BAB I PENDAHULUAN A. PENGERTIAN FILSAFAT Salah satu kelebihan manusia yang tidak dimiliki oleh mahluk-mahluk Tuhan lainnya adalah keingintahuannya yang sangat dalam terhadap segala sesuatu di alam semesta ini. Sesuatu yang diketahui oleh manusia itu disebut pengetahuan. Ditilik dari sumber perolehannya, pengetahuan itu dapat dibedakan dalam beberapa macam. Apabila pengetahuan itu diperoleh melalui indera manusia, disebut pengetahuan index a (pengetahuan biasa). Jika pengetahuan tersebut diperoleh mengikuti metode dan sistem tertentu serta bersifat universal, disebutlah pengetahuan itu sebagai pengetahuan ilmiah.
Selanjutnya,
apabila
pengetahuan
itu
diperoleh
melalui
perenungan yang sedalam-dalamnya (kontemplasi) sampai kepada hakikatnya, muncullah pengetahuan filsafat. Jika pengetahuan itu bersumber dari keyakinan terhadap ajaran suatu agama, pengetahuan semacam ini disebut pengetahuan agama. Pengetahuan manusia, terlepas dari mana sumber perolehannya, sesungguhnya merupakan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia. Melalui indera, eksperimen, perenungan, dan agama, manusia berusaha
mendekati
kebenaran
atas
pertanyaan-pertanyaan
yang
diajukan. Di sini digunakan kata “mendekati” karena dalam banyak hal sangat sulit mencapai kesepakatan tentang kebenaran sesuatu itu. Jadi, kebenaran pun dengan demikian dapat berupa kebenaran inderawi, kebenaran ilmiah, kebenaran filsafat, dan kebenaran agama (wahyu Tuhan). Istilah “pengetahuan” (knowledge) tidaklah sama dengan “ilmu”, atau yang seringkali juga disebut “ilmu pengetahuan” (science). Menurut Poedjawijatna (1986: 4-5), kebanyakan pengetahuan diperoleh dari
1
pengalaman inderawi manusia. Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya sendiri atau seringkali juga dari orang lain, yang biasanya digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari atau sekadar untuk tahu. Adapun yang disebut dengan ilmu, lebih jauh daripada itu. Ilmu adalah pengetahuan yang memiliki objek, metode, dan sistematika tertentu. Unsur lain lagi yang dapat ditambahkan di sini, bahwa ilmu juga bersifat universal. Dengan ilmu yang dimiliki manusia, sudah banyak ma-salah yang berhasil dipecahkan. Rahasia alam semesta, misalnya, telah banyak diungkapkan melalui kemajuan ilmu tersebut, yang pada gilirannya menghasilkan teknologi-teknologi spektakuler, seperti bioteknologi, juga teknologi di bidang komputer, komunikasi, dan luar angkasa. Sayangnya, sebanyak dan semaju apapun ilmu yang dimiliki manusia, tetap saja ada pertanyaan-pertanyaan yang belum berhasil dijawab. Bahkan, sebagian besar pertanyaan-pertanyaan tersebut telah diajukan sejak berabad-abad 1am-pau, yang sampai sekarang tetap aktual untuk dibahas. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat manusia, tujuan hidup dan kematiannya, adalah sebagian contoh pertanyaanpertanyaan itu. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh ilmu itulah yang menjadi porsi pekerjaan filsafat. Jadi, seperti yang dikatakan oleh Harry Hamersma (1990: 13), filsafat itu datang sebelum dan sesudah ilmu. Dikatakan sebelum ilmu, karena semua ilmu yang khusus, seperti yang banyak terdapat dewasa ini, bermula sebagai bagian dari filsafat. Dikatakan filsafat datang sesudah ilmu, karena secara ilmu menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang melewati batas-batas spesialisasi mereka, yang kemudian ditampung oleh filsafat. Tidak mengherankan, bahwa banyak filsuf terkemuka di dunia ini, adalah sekaligus ilmuwan-ilmuwan besar, seperti Aristoteles, Rene Descartes, Augusfe Comte, Hegel, Leibniz, Pascal, Hume, Immanuel Kant, Whitehead, dan Einstein.
2
Menurut Hamersma
(1990: 9), pertanyaan-pertanyaan
yang
diajukan oleh ilmu (yang khusus) itu mungkin juga tidak akan pernah terjawab oleh filsafat. Sekalipun demikian, filsafat adalah tempat pertanyaan-pertanyaan
seperti
itu
dikumpulkan,
diterangkan,
dan
diteruskan. Kalaupun filsafat “berhasil” memberikan suatu jawaban, bukan berarti pekerjaan filsafat menjadi selesai. Magnis-Suseno (1992: 20) menegaskan, bahwa jawaban-jawaban filsafat itu memang tidak pernah abadi. Karena itu, filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Filsafat tidak menyelidiki salah satu segi dari kenyataan saja, melainkan apa-apa saja yang menarik perhatian manusia. Artinya, masalah-masalah manusia itu banyak, dan tidak hanya beberapa saja yang dikaji oleh filsafat. Menariknya lagi, karena jawaban yang diberikan filsafat tidak pernah abadi, kenyataan itu menyebabkan masalah-masalah yang dikaji filsafat seringkali terkesan dari itu ke itu saja. Boleh jadi pendapat ini ada benarnya, tetapi jelas tidak benar seluruhnya. Anggapan bahwa filsafat pada Abad ke-20 ini masih sibuk dengan masalah-masalah yang sama seperti yang sudah dipersoalkan 2.500 tahun yang lalu, justru membuktikan bahwa filsafat tetap setia kepada “metodenya sendiri”. Masalah-masalah filsafat tidak pernah dapat selesai, justru karena ia bersifat filsafat. Masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia, dan karena manusia di satu pihak tetap manusia, tetapi di lain pihak berkembang dan berubah, masalah-masalah baru filsafat adalah masalah-masalah lama manusia (Magnis-Suseno, 1992:20). Sebagai contoh dari uraian di atas, dapatlah ditunjukkan bahwa persoalan asal usul alam semesta yang pernah dipertanyakan oleh Thales, Anaximander, dan Anaximenes sekitar 600 SM, tetap menjadi kajian aktual dan dipertanyakan, seperti oleh Stephen Hawking (lahir 1942) yang digelari sebagai ahli fisika teoretis paling terkemuka pada Abad ke-20 sesudah Einstein. Dengan demikian, persoalan-persoalan filsafat, sebagaimana akan dibentangkan dalam bab-bab berikut dalam
3
buku
ini,
juga
mengalami
siklus
sejarah.
Hanya
saja,
bentuk
perputarannya tidaklah bulat penuh, melainkan melingkar seperti spiral. Selalu ada nuansa baru sebagai hasil proses dialektika dari pemikiranpemikiran sebelumnya. Apabila filsafat ingin dicari perbedaannya dengan ilmu-ilmu yang lain, secara sederhana Harry Hamersma (1990: 10) membedakannya sebagai berikut: ilmu (Hamersma menyebutkannya “ilmu pengetahuan”) adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren (bertalian) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan, sedangkan filsafat adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan. Dap batasan tersebut, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa filsafat pun sebenarnya adalah suatu ilmu. Seperti dikatakan di atas, yaitu ilmu tanpa batas. Dikatakan sebagai ilmu karena filsafat memang telah memenuhi syarat-syarat untuk itu, yakni memiliki objek, metode, dan sistematika tertentu, dan terlebih-lebih bersifat universal. Memang, selain sebagai ilmu, kadang-kadang filsafat juga dapat berarti sebagai pandangan hidup manusia. Jadi, ada filsafat sebagai ilmu dan ada filsafat sebagai pandangan hidup. Contoh filsafat sebagai pandangan hidup ini sangat banyak, yang tercermin dalam pepatah, slogan, lambang, dan sebagainya. Tut wuri handayani, misalnya, adalah filsafat sebagai pandangan hidup. Pandangan hidup ini sering disebut dengan istilah way of life, Weltanschauung, Wereldbes-chouwing, Werelden levenbeschouwing. Pandangan hidup ini merupakan petunjuk arah semua kegiatan atau aktivitas hidup (manusia) dalam segala bidang (Darmodiharjo, 1995:4). Demikian juga dengan terminologi filsafat Cina, filsafat India, filsafat Yunani, filsafat Liberalisme, filsafat Pancasila, adalah terminologi dalam pengertian filsafat sebagai pandangan hidup. Seperti diuraikan sebelumnya, filsafat apabila diartikan sebagai ilmu, salah satu unsurnya adalah ia harus mempunyai objek tertentu. Objek suatu ilmu, menurut Poedjawijatna (1986: 6-7) dapat dibedakan menjadi objek materia dan objek forma. Objek materia adalah lapangan
4
atau bahan penyelidikan suatu ilmu, sedangkan objek forma adalah sudut pandang tertentu yang menentukan jenis suatu ilmu. Jadi, dapat terjadi ada lebih dari satu ilmu yang memiliki objek materia yang sama, tetapi berbeda objek formanya. Misalnya saja, ilmu hayat (biologi) dan ilmu jiwa (psikologi) memiliki objek materia yang sama, yaitu tentang mahluk hidup, tetapi objek formanya berlainan karena yang pertama menyelidiki kehidupan mahluk hidup dari luar (wujud fisiknya), sedangkan yang kedua menyelidiki kehidupannya dari dalam (rohani atau batinnya). Objek materia filsafat adalah sesuatu yang ada dan mungkin ada (Poedjawijatna, 1986: 9). Pada intinya, objek materia filsafat ini, menurut Anshari (1982: 87-88), dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu tentang hakikat Tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia. Objek materia seperti ini juga dimiliki dan mungkin sama dengan objek ilmu lainnya, sedangkan yang membedakan suatu ilmu dengan ilmu yang lain adalah objek formanya saja. Objek forma filsafat adalah sudut pandangnya yang tidak membatasi diri, dan hendak mencari keterangan sampai sedalamdalamnya atau sampai kepada hakikat sesuatu. Jadi, benarlah jika dikatakan, bahwa filsafat adalah ilmu tanpa batas. Dalam bahasa lain, filsafat dikenal dengan sebutan philosophy (Inggris), philosophie (Perancis dan Belanda), filosofie, wijsbegeerte (Belanda), philosophia (Latin). Kata “filsafat” ini diambil dari bahasa Arab, yaitu “falsafah”. Secara etimologis, filsafat atau falsafah itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu philos atau fib yang artinya cinta (dalam arti seluas-luasnya), dan sophia atau sofia yang artinya kebijaksanaan. Jadi dari sudut asal-usul katanya, filsafat dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan. Uraian tersebut sebenarnya tidak memadai untuk memahami apa yang dimaksud dengan filsafat. Paling tidak, bagaimana definisi tentang filsafat belum dapat diberikan secara memuaskan. Gerard Beekman (1984: 14) mengatakan, bahwa pertanyaan tentang apakah filsafat itu, sama tuanya dengan filsafat itu sendiri. Pertanyaan ini masih tetap di-
5
ajukan dan telah dijawab dengan cara-cara yang sangat berlainan. Beekman kemudian memberikan beberapa definisi dari para ahli, yang satu sama lain berbeda, bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Kiranya terlalu berpanjang lebar untuk menyebutkan definisi tersebut satu demi satu. Untuk itu, sebagai tahap awal memasuki dunia filsafat, pengertian yang diberikan oleh Harry Hamersma di atas dapatlah dipegang sebagai definisi sementara tentang apa yang dimaksud dengan filsafat. Apabila batasan itu ingin lebih dilengkapi, batasan filsafat menjadi sebagai be-rikut: filsafat (dalam arti ilmu) adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan (menyeluruh dan universal), dan kemudian (dalam arti pandangan hidup) adalah petunjuk arah kegiatan (aktivitas) manusia dalam segala bidang kehidupannya. Jika ditelaah lebih mendalam, filsafat dengan demikian memiliki paling tidak tiga sifat yang pokok, yaitu: (1) menyeluruh; (2) mendasar; dan (3) spekulatif (Suriasumantri, 1985: 20-22). Sifat menyeluruh mengandung arti, bahwa cara berpikir filsafat tidaklah sempit (fragmentaris atau sektoral), tetapi selalu melihat persoalan dari tiap sudut yang ada. Tiap sudut itu dianalisis secara mendalam, sampai ke akar-akarnya. Inilah yang dimaksud dengan sifat kedua, yaitu mendasar atau radikal. Untuk dapat menganalisis suatu persoalan secara mendasar itu memang tidak mudah,
mengingat
pertanyaan-pertanyaan
yang
dibahas
adalah
pertanyaan-pertanyaan yang berada di luar jangkauan “ilmu biasa”; Dalam hal ini, filsafat menggunakan ciri ketiga, yaitu spekulatif. Tentu saja langkah-langkah spekulatif tidak boleh sembarangan, tetapi hams memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ciri lain yang juga penting untuk ditambahkan adalah sifat: refleksif kritis dari filsafat. Refleksi berarti pengendapan dari apa yang dipikirkan secara berulang-ulang dan mendalam (kontemplasi). Pengendapan itu dilakukan untuk memperoleh pengetahuan atau jawaban atas pertanyaan yang lebih jauh lagi, dan ini dilakukan secara terus menerus. Kritis berarti
6
analisis yang dibuat oleh filsafat tidak berhenti pada fakta saja, melainkan analisis nilai. Jika hanya fakta yang dianalisis, berarti subjek (manusia) tersebut baru melakukan observasi, dan hasilnya adalah gejala-gejala semata. Pada analisis nilai, hasilnya bukan lagi gejala-gejala, tetapi hakikat. B. ISTILAH FILSAFAT DAN FILSAFAT HUKUM Sebagaimana pertanyaan tentang hukum selalu dimulai dengan apakah “hukum” itu, demikian juga dengan istilah filsafat hukum, kita akan memulainya dengan perbincangan apakah filsafat hukum itu? Namun demikian sebelum sampai kepada persoalan ini, mari kita terlebih dahulu membicarakan istilah filsafat. Hal ini sangat penting mengingat berbicara filsafat adalah genus dari filsafat hukum itu sendiri. Oleh karena itu tidak mungkin membicarakan filsafat hukum dengan meninggalkan peristilahan filsafat itu sendiri, untuk itu kita akan mulai membahas tentang filsafat. Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan memiliki pengertian yang cukup luas, misalnya saja apa yang oleh Plato dijelaskan sebagai “ilmu/ajaran tentang kesunyataan abadi (Soejono Koesoemo Sisworo, 1988:2), atau sebagaimana dijelaskan oleh Aristoteles sebagai ilmu/ ajaran tentang kebenaran, dengan demikian meliputi metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (Soejono Koesoemo Sisworo, Ibid), yang ruang lingkupnya paling tidak meliputi empat hal yaitu: a. Apa yang dapat kita ketahui? b. Apa yang harus kita perbuat? c. Apa yang dapat kita harapkan?, dan d. Apa manusia itu? Filsafat dalam lintasan sejarahnya, selalu membahas problema sehari-hari, atau situasi manusiawi, dan dalam dasawarsa terakhir perkembangan filsafat Barat telah mencurahkan perhatiannya kepada sejarah filsafat atau pembahasan tentang istilah dan bahasa yang dipakai untuk memaparkan pikiran-pikiran. Pada tahap ini, dirasakan bahwa filsafat menjadi sangat berat dan semakin menjauh dari realitas kehidupan
7
sehari-hari, filsafat menjadi pokok bahasan yang sulit untuk dipahami, karena telah memalingkan dirinya dari realitas kehidupan yang nyata, hal ini pernah dikemukakan oleh Harold F. Titus (1984: 5), dengan beberapa pertanyaan fundamental; Apakah yang telah terjadi pada filsafat? Yang telah memalingkan dirinya dari kehidupan pokok? Mengapa disiplin fundamental ini telah menjadi jauh dari perhatian manusia dan masyarakat? Dan mengapa para ahli filsafat itu sendiri telah merasa puas menerima kedudukan itu? Ada dua kemungkinan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama, bahwa kegagalan filsafat modern dapat ditafsirkan oleh karena terlalu memperhatikan “alat” yang dipakai untuk memecahkan persoalan. Pada akhir abad ke-20, ahli filsafat lebih suka memperhatikan analisis serta penjelasan dari pendapat-pendapat sains, sejarah atau paham orang awam. Dalam pengertian ini filsafat tidak dapat memberikan pengertian baru. la hanya menjelaskan hal-hal yang telah kita ketahui. Kedua Ciri khas dari eksistensi (keberadaan para filsuf/ahli filsafat), saat ini mereka lebih sebagai anggota dari jurusan filsafat dalam sekolah tinggi atau jurusan tertentu di Universitas. Sebagai guru profesional yang membingungkan, dan akhirnya timbul persepsi bahwa filsafat hanya membuat ide-ide rumit menjadi sederhana. Sehingga ahli filsafat saat ini menjelma menjadi seorang profesional seperti dokter, pengacara atau pemain tenis, yaitu seseorang yang memperoleh gaji spesiais dalam bidang ide. Hal ini dikritik oleh Barret (1962: 5) dengan mengatakan bahwa “pekerjaan (profesi) filsafat tidak selalu mempunyai arti yang sempit dan spesial seperti sekarang. Pada zaman Yunani, karena keadaannya adalah sebaliknya. Yang ada bukan disiplin teoretis spesial yang dinamakan filsafat, akan tetapi sesuatu cara hidup yang konkrit (a concrete way of life), suatu pandangan total tentang manusia dan alam yang menyinari seluruh kehidupan seseorang.” Apakah filsafat itu? Kata filosofi diambil dari perkataan Yunani yaitu Philos (suka, cinta) dan Sophia (kebijaksanaan). Jadi kata itu berarti cinta
8
kepada kebijaksanaan. Suatu definisi filsafat dapat diberikan dari berbagai pandangan, dalam tulisan ini akan disajikan paling tidak lima pandangan atau lima definisi untuk memberikan keluasan pemahaman tentang filsafat. Pertama, filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Kedua, filsafat adalah proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi. Ketiga, filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan yang dibedakan dari filsafat kritik. Keempat, filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Kelima, filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung yang mendapat perhatian dari manusia yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat. Uraian di atas sekalipun tidak begitu rinci menjelaskan tentang filsafat, namun sebagai sebuah gambaran kita dapat melihat bahwa pengertian filsafat begitu luas dan digunakan oleh banyak orang untuk menjelaskan berbagai persoalan yang ada saat ini. Adapun istilah filsafat yang dikenal, yang ada kaitannya dengan filsafat hukum antara lain: legal philosophy, philosophy of law, legal theory, jurisprudence, rechts filosofie dan lain sebagainya. Istilah-istilah tersebut
dikemukakan
oleh
Gustav
Radbruch,
Roscoe
Pound,
Friedman, Paton, dan Bellefroid. Pengertian filsafat hukum pun ada berbagai pendapat, yaitu: merupakan ilmu, bagian dari filsafat yang objeknya hukum, menyangkut hati nurani, merupakan filsafat terapan dan praktis, merupakan filsafat teoretis, merupakan filsafat khusus yaitu hukum, merupakan sub spesies dari filsafat etika dan lain sebagainya. Pengertian
ini
dikemukakan
oleh
Aristoteles,
Plato,
Mochtar
Kusumaatmadja, Gustav Radbruch, para ahli dari dunia Anglo Saxon, para
ahli
dari
dunia
Eropa
Continental,
Bender,
Zevenbergen.
Permasalahan filsafat hukum di antaranya meliputi:
9
1. Masalah tujuan hukum, mengapa orang menaati hukum, mengapa negara berhak menghukum, hubungan hukum dengan kekuasaan, masalah pembinaan hukum. 2. Masalah hakikat hukum, yang didukung oleh teori-teori: Imperatif (asal mula hukum), Indikatif (kenyataan-kenyataan sosial yang mendalam), Optatif (tujuan hukum, keadilan). 3. Masalah konsepsi-konsepsi tentang hukum yang dikemukakan oleh para pendukung aliran-aliran dalam filsafat hukum, mulai dari aliran Hukum Alam, aliran Positivisme Hukum, Mazhab Sejarah, aliran Sociological Jurisprudence, aliran Pragmatic Legal Realism, Marxis Jurisprudence, Mazhab Unpad, Anthropological Jurisprudence. C. PEMBIDANGAN FILSAFAT DAN LETAK FILSAFAT HUKUM Untuk mencari kaitan antara filsafat dan filsafat hukum, pertama-tama perlu dilakukan pembidangan filsafat tersebut. Mengingat luasnya bidang filsafat itu, masing-masing ahli memberikan pembidangan sesuai dengan sudut pan-dang sendiri-sendiri pula. Ada kecenderungan bahwa bidang-bidang filsafat itu semakin bertambah. Sekalipun demikian, seringkali bidang-bidang telaah yang dimaksud belum memiliki kerangka analisis yang lengkap, sehingga belum dapat disebut sebagai cabang. Dalam hal demikian, bidang-bidang demikian lebih tepat disebut sebagai masalah-masalah filsafat atau tematema filsafat. D. Runes dalam The Dictionary of Philosophy (1963) membagi filsafat dalam tiga cabang utama, yaitu: (1) ontologi; (2) epistemologi; dan (3) aksiologi. Ontologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang keberadaan sesuatu. Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang asal, syarat, susunan, metode, dan validitas pengetahuan. Aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang hakikat nilai, kriteria, dan kedudukan metafisis (keberadaan) suatu nilai. Pada dasarnya semua cabang filsafat dapat dikembalikan kepada tiga cabang
10
di atas. Misalnya, metafisika dapat dimasukkan dalam ontologi. Kemudian dalam epistemologi, dapat dimasukkan antara lain logika, metodologi, dan filsafat ilmu. Selanjutnya, pada aksiologi terdapat cabang etika dan estetika. Poedjawijatna (1986: 11-17) membagi filsafat, menurut objeknya dalam enam bagian, yaitu: (1) filsafat ada umum (ontologia atau metafisika generalis);
(2)
filsafat
ada
mutlak
(theodicea);
(3)
filsafat
alam
(kosmologia); (4) filsafat manusia (antropologia); (5) filsafat tingkah laku (etika); dan (6) filsafat budi (logika). Sebuah
ensiklopedi
yang
sangat
terkenal,
yaitu
Eerste
Nederlandse Systematisch Ingerichte Encyclopaedic (ENSIE) Jilid I membagi filsafat dalam sembilan bagian, yaitu: (1) metafisika; (2) logika; (3) filsafat mengenal (kenleer); (4) filsafat ilmu (wetenschapsleer); (5) filsafat alam; (6) filsafat kebudaya-an dan sejarah; (7) etika; (8) estetika; dan (9) filsafat manusia (de Vos, 1956). Harry Hamersma (1990: 14) membagi filsafat dalam se-puluh bidang, yaitu: (1) epistemologi; (2) logika; (3) kritik ilmu-ilmu; (4) metafisika umum atau ontologi; (5) teologi metafisik; (6) antropologi; (7) kosmologi; (8) etika; (9) estetika; dan (10) sejarah filsafat. Jujun S. Suriasumantri (1985: 32-33) menyatakan, bahwa cabangcabang filsafat yang sekarang dikenal sebagai bidang yang mempunyai kajian formal pada pokoknya terdiri dari sebelas bidang, yaitu: (1) epistemologi (filsafat pengetahuan); (2) etika (filsafat moral); (3) estetika (filsafat seni); (4) metafisika; (5) politik (filsafat pemerintahan); (6) filsafat agama; (7) filsafat ilmu; (8) filsafat pendidikan; (9) filsafat hukum; (10) filsafat sejarah; dan (11) filsafat matematika. Pembagian yang lebih rinci diberikan oleh Louis O. Kattsoff (1987: 71-84), yang membagi dalam tiga belas bidang, yaitu: (1) logika; (2) metodologi; (3) metafisika; (4) ontologi; (5) kosmologi; (6) epistemologi; (7) biologi kefilsafatan; (8) psikologi kefilsafatan; (9) antropologi kefilsafatan;
11
(10) sosiologi kefilsafatan; (11) etika; (12) estetika; dan (13) filsafat agama. Pembidangan tersebut sekali lagi menunjukkan betapa luasnya objek pembicaraan filsafat, yang juga memerlukan uraian yang panjang lebar untuk membahasnya. Secara singkat, gambaran tentang masingmasing bidang itu menurut pembagian yang dilakukan Kattsoff adalah sebagai berikut: 1. logika, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang tata cara penarikan kesimpulan yang benar; 2. metodologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang teknikteknik penelitian atau penyelidikan; 3. metafisika, yaitu cabang filsafat yang membicarakan hakikat segala sesuatu yang ada (dan mungkin ada). 4. ontologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang asas-asas rasional dari kenyataan (yang ada); 5. kosmologi,
yaitu
cabang
filsafat
yang
membicarakan
tentang
bagaimanakah keadaannya sehingga ada asas-asas rasional dari kenyataan yang teratur itu; 6. epistemologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang asal mula, susunan, metode-metode, dan sah-nya pengetahuan; 7. biologi kefilsafatan, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat hidup; 8. psikologi kefilsafatan, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang jiwa; 9. antropologi kefilsafatan, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat manusia; 10. sosiologi kefilsafatan, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat masyarakat dan negara; 11. etika, yaitu cabang filsafat tentang apa yang baik dan buruk dari perilaku manusia; 12. estetika, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang keindahan;
12
13. filsafat agama, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat keagamaan. Dari konstelasi bidang-bidang filsafat itu, masih tersisa pertanyaan yang belum terjawab, yaitu: di mana letak filsafat hukum? Apakah filsafat hukum itu adalah bagian dari filsafat atau bagian dari ilmu hukum? Kita mengetahui bahwa hukum berkaitan erat dengan norma-norma untuk
mengatur
perilaku manusia. Dengan
demikian, kita
dapat
menyimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia, yang disebut etika atau filsafat tingkah laku. Jadi tepatlah apabila dikatakan, bahwa filsafat manusia berkedudukan sebagai genus, etika sebagai species, dan filsafat hukum sebagai subspecies. Apabila pembidangan filsafat (menurut objek materianya) yang dijadikan sebagai dasar (Poedjawijatna, 1986: 17), letak filsafat hukum akan tampak seperti skema berikut. Di sini objek materia filsafat yang dapat dibedakan hanyalah yang “ada” karena sesuatu yang “mungkin ada” sulit untuk di-berikan pembedaannya. UMUM ADA MUTLAK
ADA ADA KHUSUS
ALAM ADA TIDAK MUTLAK
Antropologia MANUSIA
Etika
Filsafat Hukum
Logika
D. GAMBARAN FILSAFAT HUKUM Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi, objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat. Pertanyaan tentang “apa (hakikat) hukum itu” sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat
13
dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldoorn (1985: 439-440), hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang se-pihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum se-bagaimana dapat diamati oleh pancaindera manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu, pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum tersebut, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma (kaidah) hukum, tidak termasuk dunia kenyataan (Sein), tetapi berada pada dunia nilai (Sollen dan mogeri), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum. Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Sampai saat ini, menurut Apeldoorn sebagaimana dikutipnya dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum (Noch suchen die juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht). Definisi (batasan) tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, bergantung dari sudut mana mereka melihatnya. Ahli hukum Belanda J. van Kan (1983: 13), mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa,
yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam
masyarakat. Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf von Ihering, yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini didukung oleh ahli hukum Indonesia Wirjono Prodjodikoro (1992:9), yang menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ia-lah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat itu. Selanjutnya, O. Notohamidjojo (1975;21) berpendapat, bahwa hukum adalah keseluruhan per-aturan yang tertulis dan tidak tertulis yang
14
biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antarnegara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat. Definisi-definisi tersebut menunjukkan betapa luas sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1986: 2-4) dengan menyebutkan sembilan arti hukum. Menurut mereka, hukum dapat diartikan sebagai: (1) ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; (2) disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi; (3) norma, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan; (4) tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat normanorma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; (5) petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (lawenforcement officer); (6) keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi; (7) proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsurunsur pokok dari sistem kenegaraan; (8) sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang “teratur”, yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian; dan (9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Dengan demikian, apabila kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus dapat merumuskan suatu kalimat yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum itu. Suatu pekerjaan yang sangat tidak mudah! Walaupun hukum dapat didefinisikan menurut sekian banyak pengertian, tetapi secara umum hukum dipandang sebagai norma, yakni norma yang mengandung nilai-nilai tertentu. Jika kita batasi hukum dalam pengertian sebagai norma, tidak lalu berarti hukum identik dengan norma. Norma adalah pedoman manusia dalam bertingkah laku. Dengan
15
demikian, norma hukum hanyalah salah satu saja dari sekian banyak pedoman tingkah laku itu. Diluar norma hukum, terdapat norma-norma lainnya. Purbacaraka dan Soekanto (1989: 21 et seq.) menyebutkan ada empat norma, yaitu norma: (1) kepercayaan; (2) kesusilaan; (3) sopan santun; dan (4) hukum. Tiga norma yang disebutkan di muka dalam kenyataannya belum dapat memberikan perlindungan yang memuaskan, sehingga diperlukan norma keempat, yaitu norma hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo (1991: 1011), penyebabnya adalah: (1) masih banyak kepentingan-kepentingan lain manusia yang memerlukan perlindungan, tetapi belum
mendapat
perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut; (2) kepentingankepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut belum cukup terlindungi, karena dalam hal terjadi pelanggaran, reaksi atau sanksinya dirasakan belum cukup memuaskan. Sebagai contoh, norma kepercayaan tidak memberikan sanksi yang dapat dirasakan secara langsung di dunia ini. Demikian pula kalau norma kesusilaan
dilanggar,
hanya
akan
menimbulkan rasa
malu
atau
penyesalan bagi pelakunya, tetapi dengan tidak ditangkap dan diadilinya pelaku tersebut, masyarakat mungkin akan merasa tidak aman. Perlindungan yang diberikan oleh norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain, tidak lain karena pelaksanaan norma hukum itu dapat dipaksakan. Apabila tidak dilaksanakan, pada prinsipnya akan dikenakan sanksi oleh penguasa. Di sini terlihat betapa erat hubungan antara hukum dan kekuasaan itu. Kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa itupun terbatas sifatnya, sehingga norma hukum yang ingin ditegakkannya pun memiliki daya jangkau yang terbatas. Kendati demikian, bukan tidak mungkin terdapat norma-norma hukum yang berlaku universal dan abadi (tidak dibatasi oleh ruang dan waktu), yang oleh sebagian ahli hukum disebut dengan hukum kodrat atau hukum alam. Dari sini timbul hubung-an yang erat antara hukum kodrat dan hukum positif.
16
Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkisar pada apa-apa yang diuraikan di atas, seperti hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dan hukum positif, apa sebab orang menaati hukum, apa tujuan hukum, sampai kepada, masalah-masa-lah filsafat hukum yang ramai dibicarakan saat ini (oleh sebagian orang disebut masalah filsafat hukum kontemporer, suatu istilah yang kurang tepat, mengingat sejak dulu masalah tersebut juga telah diperbincangkan), seperti masalah hak asasi manusia, dan etika profesi hukum. Tentu saja tidak semua masalah atau pertanyaan itu akan dijawab dalam perkuliahan filsafat hukum. Sebagaimana telah disinggung di muka, filsafat hukum memprioritaskan pembahasannya pada pertanyaan-pertanyaan yang dipandang pokok-pokok saja. Apeldoorn (1985: 441 et seq.) misalnya, menyebutkan tiga pertanyaan penting yang dibahas oleh filsafat hukum, yaitu: (1) adakah pengertian hukum yang berlaku umum; (2) apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum; dan (3) adakah sesuatu hukum kodrat. Lili Rasjidi (1990: 8-9) menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat hukum antara lain: (1) hubungan hukum dengan kekuasaan; (2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya; (3) apa sebab negara berhak menghukum seseorang; (4) apa sebab orang menaati hukum; (5) masalah pertanggung-jawaban; (6) masalah hak milik; (7) masalah kontrak; dan (8) masalah peranan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat. Jika kita bandingkan antara apa yang dikemukakan oleh Apeldoorn dan Lili Rasjidi tersebut, tampak bahwa masalah-masalah yang dianggap penting dalam pembahasan filsafat hukum terus bertambah. Hal ini sesungguhnya tidak terlepas dari semakin banyaknya para ahli hukum yang menekuni filsafat hukum. Pada jaman dulu, filsafat hukum hanyalah produk sampingan di antara sekian banyak objek penyelidikan para filsuf. Pada masa sekarang, filsafat hukum sudah menjadi produk utama yang dibahas sendiri oleh para ahli hukum.
17
Sebagai catatan tambahan, dalam banyak tulisan, filsafat hukum sering diidentikkan dengan jurisprudence yang diajarkan terutama di fakultas-fakultas hukum di Amerika Serikat Istilah jurisprudence (bahasa Inggris) atau jurisprudent (bahasa Jerman) sudah digunakan dalam Codex Iuris Civilisdi jaman Romawi. Istilah ini dipopulerkan terutama oleh penganut aliran Positivisme Hukum. Kata jurisprudence harus dibedakan dengan kata yurisprudensi sebagaimana dikenal dalam sistem hukum Indonesia dan Eropa Kontinental pada umumnya, di mana istilah yurisprudensi lebih menunjuk pada putusan hakim yang diikuti oleh hakim-hakim lain. Huijbers (1988: 129) mengatakan, “... di Inggris jurisprudence berarti: ajaran atau ilmu hukum. Maka nampaklah, bahwa penganut-penganut positivisme yuridis tidak mau bicara mengenai suatu filsafat hukum. Oleh mereka kata yurisprudensi [sic!] dianggap lebih tepat, yakni suatu kepandaian dan kecakapan yang tinggal dalam batas ilmu hukum.” Agar tidak membingungkan, sebaiknya istilah jurisprudence tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (seperti yang dilakukan Huijbers di atas, menjadi yurisprudensi ), tetapi tetap dipertahankan dalam ejaan aslinya. Hal ini juga berlaku untuk penyebutan aliran filsafat hukum Sociological Jurisprudence, yang akan dibahas lebih lanjut pada Bab IV. Menurut Richard A. Posner (1994: xi), yang dimaksud dengan jurisprudence adalah, “... the most fundamental, general, and theoretical plain of analysis of the social phenomenon called law. For the most part it deals with problems, and uses perspectives, remote from daily concerns of legal practitioners;. problems that cannot be solved by reference to or by reasoning from conventional legal materials; perspectives that cannot be reduced to legal doctrines or to legal reasoning. Many of the problems of jurisprudence cross doctrinal, temporal, and national boundaries.” Lalu filsafat, diartikannya dengan “... the name we give to the analysis
of fundamental
questions; thus the traditional
definition
jurisprudence as the philosophy of law, or as the application of philosophy
18
of law, is prima facie appropriate.” Jadi Posner sendiri tidak membedakan pengertian dari dua istilah itu, sekalipun banyak juga para ahli hukum yang mencoba mencari distingsi dari keduanya. Hanya saja, sebagaimana dikatakan oleh Lili Rasjidi (1988: 23), sekalipun ada perbedaan antara keduanya, tetap sukar untuk mencari batas-batasnya yang tegas.
19
E. MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT HUKUM Bagi sebagian besar mahasiswa, pertanyaan yang cukup sering dilontarkan adalah: apakah manfaatnya mempelajari filsafat hukum itu? Apakah tidak cukup mahasiswa di-bekali dengan ilmu hukum saja? Seperti telah disinggung di muka, filsafat (termasuk dalam hal ini filsafat hukum) memiliki tiga sifat yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh. Dengan cara berpikir holistik tersebut, mahasiswa atau siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat, dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya, dalam filsafat hukum pun diajarkan berbagai aliran pemikiran tentang hukum. Dengan demikian, apabila mahasiswa tersebut telah lulus sebagai sarjana hukum, umpamanya, di-harapkan ia tidak akan bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lainnya. Ciri yang lain, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar. Artinya, dalam menganalisis suatu masalah, kita diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Mereka yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif semata. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif semata, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila ia menjadi hakim, misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim “corong undang-undang” belaka. Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling. Sebagaimana dinyatakan oleh Suiiasiimantri (1985: 22), bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal baru. Tentu saja, tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang
20
terarah, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif (dalam arti positif) itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama. Ciri lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalahmasalah hukum secara ra-sional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus-menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekadar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada di balik gejala-gejala itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah konkret. Sebagai bagian dari filsafat tingkah laku, mata kuliah Filsafat Hukum (berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0325/U/1994 tentang Kurikulum yang Berlaku Secara Nasional Program Sarjana Ilmu Hukum) juga memuat materi tentang etika profesi hukum. Dengan mempelajari etika profesi tersebut, diharapkan para calon sarjana hukum dapat menjadi pengemban amanat luhur profesinya. Sejak dini mereka diajak untuk memahami nilai-nilai luhur profesi tersebut dan memupuk terus idealisme mereka, sekalipun disadari bahwa dalam kenyataannya, mungkin saja nilai-nilai itu telah mengalami penipisanpenipisan. Seperti yang diungkapkan oleh Radhakrishnan dalam bukunya The History of Philosophy, manfaat mempelajari filsafat (tentu saja termasuk mempelajari filsafat hukum) bukanlah sekadar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusiamanusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras, dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya
21
sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya (Poerwantana et al, 1988: 8). F. ILMU-ILMU LAIN YANG BEROBJEK HUKUM Setelah memahami filsafat hukum dengan berbagai sifatnya, perlu juga diketahui keterkaitan antara filsafat hukum ini dengan ilmu-ilmu lain yang juga berobjek hukum. Suatu pembidangan yang agak lengkap tentang ilmu-ilmu yang objekhya hukum diberikan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1989: 9 et secj.). Kedua penulis tersebut memberikan pembidangan sebagai berikut:
Politik Hukum DISIPLIN HUKUM
Filsafat Hukum
Ilmu tentang norma
Ilmu Hukum
Ilmu tentang pengertian hukum Ilmu tentang kenyataan hukum
Sejarah Hukum Sosiologi Hukum Psikologi Hukum Perbandingan Hukum Antropologi Hukum
Istilah “disiplin hukum” sendiri sebenarnya dialihbahasakan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dari kata legal theory, sebagaimana dimaksudkan oleh W. Friedmann. Hal ini juga tampak dalam terjemahan karya Friedmann oleh Purnadi Purbacaraka dan Chidir Ali (1986: vii) yang diberi kata sambutan oleh Soerjono Soekanto. Penerjemahan legal theory dengan “disiplin hukum” di sini mungkin akan membingungkan, mengingat untuk istilah yang sama oleh penerjemah lain (Mohammad Arifin: 1990) digunakan istilah “teori hukum”. Disiplin hukum, oleh Purbacaraka, Soekanto, dan Chidir Ali, diartikan sama dengan teori hukum dalam arti luas, yang mencakup politik hukum, filsafat hukum, dan teori hukum dalam arti sempit. Teori hukum dalam arti sempit inilah yang disebut dengan ilmu hukum.
22
Ilmu
hukum
dibedakan
(Normwissenschaft),
ilmu
menjadi tentang
ilmu
tentang
pengertian
norma hukum
(Kamphuysen/Begriffenwissenschaft), dan ilmu tentang kenyataan hukum (Tatsachenwissenschaft). Ilmu tentang norma antara lain membahas tentang perumusan norma hukum, apa yang dimaksud norma hukum abstrak dan konkret itu, isi dan sifat norma hukum, esensialia norma hukum, tugas dan kegunaan norma hukum, pernyataan dan tanda pernyataan norma hukum, penyimpangan terhadap norma hukum, dan keberlakuan norma hukum. Selanjutnya, ilmu tentang pengertian hukum antara lain membahas tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat hukum, subjek hukum, objek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, dan hubungan hukum. Kedua jenis ilmu ini disebut dengan ilmu tentang dogmatik hukum. Ciri dogmatik hukum tersebut adalah tooretis rasional dengan menggunakan logika deduktif. Ilmu tentang kenyataan hukum antara lain meliputi sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Sosiologi hukum mempelajari secara empiris dan analitis hubungan timbal '' balik antara hukum sebagai gejala dengan gejala-gejala sosial lainnya. Antropologi hukum mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya, baik pada masyarakat sederhana maupun masyarakat yang
sedang
mengalami
proses!
modernisasi.
Psikologi
hukum
mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan perkembangan jiwa manusia. Perbandingan hukum adalah cabang ilmu (hukum) yang memperbandingkan sistem-sistem hukum yang berlaku di dalam satu atau beberapa
masyarakat.
Sejarah
hukum
mempelajari
tentang
perkembangan dan asal usul dari sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu (Purbacaraka & Soekanto, 1989: 10-11). Berbeda dengan ilmu tentang norma dan ilmu tentang pengertian hukum, ciri ilmu tentang kenyataan hukum ini adalah teoretis empiris dengan menggunakan logika induktif.
23
Politik hukum mencakup kegiatan-kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai. Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai; kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyerasian antara ketertiban dan ketenteraman, antara kebendaaan kelanggengan
(materialisme) nilai-nilai
dan
lama
keakhlakan
(idealisme),
(konservatisme)
dan
antara
pembaruan
(Purbacaraka & Soekanto, 1989: 11). Dapat pula ditambahkan, bahwa politik hukum selalu berbicara tentang hukum yang dicita-citakan (ius constituendum), dan berupaya menjadikannya sebagai hukum positif (ius constitutum) pada suatu masa mendatang. Dari pembidangan yang diuraikan di atas, tampak bahwa filsafat hukum tidak dimasukkan sebagai cabang dari ilmu hukum, tetapi sebagai bagian dari teori hukum (legal theory) atau disiplin hukum. Teori hukum dengan demikian tidak sama dengan filsafat hukum karena yang satu mencakupi yang lainnya. Satjipto Rahardjo (1986: 224-225) menyatakan, teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita mengkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas. Teori hukum memang berbicara tentang banyak hal, yang dapat masuk ke dalam lapangan politik hukum, filsafat hukum, atau ilmu hukum, atau kombinasi dari ketiga bidang itu. Karena itulah, teori hukum dapat saja pada satu ketika membicarakan sesuatu yang bersifat universal, tetapi tidak tertutup kemungkinan ia berbicara mengenai hal-hal yang sangat khas menurut tempat dan waktu tertentu. Uraian tentang filsafat hukum dan teori hukum di atas kiranya akan berguna dalam rangka menjelaskan kelak mengenai apa dan di mana letak filsafat hukum dan teori hukum Indonesia.
24
BAB II PERSOALAN MENDASAR FILSAFAT HUKUM Adanya istilah legal philosophy, mengundang komentar antara lain dari Mochtar Kusumaatmadja. Beliau mengatakan bahwa legal philosophy tidak sama dengan filsafat hukum. Istilah filsafat hukum sebaiknya kalau diterjemahkan ke dalam bahasa asing yakni: philosophy of law atau Rechts fiosofie. Selanjutnya, istilah legal dan legal philosophy sama dengan
undang-undang
atau
resmi,
jadi
kurang
tepat
sebagai
pengertian/peristilahan yang sama dengan filsafat hukum. Hukum bukan hanya undang-undang, dan hukum bukan hal-hal yang sama dengan resmi belaka. Pengertian filsafat hukum sangat beragam, dapat disebutkan di antaranya adalah: a. Filsafat hukum merupakan ilmu. Hal ini dikemukakan oleh para filosof seperti Plato dan Aristoteles. Ilmu di sini diartikan sebagai kegiatan berpikir; b. Filsafat
hukum
sebagaimana
berkaitan dijelaskan
dengan oleh
persoalan
Gustav
nurani
Radbruch.
manusia Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan bahwa filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat yang objeknya khusus hukum. Memang kalau kita hubungkan dengan skema filsafat yang dikemukakan Aristoteles, bahwa filsafat memiliki bagian-bagian sebagai berikut: 1) logika; 2) teoretis
(kosmologi),
yang meliputi: ilmu pengetahuan alam,
matematika, metafisika; 3) Praktis (etika), yang diatur: norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, norma hukum; dan juga bisa diartikan yang ada hubungannnya dengan norma politik dan norma ekonomi. 4) Poetika (aestetika), yang meliputi kesenian, keindahan (pemandangan, lukisan).
25
Jadi filsafat hukum kalau dikaitkan dengan pendapat Aristotetes tersebut merupakan bagian dan filsafat etika. Etika sendiri adalah tingkah laku manusia yang baik atau yang buruk. Yang erat hubungannya dengan (filsafat) hukum dan skema filsafat tersebut di atas adalah (filsafat) logika dan etika. Logika, mengenal pengertianpengertian hukum, sedangkan etika adalah tingkah laku manusia yang diatur oleh norma hukum. c. Filsafat hukum merupakan filsafat khusus, hal ini dikemukakan oleh Zevenbergen. Kalau kita analisa, ada juga yang khusus yang lainnya seperti filsafat agama, kesopanan dan kesusilaan. d. Filsafat hukum merupakan filsafat terapan, hal ini dikatakan oleh Zoachim Friedrich. Bila kita analisa artinya, bahwa filsafat hukum dapat diterapkan di dalam masyarakat dengan cara menyusun teori hukumnya. Seperti kita ketahui teori hukum itu sendiri menyangkut dasar-dasar bagaimana menyusun hukum positif. Kalau kita ambil contoh di Indonesia, filsafat hukum yang ada dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada alinea pertama, kedua dan keempat yang berisi kata-kata: peri keadilan; adil; keadilan sosial, dijabarkan dalam pasal-pasal di dalam Batang Tubuhnya. e. Filsafat hukum merupakan filsafat praktis, hal ini lebih banyak dikemukakan para ahli dari dunia Anglo-Amerika. Dapat kita artikan, bahwa filsafat hukum agar mudah diterapkan harus disusun pula teori hukumnya; atau kalau kita hubungkan dengan pengertian jurisprudence dapat dikatakan sama artinya. Mochtar Kusumaatmadja memberi pengertian pada yurisprudensi yaitu ilmu yang mempelajari pengertian dasar dan sistem daripada hukum secara lebih mendalam. Pengertianpengertian dasar dan sistem hukum tersebut, disebut pula sebagai teori hukum, seperti subjek hukum; hak dan kewajiban; peristiwa hukum; hubungan hukum; dan objek hukum yang dapat kita lihat dalam sistem hukum perdata; pidana; adat; tata negara; internasional; administrasi negara. Sedangkan pengertian secara lebih mendalam
adalah
26
menyangkut filsafat hukumnya, sebagai contoh Undang-Undang Dasar 1945, filsafat hukum ada pada Pembukaan, teori hukumnya terdapat pada
Batang
Tubuhnya.
Begitu
pula
undang-undang
sebagai
pelaksanaan Undang-undang Dasar disebut pula sebagai undangundang organiknya, filsafat hukumnya terdapat di dalam konsiderans undang-undang tersebut yang menunjuk pasal Undang-Undang Dasar berarti pula jiwanya tidak terlepas dan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kalau kita ambil contoh filsafat terapan adalah: peranan hukum sebagai masyarakat yang aslinya Law as a tool of social engineering sebagai konsep Roscoe Pound yang menggambarkan situasi Amerika Serikat, di mana masyarakat Amerika Serikat yang ras discriminated. Hal ini bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat sendiri, antara lain dikatakan bahwa semua warga negara Amerika Serikat “equal before the law” (sama di hadapan hukum). Jadi konsep ini hanya dapat diterapkan di Amerika Serikat saja. Sedangkan filsafat praktis, contohnya: konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat seperti dikemukakan Mochtar di mana hal ini mudah diterapkan di dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan
menuju
modernisasi
(Mochtar
Kusumaatmadja,
“Hukum,
Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional” [Paper]); f. Filsafat hukum merupakan filsafat teoretis. Pandangan ini pada umumnya dikemukakan oleh para ahli yang berasal dari Eropa Kontinental, antara lain dikemukakan oleh Bellefroid. Menurut Bellefroid dalam Inleiding tot de Recht Wettenschap, bahwa ilmu-ilmu hukum meliputi: 1) Recht dogmatiek; 2) Algemeine Recht leer (termasuk di dalamya teori hukum); 3) Recht Sociologie, Recht vergelijking, Recht historie; 4) Recht Politiek; 5) Recht filosofie.
27
Jadi pengertian teoretis di sini, bahwa filsafat hukum dibicarakan tersendiri begitu pula teori hukum (termasuk bagian dan Algemeine Recht leer). Adapun yang menjadi latar belakang mengapa demikian, yakni: di mana masyarakat Eropa pada umumnya bersifat konservatif. Tujuan hukum, hanya ketertiban guna mencapai keadilan; tidak akan terjadi bahwa hukum dapat berperan untuk merubah perilaku konservatif tersebut. Orientasi masyarakat Eropa adalah pada masa keemasannya yang terjadi pada abad yang telah lampau; jadi jika ada perubahan berarti masa keemasan tersebut akan pudar. g. Bender berpendapat bahwa: filsafat adalah genus, filsafat etika adalah spesies, dan filsafat hukum merupakan sub spesiesnya.
A. RUANG LINGKUP FILSAFAT HUKUM Menurut Aristoteles, filsafat meliputi: 1) Logika 2) Filsafat teoritis, yang meliputi: ilmu pengetahuan alam, matematika, metafisika (filsafat kosmologi). 3) Filsafat praktis, yang meliputi: etika, politik, ekonomi. Filsafat hukum, merupakan bagian daripada filsafat etika (yang mengatur tingkah laku manusia tentang hal-hal yang baik dan yang buruk); bagian yang lainnya dari filsafat etika adalah kesopanan, kesusilaan, dan agama. 4) Poetika (aestetika), misalnya: kesenian dan lain sebagainya. Menurut apa yang terdapat dalam encyclopedic, bahwa filsafat meliputi: 1) metafisika; 2) logika; 3) filsafat mengenal; 4) filsafat pengetahuan; 5) filsafat alam; 6) filsafat kebudayaan;
28
7) etika; 8) estetika; 9) filsafat manusia. Filsafat hukum merupakan bagian dari ilmu-ilmu hukum. Hal ini dikemukakan antara lain oleh: Beilefroid, Zevenbergen, Utrecht. Adapun yang menjadi masalah filsafat hukum adalah: 1) Masalah tujuan hukum, yang meliputi ketertiban guna mencapai keadilan (Roscoe Pound), kepastian hukum (aliran Positivisme Hukum),
kedamaian
(keserasian
antara
ketertiban
dengan
ketentraman, Soerjono Soekanto), kebahagiaan (Jeremy Bentharn), hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (Roscoe Pound). 2) Masalah
mengapa
orang
menaati
hukum,
antara
lain
seperti
dikemukakan oleh Demousteneus yakni: karena hukum berasal dari Tuhan, berasal dari kebiasaan orang yang bijaksana, berasal dari kesusilaan, berasal dari persetujuan. 3) Masalah mengapa negara berhak menghukum, antara lain seperti dikemukakan oleh Hans Kelsen (teori kedaulatan negara). 4) Masalah hubungan hukum dengan kekuasaan, seperti dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja (Paper I, 1970) bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. 5) Masalah pembinaan hukum, menurut Mochtar Kusumaatmadja masalah tersebut meliputi kegiatan-kegiatan: a. mempertahankan hukum yang pernah ada yang dianggap masih memadai, contoh diberlakukannya monumen Ordonantie dengan dasar hukum keputusan Presiden. b. memperbaharui/merubah hukum-hukum yang pernah ada yang dianggap masih
bisa
dipergunakan,
contohnya:
UU
tentang
narkotika, UU hak cipta, dan lain sebagainya. 6) Masalah-masalah Hakikat Hukum, dilihat dari (Noto Hamijoyo): 1. Asal mula hukum (teori imperatif), yang didukung oleh teori-teori:
29
a) Teokrasi, berarti asal mula hukum datang dari Tuhan (Thomas Aquinas, Augustinus); b) Kedaulatan hukum, berarti asal mula hukum datang dari kesadaran hukum masyarakat (Hans Krabbe); c) Kedaulatan negara, berarti asal mula hukum datang dari negara (Kelsen, Paul Laband, dan Jellinek). Perbedaan antara Kelsen di satu pihak yang orientasinya normatif di lain pihak Paul Laband dan Jellinek yang orientasinya politis; d) Perjanjian masyarakat, berarti asal mula hukum datang atau karena adanya perjanjian masyarakat (kontrak sosial) seperti dikemukakan Hobbes, John Locke, dan Rousseau. Pendapat Hobbes, antara lain dalam teorinya homo homini lupus bellum omnium contra omnes, lahirlah pactum unionis dan akhirnya pactum subjektionis. Konstruksinya monarkhi absolut. Contoh: Louis XIV di Perancis. John Locke, teorinya dimana dikenal pactum unionis dan pactum subjektionis dan konstruksinya: monarkhi
konsti-tusional.
konstitusinya
(Common
Contoh: law).
kerajaan
Rousseau,
Inggris
dengan
teorinya
hanya
mengenal pactum uni onis. Konstruksinya demokrasi mutlak, Mac Iver menyebut Rousseau adalah nabinya demokrasi. Kalau Indonesia memodifikasinya dengan melalui MPR. Perlu diketahui bahwa yang pertama menggunakan istilah imperatif, adalah Immanuel Kant dengan pendapatnya: Katagoris Imperatif; Dalam hal ini Immanuel Kant dipengaruhi aliran empiris yang dipelopori David Hume. Istilah katagorisnya yang merupakan pencerminan dan arti empiris (sosiologis). Sedangkan imperatif mencerminkan normatif; demikian halnya dengan Hans Kelsen sebagai neo Kantian menganut dualis yaitu das sollen dan das sein, das sollen dilihat dari formalnya (bentuk), das sein dilihat dari materiilnya (isinya yang mencerminkan grund norm).
30
Mochtar pun definisi hukumnya mengandung normatif dan empiris (sosiologis) (lihat Buku Kecil ke-ll/1972, “Pembinaan hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional”). 2. Kenyataan-kenyataan sosial yang mendalam (teori indikatif) yang didukung oleh Carl von Savigny sebagai pelopor mazhab Sejarah, yaitu yang dikenal dengan istilah Volk geist (jiwa bangsa). Pendapat von Savigny ini sebagai reaksi dari pendapat Thibout yang akan memperjuangkan kodifikasi di Jerman karena pengaruh Kodifikasi Yustinianus - Code Napoleon. Jadi pada waktu itu di Jerman terdapat hukum-hukum: Kodifikasi Yustinianus (institutionis - digesta pandec ten - Codex - Novelle); Code Napoleoni Code Civil - Code Penal - Commerce), Jerman pernah dijajah Perancis. Hukum kebiasaan/Germania yang macam-macam dan berlaku sebagai pencerminan jiwa bangsa (volkgeist). Perlu diketahui pendapat sarjana yang berkaitan dengan pendapat von Savigny antara lain seorang Perancis yang bernama Leon Duguit tentang solidaritas sosial. 3. Tujuan hukum dan keadilan (teori optatif) yang didukung oleh Aristoteles, Bentham, Apeldorn, Gustav Radbruch. Menurut Aristoteles, dimana beliau sebagai pendukung teori etis, bahwa tujuan utama hukum adalah keadilan yang meliputi: a. Distributif, yang didasarkan pada prestasi (jasa-jasa). b. Komutatif yang tidak didasarkan pada jasa. c. Vindikatif, bahwa kejahatan harus setimpal dengan hukumnya. d. Kreatif, bahwa harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif (cipta). e. Protektif, seperti contoh hangat (aktuil) adanya Bill Jenkins di AS. f. Legalis, yaitu keadilan yang ingin diciptakan oleh UU. Menurut Jeremy Bentham, sebagai pendukung teori kegunaan, bahwa tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya. Pandangan ini dipengaruhi oleh John
31
Locke dan situasi masyarakat Yunani yang dikenal dengan nama endaemonisme. Kebahagiaan yang dimaksud dapat meliputi individu, juga masyarakat; seperti dikemukakan oleh Halvethius dan Beccaria. Bentham pantas menjadi Bapak hukum Inggris, karena pandangan tersebut di atas mendukung hukum yang berlaku di Inggris yaitu Common law. Apeldorn, sebagai pendukung teori campuran yang meliputi etis (keadilan) dan kegunaan. Jadi tujuan hukum harus tercapai bila hukum itu harus memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi warga masyarakat. Gustav Radbruch berpendapat bahwa tujuan hukum meliputi: keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum. Mengenai keadilan secara khusus dengan melihat masa-masa atau abad dengan mulai masa Yunani, kemudian abad pertengahan, abad ke-15, 16, 17, 18, 19 dan abad ke-20. Pada masa Yunani seperti dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, keadilan merupakan cerminan tertib individu dan menggambarkan keadaan harmonis. Pada masa abad pertengahan, seperti dikemukakan oleh Thomas Aquinas bahwa ada keadilan menurut Tuhan dan keadilan menurut ukuran manusia seperti terlihat dalam lex aeterna, lex divina, lex naturalis, dan lex positive. Pada zaman modern, seperti dicerminkan pada masa Renaissance (hukum dan pribadi); juga masa Aufklaerung (hukum dan rasio); masa abad ke-19 (hukum dan sejarah, hukum dan ilmu pengetahuan). Pada abad ke-20 (hukum dan humanisme hidup, hukum dan keadilan), seperti antara lain dikemukakan oleh Kranenburg bahwa keadilan adalah adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban (teori “ev postulat'), begitu pula seperti dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja bahwa keadilan adalah suatu keadaan yang mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh dan berkombang bersama-sama dengan masyarakat. 7) Masalah-masalah Filsafat Hukum Dilihat dari Konsep-konsep Hukum dan Aliran-aliran Hukum.
32
a. Aliran hukum alam, konsepsinya bahwa hukum berlaku universal dan abadi, para pendukungnya adalah: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Grotius (Hugo de Groot). Plato dan Aristoteles merumuskan tentang keadilan sebagai rekaman dialog antara Socrates dan Kaum Sofi. Kaum Sofi dalilnya: mempertahankan penguasa, bahwa penguasa adalah orang pilihan, dan pada waktu itu pilihan terletak pada faktor darah (darah biru, bangsawan) yang patut menjadi pemimpin/penguasa dikenal dengan nama raja (masa Yunani). Sedangkan dalil Socrates karena melihat adanya tindakan sewenang-wenang dan raja tersebut. Selanjutnya Plato berpendapat, bilamana ada ketidakcocokan antara hukum alam dengan hukum positif, maka yang akan didahulukan adalah hukum alam (disebut sebagai seorang idealis). Sedangkan Aristoteles bila terjadi hal tersebut di atas maka yang akan didahulukan adalah hukum positif (disebut sebagai seorang realis). Thomas Aquinas dikenaj pendapatnya membagi hukum (lex) dalam urutan mulai yang teratas -lex aeterna (hukum abadi), bawahnya lex divina (Hukum Tuhan), kemudian lex naturalis dan lex positive. Urutannya demikian disebabkan adanya pengaruh agama. Sebagai contoh lex aeterna = ten commandemen (10 perintah Tuhan); lex divina yang ada pada Kitab Suci, seperti Al Qur'an dimana dibuat oleh Tuhan (yakni Allah) akan tetapi disertai rasio manusia yaitu di dalam sistimatika Al Qur'an/yang dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW, dimana surat pertama bukan merupakan wahyu pertama, lex naturalis = hukum alam, artinya antara lain mengenai keadilan bahwa di seluruh dunia ada keadilan, hanya ukuran yang berbeda-beda sebagai pengaruh pandangan hidup masing-masing bangsa maupun negara (sistem nilai). Lex positive = hukum yang dibuat manusia bersifat positif sebagai hukum yang berlaku (terbatas waktu berlakunya, yaitu sampai dicabut).
33
Grotius (Hugo de Groot), yang dianggap sebagai Bapak Hukum Internasional, karangannya yang terkenal antara- lain: Belluma Paccis; bellum = hukum perang, Paccis = hukum damai. Mare Liberium = laut bebas, artinya setiap kapal berbendera apapun boleh melalui laut tersebut. Sebagai contoh di Indonesia, yakni di luar batas 200 mil dengan mengukurnya dari pantai dan kepulauan Indonesia, b. Aliran Positivisme Hukum ini konsepnya bahwa hukum merupakan perintah penguasa yang berdaulat (John Austin) dan merupakan kehendak daripada negara (Hans Kelsen). Austin, berasal dari Inggris beranggapan bahwa hukum berisi perintah, kewajiban, kedaulatan, dan sanksi. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama analitical jurisprudence atau teori hukum yang analitis, dikenal ada 2 (dua) bentuk hukum, pertama: positive law (artinya undang-undang), kedua positive morality (artinya hukum kebiasaan). Jadi logika hukum adalah undang-undang, hukum kebiasaan akan diakui bila dikukuhkan menjadi undang-undang oleh pejabat yang berwenang (yaitu badan legislatif). Istilah kedaulatan di sini mencerminkan adanya pengaruh Jean Bodin yang dikenal pandangannya tentang souverignity (kedaulatan) dan pengaruh legisme (yang menganggap satusatunya sumber hukum formil adalah undang-undang). Di samping hal tersebut Austin juga dipengaruhi situasi pada waktu belajar di jerman yang pada waktu itu perjuangan kodifikasi (pembukuan undang-undang yang sejenis) dilakukan Thibout sebagai pengaruh kodifikasi Romawi Justinianus dan Code Napoleon. Sedangkan positive morality, bahwa beliau tidak meninggalkan identitasnya sebagai seorang Inggris yang mengakui sumber hukum Common Law. Hans Kelsen, orang Jerman yang dikenal dengan 4 (empat) penda-patnya, yaitu:
34
1)
Teori hukum yang murni, bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang non yuridis. Pengertian non Yuridis, bahwa tidak ada kaitannya dengan unsur etis, sosiologis, politis, dan filosofis, jadi harus murni yuridis normatif yang bersih dari hal-hal yang menyangkut baik buruk nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, kekuasaan, dan keadilan.
2) Pandangan Kelsen yang kedua yakni tentang rule of law berarti penegakan hukum. Dalam hal mi mengandung arti sebagai berikut: a. hukum itu ditegakkan demi kepastian hukum; b. hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim dalam memutus perkara (terompet undang-undang/22 A.B.); c. hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam pelaksanaannya; d. hukum itu bersifat dogmatik. 3) Pandangan ketiga yakni Stufen bau des Recht, bahwa hukum itu bersifat hierarkis artinya katentuan yang paling bawah tidak boleh
bertentangan
dengan
ketentuan
yang
lebih
atas
derajatnya. Yang paling atas adalah Grundnorm, kemudian bawahnya konstitusi, selanjutnya bawahnya lagi adalah undangundang dan yang paling bawah adalah putusan hakim pengadilan. 4) Pandangan keempat disebut sebagai dualis karena Kelsen menganggap ada dua macam hukum, pertama hukum dalam arti bentuknya (formil disebut juga sebagai das Soiled, yang kedua hukum dalam arti isi/nyatanya (materiil) disebut sebagai das Sein, sebagai pengaruh grundnorm (atau politik hukum). Kelsen disebut pula sebagai pengikut Neo-Kantian. c. Mazhab Sejarah yang lahir di Jerman dan dipelopori oleh Carl von Savigny,
sebagai
reaksi
terhadap
usaha
Thibout
yang
menghendaki adanya kodifikasi di Jerman (sebagai pengaruh
35
adanya kodifikasi Yustinianus dan Code Napoleon, dimana Jerman pernah dijajah oleh Perancis). Konsep hukumnya, bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan
masyarakat.
Konsep
ini
dipengaruhi
oleh
agama
(Supernatural), seperti halnya di Indonesia (pengaruh mazhab Sejarah) dengan berlakunya hukum adat yang ditentukan oleh keseimbangan magis-religius (kosmis). Savigny dianggap sebagai pelopor dalam memperkenalkan sumber hukum formal yakni hukum kebiasaan, yang dicerminkan dalam volkgeist (jiwa bangsa Germania yang ternyata bermacammacam). d. Aliran Sociological Jurisprudence, yang dipelopori oleh Eugen Ehrlich (asal Jerman), akan tetapi ternyata berkembang di Amerika Serikat (Roscoe Pound). Konsep hukumnya, bahwa hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berarti bahwa aliran ini mengakui sumber hukum formal baik undang-undang maupun bukan undang-undang asal sesuai dengan living law. Selanjutnya aliran ini dipengaruhi oleh aliran positif-sosiologis dan August Comte yang orientasinya sosiologis. e. Aliran Pragmatic Legal Realism, yang lahir di Amerika Serikat dengan pelopornya Roscoe Pound. Pengertian “pragmatic” di sini adalah berguna sesuai dengan kebutuhan masyarakat (kulit berwarna/hitam terhadap sikap ras diskriminasi dari kulit putih). Konsep hukumnya, bahwa hukum dapat berperan sebagai alat pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering). Sikap mental masyarakat kulit putih ini sebetulnya bertentangan dengan Konstitusi AS sendiri (equal before the law, bahwa hukum menganggap semua warga AS sama). Perlu diketahui ada realisme hukum yang berkembang di AS yang dipelopori Holmes, Frank dan Llewellyn, yang menganggap
36
bahwa yang realis itu adalah adanya subjektivitas hakim (sumber hukum utama dalam praktik adalah yurisprudensi dan Supreme Court). Realisme hukum ini disebut pula sebagai gerakan (bukan aliran) karena tidak punya konsep apakah hakim itu harus bagaimana, meskipun gerakan ini mempunyai pengikut. Begitu pula halnya yang ada di Skandinavia yang dipeloponi oleh Hagerstrom, Lundstedt, Olivercrona, dan Alf Ross yang mengatakan bahwa tidak setuju adanya metafisika dalam hukum (dianggap tidak realis). Pragmatisme (filsafat pragmatis) yang dikemukakan Wiliam James dan Dewey mempengaruhi lahirnya aliran Pragmatic Legal Realism. f. Aliran Marxis Yurisprudence, yang dipelopori oleh Marx bahwa Hukum harus memberi perlindungan kepada golongan proletar (golongan
ekonomis
lemah).
Pandangan
ini
kemudian
dikembangkan dengan adanya Neo - Marxisme seperti: Marxisme Ortodoks = Lenin, Revisionisme = Bernstein, Neo-marxisme = Gramsci,
Lukachs,
Bloch,
Garandy.
Frankfurt-Schule
=
Horkheimer, New-Left = Marcuse. g. Aliran Anthropological Jurisprudence, yang dipelopori Northrop dan Mac Dougall. Northrop dalam karangannya tentang “Culture values”,
bahwa
hukum
mencerminkan
nilai
sosial-budaya.
Sedangkan Mac Dougall tentang 'Values System”, bahwa hukum mengandung
sistem
nilai.
Kedua
ahli
tersebut
di
atas
mempengaruhi pendapat Mochtar Kusumaatmadja seperti terlihat dalam Buku-kecilnya yang berjudul: “Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional” (1970), dalam butir empat tentang hukum dan nilai sosial-budaya yang dicerminkan adanya berbagai hukum adat (van Vollenhoven mengatakan bahwa di Indonesia terdapat 19 lingkaran hukum adat). Hal ini tercermin pula dalam sila Persatuan dan filsafat Bangsa Indonesia yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
37
Seperti kita ketahui bahwa keadilan (sistem penilaian) diukur dengan adanya keseimbangan kosmis (magis religius). h. Mazhab Unpad. 1. Lahirnya di Unpad pada tahun 1976, dalam tujuan men-cetak sarjana hukum yang mampu membina hukum (academic lawyers d; samping practical lawyers). 2. Pencetusnya: Mochtar Kusumaatmadja (Dekan Fakultas , Hukum UNPAD). 3. Konsep hukumnya “Hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat” (sebagai modifikasi konsep Roscoe Pound, “law as a tool of social-engineering”). (Buku-kecil ke-3, “Hukum, masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional”). 4. Kemudian
menjadi
mazhab
Pemerintah,
Filsafat
Hukum
Pembangunan terlihat dalam GBHN 1973-1983, dan Teori Hukum Pembangunannya pada Pelita II Bab 27 dan Pelita III Bab 23 (mengenai hukum).
B. PERMASALAHAN FILSAFAT HUKUM a. Paton, dalam bukunya yang berjudul “A Text Book of Jurisprudence”; Sistematikanya: Bab I
: Pengantar (membicarakan aliran-aliran filsafat hukum yang mendukung konsepnya).
Bab II : Tujuan hukum (memperhatikan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat). Bab III : Sumber hukum. Bab IV : Teknik hukum. Bab V : Hukum Publik. Bab VI : Hukum Perdata. Yang termasuk masalah filsafat hukum adalah Bab I dan Bab II. Yang termasuk masalah teori hukum adalah Bab III, IV, V, dan VI.
38
Perlu diketahui tentang pendapat Paton tentang kepentingan individu (dalam tujuan hukum) meliputi keluarga, hak politik (hak memilih dan hak dipilih), juga kepentingan masyarakat yang meliputi kesehatan umum dan kesejahteraan umum. Definisi hukum menurut Paton, meliputi 3 (tiga) unsur yaitu: putusan pengadilan; tujuan hukum; kenyataan-kenyataan sosial. Secara etimologis atau terminologis, Jurisprudence berasal dan kata “juris” yang berarti hukum, dan “prudentia” (bahasa Yunani) berarti pengetahuan. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Jurisprudence adalah ilmu yang mempelajari pengertian-pengertian dasar dan sistem dari hukum secara lebih mendalam. Ilmu yang mempelajari pengertian-pengertian dasar dan sistem dari hukum disebut sebagai teori hukum; Secara lebih mendalam diartikan sebagai filsafat hukum. Begitu pula Harris, bahwa penekanan pengertian Jurisprudence adalah hukum dalam arti keseluruhan, jadi meliputi teori hukum juga filsafat hukum. Sedangkan teori hukum, penekanannya pada hukum dalam arti ajaran dan filsafat hukum penekanannya pada implikasi nilai. Dia menjelaskan bahwa jurisprudence menyangkut teori hukum dan keadilan. Pengertian kepentingan menurut Paton mengingatkan pada pandangan von Ihering tentang “Interesse Jurisprudence”. b. Friedman, dalam bukunya “Legal Theory” (1967), Sistematikanya: Bab I: Pengantar Singkat tentang: 1. Tempat dan fungsi legal theory. 2. Filsafat dan masalah yang mendasar dan hukum. 3. Prinsip Antinomi dalam legal theory. Bab II: Penelitian kritis terhadap legal theory yang meliputi: 1. Aliran hukum alam yang didasarkan pada nilai-nilai abadi. 2. Aliran yang didasarkan pada filsafat idealisme dan masalah keadilan.
39
3. Aliran yang didasarkan atas pengaruh masyarakat terhadap hukum. 4. Aliran positivisme dan positivisme hukum. 5. Aliran yang didasarkan atas kegunaan dan kepentingan. Bab III: Legal theory dan masalah pada masanya: 1. Legal theory pada sistem kenegaraan modern; 2. Legal
theory
-
kebijaksanaan
umum
dan
perkembangan
masyarakat. 3. Legal theory dan pergaulan Intemasional. - Judul “legal theory”, jika diterjemahkan sebagai teori hukum. - Bab I - II - III semuanya dapat kita katakan sebagai masalah filsafat hukum. Teori hukum menurut Friedman, berada di antara filsafat dengan kata lain: teori hukum harus dilandasi oleh filsafat dan teori politik atau ideologi negaranya. Sebagai contoh kalau diterapkan di Indonesia: - UUD 1945 - teori hukum (dasar-dasar dalam menyusun hukum positip) yaitu batang tubuhnya; - filsafatnya ada pada alinea keempat dan Pembukaan UUD 1945; - teori politik atau ideologi negara yang berbicara tentang keadilan seperti apa yang ada pada alinea: - satu; perikeadilan; - dua; adil dan makmur; - empat; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya Friedman mengatakan bahwa bila berbicara teori hukum akhirnya ke filsafat hukum, seperti dalam buku dan sistematika tersebut di atas mulai dengan judul yang diterjemahkan sebagai teori hukum, sedangkan bahasannya dalam Bab I - III menyangkut filsafat hukum.
40
Menurut Friedman teori hukum melahirkan antinomi-antinomi, yaitu dua nilai yang berdampingan bersitegang, misalnya antara: 1) Individu dan alam semesta. Peranan menonjol dan individu untuk pertama kali dikemukakan oleh Descartes: “Cogito, ergo Sum”. Dikembangkan oleh Kant bahwa individu sebagai pencipta dunia kenyataan yang dapat dipahami. Kemudian diteruskan oleh Fichte, bahwa dunia merupakan hasil ciptaan dan kesadaran individu. Proyeksi Hegel menonjolkan peranan individu dalam alam semesta, yang dipertajam oleh aliran Fascisme. Teori hukum alam telah menempatkan alam semesta sebagai suatu tertib yang berada di atas manusia sebagai individu (diajarkan oleh filosof Yunani dan ajaran skolastik teori hukum alam rasionil). 2) Voluntarism dan pengetahuan objektif. Thomas Aquinas berpendapat bahwa kehendak ditentu-kan oleh pengetahuan tentang kebaikan. Nietzsche beranggapan bahwa semua pengetahuan merupakan satu teknik yang dipergunakan demi kepentingan kehendak untuk berkuasa. Neo Kantian berusaha membentuk ilmu hukum objektif (yang tidak terpengaruh cita-cita politik). Kelsen mengatakan ajaran filsafat hukum merupakan ekspresi kehendak subjektif. Skolastik bertambah pada ketertiban ke-Tuhanan. Rasionalis mengatakan: berasal dari prinsip akal. Kant mengatakan: bahwa lingkup kehendak
adalah akal praktis; sedangkan ruang lingkup
pengetahuan adalah akal yang murni. Hegel mengajarkan supremasi dan kehendak terhadap negara. Jellineck dan Ladbruck menyerahkan pilihan pada keputusan-keputusan pribadi, yaitu kehendak. 3)
Pikiran/kecerdasan dan intuisi. Rasionalisme
abad
ke-18
dan
positivisme
abad
ke-19
menganalisa kehidupan dan berpikir secara intelektual sesuai
41
dengan hukum sebab-akibat. Adanya usaha untuk kembali pada ajaran elementer tentang hubungan antara manusia dengan alam semesta, akan tetapi melalui cara-cara yang lebih rumit. Max Weber (1967) menemukan hukum secara intuitif (seorang pembentuk hukum yang mempunyai wewenang kharismatis pada masyarakat-masyarakat sederhana). Frei rechtslehre; awal abad ke-20 yang tidak puas dengan penafsiran analitis dan logis (kodifikasi dan UU), menyerukan agar hakim mempunyai diskresi-bebas perasaannya tentang apa yang benar dan apa yang salah untuk mencapai keadilan. Krabbe (orang Belanda) mengemukakan kesadaran hukum sebagai asas untuk membatasi kedaulatan legislatif negara yang tidak terbatas. Petrazhitsky (seorang Rusia) mempertentangkan antara hukum intuitif - subjektif yang tidak mutlak, dengan hukum positif-objektif yang dipolakan secara intelektual. Del Vecchio teorinya tentang peranan hukum yang benar dijadikan petunjuk untuk
menimbang
derajat
kebenaran.
Geny
menerapkan
masalah pasangan nilai naluri.dan akal dalam filsafat hukum. Fenomenologi, menyerasikan intuisi dengan pengertian dalam pemahaman yang langsung terhadap suatu objek (Husserl, Scheler, Hartmann). 4)
Kolektivisme dan Individualisme. Plato
dalam
bukunya
“Republic”,
supremasi
masyarakat
sedemikian besarnya sehingga hak-hak pribadi dan lembagalembaga pribad1 (keluarga dan harta kekayaan) tidak ada tempat. Selanjutnya dalam bukunya “Laws” lembaga-lembaga tersebut diakui akan tetapi di bawah pengawasan yang ketat dari negara.
Berkuasanya
polisi
rahasia,
pengawasan
negara
terhadap semua kegiatan publik dan pribadi serta pengawasan politik yang ketat (totaliter modern) dengan menonjolkan
42
supremasi masyarakat dengan memusnahkan hak-hak pribadi secara menyeluruh. Gereja (Katolik) berkedudukan tinggi sebagai penafsir yang sah terhadap hukum Tuhan dan hukum alam. Duguit, menggantikan tertib masyarakat dan dasar ke-Tuhanan dengan disiplin sosial dan masyarakat industrial modern, individu, dan hak pribadi tidak ada tempat. Kelompok sosial merupakan unit yang paling efektif dalam organisasi Solidanitas Sosial (adanya pembagian kerja). Mazhab Stoics, semula berpaham: individu sebagai makhluk berakal, kedudukannya terpisah dari masyarakat. Hobbes, ajarannya tentang kategori individualisme meskipun mengarah absolut politis. Locke, individualisme sebagai dasar teori politik dan hukum Kant-Fichte, individualisme menjadi dasar filsafat hukum yang diikuti Stammler dan Del Vecchio. Begitu pula Bentham,
Spencer
(evolusi),
dan
Geny,
hanya
pengungkapannya berbeda-beda. Yang terkuat terdapat dalam Konstitusi AS. Hegel, mengkombinasikan cita-cita individu dengan wewenang yang Superior dan masyarakat yang diekspresikan dalam negara. Hegel memuji negara Fascis. Fichte, bertitik tolak pada kebebasan individu yang dianggap sebagai kerangka kehidupan sosial-ekonomis masyarakat. Radbruch menyebutnya sebagai ciri pokok filsafat hukum demokratis-sosialistis. Marxism, secara teoritis
bahwa
subordinasi
individu
terhadap
kolektiva
dibenarkan. Hak-hak pribadi semacam itu ada/tercantum dalam konstitusi Soviet dari tahun 1936, yang ternyata tidak dapat diterapkan.
Inggris,
pengalamannya
dalam
menerapkan
Sosialisme secara sempit yang berasas atau meleburkan antara perlindungan kebebasan individu yang pokok dengan kewajibankewajiban sosial-ekonomis yang dapat dituntut oleh masyarakat. 5)
Demokrasi dan Otokrasi.
43
Locke dan Rousseau gagal dalam menjelaskan, hak tertinggi mayoritas dapat berproses secara berdampingan dengan hak asasi manusia. Perkembangan hukum AS, di mana fungsi hakim didukung hak pribadi yang tidak jarang bertentangan dengan kehendak mayoritas yang tercermin melalui fungsi legislatif. Menurut Hobbes, individualisme terkait dengan absolutisme. Menurut Duguit, kolektivisme bersifat otokratis karena mengikat penguasa dan warga pada suatu asas objektif. Adanya kemungkinan untuk membenarkan adanya hak pribadi tanpa mengadakan pengawasan politik terhadap masyarakat. Perkembangan-perkembangan sosial dapat menuntut suatu bentuk pemerintahan yang berbeda dan demokrasi parlementer tanpa menyinggung masalah perkembangan individu atau berkuasanya masyarakat sebagai tujuan dan pada kehidupan politik. Suatu bentuk oligarkhi penguasa, misalnya dapat dipilih dan masyarakat atas dasar pendidikan penuh dan sama rata bagi semua. 6)
Nasionalisme dan Intemasionalisme. Filsafat hukum individual seringkali bersifat kosmopolitan, sedangkan kolektivis bersifat nasionalis, meskipun tidak selalu demikian. Secara historis, penonjolan hak asasi seringkali dihubungkan dengan revolusi terhadap negara, otoritas dan kepercayaan pada persamaan derajat manusia. Sebagaimana halnya kaum Stoics dan Kant, cita-cita persamaan derajat seringkali
menyebabkan
kalangan
demokrat
bersifat
internasionalis. Fichte - Hegel - Binder, bercita-cita kolektivisme termasuk golongan nasionalis yang mengagungkan negara nasional. Hegel, secara esensil bersifat anti individualistis, tidak akan terpengaruh
apabila
filsafat
tadi
tetap
berpegang
pada
44
perkembangan dialektik dan suatu negara ke suatu liga internasional atau suatu organisasi internasional lainnya. Skolastik, mengenai masyarakat yang bersifat anti individualistis dan otoriter, merupakan konsep yang bersifat internasional. Secara politis, masalah nasionalisme dan internasionalisme merupakan
pertentangan
cita-cita
politik.
Secara
yuridis,
masalah bagaimana memberikan kualifikasi pada kedaulatan hukum. 7)
Positivisme dan Idealisme. Filsafat hukum mengikuti
antagonisme elementer dengan
kecenderungan bersifat positivis atau metafisis. Pertentangan antara idealisme dengan materialisme, walaupun tidak identik berproses secara berdampingan. Filsafat hukum idealistis mempergunakan metode deduksi di dalam menarik hukum dan asas-asas yang didasarkan pada manusia sebagai makhluk etis dan rasionil, filsafat hukum positivis menganggap hukum sebagai sesuatu yang ditentukan oleh ruang lingkup isinya. Suatu bentuk ekstrim dan realisme sosial adalah Marxisme, yang memandang hukum sebagai “super-struktur” yang ditentukan oleh Subsratum ekonomi, yakni pemilihan fasilitas produksi. Filsafat hukum materialistis sebenarnya bersifat idealistis, karena mendeduksikan kaidah-kaidah hukum dan asas-asas yang ditetapkan secara apriori. Duguit adalah seorang idealis yang berkedok materialis yaitu seorang empiris karena profesinya, tetapi dari sudut jiwanya merupakan ahli filsafat yang aprioritas. Paham solidaritas sosialnya yang merupakan faktor yang dapat diamati, sebenarnya merupakan suatu ide hukum alam modern. Spencer, sebagai penerap positivisme biologis, merupakan suatu ekspresi dan asas-asas metafisik, yaitu kepercayaan pada evolusi manusia ke arah kebebasan yang lebih besar melalui organisasi industrial. Pertentangan-pertentangan tersebut di atas
45
tidak henti-hentinya, bila jemu pada cita-cita dan abstraksi akan berpaling pada hal-hal yang konkrit dan fakta positif (tindakan dan kekuasaan); dan bila kecewa pada hal yang konkrit kembali ke cita-cita dan asas-asas metafisik. 8)
Stabilitas dan Perubahan. Roscoe Pound, berpendapat bahwa adanya ketegangan antara tradisi dan kemajuan, stabilitas dengan perubahan, kepastian dengan keluwesan. Tugas hukum antara lain ketertiban, adanya penekanan pada stabilitas dan kepastian. Ahli-ahli lain yang berpendapat demikian seperti: Kelsen, Skolastik von Savigny, Austin; Konstitusi AS. Hal yang sebaliknya, seperti Max Weber, teori Utility (Bentham), Leon Duguit, Marxisme, Roscoe Pound. Selanjutnya, dapat pula dikatakan bahwa Friedman dalam buku karangannya tersebut di atas bisa dikatakan uraiannya sebagai atau menyangkut masalah jurisprudence, karena berisi teori (legal theory) dan filsafat hukum (sistimatika bukunya Bab I - Bab III). Hal yang menyangkut antinomie bisa diartikan sebagai filsafat atau juga filsafat hukum.
c. Roscoe Pound Dalam bukunya: “An Introduction to The Philosophy of Law”, dengan sistematika sebagai berikut: BAB I
: Fungsi Filsafat Hukum.
BAB II
: Tujuan Hukum.
BAB III
: Penerapan Hukum.
BAB IV : Pertanggungan Jawab. BABV
: Milik
BAB VI : Kontrak Melihat judulnya Roscoe Pound, bahwa beliau setuju dengan istilah Philosophy of Law. Bab I dan Bab II, dapat kita simpulkan sebagai masalah filsafat hukum. Bab IV - V - VI, dapat disimpulkan sebagai
46
teori hukumnya. Adapun yang menjadi fungsi filsafat hukum dapat dikatakan sebagai atau untuk menguji hukum positip tentang efektivitasnya. Menurut Roscoe Pound fungsi filsafat hukum adalah untuk mengukur apakah kaidah-kaidah, doktrin-doktrin dan lembagalembaga dapat bermanfaat bagi masyarakat; juga memimpin penerapan hukum dengan menunjuk pada tujuan hukum (filsafat hukum sedang menegakkan kepalanya di mana-mana). Sedangkan tujuan hukum menurut Pound adalah untuk ketertiban guna mencapai keadilan dan hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat Claw as a tool of social engineering', dalam bukunya “Task of Law”). Pound juga berpendapat bahwa filsafat dapat dipergunakan sebagai alat untuk memahami persoalan-persoalan secara filosofis; dan berdaya upaya untuk dapat memberikan suatu gambaran (ilustrasi) yang lengkap mengenai suatu peta kesusilaan hukum - politik untuk sepanjang masa. (Filsafattelah menjadi suatu alat/perkakas yang berkuasa di dalam gudang persenjataan hukum). d. Mochtar Kusumaatmadja Buku-kecil pertama yang diterbitkan pada tahun 1970 (bahan seminar LIPI tentang pengaruh sosial budaya dalam masyarakat), yang
berjudul:
Fungsi
dan
Perkembangan
Hukum
dalam
Pembangunan Nasional sistematikanya sebagai berikut: 1) Arti hukum dan fungsinya dalam masyarakat. 2) Hukum sebagai kaidah sosial. 3) Hukum dan kekuasaan. 4) Hukum dan nilai sosial budaya. 5) Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat. Buku-kecil kedua (1972) (bahan diskusi Mahindo ke-5 di Jakarta), berjudul: Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, yang sistematikanya sebagai berikut: 1) Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat. 2) Perkembangan dan pembinaan hukum itu sendiri.
47
3) Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam rangka pembangunan Nasional. Buku-kecil ketiga (1976) (bahan Seminar LIPI dan BPHN mengenai hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat), berjudul: Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional yang sistematikanya sebagai berikut: 1) Perkembangan pemikiran tentang hukum secara umum. 2) Konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. 3) Pola pelaksanaan program pembaharuan hukum. 4) Konsekuensi dan konsepsi hukum dan pembaharuan hukum bagi pengajaran hukum. Dari ketiga buku-kecil tersebut, dapat dikatakan bahwa: 1) Buku-kecil pertama -1970, yang menyangkut filsafat hukum adalah: - poin (butir) satu, fungsi hukum dalam masyarakat, antara lain sebagai social control dan social engineering. Arti hukum itu sendiri
dapat
dikategorikan
pada
teori
hukum,
karena
menyangkut pengertian pokok dari hukum. - poin
(butir)
dua,
hukum
sebagai
kaidah
sosial,
dapat
diungkapkan bahwa kaidah (kaidah sosial) merupakan hakikat dari hukum, yang dapat berisi: perintah-larangan yang dapat kita jumpai dalam hukum publik (Hukum Pidana), dan kebolehan (perizinan)terdapat dalam Hukum Perdata. Jadi dapat tersirat dalam pasal UU. - poin (butir) tiga, hukum dan kekuasaan, di mana Mochtar Kusumaatmadja membuat adagium: “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. - poin (butir) empat, hukum dan nilai sosial budaya. Nilai itu sendiri merupakan hakikat dan hukum sistem penilaiannya sendiri tersirat dalam hukum itu sendiri sebagai ekspresi dan
48
budaya bangsanya/negaranya. Hal ini merupakan pencerminan pengaruh Northrop (culture values) dan Mac Dougal (values system). - poin (butir) lima, hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat. Konsep aslinya berasal dan Roscoe Pound yaitu “law as a tool of social engineering”, yang oleh Mochtar diadaptasi (diterima) dalam menghadapi suasana Pembangunan di negara kita. Jadi bukan hanya teknologi yang dapat merubah masyarakat, akan tetapi juga bahwa hukum dapat melakukannya. Pandangan Roscoe Pound ini secara pragmatis (kegunaan), bahwa hukum dapat berfungsi untuk merubah pandangan masyarakat kulit putih yang ras discriminated di AS. Hal tersebut di atas merupakan masalah tujuan hukum (modern), sebagai salah satu masalah filsafat hukum. 2) Buku-kecil kedua (1972), yang menyangkut filsafat hukum adalah tentang definisi hukum Mochtar Kusumaatmadja, bahwa asas dan kaidah mencerminkan pengaruh aliran positivisme hukum. Istilah asas itu sendiri berarti: nilai moral tertinggi; sedangkan kaidah
merupakan
patokan
tentang
perikelakuan
yang
seharusnya, yang berisi perintah-larangan dan kebolehan. Tujuan hukum yang ingin dicapai adalah kepastian hukum. Sedangkan istilah lembaga dan proses mencerminkan pengaruh Sociological
Jurisprudence
dan
Pragmatic
Legal
Realism.
Pengertian lembaga dan proses mengandung makna baik dalam bidang pengadilan maupun luar pengadilan. Luar pengadilan, misalnya menyangkut lembaga hukum modern yang berproses sehingga melembaga di kalangan masyarakat yang menuju modernisasi. Seperti lembaga hukum: asuransi, kredit, pasar modal, sertifikat, hipotik, bentuk badan hukum PT dan lain sebagainya.
Pengertian
lembaga
itu sendiri,
hal-hal
yang
menyangkut kebutuhan pokok manusia baik spiritual dan material;
49
Contoh spiritual = hukum, agama, kesenian, sedangkan contoh material sandang, pangan, dan papan. Pengertian proses dalam pengadilan, perlu adanya pembinaan baik aparat penegak hukum maupun fasilitas dan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum masyarakat secara keseluruhan, sehingga wibawa hukum dalam suatu negara hukum tercapai. 3) Buku-kecil ketiga (1976), yang menyangkut filsafat hukum adalah: konsep hukum dalam pengertian fungsinya yaitu sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang merupakan modifikasi dan konsep Roscoe Pound: 'law as a tool of social engineering''. Pengertian alat (a tool) mengandung makna adanya sifat mekanistis (teknologi); fungsi hukum itu sendiri untuk merubah perilaku (sikap mental) warga masyarakat AS yang ras diskriminasi; sumber hukum formil yang utama adalah yurisprudensi yaitu putusan Supreme Court. Sedangkan pengertian Sarana (konsep Mochtar) mengandung pengertian yang luas yaitu: a. Menuju kemakmuran (adil dan makmur) dengan tertib dan adil; b. Sumber hukum formil yang utama adalah undang-undang, juga Yurisprudensi atau kombinasi; c. Pembinaan dalam arti legal engineering (perubahan UU yang sesuai dengan kegunaan dan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun), juga social engineering (perubahan masyarakat dan tradisionil menuju modernisasi). Adapun dasar dan pembinaan itu sendiri terdapat di dalam: 1) GBHN 1973 bidang hukum, yang isinya antara lain: bahwa hukum tidak boleh menghambat proses modernisasi. 2) GBHN 1983 bidang hukum, yang isinya antara lain: bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Poin 1 dan 2 di atas dikaitkan oleh Mochtar sebagai “filsafat hukum pembangunan”.
50
3) Pelita II Bab 27 bidang hukum, yang isinya antara lain: bahwa hukum yang dibuat harus sesuai atau memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. 4) Pelita III Bab 23 bidang hukum, yang isinya antara lain meneruskan penyusunan RUU (Rancangan UU). Poin 3 dan 4 di atas dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai “teori hukum pembangunan”. Pengertian pembinaan hukum itu sendiri menurut Guru Besar mengandung kegiatan mempertahankan hukum yang pernah ada yang masih memadai (sesuai dengan kebutuhan pembangunan), juga memperbaharui hukum yang pernah ada disesuaikan dengan kebutuhan
dan
perkembangan
masyarakat
yang
sedang
membangun. Hal ini ada kaitannya dengan pemikiran efisiensi (ekonomis), yaitu kita lebih baik memperbaharui dan mempertahankan hukum yang pernah ada daripada kita membuat hukum yang murni nasional akan tetapi memakan waktu sehingga akan ketinggalan pembangunan (mengambil dan pandangan Roscoe Pound tentang definisi hukumnya yang ke-12, yaitu dengan tenaga yang
sekecil-kecilnya
kita
mendapat
hasil
yang
sebanyak-
banyaknya). Di samping hal tersebut di atas perlu juga diadakan pembinaan dalam arti meningkatkan sikap mental para penegak hukum agar sadar pada tugas dan kewajibannya menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku; juga fasilitas baik hardware maupun software dalam menunjang proses penegakan hukum; masyarakat pun perlu ditingkatkan kesadaran hukumnya melalui penyuluhan hukum yang kontinyu (dilakukan oleh Departemen Kehakiman cq Bagian Penyuluhan bekerjasama dengan Perguruan Tinggi). Konsekuensi pandangan Mochtar tersebut di atas, perlu direalisir dalam dunia pendidikan
tinggi
(Fakultas
Hukum
Unpad)
untuk
membentuk/mencetak sarjana hukum yang mampu membina hukum
51
(academic lawyers), yang selalu cepat tanggap atas kebutuhan pembangunan khusus bidang hukum, misalnya menyusun academicdraft setelah melakukan penelitian-penelitian yang bekerjasama dengan berbagai departemen, khususnya Badan Pembinaan Hukum Nasional (yang merupakan mekanisme Mazhab Unpad). Konsep Mochtar Kusumaatmadja adalah konsep filsafat praktis, yang berarti filsafat hukum harus disertakan teori hukumnya. Dalam kurikulum Fakultas Hukum Unpad: 1) filsafat hukumnya adalah mazhab Unpad; 2) teori hukumnya adalah Sosiologi Hukum sebagai mata kuliah wajib bagi seluruh Jurusan. Seperti terlihat dalam rumusan Jurisprudence yaitu: ilmu yang mempelajari pengertianpengertian dasar dan sistem hukum (teori hukum), secara lebih mendalam
(filsafat
hukumnya).
Mazhab
Unpad
berkembang
kemudian menjadi mazhab Pemerintah menjadi Filsafat Hukum Pembangunan (GBHN 1973 dan GBHN 1983) dan Teori Hukum Pembangunan (Pelita II Bab 27 dan Pelita III Bab 23).
52
BAB III SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM Di
dalam
kepustakaan
filsafat
(hukum),
terdapat
berbagai
periodisasi atau pembabakan perkembangan filsafat (hukum) dari dahulu hingga saat ini. Pada umumnya pembabakan itu terdiri dari: 1. Zaman purbakala a. Masa Yunani. 1) Masa pra-Socrates (± 500 SM). 2) Masa Socrates, Plato, dan Aristoteles. 3) Masa Stoa. b. Masa Romawi. 2. Abad Pertengahan. a. Masa gelap. b. Masa Skolastik 3. Zaman Renaissance dan zaman baru. 4. Zaman modern (Lili Rasjidi, 1985:9-10). A. ZAMAN PUBAKALA 1. Masa Yunani a. Masa Pra-Socrates Seperti secara sepintas telah diuraikan di muka, pada masa ini diperkirakan belum ada filsafat hukum karena perhatian para filsuf lebih ditujukan kepada alam semesta, yaitu apa sesungguhnya yang menjadi inti alam semesta itu. Jawaban terhadapnya berbeda-beda. Filsuf Thales mengatakan air, Anaximandros to apeiron, yaitu suatu zat yang tak tentu sifat-sifatnya, Anaxfmeries mengatakan udara, “sedangkan Pitagoras menjawab bilangan. Filsuf lainnya seperti Heraklitos berpendapat bahwa apilah yang menjadi inti alam semesta. Perihal manusia, tingkah laku (etika), dan hukum, belum memperoleh perhatian. Manusia dianggap oleh mereka sebagai bagian dari alam semesta. Kalaupun berbicara tentang 53
hukum, maka hukum yang dimaksud adalah hukum dalam arti keharusan alamiah. Jadi, hukum itu tidak terbatas pada' masyarakat manusia, tetapi meliputi semesta alam (Theo Huijbers, 1982:2). Hukum yang dikenal adalah hukum alam. Di antara para filsuf alam tersebut di atas, Pitagoraslah yang memulai menyinggung tentang manusia. Menurut pendapatnya, tiap manusia yang selalu berada dalam proses- katarsis, yaitu pembersihan diri. Setiap kali jiwa memasuki tubuh manusia, manusia harus melakukan pembersihan diri agar jiwa tadi dapat masuk ke dalam kebahagiaan. Jika dinilai tidak cukup melakukan katarsis, jiwa tadi akan memasuki lagi tubuh manusia yang lain. (Lili Rasjidi, 1985:11). b. Masa Socrates, Plato, dan Aristoteles Beberapa penulis sejarah filsafat hukum mengungkapkan, bahwa Socrates-lah yang mula pertama berfilsafat tentang manusia. Segala aspek tentang manusia menjadi obyek pembicaraannya. Diperkirakan filsafat hukum lahir pada masa ini dan berkembang mencapai puncak kegemilangannya melalui filsuf-filsuf besar setelah Socrates, yaitu Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf lainnya di zaman Yunani dan Romawi. Di antara kedua masa tersebut, masa Yunani merupakan masa yang amat subur bagi pertumbuhan filsafat hukum. Alasannya ialah: “Pertama, kecenderungan-kecenderungan untuk berpikir spekulatif serta persepsi intelektualnya untuk menyadari adanya tragedi kehidupan manusia serta konflik-konflik dalam kehidupan dunia ini, seperti terlihat pada karya-karya filsafat dan kesusasteraannya, Yunani memberi saham yang besar ke arah pemikiran tentang hukum yang bersifat teoretis. Dengan kecenderungan berpikir yang demikian itu, orang Yunani melihat bagaimana timbul dan perkembangan polis, yaitu negara kota di masa itu. Kekacauan-kekacauan
sosial,
konflik-konflik
di
dalamnya,
bergantian pemerintah yang begitu sering, masa-masa tiranik dan kesewenang-wenangan, yang semua terjadi pada masa itu,
54
memberikan bahan yang banyak sekali bagi pemikiran yang bersifat spekulatif mengenai persoalan-persoalan hukum dalam masyarakat. Dengan demikian orang pun didorong dengan kuat untuk memikirkan problem yang abadi mengenai hubungan antara hukum
positif
dengan
keadilan
yang
abadi
itu,
sehingga
memberikan sumbangan pemikiran Yunani di dalam dunia teori hukum. (Satjipto Rahardjo, 1982:226-227). c. Masa Stoa Masa ini ditandai dengan adanya mazhab Stoa, yaitu suatu mazhab yang mempunyai kebiasaan memberi pelajaran di lorong-lorong tonggak (stoa) (von Schmid, 1965:48). Pemikir utamanya yang juga bertindak sebagai pemimpin mazhab adalah Filsuf Zeno. Dengan mengambil sebagian ajaran Aristoteles, yaitu bahwa akal manusia itu merupakan bagian dari rasio alam, dikembangkan suatu pemikiran hukum alam yang bersumber dari akal ketuhanan (logos di mana manusia dimungkinkan hidup menyesuaikan diri padanya). Hukum alam itu merupakan dasar segala hukum positif. Pandangan Stoa kemudian amat berpengaruh pada filsuf Romawi seperti Seneca, Marcus Aurelius, dan juga Cicero. 2. Masa Romawi Pada masa ini perkembangan filsafat hukum tidak se-gemilang pada masa Yunani. Para ahli filsafat Romawi lebih memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana hendak mempertahankan ketertiban di seluruh kawasan Kekaisaran Romawi yang sangat luas itu. Mereka dituntut untuk lebih banyak menyumbangkan konsep-konsep dan teknik-teknik yang berkaitan
dengan
hukum
positif,
seperti
bidang-bidang
kontrak,
kebendaan, dan ajaran-ajaran tentang kesalahan. (Satjipto Rahardjo 1982:227). Namun, sumbangan pemikiran para filsuf masa ini, seperti Polybius, Cicerb, Seneca, Marcus Aurelius, dan Iain-Iain, masih banyak pengaruhnya hingga saat ini.
55
B. Abad Pertengahan a. Masa Gelap Masa ini dimulai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi akibat serangan bangsa lain yang dianggap terbelakang, yang datang dari utara, yaitu yang disebut suku-suku Germania. Tingkatan peradaban bangsa Romawi yang tinggi hanyalah tinggal puing-puing semata. Karena tiadanya peninggalan apa pun dari suku bangsa yang berkuasa, para ahli masa kini sukar untuk secara pasti menentukan apa yang terjadi di masa gelap ini. Yang pasti dapat ketahui ialah bahwa pengaruh agama Kristen mulai berkembang pesat disebabkan oleh suasana kehidupan suku-suku waktu itu yang selalu tidak tentram akibat peperangan yang terus-menerus terjadi di kalangan mereka sendiri atau di antara suku-suku. Manusia dalam keadaan serupa itu memerlukan adanya ketentraman dan kedamaian, memerlukan adanya suatu pegangan hidup yang akan mengakhiri ketidaktentraman. Agama Kristen memenuhi tuntutan tersebut. (Lili Rasjidi, 1985:13). b. Masa Skolastik Corak pemikiran hukum pada masa skolastik didasari oleh ajaran Kristen. Ajaran ini dimulai setelah lahirnya mashab baru yang disebut NeoPlatonisme, dengan Platinus sebagai tokohnya yang utama. Platinus inilah yang mulai membangun suatu tata filsafat yang bersifat ketuhanan. Menurut pendapatnya,
Tuhan
itu
merupakan
hakikat
satu-satunya
yang paling utama dan paling luhur, yang merupakan sumber dari segalagalanya. Bertolak dari pendapat Plato bahwa orang harus berusaha mencapai pengetahuan yang sejati, Platinus mengemukakan bahwa kita harus berusaha melihat Tuhan. Caranya, selain berpikir, juga harus beribadah.
Pangkal
tolak
pemikiran
ini
membuka
jalan
bagi
pengembangan agama Kristen dalam dunia filsafat. Neo-Platonisme lahir di Alexandria sebagai tempat pertemuan antara filsafat Yunani dan agama Kristen. Para ahli filsafat menganggap St. Egustinus yang menjembatani filsafat Yunani dan alam pikiran Kristen (Lili Rasjidi, 1985:14).
56
Tokoh lainnya yang amat terkenal di masa ini antara lain ialah Thomas Aquino, Marsilius Padua, William Occam. C. Zaman Renaissance dan Zaman Baru Ciri utama zaman ini ialah manusia menemukan kembali kepribadiannya (renaissance berasal dari kata re, kembali, dan nasci, lahir - lahir kembali). Artinya, alam pikiran manusia tidak terikat lagi oleh ikatan-ikatan keagamaan. Ikatan-ikatan ini demikian kuatnya mempengaruhi segala aspek
kehidupan
pertengahan
manusia
bagian
kedua
pada
abad
sebelumnya,
(masa Skolastik).
yaitu
Demikian
abad
besarnya
kekuasaan Gereja sehingga manusia merasa dirinya tidak berarti tanpa Tuhan. Lahirnya renaissance mengakibatkan perubahan yang tajam dalam berbagai segi kehidupan manusia. Teknologi berkembang dengan pesat, benua-benua baru ditemukan, negara-negara baru didirikan, tumbuh berbagai disiplin ilmu baru, dan Iain-Iain. Dalam dunia pemikiran hukum, zaman ini ditandai dengan adanya pendapat bahwa akal manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai penjelmaan dari akal Tuhan. Akal manusia terlepas dari akal ketuhanan. Akal manusia inilah yang merupakan sumber satu-satunya dari hukum.- Pangkal tolak pemikiran ini nampak pada penganut aliran hukum alam yang rasionalistis (Hugo de Groot atau Grotius) dan para penganut paham positivisme hukum (John Austin) bahwa logika manusia memegang peranan penting dalam pembentukan hukum. D. Zaman Modern Gerakan kodifikasi pada zaman baru, sebagai akibat tampilnya unsur logika manusia, ternyata kemudian melahirkan masalah yang berkaitan dengan soal keadilan. Hal ini disebabkan oleh tertinggalnya kodifikasi itu oleh
perkembangan
masyarakat.
Kepincangan-kepincangan
dalam
kodifikasi seringkali tampil disebabkan oleh tidak sesuainya lagi dengan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Keadaan ini mendorong orang untuk mencari keadilan melalui filsafat hukum. Rudolf Stammler sering
57
disebut oleh para penulis filsafat hukum sebagai pelopor dari pencarian ini. Ciri lain dari pemikiran hukum di abad modern ini ialah tumbuhnya pemikiran-pemikiran hukum yang berasal dari para ahli hukum yang memiliki reputasi istimewa. Keadaan ini sangat berbeda dengan masamasa sebelumnya, ketika filsafat hukum merupakan produk dari para ahli filsafat. Nama-nama seperti Leon Duguit (Solidarete Social), Ripert (Regie Morale), Kohler (Kulturentwicklung), Hans Kelsen (Grundnorn), dan Roschoe Pound (Social Engineering), merupakan tokoh penting pada abad ini.
58
BAB IV RUANG LINGKUP FILSAFAT HUKUM Setelah abad ke-19, masalah-masalah mendasar yang tadinya menjadi obyek pembahasan para ahli filsafat, kini beralih ke tangan para ahli hukum biasa. W. Friedmann (1970:4) mengatakan: “Before the nineteenth century, legal theory was essentially a by product of philosophy, religion, ethics, or politics. The great legal thinkers were primarily philosophers, churchmen, politicians. The decisive shift from the philosopher's of politician's to the lawyer's legal philosophy is of fairly recent date. It follows a period of great developments in juristic research, technique and professional training. The new era of legal philosophy arises mainly from the confrontation of the professional lawyer, in his legal work, with problems of social justice.” Masalah-masalah mendasar yang dikaji hanya sekedar tujuan hukum (terutama masalah ketertiban dan keadilan), dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, hubungan hukum alam dengan hukum positif, hubungan hukum dengan kekuasaan, mengapa negara berhak menghukum seseorang, dan Iain-Iain sebagaimana yang biasa dilahirkan oleh ahli filsafat, melainkan juga meliputi berbagai hal mendasar yang dihadapi oleh para ahli hukum dalam tugasnya sehari-hari di masyarakat. Masalah-masalah seperti penerapan hukum, pertanggungjawaban, hak milik, kontrak, apa sebabnya orang menaati hukum, hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya, peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, dan Iain-Iain, menjadi obyek pembahasan para ahli hukum. Mengenai masalah ruang lingkup pembahasan filsafat hukum tersebut, dalam kepustakaan seringkali dikacaukan dengan banyaknya peristilahan yang digunakan, terutama di belahan dunia Anglo-Sakson, seperti di Amerika Serikat dan Inggris. Selain istilah philosophy of law atau legal philosophy, dikenal juga istilah lain seperti jurisprudence dan legal theory. Beberapa penulis tidak membedakan arti ketiga istilah tersebut
59
seperti ternyata dari obyek pembahasan yang sama yang dikajinya. Akan tetapi, ada pula yang membedakannya walaupun sukar untuk memberikan batas-batasnya yang tegas. Khusus yang berhubungan dengan istilah jurisprudence ini, yang banyak digunakan oleh para penulis hukum di Amerika, Inggris dan negara-negara lainnya yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya, dianggap perlu penjelasan lebih lanjut dari segi pengertian, ruang lingkup, klasifikasi, dan manfaat mempelajarinya. Pada Bab III berikut ini akan diuraikan pemikiran hukum yang berkembang di dunia Anglo Sakson (khususnya di negeri Inggris dan Amerika Serikat) yang ternyata agak berbeda dengan Eropa kontinental. Di belahan dunia Anglo Sakson mi sebagaimana dapat dikaji pada berbagai literatur yang ada tidak membedakan secara tegas pengertian seperti filsafat hukum, teori hukum, dan lain sebagainya. Namun tampaknya penggunaan istilah “jurisprudence” lebih lazim daripada “philosophy of law”, “legal philosophy” atau “theory of laws” dan “legal theory”.
60
Apa yang menjadi ruang lingkup penyelidikan filsafat (teori) hukum, hingga saat ini juga masih dipersoalkan para ahlinya. Bahwa belum terdapat kata sepakat, untuk mudahnya dapat dilihat materi yang dibahas pada literatur-literatur yang menggunakan kata jurispruden sebagai judulnya. Lord
Lloyd
of
Hampstead,
Introduction
to
Jurisprudence,
membahas (secara garis besarnya): (1) Nature of jurisprudence; (2) Meaning of law; (3) Natural law; (4) Positivism, analytical jurisprudence and the concept of law; (5) Pure theory of law; (6) Sociological school; (7) American realism; (8) The Scandanavian realist; (9) Historical and anthropological jurisprudence; (10) Marxist theory of law and socialist legality; (11) Judicial process. Dias, Jurisprudence, membahas tentang: (1) Introduction; (2) Advantages and disadvantages; (3) Distributive justice; (4) The problem of power; (5) Control of liberty; (6) Justice in deciding disputes; percedent; (7) Statutory interpretation; (8) Custom; (9) Values; (10) Duties; (11) Persons; (12) Possession; (13) Ownership; (14) Justice in adapting to change. Mulai ad 2 s/d 14 digolongkan dalam Part I: Aspects of Justice, sedangkan Part II, yaitu Legal Theory, meliputi: (1.5) Positivism, British theories; (16) The pure theory; (17) Historical and anthropological approaches; (18) Economic approach; (19) Sociological approaches; (20) Modern realism; (21) Natural law. G.W. Paton, A Text-book of Jurisprudence: Book I
: Introduction: (1) The nature of jurisprudence; (2) The evolution of law; (3) The definition of law.
Book II
: The Purpose of Law: (4) Natural law; (5) Law as the protection of interests.
Book III
: Sources of Law: (6) The sources of law; (7) Custom; (8) The judicial method; (9) Statutes and codes; (10) Juristic writing and professional opinion.
61
Book IV
: The Technique of the Law: (11) Classification; (12) Rights and duties; (13) Titles, acts, events. Book V: Public Law: (14) Law and the state; (15) Criminal law.
Book VI
: Private Law: (16) The concept of legal personality; (17) Rights created by a juristic act; (18) Rights directly created by law; (19) Remedial rights; (20) Extention of rights; (21) The concept of property; (22) The concept of possession; (23) Law of procedure.
Dari perumusan Salmond ataupun Gray yang dikutip terdahulu sesungguhnya tersirat apa yang menjadi ruang lingkup filsafat (teori) hukum itu. Yang diselidiki filsafat (teori) hukum sebelum banyak dipengaruhi oleh disiplin ilmu-ilmu lain, menurut Salmond ialah: “...which seeks to lay bare the essential principles of law and legal systems.” Jadi, mengenai prinsip-prinsip dasar dari hukum dan sistem-sistem hukum. Hal ini barangkali akan nampak jelas perbedaannya apabila dibandingkan dengan ilmu hukum positif yang membahas bidang-bidang hukum tertentu yang berlaku pada saat ini di negara tertentu (AX Sarkar, 1970). Contohnya, misalnya hukum perjanjian (kontrak) atau tort terdiri dari serangkaian peraturan dan prinsip hukum yang berasal dari pihak yang berwenang yang ditetapkan kepada situasi faktual untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam praktek. Sebaliknya filsafat (teori) hukum tidak terdiri atas seperangkat peraturan yang tidak bersumber dari pihak yang berwenang dan tidak memiliki nilai praktis. Akibat dari perbedaan ini, karena filsafat (teori) hukum membuka seluas mungkin kepada
para
ahlinya
untuk
menggunakan
pemikirannya
dan
pendekatannya masing-masing, maka terdapat berbagai variasi ruang lingkup dalam berbagai buku teks mengenai obyek penyelidikan filsafat (teori) hukum ini. Konsekuensi lainnya dari perbedaan ini ialah: “...the method of inquiry apt for jurisprudence will not necessarily be one used in the study of ordinary legal subject. Thus, whereas in law we look for the rule relevant to a given situation (e.g. given the facts we can apply the rules wither a binding contract has been
62
made). In jurisprudence we ask what it is for a rule to be a legal rule, what distinguishes law from morality, etiquette and other related phenomena. In this, jurisprudence comprises philosophy of law.” (A.K. Sarkar, 1979:1)1 Pari kutipan di atas cukup jelas bahwa materi filsafat hukum tercakup ke dalam obyek penyelidikan filsafat (teori) hukum, sebab filsafat (teori) hukum juga mencoba menjawab pertanyaan, apakah yang menjadi dasar berlakunya suatu ketentuan hukum. Dalam
perkembangannya
kemudian,
yaitu
setelah
banyak
dipengaruhi oleh disiplin-disiplin ilmu lain, ruang lingkup penyelidikan filsafat (teori) hukum menjadi lebih luas dan lebih empiris. Hal ini dibuktikan oleh Dias (1976) mengenai masalah-masalah yang harus diselidiki dan dijawab oleh filsafat (teori) hukum yang meliputi: faktor-faktor apakah yang menjadi dasar berlakunya suatu hukum, faktor-faktor apa yang mendasari kelangsungan berlakunya suatu peraturan hukum, bagaimana daya berlakunya, dan dapatkah hukum itu dikembangkan.
A.
Klasifikasi Bidang Filsafat (teori) Hukum
John Austin (1832) menggolongkan filsafat (teori) hukum itu sebagai berikut: a. Expositorial jurisprudence, yaitu mengkaji hukum sebagai-mana adanya (as it is); b. Censorial jurisprudence, mengkaji hukum sebagaimana seharusnya (as it right to be). Analisis Austin dikenal sebagai pendekatan analitis (analytical approach), yakni menganalisis struktur formal hukum beserta konsep-konsepnya. Pendekatan ini banyak diikuti oleh penulis-penulis filsafat (teori) hukum. Kemudian, 1
seperti
yang
digunakan
oleh
Salmond
dan
Holland,
Setha (1959) mengemukakan ruang lingkup penyelidikan filsafat (teori) hukum dengan merumuskan: “Jurisprudence is the study of fundamental legal principles including their philosophical, his teorical and sociological bases and an analysis of legal concepts.” Menurut penulis ini, aspek-aspek filsafat, historis, sosiologis, dan analisisnya tercakup ke dalam filsafat (teori) hukum.
63
pendekatan seperti ini dikenal pula sebagai pendekatan teoretis dan filosofis. Salmond mengemukakan penggolongan yang lain: a. Analytical jurisprudence, yaitu analisis dari prinsip-prinsip utama hukum tanpa memperhatikan aspek historis mau-pun aspek etisnya; b. Historical jurisprudence, yaitu studi tentang perkembang-an konsep hukum yang fundamental; c. Ethical jurisprudence, yaitu studi mengenai kegunaan dan tujuan yang harus dicapai oleh hukum. Secara tidak langsung Paton (1951:3) mengemukakan tentang adanya tiga golongan filsafat (teori) hukum yang menuntut pendapatnya ketiganya sedang berselisih paham mengenai apa yang menjadi obyek utama pembahasan filsafat (teori) hukum. Ketiga golongan tadi ialah: a. Pure science of law yang mengonsentrasikan penyelidikannya pada teori-teori
hukum
yang bersifat abstrak, yaitu berusaha untuk
menemukan elemen-elemen dari ilmu hukum murni berupa faktor-faktor yang diakui kebenarannya secara universal, terlepas dari preferensi, pandangan yang etis, dan sosiologis. b. Functional (sosiological) jurisprudence yang menganggap pandangan pure science of law sebagai amat terbatas dikaitkan dengan kehadiran hukum itu, sesungguhnya berfungsi untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial. Menurut para pengikut aliran ini, “We can understand what a thing is only if we examine what is does.” c. Theological jurisprudence yang menganggap lingkup penyelidikan filsafat (teori) hukum adalah bahwa hukum itu merupakan produk dari pemikiran manusia yang berkaitan erat dengan tujuannya. Pertanyaan yang harus dijawab dalam hal ini ialah apakah yang menjadi tujuan utama dari hukum. Pendekatan filsafat (teori) hukum ini filosofis. 3.4 Kegunaan Mempelajari Filsafat (teori) Hukum Seringkali orang berpendapat bahwa mempelajari filsafat (teori) hukum itu memiliki nilai praktis yang sangat terbatas. Oleh A.K. Sarkar
64
(1979:3) dikemukakan bahwa walaupun filsafat (teori) hukum itu bersifat abstrak dan teoretis untuk dipelajari, kegunaannya ialah: a. filsafat (teori) hukum merupakan obyek studi yang menarik yang hanya dapat
dicapai
oleh
mereka
yang
sungguh-sungguh
ingin
mempelajarinya. Spekulasi dan teori memiliki daya tarik alami, apa pun obyeknya. Jika seseorang dapat berspekulasi tentang hakikat cahaya, mengapa tidak mengenai hakikat hukum? b. penelitian-penelitian di bidang filsafat (teori) hukum memiliki manfaat bagi disiplin-disiplin ilmu lainnya. Pemantulannya meliputi keseluruhan seperti kedokteran, hukum, politik, dan pemikiran-pemikiran sosial. c. filsafat (teori) hukum juga memiliki nilai praktis. Di bidang hukum/ generaiisasi bermakna kemajuan-kemajuan atau perkembangan. Hal ini dapat menyatukan atau menyarankan penggunaan konsep-konsep dasar yang sama guna mendasari berbagai faktor sosial dan membuka jalan bagi penyelesaian beraneka ragam masalah sosial dengan hanya menggunakan satu teknik. Jadi, kompleksitas hukum lebih dapat dikendalikan dan lebih rasional, yaitu teori dapat membantu dalam praktek. d. filsafat (teori) hukum juga memiliki nilai pendidikan. Di sini penalaran konsep-konsep hukum lebih mempertajam teknik yang dimiliki para ahli hukum itu sendiri. e. filsafat (teori) hukum akan membawa para ahli hukum dari cara berpikir hukum secara formal ke realitas sosial. Ini berarti bahwa dalam menerapkan hukum perjanjian, misalnya, para ahli hukum memerlukan pula pengetahuan-pengetahuan di bidang ekonomi, kriminologi, pidana, psikiatri, sosiologi, dan sebagainya. f. pada akhirnya, filsafat (teori) hukum dapat membawa para ahli hukum untuk melihat jauh ke depan. Sudah barang tentu pula akan lebih menyadarkan para ahli hukum dalam kebijaksanaan hukumnya. Mereka
akan
selalu
menyesuaikan
kebijaksanaan
itu
dengan
65
keperluan-keperluan sosial yang aktual, dan menghindarkan sebanyak mungkin pemujaan terhadap hal-hal yang silam.
66
BAB V HAKIKAT KEADILAN DALAM FILSAFAT HUKUM Jika pokok persoalan dalam hukum adalah manusia, maka pokok persoalan bagi manusia yang hendak dicapainya melalui hukum adalah keadilan.2 Hans Kelsen yang merupakan pelopor bagi ajaran hukum murni menegaskan bahwa pengertian hukum harus dibedakan dari pengertian keadilan. Dan jawaban bagi pertanyaan mengenai daya-laku dari hukum sehingga kaidah-kaidahnya harus dilaksanakan dan dipatuhi, sangat tergantung dari hubungan yang ditetapkan antara hukum dan keadilan.3 Hubungan itu pada dasarnya adalah sederhana saja: Magnis-Suseno mengutip kata-kata dari Gustav Radbruch yang mengatakan bahwa “Hukum bisa saja tidak adil..., tetapi hukum hanyalah hukum karena maunya adil”.4 Meskipun demikian, hubungan antara hukum dan keadilan seperti yang dirumuskan oleh Radbruch itu belum lagi menjelaskan banyak persoalan mengenai hakikat dari keadilan itu sendiri, dan dengan demikian juga mengenai persoalan, kapankah hukum itu kondusif menuju ke keadilan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa rumusan Radbruch justru baru merupakan awal dari persoalan untuk mencari kejelasan mengenai hakikat dari keadilan, karena dengan menyatakan bahwa “hukum hanyalah hukum karena maunya adil” belumlah lagi menjelaskan mengapa hukum itu niscaya merupakan korelat dari keadilan. Sekalipun terdapat pembedaan antara hukum dan keadilan, serta adanya upaya untuk meletakkan keduanya dalam hubungan yang fungsional, keadilan yang hendak dicapai melalui hukum itu adalah esensial bagi negara mana pun. Tidak berlebihan jika Hart mengutip Aurelius Augustinus yang dalam 2
Pokok persoalan manusia memang bisa aneka ragam: dalam konteks medisin, persoalannya adalah kesehatan; dalam konteks ekonomi, persoalannya adalah kesejahteraan; dalam konteks pedagogi, persoalannya adalah kecerdasan, dan sebagainya. 3 Kelsen: 402. 4 Magnis-Suseno: 82.
67
abad IV menyatakan secara retoris bahwa “ What are states without justice but robber-bands enlarged?”5 Dengan kata lain, suatu negara yang tidak mencerminkan keadilan tidak usah menyebut dirinya negara! Meskipun banyak buku mengenai filsafat hukum yang antara lain mengupas juga masalah keadilan, buku dari Hans Kelsen yang mula-mula diterbitkan pada tahun 1934, Reine Rechtslehre, mungkin merupakan buku yang penting sehubungan dengan uraiannya mengenai keadilan. Buku itu mula-mula tenggelam dalam krisis dunia yang dikenal sebagai 'Malaise' dan Perang Dunia II yang menyusulnya. Namun, ketika diterbitkan ulang dalam tahun 1960, buku tersebut menarik banyak perhatian dan perdebatan. Di Indonesia ada satu bagian dari buku tersebut yang mengilhami banyak perdebatan mengenai sistem hukum, yang biasanya dikenal sebagai Teori Stufenbau’, yang sebenarnya merupakan bagian dari bab mengenai Rechtsdynamik. Agak aneh bahwa bagian-bagian yang lebih mendasar sifatnya malahan jarang dibicarakan di sini. Empat dasawarsa kemudian terbit buku A Theory of Justice dari John Rawls di Massachusetts dan menjadi buku yang juga banyak diperdebatkan, bahkan juga masih sampai saat buku ini ditulis.6 Bersamaan dengan penerbitan ulang dari Reine Rechtslehre itu Kelsen menerbitkan
naskahnya
yang
berjudul
Das
Problem der
Gerechtigkeit (masalah keadilan), dan dalam naskah itu dia membedah problematik tersebut secara mendasar. Dalam analisanya Kelsen berangkat dari premis bahwa keadilan mendapatkan relevansinya sebagai norma moral dalam hubungan antarmanusia.7 Berdasarkan hubungan itu suatu perbuatan manusia yang satu terhadap manusia yang lain memperoleh apa yang disebutnya 'nilai keadilan' (D: Gerechtigkeitswert), 5
Hart: 156. Saya tidak mengesampingkan pentingnya A Theory of Justice dari Rawls, tetapi Das Problem der Gerechtigkeit dari Kelsen memenangkan relevansi karena pendekatannya yang menurut hemat saya bersifat metafisik. 7 Daya mengikat suatu norma moral tidak tergantung dari hubungan antar-manusia. Dia bahkan sudah bekerja manakala seseorang mulai memiliki itikad baik atau buruk, tanpa harus pernah menyatakannya. 6
68
manakala dia dikaitkan dengan pertanyaan, apakah perbuatan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan 'norma keadilan' (D: Gerechtigkeitsnorm). Jadi perbuatan mencederai orang lain memperoleh nilai tidak adilnya dari norma yang menyatakan bahwa perbuatan mencederai orang lain adalah perbuatan yang tidak adil. Persoalannya adalah norma keadilan itu seringkali ditetapkan atau didapatkan sebagai hukum positif yang sematamata bersumber dari akal budi manusia (yang oleh Kelsen disebut sebagai sejalan dengan Mazhab Realisme Hukum).8 Dalam keadaan begitu bisa terjadi risiko bahwa norma keadilan adalah bertentangan dengan hukum positif. Lalu terjadilah bahwa nilai keadilan berbeda dengan nilai hukum. Inilah yang terjadi dengan contoh yang diberikan oleh Hart dalam hubungan dengan ayah yang memperlakukan anak-anaknya secara tidak adil, tetapi sukar untuk dikatakan sebagai telah melanggar hukum.9 Kelsen beranggapan bahwa dalam pertentangan seperti itu, norma keadilan harus diunggulkan, dengan penjelasan sebagai berikut. Karena norma hukum positif dirumuskan berdasarkan akal budi manusia semata-mata dla tidak mungkin tidak mencerminkan kenyataan yang ada (D: Seins-Tatsache) secara lengkap. Padahal, norma keadilan karena merupakan norma moral tidak mendapatkan nilainya semata-mata dari kenyataan yang ada, melainkan dan” norma yang tertinggi yang disebutnya norma dasar (D: Grundnorm) yang berasal dari sesuatu (D: Instant) yang transsenden, artinya sesuatu yang mengatasi hal ada manusia. Norma dasar itu disebutnya norma keadilan yang metafisik (D: Die Gerechtigkeitsnorm des metaphysischen Typus) dan sifatnya tidak tergantung dari pengalaman manusia. Sebaliknya, norma keadilan yang rasional (D:
Die Gerechtigkeitsnorm des rationaien Typus)
tidak
mengandalkan suatu instansi yang transendental, melainkan bertumpu
8 9
Kelsen: 403. Wofe bab 630.
69
pada pemahaman akal manusia terhadap dunia pengalaman (yang nota bene tidak bebas dari kemungkinan salah).10 Kelsen melanjutkan analisanya dengan bertolak dari norma keadilan yang rasional, yang rumus dasarnya disebut suum cuique tribuere,11 dan diterapkan dalam hubungan antarmanusia sebagai 'aturan yang mulia' (D: die goldene Regel, atau E: rule of thumb) yang berbunyi demikian, “jangan lakukan pada orang lain, apa yang kamu tidak mau itu dilakukan padamu”. Sebagai demikian, Kelsen menilai bahwa rumusrumus itu sejajar dengan apa yang terkenal sebagai kategorischer Imperativ (D: keharusan yang mutlak) dari Immanuel Kant. Jadi kalau begitu
Kelsen
menilai
ajaran
Kant
tidak
bersifat
transendental?
Kelihatannya begitu, tetapi gugatan Kelsen terhadap Kant memang cukup berat. Terutama karena Kelsen mendapatkan bahwa Kant
tidak
menjelaskan banyak konsep yang justru mempunyai makna sentral dalam ajarannya, seperti misalnya apa itu keadilan dan apa itu kaidah moral, atau: apa itu baik dan mana yang buruk.12 Seperti diketahui, rumus keharusan mutlak dari Kant yang terkenal itu berbunyi: Bertindaklah berdasarkan suatu dasar, yang pantas kau kehendaki bahwa daripadanya seharusnya terjadi kaidah yang berlaku umum.13 Kritik dari Kelsen juga tertuju kepada Aristoteles, yang disebutnya sebagai sang filosof moral.14 Aristoteles memang mempersoalkan bagaimana manusia harus menilai apa yang adil dan apa yang tidak adil. 10
Ibid: 365-366. Dari L: masing-masing memperoleh apa yang menjadi haknya. Doktrin ini berasal dari Cicero: honeste vivere, neminem laedere, suum cuique tribuere (L: hiduplah terhormat, janganlah merugikan, berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya). httrMnl.wikipedia.org/wiki/Rechtvaardiqheid. Huijbers, 1982: 41. 12 Ibid.: 367-373. 13 D: Handle so, als ob die Maxime deiner Handlung durch deinen Willen zum allgemeinen Naturgesetze werden sollte. Kant, Immanuel, 1786: Grundlegung zur Metaphysik der Sitten, Riga, edisi Redam/Stuttgart 1976: 68. Doktrin ini digugat oleh Habermas yang pada pokoknya menilai pandangan Kant sebagai terlalu simplistik. Dalam kenyataan, setiap individu bukan hanya menghadapi situasi yang spesifik, melainkan juga bahwa manusia terus-menerus menghadapi pilihan antara yang baik dan adil. Habermas, 1992. 14 Kelsen: 374-380. 11
70
Untuk tujuan itu dia mengusulkan apa yang dikenal sebagai 'ajaran Mesotes', yang pada pokoknya bertujuan mencari titik tengah di antara dua ekstrem dalam berbagai keadaan, karena baginya, dunia moral hanya bergerak di antara dua kemungkinan: kemaksiatan dan kebajikan. Jika diterapkan dalam praktek, orang dapat menghadapi pilihan seperti ini: Jika kebohongan adalah kemaksiatan, maka kebenaran adalah kebajikan. Tetapi, karena sama sekali menghindari yang buruk dan sebaliknya sama sekali mencapai yang baik itu praktis adalah tidak mungkin, seringkali orang berhadapan dengan keharusan untuk mencari jalan tengah. Pada akhirnya, kata Aristoteles: Perilaku yang adil adalah titik tengah antara berbuat tidak adil dan menderita ketidakadilan.15 Menurut penilaian Kelsen, doktrin dari Aristoteles itu antara lain mengarah pada pengakuan akan kaidah 'utang garam bayar garam' dan juga pengakuan akan asas proporsionalitas yang kemudian dikembangkan oleh Karl Marx, yang juga menjadi sasaran kritiknya. Seperti diketahui, alternatif Marx bagi tertib masyarakat kapitalis yang digugatnya adalah penerapan prinsip persamaan dalam bentuk keseimbangan proporsional antara hak dan kewajiban dari setiap anggota masyarakat. Dalam teori Marx, sistem ekonomi harus menjamin bahwa masing-masing
orang akan menerima
apa
yang sesuai
dengan
kecakapannya dan kebutuhannya.16 Interpretasi Kelsen adalah bahwa pemenuhan kewajiban oleh setiap individu adalah dependen dari, dan korelatif terhadap hak individu untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi pemenuhan kebutuhan hanya dapat terjadi, jika setiap orang konsekuen memenuhi kewajibannya juga. Dan justru hal itulah yang dianggap sebagai utopis oleh Kelsen dari teori Marx. Kelsen mengamati bahwa dalam kenyataannya kebutuhan individu dapat sedemikian beragam, sehingga potensial juga untuk saling bertentangan. Misalnya, jika dalam suatu ruangan rapat orang yang satu merokok dan menikmati asapnya, 15 16
Ibid.: 376, dikutip dari Aristoteles: Ethica Nicomacheia. Ibid.: 382.
71
sementara orang yang lain sungguh-sungguh menderita karenanya (misalnya, karena alergi atau penyakit asma), hak siapakah yang harus dihormati? Tampaknya, akal sehat mempunyai jawaban yang jelas untuk persoalan itu.17 Orang yang merokok tidak akan mati jika tidak merokok, sementara orang yang tidak merokok bisa sangat menderita jika dipaksa untuk “ikut merokok”. Pada akhirnya, seperti yang diramalkan oleh Kelsen, prinsip proporsionalitas itu akan diterapkan sebagai prinsip: Masingmasing memperoleh apa yang akan ditetapkan sebagai harus berlaku demikian bagi setiap orang.18 Jika prinsip proporsionalitas itu tidak diterapkan kepada suatu kewenangan yang dapat menetapkan suatu norma, melainkan terhadap setiap individu, maka yang akan terbit adalah 'cinta kasih terhadap sesama manusia' (D: Nachstenliebe). Dan itulah justru konsep yang digugat oleh Kelsen dari ajaran Kristen, yang katanya sering tidak konsisten.19 Banyak contoh yang dikemukakannya untuk membuktikan pandangan dari Kitab Injil yang menyatakan bahwa apa yang ada di dunia sekarang ini adalah suatu kenyataan yang tidak adil, sementara keadaan yang adil 'masih akan datang'. Misalnya, dalam Injil ditulis bahwa mereka yang unggul di dunia ini, di akhirat akan menjadi yang terakhir, atau mereka yang buta di dunia ini, kelak akan menjadi mereka yang melihat. Untuk Kelsen, janji seperti yang diungkapkan dalam Injil itu justru merupakan konsep yang tidak adil. Lalu bagaimana gagasan Kelsen sendiri? Kelsen menghadapkan norma keadilan yang rasional kepada norma keadilan yang metafisik seperti yang dirintis penjelasannya oleh 17
Habermas (1992) mencoba mengatasi persoalan ini dengan proyek tindakan komunikatif (kommunikatives Handeln) yang terus-menerus di antara berbagai individu yang datang dari berbagai latar belakang. Dalam kasus seperti ini, prinsip solidaritas dari Habermas akan mengatakan, bahwa penderitaan yang lebih besar harus dihindarkan. Jadi orang harus berhenti merokok, karena berhenti merokok tidak mencelakakan si perokok, sementara sebaliknya asap rokok dapat mencelakakan orang-orang yang tidak sanggup menghirupnya. 18 Kelsen: 385. 19 Ibid: 387.
72
Platon. Dengan latar belakang pengadilan terhadap Sokrates, masalah keadilan memang menjadi tema sentral dalam Idealisme Platon. Dia mengajarkan bahwa keadilan menghendaki perlakuan bagi manusia yang sedemikian rupa, sehingga mencerminkan gagasan kebaikan yang transsendental,
yang tidak
mungkin
dicapai
melalui
pengetahuan
rasional.20 Dalam kenyataannya, masalah keadilan mempunyai makna yang sangat mendasar bagi kehidupan bersama manusia. Kerinduan akan keadilan adalah sebegitu mendalamnya, justru karena kerinduan itu bersemayam dalam hasrat akan kebahagiaan yang tidak mungkin dibinasakan. Kelsen menilai bahwa keadilan versi Platon itu adalah suatu keadilan absolut yang tidak dapat diwujudkan di dunia ini, karena jaminannya hanya terdapat di alam seberang. Karena itu, tulis Kelsen, Idealisme Platon mengenai keadilan merupakan suatu ilusi yang abadi. Karena itu penilaian mengenai adil atau tidak adilnya hukum akan lebih ditentukan oleh sikap yang kita ambil terhadap hubungan antara hukum dan keadilan. Dengan kata lain, untuk dapat sampai pada penilaian mengenai adil atau tidak adilnya hukum, posisi hukum itu sendiri yang harus dijelaskan lebih dulu. Melalui analisisnya yang rinci terhadap posisi ajaran hukum alam di satu pihak dan ajaran positivisme hukum di lain pihak, Kelsen tiba pada konsekuensi berikut: Norma keadilan yang metafisik pada dasarnya lahir dari ajaran hukum alam yang idealistis. Karena seperti yang sudah terjadi dengan Idealisme Platon, idealisme dalam ajaran hukum alam juga menyiratkan dualisme dalam norma keadilan. Yang satu adalah norma keadilan yang sumbernya bersifat transendental, dan yang lain lagi adalah norma keadilan yang bersumber pada akal btidi manusia. Itulah sebabnya mengapa ajaran hukum alam itu bersifat dualistik. Ajaran positivisme hukum sebaliknya bersifat monistik, karena ajaran itu hanya mengakui satu macam keadilan, yaitu keadilan yang lahir dari hukum positif yang ditetapkan oleh manusia.
20
Ibid.,: 399.
73
Kelsen kemudian mengambil sikap dengan mengembangkan pandangan yang kemudian dikenal sebagai ajaran hukum murni. Dengan tegas ditulisnya bahwa ajaran hukum murni bersifat monistik, dan karenanya hanya mengakui satu macam hukum, yaitu hukum positif. Meskipun demikian, ajaran hukum murni mengakui peranan dari norma dasar (D: Grundnorm) yang merupakan produk dari proses yang transendental-logis (dan dengan demikian Kelsen mempertahankan metode yang digunakan dalam ajaran hukum alam). Norma dasar itu bukanlah suatu jenis hukum yang lain dari hukum positif. Norma dasar itu merupakan dasar berlakunya hukum positif. Sebagai demikian, norma dasar itu tidak memiliki hakikat yang etis maupun politis, melainkan semata-mata
merupakan
pengetahuan
teoretis
(D:
erkenntnfstheoretisch).21 Dengan pandangannya itu Kelsen mengambil jarak dari penafsiran terhadap keadilan yang menggunakan aneka macam legitimasi, baik politik maupun etik (yang dalam pandangan Kelsen tidak dapat melepaskan diri dari muatan teologis). Meminjam penjelasan Kelsen mengenai masalah keadilan tidak dengan sendirinya menyelesaikan masalah itu sendiri. Analisa Kelsen berharga untuk memahami konsep keadilan secara jernih dan bebas nilai. Meskipun demikian, dengan mengetengahkan ajaran hukum murni, Kelsen sendiri sebenarnya adalah seorang idealis juga. Katakanlah bahwa 'hukum murni' (D: reines Recht) memang ada. Kita kemudian akan menghadapi pertanyaan, apakah lalu ada juga 'sejarah murni' dan karena itu juga 'politik murni? Terlepas dari apa jawaban yang dapat diberikan terhadap pertanyaan itu, masalah keadilan dan konsep hukum tidak bisa dipandang
sebagai
sesuatu
yang
terlepas
dari
konstelasi
dan
kompleksitas kehidupan bersama manusia, lebih-lebih lagi dalam masyarakat internasional yang berstruktur global seperti yang kita hidupi sekarang.
21
Ibid.: 43 et seq.
74
Kelsen mungkin boleh ditandai sebagai salah satu tokoh penting yang terakhir sejak Solon di zaman Yunani kuno yang berusaha menerangkan substansi metafisik dari keadilan. Kendati begitu, bagaimanapun substansialnya masalah keadilan, dia pada akhirnya tidak bisa dipandang sebagai suatu masalah yang berdiri sendiri, apalagi untuk dirinya sendiri. Keadilan boleh jadi merupakan salah satu persoalan utama bagi manusia sebagai ko-eksistensi, tetapi adalah kompleksitas dari keadilan itu sendiri juga yang membuatnya terpaut dengan berbagai aspek dari ko-eksistensi manusia itu. Itulah sebabnya, pemahaman terhadap masalah keadilan tidak bisa mengesampingkan sudut pandang yang lain, seperti yang akan dijelajahi dalam bagian-bagian selanjutnya dari buku ini.
A. Keadilan Individual' dan Keadilan 'Sosial' Kegiatan membahas filsafat hukum tanpa membahas juga masalah keadilan sosial adalah mirip dengan mengupas kebenaran sambil menghindarkan diri dari jenis-jenis kebenaran tertentu. Karena “hukum adalah hukum karena maunya adil”, sedangkan hukum hanya relevan bagi kehidupan bersama, maka pembahasan mengenai filsafat hukum tidak mungkin mengingkari pembahasan mengenai masalah keadilan juga dalam
konteks
kehidupan
bersama
yang
empiris
dan
sekaligus
multikompleks. Sebagai demikian, masalah itu sudah terlanjur dikenal sebagai masalah 'keadilan sosial', yang bahkan diadopsi juga dalam Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945.22 Karena ada pengertian 'keadilan sosial' seharusnya dikenal juga pengertian 'keadilan individual' (seperti yang ternyata memang digunakan oleh Magnis Suseno), yang jika memang ada dan digunakan, merupakan
22
Kerancuan itu bukan hanya terjadi dalam alam pikiran budaya bahasa Indonesia saja, melainkan juga dalam alam pikiran bahasa lain. Dengan makna yang sama, dalam bahasa Inggris 'keadilan sosial' disebut social justice, atau dalam bahasa Jerman disebut soziate Gerechtigkeit.
75
contradictio in termini.23 Kendati demikian, jika konsistensi itu dilanjutkan, kerancuan malah akan menjadi lebih besar lagi. Karena, seperti yang sudah kita bahas di muka, masalah keadilan selalu hanya relevan dalam hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain, sehingga sebenarnya tidak ada pengertian 'keadilan sosial' maupun pengertian 'keadilan individual'. Istilah 'keadilan sosial' jadinya malahan merupakan suatu tautologi yang serba salah. Karena keadilan adalah suatu konsep yang hanya relevan dengan hubungan antarmanusia, dia harus dibahas terutama dalam konteks yang sosial sifatnya. Keadilan, atau dalam pemahaman Rawls fairness, pada akhirnya memang tidak memiliki relevansi yang individual sifatnya. Persoalan tentang adil atau tidak adil hanya bisa muncul sebagai akibat dari rangkaian aksi dan reaksi dalam kompleks perilaku manusia yang koeksistensial. Karena itu, aspek hubungan antarmanusia yang sarat dengan masalah keadilan membuatnya selalu peka untuk suatu tinjauan yang bersifat sosiologis. Dan karena tinjauan sosiologis tidak bisa menghindarkan diri dari pengakuan akan adanya struktur dalam masyarakat mana pun, termasuk juga dalam 'masyarakat tanpa kelas' model Marx, masalah keadilan pada akhirnya tidak bisa menghindarkan diri dari pembahasan dalam konteks yang struktural juga. Itulah yang tampaknya antara lain telah dilakukan oleh Magnis-Suseno dalam bukunya Etika Politik dan empat dasawarsa yang lalu oleh Hart.24 MagnisSuseno menggunakan istilah 'keadilan sosial dan membedakannya dari istilah 'keadilan individual”. Ada dua contoh menarik yang diberikannya. Masalah 'keadilan individual' terjadi jika seorang pengajar memberikan angka yang lebih baik untuk suatu prestasi yang sama kepada seorang mahasiswa tertentu dibanding kepada mahasiswa yang lain semata-mata 23
Contradictio in termini adalah nama untuk suatu kesalahan berpikir yang diindentifikasi dalam konteks logik yang artinya adalah: kesalahan dalam dirinya sendiri. Contoh lain untuk bentuk kesalahan ini adalah misalnya pengertian 'es goreng' atau 'api yang dingin'. 24 Magnis-Suseno: Bab XVII/2; Hart: 165-167.
76
karena favoritisme. Lain lagi dengan Hart yang memberikan contoh di mana seorang ayah memperlakukan seorang anaknya secara kejam. Dalam kasus seperti itu tidaklah terjadi ketidakadilan, Meskipun memang diakui oleh Hart bahwa perlakuan seperti itu adalah “morally wrong, bad or even wicked'25 Ayah tersebut baru bertindak tidak adil (unjust) jika dia memperlakukan salah seorang anaknya secara lebih kejam dibandingkan dengan perlakuan kejamnya kepada anak-anaknya yang lain.26 Hart tidak menspesifikasikan ketidakadilan dalam kasus ayah-anak itu sebagai ketidakadilan individual. Meskipun demikian, baik dalam kasus dosenmahasiswa dari Magnis-Suseno maupun dalam kasus ayah-anak dari Hart, yang terjadi adalah ketidakadilan yang lahir dari pertimbangan subjektif belaka. Jadi, yang relevan di sini adalah keadilan atau ketidakadilan yang subjektif, dan bukan keadilan atau ketidakadilan yang individual. Karena ada keadilan atau ketidakadilan yang subjektif, maka ada juga keadilan atau ketidakadilan yang objektif. Magnis-Suseno memperlihatkan masalah 'keadilan sosial' dalam kasus, di mana seorang pengusaha karena rasa keadilannya mau memberikan gaji yang memenuhi syarat hidup minimum kepada buruhnya, tetapi tidak mampu melakukannya, karena struktur politik-sosial-ekonomi tidak
memungkinkannya.27
'Ketidakadilan
sosial'
itu
disebutnya
'ketidakadilan struktural', karena ketidakadilan itu tidak terjadi karena lahir dan
kebebasan
individual,
melainkan
karena
paksaan
struktural
masyarakat yang merupakan kenyataan objektif. Artinya, masalah keadilan sosial adalah masalah keadilan struktural (dan masalah struktural adalah masalah objektif). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: jika 'ketidakadilan sosial' adalah ketidakadilan struktural, masuk kategori manakah 'ketidakadilan individual' itu? Magnis-Suseno memang tidak mempersoalkannya, tetapi untuk filsafat hukum pertanyaan itu relevan, 25
Hart: 157. Ibid.: 158. 27 Magnis-Suseno: 331 etseq. 26
77
karena berkaitan langsung dengan masalah kewajiban untuk memikul akibat dari ketidakadilan. Kasus pengusaha-buruh seperti yang diajukan oleh
Magnis-Suseno
memang
sangat
mungkin
merupakan
suatu
problematik 'ketidakadilan struktural', tetapi belum tentu juga merupakan refleksi dari pelanggaran terhadap 'keadilan sosial'. Penjelasannya mungkin dapat diperoleh lewat deskripsi dari Hart. Dengan semangat utilitarianisme Inggris Hart memperlihatkan problematik ketidakadilan sosial dalam suatu keadaan, manakala suatu kewajiban belajar oleh negara untuk semua anak bukan hanya bisa melanggar hak warga negara tertentu yang hendak mendidik anaknya melalui jalur swasta, melainkan juga bisa mengorbankan pembiayaan bagi jaminan sosial bagi pekerja industri, pensiun hari tua atau pelayanan kesehatan cuma-cuma yang juga diperlukan dalam masyarakat.28 Rawls
mengabstraksikan
deskripsi
dari
Hart
itu
dengan
merumuskan 'keadilan sosial' sebagai “... the way in which the major social institutions distribute fundamental rights and duties and determine the division of advantages from social cooperatiori'?29 Dengan major social institutions itu dimaksudkannya “the political constitution and the principal economic and social arrangements”. Dalam kerangka serupa itu, ketidakadilan sosial itu lebih merupakan akibat dari proses legislasi parlementer yang gagal melaksanakan distribusi dari berbagai sumber daya, ketimbang konsekuensi dari struktur politik-sosial-ekonomi yang tidak kondusif. Dengan demikian Rawls cenderung untuk memahami 'keadilan sosial' sebagai keadilan distributif, sikap mana juga tercermin dari pernyataannya yang nyata sekali disemangati oleh konstitusi Amerika Serikat: “All social values — liberty and opportunity, income and wealth, and the bases of self-respect— are to be distributed equally unless an unequal distribution of any, or all, of these values is to everyone's advantage. Konsekuensinya adalah, keadilan bukan hanya ditegakkan jika 28 29
Hart: 166 etseq. Rawls, 1971: 7.
78
semua manfaat didistribusikan secara merata, tetapi juga jika distribusi yang tidak merata itu berdampak memberi manfaat yang sama bagi semua orang. Karena itu, ketidakadilan untuk Rawls juga menjadi soal yang sederhana saja: “Injustice, then, is simply inequalities that are not to the benefit of all'?30 Artinya, jika ketidakadilan itu dialami oleh semua orang, keadaan seperti itu menghasilkan keadilan juga. Itulah konsekuensi final dari konsep iustitia distributiva sebagai salah satu paham keadilan seperti yang sudah lebih dulu diajukan oleh Thomas Aquinas. Argumentasi dari Magnis-Suseno bagi penanggung jawab atas situasi ketidakadilan struktural sangat jelas: karena paksaan yang timbul dari struktur politik-sosial-ekonomi mengatasi kebebasan individu untuk membuat keputusan yang secara etis bisa dipertanggungjawabkan, tanggung jawab itu dicabut dari si individu dan beralih kepada pemerintah. Tidak
bisa
lain,
karena
pemerintah
memang
ditugaskan
untuk
membangun suatu struktur politik-sosial-ekonomi yang sedemikian rupa, sehingga tidak menghasilkan ketidakadilan struktural (ketidakadilan objektif). Dalam kasus yang diajukan oleh Hart, tanggung jawab itu sudah menjadi lebih jelas lagi, dan tidak sekedar terletak pada negara, melainkan pada rakyat sendiri sebagaimana mereka (seharusnya) diwakili dalam
parlemen.
'ketidakadilan
Sebaliknya,
individual'
penanggung
terpulang
jawab
kepada
bagi
penyebab
individu
yang
menyebabkannya, karena individu membuat keputusan yang kemudian melahirkan 'keadilan individual' atau 'ketidakadilan individual' (yang lebih tepat disebut sebagai 'keadilan subjektif atau 'ketidakadilan subjektif) semata-mata berdasarkan kebebasan dan akalnya sendiri, individu yang bersangkutan juga memikul tanggung jawab etis itu sendiri. Jadi korelat bagi persoalan ketidakadilan struktural sebagai ketidakadilan objektif (atau yang umumnya disebut 'ketidakadilan sosial' itu adalah ketidakadilan subjektif (dan bukannya 'ketidakadilan individual'). Pada akhirnya, baik 'keadilan sosial' sebagai keadilan struktural yang objektif di satu sisi dan 30
Ibid.: 62.
79
'keadilan individual' sebagai keadilan subjektif di sisi yang lain, samasama memiliki esensi etik. Dari korelasi itu bermula suatu masalah yang berkepanjangan: ' Jika suatu ketidakadilan subjektif bisa menghadapi reaksi dan sanksi dari hukum positif, sejarah dunia memperlihatkan bahwa hukum positif pada umumnya tidak memadai untuk mengatasi ketidakadilan struktural. Faktor itulah juga yang mendorong Karl Marx yang nota bene adalah seorang ahli
hukum
untuk
menganjurkan
revolusi
proletar
ketimbang
mengusahakan keadilan struktural melalui proses legislasi. Logika dari Marx adalah: tidak ada orang yang sudan hidup senang cenderung berbagi kesenangan dengan yang hidupnya tidak senang. Magnis-Suseno tidak menganjurkan revolusi untuk mengatasi ketidakadilan strukturai, melainkan mendorong perjuangan kaum korban ketidakadilan strukturai itu sendiri.31 Anjuran itu bukannya tidak sarat dengan persoalan. Pertama, korban ketidakadilan strukturai umumnya adalah pihak yang 'tidak terstruktur' yang harus menghadapi suatu struktur (kekuasaan) yang mapan, yang karena itu memiliki segala sarana dan menguasai segala cara untuk mengatasi perjuangan dari kaum korban ketidakadilan struktural. Salah satu cara yang sah antara lain dengan menerapkan 'hukum yang berlaku'. Padahal, 'hukum yang berlaku' itu sering sarat dengan unsur ketidakadilan struktural. Itulah sebabnya, mengapa Foucault
yang
postmodernis
dan
tergolong
dekonstruktif32
mengidentifikasi hukum sebagai kekuasaan juga, bukan hanya karena hukum itu adalah pranata yang memaksa, tetapi juga lebih-lebih karena hukum hanya mengharuskan atau melarang, sambil sama sekali tidak menjanjikan imbalan.33 Di negara-negara yang otoriter, xhukum yang berlaku' itu seringkali memang legal, tetapi lebih sering lagi adalah tidak legitim. Artinya, 'hukum 31 32 33
Magnis-Suseno: 334 etseq. Sugiharto: 16. Filiingham: 125.
80
yang berlaku' itu bisa saja dibuat sesuai dengan prosedur legislasi yang berlaku, tetapi tidak mencerminkan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Kedua, struktur yang menjadi mapan secara bertahap itu pasti juga mempengaruhi kesadaran etis dari masyarakat. Dengan rasa adil yang tidak bisa disalahtafsirkan, mereka yang lemah secara politissosial-ekonomis bisa saja mempertanyakan: Jika 'mereka' bisa berhurahura dalam gelimang kesenangan hidup, mengapa saya tidak boleh, padahal kita hidup dalam suatu Republik yang demokratis? Sebenarnya, interpretasi sepihak yang tidak terlalu salah itulah yang merupakan sumber dari ketidakpuasan sosial, yang pada gilirannya bisa saja meletus sebagai kerusuhan massal yang bisa sporadis, namun bisa juga melebar kronis dan ada kalanya meluap sebagai gesellschaftliche Umwandlung (D: penjungkirbalikan masyarakat). Pertanyaan
seperti
itu akan membuka
pintu
bagi
banyak
pertanyaan lain, terutama yang menyangkut transparansi proses politiksosial-ekonomi, yang di kebanyakan negara berkembang tidak terbuka bagi rakyat yang umumnya tidak terlibat di dalamnya, karena penerapan demokrasi
baru
sebatas
penegasannya
dalam
konstitusi.
Risiko
berikutnya adalah rakyat yang tidak teremansipasi itu lambat laun juga akan mempertanyakan kesepakatan politik yang menjadi dasar hukum bagi struktur politik-sosial-ekonomi yang berlaku itu. Kira-kira pada saat itulah kesadaran etik-sosial masyarakat akan memasuki kegalauan. Dan jika kesadaran etik-sosial masyarakat sudah dibingungkan, kesadaran hukum menjadi kebutuhan sosial yang kurang relevan, sehingga gejolak sosial dan naiknya tingkat kriminalitas lalu menjadi sebagian dari akibatakibat besar yang dipicunya. Dalam keadaan demikian, aneka operasi keamanan anti kerusuhan yang musiman sifatnya tidak hanya akan mempunyai dampak tambal-sulam yang mahal, tetapi juga sekadar mengabdi kepada struktur yang tidak adil itu. Itulah sebabnya, mengapa sejumlah pemikir di bidang filsafat selepas Perang Dunia II menganjurkan pembebasan manusia dari struktur
81
yang dalam kenyataannya menjadi penindasan terselubung atas manusia. Dimulai dengan Lyotard, Derrida dan Foucault, para pemikir postmodernis menganjurkan pembebasan eksistensi manusia dari berbagai struktur yang telah tercipta dalam sejarah. Filsafat hukum baru untuk sebagian bisa menanggapi pandangan ini, tidak lain terutama karena hukum pada akhirnya adalah suatu struktur, malahan suatu struktur yang amat ketat. Habermas berusaha menerobos dilema itu dengan teori komunikasinya yang menganjurkan diskursus antarmanusia yang tidak hanya terobsesi oleh keadilan (D: die Gerechtigkeit), melainkan juga memberi tempat bagi pencarian bersama akan kebaikan (D: das Gute).34 Diskursus serupa itulah diharapkan akan memungkinkan pelibatan rakyat banyak dengan para pemimpinnya dalam proses politik-sosial-ekonomi yang merupakan faktor penting dalam kerangka usaha menjaga stamina etik-sosial masyarakat. Stamina etik-sosial masyarakat yang terjaga pada giliran berikutnya akan meningkatkan rasa hormat terhadap hukum, dan rasa hormat yang merata terhadap hukum akan membuat aneka operasi keamanan anti kerusuhan yang seringkali sarat dengan konotasi kekerasan
menjadi
kehilangan
relevansinya.
Mengapa?
Karena
masyarakat tahu bahwa mereka memang tidak perlu membuat kerusuhan. Jika masyarakat merasakan bahwa aspirasi mereka terakomodasi dalam proses politik-sosial-ekonomi, dengan sendirinya mereka juga tidak merasa perlu meletupkan kemarahan mereka, dan operasi keamanan antikerusuhan juga menjadi tidak perlu. Kita paham, bahwa situasi ideal ini bagi Indonesia masih merupakan impian, bahkan mirip dengan impian di siang hari (yang lebih implausibel ketimbang impian di malam hari).
B. Aspek-aspek Keadilan Diskursus tentang hubungan antara keadilan 'individual' dan keadilan 'sosial' mau tidak mau akan bersentuhan juga dengan persoalan
34
Habermas, 1992.
82
mengenai dua aspek keadilan yang utama, yaitu aspek pertinensi35 keadilan serta aspek rasa keadilan. Berikut ini hendak dibahas masingmasing aspek tersebut. 1. Pertinensi Keadilan Pembahasan mengenai pertinensi keadilan menjadi relevan karena masalah keadilan memang tidak bisa dipandang sebagai suatu hal atau cita-cita yang berdiri sendiri. Masalah itu selalu terletak dalam suatu pola hubungan antarmanusia yang tertentu. Huijbers mencatat bahwa Thomas Aquinas adalah pemikir pertama yang meletakkan gagasan keadilan dalam kerangka kontekstual tertentu:36 a. Keadilan distributif (L: iustitia distributiva) diterangkannya sebagai keadilan yang berkenaan dengan pembagian jabatan, pembayaran pajak, dan sebagainya, sedangkan b. Keadilan legal (L: iustitia legalis) adalah yang menyangkut pelaksanaan hukum umum. c. Keadilan
tukar-menukar
(L:
iustitia
commutativa)
adalah
yang
berkenaan dengan transaksi seperti jual-beli, dan yang diletak-kannya diametral dengan d. Keadilan balas dendam (L: iustitia vindicativa), yang (di masa itu) berlaku dalam hukum pidana. Huijbers juga mencatat bahwa pertinensi keadilan ini kemudian direvisi oleh pemikir-pemikir Jerman: Samuel Pufendorf dan Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716) sebagaimana kemudian dikembangkan lebih jauh oleh muridnya: Christian Wolff (1679-1754).37 Di samping iustitia distributiva dan iustitia commutativa, Pufendorf juga mengemukakan adanya iustitia generalis, yaitu keadilan dalam artian umum yang 35
Istilah 'pertinensi' saya pinjam dari bahasa Inggris: pertinence. Artinya adalah ‘keterkaitan’ atau 'dalam hubungan dengan'. Maksudnya memang adalah, bahwa keadilan selalu harus dilihat dalam kaitan dengan suatu hubungan antarmanusia yang kontekstual. 36 Huijbers, 1993: 43. 37 Ibid.: 70-79.
83
merupakan
suatu
keutamaan
menimbulkan ikatan hukum.
38
moral
saja,
dan
karena
itu
tidak
Untuk Leibniz, keadilan didefinisikan
sebagai cinta kasih dari seorang yang bijaksana.39 Dari pengertian itulah ditarik pertinensi yang timbal-balik sifatnya (iustitia commutativa) dan yang distributif sifatnya (iustitia distributiva), serta keadilan yang umum sifatnya (L: iustitia universalis) Wolff menerima deskripsi dari Leibniz, tetapi lebih jauh membuat perbedaan antara keadilan yang umum sifatnya dari keadilan yang berlaku khusus di bidang hukum (L: iustitia specialis).40 Seorang pemikir Jerman di zaman kita, Reinhold Zippelius (1928-) yang guru besar dalam filsafat hukum dan hukum tata negara di Universitas Erlangen, Jerman, mengadakan pembedaan aspek keadilan yang lebih jauh yang mencakup lima pertinensi. a. Iustitia commutativa (D: Verkehrsgerechtigkeit, keadilan timbal-balik) yang menurutnya terjadi apabila warga masyarakat melakukan transaksi
kontraktual,
dihadapkannya
pada
ausgleichende
Gerechtigkeit, yaitu keadilan yang terjadi pada suatu pemulihan dari keadaan cidera hak, misalnya manakala dilakukan tindakan ganti rugi kepada
penderita
yang
mengalami
perlakuan
yang
telah
merugikannya.41 b. Iustitia distributiva (D: austeilende Gerechtigkeit, keadilan dalam pembagian) dinyatakannya sebagai berlaku dalam hukum perdata, terutama di bidang hukum kebendaan maupun hukum keluarga. Jika ada orang yang memecahkan jambang bunga di toko, dia akan harus mengganti harganya, tidak peduli apakah dia hartawan atau orang gembel. Keadilan distributif juga sangat menonjol dalam bidang hukum
38
Ibid:. 73. Suatu keutamaan moral yang tidak punya konsekuensi hukum sebenarnya tidak relevan sebagai suatu bentuk keadilan, apalagi kalau kita kembali kepada pemahaman, bahwa pertimbangan moral mengacu kepada apa yang baik atau buruk secara batin, bukan adil atau tidak adil dalam konteks sosial. 39 Ibid.: 76 (L:) iustitia est caritas sapientis. 40 Ibid.: 77. 41 Zippelius, 1982: 89 et seq.: Karena itu, katanya, pada iustitia commutative berlaku juga asas pacra sunt servanda.
84
waris.42 Perlu dikemukakan bahwa untuk Hart yang bertradisi Inggris, iustitia distributiva itu relevan justru dalam kerangka keadilan sosial, karena langsung bertautan dengan 'public good atau 'common good', yang oleh Lloyd didefinisikan sebagai “the greatest happiness of the greatest number”.43 Zippelius juga mengajukan tiga pertinensi keadilan lain. Yang ketiga adalah apa yang disebutnya a. Strafgerechtigkeit, yaitu keadilan pidana, yang terutama ditentukan oleh dasar serta tujuan dari pengenaan hukuman pidana. Pertimbangan itu tunduk pada asas nulla poena sine lege praevia.44 b. keadilan hukum acara (D: Verfahrensgerechtigkeit, keadilan dalam proses hukum). Keadilan hukum acara ditentukan terutama oleh dua syarat: kesempatan yang sama bagi semua pihak yang berperkara untuk menegaskan posisinya, serta hakim yang tidak berat sebelah.45 Zippelius menganggap keadilan hukum acara sebagai kemajuan besar terhadap hukum acara dari Zaman Pertengahan ketika hakim adalah jaksa sekaligus. Keadilan hukum acara zaman bam dilambangkan oleh suatu peribahasa Jerman yang berbunyi-Jika tiada penggugat, maka tiada juga hakim.46 Yang terakhir adalah c. keadilan
konstitusional
(D:Verfassungsgerechtigkeit).
Keadilan
konstitusional mengemuka dalam hal penentuan syarat-syarat untuk pemangkuan jabatan kenegaraan. Dalam praktek kenegaraan yang modern, penentuan syarat-syarat itu dilakukan secara demokratis, terutama melalui pemilihan umum.47
42 43 44 45 46 47
Ibid.: 90, 114. Hart: 167; Lloyd: 117. Perlu dikemukakan catatan, bahwa baik Hart maupun Lloyd berpikir dalam kerangka utilitarianisme Inggris. Zippelius, 1982: 91. Dalam tradisi common law, posisi hakim yang demikian tunduk pada adagium “let no one be judge in his own cause”, Hart: 160. Zippelius, 1982: 92. D: Wo kein Klager, da kein Richter. Ibid.
85
Perkembangan pemikiran mengenai pertinensi keadilan dari zaman Ke zaman seperti yang dikemukakan di atas memperlihatkan, betapa dimensi dalam hubungan antarmanusia telah berkembang menjadi semakin kompleks. Pemahaman mengenai persoalan, bagaimana kita meletakkan persoalan keadilan dalam format yang relevan dengan demikian semakin lama juga semakin ditentukan oleh pemahaman kita mengenai perkembangan multidimensional dalam hubungan antarmanusia. Perkembangan ini amat penting bagi para hakim yang berkewaj.ban memperhatikan segala pertinensi yang relevan dalam kasus yang harus diputuskannya untuk menghindari, bahwa keputusan yang dibuatnya ternyata tidak adil, atau bisa juga proses pembuatan keputusannya yang tidak adil. Hal yang selalu melatarbelakangi perkembangan multidimensional itu adalah rasa keadilan. 2. Rasa Keadilan48 Usaha untuk melaksanakan hukum guna menegakkan keadilan, termasuk antara lain meletakkannya dalam pertinensi yang relevan, pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari persepsi sang subjek hukum tentang keadilan sebagai suatu gagasan yang berlaku umum tetapi pada akhirnya dapat dirasakan secara subjektif. Dikatakan demikian, karena setiap pribadi memiliki hati nurani yang berperan sebagai instansi moral dan yang mampu “memandang sesuatu sebagai benar' (atau tidak benar).49 Axioma itulah yang menjadi dasar bagi Rawls untuk mengasumsikan bahwa “...in a well-ordered society one effectively regulated by a shared conception of justice, there is also a public understanding as to what is just and unjust'?50 Asumsi itulah yang diandalkan, manakala sia-sia, misalnya bagi
seorang
hakim
untuk
meyakinkan
seorang
kreditur
bahwa
48
Pembahasan mengenai masalah rasa keadilan di sini terutama bertumpu pada uraian dari Reinhold Zippelius, 1982, dalam Bab IV mengenai Die Gerechtigkeit, anak bab B. mengenai Das Rechtsgefuht. 120-156. 49 Ibid:. 120: Zippelius menggunakan istilah Rechtsgefuht (D, harfiah: perasaan benar, sesuai dengan hukum) untuk apa yang di sini disebut rasa adil. 50 Rawls, 1971/56.
86
keputusannya untuk membebaskan seorang debitur yang dinyatakannya tidak mampu (atau sebenarnya tidak mau) membayar utangnya, dari segala tuntutan hukum, sebagai suatu bentuk keadilan. Sang kreditur telah bersedia mengikatkan diri dalam perjanjian kredit, justru karena percaya kepada rasa keadilannya yang timbal-balik dengan sang debitur, atas dasar mana keduanya paling sedikit berasumsi bahwa setiap pinjaman pada suatu ketika tertentu harus dilunasi. Kesamaan asumsi itulah yang menjamin tegaknya 'a well-ordered society. Karena itu, 'a shared conception of justice” niscaya memajukan 'a well-ordered society, tetapi sebaliknya ‘a well-ordered society' tidak niscaya memajukan 'a shared conception of justice', misalnya karena ketertiban itu dipaksakan oleh suatu diktatur. Setiap masyarakat yang normal memiliki suatu perasaan keadilan yang relatif merata terhadap bentuk-bentuk perilaku yang adil atau tidak adil yang paling umum. Adalah sukar untuk membayangkan, bahwa seorang
warga masyarakat
yang normal
menganggap suatu perbuatan adalah pencurian, selagi pada saat yang sama, tetangganya mengatakan itu bukan pencurian. Persoalannya adalah, dalam masyarakat-masyarakat yang sedang kacau, rasa keadilan itu mengalami distorsi, sehingga apa yang dianggap tidak adil oleh yang satu (misalnya: korupsi) dianggap wajar oleh yang lain, dan sebaliknya.51 Zippelius antara lain menggunakan pendekatan sosio-biolbgi untuk menerangkan adanya instansi moral dasar pada manusia mengenai rasa keadilan itu, sebagaimana diperlihatkan melalui contoh-contoh, seperti kasih ibu, pantangan insest, penolakan terhadap kebiasaan perilaku yang menyesatkan,
51
rasa
hormat
kepada
orang
yang
lebih
tua,
dan
Prof. Dr. Wolfgang Karte, mantan Presiden Bundeskartellamt (Kantor Anti Monopoli) Jerman yang meninggal tahun 2003 dalam usia 74 tahun, dalam satu diskusi menjelaskan bentuk korupsi yang di Rusia disebut ‘Deputat‘. Praktek itu meliputi penggunaan uang suap, supaya si pejabat dapat menjalankan tugas publiknya dengan layak (misalnya tidak berpakaian sebagai gembel, punya kendaraan, dan sebagainya).
87
sebagainya.52 Kelsen mengabstraksikannya sebagai dua arti
dari
perasaan keadilan; • Pertama sebagai sikap batin yang menghendaki perlakuan adil dan tidak menghendaki perlakuan yang tidak adil. • Kedua, sikap batin yang terlepas dari hukum positif yang menerima perlakuan adil atau menolak perlakuan yang tidak adil.53 Di samping itu, Kelsen berpandangan bahwa instensi moral itu juga bertumpu pada pengalaman empiris, manakala manusia “mengalaminya melalui pergaulan yang emosional dan hidup dengan alam fisik, alam psikis atau lainnya, dengan menggandrungi maupun menghindarkan, dengan mendntai dan membenci”.54 Dalam pergaulan hidup sehari-hari kita memang tidak pernah dapat bebas dari keputusan untuk menyetujui dan menerima perilaku orang lain yang benar, pantas, masuk akal, atau bisa juga sebaliknya: tidak menyetujui dan menolak perilaku yang tidak benar, tidak pantas, tidak masuk akal. Ada kalanya instansi moral itu bangkit justru ketika orang mengalami keadaan yang negatif. Zippelius mengungkapkannya dengan mengutip Riezler yang mengatakan bahwa “ketidakadilan adalah motivator dari rasa adil yang paling kuat”.55 Meskipun demikian, rasa keadilan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang mutlak. Rasa keadilan adalah senantiasa relatif sifatnya.56 Artinya, rasa keadilan itu punya keterkaitan spatial dan temporal, sehingga tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan pribadi dari sang subjek hukum 52
Zippelius, 1982: 129. Kelsen: 426-427. 54 Zippelius, 1982: 125, mengutip Max Scheler dalam Der Formalismus in der Ethik und die materiale Wertethik, (D; Formalisme dalam Etika dan Etika Nilai) 1954: 88 etseq., 269. 55 Ibid.: 127: das Unrecht sei der starkste Erwecker des Rechtsgefuhls. Majalah 77me edisi 21 Oktober 1996 memberitakan peristiwa di penjara Avon Park, Orlando, di mana Arba Earl Barr, 33 tahun, seorang terpidana 114 tahun, memukuli Donald McDougall, seorang terpidana 34 tahun, karena 14 tahun yang lalu menganiaya sampai mati Ursula Sunshine Assaid, yang ketika itu berusia 5 tahun. Barr membunuh McDougall setelah mendengar acara radio yang mengulas peristiwa pembunuhan anak itu. Kabarnya, bahkan di penjara, sesama nara pidana memandang kejahatan terhadap anak-anak sebagai sesuatu yang 'lebih jahat'. 56 Ibid: 148 etseq. 53
88
yang pasti hadir dalam konteks yang spatial dan temporal. Akibatnya, sebagai pribadi, manusia senantiasa mendapatkan dirinya berada dalam suatu kerangka tata nilai, baik tata nilai yang diperolehnya sejak lahir (E: acquired), maupun tata nilai yang diperolehnya karena belajar (E: achieved)?57 Rasa keadilan yang relatif seperti itu sukar untuk dapat diterapkan dan diberlakukan secara umum, karena setiap orang memiliki perasaan subjektif yang membedakan perbuatan yang adil dari yang tidak adil. Padahal, dalam hubungan antarmanusia diperlukan suatu tatanan objektif yang diterima secara umum, agar rasa keadilan perseorangan itu tidak pecah sebagai diskrepansi dalam rasa keadilan antarperseorangan, atau lebih parah lagi, persilangan dalam rasa keadilan antarperseorangan. Karena itu, paling sedikit diperlukan suatu kesepakatan mengenai ramburambu rasa keadilan itu, supaya lalu lintas antarrasa keadilan itu tidak saling bertumburan. Berdasarkan konsensus itulah Zippelius mengamati bahwa warga dari suatu ma-syarakat yang sama dapat sepakat untuk menerapkan asas perlakuan yang sama bagi setiap orang yang terlibat dalam suatu kasus yang (hipotetis adalah) sama dengan memberlakukan norma-norma yang sama.58 Asas itu mirip dengan prinsip yang berlaku bagi para hakim Inggris: “ Treat like cases alike and different cases differently?59 Tetapi, dari situ justru Hart mengamati keterbatasan dari rasa keadilan itu, karena dalam kenyataan tidaklah ada dua kasus yang persis sama satu dengan yang lainnya. Lagi pula, seperti yang diperingatkan oleh Rawls, “ Treating similar cases similarly is not a sufficient guarantee of substantive justice”.60 Dan itulah sebabnya mengapa dalam kerangka masyarakat, rasa keadilan perseorangan yang subjektif sifatnya itu harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi rasa keadilan yang dapat dirasakan secara umum. Dengan
57
Soal ini akan dibahas lebih jauh dalam bab 810. Ibid.: 140 etseq. 59 Hart: 159; Lloyd: 122. 60 Rawls, 1971: 59. 58
89
perkataan lain, agar dapat diterima sebagai rasa keadilan yang umum, rasa keadilan perseorangan yang subjektif harus diimpersonalisasikan. Habermas juga tampil dengan keberatan terhadap asumsi akan adanya kasus yang hipotetis adalah sama, justru karena keunikan yang spatial dan temporal dari setiap individu. Kenyataan itu menghasilkan konsekuensi bahwa norma yang mengarahkan manusia kepada keadilan dan kebaikan harus merupakan hasil dari diskursus antarindividu yang terus-menerus tanpa mengesampingkan keunikan dari masing-masing individu (dan karena itu juga martabatnya masing-masing).61 Untuk Habermas, proses impersonalisasi harus memberi tempat kepada proses komunikasi. Sejumlah pemikir pasca Perang Dunia II yang dimotivasi oleh semangat perdamaian dan kemerdekaan seperti antara lain Habermas memang berusaha untuk mendorong manusia untuk kembali kepada kekuatan bahasa yang dinamis, ketimbang kepada norma-norma yang terstruktur dan karenanya justru mengandung risiko membelenggu manusia kembali. Kendati demikian, gagasan seperti yang dilancarkan oleh Habermas nampaknya belum tentu 'bisa jalan' sekalipun di negaranegara sangat maju dengan penduduk yang rata-rata berpendidikan sangat tinggi. Karena itu, pada akhirnya masyarakat memerlukan suatu kerangka normatif (betapa pun relatif sifatnya) untuk lebih dulu bisa merasa tertib untuk pada langkah berikutnya bisa merasa adil juga. Dalam kerangka normatif seperti itulah Zippelius menilai praktek hukum di Inggris sebagai suatu model yang memperlihatkan, betapa kebiasaan untuk menetapkan keadilan berdasarkan case law yang diletakkan dalam rangkaian praktek reasoning from case to case (menalar dari kasus ke kasus) melahirkan prinsip (L:) ex aequo et bono yang 61
Habermas, 1992: 61, “In Argumentationen mussen die Teilnehmer pragmatisch voraussetzen, daB im Prinzip alle Betroffenen als Freie und Gleiche an einer kooperativen Wahrheitssuche tellnehmen, bei der einzig der Zwang des besseren Arguments zum Zuge kommen dari?” (D: Dalam argumen-argumen para peserta harus memprasyaratkan secara pragmatis, bahwa pada prinsipnya semua yang terlibat mengambil bagian dalam pencarian kebenaran sebagai orang yang bebas dan sederajat, pada mana hanya argumen yang lebih baik yang boleh dipaksakan untuk tampil).
90
sebenarnya sudah dikenal oleh orang Romawi.62 Praktek yang sinambung itu setelah tahun 1258 melalui Provisions of Oxford mendapatkan bentuk sebagai apa yang sekarang kita kenal sebagai equity law.63 Dengan tertib itu seorang hakim yang harus menetapkan keadilan dapat berorientasi kepada kasus-kasus (yang sudah teruji) sebelumnya untuk mengambil sikap terhadap kasus yang dihadapinya dengan mengangkat unsurunsurnya yang sama. Memang, segera saja kita akan bertanya, bukankah usaha mencari keadilan dengan cara membandingkan seperti itu bersifat relatif, dan karena itu bisa tidak handal? Hal itu sudah dipikirkan oleh para ahli hukum Romawi, dan mereka mengatasi risiko itu dengan jalan membuat kesimpulan dari praktek hukum yang sinambung itu dan menuangkannya ke dalam pengertian-pengertian dan aturan-aturan yang baku, misalnya pacta sunt servanda, yang sampai sekarang berlaku sebagai salah satu pilar terpenting dalam hukum perjanjian, baik perdata maupun internasional publik.64 Kesimpulan yang dapat kita tarik dari pengamatan yang dilakukan oleh Zippelius dicerminkan oleh hakim yang dapat memainkan peranan yang besar dalam mempertegas dan juga membakukan rasa keadilan itu, sebagaimana yang dapat dia cerminkan dalam keputusan-keputusan pengadilan. Rasa keadilan yang dirumuskan oleh hakim yang mengacu kepada pengertian-pengertian serta aturan-aturan yang baku dengan cara demikian dapat dipahami oleh masyarakat, yang pada giliran berikutnya berpeluang
untuk
ikut
menghayati
(sharing)
rasa
keadilan
yang
dirumuskan oleh hakim itu dalam keputusannya. Rasa keadilan yang 62
Lloyd: 121 et.seq. Ex aequo et bono yang sering dikutip dalam kontrak-kontrak internasional artinya: berdasarkan kepantasan dan kebaikan. Asas ini dirumuskan oleh Sallust, seorang penulis sejarah Romawi yang hidup tahun 86-35 SM: Sellner: 43. 63 Istilah 'equity’ adalah istilah yang sukar dicari padan katanya dalam bahasa kita. Banyak pengarang menyamakannya dengan 'equality sehingga menerjemahkannya sebagai 'kesamaan', yang sebenarnya adalah jauh dari sama. Equity law paling dekat dapat diterjemahkan sebagai 'hukum kepantasan', yang pada akhirnya bertumpu terutama pada common sense, atau akal sehat. Blumenwitz, Dieter, Einfuhrung in das Anglo-Amerikanische Recht. Munchen: Beck, 1976. 64 Zippelius, 1982: 123.
91
diketengahkan hakim lalu dapat menjadi rasa keadilan yang juga dirasakan oleh masyarakat. Sebenarnya, rasa keadilan yang merata itulah yang menjadi soko guru dari konsep the rule of law.65 Sebaliknya, jika terdapat kesenjangan yang menganga di antara rasa keadilan yang hidup dalam diri hakim di satu sisi dan rasa keadilan yang dipahami oleh masyarakat di sisi lain, terdapat juga risiko bahwa kepercayaan masyarakat kepada hakim berkurang. Dan karena dalam masyarakat berlaku kepercayaan umum bahwa hakim adalah lambang dan benteng dari hukum yang harus (dan ingin) dihormati demi kepentingan mereka sendiri, timbul juga risiko bahwa masyarakat akan mengabaikan hukum. Pengakuan dari Ketua Mahkamah Agung bahwa memang terjadi korupsi di lembaga yang dipimpinnya harus dihargai sebagai kejujuran yang hanya berguna sebagai langkah pertama untuk mengatasinya.66 Jika langkah pertama itu tidak dilanjuti, bisa dibayangkan bahwa masyarakat akan menganggap Mahkamah Agung sebagai lembaga yang hampa belaka. Semakin besar kesenjangan antara rasa keadilan hakim (apalagi jika banyak sekali hakim yang korup) dan rasa keadilan masyarakat, semakin besar juga tingkat ketidakpedulian masyarakat kepada hukum. Ketika
dalam
bulan
Desember
2009
Pengadilan
Tinggi
Banten
menghukum Prita Mulia Sari untuk membayar ganti rugi IDR204 juta kepada Rumah Sakit Omni International dalam perkara Prita yang digugat karena dianggap telah mencemarkan nama baik Omni, masyarakat bereaksi dengan mengumpulkan IDR500 juta untuk membantu Prita. Prita ini digugat karena telah “mengomel” melalui media e-/773/7mengenai kualitas yang mengecewakan dari perawatan yang diterimanya ketika berobat di Omni. Omelan melalui media internet itu yang meluas dengan cara “getok tular” kemudian menjadi dasar bagi gugatan pencemaran nama baik. Reaksi masyarakat itu sebenarnya merupakan fenomen yang 65 66
Hal ini akan kita bahas lebih jauh dalam bab 720. The Jakarta Post, Suara Pembaruan, 15 Januari 2004.
92
mencemaskan, karena dengan begitu tercipta situasi, di mana “rakyat berhadapan dengan pengadilan”. Jika para hakim tidak mawas diri dan memajukan pengetahuan kehakimannya, logika ini bisa berlanjut dan pada gilirannya bisa tercipta situasi di mana rakyat merasa perlu “mengadili pengadilan yang tidak adil”. Kemungkinan lain yang tidak kalah mencemaskannya adalah berkembangnya kebiasaan untuk main hakim sendiri yang pada akhirnya akan bermuara dalam anarki. Padahal, salah satu misi utama dari politik melalui pelaksanaan hukum adalah justru menghindarkan timbulnya anarki. Karena itu kejelasan dalam hubungan antara hukum dan politik menjadi kebutuhan yang tidak terhindarkan.
93
BAB VI HUKUM DAN MORAL Kehendak untuk berlaku baik terhadap sesama manusia bermuara pada suatu pergaulan antarapribadi yang berdasarkan prinsip-prinsip rasional dan moral Tetapi kehendak yang sama mendorong orang-orang juga untuk membuat suatu aturan hidup bersama yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral tersebut. Hal ini dilaksanakan dengan membentuk suatu sistem norma-norma yang harus ditaati orang-orang yang termasuk suatu masyarakat tertentu. Kehendak untuk mengatur hidup menghasilkan tiga macam norma, yakni: 1. norma moral yang mewajibkan tiap-tiap orang secara batiniah. 2. norma-norma masyarakat, atau norma-norma sopan santun yang mengatur pergaulan secara umum. 3. norma-norma yang mengatur hidup bersama secara umum dengan menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Inilah norma-norma hukum.67 Nyatalah perbedaan antara norma-norma menyangkut baik dasar norma (objektif-subjektif) maupun bobot norma (menuntut-mengundang). Norma-norma moral bersifat subjektif, sebab berkaitan dengan suara hati subjek, lagi menuntut untuk sungguh-sungguh ditaati. Norma-norma sopan santun bersifat objektif, karena berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan, lagi tidak menuntut, hanya mengundang saja. Norma67
C.J.T. Kansil menyebutkan empat macam norma, yakni: norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, norma hukum. (Pengantar, hlm. 84). Lili Rasjidi menulis tentang hal ini, bahwa memang ada perbedaan pendapat. Ditulisnya, bahwa Mochtar Kusumaatmaja menyebut tiga macam norma, yakni: norma kebiasaan, norma hukum, norma kesusilaan, sama dengan Satjipto Rahardjo: norma kesopanan, norma hukum, norma kesusilaan, sedangkan Soerjono Soekanto menyebutkan empat macam norma, yakni: norma kebiasaan, norma hukum, norma kesusilaan, norma kepercayaan. (Rasjidi, Filsafat, hlm. 35, nota). Lihat juga L.J. van Apeldoorn, Pengantar, hlm. 34-35 tentang “hukum dan kaidah-kaidah etika lainnya”. Pembagian norma-norma tergantung dari kemungkinan untuk menggolongkan norma kepercayaan pada norma-norma lainnya atau tidak.
94
norma hukum bersifat objektif, karena kaitannya dengan negara, tetapi menuntut untuk ditaati.68 Dikatakan bahwa norma-norma berakar dalam suatu kehendak, oleh sebab suatu “harus” yang ada dalam tiap-tiap norma mengandaikan bahwa terdapat suatu menghendaki. Di bidang hukum menghendaki itu adalah suatu menghendaki warga-warga negara bersama-sama untuk mengatur hidup secara yuridis. Maka suatu kehendak yuridis merupakan akar dan syarat seluruh hukum (positif). R. Stammler menerangkan, bahwa kehendak yuridis tersebut bukanlah suatu realitas psikologis, seperti halnya kalau seorang perampok menghendaki bahwa aku menyampaikan harta saya. Saya memberikan harta itu, bukan karena suatu kewajiban yuridis, melainkan semata-mata oleh sebab aku takut (psikis). Maka kehendak psikologis itu termasuk bidang “ada”, bukan bidang “harus”. Tampak juga bahwa kehendak psikologis itu bersifat subjektif, sedangkan kehendak yuridis bersifat netral dan objektif (Kelsen). Menurut Stammler kehendak bebas dan otonom yang membangun hidup bersama secara yuridis bersifat formal belaka (dalam axtiFormen a priori Kant), dan tidak ada sangkut pautnya dengan isi suatu tatahukum (yang bersifat materiil). Maka dibedakan dengan teliti antara pengertian hukum yang formal, dan ide hukum yang material.69 Perbedaan antara hukum dan moral (etika) dapat diterangkan lebih lanjut dengan mengingat akan suatu perbedaan prinsipiil dalam menghadapi norma-norma moral dan hukum, sebagaimana dikemukakan oleh I. Kant. Dalam menghadap norma-norma moral timbullah sikap “Moralitat”, yakni penyesuaian diri dengan kewajiban batin; di sini hati 68
M. Soebagio Slamet Supriatna mencatat, bahwa norma-norma berbeda satu sama lain juga karena jenis-jenis sanksi berbeda. - akibat pelanggaran norma agama timbullah dosa - akibat pelanggaran norma kesusilaan orang dicela - akibat pelanggaran norma kesopanan orang dikucilkan dari pergaulan - akibat pelanggaran norma hukum orang kena tindakan pidana. Dasar-dasar llmu Hukum, Jakarta 1987, hlm. 11.' 69 Tentang filsafat hukum Stammler, lihat Theo Huijbers, Lintasan, hlm. 150-156.
95
nurani menjadi motivasi yang sebenarnya kelakuan dan tindakantindakan. Dalam menghadap norma-norma yuridis timbullah sikap “Legalitat”, yakni penyesuaian diri dengan apa yang telah ditentukan dalam undang-undang. Uraian Kant ini dapat dilengkapi dengan uraian A. Reinach (18831917) sebagai berikut: -
norma moral mengena suara hati pribadi manusia, norma yuridis berlaku atas dasar suatu perjanjian.
-
hak-hak moral tidak pernah hilang dan tidak dapat pindah ke orang lain, sedangkan hak-hak yuridis dapat hilang dan dapat pindah (sesuai dengan perjanjian).
-
norma moral mengatur baik hidup batin maupun hidup lahir, sedangkan norma hukum hanya mengatur kehidupan lahiriah saja (de internis praetor non iudicat)70 Norma-norma moral dan norma-norma hukum memang berbeda,
akan tetapi adanya suatu hubungan yang erat antara kedua jenis norma itu di mana-mana diakui juga. Tentang hal ini Kant menjelaskan bahwa pembentukan hukum sebenarnya merupakan bagian tuntutan moral (Imperatif kategoris) yang dialami manusia dan hidupnya. Imperatif itu mengharuskan orang untuk mengatur hidup bersama sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan karenanya membentuk undang-undang yang adil. Oleh sebab itu definisi Kant tentang hukum memuat suatu unsur etis, yakni bahwa kriteria bagi pembentukan hukum adalah kebebasan moral. Definisi Kant berbunyi sebagai berikut: hukum ialah sejumlah syarat yang menjamin
70
bahwa
kehendak
seorang
pribadi
disesuaikan
dengan
Seorang hakim tidak mengadili apa yang ada dalam batin. Maksudnya, sejauh kehidupan batin tidak menyebabkan tindakan-tindakan lahiriah. Tetapi kehidupan batin ikut diselidiki dalam tindakan-tindakan pidana, yang menjadi perkara di depan pengadilan. Umpamanya diselidiki apakah suatu tindakan (pembunuhan dll) dilakukan secara berencana atau tidak. Tentang filsafat Reinach lihat: Theo Huijbers, Lintasan, hlm. 231-234
96
kehendak pribadi lain menurut norma umum kebebasan. Nyatalah di sini bahwa tatahukum diartikan sebagai buah sikap moral manusia.71 Hubungan antara moral dan hukum sebenarnya lebih erat lagi, sebab norma-norma yang berbeda-beda secara abstrak, secara konkret tidak usah muncul secara terpisah. Seperti terjadi bahwa norma-norma sopan santun menjadi norma-norma hukum, demikianlah terjadi bahwa norma-norma yang berlaku secara moral, dijadikan hukum juga. Malahan justru dengan dijadikan norma hukum norma moral menjadi efektif bagi hidup bersama. Karenanya kewajiban yang timbul akibat timbulnya normanorma yuridis ada duajenis: -
yang bersifat ekstern karena sanksi; kewajiban ini bersifat yuridis belaka.
-
yang juga bersifat intern atau moral; kewajiban ini bersifat etis-yuridis. Suatu norma yuridis mewajibkan secara etis-yuridis, bila isinya
menyangkut nilai-nilai dasar hidup. Inilah halnya pertama-tama dengan tatahukum sebagai keseluruhan, yang tertuju untuk mencegah kekacauan dalam masyarakat. Karenanya sebagai makhluk sosial tiap-tiap manusia berwajib secara batin menerima tatahukum yang sah sebagai hukum. Nilai-nilai dasar hidup dijaga dan dikembangkan juga melalui peraturanperaturan yuridis yang isinya ada sangkut-pautnya dengan manusia individual sebagai pribadi. Tiap-tiap orang berwajib secara batin menghormati manusia sesuai dengan martabatnya.72 71
“Das Recht ist... der Inbegriff der Bedingungen, unter denen die Willkiir des einen mit der Will-kiir des anderen nach einem allgemeinen Gesetze der Freiheit zusammen vereinigt werden kann”. Tentang filsafat Kant mengenai hukum dan moral lihat Theo Huijbers, Lintasan, hlm. 94-102. Pandangan Kant tentang hukum berbeda dengan pandangan Hegel dalam hal ini, bahwa bagi Kant kebebasan-kebebasan orang-orang lebih-lebih saling membatasi, sedangkan bagi Hegel kebebasan-kebebasan orang-orang lebih-lebih saling membina dan mewujudkan. Menurut Hegel hukum adalah perwujudan/penjelmaan kebebasan rasional (Grundlinien, par. 5-9-30). Di-tulisnya: Das Recht ist etwas Heiliges iiberhaupt, weil es das Dasein der selbstbewussten Freiheit ist, (hukum adalah sesuatu yang suci, oleh sebab itu penjelmaan kebebasan yang sadar tentang dirinya). 72 D. Scheltens, Pengantar, hlm. 65-66. Bahwa suatu peraturan yuridis dapat menghasilkan suatu kewajiban etis dibantah oleh I. Kant. Menurut pendapatnya macam-macam motif diperbolehkan dalam
97
Adanya nilai etis pada hukudm dapat dimengerti, bila kita insyaf bahwa hukum itu merupakan salah satu hasil kegiatan manusia sebagai ko-eksistensi etis. Memang benar bahwa hukum secara langsung berasal dari kehendak yuridis. Tetapi kehendak yuridis itu merupakan bagian kehendak (etis) manusia untuk mengatur kehidupan bersama dalam segala relasi-relasinya, supaya relasi-relasi itu baik dan karenanya kehidupan manusia sendiri-sendiri menjadi baik dan bahagia.73 Dapat dikatakan juga bahwa hukum terkait dengan etika, sebab melalui norma-norma hukum ditetapkan suatu tatanan sosial yang adil. Hukum mewajibkan secara etis-yuridis, sebab hukum menciptakan keadilan.74
A. The rule of law Sistem hukum Anglo-saxon mengutamakan “the rule of law”.75 “The rule of law” harus ditaati, bahkan juga bila tidak adil. Sikap ini serasi dengan ajaran aliran-aliran filsafat empiris. Menurut filsafat itu hukum, entah tertulis entah tidak tertulis, adalah peraturan-peraturan yang diciptakan oleh suatu bangsa selama sejarahnya, dan yang telah mentaati hukum, mp. juga takut akan hukuman. Alasannya ialah bahwa undangundang yang telah tersusun termasuk bidang “ada”, bukan bidang “yang seharusnya”. Pandangan Kant ini dapat dikritik dengan argumen, bahwa terdapat peraturanperaturan yuridis tertentu yang tidak dapat dimengerti dengan baik selain dalam hubungannya dengan seorang manusia yang dengan hati nuraninya merasa berwajib untuk ikut membangun suatu kehidupan bersama yang baik. 73 Bagaimana hukum penggalang etika hidup diuraikan secara lebih terperinci oleh Fernand van Neste dengan menyebutkan empat unsur etis yang ada pada hukum, yakni: 1. hukum mengatur relasi-relasi antara orang. 2. hukum memasukkan timbal balik dalam relasi-relasi yang digalang orangorang. 3. hukum menuntut kesetiaan pada janji: 4. hukum menciptakan kebebasan. Lihat: Bet ethisch gehalte van het recht (1982). 74 Tentang keadilan dalam hubungan dengan moral (etika) dan hukum, lihat juga filsuffilsuf abad ke-17 dan ke-18, a.l. Spufendorff dan Ch. Wolff. Theo Huijbers, Lintasan, hlm. 72-73; 76-77. Tentang hubungan yang erat antara etika dan hukum lihat buku yang sama, hlm. 282-285. 75 Istilah “the rule of law” dapat digunakan juga untuk menunjuk hukum secara umum. Demikianlah dalam buku Dr. Sunarjati Hartono, Apakah the rule of law itu? (Bandung 1968). Jawabannya: bahwa pemerintah pun harus tunduk pada hukum. (hlm. 1)
98
bermuara pada suatu perundang-undangan tertentu dan suatu praktek pengadilan tertentu. Hukum adalah undang-undang (lex/wet). Adil tidak merupakan unsur konstitutif pengertian hukum.76 Bahwa adil tidak termasuk pengertian hakiki suatu tata hukum tidak berarti bahwa suatu tata hukum dapat dibentuk begitu saja. Memang jelas bahwa suatu tata hukum harus dibentuk dengan tujuan keadilan. Oleh sebab itu diterima juga, bahwa pembentukan suatu tata hukum berpedoman pada prinsip-prinsip umum tertentu, yakni prinsip-prinsip yang menyangkut kepentingan umum suatu bangsa. Prinsip-prinsip yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut diambil dari keyakinankeyakinan yang hidup dalam masyarakat tentang suatu kehidupan yang adil dan baik.77 Bahkan usaha untuk menggalang keadilan dalam masyarakat tidak berhenti di sini. Sesudah dibentuknya suatu tata hukum yang sebaik mungkin, masih dapat terjadi bahwa suatu undang-undang tidak mengembangkan suatu kepentingan bersama malahan menentangnya. Alasannya undang-undang selalu bersifat abstrak, sedangkan perkaraperkara yang muncul selalu bersifat konkret. Karena pengalaman ini pemerintah-pemerintah tertentu
sampai
pada
kebijaksanaan
untuk
memberikan wewenang kepada para hakim untuk menerapkan kaidah76
Aliran-aliran yang berhaluan Marxis sebenamya menurut pandangan ini juga. Bedanya dengan aliran positivisme ialah, bahwa para ahli hukum positivisme insyaf tentang kemungkinan adanya ketidakadilan dalam undang-undang, sedangkan oleh para Marxis hukum negara dianggap nyaris sempurna, sebagai ungkapan kehendak rakyat yang tulen. 77 Ajaran ini telah nampak pada para filsuf utilitarisme abad ke-19 yakni pada J. Bentham dan J. Stuart Mill. Filsuf-filsuf tersebut merumuskan dan mengembangkan pikiran ini dengan melontarkan semboyan: tujuan negara dan hukum ialah mencapai kebahagiaan yang paling besar bagi sejumlah orang yang sebesar mungkin (the greatest happiness of the greatest number). Lihat: F. Copleston tentang “the utilitarian movement” dalam A history., vol. 9, part 1, hlm. 17-112. John Rawls dalam bukunya yang terkenal tentang Keadilan (A theory of justice, 1973) dalam garis-garis besarnya mengikuti ajaran empirisme ini juga. Apa yang nampak dalam uraiannya ialah, bahwa semua sistem hukum akan gagal, bila tidak disemangati suatu sikap moral pribadi yang sejati (justice as fairness). Diterangkannya bahwa beberapa prinsip konkret harus membimbing para penguasa untuk mewujudkan suatu keadilan sosial yang memadai. Lihat: Theo Huijbers, Lintasan, hlm. 193-202.
99
kaidah hukum pada kasus-kasus yang konkret menurut keyakinan hati nurani sendiri. Suatu juri rakyat mengawasi pelaksanaan hukum para hakim tersebut.78 Dengan demikian dapat terjadi bahwa hakikat hukum yang sebenarnya tidak terletak lagi dalam kaidah-kaidah hukum, melainkan dalam praktek para hakim (realisme hukum Amerika) dan/atau kesadaran rakyat (Duguit). Melihat praktek hukum ini tidak dapat mengherankan bahwa kata hukum dalam arti “ius” dalam bahasa Inggris diganti dengan kata “jurisprudence”
(kebijaksanaan
hukum).
Kata
“jurisprudence”
ini
menandakan praktek hukum berlandaskan filsafat empirisme dan pragmatisme yang umumnya dianut para sarjana Inggris dan Amerika, yang intinya ialah bahwa kebenaran berasal dari pengalaman dan praktek hidup. Karenanya apa yang diutamakan dalam menangani hukum ialah hubungan dengan realitas hidup, bukan dengan prinsip-prinsip abstrak tentang keadilan. Terdapat dua golongan: “sociological jurisprudence” dan “realistic jurisprudence”. Yang terakhir ini lebih memperhatikan rasa etis para warganegara. Namun perlu diperhatikan bahwa dalam aliran yang terakhir ini pandangan atas hukum sebagai gejala empiris tidak berubah. Apa yang dianggap sebagai yang tetap tertinggi ialah: “the law”. Kalau karena kebijaksanaan yang salah tujuan keadilan tak tercapai, “the law” tetap berlaku. Maka adil atau tidak adil tidak berpengaruh atas pengertian tentang hukum.79 Konsekuensi-konsekuensi pandangan ini ialah:
78
Kiranya tidak semua pakar di bidang hukum menganggap sistem juri rakyat sebagai yang paling istimewa. Umpamanya Roscoe Pound. Juri itu dibentuk mencari equity (kepatutan, keadilan). Namun sistem juri itu, di samping mahal, seringkali juga merupakan “pengadilan yang tidak memuaskan dalam banyak golongan perkara... mengakibatkan banyak sekali ketidakadilan” (Pengantar, hlm. 71). 79 Tercatat oleh Rasjidi tentang kata “jurisprudence”, bahwa tidak terdapat kata Indonesia yang tepat bagi pengertian ini (hlm. 24, nota). Tetapi menurut hemat kami hal ini tidak mengherankan, sebab di Indonesia pengertian tentang hukum bukanlah hasil suatu pendekatan empiris terhadap hukum. Jurisprudence berarti suatu teori hukum yang menyusul praktek hukum. Di Indonesia pengertian hukum tidak lepas dari cita-cita keadilan.
100
1. pada prinsipnya hukum tidak melebihi negara (yang dianggap sama dengan rakyat). Hukum adalah sarana pemerintah untuk mengatur masyarakat secara adil. Tidak ada instansi yang lebih tinggi. Karena kemungkinan akan ketidakadilan tetap ada, diharapkan bahwa dalam praktek hukum keyakinan-keyakinan rakyat dan kebijaksanaan para hakim meng-hindari penyimpangan yang terlalu besar.80 2. hukum adalah apa yang berlaku de facto, dan itulah akhirnya tidak lain daripada keputusan hakim dan juri rakyat. Orang-orang yang hidup dalam negara-negara yang menganut sistem hukum ini, sadar tentang hal ini juga; hukum tidak lain daripada apa yang ditentukan.81 3.
menurut
aliran-aliran
empirisme
hukum
sebagai
sistem
tidak
mewajibkan secara batiniah, sebab tidak dipandang sebagai bagian tugas etis manusia. Hukum harus ditaati oleh sebab terdapat sanksi bagi pelanggaran berupa hukuman. Bila ada orang yang taat secara batiniah, hal ini terjadi karena keyakinan agama.82
B. Hukum sebagai “ius” Dalam sistem hukum yang disebut kontinental, hukum ditanggapi sebagai terjalin dengan prinsip-prinsip keadilan: hukum adalah undangundang yang adil. Pengertian hukum ini serasi dengan ajaran filsafat tradisional, di mana pengertian hukum yang hakiki berkaitan dengan arti hukum sebagai keadilan. Hukum ialah Ius atau Recht. Bila suatu hukum yang konkret, yakni undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip 80
Roscoe Pound menulis bahwa di U.S.A. “apa yang lebih dinyatakan (dalam hukum) adalah sifat pemerintah”. Pengantar, hlm. 21. 81 Dr. David Cleveland menulis dalam suatu makalah (1988), bahwa kepercayaan rakyat Inggris pada badan-badan peradilannya, khususnya para hakim-hakimnya, besar sekali. 82 Bahwa hukum tidak mewajibkan secara batiniah berkaitan dengan tanggapan bahwa kewajiban yuridis tidak mendapat akarnya dalam suatu nilai idiil yang perlu diwujudkan, melainkan dalam kenyataan-kenyataan yang ditanggapi secara empiris. Menurut para sosiolog yang berusaha menerangkan kewajiban hukum ada dua kemungkinan. Ada teori kekuasaan: hukum mewajibkan karena ditentukan oleh yang berkuasa (Machtstheorie); ada teori ketaatan: hukum mewajibkan, sebab pada kenyataannya orang sudah biasa mentaati peraturan (Anerkennungstheorie). Lihat: C.S.T. Kansil, Pengantar, hlm. 499-500.
101
keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi, dan sebenarnya tidak dapat disebut hukum lagi. Undang-undang hanya hukum, bila adil. Dengan kata teknis: adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang hukum.83 Terutama pengalaman
sesudah
pahit
perang
dengan
dunia
kaum
Nazi
kedua, yang
seringkali
akibat
menyalahgunakan
kekuasaannya untuk membentuk undang-undang yang menginjak normanorma keadilan, makin banyak orang sampai pada keyakinan bahwa hukum harus berkaitan dengan prinsip-prinsip keadilan untuk dapat dipandang sebagai hukum. Bila tidak, undang-undang dianggap tindakan kekerasan saja.84 Walaupun pengertian yang tradisional ini menyangkut segala peraturan yang disusun oleh orang untuk mengatur hidup bersama mereka, kebanyakan orang zaman kini insyaf juga, bahwa tidak terdapat hukum dalam arti yang penuh di luar tata hukum negara. Alasannya pada zaman modern ini memang dalam negaralah tempatnya di mana cita-cita yang menimbulkan hukum, harus diwujudkan. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa hukum harus dimengerti sebagai bagian negara. Hukum harus dimengerti secara prinsipiil sebagai bagian kehidupan manusia sebagai keseluruhan. Oleh sebab itu selalu diusahakan untuk menggabungkan hukum dengan prinsip-prinsip susila yang telah ditentukan sebagai citacita hukum dan yang ingin digalang antara lain melalui peraturanperaturan umum, yakni melalui hukum.85 83
Bahwa hukum bersifat etis, sebab harus digabungkan dengan keadilan, sudah dikemukakan oleh para tokoh filsafat Yunani: Sokrates, Plato, Aristoteles; kemudian dipertahankan dalam sistem hukum Romawi, yang membedakan antara hukum sebagai ius dan hukum sebagai lex. Hukum yang benar adalah ius. Hukum Romawi itu dengan tanggapan-tanggapan fundamentalnya menjadi sumber utama hukum perdata Eropa kontinental. 84 Demikianlah pandangan aliran-aliran eksistensialisme, neo-kantianisme, ajaran hukum alam, bersama penganut-penganutnya, seperti a.l. Radbruch, Gurvitch, Reinach/Hommes, Geny, Messner, Brunner, Bender, Luypen dll. (Lihat Theo Huijbers, Lintasan). 85 Bahwa memang demikian halnya dikemukakan a.l. oleh P. Bohannan dalam karangannya: Hukum dan Pranata Hukum. Menurut pendapatnya terdapat dua definisi
102
Dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan ini suatu peraturan tidak menjadi hukum secara otomatis, karena berasal dari pemerintah. Hanya peraturan yang adil disebut hukum. Maka hukum dapat didefinisikan sebagai berikut: hukum adalah peraturan-peraturan (undangundang) yang dibentuk sebagai norma untuk mengatur masyarakat secara adil (oleh instansi yang berwenang). Mengapa sifat adil itu dianggap bagian konstitutif hukum? Alasannya ialah bahwa hukum dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini. Artinya: manusia berwajib membentuk suatu hidup bersama yang baik dengan mengaturnya secara adil. Maka “adalah menurut keinsyafan keadilan yang timbul secara spontan dalam hati manusia, bahwa hukum merupakan pernyataan keadilan. Hukum yang tidak adil itu bukan hukum”.86 Sebagai alasan penunjang dapat disebut: 1. pemerintah-pemerintah negara mana pun selalu membela tindakantindakannya dengan memperlihatkan keadilan yang nyata di dalamnya. 2. undang-undang yang tidak cocok lagi dengan prinsip-prinsip keadilan seringkali dianggap usang dan tak berlaku lagi. 3. dengan bertindak secara tidak adil suatu pemerintah sebenarnya bertindak di luar wewenangnya, maka secara tidak sah juga. Bila telah ditetapkan secara prinsipil bahwa undang-undang hanya dapat disebut hukum dan karenanya mewajibkan, bila sungguh-sungguh adil, jangan ditarik kesimpulan bahwa tiap-tiap orang pada tiap-tiap saat dapat menilai undang-undang sebagai tidak adil, dan karenanya tidak sah. Menurut para pemikir yang menuntut supaya undang-undang adil untuk tentang hukum: definisi Austin sebagai perintah dari penguasa dan pengertian hukum sebagai berkaitan dengan moral. Tentang yang terakhir dituliskannya, bahwa di sini hukum “masuk jauh ke dalam bidang filsafat moral”. (Ihromi, Antropologi, hlm. 54) 86 W. Luypen, Rechtvaardigheid, Hilversum 1970. 1. hukum mengatur relasi-relasi antara orang. 2. hukum memasukkan timbal balik dalam relasi-relasi yang digalang orangorang. 3. hukum menuntut kesetiaan pada janji. 4. hukum menciptakan kebebasan. Lihat: Het ethisch gehalte van het Recht. (1982)
103
dapat disebut hukum, selalu harus diandaikan bahwa undang-undang yang dibentuk oleh instansi yang berwenang adalah adil dan sah, asal saja dasar-nya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Hal ini memang wajar, sebab pemerintah yang sah diberi mandat oleh rakyat untuk mengatur masyarakat secara bijaksana. Karenanya rakyat tidak berhak mencabut mandat itu, atas dasar perasaan individual saja. Di samping itu suatu pemerintah berhak dan berwajib menjaga kepastian hukum.87 Konsekuensi pandangan ini memang nyata 1. Hukum melebihi negara, sebab ada kaitannya dengan manusia sebagai manusia. Memang hukum bertempat tinggal di dalam negara, tetapi negara (pemerintah) bukan hanya tidak boleh, melainkan juga tidak berwenang membentuk suatu tata hukum yang tidak adil. Inti pandangan ini ialah bahwa orang-orang yang menganggap hukum sebagai “ius” lebih percaya pada prinsip-prinsip moral - walaupun abstrak - daripada pada kebijaksanaan manusia. Karenanya menurut mereka makna hukum sebagai hukum yang adil lebih terjamin dalam perumusan-perumusan
abstrak
daripada
dalam
putusan-putusan
seorang hakim. Mutlak perlu bagi seorang hakim untuk menyesuaikan diri dengan perumusan-perumusan yang telah terwujud dalam undangundang.88 87
Menurut Radbruch, yang menerima berlakunya hukum kodrat, kemungkinan untuk menolak suatu tata hukum sebagai tidak bermoral, maka tidak sah, sangat terbatas. Bahwa suatu tata hukum tidak adil hanya dapat ditentukan oleh suatu lembaga khusus, yakni suatu pengadilan yang ditunjuk untuk itu. Bila menurut pandangan pengadilan ini ternyata terdapat suatu tata hukum yang tidak adil, maka undangundang tersebut, boleh (harus) dipandang sebagai bukan hukum, dan tidak berlaku. Pertimbangan ini mungkin menunjuk ke pengadilan Neuremberg sesudah perang dunia kedua, yang menyatakan ketidakadilan dalam tata hukum rezim nazi. 88 Ternyata pengertian hukum pada orang masih diwarnai cita-cita idiil, sebagaimana digambarkan pada zaman dulu oleh Plato. Memang dalam fenomenologi modern yang kami ikuti di sini, tidak diterima adanya suatu dunia ide yang terpisah dari dunia riil. Juga tidak diterima lagi adanya ide-ide tentang sesuatu yang terang belaka. Namun diterima adanya ide-ide yang tidak bersifat empiris semata-mata, sebagai campuran dari terang dan gelap (clair-obseur), umpamanya ide keadilan. Sebab itu serangan para penganut realisme Skandinavia terhadap pengertian idealistis tentang hukum ada dasarnya. Adanya kebenaran “metafisika” dalam pengertian manusia merupakan bagian pandangan hidup tradisional. Lihat Theo Huijbers, Lintasan, hlm. 181-187.
104
2. Sikap kebanyakan orang terhadap hukum mencerminkan pengertian hukum ini. Mereka memandang hukum sebagai semacam moral hidup. Oleh sebab itu orang-orang berpandangan juga bahwa apa yang dirumuskan dalam undang-undang tidak dapat tercapai sepenuhnya seperti halnya cita-cita moral, karena kelemahan manusia. Tiap-tiap peraturan hukum memang disusun sebagai norma untuk ditaati, tetapi di antaranya terdapat juga yang lebih-lebih ditanggapi sebagai norma idiil, yang perlu dikejar akan tetapi belum tentu dapat ditaati sepenuhnya. 3. Oleh
sebab
prinsip-prinsip
pembentukan
hukum
(prinsip-prinsip
keadilan) bersifat etis, maka hukum sebagai keseluruhan mewajibkan secara batiniah.89 Menurut pertimbangan kami pengertian hukum sebagaimana dipapar-kan dalam pengertian hukum tradisional cocok dengan pengertian hukum yang ada pada orang-orang Indonesia. 1. Seperti umumnya di dunia modern demikian juga di Indonesia hukum secara spontan digabungkan dengan negara/pemerintah. Namun tekanan diletakkan pada nilai hukum dan tujuan hukum, yakni keadilan sosial. Pemerintah berwajib membentuk suatu tatanan sosial yang adil melalui hukum. Hukum dikaitkan dengan pemerintah, oleh sebab hanya pemerintah mempunyai sarana untuk menciptakan tatanan sosial yang adil itu.90 Di Indonesia sebagai negara yang luas dan dengan kebudayaankebudayaan yang berbeda-beda, lagi pula dalam taraf pembangunan, dapat dimengerti bahwa orang lebih percaya kepada kaidah-kaidah abstrak yang mencerminkan keadilan daripada kepada putusan-putusan 89 90
Tentang hukum dan kewajiban lihat Theo Huijbers, Lintasan, hlm. 279-285. Satjipto Rahardjo menulis: Setiap kali kita berbicara mengenai hukum, tidak sesuatu lain yang kita pikirkan atau bayangkan kecuali hukum negara (1980). Lagipula ditulisnya: Pada sistem Eropa kontinental hukum didasarkan pada sistem perundang-undangan, sedangkan pada sistem common law hukum lebih dilandasi pada norma yang mencuat dalam praktek. Dengan demikian arah dan perkembangan masyarakat kita lebih ditentukan oleh perundang-undangan ketimbang konvensi-konvensi dari dan oleh praktek sebagaimana terjadi di Amerika. (Merajut..., hlm. 31).
105
seorang hakim. Demi pembangunan negara tidak dapat diberikan suatu wewenang besar kepada para hakim. Makna hukum muncul pertamatama dalam tata hukum.91 2. Hukum pertama-tama ditanggapi sebagai sesuatu yang dicari dan dicita-citakan oleh rakyat, sesuatu yang idiil. Hal ini nampak dalam hal ini, bahwa pembentukan hukum berdasarkan Sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial. Apakah orang-orang Indonesia pada umumnya merasa berwajib secara moral untuk mentaati tata hukum negara, memang sulit untuk dipastikan. Kiranya keyakinan ini sangat tergantung dari penyuluhan yang diadakan guna meningkatkan kesadaran hukum. Kesadaran hukum itu tidak dapat disamakan dengan pengetahuan tentang undang-undang yang berlaku. Kesadaran hukum dimulai dengan kesadaran bahwa hukum mewajibkan secara batin sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini.
C. Hakikat hukum Bila
kita
mengikuti
gagasan-gagasan
sistem
hukum
yang
tradisional, maka dapat disimpulkan bahwa inti pengertian hukum, yakni hakikat hukum, ialah menjadi sarana bagi penciptaan suatu aturan masyarakat yang adil. Pengertian tentang hakikat hukum ini berazaskan pada beberapa pertimbangan. 1. Ternyata semua orang ingin mewujudkan suatu aturan masyarakat yang adil. Inilah pertama-tama ditujui dengan pembentukan undangundang, yang harus sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Lagipula dengan tujuan yang sama didirikan pengadilan. Pengadilan itu tugasnya ialah memecahkan perkara-perkara yang timbul akibat
91
Menurut alm. Yap Thiam Hien pengadilan tidak bisa terlalu diandalkan. Perlu menggalang keterbukaan komunikasi antara lembaga negara dan fihak-fihak yang berhubungan dengan penegakan hukum. (April 1988).
106
perbedaan pandangan antara warga-warga negara, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Dari gambaran hukum ini sudah jelas bahwa hukum menurut hakikat- , nya, yakni sebagai hukum, melebihi negara, walaupun berasal dari negara. Sama seperti sebuah patung melebihi pemahat patung. Memang benar bahwa sebuah patung dibuat oleh seorang seniman, akan tetapi dalam membuat patung seniman itu terikat akan norma-norma estetis. Maka hakikat patung sebagai patung ditentukan oleh normanorma estetis, bukan oleh seniman.92 2. Pada umumnya hukum dialami' sebagai berwibawa, sedemikian rupa sehingga hukum secara psikologis berpengaruh terhadap orang-orang yang tinggal di bawah hukum tersebut. Wibawa hukum itu tidak terletak dalam kekuasaan pemerintah yang menciptakannya. Bila demikian halnya, hukum ditakuti, bukan dihormati. Tetapi sebaliknya wibawa ada pada hukum, oleh sebab hukum itu mengatur dan membimbing kehidupan bersama manusia atas dasar prinsip-prinsip keadilan (yang sebagai norma kesusilaan sebagian diambil dari norma-norma agama).93 Catatan: Biasanya dikatakan bahwa hukum “memaksa”. Apakah benar? Memang hukum mengharuskan. Akan tetapi mengharuskan itu dapat berarti: menuntut, dan dapat berarti: memaksa. Mana yang benar? Kalau umpamanya
pemerintah menuntut supaya
semua anggota
masyarakat hidup dalam damai, dan bahwa mereka tidak boleh saling menyiksa dan membunuh, sulit mengatakan bahwa pemerintah memaksa. Pemerintah menuntut, sebab peraturan-peraturan yang bersangkutan mengharuskan, tetapi pada umumnya orang-orang tidak merasa dipaksa. Perbedaan antara kedua kata itu terletak dalam sikap psikologis orang92
Konsekuensi pandangan ini ialah bahwa pengadilan pidana itu bukan yang terpenting dalam menata hukum; hakikat hukum adalah menegakkan keadilan. Lihat: Van Eck, Lex deux formes principales, hlm. 243-244. 93 Hal ini dikemukakan secara singkat oleh Max Weber: “wewenang adalah intisari hukum”. Lihat O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, hlm. 72-86.
107
orang yang diharuskan untuk mentaati peraturan-peraturan. Kata “menuntut” bersifat objektif, tanpa memandang sikap orang; kata “memaksa” mengandung suatu unsur subjektif, yakni mengandaikan bahwa orang mau melanggar peraturan yang ditentukan. Maka hukum sebagai paksaan mengandaikan pelanggaran. Bila terdapat pelanggaran hukum memaksa dengan ancaman penggunaan kekerasan (denda, penjara). Tetapi menurut perasaan kebanyakan orang hukum tidak memaksa, melainkan menuntut. Hukum hanya memaksa bagi orang yang tidak mau taat kepada hukum. 3. Sejak
pertengahan
abad
ini
timbullah
kecenderungan
untuk
menyamakan hukum dengan suatu upaya (a tool) membangun masyarakat, khususnya menurut aspek sosio-ekonominya (social engineering). Perkembangan ini berjalan terus, sejajar dengan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang bersangkutan.94 Terhadap tendens ini dapat dikatakan, bahwa memang benar bahwa hukum main peranan dalam “social engineering” tersebut. Namun dengan ini hukum tidak menjadi bagian sosiologi atau politik hukum. Hukum menunjuk suatu aspek hidup yang istimewa yang tidak terjangkau oleh ilmu-ilmu sosial dan ekonomis. Yakni intisari hukum ialah “membawa aturan yang adil dalam masyarakat”. Karenanya pengertian tradisional, yang menggabungkan hukum dengan etika (yakni keadilan), tetap dapat dipertahankan. Kesimpulan: hakikat hukum ialah: membawa aturan yang adil dalam masyarakat (rapport du droit, inbreng van recht). Semua arti lain menunjuk kearah ini sebagai arti dasar segala hukum.95
94
Adanya tuntutan pada hukum sudah nampak dalam istilah-istilah yang berasal dari hukum Romawi, seperti “iuris vinculum” (ikatan hukum) dan “obligatio” (kewajiban). Lihat Pospisil (Ihromi, Antropologi dan Hukum, hlm. 153-157). 95 Lihat a.l. Roscoe Pound, Pengantar.
108
BAB VII PROFESI DAN PROFESI HUKUM A. PEKERJAAN DAN PROFESI Bekerja merupakan kodrat manusia, sebagai kewajiban dasar. Manusia dikatakan mempunyai martabat apabila dia mampu bekerja keras. Dengan bekerja manusia dapat memperoleh hak dan memiliki segala apa yang diinginkannya. Bekerja merupakan kegiatan pisik dan pikir yang terintegrasi. Pekerjaan dapat dibedakan menurut: (a) kemampuan, yaitu pisik dan intelektual; (b) kelangsungan, yaitu sementara dan tetap (terus-menerus); (c) lingkup, yaitu umum dan khusus (spesialisasi). (d) tujuan, memperoleh pendapatan dan tanpa pendapatan. Dengan demikian, pekerjaan dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu: (a) Pekerjaan dalam arti umum, yaitu pekerjaan apa saja yang mengutamakan kemampuan pisik, baik sementara atau tetap dengan tujuan memperoleh pendapatan (upah). (b) Pekerjaan dalam arti tertentu, yaitu pekerjaan yang mengutamakan kemampuan pisik .atau intelektual, baik sementara atau tetap dengan tujuan pengabdian. (c) Pekerjaan dalam arti khusus, yaitu pekerjaan bidang tertentu mengutamakan kemampuan pisik dan intelektual, bersifat tetap, dengan tujuan memperoleh pendapatan. 1. Kriteria Profesi Dari tiga jenis pekerjaan tersebut, profesi adalah pekerjaan yang tercantum pada butir (c), dengan kriteria sebagai berikut: (a) meliputi bidang tertentu saja (spesialisasi); (b) berdasarkan keahlian dan keterampilan khusus;
109
(c) bersifat tetap atau terus-menerus; (d) lebih mendahulukan pelayanan daripada imbalan (pendapatan); (e) bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat; (f) terkelompok dalam suatu organisasi. Berdasarkan kriteria tersebut, profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan tetap bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan secara bertanggung jawab
dengan tujuan memperoleh
penghasilan. Pekerja yang menjalankan profesi disebut profesional. Berikut ini dibahas satu demi satu kriteria profesi tersebut. (a) Spesialisasi Pekerjaan bidang tertentu adalah spesialisasi yang dikaitkan dengan bidang keahlian yang dipelajari dan ditekuni. Biasanya tidak ada rangkapan dengan pekerjaan lain di luar keahliannya itu. Contoh spesialisasi bidang keahlian tertentu itu antara lain adalah bidang hukum, ekonomi, farmasi, kedokteran, keteknikan, kependidikan. Tidak ada rangkapan, misalnya dokter tidak merangkap apoteker, notaris tidak merangkap pengacara, akuntan tidak merangkap pengusaha. Hal demikian itu, tidak memungkinkan yang bersangkutan melakukan pekerjaannya secara profesional. (b) Keahlian dan keterampilan Pekerjaan bidang tertentu itu berdasarkan keahlian dan keterampilan khusus, yang diperolehnya melalui pendidikan dan latihan. Pendidikan dan latihan itu ditempuhnya secara resmi pada lembaga pendidikan dan latihan yang diakui oleh pemerintah berdasarkan undang-undang. Keahlian dan keterampilan yang diperolehnya itu dibuktikan oleh sertifikasi yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah atau lembaga lain yang diakui oleh pemerintah. Contoh keahlian itu antara lain : (1) Notaris, keahliannya dibuktikan oleh ijazah program pendidikan notariat Fakultas Hukum. (2) Akuntan, keahliannya dibuktikan oleh ijazah program pendidikan akuntansi Fakultas Ekonomi.
110
(3) Dokter, keahliannya dibuktikan oleh ijazah program pendidikan kedokteran Fakultas Kedokteran. (4) Apoteker, keahliannya dibuktikan oleh ijazah program pendidikan farmasi Fakultas Farmasi. (5) Arsitektur, keahliannya dibuktikan oleh ijazah program pendidikan keteknikan arsitektur Fakultas Teknik. (c) Tetap atau terus-menerus Pekerjaan bidang tertentu itu bersifat tetap atau terus-menerus, Tetap artinya tidak berubah-ubah pekerjaan, misalnya sekali berkiprah pada profesi notaris seterusnya tetap sebagai notaris. Sedangkan terusmenerus artinya berlangsung Untuk jangka waktu lama sampai pensiun, atau berakhir masa kerja profesi yang bersangkutan. (d) Mengutamakan Pelayanan Pekerjaan bidang tertentu itu lebih mendahulukan pelayanan daripada imbalan (pendapatan). Artinya mendahulukan apa yang harus di kerjakan, bukan berapa bayaran yang diterima. Kepuasan konsumen atau pelanggan lebih diutamakan. Pelayanan itu diperlukan karena keahlian profesional, bukan amatir. Seorang profesional selalu bekerja dengan baik, benar, dan adil. Baik artinya teliti, tidak asal kerja, tidak sembrono. Benar artinya diakui oleh profesi yang bersangkutan. Adil artinya tidak melanggar hak pihak lain. Sedangkan imbalan dengan sendirinya akan dipenuhi secara wajar apabila konsumen atau pelanggan merasa puas dengan pelayanan yang diperolehnya. (e) Tanggung jawab Dalam memberikan pelayanannya, profesional itu bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena integritas moral, intelektual, dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena sekadar hobi belaka.
111
Bertanggung
jawab
kepada
masyarakat
artinya
kesediaan
memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai dengan profesinya, tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggung jawab juga berarti berani menanggung segala risiko yang timbul akibat pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau merugikan diri sendiri, orang lain, dan berdosa kepada Tuhan. (f) Organisasi Profesi Para profesional itu terkelompok dalam suatu organisasi biasanya organisasi profesi menurut bidang keahlian dari cabang ilmu yang dikuasai. Bertens menyatakan, kelompok profesi merupakan masyarakat moral (moral community) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kelompok profesi memiliki kekuasaan sendiri dan tanggung jawab khusus. Sebagai profesi, kelompok ini mempunyai acuan yang disebut kode etik profesi. Contoh organisasi profesi antara lain adalah : (1) Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin); (2) Ikatan Notaris Indonesia (INI); (3) Ikatan Dokter Indonesia (IDI); (4) Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi); (5) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) (6) Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi). Pengakuan terhadap organisasi profesi didasarkan pada nilai moral yang tercermin pada keahlian dan keterampilan anggota profesi yang bersangkutan bukan karena ketentuan hukum positif
112
2. Nilai Moral Profesi Profesi menuntut pemenuhan nilai moral dari pengembannya. Nilai moral merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Franz Magnis Suseno (1975) mengemukakan tiga nilai moral yang dituntut dari pengemban profesi, yaitu : (a) Berani berbuat untuk memenuhi tuntutan profesi. (b) Menyadari kewajiban yang harus dipenuhi selama menjalankan profesi. (c) Idealisme sebagai perwujudan makna misi organisasi profesi. Atas dasar ini setiap profesional dituntut untuk bertindak sesuai dengan cita-cita dan tuntutan profesi serta memiliki nilai moral yang kuat. Dalam melakukan tugas profesi, profesional harus bertindak objektif, artinya bebas dari rasa malu, sentimen, benci, sikap malas, dan enggan bertindak.
B. PROFESI HUKUM Apabila profesi itu berkenaan dengan bidang hukum, maka kelompok profesi Itu disebut kelompok profesi hukum. Pengemban profesi hukum bekerja secara profesional dan fungsional. Mereka memiliki tingkat ketelitian, kehati-hatian, ketekunan, kritis, dan pengabdian yang tinggi karena mereka bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada sesama anggota masyarakat, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka bekerja sesuai dengan kode etik profesinya. Apabila terjadi penyimpangan
atau
pelanggaran
kode
etik,
mereka
harus
rela
mempertanggungjawabkan akibatnya sesuai dengan tuntutan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi, ada Dewan Kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik. 1. Nilai Moral Profesi Hukum Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dari pengembannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Setiap
113
profesional hukum dituntut supaya memiliki nilai moral yang kuat. Franz Magnis Suseno (1975) mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian profesional hukum. Kelima kriteria tersebut dijelaskan seperti berikut ini. (a) Kejujuran Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum mengingkari misi profesinya, sehingga dia menjadi munafik, licik, penuh tipu diri. Dua sikap yang terdapat dalam kejujuran, yaitu : (1) Sikap terbuka. Ini berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan melayani secara bayaran atau secara cuma-cuma. (2) Sikap wajar. Ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, tidak memeras. (b) Otentik Otentik artinya menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keaslian-nya, kepribadian yang sebenamya. Otentiknya pribadi profesional hukum antara lain: (1) tidak menyalahgunakan wewenang; (2) tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat (perbuatan tercela); (3) mendahulukan kepentingan klien; (4) berani berinisiatif dan berbuat sendin dengan bijaksana, tidak sematamata menunggu perintah atasan; (5) tidak mengisolasi diri dari pergaulan sosial. (c) Bertanggung Jawab Dalam
menjalankan
tugasnya,
profesional
hukum
wajib
bertanggung jawab, artinya: (1) kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya; (2) bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma (prodeo);
114
(3) kesediaan
memberikan
laporan
pertanggungjawaban
atas
pelaksanaan kewajibannya. (d) Kemandirian moral Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan membentuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. Mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruh oleh pertimbangan untung rugi (pamrih), menyesuaikan diri dengan nilai kesusilaan dan agama. (e) Keberanian moral Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung risiko konflik. Keberanian tersebut antara lain: (1) menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap, pungli; (2) menolak tawaran damai di tempat atas tilang karena pelanggaran lalu lintas jalan; (3) menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang tidak sah. 2. Bidang-bidang Profesi Hukum Manusia hidup bermasyarakat pada hakikatnya terikat oleh hukum. Di setiap pojok kita hidup di situ ada hukum. Hukum ada di mana-mana. Jika demikian halnya, masyarakat merupakan jaringan hukum (web of law). Ahli hukum dengan sendirinya berperan penting karena berhadapan dengan tata kehidupan. Ahli hukum selalu terlibat dengan kegiatan menciptakan hukum, melaksanakan hukum, mengawasi pelaksanaannya, dan apabila terjadi pelanggaran hukum, maka perlu ada pemulihannya (penegakannya). Terakhir adalah kegiatan pendidikan hukum yang menghasilkan para ahli hukum. Semua kegiatan tersebut merupakan bidangbidang profesi hukum. Betapa pentingnya ahli hukum, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “peradaban manusia ditentukan oleh para
115
ahli hukum. Baik buruk peradaban masyarakat bergantung pada baik buruk perilaku para ahli hukumnya. Hukum mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia. Peraturan hukum mengatur dan menjelaskan bagaimana seharusnya : (a) legislator menciptakan hukum; (b) pejabat melaksanakan administrasi negara; (c) notaris merumuskan kontrak-kontrak harta kekayaan; (d) polisi dan jaksa menegakkan ketertiban hukum; (e) pengacara membela kliennya dan menginterpretasikan hukum; . (f) hakim menerapkan hukum dan menetapkan keputusannya; (g) pengusaha menjalankan kegiatan bisnisnya; (h) konsultan hukum memberikan nasihat hukum kepada kliennya; (i) pendidik hukum menghasilkan ahli hukum. Pekerjaan yang ditangani oleh para profesional hukum tersebut di atas tadi merupakan bidang-bidang profesi hukum, yang jika dirincikan adalah sebagai berikut ini: (a) profesi legislator; (b) profesi administrator hukum; (c) profesi notaris; (d) profesi polisi; (e) profesi jaksa; (f) profesi advokat (pengacara); (g) profesi hakim; (h) profesi hukum bisnis; (i) profesi konsultan hukum; (j) profesi dosen hukum. 3. Etika Profesi Hukum Kita semua hidup dalam jaringan keberlakuan hukum dalam berbagai bentuk formalitasnya. Semua berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Namun, yang namanya manusia dalam menjalani kehidupannya tidak lepas dari kecenderungan menyimpang . atau
116
menyeleweng.
Profesional
hukum
yang
tidak
bertanggung
jawab
melakukan pelanggaran dalam menjalankan profesinya karena lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau golongannya. Padahal adanya norma hukum secara esensial menuntun ke arah mana seharusnya berbuat yang membahagiakan semua pihak. Dengan berpedoman pada norma hukum, masyarakat berharap banyak kepada profesional hukum agar masyarakat dapat dilindungi oleh hukum, hidup tertib, teratur, dan bahagia. Setiap kelompok profesi memiliki norma-norma yang menjadi penuntun perilaku anggotanya dalam melaksanakan tugas profesi. Norma-norma tersebut dirumuskan dalam bentuk tertulis yang disebut kode etik profesi. Kode etik profesi hukum merupakan bentuk realisasi etika profesi hukum yang wajib ditaati oleh setiap profesional hukum yang bersangkutan. Notohamidjojo (1975) menyatakan, dalam melaksanakan kewajibannya, profesional hukum perlu memiliki: (a) sikap manusiawi, artinya tidak menanggapi hukum secara formal belaka, melainkan kebenaran yang sesuai dengan hati nurani; (b) sikap adil, artinya mencari kelayakan yang sesuai dengan perasa-an masyarakat; (c) sikap patut, artinya mencari pertimbangan untuk menentukan keadilan dalam suatu perkara konkret; (d) sikap jujur, artinya menyatakan sesuatu itu benar menurut apa adanya, dan menjauhi yang tidak benar dan tidak patut. Dalam
mengemban
profesi
pendidikan
tinggi
hukum
agar
menghasilkan ahli hukum etis (bermoral), Etika Profesi Hukum perlu diajarkan sebagai mata kuliah wajib. Dengan demikian, ahli hukum yang dihasilkan nantinya sejak dini sudah dibekali dengan akhlak dan pengamalan etika profesi hukum. Ahli hukum yang dihasilkan diharapkan menguasai ilmu hukum, ahli dan terampil secara profesional, bijaksana dalam
mengambil
keputusan,
berkelakuan
tidak
tercela
dalam
117
mengemban profesi hukum. Keadaan ini adalah gambaran isi normanorma yang terhimpun dalam kode etik profesi hukum. C. MASALAH-MASALAH PROFESI HUKUM Dalam
pembahasan
profesi
hukum,
Sumaryono
(1995)
menyebutkan lima masalah yang dihadapi sebagai kendala yang cukup serius, yaitu : (a) kualitas pengetahuan profesional hukum; (b) terjadi penyalahgunaan profesi hukum; (c) kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis; (d) penurunan kesadaran dan kepedulian sosial; (e) kontinuasi sistem yang sudah usang. Kelima masalah tersebut dijelaskan satu demi satu berikut ini. (a) Kualitas pengetahuan profesional hukum Setiap profesional hukum harus memiliki pengetahuan bidang hukum sebagai penentu bobot kualitas pelayanan hukum secara profesional. Hal ini sudah menjadi tujuan pendidikan tinggi bidang hukum. Menurut ketentuan Pasal 1 Keputusan Mendikbud No.17/Kep/0/1992 tentang Kurikulum Nasional Bidang Hukum, program pendidikan sarjana bidang hukum bertujuan untuk menghasilkan sarjana hukum yang : (1) menguasai hukum Indonesia; (2) mampu menganalisis masalah hukum dalam masyarakat; (3) mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah konkret dengan bijaksana dan tetap berdasarkan prinsipprinsip hukum; (4) menguasai dasar ilmiah untuk mengembangkan ilmu hukum dan hukum; (5) mengenal dan peka akan masalah keadilan dan masalah sosial. Tujuan tersebut dapat dicapai tidak hanya melalui program pendidikan tinggi hukum; melainkan juga berdasarkan pengalaman
118
setelah sarjana hukum bekerja menurut masing-masing profesi bidang hukum dalam masyarakat. Hukum adalah norma yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat. Tugas utama profesional hukum adalah mengartikan undangundang secara cermat dan tepat. Di samping itu, profesional hukum juga harus mampu membentuk undang-undang baru sesuai dengan semangat dan rumusan tata hukum yang telah berlaku. Keahlian yang diperlukan adalah kemampuan teoritis dan teknis yang berakar pada pengetahuan yang mendalam tentang makna hukum, dan membuktikan kemampuan diri menanamkan perasaan hukum dalam masyarakat sebagai bagian dari kebudayaan bangsa. Profesional hukum yang bertugas di bidang perundang-undangan berusaha agar undang-undang yang dibuat itu tepat dan berguna. Pada kesempatan ini prinsip-prinsip Etika (ketaatan moral) digunakan sebagai ukuran hukum yang baik. Apabila pembentuk undang-undang tidak dibekali dengan ketaatan moral, maka undang-undang buatannya itu tidak lebih dari nasihat atau petunjuk belaka, tidak memiliki kekuatan apa-apa. Dapatkah
ketaatan
moral
itu
dipaksakan
dalam
hukum?
Jawabannya diketahui dari rumusan hukum positif. Ada dua macam rumusan hukum positif, yaitu : (1) Hukum Positif Deklaratif Pernyataan rumusannya menggambarkan ketentuan hukum kodrat, yang hanya memuat larangan. Ketaatan moralnya terdapat pada larangan. Tetapi ketaatan moral hukum positif terdapat pada pemaksaan, yang mencantumkan sanksi keras jika dilanggar. Contoh adalah larangan membunuh, jika larangan ini dilanggar, sanksi keras berupa hukuman penjara atau hukuman mati. (2) Hukum positif determinatif Pernyataan rumusannya menentukan cara berperilaku yang sesuai dengan hukum kodrat. Ketaatan moral hukum kodrat terdapat pada
119
perintah atau larangan berdasarkan baik buruknya perbuatan. Tetapi ketaatan moral hukum positif terdapat pada penting tidaknya masalah dan kehendak pembentuk undang-undang. Apabila masalah itu penting bagi kesejahteraan umum (masyarakat), maka pembentuk undang-undang cenderung memaksakan ketaatan secara ketat dengan ancaman sanksi kepada
pelanggarnya.
Contohnya
adalah
cara
melangsungkan
perkawinan, cara berlalu lintas, cara membayar pajak. Dalam hal ini profesional hukum (pembuat undang-undang) dituntut kemahirannya menganalisis masalah hukum dalam masyarakat dan peka terhadap masalah keadilan. Pelayanan
hukum
secara
profesional
dan
bermutu
tinggi
bergantung pada jenis profesi hukumnya dan bobot pengetahuan hukum yang dikuasai oleh profesional hukum yang bersangkutan. Apabila penguasaan pengetahuan hukum itu kurang memadai, maka pelayanan yang diberikan akan salah arah atau salah sasaran, sehingga bukan keadilan yang dicapai, melainkan ketidakadilan, suatu hal yang fatal. Untuk meluruskan kembali kesalahan atau penyimpangan itu, Dewan Kehormatan profesi hukum mengevaluasi perbuatan yang telah dilakukan oleh profesional hukum yang bersangkutan guna menyatakan perbuatan itu sesuai atau melanggar kode etik profesi hukum yang digelutinya. (b) Penyalahgunaan profesi hukum Dalam kehidupan profesi hukum pernah terjadi dua orang hakim berkelahi di kantor mereka dalam waktu kerja karena konflik kepentingan. Pernah pula terjadi terdakwa melempar jaksa dengan kursi di ruang sidang pengadilan. Juga tak terelakkan seorang pengacara dikeroyok massa karena membela perkara terdakwa yang dibenci mereka. Pernah juga terjadi kegemparan di lembaga peradilan tertinggi kita mengenai masalah kolusi. Peristiwa-peristiwa tersebut menyentuh kewibawaan hukum dan menunjukkan kepada kita bahwa ketidakadilan telah terjadi di kalangan profesional hukum. Apakah faktor-faktor penyebabnya?.
120
Sumaryono menyatakan, penyalahgunaan dapat terjadi karena persaingan individu profesional hukum, atau karena tidak ada disiplin diri. Dalam profesi hukum dapat dilihat dua hal yang sering berkontradiksi satu sama lain, yaitu di satu sisi cita-cita Etika yang terlalu tinggi, dan di sisi lain praktek penggembalaan hukum yang berada jauh di bawah cita-cita tersebut. Dalam hal ini tidak seorang profesional hukum pun yang menginginkan perjalanan kariernya terhambat karena cita-cita profesi yang terlalu tinggi dan karenanya memberikan pelayanan yang cenderung mementingkan diri sendiri. Banyak profesional hukum menggunakan status profesinya untuk menciptakan uang atau untuk maksud-maksud politik. Penyalahgunaan profesi hukum dapat juga terjadi karena desakan pihak klien yang menginginkan perkaranya cepat selesai dan tentunya menang. Dia tidak segan-segan menawarkan bayaran yang cukup menggiurkan baik kepada penasihat hukum atau pun kepada hakim yang memeriksa perkara. Dalam hal ini terjadilah pertarungan, siapa yang membayar mahal itulah yang bakal menang. Penegakan hukum dijadikan ajang bisnis pelecehan hukum secara brutal. Di satu sisi penegak hukum beralih haluan dari keadilan ke penghasilan, dan di sisi lain klien menjadi perongrong wibawa hukum dan penegak hukum pokoknya menang. Bagaimana keadilan bagi yang tidak mampu? Wahai pengemban profesi. hukum: “kembalilah kepada Etika Profesi Hukum''. (c) Profesi hukum menjadi kegiatan bisnis Yang dimaksud dengan kegiatan bisnis adalah kegiatan yang tujuan utamanya mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Apabila kegiatan itu adalah kegiatan profesi hukum, maka dikatakan profesi hukum itu kegiatan bisnis. Jadi ukuran untuk menyatakan profesi hukum itu kegiatan pelayanan bisnis atau kegiatan pelayanan umum terletak pada tujuan utamanya. Memang diakui bahwa dari segi tujuannya, profesi hukum dibedakan antara profesi hukum yang bergerak di bidang pelayanan bisnis
121
dan profesi hukum yang bergerak di bidang pelayanan umum. Profesi hukum pelayanan bisnis menjalankan pekerjaan berdasarkan hubungan bisnis (komersial), imbalan yang diterima sudah ditentukan menurut standar bisnis. Contohnya para konsultan yang menangani masalah kontrak-kontrak dagang, paten, merek. Sedangkan profesi hukum pelayanan umum menjalankan pekerjaan berdasarkan kepentingan umum baik dengan bayaran atau tanpa bayaran. Contoh profesi hukum pelayanan umum adalah pengadilan, notaris, LBH, kalaupun ada bayaran, sifatnya biaya pekerjaan atau biaya administrasi. Sekarang ini boleh dikatakan profesi hukum cenderung beralih kepada kegiatan bisnis dengan tujuan utama: berapa yang harus dibayar, bukan apa yang harus dikerjakan. Hal ini sudah menggejala merasuk segala jenis profesi hukum bidang pelayanan umum, biaya pembuatan akta notaris mahal, biaya perkara di pengadilan mahal, biaya pengacara mahal, biaya administrasi KTP, SIM, 1MB, mahal, karena dibisniskan. Padahal tujuan diciptakannya undang-undang yang mengatur kepentingan umum itu untuk menyejahterakan masyarakat, bukan menyengsarakan masyarakat. Dengan demikian, jasa pelayanan umum yang diberikan oleh profesional hukum berubah dari bersifat etis menjadi bersifat bisnis. Mengapa terjadi demikian? Dalam kenyataan sekarang, profesi boleh dikatakan terdesak oleh bisnis karena imbalan atas pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan nilai kebutuhan layak dewasa ini. Hal ini menjadi penyebab mengapa kode etik profesi hanya menjadi pajangan, sulit diamalkan dalam memenuhi tugas. profesi. Di samping itu, keahlian yang berbeda pada setiap profesi mengakibatkan terjadi perbedaan mencolok antara imbalan yang diterima oleh profesional yang berlainan profesi. Misalnya : (a) Keahlian dosen berbeda dengan keahlian dokter spesialis, akuntan, hotaris, pengacara. (b) Keahlian pilot, nakhoda, berbeda dengan keahlian pengemudi bus di jalan raya.
122
(c) Keahlian penerjemah, operator komputer berbeda dengan keahlian pengarang buku. (d) Kurang kesadaran dan kepedulian sosial Kesadaran dan kepedulian sosial merupakan kriteria pelayanan umum profesional hukum. Wujudnya adalah kepentingan masyarakat lebih didahulukan daripada kepentingan pribadi, pelayanan lebih diutamakan daripada pembayaran, nilai moral lebih ditonjolkan daripada nilai ekonomi. Namun, gejala yang dapat diamati sekarang sepertinya lain dari apa yang seharusnya
diemban
oleh
profesional
hukum.
Gejala
tersebut
menunjukkan mulai pudarnya keyakinan terhadap wibawa hukum. Di antara gejala itu adalah para profesional hukum mulai menjual jasa demi penghasilan yang lebih tinggi. Dalam masyarakat mereka menyediakan diri bagi kesejahteraan umat manusia, dalam kegiatan profesional mereka menjadi orang sewaan yang dibayar mahal oleh klien mereka. Para profesional hukum banyak menghabiskan waktu memberi konsultasi kepada klien pengusaha secara pribadi melaksanakan hukum dengan cara-cara yang justru melanggar hukum, misalnya bagaimana cara berkolusi menyelesaikan masalah kredit melalui jalan belakang, menghindari pajak mahal. Apapun jenis profesi hukumnya, profesional hukum adalah abdi masyarakat dan abdi hukum yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat, bukan kepentingan pribadi semata-mata. Dalam negara hukum yang sedang membangun seperti Indonesia, profesional hukum yang sadar dan peduli kepada kepentingan masyarakat sangat dibutuhkan. Mereka dibutuhkan masyarakat untuk membela memperjuangkan nasib bagaimana berurusan dengan birokrasi yang tidak berbelit-belit, berperkara dengan biaya wajar, memperoleh ganti kerugian yang memadai akibat penggusuran hak-hak mereka. Demi tegaknya hukum dan keadilan, profesional hukum yang berpihak kepada masyarakat golongan bawah sangat dibutuhkan guna memperjuangkan hak-hak mereka yang tergusur dan tersingkir. (e) Kontinuasi sistem yang telah usang
123
Profesional hukum adalah bagian dari sistem peradilan yang berperan membantu menyebarluaskan sistem yang sudah dianggap ketinggalan zaman karena di dalamnya terdapat banyak ketentuan penegakan hukum yang tidak sesuai lagi. Padahal profesional hukum melayani kepentingan masyarakat yang hidup dalam zaman serba modern. Dahulu tidak dikenai bermacam ragam alat kontrasepsi yang sekarang justru menjadi kebutuhan masyarakat pengikut program keluarga berencana, tetapi tidak di-dukung oleh ketentuan hukum pidana tentang delik kesusilaan yang sekarang masih berlaku. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang komputer yang dapat menimbulkan kejahatan model baru, bidang kedokteran yang menimbulkan obat-obat terlarang seperti ecstacy, pelaku-pelaku kejahatan tersebut belum dapat dijangkau oleh hukum pidana yang berlaku sekarang. Demikian juga, istilah-istilah hukum yang digunakan di kalangan profesional hukum masih banyak menimbulkan kerancuan, misalnya kolusi,
korupsi,
zina,
kawin,
kecelakaan,
karena
konotasi
dan
interpretasinya dapat bermacam-macam. Hal ini dapat terjadi karena perkembangan masyarakat yang begitu cepat akibat pengaruh globalisasi informasi yang datang dari berbagai penjuru dunia ini. Sistem penghukuman juga sudah usang karena tidak dapat menjangkau pelaku kejahatan, kalau pun dapat dijangkau hukuman tidak sepadan dengan kejahatan yang dilakukannya. Hal ini mengundang emosi masyarakat yang merasakan hukuman yang tidak adil, tidak sebanding dengan kejahatan yahg telah dilakukan. Akibatnya ada pengacara dikeroyok massa, ada hakim dilempar dengan sepatu, ada jaksa dilempar dengan kursi di ruang sidang.
124
BAB VIII KODE ETIK PROFESl A. ARTI KODE ETIK PROFESl Bertens (1995) menyatakan, kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.
Apabila
satu anggota kelompok
profesi
itu
berbuat
menyimpang dari kode etiknya, maka kelompok profesi itu akan tercemar di
mata
masyarakat.
Oleh
karena
itu,
kelompok
profesi
harus
menyelesaikannya berdasarkan kekuasaannya sendiri. Kode etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasarkan penerapan pemikiran etis atas suatu profesi. Kode etik profesi dapat berubah dan diubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga anggota kelompok profesi tidak akan ketinggalan zaman. Kode etik profesi merupakan nasi! pengaturan diri profesi yang bersangkutan, dan ini perwujudan nilai moral yang hakiki, yang tidak dipaksakan dari luar. Kode etik profesi hanya berlaku efektif apabila dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam lingkungan profesi itu sendiri. Kode etik profesi merupakan rumusan norma moral manusia yang mengemban profesi itu. Kode etik profesi menjadi tolok ukur perbuatan anggota kelompok profesi. Kode etik profesi merupakan upaya pencegahan berbuat yang tidak etis bagi anggotanya. Setiap kode etik profesi selalu dibuat tertulis yang tersusun secara teratur, rapi, lengkap, tanpa cacat, dalam bahasa yang baik, sehingga menarik perhatian dan menyenangkan pembacanya. Semua yang tergambar adalah perilaku yang baik-baik. Tetapi di balik semua itu terdapat kelemahan sebagai berikut: (a) Idealisme yang terkandung dalam kode etik profesi tidak sejalan dengan fakta yang terjadi di sekitar para profesional, sehingga
125
harapan sangat jauh dari kenyataan. Hal ini cukup menggelitik para profesional untuk berpaling kepada kenyataan dan mengabaikan idealisme kode etik profesi. Kode etik profesi tidak lebih dari pajangan tulisan berbingkai. (b) Kode etik profesi merupakan himpunan norma moral yang tidak dilengkapi dengan sanksi keras karena keberlakuannya semata-mata berdasarkan kesadaran profesional. Rupanya kekurangan ini memberi peluang kepada profesional yang lemah iman untuk ber-buat menyimpang dari kode etik profesinya. B. FUNGSI KODE ETIK PROFESI Mengapa kode etik profesi perlu dirumuskan secara tertulis? Sumaryono (1995) mengemukakan tiga alasannya, yaitu : (a) sebagai sarana kontrol sosial; (b) sebagai pencegah campur tangan pihak lain; (c) sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik. Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban profesional anggota lama, baru, ataupun calon anggota kelompok profesi. Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan terjadi konflik kepentingan antara sesama anggota kelompok profesi, atau antara anggota kelompok profesi dan masyarakat. Anggota kelompok profesi atau anggota masyarakat dapat melakukan kontrol melalui rumusan kode etik profesi, apakah anggota kelompok profesi telah memenuhi kewajiban profesionalnya. sesuai dengan kode etik profesi. Kode etik profesi telah menentukan standardisasi kewajiban profesional anggota kelompok profesi. Dengan demikian, pemerintah atau masyarakat tidak perlu lagi campur tangan untuk menentukan bagaimana se-harusnya
anggota
kelompok
profesi
melaksanakan
kewajiban
profesionalnya. Hubungan antara pengemban profesi dan masyarakat, misalnya antara pengacara dan klien, antara dosen dan mahasiswa,
126
antara dokter dan pasien, tidak perlu diatur secara detail dengan undangundang oleh pemerintah, atau oleh masyarakat karena kelompok profesi telah menetapkan secara tertulis norma atau patokan tertentu berupa kode etik profesi. Kode etik profesi pada dasarnya adalah norma perilaku yang sudah dianggap benar atau yang sudah mapan dan tentunya akan lebih efektif lagi apabila norma perilaku tersebut dirumuskan sedemikian baiknya, sehingga memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan. Kode etik profesi merupakan kristalisasi perilaku yang dianggap benar menurut pendapat umum karena berdasarkan pertimbangan kepentingan profesi yang bersangkutan.
Dengan
demikian,
kode
etik
dapat
mencegah
kesalahpahaman dan konflik, dan sebaliknya berguna sebagai bahan refleksi nama baik profesi. Kode etik profesi yang baik adalah yang mencerminkan nilai moral anggota kelompok profesi sendiri dan pihak yang membutuhkan pelayan-an profesi yang bersangkutan. C. KODE ETIK PROFESI KURANG BERFUNGSI Dewasa ini mulai menggejala bahwa kode etik profesi kurang berfungsi sebagaimana mestinya di kalangan para profesional. Beberapa contoh gejala yang dapat dikemukakan antara lain adalah hubungan yang berikut ini. (a) Hubungan dokter dan pasien Dokter menyuruh pasiennya agar membeli obat resep di apotek yang ditunjuknya. Hal ini menimbulkan dugaan ada kolusi bermotif bisnis antara dokter dan apoteker, bukan motif profesional. mi berarti kode etik profesi dokter kurang berfungsi sebagaimana mestinya. (b) Hubungan insinyur pemborong dan pimpro Insinyur
pemborong
bangunan
membangun
gedung
menurut
konstruksi yang ditetapkan dalam kontrak. Ketentuan kontrak menyatakan bahwa semua bahan kayu adalah standar kelas satu. Nyatanya kayu kusen adalah standar kelas dua. Di sini terjadi
127
pengurangan nilai yang dianggap biasa oleh pemimpin proyek. Hal ini menimbulkan dugaan ada kolusi bermotif bisnis antara insinyur dan pimpro. Ini berarti kode etik profesi insinyur kurang berfungsi sebagaimana mestinya. (c) Hubungan hakim dan terdakwa Hakim memutus perkara perkosaan dengan hukuman percobaan. Pada-hal saksi penderita dengan tegas dan gamblang menerangkan di bawah sumpah perbuatan kekerasan terdakwa menyetubuhinya bertentangan dengan kehendaknya. Di sini tampak tidak sebanding antara kehormatan yang ternoda dengan hukuman tanpa dijalani. Hal ini menimbulkan dugaan, ada suap terdakwa kepada hakim.. Ini berarti kode etik profesi hakim kurang berfungsi sebagaimana mestinya. (d) Hubungan dosen dan mahasiswa Seorang dosen perguruan tinggi tertentu baru bersedia memberi ujian kepada mahasiswanya apabila sudah terdaftar minimal 10 mahasiswa dan sudah lunas membayar biaya ujian. Padahal menguji mahasiswa itu tidak perlu diukur dengan jumlah minimal terdaftar dan lunas membayar
uang
ujian.
Kewajiban
profesional
dosen
menguji
mahasiswa berdasarkan jadwal ujian yang ditetapkan oleh peraturan akademik. Hal ini menimbulkan dugaan, profesi dosen bergeser ke kegiatan bisnis, hanya menguji jika dibayar, tanpa bayaran tidak akan ada ujian. Ini berarti kode etik profesi dosen kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Gejala-gejala tadi menunjukkan bahwa betapa bagusnya kode etik dibuat oleh kelompok profesi yang diharapkan berfungsi sebagai ukuran perilaku, nyatanya diabaikan. Hal ini terjadi pasti ada alasan yang paling mendasar. Alasan tersebut akan diungkapkan dan dibahas terbatas pada profesi hukum saja. Alasan tersebut akan dibahas dalam studi tentang Etika Profesi Hukum dengan menelusuri naskah-naskah kode etik profesi hukum dan hubungannya dengan keberlakuan hukum positif.
128
D. KODE ETIK PROFESI DAN HUKUM POSITIF Dalam pembahasan yang terdahulu telah dikemukakan tiga rumusan pengertian etika, salah satu di antaranya adalah sebagai kumpulan asas atau nilai moral, dan ini ada dua bentuknya, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Apabila diberi bentuk tertulis, maka kumpulan asas atau nilai moral itu disebut kode etik. Karena berkenaan dengan profesi, maka kode etik itu disebut kode etik profesi. Dengan demikian, kode etik profesi bidang hukum disebut kode etik profesi hukum, misalnya Kode Etik Advokat, Kode Etik Notaris, Kode Etik Hakim, Kode Etik Jaksa, Kode Etik Akademik Dosen. Seperti telah diuraikan terdahulu, kode etik profesi merupakan bagian dari hukum positif tertulis tetapi tidak mempunyai sanksi yang keras. Keberlakuan kode etik profesi semata-mata berdasarkan kesadaran moral anggota profesi, berbeda dengan keberlakuan undang-undang yang bersifat memaksa dan dibekali dengan sanksi yang keras. Jika orang tidak patuh kepada undang-undang, dia akan dikenai sanksi oleh negara. Karena tidak mempunyai sanksi keras, maka pelanggar kode etik profesi tidak merasakan akibat dari perbuatannya. Malahan dia merasa seperti tidak apa-apa dan tidak berdosa kepada sesama manusia. 1. Alasan Mengabaikan Kode Efik Profesi Menggejalanya perbuatan profesional yang mengabaikan kode etik profesi karena beberapa alasan yang paling mendasar, baik sebagai individu anggota masyarakat maupun karena hubungan kerja dalam organisasi profesi, di samping sifat manusia yang konsumeristis dan nilai imbalan jasa yang tidak sebanding dengan jasa yang diberikan. Atas dasar faktor-faktor tersebut, maka dapat diinventarisasi alasan-alasan mendasar mengapa profesional cenderung mengabaikan dan bahkan melanggar kode etik profesi. (a) Pengaruh sifat kekeluargaan Salah
satu
ciri
kekeluargaan
itu
memberi
perlakuan
dan
penghargaan yang sama terhadap anggota keluarga dan ini dipandang
129
adil. Perlakuan terhadap orang bukan keluarga lain lagi. Hal ini berpengaruh terhadap perilaku profesional hukum yang terikat pada kode etik profesi, yang seharusnya memberi perlakuan sama terhadap klien. Contoh, Amat keluarga notaris minta dibuatkan akta hibah, notaris membebaskannya dari biaya pembuatan akta dengan alasan tidak enak menarik biaya dari keluarga sendiri. Kemudian datang Bondan, juga minta dibuatkan akta dengan membayar biaya yang telah ditentukan jumlahnya. Amat dan Bondan keduanya adalah klien yang seharusnya mendapat perlakuan sama menurut Kode Etik Notaris, tetapi nyatanya lain. Kode etik profesi diabaikan oleh profesional. Seharusnya masalah keluarga dipisahkan dengan masalah profesi dan ini adalah adil. Dalam contoh kasus tadi, notaris seharusnya menarik bayaran dari kedua mereka karena sama-sama klien. Setelah pulang dari kantor, notaris tadi datang kepada Amat keluarganya, menghadiahkan uang bayaran akta yang telah diterimanya dari Amat. Ini masalah keluarga, bukan profesi. Dengan cara demikian, notaris tidak perlu mengabaikan Kode Etik Notaris. (b) Pengaruh jabatan Salah satu ciri jabatan adalah bawahan menghormati dan taat pada atasan dan ini adalah ketentuan Undang-undang Kepegawaian. Fungsi eksekutif terpisah dengan fungsi yudikatif. Seorang hakim memegang dua fungsi sebagai pegawai negeri sipil dan sebagai hakim. Menurut Kode Etik Hakim, hakim memutus perkara dengan adil tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak manapun. Perkara yang diperiksa oleh hakim tadi ternyata ada hubungannya dengan seorang pejabat yang adalah atasannya sendiri. Dalam kasus ini di satu pihak hakim cenderung hormat pada atasan dan bersedia membela atasan sebab kalau tidak, mungkin hakim tadi akan dipersulit naik pangkat atau akan dimutasikan. Di lain pihak, pejabat mempunyai pengaruh terhadap bawahan dan karena itu mengirim katebelece (nota) kepada hakim, tolong selesaikan perkara tersebut dengan sebaik-baiknya
130
(konotasinya bela atasanmu), bukan seadil-adilnya. Seharusnya hakim berlaku adil dan tidak memihak, tetapi nyatanya memihak atasannya. Sekali lagi, kode etik profesi diabaikan oleh profesional. Seharusnya masalah jabatan dipisahkan dengan masalah profesi dan ini adalah adil. Hakim memeriksa perkara dengan sebaik-baiknya sesuai dengan Kode Etik Hakim, dan sesuai pula dengan saran katebelece atasannya (dengan sebaik-baiknya), sehingga putusannya pun sebaik-baiknya (versi hakim seadil-adilnya) karena hakim bekerja secara fungsional bukan secara struktural. Dengan demikian, hakim tidak mengabaikan atasannya dan tidak pula mengabaikan Kode Etik Hakim. (c) Pengaruh Konsumerisme Gencarnya
perusahaan-perusahaan
mempromosikan
produk
mereka melalui iklan media massa akan cukup berpengaruh terhadap peningkatan kebutuhan yang tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima oleh profesional. Hal ini mendorong profesional berusaha memperoleh penghasilan yang lebih besar melalui jalan pintas atau terobosan profesional, yaitu dengan mencari imbalan jasa dari pihak yang dilayaninya. Contoh, seorang dosen dengan gaji yang diterimanya cukup untuk biaya hidup, tetapi karena kebutuhan hiburan mendorongnya, untuk membeli televisi besar stereo multisistem lengkap dengan antena parabola yang sekarang sedang trendy. Untuk memperoleh uang dia menawarkan kolusi dengan mahasiswa yang diujinya : kalau ingin dibantu, Bapak bersedia membantu supaya lulus mendapat nilai A asalkan ada tanda terima kasihnya (maksudnya imbalan berupa uang yang sudah ditentukan tarifnya) sambil menahan daftar nilai dan kertas ujian mahasiswa. Ternyata dosen yang bersangkutan mengabaikan kode etik akademiknya. Seharusnya pemenuhan kebutuhan itu dapat dipenuhi dengan melakukan kerja ekstra apa saja yang dapat menjadi sumber penghasilan tambahan, baik berkenaan dengan profesi maupun di luar profesi,
131
misalnya menjadi dosen luar biasa, pemimpin di suatu PTS, konsultan hukum, melaksanakan proyek penelitian atau pengabdian kepada masyarakat, penyalur buku pelajaran, penceramah agama (da'i), penulis buku. Kerja keras adalah kodrat manusia dan ini menjadi lambang martabat manusia. Semua hal ini merupakan sumber penghasilan tanpa melanggar kode etik profesi. (d) Karena lemah iman Salah satu syarat menjadi profesional itu adalah taqwa kepada Tuhan-Yang Maha Esa, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ketaqwaan ini adalah dasar moral manusia. Jika manusia mempertebal iman dengan taqwa, maka di dalam diri akan tertanam nilai moral yang menjadi rem untuk berbuat buruk. Dengan taqwa manusia makin sadar bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, sebaliknya keburukan akan dibalas dengan keburukan. Sesungguhnya Tuhan itu maha adil. Dengan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, profesional memiliki benteng moral yang kuat, tidak mudah tergoda dan tergiur dengan bermacam ragam bentuk materi disekitarnya. Dengan iman yang kuat kebutuhan akan terpenuhi secara wajar dan itulah kebahagiaan. 2. Upaya Untuk Mematuhi Kode Etik Profesi Seperti telah diuraikan sebelumnya, kode etik profesi adalah bagian dari hukum positif, tetapi tidak memiliki upaya pemaksa yang keras seperti pada hukum positif yang bertaraf undang-undang. Hal ini merupakan kelemahan kode etik profesi bagi profesional yang lemah iman. Untuk mengatasi kelemahan ini, maka upaya altematif yang dapat ditempuh ialah memasukkan upaya pemaksa yang keras ke dalam kode etik profesi. Altematif tersebut dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu memasukkan klausula penundukan pada hukum positif undang-undang di dalam rumus-an kode etik profesi, atau legalisasi kode etik profesi melalui Pengadilan Negeri setempat. Kedua upaya tersebut diuraikan satu demi satu berikut ini.
132
(a) Klausula penundukan pada undang-undang Setiap undang-undang mencantumkan dengan tegas sanksi yang diancamkan
kepada
pelanggarnya.
Dengan
demikian,
menjadi
pertimbangan bagi warga, tidak ada jalan lain kecuali teat, jika terjadi pelanggaran berarti warga yang bersangkutan bersedia dikenai sanksi yang' cukup memberatkan atau merepotkan baginya. Ketegasan sanksi undang-undang ini lalu djproyeksikan kepada rumusan kode etik profesi yang memberlakukan sanksi undang-undang kepada pelanggamya. Dalam rumusan kode etik profesi dicantumkan ketentuan : “pelanggar kode etik dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku1'. Ini berarti, jika pelanggar kode etik profesi itu merugikan klien atau pencari keadilan, maka dia dapat dikenai sanksi undang-undang, yaitu pembayaran ganti kerugian, pembayaran denda, pencabutan hak tertentu, atau pidana badan. . Untuk itu harus ditempuh saluran hukum yang berlaku bahwa yang berwenang membebani sanksi itu adalah pengadilan. Dengan kata lain pelanggar kode etik profesi dapat diajukan ke muka pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. (b) Legalisasi Kode Etik Profesi Kode etik profesi adalah semacam perjanjian bersama semua anggota bahwa mereka berjanji untuk mematuhi kode etik yang telah dibuat bersama. Dalam rumusan kode etik tersebut dinyatakan, apabila terjadi pelanggaran, kewajiban mana yang cukup diselesaikan oleh Dewan Kehormatan, dan kewajiban mana yang harus diselesaikan oleh pengadilan.
Untuk
memperoleh
legalisasi,
ketua
profesi
yang
bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat agar kode etik itu disahkan dengan akta penetapan pengadilan yang berisi perintah penghukuman kepada setiap anggota untuk mematuhi kode etik itu. Jadi, kekuatan berlaku dan mengikat kode etik mirip dengan akta perdamaian yang dibuat oleh hakim. Apabila ada yang melanggar
kode
etik,
maka
dengan
surat
perintah,-pengadilan
memaksakan pemulihan itu.
133
E. Etika Profesi Hukum Profesi hukum adalah profesi yang keberadaannya berhubungan erat dengan kehidupan kita semua. Ada satu pernyataan yang mungkin ada benarnya juga bahwa: “para sarjana hukum menyelenggarakan peradaban bagi kita semua” atau “maju mundurnya peradaban kita ada di tangan para sarjana hukum” (Titus, 1947, hlm. 321). Bila kita coba mengamati sejenak segala sesuatu yang berkaitan dengan tata kehidupan di dalam masyarakat dan negara, kiranya akan kita lihat kenyataan sebagai berikut: para sarjana banyak yang duduk di pemerintahan, karena para pembentuk hukum/undang-undang adalah sarjana hukum. Mereka mengatur dan memerintah kita, karena posisi mereka sebagai kepala negara, gubernur serta menjadi anggota lembaga-lembaga peradilan. Para sarjana hukum jugalah yang membuat interpretasi hukum dan memaksakan berlakunya hukum (misalnya para hakim). Banyak pula sarjana hukum yang ambil peranan penting dalam perkara-perkara industri dan bisnis. Peraturan-peraturan hukum secara detail mengatur dan menjelaskan
bagaimana
kegiatan-kegiatan
bisnis
seharusnya
dilaksanakan. Bilamana saja terjadi transaksi niaga atau pertukaran harta benda, maka hukum - dan biasanya juga sarjana hukum (seperti penasihat hukum dan notaris) - terlibat di dalamnya. Banyak juga sarjana hukum yang menjadi direktur sebuah perusahaan, dan semua perusahaan mempunyai konsultan hukum untuk mengawasi dan menuntun kegiatankegiatannya. Lebih lanjut, kita menikah atau bercerai, mewariskan harta milik atau menguasakan semuanya itu kepada anak-anak kita, semuanya ini juga memerlukan peranan para sarjana hukum. Kita ini seakan-akan hidup dalam jaring-an peraturan perundangan dan bentuk-bentuk formalitas yang diciptakan oleh para sarjana hukum. Meskipun demikian, dalam praktik penggembalaan hukum tidak jarang terjadi berbagai macam penyimpangan atau penyelewengannya. Tidak jarang terjadi sentimen dalam penciptaan norma-norma atau kanon
134
dalam etika hukum dari waktu ke waktu selama masih ada pokrol hukum “amatiran”
ataupun
para
pemegang
profesi
hukum
yang
tidak
bertanggungjawab pada profesi hukumnya (sebagai akibat adanya kepentingan pribadi atau golongan tertentu, dan sebagainya). Padahal penataan norma-norma adalah esensial untuk memperjelas apa yang dituntut oleh pengadilan kepada para ahli hukumnya, apa yang diharapkan para ahli hukum dari para koleganya, serta apa yang dapat diharapkan oleh masyarakat umum dari anggota profesional hukum. Menurut Oemar Seno Adji, peraturan-peraturan mengenai profesi pada umumnya mengandung hak-hak yang fundamental dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam melaksanakan profesinya yang dalam banyak hal disalurkan melalui Kode Etik (Oemar SA, 1991, hlm. 15). Selanjutnya, untuk menjadi pemelihara hukum yang benar para sarjana hukum dituntut harus mempunyai: a. Sikap kemanusiaan, supaya ia jangan menanggapi hukum secara formal belaka. b. Sikap keadilan, untuk mencari apa yang layak bagi masyarakat. c. Sikap kepatutan, sebab diperlukan pertimbangan tentang apa yang sungguh-sungguh adil dalam suatu perkara konkret. d. Sikap kejujuran, jangan ikut korupsi (atau ikut berperilaku pada apa yang sering diistilahkan sebagai “mafia peradilan”, dan sebagainya) (Theo, 1990, hlm. 145, atau Notohamidjojo, 1975, hlm. 52-55). Dalam konteks ini Purwoto S. Gandasubrata, mantan Ketua Mahkamah Agung RI, menghimbau supaya fakultas hukum sebagai lembaga yang menghasilkan para sarjana hukum secara dini membekali mahasiswanya dengan pendidikan akhlak dan pengenalan mengenai etika profesi hukum. Ini dimaksudkan supaya sarjana hukum yang dihasilkan itu adalah para sarjana hukum yang sujana dan susila, menguasai ilmu hukum, terampil profesional, arif bijaksana dan berkelakuan tak tercela karena berakhlak baik. Selain itu M. Kharis Suhud, juga menekankan
135
bahwa pembaharuan terhadap sistem hukum nasional harus didukung oleh adanya aparat penegak hukum yang profesional, berke-mampuan, berwibawa, serta bersikap dan berperilaku sebagai penegak hukum yang dapat
menjadi
pengayom
masyarakat
(Pidato
pembukaan
masa
persidangan DPR-RI tahun sidang 1988-1989). 1. Persoalan-persoalan Pokok dalam Profesi Hukum Pelaksanaan profesi hukum menghadapi persoalan-persoalan pokok antara lain: pengetahuan yang harus dimiliki sebagai penentu kualitas pelayanan profesional hukum, dampak penyalahgunaan profesi hukum,
kecenderungan
pelaksanaan
profesi
berkembang
menjadi
kegiatan bisnis, menurunnya kesadaran dan kepedulian sosial yang melanda sebagian ahli hukum, serta adanya kontinuasi sistem yang sebetulnya sudah ketinggalan zaman tetapi masih dipertahankan oleh beberapa ahli hukum yang konservatif dan tidak mengembangkan diri. a. Kualitas Pengetahuan Bidang Ilmu Hukum Keputusan Dirjen P dan K no. 30/DJ/Kep/1983, pasal 1 menentukan bahwa kurikulum inti program pendidikan sarjana bidang hukum adalah untuk menghasilkan sarjana hukum yang: (1)
menguasai hukum Indonesia
(2)
mampu menganalisis masalah-masalah hukum dalam masyarakat
(3)
mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan
masalah-masalah
yang
konkret
dengan
bijaksana
dan
tetap
berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum (4)
menguasai dasar-dasar ilmiah untuk pengembangan ilmu hukum
dan hukum (5)
mengenal dan peka akan masalah-masalah keadilan dan masalah-
masalah sosial. Hukum merupakan suatu gejala yang muncul dalam hidup manusia sebagai norma bagi kehidupan bersama. Sebagaimana hidup manusia mempunyai banyak seginya, demikian pula dengan norma-norma bagi
136
kehidupan itu. Hukum itu seluas hidup itu sendiri. Oleh karenanya, terdapat bermacam-macam pendekatan terhadap gejala hukum, bahkan beberapa macam ilmu. Tugas utama seorang sarjana hukum ialah menafsirkan undang-undang yang berlaku secara cermat dan tepat. Namun di samping tugas pokok itu seorang sarjana hukum juga harus sanggup
untuk
membentuk
undang-undang
baru
sesuai
dengan
semangat dan rumusan tata hukum yang telah berlaku. Keahlian yang diminta di sini bukan hanya suatu kemampuan teknis saja, melainkan juga kemampuan menentukan sikap yang mendapatkan akarnya pada pengetahuan yang mendalam tentang makna hukum, serta membuktikan diri dalam kerelaan hati untuk menanamkan perasaan hukum dalam masyarakat sebagai bagian dari kebudayaan bangsa (Theo Huijbers). Penguasaan bidang hukum adalah suatu seni tersendiri. Dalam pengertian ini seorang ahli hukum dapat diperbandingkan dengan seorang tukang atau seorang seniman yang memiliki keterampilan khusus pada bidang pekerjaannya. Bila seorang tukang kayu terampil dalam mempergunakan alat-alat pertukangan dan mampu membuat perabot rumah tangga yang baik, atau seorang seniman yang dapat menciptakan sebuah patung yang indah sekali, maka seorang ahli hukum adalah “tukang” atau “seniman” yang terampil dalam hal mengatur masyarakat dan menciptakan undang-undang. Meskipun seorang ahli hukum tidak berwenang menentukan isi suatu tata hukum, seperti halnya seorang tukang kayu atau seniman patung yang membuat karyanya tergantung pada pesanan, namun ia ditugaskan untuk bekerja dibidang perundang-undangan supaya peraturan atau undang-undang itu dibuat sedemikian rupa sehingga tepat dan berguna. Pada kegiatan inilah prinsip-prinsip etika dipergunakan sebagai ukuran sebuah peraturan atau hukum/undang-undang yang baik. Sebab, jika para pembentuk undang-undang membuat hukum atau peraturan tanpa disertai ketaatan moral, maka karyanya itu akan sia-sia saja dan hukum atau peraturan perundangan yang dibuatnya itu tidak
137
ubahnya sebuah nasihat atau petunjuk pengenal. Meskipun demikian, kecenderungan orang untuk membuat undang-undang yang tanpa ikatan moral masih tetap terjadi juga. Hal ini antara lain di-dukung oleh adanya keyakinan yang menekankan bahwa hukum yang sebenarnya itu adalah hukum yang dimengerti sebagai undang-undang negara (John Austin dan para penganut positivisme hukum lainnya). Dapatkah hukum publik memaksakan ketaatan moral? Untuk ini baiklah kita lihat bentuk rumusan hukum positif pada umumnya. Ada dua macam bentuk rumusannya, yaitu: Pertama, hukum positif deklaratif, yaitu hukum positif yang me-lalui susunan kata-katanya hanya menyatakan apa yang digambarkan oleh hukum kodrat. Contoh hukum jenis ini adalah hukum yang melarang pembunuhan, pencurian, sumpah palsu dan sebagainya Hukum ini berbeda dari hukum kodrat hanya dalam hal pengundangannya saja. Kedua, hukum positif determinatif, yaitu hukum yang menentukan atau menggariskan cara-cara berperilaku yang disesuaikan dengan apa yang diatur oleh hukum kodrat. Contoh hukum jenis ini antara lain: peraturan lalu-lintas, aturan pengumpulan pajak, aturan main dalam pemilihan pimpinan, persyaratan pembuatan kontrak yang sah, dan sebagainya (A. Fagothey, 1975, hlm. 198 dan 201). Tekanan moral atau ketaatan moral dalam hukum positif deklaratif sudah diatur dalam hukum kodrat, yaitu bahwa: ketaatan moral akan ditekankan bila hal itu memang diperlukan; bila tidak diperlukan, tidak perlu ada ketaatan moral. Sedang dalam hukum determinatif, di mana persoalannya mempunyai kekhasan moral dan baik-buruknya didasarkan atas pernyataan diperintahkan atau dilarang, penekanan ketaatan-nya akan tergantung pada dua faktor, yaitu: penting-tidaknya masalah yang ada
serta
bagaimana
kehendak
pembentuk
undang-undang.
Persoalan/masalahnya mungkin sangat penting bagi kebaikan umum sehingga para pembentuk undang-undang cenderung memaksakan ketaatan yang ketat. Dalam kasus ini hukum berlaku sangat mengikat. Jadi,
138
dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa kesungguhan ketaatan moral biasanya didasarkan atas pertimbangan penting-tidaknya persoalan yang ada. Di sinilah para sarjana hukum dituntut untuk mahir dalam menganalisis masalah-masalah hukum dalam masyarakat, serta peka akan masalah-masalah keadilan dan sosial. Jadi, pelayanan profesional yang bermutu tinggi dalam bidang hukum tergantung baik pada ciri khas jenis profesi tersebut maupun pada pengetahuan yang dimiliki oleh para ahlinya. Jika penguasaan bidang pengetahuan hukum ini kurang memadai atau bahkan sangat minim, hal ini akan menimbulkan tindakan salah-pembinaan, salah arah atau bahkan salah sasaran dalam penegakan keadilan. Untuk meluruskan kembali penegakan keadilan yang diselewengkan itu perlu dibentuk dewan pertimbangan dan evaluasi atas pemberlakuan peraturan per-undangan yang sudah ditetapkan/dirancang. Dewan ini akan bertugas untuk menguji dan memberi izin sarjana hukum untuk memangku jabatan sebagai profesional hukum sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku. (Bandingkan dengan tindakan Mahkamah Agung terhadap seorang hakim yang menjatuhkan putusan yang dinilai me-lecehkan Undang-Undang dan mengabaikan keadilan yang seharusnya ditegakkan demi wibawa hukum dan lembaga-lembaga peradilan.) b. Terjadinya Penyalahgunaan Profesi Penyalahgunaan dapat terjadi karena persaingan yang melanda individu profesional hukum ataupun karena tidak adanya disiplin diri. Dalam profesi hukum dapat dilihat dua hal yang sering kontrast satu sama lain, yaitu: cita-cita etika yang terlalu tinggi di satu sisi dan praktik-praktik pelaksanaan penggembalaan hukum yang berada jauh di bawah cita-cita tersebut di sisi lain. Tak seorang ahli hukum pun yang menginginkan perjalanan kariernya menemui hambatan sebagai akibat terjerat oleh citacita profesi yang terlalu tinggi dan menghindari pelayanan yang jauh dari semangat mementingkan diri sendiri. Banyak ahli hukum mempergunakan
139
status profesinya untuk menciptakan uang atau untuk maksud-maksud politik. Kalau kita mau mencoba melihat ke belakang pada peristiwaperistiwa yang menyentuh kewibawaan hukum, seperti terjadinya pada peristiwa beberapa perawat yang mencoba membunuh beberapa pasien tua yang rewel, polisi yang memperlakukan tahanan secara tidak manusiawi meskipun tahanan tersebut belum terbukti bersalah, wartawan atau reporter yang memberitakan hal-hal yang dapat mengganggu stabilitas nasional sehingga menyebabkan beberapa media cetak dicabut SlUP-nya, ataupun adanya berita yang mengkisahkan terjadinya dua orang hakim yang berkelahi secara fisik karena kepentingan pribadi masing-masing dirasakan terganggu, serta seorang saksi yang melempari hakim dengan menggunakan sepatunya karena ia merasa ditipu oleh penegak hukum dan keadilan tersebut, dan sebagainya Semua peristiwa tersebut dapat mendorong klien untuk selalu bersikap waspada dan mempertanyakan pelayanan profesional yang selayaknya diterima. Meskipun demikian, banyak juga para penegak hukum dan keadilan yang berusaha keras untuk meneliti semua berkas perkara secermat-cermatnya dengan maksud untuk mencari dasar penerapan hukum dan un-dangundang sebagaimana mestinya, sehingga kewibawaan hukum dan aparat penegaknya tetap terjaga dan terpelihara. Sementara yang lain membaca berkas-berkas dengan maksud untuk meluruskan pemberlakuan hukum, atau untuk meneari “episode-episode” yang diperlukan di dalam kehidupan antara pria dan wanita sehingga dapat diketahui sebabmusababnya terjadinya perceraian. Semuanya ini dapat mendorong perkembangan interpretasi dan penerapan hukum atau undang-undang secara tepat dan memadai. Dalam upaya mencegah penyalahgunaan profesi hukum, kiranya perlu dirumuskan kanon etika profesional yang dapat menghapus atau menghambat pengucilan para klien dari hakhaknya baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
140
Semua peristiwa atau kejadian tersebut di atas sangat erat berhubungan dengan kontingensi penghasilan. Dalam beberapa kasus sering terlihat para klien menyetujui untuk membayar sejumlah uang dengan harapan perkaranya segera terselesaikan dan tidak hanya terkatung-katung saja. Dengan kondisi seperti ini hubungan antara penasihat hukum dengan kliennya bisa menjelma menjadi hubungan “partnership” dalam hubungan bisnis, dan ini mendorong para penasihat hukum untuk memenangkan perkara supaya dapat memperoleh imbalan finansial yang tinggi. Penghasilan yang sifatnya kontinggen terhadap penyelesaian perkara tidak sepenuhnya dikecam, selama ada pula orangorang miskin yang memenangkan perkaranya dan tidak perlu membayar banyak setelah perkaranya diputus oleh hakim. Yang dimaksudkan dengan perbuatan-perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh para penegak hukum antara lain bila ada penasihat hukum yang membiarkan kliennya terhambat oleh hal-hal yang bersifat teknis, penundaan-penundaan persidangan, atau sarana-sarana lain yang memungkinkan para klien melakukan penyuapan dan menempuh prosedur penyelesaian perkara di luar jalur hukum atau bahkan melawan hukum/ketentuan yang berlaku. Orang-orang semacam inilah yang dapat dikatakan mencoba membawa hukum turun pamornya dan membuat pelecehan terhadap keadilan. Realitas tersebut di atas dapat kiranya dipergunakan untuk mengamati aktivitas para pokrol di kantor-kantor polisi/pengadilan, aktivitas para “body-guard” hukum pada beberapa perusahaan yang menuntut gaji yang tinggi dengan dalih demi keselamatan perusahaan, ataupun untuk mengamati para penegak hukum yang berusaha menggunakan saranasarana tertentu dengan maksud melindungi kelompok kriminal tertentu. (Titus, 1947,p.327) Mengingat akan bahaya yang mengancam keadilan dalam praktik penggembalaan
hukum
itu,
serta
untuk
mencegah
terjadinya
penyalahgunaan atau penyelewengan dalam praktik tersebut, kiranya perlu di-tegaskan kembali kode-kode etik profesi hukum “yang sudah ada.
141
Sebagai contoh misalnya dalam profesi advokat, dikenal adanya “normative ethics” yang di dalamnya terkandung ketentuan-ketentuan seperti: (1)
kewajiban pada diri sendiri
(2)
kewajiban-kewajiban bagi masyarakat umum
(3)
ketentuan-ketentuan tentang partnership
(4)
kewajiban terhadap orang atau profesi yang dilayani (Oemar S.A,
1991, hlm. 16). Kewajiban pada diri sendiri adalah sesuatu yang dimaksudkan untuk mendisiplinkan diri sendiri pada sumpah jabatannya. Dalam menjalankan tugasnya seorang advokat wajib menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila, UUD' 45, serta sumpah jabatannya dan advokat harus bersedia memberi bantuan dan nasihat hukum tanpa mengadakan diskriminasi yang berdasarkan agama, suku, keturunan dan sebagainya Demikian juga dengan penegak hukum yang lainnya, misalnya Polisi, sebagai penegak hukum ia mempunyai tugas fundamental melayani anggota masyarakat, yaitu dalam hal memberi perlindungan hidupnya dan harta miliknya; melindungi yang benar dan jujur dari segala bentuk penipuan, yang lemah dari segala bentuk penindasan dan intimidasi, yang hidup damai dari kekerasan dan kebrutalan. Ia juga berkewajiban untuk menghormati hal-hak konstitusional setiap orang untuk kebebasannya, kesamaan derajat dan keadilan (Oemar S.A. 1991, hlm. 19). Oleh karenanya, jika setiap person penegak hukum melaksanakan tugas pokok dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, maka tidak akan terjadi penyimpangan dan penyelewengan kode etik jabatan atau profesinya. Dari sini tampak bahwa ukuran moralitas profesi akhirnya terletak pada kodrat manusia sebagai manusia, yaitu dilihat dari segi tindakannya, motivasi tindakan dan ruang lingkup atau lingkungan di mana tindakan itu dilakukan. c. Kecenderungan Profesi menjadi Kegiatan Bisnis
142
Kecenderungan ini terjadi sedikit-banyak ditentukan atau disebabkan oleh person-personnya sendiri, baik di dalam profesinya maupun di luar profesi. Memang tidak kita sangkal bahwa kegiatan para ahli hukum hampir dapat dihubungkan dengan kehidupan dalam dunia bisnis, bahkan selalu siap untuk “mengadopsi” penampilan lahiriahnya. Woodrow Wilson pernah mengamati bahwa “para penasihat hukum sudah lama dalam keadaan bahaya terdampar karena kepentingan-kepentingan bisnis khusus”. Sudah banyak orang dalam
profesi ini menggunakan kemahirannya untuk
menghindarkan diri dari ketentuan pajak khusus, ketentuan tarif dan sebagainya.
Sekelompok
penasihat
hukum
pernah
menghabiskan
waktunya hanya untuk menolong kelompok bisnis tertentu untuk melakukan kegiatan yang sesuai dengan kehendak mereka sendiri, tanpa peduli akan dampak sosial yang bisa terjadi. Sebuah pernyataan pernah muncul dalam majalah “The Annals” yang diterbitkan oleh The American Academy of Political and Social Science, menaruh perhatian banyak pada profesi penasihat hukum dengan menyebutkan bahwa: dari berbagai penjuru kita mendengar keluhan tentang norma-norma peradilan yang semakin diremehkan, etika semakin melemah, penyalahgunaan biaya yang dibebankan kepada klien, sulitnya bantuan medis pada saat terjadi kecelakaan, cerita-cerita teror yang disampaikan kepada klien, komersialisasi praktik hukum, bahkan sampai pada adanya pernyataan tuduhan bahwa banyak penasihat hukum dianggap terlibat dalam kelompok-kelompok yang bersekongkol dalam tidak kejahatan dan menjatuhkan nama baik profesi tersebut. Dengan kata lain, kondisi tersebut menunjukkan gejala pelecehan hukum dan pemeliharaannya. Bahkan profesi ahli hukum tidak lagi dianggap sebagai profesi yang terpuji (Maurice Wormser: “Legal Ethics in Theory and in Practice”, dalam The Annals, Vol. 165-167, Jan.-May 1933, hlm. 195). Sasaran umum legislasi adalah kesejahteraan umum. Legislasi hukum positif bertujuan untuk melindungi dan mempromosikan kesejahteraan umum dengan cara:
143
(1)
mempertegas definisi hak-hak asasi dan kewajiban azasi yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat, serta menjamin kebebasan yang diperlukan untuk memungkinkan pertanggungjawaban tindakan,
(2)
mempertahankan kedamaian batin dan tertib masyarakat, serta menciptakan keamanan eksternal,
(3)
menciptakan kondisi-kondisi yang memadai demi kemajuan dalam bidang sosial-ekonomi dan kebudayaan, serta kehidupan moral dan religius (Karl H. Peschke, 1987, hlm. 182). Dari sini dapat disimpulkan bahwa kehendak pembuat undang-
undang bukanlah merupakan dasar yang eksklusif dan utama terciptanya tertib hukum. Kebaikan atau kesejahteraan umum termuat dalam realisasi tujuan yang objektif, individual dan sosial, yang mengikat para pembentuk hukum/undang-undang dalam pemberlakuan norma-norma hukum. Setiap hak menghasilkan objek hukum, yaitu sesuatu yang berada di bawah wewenang seseorang. Objek hukum dapat berupa bendabenda, dan dapat juga berupa pelayanan atau jasa. Yang dimaksudkan 'benda-benda' dapat berupa benda material (seperti mesin, bahan pakaian, dan sebagainya) dan dapat berupa hal yang bersifat imaterial (seperti misalnya: pendapat, dan sebagainya). Manusia sebagai pribadi tidak pernah dapat dijadikan objek hukum. Yang dapat menjadi objek hukum hanya jasa atau pelayanan yang diberikan oleh person kepada person lain. Bila objek hukum ini pada akhirnya berubah menjadi kegiatan bisnis. Barang dan jasa-pelayanan yang diberikan oleh para profesional hukum menjadi bernilai ekonomis. d. Kurangnya Kesadaran dan Kepedulian Sosial Terlalu sedikitnya kesadaran sosial di kalangan para anggota profesi hukum dapat dianggap sebagai sebuah “state of affairs”. Kondisi ini ditandai oleh adanya gejala di mana orang meninggalkan keyakinannya tentang wibawa hukum. Hal ini terjadi tidak hanya pada saat kegiatan para pokrol amatiran mulai dilarang, melainkan juga saat karier para pakar hukum atau penasihat hukum terkenal mulai diuji sehingga banyak dari
144
antara anggota profesi hukum mulai “menjual” jasa mereka demi perolehan penghasilan yang lebih tinggi. Di luar profesi mungkin mereka menyediakan dirinya bagi kesejahteraan umat manusia, namun dalam kegiatan-kegiatan profesionalnya mereka justru menjadi orang-orang sewaan yang dibayar mahal oleh kliennya sendiri. Orang-orang yang terkemuka dalam profesi hukum dan yang memiliki kedudukan yang baik dalam assosiasi peradilan mungkin banyak menghabiskan waktunya untuk menasihati orang lain secara individual atau untuk menjadi penasihat hukum beberapa perusahaan tentang bagaimana memperoleh sertifikat, sambil mengarahkan praktik hukumnya dalam cara-cara yang justru bertentangan dengan semangat dan isi hukum. Bila secara teoretis seorang advokat itu menjadi bagian dari kantor pengadilan dan jasa pelayanannya diabdikan untuk menegakkan keadilan, dalam pelaksanaan praktiknya
tidak
seluruhnya
berhubungan
dengan
konsekuensi-
konsekuensi sosial, melainkan hanya pada orang tertentu kepada siapa ia 'menjual' jasa profesionalnya. Kepincangan-kepincangan tersebut diatas tidak akan terjadi bila para penegak hukum dan keadilan sebagai penyandang profesi membatasi diri pada perkara-perkara teknis, menutup segala bentuk permainan “pintu belakang”, serta menghindarkan diri dari tindakan yang menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku, untuk kemudian memupuk rasa kesadaran yang tinggi tentang kepentingan anggotaanggota masyarakat pada umumnya. Kode Etik Kepolisian Internasional antara lain menyebutkan sebagai berikut: “A police officer is both a citizen and a law enforcement officer who on behalf of his fellow citizens, prevents crime, reserves the public peace, protects the persons and property and detects and apprehends offenders. It is the tradition of the police profession to be helpful, beyond the call of duty to all persons” (Oemar S.A, 1991, hlm. 20). Jadi, seorang anggota polisi adalah sekaligus seorang warga negara dan seorang petugas penegakan (penerapan) hukum yang demi sesama warga negara ia mencegah kejahatan, menjamin ketenteraman umum,
145
melindungi anggota masyarakat dan harta miliknya serta melacak dan menangkapi para pembangkang hukum. Tradisi profesi kepolisian semacam ini haruslah bersifat benar-benar membantu, sesuai dengan panggilan tugas bagi pengabdian kepada semua orang. Bukan yang sebaliknya terjadi sebagaimana kita lihat pada waktu-waktu yang telah lalu. Semua kode etik profesi hukum pada dasarnya menggariskan dan menegaskan bahwa setiap person penegak hukum, apa pun jenis profesinya, adalah abdi masyarakat dan abdi hukum, bukan bisnisman. Seorang hakim dalam tugasnya sehari-hari memiliki “kekuasaan yang besar terhadap para pihak yang berhubungan dengan masalah atau konflik yang dihadapkan kepada hakim atau para hakim tersebut”, (Mochtar Kusuma Atmadja, 1974, hlm. 17). Ini berarti bahwa dalam tugasnya, seorang hakim memikul tanggungjawab yang besar dan harus menyadari tanggungjawab itu. Sebab, setiap keputusan yang diambil-nya mempunyai dampak sosial yang sangat besar, yaitu dapat membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan para pihak yang terkena jangkauan keputusan tersebut. Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat mengakibatkan penderitaan lahir batin pada para yustisiabel yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya (Arief Sidharta, 1992, hlm. 110). Kode Etik Notaris antara lain juga menyebutkan bahwa: Dalam menjalankan tugasnya, Notaris harus menyadari kewajibannya, bekerja mandiri, jujur tidak berpihak dan dengan penuh rasa tanggungjawab; memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya: memberikan penyuluhan hukum untuk men-capai kesadaran hukum yang tinggi, agar anggota masyarakat menyadari hak dan kewajibannya; serta harus memberikan pelayanan kepada anggota masyarakat yang kurang mampu. Sementara itu, Kode Etik dan Doktrin Ikatan Penasihat Hukum Indonesia Bab I, Pasal 3, ayat (1) menyatakan sebagai berikut.: Anggota Ikatan Penasihat Hukum Indonesia lebih mengutamakan pengabdiannya
146
kepada masyarakat daripada kepentingan sendiri dan golongan (Dalam semangat “Pengabdian kepada masyarakat di atas kepentingan pribadi). Sedang dalam Pasal 4, ayat (6) disebutkan sebagai berikut: Anggota Ikatan Penasihat Hukum Indonesia dalam memperhitungkan imbalan terhadap jasa yang diberikan, dengan mengingat segi kelayakan dan kemanusiaan (Dalam semangat TRI DHARMA PROFESI: Kebenaran, Keadilan dan Kemanusiaan). Oleh karenanya, demi tegaknya hukum dan keadilan, sangat dibutuhkan lebih banyak lagi ahli hukum yang tidak menggunakan para klien dan pencari keadilan sebagai “objek” kegiatannya, melainkan yang bersedia membantu dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab untuk mempertemukan hukum dengan tuntutan masyarakat yang urgent. e. Kontinuasi Sistem Peradilan Para ahli hukum bukan hanya sekedar menjadi bagian dari sebuah sistem
peradilan,
melainkan
juga
berperanan
dalam
membantu
menyebarluaskan sistem yang sering sudah dianggap ketinggalan zaman dan yang di dalamnya terdapat banyak kasus penegakan keadilan yang kurang memadai lagi. Sebagai contoh misalnya pernyataan yang diungkapkan oleh seorang Hakim Tinggi Mahkamah Agung Amerika Serikat sebagai berikut: bahwa administrasi hukum pidana di AS adalah simbol dari “noda peradaban”. Pernyataan ini bertolak dari adanya realitas persidangan tindak pidana sehari-hari yang biasanya terdiri dari dua kelompok yang berperkara yang masing-masing mencoba memenangkan perkaranya, yang seharusnya persidangan ini dilangsungkan oleh para ahli dalam bidang kriminologi dengan menggunakan sarana-sarana yang memadai untuk menentukan fakta hukum dari perkaranya dan kondisi terdakwa,
serta
perkara/kasusnya
merekomendasikan sesuai
sebuah
dengan ketentuan
yang
disposal
atas
mengacu
pada
kepentingan masyarakat dan terdakwa. Atau, mengenai gagasan tentang pidana cambuk, yang bila dilaksanakan pencambukan itu akan mengakibatkan luka bilur-bilur yang
147
akan membekas selamanya. Pidana yang menimbulkan rasa sakit/derita ini memang dikehendaki oleh penghukum dengan maksud agar terpidana menjadi jera dan tidak melakukan tindak pidana lagi. Apakah pidana cambuk ini tepat bila masih dipergunakan pada era hukum yang sudah maju dalam memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia saat ini? Dalam konsep hukum pidana modern, ada dua hal yang harus diperhatikan/dipertimbangkan oleh hakim sebelum ia menjatuhkam pidana, yaitu: (1) masalah perbuatannya, dan (2) masalah pelaku perbuatan itu. Untuk masalah yang pertama, yang penting untuk diperhatikan di sini adalah apakah perbuatan yang dilakukan itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, khususnya hukum pidana, atau tidak (atau sekedar pelanggaran biasa sebagai akibat kealpaan, misalnya). Pasal I, ayat (1) KUHP menyatakan: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam per-undangundangan yang telah ada sebelum perbuatan yang dilakukan. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan dinilai sebagai perbuatan pidana bila ada rumusannya dalam suatu perundangundangan. Demikian juga perlu diperhatikan akan adanya keadaan atau hal-hal tertentu yang menyertai perbuatan tersebut serta menentukan berat-ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Perlu diingat di sini bahwa istilah “hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti luas dan berbedabeda/berubah-ubah, karena istilah ini dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas pula. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang pendidikan, moral, agama atau istilah-istilah lain dalam kehidupan sehari-hari, namun dapat kita lihat pula terutama dalam kaitannya dengan bidang hukum (Muladi & Bafda, 1984, hlm. 2). Dalam istilah hukum, “hukuman” lebih banyak diartikan atau bahkan diganti dengan istilah “pidana”, sehingga dengan pengertian ini ada
148
banyak batasan yang diajukan untuk menerangkan arti hukuman itu. Salah satu batasan yang dikemukakan oleh Alf Ross ialah: “The punishment is an expression of disapproval of actions for which it is imposed.” Sementara H.L. Packer menyatakan bahwa pengenaan hukuman dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau salah. Jadi, fokus pidana adalah perbuatan yang salah (menurut hukum). Pemberian pidana itu dimaksudkan untuk mencegah terulangnya kembali perbuatan itu, maupun untuk mengenakan penderitaan, atau untuk kedua-duanya (Ibid., hlm. 46). Dalam kaitannya dengan pidana cambuk, pidana jenis ini di Singapore diancamkan pada perbuatan-perbuatan tertentu, seperti misalnya: vandalisme atau pengrusakan harta benda orang lain, meraba dengan sengaja alat-alat vital orang lain karena kebuasan seks, pembunuhan, menetap lebih dari 120 hari di Singapura tanpa izin pihak imigrasi, dan pemerkosaan. Di Malaysia, pidana cambuk dikenakan antara lain pada perbuatan penganiayaan yang disengaja, memeras dengan kekerasan, mencoba memperkosa serta melakukan tindak pencurian berencana (Forum Keadilan, no.4, Th. Ill, 1994, hlm. 42-43). Tentang masalah yang kedua, yaitu tentang pelaku perbuatan, pelaksanaan pidana dikaitkan dengan kemampuan bertanggungjawab orang tersebut. Biasanya suatu negara menentukan batas umur minimal terdakwa untuk dapat dikenakan sanksi pidana. Ini berarti bahwa usia tertentu seseorang dianggap kurang mampu bertanggungjawab, sehingga belum layak untuk dikenai pidana. Di Singapura, anak berusia 17 tahun atau kurang dari itu dan pria berusia di atas 50 tahun tidak dikenai pidana cambuk. Sedang mengenai derajat kesalahannya sebagai perwujudan sikap batinnya, sebagian besar negara yang mengenai pidana cambuk tidak membedakan secara prinsipial pidananya. Di negara-negara tersebut orang yang melakukan perbuatan yang dikategorikan tindak
149
pidana, baik yang disertai dengan kesalahan yang berat maupun yang ringan, dapat dikenai pidana cambuk. Bila dilihat dari aspek kemanusiaan norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penggembalaan hukum manusia selalu diperlakukan sebagai manusia. Sebab, sesuai dengan hak-hak asasinya, manusia itu mempunyai keluhuran dan keluhuran ini harus selalu dihormati. Jadi, pelaksanaan pidana cambuk itu dari sudut pandang moral dan bila dilaksanakan pada zaman di mana hak-hak azasi manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai keluhuran diri, akan menunjukkan adanya gejala kemunduran sistem peradilan yang ada. Orang harus ingat bahwa ada banyak cara lain yang lebih manusiawi, yang dapat dipergunakan untuk mengenakan sanksi pidana. Sebagai makhluk yang memiliki keluhuran, manusia memiliki dua sifat hakiki, yaitu sebagai individu dan sebagai pribadi. Sebagai individu, ia adalah otonom dan “self-centered”, dan sebagai pribadi ia memiliki kodrat rasional dan “self-transcending”. Hukum sebagai ukuran per-buatan manusia merupakan salah satu prinsip dalam perbuatan manusia. Oleh karenanya, hukum dan pemberlakuannya juga harus mengacu pada kodrat rasional itu (J. de Torre, 1984, hlm. 26 dan 33-34). Demikian pula dengan pengenaan sanksi pidana, terutama pidana yang bersifat retributif (pembalasan), J. Adenaes berpendapat bahwa tujuan utama pemidanaan adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan dan I. Kant menyatakan bahwa pemberian pidana sesuai dengan tuntutan kesusilaan. Maka dalam kasus pidana cambuk tersebut di atas, sistem ini dikategorikan kuno atau tidak, dapat dilihat dengan kriteria kesusilaan dan keadilan yang diterima oleh terdakwa. 2. Legislator dan Subjek Hukum Pelayanan profesional hukum akan berkualitas atau tidak seringkali tergantung pada kondisi “kesiapan” person pemegang atau penyandang profesi serta pada kesadaran subjek hukum sendiri. Analisisnya adalah sebagai berikut:
150
a. Legislator Hukum dapat diberlakukan oleh mereka yang memiliki wewenang sah dalam sebuah masyarakat atau mereka yang memiliki wewenang yurisdiksi. Namun para legislator hanya mempunyai kompetensi atau kewenangan yang berhubungan dengan hal-hal yang dapat mendukung cita-cita masyarakat yang terorganisasi. Kekuasaan legislatif mempunyai tugas merumuskan hukum-hukum atau peraturan perundangan atas dasar kepercayaan yang diberikan oleh anggota masyarakat dan atas dasar keunggulan kemahiran pemegang kekuasaan tersebut dalam bidang hukum dan perundangan-
151
Bab V Norma-norma Bagi Para Penegak Hukum Ada beberapa perbuatan yang pada hakikatnya mempunyai ciri khas dan mengandung moralitas ekstrinsik karena telah diperintahkan atau dilarang oleh sebuah kekuasaan yang sah. Namun ada juga perbuatan yang memiliki moralitas secara intrinsik, yaitu perbuatan-perbuatan yang menurut kodratnya memang bersifat moral. Persoalan kita kemudian adalah: norma-norma manakah yang dapat dipergunakan untuk mengukur moralitas sebuah perbuatan? Apakah sarananya supaya sebuah perbuatan itu dapat diukur nilai moralnya? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini kita akan dihadapkan justru pada norma-norma itu sendiri. 1. Hakikat Norma Sebuah norma adalah sebuah aturan, patokan atau ukuran, yaitu sesuatu yang bersifat “pasti dan tak berubah” (=fixed), yang dengannya kita dapat memperbandingkan sesuatu hal lain yang hakikatnya, ukurannya, atau kualitasnya, dan sebagainya, kita ragukan. Dengan ini, maka yang dimaksudkan “Norma-norma bagi para penegak hukum” adalah sebuah aturan, patokan atau ukuran yang harus dipergunakan dan dipegang teguh oleh para penegak hukum dalam penghayatan profesi mereka sebagai penegak hukum dan keadilan. Norma-norma ini akan dipergunakan juga untuk menilai baik-buruknya tindak perbuatan para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, bahkan juga dapat menjadi kriteria moral dalam penegakan hukum. Sebuah norma dapat bersifat 'dekat' dan dapat 'jauh'. Norma dekat atau norma turunan adalah norma yang dapat diterapkan secara langsung pada hal atau benda yang diukur. Atau dengan kata lain, norma dekat adalah norma yang “siap pakai”. Sedang yang dimaksudkan norma jauh adalah upaya penalaran tentang sebab terakhir mengapa norma yang siap pakai itu 'begini' atau 'begitu'. Di samping itu, dalam kehidupan sehari-hari terdapat pula jenis-jenis norma yang lainnya, seperti misalnya: norma teknis dan norma umum. Yang dimaksudkan dengan norma teknis adalah norma yang hanya berlaku untuk mencapai tujuantujuan tertentu atau untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya sementara dan
152
terbatas. Sebagai contoh norma teknis misalnya: aturan main sepak bola. Sedang norma yang berlaku umum ada tiga macam, yaitu: norma sopan santun, norma hukum dan norma moral/agama. Norma sopan santun biasanya berlaku atas dasar kebiasaan atau adat istiadat, atau menurut pendapat kebanyakan orang. Norma hukum adalah norma yang ditetapkan oleh orang yang memiliki wewenang yurisdiksi dan mempunyai tugas membina kehidupan masyarakat. Norma yang kedua ini pelaksanaannya biasanya secara dipaksakan dan bila dilanggar maka sanksinya bersifat pasti. Sedang norma moral adalah norma yang mengarahkan tindak perbuatan manusia ke arah tujuan akhir hidup manusia (APTIK, Buku Panduan MK Pancasila, hlm. 76). Norma-norma dapat bersifat objektif dan dapat pula bersifat subjektif. Norma objektif adalah norma yang dapat diterapkan secara langsung dan apa adanya. Sebagai contoh misalnya: mistar atau penggaris sebagai norma atau pengukur panjang sebuah benda. Sedang norma subjektif adalah norma yang bertolak dari unsur batin atau suara hati manusia. Bahkan seringkali suara hati itu sendiri dianggap sebagai norma subjektif, walaupun ada pandangan yang menyatakan juga bahwa: pertimbangan suara hati tidak lain adalah kesimpulan sebuah sillogisme tentang baik dan tidak baiknya perbuatan manusia. Di antara norma subjektif, ada yang disebut perasaan moral, namun sebagai norma: perasaan moral tidak dapat memberikan ukuran atau patokan yang memadai. Sebab, perasaan moral selalu mempunyai banyak variasinya, tergantung pada kondisi fisik dan suasana emosi manusia. Sebenarnya sarana normatif yang seharusnya dipergunakan untuk membedakan perbuatan yang baik dari yang tidak baik (misalnya), adalah intelek atau akal pikiran manusia sendiri. Hal ini pernah dikemukakan oleh Aristoteles, serta kaum Stoa dan para filsuf abad pertengahan, maupun filsuf-filsuf modern, yang pada umumnya menyatakan bahwa sebuah perbuatan itu dinilai baik jika perbuatan itu sesuai dengan putusan akal sehat. Bahkan dalam arti tertentu, putusan akal sehat juga menjadi norma moralitas. Sebuah norma biasanya tersusun pada saat kita hendak mengukur sesuatu dan tujuannya adalah untuk mengetahui ukuran sesuatu itu dengan tepat. Secara umum, satu-satunya hal yang ingin kita ukur dalam kaitan pembahasan topik ini adalah tindak perbuatan manusia sendiri, dengan tujuan utamanya untuk menilai baik-buruknya perbuatan tersebut. Mengapa sesuatu
153
perbuatan disebut baik? Mungkin karena: menjadi tujuan atau menjadi sarana untuk mencapai tujuan tertentu, atau diinginkan, dan sebagainya. Adanya fakta bahwa sesuatu itu diinginkan, mungkin karena sesuatu hal itu secara ontologis memang baik, bukan karena secara moral itu baik. Setiap perbuatan yang kita lakukan, sejauh bertujuan untuk memenuhi apa yang kita inginkan, adalah baik secara ontologis. Meskipun demikian, di sini kita masih memerlukan sarana pengukur yang lainnya supaya perbuatan kita baik juga secara moral. Hal inilah yang merupakan kesulitan kita. Seandainya saja perbuatan kita dinilai baik karena sesuai dengan peraturan atau ketentuan yang berlaku, hal ini hanya menunjuk pada ukuran moralitas yang bersifat ekstrinsik, belum dianggap baik secara intrinsik. Tindak perbuatan manusia baru dinilai baik secara moral bila sesuai dengan kodrat manusia sendiri. Jadi, sekurang-kurangnya dalam arti tertentu, kodrat manusia adalah norma moralitas. 2. Nilai-nilai sebagai Sumber Norma Dalam kehidupan sehari-hari sering terlihat manusia tidak berhasrat atau tidak berminat untuk berbuat sesuatu, karena ia merasa hal itu percuma saja, tidak ada gunanya, sia-sia, tidak mendatangkan keuntungan pribadi, terpaksa berbuat sesuatu karena sesuatu alasan tertentu yang bersifat sangat mendesak, atau diperintahkan oleh sesuatu kekuasaan tertentu. Namun di lain pihak, terlihat juga manusia sangat ingin atau berhasrat untuk berbuat sesuatu, karena ia mengharapkannya, menginginkannya, mendambakannya serta menghendakinya dengan sungguh-sungguh. Ia ingin melakukan sesuatu perbuatan itu karena ia merasa perbuatan itu sangat berharga atau bernilai. Sebenamya secara psikologis, di dalam diri manusia terdapat tiga macam kecenderungan
(tendenz),
yaitu
kecenderungan
individualis
(tendenz
individualis), kecenderungan untuk membaurkan diri dengan yang lain (tendenz kolektif), serta kecenderungan untuk berlaku tertib sehingga kepentingan masingmasing pihak dapat terpenuhi di dalam kehidupan bersama dalam masyarakat (orde tendenz). Di dalam kecenderungan individualis, masing-masing individu bersikap aktif. Setiap orang mempunyai kecenderungan bereksistensi untuk memperjuangkan
kepentingan
pribadinya.
Roscoe
Pound
menyebut
kecenderungan ini sebagai “insting agresif atau naluri menyerang. Masing-
154
masing orang ingin mementingkan dirinya sendiri di atas kepentingan orang lain, sehingga hal ini sering kali menimbulkan persaingan dan bahkan pertentangan antarindividu. Dalam kecenderungan ini tiap orang meng-anggap kepentingan individual adalah hal yang paling bernilai. Dalam
kecenderungan
kolektif,
tekanannya
justru
terletak
pada
kebersamaan di mana tiap orang lebih bersikap pasif saja. Menurut Aristoteles, manusia itu mempunyai bawaan sifat sebagai “Zoon Politikon” atau makhluk yang bermasyarakat. Dalam kecenderungan ini orang lebih suka berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang lain atau oleh masyarakat secara keseluruhan. Setiap perbuatan terarah pada usaha untuk memenuhi kebutuhan orang lain dan kebu-tuhan bersama. Di dalam masyarakat setiap orang meluluhkan “ego”-nya secara pasif dan diwarnai oleh keadaan selalu berkontak dengan orang lain. Jadi, kecenderungan ini menunjukkan bahwa kepentingan bersama adalah hal yang paling penting di dalam hidup manusia. Berbeda dengan dua kecenderungan terdahulu, dalam kecenderungan yang ketiga ini orang lebih suka untuk mengatur individu yang satu di antara individu-individu yang lainnya dengan maksud supaya terjadi keseimbangan antar kepentingan, tidak terdapat pertentangan atau konflik antar-individu, serta tercipta kesesuaian kepentingan. Jadi, di sini yang penting adalah adanya damai, tata serta tertib di dalam masyarakat. Oleh karenanya, kedamaian dan ketertiban hidup di dalam masyarakat menjadi sesuatu yang bernilai. Untuk tujuan atau citacita itu, setiap individu harus tertib dan taat, serta untuk cita-cita itu pula manusia kemudian menciptakan norma-norma untuk berbuat (=norma agendi), yang selanjutnya disebut hukum. Keberadaan nilai pada dasarnya tergantung pada dua hal, yaitu pada hasrat dan kelangkaan. Sesuatu benda fisik akan mempunyai nilai bila memiliki kedua kualitas tersebut, dan tidak bernilai bila kedua kualitas tersebut tidak ada (Ency. Americana,1991, vol. 27, hlm. 653). Setiap nilai terbentuk, dasarnya adalah pertimbangan, kemampuan kreasi, perasaan, kehendak bebas manusia serta keyakinan individu ataupun masyarakat. Secara teoretis, pembentukan nilai-nilai terjadi melalui cara tertentu dan didasarkan atas kesadaran dan keyakinan manusia. Jadi, nilai tidak terbentuk jika karena suatu paksaan.
155
Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk selanjutnya mengambil keputusan. Dalam hal ini John Dewey menyatakan: “Judgement about values are judgement about the conditions and the results of experienced objects; judgements about that which should regulate the formation of our desires, affections and enjoyments” (Sahakian, 1968). Selanjutnya, manusia menggunakan nilai-nilai sebagai landasan, alasan ataupun motivasi di dalam segala perbuatannya. Dalam pelaksanaan operasionalnya, nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam bentuk kaidah atau norma-norma sehingga dapat bersifat memerintahkan, mengharuskan, bahkan melarang, karena sesuatu tidak diinginkan atau dicela. C.H. Von Wright dalam tulisannya yang berjudul “On norms in general”, menyatakan bahwa term “norma” digunakan dalam banyak makna dan sering kali dengan arti yang tidak begitu jelas. Multi makna dan tidak jelasnya arti nilai tersebut terjadi sebab dalam beberapa aspek tertentu, term nilai itu mempunyai sinonim dengan term-term lainnya seperti misalnya: pola, patokan, tipe, serta mempunyai kemiripan pengertian dengan kata-kata “pengaturan”, “aturan” dan “hukum”. Menurut Von Wright, norma-norma pada umumnya terdiri dari tiga jenis, yaitu: hukum, pengaturan, serta petunjuk pelaksanaan atau norma-norma teknis (Louis Z. Hammer, 1966, hlm. 141-142). Segugusan norma-norma yang dalam satu aspek mirip dengan atur-anaturan dalam masyarakat dan di lain aspek merupakan pengaturan itu sendiri disebut adat istiadat. Adat istiadat juga dapat disebut sebagai perwujudan dari kebiasaan. Di satu sisi kebiasaan pertama-tama merupakan regularitas perilaku individu, namun di lain sisi merupakan kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang sama, pada kesempatan yang hampir bersamaan serta ruang lingkup kehidupan masyarakat yang selalu berulang. Adat istiadat dapat dipandang sebagai kebiasaan sosial yang berupa pola-pola perilaku anggota-anggota sebuah masyarakat. Dalam pengertian ini, adat istiadat dan kebiasaan dapat disebut sebagai pengaturan yang bersifat 'implisit' (Ibid, hlm. 143-146). 3. Norma-Norma bagi Penegak Hukum Yang dimaksudkan di sini adalah norma-norma atau kaidah-kaidah yang wajib ditaati oleh para penegak atau pemelihara hukum. Norma-norma tersebut perlu
156
ditaati terutama dalam 'menggembalakan' hukum, menyusun serta memelihara hukum. Menurut O. Notohamidjojo, ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum yaitu: a. Kemanusiaan Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi. b. Keadilan Keadilan adalah kehendak yang ajeg dan kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya (Ulpianus, 200 AD). c. Kepatutan Kepatutan atauequity adalah hal yang wajib dipelihara dalam pemberlakuan undang-undang dengan maksud untuk menghilangkan keta-amannya. Kepatutan ini perlu diperhatikan terutama dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat. d. Kejujuran Pemelihara hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam mengurus atau menangani hukum, serta dalam melayani 'justitiable' yang berupaya untuk mencari hukum dan keadilan. Atau dengan kata lain, setiap yurist diharapkan sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang curang dalam mengurus perkara. Jadi, norma-norma tersebut perlu ditekankan dan dituntut pada setiap pemelihara atau penegak hukum, terutama pada zaman atau kurun waktu di mana norma-norma Etika melemah dalam masyarakat. Para yurist, melalui penyadaran atas norma-norma tersebut, diharapkan dapat menjaga moralitasnya yang setinggi-tingginya di dalam menggembalakan hukum. 4. Kemanusiaan sebagai Norma Pembicaraan tentang norma kemanusiaan dapat dilakukan melalui pokok bahasan yang meliputi antara lain: pengertian tentang individu, “person”, hak-hak asasi manusia. a. Individu dan Person: berciri khas dan memiliki sifat utuh Dalam hubungan antara person dengan kesejahteraan umum, ma-ka diperlukan adanya.penjernihan makna tentang individu dan person supaya konsep tentang kedua hal tersebut secara tepat dapat dipergunakan sebagai
157
norma fundamental untuk setiap kegiatan pemelihara atau penegak hukum. Pembedaan antara pengertian “individu” dan “person” terutama tampak dalam makna kedua term tersebut itu sendiri. Tentang kedua term tersebut, Thomas Aquinas menyatakan sebagai berikut: bahwa term “person” dalam arti umum adalah substansi individual sebuah kodrat rasional, yaitu manusia sendiri. Jika term “individu” berarti “utuh”, “tak terbagi-bagi” dan berbeda dari yang lainnya maka term “person” pada hakikatnya berarti “sesuatu yang menurut kodratnya berbeda”. Jadi, atas dasar analisis ini, maka: (1) Individu: term ini diambil dari pernyataan dalam bahasa Latin “indivisum in se, divisum ab aliis”, yang artinya: tidak terbagi-bagi dalam dirinya sendiri, tetapi terpisah (= berbeda) dari yang lain, bahkan tidak mungkin dihubungkan dengan yang lain, self-centered dan otonom. (2) Person: adalah perwujudan dari pernyataan dalam bahasa Latin “rationalis naturae individua substantia”, artinya: substansi individual dari sebuah kodrat rasional, yaitu sebuah makhluk individual yang dilengkapi dengan kodrat inteligen, dan yang melalui intelegensinya itu serta cinta kepada sesama, substansi tersebut mempunyai sifat dapat berkomunikasi, bersifat sosial, serta self-transcending (de Torre, 1984, hlm. 26). Kata “person” sebetulnya berasal dari bahasa Yunani “prosopoon” yang artinya “wajah” dan dari ekspresi wajah ini tampaklah ciri karakteristik tiap-tiap individu. Atas dasar dua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya manusia itu mempunyai dua dimensi metafisis, yaitu “individualitas' dan 'sosialitas', berbeda dari yang lain namun tidak terpisahkan dari yang lain, satu sama lain bersifat saling menentukan. Untuk lebih jelasnya, marilah kita lihat analisis berikut di bawah ini. b. Individualitas Individualitas berakar di dalam unsur-unsur yang dalam susunan biokhemis badan manusia menentukan perilaku temperamental dan menyatakan dirinya dalam bentuk-bentuk emosi yang bersifat “infra-rasional”. Driyarkara memberikan gambaran tentang manusia sebagai berikut: a. Manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri, artinya: manusia dapat bertanya tentang dirinya sendiri. Bahkan tidak hanya berhadapan dengan dirinya, melainkan juga menghadapi dirinya sebagai
158
yang berhadapan dengan dunianya. la berbeda dari hewan karena manusia sadar akan dirinya sendiri, sedang hewan tidak. b. Manusia berada dan menghadapi alam, menyatu dengan alam, meskipun sekaligus juga terpisah dari alam. Manusia mengambil jarak dari alam, sebab ia mengalami dunianya bukan sebagai “fixed nature” (sebagaimana dialami oleh hewan). Manusia dapat mengatasi dunianya (yaitu kodratnya) dengan cara mengolahnya, memperbaiki, maupun menilai dunianya sendiri itu. Jika ia terikat pada alam, namun ini hanya sejauh menyangkut keterbatasanketerbatasan kemampuannya secara fisik saja. Oleh karenanya ia tidak sepenuhnya terikat pada sifat-sifat kodratnya. c. Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa manusia itu selalu hidup dan mampu mengubah dirinya dalam arus situasi yang konkret. Di samping itu, ia sendiri dapat berubah justru karena diubah oleh situasinya. Manusia selalu terlibat dalam situasinya dan situasi itu berubah serta mengubah manusia. Dengan titik tolak inilah maka manusia dapat disebut menyejarah, serta dalam kondisi seperti inilah manusia disebut makhluk yang memiliki kebebasan. Selain itu, ditinjau dari aspek sosialitasnya, manusia pribadi itu senantiasa hidup dalam masyarakat atau persekutuan manusia. Sebagai akibatnya: antara manusia-pribadi dan masyarakat dapat timbul baik kerjasama maupun ketegangan atau konflik. Ini dapat terjadi, karena di satu pihak manusia memiliki sikap hidup yang menilai “individu”nya bernilai tinggi, primer, sedang masyarakat dinilai sekunder. (Sementara “Kolektivisme'' memandang masyarakat sebagai yang primer dan bernilai paling tinggi, sedangkan individu itu sekunder atau bahkan tidak bernilai). Meskipun demikian, penemuan manusia sebagai 'individuum' merupakan unsur yang sangat penting bagi perkembangan masyarakat. Sebab, pada kenyataannya, manusia sebagai pribadi memiliki kesamaan dengan pribadipribadi lain, seperti misalnya: kesamaan dalam tujuan hidup, martabat, tanggungjawab, bahkan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan dan di hadapan hukum. c. Personalitas Personalitas berakar di dalam “semangat”, yaitu pemahaman dan cinta akan pribadinya sendiri (Summa Theologiae, 1,65,2). Dari pokok pengertian inilah
159
manusia itu juga disebut “bebas” dan menjadi “tuan” atas segala cita-citanya, pembangun karakternya sendiri. Begitu pula dengan kodrat sosialnya yang membawanya mengarahkan diri ke ke-baikan umum, maka kodrat inipun bertolak dari kebebasan dirinya, bukan dari individualitasnya. Kodrat sosial manusia mempunyai akar-nya di dalam kemampuannya untuk mencintai apa saja yang baik (de Torre, 1984, hlm. 26-28). Manusia memang mempunyai kodrat bebas atau merdeka, namun dalam realitas kehidupan sehari-harinya ia “tidak bebas” juga. Manusia itu bebas karena ia memiliki hak-hak individual, namun dalam pelaksanaannya hak-hak tersebut berbenturan dengan hak-hak orang lain dan tidak boleh membahayakan hak-hak orang lain itu. Oleh karena-nya manusia dapat bertindak bebas, tetapi sejauh dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh sesuatu yang mengaturnya (norma, hukum, adat istiadat, dan sebagainya). Adanya hukum merupakan syarat mutlak dan sarana bagi terciptanya masyarakat yang aman dan sejahtera. Sebaliknya, kehidupan manusia dalam masyarakat hanya akan aman dan sejahtera bila hukum dapat berdiri tegak (Dali, 1953, hlm. 41). Jika
sesuatu
hukum
diberlakukan,
maka manusia
terikat
untuk
melaksanakannya. Jika moralitas mengikat manusia tanpa menggunakan paksaan secara fisik, lalu bagaimana efektivitasnya? Menurut Rousseau, bahwa dalam keadaan alamiahnya, manusia itu bebas dan otonom dalam arti ia tidak taat kepada siapapun (Notohamidjqjo, 1975, hlm. 38). Kebebasan adalah hak milik setiap manusia sejak lahirnya. Tidak ada satu pun hukum buatan manusia yang dapat merampas hak tersebut, sebab hak kebebasannya itu diperolehnya dari hukum alam (Ibid., hlm. 41). Ada beberapa kemungkinan alasan manusia menerima “keharusan” mentaati hukum, baik hukum moral maupun hukum positif: Pertama, jika keharusan itu berasal dari luar dirinya, pasti hal itu berasal dari Tuhan sendiri atau dari sesamanya. Namun jika keharusan tersebut berasal dari sesamanya, pastilah berasal dari sesama yang secara politis terorganisasi di dalam sebuah negara, atau berasal dari tuntutan hidup bersama di dalam masyarakat atau negara. Dari pengertian ini kaum positivis moral berkesimpulan bahwa semua ketaatan moral berasal dari negara. Sedang kaum utilitaris berkesimpulan bahwa ketaatan moral itu berasal dari kebutuhan manusia dalam
160
masyarakat, terutama dalam upayanya mengusahakan kesejahteraan hidup bersama yang menuntut partisipasi setiap individu. Kedua, menurut Immanuel Kant, hukum moral memerintahkan ketaatan dalam bentuk 'imperatif kategoris' yang dinyatakannya dalam maksim: berbuatlah sedemikian rupa sehingga apa yang kau perbuat itu dapat menjadi hukum umum. Yang menjadi dasar imperatif kategoris ini adalah kepribadian atau personalitas manusia sendiri, sebab seorang person tidak dapat dijadikan objek bagi person yang lain, se-bagai akibat dari otonomi yang dimilikinya. Otonomi adalah dasar dari keluhuran kodrat manusia sebagai makhluk rasional. Otonomi dalam kehendaknya menunjukkan bahwa manusia itu mempunyai kebebasan untuk memilih. Setiap pribadi atau person mempunyai kehendak bebas dan ini berlaku bagi siapa saja tanpa dibatasi oleh usia atau keadaan lingkungannya (Sahakian, 1968, hlm. 46-47). Dari beberapa uraian tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa di hadapan hukum: manusia harus dimanusiakan, artinya, manusia oleh penegakan hukum perlu dihormati sebagai pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Dalam definisi hukum yang berbunyi: “Hukum adalah pembatasan kebebasan setiap orang untuk menjadikannya benar-benar bebas”, dapat dirumuskan dasar hak-hak manusia di mana martabat manusia yang terkandung di dalamnya menjadi prinsip dasar hukum, yaitu dasar kemanusiaan yang murni. Hal ini secara konkret dapat kita amati melalui kutipan-kutipan berikut ini: Bill of Rights (Virginia) 1776, alinea I: “That all men are by nature free and independent, and have certain inherent rights, of which, when they enter into a state of society, they can not, by any compact, deprive or divest the imposterity; namely, the enjoyment of life and liberty, with the means of acquiring and processing property, and pursuing and obtaining happiness and safety”. Declaration of Independent (USA), 1776: “We hold this truths to be self-evident: that all men are created equal; that they are endowed by their Creator with certain inalienable rights, that among these are life, liberty, and the pursuit of happiness”. Declaration des Droits de L'Homme et du Citoyen, 1789. pasal 6 (Deklarasi Hak-hak Azasi Manusia dan Warga Negara): “La Loi est 1'expression de la volonte generale. Tous les citoyens ont droit de concourir personellement, ou par leurs representants, a sa formation. Elle doit etre la meme pour tous, soit qu'elle protege, soit qu'elle punisse....”
161
(Hukum adalah perwujudan kehendak rakyat. Semua warga negara mempunyai hak untuk bersaing atas namanya sendiri, atau melalui perwakilannya, sesuai dengan bentuknya masing-masing. Hukum harus berfungsi untuk semuanya, entah melindungi, entah memberikan sanksi hukuman .....) Lebih lanjut dalam pasal 7 disebutkan: “Nul homme ne peut etre accuse, arrete ni detenu que dans les cas determines par la Loi...” (Tidak seorang pun dapat dituduh, ditangkap ataupun ditahan kecuali bila (terkait) dalam perkara-perkara yang ditentukan/diatur oleh Undang-Undang) Pembukaan UUD 1945, Alinea I: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa.....” UUD 1945, Pasal 27:1: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”. UUD 1945, Pasal 29:2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk , agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Jadi, di dalam kehidupannya manusia selalu berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah lakunya, serta semua perbuatan-perbuatannya terhadap lingkungan dan dunianya. Tujuan penyesuaian tersebut adalah untuk menjaga nilai moral. Sebagai anggota masyarakat, manusia adalah pendukung segala macam hak yang dimilikinya justru karena fungsinya sendiri di dalam masyarakat. 5. Keadilan sebagai Norma Norma yang kedua yang perlu diperhatikan dalam menggembalakan hukum adalah “keadilan”. Sebagai ilustrasi konseptualnya dapat diambil contoh misalnya kasus berikut ini: seorang pejabat yang cukup terkenal dan ramah-tamah terhadap setiap bawahannya pada suatu saat dituntut sekretarisnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya telah menghamili sekretaris tersebut. Pada awalnya, pejabat tersebut memang konsekuen, ia memberikan sejumlah uang untuk biaya perawatan janin yang dikandung sekretarisnya itu, Karena merasa jumlah uang yang diterimanya itu kurang, sekretaris itu menuntut jumlah
162
uang lebih banyak lagi, bahkan menuntut dua kali lipat dari jumlah uang yang telah diterimanya. Akhirnya pejabat tersebut balik menuntut karena ia merasa telah diperas oleh sekretarisnya itu. Ia kemudian lapor polisi dan sekretarisnya ditangkap. Dalam proses verbalnya, sekretaris (atau bekas sekretaris) itu dinyatakan bersalah telah melanggar pasal-pasal 335 dan 369 KUlHP. Aneh, korban diadili, sementara sang pejabat bebas. Apakah ini adil? (Minggu Pagi, September, 1994). Dalam tulisannya yang berjudul “On the Book of Job” (8,1) Th. Aquinas menyatakan bahwa: keadilan akan musnah dalam dua kemungkinan, yaitu karena sebuah kebijaksanaan yang tidak bijaksana (kebijaksanaan palsu) atau karena perbuatan tidak terpuji dari seseorang yang mempunyai kekuasaan (seorang pejabat). Dalam hidup sehari-hari, bila orang berusaha mengukur realitas dengan patokan “keadilan”, maka ia segera akan melihat bahwa kejahatan dan penderitaan di dunia ini mempunyai banyak nama atau istilah, dan yang paling sering dijumpai manusia adalah dalam bentuk “ketidakadilan”. Hal inilah yang paling banyak menyusahkan hidup manusia. Namun, justru dengan semakin banyaknya bentuk-bentuk ketidakadilan, maka bila kite mau menyadarinya konsep tentang keadilan akan semakin tampak jelas. Sebaliknya, semakin keadilan itu dianalisis, semakin banyak makna bermunculan dan menunjukkan bahwa menjadikan keadilan terwujud seadil-adilnya di dalam masyarakat adalah pekerjaan yang tidak mudah untuk dilakukan. Konsep “keadilan” menurut Th. Aquinas dapat dianalisis sebagai berikut: a. Th. Aquinas mendefinisikan keadilan sebagai berikut: Keadilan adalah kebiasaan di mana orang satu sama lain saling memberikan apa yang menjadi haknya didasarkan atas kehendak yang bersifat ajeg dan kekal (Th. Aquinas, Corpus luris Civilis Inst, II, 58,1). Jika demikian, tindakan yang adil atau pelaksanaan keadilan itu seharusnya didahului oleh tindakan lainnya yang dengan tegas menunjukkan hak seseorang untuk melakukannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa 'hak' dan 'keadilan' itu mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Adanya hak mendahului adanya keadilan. Hak yang dimiliki setiap orang itu sifatnya melekat pada kodrat manusia sendiri, jadi bukan semata-mata berasal dari “luar diri” manusia. Meskipun demikian, realisasi hak tersebut dapat terwujud dalam berbagai macam bentuk. Dari
163
satu sisi, hak merupakan sesuatu yang seharusnya dimiliki seseorang sebagai akibat adanya perjanjian, kontrak, janji, keputusan-keputusan hukum, dan sebagainya Dan di sisi lain, hak juga dapat berarti sesuatu yang seharusnya dimiliki atau melekat pada diri seseorang atas dasar hakikat kodratnya. Hak dalam arti yang kedua inilah yang sering disebut dengan istilah “ius naturale” atau “hukum kodrat”. Dalam hal ini Thomas Aquinas menekankan bahwa: segala sesuatu yang bertentangan dengar hak kodrat, tidak pernah dapat dianggap adil. Oleh karenanya, kita tidak dapat merumuskan dasar sebuah hak maupun ketaatan yudisial, jika dalam rumusan itu tidak disebutkan konsep tentang manusia, serta kodrat manusia (J.P. Sartre, Existentialism, 1947, hlm. 18 atau J. Leclerq, Note sur la Justice, 1926, hlm. 269). Manusia, sebagai seorang person, dan sekaligus sebagai makhluk ciptaan Tuhan, mempunyai hak kodrat yang berasal dari Tuhan sendiri. Namun sebagai ciptaan pula ia menyandang 'kewajiban' terhadap hak orang lain (sebagai sesama ciptaan Tuhan). b. “Keadilan sebagai salah satu bentuk kebajikan yang menuntun manusia dalam berhubungan dengan sesamanya;.... sementara kebajikan-kebajikan lainnya menyempurnakan manusia hanya dalam hal-hal yang dapat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia di dalam hubungan antarmanusia”. Inilah makna yang terkandung dalam pernyataan “Iustitia est ad alterum” yang terdapat di dalam “Summa Theologica” 11,57,1. Dalam pengertian ini seseorang disebut adil bila ia mengenali dan mengakui 'yang lain' sebagai “yang benar-benar berbeda' dari dirinya sendiri. Oleh karenanya, seorang hakim dapat disebut adil bila ia memberi sanksi hukuman kepada pelanggar hukum, atau membantu seseorang untuk memperoleh apa yang menjadi haknya, melalui segala keputusan yang dibuatnya. Jadi, keadilan itu dapat diketemukan di dalam kehidupan bersama antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Manusia yang adil adalah manusia yang dapat bergaul dengan sesamanya. Ada dua jenis tuntutan keadilan, yaitu mentaatinya secara hukum dan secara moral. Sebagai contoh misalnya: seorang pejabat disumpah untuk menjadi pengayom setiap warga negara, termasuk bawahannya sendiri, maka baik secara legal maupun secara moral tidak dapat dibenarkan bila ia “lari” dari tanggung jawab setelah perbuatannya ternyata
164
merugikan atau mendatangkan penderitaan bagi bawahannya (Lih. Kasus sebelumnya). Atau petugas yang meminta biaya tambahan yang tidak jelas penggunaannya kepada para pencari SIM, petugas parkir yang tidak memberikan karcis parkir kepada pemakai jasa, kondektur bus yang tidak memberikan tiket kepada penumpangnya, dan sebagainya Semua perbuatan tersebut dapat dikategorikan (secara umum) sebagai tindak “penipuan” terhadap orang lain. Dalam bentuk kewajiban, keadilan bagaikan “hutang” yang harus dibayar kepada orang lain. Hal ini mengingatkan kita pada makna sank-si pidana dalam fungsi retributif, yaitu bahwa: hukuman yang dikenakan berfungsi sebagai “pembayaran kembali” atas suatu tindakan kriminal. Di sini, hukuman juga dapat berfungsi untuk mengembalikan keadilan yang telah dirusak oleh tindak kriminal. John Kaplan mengatakan bahwa pemidanaan mengandung arti: 'hutang* penjahat telah dibayarkan kembali (Muladi & Barda, 1984, hlm. 10-13). Jadi, pemberian hukuman adalah perbuatan yang adil. Meskipun demikian, cara melaksanakan tindak keadilan melalui peraturan perundangan selalu mengacu dan disesuaikan dengan 'hak'; dan ini belum tentu dapat dikategorikan kedalam kebiasaan keadilan. Sebab, dalam pelaksanaan peraturan perundangan sering didapatkan bahwa untuk “melakukan hal-hal yang adil (menurut hukum)” orang merasa tidak perlu “berperilaku adil”. Sebagai contoh misalnya: untuk kepentingan penyidikan, dalam rangkaian usaha penegakan keadilan, petugas melakukan cara-cara penyiksaan fisik dengan maksud supaya terdakwa mengaku atau terpaksa mengaku. Padahal untuk mengorek kebenaran, ada cara lain yang lebih moral dan manusiawi, yaitu misalnya dengan pendekatan personal melalui psikolog/psikiater. Semen-tara tindakan yang dapat menyebabkan penderitaan fisik dapat dikategorikan kedalam tindak kekerasan dan ini masuk dalam perkara pidana. Lalu, adakah bentuk keadilan yang paling adil? c. Dalam hidup manusia terdapat tiga kebajikan moral dan keadilan merupakan kebajikan tertinggi. Cicero mengatakan bahwa orang dinilai 'baik', dilihat dari perilaku keadilannya. Tiga kebajikan moral tersebut adalah: keadilan, pengendalian diri, dan sopan-santun dalam bertutur kata dan berperilaku pada umumnya.
165
d. Tempat keadilan adalah di dalam kehidupan bersama, yaitu: di dalam keluarga, organisasi perdagangan dan industri, bahkan di dalam masyarakat yang terorganisasi atau negara. Jadi, pada umumnya orang membahas keadilan selalu dalam kaitan dengan masyarakat atau komunitas, meskipun sebenarnya hanya seorang person atau individu saja yang dapat benar-benar berlaku adil. Atas dasar pengalaman hidup manusia, Thomas Aquinas menyata-kan bahwa keadilan “menyadarkan” masyarakat atau negara bilamana tiga hubungan dasar atau tiga struktur fundamental hidup bersama dalam masyarakat diabaikan atau bahkan dicampakkan. Tiga hubungan dasar atau struktur fundamental tersebut adalah: (1) hubungan antarindividu (“ordo partium ad partes”) (2) hubungan antara masyarakat sebagai keseluruhan dengan individu (“ordo totius ad partes”) (3) hubungan antara individu terhadap masyarakat secara keseluruhan (“ordo partium ad totum”). Ketiga hubungan dasar tersebut berhubungan dengan tiga bentuk dasar keadilan, yaitu: (1) Keadilan tukar secara timbal balik (“Iustitia Commutativa”), yaitu keadilan yang mengatur hubungan antara individu dengan individu lain sebagai partner. (2) Keadilan pelayanan atau distributif (“Iustitia Distributiva”), yaitu keadilan yang menertibkan hubungan di antara masyarakat atau negara dengan individu sebagai warga masyarakat atau warga negara. (3) Keadilan legal atau keadilan umum (“Iustitia legalis, Iustitia Generalis”), yaitu keadilan
yang
menertibkan
hubungan
antara
individu
terhadap
masyarakat/negara. e. Bila kita membicarakan tentang Keadilan Distributif, di sinilah saatnya orang membahas tentang Keadilan Pemerintah/Negara. Kiranya dari keadilan jenis ini pula segala jenis teori keadilan itu bermula. Dalam keadilan distributif, keadilan dan kepatutan ('equity') tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar “aequalitas rei ad rem” atau kesamaan antara hal yang satu dengan hal yang lainnya. Ada dua bentuk kesamaan, yaitu:
166
(1) Kesamaan proporsional (“Aequalitas proportionis”) (2) Kesamaan kuantitatif atau jumlah (“Aequalitas quantitatis”) Bila dihubungkan dengan cita-cita bangsa dan negara untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur, keadilan distributif itu tidak lain justru merupakan bentuk penghormatan terhadap “person” manusia (“acceptio personarum”) dan keluhurannya (“dignitas”). Tentang 'penghormatan terhadap person', Thomas Aquinas menyatakan bahwa: penghormatan itu terwujud bilamana ada sesuatu dibagikan/diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia terima (Praeter propotionem dignitatis ipsius). Dengan alasan itu, kebijakan pemerintah (“prudentia regnativa”) harus mengarah pada pengakuan terhadap kepatutan (equity), kemudian pelayanan dan penghargaan didistribusikan secara proporsional atas dasar harkat dan martabat manusia sebagai warga negara. f.
Di dunia ini tidak ada sesuatu pun yang bersifat tidak terbatas. Demikian juga halnya dengan keadilan. Ada dua aspek yang mewarnai situasi ini, yaitu:
(1) Ada beberapa ketaatan yang menurut hakikatnya tidak mungkin dilaksanakan sepenuhnya. Maka, jika keadilan diartikan sebagai “memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya” (debitum reddere), ini menunjukkan bahwa keadilan memuat perasaan “selalu berhutang”. (2) Adanya disparitas yang menjadi ciri khas dan fundamental dari keberadaan manusia. Yang menjadi sasaran atau objek legislasi hukum positif adalah kesejahteraan umum. Di sini legislasi hukum positif harus dapat men-jamin dan sekaligus menyebarluaskan kesejahteraan umum itu antara lain dengan cara: (1) Menunjukkan dengan jelas dan tegas batasan pengertian hak dan kewajiban yang melekat pada diri setiap anggota masyarakat, serta dapat menjamin terselenggaranya kebebasan dengan maksud supaya manusia bertanggung jawab atas tujuan keberadaannya. (2) Melindungi kedamaian batin dan tertib sosial, serta menetapkan jaminan keamanan atas hal-hal yang bersifat lahiriah. (3) Menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi kemajuan bidang sosial-ekonomi, serta kehidupan moral, kultural dan religius. Ini berarti bahwa kehendak pembentuk hukum itu bukan merupakan dasar yang eksklusif dan primer dari sebuah tertib hukum. Dalam hal ini J.
167
Messner mengatakan bahwa hukum yang berlaku sah dapat disebut hukum yang benar, jika hukum itu sesuai dengan pola-pola keinginan atau cita-cita manusia yang terkandung di dalam realitas hakiki (esensial) kodrat manusia, serta sesuai dengan rasa tanggung jawab yang didasarkan atas pola-pola tersebut (J. Messner 1965 I, c, 191 f). Setiap hak mengandaikan adanya sebuah sasaran atau objek hukum. Sasaran-sasaran tersebut dapat berupa benda (barang) ataupun jasa yang diberikan oleh seorang person. Barang-barang ini dapat berwujud benda-benda material (misalnya: mesin, dan sebagainya), atau benda-benda non-material (misalnya: pengaruh, nasihat, anjuran, dan sebagainya). Pribadi manusia tidak akan pernah dapat dijadikan sebagai objek atau sasaran hukum seperti terjadi pada masa di mana masih ada penjualan budak-budak. Yang benar-benar dapat menjadi objek hukum hanyalah jasa-jasa pribadi yang telah diberikan olehnya. g. Beberapa kondisi tertentu yang harus dipenuhi oleh hukum ditekankan dengan maksud supaya hukum itu dapat mengikat subjeknya. Menurut “tradisi”, biasanya ada empat jenis kondisi yang penting: (1) sasaran atau objek hukum harus merupakan sesuatu yang dihalalkan oleh moral atau tidak bertentangan dengan pertimbangan moral, (2) sasaran itu harus merupakan sesuatu yang mengarahkan diri pada perwujudan keadilan, (3) sasaran itu harus bersifat nyata, dan (4) harus berguna. Namun, jika sebuah hukum sudah dinilai adil, kondisi-kondisi seperti tersebut di atas sudah tidak diperlukan lagi. Yang menjadi persoalan kita adalah jika sasaran hukum itu tidak mungkin untuk dicapai atau secara moral tidak dapat dibenarkan. Hukum semacam inilah yang dinilai tidak adil. Sebagai contoh misalnya: pelaksanaan hukuman cambuk atau pidana cambuk, pidana pancung. Supaya keadilan benar-benar terwujud, orang sering menggabungkan beberapa macam tuntutan hukum, seperti misalnya bahwa hukum yang berlaku harus selalu berada dalam ikatan yurisdiksi dan mendistribusikan beban atas dasar kesamaan yang proporsional, bukan beban atau pidana yang sifatnya 'retroaktif atau semata-mata sebagai “pembalasan”. Jika dalam legislasi hukum positif terdapat dua pengertian keadilan, yaitu keadilan substantif dan keadilan prosedural, maka yang berhubungan dengan
168
objek legislasi hukum positif itu adalah keadilan substantif yang terkandung di dalam setiap bentuk hukum: yang berlaku. Dengan keadilan substantif, setiap bentuk hukum yang berlaku pada dasarnya merupakan manifestasi ikatan yurisdiksi dan mendistribusikan beban atas dasar kesamaan yang proporsional. Sementara tuntutan supaya hukum tidak boleh (dalam penerapannya) bersifat 'retroaktif berhubungan dengan keadilan prosedural (Vide: Lon L Fuller, The Morality of Law, 1964, hlm. 110). Meskipun perbedaan antara keadilan substantif dan keadilan prosedural sifatnya konseptual saja, sebuah hukum yang adil masih harus memenuhi beberapa persyaratan berikut ini, yaitu: (1) Setiap hukum pada hakikatnya hanya dapat memerintahkan hal-hal yang dihalalkan oleh moral. Oleh karenanya, sebuah hukum hanya dapat memerintahkan perbuatan-perbuatan yang menurut kodratnya baik, dan tidak boleh memerintahkan atau mengatur perbuatan-perbuatan yang menurut prinsipnya tidak baik (atau jahat), seperti misalnya: 'euthanasia' yang dilakukan terhadap pasien yang sudah tidak mungkin lagi disembuhkan atau bila sembuh ia akan cacat sehingga tidak dapat menghidupi minimal dirinya sendiri. Setiap hukum yang diberlakukan sedapat mungkin di-upayakan untuk mencegah atau bahkan melarang semua perbuatan jahat. Meskipun begitu, atas dasar alasan-alasan tertentu, seringkali hukum bersifat toleran terhadap beberapa perbuatan yang tidak dilarang dalam masyarakat, seperti misalnya: takhayul, pelacuran, perilaku konglomerat yang menyimpang dari ketentuan yang terdapat di dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar, pungutan liar yang sudah memasyarakat, dan sebagainya (2) Setiap hukum harus selalu memuat di dalamnya ikatan yurisdiksi para legislator, di mana wewenangnya dibatasi hanya oleh sifat kodrat masyarakat yang dipercayakan pada pengelolaannya dan cita-cita kesejahteraan/ kebaikan umum. Jadi, para- penguasa ne-gara tidak memiliki wewenang untuk menetapkan hukum-hukum yang berhubungan dengan liturgi agama. (3) Setiap hukum harus menghormati tuntutan keadilan distributif, artinya: setiap hukum yang berlaku harus dapat mendistribusikan beban dan privilese secara sama di antara subjek hukum dan didasarkan atas kemampuan masing-masing subjek. Ini dapat terjadi misalnya dalam penerapan ketentuan tentang beban pajak (Vid., Hukum Pajak).
169
(4) Dalam upaya mendukung terciptanya kesejahteraan umum, pada prinsipnya hukum tidak boleh menghalangi hak-hak manusia, kecuali dalam hal-hal tertentu hak seseorang itu memang harus dibatasi. Seperti misalnya pembatasan berpendapat atau hak mengeluarkan suara (misalnya melalui mass media) dengan alasan demi stabilitas nasional, larangan melaksanakan kegiatan keagamaan yang meresahkan masyarakat umum, dan sebagainya. (5) Hukum yang adil adalah hukum yang dapat dijalankan baik secara fisik maupun secara moral. Dikatakan dapat dijalankan secara fisik, bila hukum tersebut memerintahkan perbuatan-perbuatan sebatas kekuatan dan sarana yang dimiliki oleh seorang person. Jadi, hukum tidak dapat memerintahkan seorang tunawicara (bisu) untuk menyanyi. Bila secara moral dapat dilakukan, berarti hukum tersebut memerintahkan perbuatan atau hal-hal yang tidak memuat banyak kesulitan untuk dilakukan. Contoh UU yang sempat meresahkan masyarakat misalnya UULAJR no. 14 Tahun 1993. (6) Oleh karenanya, supaya sebuah hukum dinilai adil, maka harus berguna dan mendatangkan keuntungan bagi kesejahteraan umum. Jadi, jika setiap pemilik kendaraan bermotor diwajibkan untuk membayar asuransi kecelakaan lalu lintas, maka seharusnya pengurusan klaim yang diajukan seseorang untuk mendapatkan santunan tidak akan menemui macam-macam hambatan proseduralnya (Karl H. Peschke, 1987, hlm. 182-186). Tentang 'keadilan prosedural', Lon L. Fuller dalam bukunya yang berjudul “The Morality of Law” menyatakan bahwa: yang dimaksudkan adalah keadilan yang berkaitan dengan prosedur yang jujur dan benar dalam menggembalakan hukum. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk sebuah proses atau prosedur hukum yang jujur dan benar, yaitu: (a) Semua hukum yang dinyatakan berlaku harus diundangkan. (b) Akibat hukum tidak boleh mencerminkan sebuah upaya “pembalasan” (atau tidak boleh bersifat retroaktif). (c) Isi hukum harus koheren, tidak boleh ada pertentangan di dalam-nya. (d) Hukum yang adil harus memiliki “kontinuitas”. Lebih lanjut Fuller menyatakan bahwa di antara legalitas dan keadilan terdapat hubungan yang sedemikian erat. Moralitas internal sebuah hukum menuntut bahwa aturan harus ada, diumumkan atau diundangkan, serta dapat dilaksanakan oleh mereka yang mempunyai tugas sebagai penegaknya.
170
Kekuasaan yang tak terbatas dan mengabaikan hukum yang berlaku pada dasarnya merupakan pernyataan ketidakadilan. Dalam praktik penyelenggaraan negara kita, para penegak hukum banyak mendapat pengaruh dari tuntunan hukum yang tidak tertulis. Dari satu sisi, hukum tidak tertulis ini tidak jelas substansinya. Di lain sisi, aturan-aturan yang tidak diumumkan ini justru jauh dari “kemurniannya”, artinya: aturan-aturan ini sering sudah “diwarnai” oleh penegaknya. Sebagai contoh misalnya: jika seseorang ditahan dan harus “menginap” di ruang tahanan, sering terjadi ia dipaksa untuk membuat sebuah pernyataan yang isinya membebaskan polisi dari perkara-perkara perdata yang mungkin terjadi selama ia ditahan dan dalam proses penyidikan. Keadilan prosedural semacam ini kiranya banyak dilalaikan oleh beberapa penegak hukum. Demikian juga dengan person-person lainnya yang menduduki sebuah fungsi yuridis tertentu sering kedapatan telah mengkhianati sumpah jabatannya sebagai pe-ngayom rakyat, yaitu dengan “melaksanakan aturan tidak tertulis” yang sudah berlaku umum untuk menuntut biaya tambahan yang tidak be-gitu jelas kegunaannya pada saat seseorang memproses surat-surat berharga (SIM, dan sebagainya). Disadari atau tidak, praktik semacam itu sebenar-nya sudah menodai apa yang disebut keadilan, dalam segala jenisnya. 6. Kepatutan (Equity, Billijkheid) sebagai Norma a. Pengertian Dasar Kepatutan (“equity”) dan keadilan adalah dua term yang secara tegas tidak dapat dibedakan satu sama lainnya. Pengertian tentang “equity” (atau: equitas, kepatutan, dan sebagainya) dalam kaitannya dengan pengertian kemampuan yustifikatoris pada dasarnya merupakan sebuah koreksi terhadap keadilan legal. Penerapannya secara praktis biasanya berupa nilai atau pernilaian atas berbagai macam kasus tertentu yang bukan merupakan pokok bahasan putusan hakim yang didasarkan atas keberadaan sesuatu hukum tertentu. Segala bentuk hukum pada dasarnya merupakan generalisasi universal, yang keberlakuannya tidak mengenal pengecualian perkara. Bila ternyata orang sampai pada kasus-kasus istimewa, barulah orang kemudian menengok pada makna “equity” atau “apa yang patut atau layak” (Sahakian, 1968, hlm. 34).
171
Dalam upaya kita untuk membahas keadilan (dan sekaligus juga ketidakadilan), mau tidak mau kita harus menganalisis berbagai macam perbuatan manusia yang relevan, mengenali macam-macam keadilan dan masing-masing maknanya, dan sebagainya Namun secara umum Aristoteles mengidentifikasi “keadilan” sebagai ciri khas yang menyebabkan manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang dianggap adil. Demikian pula tentang hal yang
sebaliknya,
yaitu:
ketidakadilan.
Dalam
pengertian
ini
Aristoteles
menyatakan bahwa yang “adil” adalah yang “menurut hukum yang berlaku” dan “fair”. Artinya: jika pelanggar hukum dianggap sebagai orang yang berperilaku tidak adil dan orang yang taat pada setiap hukum yang berlaku dianggap adil, jadi jelas bahwa segala sesuatu atau peristiwa yang ada terjadi sesuai dengan hukum yang berlaku disebut “adil”. Karena, semua peristiwa yang terjadi sesuai dengan tertib hukum yang ada merupakan hal yang memang dimaksudkan dengan adanya legislasi. Menurut Aristoteles, orang yang berperilaku legal atau “lawful” adalah orang yang: (1) bertanggung jawab atas fungsinya sendiri di dalam masyarakat sosial dan politik. (2) mampu melaksanakan pengendalian diri. (3) mempunyai sifat 'ksatria' (dalam arti tidak pernah menjatuhkan harkat dan martabat manusia lain sebagai sesamanya), serta me-miliki sikap bersahaja atas kebajikannya dan mengakui segala kekurangan dirinya (M. Ostwald, 1962, hlm. 111-113). Jadi, keadilan itu pada dasarnya merupakan kebajikan yang terwujud dalam sikap objektif, apa adanya (“zakelijk”) dan umum. Sikap ini yang mengatur hubungan yang hakiki di dalam masyarakat. Jika keadilan dipahami seperti ini, maka makna keadilan akan sangat abstrak dan kurang mengenai situasi dan keadilan manusia secara individual. Yang diperlukan oleh manusia adalah 'koreksi' dan/atau perhatian khusus bagi dirinya, sesuai dengan kualitas, situasi serta keberadaan-nya sendiri. Dalam hal ini pula orang memerlukan “equity” atau kepatutan, billijkheid. Sebab, kepatutan memperhatikan dan memperhitungkan situasi dan keadilan manusia individual dalam penerapan keadilan. Kepatutan merupakan kebajikan yang menggerakkan manusia untuk berbuat secara rasional dalam menggunakan 'apa
172
yang adil'. Kepatutan akan menyingkirkan kekerasan dan kekejaman hukum terutama dalam situasi dan kondisi khusus (Notohamidjojo, 1971, hlm. 13). b. Nilai yang Terkandung Soerjono Soekanto melihat kepatutan atau equity sebagai nilai-nilai kepentingan pribadi/bagian. Di dalam hukum, biasanya nilai-nilai digambarkan sebagai berpasang-pasangan, tetapi dalam formasi selalu bertegangan, seperti misalnya antara kesebandingan atau kesetimpalan (rechtvaardigheid, billijkheid) dengan kepastian hukum (rechtszeker-heid). Kedua nilai tersebut dikatakan bertegangan,
sebab
kesebandingan
mengarah
pada
kekhususan
atau
pembedaan, sedangkan kepastian hukum justru mengarah pada hal yang bersifat umum atau penyamarataan. Tegangan antara nilai-nilai kepentingan pribadi dengan nilai-nilai kepentingan umum dapat pula dihubungkan dengan tegangan antara kebebasan dan ketertiban (di dalam Ilmu Politik) (S. Soekanto, 1982, hlm. 14-15). Sebagai contoh misalnya: KUHP 359: “Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya seseorang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”. Kematian seseorang di sini sebenarnya sama sekali tidak dimaksudkan oleh terdakwa, tetapi hanya merupakan akibat dari keteledoran atau kekuranghati-hatian terdakwa (delik culpa). Jika kematian orang tersebut dimaksud oleh terdakwa, maka ia dikenai pasal tentang pembunuhan (KUHP: 338 atau 340). Misalnya pernah terjadi di Medan, polisi menahan tiga orang anak karena kasus pencurian, kemudian ketiga anak tersebut dimasukkan ke dalam sebuah kamar tertutup; selanjutnya melalui sebuah lubang ventilasi yang ada dimasukkan asap knalpot sepeda motor dengan maksud untuk mendidik supaya ketiga anak tersebut menjadi jera dan tidak akan mencuri lagi. Selang lima belas menit, ternyata ketiga anak tersebut meninggal dunia. Dalam kasus tersebut, petugas polisi sebagai seorang pribadi dapat dikenai sanksi pidana seperti yang tertulis dalam pasal 359 KUHP tersebut. Ini adil, dalam arti ada kepastian hukum yang bersifat menyamaratakan. Namun adil pula bila petugas polisi itu diserahkan kepada wewenang Kepolisian RI. Dalam hal ini keadilan diartikan sebagai kesebandingan yang bersifat membedakan. Jadi, atas dasar ketentuan dan kasus tersebut, “keadilan” dipahami sebagai: (1) bukan sekedar identik dengan kesebandingan semata-mata,
173
(2) juga bukan sekedar merupakan keseimbangan, (Soerjono, 1982, hlm. 17) (3) melainkan keadilan sebagai 'bagian' dari kebajikan, sebab dalam bidang hukum ada bidang yang mengutamakan jenis keadilan yang diterapkan sesuai dengan fungsi seorang person dalam transaksi yang telah dibuatnya. Dengan kata lain: kepatutan tindakan adil yang dikenakan pada individu disesuaikan dengan prinsip 'keadilan distributif (M. Ostwald, 1962, hlm. 115 dan 117). Dengan menggunakan equity atau kepatutan, maka perhubungan yang meruncing
antara
manusia
yang
satu
dengan
manusia
yang
lainnya
dikembalikan kepada proporsi yang sewajarnya/seharusnya. Dalam hal ini, terutama
dikaitkan
dengan
pengembangan
paham
tentang
kepatutan,
selanjutnya secara kasuistik dapat pula dikemukakan contoh-contoh lain penggunaan kepatutan itu: (a) Yurisprudensi, yang merumuskan penyalahgunaan hak, pada mulanya terbatas pada pelanggaran undang-undang, serta hukum, selanjutnya terbatas pula pada kepatutan dalam pergaulan antar-subjek hukum. (b) Dalam pemberian pidana, sesuai dengan prinsip keadilan vindikatif (atau keadilan pembalasan, yaitu keadilan yang dikenakan dalam bidang hukum pidana), perlu diperhitungkan keadaan dan situasi terdakwa. (c) Dalam penerapan keadilan legalis, yaitu keadilan yang mempunyai dua aspek: pemerintah wajib membuat undang-undang yang baik dan wajib memeliharanya sendiri dengan baik, dan warga negara wajib menaati undang-undang tersebut, perlu juga memperhitungkan kepatutan. Artinya: baik dalam hukum perdata maupun dalam hukum pidana, seorang hakim harus memperhitungkan situasi dan kondisi orang-orang yang melanggar hukum perdata maupun hukum pidana (Notohamidjojo, 1971, hlm. 11). Dengan kata lain, kepatutan atau equity itu merupakan “penjaga* 1 pelaksanaan undang-undang, serta merupakan gagasan tentang “fairness” dalam menyusun pelaksanaan hukum. Meskipun pada dasarnya kepatutan itu terletak di luar undang-undang, namun menuntut keadilan dalam keadaan dan situasi tertentu. Kepatutan mewujudkan “rektifikasi” atau pelurusan bagi undangundang yang tertulis, serta menyediakan kemungkinan untuk pernilaian yang sifatnya melengkapi sifat umum undang-undang atau hukum yang tertulis.
174
c. Yang Patut vs Yang Adit Dalam “Etika Nicomachea”, Buku V, Aristoteles memperbandingkan antara “kepatutan” dan “yang patut” dengan “keadilan” dan “yang adil”, bahkan di satu aspek membedakannya, dan di lain aspek kedua term tersebut dianggapnya “tidak ada bedanya”. Sebagai ilustrasi misal-nya, kita sering terlalu menjunjung tinggi sesuatu hal atau seseorang sebagai “yang sudah sepatutnya” sehingga nilai tertinggi yang diterapkan pada hal atau orang tersebut seakan-akan menggantikan kualitas “baik” atau “lebih baik” (dalam arti yang lebih luas). Contoh: persoalan tentang UMR, bahwa upah yang patut adalah upah yang tidak merugikan pekerja atau yang sesuai dengan komponen berdasarkan Keputusan Menaker RI no. 100/Men/1994 tanggal 9 Maret 1994. Upah disebut “baik” bila: - jumlah tunjangan-tunjangan upah diperhitungkan dari upah pokoknya, - jika upah pokoknya besar, maka upah lembur juga besar, - jika pekerja sakit atau tidak masuk karena sesuatu alasan yang sah, mereka tetap mendapatkan upah pokok dan tunjangan tetap, upah pokok yang dimaksud adalah 75% dari UMR dan tunjangan tetap sebesar 25% dari UMR. (Lih. Harian Umum Kedaulatan Rakyat, 19 Juli 1994) Sedang nilai tertinggi “yang patut” atau “yang baik” bila diterapkan pada pribadi seseorang akan menimbulkan kecenderungan “kultus individu”. Namun jika kita mengikuti konsekuensi-konsekuensi logis, sering terjadi “yang patut” berbeda pengertiannya dari “yang adil”, dan jika demikian, menurut Aristoteles, “yang adil” tidak memiliki nilai moral serta “yang layak” itu belum tentu adil. Jadi, jika pemberian UMR tersebut didasarkan atas hukum primer yang menyatakan bahwa “Setiap pekerja patut mendapatkan upahnya”, maka pemberian/ penerimaan UMR itu semata-mata merupakan konsekuensi logis dari seseorang yang bekerja. Keadilan dalam keseimbangan atau kesetimpalan hubungan kerja dan upah ini tidak mengandung nilai moral. Demikian juga seandainya ada pekerja yang tidak masuk kerja dan tidak mendapatkan upahnya atau gajinya dipotong, ini patut atau layak, tetapi tidak adil. Kemudian dalam pemberian sanksi atau pidana: jika sanksi hukuman diartikan sebagai “pembalasan” (fungsi retributif hukum) ini berarti bahwa pemberian hukuman dimaksudkan untuk membalas kejahatan yang telah dilakukan sehingga dapat memuaskan tuntutan keadilan.
Sementara
itu,
jika
pemberian
hukuman
dimaksudkan
untuk
menempatkan kembali wibawa pembentuk hukum yang telah diremehkan oleh
175
tindak kejahatan (fungsi vindikatif hukuman), ini sudah sepatutnya, meskipun belum tentu adil (Lebih-lebih bila pembentuk hukum sendiri korupsi atau mementingkan dirinya sendiri). Dari hal-hal tersebut di atas, muncullah alasan orang mengangkat permasalahan tentang “equity” maupun “the equitable”. Sebab, dalam banyak hal orang dapat bertanya tentang sebab-sebab yang melatarbelakangi pengertian bahwa yang patut itu belum tentu adil menurut hukum. Menurut faktanya, “yang patut” itu dapat berfungsi korektif terhadap apa yang adil menurut hukum. Alasannya: hukum pada hakikatnya berlaku umum/universal, namun dalam realitas hidup manusia ini banyak terdapat hal-hal yang tidak mungkin disebut dengan term-term yang bersifat universal. Oleh karenanya, dalam situasi di mana term-term universal harus dipergunakan, tidak mungkin kita mempergunakan term-term tersebut secara tepat atau persis sama pengertian-nya (Seperti misalnya term “Hukum Perdata” tidak persis sama dengan pengertian yang dimaksudkan dalam “Civil Law” atau “Code Civil”). Hukum menangani kasuskasus menurut garis besarnya, yaitu dengan cara meluruskan atau menemukan kembali apa yang hilang atau rusak dari apa yang seharusnya terlaksana. Hukum berlaku pada dasarnya untuk mengoreksi penyebab putusnya “benang merah” yang terdapat di dalam hubungan antara “Sollen” dan “Sein”, atau antara apa yang seharusnya dengan apa yang senyata terjadi dalam kehidupan manusia. Kesalahan bukannya terletak pada hukum itu sendiri ataupun pada pembuat hukum, melainkan pada hakikat kasus yang ada, yaitu “materi” perbuatan atau tindakan. Oleh karenanya, di dalam sebuah situasi di mana hukum berlaku universal/umum, sering didapatkan ada kasus yang “pernyataannya” terjadi di luar rumusan hukum umum itu. Jika demikian, hukum harus meluruskannya; sementara kelalaian dan kesalahan pembentuk hukum justru terletak di dalam “keumuman” pernyataan-pernyataan yang dikeluarkannya. Sebagai contoh misalnya kasus berikut ini: Urgensi Eksekusi Kedungombo dan Kewibawaan MA Sejak akhir tahun 1980-an, kasus pembangunan waduk Kedungombo di Kabupaten Boyolali belum juga tuntas, karena banyak di antara warga yang tidak mau menerima ganti rugi. Masalahnya ganti rugi yang ditetapkan Pemda Jateng itu sangat kecil dan tak sebanding dengan pengorbanan mereka merelakan tanah leluhur. Selama itu pula berbagai upaya dilakukan Pemda untuk “menjinakkan” warga agar tidak mbalelo.
176
Upaya yang dilakukan Pemda di satu sisi memang berhasil “menjinakkan” sebagian warga yang kemudian menyerahkan tanahnya dengan ganti rugi yang kecil. Namun di sisi lain, tidak sedikit pula warga yang tetap mbalelo tak mau menerima ganti rugi. Bukan itu saja, 54 KK warga yang ngotot memperjuangkan ganti rugi itu bahkan memperdatakan Pemda Jateng dan Departemen PU ke Mahkamah Agung (MA). Per-juangan itu terasa berat, hingga jumlah 54 KK warga penggugat itupun akhirnya berkurang hingga menjadi 34 KK saja. Perjuangan panjang 34 warga itu akhirnya membuahkan hasil, setelah beberapa waktu lalu keluar keputusan MA yang mengabulkan gugatannya. Hal ini tentu tak bisa dilepaskan dari tekanan berbagai pihak, baik dalam negeri maupun luar negeri, terhadap pelaksanaan HAM di Indonesia. Para aktivis di negeri ini tak bosan-bosannya menuntut hak-hak sipil dan pelaksanaan HAM sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Demikian pula berbagai kalangan internasional pun juga selalu menekan Indonesia agar menghormati hak-hak warga negara. Tekanan luar negeri yang paling ampuh adalah lewat jumlah bantuan yang disalurkan kepada Indonesia. Jika benar demikian, berarti harus diakui bahwa Indonesia tak bisa ngotot terus-menerus menerapkan pendekatan pembangunan yang mengorbankan rakyat kecil dan memakan human coast tinggi, karena jika itu tetap terjadi, berbagai pihak di luar negeri akan mengurangi jumlah bantuannya kepada Indonesia. Namun apapun yang melatarbelakangi keluarnya putusan itu, yang jelas ia merupakan hal yang menggembirakan baik bagi warga Kedung-ombo sendiri maupun berbagai kalangan yang mempunyai kepedulian terhadap rakyat kecil. Meskipun begitu, Gubernur Jateng tidak dapat menerima keputusan tersebut dan meminta MA melakukan Peninjauan Kembali (PK). Di samping itu Gubernur Jateng juga mempertanyakan ketepatan keputusan hukum MA. Bahkan ia juga akan mengajukan permohonan penundaan eksekusi, antara lain dengan alasan bahwa anggaran Pemda tidak dapat dikeluarkan sewaktu-waktu, apalagi sebesar Rp 9,1 milyar (Suara Merdeka, 13/7). Sementara itu, LBH Semarang sebagai kuasa hukum 34 warga Kedungombo yang memenangkan perkara tetap menghendaki agar eksekusi segera dilaksanakan meskipun nantinya Gubernur mengajukan PK. Apa yang diinginkan LBH Semarang itu memang berdasar. Setidaknya UU No. 14 tahun 1985 tentang MA menyebutkan bahwa permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi. Artinya, meskipun diajukan permohonan PK, eksekusi tidak boleh tertunda atau ditangguhkan. Urgensi melaksanakan eksekusi sesegera mungkin, terutama untuk memenuhi hak-hak hukum 34 KK warga Kedungombo dan juga untuk menunjukkan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan setiap putusan hukum di negeri ini. Eksekusi juga semakin mendesak dilakukan untuk menghindari setiap sikap, langkah dan kebijakan anti-konstitusi yang dapat merugikan hak-hak hukum penggugat. Tarik menarik antara Gubernur yang menginginkan penundaan eksekusi dan warga yang menghendaki eksekusi dilaksanakan sesegera mungkin akan semakin menarik. Sebab di sinilah wibawa igezag) lembaga hukum di Indonesia dipertaruhkan, bukan saja di depan publik Indonesia sendiri, tetapi juga di mata internasional.
177
Di sini pula kenyataan akan membuktikan konsistensi MA sebagai lembaga hukum tertinggi terhadap pelaksanaan hukum itu sendiri. Artinya, kalau beberapa waktu lalu kenyataan telah membuktikan bahwa MA begitu serius dan adil menanggapi tuntutan warga, maka kali ini hal itu akan diuji kembali. Persoalannya, mampukah MA tetap mempertahankan keputusannya secara adil tanpa dipengaruhi oleh kepentingan atau unsur-unsur yang tidak menguntungkan rakyat kecil? (Raja Munthe, BERNAS, 18 Juli '94) Pelurusan hukum (rektifikasi) yang terkandung di dalam kasus tersebut di atas pada dasarnya berhubungan dengan apa yang sebenar-nya hendak dikatakan sendiri oleh para pembentuk hukum serta apa yang sebenarnya hendak diberlakukan jika ia benar-benar mengetahui duduk persoalan kasus tersebut. Dalam kasus ini, term “apa yang patut” atau “apa yang layak” dapat bermakna: baik sebagai “yang adil” maupun sebagai “yang lebih baik”. Jadi, bukan saja adil menurut hukum, melainkan juga adil secara moral. Inilah hakikat “yang patut” atau “yang layak”, yaitu suatu pelurusan atau rektifikasi hukum di mana hukum itu sendiri secara hakiki berfungsi sesuai dengan alasan universalitasnya: hukum adalah penataan hidup sosial; hukum adalah norma untuk berbuat (Roscoe Pound); hukum adalah perintah akal sehat yang dimaksudkan demi kebaikan (kesejahteraan) umum, yang diundangkan di-buat oleh mereka yang mempunyai tugas untuk mengelola masyarakat (Thomas Aquinas); hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat, negara serta antarnegara, yang berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan daya guna, demi tata dan damai dalam masyarakat (Notohamidjojo). Hal-hal tersebut di atas juga menunjukkan bahwa ternyata tidak semua hal dapat ditentukan, diatur ataupun dibatasi oleh hukum saja. Ada beberapa perkara yang tidak sepenuhnya dapat diatur oleh hukum, atau bahkan tidak mungkin semata-mata hanya digantungkan pada penataan hukum saja. Sebab, bila perkara atau kasus tersebut menyangkut hal yang sifatnya tak-terbatas seperti
misalnya
hak
asasi
manusia
(HAM),
maka
hukum
yang
dipergunakannyapun juga bersifat tak terbatas. Maka hukum yang diberlakukan itu haruslah yang se-banding dan tepat-guna pada situasi yang terkait. Jadi, kini jelas apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan kepatutan (equity) maupun yang sepatutnya (equitable), serta apa yang adil (just) maupun 'yang lebih baik' (Lihat juga pembahasan tentang “Epikeia” pada Bab, IV).
178
Putusan hakim akan disebut patut atau layak jika menunjuk dan menampilkan perbuatan yang memang sudah sepatutnya dibuat, tidak mengandung cacat bagi keadilan, melainkan sedikit banyak dapat bersifat memuaskan ketentuan perundangan
yang
menyertainya
serta
andil
pribadinya
sebagai
manusia/anggota masyarakat. Inilah ciri karakteristik pengertian “equity”, yaitu yang juga merupakan ciri karakteristik keadilan. Oleh karenanya, equity atau equitas ialah kepatutan yang wajib dipelihara dalam pemberlakuan hukum dan per-undang-undangan dengan maksud untuk menghilangkan ketajaman-nya. Contoh misalnya interpretasi terhadap pelanggaran sebagaimana diatur dalam KUH Perdata pasal 1365 tentang “Perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.” Pasal ini tidak hanya mengungkapkan pelanggaran undang-undang atau hukum saja, melainkan juga kepatutan (billijkheid) yang perlu diperhatikan dalam pergaulan antarmanusia di dalam masyarakat. 7. Kejujuran sebagai Norma Yang dimaksudkan dengan “kejujuran” ialah hal yang berhubungan dengan pengertian tentang kebenaran. Setiap pemelihara hukum perlu jujur dalam mengurus hukum, dalam melayani justitiable yang mencari hukum dan keadilan, serta diharapkan menjauhi perbuatan-perbuatan yang curang dalam pengurusan perkara. Bila kita berbicara tentang kejujuran, terutama dalam kaitannya dengan bidang hukum dan moral, pembicaraan ini selalu berkaitan juga dengan pengertian-pengertian tentang keadilan dan kepatutan. Dalam bahasa Yunani term-term tersebut memiliki pengertian atau makna yang saling berdekatan satu sama lain. Dalam bahasa Yunani terdapat term-term sebagai berikut: “dikaiosyne”, “epieikes”, “isos”, “so-phron” dan “sophrosyne”. Masing-masing term ini mempunyai arti yang berdekatan atau bahkan saling berkaitan satu sama lain. “Dikaiosyne”: biasanya diterjemahkan dengan “keadilan” namun dalam arti sempit. Dalam bukunya yang berjudul “Ethica Nicomachea”, Aristoteles mengartikan 'dikaiosyne' sebagai keadilan yang pada hakikatnya identik dengan pengertian “keugaharian”, “kejujuran” (honesty), yaitu kebajikan yang mengatur
179
semua kehendak yang jujur yang terdapat di dalam pergaulan masyarakat, terutama dalam hubungan antar-individu, bahkan juga sebagai sikap atau perangai “bersih” dari seorang individu yang menunjukkan ketulusan pribadinya. “Epieikes”, atau epieikeia, atau epikeia, yaitu term yang dipergunakan untuk menggambarkan seorang person yang perbuatan-perbuat-annya selalu tampak jujur, benar, patut (equitable), senonoh (decent), sopan-santun (honest), beradab dan berbudaya tinggi, dan sebagainya Aristoteles mempergunakan term tersebut untuk term “baik”, meskipun dalam arti yang kurang persis dan kurang ilmiah. Term ini menimbulkan gagasan tentang 'equity', terutama dalam penggunaannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan dan ketidakadilan, benar dan salah, yang kiranya sulit ditentukan definisinya, yang “definisi-nya” hanya dimengerti melalui “perasaan jujur” (sense of fair play). “Isos”: dan lawan-katanya “Anisos”, pada umumnya diterjemahkan sebagai “sama” dan “tidak sama”. Term ini bila dihubungkan dengan perkara-perkara 'distribusi' dapat diartikan sebagai “jujur” (fair) dan “tidak jujur” (unfair), atau bahkan sebagai pembagian yang adil dan pembagian yang tidak adil, yang di dalamnya termuat juga konotasi “perlakuan adil” dan “perlakuan tidak adil”. “Sophron”: term yang dipergunakan untuk menyebut seorang pribadi yang sadar akan keterbatasannya, yaitu orang mengetahui apa yang harus dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan diukur dari kemampuannya dan hakikat kodratnya sendiri. Ia adalah orang yang memiliki “pengendalian diri” atau kesadaran tenting hal itu, dalam arti bahwa ia tidak akan melakukan hal yang pada dasarnya tidak mungkin ia lakukan ataupun hal yang tidak boleh ia lakukan. Aristoteles membedakan pribadi jenis ini dari pribadi yang disebutnya sebagai “Enkrates”, yaitu orang yang juga mengetahui kemampuan dan hakikat kodratnya sendiri untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, namun lebih dari itu ia juga mempunyai keteguhan moral untuk meno-lak segala godaan dan untuk mengatasi godaan itu ia mempergunakan akal sehatnya. (Dalam arti umum, seorang 'enkrates' adalah ia yang memiliki keteguhan iman.) Jadi kedua term tersebut di samping membedakan individu yang satu dari yang lainnya atas dasar
ukuran
kebajikannya,
juga
membedakan
individu
atas
dasar
kepribadiannya. Seorang 'sophron' adalah orang yang senantiasa memiliki “keseimbangan diri” dalam batinnya, yang selalu dapat mengendalikan diri, namun sesudah ia berjuang keras untuk itu, terutama untuk mengatasi godaan.
180
“Sophrosyne”: term ini dipergunakan untuk menggambarkan pengetahuan yang penuh tentang keterbatasan. Secara harfiah kata 'sophrosyne' dapat diartikan sebagai 'gema akal', 'gema sanubari atau suara hati'. Seorang sophron, yaitu orang yang memiliki kabajikan atau kearifan ini, adalah orang yang dapat dengan tepat mengetahui atau mengakui secara jujur apa yang dapat ia lakukan dan apa yang tidak dapat ia lakukan, atau apa yang harus ia lakukan (karena ia berwenang untuk itu) dan apa yang tidak boleh ia lakukan (karena bukan wewenangnya). Di samping dalam arti positif seperti ini, kata 'sophrdsyne' Juga memiliki arti yang berkonotasi negatif, yaitu: misalnya mengendalikan diri atas kebiasaan minum-minuman keras
(di
sini
sophrosyne
indentik
dengan
'temperantiaVtemperance'), dan kelambanan bertindak karena kondisi fisik yang gemuk ataupun perilaku canggung, sehingga dalam kondisi seperti ini orang lebih senang bersikap 'santai' atau bahkan seenaknya sendiri saja (moderation). Namun pada dasarnya, kata 'sophrosyne' akan lebih tepat bila diterjemahkan dengan kata “ penguasaan diri”. 8. Hubungan dengan Jenis-jenis Keadilan Dalam membahas perkara-perkara keadilan dan ketidakadilan (dikaiosyne), perlu diingat di sini bahwa kedua hal tersebut berhubungan juga dengan jenis-jenis perilaku manusia. Jenis-jenis perilaku itu perlu dibahas untuk menentukan jenisjenis makna keadilan yang ada. Pada umumnya orang mengartikan “keadilan” sebagai ciri karakteristik perilaku adil dan menjadikan orang berperilaku adil, serta mewujudkan hal yang diharapkan bersifat adil; demikian juga sebaliknya tentang ketidakadilan, yang berhubungan dengan perilaku yang tidak adil. Term keadilan dan ketidakadilan dipergunakan dalam banyak arti sesuai dengan perbedaan makna praktis yang terbawa di dalam penggunaannya itu. Sebagai contoh analogis misalnya kata “kunci”, kata ini dapat menunjuk pada alat untuk menutup atau membuka pintu, namun dapat juga menjadi “pembuka” untuk memahami sebuah teks musik. Bila analogi ini diterapkan pada pemberlakuan hukum, hal ini juga dapat dihubungkan dengan orang yang dinilai “tidak adil” karena ia “melawan hukum” atau “melanggar hukum”. Bila orang yang melawan hukum disebut orang yang bertindak tidak adil dan yang bertindak menurut hukum disebut adil, maka segala sesuatu yang bersifat “lawful” dapat juga disebut bersifat adil. Sebab, kata “lawful” memberikan makna tentang apa
181
yang menjadi tujuan sebuah legislasi. Hukum diundangkan dan diberlakukan di dalam setiap ruang lingkup kehidupan manusia dan memiliki sasaran menjamin kebaikan dan kesejahteraan umum, baik bagi setiap anggota masyarakat rnaupun bagi para penyelenggara negara. Oleh karenanya, dapat dikatakan pula di sini bahwa term “lawful” sebagai “yang adil” dapat menimbulkan dan menjamin kebahagiaan sosial masyarakat pada umumnya, maupun bagi masyarakat politis (negara). Hukum menjamin hidup kita sehingga kita dapat menyempurnakan diri sebagai manusia yang bertanggungjawab, yang mampu mengendalikan diri, bersifat ksatria (dalam arti tidak pernah berperilaku culas terhadap sesama). Hukum memerintahkan dan melarang sesuatu, serta akan berlaku begitu bila dirangkai secara benar dan berdaya guna. Dalam keadilan, semua kebajikan atau semua pengertian tentang kebajikan dirangkum menjadi satu. Oleh karenanya, memang logis kalau sering kita dengar adanya pernyataan yang berbunyi: “Kebijakan Peme-rintah akan menunjukkan juga orangnya (yang duduk di dalam peme-rintahan itu)” (M.Ostwald, 1962, hlm. 114). Kebijakan ini akan sangat mempengaruhi perilaku warga masyarakat, secara keseluruhan. Meskipun demikian, keadilan yang menurut konsepnya merangkum semua kebajikan itu, pada pelaksanaannya tidak dapat sepenuh-nya terjadi. Yang ada di dalam masyarakat hanyalah “keadilan partial” atau keadilan 'sebagian', yaitu keadilan yang terdapat di dalam perilaku adil dalam keadilan distributif dan penegakannya. Sebagai contoh misalnya permasalahan tentang “kebenaran formil” dalam Hukum Acara Perdata. Para pihak yang mempunyai masalah atau sengketa perdata tentu saja sangat berharap bahwa penyelesaian melalui pengadilan akan lebih memberikan perlindungan hukum, keadilan serta kepastian hukum. Pengadilan oleh masyarakat dianggap sebagai benteng terakhir untuk memperoleh perlindungan hukum, keadilan dan kepastian hukum. Para yustisiabel mengetahui bahwa Pengadilan akan menyelesaikan sengketa mereka berdasarkan hukum yang berlaku, tidak subjektif dan lebih adil jika dibandingkan dengan penyelesaian di luar pengadilan dengan cara main hakim sendiri (“eigenrechting”) yang cenderung merugikan pihak yang lemah. Namun yang sering terjadi di dalam praktik beracara di Pengadilan, tidak sedikit para pencari keadilan tidak memahami hukum acara yang dipergunakan, bukti-bukti yang dapat diajukan, serta penilaian terhadap kekuatan pembuktiannya.
182
Untuk lebih jelasnya, baiklah kita ambil contoh kasus berikut ini: seseorang telah meminjam uang kepada seorang piutang sebesar Rp. 500.000,-; karena sudah sekian lama ternyata ia tidak sanggup mengembalikan uang tersebut, maka pihak piutang mengajak peminjam menghadap notaris dengan membawa sertifikat tanah untuk menandatangani sebuah SKMH dan yang diberi kuasa untuk membuat hipotik adalah piutang tersebut. Permasalahan atau sengketa timbul pada saat I pemilik tanah itu hendak meminta kembali tanahnya (sertifikat tanah). Karena kebenaran yang hendak dicari dalam Hukum Acara Perdata adalah kebenaran yang bersifat formal, yaitu kebenaran berdasarkan alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) atau semata-mata berdasarkan alat-alat bukti saja dan tanpa disertai keyakinan hakim (“Preponderance of Evidence”), dapat terjadi pihak yang lemah (pemilik sertifikat) atau penggugat dapat dikalahkan dalam persidangan. Macammacam alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata, khususnya yang diatur di dalam pasal ,164 HIR jo. pasal 284 RBg jo. pasal 1866 BW adalah: a. Surat atau Tulisan b. Saksi c. Persangkaan d. Pengakuan e. Sumpah. SKMH adalah bukti tulisan, sebab di dalamnya termuat tanda bacaan yang
menyatakan
buah
pikiran
seseorang
(pemilik
tanah)
dan
dapat
dipergunakan untuk membuktikan suatu hak atau peristiwa (Lih. Sudikno M., 1993, hlm. 120). Bukti tulisan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: tulisan yang berbentuk akta dan yang bukan akta. Akta sebagai alat bukti juga dapat dibagi dua, yaitu: akta autentik dan akta di bawah tangan. Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang menurut ketentuan Undang-Undang (Lih. pasal 165 HIR, 285 RBg, maupun pasal 1868 BW). Tentang keyakinan hakim, yang menyadari posisi lemah penggugat dalam kasus tersebut di atas, tidak diperlukan lagi jika kebenaran peristiwanya sudah terbukti berdasarkan atas alat-alat bukti menurut undang-undang (Bdk. “Sistem Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif”), yaitu bahwa apa dan berapa alat bukti yang diperlukan untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa sepenuhnya di-tentukan oleh Undang-Undang. Sistem pembuktian ini
183
dimaksudkan untuk menghilangkan subjektivitas hakim dalam memberikan keyakinannya (Andi Hamzah, 1990, hlm. 229). Atas dasar contoh kasus tersebut di atas, jika putusan hakim tidak dapat memenangkan pihak yang lemah (penggugat/pemilik tanah), apakah putusan hakim itu dapat disebut “tidak adil” karena dirasakan “tidak jujur” (unfair)? Dalam pembahasan ini, pengertian “adil” dikonotasikan dengan term “lawful”, dan pengertian “tidak adil” dengan “unlawful'. Dilema antara pengertian “unfair” dan “unlawful” dapat terjadi, karena: meski-pun setiap hal yang dapat dikategorikan “unfair” dapat disebut “unlawful”, namun tidak setiap yang “unlawful” dapat disebut “unfair”. Oleh karenanya, term “yang tidak adil” dan “ketidakadilan” tidak selalu mempunyai makna yang sama. Penalarannya adalah sebagai
berikut:
hukum
memerintahkan
manusia
untuk
hidup
dengan
menyesuaikan diri dengan setiap kebajikan yang ada dan melarangnya menentang kebajikan-kebajikan tersebut. Di dalam kehidupan sosial, hukum sebenarnya menciptakan kebajikan-kebajikan melalui fungsinya sebagai “norma agendi” atau ukuran-ukuran perbuatan. Pendidikan mau-pun penyuluhan hukum dilakukan dengan maksud terutama untuk mendidik warga masyarakat atau warga negara supaya menyadari manfaat pemberlakuan hukum dalam kehidupan sosial. Perlu juga kiranya dicatat bahwa seseorang disebut “baik” dalam kualitas pada umumnya, namun belum tentu baik menurut ukuran kualitas sebagai seorang Warga Negara. Dapat saja seseorang disebut 'baik' karena gagasangagasan dan pandangannya, namun dengan kualitas personalnya itu ia oleh sebuah sistem pemerintahan yang berkuasa justru dapat dimasukkan dalam kategori “daftar cekal” atas dasar pertimbangan demi stabilitas nasional. Salah
satu
bentuk
keadilan
partial
misalnya
dalam
distribusi
penghargaan, distribusi barang-barang material atau hal-hal lainnya yang dapat dibagikan atas dasar keadilan distributif kepada mereka yang memiliki andil dalam suatu sistem politik. Sebab, dalam sistem politik, andil setiap orang dapat sama dengan yang lain dan dapat berbeda. (Bdk. pengertian “isos” dan “anisos” yang realisasi faktualnya dapat diartikan dengan term-term “jujur” dan “tidak jujur”). Sedang, bentuk tindakan yang adil secara parsial mempunyai dua fungsi “meluruskan”, seperti misalnya di dalam transaksi privat sebagai berikut:
184
a. transaksi yang didasarkan atas kemauan bebas yang terjadi dalam proses jual-beli, pemberian jaminan keamanan, peminjaman uang dengan atau tanpa bunga, menabung di sebuah bank karena percaya pada validitas bank tersebut, menyewakan peralatan komputer, dan sebagainya b. transaksi yang tidak didasarkan atas kemauan bebas, seperti misalnya: orang terpaksa. berbuat sesuatu karena sesuatu tujuan atau alasan tertentu yang sifatnya
mendesak
atau
dipaksakan.
Contoh:
pencurian
berencana,
perzinahan, perlakuan tidak senonoh terhadap pembantu rumah tangga, pembunuhan berencana, ataupun memberikan kesaksian palsu. Ada juga contoh tindakan lain yang dilakukan karena ada tekanan dari pihak Iain seperti
terjadi
pemerkosaan,
pada:
penyerangan,
perampokan,
embargo
pemenjaraan, bahan-bahan
pembunuhan,
pokok
sehingga
menyebabkan be-berapa anggota masyarakat mengalami kelaparan secara masal, ataupun tindakan-tindakan “kotor” dalam kancah politik. 9. Tindakan Adil sebagai Wujud Distribusi yang Jujur Jika pelaku ketidakadilan dan tindakannya diidentikkan dengan pelaku ketidakjujuran dan tindakan tidak jujur, maka diantara term-term tersebut terdapat apa yang disebut “term antara” yang menjembatani kedua ekstrem tersebut. Term yang dimaksud adalah kata “adil” atau kata “jujur”. Untuk memperjelas hal ini, baiklah kita lihat kasus berikut ini: “Transaksi jual-beli tanah di bawah tangan”. Transaksi semacam ini tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bahkan selebihnya akan menyulitkan proses lebih lanjut (misal: mutasi, dsb), serta seringkali terjadi tanah yang sama yang sudah dijual kepada orang yang satu dijual lagi kepada orang yang lainnya. Jika hal yang terakhir ini benar terjadi, dapat menyebabkan timbulnya kasus pemilikan tanah ganda yang kemudian tidak jarang menyebabkan munculnya kasus-kasus lain yang sulit diselesaikan. Transaksi jual-beli tanah di bawah tangan tersebut pada umumnya dilakukan dengan maksud hanya untuk menghindari pemungutan retribusi, atau sekedar upaya mencari jalan pintas dari pihak-pihak yang terkait. Analisis kasus: yang menjadi “term antara” dalam kasus tersebut di atas adalah masalah tentang “pemungutan retribusi”. Dari sisi PPAT, tindakan upaya menghindari pungutan retribusi dapat dianggap sebagai tindakan tidak adil; sedang dari sisi pelaku transaksi jual-beli, tindakan tersebut dapat dinilai sebagai
185
tindakan yang tidak jujur. Namun dapat juga terjadi penilaian yang berbeda sudut tinjauannya,
yaitu
misalnya:
dari
pihak
pelaku
transaksi
menganggap
pemungutan retribusi itu tidak adil, sebab prosesnya sering dirasakan terlalu berbelit-belit dan tidak jujur, sehingga lebih baik dihindari saja. Dari pihak PPAT, pemungutan retribusi itu harus dibayar, sebab pungutan itu “sah” atau “lawful”. Konflik antara pihak-pihak yang terkait dalam perkara pungutan retribusi jual-beli tanah itu tidak akan terjadi, jika: a. Pelaku transaksi secara jujur menyadari bahwa campur tangan PPAT itu perlu demi terhindarinya tindakan wanprestasi dari pemilik tanah. b. Para petugas yang disebut sebagai PPAT tidak menyalahgunakan ketentuan yang berlaku untuk proses transaksi jual-beli tanah (dengan maksud demi kepentingan pribadi atau sebuah sindikat tertentu), dengan antara lain mencantumkan biaya-biaya tambahan yang tidak jelas alokasinya (Harian Umum Kedaulatan Rakyat September, 1994). Jadi, dengan kata lain sesuatu disebut adil apabila secara jujur hal itu sesuai dengan proporsinya. Proporsi adalah kesetimpalan, maka jika yang adil bersifat proporsional, juga bersifat mengandung arti “kesetimpalan”. Bertolak dari pengertian ini, kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap penegak hukum adalah melaksanakan “asas kesetimpalan” ini sejujur-jujurnya menurut peraturan atau ketentuan yang berlaku. Bila kewajiban ini tidak dilaksanakan, maka yang sering terjadi adalah: orang selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari segala bentuk prosedur hukum, hal yang sebenarnya tidak boleh terjadi di Indonesia sebagai Negara Hukum.
186