JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
PENINGKATAN NILAI EKONOMIS LIMBAH KULIT UDANG MENJADI KITOSAN DENGAN GELOMBANG ULTRASONIK UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT Oleh: Ani Purwanti, S.T., M.Eng. & Sri Rahayu Gusmarwani, S.T., M.T.
ABSTRACT There are some shrimp stalls in Yogyakarta today. These stalls produce shells, head and tail of shrimp as waste that is rarely utilized into usefull materials. In the other hand, foods are preserved with synthetic preservatives containing dangerous substances. Today, chitosan is an alternative natural food preservative. This material can be obtained from shrimp shells. Chitosan price is still expensive and chitosan manufacturing process produces a lot of waste water. Therefore, this problem needs alternative processes to produce chitosan with minimal waste, for example the use of ultrasonic waves. Processing stages of shrimp shells into chitosan ie. boil the shrimp shells with water, deproteination process, demineralization process, and deacetilation process with ultrasonic waves. Deacetilation process was performed by immersing chitin in a solution of NaOH with concentration of 40 – 50% (weight/volume). The comparison of the amount of chitin and volume of NaOH solution was varied from 1:10 – 1:20 (gram/ mL solution). The extraction process was carried out using ultrasonic waves for 30 – 90 minutes at a temperature of 800C. The results of deacetylation process was separated from the solvent, then washed with water until neutral. Then wet chitosan was dried in the oven. The quality of chitosan was determined by analyzing the deacetilation degree, ash content, solubility in acetic acid solution, and the viscosity of chitosan solution. The results of the experiment show that the deacetilation process with ultrasonic waves can improve the deacetilation degree of chitosan. The optimum condition of deacetilation process is the process using temperature of 900C, time of process 60 minutes, and the concentration of NaOH solution is 40%. The characteristics of chitosan that obtained from this process are ie. deacetilation degree 78.64%, ash content 1.96%, viscosity of the solution 5.8 cP, and this chitosan is soluble in 1% acetic acid solution. Keywords: shrimp shell, deacetilation, ultrasonics wave, chitosan
A. Pendahuluan Di Yogyakarta, sekarang ini makanan dengan bahan dasar hasil laut antara lain udang semakin digemari masyarakat. Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein tinggi, namun sekitar 40% dari total berat udang keseluruhan merupakan kulit, kepala, dan ekor udang yang dibuang sebagai limbah (Swastawati, dkk., 2008). Pemanfaatan limbah tersebut masih sangat jarang, sehingga jumlah yang terbuang menjadi sampah yang sangat berbau masih cukup tinggi. Menurut data dari Dinas Perikanan dan Kelautan DIY (2013), produksi perikanan budidaya udang tambak pada tahun 2013 sebanyak 811.836 kg. Di lain pihak, banyak bahan pengawet pada makanan yang tidak layak untuk dikonsumsi dan mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan sehingga diperlukan bahan pengawet makanan yang tidak berbahaya untuk dikonsumsi. Selama ini limbah udang sudah termanfaatkan untuk pembuatan petis, terasi, kerupuk udang, dan bahan pencampur pakan ternak yang bernilai ekonomis rendah. Limbah kulit udang sebenarnya dapat diproses menjadi bahan yang lebih bermanfaat. Limbah kulit udang mengandung bahan penyusun utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, kitin, pigmen, abu, dan lain-lain. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, ternyata limbah udang juga dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kitin dan kitosan dengan cara deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Pembuatan kitosan dari limbah udang pada umumnya menggunakan bahan NaOH dan HCl dengan konsentrasi tertentu. Kitin dan kitosan menjadi salah satu bahan kimia dan bahan baku industri yang menjadi unggulan khususnya bagi industri. Kitin dan kitosan dapat digunakan di berbagai aplikasi industri diantaranya; sebagai bahan tambahan di bidang farmasi, kesehatan dan kosmetik, makanan, pengolah 77
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 limbah dan air (seperti : penyerap logam berat, minyak dan lemak) dan lain-lain. Hal ini dimungkinkan karena senyawa kitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan penyerap dan penggumpal yang baik (Haryani, 2007). Salah satu manfaat lain dari kitosan adalah dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Bahan pengawet pada umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan pengawet ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau peruraian yang disebabkan oleh mikroba. Penggunaan bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan, tetapi di sisi lain bahan pengawet merupakan senyawa kimia yang dimasukkan bersama bahan pangan yang dikonsumsi, sehingga apabila pemakaiannya tidak diatur maka dapat merugikan pemakainya. Sehingga penggunaan senyawa antimikroba harus tepat sehingga dapat memperpanjang umur simpan suatu produk dan menjamin keamanan produk tersebut. Untuk itu diperlukan bahan alternatif lain sebagai antimikroba alami sehingga tidak membahayakan bagi kesehatan yaitu penggunaan kitosan untuk menghambat aktivitas mikroba. Kitosan mempunyai gugus aktif yang akan berikatan dengan mikroba sehingga kitosan juga mampu menghambat pertumbuhan mikroba tanpa memberikan efek buruk. Saat ini, kitosan telah diproduksi secara industri di negaranegara maju misalnya Jepang dan Amerika Serikat. Kitosan ini merupakan bahan yang sumbernya melimpah dan dapat diperbaharui, maka dalam situasi perkembangan bioteknologi yang demikian pesat menjadikan pemanfaatan sumber daya alam alternatif seperti limbah kulit udang merupakan hal yang sangat diperlukan (Mahatmanti, dkk., 2010). Kitosan merupakan polimer alami yang mempunyai sifat non toksis, ramah lingkungan, dan mudah terdegradasi (Haryani, 2007). Dan akhirnya, diharapkan peneliti mencoba melakukan penelitian mengenai pembuatan kitosan dari limbah udang dengan penggunaan bahan kimia (NaOH dan HCl) yang minimal. Dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan baku industri khususnya di bidang pangan, dan juga layak dikonsumsi sebagai pengawet bahan makanan yang tidak berbahaya bagi tubuh. Dewasa ini penelitian pembuatan kitosan dilakukan dengan pemanfaatan gelombang ultrasonik. Penggunaan gelombang ultrasonik mempunyai keuntungan proses lebih cepat dan mudah, tidak membutuhkan banyak penambahan bahan kimia, tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan pada struktur partikel dan senyawa bahan baku yang digunakan (Dolatowski dkk., 2007 dalam Dono dan Arifin, 2012). Dengan penggunaan teknik ultrasonik diharapkan proses pembuatan kitosan dari limbah udang dapat lebih efisien. Penelitian ini memfokuskan terhadap limbah udang yang banyak dihasilkan oleh restoran makanan olahan udang di daerah kota Yogyakarta. Penelitian dilakukan untuk meminimalkan penggunakan bahan kimia dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan melakukan evaluasi mutu kitosan yang dihasilkan berdasarkan kualitas standar kitosan dalam dunia perdagangan dengan melihat parameter yang digunakan adalah derajat deasetilasi, kadar abu, kelarutan, dan viskositas dari hasil pembuatan kitosan.
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengolah limbah kulit udang menjadi kitosan yang bermanfaat sebagai pengganti bahan pengawet makanan yang tidak berbahaya bagi tubuh dan kesehatan dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik. Mutu kitosan yang dihasilkan diharapkan mempunyai kualitas yang sesuai dengan kualitas standar kitosan dalam dunia perdagangan. Variabel yang diamati adalah lama pemasakan limbah kitosan dalam air dan variabel dalam proses deasetilasi yang meliputi perbandingan antara volume pelarut dengan berat bahan, waktu proses, dan konsentrasi NaOH dengan menggunakan gelombang ultrasonik. Penggunaan ultrasonik dalam proses deasetilasi dapat mengurangi penggunaan bahan kimia yaitu natrium hidroksida (NaOH) yang digunakan dalam proses deasetilasi kitin menjadi kitosan. Selain itu dengan proses deasetilasi yang dipengaruhi gelombang ultrasonik, maka waktu proses menjadi lebih singkat.
78
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015
C. Tinjauan Pustaka Arifin (2012) melakukan proses inovasi teknologi proses produksi kitosan untuk mendapatkan proses yang lebih efisien dengan hasil optimal menggunakan teknologi ultrasonikasi-kimia. Proses ini merupakan proses produksi berbasis limbah udang dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik 42 kHz. Sejumlah kitin direndam dalam larutan NaOH dengan konsentrasi antara 55%-70% menggunakan ultrasonic bath bersuhu 700C. Proses dilaksanakan dengan variasi waktu antara 10-30 menit. Penggunaan gelombang ultrasonik dalam proses deasetilasi dapat mengurangi waktu proses deasetilasi sehingga dapat dikatakan lebih efisien. Kitosan yang dihasilkan dapat larut sempurna dalam larutan asam asetat 1% dan mempunyai kualitas dengan parameter kadar air, kadar abu, viskositas, dan derajat deasetilasi masing-masing 9,94%; 0,34%; 3,2 cP; dan 85,02%. Udang merupakan anggota kelas Crustacea. Seluruh tubuh terdiri dari ruas-ruas yang terbungkus oleh kerangka luar dari zat tanduk atau kitin dan diperkuat oleh bahan kapur kalsium karbonat (Widodo, 2005). Limbah udang yang berupa kulit, kepala dan ekor mengandung senyawa kimia yang berupa kitin dan kitosan. Senyawa ini dapat diolah karena hal ini dimungkinkan karena kitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifikasi kimia yang tinggi dan elektron nitrogen pada gugus amino pada kitosan dapat mengikat ion-ion logam dan membentuk senyawa kompleks koordinasi yang stabil sehingga dapat digunakan untuk mengadsorbsi logam berat hasil buangan industri (Haryani, 2007). Menurut Wardaniati dan Setyaningsih (2009), khasiat kitosan sebagai bahan antibakteri dan kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri menjadikan kitosan dapat digunakan sebagai pengawet makanan. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung. Menurut Widodo (2005), sebagian besar limbah udang yang dihasilkan oleh usaha pengolahan udang berasal dari kepala, kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%-50%). Tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. Kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit dibandingkan dengan kulit atau cangkang kepiting. Kandungan kitin pada limbah kepiting mencapai 50%-60%, sementara limbah udang menghasilkan 42%-57%, sedangkan cumi-cumi dan kerang, masing-masing 40% dan 14%-35%. Namun karena bahan baku yang mudah diperoleh adalah udang, maka proses kitin dan kitosan biasanya lebih memanfaatkan limbah udang (Widodo, dkk., 2005). Kitin merupakan molekul polimer berantai lurus dengan nama lain β-(1-4)-2-asetamida-2dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin). Kitin umumnya tidak berbentuk murni melainkan merupakan suatu kombinasi bersama dengan senyawa yang lain seperti protein, kalsium karbonat, dan zat warna. Salah satu cara mengidentifikasi adanya senyawa kitin adalah melalui tes warna Van Wisselingh. Pada tes warna ini kalium iodida akan merubah warna kitin menjadi coklat dan dengan penambahan asam sulfat warnanya akan berubah menjadi merah violet. Struktur kitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi β-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon yang kedua pada kitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH2) sehingga kitin menjadi sebuah polimer dengan unit N-asetilglukosamin. Kitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 merupakan zat padat yang tak terbentuk (amorphus), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Kitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan chitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin (Hirano, 1998). Kadar kitin dalam berat udang berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi kitosan menghasilkan yield antara 15-20%. Kitosan mempunyai bentuk mirip selulosa dan bedanya pada gugus rantai C-2. Senyawa kitin pada umumnya tidak digunakan secara murni tetapi diturunkan menjadi senyawa lain yang luas penggunaannya, misalnya kitosan. Namun untuk memperoleh kitosan kulit udang harus diolah untuk mendapatkan kitin terlebih dahulu. Kitosan merupakan turunan dari polimer kitin, yakni produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan. Kitosan disebut juga dengan β-1,4-2-amino-2-dioksi-D-glokosa merupakan turunan dari kitin melalui proses deasetilasi. Senyawa ini merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dengan menggunakan basa pekat). Kitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga gugus yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan sekunder, sehingga menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi (Widodo, 2005). 79
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3. Kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik. Disamping itu kitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, kitosan dapat digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan industri kesehatan (Hirano, 1986). Menurut Widodo (2005) perbedaan antara kitin dan kitosan didasarkan pada kandungan nitrogennya. Jika nitrogen kurang dari 7%, maka polimer disebut kitin dan apabila kandungan total nitrogennya lebih dari 7% maka disebut kitosan.
Gambar 1. Struktur Molekul Kitosan Dalam pembuatan kitosan dari limbah udang dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu proses deproteinasi, proses demineralisasi dan proses deasetilasi. Penghilangan protein melalui proses kimia (deproteinasi) dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 5%. Penghilangan kandungan mineral melalui proses kimiawi (demineralisasi) dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 1N, sedangkan deasetilasi dilakukan dengan cara pemanasan dengan menggunakan NaOH 50%. Teknik ultrasonik telah digunakan pada ekstraksi kitin Pandalus borealis (Kjartansson dkk., 2006 dalam Dono dan Arifin, 2012). Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan kitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri sehingga baik digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Banyak produk pangan yang menggunakan pengawet sintesis yang berbahaya bagi kesehatan, tetapi tidak semua bahan pengawet berbahaya. Beberapa zat pengawet yang tidak berbahaya untuk digunakan dalam produk makanan tetapi akan menimbulkan efek negatif, misalnya alergi jika digunakan secara berlebihan antara lain kalsium benzoat, sulfur dioksida, dan kalium nitrit (Cahyadi, 2009). Mutu kitosan terdiri beberapa parameter yaitu kadar air, kadar abu, kelarutan, warna dan derajat deasetilasi. Kualitas standar kitosan yang dikeluarkan oleh Protan Laboratories (Prayudi dan Susanto, 2010) antara lain mempunyai ukuran serbuk sampai serpihan, kadar air dibawah 10%, kadar abu di bawah 2%, derajat deasetilasi di atas 70%, viskositas dengan tingkatan tingkat tinggi bernilai di atas 2.000 cps. Pada uji aplikasi kitosan yang telah dilakukan pada beberapa produk misalnya bakso (Wardaniati dan Setyaningsih, 2009), dalam penelitian yang dilakukan, kitosan dilarutkan dalam asam asetat 1% dengan beberapa konsentrasi, kemudian bakso yang akan diawetkan dicelupkan beberapa saat dan ditiriskan. Jumlah kitosan yang dibutuhkan untuk pengawetan makanan konsentrasinya sekitar 1,5 persen. Artinya, dalam satu liter pelarut, dibutuhkan kitosan sekitar 15 gram.
D. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian teknologi terapan dalam proses pembuatan kitosan dari limbah kulit udang dengan variasi waktu, suhu, konsentrasi NaOH, dan volume pelarut NaOH dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik. Variabel penelitian yang dianalisis adalah waktu yang digunakan pada saat deasetilasi, suhu yang digunakan pada saat deasetilasi, konsentrasi NaOH yang digunakan pada saat deasetilasi, dan volume pelarut NaOH yang digunakan pada saat deasetilasi dengan menggunakan gelombang ultrasonik. Penelitian dilakukan dengan studi pustaka dan percobaan di laboratorium. Adapun tahapan penelitian adalah sebagai berikut:
80
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 1.
Tahap Persiapan Bahan dan Alat Penelitian a. Bahan penelitian Bahan yang digunakan adalah limbah udang yang berupa kulit udang, setelah dikeringkan dan dihaluskan, kemudian dianalisis kadar air dan kadar abu. Selain itu air sebagai cairan pelarut, larutan NaOH 5%, yang digunakan sebagai pelarut dalam proses deproteinasi bubuk kulit udang, laruan Larutan HCl 1N, digunakan sebagai pelarut dalam proses demineralisasi, dan larutan NaOH x%, yang digunakan sebagai pelarut dalam proses deasetilasi kitin, dan larutan asam asetat 1 %, digunakan sebagai pelarut dalam analisa dan pengujian kitosan pada bahan makanan. b. Alat penelitian Rangkaian alat penelitian yang digunakan terdiri dari kompor listrik, penangas minyak, pembangkit gelombang ultrasonik, labu leher tiga, pendingin balik, motor pengaduk, termometer.
2.
Tahap Proses Pengolahan
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu persiapan bahan baku yaitu limbah kulit udang, proses pembuatan kitosan, dan proses analisa. Penyiapan bahan, bahan baku kulit udang dicuci sampai bersih, kemudian dikeringkan dengan sinar matahari. Selanjutnya kulit udang dihaluskan/ digiling dan diayak dengan ukuran mesh tertentu, hasil yang berupa tepung kulit udang kemudian dianalisa untuk mengetahui kandungan air dan abu. Proses penelitian, yaitu proses perebusan kulit udang, proses deproteinasi, demineralisasi dan deasetilasi dalam labu leher tiga dengan perbandingan bahan dengan pelarut, konsentrasi NaOH, waktu dan suhu reaksi yang tertentu. Campuran kemudian disaring yang bertujuan untuk memisahkan residu dari filtratnya. Residu tersebut diambil sebagai hasil setelah itu di oven pada suhu tertentu sampai kering maka berat hasil akan didapat. Sebelum dilakukan ketiga proses tersebut, dilakukan proses perebusan kulit udang dalam air dengan waktu proses tertentu. Proses deproteinasi dilakukan dengan cara tepung limbah udang dengan berat tertentu, dimasukkan dalam labu leher tiga dengan penambahan NaOH 5% dengan volume tertentu. Perbandingan antara berat limbah udang dengan volume NaOH 5% adalah 1:15 (weight/volume). Ekstraksi dilakukan selama 2 jam pada suhu 100ºC untuk menghilangkan kandungan proteinnya. Hasil deproteinasi lalu disaring untuk diambil residunya dan dicuci menggunakan air sampai pH netral, kemudian residu dikeringkan dalam oven dengan suhu 600C. Proses demineralisasi, residu hasil deproteinasi yang telah dicuci sampai pH netral dan dikeringkan dimasukkan ke dalam labu leher tiga dengan penambahan HCl 1N dengan volume tertentu. Ekstraksi dilakukan selama 1 jam pada suhu 80ºC untuk menghilangkan kandungan mineralnya. Hasil demineralisasi lalu disaring untuk diambil residunya dan dicuci menggunakan air sampai pH netral, kemudian residu dikeringkan dalam oven. Residu hasil demineralisasi yang telah dikeringkan disebut kitin. Proses deasetilasi yaitu mengubah kitin menjadi kitosan, kitin dimasukkan ke dalam labu leher tiga dengan penambahan NaOH 40%-50% dengan volume tertentu. Ekstraksi dilakukan selama 30 – 90 menit pada suhu 90ºC dengan menggunakan gelombang ultrasonik. Hasil deasetilasi lalu disaring untuk diambil residunya dan dicuci menggunakan air sampai pH netral, kemudian residu dikeringkan dalam oven. Residu dari hasil deasetilasi inilah yang disebut kitosan. Kemudian hasil dianalisis derajat deasetilasi, kadar abu, kelarutan, dan viskositasnya untuk mengetahui mutu kitosan. 3.
Tahap Pengujian
Pada penelitian ini, analisis yang dilakukan meliputi analisis bahan baku dan hasil. Analisis bahan baku meliputi analisis kadar air dan kadar abu, sedangkan analisis hasil meliputi analisis derajat deasetilasi, kadar abu, kelarutan, dan vikositas. Dari evaluasi produk kitosan yaitu nilai kadar air, kadar abu, nilai kelarutan/ viskositas, dan derajat deasetilasinya sehingga dapat diketahui proses yang paling optimal untuk hasil kitin dan kitosan yang berasal dari kulit udang.
81
JURNAL PENELITIAN VOL. 11
E. Hasil Penelitian Proses pengambilan kitin dimulai dengan tahap perebusan menggunakan air selama 2 jam pada suhu 1000C, dengan perbandingan kulit udang kering dan air yang digunakan adalah 1:15 (gram/mL). Proses ini bertujuan untuk melunakkan kulit udang sehingga proses deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi dapat berlangsung lebih sempurna. Kulit udang yang akan diproses dievaluasi kadar airnya dan kadar abu, dari hasil analisa diperoleh kandungan air kulit udang sebesar 6,26% (berat basah) dan kadar abu sebesar 42,6%. Dari proses perebusan 50 gram kulit udang kering diperoleh kulit udang hasil perebusan sebanyak 40,546 gram. Merita, dkk. (2013) telah melaksanakan proses pembuatan kitosan dengan melakukan variasi waktu perebusan kulit udang dengan hasil kitosan dengan derajat deasetilasi tertinggi dihasilkan pada proses perebusan 2 jam dimana menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi sebesar 85,34% dengan nilai randemen yang diperoleh sebesar 11,62%. Proses ekstraksi kitin dari kulit udang yang sudah direbus melalui dua tahapan proses, yaitu proses deproteinasi dan proses demineralisasi. Proses deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein dalam kulit udang, sedangkan proses demineralisasi merupakan proses yang bertujuan untuk menghilangkan mineral dalam kulit udang. Bahan yang diperoleh setelah melalui dua tahapan ini disebut dengan kitin. Kitin ini selanjutnya dijadikan bahan baku proses deasetilasi untuk mendapatkan kitosan. Pada penelitian ini, dari proses deproteinasi dan demineralisasi yang dilakukan tanpa pengaruh gelombang ultrasonik diperoleh rendemen kitin sebesar 21,26%. Banyaknya kitin yang dapat diperoleh dari kulit udang sangat bervariasi. Misalnya penelitian Dono dan Arifin (2012), dari dua proses tahapan proses yaitu penghilangan mineral dan diikuti dengan proses penghilangan protein, dapat menghasilkan kitin dengan rendemen sebesar 23,30%. Untuk mendapatkan kitosan, maka kitin kemudian dideasetilasi menggunakan larutan NaOH 40% dan dipengaruhi dengan gelombang ultrasonik sebesar 60Hz. Dari hasil percobaan dengan variasi volume NaOH 40% yang digunakan dengan berat kitin yang diproses diperoleh hasil seperti yang tercantum dalam Tabel 2. Dari data penelitian menggunakan variasi jumlah larutan NaOH yang digunakan, maka diperoleh nilai viskositas larutan, derajat deasetilasi kitosan, serta kelarutan kitosan yang optimal pada proses menggunakan perbandingan jumlah kitin yang diproses dengan pelarut yang digunakan sebesar 1:15. Dengan menggunakan perbandingan ini diperoleh nilai viskositas larutan sebesar 5,8 cP, rendemen 22,65%, kitosan yang dihasilkan larut dalam asam asetat 1%, dan nilai derajat deasetilasi kitosan sebesar 78,64%. Tabel 2. Data Hasil Penelitian Deasetilasi Kitin dengan Variasi Perbandingan Kitin dengan Volume NaOH 40% Volume NaOH 40%, mL 100 150 200
Rendemen Kitosan, % 22,15 22,65 22,87
Viskositas Larutan Kitosan, cP 3,9 5,8 5,4
Kadar Abu, % 2,34 1,96 1,87
Derajat Deasetilasi 74,01 78,64 78,84
Kelarutan LS L L
Keterangan: LS (Larut Sebagian); L (Larut) Percobaan menggunakan variasi waktu proses deasetilasi menggunakan perbandingan bahan (kitin) dan pelarut NaOH 40% sebesar 1:15. Proses deasetilasi dilaksanakan dengan empat variasi waktu, yaitu 30 menit, 45 menit, 60 menit, dan 90 menit. Dari hasil penelitian, diperoleh hasil sebagaimana tercantum dalam Tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3. Data Hasil Penelitian Deasetilasi Kitin dengan Variasi Waktu Proses Deasetilasi (Perbandingan Jumlah Kitin yang diproses dengan Volume Larutan NaOH 40% adalah 1:15 (gram/mL))
82
JURNAL PENELITIAN – Volume 11 | 2015 Waktu Proses, menit 30 45 60 90
Rendemen Kitosan, % 22,675 22,75 22,65 22,55
Viskositas Larutan Kitosan, cP 3,2 4,1 5,8 5,9
Kadar Abu, % 4,34 2,43 1,96 1,91
Derajat Deasetilasi 71, 15 73,33 78,64 79,23
Kelarutan, % TL LS L L
Keterangan: TL (Tidak Larut); LS (Larut Sebagian); L (Larut) Dengan melihat data yang dihasilkan, maka hasil optimal dilihat dari kelarutan kitosan/ viskositas larutan, rendemen kitosan, serta derajat deasetilasi maka waktu proses yang optimal dilakukan selama 60 menit dengan rendemen hasil kitosan 22,65%, viskositas larutan 5,8 cP, dan derajat deasetilasi sebesar 78,64%. Untuk proses deasetilasi dengan variasi konsentrasi larutan NaOH yang digunakan diperoleh seperti tercantum dalam Tabel 4 di bawah ini. Proses deasetilasi pada tahap ini dilakukan selama 60 menit dengan menggunakan perbandingan massa kitin (gram) dan larutan NaOH (mL) sebesar 1:15. Dari hasil penelitian terlihat bahwa penggunaan konsentrasi NaOH yang berbeda dapat menghasilkan kitosan yang dapat larut dalam larutan asam asetat 1%, sedangkan kenaikan konsentrasi NaOH menjadi 45% dan 50% mempunyai pengaruh terhadap derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan tetapi tidak begitu signifikan. Sebagai perbandingan, dilakukan pembuatan kitosan dengan kondisi proses deasetilasi menggunakan larutan NaOH 40%, dengan perbandingan berat kitin dengan larutan NaOH yang digunakan sebesar 1:15, suhu proses deasetilasi 900C selama 60 menit tanpa pengaruh gelombang ultrasonik. Dari percobaan yang dilakukan diperoleh kitosan yang larut dalam asam asetat dengan derajat deasetilasi sebesar 73,55%. Penggunaan gelombang ultrasonik pada 60Hz dapat digunakan dalam proses deasetilasi kitin tetapi peningkatan derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan dalam penelitian ini belum begitu besar. Tabel 4. Data Hasil Penelitian Deasetilasi Kitin dengan Variasi Konsentrasi NaOH Konsentrasi Larutan NaOH, % 40 45 50
Rendemen Kitosan, % 22,65 21,23 21,01
Viskositas Larutan Kitosan, cP 5,8 5,9 6,3
Kadar Abu, % 1,96 1,85 1,77
Derajat Deasetilasi 78,64 78,87 79,25
Kelarutan, % L L L
Keterangan: L (Larut)
F. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kesimpulan Dari data percobaan yang dilakukan, diperoleh data kondisi proses deasetilasi menggunakan gelombang ultrasonik dapat menaikkan derajat deasetilasi kitosan yang diperoleh. Data kitosan yang diperoleh dengan proses deasetilasi menggunakan larutan NaOH 40%, pada suhu 900C selama 60 menit mempunyai derajat deasetilasi sebesar 78,64%, kadar abu 1,96%, viskositas 5,8 cP, dan kitosan dapat larut dalam larutan asam asetat 1%.
2. Saran dan Rekomendasi a.
b.
Dinas Kesehatan perlunya melakukan pengenalan adanya pengawet bahan makanan yang lebih aman dari sisi kesehatan, yaitu kitosan. Pengenalan ini dapat dilakukan dengan mensosialisasikan kerugian bahan tambahan makanan sintetik, yang merupakan bahan tambahan yang berasal dari zat kimia. Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian (Disperindagkoptan) Kota Yogyakarta dapat mengenalkan masyarakat tentang prospek usaha pengolahan limbah kulit udang untuk diolah menjadi kitosan dengan melakukan scale up proses dan alat yaitu untuk kapasitas produksi 15 kg kitosan setiap bulannya, karena usaha ini dimungkinkan untuk dapat menghasilkan keuntungan dari sisi ekonomi. 83
JURNAL PENELITIAN VOL. 11 c.
Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian (Disperindagkoptan) Kota Yogyakarta perlu mengadakan program bank sampah limbah kulit udang, sebagai upaya untuk dapat mengumpulkan limbah kulit udang dari pada pedagang makanan hasil olahan udang atau dari rumah tangga untuk dapat memasok industri pembuatan kitosan dari limbah kulit udang. .
Daftar Pustaka Arifin, Z., 2012, “Pemanfaatan Teknologi Sonikasi tak Langsung dalam Rangka Produksi Kitosan”, Konversi, Volume 1 No.1. Bozdemir, O.A., dan Tutas, M., 2003, “Plasticiser Effect on Water Vapour Permeability Properties of Locust bean gum-Based Edible Film”, Turk Journal Chemistry. Cahyadi, W., 2009, “Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan”, ed.2, Bumi Aksara, Jakarta. Casariego, A., Souza, B.W.S., Vicente, A.A., Teixeira, J.A., Cruz, L., and Diaz, R., 2007, “Chitosan Coating Surface and Permeation Properties as Affected by Plasticizer, Surfactant, Polimer Concentration-Application to Vegetables”, Proceeding of The 3rd CIGR Sction VI International Symposium on Food and Agricultural Products: Processing and Innovations. Dono, A. dan Arifin, Z., 2012, “Pemanfaatan GElombang Ultrasonik pada Proses Deasetilasi dalam Rangka Produksi Kitosan Berbasis Limbah Udang”, Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Soebardjo Brotohardjono, UPN “Veteran” Jawa Timur, Surabaya. Fernandez, K., Sun, O., 2004, “Physicochemical and Functional Properties of Crawfish Chitosan as Affected by Different Procesing Protocols”, A Thesis in Department of Food Science, Seoul University. Haryani, K., Hargono, dan Budiyati, C.S., 2007, “Pembuatan Khitosan dari Kulit Udang untuk Mengadsorpsi Logam Krom (Cr6+) dan Tembaga (Cu)”, Reaktor, Vol. 11 No.2, Hal. 86-90. Hartati, F., Tri, S., Rakhmadioni, dan Loekito, A., 2002, “Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Deproteinasi dalam Pembuatan Kitin dari Cangkang Rajungan”, Biosain, Vol. 2(1). Hirano, S., 1986, “Kitin and Kitosan”, Ulmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry Republicka of Germany, 5th. ed., A 6: 231 – 232. Mahatmanti, F.W., Sugiyo, W., dan Sunarno, W., 2010, “Sintesis Kitosan dan Pemanfaatannya sebagai Anti Mikrobia Ikan Segar”, Sainteknol 8, no. 2. Meyers, S.P., No, H.K., Prinyawiwatkui, W., dan Xu, Z., 2007, “Applications of Chitosan for Improvement of Quality and Shelf Life of Foods: A Review”, Journal Food Science. Nadarajah, K., 2005, ”Development and Characterization of Antimicrobial Edible Film from Crawfish Chitosan”, Dessertation in Department of Food Science, University of Peradeniya. Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi, 1984, “ Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian”, ed.3, hal. 53, 61, 64, 77, 78, Liberty, Yogyakarta. Swastawati, F., Wijayanti, I., Susanto, E., 2008, Pemanfaatan Limbah Kulit Udang menjadi Edible Coating untuk mengurangi Pencemaran Lingkungan, Jurnal Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti, 4(4), 101 – 106. Wardaniati, R.A. dan Setyaningsih, S., 2009, “Pembuatan Chitosan dari Kulit Udang dan Aplikasinya untuk Pengawetan Bakso”, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro, Semarang. Widodo, A., Mardiah, dan Prasetyo, A., 2005, “Potensi Kitosan dari Sisa Udang Sebagai Koagulan Logam Berat Limbah Cair Industri Tekstil”, Teknik Kimia, ITS, Surabaya.
84