a alasan inilah Alquran menyatakan bahwa orang yang buta dan yang bisa melihat itu tidak setara.” Murid yang tampan itu belum pernah sehalus itu membubuhkanku ke atas kain pelapis pelana kuda. Betapa sensasi yang luar biasa menetapkan keutuhan, kekuatan dan semangatku pada sebuah ilustrasi hitam putih yang dibuat begitu indah: ketika kuas bulu kucing itu menyapukanku ke atas halaman yang sudah siap diwarnai, dengan senangnya aku menjadi sangat peka. Oleh karenanya, saat aku membawa warnaku ke atas halaman kertas tersebut, seolaholah aku memerintahkan dunia ini untuk “Menjadi!” Ya, mereka yang tidak bisa melihatnya akan menyangkalnya, tetapi sesungguhnya aku bisa ditemukan di mana saja.[] 32 SEBELUM AMAK-AMAK terbangun, aku menulis sebuah surat singkat pada Hitam, memberitahunya untuk segera datang ke rumah Yahudi yang jfl digantung itu, Aku meremas kertas itu menjadi gumpalan dan menjejalkannya ke dalam telapak tangan Hayriye agar dia bisa bergegas mendatangi Esther. Saat Hayriye mengambil surat itu, dia memandangi mataku dengan sorot mata yang lebih berani daripada biasanya, dengan mengabaikan kecemasan yang melanda kami. Dan aku, yang tidak lagi memiliki seorang ayah untuk ditakuti, membalas sorot matanya dengan keberanian yang baru kutemukan. Saling pandang dengan sorot mata tajam ini akan menentukan warna hubungan kami di masa yang akan datang. Lebih dari dua tahun, aku mencurigai Hayriye bisa saja mengandung anak ayahku, melupakan statusnya sebagai seorang budak, dan bersiasat agar menjadi nyonya rumah ini. Aku mendatangi ayahku yang malang dan dengan penuh hormat kucium tangannya yang kini kaku, yang anehnya tidak kehilangan kelembutannya. Aku menyembunyikan sepatu ayahku, turban tebal dan jubah ungunya, lalu kujelaskan pada anakanak begitu mereka bangun bahwa kakek mereka sudah agak sehat dan telah pergi ke kawasan Mustafa Pasha pagi-pagi benar. -^t>V^ AKU, SHEKURE Hayriye telah kembali dari kunjungan paginya. Ketika dia menyiapkan meja rendah untuk makan pagi, dan aku sedang menaruh seporsi selai jeruk di tengahnya, aku membayangkan betapa Esther kini sedang mengetuk pintu rumah Hitam. Salju telah berhenti tercurah dan matahari tampak mulai menyorotkan sinarnya. Di taman rumah orang Yahudi yang digantung itu, aku mengingat kembali kejadian yang terukir di benakku. Bunga es yang bergantungan di beberapa bagian atap dan bingkai jendela sudah mulai menipis, dan taman itu berbau jamur serta dedaunan busuk yang menyerap cahaya matahari. Aku menemukan Hitam sedang menunggu di tempat aku pertama kali melihatnya tadi malamseolaholah sudah lama sekali, serasa berminggu-minggu telah berlalu. Aku menaikkan kerudungku dan berkata, “Kau boleh merasa senang, jika kalau mau. Keberatan dan keraguan ayahku tidak akan menghalangi kita lagi, Saat kau berusaha menyentuhku di tempat ini tadi malam, seorang lelaki iblis telah menyelinap masuk ke rumah kami dan membunuh ayahku.” Alihalih merasa penasaran menanti reaksi Hitam, kau mungkin akan lebih bingung dengan caraku mengatakannya yang amat dingin dan terkesan tidak tulus. Aku sendiri tidak tahu benar alasannya. Mungkin kupikir aku lebih baik menangis saja, memancing Hitam untuk memelukku, dan aku akan menjadi sangat intim dengannya lebih cepat dari yang kuinginkan. “Ia merusak segala penjuru rumah kami, jelas sekali ia meluapkan kemarahan dan kebenciannya. Aku tidak yakin ia sudah selesai dengan niatnya, kurasa setan ini kini tidak sedang duduk tenang beristirahat di suatu sudut. Ia mencuri gambargambar utama. Aku memintamu melindungikumelindungi kamidan menyelamatkan buku ayahku dari tangan iblis itu. Sekarang, katakanlah padaku, dengan rencana dan persyaratan apakah kau akan menjamin keselamatan kami? Inilah yang harus kami putuskan.”
Ia bersuara seperti akan mulai berbicara, tetapi dengan mudah aku mendiamkannya dengan sebuah tatapanseakanakan aku telah sering melakukan hal ini sebelumnya. “Di mata hakim, suamiku dan keluarganya yang selanjutnya berkewajiban meneruskan tugas ayahku sebagai waliku. Inilah persoalan yang muncul sejak sebelum kematian ayahku, karena menurut hakim suamiku masih hidup. Hanya karena Hasan berusaha mengambil kesempatan atasku selama kakaknya tidak ada, sebuah serangan gagal yang mempermalukan ayah mertuaku, maka aku diizinkan untuk kembali ke rumah ayahku meskipun belum resmi menjadi seorang janda. Namun, kini ayahku sudah meninggal dunia dan aku tidak memiliki saudara lelaki. Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa satusatunya waliku yang paling mungkin adalah adik suamiku dan ayah mertuaku. Mereka bahkan sudah menyiapkan siasat agar aku kembali ke rumah mereka dengan mengancamku dan ayahku. Begitu mereka mendengar ayahku tewas, mereka tidak akan raguragu lagi untuk melakukan tindakan resmi. Satusatunya harapan untuk menghindari kejadian ini adalah dengan menutup-nutupi kematian ayahku. Mungkin dengan sejuta luka, karena ada seseorang yang berada di balik kejahatan ini.” Di saat itulah, secercah cahaya pucat perlahan menyusup masuk melalui kisi-kisi jendela yang sudah rapuh, dan cahayanya jatuh di antara aku dan Hitam, menerangi selubung debu dari masa lalu di dalam ruangan itu. “Ini bukan satusatunya alasan mengapa aku menyembunyikan kematian ayahku,” ujarku, sambil menegaskan pandanganku langsung ke bola mata Hitam yang membuatku senang karena melihat adanya perhatian yang lebih dalam daripada rasa cinta di matanya. “Aku juga takut tak mampu membuktikan di mana keberadaanku saat ayahku dibunuh. Meskipun hanya seorang budak, dan kata katanya mungkin tidak akan dianggap berarti, aku tetap merasa takut Hayriye terlibat dalam intrik ini. Jika bukan untuk melawanku, mungkin ada kaitannya dengan buku ayahku. Selama aku tetap tanpa seorang pelindung, pemberitahuan kematian ayahku, ketika ada beberapa bibit masalah di dalam rumah, untuk alas an yang sudah kusebutkan tadi, bisa menyebabkan kemalangan bagiku di tangan Hayriye. Misalnya saja, bagai mana jika dia tahu bahwa ayahku tidak ingin aku menikah denganmu?” “Ayahmu tidak menginginkanmu menikah denganku?” Tanya Hitam. “Tidak. Ia tidak seperti itu, ia hanya cemas kau akan membawaku pergi darinya. Karena tak lagi ada bahaya kau melakukan hal sejahat itu padanya, kita simpulkan saja bahwa ayahku yang malang itu tidak lagi keberatan. Apakah kau keberatan?” “Tidak sama sekali, sayangku.” “Baiklah, kalau begitu. Waliku tidak meminta uang atau emas padamu. Tolong maafkan kelancanganku membahas pernikahan bagi diriku sendiri, tetapi aku memang memiliki prasyaratprasyarat tertentu yang sayangnya harus kujelaskan padamu.” Saat aku terdiam sejenak, Hitam berkata, “Ya,” dengan sikap yang menunjukkan permintaan maaf atas keragu-raguannya. “Pertama,” ujarku, “kau harus bersumpah di depan dua orang saksi bahwa jika kau bersikap kasar dan buruk padaku dalam pernikahan kita, hingga aku tak tahan lagi, atau jika kau mengambil istri kedua, kau akan meluluskan perceraian denganku beserta pemberian tunjangan hidup. Kedua, kau harus bersumpah di depan dua orang saksi bahwa dengan alasan apa pun, jika kau tidak ada di rumah lebih dari enam bulan tanpa sekalipun berkunjung, aku juga akan diizinkan menuntut cerai darimu dengan pemberian tunjangan hidup. Ketiga, setelah kita menikah, kau tentu saja akan pindah ke rumahku, tetapi hingga iblis yang membunuh ayahku tertangkap, atau hingga kau berhasil menangkapnyabetapa aku ingin menyiksanya dengan tanganku sendiri!dan hingga buku Sultan diselesaikan dengan bimbingan bakat dan upayamu, serta dipersembahkan kepada Sultan, kau tidak akan tidur
seranjang denganku. Keempat, kau akan mencintai anakanakku, yang juga tidur seranjang denganku, seolaholah mereka adalah anakanakmu sendiri.” “Aku setuju.” “Bagus. Andai semua halangan yang masih menghadang kita sekarang ini bisa lenyap dengan cepat, kita akan menikah sesegera mungkin.” “Ya, menikah, tetapi tidak tidur seranjang.” “Langkah pertama adalah pernikahan,” ujarku. “Mari kita upayakan hal itu terlebih dahulu, Cinta akan muncul setelah pernikahan. Jangan lupa: Pernikahan terkadang memudarkan pijar-pijar api cinta, hingga hanya meninggalkan sebentuk kejenuhan dan kegelapan yang menyedihkan. Tentu saja, setelah menikah, cinta itu sendiri akan lenyap, tetapi kebahagiaan akan mengisi ruang kosong itu. Tetap ada saja mereka yang cukup bodoh untuk tergesagesa jatuh cinta sebelum menikah, dan mereka terbakar emosi, lalu merasa betapa semua perasaan mereka itu kemudian sangat melelahkan mereka dengan meyakini cinta sebagai tujuan tertinggi dalam hidupnya.” “Kalau demikian, apakah kebenaran dari masalah ini?” “Kebenarannya adalah kelegaan. Cinta dan pernikahan tidak lain adalah upaya untuk mendapatkan seorang suami, sebuah rumah, anakanak, dan sebuah buku. Tidak bisakah kaulihat, dalam keadaanku yang seperti ini, dengan seorang suami yang menghilang entah ke mana dan seorang ayah yang telah tiada, aku merasakan keadaan yang lebih tidak enak daripada pengasinganmu dulu? Aku akan mati tanpa anakanakku, dengan siapa aku menghabiskan harihari dengan tertawa-tawa, bertengkar, dan saling mencintai. Lebih jauh lagi, sejak kau mendambakanku, bahkan dalam situasi tidak mengenakkan yang kualami sekarang ini, sejak kau diamdiam merana karena ingin menghabiskan malam dengankumeskipun tidak di ranjang yang samadi bawah atap yang sama dengan jenazah ayahku dan anakanakku yang nakal, kau masih saja memaksakan diri mendengarkan dengan sepenuh hatimu apa yang ingin kukatakan padamu.” “Aku mendengarkanmu.” “Ada banyak cara di mana aku bisa mendapatkan sebuah perceraian yang aman. Saksi-saksi palsu bisa bersumpah bahwa sebelum suamiku berangkat ke medan pertempuran, mereka menyaksikannya rela menjatuhkan talak padaku dengan satu syarat, misalnya jika ia tidak kembali dalam dua tahun, aku harus dianggap bebas merdeka. Atau yang lebih sederhana lagi, bahwa mereka bersedia bersumpah telah melihat mayat suamiku di medan perang dengan menceritakan berbagai hal teperinci yang jelas dan meyakinkan. Namun, dengan mempertimbangkan jenazah ayahku dan keberatan keluarga suamiku, mengajukan saksi-saksi palsu itu akan menjadi sebuah proses yang sia-sia, karena hakim yang paling bodoh sekalipun tak akan percaya. Walaupun suamiku meninggalkanku tanpa tunjangan hidup, dan tidak kembali dari medan peperangan selama empat tahun, bahkan hakim-hakim dari mazhab Hanafi sekalipun tidak akan meluluskan perceraian atasku. Meski demikian, Hakim Uskudar yang mengetahui jumlah perempuan yang berada dalam keadaan sepertiku ini bertambah setiap harinya, lebih menaruh belas kasihan dan karenanyadengan satu anggukan Yang Mulia Sultan dan Syaikulislamhakim itu kadang kala akan membiarkan wakilnya dari mazhab Syafi’i membuat keputusan di tempatnya, karena pemberian vonis cerai akan dibenarkan bagi perempuanperempuan sepertiku, termasuk persyaratan pemberian tunjangan hidup. Kini, jika kau bisa menemukan dua orang saksi untuk bersaksi secara terbuka mengenai keadaanku yang memilukan, bayarlah mereka untuk melakukannya, pergilah melintasi Bosphorus bersama mereka menuju sisi seberang tempat Uskudar41 berada, aturlah kesepakatan bagi si hakim, pastikan bahwa wakilnya akan duduk *Uskudar melupakan sebuah wilayah di Istanbul yang terletak di pantai bagian timur Selat Bosphorus. Sebelumnya, Uskudar merupakan sebuah kota yang terpisah
dari Istanbul hingga akhir 1980-an dan dihubungkan dengan Istanbul oleh perahu penyeberangan yang melintasi Selat Bosphorus. menggantikannya agar perceraian itu diluluskan berdasarkan keterangan para saksi, daftarkan perceraian itu dalam buku catatan si hakim, dan berusahalah memperoleh selembar surat resmi yang menyatakan proses perceraian itu sudah berlangsung, juga izin tertulis bagi pernikahanku yang berikutnya. Jika kau bisa menyelesaikan semua ini, kembalilah menyeberang ke sini siang ini juga, makadengan beranggapan tidak akan ada kesulitan berarti dalam menemukan seorang penghulu yang bisa menikahkan kita malam inisebagai suamiku kau bisa menghabiskan malam ini bersamaku dan anakanakku. Dengan demikian, kau juga akan mengalami malammalam sulit tidur karena mendengar setiap derakan di dalam rumah dari langkah-langkah iblis pembunuh itu. Lebih daripada itu, kau akan menyelamatkanku dari keterpurukan karena menjadi seorang perempuan malang tanpa perlindungan ketika kita mengumumkan kematian ayahku pada pagi harinya.” “Ya,” sahut Hitam dengan rasa humor yang baik dan, entah bagaimana, terkesan kekanakkanakan. “Ya, aku setuju menjadikanmu milikku.” Ingatkah kau, betapa baru saja aku menyatakan diri tidak mengetahui alas an mengapa aku harus berbicara pada Hitam dengan sedemikian lugas dan dengan sikap yang terkesan munafik. Kini aku tahu: Aku telah menyadari bahwa hanya dengan berkata lugas seperti itulah aku bisa meyakinkan Hitamyang masih saja tumbuh dengan kebingungan masa kecilnyaakan kemungkinan terjadinya hal-hal yang bahkan bagiku sendiri sulit dipercaya. “Banyak yang harus kita lakukan untuk memerangi musuhmusuh kita, mereka yang akan menghalang-halangi upaya menuntaskan buku ayahku, mereka yang akan menentang perceraianku dan upacara pernikahan kitayang insya Allah akan kita langsungkan malam ini. Namun, aku seharusnya tidak semakin membingungkanmu karena tampaknya kau lebih bingung dariku.” “Kau tidak tampak bingung sama sekali,” sahut Hitam. “Mungkin, tetapi karena semua itu bukanlah gagasanku sendiri, aku mempelajarinya dari ayahku selama bertahuntahun.” Aku mengatakan hal ini agar ia tidak mengabaikan apa yang kukatakan karena beranggapan semua rencana ini muncul dari pikiranku sebagai seorang perempuan. Berikutnya, Hitam mengatakan apa yang kudengar dari setiap lelaki yang tidak takut mengakui kecerdasanku, “Kau sangat cantik.” “Ya,” sahutku, “akan amat menyenangkanku jika aku dipuji atas kepintaranku. Ketika aku masih kecil, ayahku sering melakukannya.” Aku baru saja akan menambahkan bahwa saat aku dewasa ayahku jadi tidak pernah memuji kepintaranku lagi, tetapi aku malah mulai terisak. Saat aku menangis, seakanakan aku meninggalkan ragaku dan menjadi sesosok manusia lain, sepenuhnya terpisah dari keperempuananku. Bagaikan seorang pembaca yang menjadi gundah karena sebuah gambar sedih di halaman buku, kusaksikan hidupku dari luar ragaku, dan aku mengasihani apa yang kulihat. Ada sesuatu yang begitu polos dalam menangisi kesusahan orang lain, seakanakan semua kegundahan itu milik orang lain, hingga ketika Hitam memelukku, sebentuk rasa syukur menyelimuti kami berdua. Namun, saat ini, saat kami berpelukan, perasaan nyaman yang tetap ada di antara kami ini, tak mampu memengaruhi musuhmusuh yang melingkari kami. tab 33
AKU DINAMAI HITAM MEN3ADI JANDA, ditinggalkan dan berduka, Shekureku tercinta pergi dengan langkah kaki bagaikan seorang ayah, dan aku tegak mematung seakanakan terpesona dalam kebekuan rumah orang Yahudi yang digantung itu di antara aroma almond dan anganangan pernikahan yang dia tinggalkan dalam keadaan sadar. Aku merasa linglung, pikiranku berputar-putar sedemikian cepat hingga nyaris terasa menyakitkan. Bahkan tanpa kesempatan berduka secara layak atas kematian Enishteku, aku segera pulang ke rumah. Di satu sisi, sebuah kebimbangan menggeliat dalam diriku: Apakah Shekure menggunakanku sebagai sebuah jaminan dalam sebuah rencana besar? Apakah dia sedang memperdayaku? Di sisi lain, angan-angan akan sebuah pernikahan penuh kebahagiaan bermainmain di depan mataku. Selepas berbincang-bincang dengan induk semangku yang menanyaiku di depan pintu, tempat aku pergi dan datang di pagi hari ini, aku beranjak ke kamarku dan mengambil dua puluh dua keping uang emas Venesia dari pinggiran selendang yang kusembunyikan di dalam kasurku, dan menaruhnya di dalam kantung uangku dengan jemari bergetar. Tatkala aku kembali ke jalanan, aku segera tahu bahwa aku akan melihat mata Shekure yang gelap, berlinangan air mata dan gundah sepanjang hari itu. Aku menukar lima gambar singa Venesia itu di tempat penukaran uang milik seorang Yahudi yang selalu tampak tersenyum. Berikutnya, dengan benak berkecamuk, aku memasuki sebuah daerah yang namanya belum pernah kusebut, karena aku tidak menyukainya: Yakutlar, tempat almarhum Enishteku dan Shekure, beserta anakanaknya, menungguku di rumah mereka. Saat aku berjalan menyusuri jalan itu dengan langkah setengah berlari, sebatang pohon seakan mencemoohku karena aku begitu terhanyut oleh mimpimimpi dan rencana pernikahan, tepat di hari meninggalnya Enishteku. Lalu, seolaholah batu es yang meleleh, sebuah mata air di pinggir jalan mendesis ke dalam telingaku: “Jangan menganggapnya terlalu serius, utamakan kepentingan dan kebahagiaanmu sendiri.” “Semuanya akan baikbaik saja dan berjalan lancar,” tukas seekor kucing hitam pembawa sial yang sedang menjilati tubuhnya sendiri di sebuah sudut, “tetapi semua orang, termasuk dirimu sendiri, akan menuduhmu terlibat dalam pembunuhan pamanmu.” Kucing itu berhenti menjilati tubuhnya sendiri, saat aku tibatiba saja menangkap bayangan matanya yang membius. Aku tidak harus memberitahumu betapa lancangnya kucing-kucing di Istanbul ini, karena orangorang memanjakan mereka. Aku bertemu dengan Imam Effendi yang mata hitam besarnya serta kelopak matanya yang setengah terkatup itu memberinya kesan selalu mengantuk, bukan di rumahnya, melainkan di halaman sebuah masjid setempat, dan di sanalah aku menanyakan padanya sebuah pertanyaan aman yang ala kadarnya, “Kapankah seseorang wajib bersaksi di depan pengadilan?” Aku mengangkat alisku saat mendengar jawabannya yang terdengar angkuh, seolaholah aku baru mendengar keterangan ini untuk pertama kalinya. “Menjadi seorang saksi pelengkap tidak wajib, selama saksi-saksi lain sudah hadir,” jelas Imam Effendi, “tetapi dalam keadaan di mana hanya ada seorang saksi mata, Allah mengizinkan satu orang saja yang menjadi saksi.” “Itulah masalah sulit yang sedang kuhadapi saat ini,” ujarku, membawa percakapan ini ke tingkat yang lebih tinggi. “Dalam sebuah situasi di mana semua orang mengetahuinya, semua saksi telah menghindari tanggung jawab mereka, dan menolak pergi ke pengadilan dengan alasan ‘menjadi saksi hanya dilakukan berdasarkan kerelaan,’ dan akibatnya kepentingan mereka yang sedang berusaha kutolong benarbenar diremehkan.” “Kalau demikian,” ujar Imam Effendi, “mengapa tidak kau longgarkan sedikit ikatan dompetmu?”
Aku mengambil kantung uangku dan menunjukkan padanya kepingan uang emas Venesia yang berdesakan di dalamnya: tanah lapang di halaman masjid, wajah si pendakwah, semuanya seketika seakanakan diterangi kemilau emas. Ia bertanya padaku dilema apa yang sedang melandaku. Aku menjelaskan padanya siapa diriku. “Enishte Effendi sedang sakit,” ujarku lirih, seperti sedang berusaha merahasiakannnya. “Sebelum meninggal dunia, ia ingin status janda putrinya disahkan dan dia dinyatakan harus diberi tunjangan hidup.” Aku bahkan tidak perlu menyebutkan wakil hakim Uskudar. Imam Effendi langsung paham dan berkata bahwa seluruh penduduk di daerah itu sudah lama dilanda kegalauan mengenai nasib Shekure yang tak berdaya. Ia juga menambahkan bahwa situasi tersebut sudah berlangsung terlalu lama. Alihalih harus mencari saksi kedua yang dibutuhkan bagi sebuah perceraian resmi, Imam Effendi malah menyarankan agar adik lelakinya yang dijadikan saksi. Kini, andai aku harus menawarkan kepingan emas tambahan pada adiknya itu yang juga tinggal berdekatan dan telah mengetahui situasi sulit yang dialami Shekure dan anakanak tercintanya, aku akan melakukan langkah yang bagus. Lagi pula, hanya untuk dua keping emas Imam Effendi mau membantuku bersepakat dengan saksi kedua. Kami segera membuat kesepakatan bersama. Imam Effendi pergi menjemput adiknya. Sepanjang hari itu berlangsung seperti kisah “kucing dan tikus” yang kulihat dipertontonkan oleh para pendongeng di kedaikedai kopi Aleppo. Karena semua petualangan dan tipuan di dalamnya, kisahkisah semacam itu yang ditulis sebagai puisi naratif dan dijilid tidak pernah dianggap terlalu serius, bahkan andai dibuat dengan kaligrafi yang indah sekalipun. Oleh karenanya, ceritacerita seperti itu tidak pernah diberi ilustrasi. Sebaliknya, aku cukup senang membagi petualangan sepanjang hari itu ke dalam empat adegan, dan membayangkan setiap adegannya dengan berhalaman-halaman ilustrasi di dalam benakku. Dalam adegan pertama, sang miniaturis harus menggambarkan betapa kami berada di tengah para pendayung berkumis tebal dan tampak gagah perkasa yang mengerahkan segenap kekuatannya untuk membawa kami melintasi Selat Bosphorus yang biru menuju Uskudar di dalam sebuah perahu panjang merah berdayung empat yang kemudian kami labuhkan di Unkapani. Imam Effendi dan adiknya yang kurus dan berkulit gelap itu, yang senang dengan kejutan perjalanan tersebut, dengan asyik mengajak para pendayung mengobrol akrab. Sementara, di tengah angan-angan indah pernikahan yang terus bermainmain tiada henti di depan mataku, aku menatap nanar ke dalam air Bosphorus yang mengalir lebih jernih daripada biasanya di pagi musim dingin yang cerah ini, dan berjaga-jaga jika ada tandatanda ancaman dalam arus air. Misalnya saja, aku takut akan melihat puingpuing kapal bajak laut di bawah sana. Maka, segembira apa pun warnawarni yang dibubuhkan sang miniaturis pada laut dan gumpalan awan, ia harus menyertakan sesuatu yang setara dengan kegelapan rasa takutku, dan kekuatan mimpimimpi kebahagiaanku seekor ikan bertampang ketakutan, misalnyadi kedalaman air ini, agar para pembaca petualanganku tidak akan menganggap semuanya berlangsung serba ceria. Gambar kedua kami harus menunjukkan istana-istana para sultan, pertemuan dengan Dewan Negara, penerimaan para duta besar dari Eropa, dilengkapi interior yang disusun begitu teperinci dan teliti dengan kehalusan yang layak disandingkan dengan karya tak ternilai Bihzad, yakni gambar yang menyiratkan berbagai siasat dan ironi. Maka, ketika Kadi Effendi tampak membuat isyarat membuka satu tangan tanda “tunggu” yang bermakna “tidak akan pernah” atau “tidak” pada upayaku menyuapnya, dengan tangan lainnya ia terlihat mengantungi koinkoin emas Venesiaku dengan cekatan, dan hasil akhir penyuapan ini harus dilukiskan dalam gambar yang sama: Shahap Effendi, wakil pengganti Hakim Uskudar yang menganut mazhab Syafi’i. Kelanjutan gambar tersebut dalam kejadian yang saling berkaitan hanya bisa dibuat melalui kecerdikan seorang miniaturis yang pintar menyusun gambar. Sehingga, ketika para
pengamat yang pada awalnya melihat aku melakukan penyuapan dan memerhatikan di tempat lain dalam lukisan itu bahwa lelaki yang duduk bersila di atas bantalan hakim adalah wakilnya, akan menyadari bahwa hakim yang terhormat telah menyerahkan wewenangnya untuk sementara agar wakilnya itu bisa menghalalkan sebuah perceraian untuk Shekure, bahkan tanpa ia harus membaca kisahnya. Ilustrasi ketiga harus menunjukkan kejadian yang sama, tetapi kali ini dengan ornamen dinding yang lebih gelap dan tampak dibuat dengan gaya Cina, dahan dahan pohon yang melengkung-lengkung tampak begitu rumit dan lebat, dan gumpalan awan warnawarni harus dimunculkan di atas wakil si hakim, agar kelicikan dalam kisah itu dapat terlihat jelas. Meskipun Imam Effendi dan adiknya bersaksi secara terpisah di depan wakil hakim, di dalam ilustrasi itu mereka akan diperlihatkan sedang menjelaskan bersama betapa suami dari Shekure yang merana tidak kembali dari peperangan selama empat tahun, betapa Shekure berada dalam keadaan sangat memprihatinkan tanpa seorang suami yang mengurusinya, betapa kedua anak tak berayah itu selalu menangis dan kelaparan, betapa tidak ada kemungkinan bagi perempuan itu untuk menikah lagi karena dia masih dianggap punya suami, dan bagaimana dalam status seperti itu dia tidak boleh menerima pinjaman tanpa seizing suaminya. Mereka begitu meyakinkan, bahkan seorang lelaki yang tuli bagai batu sekalipun akan menjatuhkan keputusan cerai dengan berlinang air mata, Wakil hakim yang tak berperasaan itu, entah bagaimana, tidak menunjukkan tandatanda seperti itu, malah menanyakan wali resmi Shekure. Setelah sesaat dalam keadaan bimbang, aku segera menyela, menyatakan bahwa ayah Shekure yang telah mengabdi sebagai pembawa pesan dan duta besar bagi Sultan masih hidup. “Sampai walinya itu bersaksi di pengadilan, aku tidak akan pernah meluluskan perceraian baginya!” ujar wakil hakim itu. Dengan amat gugup aku menjelaskan bahwa Enishte Effendi sedang sakit, tergolek di atas tempat tidurnya dan tengah berjuang mempertahankan nyawa, dan bahwa keinginan terakhir yang dipanjatkannya pada Tuhan adalah melihat anak perempuannya bercerai, dan aku ditunjuk untuk mewakilinya. “Mengapa perempuan itu ingin bercerai?” tanya wakil hakim itu. “Mengapa pula seorang lelaki yang sekarat ingin melihat putrinya bercerai dari suaminya yang sudah lama menghilang di medan perang? Dengarkan, aku akan maklum jika ada seorang calon menantu yang layak, karena ia tidak akan meninggal begitu saja dengan harapan yang tak terwujud.” “Ada sebuah kemungkinan, Tuan,” ujarku. “Siapa yang akan menjadi calon menantu itu?” “Aku sendiri!” “Sekarang kemarilah! Kau adalah wakil walinya!” ujar wakil hakim itu. “Apa pekerjaanmu?” “Di provinsi-provinsi bagian timur, aku menjadi seorang sekretaris, sekretaris utama, dan bendahara pembantu bagi beberapa pasha. Aku menyelesaikan catatan sejarah perang Persia yang ingin kupersembahkan kepada Sultan. Aku adalah seorang ahli ilustrasi dan dekorasi. Dan aku telah terbakar asmara pada perempuan ini selama dua puluh tahun.” “Apakah kau kerabatnya?” Aku merasa sangat malu karena merendahkan diri dengan cepat dan tanpa diduga dengan sedemikian mengiba-iba di depan wakil hakim ini dan menelanjangi kehidupanku bagai sebuah barang murahan tanpa misteri apa pun, sehingga aku sepenuhnya terdiam. “Daripada kau jadi merah padam begitu, lebih baik jawablah
pertanyaanku, anak muda. Kalau tidak, aku akan menolak menjatuhkan keputusan cerai atas perempuan itu.” “Dia adalah putri bibiku dari pihak ibu.” “Hm, baiklah. Apakah kau mampu membahagiakannya?” Ketika ia melontarkan pertanyaan itu, ia membuat gerakan tangan yang kasar. Sang miniaturis harus mengabaikan kekasaran ini. Cukup baginya dengan menunjukkan betapa aku merona, “Aku hidup dengan layak.” “Karena aku penganut mazhab Syafi’i, tidak ada larangan dalam Kitab Suci atau dalam keyakinanku dalam meluluskan status bercerai untuk si malang Shekure yang suaminya telah hilang di medan perang selama empat tahun,” ujar wakil hakim itu. “Aku akan meluluskan sebuah perceraian. Dan akan kunyatakan bahwa suaminya tidak lagi memiliki hak atasnya jika ia kembali.” Ilustrasi berikutnya adalah yang keempat, harus dilukiskan ketika wakil hakim itu sedang mencatat data perceraian itu di dalam buku catatannya, melepaskan bala tentara hurufhuruf dengan tinta hitam yang patuh, sebelum menyodorkannya ke hadapanku dengan dokumen yang menyatakan bahwa Shekure kini adalah seorang janda dan karenanya tidak ada halangan baginya untuk segera menikah kembali. Kebahagiaan yang menyeruak dari dalam diriku saat itu tak tergambar dengan mewarnai dindingdinding ruang sidang dengan warna merah ataupun dengan menempatkan gambarnya di dalam garis bingkai berwarna merah darah. Seraya berlari pulang melewati kerumunan saksi-saksi palsu dan orangorang lainnya yang berkumpul di depan pintu hakim untuk mengupayakan perceraian bagi saudarasaudara perempuan mereka, anakanak perempuan mereka atau bahkan bibi mereka, aku melangkah mantap memulai perjalanan pulangku. Setelah aku melintasi Bosphorus dan langsung menuju daerah Yakutlar, aku meminta Imam Effendi yang ingin menikahkan kami secara resmi dan adiknya untuk pulang. Karena aku mencurigai semua orang yang kulihat di jalanan merasa iri padaku atas kebahagiaan luar biasa yang akan segera kudapat, aku berlari menuju jalan rumah Shekure. Bagaimana caranya kawanan burung gagak bertampang jahat itu tahu akan adanya sesosok mayat di rumah itu dengan berlompatan lincah ke sana kemari di atas bata-bata tanah liat di atap rumah? Aku dilanda rasa bersalah karena tidak mampu cukup berduka untuk Enishteku atau bahkan meneteskan sebulir air mata untuknya. Dari daun-daun jendela dan pintu yang tertutup rapat di rumah itu, dari kesunyiannya, dan bahkan dari penampakan pohon delima, aku tahu bahwa semuanya berlangsung sesuai rencana. Secara naluriah aku bersikap amat tergesa. Aku melemparkan batu ke gerbang di halaman, tetapi meleset! Kulemparkan sebutir batu lainnya ke arah rumah. Batu itu mendarat di atas atap. Aku mulai putus asa, dan menghujani rumah itu dengan batu. Sebuah daun jendela terbuka. Itu adalah jendela di lantai dua tempat empat hari yang lalu, di hari Rabu, untuk pertama kalinya aku melihat Shekure di antara dahandahan pohon delima. Orhan yang muncul, dan dari celah daun jendela itu aku bisa mendengar Shekure mengomelinya. Lalu aku melihatnya. Sejenak, kami saling berpandangan penuh harap, perempuanku yang rupawan dan aku. Dia begitu jelita dan pantas. Dia membuat gerakan yang kemudian kuartikan sebagai “tunggu”, lalu menutup daun jendela itu. Masih ada banyak waktu sebelum malam tiba. Aku menunggu dengan harap-harap cemas di taman yang kosong, terpukau oleh keindahan dunia ini, pepohonan dan jalanan yang berlumpur. Tak lama kemudian, Hayriye muncul, berpakaian dan berdandan tidak seperti seorang pelayan, tetapi lebih seperti seorang nyonya rumah. Tanpa
saling mendekatkan diri, kami berjalan ke rerimbunan pepohonan. “Semua berjalan sesuai rencana,” kataku padanya. Aku menunjukkan dokumen yang kudapatkan dari wakil hakim itu padanya. “Shekure sudah bercerai. Adapun penghulu dari wilayah tetangga itu …” aku tadinya hendak menambahkan, “akan kuurus,” tetapi aku malah berkata, “Ia sedang dalam perjalanan menuju ke tempat ini. Shekure harus bersiap-siap.” “Tidak peduli sesederhana apa pun, Shekure menginginkan sebuah upacara pengantin, diikuti oleh penerimaan warga sekitar dan sajian pesta pernikahan. Kami sudah menyiapkan sebelanga pilaf* dengan kacang *Nasi bumbu khas Timur Tengah dengan campuran irisan sayuran, ikan, dan daging. almond dan buah apricot kering.” Dalam kegairahannya, dia sepertinya hendak menceritakan padaku sajian lain yang sudah dimasaknya, tetapi aku lantas memotongnya. “Jika upacara pernikahannya harus berupa acara yang sedemikian lengkap,” ujarku, “Hasan dan anak buahnya akan mendengarnya. Mereka akan menyerbu rumah, mempermalukan kita, membuat pernikahan itu tidak sah, dan kita tidak mampu berbuat apa pun untuk mengatasinya. Semua kerja keras kita hanya akan menjadi kesia-siaan. Kita harus melindungi diri tidak hanya dari Hasan dan ayahnya, tetapi juga dari iblis yang membunuh Enishte Effendi. Apakah kau merasa takut?” “Bagaimana aku tidak takut?” sahutnya dan dia mulai terisak. “Kau tidak akan memberi tahu apa pun pada siapa pun,” ujarku. “Dandani Enishte dengan pakaian malamnya, bentangkan kasur lipatnya dan baringkan ia di atasnya, bukan sebagai sesosok mayat, melainkan seperti jika ia dalam keadaan sakit. Siapkan gelas-gelas dan botol-botol sirup di dekat kepalanya, dan tutup semua daun jendela. Pastikan tidak ada lampu di ruangannya, agar ia bisa tetap berperan sebagai wali Shekure, ayahnya yang sedang sakit, selama upacara pernikahan itu berlangsung. Tidak ada tempat untuk prosesi pengantin. Kau boleh mengundang beberapa orang tetangga di saat-saat terakhir, itu saja. Saat kau mengundang mereka, katakanlah bahwa ini adalah keinginan terakhir Enishte Effendi …. Ini tidak akan menjadi pesta pernikahan yang riang gembira, melainkan upacara yang muram. Jika kita tidak melakukan semuanya seperti itu, mereka akan menghancurkan kita, dan mereka juga akan menghukummu. Kau paham, bukan?” Dia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersedu sedan. Seraya menaiki kuda putihku, aku berkata bahwa aku akan mengamankan para saksi dan kembali dalam waktu singkat agar Shekure bisa bersiap-siap. Setelah ini, aku akan menjadi tuan di rumah itu, dan sebelumnya aku akan pergi ke tukang cukur. Aku tidak memikirkan hal-hal semacam ini sebelumnya. Saat aku berbicara, detail itu terlintas di benakku, dan tepat seperti yang kurasakan selama beberapa kali ikut berperang, aku merasa yakin bahwa aku adalah hamba Tuhan yang diberkahi dan dibantu oleh Nya, dan bahwa Ia melindungiku. Oleh karena itu, semuanya akan berlangsung baik baik saja. Ketika kau merasakan keyakinan seperti itu, lakukan saja apa pun yang terlintas di benakmu, ikuti kata hatimu dan apa pun yang kaulakukan akan terbukti sebagai kebenaran. Aku memacu kudaku sejauh empat blok ke arah Golden Horn dari wilayah Yakutlar untuk mencari lakilaki berjenggot hitam dengan wajah bercahaya, seorang penghulu di masjid daerah Yasin Pasha, daerah jiran. Dengan sapu di tangannya, ia sedang mengusir anjing tak tahu adat keluar dari halaman berlumpur itu. Aku menceritakan padanya situasi sulit yang kuhadapi. Dengan izin Tuhan, aku menjelaskan bahwa waktu Enishteku berada di tangannya, dan menurut keinginan terakhirnya, aku ingin menikahi putrinya yang telah diputuskan bercerai dari suaminya yang hilang di medan perang. Si penghulu keberatan, menyatakan bahwa menurut hukum Islam seorang perempuan yang bercerai harus menunggu selama sebulan sebelum menikah kembali. Namun, aku mengatasinya dengan menjelaskan
bahwa suami Shekure yang terdahulu sudah tidak mendampinginya selama empat tahun, dan oleh karenanya tidak mungkin dia akan hamil dari lakilaki itu. Aku segera menambahkan bahwa hakim di Uskudar telah meluluskan perceraiannya pagi ini, dan agar Shekure diizinkan menikah lagi, aku lalu menunjukkan dokumen itu kepadanya. “Imam yang mulia, yakinlah bahwa tidak ada halangan apa pun atas pernikahan ini,” kataku. Benar, Shekure dan aku memang memiliki hubungan darah, tetapi menjadi sepupu dari pihak ibu bukanlah sebuah penghalang, pernikahannya yang terdahulu sudah dianggap tidak sah, lagi pula tidak ada perbedaan agama, kelas sosial ataupun tingkat keuangan di antara kami. Dan jika ia menerima kepingan emas yang kusodorkan ke hadapannya agar mau melangsungkan upacara pernikahan itu di depan khalayak, ia juga akan menuntaskan sebuah tugas suci di depan Tuhan untuk anakanak tak berayah seorang janda. Apakah ia doyan pita f dengan kacang almond dan aprikot kering? Ia memang menyukai sajian itu, tetapi ia masih sibuk dengan anjinganjing di pintu gerbang. Ia mengambil koinkoin emas dariku dan berkata bahwa ia akan mengenakan jubah penghulunya, menegaskan penampilannya, mencari turbannya, dan tiba tepat pada waktunya untuk melangsungkan akad nikah. Ia bertanya jalan menuju rumah itu dan aku pun memberitahunya. Setergesa-gesa apa pun pernikahan tersebut dengan pengantin pria yang sudah memimpikan pernikahan itu selama dua belas tahunadakah yang lebih alamiah daripada pengantin pria yang melupakan semua kecemasan dan kegalauan hatinya, lalu memasrahkan diri pada tangan penuh kasih dan sindiran lembut seorang tukang cukur untuk sebuah pangkasan rambut dan cukuran sebelum pernikahan? Tempat pangkas rambut itu, ke mana kakiku membawaku, berdekatan letaknya dengan pasar di jalan yang banyak terdapat rumahrumah kumuh di Aksaray. Di tempat inilah almarhum Enishteku, bibiku dan Shekure yang jelita, pernah tinggal semasa kami kanakkanak. Inilah tempat cukur rambut yang kudatangi lima hari yang lalu, di hari pertama kepulanganku, Saat itu ketika aku melangkah masuk, ia memelukku dan sebagaimana yang akan dilakukan tukang cukur Istanbul yang baik, alihalih menanyakan padaku ke mana saja aku pergi selama dua belas tahun terakhir, ia malah langsung mengajakku membicarakan gunjingan terakhir di daerah itu, dan mengakhiri pembicaran dengan sebuah alusi pada tempat ke mana kita semua akan pergi di akhir perjalanan penuh makna yang disebut kehidupan. Tukang cukur yang mahir itu sudah lanjut usia. Silet bermata amat tajam yang digenggam oleh tangannya yang berbintik-bintik itu bergetar saat ia menarikan tangannya ke sekeliling pipiku. Ia telah membiarkan dirinya mabuk minuman dan menerima seorang bocah lelaki bermata hijau, dengan bibir merekah dan wajah merona merah jambu, sebagai muridnyabocah yang memandangi majikannya dengan kekaguman. Dibanding dua belas tahun yang lalu, kedai cukurnya tampak lebih bersih dan lebih teratur. Setelah mengisikan air mendidih ke dalam baskom yang digantungkan dari langit-langit kedai itu dengan rantai yang baru, dengan hati hati ia mencuci rambut dan wajahku dengan air yang keluar dari kran kuningan di dasar baskom itu. Baskom-baskom tua yang lebar itu baru dipoles kembali sehingga tidak ada bekas-bekas karat, tungkutungku pemanasnya pun bersih, dan silet-silet yang bergagang batu akik itu juga tajam. Ia mengenakan sebuah celemek sutra yang bersih, sesuatu yang pantang dilakukannya dua belas tahun yang lalu. Aku menyimpulkan bahwa murid tampan yang cukup tinggi untuk usianya dan juga bertubuh ramping itu telah membantu terciptanya keteraturan di kedai cukur ini sekaligus pemiliknya. Aku pun lalu menyerah pada kenikmatan bercukur yang penuh sabun dan beraroma mawar. Aku tidak tahan untuk terus memikirkan betapa pernikahan tidak hanya menimbulkan gairah hidup dan kemakmuran pada rumah seorang bujangan, tetapi juga pada pekerjaan dan kedainya. Aku tidak yakin telah berapa lama waktu berlalu. Aku terhanyut dalam kehangatan tungku yang meruapkan rasa hangat yang lembut ke seluruh penjuru kedai cukur itu, dan juga kelincahan jemari si tukang cukur. Dengan kehidupan yang tibatiba saja menghadiahiku anugerah terindah hari ini, dengan cuma-cuma pula, dan
setelah sekian lama merana, aku merasakan sebentuk rasa syukur tak terhingga pada Allah yang Maha Kuasa, Aku merasa amat penasaran dengan misteri keseimbangan dunia yang diwujudkan-Nya. Lalu aku merasa sedih dan pilu untuk Enishte yang tergolek tak bernyawa di rumahnya, di mana tak lama lagi akulah yang akan menjadi tuan di rumah itu. Aku sedang bersiap bangkit ketika terdengar suara di pintu kedai cukur yang selalu terbuka: Shevket! Dengan gugup, tetapi masih dengan keyakinan diri yang biasa dimilikinya, ia memegang selembar kertas. Tak mampu berkata-kata dan membayangkan yang terburuk, sukmaku menggigil seolaholah diembus angin sedingin es saat aku membaca: Jika tidak ada upacara arak-arakan pengantin perempuan, aku tidak akan menikahShekure. Kuraih tangan Shevket, lalu kuangkat tubuhnya ke atas pangkuanku. Aku akan senang sekali membalas surat Shekure sayangku secara tertulis, “Apa pun yang kauinginkan, cintaku!” Tetapi apa yang akan dilakukan pena dan tinta di kedai seorang tukang cukur yang tak berpendidikan? Maka, dengan sedikit perhitungan, aku membisikkan jawabanku ke telinga bocah itu: “Baiklah.” Masih dengan berbisik, kali ini aku bertanya padanya tentang keadaan kakeknya. “Ia sedang tidur.” Kini aku merasakan bahwa Shevket, si tukang cukur, dan bahkan kau sudah curiga padaku dan hubunganku dengan kematian Enishteku (Shevket tentu mencurigai halhal lainnya). Sayang sekali! Aku mendaratkan sebuah ciuman untuk anak itu dan segera saja ia pergi berlalu dengan rasa tidak senang. Selama pernikahan berlangsung, dengan mengenakan pakaian liburannya, ia menatapku dengan sorot mata penuh permusuhan dari kejauhan. Karena Shekure tidak akan meninggalkan rumah ayahnya demi aku, dan aku akan pindah ke dalam rumah mertua sebagai mempelai lakilaki, upacara pengantin itu hanyalah sebuah penyesuaian. Sewajarnya, aku tidak bisa meminta kawan-kawanku yang kaya raya untuk berdandan elok dan membuat mereka berkerumun menunggu di gerbang depan rumah Shekure dengan menunggangi kuda mereka seperti yang dilakukan orang lain. Namun, aku mengundang dua orang kawan masa kecilku yang telah kutemui dalam enam hari kepulanganku di Istanbul (salah satunya telah menjadi seorang kerani sepertiku dan yang lainnya mengelola sebuah pemandian umum) selain tukang cukurku yang baik, yang matanya langsung berkaca-kaca ketika ia berdoa memohonkan kebahagiaanku saat memangkas rambutku. Dengan menaiki kuda putihku, aku mengetuk gerbang rumah Shekure tercinta, seolaholah aku akan membawanya ke rumah yang lain dan kehidupan yang lain pula. Kepada Hayriye yang membukakan gerbang itu, kuberikan tip yang banyak. Shekure yang berbusana gaun pengantin berwarna merah menyala dengan kerudung pengantin merah muda menjuntai dari rambut hingga kakinya, muncul di tengah tangisan, isakan, desahan (seorang perempuan mengomeli anakanak), luapan kegembiraan, dan pekikan, “Semoga Tuhan melindunginya.” Dengan anggun dia menaiki seekor kuda putih lain yang kubawakan untuknya. Seiring suara genderang yang dipukul dan lengkingan seruling zurna yang dengan murah hati telah disewa oleh si tukang cukur untukku di saat-saat terakhir mengalunkan lagu pengantin yang lembut dan lirih, upacara pernikahan kami yang sederhana, muram, tetapi tetap penuh kebanggaan itu dimulai. Ketika barisan kuda mulai berjalan beriringan, aku tahu bahwa Shekure dengan kecerdikannya telah menyusun kemeriahan ini demi keamanan akad nikah kami. Upacara kami yang memamerkan pernikahan kami pada segenap masyarakat setempat, meskipun hanya di saat-saat terakhir, telah secara mendasar mendapatkan persetujuan semua orang, dengan demikian fakta ini bisa mencegah keberatankeberatan atas pernikahan kami yang mungkin muncul di masa yang akan datang. Namun, mengumumkan bahwa kami akan melangsungkan akad nikah, sekaligus walimahnyayang seakanakan menantang musuhmusuh kami, yakni
suami pertama Shekure dan keluarganyabisa membahayakan seluruh rencana kami. Jika semua tergantung padaku, maka aku akan menyelenggarakan upacara pernikahan ini dengan diamdiam, bahkan tanpa memberi tahu siapa pun, tanpa harus ada pesta. Aku lebih suka menjadi suaminya terlebih dahulu, baru kemudian mempertahankan pernikahan kami. Aku memimpin arak-arakan pengantin itu di atas kuda putih yang sudah dihias bagaikan kuda negeri dongeng itu. Saat kami berarak melintasi daerah tersebut, dengan gugup mataku mencari-cari Hasan dan anak buahnya yang kuperkirakan akan menyergap kami dari sebuah lorong atau gerbang halaman rumah yang temaram. Kuperhatikan dengan waspada para pemuda, tetua masyarakat, dan orangorang asing berdiri dan melambailambaikan tangan mereka dari pintupintu rumah mereka tanpa sepenuhnya memahami apa yang terjadi. Di sebuah daerah kecil di pasar yang tanpa sengaja kami masuki, aku menemukan kenyataan bahwa Shekure telah dengan luar biasa menyebarkan kabar sehingga perceraian dan pernikahannya denganku dengan cepat bisa diterima oleh masyarakat sekitar. Hal itu terbukti dari kegairahan seorang penjual sayuran dan buah-buahan yang meninggalkan buah-buahan, wortel dan apelnya yang berwarnawarni untuk bergabung dengan kami, masuk ke arakarakan, dan ikut berjalan beberapa langkah sambil berteriak, “Segala puji hanya bagi Allah, semoga Allah melindungi kalian berdua,” dan dari senyum seorang pelayan toko yang murung, serta dari pandangan penuh persetujuan tukang-tukang roti yang sedang mengawasi para pembantunya menggosok kerak di panggangan roti mereka. Masih saja aku merasa cemas, berupaya menjaga kesemarakan arak-arakanku dari sergapan tibatiba, atau bahkan gangguan sepatah kata kasar yang mungkin saja terlontar. Dengan alasan ini, aku tidak begitu terganggu dengan keributan anakanak pemulung uang logam yang berbaris di belakang kami saat kami meninggalkan pasar. Aku sadar lewat senyuman para perempuan dari balik jendela, jeruji, dan daun jendela mereka, bahwa kegairahan arak-arakan anakanak kecil ini melindungi dan mendukung kami. Saat kutatap sepanjang jalan yang telah dan sedang kami lewati, syukurlah akhirnya kami memutar kembali ke arah rumah itu, jantungku ada pada Shekure dan kedukaannya. Sesungguhnya, bukan kemalangannya yang menjalani upacara pernikahan di hari ayahnya tewas dibunuh yang membuatku pilu, melainkan upacara pernikahannya yang begitu sederhana dan sekadarnya. Shekureku tercinta layak mendapatkan arak-arakan pernikahan berupa iring-iringan kuda berhias perak dengan pelana-pelana hias yang indah dengan para penunggangnya yang berpakaian bulu musang dan sutra berbordir emas, serta ratusan kereta yang dipenuhi hadiah dan antara mas kawin. Dia layak memimpin sebuah arak-arakan panjang terdiri dari putriputri para pasha, sultan, dan kereta-kereta yang penuh sesak oleh perempuanperempuan selir yang sedang mengobrol tentang kemegahan masa lalu. Pesta pernikahan Shekure ini bahkan tidak dilengkapi empat tiang penyangga kanopi sutra berwarna merah yang biasanya memayungi para gadis kaya agar tidak terlihat oleh orangorang yang mencoba mencuri pandang. Bahkan, tidak ada seorang pelayan pun yang mendahului prosesi dengan membawa lilin pernikahan dan dekorasi berbentuk pohon yang berhiaskan buah-buahan, emas, dedaunan perak, dan batu-batu berkilauan. Lebih memalukan lagi, aku merasakan kesedihan yang siap membobol kelopak mataku dengan curahan air mata, setiap kali para pemain gendang dan zurna tibatiba harus menghentikan permainan mereka ketika iring-iringan kami tenggelam di tengah kepadatan para pengunjung pasar atau para pelayan yang sedang menimba air dari sumber air di lapangan karena kami tidak menugaskan seseorang untuk membuka jalan di depan dengan teriakan, “Ini dia pengantinnya.” Begitu kami mendekat ke rumah itu, aku mengumpulkan segenap keberanian untuk menoleh di atas pelana kudaku dan memandang ke arahnya, dan aku merasa lega melihat bahwa di balik hiasan pengantin berwarna merah jambu berkilauan dan kerudung merah mudanya, jauh dari kepiluan yang diakibatkan semua hal menyedihkan yang baru saja menimpanya, dia tampak tegar mengetahui bahwa kami telah menuntaskan arak-arakan tanpa halangan apa pun. Maka, layaknya seorang pengantin lakilaki, aku menurunkan pengantin jelitaku yang tak lama lagi akan kunikahi itu dari kudanya. Kutuntun tangannya, lalu segenggam demi segenggam, kutaburkan sekantung uang perak di atas kepalanya di hadapan kerumunan orang
yang turut bersuka cita. Ketika anakanak kecil yang mengarak di belakang iringiringan sederhana kami berebut memunguti koinkoin perak itu, Shekure dan aku memasuki halaman dan melintasi pijakan batu. Begitu kami masuk ke dalam rumah, kami tidak hanya merasa tersengat oleh hawa panasnya, melainkan juga oleh bau busuk yang menyengat. Sementara segenap peserta upacara mencari tempatnya masingmasing di dalam rumah, Shekure dan sekerumunan tetua, para perempuan, dan anakanak (Orhan memandangiku dengan penuh kecurigaan dari sudut ruangan) tampak melanjutkan rangkaian acara seolah tidak terjadi apa-apa, dan sesaat aku meragukan indra penciumanku. Namun, aku sangat tahu bahwa mayat yang dibiarkan di bawah sinar matahari selepas peperangan dengan pakaian mereka yang koyak moyak, sepatu bot dan sabuk yang sudah dicuri orang, dan dengan wajah, mata dan bibir mereka telah dikoyak oleh srigala dan burungburung bangkai, pastilah akan berbau. Itu adalah bau menyengat yang sering menyesakkan tenggorokan dan paru-paruku sampai membuatku me rasa tercekik, sehingga aku tidak mungkin salah tentang yang satu ini. Saat menuruni tangga menuju dapur, aku bertanya pada Hayriye tentang tubuh Enishte Effendi. Tampaknya dia sadar bahwa aku berbicara padanya untuk pertama kalinya sebagai kepala rumah tangga di rumah ini. “Sebagaimana yang Anda perintahkan, kami membaringkannya di atas ranjangnya, memakaikan baju malamnya, menarik selimut ke atas tubuhnya dan meletakkan botolbotol sirup di sampingnya. Jika ia meruapkan bau tidak sedap, itu mungkin karena hawa panas dari tungku perapian di kamar itu,” perempuan itu berkata dengan berlinang air mata. Satu dua tetes air matanya luruh, jatuh ke dalam bejana yang sedang digunakannya untuk menggoreng daging domba. Dari caranya menangis, kuduga Enishte Effendi telah sering membawanya ke atas ranjang di malam hari. Esther, yang tampak bangga duduk diam di pojok dapur, menelan apa yang tadinya sedang dikunyahnya, lalu berdiri. “Jadikan kebahagiaan Shekure sebagai tujuan utamamu,” ujarnya. “Camkanlah betapa tak ternilainya dia.” Dalam benakku, aku mendengar suara kecapi yang kudengar di jalan di hari pertama aku kembali ke Istanbul. Melebihi kesedihanku, kudengar semangat membara dalam iramanya. Aku mendengar irama musik itu lagi kemudian, di kamar temaram tempat Enishteku terbaring dalam baju malam putihnya saat penghulu menikahkan kami, Karena Hayriye telah diamdiam mengeluarkan udara kamar itu sebelumnya dan meletakkan lampu minyak di salah sudut kamar sehingga kamar itu menjadi temaram, orang nyaris tak mungkin bisa mengetahui dengan pasti apakah Enishteku memang sedang sakit ataukah sudah mati. Karena itu, ia menjadi wali resmi Shekure selama akad nikah berlangsung. Kawanku si tukang cukur, bersama seorang tua yang dikenal oleh semua orang, menjadi saksiku. Sebelum akad nikah itu diakhiri dengan doa-doa penuh pengharapan dan nasihat dari sang penghulu, serta doa bersama seluruh hadirin, seorang tua ceriwis yang mempermasalahkan kesehatan Enishte, hampir saja menundukkan kepalanya ke atas mayat itu, tetapi segera setelah sang penghulu menyelesaikan akad nikah, aku bangkit dari tempatku dan merengkuh tangan kaku Enishteku, lalu berteriak sekencangkencangnya, “Jangan lagi khawatir, Enishteku tersayang. Aku akan melakukan apa pun dengan sekuat tenaga untuk melindungi Shekure dan anakanaknya, serta memastikan mereka mendapatkan pakaian yang layak, tercukupi makannya, dicintai dan damai sentosa.” Berikutnya, untuk menunjukkan bahwa Enishteku sedang berusaha berbisik padaku dari ranjangnya, perlahanlahan aku mendekatkan telingaku ke mulutnya, berpurapura mendengarkannya dengan penuh perhatian dan dengan mata terbuka lebar, sebagaimana yang akan dilakukan seorang anak muda saat seorang tua yang mereka hormati memberikan nasihat yang dirangkum dari seluruh perjalanan hidupnya dan kemudian akan diserap laksana ramuan berkhasiat ke dalam kepala mereka. Sang penghulu dan para tetua di daerah itu tampak menghargai dan senang
dengan kesetiaan dan pengabdian yang kutunjukkan kepada ayah mertuaku. Kuharap tak akan ada yang masih berpikir bahwa aku terlibat dalam pembunuhan terhadapnya. Ku umumkan pada segenap hadirin yang masih ada di ruangan itu bahwa lelaki yang sedang tidak sehat itu ingin ditinggalkan sendirian. Segera saja mereka mulai meninggalkan ruangan itu, memasuki ruang sebelahnya, tempat orangorang berkumpul untuk berpesta dengan hidangan pilaf dan daging domba buatan Hayriye (tepat di saat itulah aku tak mampu lagi membedakan bau mayat itu dengan aroma rempahrempah dan daging domba goreng). Aku melangkah masuk ke dalam lorong besar dan layaknya kepala keluarga yang sedang murung, aku menjelajahi seisi rumah dengan pikiran kosong dan sedih. Kubuka pintu kamar Hayriye tanpa memedulikan histeria para perempuan karena ada seorang lelaki di antara mereka, dan kemudian aku menatap Shekure dengan penuh cinta. Kedua bola matanya serta merta memancarkan kebahagiaan melihatku, lalu aku berkata, “Ayahmu memanggilmu, Shekure. Kita sudah menikah sekarang, kau harus mencium tangannya.” Sekelompok perempuan tetangga yang diundang mendadak oleh Shekure dan para gadis remaja yang kuduga adalah para kerabat, bergegas menyatukan diri dan menutupi wajah mereka sambil mengamati-amatiku sepuas hati mereka. Tidak lama setelah azan isya berkumandang, tetamu pesta pernikahan itu mulai bubar, sambil dengan bersemangat membawa pulang kacang kenari, almond, kulit buah kering, kembang gula, dan permen cengkeh. Di ruang perempuan, Shekure terusmenerus menangis dan mengeluh bahwa anakanak telah berbuat nakal. Dia sudah mengakhiri kemeriahan ini. Di antara para lelaki, dengan wajah yang datar aku terdiam menanggapi gurauan tentang malam pertama dari para tetangga, berkaitan dengan suasana muram karena ayah mertua yang sedang sakit. Di tengah semua kegundahan ini, kejadian yang paling mengendap dalam ingatanku adalah ketika aku menuntun Shekure ke kamar Enishte sebelum makan malam. Pada akhirnya kami berduaan. Setelah kami berdua mencium tangan dingin dan kaku lelaki tua yang sudah tiada itu dengan khidmat, kami mundur ke sudut gelap kamar itu dan berciuman penuh gelora, seolaholah memuaskan dahaga yang tiada taranya. Pada lidah hangat istriku yang berhasil kumasukkan ke rongga mulutku, aku bisa merasakan bekas rasa permen yang dengan rakus dinikmati oleh anakanak.[] Bab 34 AKU, SHEKURE PARA TAMU terakhir pesta pernikahan kami yang memprihatinkan itu sudah merapatkan kerudung mereka, lalu mengenakan sepatu dan menyeret anakanak mereka yang telah melemparkan butiran terakhir permen ke dalam mulut mereka, kemudian meninggalkan kami semua dalam keheningan yang mencekam. Kami semua berada di halaman, tidak ada yang terdengar lagi selain suara lirih seekor burung pipit yang dengan tenang meneguk air dari ember yang setengah terisi di dekat sumur. Burung pipit yang bulu-bulu kepala mungilnya berkilauan diterpa cahaya perapian batu itu tibatiba melesat pergi ke dalam kegelapan malam, dan aku pun segera merasakan keberadaan jenazah di ranjang ayahku dalam rumah kami yang kosong. “Anakanak,” panggilku, dengan nada suara yang dikenal Orhan dan Shevket sebagai nada yang kugunakan saat akan mengumumkan sesuatu, “kemarilah kalian berdua.” Mereka mematuhiku. “Hitam kini adalah ayah kalian. Ayo cium tangannya.” Mereka mematuhiku. “Mengingat mereka dibesarkan tanpa seorang ayah, anakanakku yang malang tidak pernah tahu bagaimana mematuhi seseorang, atau memerhatikan katakata seorang ayah sambil menatap matanya lekat-lekat, atau bahkan memercayainya,” ujarku pada Hitam. “Karena itu, jika mereka bersikap kurang sopan, liar, dan kekanakkanakan padamu, aku yakin kau akan memaklumi mereka pada awalnya, memahami bahwa mereka dibesarkan tanpa pernah mematuhi ayah mereka yang bahkan mungkin tidak mereka ingat.”
“Aku ingat ayahku,” tukas Shevket. “Hus …. dengarkan,” kataku. “Mulai sekarang katakata Hitam lebih harus dipatuhi daripada katakataku.” Aku menghadap ke arah Hitam. “Jika mereka menolak mendengarkanmu, jika mereka bersikap tidak patuh, atau bahkan menunjukkan sedikit saja sikap kasar, manja atau tidak santun, peringatkanlah dan maafkan mereka,” ujarku melupakan dengan sengaja menyebut soal hukuman pukul yang sudah ada di ujung lidahku. “Ruang apa pun yang kuhuni di dalam hatimu, mereka akan menempati ruang yang sama.” “Aku tidak hanya menikahimu untuk menjadi suamimu,” sahut Hitam, “tetapi juga untuk menjadi ayah dari anakanak manis ini.” “Apakah kalian berdua mendengarnya?” “Ya, Tuhan, aku memohon pada-Mu agar tidak pernah berhenti menyinari kehidupan kami,” Hayriye berkata dari sudut ruangan. “Ya, Tuhan, kumohon lindungilah kami semua.” “Kalian berdua mendengar itu semua, bukan?” tanyaku. “Bagus, anakanakku yang tampan. Karena ayah kalian mencintai kalian seperti ini, kalian tidak boleh lepas kendali dan meremehkan kata-katanya. Sebelumnya ia akan memaafkan kalian.” “Dan aku akan memaafkan mereka sesudahnya juga,” ujar Hitam. “Namun, jika kedua anak ini menentang peringatanmu untuk ketiga kalinya … maka kau berhak memukul mereka,” ujarku. “Apakah kita semua sudah saling memahami? Ayah baru kalian, Hitam, datang ke tempat ini dari medan peperangan paling keji yang sangat dimurkai Tuhan, dan dari medan perang yang didatangi almarhum ayah kalian hingga ia tidak kembali. Ya, ia seorang lelaki yang lebih tangguh. Kakek kalian sangat memanjakan kalian. Kini kakek kalian sedang dalam keadaan sakit keras.” “Aku ingin mendatanginya dan menemaninya,” seru Shevket. “Jika kalian tidak mendengarkan, Hitam akan mengajari kalian bagaimana rasanya mendapat sebuah pukulan dari neraka. Kakek kalian tidak akan mampu menyelamatkan kalian dari Hitam, seperti dulu yang dilakukannya pada kalian terhadap kemarahanku. Jika kalian tidak ingin menerima kemarahan ayah kalian, kalian tidak boleh bertengkar lagi, kalian akan saling berbagi, tidak akan berbohong, melakukan salat dengan tertib, tidak tidur dulu sebelum belajar, dan kalian juga tidak boleh berbicara kasar pada Hayriye atau menggodanya …. Apakah kita saling memahami?” Dengan satu gerakan, Hitam membungkuk dan meraih Orhan, lalu menggendongnya. Shevket menjaga jarak. Aku merasakan keinginan kuat untuk memeluknya dan menangis. Anak lelakiku yang menderita dan tak berayah, Shevketku yang kesepian dan bernasib malang, kau begitu sendirian di tengah dunia yang begitu luas ini. Aku memikirkan diriku sebagai seorang anak kecil, seperti Shevket, yang sendirian di tengah dunia, dan dengan pedih kukenang lagi betapa aku pernah berada di dalam pelukan ayahku seperti Orhan yang kini digendong Hitam. Namun, tidak seperti Orhan, aku tidak kikuk berada dalam pelukan ayahku, seperti sebutir buah yang tidak terbiasa dengan pohonnya. Aku saat itu begitu senang dan bersuka hati. Aku ingat betapa ayahku dan aku sering berpelukan, dan saling mengecup. Aku sudah akan memuntahkan hujan air mata, tetapi kutahantahan. Meski aku tidak berencana mengatakan kalimat seperti ini, aku tetap mengatakannya, “Ayo, sekarang coba kau memanggilnya ‘Ayah.’” Malam itu begitu dingin dan halaman rumah kami begitu hening. Di kejauhan kawanan anjing menyalak dan melolong dengan ribut, begitu menyedihkan dan memilukan. Beberapa menit kemudian, keheningan itu meluas dan merata ke seluruh penjuru bagaikan sekuntum bunga hitam. “Baiklah, anakanak,” kataku kemudian. “Ayo kita masuk ke agar kita tidak masuk angin di luar sini.”
Bukan hanya Hitam dan aku yang merasakan kekakuan sepasang pengantin yang ditinggalkan selepas pesta pernikahan, melainkan juga Hayriye dan anakanak. Kami semua memasuki rumah dengan raguragu, seolaholah kegelapan dari dalam rumah itu sesuatu yang asing. Kami lalu mencium bau jenazah ayahku, tetapi semua orang seakanakan tidak menyadarinya. Diamdiam kami menaiki tangga, dan bayangan yang jatuh di langit-langit dari lampu-lampu minyak yang biasanya berputar-putar dan berbaur, kini meluas, lalu menciut, seakanakan baru terjadi untuk pertama kalinya. Di lantai atas, saat kami membuka sepatu kami di lorong, Shevket berkata, “Sebelum kita tidur, bolehkah aku mencium tangan kakek?” “Aku baru saja memeriksanya,” ujar Hayriye. “Kakek kalian sedang merasa kesakitan dan tidak nyaman, jelas sudah bahwa roh jahat telah menguasai tubuhnya. Demam dari penyakitnya itu telah menelannya. Pergilah ke kamar kalian agar aku bisa menyiapkan kasur kalian.” Hayriye menggiring mereka memasuki kamar. Saat aku membentangkan kasur dan membungkusnya dengan sprei dan selimut, dia bersikap seolaholah setiap benda yang dipegangnya adalah sesuatu yang unik dan mengagumkan di dunia ini, lalu bergumam betapa tidur di sini, di dalam sebuah kamar yang hangat di antara sprei bersih dan selimut tebal bagaikan menghabiskan malam di istana seorang sultan. “Hayriye, ceritakan sebuah dongeng pada kami,” pinta Orhan, saat ia duduk di atas pispot kamarnya. “Pada suatu hari ada seorang manusia biru,” ujar Hayriye, “dan sahabat terdekatnya adalah sesosok jin.” “Mengapa orang itu biru?” tanya Orhan. “Demi Tuhan, Hayriye,” potongku. “Malam ini jangan mendongeng tentang jin dan hantu.” “Mengapa dia tidak boleh melakukannya?” tanya Shevket. “Ibu, setelah kami tidur, apakah Ibu akan meninggalkan ranjang dan menemani kakek?” “Kakek kalian, semoga Allah melindunginya, sedang sakit parah,” ujarku. “Tentu saja aku akan mendampinginya di malam hari dan menjaganya. Kemudian, aku akan kembali ke ranjang kita, bukan?” “Biarkan Hayriye saja yang menjaga kakek,” ujar Shevket. “Bukankah Hayriye selalu menjaga kakek di malam hari?” “Kau sudah selesai?” tanya Hayriye pada Orhan sambil membasuh bokong Orhan dengan lap basah. Wajah Orhan tampak diliputi kelelahan yang melegakan. Hayriye mengintip ke dalam pispot, lalu mengerutkan wajahnya, bukan karena baunya, melainkan sepertinya dia tidak puas dengan apa yang dilihatnya. “Hayriye,” kataku. “Kosongkan pispot kamar itu dan bawa kembali. Aku tidak ingin Shevket meninggalkan kamar ini di tengah malam.” “Mengapa aku tidak boleh meninggalkan kamar?” Tanya Shevket. “Mengapa Hayriye tidak boleh menceritakan dongeng tentang jin dan peri malam ini?” “Karena ada sekelompok jin di rumah ini, tolol,” seru Orhan, bukan karena rasa takutnya, melainkan karena optimisme bodoh yang sering kulihat dalam ekspresinya setiap kali ia merasa lega. “Ibu, apakah memang ada jin di rumah ini?” “Jika kau meninggalkan kamar dan berusaha melihat kakekmu, jin akan menangkapmu.” “Di manakah Hitam membentangkan kasurnya?” tanya Shevket. “Di manakah ia akan tidur malam ini?”
“Aku tidak tahu,” jawabku, “Hayriye akan menyiapkan kasurnya.” “Ibu masih akan tidur bersama kami, bukan?” tanya Shevket. “Harus berapa kali Ibu katakan padamu? Aku akan tidur bersama kalian berdua seperti sebelumnya.” “Selalu?” Hayriye berlalu sambil membawa pispot. Dari laci tempat aku menyembunyikannya, kukeluarkan sembilan lukisan yang disisakan oleh pembunuh jahanam itu, dan duduk di atas ranjang. Dengan diterangi cahaya sebatang lilin, aku memandanginya dalam waktu lama, mencoba menyelami rahasia lukisanlukisan tersebut. Ilustrasiilustrasi ini begitu indah sehingga kau akan salah mengenali mereka, seolaholah itu adalah sebuah kenangan yang sudah kaulupakan. Dan seperti tulisan, begitu kau memandanginya lukisanlukisan itu akan berbicara. Aku tersesat dalam lukisanlukisan itu. Aku tahu dari wangi kepala Orhan yang tampan, di mana aku menempelkan hidungku, bahwa ia juga memandangi warna merah yang ganjil dan mencurigakan itu. Seperti yang kadangkadang terjadi, aku merasakan sebentuk keinginan untuk mengeluarkan payudaraku dan menyusuinya. Tak lama kemudian, ketika Orhan ketakutan melihat lukisan mengerikan Malaikat Maut, dan dengan lembut mengembuskan napas manis ke dalam bibirnya yang kemerahan, aku tibatiba saja merasa ingin melahapnya. “Aku akan memakanmu, kautahu?” “Ibu, geli!” ujarnya dan meloloskan diri dari pelukanku, “Bangun kau! Bangun kau, anak nakal!” aku menjerit dan menamparnya dengan bermainmain. Ia tergeletak menimpa lukisanlukisan itu. Aku memandangi ilustrasiilustrasi tersebut; sepertinya tidak ada yang rusak. Gambar seekor kuda di bagian atas samarsamar tampak tersungkur. Hayriye masuk dengan pispot kosong. Aku mengumpulkan lukisanlukisan itu dan akan meninggalkan kamar ketika Shevket mulai menangis, “Ibu akan pergi ke mana?” “Aku akan segera kembali.” Aku melintasi lorong yang dingin membekukan itu. Hitam sedang duduk di depan tumpukan bantal ayahku yang kosong, dengan posisi yang sama saat ia menghabiskan waktu selama empat hari mendiskusikan lukisan dengan almarhum ayahku. Aku meletakkan ilustrasiilustrasi itu di atas rehal, bantal duduk, dan di atas lantai di depannya. Warnawarna seketika menyeruakkan kehangatan dan kehidupan yang mengagumkan di dalam kamar yang hanya diterangi cahaya lilin itu, seakanakan semuanya siap bergerak. Dengan diam mematung, kami memandangi lukisan itu dari jauh dan dengan penuh hormat. Ketika kami bergerak meski hanya sedikit saja, udara beku yang meruapkan aroma kematian dari kamar di seberang lorong yang lebar itu akan membuat lidah api lilin itu bergetar, dan ilustrasiilustrasi misterius ayahku itu seakanakan ikut bergerak. Apakah lukisanlukisan ini sedemikian pentingnya bagiku karena telah menjadi penyebab kematian ayahku? Apakah aku sepenuhnya terserap oleh keanehan kuda itu, atau oleh keunikan warna merah, oleh penderitaan yang ditunjukkan sebatang pohon, atau oleh kepiluan yang terpancar dari gambar dua orang darwis pengembara itu, atau disebabkan rasa takutku pada pembunuh ayahku yang mungkin juga telah membunuh orangorang lain hanya demi ilustrasiilustrasi ini? Beberapa saat kemudian, Hitam dan aku paham sepenuhnya bahwa keheningan di antara kami berdua kemungkinan besar diakibatkan lukisanlukisan itu, dan juga kenyataan berada di kamar yang sama berdua saja di malam pernikahan kami. Kami berdua sama-sama ingin berbicara. “Saat kita bangun besok pagi, kita harus mengatakan pada semua orang bahwa
ayahku yang tak berdaya telah meninggal dunia dalam tidurnya,” ujarku. Meskipun yang kukatakan itu benar, tetapi kedengarannya aku telah bersikap tidak tulus. “Semuanya akan baikbaik saja besok pagi,” sahut Hitam dengan sikap kikuk yang sama, tak mampu menyadari kenyataan akan apa yang telah ia katakan. Saat ia membuat sebuah gerakan kecil yang menandakan ia akan mendekat padaku, aku merasakan keinginan kuat dalam dadaku untuk memeluknya seperti yang kulakukan pada anakanak, merengkuh kepalanya ke dalam tanganku. Tepat pada saat itulah, aku mendengar pintu kamar ayahku terbuka, dan merasa dibangkitkan oleh sebentuk rasa ngeri, aku berlari, membuka pintu kami, dan melongok keluar: lewat cahaya yang menyusup ke dalam lorong, aku tercengang mendapati pintu kamar ayahku setengah terbuka. Aku melangkah ke lorong yang sedingin es itu. Kamar ayahku yang hangat oleh tungku pemanas yang masih menyala dipenuhi bau menyengat mayat yang membusuk. Apakah Shevket masuk kemari, atau adakah orang lain? Tubuh ayahku mengenakan baju malamnya, tampak beristirahat dengan damai, diselimuti cahaya temaram tungku pemanas. Aku ingat, di malammalam tertentu, aku akan berkata, “Selamat malam, Ayah sayang,” sementara ia membaca buku Kitab Sukma diterangi cahaya lilin sebelum tidur. Ia akan mengangkat tubuhnya perlahan, mengambil gelas yang kubawakan untuknya dari tanganku, dan berkata, “Semoga si pembawa air minum tidak membutuhkan apa-apa lagi,” sebelum akhirnya ia mencium pipiku dan menatap mataku, seperti yang biasa dilakukannya saat aku masih kecil. Aku menunduk menatap wajah ayahku yang mengerikan dan seketika aku merasa takut, Aku ingin menghindar dari memandanginya, tetapi di saat yang sama, terhasut oleh setan, aku ingin mengetahui ia sudah menjadi sejelek apa. Dengan takut-takut aku kembali ke kamar berpintu biru tempat Hitam sedang berjalan menghampiriku. Aku mendorong tubuhnya, lebih karena tak tahu apa yang kupikirkan daripada karena amarah. Kami bergelut di bawah cahaya lilin yang berpendar-pendar, meski itu bukanlah perkelahian yang sesungguhnya, lebih seperti berpurapura berkelahi. Kami seakanakan menikmati gerakan saling membanting, menyentuh tangan, kaki dan dada. Kebingungan yang kurasakan mewujud dalam keadaan emosional yang digambarkan Nizami sedang dialami oleh Hiisrev dan Shirin: Mampukah Hitam, yang telah membaca Nizami dengan saksama, merasakannya? Seperti Shirin, apakah aku juga bermaksud mengatakan “Teruskan” ketika aku berkata, “Jangan lukai bibirku dengan menciumnya terlalu keras”? “Aku menolak tidur seranjang denganmu, hingga manusia iblis itu ditemukan, hingga pembunuh ayahku tertangkap,” ujarku. Saat aku berlari ke kamar, aku merasa diliputi rasa malu. Aku sudah berbicara dengan suara yang sedemikian melengking, seolaholah aku ingin anakanak dan Hayriye mendengar apa yang kukatakanmungkin bahkan ayahku yang malang dan almarhum suamiku, yang tubuhnya sudah lama membusuk dan berubah menjadi debu entah di tanah tandus mana di muka bumi ini. Begitu aku kembali bersama anakanak, Orhan berkata, “Ibu, Shevket tadi keluar ke lorong rumah.” “Apakah kau keluar?” tanyaku, dan menggerakkan tubuhku seperti jika aku akan menamparnya. “Hayriye,” seru Shevket sambil memeluk perempuan itu. “Ia tidak keluar kamar,” jawab Hayriye. “Ia berada di dalam kamar sepanjang waktu.”
Aku merasa menggigil dan tidak mampu memandangi mata Hayriye. Kusadari bahwa setelah kematian ayahku diumumkan, sejak itu anakanak akan mencari perlindungan Hayriye, mengatakan padanya semua rahasia kami, dan pelayan yang rendah ini akan mengambil keuntungan dari kesempatan itu agar bisa mengendalikanku. Dia juga tidak akan berhenti di situ saja. Dia akan mencoba menimpakan beban kesalahan atas terbunuhnya ayahku padaku, lalu dia akan membuat perwalian anakanak jatuh ke tangan Hasan! Ya, jelas dia akan melakukannya! Semua rencana busuk ini mungkin dijalankannya karena dia pernah tidur dengan ayahku, semoga ia beristirahat di bawah cahaya suci. Mengapa aku harus menyembunyikan hal ini lagi? Pada kenyataannya dia memang melakukan hal itu. Aku tersenyum manis padanya. Lalu, aku mengangkat Shevket ke atas pangkuanku dan menciumnya. “Aku bilang padamu, Ibu, tadi Shevket keluar ke lorong,” seru Orhan. “Naiklah ke atas kasur kalian berdua. Biarkan Ibu berbaring di antara kalian agar bisa menceritakan kisah tentang anjing hutan tak berekor dan jin hitam.” “Tetapi tadi ibu memberi tahu Hayriye agar tidak menceritakan pada kami kisah tentang jin,” ujar Shevket. “Mengapa bukan Hayriye saja yang bercerita pada kami malam ini?” “Apakah mereka akan mendatangi Kota Sepi?” tanya Orhan. “Ya, mereka akan melakukannya!” jawabku. “Tidak ada seorang anakpun di kota itu yang memiliki seorang ibu atau ayah. Hayriye, turunlah ke lantai bawah dan periksa sekali lagi semua pintu. Kita mungkin akan ketiduran di tengahtengah cerita.” “Aku tidak akan ketiduran,” seru Orhan. “Di mana Hitam akan tidur malam ini?” tanya Shevket. “Di bengkel kerja,” sahutku. “Ayo berangkulan erat pada ibu kalian agar kita semua bisa merasa hangat dan nyaman di balik selimut. Kaki kecil siapa ini yang sedingin es?” “Kakiku,” sahut Shevket. “Di mana Hayriye akan tidur?” Aku mulai bercerita, dan seperti biasanya, Orhan yang pertama jatuh terlelap, setelah aku merendahkan suaraku. “Setelah aku tertidur, Ibu tidak akan meninggalkan ranjang, bukan?” tanya Shevket. “Tidak, aku tidak akan pergi.” Aku sungguhsungguh tidak berniat meninggalkan ranjang. Setelah Shevket jatuh tertidur, aku merenungkan betapa menyenangkannya tidur berangkulan dengan kedua putraku di malam pernikahan keduakudengan suamiku yang tampan, cerdas, dan menggairahkan di kamar sebelah. Aku jatuh tertidur dengan pikiranpikiran seperti itu, tetapi tidurku begitu gelisah. Tak lama kemudian, ini yang kuingat tentang dunia yang bergerak aneh antara mimpi dan keterjagaan: Pertama, aku berhadapan dengan sukma almarhum ayahku yang murka, kemudian aku lari dari sosok pembunuh laknat yang juga ingin mengirimku ke dalam kubur bersama ayahku. Saat lelaki itu mengejarku, pembunuh berdarah dingin itu sosoknya jadi lebih menakutkan dari sukma ayahku, dan ia mulai membuat suarasuara yang menggangguku. Dalam mimpiku, ia melempari rumah kami dengan batu. Kemudian, ia melemparkan sebongkah batu ke arah pintu, mengarahkannya ke satu titik untuk membuatnya terbuka. Berikutnya, ketika makhluk jahat ini mulai melolonglolong seperti seekor binatang setan, jantungku mulai berdegup kencang. Aku terjaga bermandikan keringat. Apakah aku mendengar suarasuara itu dalam mimpiku ataukah aku terbangun oleh suarasuara dari suatu tempat di rumah ini?
Aku tidak bisa memastikannya, hingga akupun kembali merangkul anakanakku, dan tanpa bergerak lagi, aku menanti. Aku nyaris yakin bahwa suarasuara itu hanya muncul dalam tidurku, ketika kudengar lolongan yang sama. Saat itu, sesuatu yang amat besar sepertinya jatuh di halamandengan sebuah debuman keras. Mungkinkah itu juga sebongkah batu? Aku mematung didera rasa ngeri. Namun, keadaan segera menjadi lebih buruk: aku mendengar suarasuara dari dalam rumah. Di manakah Hayriye? Di kamar manakah Hitam tidur? Bagaimana keadaan jenazah ayahku yang menye