A Review Paper PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS EKOSISTEM :
Teori, Fakta, dan Implementasi1 Oleh: 2
2
2
H. Purnomo , A. Hadjib , M.B. Saleh , B. Kuncahyo2, T. Rusolono2, B. Prihanto2, S. Rahayu2, N. Puspaningsih2, Muhdin2, T. Tiryana2, Priyanto2, Hendrayanto2, U. Rosalina2, N.M. Arifjaya2, I.N.S. Jaya2, E. Suhendang2 I. PENDAHULUAN Kelestarian hutan menjadi harapan banyak pihak, paling tidak itu yang selalu disampaikan oleh para pihak termasuk pemerintah, masyarakat, penggiat LSM dan pemerhati hutan di seluruh Indonesia dan dunia. Indonesia mempunyai daratan seluas 187,78 juta Ha dan lebih dari 72% atau 137.09 Ha dinyatakan sebagai kawasan hutan oleh pemerintah sesuai dengan TGHK. Dari peta padu serasi diketahui bahwa luas kawasan hutan adalah 120,36 juta Ha (Kemenhut, 2010). Hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM+ 2005/2006, kawasan hutan tersebut terdiri dari 43,8 juta Ha hutan primer, 48,5 juta Ha hutan bekas tebangan, dan sisanya 40,1 juta Ha bukan berupa hutan (Kemenhut, 2009). Data ini menunjukkan harapan atas kelestarian hutan pada masa lalu tidak dapat dipenuhi karena sedikitnya 40,1 juta Ha telah tidak lestari sebagai hutan. Fakta ketidaklestarian hutan Indonesia bukanlah hal yang aneh. Diketahui bahwa hampir semua negara maju di dunia ini mengalami pengurangan tutupan hutan pada awal pembangunannya, yang kemudian dilanjutkan dengan peningkatan tutupan hutan sejalan dengan keberhasilan pembangunan dan pendapatan masyarakat. Dinamika ini menjadi tambahan tantangan bagaimana seharusnya mengelola hutan di Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya. Indonesia sekarang ada dalam fase kritis, apakah deforestasi dan degradasi di Sumatra, Kalimantan dan Papua sebagai contoh akan berlanjut terus, atau dapat distabilisasi untuk kemudian pulih. Pengeloaan sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan merupakan amanat konstitusi. Hasil amandemen ke-empat ayat 4, pasal 33, UUD 1945 menyatakan, "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirina, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional". Jadi lepas dari semua konvensi dan ide di tingkat global seperti konvensi keanekaragaman hayati, REDD+, green economy, kelestarian sumberdaya alam sederhananya adalah amanat konstitusi yang menjadi kewajiban setiap warganegara untuk melaksanakannya. Mencari arah dan pelaksanaan baru pengelolaan hutan lestari bersanding dengan fakta bahwa Indonesia kontemporer sudah terbagi-bagi dalam unit-unit bentang alam, sektor dan administrasi baik secara horisontal maupun vertikal. Masing-masing unit mempunyai yuridiksi, institusi dan tata kelola (governance) yang telah ada selama ini. Inovasi-inovasi pengelolaan hutan baru harus mampu melihat fakta ini jika inovasi tersebut akan dilaksanakan. Pilihan pengelolaan hutan dan lahan harus paling menguntungkan banyak pihak. Makalah ini bertujuan untuk mendapatkan arah pengelolaan hutan alam yang berkelanjutan yang dapat diimplementasikan. Metode yang dipakai adalah tinjauan sistematis (systematic review) terhadap ragam artikel dan ide yang berkembang. Diharapkan makalah ini dapat menyumbang gagasan bagi kehutanan baru Indonesia yang lestari dan menyejahterakan banyak pihak. 1
2
Makalah disampaikan dalam Diskusi Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem sebagai Pendekatan untuk Pengelolaan Hutan Indonesia dalam Paradigma Kehutanan Indonesia Baru. Diselenggarakan dalam rangka Ulang Tahun Emas Fakultas Kehutanan IPB (1963 -2013). Bogor, 20 Agustus 2013. Staf Pengajar Bagian Perencanaan Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
1
II. METODE Makalah ini dibuat dengan metode tinjauan sistematis (systematic review). Pullin dan Stewart (2006) menyampaikan tahapan tinjauan sistematis sebagai berikut: (a) Perencanaan tinjauan: formulasi pertanyaan, pengembangan protokol tinjauan; (b) Pelaksanaan tinjauan: pencarian literatur, seleksi literatur, penilaian kualitas metodologi, ekstraksi literatur, sintesis literatur; dan (c) Pelaporan dan diseminasi tinjauan. Sedangkan Borenstein et al. (2009) dan The Cochrane Collaboration (2012) menyampaikan bahwa tinjauan sistematis adalah studi dengan rangkaian kegiatan sebagai berikut: (a) formulasi pertanyaan yang akan dijawab (research questions); (b) pencarian literatur yang intensif; (c) formulasi kriteria inklusi dan eksklusinya (inclusion and exclusion criteria); (d) penaksiran hasil literatur; (e) sintesis kuantitatif data (meta-analysis); (f) interpretasi hasil keseluruhan. Tahapan ini dilakukan pada makalah ini. Tinjauan sistematis dapat disajikan secara diagramatik seperti pada Gambar 1.
Tinjauan sistematis (systematic review) Pertanyaan yang didefiniskan secara jelas Pencarian literatur yang ekstensif untuk mendapatkan semua studi yang relevan Formulasi kriteria inklusi dan eksklusi
Penilaian kritis terhadap studi yang ada
Sintesis statistik, seperti meta-analysis
Pembahasan/interpretasi hasil
Gambar 1. Tinjuan sistematis (Borenstein et al. 2009)
III. HASIL 3.1. Formulasi Pertanyaan, Literatur dan Kriteria Inklusi dan Eksklusinya Ada dua pertanyaan yang ingin dijawab dalam makalah ini, yaitu (a) Mengapa perlu hutan tetap, apabila diasumsikan jawabannya adalah perlu, maka bagaimana menetapkan hutan tetap (b) Bagaimana mengelola hutan tetap tersebut dalam kesatuan bentang alam (landscape)? Pertanyaan pertama terkait dengan isu kawasan hutan, hutan dan pengelolaan hutan. Pertanyaan kedua, jika hutan dipandang sebagai bagian bentang alam, maka perlu perumusan bagaimana prinsip dan metode pengelolaanya sehingga kelestarian dan manfaat bentang alam tersebut optimal. Literatur dan ide utamanya diambil dari staf Bagian Perencanaan Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Literatur terdiri dari jurnal, buku dan makalah yang dipresentasikan. Ide diambil dari diskusi yang dilakukan Bagian Perencanaan dalam rangka membuat presentasi „Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem‟ dalam rangka 50 th Fakultas Kehutanan IPB. Publikasi penulis lain yang terkait yang memenuhi syarat sebagai tulisan ilmiah, terutama yang bisa diakses lewat internet, kami rujuk dalam tulisan ini.
2
3.2. Penaksiran Literatur dan Ide 3.2.1. Teori kelestarian dan transisi hutan Bettinger (2009) menyatakan bahwa kelestarian (sustainability) mengacu pada pemeliharaan sumberdaya untuk masa depan yang tak terbatas dengan tanpa penurunan kualitas. Implementasi konsep ini dipengaruhi oleh nilai yang dianut masyarakat dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Kepemilikan sumberdaya dan tujuan pengelolaan mempengaruhi bagaimana konsep kelestarian ini diimplementasikan. Evolusi kelestarian pengelolaan hutan melewati tiga tingkat, yaitu (a) Kelestarian produksi kayu yang ditujukan untuk kelestarian pasokan kayu (sustained yield principle) dan pengembangan ekonomi lokal; (b) Kelestarian produksi dan multi-manfaat dari hutan sebagai penghasil barang dan jasa (Kuncahyo, 2006); dan (c) Kelestarian ekosistem dan nilai sosial. Kelestarian pada tingkat 1 lebih sederhana daripada tingkat 3. Tingkat 1 hanya tentang kelestarian kayu, tidak menyangkut usaha-usaha mengurangi emisi karbon (Yanai et al. 2012).
Gambar 2. Hasil kayu bulat dari konsesi HPH menurut waktu (FAO 2009) Indonesia, secara nasional gagal dalam mendapatkan kelestarian hasil kayu dari hutan alam. Pada tahun 1977 produksi kayu bulat 27 juta m3, sedangkan sekarang berkisar 10 juta m3 seperti tersaji pada Gambar 2 (FAO, 2009). Ini adalah indikasi sederhana dari kegagalan mencapai kelestarian hasil kayu. Banyak penyebab mengapa kelestarian ini tidak terjaga terutama dalam ranah tata kelola hutan (governance) seperti pembalakan liar, rendahnya patisipasi masyarakat dan korupsi (ContrerasHermosilla, 2000). Perlu juga disadari bahwa hutan tropis memiliki tingkat kesulitan pengelolaan yang lebih tinggi dari hutan non tropis karena kompleksitas hutan termasuk ketidakmantapan kawasan dan tumpang tindihnya hak, dan keterbatasan pengetahuan kita tentang pertumbuhan pohon. Ketidaktersediaan data pertumbuhan pohon karena kurangnya petak ukur permanen (PUP) yang representatif untuk seluruh Indonesia yang sungguh-sungguh diukur dalam waktu yang panjang berakibat pada tidak seimbangnya antara laju pemanenan dan laju pertumbuhan tegakan hutan. (Muhdin, 2012). Beragam isu dalam kelestarian hasil kayu ini yang menjadi obyek kajian (Bettinger 2009) sekarang diantaranya adalah (a) Skala unit pengelolaan (seperti: bentang alam, kabupaten, desa); (b) Intensitas pengelolaan hutan (seperti: tingkat intensitas dan kecukupan dana) (c) Fluktuasi pasar ; (d) Penerapan untuk hutan yang belum tertata dalam satu kesatuan unit pengelolaan (seperti: hutan rakyat, hutan skala kecil); (d) Kerusakan hutan seperti akibat longsor, pembalakan dan banjir. Evolusi kelestarian tingkat ke-2 adalah kelestarian beragam barang dan jasa hutan. Kelestarian multi-manfaat ini mensyaratkan pengelolaan ragam sumberdaya hutan secara sungguh-sungguh untuk memenuhi ragam kebutuhan parapihak. Partisipasi aktif parapihak dalam menentukan barang dan jasa yang diperlukan menjadi kunci bagi model kelestarian ini. Integrasi dari hasil barang dan jasa nontradisional seperti kayu, air, stok karbon dan keindahan bentang alam (landscape beauty) kedalam perencanana hutan diperlukan. Metode pengaturaran hasil (yield regulation) untuk semua barang dan jasa perlu diformulasikan secara eksplisit. Metode ini haruslah berbasis pada model pertumbuhan dan dinamika hutan (Rusolono et al. 1997; Tiryana et al. 2011) yang diamati melalui PUP. Keberadaan ragam 3
PUP untuk kayu dan bukan kayu merupakan syarat keharusan bagi model kelestarian multi-manfaat. Indonesia sudah mencoba menerapkan model kelestarian ini, dimana kayu dan bukan kayu sama-sama diperhatikan dalam pengelolaan hutan (BALITBANGHUT 2010) walaupun belum dapat dinyatakan tingkat keberhasilannya. Evolusi terakhir adalah pengelolaan hutan berbasis ekosistem dan nilai sosial. Kepedulian publik global terhadap hutan telah mentransformasi hutan dari pusat kegiatan produksi dan ekonomi lokal menjadi tempat berlanjutnya fungsi ekosistem. Pendekatan ini sering diasosiasikan dengan intervensi manusia minimum, yang tentunya tidak harus benar. Ketika ekosistem tidak sehat maka diperlukan pendekatan intervensi manajemen yang intensif seperti restorasi ekosistem. Masyarakat dan hutan harus dipandang sebagai sistem yang adaptif dan kompleks. US Forest Service telah berpindah dari implementasi kelestarian multi-manfaat menjadi kelestarian ekosistem (Bettinger 2009). Kelestarian ekosistem menempatkan Pusat (Jakarta) sebagai pengembang perencanaam strategis, sedang implementasinya tergantung pada unit pengelola hutan. Unit pengelola hutan dalam kelestarian tingkat 3 memerlukan (a) Kolaborasi dengan parapihak; (b) Analisis beragam alternatif rencana pengelolaan hutan; (c) Membuat keputusan-keputusan pengelolaan hutan; (d) Implementasi dan dokumentasi proses; (e) Memantau dan menilai kelestarian; dan (e) dan memperbaiki pengelolaan hutan. Berbagai literatur seperti Holling (1978) dan Lee (1993)) menyebutnya sebagai manajemen adaptif (adaptive management). Manajemen ekosistem perlu memperhatikan Hukum II termodinamika, yang menyatakan bahwa proses-proses transformasi energi tidak terjadi dengan 100% efisien, selalu ada sisa energi yang tidak terpakai (entropi). Entropi adalah energi yang ada dalam sistem atau proses tetapi tidak dapat dipakai. Entropi adalah ukuran ketidakberaturan yang ada dalam sistem. Jadi ketika kawasan hutan alam ditransormasikan menjadi kebun kelapa sawit maka transformasi ini tidak akan 100% efisien. Ketidakefisienan ini berakibat pada ketidakberaturan baru yang ada dalam kawasan tersebut. Lalu bagaimanakah dengan tutupan hutan secara makro, apakah stabil dan berubah sejalan dengan proses pembangunan? Fenomena transisi hutan (forest transition) terjadi di banyak negara ( Yackulic et al., 2011). Pada awalnya tutupan hutan sangat tinggi, kemudian sejalan dengan pembangunan dan pendapatan masyarakat terjadi deforestasi dan degradasi. Namun kemudian tutupan hutan meningkat setelah masyarakat mencapai pendapatan tertentu seperti diteorikan pada environmental Kuznets curve (EKC; Shafik 1994). EKC menghipotesiskan hubungan antara kualitas lingkungan dan pembangunan ekonomi: beragam indikator degradasi lingkungan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi modern sampai mencapai tingkat pendapatan tertentu. Teori transisi hutan ini dapat dilihat dalam uraian Angelsen (2008) dan Culas (2012). Fakta atau evidence transisi hutan bisa dilihat di Prancis seperti tersaji pada Gambar 3.
Gambar 3. Evidence Transisi hutan di Prancis (Guizol 2008) Di Indonesia, transisi hutan ini terlihat pada dinamika penutupan hutan di pulau-pulau besar. Papua mulai mengalami deforestasi, Kalimantan mempunyai deforestasi terbesar, Sumatra menuju ke kestabilan, sedangkan Jawa mengarah pada bertambahnya penutupan hutan (Gambar 4). Dalam konteks hutan tetap, maka tidak mudah kemudian menetapkan dimana sesungguhnya hutan tetap itu, atau sesungguhnya kita sudah gagal mengelola hutan tetap sehingga berubah menjadi bukan hutan. 4
100% Papua
Tutupan hutan
Kalimantan
Sumatra
Jawa
Pendapatan per kapita atau tahapan pembangunan
Gambar 4. Perspektif transisi hutan di Indonesia 3.2.2. Kawasan hutan tetap dan tata ruang Pasal 1 Angka 3 UU No. 41 Tahun 1999, setelah keluar Amar Putusan Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Wilayah tertentu disini berarti tidak harus berstatus sebagai tanah negara, sehingga kawasan hutan tidak identik dengan hutan negara. Hutan tetap bisa terletak di lahan negara atau lahan milik (Gambar 5). Namun tidak ada pengertian yang mengikat secara hukum untuk istilah „hutan tetap‟ (permanent forest) yg bersifat fungsional. Ketidakjelasan ini berdampak negatif dengan (a) Memaksakan status kawasan yang harus dipertahankan keberadaannya sebagai „hutan tetap‟ menjadi lahan negara; dan (b) Memaksakan penetapan lahan untuk „hutan tetap‟ berdasarkan status yuridis lahannya. TGHK yang pernah disusun dibuat dengan informasi yang tidak memadai tentang hutan tetap ini. Indonesia Lahan negara Hutan tetap
Lahan milik atau privat
Gambar 5. Denah venn hutan tetap Kejelasan mengenai kawasan hutan tetap sangat penting bagi berlangsungnya pengelolaan hutan. Apakah hutan tetap mengacu pada luas atau fungsi? Terus bagaimana menetapkan hutan tetap ini. Dalam konteks ini, ada diskursus metode penetapan hutan tetap sebagai berikut (a) Apakah dengan metode yang sama di wilayah yang berbeda akan menghasilkan hutan tetap yang sama? (b) Sebaliknya, di wilayah yang sama dengan metode yang berbeda akan menghasilkan hutan tetap yang sama? (c) Apakah di wilayah-wilayah yang sama kondisinya membutuhkan hutan tetap yang sama? (d) Benarkah ada ukuranukuran yang objektif untuk keperluan itu? (e) Adakah scientific justification untuk ada/tidak ada hutan tetap, ataukah hutan tetap itu berdasarkan pertimbangan terpadu antara science, belief, faith? Diskursus ini perlu dicoba dijawab melalui beragam penelitian dan review. 5
Pada dasarnya penetapan hutan tetap tergantung kerangka pikir dan pandangan manusia terhadap sumberdaya alam-hutan. Berdasarkan hal tersebut, pada saat ini dijumpai beberapa pandangan sebagai berikut: 1. 2.
3.
4.
Sumberdaya alami, termasuk hutan terbentuk oleh alam sesuai dengan faktor biofisiknya, sehingga perlu dialokasikan sumberdaya hutan itu menurut kriteria biofisik dan keterwakilannya. Sumberdaya alami mempunyai faktor pembatas yang berbeda dan efisiensi perlu diperhatikan dalam pengelolaannya, sehingga sumberdaya hutan yang dipertahankan adalah yang tidak efisien untuk penggunaan lahan lain atau utilitarian (ukuran ekonomi). Sumberdaya alami, termasuk hutan mempunyai kemanfaatan baik secara privat maupun publik (masyarakat umum/global), sehingga alokasi hutan tergantung besaran manfaat-manfaat tersebut. Contoh besaran yang digunakan misalnya hidrologi, karbon, ecological footprint melalui konsep daya dukung dan daya tampung. Sumberdaya alami tergantung interaksinya dengan manusia, sehingga alokasi hutan ditentukan oleh persepsi dan keinginan manusianya. Misalnya dikembangkan melalui penerapan konsep game theory, simulasi teori perilaku (behaviour).
Metode penetapan hutan tetap selalu harus mencari keseimbangan antara anthroposentris (kepentingan manusia) dengan ekosentris (hak-hak makhluk lain). Manusia dan lingkungan terkoneksi. Arifjaya et al. (2007) mengulas hubungan antara luas tutupan hutan terhadap potensi banjir dan koefisien limpasan di beberapa DAS di Indonesia. Pengelolaan DAS perlu dilakukan dalam upaya menangani kejadian banjir (Arifjaya 2008) serta insentif bagi para pihak yang terlibat (Hendrayanto 2013). Tata ruang merupakan syarat keharusan pengelolaan hutan yang baik. Adanya unit hutan tetap (permanent forest) sebagai lokasi yang akan dikelola merupakan syarat keharusan bagi berlangsungnya pengelolaan hutan. Seperti didefinisikan oleh Suhendang (2012a, 2013b) dalam pengelolaan hutan yang berlandaskan pada prinsip kelestarian hasil, maka jumlah ulangan proses produksi secara lengkap dilakukan secara tak berhingga. Dengan syarat ini, maka tanpa adanya hutan tetap pengulangan tak berhingga sulit menjadi kenyataan.. Hutan tetap adalah wilayah-wilayah tertentu yang karena karakteristik biofisik dan atau kekhasan fungsinya harus tertutup oleh vegetasi hutan secara permanen. Lahan dalam wilayah tertentu tersebut harus berwujud hutan secara permanen. Teknik-teknik klasifikasi tutupan lahan dan hutan yang inovatif (Wirakartakusumah dan Abe 2001; Jaya xxxx) menjadi bagian penting dalam penentuan hutan tetap. 3.2.3. Pengelolaan hutan dan bentang alam ekologis Pasal 10 Ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, LITBANG dan DIKLATLUH kehutanan, dan pengawasan. Pengelolaan hutan meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatam hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan dan perlindungan hutan dan konservasi alam (Gambar 6).
Gambar 6. Pengelolaan hutan dalm UU No. 41 Tahun 1999 6
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) 1992 di Rio de Janeiro, Brazil mengharuskan pengelolaan sumberdaya hutan sebagai bagian dari ekosistem sumberdaya alam dilakukan dengan prinsip dan cara yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dua puluh tahun kemudian dalam KTT Rio+20 bulan Juni 2012, pesan ini dikuatkan. Dokumen „The Future We Want‟ menekankan green economy dengan mengarusutamakan lebih lanjut pembangunan berkelanjutan, yang pada intinya terdiri dari tiga hal yaitu: (a) memerangi kemiskinan; (b) promosi pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan; dan (c) perlindungan dan pengelolaan sumberdaya alam yang efisien. Secara singkat, Rio+20 mengamanatkan reduksi emisi karbon, efisiensi penggunaan sumberdaya alam dan keterlibatan masyarakat. Beberapa tujuan ini bisa dipadukan (Kuncahyo xxxx, Tiryana 2010). Rusolono (2006) menyatakan agroforestri bisa menjadi perpaduan antara meningkatkan stok karbon dan meningkatkan penghidupan masyarakat. Sedangkan Tiryana et al. (2009) dan Priyanto (2012) secara khusus mengamati besaran dan distribusi karbon di hutan tanaman dan rawa gambut. Schlaepfer and Elliott (2000) mengembangkan dua belas prinsip dalam pengelolaan hutan dan sumberdaya lahan untuk pembangunan berkelanjutan yaitu: (1) menuju penggunaan sumberdaya ekosistem yang berkelanjutan; (2) holistik; (3) berbasis ekosistem; (4) mempunyai perspektif bentang alam; (5) memenuhi beragam tujuan precautionary atau multi-tujuan; (6) terpadu; (7) partisipasi parapihak; (8) berbasis pemantauan; (9) adaptif; (10) berbasis ilmu dan pertimbangan yang baik; (11) mempertimbangkan kognitif, emosi dan moral; dan (12) berbasis prinsip kehati-hatian. Dua belas prinsip memaknai sasaran wilayah pengelolaan adalah bentang alam ekologis (ecological landscape), sedangkan kegiatan penyelenggaraannya adalah pengurusan hutan, utamanya perencanaan kehutanan dan pengelolaan hutan. Bentang alam adalah sebuah porsi dari permukaan bumi yang dapat dilihat dari satu sudut pandang (viewpoint) diatas lahan (www3.newberry.org/k12maps/glossary/). Bentang alam adalah mosaik dari beragam tutupan dan penggunaan lahan yang berkerja sebagai sebuah ekosistem. Bentang alam adalah tempat interaksi kompleks antara ekosistem dan manusia (www.nps.gov/plants/restore/library/glossary.htm). Hutan, sebagai bagian dari bentang alam, berperan sangat penting untuk membuat bentang alam berfungsi secara ekologis, ekonomi dan sosial. Definisi yang lain, bentang alam adalah satu kesatuan lahan yang terdapat homogenitas pada tipe dan penggunaan. Tujuan keseluruhan pengelolaan bentang alam adalah kelestarian fungsi ekologi, sosial dan ekonomi. Diskusi tentang bentang alam umumnya meliputi multi-skala pengelolaan, integritas ekologis, pemantauan, manajemen adaptif, kolaborasi, manusia sebagai komponen bentang alam dan nilai-nilai kemanusiaan. Chomitz (2007) mengelompokkan bentang alam menjadi tiga zone atau wilayah, yaitu inti hutan (forest core), pinggir hutan (forest edge/margin) dan lahan mosaik (Gambar 7). Tabel 1 menerangkan fitur ketiga wilayah ini serta tantangan penanggulanan kemiskinan/pembangunan, lingkungan dan tata kelola (governance). Hutan terdapat di ketiga wilayah tersebut yaitu di inti hutan, pinggir hutan dan lahan mosaik. Jadi ketika kita bicara pengelolaan bentang alam maka perlu memahami ketiga wilayah dengan fiturnya serta tantangan yang ada untuk keberlanjutan bentang alam yang ada.
Lahan mosaik Pinggir hutan Hutan skala kecil
Inti hutan
Agroforrest
Gambar 7. Ilustrasi bentang alam hipotetis 7
Tabel 1. Bentang alam berbasis hutan dan tantangannya (Chomitz 2007) Tipe wilayah Inti hutan
Pinggir hutan
Lahan mosaik
Tantangan penanggulanan kemiskinan/pembangunan Penyediaan barang dan jasa untuk masyarakat luas
Fitur Sebagian besar wilayah hutan, dengan sedikit penduduk/populasi, banyak masyarakat lokal/asli Ekspansi pertanian, peningkatan nilai lahan secara cepat, dan konflik atas pemanfaatan hutan
Tantangan lingkungan Pemeliharaan prosesproses ekosistem dalam skala besar
Peningkatan pembangunan pedesaan dan akses terhadap lapangan kerja diluar pertanian (off-farm)
Penghindaran degradasi yang tak dapat balik, mitigasi emisi CO2, penghindaran fragmentasi hutan Pengelolaan bentang alam untuk produksi barang dan jasa lingkungan, penanggulangan kepunahan jenis dan peningkatan sequestrasi karbon.
Nilai lahan tinggi, banyak penduduk, dan fraksi kecil hutan
Tantangan tata kelola Perlindungan hakhak masyarakat lokal/asli, penanggulangan deforestasi dan degradasi hutan Pengendalian pengambilan lahan oleh aktor-aktor besar dan klaim oleh aktor-aktor kecil. Penguatan property right atas lahan, pohon dan jasa lingkungan
Sinergi konservasi lingkungan dan pembangunan pada beragam kebijakan dan tata kelola bukanlah sesuatu yang mudah. Purnomo (2008) menciptakan sebuah permainan bentang alam Landscape Game untuk pembelajaran bagi para aktor pengguna bentang alam, lembaga keuangan dan pembuat kebijakan (http://www.cifor.org/lpf/landscapegame/). Permainan ini berbasis konsep relasi landscapeactor-institution (Purnomo et al. 2009), game theory dan Chomitzian landscape dan telah dimainkan di banyak negara sebagai cara untuk mempelajari dinamika bentang alam, strategi dan respon aktor pengguna lahan, kebijakan dan kelembagaan. Pradana (2012) dan Prabowo (2012) melakukan eksperimentasi keterkaitan antara perubahan ekologis dan pendapatan dari bentang alam para aktor melalui permainan pada ragam kebijakan yang diambil seperti tersaji pada Gambar 8. Perubahan ekologis secara sederhana direpresentasikan menjadi positif jika ada patch yang berubah menjadi hutan dan sebaliknya negatif jika ada patch yang berubah dari hutan menjadi bukan hutan. Sedangkan pendapatan dinyatakan dengan poin dari ragam usaha yang mungkin dilakukan pada bentang alam termasuk pembalakan kayu, REDD+, ekowisata, usaha hutan skala kecil seperti jati dan sengon, usaha jasa air dan pertambangan. Ada korelasi negatif yang lemah antara lingkungan dan pembangunan yang didapat dari 14 eksperimentasi kebijakan ragam insentif dan kelembagaan bentang alam pada beragam aktor yang memainkan beragam strategi. Konsep permainan (game) merepresentasikan siklus aksireaksi-aksi-reaksi dari beragam pihak yang mempunyai kepentingan pada bentang alam, rasional dan saling tergantung. Aktor pengguna lahan bisa memainkan strategi yang berbeda untuk merespon kebijakan, dan sebaliknya pemerintah sebagai pengambil kebijakan bisa merespon ragam strategi yang dimainkan para aktor dengan kebijakan baru. 16
Perubahan ekologis
14
11
12
2
8
9
10 15
4
8 14
6
13
4
3
1
2
5
-2
10
7
0 -200
6
12
0
200
400
600 800 1000 1200 Pendapatan dari bentang alam
1400
Gambar 8. Korelasi konservasi dan pembangunan ekonomi (y = -0.0009x + 7.4674; R² = 0.0071 ) 8
3.2.4. Pengelolaan hutan berbasis ekosistem Ekosistem adalah jaringan interaksi antar-organisme, dan antara organisme dengan lingkungannya. Ekosistem bisa mempunyai ragam skala, namum biasanya spesifik dan besarnya tertentu. Ekosistem dikendalikan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal seperti iklim mengendalikan keseluruhan struktur dan sumberdaya ekosistem seperti dekomposisi, jenis dan suksesinya, yang merupakan faktor internal ekosistem (http://en.wikipedia.org/wiki/Ecosystem). Definisi ekosistem yang lebih rinci diberikan oleh Odum (1971) sebagai “unit yang melibatkan semua organisme yaitu komunitas di sebuah kawasan tertentu yang berinteraksi dengan lingkungan fisik, sehingga terdapat aliran energi dalam struktur trofik, keragaman biotik dan siklus material antara bagian hidup dan tidak hidup dalam sistem”. Secara literal ekosistem adalah sebuah sistem ekologis yang kompleks, dinamis dan adaptif. Kata kompleks mengandung makna bahwa sifat-sifat pada tingkat sistem bukan merupakan penjumlahan dari sifat-sifat komponennya. Dinamis berarti berubah menurut waktu, sedang adaptif bermakna setiap komponen sistem saling mempengaruhi dan menyesuaikan diri dalam interaksinya dengan komponen lain dalam sistem. Pengelolaan ekosistem didefinisikan sebagai penerapan ekologi dalam pengelolaan sumberdaya untuk menghasilkan kelestarian ekosistem dalam jangka panjang, serta barang dan jasa lingkungan yang diperlukan (Chapin III, 2009). Pengelolaan ekosistem sering dipakai untuk tujuan konservasi hidupan liar, namun juga bisa dipakai secara intensif mengelola ekosistem itu sendiri seperti dalam konteks agroekosistem dan restorasi ekosistem (Puspaningsih, 2011). Lebih lanjut The Interagency Ecosystem Management Task Force (1994) yang didirikan oleh Pemerintahan Clinton memberi definisi pengelolaan ekosistem, sebagai pendekatan yang digerakkan oleh tujuan untuk mengembalikan dan melestarikan kesehatan ekosistem, fungsi, dan nilainya dengan menggunakan ilmu yang terbaik yang ada. Walaupun konsep pengelolaan ekosistem baik untuk pembangunan berkelanjutan, namun konsep ini merupakan obyek kontroversi. Banyak yang mendukung, namun banyak yang menolak. Alasan utama penolakan adalah karena pengelolaan ekosistem dilakukan secara eksklusif berbasiskan pertimbanganpertimbangan ekologis (Bennet 1966 dalam Schlaepfer 1997). Ini berakibat pemanfaatan optimal dari sumberdaya tersebut tidak terpenuhi. Alasan-alasan ini kemudian membuat argumentasi untuk mencari cara baru mengelola sumberdaya tertentu seperti hutan secara harmoni dalam ekosistem yang lebih luas, yang kemudian dikenal sebagai Pengelolaan Berbasis Ekosistem (PBE). Schlaepfer (1997) mendefinisikan PBE sebagai sebuah proses sistematis di kawasan tertentu, berbasis pada pertimbangan yang baik dan ilmu yang mumpuni, bertujuan untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan dengan praktik manajemen yang sensitif ekologis dengan memadukan pertimbangan ekonomi, ekologi, sosial dan teknologi, baik dalam jangka pendek maupun panjang, dari skala tapak sampai dengan bentang alam. Instrumen PBE adalah pendekatan terpadu, partisipasi, manajemen adaptif, pemantauan dan evaluasi dan proses adaptif yang didefinisikan secara tegas tapi fleksibel. Definisi lain tentang PBE adalah pendekatan adaptif untuk mengelola aktivitas manusia untuk bisa hidup berdampingan yang sehat dengan ekosistem yang berbasis hutan, lahan atau air (http://ecotrust.ca/program_area_overview/forestry). Sedangkan Price et al. (2009) menyatakan bahwa pada dasarnya PBE adalah pendekatan adaptif mencari koeksistensi antara ekosistem yang sehat dan berfungsi penuh dengan aktivitas manusia, untuk memelihara karakteristik spasial dan temporal ekosistem sehingga jenis dan proses-proses ekologi lestari, dan kesejahteraan manusia terdukung dan meningkat. Sejalan dengan uraian-uraian tentang bentang alam, ekosistem dan PBE maka kami mendefinisikan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem (PHBE) sebagai “sebuah proses sistematis pada bentang alam yang berbasis hutan untuk memanfaatkan hutan secara berkelanjutan melalui praktik manajemen adaptif dengan pertimbangan ekonomi, ekologi, sosial dan teknologi, baik dalam jangka pendek maupun panjang dari skala tapak sampai dengan bentang alam ”. Purnomo (2012) berbasiskan pada Holling (1978) dan Lee (1993) mendefinisikan pengelolaan adaptif sebagai pendekatan pengelolaan yang secara aktif menyadari dan bekerja dalam kompleksitas dan ketidakpastian sistem, dengan menjadikan setiap tindakan sebagai hipotesis yang diuji dalam sistem atau dunia nyata, sehingga tercipta 9
proses pembelajaran yang terus menerus untuk mengurangi ketidakpastian dalam rangka mencapai kinerja yang lebih baik. Lebih lanjut Lee (1993) menyatakan bahwa proses adaptif bisa diilustrasikan dengan cara kerja kompas yang selalu menuju arah utara bumi sehingga pada saat kompas ditempatkan di sembarang titik di muka bumi maka jarum kompas akan bergerak menuju utara. Proses pergerakan jarum kompas dari titik semula menuju arah utara bumi itulah yang disebut proses penyesuaian dalam manajemen adaptif. Suhendang (2013) menggambarkan arah perkembangan konsep pengelolaan hutan secara universal seperti tersaji pada Gambar 9. „Baris‟ menunjukkan perkembangan sasaran wilayah pengelolaan dari tegakan hutan, ekosistem hutan, kemudian menjadi bentang alam. Sedangkan „kolom‟ menunjukkan ruang lingkup kegiatan penyelenggaraan dimulai dari ekstraksi (eksploitasi), pemanfaatan, kemudian pengelolaan. Kasus HPH yang banyak terjadi sekarang menggambarkan perpaduan antara wilayah kelola „tegakan hutan‟ dan lingkup kegiatan „ekstraksi‟. Tentu ini bukanlah yang diinginkan banyak pihak dalam kehutanan modern. PHBE adalah perpaduan antara wilayah kelola „bentang alam‟ dan lingkup kegiatan „pengelolaan‟. Strategi berubah dari keadaan sekarang yang berbasis ekstraksi tegakan menuju PHBE disebut sebagai „Strategi Langkah Kuda‟, merujuk pada arah huruf „L” yang merupakan cara kuda melangkah dalam permainan catur.
Strategi Langkah Kuda
Gambar 9. Perkembangan konsep pengelolaan hutan (Suhendang 2013)
Lebih lanjut Suhendang (2012) mengusulkan langkah-langkah menuju PHBE di Indonesia sebagai berikut: a) b) c) d) e) f) g) h)
Menentukan kesatuan bentang alam ekologis untuk pengelolaan (DAS atau pulau kecil). Melakukan tata ruang dalam setiap bentang alam ekologis (= menentukan luas optimal hutan tetap dalam setiap DAS atau pulau kecil). Menentukan skenario pengelolaan pada setiap kesatuan bentang alam ekologis (landscape scenario). Menentukan kesatuan pengelolaan hutan dan preskripsi pengelolaan hutan dalam setiap kesatuan pengelolaan hutan yg sesuai dengan huruf c. Terapkan dua belas prinsip pengelolaan hutan. Terapkan paradigma „close to the natural forest’ diantara pilihan-pilihan yang mungkin. Terapkan metode pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon (Muhdin, 2012). Siapkan pengembangan cara pandang, pemikiran, serta sikap dan perilaku rimbawan Indonesia agar sejalan dengan pengelolaan hutan berbasis ekosistem.
10
IV. PEMBAHASAN Kembali pada dua pertanyaan yang ingin dijawab dalam makalah ini adalah (a) apakah hutan tetap perlu; dan (b) bagaimana mengelola hutan tetap. Untuk pertanyaan pertama, secara teori hutan tetap atau permanen diperlukan, karena pengelolaan hutan yang mensyaratkan pengulangan tak hingga tidak mungkin dilakukan jika tidak di hutan tetap. Jika sebuah hutan diproyeksikan dikonversi menjadi pertanian dalam lima tahun kedepan, maka hutan tersebut tidak perlu dikelola sebagai hutan yang bersendikan kelestarian ekologis, ekonomi dan sosial. Pengelolaan hutan bersifat jangka panjang, karena kelestarian ekologis misalnya ada pada perspektif jangka panjang tentu dengan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan jangka pendek seperti pendapatan dari tebangan kayu dan bukan kayu, kebutuhan pangan dan papan masyarakat, keindahan bentang alam dan lain-lain. Merujuk pada evolusi teori kelestarian, konsep hutan semakin kita perlukan terutama berkaitan dengan evolusi teori kelestarian tingkat 3 yaitu kelestarian ekosistem dan nilai sosial. Teori kelestarian tingkat 1 dan 2 menekankan pada kelestarian hasil kayu dan multi-manfaat dari hutan, yang barangkali dengan peningkatan produktivitas bisa dihasilkan dengan kuantitias dan kualitas yang sama dengan luasan hutan yang lebih kecil. Bahkan hasil dan multi-manfaat hutan ini barangkali bisa dihasilkan oleh sumber-sumber lain secara sendiri-sendiri. Misalnya, kayu dari kebun kayu; air dari destilasi air laut; pangan dari lahan pertanian, dsb. Namun, kelestarian tingkat 3 bukan merujuk pada kelestarian hasil dan manfaat, tetapi merujuk pada kelestarian ekosistem hutan itu sendiri. Artinya, tidak mungkin ada ekosistem hutan itu lestari jika hutannya tidak ada. Jadi hutan tetap adalah sebuah keniscayaan. Merujuk pada Pasal 1 Angka 3 UU No. 41 Tahun 1999, setelah keluar Amar Putusan Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Kawasan hutan di Indonesia cenderung stabil luasnya, namun kawasan hutan yang ditumbuhi hutan mengecil. Karena hutan tetap seharusnya berbentuk hutan, maka evidence menunjukkan bahwa proxy „hutan tetap‟ ini luasnya menurun. Penurunan ini sejalan dengan teori transisi hutan yang mendapatkan evidence di semua negara maju. Walaupun dalam evidence ini hanya berbicara tentang tutupan hutan. Pulau Jawa, adalah contoh terbaik transisi hutan di Indonesia, berhasil memulihkan tutupan hutan setelah mengalami deforestasi. Sedangkan Pulau Sumatra yang berada pada kondisi stabil, Kalimantan yang mengalami deforestasi hebat, dan Papua yang mulai terdeforestasi, masih kita tunggu pola yang akan terjadi pada masa mendatang. Implementasi konsep hutan tetap ini harus ditunjang dengan kebijakan Pemerintah yang jelas. Hutan tetap tidak seharusnya selalu ada di kawasan hutan yang dikuasai oleh negara. Dimungkinkan adanya hutan tetap yang terletak di luar kawasan hutan yang merupakan milik rakyat. Pemerintah perlu mengidentifikasi dan menetapkan hutan tetap di lahan milik negara dan rakyat. Hutan tetap di lahan negara akan beririsan dengan kawasan hutan yang selama ini terkelompokkan menurut fungsinya, yaitu hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Hutan tetap di lahan milik (rakyat) memerlukan fasilitasi dan negosiasi dengan pemiliknya berdasarkan regulasi setingkat undang-undang. Dalam menetapkan hutan tetap perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: (a) Pengembangan kriteria fisik, sosial dan ekonomi identifikasi hutan tetap; (b) Studi kasus dan konsultasi para pihak; (c) pengembangan regulasi hutan tetap dan aturan tambahannya. Pertanyaan kedua, yaitu bagaimana mengelola hutan tetap. Hutan tetap harus dipandang sebagai bagian dari bentang alam ekologis. Hutan tetap harus dikelola berbasis ekosistem bentang alamnya. Pengelolaan hutan berbasis ekosistem (PHBE) menemukan pembenaran (justification) dari teori kelestarian tingkat 3 yaitu kelestarian ekosistem dan nilai sosial, dan teori kelestarian tingkat 1 dan 2 yaitu kelestarian hasil kayu dan multi-manfaat dari hutan. Jadi PHBE merupakan jawaban integratif bagi kelestarian tingkat 1, 2 dan 3. Tentu PHBE dilakukan secara unik dari satu hutan tetap ke hutan tetap lain. PHBE ini walaupun secara konseptual baru, namun bisa jadi hakekat praktik PHBE telah ada pada masyarakat dan profesional rimbawan. Beragam praktik masyarakat lokal yang belum terinventarisasi dengan baik, perguruan tinggi dan kalangan profesional seperti Berau Forest Management telah mengarah pada PHBE. Price et al. (2009) menguraikan PHBE di Columbia, Kanada pada areal seluas 6,4 juta Ha. Namun perlu formalisasi PHBE melalui kejelasan standar (kriteria dan indikator) pengelolaan hutan. PHBE adalah sebuah proses sistematis pada bentang alam yang berbasis hutan untuk 11
memanfaatkan hutan secara berkelanjutan melalui praktik manajemen adaptif dengan pertimbangan ekonomi, ekologi, sosial dan teknologi, baik dalam jangka pendek maupun panjang dari skala tapak sampai dengan bentang alam. PHBE dapat diterapkan dengan langkah seperti diusulkan oleh Suhendang (2012). Pada intinya langkah-langkah ini merupakan tahapan dari penentuan bentang alam untuk pengelolaan, penataan, menentukan alternatif skenario, menentukan preskripsi yang sesuai yang dekat dengan hutan alam yang ada, serta menerapkan dua belas prinsip dari Schlaeffer dan Elliot (2000). Tentu tidaklah mudah untuk menerapkan langkah-langkah ini. Namun, rimbawan Indonesia harus berkembang dalam menyongsong era PHBE, karena (1) Konsep, prinsip, dan praktik pengelolaan hutan ini lebih lebih maju dibandingkan pengelolaan hutan yang bersifat konvensional; dan (2) Teori „Meniup Balon‟ (Blowing Balloon Theorm), yaitu melakukan perubahan dari dalam merupakan strategi terbaik menuju perkembangan yg dikehendaki secara efektif dan efisien (Suhendang 2012).
V. KESIMPULAN a) b) c)
d)
Hutan tetap dan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem (PHBE) merupakan suatu keharusan untuk mengelola hutan dengan baik. Hutan tetap diperlukan untuk menjamin bahwa pengelolaan hutan bisa berlangsung dalam waktu tak hingga. PHBE ditujukan untuk melestarikan ekosistem bentang alam. Dalam pendekatan ini hutan menjadi komponen penting disatu pihak, akan tetapi di pihak lain optimalisasi hasil dan multi-manfaat hutan terjadi berdasarkan kebutuhan dan kepentingan para pihak. Untuk implementasi konsep hutan tetap dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang kuat, lengkap, dan utuh. PHBE lebih kompleks dari pengelolaan hutan konvesional. PHBE memerlukan sikap baru rimbawan Indonesia dan langkah-langkah baru untuk mengembangkannya.
RUJUKAN Angelsen A. (ed.) 2008 Moving ahead with REDD: Issues, options and implications. CIFOR, Bogor, Indonesia. Arifjaya NM. 2008. Bioregional dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam (Studi Kasus Penanganan Banjir di Jabodetabek). Makalah seminar. Arifjaya NM, Kusumah C, Abdullah K, Prasetio LB. 2007. Hubungan luas tutupan hutan terhadap potensi banjir dan koefisien limpasan di beberapa das di indonesia." Workshop Peran hutan dan kehutanan dalam meningkatkan daya dukung DAS. Surakarta. 2007. BALITBANGHUT [Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan]. 2010. Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025. Departemen Kehutanan, Jakarta Bettinger P, Boston K, Sirey JP, Grebner D. 2009. Forest Management and Planning. Amsterdam: Academic Press Borenstein, M., L. V. Hedges, J. P. T. Higgins, and H. R. Rothstein. 2009. Introduction to meta-analysis. Wiley, West Sussex, UK. Chapin III FS, Kofinas GP, Folke C (Eds.). 2009. Principles of Ecosystem Stewardship: Resilience-Based Natural Resource Management in a Changing World. Springer. 402p. Chomitz KM. 2007. At Loggerheads? Agricultural expansion, poverty reduction and environment in the tropical forests. The World Bank, Washington DC. 284pp. Contreras-Hermosilla A. 2000. The underlying causes of forest decline. Occasional Paper No. 30. Bogor: CIFOR.
12
Culas RC. 2012. REDD and forest transition: Tunneling through the environmental Kuznets curve. Ecological Economics 79:44–51 FAO. 2009. Indonesia forestry outlook study. Food and Agriculture Organization of the United Nations Regional Office for Asia and The Pacific. Guizol P. 2008. The French Forest. Bahan kuliah Kehutanan Internasioanl. Bogor: IPB. Hendrayanto. 2013. Hydrological services of forest and their compensation initiative. Jurnal manajemen hutan tropika 19(1):79-84 Holling CS. 1978. Adaptive Environmental Assessment and Management. Third International Series on Applied Systems Analysis. Chichester: John Wiley & Sons. Holmes D. 2000. Deforestation in Indonesia: A review of the situation in 1999. Draft Report for the World Bank. Jaya INS. 2010. Analisis citra digital: Perspektif penginderaan jauh untuk pengelolaan sumberdaya alam. Fakultas Kehutanan IPB. Kemenhut [Kementerian Kehutanan]. 2009. Upaya Penurunan Emisi Sektor Kehutanan. Presentasi Powerpoint. Jakarta: Kemenhut Kemenhut. 2010. Statistik Kehutanan Indonesia. Jakarta: Kemenhut Kuncahyo. 2006. Model simulasi pengaturan hasil lestari yang berbasis kebutuhan masyarakat desa hutan. Disertasi. IPB, Bogor Lee KN. 1993. Compass and Gyroscope: Integrating Science and Politics for the Environment. Washington D.C.: Island Press. Muhdin. 2012. Dinamika struktur tegakan hutan tidak seumur untuk pengaturan hasil hutan kayu berdasarkan jumlah pohon. Disertasi. IPB, Bogor. Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Third edition. W. B. Saunders, Philadelphia. Prabowo D. 2012. Ekperimentasi kebijakan dalam pengelolaan hutan dengan menggunakan teori permainan. Skripsi. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Pradana NI. 2012. Aplikasi teori permainan dengan menggunakan landscape game dalam pengelolaan hutan. Skripsi. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Price K, Roburn A, MacKinnon A. 2009. Ecosystem-based management in the Great Bear Rainforest. Forest Ecology and Management 258:495–503 Priyanto. 2012. Model pendugaan biomassa tegakan hutan rawa gambut menggunakan citra SPOT pankromatik. Tesis. IPB, Bogor. Pullin AS, Stewart GB. 2006. Guidelines for systematic review in conservation and environmental management. Conservation Biology 20(6):1647-1656 Purnomo H, Guizol P, Muhtaman DR. 2009. Governing the teak furniture business: A global value chain system dynamic modeling approach. Environmental modelling and software 24: 1391-1401. Purnomo H. 2008. Landscape Game Manual. CIRAD, CIFOR and IPB. Bogor. 2008 Purnomo H. 2012. Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Adaptif Sumber Daya Alam. Bogor: IPB Press. Puspaningsih N. 2011. Pemodelan spasial dalam monitoring keberhasilan reforestasi di kawasan pertambangan. Disertasi. IPB, Bogor. Rusolono T, Parthama I BP, Rosmantika M. 1997. Growth Model and Dynamics of Logged-over Forest Stand: Case Study in The Natural Forest of Pulau Laut, South Kalimantan. BIOTROP Special Publication, 60, 125-137. Rusolono T. 2006. Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri untuk Pengelolaan Hutan Milik Melalui Skema Perdagangan Karbon. Disertasi. IPB Schlaepfer R. 1997. Ecosystem-Based Management of Natural Resources: a Step Towards Sustainable Development. Occasional paper no. 6. Austria: IUFRO. 13
Schlaepfer R, Elliott C. 2000. Ecological and landscape considerations in forest management: The end of forestry. In K. von Gadow, T. Pukkala & M. Tom6 (Eds), Sustainable forest management (p. 167). Dordrecht, TheNetherlands: Kluwer Academic PublishersShafik N. 1994. Economic development and environmental quality: an econometric analysis. Oxford Economic Papers 46 (October): 757–773 Suhendang E. 2012a. Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem dalam DGB IPB. Merevolusi Revolusi Hijau. 489-501. Bogor IPB Press.
Suhendang E. 2012b. Konsep pemanfaatan kawasan hutan terpadu di Indonesia. Makalah dalam Workshop Pemanfaatan Kawasan Hutan Terpadu di Indonesia. Kerjasama antara FormaIPH SPs IPB dengan YSWJ. Bogor, 2012. Suhendang E. 2013a. Pengantar Ilmu Kehutanan: Kehutanan sebagai ilmu pengetahuan, kegiatan dan bidang pekerjaan (edisi 2). Bogor: IPB Press. Suhendang E. 2013b. Perkembangan paradigma kehutanan. Makalah disampaikan dalam Diskusi Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem sebagai Pendekatan dalam Pengelolaan Hutan Indonesia dengan Paradigma Kehutanan Indonesia Baru dalam rangka Ulang Tahun Emas Fakultas Kehutanan IPB (1963 -2013). Bogor, 20 Agustus 2013. The Cochrane Collaboration. 2012. The Cochrane Collaboration: Working together to provide the best evidence for health care. http://www.cochrane.org Tiryana T, Satoshi T, Norihiko S. 2011. Modeling survival and destruction of teak plantations in Java, Indonesia. Forest Planning 16(2):35-44 Tiryana T, Tatsuhara S, Shiraishi N. 2009. Applicability of kriging to predict spatial distribution of carbon stocks of Acacia mangium plantations. Forest Planning 14(1):17-26. Tiryana T. 2010. Quantitative model for supporting multi-purpose management planning of teak plantation in Java, Indonesia. PhD thesis. The University of Tokyo, Japan. UN. 2012. The future we want. Resolution adopted by the General Assembly 66/288 United Nations General Assembly. 11 September 2012. Wirakartakusumah MBS, Abe N. 2001. Combining Visual Interpretation and Supervised Classification Technique with Optical Satellite Data for Classifying Tropical Forest Cover. Forest Planning 7(1): 39-45. Yackulic CB, Fagan M, Jain M, Jina A, Lim Y, Marlier M, Muscarella R, Adame P, DeFries R, Uriarte M. 2011. Biophysical and socioeconomic factors associated with forest transitions at multiple spatial and temporal scales. Ecology and Society 16(3): 15. http://dx.doi.org/10.5751/ES-04275-160315 Yanai AM , Fearnside PM, Graça PMLA, Nogueira EM (2012). Avoided deforestation in Brazilian Amazonia: Simulating the effect of the Juma Sustainable Development Reserve. Forest Ecology and Management. http://dx.doi.org/10.1016/j.foreco.2012.06.029
14