggap sebagai sesuatu yang buruk daripada sesuatu yang baik, dan konsumen cenderung merasa “out-of-control” ketika membeli barang
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
6
secara impulsif. Produk impulsif kebanyakan adalah produk-produk baru, contohnya : produk dengan harga murah yang tidak terduga. Beberapa macam dari barang-barang pelanggan berasal dari pembelian tidak terencana (impulse buying), barang-barang yang dilaporkan paling sering dibeli adalah pakaian, perhiasan ataupun aksesoris yang dekat dengan diri sendiri dan mendukung penampilan (Park,et al.,2005). Menurut Semuel (2005) sebagian orang menganggap kegiatan belanja dapat menjadi alat untuk menghilangkan stress, menghabiskan uang dapat mengubah suasana hati seseorang berubah secara signifikan, dengan kata lain uang adalah sumber kekuatan. Kemampuan untuk menghabiskan uang membuat seseorang merasa berkuasa. Pembelian tidak terencana, berarti kegiatan untuk menghabiskan uang yang tidak terkontrol, kebanyakan pada barang-barang yang tidak diperlukan. Barang-barang yang dibeli secara tidak terencana (produk impulsif) lebih banyak pada barang yang diinginkan untuk dibeli, dan kebanyakan dari barang itu tidak diperlukan oleh pelanggan. Perilaku pembelian secara impulsif adalah keadaan secara tiba-tiba, perilaku pembelian secara hedonis yang kompleks dimana kecepatan dalam penentuan proses pembelian lebih cepat daripada penentuan alternatif lain dan pertimbangan-pertimbangan pembelian barang yang lain secara lebih bijaksana (Rook, 1987). Oleh karena itu, impulsive buying behavior dapat menginisiasi munculnya pembelian secara tidak terencana. Hal ini dapat disebabkan karena konsumen yang melakukan impulsive buying tidak berpikir secara jernih dalam melakukan proses keputusan pembelian, konsumen akan lebih melakukan proses keputusan pembelian melalui perasaan daripada logika. Keinginan membeli yang dimiliki oleh konsumen merupakan konsep penting bersama dengan keterlibatan produk sebagaimana mereka terlibat denga produk tertentu (Jones et al., 2003). Untuk pakaian, keinginan membeli berorientasi fashion mengacu pada kesadaran seseorang atau persepsi terkait mode dengan desain yang inovatif atau gaya. Artinya, keinginan membeli secara impulsif pada produk-produk fashion terjadi ketika konsumen melihat produk fashion baru dan membelinya karena mereka termotivasi oleh saran untuk membeli produk baru (Han et al., 1991). Penelitian awal dalam perilaku keinginan membeli yang dimiliki oleh konsumen berkonsentrasi pada tipologi keinginan membeli dan memahami peran dari keterlibatan busana dalam memprediksi keinginan konsumen untuk membeli produk-produk fashion. Menurut Han et al. (1991), keinginan membeli diklasifikasikan sebagai empat jenis, yaitu : 1. Keinginan membeli yang direncanakan 2. Keinginan membeli yang teringat
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
7
3. Keinginan membeli yang berorientasi fashion 4. Keinginan membeli yang sebenarnya
Menurut penelitian Engel et al (1995), pembelian secara impulsif mungkin memiliki satu atau lebih karakteristik berikut ini : 1. Spontanitas. Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk membeli sekarang, sering digunakan sebagai respon terhadap stimuli visual langsung di tempat penjualan. 2. Kekuatan, kompulsi, dan intensitas. Mungkin ada motivasi untuk mengesampingkan semua yang lain dan bertindak dengan seketika. 3. Kegairahan dan stimulasi. Desakan mendadak untuk membeli sering disertai dengan emosi yang dicirikan sebagai “menggairahkan“, ”menggetarkan” atau ”liar”. 4. Ketidakpedulian akan akibat. Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu sulit ditolak sehingga akibat yang mungkin negatif diabaikan.
Mereka menemukan bukti yang tinggi terkait keinginan membeli secara impulsif untuk produk-produk fashion bagi para mahasiswa jurusan tekstil dan pakaian bila dibandingkan dengan mahasiswa di jurusan lain. Temuan mereka menunjukkan bahwa perilaku impulsive buying untuk produk-produk fashion mungkin terlihat lebih signifikan untuk mahasiswa dengan jurusan yang memiliki keterlibatan lebih tinggi dengan fashion. Penelitian selanjutnya difokuskan pada perilaku pembelian secara impulsif yang didasarkan pada proses pengambilan keputusan konsumen. Ko (1993) menemukan bahwa keinginan membeli pakaian dibedakan dari pembelian yang tidak direncanakan secara wajar dimana didasarkan pada preferensi emosional atau evaluasi obyektif daripada evaluasi rasional. Temuan Ko mengimplikasikan bahwa faktor emosional (yaitu perasaan positif) dapat mengakibatkan keinginan membeli produk-produk fashion saat berbelanja. Beberapa penelitian terbatas melaporkan bahwa konsumen kemungkinan akan termotivasi untuk melakukan pembelian secara impulsif dengan keterlibatan dan pilihan produk yang tinggi. Kurangnya
penelitian
terfokus
pada
aspek-aspek
pengalaman
konsumsi
yang
menggarisbawahi kebutuhan untuk memahami bagaimana keinginan membeli secara impulsif untuk produk-produk fashion berhubungan dengan kecenderungan konsumsi secara hedonis atau faktor emosional dalam lingkungan ritel.
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
8
HIPOTESIS PENELITIAN Berdasarkan model penelitian diatas, maka Park, Kim dan Forney (2005) melalui paper ilmiahnya, menguji 6 hipotesis yang menunjukkan hubungan kausal antara keempat variabel (keterlibatan dalam fashion, emosi yang positif, kecenderungan melakukan konsumsi secara hedonis dan pembelian secara impulsif) dalam konteks belanja. Dalam hubungan kausatif ini, keterlibatan dalam fashion (Ɛ 1 ) diasumsikan mempengaruhi emosi positif (ŋ1 ), kecenderungan konsumsi secara hedonis (ŋ 2 ) dan pembelian sevara impulsif (ŋ 3). Selain itu, emosi dan kecenderungan konsumsi secara hedonis diasumsikan mempengaruhi perilaku membeli secara impulsif untuk produk fashion. Berikut merupakan 6 hipotesis yang digunakan oleh Park, Kim dan Forney : 1.
Pertama-tama akan dilihat hubungan antara keterlibatan seseorang dalam fashion (fashion involvement) dapat memberikan efek emosional menjadi positif ketika berbelanja. Kesinambungan antara keterlibatan dalam fashion dengan emosi positif dapat diteliti dan dibuktikan dengan : H1 : keterlibatan seseorang dalam dunia mode memiliki efek positif dalam diri seseorang ketika berbelanja
2.
Konsumen yang memiliki keterlibatan dalam memilih mode fashion akan lebih cenderung melakukan konsumsi secara hedonis. Keterlibatan konsumen terhadap fashion dapat mempengaruhi konsumen dalam merasakan pengalaman dalam berbelanja dan mencari kepuasan melalui pembelian secara hedonis. Hal ini dapat membuktikan apakah ada hubungan antara fashion involvement dengan hedonic consumption tendency. H2 : keterlibatan dalam dunia mode memiliki efek positif pada kecenderungan melakukan konsumsi secara hedonis.
3.
Definisi dari keterlibatan fashion (fashion involvement) pada dasarnya berhubungan dengan pakaian yang modis. Hasil dari temuan Han et al (1991) yang dikutip dari tanggapan fashion involvement terhadap mode, bahwa hal tersebut dapat mendorong orientasi mode dalam perilaku konsumen melakukan pembelian secara impulsif. Fairhurst et al (1999) juga menemukan bahwa adanya hubungan antara keterlibatan seseorang dalam fashion dengan pembelian pakaian. H3 : keterlibatan seseorang dalam dunia mode memiliki efek positif dalam perilaku membeli barang secara impulsif.
4.
Konsumen yang memiliki kecenderungan melakukan konsumsi secara hedonis melakukan hal tersebut karena memiliki tujuan tertentu yang dapat berhubungan
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
9
dengan emosional. Setelah mereka melakukan pembelian maka suasana emosional mereka dapat menjadi lebih kearah positif (puas, gembira, bahagia) atau kearah negatif yang berupa rasa penyesalan karena telah membeli produk tersebut tanpa pemikiran lebih lanjut. H4 : kecenderungan seseorang melakukan konsumsi secara hedonis memiliki efek positif pada emosi ketika berbelanja. 5.
Konsumen mulai mencari peningkatan value tidak hanya dari produk itu sendiri namun juga dari proses berbelanja itu juga. Literatur dipenuhi dengan berbagai cerita dimana konsumen membeli produk tidak terdorong oleh nilai produk pada harga namun karena faktor-faktor seperti hiburan, variasi, dan kejutan. Faktor-faktor ini dapat dimasukkan dalam motivasi dalam melakukan pembelian secara hedonis dan konsumsi produk baik akibat atau hanya untuk memenuhi motivasi ini disebut konsumsi hedonis. Konsumsi hedonis dapat berpengaruh terhadap pembelian suatu produk secara hedonis. H5 : kecenderungan seseorang melakukan konsumsi secara hedonis memiliki efek positif pada perilaku pembelian impulsif saat berbelanja.
6.
Emosi positif dapat didefinisikan sebagai pengaruh dan suasana hati yang menentukan intensitas pengambilan keputusan. Emosi yang positif dapat mendorong seseorang untuk membeli suatu produk secara impulsif (Ko, 1993). Emosi ini dapat ditimbulkan karena fitur item, keinginan dari diri konsumen itu sendiri, evaluasi produk dari konsumen itu sendiri, kepentingan konsumen ketika berbelanja di toko. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara emosi yang positif terhadap kemungkinan seseorang melakukan pembelian secara impulsif. H6 : emosi positif memiliki efek positif dalam perilaku membeli secara impulsif ketika berbelanja
METODE PENELITIAN A.
PENGUKURAN Kuisioner yang digunakan oleh
Park, Kim dan Forney mengukur empat
variabel, yaitu : 1.
Keterlibatan dalam dunia fashion (fashion involvement) Diukur melalui 4 pertanyaan kuisioner dengan skala penilaian 1-7 (1 = sangat tidak setuju , 7 = sangat setuju)
2.
Emosi yang positif (positive emotion) Diukur melalui 2 pertanyaan kuisioner dengan skala penilaian 1-7 (1 = sangat
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
10
tidak mungkin, 7 = sangat mungkin) yang dinilai dari suasana hati individu selama kegiatan berbelanja yang dilakukan terakhir kali. 3.
Kecenderungan konsumsi secara hedonis (hedonic consumption tendency) Diukur melalui 3 pertanyaan kuisioner denga skala penilaian 1-7 (1 = sangat tidak mungkin, 7 = sangat mungkin) yang menentukan kebutuhan hedonis responden ketika berbelanja.
4.
Keinginan untuk membeli produk fashion secara impulsif (impulsive buying) Diukur melalui 3 pertanyaan kuisioner dengan skala penilaian 1-7 (1 = sangat tidak mungkin, 7 = sangat mungkin). Informasi demografi dikumpulkan untuk jenis
kelamin,
usia,
peringkat
akademis,
pendapatan,
pendapatan
bulanan/tunjangan, dan pengeluaran pakaian bulanan.
B.
PENGUMPULAN DATA DAN SAMPLING Sampel penelitian adalah mahasiswa yang terdaftar di salah satu universitas metropolitan yang terletak di bagian barat daya Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, ada 8 juta mahasiswa yang mewakili segmen dari konsumen Generasi Y. Daya beli tahunan mereka melebihi $ 200.000.000.000 (Gardyn, 2002). Di antara segmen konsumen ini, pusat perbelanjaan merupakan prioritas tinggi dengan berbelanja pakaian sebagai aktivitas terbanyak. Dengan demikian, usia mahasiswa merupakan kelompok konsumen yang signifikan bagi pemasar fashion di Amerika Serikat (Martin dan Turley, 2004). Kuesioner diberikan selama kelas yang dijadwalkan secara rutin. Data yang dapat digunakan diperoleh dari 217 responden Kaukasia, diwakili oleh mahasiswi yang lebih banyak (76 %) daripada mahasiswa (24 %). Lebih dari separuh responden (53 %) adalah berusia 21 tahun hingga 24 tahun. Sekitar 61 % melaporkan penghasilan / tunjangan bulanan sebesar US $ 201 hingga US $ 1.000. Mayoritas (75 %) menghabiskan kurang dari US $ 200 per bulan untuk konsumsi produk-produk pakaian.
C.
ANALISIS DATA Model pengukuran dan model struktural menggunakan matriks korelasi dengan kemungkinan maksimum yang diperkirakan secara bersamaan melalui LISREL 8.53. Model pengukuran menilai bagaimana variabel laten (yaitu keterlibatan fashion, kecenderungan konsumsi secara hedonis, emosi positif, dan fashion-oriented impulse buying) diukur untuk indikator yang diamati (variabel X dan Y).
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
11
Model struktural menerapkan hubungan kausal antara variabel-variabel laten untuk menguji hipotesis (lihat Gambar 1). Keseluruhan model dinilai dengan chisquare (x2), Goodness of Fit Index (GFI), Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI), dan Root Mean Squared Residual (RMR).
HASIL DAN PEMBAHASAN A.
MODEL PENGUKURAN DAN STRUKTURAL Sebuah estimasi simultan dari pengukuran dan struktural dilakukan dengan menggunakan LISREL 8.53. Model tersebut menguji hubungan kausatif antara keempat variabel laten. Dalam model struktural yang disajikan pada Gambar 1, ada satu variabel eksogen, yaitu keterlibatan dalam dunia fashion (Ɛ1), dan tiga variabel endogen, yaitu emosi positif (ŋ1), kecenderungan konsumsi secara hedonis (ŋ2) dan keinginan membeli secara impulsif (ŋ3). Model ini terdiri dari pengamatan terhadap empat indikator eksogen (variabel X) untuk keterlibatan dalam dunia fashion dan delapan indikator endogen (variabel Y) untuk emosi positif , kecenderungan konsumsi secara hedonis dan keinginan membeli secara impulsif. 1.
Model Pengukuran Untuk menilai model pengukuran, semua indikator yang diamati dibebaskan oleh standarisasi semua variabel laten eksogen dan endogen. Prosedur ini didasarkan pada besarnya matriks koefisien (ß S atau ƔS) untuk variabel laten pada salah satu indikator yang diamati yang dipilih sebagai rujukan untuk variabel laten. Model pengukuran perkiraan disajikan dalam Tabel 1 yang terdiri dari empat variabel X (X1-X4) untuk keterlibatan fashion, dua variabel Y untuk emosi positif (Y1-Y2) , tiga variabel Y untuk kecenderungan konsumsi secara hedonis (Y3-Y5), dan tiga variabel Y untuk keinginan membeli secara impulsif (Y6-Y8).
Tabel 1. Hasil Model Pengukuran Variables Fashion Involvement X1 I usually have one or more outfits of the very latest style X2 An important part of my life and activities is dressing smartly
Factor Variance Reliability Loading Extracted 0.82
0.62
0.85 0.81
X3 I am interested in shopping at boutique or fashion specialty stores rather than at department stores for my fashion needs
0.70
X4 I usually dress for fashion, not comfort, if I must choose between two Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
0.79
12
Positive Emotion Y1 Excited
0.84
0.80
0.91
0.83
0.93
0.82
0.96
Satisfied
0.82
Hedonic Consumption Tendency Y3 I want to satisfy my sense of curiosity
0.91
Y4 I want to be offered new experiences
0.94
Y5 I want to feel like I’m exploring new worlds
0.87
Fashion-Oriented Impulse Buying Y6 I buy clothing with a new style if I see it
0.97
Y7 I buy to try out a garment with a new feature
0.83
Y8 I like to buy new clothing that just came out
0.92
Catatan : Variance Extracted
∑ (Loading)2 = ∑ (Loading)2 + ∑ (Error of Indicator Measurement)
Error of Indicator Measurement merupakan indikator kesalahan pengukuran yang menghitung diagonal dari matriks korelasi kesalahan pengukuran dalam output LISREL. Secara keseluruhan, koefisien factor loading (ƛij) pada variabel laten berkisar antara 0,70 sampai 0,96 (ƥ < 0.001). Reliabilitas dari variabel laten berkisar antara 0,82 sampai 0,93 dan menyatakan bahwa model pengukuran adalah valid dan reliabel (lihat Tabel I). Analisis deskriptif menunjukkan nilai tengah (mean) yang berada di atas ratarata untuk masing-masing percobaan penelitian yang dilakukan : Keterlibatan dalam dunia fashion (M = 4.62), emosi positif (M = 4.89), kecenderungan konsumsi secara hedonis (M = 4.39) dan keinginan membeli secara impulsif (M = 4.63). Temuan ini didukung penelitian sebelumnya di mana konsumen yang lebih muda cenderung memiliki keterlibatan dalam dunia fashion (Fairhurst et al, 1989;. O'Cass, 2000, 2004) dan berbelanja untuk kebutuhan hedonis yang mendorong pembelian secara impulsif (Hausman, 2000; Piron, 1991; Rook, 1987).
2.
Model Struktural Untuk menguji hipotesis, model yang diusulkan diperkirakan untuk menguji hubungan kausatif antara variabel laten. Sebuah model persamaan struktural dihasilkan nilai X2 sebesar 83,32 dengan 45 derajat kebebasan, yang mana
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
13
menunjukkan keadaan signifikan secara statistik (ƥ < 0.01). Jika nilai X2 berada di bawah level signifikan yaitu 0,05, maka dapat dikatakan bahwa data tidak cocok digunakan pada model ini. Namun, nilai X2 bersifat sensitif terhadap ukuran sampel, dimana dengan sampel besar (n > 200) dapat menghasilkan nilai kecocokan model yang buruk meskipun model dapat menjelaskan data dengan baik (Bagozzi dan Yi, 1988). Oleh karena itu, kecocokan model dinilai menggunakan indeks kecocokan alternatif yang berada dalam rentang penerimaan model (GFI = 0.94, AGFI = 0.89) dan melebihi standar 0,09 untuk model yang cocok (Kelly et al., 1996). Selain itu, RMR bernilai 0,03, yang mengindikasikan kecocokan model yang baik. Dengan demikian, model akhir yang diilustrasikan pada Gambar 2 dianggap cocok untuk menguji hipotesis.
Gambar 2. Model Struktural untuk Perilaku Keinginan Membeli Produk Fashion Secara Impulsif
PENGUJIAN HIPOTESIS Berikut merupakan hasil dari pengujian hipotesis yang dilakukan oleh Park, Kim dan Forney :
H1. Keterlibatan seseorang dalam dunia mode memiliki efek positif dalam diri seseorang ketika berbelanja (Ɣ11 = 0.47, ƥ < 0.001). Konsumen dengan keterlibatan fashion yang tinggi lebih mungkin untuk mengalami emosi positif (misalnya gembira, puas) selama berbelanja. Temuan ini mendukung hipotesis H1 dan menyarankan keterlibatan konsumen dalam dunia
fashion dapat
meningkatkan pengalaman
emosional saat berbelanja. Selain itu, emosi positif saat berbelanja dapat menjadi
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
14
mediator yang signifikan dalam mendorong pembelian secara impulsif (Beatty dan Ferrell, 1998; Sherma et al, 1997).
H2. Keterlibatan dalam dunia mode memiliki dampak positif yang signifikan pada kecenderungan melakukan konsumsi secara hedonis (Ɣ21 = 0.64, ƥ < 0.001). Konsumen yang memiliki keterlibatan tinggi dengan fashion terbaru, berbelanja untuk kebutuhan fashion mereka atau berpakaian untuk fashion lebih mungkin menunjukkan kecenderungan konsumsi secara hedonis (misalnya rasa penasaran, pengalaman baru, menjelajahi dunia baru) selama perjalanan berbelanja mereka. Oleh karena itu, hipotesis H2 didukung. Temuan ini menyiratkan bahwa pakaian sebagai produk sensorik yang memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan hedonis (misalnya kebaruan, pengalihan, stimulasi) untuk berbelanja (Hausman, 2000).
H3. Keterlibatan dalam dunia mode memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap perilaku pembelian produk fashion secara impulsif (Ɣ31 = 0.62, ƥ < 0.001). Konsumen dengan keterlibatan fashion yang tinggi lebih mungkin untuk membeli pakaian dengan gaya baru atau yang baru saja keluar jika mereka melihatnya. Temuan ini mendukung hipotesis H3 dan menyarankan bahwa keterlibatan atau ketertarikan konsumen dalam berbusana mendorong perilaku pembelian produk fashion secara impulsif.
H4. Kecenderungan konsumsi secara hedonis memiliki pengaruh positif yang signifikan dengan emosi positif ketika berbelanja (Ɣ12 = 0.37, ƥ < 0.001). Konsumen merasa lebih bersemangat dan puas selama berbelanja ketika mereka mengekspresikan rasa ingin tahu, kebutuhan akan pengalaman baru dan perasaan seperti mereka menjelajahi dunia baru. Temuan ini mendukung keterlibatan konsumsi secara hedonis atau pengalaman motivasi belanja dalam emosional atau ekspresif yang memuaskan, seperti menyenangkan, relaksasi, dan kepuasan (Bloch et al, 1991; Roy, 1994). Selain itu, temuan ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa perasaan positif yang dimiliki oleh konsumen (misalnya menyenangkan, psikologis) dikaitkan dengan pengalaman belanja secara hedonis (Hausman, 2000). Oleh karena itu, hipotesis H4 juga didukung.
H5. Tidak ada pengaruh langsung yang signifikan dari kecenderungan konsumsi
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
15
secara hedonis pada dorongan pembelian produk fashion secara impulsif. Hasil ini tidak mendukung gagasan bahwa perilaku pembelian secara impulsif adalah bentuk konsumsi secara hedonis (Bayley dan Nancarrow, 1998). Hal ini mungkin dikarenakan dorongan membeli produk fashion yang dirasakan konsumen lebih dimotivasi oleh penilaian konsumen terhadap desain atau mode baru (Han et al., 1991). Selain itu, kecenderungan konsumsi secara hedonis mungkin lebih meningkatkan motivasi belanja konsumen untuk memenuhi keinginan mereka secara hedonis (Hausman, 2000; Piron, 1991), seperti pengalaman emosional di dalam toko yang akhirnya menyebabkan perilaku pembelian secara impulsif. Dengan demikian, hipotesis H5 tidak didukung. Namun, ada efek tidak langsung yang signifikan untuk kecenderungan konsumsi secara hedonis pada keinginan membeli produk fashion secara impulsif melalui emosi positif [(ß 12 ) X (ß 31 ) = 0.09, t = 2.62, ƥ < 0.001]. Peneliti (Beatty dan Ferrell, 1998; Cha, 2001) telah mendokumentasikan bahwa emosi positif berfungsi sebagai mediator penting dalam hubungan antara kecenderungan konsumsi hedonik dan keinginan pembelian secara impulsif di lingkungan pasar. Ini mendukung pentingnya respons emosional konsumen dalam mendorong pembelian pakaian secara impulsif.
H6. Emosi positif menghasilkan efek positif pada perilaku pembelian produk fashion secara impulsif saat berbelanja (Ɣ12 = 0.23, ƥ < 0.01). Konsumen dengan perasaan positif, seperti menjadi bersemangat dan puas, secara impulsif membeli produk-produk fashion lebih selama perjalanan berbelanja mereka. Temuan ini mendukung kecenderungan kondisi emosional yang positif untuk mengurangi kompleksitas keputusan, menyebabkan pembelian secara impulsif (Babin dan Babin, 2001; Hausman, 2000; Youn dan Faber, 2000). Dengan demikian, hipotesis H6 didukung. Temuan ini menunjukkan bahwa keadaan emosional memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan untuk pembelian pakaian secara impulsif. Bila dibandingkan dengan efek emosi positif (ß 12 = 0.23), keterlibatan/ ketertarikan dalam berbusana memiliki efek lebih besar pada pembelian produk fashion secara impulsif (Ɣ31 = 0.62). Hasil ini menunjukkan bahwa, bagi konsumen yang lebih muda, ketertarikan dalam hal berbusana merupakan faktor yang lebih penting untuk menentukan keinginan membeli produk fashion secara impulsif daripada faktor emosional.
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
16
KESIMPULAN Penelitian yang dilakukan oleh Park, Kim dan Forney (2005) ini mengeksplorasi model struktural yang menguji hubungan antara keterlibatan/ketertarikan konsumen dalam hal berbusana (fashion involvement), emosi positif yang dimiliki konsumen ketika berbelanja (positive emotion), kecenderungan konsumen menggunakan produk secara hedonis (hedonic consumption tendency) serta perilaku dorongan dalam membeli produk-produk fashion secara impulsif (fashion-oriented impulsive buying behavior). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan/ketertarikan konsumen dalam hal berbusana dan emosi positif yang dimiliki konsumen ketika berbelanja secara langsung mempengaruhi keinginan untuk membeli produk fashion secara impulsif. Selain itu, ada implikasi bahwa baik ketertarikan dalam berbusana dan emosi positif merupakan prediktor penting dari keinginan konsumen untuk membeli produk-produk fashion secara impulsif. Dalam model struktural, perilaku konsumen dalam membeli produk fashion secara impulsif dapat diprediksi dari komponen sikap (misalnya ketertarikan dalam berbusana) dan faktor emosional (misalnya puas, bersemangat) untuk konsumen muda. Untuk sampel ini, ketertarikan berbusana terkena dorongan pembelian secara impulsif lebih banyak, yang mendukung hubungan yang kuat dari keterlibatan produk dengan kecenderungan khusus untuk membeli produk spesifik (Jones et al, 2003; Seo et al, 2001) saat berbelanja. Dari perspektif hedonis, emosi positif meningkatkan dorongan membeli produk fashion secara impulsif, sedangkan konsumsi produk secara hedonis tidak berhubungan langsung dengan dorongan membeli produk fashion secara impulsif. Temuan ini menunjukkan bahwa untuk mahasiswa, dorongan membeli produk fashion secara impulsif berjalan dengan lebih banyak menggunakan emosional dalam pembelian produk yang tidak direncanakan (Cha, 2001). Selain itu, temuan ini mendukung pemenuhan kebutuhan secara hedonis atau kepuasan emosional melalui pembelian secara impulsif (Hausman, 2000; Piron, 1991) dan menunjukkan bahwa konsumsi secara hedonis memiliki efek tidak langsung pada dorongan membeli produk fashion secara impulsif. Retail/ penjual produk hendaknya memanfaatkan dorongan belanja secara impulsif dan keadaan emosional yg dimiliki konsumen sebagai salah satu strategi bisnis melalui desain toko, display produk, desain kemasan dan teknik penjualan. Konsumen mungkin akan merasa lebih tertarik dan nyaman berada dalam toko dengan tata letak yang sesuai, kebersihan, warna dan kemampuan penjual (sales) toko dalam mempromosikan produk-produk mereka hingga mampu menimbulkan suasana hati konsumen yang positif dan dorongan untuk membeli produk-produk secara impulsif.
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
17
REFERENSI Babin B.J. & Darden,W.R. 1995. Consumer Self-Regulation in a Retail Environtment, Journal of Retailing, 71:47-70. Berman, Barry & Joel R. Evans. 2001. Retail Management : A Strategic Approach, Eight Edition, Upper Saddle River, NJ 07458, Prentice Hall. Browne, B.A. & Kaldenberg, D.O. 1997. Conceptualizing Self-Monitoring : Links to Meterialism and Product Involvement. Journal of Consumer Marketing, 14(1), pp. 31- 44. Flynn, L. R. & Goldsmith, R. E. 1993. Application of The Personel Involvement Inventory in Marketing. Psychology & Marketing, 10, 4, 357-366. Fredrickson, B, & Levenson, R. 1998. Positive Emotions Speed Recovery from the Cardiovascular Sequale of Negative Emotions, Cognition and Emotion, 12, hh. 191-220. Hausman,A. 2000. A Multi-Method Investigation of Consumer Motivations in Impulse Buying Behavior, Journal of Consumer Marketing, Vol.17 No.15,pp. 403-419. Hirschman,E.C. & Holbrook,M.B. 1982. The Experiential Aspects of Consumption : Consumer Fantasies, Feelings and Fun, Journal of Consumer Research, Vol. 9 No. 2, pp.505-511. O’Cass, A. 2004. Fashion Clothing Consumption : Antecedents and Consequences of Fashion Clothing Involvement. European Journal of Marketing, Vol. 38 No. 7, pp. 869-882 Peter, J.Paul & Olson Jerry C. 2005. Consumer Behavior and Marketing Strategy 5th Edition. The Mc’ Graw Hill Companies,Inc : Singapore. Semuel,Hartane. 2005. Respon Lingkungan Berbelanja Sebagai Stimulus Pembelian, Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.7, No.2, September 2005 :152-170.
Manajemen Pemasaran, Kelompok 5, E49, 2014
18