JURNAL PENELITIAN VOL. 11
PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI TAHU BERBASIS KOMUNITAS DI BANTARAN SUNGAI WINONGO KELURAHAN WIROBRAJAN KECAMATAN WIROBRAJAN YOGYAKARTA Oleh: Suharyanto, Hastowiyono, Muhammad Barori
ABSTRACT Home industry has a strategic role in national and regional economic development, because it has a role in reducing poverty, encouraging economic growth and employment. In fact, home industries have many obstacles to develop. To develop home industry enterprises, including "tahu" (tofu) industry, it needs to get the attention of the Government and the community in order to develop more competitiveness with other economic actors. Although the home industries are the micro-scale, but there are relatively many of them, then people's economy unit needs to be viewed as asset of the relevant area to be developed. This study aims to know the characteristics of tofu business, profile of business management, social capital which constructed the tahu craftsmanship and among the obstacles that people experienced, and the involvement of regional government to promote industry enterprises. Research was conducted in RT 35/RW 07 Kelurahan Wirobrajan. The methods of this research use quantitative and qualitative approaches. The respondents are 18 business owners who are determined at random. Descriptive data analysis uses statistics and reinforced by qualitative analysis. This research result indicates: 1) the tofu craftsmen have diverse age characteristics, low education, low working mobility, background as a migrants, and generally constituting the small family; 2) the business is characterized by family business, business skills obtained from parents or others, there is no distribution of work between the owner and workers, small capitals, number of employees is 1-2 people, traditional production technology, small production capacity, do not have business legality, and local marketing scale; 3) the craftsmen manage their business in traditional ways, there is no bookkeeping, business finance mingled with household finance, products marketed without packaging and marketed to the direct consumer (end user); 4) having strong social capital, no competition between craftsmen, each tofu maker has their own market domain, and having good social relations between the craftsmen and the residents. Keywords: development, tofu industry
A. Pendahuluan Usaha industri rumahtangga mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, karena selain berperan dalam mengurangi jumlah kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Pada saat negara kita dilanda krisis ekonomi beberapa waktu yang lalu, dimana banyak usaha berskala besar yang mengalami stagnasi bahkan berhenti aktifitasnya, sektor usaha industri rumahtangga terbukti lebih tangguh. Mengingat pengalaman tersebut, pengembangan usaha industri rumahtangga, termasuk usaha industri kerajinan tahu, menjadi relevan untuk mendapatkan perhatian yang besar baik dari pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam memberdayakan industri rumahtangga melalui kebijakan yang mendorong terjalinnya kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil/mikro. Secara kuantitas industri rumahtangga memang jumlahnya lebih banyak, tetapi apabila keseluruhan omset dan aset industri rumahtangga di Indonesia digabungkan, belum tentu jumlahnya dapat menyaingi satu perusahaan berskala nasional. Lebih jauh, pengembangan usaha industri rumahtangga, mendesak dilakukan mengingat sektor ini memiliki potensi untuk menjaga kestabilan perekonomian, peningkatan tenaga kerja, meningkatkan PDB, mengembangkan dunia usaha, dan penambahan APBN dan APBD melalui perpajakan. (http://www.blogsiffahartas.blogspot.com/2011/05/pengembangan-usaha-mikro-kecil)
92
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
Hasil penelitian kerjasama Kementerian Negara KUKM dengan BPS tahun 2003 (dalam Sri Winarni, 2006) menginformasikan bahwa 72,47 % UKM mengalami kesulitan usaha. Bagi UKM yang mengalami kesulitan usaha tersebut, diidentifikasi kesulitan yang muncul adalah (1) Permodalan 51,09 %, (2) Pemasaran 34,72 %, (3) Bahan baku 8,59 %, (4) Ketenagakerjaan 1,09 %, (5) Distribusi transportasi 0,22% dan (6) Lainnya 3,93 %. Persentase kesulitan yang dominan dihadapi UMKM terutama meliputi kesulitan permodal-an (51.09%). Menyimak problematika yang dialami UMKM tersebut, menjadi menarik untuk meneliti usaha industri tahu yang ada di bantaran sungai Winongo Kelurahan Wirobrajan Kecamatan Wirobrajan Yogyakarta. Di wilayah Kelurahan Wirobrajan terdapat cukup banyak warga masyarakat yang menekuni industri tahu. Usaha industri tahu tersebut termasuk skala usaha mikro. Meski skala usahanya mikro, tetapi karena jumlahnya relatif banyak, maka unit ekonomi kerakyatan ini perlu dipandang sebagai aset daerah yang relevan untuk dikembangkan. Pengembangan usaha industri rumahtangga sangat relevan dilakukan, karena industri rumahtangga diharapkan menjadi cikal bakal dari tumbuhnya usaha besar. Namun demikian perlu disadari, industri rumahtangga berada dalam suatu lingkungan yang kompleks dan dinamis. Jadi, upaya mengembangkan industri rumahtangga tidak banyak berarti bila tidak mempertimbangkan pembangunan yang lebih luas. Konsep pembangunan yang dilaksanakan harus terintegrasi dengan pembangunan daerah yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Dengan demikian, pengembangan industri rumahtangga diperlukan strategi yang tepat melalui suatu kebijakan dari Pemerintah Kota Yogyakarta dan peran serta dari semua pihak. Untuk mendukung ketepatan strategi kebijakan pengembangan usaha kerajinan tahu tentu diperlukan data dan informasi yang dapat menggambarkan keadaan yang terjadi pada usaha kerajinan tahu itu. Atas dasar argumen tersebut, penelitian ini menjadi relevan untuk dilakukan.
B. Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini untuk: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mendeskripsikan karakteristik pemilik usaha dan profil usaha industri tahu. Mendeskripsikan pola produksi, perilaku pemasaran produk, dan dukungan permodalannya? Mengetahui interakasi antar pemilik usaha industri tahu; antara pemilik usaha dengan tenagakerja/karyawan, tengkulak/pedagang, lembaga kemasyarakatan setempat, dan pemerintah daerah? Mengetahui bentuk-bentuk dan kekuatan modal sosial yang dibangun oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha industri tahu maupun dalam merawat hubungan sosial dengan warga masyarakat setempat. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi pengusaha (pengrajin) dalam mengelola dan mengembangkan usaha industri tahu. Mengetahui efektifitas bantuan-bantuan yang pernah diberikan oleh pihak eksternal, khususnya Pemerintah Kota Yogyakarta.
Manfaat penelitian: 1. 2.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam penentuan kebijakan pengembangan ekonomi lokal, khususnya usaha industri kerajinan tahu di bantaran Sungai Winongo. Hasil penelitian ini sekaligus dapat bermanfaat untuk mempromosikan kepada kalangan luas tentang keunikan usaha ekonomi kerakyatan sebagai kekayaan daerah yang dimiliki Kota Yogyakarta. Lebih lanjut diharapkan dapat mendorong munculnya ”kampung wisata tahu” yang berimplikasi luas bagi kesemarakan gerakan pembangunan daerah Kota Yogyakarta.
93
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
C. Tinjauan Pustaka Industri tahu yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini merupakan bidang usaha ekonomi produktif yang dikelola masyarakat lokal dalam skala usaha rumahtangga. Skala usaha industri tahu ini lebih tepat dikategorikan sebagai usaha mikro. Oleh karenanya pengembangan industri tahu lebih cocok menggunakan pendekatan kebijakan pengembangan UMKM yang sekaligus dapat bermakna sebagai pengembangan ekonomi lokal. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK mendefinisikan pengembangan ekonomi lokal adalah merupakan suatu konsep pengembangan ekonomi yang mendasarkan pada pendayagunaan sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan sumberdaya kelembagaan lokal yang ada pada suatu masyarakat, oleh masayarakat itu sendiri melalui pemerintah lokal maupun kelembagaan berbasis masyarakat yang ada (Tambunan dan Nasution. eds, 2006). Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tertanggal 29 Januari 2003, usaha mikro yaitu usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per tahun. Konsekuensi dari batasan ini, usaha mikro dapat mengajukan kredit kepada bank dibatasi paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). UMKM merupakan sumber penghidupan sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk rakyat Kota Yogyakarta. Dengan demikian, pengembangan UMKM merupakan langkah bijak untuk menghadirkan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat. Dalam kenyataan UMKM mengalami banyak kelemahan yang menghambat untuk berkembang. Meskipun UMKM masih memiliki banyak kelemahan seperti tersebut di atas, namun disisi lain memiliki kekuatan yang membuat usaha ekonomi tetap dapat berjalan. Kekuatan itu adalah modal sosial. Putnam menyatakan, “dimana kepercayaan dan jaringan kerja sosial tumbuh dengan subur, individu, perusahaan, lingkungan tempat tinggal dan bahkan bangsa menjadi makmur” (Putnam, 2000). Demikianlah pengertian modal sosial ini yang merupakan basis sentral bagi pembangunan ekonomi masyarakat, daerah dan bangsa. Dengan demikian penguatan modal sosial merupakan strategi efektif dalam pengembangan ekonomi lokal (UMKM), terutama untuk menghindari persaingan yang saling merugikan atau bahkan saling mematikan. Menurut Hidayatullah (2011), berdasarkan konsep pengembangan ekonomi lokal dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, bagian-bagian yang harus menjadi perhatian penting dan selalu menjadi pijakan dalam melaksanakan kegiatan antara lain: 1) Masukan, dalam rangka pengembangan ekonomi lokal, masukannya adalah potensi dan kelemahan yang dimiliki masing-masing wilayah; 2) Perencanaan, dalam rangka pengembangan ekonomi lokal dibutuhkan institusi yang diharapkan menjadi perencana program; 3) Program Intervensi, dalam rangka percepatan pengembangan ekonomi lokal, maka diperlukan program intervensi yang diharapkan dapat memacu tumbuh dan berkembangnya aktivitas ekonomi berbasis lokal (UMKM); 4) Metode Kegiatan, dibutuhkan strategi intervensi dalam rangka pengembangan ekonomi lokal (UMKM); 5) Keluaran, yang diharapkan menjadi keluaran, antara lain: a) Produk unggulan wilayah bernilai ekonomi tinggi; b) Jaringan pemasaran produk; c) Tumbuhnya usaha mikro yang handal; d) Manajemen pengelolaan usaha yang baik; dan e) Pertumbuhan ekonomi wilayah. Langkah konkrit yang nampaknya perlu dilakukan antara lain dengan: pelatihan dan pendampingan masyarakat dalam menciptakan atau mengelola usaha ekonomi lokal, memikirkan bentuk-bentuk kemitraan usaha bagi usaha ekonomi, memfasilitasi akses permodalan usaha, penggunaan teknologi tepat guna dan peningkatan kualitas produk dan pelayanan. Dalam konteks pembangunan daerah, Undang-undang no. 20/2008 mengamanatkan kepada pemerintah maupun pemerintah daerah untuk mendorong, memfasilitasi, dan menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan UMKM melalui kebijakan-kebijakan pembangunan daerah. Selain memenuhi amanat undang-undang, kebijakan pengembangan ekonomi lokal melalui programprogram pemberdayaan UMKM sangat relevan dari sisi moralitas pembangunan. Dengan semakin berkembangnya UMKM berarti pula terjadi pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Dari berbagai pilihan kebijakan pembangunan ekonomi yang dapat ditempuh oleh pemerintah, Dillon (1999) mengajukan alternatif pembangunan ekonomi berparadigma people driven. Paradigma ini menghendaki suatu proses pembangunan dimana semua kebijakan, kelembagaan dan teknologi yang kita rakit didorong oleh realitas kebutuhan dan kemampuan rakyat. Melalui people
94
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
driven proses pertumbuhan yang dicapai bersifat growth through equity, secara prinsip akan menyebarkan distribusi pendapatan dan sumberdaya nasional secara lebih baik dan adil, dan akan mengurangi kemiskinan secara berkesinambungan. Hal ini dapat terwujud karena proses pertumbuhan ini menginginkan pencapaian pertumbuhan yang melibatkan kehidupan ekonomi sebagian besar rakyat terutama pada kelompok marjinal. Meskipun pemikiran Dillon tersebut dalam kerangka pembangunan pertanian, namun secara substansial sangat relevan diterapkan untuk pengembangan ekonomi lokal di daerah perkotaan seperti Kota Yogyakarta. Tujuan utama pembangunan daerah adalah untuk menyejahterakan rakyat. Dalam konteks ini, Badrudin (2012:17-18) menyitir pendapat Matsui (2005), bahwa pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah. Suatu wilayah mengalami pertumbuhan secara ekonomi apabila terjadi peningkatan produksi dari semua kegiatan ekonomi di dalam wilayahnya secara terukur. Selama beberapa dekade, pembangunan daerah selalu berupaya memperoleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa melihat apakah pertumbuhan tersebut bermanfaat bagi kesejahteraan penduduk secara merata atau tidak. Perkembangan selanjutnya, para pengambil kebijakan pembangunan daerah mulai memperhitungkan manfaat pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat, sehingga tingkat pemerataan mulai menjadi suatu indikator bagi kesejahteraan. Berkaitan dengan spirit pembangunan daerah, hendaknya lebih mengedepan-kan kesejahteraan rakyat, bukan mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pembangunan daerah harus diarahkan untuk memperkokoh fondasi ekonomi rakyat, sehingga semangat penarikan retribusi dari rakyat demi PAD harus dikendorkan. Pemerintah daerah harus mampu menghadirkan iklim usaha yang kondusif. Meningkatnya PAD harus ditempatkan sebagai akibat dari meningkatnya ekonomi rakyat. Oleh karena itu, mindset lama dari penyelenggara pemerintah daerah harus diubah agar memiliki wawasan kewirausahaan. Meskipun investasi yang masuk ke daerah tetap penting untuk digairahkan, namun semua itu harus memperkokoh ekonomi rakyat (Muhammad, 2008: 241-253).
D. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian sosial yang didisain dengan menggunakan pendekatan metode campuran (mixed methode), yaitu mengombinasikan strategi penelitian kuantitatif dan metode kualitatif. Disain penelitian dengan pendekatan campuran ini merupakan strategi penelitian untuk menghilangkan bias-bias yang muncul apabila hanya menggunakan metode tunggal, yaitu metode kuantitatif atau metode kualitatif saja (Creswell, 2012). Penggunaan metode campuran ini dimaksudkan agar dapat memperoleh data kuantitatif yang lengkap (luas) sebagai evident based dan selanjutnya dilakukan pemahaman makna terhadap fenomena yang menjadi fokus penelitian ini. Dengan demikian, kedua metode ini berfungsi saling melengkapi. Pendekatan penelitian kuantitatif dilakukan dengan metode survei. Metode ini digunakan untuk memperoleh data agregat yang dapat digeneralisasi untuk menggambarkan karakteristik usaha dan pengusaha industri tahu yang ada di lokasi penelitian. Sedangkan pendekatan penelitian kualitatif dilakukan dengan teknik wawancara dan focus group discussion untuk memperoleh pemahaman makna atas ide-ide, harapan, keinginan, dan cerita-cerita lokal yang biasanya sulit diungkap melalui survei. Dilihat dari skala usaha menampakan gejala yang seragam, yaitu sebagai usaha keluarga sehingga sifat populasinya dapat dikategorikan cukup homogin. Dari 21 unit usaha kerajinan yang ada di lokasi penelitian, diambil secara random 18 unit rumahtangga sebagai sampelnya. Dengan demikian proporsi sampel penelitian ini sebesar 85,71 % dari populasinya. Data primer yang diperoleh dari pengisian kuesioner setelah terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data menggunakan piranti lunak SPSS (Statistical Package for the Social Sciences). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik statistik deskriptif. Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk tabel frekuensi sehingga memudahkan dalam menginterpretasi makna data. Analisis data survei tersebut kemudian dilengkapi dengan data hasil
95
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
wawancara dan FGD yang dipaparkan secara naratif. Dengan demikian, fenomena yang tidak terakses melalui kuesioner tetap dapat dimanfaatkan untuk memperkaya temuan penelitian.
E. Hasil Penelitian 1. Karakteritik Pengrajin. Usia pengrajin bervariasi, mulai dari usia produktif sampai dengan usia yang tergolong tidak produktif (22 - 80 tahun), dan yang paling dominan adalah usia 45 - 64 tahun. Apabila dilihat dari proporsi pengrajin berdasarkan jenis kelamin, pengrajin laki-laki jumlahnya berimbang dengan jumlah pengrajin perempuan, sehingga tidak terjadi diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam mengelola usaha kerajinan tahu. Tingkat pendidikan pengrajin pada umumnya berpendidikan rendah, tingkat pendidikan yang paling dominan adalah tidak tamat SD sampai dengan tamatan SLTP, dan pendidikan paling tinggi adalah tamatan SLTA. Mobilitas pekerjaan (pergantian jenis pekerjaan) bagi pengrajin tahu rendah, karena usaha kerajinan tahu merupakan pilihan pekerjaan terakhir bagi pengrajin (bukan pekerjaan sementara atau sebagai batu loncatan). Pengrajin tahu memiliki latar belakang sebagai kaum migran yang kemudian menetap dan beranak pinak di Kota Yogyakarta, sebagian terbesar berasal dari daerah Kabupaten Kulon Progo. Pengrajin pada umumnya telah memiliki rumah sendiri di RT 35/ RW 07 Kelurahan Wirobrajan, dan kondisi bangunan rumahnya baik (rumah permanen). Ini menandakan bahwa hasil usaha kerajinan tahu mampu menopang kebutuhan hidup rumahtangga. Rumahtangga pengrajin pada umumnya merupakan keluarga kecil dengan rata-rata jumlah anggota rumahtangga 4 orang. Jumlah angota rumahtangga yang kecil ini tentu meringankan beban ekonomi bagi rumahtangga sehinga dapat hidup lebih sejahtera.
2. Profil Usaha Kerajinan Tahu Keterampilan usaha kerajinan tahu diperoleh melalui belajar dari orang tua atau menjadi buruh tahu pada orang lain, sehingga usaha kerajinan tahu berkembang melalui efek penularan/peniruan atau turun-temurun. Pada umumnya pengrajin tahu belum menerapkan manajemen usaha dengan baik, terutama tidak melakukan pembukuan usaha dan tidak memisahkan antara keuangan usaha dengan keuangan rumahtangga. Ini menandakan bahwa usaha kerajinan tahu dikelola secara tradisional dan belum menerapkan manajemen usaha yang baik. Modal awal sebagian besar pengrajin adalah dari modal sendiri, karena kuantitas tahu yang diproduksi relatif sedikit sehingga tidak memerlukan modal kerja yang besar. Selain itu, teknologi yang digunakan untuk memproduksi tahu masih tradisional, hanya alat penggiling kedelai saja yang menggunakan teknologi lebih maju berupa mesin diesel. Secara umum tenaga kerja yang terlibat dalam setiap unit usaha jumlahnya tidak berubah, mulai dari saat awal membuka usaha hingga saat ini jumlah tenaga kerjanya relatif tetap, yaitu berkisar 1 - 2 orang. Ini membuktikan bahwa usaha kerajinan tahu belum mengalami perubahan. Kalaupun ada perubahan, tetapi perubahannya lebih bersifat kuantitatif, artinya, yang berkembang atau bertambah adalah jumlah rumahtangga yang membuka usaha kerajinan tahu, tetapi secara kualitatif belum melakukan pengembangan usaha, baik kapasitas produksi maupun variasi jenis produk. Keadaan ini dipertegas dengan kapasitas produksi yang dimiliki pengrajin tahu yang tergolong kecil, yaitu setiap pengrajin rata-rata memproduksi tahu sekitar 700 buah/ hari.
96
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
Strategi pemasaran tahu yang dilakukan pengrajin belum optimal sehingga rentan kalah bersaing dengan produk sejenis. Para pengrajin pada umumnya menjual tahu kepada pelanggan langsung dan tanpa kemasan maupun label sehat/halal. Pengrajin tahu enggan memasarkan produknya melalui pasar modern (super market) dengan sistem konsinyiasi, karena keterbatasan modal yang mereka miliki. Temuan ini menggambarkan bahwa kapasitas pengrajin dalam pemasaran masih terbatas/lemah.
3. Modal Sosial Modal sosial yang dibangun oleh komunitas pengrajin tahu merupakan kekuatan penting untuk menjaga keberlangsungan dalam menjalankan usaha bisnis tahu. Bentuk modal sosial tersebut meliputi: a. b.
c.
Kerja sama antar pengrajin dalam penggunaan peralatan dan rumah produksi. Dalam hal ini peralatan dan rumah produksi tidak hanya digunakan sendiri oleh pemiliknya, tetapi boleh digunakan oleh pengrajin-pengrajin lain yang tidak memilikinya. Aturan main atau kode etik bisnis yang disepakati bersama oleh komunitas pengrajin untuk saling menjaga keberlangsungan usaha, antara lain: tidak bersaing harga, tidak merambah pasar yang telah dimasuki pengrajin lain, dan menjaga kepercayaan konsumen terhadap kualitas produk setempat (misal: tidak menggunakan bahan pengawet). Keharmonisan hubungan sosial antara komunitas pengrajin dengan warga sekitar. Ini tercipta melalui pertemuan rutin antara komunitas pengrajin tahu bersama warga masyarakat lainnya, keterlibatan komunitas pengrajin dalam kegiatan kemasyarakatan (kerja bakti, melayat, menengok orang sakit, dll), dan komunitas pengrajin memberi sumbangan dana untuk kegiatan kampung.
4. Kendala yang Dialami Komunitas Pengrajin Tahu Dalam menjalankan usaha komunitas pengrajin megalami kendala internal maupun eksternal. Kendala internalnya adalah keterbatasan kemampuan memperluas pasar sehingga tidak termotivasi untuk meningkatkan kapasitas produksi. Sedangkan kendala eksternalnya meliputi: a.
b.
Sering mengalami kesulitan mengakses BBM (solar) untuk mengoperasikan diesel penggiling kedelai, karena mereka tidak memiliki surat rekomendasi dari pemerintah maka mereka sering dicurigai sebagai penimbun BBM. Akibatnya, mereka sering dipersulit oleh pihak SPBU untuk membeli solar menggunakan jerigen. Para pengrajin merasa mengalami kendala psikologis (perasaan tidak enak) terhadap tetangga yang tidak berprofesi sebagai pengrajin tahu. Ini disebabkan karena IPAL mengalami kebocoran dan posisinya kurang rendah sehingga menimbulkan bau busuk, bio gas tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, dan air limbah sering meluap mencemari sungai.
5. Efektifitas Bantuan untuk Pengembangan Usaha Kerajinan Tahu Sebenarnya bantuan dari berbagai pihak akan dimanfaatkan secara optimal oleh komunitas pengrajin tahu sepanjang bantuan tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai bukti: seluruh pengrajin tahu membuang air limbah ke IPAL yang dibangun Pemerintah Kota Yogyakarta; bantuan dana hibah dari Pemerintah Daerah DIY telah dikelola untuk simpan-pinjam dan dimanfaatkan oleh warga setempat (termasuk komunitas pengrajin). Sedangkan bantuan ketel uap dari UGM sampai saat ini belum dimanfaatkan oleh komunitas pengrajin tahu, karena ketel uap yang mereka miliki masih berfungsi dengan baik dan mereka masih meragukan kualitas barang bantuan tersebut. Dengan demikian temuan ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa keterlibatan pemerintah, terutama Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam pengembangan usaha kerajinan tahu belum optimal. Ini ditandai antara lain: bantuan dari Pemerintah Kota Yogyakarta baru sebatas pembangunan Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) dan sekarang mengalami kebocoran, dan Dinas Kesehatan pernah memeriksa kualitas air dan kualitas tahu tetapi belum ditindaklanjuti sampai terbitnya sertifikat.
97
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
F. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan: 1. 2.
3. 4. 5. 6.
Pengrajin tahu memiliki karakteristik sebagai berikut: umur beragam, pendidikan rendah, mobilitas pekerjaan rendah, berlatar belakang sebagai kaum migran, dan umumnya merupakan keluarga kecil. Profil usaha kerajinan tahu bercirikan usaha keluarga, ketrampilan usaha diperoleh dari orang tua atau orang lain (proses magang), tidak ada pembagian kerja yang jelas antara pemilik dan pekerja, modal kecil, jumlah pekerja 1-2 orang, teknologi produksi tradisional, kapasitas produksi kecil, tidak memiliki legalitas usaha (PIRT), dan wilayah pemasaran berskala lokal. Usaha kerajinan tahu dikelola secara tradisional, tidak ada pembukuan, keuangan usaha bercampur dengan keuangan rumahtangga, produk dipasarkan tanpa kemasan dan dipasarkan ke konsumen langsung (end user); Modal sosial terbangun cukup kuat, antar pengrajin tidak terjadi persaingan harga, setiap pengrajin memiliki domain pasar sendiri, dan hubungan sosial antara pengrajin dengan warga masyarakat terjalin harmonis. Pengrajin mengalami kendala dalam mengakses BBM untuk proses produksi, dan kendala psikologis karena kebocoran IPAL yang mengeluarkan bau busuk yang mengganggu warga masyarakat. Keterlibatan pemerintah daerah dalam pengembangan usaha kerajinan tahu belum optimal, dan bantuan yang diberikan oleh pemerintah (terutama IPAL dan dana hibah) telah dimanfaatkan dengan baik oleh komunitas pengrajin tahu.
Rekomendasi 1.
2.
3.
4.
5.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Yogyakarta: a. Menyelenggarakan program-program kegiatan pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan usaha bagi komunitas pengrajin tahu bagi komunitas pengrajin tahu. b. Memfasilitasi surat rekomendasi bagi komunitas pengrajin tahu untuk mengakses bahan bakar mesin diesel (solar) untuk keperluan proses produksi tahu. c. Menyelenggarakan workshop penganekaragaman jenis produksi tahu dan pengolahan limbah produksi tahu agar menghasilkan nilai ekonomi lebih. d. Memfasilitasi promosi produk tahu buatan komunitas lokal Kota Yogyakarta. Misalnya melalui penyelenggaraan event festival kuliner makanan berbahan dasar tahu. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta: a. Menyelenggarakan penyuluhan kepada komunitas pengrajin tahu untuk menghindari penggunaan bahan-bahan berbahaya dalam memproduksi bahan makanan. b. Melakukan pemeriksaan (kontrol) secara periodik terhadap kualitas tahu, dan memfasilitasi komunitas pengrajin untuk memperoleh sertifikat PIRT. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta: a. Memfasilitas renovasi rumah produksi agar lebih sehat dan bersih melalui pemberian bantuan pemasangan keramik untuk lantai dan dinding rumah produksi. b. Segera memperbaiki IPAL yang saat ini mengalami kebocoran, dan jika perlu membangun IPAL baru yang lebih sempurna. Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta: a. Menyelenggarakan program pengembangan kawasan bantaran Sungai Winongo sebagai kampung wisata tahu. b. Bekerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan memfasilitasi dalam memperluas pemasaran tahu. Misalnya, memfasilitasi komunitas pengrajin untuk membangun networking atau channeling dengan hotel-hotel yang semakin marak di Kota Yogyakarta. Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) Kota Yogyakarta:
98
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
a. b.
Menyelenggarakan pelatihan peningkatan kapasitas komunitas pengrajin dalam mengorganisasi kegiatan usaha kerajinan tahu. Memfasilitasi pembentukan dan pembinaan kelompok pengrajin tahu.
Daftar Pustaka Badrudin, Rudy. 2012. Pengembangan Ekonomi Lokal Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Menggunakan Tipologi Klasen Dan Location Quotient. Jurnal Riset Manajemen dan Bisnis, Volume 7, No.1, Juni 2012. ISSN : 1907-7343, Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta: 17-18. Creswell, John W. 2012. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuntaitatif, dan Mixed. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. (Terjemahan dalam bahasa Indonesia) Dillon, H.S. 1999. Pertanian: Membangun Bangsa. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Hamidah, Siti, dan Komariah, Kokom. 2008. Pembudayaan Manajemen Berbasis Mutu Produk Dan Layanan Pedagang Lesehan Di Malioboro Yogyakarta. Jurnal Penelitian Vol. 3, Bappeda Kota Yogyakarta: 1-12. Hidayatullah, Syarif, dan Djaka SBW, Thomas. 2011. Model Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Ekonomi Lokal (Studi pada UKM Pengrajin di Kota Malang). EKONOMIKA. Jurnal Ekonomi, Vol. 4, No. 1, Juni 2011, ISSN 1978-9998. Airlangga University Press. Surabaya: 33-37. Idris, Indra, dan Sijabat, Saudin. 2011. Model Peningkatan Peran KUMKM Dalam Pengembangan Komoditas Unggulan Di Kawasan Perbatasan. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Vol. 6 – September 2011, ISSN : 1978 - 2896: 89-123. Lee, Everett, S. 2000. Teori Migrasi. Pusat Penelitian Kependudukan-Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Matsui, K. 2005. “Post-Decentralization Regional Economies and Actors: Putting The Capacity of Local Governments To The Test”. The Developing Economies, 43(1): 171–189. Muhammad, Fadel. 2008. Reinventing Local Government: Pengalaman Dari Daerah. Pt. Elex Media Komputindo. Jakarta. Putnam, Robert. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon and Schuster. Sri Winarni. 2006. Strategi Pengembangan Usaha Kecil Melalui Peningkatan Aksesibilitas Kredit Perbankan. Infokop Nomor 29 Tahun XXII Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. CV. Alfabeta. Bandung. Sutanto, Agus. 1996. Keusahaan dan Usaha Kecil di Pedesaan, dalam Buletin Populasi, Volume 7 Nomor 2 Tahun 1996, ISSN: 0853-0262. Pusat Penelitian Kependudukan UGM Yogyakarta: 79-90. Tambunan, Togap, dan Nasution, Paruhuman. eds. 2006. Pengkajian Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Menengah Yang Berbasis Pengembangan Ekonomi Lokal. Jurnal Pengkajian Koperasi Dan UKM Nomor 2 Tahun I - 2006: 26-40. Majalah Prisma Volume 6 1997 – LP3ES Jakarta, hlm 6 http://www.blogsiffahartas.blogspot.com/2011/05/pengembangan-usaha-mikro-kecil. jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/sosant/article/download
99