A. PENDAHULUAN Matematika dalam jenjang menengah mempersiapkan siswa untuk menangani solusi kuantitatif dalam kehidupan nyata. Proses mempersiapkan murid tersebut, kemampuan berhitung, bernalar dan memecahkan masalah perlu diasah sehingga mampu dalam memahami matematika. Upaya memahami matematika bertujuan untuk menyelesaikan masalah matematika dan hal itu tidak lepas kaitannya dari kemampuan siswa merepresentasikan ide-ide atau pun gagasan dalam menghadapi permasalahan matematika tersebut. Merepresentasikan berarti mampu untuk mengkomunikasikan
permasalahan,
membuat
model
permasalahan
dan
memecahkan permasalahan tersebut secara lisan maupun tertulis (Santrock 2009a; Muijs & Raynolds 2008). Berdasarkan Permendiknas no. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Mata Pelajaran Matematika untuk semua jenjang pendidikan dasar maupun menengah dinyatakan bahwa tujuan mata pelajaran matematika di sekolah adalah supaya siswa mampu memahami konsep, menggunakan penalaran, memecahkan masalah, mengomunikasikan gagasan,
dan
memiliki
sikap menghargai
kegunaan
matematika dalam kehidupan. Sejalan dengan Standar Isi tersebut, tujuan pembelajaran diantaranya adalah untuk mengembangkan komunikasi matematis, penalaran matematis, pemecahan matematis, dan representasi matematis. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan representasi matematis bisa dipandang sebagai proses untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematis siswa (Badan Nasional Standar Pendidikan 2006). Kemampuan representasi dianggap cukup beralasan tercantum dalam Standar Proses, mengingat bahwa kemampuan representasi siswa membantu siswa berpikir secara matematis dan mengembangkan ide serta gagasan matematis. Dalam Executive Summary: The Principals and Standards School of Mathematics dikatakan: The ways in which mathematical ideas are represented is fundamental to how people understand and use those ideas, artinya adalah langkah dimana ideide matematis direpresentasikan, hal itu bisa sangat berguna untuk seseorang memahami dan menggunakan ide-ide tersebut. Kemampuan representasi matematis sangat diperlukan siswa dalam memahami konsep dan menyelesaikan
5
masalah matematik. Kompentensi siswa dapat ditingkatkan melalui peran representasi matematis. (Executive Summary: The Principals and Standards School of Mathematics 2004;Kartini 2009) Kartini dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika menjelaskan bahwa pengajaran matematika tidak sekedar pemberian informasi seperti aturan, definisi atau prosedur yang harus dihafal siswa, keikutsertaan siswa dalam pembelajaran mampu memperkuat pemahaman konsep matematika. Siswa aktif dalam menalar dan mengkonstruksi secara terus menerus hingga terjadi perubahan ke arah yang lebih kompleks. Karakterisitik tersebut terdapat dalam Pembelajaran Berbasis Masalah dimana pembelajaran ini terdiri dari 5 tahap yaitu mengorientasikan siswa kepada masalah, mengorganisasi siswa dalam belajar, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan serta menyajikan hasil karya, dan menganalisa serta mengevaluasi proses pemecahan masalah. Pembelajaran Berbasis Masalah diharapkan secara aktif membangun representasi matematis siswa sehingga siswa lebih memahami apa yang mereka kerjakan dalam penyelesaian masalah (Kartini 2009;Arends 2008b). Pembelajaran
Berbasis
Masalah
adalah
pembelajaran
dimana
guru
mempresentasikan ide-ide atau mendemonstrasikan berbagai keterampilan, peran guru adalah menyodorkan berbagai masalah, memberikan pertanyaan, dan memfasilitasi investigasi dan dialog. Siswa disuguhkan berbagai bentuk masalah dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk sampai pada ide-ide atau teorinya sendiri. Piaget mengemukakan ketika siswa sampai pada ide-ide atau teori mereka secara tidak langsung mereka mengkonstrusikan secara aktif representasi-representasi di benaknya tentang lingkungan yang mereka alami. (Santrock 2009a;Piaget 1972;Arends 2008b). Pembelajaran Berbasis Masalah mempunyai salah satu fitur penting yaitu pertanyaan atau masalah, dimana Pembelajaran Berbasis Masalah diorganisasikan di seputar situasi-situasi kehidupan nyata, yang menolak jawaban sederhana. Langkah awal untuk mengatasi masalah adalah menemukan dengan tepat apa arti masalahnya. Murid harus menemukan masalah matematik yang relevan dari informasi kontekstual yang ada di sekitarnya. Kemampuan representasi matematis
6
yang akurat tentang masalah itu perlu dikembangkan. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang diminta untuk menjelaskan masing-masing langkah dalam penyelesaian masalah lebih sukses dibanding murid-murid yang tidak diminta melakukan itu (Gagne 1965; Muijs & Raynolds 2008). Berdasarkan hasil wawancara guru dan observasi, kemampuan representasi matematis siswa kelas VIII masih tergolong rendah dengan hasil belajar siswa kelas VIII yang juga tergolong rendah dimana banyak siswa memiliki hasil belajar dibawah KKM. Hal itu didukung oleh penelitian Risdiyanto (2011) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif kemampuan representasi matematis siswa dengan hasil belajar, sehingga ketika hasil belajar tinggi maka kemampuan representasi matematisnya pun tinggi
dan begitu pula
dengan sebaliknya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan representasi matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Salatiga rendah. Siswa kesulitan menentukan langkah-langkah penyelesaian yang diperlukan. Terbukti dengan pekerjaan siswa saat mengerjakan soal cerita materi Pythagoras. Soal yang diberikan adalah sebagai berikut ‘sebuah tangga dengan panjang 10 m disandarkan kepada tembok, jarak ujung atas tangga ke lantai adalah 8 m, berapakah jarak ujung bawah tangga ke tembok?’. Dalam mengerjakan soal itu siswa tidak membuat model permasalahan namun langsung memasukkan angka-angka itu ke dalam rumus pythagoras ‘jarak ujung bawah tangga ke tembok
’ dan hasilnya salah. Siswa kesulitan
=
dalam menentukan informasi-informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan soal sehingga sulit bagi siswa untuk menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Guru memberikan pembelajaran ekspositori dimana guru menjelaskan materi secara verbal sehingga siswa lebih banyak mendengar dan mengikuti instruksi guru sehingga saat mengerjakan soal siswa
jarang memahami terlebih dahulu isi dan maksud dari permasalahan
tersebut. Hal itu jelas menunjukkan bahwa siswa tidak mempunyai ruang untuk merepresentasikan ide-ide atau gagasan-gagasannya. Siswa hanya menerima saja tanpa aktif turut serta dalam berpikir dan mencari penyelesaiain dari masalah yang ada.
7
Pembelajaran Berbasis Masalah diharapkan mampu memberikan kesempatan untuk siswa memberikan ide-ide dan gagasan-gagasannya dalam pembelajaran sehingga kemampuan representasi matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Salatiga terus dapat dibangun. Berdasarkan hal itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelas VIII SMP Negeri 6 pada materi Garis Singgung Lingkaran Salatiga Semester Genap Tahun Ajaran 2013/2014.
B. KAJIAN PUSTAKA Pembelajaran Berbasis Masalah Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan pembelajaran yang berorientasi pada kerangka teoritik konstruktivisme. Engel menyatakan bahwa The goal of problem based learning is twofold: to learn a required set of competencies and to develop problem solving skills that are necessary for lifelong learning, artinya: Ada 2 tujuan akhir dari Pembelajaran Berbasis Masalah yaitu belajar sesuai syarat kompetensi yang ada dan mengembangkan pemecahan masalah selama belajar sepanjang hayat (Ngalimun 2014;Boud & Felleti 1991 (Eds.)). Students in small teams would explore a problem situation and through this exploration were expected to examine the gaps in their own knowledge and skills in order to decide what information they needed to acquire in order to resolve or manage the situation with which they were presented, artinya: Siswa-siswa dalam kelompok-kelompok kecil menggali masalah melalui penyelidikan yang diharapkan menjelaskan kesenjangan di dalam pengetahuan mereka dan kemampuan untuk memutuskan informasi mana yang mereka butuhkan untuk memperoleh maksud dan menyelesaikan ulang atau mengatur situasi yang disuguhkan pada mereka. Definisi tentang Pembelajaran Berbasis Masalah itu mengacu pada problem scenarios yang diutarakan oleh Barrows dan Tamblyn yaitu Pembelajaran Berbasis Masalah adalah pembelajaran dengan karakteristik, fokus pembelajaran tidak hanya mengenal satu jawaban “benar”, siswa bekerja dalam tim untuk mengahadapi masalah serta penyelesaiannya, siswa mengambil
8
hal baik dari pengetahuan baru melalui pembelajaran yang self-directed, pengajar bertindak sebagai fasilitator dimana fasilitator membimbing siswa dalam penyelidikan dan membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil, dan orientasi pembelajaran pada masalah menjadi penunjang kecakapan dalam penyelesaian masalah. Problem-based learning (PBL) is a method of learning in which learners first encounter a problem followed by a systematic, learner-centered inquiry and reflection process, artinya: Pembelajaran Berbasis Masalah adalah metode pembelajaran dimana siswa bertemu masalah yang tersusun sistematis, penemuan terpusat pada siswa dan proses refleksi (Maggi & Claire 2004;Barrows & Tamblyn 1980;Division of Teacher and Educational Development 2002). Esensi Pembelajaran Berbasis Masalah berupa menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang yang autentik dan bermakna kepada siswa, sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan. Proyek-proyek Pembelajaran Bebasis Masalah yang pada awalnya dikembangkan di John Hopkins University yang dimaksudkan untuk mengintegrasikan kurikulum di bidang sains, ilmu pengetahuan sosial, dan menulis. Siswa belajar materi akademis dan keterampilan mengatasi masalah dengan terlibat dalam berbagai macam masalah di kehidupan nyata. Therefore, the central concept of problem-based learning is that students will learn content as effectively as they would through lecture by attempting to solve realistic problems, artinya: Maka dari itu, konsep utama dari Pembelajaran Berbasis Masalah adalah menyiapkan siswa belajar konten seefektif siswa mengikuti sekolah dengan menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan nyata atau realistis (Slavin, dkk. 1994;Biley & Smith 1998;Ward & Lee 2002;Arends 2008b). Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka penulis mendefinisikan Pembelajaran Berbasis Masalah atau juga disebut Problem Based Learning adalah kegiatan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk melihat masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata dan memberikan siswa kesempatan untuk membangun pengetahuannya dengan pengalaman yang ada pada mereka untuk menyelesaikan masalah dengan pengajar sebagai fasilitator. Secara garis besar Pembelajaran Berbasis Masalah menyajikan kepada siswa suatu masalah yang autentik dan bermakna dengan memberikan kemudahan kepada siswa untuk
9
menyelesaikan masalah tersebut melalui suatu penyelidikan dan inkuiri. Berikut sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah: Tabel 1 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah Fase Fase 1: Mengorientasikan siswa kepada masalah
Fase 2: Mengorganisasi belajar
siswa
untuk
Fase 3: Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
Fase 4: Mengembangkan menyajikan hasil karya
dan
Fase 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Aktivitas Guru Menjelaskan tujuan pembelajaran yang diperlukan, memotivasi siswa dengan memperhadapkan siswa pada masalah kontekstual Membantu siswa membatasi dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi Mendorong siswa mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen dan mencari untuk penjelasan dan pemecahan
Membantu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai laporan, video dan model, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Membantu siswa melakukan refleksi terhadap penyelidikan dan proses yang digunakan selama berlangsungnya pemecahan masalah
Kemampuan Representasi Matematis Siswa Siswa
mempunyai
cara
mereka
sendiri
untuk
mengkonstruksikan
pengetahuannya. Siswa yang mengkonstrusikan pemikirannya memulai untuk merepresentasikan ide-ide dalam memahami sebuah konsep. When students gain access to mathematical representations and the ideas they express and when they can create representations to capture mathematical concepts or relationships, they acquire a set of tools that significantly expand
10
their capacity to model and interpret physical, social, and mathematical phenomena, artinya: Ketika siswa-siswa terakses kepada representasi matematis dan ide-ide yang mereka ekspresikan dan ketika mereka dapat membuat representasi untuk menangkap konsep matematika atau hubungan-hubungan, mereka memperoleh seperangkat alat yang secara signifikan memperluas kapasitas mereka untuk memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan matematika. Brenner dalam Kartini (2009) menyatakan bahwa proses pemecahan masalah yang sukses bergantung dari keterampilan seseorang merepresentasikan, seperti mengkonstrusikan dan menggunakan representasi matematik di dalam kata-kata, grafik, tabel, persamaan-persamaan, dan manipulasi symbol (Executive Summary: The Principals and Standards School of Mathematics 2004). Konsep tentang representasi merupakan salah satu konsep psikologi yang digunakan dalam pendidikan matematika untuk mengetahui tentang cara berpikir siswa. Konsep ini perlu dijelaskan sehingga di dapat pengertian yang tepat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, representasi diartikan sebagai perbuatan yang mewakili, ataupun kegiatan yang diwakili. Sejalan dengan pengertian KBBI, Kaput dkk menyatakan: A representation is defined as any configuration of characters, images, concrete objects etc., that can symbolize or “represent” something else, yang artinya: representasi didefinisikan sebagai konfigurasi dari kata-kata, gambar, objek yang konkret dll., yang dapat menyimbolkan atau mewakili sesuatu hal. Sama halnya dengan Goldin dan Shteingold yang mendefinisikan representasi sebagai berikut: A representation is typically a sign or configuration of signs, characters, and objects, artinya: representasi adalah konfigurasi yang menggambarkan simbol-simbol, kata-kata, dan gambar-gambar (Kaput 2001;Janvier 1987;Gagatsis & Elia 2004;Cuoco & Curcio (Ed.) 2001). Lesh dkk membagi kemampuan representasi matematis ke dalam lima jenis, yaitu representasi objek dunia nyata, representasi konkret, representasi simbol aritmatika, representasi bahasa atau lisan dan representasi gambar atau grafik. Representasi simbol aritmatika, representasi bahasa atau lisan, dan representasi gambar merupakan tingkat representasi yang lebih tinggi dalam memecahkan
11
masalah. Kemampuan representasi simbol aritmatika adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematika ke dalam representasi rumus aritmatika. Kemampuan representasi bahasa atau lisan adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematika ke dalam representasi verbal atau bahasa. Kemampuan representasi gambar adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematis ke dalam representasi gambar atau grafik (Janvier (Ed.) 1987). Berdasarkan pernyataan Lesh, dkk mengenai kemampuan representasi matematis siswa, dapat dikelompokkan kemampuan representasi matematis siswa ke dalam 3 aspek yaitu, representasi verbal, representasi visual, dan reprsentasi simbolik. Kemampuan representasi matematis siswa diukur sesuai model dari Lane dan Jakabcsin (1996) dalam Kramarski (2004). Berkaitan dengan ketiga aspek kemampuan representasi matematis maka dibuat kriteria penilaian kemampuan representasi matematis siswa yaitu kriteria kemampuan representasi verbal, kriteria
representasi visual dan kriteria representasi simbolik. Setiap kriteria
diskor dengan skor 0 sampai 4 sesuai model Lane dan Jakabcsin dalam Handayani (2013). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan representasi matematis adalah ungkapan dari ide-ide yang dipergunakan untuk mengkomunikasikan hasil kerjanya sebagai hasil interpretasi dari proses berpikirnya. Sedangkan kemampuan representasi matematis adalah kemampuan untuk mengungkapkan ide-ide matematis ke dalam tiga bentuk skor, yaitu skor representasi visual (gambar, diagram, atau tabel), skor representasi simbolik (notasi matematik atau numerik/simbol aljabar), dan skor representasi verbal (teks tertulis/kata-kata) sebagai interpretasi dari pikirannya.
C. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian eksperimen semu (Quasi Experimental Research) dengan desain penelitian Randomized Only Control Group Pascatest Design. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Salatiga. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling sehingga didapat kelas VIII G dan kelas VIII H sebagai sampel
12
penelitian. Siswa kelas VIII G sebagai kelas eksperimen berjumlah 25 siswa mendapatkan perlakuan Pembelajaran Berbasis Masalah sedangkan kelas VIII H sebagai kelas kontrol yang berjumlah menggunakan pemebelajaran ekspositori. Data dikumpulkan dengan instrumen posttest untuk mengukur kemampuan representasi matematis siswa. Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.00. Sedangkan untuk menguji kelayakan data menggunakan expert judgement atau validator ahli. Kisi-kisi kerangka kerja instrumen posttest dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini. Tabel 2 Kisi-kisi Soal Uraian Posttest Kemampuan Representasi Matematis Siswa (Kemampuan Representasi Verbal, Visual, dan Simbolik) Materi Garis Singgung Lingkaran No
1
2
3
4
Indikator Soal
Tujuan Pembelajaran
No Soal
Menentukan Kedudukan Dua Lingkaran
Dengan disajikan beberapa gambar lingkaran, siswa dapat menentukan Kedudukan-kedudukan Lingkaran tersebut dengan benar
1a
Menentukan panjang Garis Singgung Persekutuan Dalam Dua Lingkaran dan melukis Garis Singgung Persekutuan Dalam Dua Lingkaran tersebut
Menentukan panjang Garis Singgung Persekutuan Luar Dua Lingkaran dan melukis Garis Singgung Persekutuan Luar Dua Lingkaran tersebut
Menentukan salah satu jari-jari Garis Singgung Persekutuan Dalam Dua Lingkaran
Dengan diberikan jari-jari ingkaran besar serta jarak , jari-jari lingkaran kecil, dan jarak antara kedua pusat lingkaran siswa dapat melukis Garis Singgung Persekutuan Dalam Dua Lingkaran tersebut dan menghitung panjangnya. dengan benar Dengan diberikan jari-jari lingkaran besar, jari-jari lingkaran kecil, dan jarak antara kedua pusat lingkaran siswa dapat melukis Garis Singgung Persekutuan Luar Dua Lingkaran tersebut dan menghitung panjangnya dengan benar Dengan diberikan jarak kedua pusat lingkaran, panjang Garis Singgung Persekutuan Dalam Dua Lingkaran, dan salah satu jari-jari lingkaran, siswa dapat menghitung panjang jari-jari
13
1b
1c
2
lingkaran lain dengan benar
5
6
7
Menentukan jarak pusat lingkaran Garis Singgung Persekutuan Luar Dua Lingkaran
Menentukan panjang Garis Singgung Persekutuan Luar Dua Lingkaran
Menentukan panjang hipotenusa sebuah segitiga dan luas segitiga
Dengan diberikan jari-jari lingkaran besar, jari-jari lingkaran kecil, dan panjang Garis Singgung Persekutuan Luar Dua Lingkaran, siswa dapat menentukan jarak pusat lingkaran dengan benar Dengan diberikan jari-jari lingkaran besar, jari-jari lingkaran kecil, dan jarak antara kedua pusat lingkaran siswa dapat menentukan panjang Garis Singgung Persekutuan Luar Dua Lingkaran tersebut dan menghitung panjangnya dengan benar Dengan disajikan gambar Dua buah lingkaran dan jari-jari kedua buah lingkaran, siswa dapat menghitung panjang garis yang diminta dan menhitung luas segitiga yang diminta dengan benar
3
4
5
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan
observasi
Pembelajaran
Berbasis
Masalah
pada
kelas
eksperimen, semua fase pembelajaran terlaksana dalam tiga kali pertemuan, siswa dapat menikmati pembelajaran sehingga proses Pembelajaran Berbasis Masalah berjalan dengan baik. Berdasarkan observasi pembelajaran ekspositori pada kelas kontrol, semua langkah pembelajaran terlaksana dalam tiga kali pertemuan. Siswa mengikuti seluruh langkah pembelajaran sehingga proses pembelajaran ekspositori berjalan dengan baik. Sesuai dengan definisi operasional dari kemampuan representasi matematis siswa maka analisis meliputi skor representasi verbal, skor representasi visual, dan skor representasi simbolik yang nantinya secara keseluruhan menjadi skor posttest kemampuan representasi matematis siswa. Setiap aspek dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Berikut distribusi frekuensi skor ketiga aspek dari kemampuan representasi matematis siswa dan juga distribusi
14
frekuensi secara keseluruhan skor posttest kemampuan representasi matematis siswa: 44%
Frekuensi
55,6% 15 10 5 0
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
0 ≤ Skor < 38 (rendah) 12
38 ≤ Skor ≤ 65 (sedang) 15
65 < Skor ≤ 100 (tinggi) 0
3
11
11
Gambar 1 Diagram Distribusi Frekuensi Skor Representasi Verbal Siswa Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan perbandingan skor representasi verbal yang diperoleh kelas kontrol dan kelas eksperimen yang menunjukkan bahwa skor representasi verbal kelas eksperimen lebih baik dari skor representasi verbal kelas kontrol. 59,3% Frekuensi
20 15 10 5 0
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
56%
0 ≤ Skor < 37 (rendah) 16
37 ≤ Skor ≤ 68 (sedang) 8
68 < Skor ≤ 100 (tinggi) 3
2
9
14
Gambar 2 Diagram Distribusi Frekuensi Skor Representasi Visual Siswa Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan perbandingan skor representasi visual yang diperoleh kelas kontrol dan kelas eksperimen yang menunjukkan bahwa skor representasi visual kelas eksperimen lebih baik dari skor representasi visual kelas kontrol.
15
48,1% Frekuensi
14 12 10 8 6 4 2 0
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
52%
0 ≤ Skor < 57 (rendah) 11
57 ≤ Skor ≤ 80 (sedang) 13
80 < Skor ≤ 100 (tinggi) 3
3
9
13
Gambar 3 Diagram Distribusi Frekuensi Skor Representasi Simbolik Siswa Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Berdasarkan Gambar 3 menunjukkan perbandingan skor representasi simbolik yang diperoleh kelas kontrol dan kelas eksperimen yang menunjukkan bahwa skor representasi simbolik kelas eksperimen lebih baik dari skor representasi simbolik kelas kontrol. Setelah mengetahui analisis skor ketiga aspek kemampuan representasi matematis maka berikut distribusi frekuensi secara keseluruhan skor posttest kemampuan representasi matematis siswa. 48,1%
60%
Frekuensi
15 10 5 0
Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
0 ≤ Skor < 45 (rendah) 13
45 ≤ Skor ≤ 70 (sedang) 12
70 < Skor ≤ 100 (tinggi) 2
4
6
15
Gambar 4 Diagram Distribusi Frekuensi Skor Posttest Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Berdasarkan Gambar 4 menunjukkan perbandingan skor posttest kemampuan representasi matematis siswa yang diperoleh kelas kontrol dan kelas eksperimen yang menunjukkan bahwa skor kemampuan representasi matematis siswa kelas
16
eksperimen lebih baik dari skor kemampuan representasi matematis siswa kelas kontrol. Berdasarkan dari uji normalitas dan homogenitas yang telah dilakukan terbukti bahwa data skor posttest kemampuan representasi matematis siswa sebagai data yang terdistribusi dengan normal. Tabel 3 Hasil Analisis Uji Normalitas Skor Posttest Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelas Kontrol Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Kelas_Kontrol
Df
.119
Shapiro-Wilk
Sig. 27
Statistic
.200
*
Df
.964
Sig. 27
.452
Tabel 4 Hasil Analisis Uji Normalitas Skor Posttest Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelas Eksperimen Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic Kelas_Eksperimen
.102
Df
Shapiro-Wilk
Sig. 25
.200
Statistic *
.942
Df
Sig. 25
.161
Berdsasarkan Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan taraf signifikan lebih dari 5% pada uji Shapiro-Wilk sehingga kedua kelas berdistribusi normal. Homogenitas data dapat dilihat pada Tabel yang menunjukkan taraf signifikan sebesar 0,967 sehingga dapat dikatakan data homogen. Setelah diketahui data berdistribusi normal dan homogen maka dapat dilanjutkan ke uji t dengan Independent Sample T-Test (Uji Banding Dua Sampel). Tabel 5 menunjukkan ada tidaknya perbedaan rataan skor posttest kemampuan representasi siswa antara kelas kontrol dan kelas eksperimen dengan taraf signifikansi 5%
17
Tabel 5 Hasil Analisis Uji t Skor Posttest Kemampuan Representasi Matematis Siswa Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F Skor Rep
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig.
t-test for Equality of Means
T
.002 .967 4.874
95% Confidence Interval of the Sig. Difference (2Mean Std. Error tailed) Difference Difference Lower Upper
Df 50
.000
27.433
5.628 16.128 38.737
4.863 49.050
.000
27.433
5.641 16.096 38.769
Berdasarkan hasil analisis Independent Sample T-Test (Uji Banding Dua Sampel) sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 5, dilakukan uji hipotesis penelitian. Dasar pengambilan keputusan didasarkan pada nilai signifikansi atau probabilitas yaitu jika signifikansi > 5% atau 0,05, maka H0 diterima dan jika signifikansi < 5% atau 0,05, maka H0 ditolak. Hasil uji t Independent Sample Test pada Equal variances assumed diperoleh skor koefisien t sebesar 4,874 dengan nilai signifikan sebesar 0,000 yang berarti 0,000 lebih kecil dari 0,05. Berdasarkan hasil uji t Independent Sample Test tersebut, maka H0 yang menyatakan tidak terdapat pengaruh yang signifikan Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap kemampuan representasi matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Salatiga pada materi garis singgung lingkaran semester genap tahun ajaran 2013/2014 ditolak. Menolak H0 artinya menerima H1 maka hipotesis yang menyatakan terdapat pengaruh yang signifikan Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap kemampuan representasi matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Salatiga pada materi garis singgung lingkaran semester genap tahun ajaran 2013/2014 diterima. Terbukti
18
dari rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa kelas eksperimen yaitu 71,84 lebih baik dari rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa kelas kontrol yaitu 44,41. Hal itu didukung dengan nilai Mean Difference pada Tabel 2 yang menunjukkan besar perbedaan rata-rata skor posttest kemampuan representasi matematis siswa kedua kelas sebesar 27,433 sehingga Pembelajaran Berbasis Masalah berpengaruh terhadap kemampuan representasi matematis siswa. Rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa kelas kontrol yang hanya sebesar 44,41 berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran ekspositori tidak efektif digunakan untuk membuat kemampuan representasi matematis siswa berada pada kategori sedang, maupun tinggi. Rendahnya rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran ekspositori adalah tidak adanya kegiatan pembelajaran yang membantu siswa untuk merepresentasikan ide-idenya melalui gagasan atau pendapatnya saat menerima pembelajaran. Berdasarkan analisis data, siswa yang berada pada kategori rendah untuk kemampuan representasi matematis berjumlah 13 siswa dengan persentase 48,1%, 12 siswa berkategori sedang dengan persentase 44,4%, dan 2 siswa berkategori tinggi dengan persentase 7,4%. Pada kelas eksperimen, rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa adalah sebesar 71,84 berada pada kategori tinggi. Hal tersebut terjadi karena adanya penggunaan Pembelajaran Berbasis Masalah dimana siswa mengikuti fase-fase Pembelajaran Berbasis Masalah yaitu orientasi siswa pada masalah, pengorganisasian kelompok, penyelidikan masalah, penyajian hasil karya atau presentasi siswa, evaluasi dan analisis masalah untuk pengambilan kesimpulan. Siswa diberikan masalah berupa soal yang menuntut siswa untuk menggunakan kemampuan representasi matematisnya lebih banyak dan berusaha untuk menemukan solusi untuk penyelesaiannya. Berdasarkan analisis data, siswa yang berada pada kategori rendah berjumlah 4 siswa dengan persentase 16%, 6 siswa berkategori sedang dengan persentase 24%, dan 15 siswa berkategori tinggi dengan persentase 60%.
19
Temuan dalam penelitian ini adalah adanya perubahan sikap selama proses pembelajaran berlangsung. Siswa yang diberi perlakuan Pembelajaran Berbasis Masalah selama proses pembelajaran tidak lagi menganggap teman lainnya sebagai pesaingnya namun menjadi partner atau teman belajar. Siswa tidak lagi takut untuk mengungkapkan ide ataupun gagasannya selama pembelajaran berlangsung. Siswa dalam menyelesaikan masalah lebih percaya diri karena tidak dituntut untuk menjawab dengan benar. Guru sebagai fasilitator membuat siswa lebih nyaman saat meminta bimbingan saat penyelidikan masalah. Berdasarkan kajian teori yang dikemukakan dan dari hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa kelas VIII G sebagai kelas eksperimen dengan Pembelajaran Berbasis Masalah lebih besar daripada rata-rata skor kemampuan representasi matematis siswa kelas VIII H sebagai kelas kontrol dengan pembelajaran ekspositori. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap kemampuan representasi matematis siswa SMP Negeri 6 Salatiga pada materi garis singgung lingkaran semester genap tahun ajaran 2013/2014.
E. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap kemampuan representasi matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Salatiga pada materi garis singgung lingkaran semester genap tahun ajaran 2013/2014.
F. DAFTAR PUSTAKA Arends, Richard I. (2008b). Learning To Teach Belajar untuk Mengajar (buku dua). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Badan Nasional Standar Pendidikan. (2006). Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : BNSP. Barrows, H.S. & Tamblyn, R.M. (1980). Problem-Based Learning: An Approach to Medical Education. New York : Springer.
20
Biley, F. C., & Smith, K. L. (1998). Exploring the potential of problem-based learning in nurse education. Jurnal : Nurse Education Today, 18, 352-361. Division of Teaching and Educational Development . (2002). Teacher and Teaching Development, University of New Mexico, Health Science Center, School of Medicine To Problem-Based Learning (PBL) Tutorials In Phase I Curriculum of the University of New Mexico School of Medicine. New Mexico : Teaching and Educational Development. Engel, C. (1991). ‘Not Just a Method But a Way of Learning’. Dalam Boud, D. & Feletti, G. (Eds). The Challenge of Problem Based Learning. London : Kogan Page. Executive Summary –Principles and Standards School of Mathematics- diambil dari www.nctm.org pada tanggal 25 Januari 2014. Gagatsis A. & Elia, I. (2004). The Effect of Different Modes of Representation On Mathematical Problem Solving. Prosiding: Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematical Education. Vol. 2 pp 447 – 454. Gagne, R. M. (1965). The conditions of learning. New York : Holt, Rinehart and Winston. Goldin, G., & Shteingold, N. (2001). Systems of representations and the development of mathematical concepts. Dalam Cuoco, A. A. & Curcio, F. R. (Eds.). The Roles of Representation In School Mathematics (pp. 1-24). Reston : NCTM Publications. Handayani, Hani. (2013). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Pemahaman dan representasi matematis siswa sekolah dasar. Universitas Pendidikan Indonesia: repository.upi.edu Janvier, C. (1987). Representations and understanding: The notion of function as an example. Dalam Janvier, C. (Ed.). Problems of Representations in the Learning and Teaching of Mathematics (pp. 67-73). New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates. Kaput, J. J. (2001). Representation and the Psychology of Mathematics Education. Jurnal : Journal of Mathematics Behavior Vol 17 Numbers 1 and 2.
21
Kartini. (2009). Peranan Representasi dalam Pembelajaran Matematika Seminar Nasional Matematika. Prosiding: Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FKIP UNRI (hal:22). Kramarski, Bracha. (2004). Enhancing Mathematical Literacy with The Use of Metacognitive Guidance in Forum Discussion. Prosiding: Proceeding of 28th Conference of The International Group For The Psychology of Mathematics Education, 2004, vol. 3 pp. 169-176 Lesh, R., dkk. (1983). Conceptual models in applied mathematical problem solving. Dalam Lesh, R & Landau, M.(Eds.). Acquisition of Mathematics Concepts and Processes (pp. 263-343). New York : Academic Press. Maggi & Claire. (2004). The Foundations of Problem-based Learning, The Society for Research in Higher Education, Open University Press : Great Britain Medical Education. New York : Springer. Muijs, Daniel & Raynolds, David. (2008). Effective Teaching Teori dan Aplikasi (Edisi kedua). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ngalimun. (2014). Strategi dan Model Pembelajaran. Yogyakarta : Aswaja Presindo. Piaget, J. (1972). The Psychology of the Child. New York : Basic Books Risdiyanto. (2011). Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penekanan Representasi untuk meningkatkan hasil belajar dan kerjasama dalam kelompok pokok bahasan teorema pytaghoras pada siswa kelas VIII A semester 1 SMPN 4 Randudongkal Pemalang Tahun Pelajaran 2010/2011. Skripsi Fakultas MIPA, IKIP PGRI Semarang.
22