24
Karena itu kami suka usil dan sembunyi sembunyi Membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi Sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang yang suka cabul terhadap diri sendiri. Setelah loyo dan jompo kami mulai bisa berfantasi Tentang hal-ihwal yang ada didalam celana: Ada raja kecil yang galak dan suka memberontak; Ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi rahasia alam semesta; Ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma; Ada juga gua garba yang diziarahi para pendoa dan pendoa. Konon setelah berlayar mengarungi bumi, Columbus pun Akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana. (1996)
1. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik a. Pembacaan Heuristik pada puisi celana 2 sebagai berikut. Judul Celana 2 (Dua) Bait ke-1 Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana yang bagus dan sopan(,) tapi tak pernah diajar(kan) melukis seluk-beluk yang (ada) di dalam celana, sehingga kami pun tumbuh menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut, bahkan terhadap nasibnya sendiri. Bait ke-2 Karena itu (,) kami suka usil dan sembunyi(-)sembunyi membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi (.) sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang yang suka cabul terhadap diri sendiri.
25
Bait ke-3 Setelah loyo dan jompo kami (baru) mulai bisa berfantasi(,) tentang halihwal yang ada di dalam celana: Ada raja kecil (yang) galak dan suka memberontak; Ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi (tentang) rahasia alam semesta; Ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma; Ada juga gua garba yang diziarahi para pendosa dan pendoa. Bait ke-4 Konon setelah berlayar mengarungi bumi, Columbus pun akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.
b. Pembacaan hermeneutik pada puisi celana 2 sebagai berikut. Dalam pembacaan tingkat kedua ini, menitik beratkan pada ketidak langsungan ekspresi puisi yang disebabkan oleh tiga hal; penggantian arti, penyimpangan arti serta penciptaan arti.
“Celana 2”, judul pada puisi ini
menunjukkan bahwa ini adalah puisi Celana kedua yang dibuat pengarang. Puisi Celana 1 menceritakan tentang perjalanan seseorang mencari celana (jati dirinya), untuk dipakai waktu di kehidupan dunia hingga nanti ia meninggal (kuburan), dan pada akhirnya ia menyadari bahwa celana yang ia pakai semasa bayi adalah celana yang paling cocok ia kenakan. Meskipun temanya berbeda namun keduanya memakai kata celana sebagai alat untuk menyampaikan maksud pengarang. Pada judul Celana memiliki tafsir ganda, merupakan penggantian makna (displacing of meaning) yakni gaya bahasa metafora, gaya bahasa perbandingan yang diungkapkan secara singkat. Celana bukan hanya semata-mata
26
dimaksudkan untuk menyebut sebuah benda yang dijadikan sebagai alat pembungkus tubuh manusia, tapi penggunaan kata celana ini dimaksudkan untuk mengantar pada sebuah pengertian yang lebih dalam. Selayaknya nonsense dalam puisi, itu memiliki makna sehingga dapat menimbulkan asosiasi-asosiasi tetentu. Puisi ini menceritakan tentang pengalaman pengarang sewaktu ia sekolah, baris pertama sangat erat kaitannya dengan baris kedua, yakni perbandingan kata menggambar dan melukis kami sering disuruh menggambar celana yang bagus dan sopan, tapi tak pernah diajarkan melukis seluk beluk yang di dalam celana Jika dilihat dari perbedaan secara umum, perbedaan kedua kata ini terletak pada medianya, menggambar media yang dipakai cenderung kering semisal krayon atau pensil warna, sedangkan melukis media yang dipakai lebih cair dan menggunakan kuas, misalnya cat lukis. Namun jika dilihat dari kelengkapan dua larik tersebut rasanya tidak cukup jika membatasi perbedaan menggambar dan melukis hanya ditinjau secara umum. Sehingga kami pun tumbuh menjadi anak manis yang penakut dan pengecut, bahkan terhadap nasibnya sendiri ini merupakan penggambaran efek yang ditimbulkan serta ungkapan kekecewaan penyair akan sistem pendidikan di negaranya, yang tergambar pada kata sekolah. Penggunaan kata celana pada puisi ini, termasuk kedalam metafora atau penggantian arti (displacing of meaning) yang bergeser dari makna satu ke makna lain, ini menyimbolkan teori, teori yang diajarkan di sekolah. Teori adalah bagian dari ilmu yang disampaikan para pengajar terhadap pelajar, asas-asas dan hukumhukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Seperti yang telah termasuk ke dalam sistem pengajaran, guru tidak hanya menyampaikan kurikulum secara mentah, tetapi guru juga diharapkan
27
menyampaikan informasi tersebut melalui pendekatan psikologi terhadap murid di kelas. Hal ini termasuk memberikan kebebasan para murid menunjukkan kemampuannya untuk mengkreasikan ilmu yang telah diajarkan guru, ini dapat menunjukkan seberapa besar murid memahami ilmu itu, tepat atau tidak cara pengaplikasian mereka serta dapat memancing rasa percaya diri mereka untuk menampilkan kemampuannya di masyarakat, dan jika terjadi kekeliruan pemahaman atau pengaplikasian, dapat segera dibenahi. Ini berbanding terbalik dari efek yang dihasilkan ketika seorang pengajar hanya menyampaikan ilmu secara mentah, seperti yang tertera pada larik akhir bait ini, sehingga kami pun tumbuh menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut bahkan terhadap nasibnya sendiri. Tautologi terdapat pada larik seluk-beluk yang ada di dalam celana, tautologi merupakan bentuk pengulangan kata yang termasuk dalam majas penegasan, mengandung arti materi-materi yang ada di dalam teori, dari mana latar belakang terciptanya teori tersebut sampai cara pengaplikasian teori tersebut. Pleonasme merupakan salah satu majas penegasan, yang kriterianya peneliti temukan pada kalimat sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang yang suka cabul terhadap diri sendiri, plenonasme merupakan kata yang berlebihan digunakan untuk menegaskan suatu kalimat, yang diperuntukan untuk menjelaskan kalimat sebelumnya yakni: Karena itu kami suka usil dan sembunyi sembunyi membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi. Bait kedua Masih terkait dengan efek cara belajar mengajar pada larik karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi, membuat coretan dan gambar
28
porno di tembok kamar mandi ini merupakan kelanjutan dari hasil proses belajar mengajar yang mereka peroleh di sekolah. Perkembangan manusia selain dipengaruhi oleh kepribadian, kemampuan dan keistimewaanya juga dipengaruhi oleh budaya, pola pengasuhan serta pengalaman sosial yang dilalui seorang anak. Pengalaman sosial dan pola pengasuhan ini yang biasanya menjadi tumpuan seorang anak menyikapi lingkungan, apakah dia bisa menjadi seseorang yang percaya diri atau sebaliknya. Vigotsky
memandang
perkembangan
kognisi
sebagai
kelanjutan
perkembangan sosial melalui interaksi dengan orang lain dan lingkungan. Pembelajaran dengan bantuan berlangsung pada zona perkembangan proksimal anak-anak, yang pada zona itu mereka dapat melakukan tugas-tugas baru yang berada dalam kemempuan mereka hanya dengan bantuan guru atau teman sebaya. Dari sana murid dapat menghayati pembelajaran, mengembangkan kemandirian serta memecahkan masalah melalui percakapan pribadi dari hati (Wahidin, 2005:9). Sehingga tidak terjadi hal seperti larik akhir bait ke dua ini Sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang yang suka cabul terhadap diri sendiri. Karena guru tidak menyediakan konteks interaksi, yang guru langsung dapat memberikan tanggapan. Hal ini sangat mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, melalui interaksi dengan pengasuh. Setelah loyo dan jompo kami mulai bisa berfantasi tentang hal-ihwal yang ada di dalam celana. Larik awal pada bait ketiga ini menunjukkan adanya tafsir ganda. Hal-ihwal yang ada di dalam celana bisa jadi perihal pemahaman sex yang selalu ditutup-tutupi atau kembali pada tafsir bait pertama dan kedua.
29
Bertapa berpengaruhnya penanaman kepercayaan diri waktu kecil, memang setiap manusia mengalami masa pendewasaan, tetapi berbeda-beda. Ada yang mengalaminya pada usia produktif, sehingga mereka bisa mamanfaatkan masa muda mereka dengan baik. Namun ada juga yang mengalaminya pada usia matang, sehingga mereka tidak sempat menggembangkan dirinya dimasa muda. Setelah menua barulah ia sadar jika ada banyak hal yang terdapat didalam celana, Ada raja kecil yang galak dan suka memberontak, Ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi rahasia alam semesta, ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma, ada juga gua garba yang diziarahi para pendosa dan pendoa. Larik ini mencoba menceritakan bagaimana bumi ini terisi berbagai rupa mahluk, dengan berbagai tingkah polahnya juga, yang tak putus membuat kita harus selalu siaga. Gua garba dalam artian sebenarnya, merupakan salah satu peninggalan purbakala, yang terletak di gianyar bali, yang diyakini ini merupakan peninggalan Raja Jayapagus pada tahun 1178 sampai 1181 masehi. Namun dalam puisi sebuah kata tetap memiliki kemungkinan untuk memiliki makna ganda. Jika dikaitkan dengan larik sebelumnya Setelah loyo dan jompo kami mulai bisa berfantasi tentang hal-ihwal yang ada di dalam celana, hal ini bisa jadi penggambaran kelamin perempuan. Pada bait ini juga peneliti menemukan majas yang ada di kategori majas penegasan, yakni perulangan yang biasa terdapat pada puisi. Melalui cara penceritaan pada kalimat Ada raja kecil yang galak dan suka memberontak; Ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi rahasia alam semesta; Ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma; Ada juga gua garba yang diziarahi para pendoa dan pendoa.
30
Konon setelah berlayar mengarungi bumi, Columbus pun Akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana dan Stephen hawking khusyuk bertapa di sana. Kalimat terakhir pada bait ini merupakan ungkapan polos, menujukkan bahwa pada usia ini mereka baru menyadari betapa ilmu itu sangat tinggi nilainya dan bermanfaat, sangat diimpikan oleh semua orang. Di sini dituliskan bahkan, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus akhirnya menemukan benua di dalam celana. Cristoforus Columbus lahir 30 Oktober 1451 – meninggal 20 Mei 1506 pada umur 54 tahun, adalah seorang penjelajah dan pedagang asal Genoa, Italia, yang menyeberangi Samudera Atlantik dan sampai ke Benua Amerika pada tanggal 12 Oktober 1492 (Wikipedia, 2015) Stephen Hawking kusyuk bertapa di sana, Stephen Hawking lahir di Oxford, Britania Raya, 8 Januari 1942, umur 73 tahun, adalah seorang ahli fisika teoretis. Ia adalah seorang Profesor Lucasian dalam bidang matematika di Universitas Cambridge dan anggota dari Gonville and Caius College, Cambridge. Ia dikenal akan sumbangannya di bidang fisika kuantum, terutama karena teori-teorinya mengenai teori kosmologi, gravitasi kuantum, lubang hitam, dan radiasi Hawking.( Wikipedia bahasa Indonesia, 2015:08) Aristoteles pada tahun 340 SM, dalam bukunya Mengenai Langit, mampu mengemukakan dengan baik dua argumen yang meyakinkan orang bahwa Bumi berbentuk sebuah bola bulat, bukannya piring datar. Pertama, ia menyadari bahwa gerhana Bulan disebabkan oleh Bumi yang berada antara bulan dan matahari. Kedua, dari perjalanan yang dilakukan orang Yunani, mereka tahu bahwa Bintang Utara tampak lebih rendah di langit bila pengamat berada lebih selatan (karena
31
terletak di atas kutub Utara, Bintang Utara itu berada tepat di atas ubun-ubun seorang pengamat di Kutub Utara, dan di atas horiszon bila ia berada di Katulistiwa). Bahkan orang Yunani memiliki argumen ketiga, bahwa Bumi pastilah bulat. Kalau tidak, mengapa orang melihat terlebih dahulu layar kapal menyembul di cakrawala, baru kemudian lambungnya?(Hawking, 1994: 2). Pada kalimat terakhir ia dituliskan khusyuk betapa di sana. Dalam bait ini penyair mencoba mempertegas bahwa isi dalam celana (eksplorasi terhadap suatu ilmu) adalah suatu hal yang sebenarnya diimpikan orang banyak, bahkan oleh orang yang telah dianggap menguasai berbagai ilmu sekalipun seperti hal nya bumi . 2. Hipogram Puisi yang berjudul Sajak Pertemuan Mahasisiwa (1977) Karya W.S Redra, dapat mewakili sebagai hipogram dari puisi Joko Pinurbo yang berjudul Celana 2. Sebelum masuk ke uraian, berikut akan dipaparkan puisi W.S. Rendra yang berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa. Sajak pertemuan mahasisiwa Matahari terbit pagi ini mencium bau kencing orok di kaki langit, melihat kali coklat menjalar ke lautan, dan mendengar dengung lebah di dalam hutan. Lalu kini ia dua penggalah tingginya. Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini memeriksa keadaan. Kita bertanya : Kenapa maksud baik tidak selalu berguna. Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga. Orang berkata “ Kami ada maksud baik “ Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?” Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina Ada yang bersenjata, ada yang terluka. Ada yang duduk, ada yang diduduki.
32
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras. Dan kita di sini bertanya : “Maksud baik saudara untuk siapa ? Saudara berdiri di pihak yang mana ?” Kenapa maksud baik dilakukan tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya. Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota. Perkebunan yang luas hanya menguntungkan segolongan kecil saja. Alat-alat kemajuan yang diimpor tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya. Tentu kita bertanya : “Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?” Sekarang matahari, semakin tinggi. Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala. Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya : Kita ini dididik untuk memihak yang mana ? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan, ataukah alat penindasan ? Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Malam akan tiba. Cicak-cicak berbunyi di tembok. Dan rembulan akan berlayar. Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda. Akan hidup di dalam bermimpi. Akan tumbuh di kebon belakang. Dan esok hari matahari akan terbit kembali. Sementara hari baru menjelma. Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan. Atau masuk ke sungai menjadi ombak di samudra. Di bawah matahari ini kita bertanya : Ada yang menangis, ada yang mendera. Ada yang habis, ada yang mengikis. Dan maksud baik kita berdiri di pihak yang mana ! Jakarta 1 Desember 1977 (Rendra,1977) Hal ini diperkuat dengan kesamaaan tema yang berada dalam kedua puisi tersebut, yaitu tentang ungkapan kekecewaan terhadap sistem pendidikan di negara ini. Kekecewaan tersebut terlihat dalam penggalan puisi berikut.
33
Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana Yang bagus dan sopan tapi tak pernah diajar melukis Seluk-beluk yang di dalam celana, sehingga kami pun tumbuh Menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut, Bahkan terhadap nasibnya sendiri. (Pinurbo, 1996) Dalam konsep, puisi karya Joko Pinurbo yang berjudul Celana 2, bagian terlampir di atas hampir sama dengan puisi karya W.S Rendra yang berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa, berikut penggalannnya. Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya : Kita ini dididik untuk memihak yang mana ? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan, ataukah alat penindasan ? (Rendra, 1997) Kedua puisi tersebut mengungkapkan kekecewaan murid. Kepada para pengajar yang hanya sekedar membacakan apa isi di dalam buku teori-teori sekolah yang seharusnya dikembangkan menjadi praktik. Ungkapan kekecewaan yang terdapat dalam puisi tersebut merupakan ketidak berdayaan seorang murid dalam menentukan nasibnya sendiri. Mereka tidak diberikan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Kesamaan kedua tema puisi ini, serta penciptaan puisi karya Rendra yang berjudul Sajak Pertemuan Mahasisiwa lebih dahulu dari pada puisi karya Joko Pinurbo yang berjudul Celana 2, dapat menjadi faktor pembuktian bahwa puisi Sajak Pertemuan Mahasisiwa merupakan hipogram dari puisi Celana 2. 3. Matriks Matriks dalam puisi “Celana 2” adalah termasuk gaya bahasa metafora, karena celana ini menyimbolkan suatu hal yang memiliki sifat hampir mirip dengan sesuatu yang ingin pengarang sampaikan, ungkapan kekecewaan mantan
34
murid terhadap sistem pendidikan. Matriks tersebut dikembangkan dengan mengkritik cara pengajarannya, memberitahukan sistem pengajarannya dengan cara menceritakan apa yang diajarkan di sekolah. Pengajar pun hanya meminta mereka melakukan sesuai perintah, hanya menghafalkan apa yang disampaikan bukan mengembangkannya. Varian pada bait pertama adalah pengarang menceritakan bagaimana mereka hanya diminta menggambar celana yang bagus dan sopan, tapi tidak pernah diajar melukis seluk-beluk yang ada di dalam celana. Pada larik tadi pengarang menyisipkan gaya bahasa tautologi, tautologi merupakan gaya bahasa yang berarti pengulangan
kata dengan menggunakan sinonimnya. Pengarang
berusaha mengkritik kurikulum yang digunakan oleh lembaga pendidikan formal di negara kita ini. Pada kata benda celana, ini menyimbolkan teori, teori yang diajarkan di sekolah. Teori adalah bagian dari hal (ilmu) yang disampaikan para pengajar terhadap pelajar, asas-asas dan hukum-hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Varian kedua kemudian pengarang menceritakan bagaimana mereka (para murid) yang di sekolah terlihat patuh, ternyata secara sembunyi-sembunyi mereka adalah sosok yang berbeda, mereka di sisi lain adalah orang yang jahil. Pada baris pertama di bait kedua, peneliti menemukan gaya bahasa sigmatisme yang merupakan pengualangan bunyi “S” untuk efek tertentu, kata itu mengungkapkan bagaimana secara tertutup mereka baru berani menunjukkan hasrat mereka yang sesungguhnya. Pada baris ketiga dan keempat kemudian disusul oleh penambahan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas, yakni sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang yang suka cabul terhadap diri sendiri.
35
Varian pada bait ketiga adalah pengarang menulis, jika
tidak hanya
diziarahi para pendoa tetapi juga para pendosa, ini merupakan pengungkapan bahwa hal yang di anggap benar, tidak pasti selamanya akan menjadi benar. Varian pada bait keempat terdapat deretan larik-larik yang merupakan paralelisme atau pengungkapan dengan menggunakan kata, frasa, atau klausa yang sejajaran. Varian pada bait terakhir alias bait kelima ini, merupakan kata-kata yang kedengarannya polos, namun mengandung banyak makna. Pengarang mencoba mengungkapkan bahwa orang profesional seperti Columbus dan Stephen Hawking pun membutuhkan ruang agar mereka dapat bebas menjadi diri sendiri. Analisis yang dilakukan terhadap puisi “Celana 2” karya Joko Pinurbo di atas, puisi tersebut mengingatkan kita bagaimana ketidakjelasan sistem pendidikan di negara kita ini. Terlihat bagi mereka, bahwa pendidikan di sekolah hanyalah formalitas saja, tanpa bisa membantu masa depan kita di dunia kerja nanti. Puisi ini memberi pengetahuan, bagaimana seharusnya sistem pengajaran di sekolah agar bisa lebih menunjang kebutuhan para muridnya dimasa depan nanti. Bagimana para pengajar harus memberi peluang agar para murid bisa berkembang sesuai kemampuanya, bagaimana harus adanya pengertian karena setiap murid memiliki bakat dan minat yang berbeda-beda. 4. Simbolisme benda Dari berbagai macam jenis pembacaan yang telah peneliti lakukan di atas, simbolisme benda yang mendominasi pada puisi ini ditemukan ada dua kata, yang pertama adalah Celana, menurut pengertian umum celana merupakan alat pembungkus yang digunakan oleh manusia dengan berbagai macam jenisnya.
36
Seperti yang telah peneliti bahas, celana dilihat dari larik lajutannya dimaksudkan untuk menyebut teori yang diajarkan di sekolah. Isi dalam celana dimaksudkan untuk menyebutkan bagaimana materi yang juga seharusnya diajarkan, yang sesungguhnya dibutuhkan pendekatan psikologis, agar para murid tidak menerima ilmu secara mentah. Tetapi dalam puisi ini dikisahkan isi dalam celana sering diabaikan, sehingga hasilnya para murid belum paham betul apa kegunaan ilmu yang telah mereka dapat di sekolah. Selain sering salah dalam mengartikannya, mereka pun tidak bisa mengembangkan kemandirian mereka.
37
B. Puisi Bayi di Dalam Kulkas karya Joko Pinurbo Bayi di Dalam Kulkas Bayi dalam kulkas lebih bisa mendengarkan pasang surutnya angin, bisu kelunya malam dan kuncup-kuncup bunga di dalam taman Dan setiap orang yang mendengar tangisnya mengatakan; “Akulah ibumu. Aku ingin menggigil dan membeku bersamamu.” “Bayi, nyenyakkah tidurmu?” “Nyenyak sekali, ibu. Aku terbang kelangit ke bintang-bintang cakrawala kedetik penciptaan bersama angin dan awan hujan dan kenangan.” “Aku ikut. Jemputlah aku, Bayi. Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.” Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah di matanya, ketika ibu menjamah tubuhnya yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan. “Biarkan aku tumbuh besar disini, ibu. Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu.” Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri Di hadapan mulut yang mengucapkannya. (1995) 1. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik a. Pembacaan Heuristik pada puisi Bayi di Dalam Kulkas sebagai berikut. Judul Bayi di dalam kulkas Bait ke-1 Bayi dalam kulkas (itu) lebih bisa mendengarkan, pasang surutnya angin, bisu kelunya malam (hari) dan kuncup-kuncup bunga di dalam taman.
38
Bait ke-2 Dan setiap orang yang mendengar tangisnya mengatakan; “Akulah ibumu. (dan) Aku ingin menggigil dan membeku bersamamu.” Bait ke-3 “Bayi, nyenyakkah tidurmu?” “Nyenyak sekali, ibu. Aku terbang kelangit ke bintang-bintang cakrawala kedetik penciptaan bersama angin dan awan hujan dan kenangan”. “Aku ikut. Jemputlah aku, Bayi. Aku ingin melayang besamamu.” Bait ke-4 Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah di matanya, ketika ibu menjamah tubuhnya yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan. Bait ke-5 “Biarkan aku tumbuh besar di sini, ibu. Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu.” Bait ke-6 Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri di hadapan mulut yang mengucapkannya. b. Pembacaan Hermeneutik pada puisi Bayi Kecil di Dalam Kulkas sebagai berikut. Dalam pembacaan tingkat kedua ini, menitik beratkan pada ketidak langsungan ekspresi puisi yang disebabkan oleh tiga hal; penggantian arti, penyimpangan arti serta penciptaan arti. Pada judul peneliti manemukan adanya
39
kriteria penggantian arti, yang lebih tepatnya metafora, Bayi di dalam kulkas pengarang telah menegaskan, bahwa pada puisi ini ia akan menceritakan tentang kisah seorang bayi yang berada di dalam kulkas, namun bayi di sini memiliki tafsir ganda atau lebih tepatnya sesuatu yang disimbolkan dengan bayi. Pada bait pertama peneliti melihat bahwa pengambilan sosok bayi oleh pengarang, karena ia ingin menampilkan sosok yang tidak berdaya atau masih butuh dilindungi. Selain disebabkan oleh rasa khawatir, ia juga masih begitu sensitif, kulitnya yang lembut membuat benda-benda yang bagi orang dewasa sama sekali tidak berbahaya dapat melukainnya. Lebih peka dari orang dewasa, seperti yang digambarkan penyair, Bayi dalam kulkas lebih bisa mendengarkan pasang surutnya angin, bisu kelunya malam dan kuncup-kuncup bunga di dalam taman. Bayi yang masih merasa asing menghadapi dunia ini amat membutuhkan sosok pelindung. Dan setiap orang yang mendengar tangisnya mengatakan; “Akulah ibumu. Aku ingin menggigil dan membeku bersamamu.” Larik ini menggandung dua metafora yang pertama adalah Ibu menggambarkan bahwa sosok ibu adalah bukan ibu yang melahirkan bayi itu, ia adalah sosok yang merespon tangisan sang bayi. Kedua adalah Menggigil, metafora sendiri diartikan sebagai pemakaian kata yang bukan arti sebenarnya, namun masih masuk dalam ranah persamaan. Susunan larik tersebut dapat disimpulkan sebagai rasa empati yang muncul ketika seseorang mendengar tangisan sosok bayi. Berlanjut pada interaksi Bayi, nyenyakkah tidurmu?, Nyenyak sekali, ibu. Aku terbang kelangit ke bintang-bintang cakrawala kedetik penciptaan bersama angin dan awan hujan dan kenangan.” “Aku ikut. Jemputlah aku, Bayi. Aku ingin
40
terbang dan melayang bersamamu.” Pada Bait ini muncul banyak kata kiasan, yang masuk dalam penyimpangan arti. Jawaban dari sosok bayi merupakan sebuah paradoks, karena amat bertentangan dari keadaan sebelumnya, ini sama halnya ketika seseorang jatuh dari motor dan terluka tetapi saat ditanya “anda sakit?” dia menjawab, “tidak apa?”, dari jawaban ini berbau sinis, karena sang korban sedikit banyak mengetahui bahwa pertayaan yang diajukan itu hanya ditujukan untuk berbasa-basi. Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah di matanya, ketika ibu menjamah tubuhnya yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja
perjamuan. Bayi
sebenarnya telah mengetahui bahwa akan ada harga yang harus ia bayar untuk semua fasilitas itu. Seperti pada penggalan, ketika ibu menjamah tubuhnya yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan. Ini menceritakan seolah-olah sosok Ibu itu adalah pejabat, yang ingin menjamah sosok bayi atau rakyat. Sepeti biasa rakyat sering dijadikan alat untuk memperoleh tujuan mereka. Hal ini ingin ditunjukkan penyair dalam diksi dipersembahkan di meja perjamuan. Bayi menolak untuk keluar dari kulkas yang dingin. Biarkan aku tumbuh dan besar di sini, ibu. Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu. Bayi merasa dunia di luar kulkas terlalu beresiko untuknya, ia lebih memilih diam dan tumbuh dikebekuan. Sebab jika mereka maju, didunia politik yang ramai, mereka hanya akan menjadi objek orang-orang yang tidak jujur.
41
Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri di hadapan mulut yang mengucapkannya, dalam kegelisahan ini doa rakyat hanya akan menjadi sebuah rahasia. 2. Hipogram Puisi yang berjudul “Derai- Derai Cemara (1994)” karya Chairil Anwar, dapat mewakili sebagian hipogram dan puisi Joko Pinurbo yang berjudul “Bayi Di Dalam Kulkas”. Sebelum Masuk ke uraian, berikut akan dipaparkan puisi Chairil Anwar yang berjudul Derai-Derai Cemara.
Derai-derai Cemara Cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam Aku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini Hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah (Chairil Anwar, 1949) Hal ini diperkuat dengan kesamaan tema yang berada dalam kedua puisi tersebut, yaitu tentang ketidakberdayaan rakyat kecil, tentang keputusasaan mereka untuk didengar. Ketidakberdayaan itu terlihat dalam penggalan puisi berikut. “Biarkan aku tumbuh besar disini, ibu. Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu.” Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri
42
Di hadapan mulut yang mengucapkannya. (Pinurbo, 1995) Dalam hal emosi yang ditonjolkan, puisi terlampir di atas karya Joko Pinurbo yang berjudul Bayi dalam Kulkas, memiliki kesamaan dalam puisi karya Chairil Anwar yang berjudul Derai- Derai Cemara, berikut penggalannnya. Hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah (Anwar, 1949) Puisi-puisi tersebut mengungkapkan tentang para warga negara yang berkecil hati akan kelangsungan nasibnya, yang tidak dapat mereka peroleh di negaranya sendiri. Mereka sudah beranggapan bahwa percuma berharap kepada sosok pejabat, akan keluh kesahnya didengar dan diperjuangkan haknya. Semua hal yang pejabat janjikan bukanlah hal yang sebenarnya, bukanlah perlindungan serta kesejahteraan yang sebenarnya akan diberikan, tapi justru para masyarakat malah akan diekploitasi untuk kepentingan pribadi. Joko Pinurbo mengungkapkan keadaan tersebut lebih mengunakan katakata konotatif. Hal ini dapat dilihat dari kata Bayi dalam kulkas lebih bisa mendengarkan pasang surutnya angin, bisu kelunya malam dan kuncup-kuncup bunga di dalam taman. Chairil Anwar menggambarkan dengan kata-kata yang lebih sederhana. Kata yang dimaksudkan yakni Aku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini. Kata-kata tersebut merupakan ungkapan kekecewaan warganegara akan janji-janji para pejabat yang tidak kunjung ditepati. Mereka bahkan menarik diri dari dunia yang kental oleh dominasi para
43
pejabat itu. Mereka lebih memilih untuk tetap tinggal di tempatnya yang sekarang, dari pada harus mengambil resiko dijadikan tumbal untuk kepentingan para pejabat itu. Pembahasan kedua puisi di atas dapat disimpulkan bahwa puisi Deraidari Cemara karya Chairil Anwar merupakan hipogram dari puisi yang berjudul Bayi di Dalam Kulkas karya Joko Pinurbo. 3. Matriks Matriks dalam puisi “Bayi di Dalam Kulkas” adalah mengungkapkan tentang para warganegara yang berkecil hati akan nasibnya yang tidak dapat mereka perjuangkan di negaranya sendiri. Mereka sudah beranggapan bahwa percuma berharap kepada sosok pejabat, akan keluh kesahnya didengar dan diperjuanghkan haknya. Bahkan mereka harus lebih berhati-hati lagi, salah langkah mereka bisa saja malah menjadi tumbal untuk kepentingan para pejabat itu. Varian pada bait pertama adalah pengarang menjelaskan sosok yang masih lemah (bayi), mereka memiliki kelebihan yakni kepekaan yang lebih tinggi dibanding manusia lainnya. Pada bait ini peneliti melihat bahwa pengarang menggunakan majas personifikasi, yakni pada larik bisu-kelunya malam. Varian pada bait kedua adalah kehadiran sosok yang mengaku sebagai seorang ibu, dan sosok yang mengaku sebagai seorang ibu itu mengatakan, jika ia ingin mengigil dan membeku bersama sosok bayi. Varian pada bait ketiga adalah saat sosok yang mengaku sebagai seorang ibu itu mulai menanyakan hal yang menunjukkan kepeduliannya, ia berkata bahwa ia ingin mendampingi sosok bayi.
44
Varian pada bait keempat adalah penggambaran saat bayi tersenyum, saat sosok yang mengaku sebagai seorang ibu itu menjamah tubuhnya, bayi sudah merasa bahwa tubuhnya seperti gumpalan jantung untuk dipersembahkan di meja perjamuan. Varian pada bait kelima bayi menolak untuk diajak tumbuh bersama sosok yang mengaku sebagai seorang ibu, ia memilih besar tetap ditempat asalnya. Ia tidak yakin hidupnya akan lebih baik jika berada di tempat yang ditawarkan (ibu) Varian pada bait keenam adalah penjelasan mengenai apa hakekat sebenarnya bayi bersikap seperti itu. 4. Simbolisme Benda Dari hasil pembacaan yang telah peneliti lakukan, peneliti menemukan dua simbol benda yang sangat berpengaruh pada puisi ini. Pertama adalah bayi, bayi di sini untuk menggambarkan ketidakberdayaan, namun mereka adalah makhluk yang sangat peka (rakyat). Kedua adalah kulkas, yang menggambarkan sebuah kebekuan.
45
C. Puisi Tukang Cukur karya Joko Pinurbo Tukang Cukur Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur Dikepalaku. Ia membabat rasa damai Yang merimbun sepanjang waktu. “Dibekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel, dan restoran. Tentunya juga sekolah, rumah bordil, dan tempat ibadah. Ia menyayat-nyayat kepalaku. Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku. “Aku akan mencukur lentik bulu matamu. Dan kalau perlu akan ku pangkas daun telingamu.” Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku. (1989) 1. Pembacaan Heuristik Dan Hermeneutik a.
Pembacaan Heuristik Pada Puisi Tukang Cukur Karya Joko Pinurbo
Judul Tukang Cukur Bait ke-1 Ia membabat (habis) padang rumput yang tumbuh subur di kepalaku. Ia membabat rasa damai yang merimbun sepanjang waktu. Bait ke-2 “Dibekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel dan restoran. Tentunya juga sekolah, rumah bordil, dan tempat ibadah. Bait ke-3
46
Ia menyayat-nyayat kepalaku. Ia mengkapling-kapling tanah pusaka (dari) nenek moyangku. Bait ke-4 “Aku akan mencukur lentik bulu matamu. Dan kalau perlu akan (a)ku pangkas daun telingamu.” Bait ke-5 Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku. b.
Pembacaan Hermeneutik pada puisi Tukang Cukur Karya Joko Pinurbo Dalam pembacaan tingkat kedua ini, menitik beratkan pada ketidak
langsungan ekspresi puisi yang disebabkan oleh tiga hal; penggantian arti, penyimpangan arti serta penciptaan arti. Pada judul peneliti manemukan adanya kriteria metafora Tukang Cukur, merupakan sebuah simbol yang dimaksudkan pengarang sebagai suatu profesi. Larik Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur di kepalaku, adalah ciri dari metafora yang merupakan bentuk kata yang bukan sebenarnya, sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan perbandingan, yang digunakan untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya, yakni, Ia menghilangkan kebebasan yang ada dalam pikiranku, Disusul bait setelahnya, yang masih menggunakan cara yang sama untuk menyampaikan maksud dari pengarang. Ia membabat rasa damai yang merimbun sepanjang waktu Dari bait pertama telah terlihat bahwa tukang cukur ini bukan tukang cukur dalam arti sebenarnya. Jika biasanya seorang tukang cukur mengikuti permintaan pelanggannya, pada larik pertama terlihat bahwa tukang cukur ini memiliki kuasa lebih tinggi dari orang yang
47
dicukur. Tukang cukur menggambarkan seorang pemimpin yang arogan, bisa pemimpin pemerintahan ataupun perusahaan. Dibekas hutan itu akan kubangun bandar, hotel, dan restoran, tentunya juga sekolah, rumah bordil dan tempat ibadah,
Masih sama menggunakan
metafora. Ini menggambarkan tentang perubahan bumi yang tidak dapat diterima dan rakyat, sebab mereka tau ini akan berakibat buruk bagi ekosistem alam. Ia menyayat-nyayat kepalaku. Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenek moyangku,
masih
menggunakan
metafora
yang
dimaksudkan
untuk
menyampaikan, diceritakan bahwa ia mengekploitasi serta mengubah struktur warisan kebudayaan peninggalan nenek moyang kami. Bait ketiga ini bisa dikaitkan dengan pengertian yang luas, bisa jadi ini bertujuan untuk menguras sumber daya alam untuk kepentingan pribadi, seperti minyak kayu, batu bara atau kekayaan perut bumi yang lainya atau hanya sekedar memanfaatkan lingkungan seperti hutan untuk diubah menjadi lahan usaha, tanpa memikirkan ekosistem atau cagar budaya yang akan rusak. Adapun ekosistem yang ada di alam (hutan ataupun laut) sangat berpengaruh besar untuk kelangsungan bumi, begitu pula cagar budaya, yang tidak sekedar hanya diwariskan nenek moyang tanpa tujuan, tapi cagar budaya merupakan wujud dari identitas suatu kebudayaan yang sangat penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan serta pendidikan. Cagar budaya adalah warisan budaya berupa daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan peri kehidupannya dilindungi oleh undang undang dari bahaya kepunahan. Menurut Undang- undang no.11 tahun 2010. Dalam ayat tiga disebutkan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalam negara, dikuasai oleh warganegara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan
48
dimanipulasi agar menjadi milik perorangan. Undang- undang no.33 tahun 1945 secara menyeluruh, hendaknya menjadi renungan kita bersama dan bagaimana merealisasikan amanat dari undang- undang tersebut. “Aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu), aku akan mehilangkan apa yang kau bangga-banggakan. (Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.” pada larik ini menunjukkan mulai adanya perlawana fisik. Ini merupakan upaya pembalasan, bukan sekedar pemberontakan. Jika pada bait sebelumnya penyair menggambarkan rakyat akan merebut kembali haknya, maka pada bait ke empat ini penyair menambahkan lagi. Bukan hanya ia ingin mengambil kembali apa yang harusnya menjadi haknya, tapi ia juga akan merampas apa yang dimiliki si tukang cukur. Suara guntingnya selalu mengusik tidurku. Selama tukang cukur masih bebas melakukan tindakkannya, ia tetap saja akan diresahkan oleh perebuahanperubahan bumi yang masih terus terjadi. 2. Hipogram Puisi yang berjudul Asia Membaca (1985) karya Afrizal Malna, dapat mewakili sebagai hipogram dan puisi Joko Pinurbo yang berjudul “Tukang Cukur”. Sebelum Masuk ke uraian, berikut akan dipaparkan puisi karya Afrizal Malna, yang berjudul Asia Membaca.
Asia Membaca Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya. Tapi kami masih Hadapi langit yang sama, tanah yang sama. Asia. Setelah dewasa dewa pergi, jadi batu dalam pesawat-pesawat TV; setelah waktu waktu yang menghancurkan, dan cerita lama memanggili lagi dari negri lain, setiap kata jadi berbau bensindi situ. Dan katmi terurai lagi lewat baju-baju lain. Asia. Kapal-kapal membuka
49
pasar, mengganti naga dan lembu dengan minyak bumi. Membawa kami ke depan telepon berdering. Di situ kami meranggas, dalam taruhan berbagai kekuatan. Mengantar pembisuan jadi jalan-jalan di malam hari. Asia. Lalu kami masuki dekor-dekor baru, bendera-bendera baru, cinta yang lain lagi, mendapatkan hari yang melibihi waktu: Membaca yang tak boleh dibaca, menulis yang tak boleh ditulis. Tanah berkaca-kaca di situ, mencium bau manusia, menyimpan Kami dari segala jaman. Asia. Kami pahami lagi debur laut, tempat Para leluhur mengirim burung burung, mencipta kata. Asia hanya ditemui, seperti malam-malam mencari segumpal tanah yang hilang: Tempat bahasa dilahirkan. Asia. Malna, 1985 Hal ini diperkuat dengan kesamaan tema yeng berada dalam kedua puisi tersebut, yaitu tentang upanya rakyat kecil untuk memperoleh haknya. Upaya itu terlihat dalam penggalan puisi berikut. “Dibekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel, dan restoran. Tentunya juga sekolah, rumah bordil, dan tempat ibadah. “Aku akan mencekur lentik bulu matamu. Dan kalau perlu akan ku pangkas daun telingamu.” (Pinurbo,1989)
Dalam tema puisi di atas karya Joko Pinurbo yang berjudul Tukang Cukur, memiliki kesamaan dalam puisi karya Afrizal Malna yang berjudul Asia Membaca, berikut penggalannnya. Di situ kami meranggas, dalam dalam taruhan berbagai kekuatan. Mengantar pembisuan jadi jalan-jalan di malam hari. Asia. Lalu kami masuki dekor-dekor baru, bendera-bendera baru, cinta yang lain lagi, mendapatkan hari yang melibihi waktu: Membaca yang tak boleh dibaca, menulis yang tak boleh ditulis. (Malna, 1985)
50
Puisi Joko Pinurbo di atas, mengenai perlawanan yang bisa saja dilakukan para rakyat kecil, keduanya menceritakan tentang bagaimana mereka berusaha disingkirkan oleh orang-orang yang lebih berkuasa, pada puisi (tukang cukur) penyair menggambarkannya melalui perlambangan rambut yang tidak diinginkan lalu mencoba untuk dipangkas (disingkirkan) oleh tukang cukur atau dalam artian sosok penguasa. Realitanya, orang-orang yang coba memanipulasi agar sumber daya alam dapat mereka eksploitasi untuk kekayaan pribadi. Mereka tetap akan memperbaikinya, sebagaimana pun sosok tukang cukur berusaha memusnahkan ideologi mereka, mereka akan tetap berusaha mendapatkan haknya. Kemarahan yang terdapat dalam kedua puisi tersebut merupakan kemarahan para rakyat kecil kepada pemerintah ataupun para pengusahan yang berusahan mengeksploitasi kekayaan negara. Dalam
Afrizal
Malna
puisinya
yang
berjudul
Asia
Membaca,
menggunakan pengistilahan rakyat kecil lebih kolektif yaitu disebutkan dengan kata kami sebagai pengganti penyebutan rakyat. Tentunya dengan artian berbanding lurus dengan realita yang ini disampaikan pada puisi Joko Pinurbo yang berjudul Tukang Cukur, namun pelawanan yang digambarkan pada puisi karya Afrizal Malna yang berjudul Asia Membaca lebih kepada usaha kolektif dan seperti pada judulnya, perlawanan ini dilakukan bukan hanya mempertahankan negara Indonesia, tapi benua kita. Joko Pinurbo mengungkapkan keadaan tersebut lebih menggunakan katakata konotatif. Hal ini dapat dilihat dari kata Aku akan mencukur lentik bulu matamu. dan kalau perlu akan ku pangkas daun telingamu. Afrizal Malna menggambarkannya dengan kata-kata yang lebih lugas, keduanya menggunakan
51
kata-kata hampir kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, namun pada puisi karya Joko Pinurbo masih terselip sebuah simbol. Larik yang dimaksudkan yakni Di situ kami meranggas, dalam dalam taruhan berbagai kekuatan. Mengantar pembisuan jadi jalan-jalan di malam hari. Asia...Membaca yang tak boleh dibaca, menulis yang tak boleh ditulis. Larik-larik tersebut merupakan wujud pemberontakan yang dilakukan rakyat atas ketidakadilan yang mereka terima. Setiap warga negara memiliki hak yang sama, apalagi pemerintah yang telah diberi amanah untuk meningkatkan kualitas hidup rakyatnya, dengan pengolahan sumber daya yang baik, agar seluruh rakyat dapat memperoleh manfaat dari kekayaan negaranya. Ia menyayat-nyayat kepalaku. Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku. (Pinurbo, 1989) Memiliki kesamaan dengan salah satu pengalan puisi karya Afrizal Malna yang berjudul Asia Membaca, berikut penggalannnya. Menyimpan kami dari segala jaman. Asia. Kami pahami lagi debur laut, tempat para leluhur mengirim burung burung, mencipta kata. Asia hanya ditemui, seperti malam-malam mencari segumpal tanah yang hilang: Tempat bahasa dilahirkan. Asia. (Malna, 1985) Kedua penggalan puisi ini, membahas bagaimana cagar budaya sangat berpengaruh untuk identitas suatu negara bahkan benua, yang tidak sekedar hanya diwariskan nenek moyang tanpa tujuan, tapi cagar budaya merupakan wujud dari identitas suatu kebudayaan yang sangat penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan serta pendidikan.
52
Pembahasa kedua puisi di atas dapat disimpulkan bahwa puisi
Asia
Membaca karya Afrizal Malna merupakan hipogram dari puisi yang berjudul Tukang Cukur karya Joko Pinurbo. 3. Matriks Matriks dalam puisi “Tukang Cukur” adalah kemarahan yang dirasakan oleh rakyat kecil. Matriks tersebut dikembangkan dengan menceritakan bagaimana perlakuan para pengusaha ataupun pemerintah kepada mereka. Kemudian mereka akan berupaya melakukan serangan balik. Varian pada bait pertama adalah pengarang menceritakan kalau apa yang mereka miliki dimusnahkan, ini ia gambarkan seperti tukang cukur yang secara paksa mencukur rambut seseorang, yang sebenarnya tidak ingin dicukur. Bahkan seseorang itu sangat merasa nyaman dengan gaya rambutnya, tapi sang tukang cukur malah merubahnya. Varian pada bait kedua adalah pengarang mengatakan bahwa ia akan menghias sesuka hatinya dikepala yang habis dicukur paksa itu. Sebagaimana pun (tukang cukur) berusaha memusnahkan mereka, mereka akan lebih berusaha lagi untuk bangkit dan berusaha menumbuhkan kekuatan baru. Varian pada bait ketiga adalah pengarang kembali menceritakan kekejaman pemerintah dan pengusaha lainnya, tidak hanya memusnakan ideologi mereka, tapi juga melukai, dengan cara merampas hak- hak mereka. Mengusik apa yang telah mereka punyai sejak lahir (warisan leluhur). Kebudayaan yang dieksploitasi, ini dapat berupa kesenian, seni pertunjukan, seni kerajinan tangan, naskah kuno, adat istiadat dan sebagainya. Varian pada bait keempat adalah pengarang mengeluarkan kata-kata ancaman. Ia menunjukan bahwa rakyat kecil
53
juga sanggup melakukan pembalasan yang bisa membuat pemerintah dan para pengusaha merasakan penderitaan. Varian pada bait kelima adalah pengarang mengisyaratkan bahwa meskipun rakyat kecil telah mengukuhkan kekuatan untuk melawan, tetapi mereka tetap tidak bisa tenang jika para pengusaha dan pemerintah masih tetap memiliki senjata. Analisis yang dilakukan terhadap puisi “Tukang Cukur” karya Joko pinurbo di atas, puisi tersebut menyadarkan kita tentang bahayanya memasrahkan diri kita kepada pemerintah yang tidak kita ketahui apa yang sebenarnya mereka perjuangkan, serta asal menyetujui apa yang dijanjikan para pengusaha yang tidak kita ketahui juga rencana-rencananya. Seluruh yang kita miliki harus dijaga baik-baik, agar tidak dieksploitasi oleh oknum yang berniat buruk. 4. Simbolisme Benda Simbolisme benda yang peneliti temukan pada puisi yang berjudul Tukang Cukur karya Joko Pinurbo adalah gunting yang merupakan perkakas untuk memotong, bisa kain, rambut, kertas dan lainnya. Pada puisi ini gunting digunakan untuk memangkas rambut, yang pada kalimat yang mendampinginya mengisyaratkan jika gunting merupakan senjata yang dimiliki para pengusaha dan pemerintah untuk memangkas dan menguasai kekayaan negara.
54
D. Puisi Bulu Matamu : Padang Ilalang karya Joko Pinurbo Bulu Matamu : Padang Ilalang Di Tengahnya : sebuah sendang Kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir Datang bertapa untuk membuktikan apakah benar Wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang. Ia tak percaya, maka ia menyelam. Tubuhnya tenggelam dan hilang diarus mahadalam. Arwahnya menjelma menjadi pusaran air berwarna hitam. Bulu matamu : padang ilalang. (1989) 1. Pembacaan Heuristik dan Hermeutik a. Pembacaan Heuristik pada puisi Bulu Matamu : Padang Ilalang sebagai berikut. Bait ke- 1 Bulu matamu : (adalah) padang ilalang. Ditengahnya : (ada) sebuah sendang. Bait ke- 2 Kata (di dalam) sebuah dongeng, (da-)hulu ada seorang musafir datang bertapa untuk memebuktikan apakah benar wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sandang. Bait ke-3 Ia tak (tidak) percaya, maka ia menyelam. Tubuhnya tenggelam dan hilang di arus (yang) mahadalam. Arwahnya menjelma menjadi pusara air berwarna hitam.
55
Bait ke- 4 Bulu matamu : (adalah) padang ilalang. b. Pembacaan Hermeneutik pada puisi Bulu Matamu : Padang Ilalang sebagai berikut. Dalam pembacaan tingkat kedua ini, menitik beratkan pada ketidak langsungan ekspresi puisi yang disebabkan oleh tiga hal; penggantian arti, penyimpangan arti serta penciptaan arti. Bulu Matamu : Padang Ilalang, pada judul merupakan bentuk penggantian arti yang termasuk kedalam metafora, yang merupakan pemakaian kata yang bukan arti sebenarnya, sebagai lukisan berdasarkan persamaan. Penyair menjelaskan bahwa arti perlambangan padang ilalang yang ia gunakan pada puisinya akan memiliki arti bulu matamu . Bulu Matamu : padang ilalang. Di Tengahnya : sebuah sendang melalui ini menjelaskan perlambangan yang dipakai penyair pada puisinya menggunakan majas metafora, ini merupakan sebuah petunjuk lanjutan dari penyair. Padang ilalang yang sejak judul sudah ditegaskan sebagai bulu mata, tentu sedang yang berada ditengahnya merupakan mata. Wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang, ini merupakan ciri dari antropomorfisme. Antropomorfisme adalah atribusi karakteristik manusia ke makhluk
bukan
manusia.
Subjek
antropomorfisme
seperti binatang yang
digambarkan sebagai makhluk dengan motivasi manusia. Berbeda dengan kenyataanya, bulan memang bisa kita lihat dari sendang, namun tidak bisa kita sentuh, karena yang kita lihat pada sendang itu hanya bayangannya, bulan sebenarnya berada di langit. Larik sebelumnya menjelaskan,
56
kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir datang betapa untuk membuktikan apakah benar. Melalui perlambangan-perlambangan yang sudah penyair jelaskan di awal, sebenarnya sedikit banyak sudah merupakan gambaran jika yang diibaratkan sebagai bulan ini adalah hati manusia. Dongeng diibaratkan sebagai pandangan manusia itu sendiri, banyak yang menyatakan bahwa mata manusia bisa mecerminkan apa yang sedang manusia itu rasakan, sedih, bahagia atau lainnya, namun kita juga harus tahu bahwa kesedihan atau kebahagiaan itu bermacam-macam penyebabnya. Terlebih, banyak orang yang pandai berpura-pura. Hati manusia adalah hal yang paling rumit di dunia ini, jangankan orang lain, kadang diri sendiri bingung hal apa yang sebenarnya mau dituju. Ia tak percaya, maka ia menyelam, tetapi masih saja ada orang yang mau mencoba, mungkin berdasarkan empati ataupun sebatas ingin tahu saja dan biasanya berujung pada ketidak jelasan Tubuhnya tenggelam dan hilang di arus maha dalam, atau mungkin lebih parah dari itu, arwahnya menjelma menjadi pusara berwarna hitam. 2. Hipogram Pada puisi yang berjudul “ LEIDEN 6/10/78 (Pagi)” karya Subagio Sastrowardoyo dapat mewakili sebagai hipogram dari puisi Joko Pinurbo yang berjudul “ Bulu Matamu : Padang Ilalang”. Sebelum Masuk ke uraian, berikut akan dipaparkan puisi karya Subagio Sastrowardoyo yang berjudul Pagi (1978).
LEIDEN 6/10/78 (PAGI) Sosok gelap yang tertangkup di tembok Adalah bayangan diri Bergulat dengan sunyi
57
Hari-hari yang menghempas kemari Tinggal kelu Tak menjawab teka-teki Gelombang mengharu rindu Apakah terbit dari getah cinta Atau gelora laut napsu Apakah sempurna bernapas seorang diri selalu (Subagio Sastrowardoyo, 1978) Hai ini diperkuat dengan kesamaan tema yang berada dalam kedua puisi tersebut, yaitu tentang membaca jati diri manusia. Upaya membaca diri manusia tersebut terlihat dalam penggalan puisi berikut. Kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir Yang datang bertapa untuk membuktikan apakah benar Wajah bulan dapat disentuh lewat dasar sendang (Pinurbo,1989) Dalam hal yang berkaitan dengan cara memahami isi hati seorang manusia yang ditonjolkan, puisi Bulu Matamu : Padang Ilalang, memiliki kesamaan dengan puisi LEIDEN 6/10/78 (Pagi), berikut penggalannnya.
Gelombang mengharu rindu Apakah terbit dari getah cinta Atau gelora napsu (Sastrowardoyo,1978) Puisi-puisi tersebut mengungkapkan tentang betapa sulitnya membaca perasaan manusia. Memahami perasaan orang lain bahkan memahami perasaan atau kemauan diri sendiri. Banyak yang memunculkan teori-teori cara membaca perasaan, tetapi kesemuanya tidak selalu berhasil dipraktekkan. Upaya tersebut dilakukan dengan berbagai tujuan, ingin membatu atau mungkin untuk berniat jahat. Tetapi segala upaya itu gagal dan penelitian berujung kepada tanda tanya.
58
Subagio Sastrowardoyo mengungkapkan keadaan tersebut lebih kepada pencarian jati diri, apa yang sebenarnya kita inginkan di dunia ini, apakah itu benar-benar suatu yang kita butuhkan atau hanya sekedar nafsu sesaat. Joko Pinurbo menggambarkan kondisi yang berbeda, ia menceritakan tentang seseorang yang ingin mencoba membaca perasaan orang lewat apa yang tercermin dari matanya. Subagio Sastrowardoyo mengungkapkan keadaan tersebut lebih menggunakan kata-kata konotatif. Hal tersebut dapat dilihat dari kata Gelombang mengharu rindu apakah terbit dari getah cinta atau gelora napsu. Joko Pinurbo menggambarkannya lebih dengan kata-kata sederhana yang hampir sering kita jumpai sehari-hari. Kata yang dimaksud iyalah Kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir yang datang bertapa untuk membuktikan apakah benar wajah bulan dapat disentuh lewat dasar sendang. Kata-kata tersebut merupakan ungkapan rasa penasaran seseorang tentang bagaimana kebenaran tentang cara membaca isi hati, bagaimana ia ingin mengetahui isi hati diri sendiri maupun orang lain, ungkapan tersebut terdapat dalam penggalan puisi.
Ia tak percaya, apakah ia menyelam. Tubuhnya tenggelam dan hilang diarus mahadalam. Arwahnya menjelma menjadi pusaran air berwarna hitam. ( Pinurbo,1989) Kedua bait ini menceritakan bagaimana upaya kedua tokoh dalam puisi, mencoba memahami perasaan, namun keduanya mengalami kegagalan. Entah dengan sebab terlalu tergesa seperti pada puisi karya Subagio Sastrowardoyo atau pun ketidak sungguhan (tanpa rasa empati) pada puisi Joko Pinurbo.
Hari-hari yang menghempas kemari Tinggal kelu
59
Tak menjawab teka-teki (Sastrowardoyo,1978) Puisi Joko Pinurbo di atas memberikan gambaran tentang bagaimana kemudian mereka bertemu dengan kegagalan, dari bagaimana sang musafir terbakar oleh rasa penasarannya yang kemudian ia terhempas menuju kegagalan. Sedangkan Subagio Sastrowardoyo lebih mengambarkan bagaimana reaksi diri yang canggung karena diputar-putar oleh teka-teki yang tak kunjung terjawab. Pembahasan kedua puisi di atas dapat disimpulkan bahwa puisi LEIDEN 6/10/78 (PAGI) karya Subagio Sastrowardoyo merupakan hipogram dari puisi yang berjidul Bulu matamu: Padang ilalang karya Joko Pinurbo. 3. Matriks Matriks
dalam
puisi
Bulu
Matamu:
Padang
Ilalang
adalah
mengungkapkan tentang upaya seorang musafir kebenaran sebuah dongeng, musafir pada zaman sekarang diartikan sebagai pelancong atau orang yang berpergian (pelancong). Pada zaman dahulu seorang musafir biasanya perjalanannya didasari oleh tujuan tertentu, bisa dari kebutuhan spiritual, finansial maupun yang lainnya. Dalam puisi ini yang peneliti tangkap adalah tujuan yang pertama, yaitu spiritual ia mencoba mencari sebuah kebenaran akan apakah benar wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang. Melalui berbagai cara ia mencoba membuktikannya, tapi upaya itu gagal, karena niatan sang musafir membaca kedalaman perasaan seseorang lewat mata, tidak didasari oleh kepedulian (rasa kasih) tetapi hanya karana rasa ingin tahu. Varian pada bait pertama adalah pengarang langsung menjelaskan artian simbol yang ia pakai pada puisinya, yaitu padang ilalang yang ia pakai untuk
60
menyebutkan bulu mata, sedangkan benda yang di tengah bulu mata itu disebut sebagai sebuah sendang. Varian pada bait kedua adalah pengarang menyampaikan tentang sebuah persepsi, bahwa gambaran hati atau perasaan manusia tercermin pada matanya. Pada bait ini pengarang menggunakan gaya bahasa antropomorfisme, yaitu metafora yang mengunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia. Varian pada bait ketiga adalah pengarang menceritakan tentang rasa ingin tahu yang membuat sang musafir tenggelam ke kedalaman mata. Mengartikan bahwa ketika seseorang mencoba membaca perasaan orang lain secara sepihak saja, biasanya akan beujung pada kegagalan. Varian pada bait keempat pengarang menyebutkan kembali salah satu kalimat yang ada pada bait pertama yaitu bulu matamu: padang ilalang yang merupakan judul dari puisi ini. Hal ini dimungkinkan pengarang lakukan untuk menengaskan kembali maksud dari perlambangan yang pengarang gunakan atau pun menceritakan bahwa padang ilalang itu telah berubah manjadi bulu mata milik sang musafir, yang mengisyaratkan bahwa sang musafir juga butuh dimengerti perasaanya. 4. Simbolisme Benda Simbolisme benda yang peneliti temukan pada puisi yang berjudul Bulu Matamu: Padang Ilalang karya Joko Pinurbo pada puisi ini pengarang telah menyebutkan pengistilahan pada judul yakni padang ilalang, pada judul juga telah disertakan artian dari simbol tersebut yaitu bulu mata. Menyusul pada bait pertama bertambah pengistilahan sendang, tapi kali ini istilah tersebut tidak
61
didampingi oleh artian secara gamblang, pada susunan larik petunjuk yakni sebuah sendang. Kata sebuah sendang kemudian diperjelas dengan menyusulnya kalimat wajah bulan bisa di sentuh lewat dasar sendang pada bait kedua baris terakhir, kemunculan kalimat tersebut merupakan titik terang yang membantu pengarang menemukan artian kata sebuah sedang, bahwa kita bisa melihat bayangan bulan yang berada di atas pada sebuah sendang, tapi tidak bisa menyentuhnya karena yang nampak pada sendang hanyalah bayangan bukan keberadaan bulan yang sesengguhnya. Kembali lagi pada bait pertama, di sini secara jelas pengarang menyebutkan bahwa ia meminjam kata padang ilalang untuk mengantikan kata bulu mata, kemudian pada baris kedua ia mengatakan bahwa di tengahnya adalah sebuah sendang, yang dapat ditafsirkan bahwa di tengah sebuah bulu mata adalah mata. Dalam puisi ini yang peneliti tangkap merupakan pembuktian bahwa hal yang dikira-kira selama ini tentang perasaan seseorang dapat tercermin dari tatapan matanya, merupakan titik lain peneliti menemukan apa yang sebenarnya diistilahkan sebagai bulan, yakni merupakan gambaran perasaan seseorang yang sering disebut-sebut dapat terlihat dari tatapan matanya.
62
E. Puisi Bayi Mungil di Kamar Mandi Bayi Mungil di Kamar Mandi Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi Lengking suaranya menyusup jauh ke relung tidurku. Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi. Lengking suaranya kupinjam untuk mengucapkan lagi aku. (2002) 1. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik a. Pembacaan Heuristik pada puisi Bayi Mungil di Kamar Mandi. Bait Ke-1 Bayi mungil (itu) menjerit-jerit di kamar mandi. Lengking suaranya menyusup jauh (masuk) ke(dalam) relung tidurku. Bait Ke-2 Bayi mungil (itu) menjerit-jerit di kamar mandi. Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku Bait Ke-3 Bayi mungil (itu) menjerit-jerit di kamar mandi. Lengking suaranya (lalu) kupinjam untuk mengucapkan lagi aku.
63
2. Pembacaan Hermeneutik pada puisi Bulu Matamu : Padang Ilalang sebagai berikut. Dalam pembacaan tingkat kedua ini, menitik beratkan pada ketidak langsungan ekspresi puisi yang disebabkan oleh tiga hal; penggantian arti, penyimpangan arti serta penciptaan arti. Judul Bayi mungil di kamar mandi, termasuk pada penggantian arti, metafora ini merupakan perumpamaan untuk menggambarkan kesucian dan kelemahan dari suatu mahluk, yang di mana penempatan benda tersebut pada kamar mandi, kamar mandi menggambarkan sebuah tempat yang dingin dan berbahaya bagi mahluk selemah bayi. Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi Lengking suaranya menyusup jauh ke relung tidurku. Menggambarkan ketidak nyamanan sosok bayi berada di kamar mandi, memperlihatkan bagaimana reaksi ketidak nyamanannya itu dengan menjerit-jerit. Lengkingan suara teriakkan itu kemudian terdengar oleh orang dewasa. Pengulangan Larik Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi. Pada bait kedua orang dewasa mulai menunjukkan rasa simpati, ia ingin turut membantu disertai dengan tindakan, Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku. Larik akhir pada bait kedua ini bisa digolongkan sinestesia, Sinestesia merupakan metafora berupa ungkapan yang
berhubungan
dengan
suatu indera untuk
dikenakan pada indera lain. Ini menunjukkan realita yang sering kita lihat atau bahkan kita rasakan, ketika melihat orang lain apalagi sosok lemah menderita. Wajar dirasakan oleh manusia yang memang terlahir dengan rasa simpati di dalam dirinya. Simpati adalah suatau proses di mana seseorang merasa tertarik terhadap pihak lain, mencari tau apa yang sedang ia alami dan rasakan.
64
Pada bait ketiga menarangkan transisi dari perasaan terusik menjadi simpatik, hingga terakhir pada bait ketiga baris kedua perasaan orang pertama berubah menjadi empati. Empati adalah kemampuan dengan berbagai definisi yang berbeda yang mencangkup spektrum yang luas, berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk menolong, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan, menguburkan garis antara diri dan orang lain. Hal ini pengarang tunjukkan pada kalimat Lengking suaranya kupinjam untuk mengucapkan lagi aku, ia telah berada pada perasaan puncak yang membuatnya mengibaratkan sosok bayi itu sebagai dirinya sendiri. 2. Hipogram Pada puisi yang berjudul LANGGAM BIASA karya Soni Farid Maulana dapat mewakili sebagai hipogram dari puisi Joko Pinurbo yang berjudul Bayi Mungil di Soni Farid Maulana yang berjudul LANGGAM BIASA.
LANGGAM BIASA Telah kau tutup pintu dan jendela Kamar mu. Malam yang turun berudara buruk Dengarlah rengkik kuda itu: Seperti hendak membekukan jantungmu! Larut malam ini aku disisimu Aku pandang wajahmu dengan hati tergetar Dan aku tersenyum seakan tahu Apa yang bergelora di dada. Ya, pelan dan lembut Kita dengar guguran daun diluar jendela Kita hanya lahir sebagai dongengan! bisikmu. Malam larut dan sunyi Kita semakin koyak oleh harapan purba, Abu Kelahiran kita hanya pentas jadi dongengan Santapan nasib yang bengis! Sayup tiang listrik dipukul orang Kekayaan kita adalah kemiskinan kita
65
Adalh rumah kita yang lembab oleh airmata Kita hanya pantas jadi dongengan! Salak anjing menguasap pendengaran Deru kereta memecah kesunyian Kata-kata menggumpal dalam dada. Beku Tak bersuara menyumpah matahari hitam Digilas ruang dan waktu negri kelam. Kita hanya pantas jadi dongengan. Ya 1984-1986 Hal ini diperkuat dengan kesamaan tema yang berada dalam kedua puisi tersebut, yakni tentang perasaan peduli terhadap seseorang. Rasa peduli tersebut tercermin dalam penggalan puisi berikut. Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi. Lengking suaranya kupinjam untuk mengucapkan lagi aku. (Pinurbo,2002) Penggalan puisi karya Joko Pinurbo di atas memiliki kesamaan ekspresi seperti yang ditunjukkan pada penggalan puisi karya Soni Farid Maulana. Dengarlah rengkik kuda itu: Seperti hendak membekukan jantungmu! Larut malam ini aku disisimu Aku pandang wajahmu dengan hati tergetar Dan aku tersenyum seakan tahu Apa yang bergelora di dada. Ya, pelan dan lembut (Farid Maulana, 1984) Puisi-puisi tersebut mengungkapkan tentang betapa manusia memiliki sifat alamiah yaitu rasa belas kasih, karena manusia memang diciptakan sebagai mahluk sosial. Pada contoh puisi ini menggambarkan bagaimana transisi perasaan seseorang, dari awalnya ia merasa terganggu kemudian berubah menjadi kepedulian.
66
Soni Farid Maulana mengungkapkan keadaan tersebut langsung pada perasaan peduli yang dirasakan orang pertama sejak awal. Joko Pinurbo menggambarkan kondisi yang berbeda, ia menceritakan transisi bagaimana awal perasaan orang pertama yang awalnya merasa terusik, kemudian berubah menjadi iba, lalu berubah lagi menjadi turut merasakan apa yang orang lain rasakan. Soni Farid Maulana mengungkapkan keadaan tersebut lebih menggunakan kata-kata konotatif. Hal tersebut dapat dilihat dari kata dengarlah ringkik kuda itu, seperti hendak membekukan jantungmu!. Joko Pinurbo menggambarkannya lebih dengan kata-kata sederhana yang hampir sering kita jumpai sehari-hari. Kata yang dimaksud iyalah Kata Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku. Kata-kata tersebut merupakan ungkapan rasa iba terhadap seseorang yang mengalami penderitaan. Pembahasan kedua puisi di atas dapat disimpulkan bahwa puisi Langgam Biasa karya Soni Farid Maulana merupakan hipogram dari puisi yang berjudul Bayi Mungil di Dalam Kulkas. 3. Matriks Matriks dalam puisi Bayi di Kamar Mandi adalah penggambaran seseorang dalam menghadapi sosok lemah yang pengarang gambarkan sebagai sosok bayi. Mengenai transisi perasaan orang pertama yang awalnya merasa tergangu kemudian berubah iba, sehingga ia berupaya untuk membantu, beralih lagi menjadi perasaan menderita, sebagaimana yang dirasakan sosok bayi. Varian pada bait pertama adalah pengarang menceritakan bagaimana merasa tersiksanya sosok yang digambarkan sebagai bayi berada di kamar mandi sehingga ia menjerit-jerit. Kamar mandi yang merupakan tempat yang tidak cocok
67
bagi sosok bayi, bayi bisa saja jatuh sakit karena dinginnya suhu di dalam kamar mandi atau bahkan terjadi hal yang lebih buruk lainnya. Hal ini dapat menjelaskan apa perbedaan puisi yang berjudul Bayi di Dalam Kulkas dan Bayi Mungil di Kamar Mandi, yakni meskipun kedua puisi tersebut mengambil pengistilahan (metafor) yang hampir mirip, sebagai contoh kulkas dan kamar mandi jika diartikan itu merupakan sebuah benda yang samasama bersifat dingin dan tempat yang sempit. Meskipun sekilas puisi ini hampir mirip dengan puisi karya Joko Pinurbo lainnya yang berjudul Bayi di Dalam Kulkas, pada baris kedua pengarang menggambarkan bagaimana orang pertama tidurnya terusik oleh lengkingan suara bayi yang berada di dalam kulkas itu. Varian pada bait kedua Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi, larik itu kembali dipergunakan lagi untuk mempertegas, bahwa sosok bayi adalah sosok yang lemah dan ditempatkan pada tempat yang tidak semestinya. Bayi adalah sosok yang baru datang ke dunia ini, ia tidak diberikan pilihan, ingin di mana ia tinggal. Pada baris kedua orang mulai menemukkan rasa simpati, ia ingin turut membantu disertai dengan tindakan, yang ditunjukkan oleh kalimat Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku. Varian pada bait ketiga adalah kalimat Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi dimunculkan lagi oleh pengarang. Ini ditunjukkan untuk lebih meyakinkan, membangun emosi pembaca agar seolah-olah merasakan, bahwa yang berada pada posisi bayi itu adalah pembaca. Sebagaimana yang dirasakan orang pertama, yakni transisi dari perasaan terusik, simpatik, hingga terakhir pada bait ketiga baris kedua perasaan orang pertama berubah menjadi empati. Hal ini pengarang
68
tunjukkan pada kalimat Lengking suaranya kupinjam untuk mengucapkan lagi aku, ia telah berada pada perasaan puncak yang membuatnya menjad ikan sosok bayi itu seakan-akan sebagai sosok aku. Pada puisi ini pengarang menggunakan paralelisme, yakni pengungkapan dengan menggunakan kata, frasa, dan klausa yang sejajar, serta dibubuhi kalimat penjelas akibat dibaris keduanya. Dalam puisi ini pengarang mencoba meyakinkan bahwa setiap manusia pasti punya hati nurani, sebagimana pun keras orang itu, sebagaimana pun ia berusaha menghindari suatu hal. Tapi jika di tempatkan pada posisi tertentu lama kelamaan akan timbul rasa belas kasih yang merupakan sifat alami manusia. 4. Simbolisme Benda Simbolisme benda yang peneliti temukan pada puisi yang berjudul Bayi Mungil di Kamar Mandi yang pertama adalah bayi, sedang yang kedua adalah kamar mandi. Artian kata bayi yang peneliti tangkap sesuai larik yang menyertainya adalah pengarang berusaha menggambarkan sosok yang lemah, perlu dilindungi dengan meminjam istilah bayi. Simbolisme benda yang kedua adalah kamar mandi yang merupakan tempat yang dingin, sempit apalagi bagi sosok selemah bayi.