1
Pedoman-pedoman tentang “Coauthorship”. Hasil sebuah kajian literatur. Dr. med. Agus W. Budi Santoso, dr., A.I.F. Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jakarta Indonesia, pada suatu waktu di tahun 2001.
Kompleksitas dalam ilmu pengetahuan, memerlukan spesialisasi yang lebih mendalam dalam hal pengetahuan, ketrampilan, keahlian maupun penguasaan teknik-teknik penelitian modern. Keahlian-keahlian yang kompleks itu sulit dikuasai oleh satu peneliti saja, sehingga jumlah penulis gabungan (“multi-authorship”) cenderung semakin meningkat sejak tahun 1950 (Chew, 1986; Slone, 1991)a. Kompleksitas penelitian modern ini memerlukan masukan yang bersumber dari lebih banyak orang, sehingga semakin meningkatkan hasrat menghargai setiap orang yang terlibat didalam penulisan itu. Penulisan dengan multi-pengarang akan meringankan beban kerja bagi semua orang yang terlibat. Tekanan yang lebih kuat di kalangan ilmiah untuk menulis publikasi bagi pengembangan karier juga merupakan salah satu penyebab fenomena multi-pengarang ini. Dengan mencantumkan orang-orang yang memberikan kontribusinya walaupun minimal di Curriculum vitae, diharapkan orang yang dicantumkan namanya akan membalas jasa ini dengan mencantumkan nama pencantum itu sebagai kopenulis. Sekitar 50% publikasi-publikasi ilmiah sekarang ini membahas materi yang begitu kompleks, sehingga memerlukan kontribusi dari 5 pengarang atau lebih. Umumnya, hanya seorang peneliti saja yang kemungkinan besar paling banyak dibebani oleh kerja, dan biasanya lebih muda hirarkinya, serta yang memang memiliki kemampuan kerja yang melebihi lainnya (mau dan rela bekerja keras, bujangan atau belum berkeluarga, ‘workoholic’ dlsb.). Oleh karena itu, dirasakan sangatlah mendesak untuk memberlakukan kriteria-kriteria yang lebih tegas tentang Coauthorship (siapa yang berhak dicantumkan sebagai kopenulis, urutannya dlsb.). Dalam 1 dekade belakangan ini, banyak diskusi bergulir di majalah-majalah riset internasional tentang masalah “Coauthorship” (kopenulis atau rekan penulis). Tulisan-tulisan itu pada hakekatnya menyoroti masalah-masalah berikut: siapa saja yang berhak ikut dicantumkan menjadi pengarang atau rekan penulis sebuah tulisan ilmiah yang dipublikasi di sebuah majalah ilmiah. Jenis-jenis tulisan ini bisa dalam bentuk ulasan terhadap suatu masalah yang up-to-date (review dan editorial), bisa dalam bentuk laporan hasil suatu penelitian (original research paper atau short communication), rangkuman kritis atau studi literatur (review), laporan kasus (case or multicentre study), surat yang ditujukan kepada editor majalah ilmiah (letter to editor), pendapat bebas seseorang terhadap suatu masalah (comentary), tulisan dalam sebuah buku ajar maupun pedoman-pedoman pelatihan (book chapter) , dan di Indonesia: diktat-diktat kuliah dan manual pelatihan/praktikum untuk para mahasiswa dalam bentuk buku maupun hand-out, tulisan di surat khabar yang bertujuan memberitakan perkembangan-perkembangan baru di dunia ilmiah kepada masyarakat yang lebih luas, dan tulisan makalah yang menyertai suatu presentasi ilmiah di sebuah forum ilmiah.. Sesuai etika, coauthorship harus mencerminkan tanggung jawab dan mewakili kebenaran yang terkandung dalam isi tulisan. Pada publikasi temuan-temuan ilmiah, pemikiran yang dirasakan paling mendasar adalah: penulis sebuah artikel penelitian haruslah orang-orang yang bertanggung-jawab secara penuh terhadap hasil-hasil temuan riset maupun terhadap isi yang dipublikasikan. Hal-hal ini dirasakan perlu diatur karena beberapa tujuan: 1) menjaga hak setiap individu yang terlibat dalam penelitian sebagai pemilik karya intelektual tersebut, baik dari segi hak cipta maupun dari segi keadilan atau etikanya (“ethical coauthorship”) 2) mencegah adanya “scientific fraud and misconduct” (penipuan hasil-hasil penelitian ilmiah) atau “irresposible coauthorship”, 3) mencegah adanya “gift coauthorship” (cantuman nama pengarang sebagai “hadiah”). Tujuan tulisan ini adalah mengkaji pedoman-pedoman tentang coauthorship dengan segala permasalahannya melalui studi literatur, sehingga mudah-mudahan berhasil merangkumnya sebagai suatu pedoman bagi setiap peneliti di Indonesia. Tulisan ini juga ingin meningkatkan kepekaan dan kepedulian (‘awareness’) terhadap etika a Slone (1991) menunjukkan dalam telaahannya terhadap program-program ilmiah dalam bentuk abstrak di the Radiological Society of North America antara tahun 1971 - 1989, bahwa jumlah abstark dengan multi-pengarang telah meningkat drastis dari rata-rata 2,9 di tahun 1971 menjadi 4,5 nama pengarang per abstark di tahun 1989 (kenaikan sebanyak 55%). Hal ini disebabkan karena menurunnya cantuman 1 atau 2 nama penulis pada sebuah abstrak (dari 42% menjadi hanya 13%, disertai dengan meningkatnya jumlah abstrak dengan 6 nama penulis atau lebih menjadi 30% di tahun 1989.
2
luhur yang bermaksud melindungi hak intelektual setiap orang yang telah berpartisipasi dan memberikan kontribusi dalam suatu kegiatan penelitian. Tulisan ini mengingatkan, bahwa kasus-kasus penipuan dan manupulasi data-data penelitian akhir-akhir ini di negara-negara maju semakin banyak dilakukan oleh para peneliti, bahkan oleh yang berkaliber internasional. Kasus Herrmann/Brachb di Jerman yang menghebohkan dunia ilmiah baru-baru ini (Williams, 1997; Koenig,1997) mengingatkan betapa pentingnya mengkaji dengan seksama masalah coauthorship ini dan merenungkannya secara jernih. Masalah kopenulis adalah masalah pokok yang harus ditentukan terlebih dahulu dalam persiapan sebuah karya tulisan, sehingga merupakan langkah pertama yang harus dilakukan sebelum menulis kerangka pertama tulisan itu (draft) Huth (1990) menganjurkan langkah-langkah persiapan menulis sebuah karya ilmiah sebagai berikut: (Huth, 1990a). Langkah 1: Nama-nama peneliti atau calon penulis sebaiknya sudah ditentukan terlebih dahulu sewaktu proposal penelitian dirancang, untuk menghindari “dispute” atau ketidak-sepakatan pada saat temuan ilmiah akan dipublikasikan. Selanjutnya, suatu kesepakatan hendaknya dibuat dengan para calon kopenulis mengenai “urutan nama” kopenulis. Para kopenulis harus menyetujui terlebih dahulu tanggung jawab masing-masing dalam penelitian itu (‘job description’), termasuk juga siapa yang mempunyai tugas merevisi manuskrip, dan siapa yang harus berhubungan dengan editor majalah (korespondensi). Langkah 2: Memastikan syarat-syarat dan aturan yang dipatuhi di manuskrip sesuai ‘instruction to author(s)’ majalah ilmiah, dimana tulisan itu akan dipublikasi. Sebuah kelompok kecil para editor majalah-majalah kedokteran umum telah bertemu secara informal di Vancouver, Canada, di bulan Januari 1978, dan menentukan pedoman format manuskrip yang diajukan untuk publikasi. Pada tahun 1993, kelompok yang sekarang menamakan dirinya “International Committee of Medical Journal Editors (ICMJE) melahirkan satu pedoman yang disebut sebagai “Uniform requirements for manuscripts submitted to biomedical journals” (International Committee of Medical Journal Editors, 1993). Namun pada dasarnya setiap journal memiliki pedomannya sendiri. Langkah 3: Menyusun data penelitian, rekaman kasus, foto-foto, referensi dan bukti-bukti dokumenter lainnya. Bahanbahan ini diperlukan untuk menulis draft atau rancangan tulisan awal. Menyusun dokumen-dokumen yang diperlukan untuk memasukkan tulisan ke redaksi majalah, seperti misalnya ijin untuk mereproduksi gambargambar atau rujukan yang sifatnya hasil komunikasi pribadi (personal communication). Langkah 4: Menentukan penulisan manuskrip atau memilih program pemroses kata, karena di era elektronik, selain mempermudah revisi yang dilakukan oleh setiap kopenulis, setiap editor majalah ilmiah memiliki preferensi terhadap program word processing yang jenisnya ditentukan oleh mereka. Manuskrip akhir pada beberapa majalah boleh dan bahkan harus diserahkan/dikirim dalam bentuk disket, ataupun dikirimkan melalui “Email” sebagai “attachement”. Persiapan menentukan nama-nama penulis yang terlibat dalam suatu tulisan adalah merupakan langkah paling awal. Mengapa harus begitu awal? Mengapa tidak menunggu sampai manuskripnya selesai ditulis dalam versi yang sudah final? Sebaiknya janganlah menunggu, karena bila keputusan diambil sesudah versi final b
Kasus pemalsuan data-data penelitian dilakukan oleh Friedhelm Herrmann, seorang Profesor ahli hematologi dan terapi genetika dari Universitas Ulm, bersama rekan kerja/kopenulis dari 37 publikasi, Marion Brach, peneliti kedokteran molekuler dengan jabatan Profesor di Lübeck University, Jerman. Pemalsuan dilakukan di sebuah lembaga penelitian Max Delbrück Centre for Molecular Medicine di Berlin, dan kemungkinan juga di lembaga-lembaga lainnya, dimana sebelum dan sesudahnya kedua peneliti itu bekerja (@Williams N, Scientific misconduct. Editors seeks ways to cope with fraud. Science 1997, 278:1221). Dua kopenulis ini di J. of Exp. Med. , 1 Februari 1995, hal. 795, memalsukan gambar komposit sebuah autoradiograf, yang bayangan digitalnya dimanipulasi dengan computer (@Koenig R, Scientific misconduct. Panel calls falsifications in German case ‘unprecedented’. Science 1997, 277:894).
3
tulisan selesai, maka kegagalan menemukan persetujuan akan berdampak pada munculnya rasa saling tidak enak hati satu sama lain. Rasa saling tidak enak hati itu menghilangkan kemauan baik (good-will) dan merusak tali persahabatan, yang nantinya akan membahayakan karir kita sendiri. Bila anda memang mampu menjadi penulis tunggal, maka anda harus yakin bahwa tidak seorangpun nantinya akan menuntut hak menjadi kopenulis sebelum anda mengirimkannya ke sebuah majalah. Pengambilan keputusan hendaknya dituntun oleh satu prinsip etis yang sentral, yaitu: nama-nama yang dicantumkan sebagai kopenulis adalah nama orang-orang yang sejujur-jujurnya dapat bertanggung jawab mengenai isi tulisan tersebut kepada khalayak ramai, bila ada sanggahan (perhatikan 2 kata kunci: tanggung jawab dan isi). Peneliti yang tidak mampu dengan sepenuhnya mempertahankan isi tulisan itu, tidak berhak menjadi kopenulis. Isi bukan saja merujuk kepada data, namun juga kepada isi intelektualnya, yang berarti: ikut serta mengembangkan konsep/design dan interpretasi data. Tidak seorangpun mampu mempertanggung-jawabkan isi tulisan bila ia tidak ikut ambil bagian dalam melaksanakan penelitian, dalam menulis tulisan itu serta ikut merevisinya. Pertimbangan-pertimbangan praktis inilah yang harus mendasari kredit seseorang sebagai kopenulis, seperti yang dipedomankan oleh “International Committee of Medical Journal Editors” pada tahun 1983 (International Committee of Medical Journal Editors, 1985, 1993)
Tabel 1: Pedoman International Committee of Medical Journal Editors (1985, 1993): Kriteria untuk seorang kopenulis (International Committee of Medical Journal Editors) 1. Semua orang yang disebutkan sebagai penulis harus layak dan berkualifikasi dalam ‘authorship’. 2. Setiap penulis harus telah berpartisipasi secara cukup (“sufficient”) dalam penelitian/penulisan, sehingga dapat memikul tanggung jawab terhadap isi tulisan sepenuhnya . 3. Hak (‘credit’) sebagai penulis harus hanya bedasarkan pada kontribusi substansial (“benar atau nyata” ) terhadap: a. Penyusunan konsep dan design atau analisis dan interpretasi data, b. Penulisan rancangan tulisan (drafting) atau melakukan revisi secara kritis atas isi intelektual yang penting, dan c. Persetujuan akhir (“final aproval”) versi yang akan dipublikasikan
Kriteria dari ICMJE dikembangkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang timbul sewaktu gencargencarnya memperdebatan dan menanggapi kekhawatiran yang semakin meningkat atas semakin seringnya terjadi “gift authorship” dan “fraud” di dunia ilmu pengetahuan. Syarat-syarat no. 1 dan 2 (tabel 1) harus dipenuhi serentak, sehingga tuntutan ini sulit diikuti. Supervisi umum terhadap proyek atau kelompok peneliti juga bukan merupakan kriteria kelayakan menjadi kopenulis. Seseorang yang memperoleh dana atau yang mengumpulkan dana juga tidak layak sebagai kopenulis.
Menurut ICMJE, pada penjabaran pedoman ini ditambahkan secara rinci hal-hal sbb.:
4
1. Seluruh kriteria pada tabel 1, nomer 2a, b dan c harus dipenuhi oleh setiap kopenulis. Jadi disini berlaku hukum “gagal atau tuntas” (“All-or-none law”) 2. Urutan nama kopenulis hendaknya diputuskan bersama-sama (“joint decision”) 3. Partisipasi yang hanya terbatas pada perolehan biaya (“funding” atau “grant” ) tidak membenarkan hak sebagai kopenulis 4. Pengawasan umum (“general supervision”) terhadap kelompok penelitian tidak mencukupi criteria kelayakan sebagai kopenulis 5. Setiap bagian artikel yang kritis bagi kesimpulan inti setidaknya harus merupakan tanggung jawab utama seorang penulis 6. Pada studi multisenter, setiap nama penulis dari kelompok-kelompok studi harus memenuhi kriteria “Universal Requirements” ini. Anggota kelompok yang tidak memenuhi kriteria ini, harus dicantumkan dalam ucapan terima kasih (“acknowledgement”) atau dalam apendiks dengan persetujuan anggota itu. 7. Partisipasi dalam pengumpulan data dan bukti-bukti lainnya tidak membenarkan hak sebagai kopenulis (tambahan dikutib dari Huth, 1990b). Kriteria yang dikeluarkan oleh ICMJE dirasakan sangat restriktif, kurang memperdulikan nilai-nilai peneliti, dan tidak memberikan bobot yang layak pada kontribusi praktis para teknisi maupun para asisten peneliti (Godlee, 1996; Bophal, 1997). Kredit (sebagai pemilik karya tulis) dan tanggung jawab tidak terpisahkan satu sama lainnya, begitu juga tanggung jawab dan kerja. Sejujurnya, siapa yang bekerja, pasti menggunakan intelektualitasnya sejauh mana dia mampu menggunakannya. Tabel 2 menggambarkan contoh-contoh, bagaimana kriteria kopenulis ini dapat diterapkan dalam menentukan kelayakan sebagai kopenulis (Huth, 1990a). Menulis tanpa melakukan kontribusi praktis menyingkirkan kelayakan sebagai kopenulis. Demikian juga bila hanya merevisi ataupun memberikan kritik pada sebuah presentasi. Mengumpulkan data-data tanpa ikut ambil bagian dalam analisis dan interpretasi juga dianggap kurang cukup memenuhi criteria layak sebagai kopenulis. Laporan faktual dan revisi draft juga bukan kriteria seorang kopenulis. Tabel 2. Kelayakan yang memberikan hak pada seseorang sebagai kopenulis Kriteria Asal-usul tulisan 1. Laporan penelitian
2. Laporan kasus, observasi klinik 3. Review
Kegiatan penelitian
Studi klinis
Layak
Tidak layak
Pengembangan hipotesis atau pertanyaan khusus yang dapat diukur Pencatatan pertama dari sebuah fenomena yang belum pernah diamati sebelumnya Interpretasi kritis tentang artikelartikel yang dirangkum dan kontribusi dalam menyusun datadatanya 1. Pengembangan desain studi
Saran yang melahirkan suatu kerja ilmiah dari permasalahan
2. Pengembangan metode baru (laboratorium, lapangan, statistik) atau modifikasi secara kritis dari metode terdahulu 3. Pengumpulan dan interpretasi data secara pribadi Kegiatan-kegiatan diagnostik dan terapi baru
Dokter, perawat, rujukan rutin, perawatan atau pelayanan Saran untuk menulis review tersebut
1. Saran dalam penggunaan desain studi 2. Observasi dan pengukuran dengan metode-metode rutin
3. Pengumpulan data tanpa interpretasi
Diagnosis rutin dan kegiatan terapi yang sewajarnya juga dilakukan, apabila artikel
5
Interpretasi temuan Penulisan artikel
Tanggung jawab terhadap isi
Penjelasan terhadap fenomena yang tidak diduga sebelumnya Menulis rancangan pertama atau revisi kritis yang penting dari sebuah konsep atau interpretasi di rancangan selanjutnya
Kemampuan mempertimbangkan dan memutuskan secara intelektual kesimpulan artikel, termasuk menyanggah evidensi dan bagaimana mencapai evidence tersebut
itu tidak ditulis Penjelasan rutin tentang EKG atau foto Roentgen Hanya meninjau secara kritis terhadap rancangan tulisan dan menyarankan revisi sebuah presentasi, bukan terhadap suatu ide. Revisi yang terbatas pada perubahan teknis, seperti stil atau bentuk tabel Hanya menyatakan ketepatan fakta-fakta yang dilaporkan
Kerja sama multisenter sekarang juga semakin hari dilakukan semakin meluas. The National Psychosis Research Framework mengeluarkan pedoman kerja sama multisenter (Tabel 3). Kerja sama multisenter memberikan keleluasan yang lebih besar terhadap pengalaman dan keahlian mengembangkan dan mengimplementasi protokol-protokol, mempermudah kaderisasi subyek penelitian, dan mengijinkan variasi keahlian yang lebih besar, sehingga meningkatkan kemampuan hasil-hasil yang dapat diterapkan secara umum (‘generalization’) (Smith dan Powell, 1997). Dari tabel 3 dapat dilihat dengan jelas adanya tuntutan untuk tidak seenaknya menggunakan data-data dari sebuah publikasi bersama, karena setiap pemulis atau peneliti harus dimintai persetujuan, bila data-data itu akan dipublikasikan atau dipresentasikan kembali dalam publikasi lainnya oleh salah seorang ko-peneliti. Tabel 3. Pedoman kerja sama multisenter (Smith dan Powell, 1997). 1. Rencana publikasi harus disusun secara dini, agar tumpang-tindih isi dapat dihindari dan menjamin penempatan yang adil dalam urutan nama penulis. Sebelum mengajukan publikasi, persetujuan tertulis para peneliti utama dari setiap pusat penelitian sumber data-data yang akan digunakan di tulisan apapun juga harus dimintakan, dan kebijaksanaan tentang authorship, korespondensi serta ucapan terima kasih harus disetujui dalam satu persetujuan tertulis 2. Para peneliti yang berminat terhadap data-data yang dikumpulkan di pusat penelitian lainnya harus mengedarkan usulan publikasinya ke pusat-pusat tersebut, dengan memberikan waktu yang cukup untuk suatu jawaban 3. Authorship harus mencerminkan kontribusi relatif terhadap penulisan maupun analisis, design dan pelaksanaan penelitian: Untuk beberapa kontribusi, mungkin juga lebih layak bila mengimbali dengan ucapan terima kasih. 4. Manuskrip akhir tulisan tersebut harus diedarkan ke setiap penulis, dari siapa persetujuan tertulis harus diperoleh sebelum pengajuan untuk publikasi. Persetujuan harus diperoleh juga dari pihak-pihak yang diimbali dengan ucapan terima kasih. 5. Bila data-data akan dipresentasikan secara publik, dan data-data diambil dari sebuah tulisan yang telah diterima untuk dipublikasi, maka penulis yang bekerja sama harus diimbali dengan ucapan terima kasih. Bilamana data-data yang akan dipresentasikan berasal dari tulisan yang masih dalam persiapan, ijin harus diperoleh dari peneliti-peneliti terkait untuk penemuan-penemuan mereka yang akan dipresentasikan, diimbali dengan ucapan terima kasih. Persetujuan harus diberikan sebelumnya untuk kategori-kategori tertentu dari presentasi itu. 6. Semua tulisan yang merupakan kombinasi kutipan data-data dari berbagai pusat penelitian harus menyatakan afiliasi terhadap kerja sama penelitian multisenter semula. Tulisan harus dibagikan ke setiap anggota penelitian
6
Urutan nama-nama kopenulis juga merupakan sesuatu yang ditentukan menurut “joint decission” atau konsensus. Implementasinya juga berbeda-beda dari artikel ke artikel. Posisi terakhir seringkali memberikan status dan prestise lebih banyak, seperti kebiasaan di Jerman. Dalam artikel yang lainnya dia adalah kepala laboratorium atau kepala bagian, sedangkan kadang-kadang ia dalam urutan terakhir adalah orang yang melakukan kontribusi paling sedikit. Dalam pedoman yang dikeluarkan oleh Royal Free Hospital School of Medicine, London, Inggris, penulis pertama adalah orang yang menulis draft atau manukrip. Umumnya orang setuju, bahwa nama penulis pertama adalah nama orang yang berhubungan paling dekat dengan penelitian itu, yaitu orang yang kontribusi kerjanya paling intensif. Nama penulis pertama di Indonesia adalah sangat penting, karena mendapatkan 60% dari 2 point kredit (saja!!) yang diberikan dalam satu artikel tulisan untuk pengurusan birokratis jabatan akademik. Padahal tulisan dengan multipenulis itu biasanya merupakan hasil sebuah penelitian bertahun-tahun! Bhopal dkk. (1997), dari Bagian Epidemiologi dan Kesehatan Masyarakat di Newcastle, Inggris, menyarankan satu sistim ranking berdasarkan kompilasi daftar kontribusi yang terkait dengan pelaksanaan penelitian (tabel 4). Anggota tim membicarakan terlebih dahulu jenis kontribusi mereka masingmasing, lalu menandainya pada daftar tersebut. Berdasarkan pengetahuan dasar dan perkembangan pelaksanaan proyek, setiap anggota tim secara anonim menyusun 3 ranking teman sejawat lainnya, tanpa memperdulikan dirinya sendiri. Orang yang menduduki ranking pertama adalah untuk proyek keseluruhannya, sedangkan ranking 2 dan 3 untuk artikel atau tulisan lainnya. Orang yang mendapat ranking pertama mendapatkan nilai 8 (bila jumlah penulisnya adalah 9), kedua nilai 7 dan seterusnya. Jumlah nilai seseorang adalah merupakan nilai “score” yang lalu didiskusikan dengan setiap anggota tim peneliti, sehingga urutannya dapat disetujui bersama (Bhopal, 1997b). Berbeda dari pedoman ICMJE (1985) dan anjuran Huth (1990), dimana kesepakatan pembagian kerja dikaitkan dengan urutan nama penulis dan kopenulis yang akan dicantumkan, Bhopal dkk. (1997b) menyarankan suatu cara menentukan urutan nama penulis pada tahap sesudah penelitian itu selesai dilaksanakan dan akan dilaporkan dalam bentuk tulisan, berdasarkan jenis dan banyaknya kontribusi yang telah disumbangkan para peneliti untuk keberhasilan proyek penelitian itu. Cara ini mungkin saja lebih mencerminkan kebenaran bobot kontribusi masing-masing penulis sesuai kenyataannya, dari pada hanya ditentukan sebelumnya pada waktu merancang proposal penelitian menurut “judgment” dan ‘good-will” atau “gift-will”. Karena sifatnya rahasia, maka penyalah-gunaan kedudukan, kekuatan dan reputasi dapat dikendalikan seminimal mungkin. Walaupun demikian, cara luhur yang disarankan oleh Bhopal dkk. (1997b) agak sulit diterapkan dalam praktek (de Sa, 1997), karena bisa muncul kemungkinan, bahwa nama dua penulis akan mendapatkan score yang sama alias harus berada di urutan nama yang sama. Selain itu, cara Bhopal dkk (1997b) lebih memperhatikan penelitian-penelitian dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat. Tabel 4: Daftar kontribusi pada pelaksanaan penelitian (Bhopal, 1997b). Kontribusi penelitian
penulis
pada
suatu
proyek •
Impetus atau inisiatif
• Persiapan • Merencanakan pertemuan-pertemuan • Sampling • Mendesign kuesioner • Administrasi survey • Melakukan wawancara subyek penelitian • Memberi kode kuesioner • Analisis kualitatif • Analisis kuantitatif • Merancang artikel/tulisan (“drafting”) • Komentar terhadap rancangan tulisan • Hadir dalam pertemuan-pertemuan • Persiapan konferensi • Me-review literatur Kriteria penulis yang dikeluarkan oleh para editor mendapat banyak kritik (Chew FS, 1986; Slone RM, 1991) disaat kasus-kasus penipuan ilmiah semakin banyak terungkap (Williams, 1997; Koenig,1997), karena kriteria ketat para editor yang tujuannya mencegah “gift authorship” dan “scientific fraud” inipun tidak mampu mencegahnya. Dalam studi kuesioner di sebuah fakultas kedokteran di Inggris, Bhopal dkk. (1997a)
7
menemukan, bahwa kriteria para editor untuk kelayakan kopenulis secara umum tidak diketahui. Bila hal ini diketahui, maka biasanya juga tidak diterima oleh para peneliti (62% responden tidak setuju dengan kriteria ICMJE). Beberapa peneliti yang namanya tercantum sebagai penulis pada sebuah penelitian medis tidak melakukan apa-apa (kopenulis siluman atau “gift authorship”). Alasan memberikan “gift-authorship” adalah: tekanan untuk menulis/publikasi, membalas budi, memotivasi team work dan mendorong kerjasama, dan memelihara hubungan baik, sedangkan sebagian orang-orang yang melakukan kerja keras tidak dicantumkan namanya (49% dari peneliti berpengalaman merasa tidak dihargai selayaknya sebagai kopenulis). Dari kenyataan semakin maraknya “scientific fraud” atau pemalsuan ilmiah ini (Williams, 1997; Koenig,1997), maka Berk (1989) menyimpulkan, bahwa pencantuman nama sebagai kopenulis bukan lagi menjamin, bahwa orang-orang yang tercantum namanya benar-benar melakukan kontribusi nyata pada manuskrip itu. Edward Huth, editor majalah Annals of Internal Medicine, menekankan pada Washington Conference on Ethics, bahwa ‘authorship’ adalah mata uang di Ilmu Kedokteran akademik. Authorship digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk kenaikan jabatan, kenaikan gaji, pembiayaan suatu “grant”, pemberian fasilitas dan ruangan laboratorium serta imbalan-imbalan lainnya di bidang akademik. Berk dkk.(1989) dan Davis (1997) menyarankan untuk melakukan “devaluasi” “mata uang” ini, dengan mengurangi tuntutan jumlah publikasi yang dicantumkan pada curriculum vitae, sehingga misalnya hanya 2 publikasi yang berbobot saja yang dicantumkan, untuk dibahas dalam suatu wawancara panel, dimana peran penulis dapat dievaluasi lebih dalam. Authorship yang tidak bertanggung jawab menurunkan martabat coauthorship dan mempertanyakan kejujuran intelektual. Authorship yang tidak bertanggung jawab adalah penipuan, yang gampang menyebar menjadi pemalsuan datadata. Coauthorship menekankan tanggung jawab pribadi terhadap isi tulisan. Oleh karena itu, coauthorship hadiah membuat penulis itu sangat rawan terhadap tuntutan penipuan, bila isi tulisan itu terbukti palsu. Penulis hadiah ini tidak bisa mengatakan: “ Saya tidak bersalah dan tidak menipu. Saya sama sekali tidak ada sangkut paut apa-apa dengan tulisan itu”. Penulis itu kenyataannya benar-benar bersalah - mungkin tanpa kehendaknya namun bagaimanapun juga tetap bersalah. Berk dalam editorialnya (1989) menekankan, bahwa tidak pada tempatnya memberikan kelayakan sebagai kopenulis berdasarkan sopan-santun saja (“courtesy -” atau “honorary coauthorship”), sebagai hadiah (“gratuitous coauthorship”) atau hanya karena seseorang adalah anggota “team” (“cronyism”). Coauthorship tidak dibenarkan bila orang itu hanya melakukan kontribusi teknis, finansial, editorial atau karena namanya tercantum pada permohonan “grant” saja. Coauthorship juga tidak layak bila seseorang hanya menjabat sebagai manager laboratorium, sebagai kepala pelayanan atau kepala bagian saja. Orang yang perannya hanya memiliki dan menyediakan alat penelitian (instrumen) juga dinyatakan tidak layak dan tidak berhak menjadi kopenulis. Namun perannya hendaknya dicantumkan dalam ucapan terima kasih (‘acknowledgement’). Sulit sekali melakukan analisis tentang penyebab kecenderungan melakukan pemalsuan atau penipuan akademik ini. Menurut Simmons dkk. (1991), lingkungan akademik dengan semboyan “publish or perish” yang menekan para ilmuwan untuk menonjolkan diri sehingga mendapatkan reputasi nasional maupun internasional. Hipotesis yang indah juga dianggap lebih penting dari pada data-datanya sendiri. Setiap hari sebagai seorang peneliti, penulis menemukan banyak hasil-hasil yang tidak bisa diinterpretasikan. Seringkali seorang peneliti menseleksi data-data yang dirasakan kurang cocok atau “kurang indah”. Memang, seorang peneliti yang baik adalah seseorang yang bisa membedakan “hutan” dari “pepohonan”, atau tembaga dari emasnya. Satu hal lagi yang patut dipertanyakan adalah: Bagaimana kita bisa mengenali plagiarisme (penyontekan)? Penyontekan bisa dilakukan dari data-data orang lain, namun bisa juga dari data-data yang dihasilkan sebelumnya oleh diri peneliti sendiri. Sebagaimana setiap penemuan-penemuan besar di sejarah umat manusia, penemuan-penemuan ini akan diuji oleh waktu dan harus bisa diulangi terus-menerus dengan hasil yang sama (“reproducibility”). Bias dalam menganalisis data harus dijaga seminimal mungkin, karena hal ini merupakan jalan terbaik dalam menciptakan suasana dimana penipuan sulit dilakukan. Tabel 5 memberikan pedoman kasar untuk menghindari bias ini. Tabel 5. Pedoman untuk menghindari bias dalam menganalisis data-data percobaan (Simmons dkk., 1991) 1.
Jangan sekali-kali menerima begitu saja hasil percobaan pertama yang berhasil
8
2.
3.
Setelah mengulangi percobaan berkali-kali, yang mengizinkan seseorang untuk melakukan prediksi terhadap reprodusibilitas, kita harus secara mental membuang evidensi itu, namun tetap menyimpan rekaman datadata mentahnya Sebuah percobaan yang benar-benar dilakukan dibawah “kondisi terkendali yang sempurna” harus dilakukan untuk menguji hipotesis yang diturunkan dari data-data awal (“pilot data”)
Usaha yang terbaik adalah memikirkan bagaimanakah caranya agar pemalsuan dan penipuan akademik bisa dikontrol seminimal mungkin, sebelum pemalsuan itu dipublikasikan? Untuk mendeteksi secara dini pemalsuan di laboratorium, perlu dilakukan langkah-langkah yang menjamin “Quality Assurance in Laboratory Research” (tabel 6) dengan memberlakukan dan mengawasi pedoman yang menjamin “best practice” di laboratorium (Simmons RL dkk., 1991).
Tabel 6: Pedoman mendeteksi pemalsuan secara dini di laboratorium (Simmons RL dkk., 1991) 1.
2.
3. 4. 5.
Kecurigaan hendaknya diarahkan pada: • Seseorang yang pintar bekerja sendiri (“brillant loner”) yang nampaknya tidak mau kooperatif dengan lingkungan kerjanya • Bila hipotesis seseorang di laboratorium selalu diuji sebagai benar dari data-data yang dipresentasikan • Bila percobaan-percobaan selalu berhasil. Biasanya selalu sulit untuk mengendalikan percobaan sedemikian rupa tanpa melakukan banyak percobaan untuk memperoleh hasil yang reprodusibel • Grafik atau kurva hasil temuan yang terlalu “indah” dan “idealistik” Bersiteguh untuk melihat data-data mentah setiap percobaan ulang untuk meyakinkan diri bahwa disana tidak ditemukan konsistensi internal yang berlebihan Bila hasilnya mencurigakan, percobaan itu harus diulang oleh seorang peneliti lainnya. Dengarkan isi dari diskusi dan bentrok internal antara teknisi dan mahasiswa Berlakukan “research note book” (pedoman lihat tabel 7) yang merupakan buku catatan yang mengandung langkah-langkah percobaan yang dilakukan beserta bukti-buktinya, beserta data-data diatas mana hasil-hasil temuan itu bertumpuc.
Hal yang lebih sulit dilakukan adalah mendeteksi pemalsuan akademik sesudah pemalsuan itu dilakukan atau dipublikasikan. Secara moral dan etika, pemalsuan ilmiah melanggar integritas keilmuan. Cara-cara untuk menghindari suatu penipuan yang dilakukan didepan hidung ini adalah, misalnya dengan memikirkan bagaimana data-data itu bisa dibicarakan bersama-sama, dianalisis bersama dan disimpan secara lembaga (lihat tabel 6 & 7), sehingga mengijinkan kemajuan pengembangan karir sembari berlaku jujur dan setia kepada kebenaran ilmiah. Direktor laboratorium jangan sekali-kali mengambil kredit yang tidak layak, sehingga hal ini menekankan suatu teladan, bahwa imbalan-imbalan yang tidak pada tempatnya tidak diminati secara umum. Meskipun demikian, Fetters dan Elwyn (1997) bersikap skeptik terhadap “nilai luhur” ini, sebab mereka menemukan peran faktor budaya, seperti “groupism” pada para penulis dan peneliti berkebangsaan Jepang. Ilmu pengetahuan adalah merupakan bagian dari masyarakat, dan diwarnai oleh norma-norma kebudayaan yang sedang berlaku. Dalam konteks ini, cara yang sekarang dilakukan di negara-negara yang belum berkembang untuk menetapkan authorship adalah “obscure” dan “paternalistik” (Boerma (1997). Direktor laboratorium harus menempatkan diri c
Tambahan dari penulis.
9
dimana ia bisa melihat dan memberikan komentar terhadap data-data mentah dari hari ke hari. Perannya bukan hanya terbatas pada merevisi abstrak pada hari tulisan akan diajukan. Direktor laboratorium harus meminimalkan persaingan dalam laboratorium sendiri maupun dengan laboratorium-laboratorium lainnya. Bekerja bersama-sama dan membagi kredit untuk kontribusi yang nyata akan mempercepat kemajuan, sehingga menyingkirkan kesempatan duplikasi suatu eksperimen. Seorang Kepala Unit Riset atau Kepala Lab adalah “guarantor” atau penjamin integritas keilmuan yang bersuasana di laboratoriumnya. Cara yang penulis anggap paling penting adalah meningkatkan kualitas penelitian dan latihan penelitian, sehingga pemalsuan ilmiah bisa ditekan serendah mungkin. Cara yang baik adalah menanamkan sedini mungkin pada para peneliti muda prinsip-prinsip kedisiplian yang bisa dipertanggung-jawabkan di ilmu pengetahuan dan melekat secara kaku pada prinsip-prinsip ini. Prinsip paling fundamental adalah: sebuah komitmen kepada kebenaran. Biarkan data itu berbicara sendiri, bersikap selalu empiris, mengatakan semuanya dan apa adanya, walaupun itu nampaknya ambur-adul. Ilmu pengetahuan adalah sebuah proses penemuan terus-menerus. Bila penilaian data-data di-”warnai” oleh peneliti itu sendiri (di-make-up), maka biasanya peneliti itu tidak mampu menemukan apa yang diungkapkan oleh data-datanya sendiri dan menyesatkan orang lain ( Simmons RL dkk, 1991). Nama kepala Lembaga atau laboratorium atau kelompok riset dapat disebutkan dalam kurung setalah nama Klinik atau Lembaga, dimana penelitian itu berasal, seperti kebiasaan di majalah-majalah ilmiah Jerman (Crammer, 1997). Seruan untuk melakukan definisi ulang tentang kelayakan kopenulis semakin santer belakangan ini, yang maksudnya untuk memberikan kelayakan sebagai kopenulis bagi orang-orang yang biasanya hanya dicantumkan namanya di apendiks ucapan terima kasih, yaitu para teknisi, asisten peneliti dan ahli statistik (Smith R., 1997a; Horton R, Smith R., 1996). Ketidak-adilan ini biasanya terjadi pada penelitipeneliti muda/junior (Currie, 1997; Ezsias, 1997). Orang-orang yang perannya sebagai initiator atau pencetus ide dan gagasan penelitian, serta orang yang mendesignnya, namun tidak melakukan eksperimen sendiri secara menyeluruh, juga sering menjadi korban ketidak-adilan ini (Smith, 1997b). Contoh klasik orang yang mati merana baru sekarang diakui jasanya sebagai initiator dan penemu pertama “DNA double helix” adalah Rosalind Franklin dari King’s College, London, Inggris, sementara Watson, Crick dan Wilkins (bossnya Rosalind) telah mendapatkan hadiah Nobel untuk penemuan yang mereka yang berasal dari pencurian x-ray crystalografi dari laboratorium Rosalind Franklin. Staheli (1986) menekankan bahwa kunci untuk memperoleh kredit sebagai kopenulis adalah kontribusi yang substansial (“nyata”). Mengkucilkan orang-orang yang kontribusinya merupakan kunci keberhasilan adalah tidak etis, sehingga yang layak menjadi kopenulis adalah mereka yang pencetusan idenya, menggulirkan studi sampai ke mereka yang mengumpulkan dan mendapatkan data-data. Horton dan Smith (1996) menyarankan untuk menghapus definisi “gagal-atau-tuntas” dari syarat kelayakan sebagai kopenulis (“Authorship”), dan menggantikannya dengan suatu sistim seperti pencantuman nama-nama semua orang yang ikut ambil bagian dalam suatu penelitian, dengan menjelaskan jenis-jenis kontribusi itu (“Contributorship”), seperti daftar yang muncul pada akhir sebuah tayangan bioskop (“film credit”). Sebagai contoh, nama para penulis dilengkapi keterangan-keterangan seperti: Pemeroleh dana, penasehat design studi, editor manuskrip, penghitung statistik, asisten teknik bidang pembiakan sel, bidang biologi molekuler atau bidang histologi dlsb. Di Cina, hanya penulis pertamalah yang berhak untuk promosi atau kenaikan pangkat, tanpa memperdulikan alami posisinya , apakah dia itu teknisi, akademik ataupun profesional (Jia , 1997). Jia (1997) sependapat dengan usul mempertimbangkan issue authorship dan contributorship. Contributorship benar-benar merupakan solusi masalah yang lebih baik, karena dapat secara nyata mencerminkan kembali kontribusi setiap peserta penelitian. Sesuai dengan pendapat ini, maka “designer” dan “coordinator” yang duduk dalam “tim kontributor” dapat dikenali dengan mudah, untuk menunjukkan siapakah yang bertanggung jawab terhadap integritas ilmiah tulisan penelitian tersebut. Editorial dari Smith (1997b) menggaris-bawahi perlunya penggantian sistim “authorship” menjadi sistim “contributorship” dan “guarantorship”, dimana peran guarantor (penjamin) terletak pada penanggungjawaban integritas penelitian, yang memenuhi standard etika penelitian, dengan supervisi yang tinggi di bagian dimana para kontributor bekerja. Tabel 7. Beberapa pedoman tentang sebuah buku catatan penelitian (Contoh diambil dari “Research Note Book” milik Royal Free Hospital School of Medicine, London, Inggris, 1997).
10
1. Buku catatan penelitian (“research note book”) mengandung data-data penelitian yang diperoleh oleh seseorang selama bekerja di laboratorium tertentu. 2. Kopi tembusan disobek oleh peneliti sebagai pemilik, sedangkan halaman yang pertama, disimpan di laboratorium. Jadi buku catatan ini memiliki dua pemilik, yaitu laboratorium dan peneliti. 3. Disudut atas kanan diberi nomer urut (asli dan kopi bernomer sama), sedangkan bagian bawah setiap lembarnya mengandung data nama peneliti, tanda tangan peneliti, nama bagian, tanda tangan saksi penelitian dengan nama jelasnya. Saksi ini harus bisa membaca dan mengerti informasi yang terkandung pada halaman itu. Tanda tangan saksi harus dibubuhkan dalam 3-4 bulan semenjak percobaan selesai dilakukan. Saksi harus bisa dikenali identitasnya (bukan saksi siluman) 4. Setiap catatan ditulis dengan pena, bukan dengan pensil. 5. Kopi dalam duplikat foto-foto elektroforesis/gel dll. harus dilekatkan pada halaman pertama dan halaman tembusan. 6. Setiap halaman digunakan secara berkesinambungan, tanpa melewatkan satu lembar kosong. 7. Setiap laboratorium harus memiliki sistim referensi dan nomer baku terhadap buku catatan yang disimpan di safe tahan api. 8. Bila ada data atau halaman tambahan yang harus diselipkan dan diubah, setiap perubahan harus diparaf dan diberi tanggal oleh penelitinya. 9. Penghapusan data pada sebuah halaman hanya boleh dilakukan dengan mencoretnya dengan garis melintang. Penghapusan data dengan tipeks dlsb. tidak diijinkan. 10. Sebuah buku catatan harus mengandung rincian kapan ide pertama dicetuskan, serta satu gambaran jelas tentang kerja yang dilakukan untuk merealisasi ide tersebut 11. Buku catatan harus memiliki daftar isi. Pada daftar isi disebutkan judul proyek, nomer proyek, serta tanggal dengan rujukan pada halaman, dimana data-data yang berhubungan dengan proyek itu dapat ditemukan. 12. Rekaman elektronik data-data percobaan di laboratorium tidak diterima untuk tujuan-tujuan legal, karena keaslian informasi yang dimasukkan atau perubahan yang dilakukan dianggap tidak autentik 13. Perlu diadakan penambahan-penambahan rekaman pada setiap bagian kerja, dimana dilakukan kerja sama dengan institusi-institusi yang lain. 14. Sebuah buku catatan tidak perlu mencantumkan komentar-komentar yang mematahkan semangat ataupun impresi dalam bentuk apapun juga tentang keberhasilan atau kegagalan.
Demikianlah, semoga ulasan ini cukup memberikan kesempatan untuk memikir ulang tentang masalah hak penulis dan kopenulis, yang tidak terlepas dari tanggung-jawab terhadap isi sebuah tulisan yang menceritakan kejujuran dan kebenaran sejati. Jangan sampai kebenaran dalam dunia keilmuan ini mendarat ke suatu keadaan sesat yang digambarkan secara tepat dan bijaksana oleh Max Planck, seorang ahli Atomfisika dan Pemenang Hadiah Nobel berkebangsaan Jerman yang dengan bijaksana mengatakan: “Wissenschaftliche Wahrheit pflegt sich nicht in der Weise durchzusetzen, daß ihre Gegner überzeugt werden, sondern vielmehr, indem sie almählich aussterben” (“Kebenaran ilmiah bukanlah dipertahankan melalui usaha mejakinkan para lawanlawan pendapatnya, melainkan -diuji oleh waktu-, bila mereka - para lawan itu - musnah”).
Referensi:
11
Barker A, Powell RA. Authorship. Guidelines exist on collaborations. Brit. Med. J. 314: 1046, 1997
ownership of data and authorship in multicentre
Berk RN. Irresponsible Coauthorship. Am. J. Radiol. 152:719-720, 1989 Boerma T. New authorship practice are needed in developing countries. Brit. Med. J. 315:745-746, 1997 Bophal R, Rankin J, McColl E, Thomas L, Kaner E, Stacy R, Pearson P, Vernon B, Helen Rodgers. The vexed question of authorship: views of researchers in a British medical faculty. Brit. Med. J 314: 1009-1012, 1997a Bhopal RS, Rankin JM, McColl E, Stacy R, Pearson PH, Kaner EFS, Thomas LH, Vernon BG, Rodgers H. Team approach to assigning authorship order is recommended (letter to Editor). Brit. Med. J 314: 1046-1047, 1997b Chew FS. The scientific literature in diagnostic radiology for American readers: a survey and analysis of journals, papers and authors. Am. J. Radiol., 147:1055-1061, 1986. Cramer J. Coworkers should be named. Brit. Med. J. 315:745, 1997 Currie C. Author saw fraud, misconduct, and unfairness to more junior staff. Brit. Med. J. 315:747-748, 1997 Davies BW. Number of publications given on curricula vitae should be limited. Brit. Med. J. 315:748, 1997 Ezsias A. Authorship is influenced by power and departmental politics. Brit. Med. J. 315: 746, 1997 Fetters MD, Elwyn TS. Assessment of authorship depends on culture. Brit. Med. J. 315:747, 1997 Godlee F. Definition of “authorship” may be changed. Brit. Med. J. 312: 1501-1502, 1996 Horton R, Smith R. Time to redefine authorship: a conference to do so. Brit. Med. J, 312: 723, 1996 Huth ED. How to write and publish papers in the medical sciences (Eds. Hensyl WR, Felscher H, Siegfort S), Edisi 2, Williams & Wilkins, Baltimore, Philadelphia, Hong Kong, London, Munich, Sydney, Tokyo, 1990a, hal. 43-46 Huth ED. How to write and publish papers in the medical sciences (Eds. Hensyl WR, Felscher H, Siegfort S), Edisi 2, Williams & Wilkins, Baltimore, Philadelphia, Hong Kong, London, Munich, Sydney, Tokyo, 1990b, hal. 230. International Committee of Medical Journal Editors. Guidelines on authorship. BMJ; 291:721, 1985 International Committee of Medical Journal Editors: Uniform requirements for manuscripts submitted to biomedical journals. JAMA, 269: 2282-2285, 1993 Jia Ji-Dong. Fierce dispute about order of authors sometimes occur in China. Brit. Med. J. 315:746, 1997 Koenig R. Scientific misconduct. Panel calls falsifications in German case ‘unprecedented’. Science, 277:894, 1997 “Research Note Book”, Laboratory notebooks and recording of research data. Royal Free Hospital School of Medicine, London, U.K., 1997 de Sa, P. Bhopal and colleagues’suggested method of ordering authors wouldn’t work. Brit. Med. J. 315:745, 1997
12
Simmons RL, Polks HC, Williams B, Mavrodis C: Misconduct and fraud in research: Social and legislative issues symposium of the society of University Surgeons. Surgery 110: 1-7, 1991 Slone RM Increasing coauthorship of scientific exhibits. Radiology, 178:893-894, 1991 Smith R. Authorship: time for a paradigm shift? The authorship system is broken and may need a radical solution. Brit. Med. J. 314: 992, 1997a Smith R. Authorship is dying: long live contributorship. Brit. Med. J. 315:696, 1997b Staheli LT. Speaking and writing for the phycsician. 1st ed. New York, Raven, 1986 Williams N. Scientific misconduct. Editors seeks ways to cope with fraud. Science, 278:1221, 1997