BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU No. 8 TAHUN 1999 A. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Konsumen Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen
termasuk
penyediaan
sarana
peradilannya.
Sejalan
dengan
perkembangan tersebut, berbagai negara telah menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen. Di samping itu, telah berdiri organisasi konsumen Internasional, yaitu International Organization of Consumer Union (IOCU). Di Indonesia telah berdiri berbagai organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta dan organisasi konsumen lainnya yang tersebar diseluruh kota di Indonesia. 15 Istilah “konsumen” berasasal dari alih bahasa dari kata “consumer” (Inggris-Amerika), atau “consument/konsument” (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang dan/atau jasa nantilah yang menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna barang dan/atau jasa tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. 16
Pengertian konsumen dalam arti umum
adalah pemakai, pengguna atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa “Konsumen adalah setiap 15 16
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.22. Ibid.
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Berdasarkan pengertian diatas, subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (recht person). Menurut Az. Nasution, orang yang dimaksudkan adalah orang alami bukanlah badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia. 17 Ada hal lain yang juga perlu dikritisi dari pengertian “konsumen” dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Batasan pengertian “konsumen” dalam UUPK tersebut adalah batasan sempit. Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada subjek hukum yang disebut “orang”, akan tetapi masih ada subjek hukum lain yang juga sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum” yang mengonsumsi barang dan/atau jasa serta tidak untuk diperdagangkan. Oleh karena itu, lebih tepat bila dalam pasal ini menentukan “setiap pihak yang memperoleh barang dan/atau jasa” yang dengan sendirinya tercakup orang dan badan hukum, atau paling tidak ditentukan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK tersebut. 18 Pengertian konsumen antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak sama. Di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Dan yang paling menarik adalah konsumen di negara ini tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. 17
Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.8. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal.5. 18
Namun, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (NBW Buku IV, pasal 236) konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya, ketika mengadakan perjanjian ia tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi perusahaan. 19 Pengertian “konsumen” di Amerika Serikat dan MEE, kata “konsumen” yang berasal dari consumer sebenarnya berarti “pemakai”. Namun, di Amerika Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai. 20 Upaya perlindungan terhadap konsumen dari pemakaian produk-produk yang cacat di negara-negara anggota European Economic Community (EC/MEE) dilakukan dengan cara menyusun Product Liability Directive yang nantinya harus diintegrasikan ke dalam instruktur hukum masing-masing negara anggota EC, maupun melalui Statutory Orders yang berlaku terhadap warga negara seluruh anggota EC. Ketentuan-ketentuan dalam Directive harus diimplementasikan ke dalam hukum nasional dulu sebelum dapat diterapkan, sedangkan Statutory Orders dapat langsung berlaku bagi semua warga negara dari negara-negara anggota EC. 21 Directive ini mengedepankan konsep liability without fault. Pengertian “konsumen” (consumers) tidak dijabarkan secara rinci dalam Directive. Dalam kajian bersama pada pasal 1 dengan pasal 9 Directive yang isinya : Article 1 The producer shall be liable for damage caused by a defect in his product. Article 9 For the purpose Article 1, “damage” means: 19
Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.13. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.23. 21 Ibid., hal.24. 20
(a) damage caused by death or by personal injuries; (b) damage to, or destruction of, any item of property other than the detective product it self, with a lower threshold of 500 ECU, provided that the item of property: (i) is a type ordinarily intended for private use or consumption, and (ii) was used by the injured person mainly for his own private use or consumption. This Article shall be without prejudice to national provisions relating to non material damage. Dapat disimpulkan bahwa “konsumen” berdasarkan Directive adalah pribadi yang menderita kerugian (jiwa, kesehatan, maupun benda) akibat pemakaian produk yang cacat untuk keperluan pribadinya. Jadi, konsumen yang dapat memperoleh kompensasi atas kerugian yang dideritanya adalah “pemakai produk cacat untuk keperluan pribadi”. Perumusan ini sedikit lebih sempit dibandingkan dengan pengertian serupa di Amerika Serikat. 22 Perlakuan hukum yang lebih bersifat mengatur dan/atau mengatur dengan diimbuhi perlindungan merupakan pertimbangan tentang perlunya pembedaan dari konsumen itu. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), betapapun kedudukan undang-undang ini berdasarkan pendirian Mahkamah Agung, 23 terdapat beberapa istilah yang perlu diperhatikan. Antara lain, istilah pembeli (Pasal 1460, 1513, dst. Jo. Pasal 1457), penyewa (Pasal 1550 dst. Jo. Pasal 1548), penerima hibah (Pasal 1670 dst. Jo. Pasal 1666), peminjam pakai (Pasal 1743 Jo. Pasal 1740), peminjam (Pasal 1744) dan sebagainya. Sedang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) ditemukan istilah tertanggung (Pasal 246 dst. KUHD), penumpang (Pasal 393, 394, dst. Jo. Pasal 341).
22
Ibid., hal 24-25. Surat Edaran Mahkamah Agung R.I tanggal 5 September 1963 No. 3/1963, perihal: Gagasan Burgerlijk Wetboek tidak sebagai Undang-Undang, termuat dalam Dian Yustisia, Pengadilan Tinggi Bandung 1975. hal.9. 23
Pembeli barang dan/atau jasa, penyewa, penerima hibah, peminjam pakai, peminjam, tertanggung, atau penumpang, pada satu sisi dapat merupakan konsumen (akhir) tetapi pada sisi lain dapat pula diartikan sebagai pelaku usaha. Mereka tersebut sekalipun pembeli misalnya, tidak semata-mata sebagai konsumen akhir (untuk keperluan non komersial) atau untuk kepentingan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga masing-masing tersebut. Perkembangan hukum baru, menunjukkan pula telah digunakannya istilah konsumen dalam putusan pengadilan. Dalam putusan Mahkamah Agung (MA) ini, pengertian khalayak ramai dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, ditafsirkan sebagai konsumen. 24 Az. Nasution dalam bukunya menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni: 25 a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu; b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial); c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial). Bagi konsumen antara, barang dan/atau jasa itu adalah barang dan/atau jasa capital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain 24
Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Maret 1987 No. 341 PK/Pdt/1986 dalam Perkara Merk Ratu Ayu, antara PT. Rama Pharmaceutical Industry (Permohonan Peninjauan Kembali (PK), Termohon Kasasi/Penggugat) melawan Ny. Martha Tilaar dan Pemerintah RI qq Dep. Kehakiman RI qq Direktorat Paten dan Hak Cipta (Termohon Peninjauan Kembali, Pemohon, dan Turut Termohon Kasasi/Tergugat I/II). Dalam pertimbangannya MA menyatakan antara lain: “UU No. 21 Tahun 1961 mempunyai tujuan untuk melindungi baik konsumen (khalayak ramai) maupun pemakai pertama… “.” 25 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta : Diadit Media, 2002), hal. 13.
yang akan diproduksinya (produsen). Kalau ia distributor atau pedagang berupa barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi mata dagangannya. Konsumen antara ini mendapatkan barang dan/atau jasa itu di pasar industri atau pasar produsen. Sedang bagi konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu adalah barang dan/atau jasa konsumen, yaitu barang dan/atau jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya (produk konsumen). Barang dan/atau jasa konsumen ini umumnya diperoleh di pasar-pasar konsumen dan terdiri dari barang dan/atau jasa yang umumnya digunakan didalam rumah tangga masyarakat. Bagi konsumen antara yang sebenarnya adalah pengusaha/pelaku usaha, kepentingan mereka dalam menjalankan usaha atau profesi mereka tidak “terganggu” oleh perbuatan-perbuatan persaingan yang tidak wajar, perbuatan penguasaan pasar secara monopoli atau oligopoli, dan sejenis dengan itu. Mereka memerlukan kaidah-kaidah hukum yang mencegah perbuatan-perbuatan tidak jujur dalam bisnis, dominasi pasar dengan berbagai praktik bisnis yang menghambat masuknya perusahaan baru atau merugikan perusahaan lain dengan cara-cara yang tidak wajar. Bagi
konsumen
akhir
(selanjutnya
disebut
konsumen),
mereka
memerlukan produk konsumen (barang dan/atau jasa konsumen) yang aman bagi kesehatan tubuh atau keamanan jiwa, serta pada umumnya untuk kesejahteraan keluarga atau rumah tangganya. Karena itu yang diperlukan adalah kaidah-kaidah hukum yang menjamin syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia, dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur, dan bertanggung jawab. Karena pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk itu dibuat, bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaidah hukum yang dapat melindungi.
Perlindungan
itu
sesungguhnya
berfungsi
menyeimbangkan
kedudukan konsumen dan pengusaha, dengan siapa mereka saling berhubungan dan saling membutuhkan. 26 Keadaan seimbang di antara para pihak yang saling berhubungan, akan lebih menerbitkan keserasian dan keselarasan materiil, tidak sekedar formil, dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagaimana dikehendaki oleh falsafah bangsa dan negara ini. 2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering terdengar. Dalam berbagai literatur hukum pun sering digunakan dua istilah hukum ini. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya dan apakah kedua “cabang” hukum tersebut identik. 27 Pengertian hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen ternyata belum dibakukan menjadi suatu pengertian yang resmi, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam kurikulum akademis. Fakultas Hukum Universitas Indonesia mempergunakan hukum perlindungan konsumen, tetapi Hondius, ahli hukum konsumen dari Belanda menyebutnya dengan hukum konsumen (konsumen-tenrecht). 28 M.J. Leder menyatakan: “In a sense there is no such creature as consumer law”. Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe yakni: “….rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploited”. 29 Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum 26
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.23. Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Grasindo, 2004), hal. 11. 28 N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta : Panta Rei, 2005), hal. 30. 29 Sidharta, Op.cit., hal.9-10. 27
konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah tersebut berbeda, yakni bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Menurut Az. Nasution, hukum konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup”, sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan beliau sebagai “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen”. 30 Pada hakikatnya, hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membahas hal yang sama, yakni kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-hak dari konsumen tersebut diakui dan
diatur di
dalam hukum dan bagaimana penegakannya dalam praktik kehidupan bermasyarakat merupakan materi dari pembahasan kedua istilah hukum ini. Dengan begitu, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan perangkat hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya. Keseluruhan perangkat hukum tersebut termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun hukum internasional. Cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi informasi, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena pengguna kebutuhan tersebut, misalnya dalam mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen
30
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.13.
meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk tersebut. Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab. Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen merupakan hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen dalam 2 (dua) kelompok, yakni: 1. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. 2. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku. Adanya
pengelompokkan
tersebut
bertujuan
untuk
memberikan
perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan pelaku usaha. Berkenaan dengan perlindungan konsumen dapat di klasifikasikan bidang-bidang yang harus dilindungi, yaitu: a. Keselamatan fisik, b. Peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen, c. Standar untuk keselamatan dan kualitas barang dan/atau jasa, d. Pemerataan fasilitas kebutuhan pokok, e. Upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan tuntutan ganti rugi,
f. Program pendidikan dan penyebarluasan informasi, g. Pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman, obatobatan dan kosmetik. Janus Sidabalok mengemukakan 4 (empat) alasan pokok konsumen harus dilindungi, yaitu 31: 1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD RI 1945; 2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi; 3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional; 4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen. Membuat batasan tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen tidak bisa dilepaskan dengan bagaimana hukum meletakkan asas-asas untuk melindungi konsumen atas pemenuhan barang dan/atau jasa. Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 menetapkan asas bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Bertolak dari penetapan asas-asas tersebut, dapatlah diberikan pengertian tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen berupa serangkaian norma-norma yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen atas pemenuhan barang dan/atau jasa yang didasarkan kepada manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. B. Asas, Tujuan, dan Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen 1. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen 31
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hal.6.
Secara etimologi kata, bahwa asas dapat diterangkan sebagai berikut: 32 a. Dasar, alas, pondamen; misalnya batu yang baik untuk rumah. b. Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir (berpendapat dan sebagainya; misalnya bertentangan dengan asas-asas hukum pidana. c. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya; misalnya membicarakan asas dan tujuannya. Selanjutnya kata asas ini di dalam bahasa Inggris disebut “principle” yang hubungannya erat dengan istilah “principium” (bahasa Latin). Principium menurut asal katanya adalah permulaan; awal mula; sumber; asal pengakal; pokok, dasar. 33 Dalam
setiap
peraturan
perundang-undangan
yang
dibuat
oleh
pembentuk undang-undang, terdapat sejumlah asas atau prinsip yang mendasari diterbitkannya undang-undang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu
undang-undang
dan
peraturan
pelaksanaannya. 34
Bila
asas-asas
dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan undang-undang tersebut dan seluruh peraturan pelaksanaannya. Menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang menjelma dalam peraturan perundangundangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut. 35 Prof. Dr. Tan Kamello, S.H.,M.S mengatakan bahwa cita-cita hukum suatu undang-undang yang merupakan refleksi normatif dari keinginan 32
Syamsul Arifin, Falsafah Hukum, (Medan : UNIBA PRESS, 1992), hal.114. Ibid. 34 Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo, 2006), hal.3. 35 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum : Suatu Pengantar, (Jakarta : Liberty, 1996), hal.5-6. 33
masyarakatnya terletak kepada jantungnya hukum tersebut. 36 Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas dasar dua alasan yaitu, pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-peraturan hukum tersebut dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua, karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. 37 Di dalam usaha perlindungan hukum terhadap konsumen, terdapat asasasas yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangannya. Dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada alinea delapan menyebutkan bahwa undang-undang tersebut mengacu pada filosofi pembangunan nasional, termasuk pembangunan hukum di dalamnya yang memberikan perlindungan terhadap konsumen yang berlandaskan kepada Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 38 yang terkandung dalam ketentuan pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999. Perlindungan
konsumen
diselenggarakan
sebagai
usaha bersama
berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu: 39 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
36
Tan Kamello & Syarifah Lisa, Hukum Perdata : Hukum Orang & Keluarga, (Medan : USU, 2010), hal.77. 37 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal.87. 38 N.H.T. Siahaan, Op.cit., hal.82. 39 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, op.cit., hal.25.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. 4. Asas
keamanan
dan
keselamatan
konsumen
dimaksudkan
untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Jika diperhatikan pada substansi pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan penjelasannya, terlihat bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal 2 UUPK tersebut, bila diperhatikan substansinya, maka dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yakni: 1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen, 2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hukum. Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masa keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa: “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its benefits and cost”, dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”. 40
40
Ibid., hal.26.
Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Pada kasus tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya. 41 Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan: “bahwa kita harus menggunakan asas prioritas di mana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum”. Akan tetapi, Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut. Beliau menyatakan bahwa “sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturutturut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terakhir kepastian hukum. Ia sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika kita menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang dimaksudkan yakni, ketiga tujuan hukum diprioritaskan sesuai kasus yang dihadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semuanya tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus. Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, 41
Ibid., hal.27.
mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan tersebut tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetapi melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan fungsi hukum yang menurut Rescoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingankepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial. Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Menurut Bellefroid, secara umum hubungan-hubungan hukum baik yang bersifat publik maupun pivat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas. Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban sosial. Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu. 42 Prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari asas kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang merupakan modus survival bagi manusia. Melalui 42
Ibid., hal.29.
prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan negara mencampuri urusan yang sebenarnya bersifat privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan bersama. Dalam hubungan inilah kepentingan pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan diatas, yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum perdata dan hukum ekonomi. Agar segala upaya untuk membentengi tindakan kesewenang-wenangan pihak pelaku usaha dan memberikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen sebagaimana harusnya, maka asas-asas perlindungan konsumen tersebut harus dipadankan dengan tujuan dari perlindungan konsumen. Dalam Pasal 3 UUPK menetapkan 6 tujuan dari perlindungan konsumen, yakni: 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2. Mengangkat
harkat
dan
martabat
konsumen
dengan
cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian
hukum
dan
keterbukaan
informasi
serta
akses
untuk
mendapatkan informasi; 5. Menumbuhkan
kesadaran
pelaku
usaha
mengenai
pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; dan 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UUPK sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang
ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindugan konsumen. Achmad Ali mengatakan masing-masing undang-undang memiliki tujuan khusus. Hal itu juga terlihat dari pengaturan pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum yang berkenaan dengan ketentuan pasal 2 tersebut. 43 Rumusan tujuan perlindungan konsumen pada huruf c dan huruf e merupakan tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan terlihat dalam rumusan huruf a, b dan f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum tercermin dalam rumusan huruf d. Pengelompokkan tersebut tidak berlaku mutlak karena rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda. Kesulitan dalam memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) tersebut sekaligus keseluruhannya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari Pasal 3 UUPK hanya dapat tercapai secara maksimal, apabilan didukung oleh keseluruhan sub sistem perlindungan yang diatur dalam UUPK, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana yang dikemukakan sangat berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang selanjutnya menentukan keefektifan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan satu sama lainnya. Agar tujuan hukum perlindungan konsumen ini dapat berjalan sebagaimana yang telah di cita-citakan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, maka kesatuan dari keseluruhan sub sistem yang terkandung dalam undang-
43
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.cit., hal.34.
undang tersebut harus diperkuat dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. 2. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisa siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh pertanggung jawaban yang dapat dibebankan kepada pihak-pihak yang terkait. 44 Beberapa sumber hukum formil, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Dalam area hukum tertentu, antara hukum pengangkutan dan hukum lingkungan terdapat perbedaan yang diterapkan. Bahkan, di dalam bidang hukum pengangkutan, antara kasus yang satu dengan kasus yang lain, prinsipprinsipnya pun juga berbeda. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: 45 (a) Kesalahan (Liability based of Fault); (b) Praduga selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability); (c) Praduga selalu tidak bertanggung jawab (Presumption of Non Liability); (d) Tanggung jawab mutlak (Strict Liability); dan (e) Pembatasan tanggung jawab (Limitation of Liability). (f) Tanggung jawab produk (Product Liability). a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (Liability Based on Fault).
44 45
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Grasindo), 2006, hal.72. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.92.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability) atau liability based on fault adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pada pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh 46. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu 47: a) Adanya perbuatan, b) Adanya unsur kesalahan, c) Adanya kerugian yang diderita, dan d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Kesalahan yang dimaksud adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Di dalam pembagian beban pembuktiannya, prinsip ini mengikuti ketentuan pasal 163 HIR (Herziene Indonesische Reglement) atau pasal 283 Rbg (Rechtsreglement Buitengewesten) dan pasal 1865 KUHPerdata. Dalam pasalpasal ini dikatakan, barangsiapa yang mengakui mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut (actorie incumbit probatio). 48 Sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et alterm partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang 46
Sidharta, Op.cit., hal.73. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.93. 48 Ibid. 47
berperkara. 49 Hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut. Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini yang sebenarnya juga berlaku umum untuk prinsip-prinsip lainnya adalah definisi tentang subjek pelaku kesalahan (pasal 1367 KUHPerdata). Dalam doktrin hukum dikenal asas vicarious liability dan corporate liability. 50 Vicarious liability (atau disebut juga respondeat superior, let the master answer), mengandung pengertian, majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orang/karyawan yang berada di bawah pengawasannya (captain of the ship doctrine). Jika karyawan tersebut dipinjamkan ke pihak lain (borrowed servant), maka pertanggung jawabannya beralih kepada si pemakain karyawan tersebut (fellow servant doctrine). Corporate liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama dengan vicarious liability. Menurut doktrin ini, lembaga (korporasi) yang menaungi suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung jawab terhadap tenagatenaga yang dipekerjakannya. Prinsip ini diterapkan tidak saja untuk karyawan organiknya (karyawan yang digaji oleh korporasi), tetapi juga diterapkan untuk karyawan non organik (tenaga kerja yang dikontrak kerja dengan pembagian hasil). Latar belakang penerapan prinsip tersebut adalah konsumen hanya melihat semua di balik dinding suatu korporasi itu sebagai satu kesatuan. Konsumen tidak dapat membedakan mana yang berhubungan secara organik dengan korporasi dan yang tidak berhubungan organik. Doktrin terakhir ini disebut ostensible agency. Maksudnya, jika suatu korporasi memberi kesan kepada masyarakat (konsumen), orang yang bekerja di korporasi tersebut adalah karyawan yang tunduk di bawah perintah/koordinasi korporasi tersebut maka
49
Bahan ajar “Hukum Acara Perdata Indonesia” oleh Muhammad Husni, SH.,MH, Pembantu Dekan III FH USU sekaligus dosen pengajar mata kuliah Hukum Acara Perdata. 50 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.96.
sudah cukup syarat bagi korporasi tersebut untuk wajib bertanggung jawab secara vicarious terhadap konsumennya. b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability). Dalam prinsip ini, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dikenal empat variasi 51: (a) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya. (b) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian. (c) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya. (d) Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak baik. Beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterapkan dalam prinsip ini. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, omkering van bewijslast juga diperkenalkan dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, tepatnya pada pasal 17 dan pasal 18. Namun, dalam praktiknya pihak kejaksaan Republik Indonesia sampai saat ini masih keberatan untuk menggunakan kesempatan yang diberikan prinsip beban pembuktian terbalik. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana
51
Sidharta Revisi, Op.cit., hal.75.
ditegaskan dalam pasal 19, 22, dan 23 (ketentuan pasal 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999). 52 Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan terlihat bahwa asas ini cukup relevan. Jika teori ini digunakan, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Konsumen tidak selalu sekehendak hatinya mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat. c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of Nonliability). Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip presumption of liability. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas 53 dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Sekalipun demikian, dalam pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, ada penegasan, “prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab” ini tidak lagi diterapkan secara mutlak dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi 52 53
Sidharta, Op.cit., hal.76. Sidharta Revisi, Op.cit., 77.
(setinggi-tingginya satu juta rupiah). Artinya, bagasi kabin/bagasi tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban sepanjang bukti kesalahan pihak pengangkut (pelaku usaha) dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang. d. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability). Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Akan tetapi, ada pendapat ahli yang membedakan kedua terminologi tersebut. Ada pendapat yang mengemukakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya dalam keadaan force majeur. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengkaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability, dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya saja dalam kasus bencana alam). 54 Dalam Protokol Guatemala 1971, prinsip tanggung jawab mutlak ini diterima untuk menggantikan ketentuan pasal 17 ayat (1) Konvensi Warsawa 1929. Prinsip ini juga diberlakukan dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Menurut R.C. Hoeber et.al., prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena 55:
54 55
Ibid., hal.77-78. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.97.
a. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks; b. Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya; c. Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama Product Liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) hal 56: 1) Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk; 2) Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik; 3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan risiko adanya kerugian itu. Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha (produsen) dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip strict liability. e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (Limitation of Liability). Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh para pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai 56
Ibid.
klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Misalnya dalam perjanjian cuci cetak film, ditentukan bila film yang ingin dicuci/cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip ini biasanya dikombinasikan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab lainnya. Dalam pengangkutan udara, yakni pasal 17 ayat (1) Protokol Guatemala 1971, prinsip “tanggung jawab dengan pembatasan” dikaitkan dengan prinsip “tanggung jawab mutlak”. Batas tanggung jawab pihak pengangkut untuk satu penumpang sebesar $100.000 Amerika Serikat (tidak termasuk biaya perkara) atau $120.000 Amerika Serikat (termasuk biaya perkara). Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh para pelaku usaha. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal pertanggung jawabannya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. f. Prinsip tanggung jawab produk (Product Liabilty). Istilah dan definisi product liability di kalangan para pakar dan sejumlah peraturan diartikan secara berbeda-beda. Product liability sering diistilahkan dengan tanggung gugat produk, tanggung jawab produk, atau tanggung jawab produsen. 57 NE Algra & HR HWR Gokkel memberikan definisi product liability sebagai berikut: tanggung jawab pemilik pabrik untuk barang-barang yang dihasilkannya, misalnya yang berhubungan dengan kesehatan pembeli, pemakai (konsumen) atau keamanan produk. Agnes M. Toar mengartikannya sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Agnes menafsirkan produk sebagai 57
N.H.T. Siahaan, Op.cit., hal.146.
barang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. 58 Robert D Harsh dalam Diederick-Verschoor mendefinisikan yakni “The liability of a manufacturer, processor or non manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer or third party, caused by a product”. Sedangkan Perkins Coie mengartikannya sebagai “the liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of the product”. Ending Saefullah lebih memperluas cakupan pengertian product liability sebagai berikut: “Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut”. Menurut The 1973 Hague Convention on the Law Applicable to Products Liability, yang juga disebut dengan The Hague Convention, product liability diberlakukan kepada orang-orang/pihak-pihak sebagai yang bertanggungjawab, yakni: 1. Pengusaha dari barang/produk akhir atau bagian komponen; 2. Pengusaha dari barang-barang alam (natural product); 3. Supplier dari sesuatu produk; 4. Orang-orang lain, termasuk pengusaha bengkel dan pergudangan di dalam jaringan penyediaan/persiapan atau distribusi suatu barang. Ciri-ciri dari Product Liability sendiri dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah:
58
•
Pembuat produk jadi (finished product);
•
Penghasil bahan baku;
•
Pembuat suku cadang;
Agnes M. Toar, Tanggung jawab Produk dan Sejarah Perkembangannya di beberapa Negara, Makalah dalam Penataran Hukum Perikatan II di Ujungpandang, 17-29 Juli 1989 dari situs http://google.com/pelabelanprodukpangan/tanggungjawabrodukdansejarahperkembangannyadibeb erapanegara.
•
Setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu;
•
Importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan;
•
Pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan.
2. Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen adalah konsumen akhir (endconsumer atau ultimate consumers); 3. Yang dapat dikualifikasi sebagai produk adalah benda bergerak, sekalipun benda bergerak tersebut telah menjadi komponen/bagian dari benda bergerak atau benda tetap lain, listrik, dengan pengecualian produk-produk pertanian dan perburuan; 4. Yang dapat dikualifikasi sebagai kerugian adalah kerugian pada manusia (death atu personal injury) dan kerugian pada harta benda, selain dari produk yang bersangkutan; 5. Produk kualifikasi sebagai mengandung kerusakan apabila produk itu tidak memenuhi keamanan (safety) yang dapat diharapkan oleh seseorang dengan mempertimbangkan semua aspek, antara lain: a. Penampilan produk (the presentation of the product), b. Maksud penggunaan produk (intended use of the product), dan c. Saat ketika produk ditempatkan di pasaran (the time when the product was put into circulation). Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat/rusak sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian, atau harta benda. Menurut Emma Suratman, produk cacat adalah “setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang sering terjadi dalam peredarannya, atau
tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang”. 59 Dari batasan definisi tersebut terlihat bahwa pihak yang terutama bertanggung jawab adalah pelaku usaha pembuat produk tersebut (produsen), tanpa kesalahan dari pihaknya. Perkembangan ini sebenarnya dipicu oleh tujuan yang ingin dicapai doktrin ini, yaitu 60: a. Menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat tersebut; b. Menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi (korban) produk cacat yang tidak dapat dihindari. Sesuatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya) karena 61: 1) Cacat produk atau manufaktur; 2) Cacat desain; dan 3) Cacat peringatan atau cacat instruksi. Cacat produk adalah keadaan produk yang umumnya berada di bawah tingkat harapan konsumen atau cacat tersebut dapat membahayakan harta bendanya, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. misalnya, setiap orang mengharapkan air minum dalam botol tidak berisi butir-butir pasir, seperti juga tepung gandum tidak berisi potongan-potongan kecil besi, saus tomat tidak terbuat dari labu siam ditambah dengan zat pewarna. Cacat-cacat demikian dapat pula termasuk cacat desain, karena kalau desain produk tersebut dipenuhi sebagaimana mestinya, tidaklah kejadian merugikan konsumen tersebut dapat terjadi. Cacat peringatan atau instruksi merupakan cacat produk karena tidak dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan 59
Emma Suratman, SH. (Ketua Tim) Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Tanggung Jawab Produsen di bidang Farmasi terhadap Konsumen 1990-1991, BPHN Departemen Kehakiman RI, hal.9. 60 Mr. K. Van Leeuwen, Juridische Aspecten van Productveiligheid, Kluwer Deventer, Entschede, 1990 dalam Az. Nasution, Ibid., hal.249. 61 Ibid.
tertentu. Misalnya, peringatan produk harus disimpan pada suhu kamar atau suhu lemari pendingin (makanan dalam kemasan). Atau peringatan agar dalam penggunaannya harus menggunakan voltase listrik tertentu (televise), larangan memakai kendaraan bermotor selama menggunakannya (jamu Nostresa), atau meminta nasehat dokter (obat Tylenol), dan sebagainya. Produk yang tidak memuat peringatan atau instruksi tersebut, termasuk produk cacat, yang tanggung jawabnya secara tegas dibebankan pada produsen dari produk yang bersangkutan. Akan tetapi disamping produsen, syarat-syarat tertentu, beban tanggung jawab itu dapat pula diletakkan di atas pundak pelaku usaha lainnya, seperti importir produk, distributor, atau pedagang pengecernya. Oleh karena itu, tanggung jawab produk caacat ini berbeda dari tanggung jawab pelaku usaha produk pada umumnya. Tanggung jawab produk cacat terletak pada tanggung jawab cacatnya produk berakibat pada orang, orang lain atau barang lain, sedang tanggung jawab pelaku usaha karena perbuatan melawan hukum adalah tanggung jawab atas rusaknya atau tidak berfungsinya produk itu sendiri. Dari perkembangan product liability di berbagai negara, dapat dikemukakan bahwa product liability merupakan lembaga hukum yang tetap menggunakan konstruksi hukum tort (perbuatan melawan hukum), dengan beberapa modifikasi. Modifikasi tersebut antara lain: 1. Produsen langsung dianggap bersalah jika terjadi kasus product liability, sehingga di dalamnya dianut prinsip praduga bersalah (presumption of fault) berbeda dengan praduga tidak bersalah (presumption of no fault) yang dianut oleh tort. 2. Karena produsen dianggap bersalah, konsekuensinya ia harus bertanggung jawab (liable) untuk memberi ganti rugi secara langsung kepada pihak konsumen yang menderita kerugian. Jenis tanggung jawab (liability) semacam ini disebut no fault liability atau strict liability.
3. Karena produsen sudah dianggap bersalah, maka konsumen yang menjadi korban tidak perlu lagi membuktikan unsur kesalahan produsen. Dilihat dari sudut pandang ini, konsumen jelas sangat diringankan dari beban untuk membuktikan kesalahan produsen, yang relatif sangat sukar, seperti dianut di dalam tort. Dalam hal ini beban pembuktian justru dialihkan (shifting the burden of proof) kepada pihak produsen, untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian kepada konsumen. Namun demikian, karena karakter dasar dari product liability adalah tort, konsumen yang menjadi korban masih harus membuktikan ketiga unsur lainnya, yaitu perbuatan produsen adalah perbuatan melawan hukum, telah timbul kerugian dan hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul. Meskipun sistem tanggung jawab dalam product liability berlaku prinsip strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah 62: a. Jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation); b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian; c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis; d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah;
62
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. cit., hal.105.
e. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientic and technical knowledge, state of art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin terjadi cacat. Dari cakupan (product liability) tersebut, menunjukkan luasnya kepentingan konsumen yang dapat dijangkau oleh lembaga hukum ini. Dari pengertian produk dan produsen yang begitu luas, dapat diasumsikan bahwa melalui product liability secara formal, kepentingan konsumen dapat terlindungi karena dapat diketahui apa yang dapat dituntut dan kepada siapa tuntutan itu harus ditujukan. 63 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menggunakan prinsip semi-strict liability sebagaimana yang diatur dalam pasal 19 Bab IV tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha, yang dijelaskan sebagai beriktu: •
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
•
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
•
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
•
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengharuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih jelas mengenai adanya unsur kesalahan.
63
Ibid., hal.105.
•
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Demikian juga pada Pasal 20 yang berbunyi bahwa pelaku usaha
periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Disamping itu, tanggung gugat juga diberlakukan bagi importir barang dan/atau jasa sebagai pembuat barang yang diimpor atau sebagai penyedia jasa asing jika importasi barang tersebut atau penyediaan jasa asing jika importasi barang tersebut atau penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri atau perwakilan penyedia jasa asing. Dalam pasal 28 dinyatakan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini berarti berlaku sistem pembuktian terbalik, baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata, sesuatu yang menyimpang dari hukum acara yang biasa. Di dalam hukum acara pidana, beban pembuktian terletak pada Jaksa (Penuntut Umum), sedangkan di dalam hukum acara perdata baik berdasarkan pasal 163 HIR, pasal 383 RBg, maupun pasal 1865 KUHPerdata, beban pembuktian diletakkan pada penggugat. Berdasarkan sistem hukum yang ada kedudukan konsumen sangat lemah dibanding produsen. Salah satu usaha untuk melindungi dan meningkatkan kedudukan konsumen adalah dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum tentang tanggung jawab produsen. Dengan diberlakukannya prinsip tanggung jawab mutlak diharapkan pula para produsen/industriawan Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk-produk yang dihasilkannya, sebab bila tidak demikian selain akan merugikan konsumen juga akan sangat besar risiko yang harus ditanggungnya. Para produsen akan lebih berhati-hati dalam memproduksi sebelum dilempar ke pasaran sehingga para konsumen, baik dalam maupun luar negeri, tidak akan
ragu-ragu membeli barang produksi Indonesia. Demikian juga bila kesadaran para produsen/industriawan terhadap hukum tentang tanggung jawab produsen tidak ada, dikhawatirkan akan berakibat tidak baik terhadap perkembangan/eksistensi dunia industri nasional maupun pada daya saing produk-produk nasional, terutama di luar negeri. Penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia meliputi 3 (tiga) bagian penting. Pertama, faktor-faktor eksternal hukum yang akan mempengaruhi perkembangan dan pembaruan hukum perlindungan konsumen termasuk penerapan prinsip tanggung jawab mutlak. Kedua, faktor internal sistem hukum yaitu elemen struktur dan budaya hukum dalam rangka penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia. Ketiga, adalah ruang lingkup materi atau substansi dari prinsip tanggung jawab mutlak yang perlu diatur dalam undangundang. 64 Akan tetapi, dengan memberlakukan prinsip strict liability dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan. Pihak produsen masih diberi kesempatan untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya dalam hal-hal tertentu yang dinyatakan dalam undangundang. Disamping itu, pihak produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara ekonomis dia tidak mengalami kerugian yang berarti. Konsekuensi dari pembalikan beban pembuktian adalah tergugat wajib membuktikan ketidaksalahannya. Apabila tergugat tidak dapat membuktikan ketidaksalahannya, maka tergugat harus dikalahkan karena apa yang didalihkan oleh penggugat terbukti. Dalam perkara pidana, juga berlaku hal yang sama, bahwa apabila tersangka tidak dapat membuktikan ketidaksalahannya, ia harus dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana yang disangkakan kepadanya. Akan tetapi, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga membebaskan pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi apabila pelaku usaha dapat membuktikan kalau kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen 64
Inocentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta : FH UI Program Pascasarjana, 2004), hal.287.
sebagaimana yang ada dalam pasal 19 ayat (5). Selain itu, pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila: a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; b. Cacat barang timbul pada kemudian hari; c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; e. Lewatnya waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan (pasal 27). Adapun sistem beban pembuktian terbalik juga digunakan jika kasus perlindungan konsumen diangkat sebagai kasus pidana. Hal ini berarti meskipun ganti rugi telah diberikan namun tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Adapun untuk membuktikan unsur kesalahan ini digunakan sistem beban pembuktian terbalik. Pasal 22 UUPK menegaskan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi Jaksa untuk melakukan pembuktian. C. Hak dan Kewajiban Konsumen Pada dasarnya jika berbicara soal hak dan kewajiban, maka kita harus kembali kepada undang-undang. Undang-undang ini, dalam hukum perdata, selain dibentuk oleh pembuat undang-undang (lembaga legislatif), juga dapat dilahirkan dari perjanjian antara pihak-pihak yang berhubungan hukum satu dan yang lainnya. Baik perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak maupun undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang, keduanya itu membentuk perikatan di antara para pihak yang membuatnya. Perikatan tersebut
yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan atau yang tidak boleh dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam perikatan. 65 Pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi dan memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa. Akibatnya barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi seperti ini di satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar, karena adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Tetapi, disisi lain dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah, yang menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui berbagai promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Alasan pokok terjadinya hubungan hukum perjanjian antara konsumen dan pelaku usaha, yaitu kebutuhan akan barang dan/atau jasa tertentu, tentunya diharapkan konsumen dapat “menikmati” penggunaan, pemanfaatan, dan pemakaian yang layak dari barang dan/atau jasa tersebut. Untuk dapat “menikmati” penggunaan, pemanfaatan, dan pemakaian yang layak dari barang dan/atau jasa tersebut, harus diketahui apa yang menjadi hak dan kewajiban dari konsumen tersebut. Hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy di depan kongres (US Congres) pada
65
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.25.
tanggal 15 Maret 1962 dengan judul A Special Massage of Protection the Consumer Interest, menjabarkan 4 (empat) hak konsumen, yaitu terdiri atas: 66 1. Hak memperoleh keamanan (the right to safety); 2. Hak memilih (the right to choose); 3. Hak mendapat informasi (the right to be informed); 4. Hak untuk didengar (the right to be heard). Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia yang dicanangkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masingmasing pada pasal 3, 8, 19, 21, dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumer Union-IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya 67, yaitu: 1. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; 2. Hak untuk memperoleh ganti rugi; 3. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen; dan 4. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Disamping itu, Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut: 68 1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid); 2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen); 3. Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding); 4. Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming); 5. Hak untuk didengar (recht om te worden gehord).
66
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010), hal.32. Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Op.cit., hal.38. 68 Ibid., hal.39. 67
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi: 69 a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya; b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen; c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi; d. Pendidikan konsumen; e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya mencantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen, melainkan juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha. Namun, hak yang diberikan kepada konsumen (yang diatur dalam pasal 4) lebih banyak dibandingkan dengan hak pelaku usaha (yang dimuat dalam pasal 6) dan kewajiban pelaku usaha (dalam pasal 7) lebih banyak dari kewajiban konsumen (yang termuat dalam pasal 5). Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak sebagai berikut: 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; 2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 69
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op.cit., hal. 27.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak konsumen harus dikaitkan dengan kewajibannya. Berbicara tentang konsumen hendaknya membahas pula masalah produsen beserta hak-hak dan kewajibannya. Kewajiban konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UUPK, yaitu: a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan; b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban-kewajiban konsumen ini diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dianggap sangat tepat, karena kewajiban ini bertujuan untuk mengimbangi hak-hak konsumen untuk
mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut dan sistematis. Hanya saja kewajiban konsumen ini, tidak cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha. 70 D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, memberikan pengertian Pelaku Usaha, sebagai berikut: “Pelaku Usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Penjelasan “Pelaku Usaha” yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lainlain. Pengertian pelaku usaha dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memilih persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah pembuat produk jadi (finished product); penghasilan bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya , tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu; importir suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan;
70
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.cit., hal. 49-50.
pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan. 71 Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut akan memudahkan konsumen menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya UUPK tersebut memberikan rincian sebagaimana dalam Directive (pedoman bagi negara Masyarakat Uni Eropa), sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk. Dalam pasal 3 Directive ditentukan bahwa 72: 1) Produsen berarti pembuat pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen; 2) Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam Masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti Directive, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen; 3) Dalam hal produsen atau suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak begitu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus barang atau produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukkan identitas importir sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2), sekalipun nama produsen dicantumkan.
71
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Ibid., hal.9. Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi (Surabaya : Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2000), hal.31. 72
Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk/jenis usaha sebagaimana yang dimaksud dalam UUPK, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut 73: 1. Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilnya diketahui oleh konsumen yang dirugikan; 2. Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri; 3. Apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut. Urutan-urutan di atas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu produk mengalami cacat pada saat di produksi, karena kemungkinan barang mengalami kecacatan pada saat sudah berada di luar kontrol atau di luar kesalahan pelaku usaha yang memproduksi produk tersebut. Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur dalam pasal 6 UUPK. Hak pelaku usaha adalah: a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
73
Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal. 35.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktik yang sering terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar. Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada huruf b, c, dan d, sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat
pemerintah
dan/atau
Badan
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
(BPSK)/Pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen tidak mengabaikan kepentingan pelaku usaha. 74 Kewajiban konsumen dan hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada huruf b, c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya. Sebagai konsekuensi dari hak konsumen, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUPK, sebagai berikut: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; 74
Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.37.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Dalam undang-undang ini terlihat jelas bahwa itikad baik lebih ditekankan kepada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen. 75
75
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.44.
Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapa berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi. Selain peringatan, instruksi yang ditujukan untuk menjamin efisiensi penggunaan produk juga penting untuk mencegah timbulnya kerugian bagi konsumen. pencantuman informasi bagi konsumen yang berupa instruksi atau petunjuk prosedur pemakaian suatu produk merupakan kewajiban bagi produsen agar produknya tidak dianggap cacat (karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai). Sebaliknya, konsumen berkewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan konsumen.