BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Perlindungan Konsumen dan Konsumen 1.
Pengertian Perlindungan Konsumen Mengenai istilah, dalam berbagai literatur ditemukan dua istilah mengenai
hukum yang membicarakan mengenai konsumen. Kedua istilah ini seringkali disama artikan, namun ada pula yang membedakannya dengan mengatakan bahwa baik mengenai substansi maupun mengenai penekanan luas lingkupnya adalah berbeda satu sama lain. 14 Hukum konsumen adalah keseluruhan asas – asas dan kaidah – kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak yang satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen dalam pergaulan hidup. 15 Hukum konsumen mencakup segala peraturan perundang – undangan yang berlaku, baik yang mengatur secara khusus tentang perlindungan konsumen maupun peraturan umum. Sedangkan mengenai hukum perlindungan konsumen didefinisikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. 16 Tetapi dalam UUPK tidak ada dijelaskan tentang pengertian Hukum Konsumen maupun Hukum perlindungan Konsumen. Undang – Undang No. 8 14
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk(Jakarta: Panta Rei, 2005 ), hlm. 30. 15 Az. Nasution, S.H., Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,(Jakarta:Diadit Media, 2002), hlm 22. 16 .AZ. Nasution. , Aspek Hukum Perlindungan Konsumen: Tinjauan Singkat UU Nomor 8 Tahun 1999(Depok: masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) FHUI ), hlm. 23.
14 Universitas Sumatera Utara
15
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 UUPK memuat perumusan mengenai perlindungan konsumen, yaitu : Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 17 Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK tersebut cukup memadai, kalimat yang menyatakan “Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum” diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang – wenang yang merugikan pelaku usaha hanya untuk kepentingan perlindungan konsumen. Meskipun undang – undang ini disebut Undang – Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian.
2. Pengertian Konsumen Istilah Konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris – Amerika), atau consument/konsument (Belanda) , secara harfiah diartikan sebagai “ orang atau pelaku usaha yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu “ atau “ sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang". 18 Pengertian Konsumen sesungguhnya dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu : a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.
17
Republik Indonesia,Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,Bab I Pasal 1 Angka 1 18 Dr. Abdul Halim Barkatullah, S.Ag., S.H., M.Hum,Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran (Banjarmasin:FH Unlam Press,2008), hlm.7
Universitas Sumatera Utara
16
b. Konsumen – antara, adalah setiap orang yag mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan. c. Konsumen – akhir, adalah setiap orang alami mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten). 19 Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen akhir inilah yang dimaksud pada Undang – Undang Perlindungan Konsumen. Selanjutnya apabila digunakan istilah konsumen dalam undang – undang dan penelitian ini, yang dimaksudkan adalah konsumen akhir. Pada Pasal 1 angka 2 Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, memberikan defenisi konsumen sebagai berikut : “Konsumen adalah Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. 20 Dari defenisi tersebut dapat dipahami bahwa yang dikatakan sebagai konsumen haruslah pemakai akhir dari suatu barang maupun jasa yang tersedia
19
Dr. Abdul Halim Barkatullah, S.Ag., S.H., M.Hum,Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran (Banjarmasin:FH Unlam Press,2008), hlm. 9 20 Republik Indonesia,Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, BAB I, Pasal 1Angka 2.
Universitas Sumatera Utara
17
dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Tetapi disisi lain Undang – Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) tidak memberikan suatu ketegasan maupun penjelasan apakah badan hukum (recht person) atau suatu pelaku usaha yang menjadi pembeli atau pemakai akhir dapat dikategorikan sebagai konsumen.
B. Dasar dan Sumber Perlindungan Konsumen 1. Dasar perlindungan konsumen Guidelines for Consumer Protection of 1985, yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa – Bangsa (PBB) menyatakan : “Konsumen dimana pun mereka berada, dari segala bangsa, mempunyai hak – hak dasar sosialnya”. Yang dimaksud hak – hak dasar sosial tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar, dan jujur; hak untuk mendapatkan informasi yang jelas; hak untuk mendapatkan ganti rugi; hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia; hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan; dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak – hak konsumen tersebut di negaranya masing – masing. 21 Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia, sama seperti yang dialami oleh konsumen yang berada di negara – negara berkembang lainnya. Tidak hanya sekedar bagaimana memilih barang, tetapi lebih kompleks dari hal tersebut yakni menyangkut pada penyadaran semua pihak tentang pentingnya perlindungan
21
Dr.Abdul Hakim Barkatulah, S. Ag., SH., M.Hum. Opcit, hlm 17
Universitas Sumatera Utara
18
konsumen. Pelaku usaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak – hak konsumen,
memproduksi
barang
dan
jasa
yang
berkualitas,
aman
dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai. Pemerintah menyadari bahwa diperlukan Undang – Undang serta peraturan disegala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari pelaku usaha kepada konsumen. Pemerintah juga bertugas mengawasi berjalannya peraturan serta Undang – Undang tersebut dengan baik. Konsumen harus sadar akan hak – hak yang mereka miliki sebagai seorang konsumen sehingga dapat melakukan sosial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku pelaku usaha dan pemerintah. Dengan lahirnya Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka diharapkan upaya perlindungan konsumen di Indonesia bisa menjadi lebih diperhatikan dari masa sebelumnya. Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan : 22 a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum; b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha pada umumnya; c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa; 22
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati,Ed, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung:Mandar Maju,2000), hlm 7.
Universitas Sumatera Utara
19
d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan menyesatkan; e. Memadukan
penyelenggaraan,
pengembangan
dan
pengaturan
perlindungan konsumen dengan bidang – bidang perlindungan pada bidang – bidang lainnya.
2. Sumber perlindungan konsumen Disamping Undang – Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen “ditemukan” didalam berbagai peraturan perundang – undangan yang berlaku. Sekalipun peraturan perundang – undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen, namun merupakan sumber dari hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen. Adapun sumber – sumber hukum konsumen atau perlindungan konsumen tersebut adalah :
23
a. Undang – Undang Dasar dan Ketetapan MPR 1) Undang – Undang Dasar 1945, Pembukaan, Alinea ke – 4 berbunyi : “... Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia...” 2) Pasal 27 Ayat (2) Undang – Undang Dasar 1945 berbunyi: “Tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusian” 3) Ketetapan Majelis Permusywaratan Rakyat 1993 : “... meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi kepentingan konsumen”. 23
Az. Nasution,SH, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,(Jakarta:Diadit Media,2002),hlm 30
Universitas Sumatera Utara
20
b. Hukum konsumen dalam hukum perdata Yang dimaksud adalah hukum perdata dalam arti kata luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang, serta kaidah – kaidah keperdataan yang termuat dalam peraturan perundang – undangan lainnya, baik itu hukum perdata tertulis maupun hukum perdata yang tidak tertulis, misalnya : 1) Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, terutama dalam buku kedua, ketiga, dan keempat. Pasal 1457 KUH Perdata : “jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Pasal 1548 KUH Perdata : “sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan atas suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan ini disanggupi pembayarannya.” 2) Kitab Undang – Undang Hukum Dagang, buku kesatu dan buku kedua. Pasal 510 KUH Dagang : “setiap pemegang konosemen berhak untuk menuntut penyerahan barang yang tersebut di dalamnya di manakapal tersebut berada.” 3) Hukum Adat Dalam hukum adat terdapat beberapa prinsip dasar yang dapat memberikan perlindungan kepada konsumen :
Universitas Sumatera Utara
21
a) Prinsip kekerabatan yang kuat dalam masyarakat adat Prinsip yang berkembang dan diwarisi secara turun temurun ini mengakibatkan ketentuan – ketentuan hukum adat tidak berorientasi kepada konflik, sehingga setiap warga masyarakat adat harus saling hormat – menghormati sesamanya. Dengan demikian tertutup kemungkinan bagi para pelaku usaha yang nakal untuk memperdaya konsumen. b) Prinsip keseimbangan magis / keseimbangan alam. c) Prinsip “terang” pada pembuatan transaksi, terutama transaksi yang penting seperti transaksi tanah. Prinsip terang ini mengharuskan hadirnya kepala persekutuan hukum adat / kepala desa dalam transaksi tanah. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi debitur dan masyarakat. Fungsi kepala adat ini yang kemudian beralih kepada negara dalam memberikan perlindungan kepada konsumen. d) Prinsip fungsi sosial dari suatu hak. Berdasarkan prinsip ini diadakanlah pembatasan terhadap hak yang dimiliki seorang individu, sehingga ia harus memperhatikan kepentingan masyarakat luas dalam mempergunakan hak yang dimilikinya. Hal ini dapat dianalogikan kepada pembatasan hak pelaku usaha dalam menjalankan usahanya dengan tetap harus memperhatikan kepentingan masyarakat selaku konsumen. e) Prinsip hak ulayat
Universitas Sumatera Utara
22
Prinsip ini merupakan prinsip kebersamaan dalam penguasaan sesuatu benda dan harus pula terdapat unsur adil dalam hal penguasaan tanah, sehingga tidak ada satu pihak pun yang akan merasa dirugikan. Ini juga dapat menopang untuk diterimanya suatu cabang hukum baru, yaitu hukum konsumen di Indonesia. 4) Berbagai peraturan perundang – undangan lain yang memuat kaidah – kaidah hukum bersifat keperdataan tentang subjek – subjek hukum, hubungan
hukum
dan
masalah
antara
penyedia
barang
atau
penyelenggara jasa tertentu dan konsumen, misalnya : UU No. 4 tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup, UU No. 21 tahun 1982 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pers, UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian, UU No.16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, UU No.14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, dan sebagainya. c. Hukum konsumen dalam hukum publik Yang dimaksudkan dengan Hukum Publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan perorangan, termasuk dalam lingkupan hal ini adalah Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Internasional, dan seterusnya. Misalnya : 1) UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) : “Pemerintah melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap pelaksanaan undang – undang.”
Universitas Sumatera Utara
23
2) UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 73 :“Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.”
C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen 1. Asas Perlindungan Konsumen Pasal 2 UUPK menyatakan, Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamtan konsumen, serta kepastian hukum. Penjelasan
Pasal
2
UUPK
menguraikan,
perlindungan
konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu : a. Asas manfaat Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar – besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. b. Asas keadilan Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. c. Asas keseimbangan Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
Universitas Sumatera Utara
24
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen
dalam
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. e. Asas kepastian hukum. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
2. Tujuan Perlindungan Konsumen Pasal 3 UUPK mengemukakan, perlindungan konsumen bertujuan: 24 a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak – haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
24
Republik Indonesia, Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, BAB II, Pasal 3.
Universitas Sumatera Utara
25
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang judur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. Meningkatkan kualitas barang dan/ayau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
D. Pihak – Pihak dalam Perlindungan Konsumen 1. Konsumen Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 2. Pelaku Usaha Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 25 Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah pelaku usaha, korporasi, koperasi, BUMN, importir, pedagang, distributor, dan lain – lain. 3. Pemerintah Pada Pasal 29 UUPK mengemukakan, pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen
yang
menjamin
25
Republik Indonesia, Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, BAB I, Pasal 1, Angka 3
Universitas Sumatera Utara
26
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. Sebagai tindak lanjut dari Pasal 29 ayat 5 UUPK telah dibuat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Bab II mengatur mengenaai Pembinaan. 26 Pasal 3 Ayat 2 PP Nomor 58 Tahun 2001 tentang pembinaan dan Pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menyatakan, “Menteri teknis terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan konsumen sesuai dengan bidang tugas masing masing” 27
E. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha 1. Hak dan Kewajiban Konsumen Melalui Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen, yaitu : a. Hak atas kenyamanan, kemanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
26
Drs. M. Sadar, MH.dkk, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, (Jakarta:Akademia, 2012) , hlm 69. 27 RepublikIndonesia, Peraturan Pemerintah No 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, BAB II, Pasal 3 Ayat 2.
Universitas Sumatera Utara
27
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak – hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang – undangan lainnya. 28 Dari 9 (sembilan) butir hak konsumen yang diberikan diatas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan pada masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa barang 28
Republik Indonesia, Undang – Undang No 8Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,BAB III, Pasal 4.
Universitas Sumatera Utara
28
dan/atau jasa dalam penggunannya akan nyaman, aman, maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendaki berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan adil, kompensasi sampai ganti rugi. Hak –hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UUPK lebih luas daripada hak – hak dasar konsumen sebgaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy didepan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas : 29 a. Hak memperoleh keamanan; b. Hak memilih; c. Hak mendapat informasi; d. Hak untuk didengar. Kemudian
International
Organizationof
Consumer
Union
(IOCU)
menambahkan 4 hak dasar konsumen lainnya, yaitu : 30 e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; f. Hak untuk memperoleh ganti rugi; g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen; h. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Selain daripada hak,di dalam Pasal 5 UUPK menyebutkan kewajiban konsumen adalah :
29
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,Hukum Perlindungan Konsumen(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2004),hlm 38 30 Ibid, hlm 39.
Universitas Sumatera Utara
29
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 31 Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan. Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan peraturan kewajiban ini, maka pelaku usaha tidak bertanggung jawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat kewajiban tersebut. Menyangkut kewajiban transaksi pembelian
konsumen beritikad baik hanya tertuju pada
barang dan/atau jasa.
Karena bagi konsumen,
kemungkinan untuk dapat merugikan produsen dimulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha, kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha). Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha adalah hal yang sudah semestinya. Kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum 31
Republik Indonesia, Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, BAB III,Pasal 5.
Universitas Sumatera Utara
30
sengketa perlindungan konsumen secara patut diperlukan untuk mengimbangi hak konsumen mendapatkan upaya penyelesaian sengketa secara patut.
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Pasal 6 UUPK menyebutkan bahwa hak pelaku usaha adalah : a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi
dan
nilai
tukar
barang
dan/atau
jasa
yang
diperdagangkan; b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak – hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang – undangan lainnya. 32 Selain hak-hak, UUPK juga mengatur mengenai kewajiban-kewajiban yang harus diemban oleh pelaku usaha. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah sebagai berikut : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
32
Republik Indonesia, Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, BAB III,Pasal 6.
Universitas Sumatera Utara
31
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
F. Penyelesaian Sengketa Konsumen 1. Pengertian Sengketa Konsumen Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan “sengketa konsumen”, namun bukan berarti tidak ada penjelasan. Kata-kata sengketa konsumen dijumpai pada beberapa bagian UUPK, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
32
a. Pasal 1 butir (11) UUPK jo. Bab XI UUPK, penyebutan sengketa konsumen sebagai bagian dari sebutan institusi administrasi negara yang mempunyai tugas untuk menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dalam hal ini adalah BPSK. Batasan BPSK pada pasal 1 butir (11) UUPK menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “sengketa konsumen” yaitu sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. b. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa terdapat pada Bab X Penyelesaian Sengketa. Pada bab ini digunakan penyebutan sengketa konsumen secara konsisten, yaitu Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 48 UUPK. Umumnya pendapat orang, sesuatu sengketa terjadi apabila terdapat perbedaan pandangan atau pendapat antara para pihak tertentu tentang hal tertentu. Satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedang yang lain tidak merasa demikian. Oleh karena itu batasan sengketa konsumen adalah “sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa konsumen tertentu”. 33 Menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Surat Keputusan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001, yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah “sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau manfaatkan jasa”.
33
A.Z. Nasution, Op.Cit.,hlm 221.
Universitas Sumatera Utara
33
Sengketa konsumen menurut Pasal 23 UUPK dimulai pada saat konsumen menggugat pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), baik melalui BPSK atau peradilan umum ditempat kedudukan konsumen. Yang menangani penyelesaian sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen adalah BPSK dengan cara Konsiliasi atau Mediasi, atau Arbitrase atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum. 34
2. Subjek, objek dan domisili Pasal 46 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dapat melakukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah konsumen perseorangan, sekelompok konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), dan Pemerintah. Sekelompok konsumen dalam hal ini adalah sekelompok konsumen yang memiliki kepentingan yang sama. Mengenai ketentuan ini UUPK mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah dengan adanya bukti transaksi. Adanya gugatan kelompok ini adalah untuk menghindari kumungkinan putusan pengadilan yang berbeda – beda atas perkara yang sama atau bersamaan. Selanjutnya yang dimaksud dengan LPKSM dalam pasal ini adalah yang telah memenuhi syarat sebagaimana yang diminta oleh undang-undang ini. Pengawasan oleh LPKSM dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan
34
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
34
cara penelitian, pengujian, dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian, dan/atau survey. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lainlain yang diisyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Gugatan oleh pemerintah hanya sebatas jika produk konsumen yang dikonsumsi menimbulkan kerugian materi yang besar atau korban yang tidak sedikit. Tolak ukur kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit yang dipakai adalah besar dampaknya terhadap konsumen. Objek sengketa haruslah produk konsumen, artinya produk itu merupakan barang dan/atau jasa yang umumnya dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan bagi memenuhi kepentingan diri, keluarga, dan/atau rumah tangga konsumen. Objek sengketa terjadi karena adanya transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha. Dalam pengertian transaksi ini termasuk pula (di samping perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana termuat dalam KUHPerdata atau KUHDagang, perilaku-perilaku dagang dan non-dagang dari kalangan pelaku usaha lainnya seperti pemberian hadiah, baik yang bersifat “dagang” dalam pemasaran atau promosi barang dan/atau jasa itu maupun yang bersifat sosial kemasyarakatan. Pasal 23 UUPK, gugatan konsumen dapat diajukan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau badan peradilan dimana konsumen berdomisili. Hal ini mempermudah konsumen dalam hal pengajuan gugatan ke pelaku usaha
Universitas Sumatera Utara
35
karena konsumen tidak perlu mencari dan mengajukan gugatan ke daerah pelaku usaha berdomisili. 35
3. Penyelesaian Sengketa Konsumen Hakikatnya cara penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK dapat digunakan 2 jalur, yaitu: a) Proses litigasi Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan diatur dalam Pasal 48 UUPK, yang menyatakan “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.” Pasal 45 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 di atas. Adapun yang berhak melakukan gugatan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha diatur dalam Pasal 46 ayat (1) UUPK, yaitu: a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan. b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. c. LPKSM yang memenuhi syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa
35
Ambar Ditya Hanesty, “Tinjauan Yuridis Terhadap Praktik Promosi dalam Bentuk Brosur Kendaraan Bermotor Berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen (Studi Kasus: Gugatan Ludmilla Arief Melawan Pt. Nissan Motor Indonesia Di Bpsk Provinsi DKI Jakarta),” (Skripsi, ilmu hukum, Fakultas hukum, Universitas Indonesia, 2012)
Universitas Sumatera Utara
36
tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit. Pengaturan yang diberikan oleh Pasal 46 ayat (1) UUPK maksudnya adalah: a. Bahwa secara personal (gugatan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan) sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a Pasal 46 ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen yaitu melalui BPSK sebagaimana yang ditentukan dalam UUPK atau melalui peradilan di lingkungan Peradilan Umum. b. Sedangkan gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, LPKSM atau pemerintah sebagaimana yang dimaksud huruf b, huruf c dan huruf d Pasal 46 ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum. Penyelesaian melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku saat ini. Mengenai gugatan sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama sebagaimana yang diatur huruf b Pasal 46 ayat (1) UUPK, dalam Penjelasan Pasal 46 ayat (1) huruf b UUPK, ditegaskan bahwa: "Undang-Undang ini mengakui gugatan kelompok atau Class Action".
Universitas Sumatera Utara
37
Gugatan kelompok atau Class Action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum.
Hukum perlindungan konsumen, secara umum proses beracara dalam menyelesaiakan sengketa konsumen dan pelaku usaha mengenal adanya tiga macam gugatan, yaitu: 36 a. Small Claim dapat diartikan jenis gugatan yang dapat diajukan oleh konsumen, sekalipun dilihat secara ekonomis, nilai gugatannya sangat kecil. Dalam hukum perlindungan konsumen di berbagai negara, proses beracara secara small claim menjadi prinsip yang diadopsi luas. Ada tiga alasan fundamental mengapa small calim diizinkan dalam perkara konsumen yaitu : 1) kepentingan dari pihak penggugat (konsumen) tidak dapat diukur semata-mata dari nilai uang kerugian, 2) keyakinan bahwa pintu keadaan seharusnya ternuka bagi siapa saja, termasuk para konsumen kecil dan miskin, dan 3) untuk menjaga integritas badan-badan peradilan. b. Class Action atau gugatan perwakilan kelompok diakomodir dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b UUPK.Saat ini sudah ada beberapa undang-undang yang memberikan kemungkinan bagi masyarakat mengajukan gugatan dengan prosedur Class Action, yang oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 disebutkan dengan nama “ gugatan perwakilan kelompok”. Selain dalam UUPK, Class Action juga diakomodasi antara 36
Shidarta, Hukum Perlidungan Konsumen Indonesia.( Jakarta : PT Grasindo,2004), hlm.
65-68.
Universitas Sumatera Utara
38
lain dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutanan. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengakomodasi gugatan Kelompok (Class Action) ini dalam Pasal 46 ayat (1) huruf (b). Ketentuan ini menyatakan, gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Prinsip Class Action wajib memenuhi empat syarat sebagaimana juga ditetapkan dalam 23 US federal rule of Civil Procedure. Keempat syarat itu sebagai berikut: 1) Numerosity Jumlah penggugat harus cukup banyak. Jika diajukan secara sendirisendiri tidak lagi mencerminkan proses beracara yang efisien. 2) Commonality Adanya kesamaan soal hukum (question of law) dan fakta (question of fact) antara para pihak yang diwakilkan (class members) dan Pihak lain yang mewakilkannya (Class representative) 3) Typicality Adanya kesamaan jenis tuntutan hukum dan dasar pembelaan yang digunakan antara class members dan class representative. 4) Adequacy of representation Kelayakan class representative dalam mewakili kepentingan class members. Ukuran kelayakan ini diserahkan kepada penilaian hakim
Universitas Sumatera Utara
39
c. Legal standing selain Class Action UUPK juga mengakomodir proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu. Hal ini diatur rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c : “ LPKSM yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannya organisasi tesebut untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggatan dasar.” Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UUPK, jelas ada keinginan agar setiap LPKSM itu diwajibkan terdaftar dan diakui oleh pemerintah. Tanpa pendaftaran dan pengakuan itu, ia tidak dapat menyandang hak sebagai para pihak dalam proses beracara dipengadilan, terutama berkaitan dengan pencarian legal standing LPKSM . Secara administratif ada konsekuensi logis karena pendaftaran dan pengakuan ini dengan sendirinya dapat dicabut oleh pihak yang memberikan, dalam hal ini pemerintah, misalnya dengan LPKSM menyimpang dari fungsi dan tugas semula. Kewenangan demikian disatu sisi berguna untuk mencegah munculnya LPKSM gadungan yang berpotensi merugikan konsumen, tetapi disisi lain juga membuka kesempatan munculnya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap LPKSM tertentu yang kritis.
b) Proses non-litigasi Pencegahan dan penyelesaian sengketa, hendaknya di cermati, bahwa cara terbaik agar sengketa tidak terjadi adalah menjamin bahwa masing-masing pihak mengetahui apa yang diinginkan pihak lain dan menangkap dengan jelas,
Universitas Sumatera Utara
40
misalnya perjanjian tertulis diantara para pihak. Di samping itu meningkatkan pengetahuan masing-masing pihak tentang kepentingan orang lain akan dapat menurunkan peluang terjadinya suatu sengketa. Perlu diingatkan bahwa sengketa dapat dengan mudah terjadi, apabila masing-masing pihak tidak saling mengenal antara satu sama lain dan bila mereka memaksakan format bisnisnya yang baru atau bila mereka berasal dari budaya yang berbeda. Proses penyelesaian sengketanya menggunakan opsi atau kombinasi bentuk-bentuk ADR sebagai proses penyelesaian sengketa, tergantung pada tahap atau bentuk-bentuk mana akhirnya keputusan tercapai. Segi pembagian Alternatife Dispute Resolution, dibagi dalam dua bentuk yaitu Alternatif to Litigation terdiri atas negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan Alternatife to adjudication terdiri atas negosiasi dan mediasi. Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan, bahwa mediasi merupakan sarana penyelesaian sengketa dan suatu strategi dalam proses penyelesaian sengketa. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan solusi untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan umum. Pasal 45 ayat (2) UUPK menyebutkan, jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang lain yang bersengketa. Ini berarti, penyelesaian sengketa di pengadilan tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan. Pasal 47 UUPK menyebutkan
penyelesaian
sengketa
konsumen
di
luar
pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya
Universitas Sumatera Utara
41
ganti rugi mengenai tindakan tertentu untuk "menjamin" tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat ditempuh dengan berbagai cara, yang dapat berupa artibrase, mediasi, konsiliasi, dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK dalam Pasal 52 huruf a menyebutkan melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi, tiga macam cara penyelesaian sengketa, yaitu: 1) Mediasi Sebagai suatu strategi mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan dengan bantuan mediator bertujuan untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa. Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, di mana Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat aktif sebagai pemerantara dan atau penasehat. Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses di mana pihak ketiga suatu pihak luar yang netral terhadap sengketa, mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang telah disepakati. Sesuai batasan tersebut, mediator berada di tengah-tengah dan tidak memihak pada salah satu pihak. 37 Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakekatnya hanya menolong para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi 37
Agung Nugroho & Nur Mega Sari, “Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Peralatan Makanan yang Mengandung Melamin Palsu,”LexJurnal, Volume VIII, No.2, Apr 2011, hlm.175.
Universitas Sumatera Utara
42
sehingga hasil penyelesaian terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final, serta tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada itikad baik untuk mematuhinya. Keuntungan yang didapat jika menggunakan mediasi sebagai jalan penyelesaian sengketa adalah: karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi maka pembuktian tidak lagi menjadi bebas yang memberatkan para pihak, menggunakan cara mediasi berarti penyelesaian sengketa cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia (tidak terbuka untuk umum seperti di pengadilan), tidak ada pihak yang menang atau kalah, serta tidak emosional. 38 Mediasi sebagai sarana dan strategi penyelesaian sengketa maka akan didapatkan keuntungan seperti yang disebutkan oleh Christopher W. Moore, yaitu keputusan yang hemat, penyelesaian secara cepat, hasil-hasil yang memuaskan bagi semua pihak, kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan "Customized", Praktek dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif, tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga, pemberdayaan individu (Personal Empowermen). Melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan dengan cara yang lebih ramah, keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan, kesepakatan yang lebih baik daripada hanya menerima hasil kompromi atau prosedur menang kalah, keputusan berlaku tanpa mengenal waktu. 39
38
Ibid. Rahmadi Usman, Pilihan penyelesian Sengketa diluar Pengadilan (Bandung: Citra aditya bakti , 2003), hlm. 83-85. 39
Universitas Sumatera Utara
43
Penggunaan mediasi dalam penyelesaian sengketa disamping memiliki kelebihan-kelebihan, juga terdapat kelemahan-kelemahan mediasi dalam penyelesaian sengketa, yaitu: 40 a. Biasa memakan waktu yang lama. b. Mekanisme eksekusi yang sulit, karena cara eksekusi putusan hanya seperti kekuatan eksekusi suatu kontrak. c. Sangat digantungkan dari itikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketanya sampai selesai. d. Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik, terutama jika informasi dan kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya.
2) Arbitrase Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Dalam mencari penyelesaian sengketa, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena keputusannya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa yang terdapat di Pasal 60 yang berbunyi “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekutan hukum tetap dan mengikat para pihak.” 41
40
Ibid. Agung Nugroho & Nur Mega Sari,Op.Cit.,hlm.176.
41
Universitas Sumatera Utara
44
3) Konsiliasi Konsiliasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK. Penyelesaian sengketa ini banyak kesamaan dengan arbiterase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak. Walaupun demikian, pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbiterase. Keterikatan para pihak terhadap pendapat dari konsiliator
menyebabkan
penyelesaian
sengketa
tergantung
pada
kesukarelaan para pihak. 42 Seorang konsiliator akan mengklarifikasikan masalah-masalah yang terjadi dan bergabung ditengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan (options) penyelesian sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu kebersamaan para pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan
bergerak
mendekat
(moving
closer)
dan
selanjutnya dicapai suatu penyelesian yang memuaskan kedua belah pihak (a measure of goodwill). Rekonsiliasi menyatakan secara tidak langsung kebersamaan pihak-pihak yang bersengketa yang dahulunya berkawan atau berkongsi, kini mereka berselisih/bertengkar. Pandangan-pandangan yang coraknya di antara para pihak harus dipertemukan dengan teliti. 43
c) Kekuatan hukum yang melekat pada penetapan akta perdamaian Kekuatan hukum yang melekat pada putusan atau penetapan akta perdamaian diatur dalam Pasal 1858 KUHPerdata dan Pasal 130 ayat (2) dan (3) HIR. 42
Ibid. Yusuf Shofie,, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT citra aditya bakti, 2008), hlm. 22. 43
Universitas Sumatera Utara
45
a. Disamakan kekuatannya dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 1858 ayat (1) KUHPerdata, perdamaian diantara pihak, sama kekuatannya seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal ini pun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR, bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sifat kekuatan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan konvensional. Secara umum suatu putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap, apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum. Biasanya agar suatu putusan memiliki kekuatan yang demikian, apabila telah ditempuh upaya banding dan kasasi. Namun terhadap putusan akta perdamaian, Undang-Undang sendiri yang melekatkan kekuatan itu secara langsung kepadanya. Segera setelah putusan diucapkan, langsung secara inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga akta perdamaian itu memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. 44 b. Mempunyai kekuatan eksekutorial Penegasan ini disebut dalam Pasal 130 ayat (2) HIR. Kalimat terakhir Pasal tersebut menegaskan, putusan akta perdamaian: 1) berkekuatan sebagai putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan 2) juga berkekuatan eksekutorial (executorial kracht) sebagaimana halnya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. 44
Joni emirzon, Alternatif penyelesaian sengketa diluar peradilan (negoisasi, Konsoliasi, Mediasi & Arbitrase) (Jakarta: PT gramedia pustaka utama, 2001), hlm. 279.
Universitas Sumatera Utara
46
Sesaat setelah putusan dijatuhkan langsung melekat kekuatan eksekutorial padanya. Apabila salah satu pihak tidak menaati atau melaksanakan pemenuhan yang ditentukan dalam perjanjian secara sukarela: 45 1) Dapat diminta eksekusi kepada Pengadilan Negeri (PN). 2) Atas Permintaan itu Ketua PN menjalankan eksekusi sesuai dengan ketentuar Pasal 195 HIR. Hal itu sejalan dengan amar putusan akta perdamaian yang menghukum para pihak untuk menaati perjanjian yang mereka sepakati. Jadi dalam putusan tercantum amar kondemnator (comdemnation), sehingga apabila putusan tidak ditaati dan dipenuhi secara sukarela, dapat dipaksakan pemenuhannya melalui eksekusi oleh pengadilan. c. Putusan akta perdamaian tidak dapat dibanding Hal ini ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (3) HIR. Putusan akta perdamaian, tidak dapat dibanding. Dengan kata lain, terhadap putusan tersebut tertutup upaya hukum (banding dan kasasi). Larangan itu sejalan dengan ketentuan yang mempersamakan kekuatannya sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap, telah berakhir segala upaya hukum. Demikian halnya dengan putusan akta perdamaian, selain dipersamakan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, UndangUndang sendiri yang menegaskan, bahwa terhadapnya tidak bisa diajukan banding. Hal itu pun ditegaskan dalam Putusan MA Nomor 1038 K/Sip/1973, bahwa terhadap putusan perdamaian tidak mungkin diajukan permohonan banding. Dalam Putusan MA Nomor 975 K/Sip/1973 dijelaskan tidak dapat
45
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
47
banding, yang mengatakan berdasarkan Pasal 154 RBG/130 HIR, putusan perdamaian atau acte van vergelijk merupakan suatu putusan yang tertinggi, tidak ada upaya banding dan kasasi terhadapnya. Itu sebabnya secara teknis dan yuridis dikatakan, putusan akta perdamaian (acte van vergelijk) dengan sendirinya melekat kekuatan eksekutorial sebagaimana layaknya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 46
46
Ibid.,hlm. 280
Universitas Sumatera Utara