BAB I PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul Sebuah penelitian dilakukan untuk menemukan fakta yang belum diketahui. Baik fakta yang bisa ditemukan dan terlihat dengan jelas maupun fakta yang ada dibalik fenomena yang ada. Alasan keingintahuan dari obyek yang diteliti inilah yang melatar belakangi proses peneltian yang akan dilakukan. Alasan teoritis dari penelitian yang dilakukan adalah sebuah fokus penelitian yang memenuhi syarat-syarat seperti aktualitas, orisinalitas, dan memilki hubungan dengan program studi yang diambil. 1. Aktualitas Fenomena perekonomian menjadi suatu aspek yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat. Fenomena tersebut tidak menutup kemungkinan timbulnya masalah sosial akibat perekonomian yang semakin buruk. Salah satu permasalahan sosial yang perlu mendapat perhatian adalah anak terlantar. Keterlantaran terjadi karena kelalaian atau ketidakmampuan orang tua atau keluarga melaksanakan kewajibannya, sehingga kebutuhan jasmaniah, rohaniah maupun sosial mereka tidak terpenuhi secara wajar. Masalah keterlantaran semakin nampak dalam situasi terbatasnya atau minimnya ketersediaan sumber daya yang dimiliki oleh keluarga dan masyarakat untuk mengatasi permasalahan sosial (http://rehsos.kemsos.go.id). Pelayanan dengan sistem panti menjadi alternatif terakhir ketika fungsi dan peran keluarga dan masyarakat sudah tidak lagi mampu memberikan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan anggotanya, dalam hal ini terutama anak. Panti sosial sebagai suatu wadah bagi anak diluar pengasuhan keluarga dengan kegiatan yang bertujuan untuk memberikan pengasuhan dan perlindungan sementara kepada anak yang 1
mengalami
keterlantaran
untuk
kemudian
dikembalikan
kepada
pengasuhan
keluarganya, setelah diberikan program konseling, bimbingan mental/sosial, vokasional dan lain-lain. Pasca pendampingan panti sosial, diperlukan pelayanan lanjutan bagi eks klien melalui pelayanan pembinaan lanjut (aftercare), yang menunjukan perhatian lembaga pada eks klien secara kontinyu hingga mereka benarbenar bisa mandiri. Kemandirian yang menjadi referensi Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo yakni kemandirian yang diukur dari kemampuan anak hingga anak tersebut dapat bekerja. KA Subag Tata Usaha Kirwan, SE menjelaskan bahwa: “Setelah pengakhiran proses pelayanan di balai, untuk mengetahui apakah anak sudah bisa mandiri dan bekerja atau tidak, yaitu dengan kegiatan pemantauan (monitoring). Tapi karena tempat tinggal anak yang saling berjauhan menjadi kendala dalam proses monitoring, jadi kadang-kadang alumni sendiri yang datang ke balai untuk memberikan informasi. Dan dari hasil pemantauan hampir 97% sudah bekerja.” Pelatihan dan penanaman kemandirian pada anak terlantar diberikan pada saat proses pendidikan dan pelayanan sosial didalam balai pelayanan sosial tersebut. Pasca pendampingan atau setelah anak kembali kepada keluarga, pelayanan lanjutan hanya dilakukan dengan pemantauan (monitoring). Pemantauan bertujuan untuk mengetahui apakah alumni penerima manfaat mampu mandiri atau tidak setelah berada di lingkungan keluarga dan masyarakat. 2. Orisinalitas Sudah banyak penelitian yang dilakukan berkaitan dengan peran panti sosial maupun pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak terlantar. Tetapi masing-masing penelitian mempunyai fokus penelitian yang berbeda. Seperti penelitian dengan judul “Pelaksanaan Pembinaan Anak Terlantar Di Balai Rehabilitasi Sosial „Wiloso Muda 2
Mudi‟ Purworejo” yang dilakukan oleh Nindhita Nur Manik, mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian tersebut mengangkat fokus tentang bagaimana pelaksanaan pembinaan dan peran pendamping, serta apa saja yang menjadi faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pembinaan. Meski penelitian dilaksanakan di tempat yang sama dengan peneliti yakni Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo, namun fokus permasalahan penelitian berbeda. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Romadona Putra Setiyadi, mahasiswa Universitas Negeri Semarang dengan judul penelitian “Perilaku Kemandirian Anak Yatim Setelah Lepas Dari Pengasuhan Panti Asuhan (Studi Kasus Panti Asuhan Yatim PKU Aisyiyah Cabang Blambangan Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara)”. Sedangkan peneliti mengangkat judul penelitian “Kemandirian Alumni Penerima Manfaat Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo Pasca Pendampingan”, melihat bagaimana kemandirian alumni penerima manfaat di lingkungan
keluarga
dan
masyarakat
setelah
mendapatkan
pembinaan
dan
pendampingan dari balai pelayanan sosial asuhan anak tersebut. Kemandirian tersebut meliputi aspek-aspek dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3.
Relevansi dengan Program Studi Pembangunan Sosial Dan Kesejahteraan Penelitian ini memiliki kaitan yang cukup erat dengan disiplin ilmu Pembangunan Sosial Dan Kesejahteraan, yaitu dengan adanya pembinaan anak terlantar yang dilakukan oleh Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo yang diharapkan dapat menciptakan kemandirian bagi para penerima manfaat. Pelayanan sosial yang diberikan oleh balai pelayanan sosial asuhan anak berupa pengembangan potensi dan kemampuan anak, serta bekal keterampilan, yang merupakan bentuk pemberdayaan bagi anak-anak terlantar. Tujuan akhir dari proses pemberdayaan tersebut adalah keberfungsian sosial bagi anak terlantar. Penelitian
3
dilakukan untuk mengetahui proses kemandirian pada alumni penerima manfaat pasca pendampingan oleh panti/balai pelayanan sosial tersebut. Hal ini juga untuk melihat seberapa besar keberhasilan balai pelayanan sosial tersebut dalam pemberdayaan anak terlantar.
B. Latar Belakang Masalah Permasalahan anak terlantar di Indonesia telah terjadi sejak lama dan menjadi salah satu masalah sosial yang sangat luas dan kompleks. Keberadaan anak terlantar tersebar di semua wilayah Indonesia baik di perkotaan maupun pedesaan. Permasalahan tersebut berkembang semakin kompleks, dimulai ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi sejak tahun 1997 yang membuat perekonomian masyarakat semakin buruk sehingga masyarakat semakin sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Anak terlantar sesungguhnya adalah anak-anak yang termasuk kategori anak rawan atau anak-anak membutuhkan perlindungan khusus (childern in need of special protection). Menurut buku Pedoman Pembinaan Anak Terlantar yang Dikeluarkan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur (2001) disebutkan bahwa anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial (Suyanto, 2010:212). Sedangkan menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Pada umumnya anak terlantar mempunyai masalah ganda seperti kesulitan ekonomi, menderita gizi buruk, kurangnya kasih sayang orang tua, dan tidak bisa mendapatkan pelayanan pendidikan yang maksimal (UU No. 23 tahun 2002). Fenomena anak terlantar semakin meningkat dari tahun ke tahun. Keterbatasan ekonomi menjadi penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan pada anak terutama
4
pendidikan, hak-hak anak menjadi tidak terpenuhi secara optimal sehingga anak menjadi terlantar. Hal ini dirasa memprihatinkan karena berdasarkan pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Anak jelas tertera bahwa “setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya” (UU No. 23 Tahun 2002).
Data Anak Terlantar di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012
Laki-laki
121.608 anak
Perempuan
128.221 anak
Jumlah
249.830 anak
Sumber : Data Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah
Dari data diatas menunjukkan jumlah anak terlantar mencapai 249.830 anak atau sekitar 0,76% dari jumlah penduduk Jawa Tengah. Hal tersebut menggambarkan masih banyak anak terlantar yang membutuhkan perhatian dan penanganan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1 juga telah menyebutkan bahwa “anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dengan kata lain pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kesejahteraan, perlindungan serta hak-hak anak yang dalam hal ini khususnya anak terlantar. Anak telantar juga merupakan salah satu sumber daya manusia Indonesia yang jika dikembangkan dapat menjadi potensi yang cukup memadai dalam pembangunan. Kesungguhan pemerintah dalam mengentaskan anak terlantar terlihat dari banyaknya peraturan dan perundang-undangan yang ditujukan untuk melindungi, 5
meningkatkan kesejahteraan dan memberdayakan mereka. Diantaranya adalah UU No. 4 Tahun 1979 tenteng Kesejahteraan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan aturan-aturan lainnya. Akan tetapi dalam kenyataanya semua aturan tersebut dirasakan masih tidak cukup efektif dalam penanggulangan masalah sosial pada anak, khususnya anak terlantar. Anak terlantar yang berada dalam kondisi tidak memiliki masa depan, tentu saja akan menjadi masalah bagi banyak pihak, seperti keluarga, masyarakat dan negara. Oleh sebab itu, disamping aturan-aturan yang telah dibuat, upaya lain dari pemerintah dalam mengentaskan anak terlantar adalah dengan memberikan pelayanan sosial melalui lembaga-lembaga kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk melindungi, meningkatkan kesejahteraan dan memberdayakan mereka. Menurut Muhidin (dalam Sutaat dkk, 2012:8) pelayanan sosial juga disebut pelayanan kesejahteraan sosial, mencakup pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak yang terlantar, keluarga miskin, cacat dan sebagainya. Pelayanan sosial diberikan melalui sistem panti, sehingga panti sosial perlu memberikan pelayanan kesejahteraan sosial sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan klien/penerima pelayanan. Panti sosial yang dimaksud adalah lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberdayakan penyandang masalah kesejahteraan sosial ke arah kehidupan normatif secara fisik, mental dan sosial (Kepmensos No.50/HUK/2004). Satu peluang yang diberikan pemerintah dalam upaya memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi bagi anak-anak yang kurang memiliki kesempatan melanjutkan pendidikannya adalah dengan proses pembelajaran melalui panti sosial asuhan anak. Melalui pelayanan sistem panti, dianggap sebagai alternatif terakhir apabila
6
fungsi dan peran keluarga ataupun masyarakat tidak mampu memberikan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan anggotanya, terutama anak-anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Tujuan akhir pelayanan dengan sistem seperti ini adalah keberfungsian sosial para binaannya, dalam arti anak atau remaja yang telah dididik dalam panti dan setelah keluar, akan mampu mandiri, dapat menerapkan ilmunya di masyarakat, serta dapat memanfaatkan pengetahuan dan keterampilannya untuk memperoleh pekerjaan untuk dapat menunjang kehidupan diri dan keluarganya. Substansi pemberdayaan yang dilakukan disini adalah memampukan dan memandirikan anak terlantar dengan cara memfasilitasi pengembangan potensi atau kemampuan dari anak terlantar itu sendiri. Menurut Martin dan Stendler (dalam Afiatin, 1993) kemandirian ditunjukkan dengan kemampuan seseorang untuk berdiri diatas kaki sendiri, mengurus diri sendiri dalam semua aspek kehidupannya, ditandai dengan adanya inisiatif, kepercayaan diri dan kemampuan mempertahankan diri dan hak miliknya. Pemerintah melalui Kementrian Sosial Republik Indonesia menjalankan program-programnya melalui satuan kerja di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Salah satu satuan kerja Kementrian Sosial RI di tingkat provinsi adalah Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah. Saat ini Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah membawahi beberapa unit panti sosial termasuk panti sosial anak, salah satunya adalah Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ yang beralamat di Jalan Jendral Urip Sumoharjo No.76 Kabupaten Purworejo. Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah ditetapkan dengan peaturan Gubernur Jawa Tengah No. 53 Tahun 2013 yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional atau kegiatan teknis penunjang Dinas Sosial Provinsi Jawa Tangah dibidang pelayanan sosial dengan
7
menggunakan pendekatan multi layanan. Pelayanan sosial diberikan bagi anak terlantar, anak yatim, piatu dan yatim piatu, dengan tujuan terlindungi dan terpenuhinya kebutuhan dasar anak terlantar agar dapat tumbuh kembang secara wajar, dan mampu melaksanakan kehidupan sosial di masyarakat. Pada periode ini Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo membina 100 orang anak yang sebagian besar adalah anak terlantar yakni 70 orang anak terlantar, dan sisanya adalah anak yatim, piatu dan yatim piatu. Bentuk pemberdayaan yang dilakukan Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo meliputi beberapa tahapan, yaitu tahap pendekatan awal, tahap penerimaan, tahap perumusan dan penentuan program, tahap peleksanaan bimbingan dan pelayanan, tahap resosialisasi, serta tahap terminasi. Pada tahap pelaksanaan bimbingan dan pelayanan ini kemandirian anak mulai terbentuk. Anak dapat belajar madiri melalui bimbingan-bimbingan, pengajaran, serta dapat mencontoh dari perilaku pendamping maupun penerima manfaat lain yang lebih lama mendapat pelayanan di balai pelayanan social asuhan anak tersebut. Kemudian perilaku tersebut dilakukan secara berulang sehingga menjadi membudaya. Perilaku tersebut diharapkan akan terus diterapkan setelah mereka lepas dari balai pelayanan sosial asuhan anak atau purna bina. Menurut referensi pendamping Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo, kemandirian yang dimaksud lebih kepada aspek ekonomi, dimana alumni penerima manfaat dari balai pelayanan sosial asuhan anak tersebut bisa bekerja dan mempunyai penghasilan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun keluarganya, pasca pendampingan di balai pelayanan sosial asuhan anak tersebut.
8
Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan sosial bagi anak terlantar, seperti memenuhi kebutuhan dasar anak berupa kebutuhan jasmani dan rohani, memberikan pelatihan keterampilan, dan terutama memberikan akses pendidikan di sekolah formal, agar anak bisa mengenyam pendidikan minimal 12 tahun. Sekolah yang direkomendasikan untuk anak biasanya sekolah menengah kejuruan (SMK), ini dimaksudkan agar anak dapat memperoleh bekal keterampilan lebih, sehingga setelah lulus mereka bisa langsung bekerja. Membentuk kemandirian pada anak tidaklah mudah, dari berbagai macam bimbingan yang telah diberikan, alumni penerima manfaat sudah bisa dikatakan mandiri apabila sudah tidak lagi bergantung pada keluarga, terutama dari segi ekonomi. Menurut data penyaluran penerima manfaat yang didapat oleh Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo, rata-rata alumni penerima manfaat sudah bisa bekerja. Sebegian besar memilih bekerja di luar kota, sebagian bekerja di dalam kota, melanjutkan kuliah dan kembali kepada orang tua.
Data Penyaluran Penerima Manfaat Purna Bina Tahun 2011-2014 Tahun
Bekerja
Kuliah
2011 2012 2013 2014
19 11 14 14
0 4 4 1
Kembali ke Orang Tua 1 15 7 0
Jumlah 20 30 25 15
Sumber : Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo
9
Data tersebut belum mencakup keseluruhan data alumni penerima manfaat setelah purna bina. Masih banyak alumni yang belum tercatat pada data penyaluraan penerima manfaat, hal ini karena terbatasnya informasi tentang alumni penerima manfaat, sehingga data masih bias berubah. Mandiri bisa diartikan mampu berdiri di atas kaki sendiri. Namun, pada kenyataannya tidak semua anak atau alumni penerima manfaat tersebut memiliki kemandirian yang diharapkan. Meskipun saat didalam balai pelayanan sosial asuhan anak, semua penerima manfaat mendapatkan pelayanan sosial dan bimbingan motivasi yang sama, tidak semua penerima manfaat mempunyai kemandirian yang sama. Ada yang kemudian bisa sukses, tetapi ada juga yang masih berada dalam keterbatasan ekonomi. Sebagian besar alumni penerima manfaat memang bisa dikatakan sudah bekerja. Namun masih ada beberapa dari mereka yang meskipun sudah bekerja, tetapi belum bisa sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Hal tersebut menunjukkan masih belum adanya sikap mandiri secara utuh baik dari aspek emosi maupun ekonomi dalam diri alumni penerima manfaat Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo.
C. Rumusan Masalah Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo memegang peran penting dalam pemberdayaan dan pelatihan kemandirian bagi anak terlantar. Pelatihan kemandirian saat pendampingan dapat digunakan sebagai bekal hidup mandiri di lingkungan keluarga dan masyarakat, selain itu kemandirian juga dapat dilihat dari cara penyesuaian dirinya terhadap tuntutan norma dalam masyarakat. Penanaman kemandirian pada anak tidak lah mudah, kenyataannya tidak semua anak menyadari dan 10
memiliki kemandirian yang diharapkan. Oleh karena itu, sesuai dengan latar belakang masalah maka akan dirumuskan permasalahan yaitu:
Bagaimana kemandirian alumni penerima manfaat Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo pasca pendampingan, terutama mandiri dalam aspek emosi dan ekonomi?
D. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian -
Mengetahui kemandirian alumni penerima manfaat Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo pasca pendampingan, terutama dilihat dari aspek emosi dan ekonomi.
2.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: -
Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pihak balai pelayanan sosial dalam mengambil kebijakan yang berhubungan dengan anak asuh/penerima manfaat dengan meningakatkan pelayanan lanjutan.
-
Sebagai masukan bagi anak asuh/penerima manfaat balai pelayanan sosial untuk mendapatkan pemberdayaan dan pelatihan kemandirian yang optimal selama proses pendampingan.
-
Penelitian diharapkan bermanfaat bagi penelitian selanjutnya yang membahas pokok bahasan yang sama.
11
E. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori 1. Tinjauan Pustaka a. Konsep Kemandirian Menurut Kartono, (dalam Rini.A.R, 2012:63) kemandirian berasal dari kata “Autonomy” yaitu sebagai suatu yang mandiri atau kesanggupan untuk berdiri sendiri dengan keberanian dan tanggung jawab atas segala tingkahlaku sebagai manusia dewasa dalam melakukan kewajibannya guna memenuhi kebutuhannya sendiri. Berdasarkan konsep independence Steinberg (dalam Mu‟tadin, 2002) menjelaskan bahwa anak yang sudah mencapai independence, ia mampu menjalankan atau melakukan sendiri aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain terutama orang tua. Kemandirian yang mengarah pada konsep independence ini merupakan dari perkembangan autonomy selama masa remaja, hanya saja autonomy mencakup dimensi emosional, behavioral, dan nilai. Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandirian seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang dan lebih mantap (Mu‟tadin, 2002). Monks (dalam Musdalifah, 2007:47) mengungkapkan bahwa kemandirian meliputi perilaku berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Kemandirian adalah hasrat untuk melakukan segala sesuatu bagi diri sendiri. Secara singkat dapat dipahami bahwa kemandirian mengandung pengertian: a) Suatu keadaan dimana seseorang yang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya.
12
b) Mampu mengambil keputusan dan berinisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi. c) Memiliki kepercayaan diri dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. d) Bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.
b. Aspek-aspek Kemandirian Kemandirian dalam konteks individu yaitu memiliki aspek yang lebih luas dari sekedar aspek fisik. Aspek-aspek kemandirian menurut Robert Havinghurst (dalam Musdalifah, 2007 : 47-48), antara lain: 1) Aspek emosi, aspek ini ditujukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya emosi pada orangtua. 2) Aspek ekonomi, aspek ini ditujukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orangtua. 3) Aspek intelektual, aspek ini ditujukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. 4) Aspek sosial, aspek ini ditujukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung dari orang lain.
c. Faktor-Faktor Eksternal yang Membentuk Kemandirian Anak Dalam pencapaian kemandirian diperlukan suatu proses dan perkembangan, karena adanya pengaruh faktor eksternal yang juga berperan dalam kemandirian diri. Menurut
Santrock
(dalam
Setiyadi,
2010:12-16),
faktor-faktor
yang
membentuk kemandirian adalah lingkungan, pola asuh, pendidikan, interaksi sosial dan intelegensi, yaitu sebagai berikut : 1) Lingkungan
13
Lingkungan
sangat
mempengaruhi
perkembangan
kepribadian
seseorang, baik dalam segi positif maupun negatif. Lingkungan keluarga dan masyarakat yang baik terutama dalam bidang nilai dan kebiasaan-kebiasaan hidup akan membentuk kepribadian seseorang, dalam hal ini adalah kemandirian. Lingkungan sosial adalah faktor ekstern yang mempengaruhi perkembangan pribadi manusia yang berasal dari luar pribadi. Secara konseptual, lingkungan sosial mencakup unsur-unsur sebagai berikut: (a) proses sosial, (b) struktur sosial, dan (c) perubahan-perubahan sosial. Proses sosial ialah bentuk interaksi sosial yang merupakan hubungan timbal balik antar pribadi, antar kelompok dan antar pribadi dengan kelompok. Struktur sosial sendiri merupakan susunan di dalam masyarakat secara hierarkis. Sedangkan perubahan sosial mengacu pada perubahan-perubahan yang terjadi terhadap struktur dan fungsi masyarakat. Secara sosiologis, lingkungan budaya merupakan hasil dari lingkungan sosial. Lingkungan budaya terdiri dari aspek materiil dan spiritual yang pada dasarnya berintikan pada nilai-nilai yang merupakan pandangan baik dan buruk mengenai sesuatu. Biasanya nilai-nilai timbul dari proses berinteraksi. Dalam proses interaksi manusia akan mendapat pandangan-pandangan tertentu mengenai sesuatu. Apabila pandangan mengenai sesuatu hal baik, maka hal itulah yang dianut dan sebaliknya (Soekanto, 2004:80-83). Menurut Gea, (dalam Setiyadi, 2010:15) lingkungan sosial budaya dengan pola pendidikan dan pembiasaan yang baik akan mendukung
14
perkembangan anak menjadi mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, demikian pula keadaan dalam kehidupan lingkungan keluarga akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak. 2) Pola Asuh Lingkungan keluarga berperan penting dalam penanaman nilai-nilai pada diri seorang anak, termasuk nilai kemandirian. Penanaman nilai kemandirian tersebut tidak terlepas dari peran orang tua dan pengasuhan yang diberikan orang tua. Selain itu, lingkungan panti sosial juga memberikan peran penting dalam penanaman nilai-nilai kemandirian pada anak ketika tidak berfungsinya peran orang tua atau keluarga. Elizabeth B. Hurlock mengatakan (dalam Setiyadi, 2010:15) bahwa ada beberapa pola asuh yang yang digunakan orang tua (pengasuh) dalam menanamkan disiplin pada anak, yaitu : (a) Otoriter Pola asuhan ini memiliki kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan yang kaku, setiap pelanggaran dikenakan hukuman. Semua tingkah laku anak ditentukan orang tua (pengasuh). Dengan kata lain pola asuhan otoriter lebih memaksakan kehendak pada anak. (b) Demokratis Pola asuhan yang menggunakan diskusi, penjelasan dan alasanalasan yang membantu anak agar mengerti mengapa ia diminta untuk mematuhi suatu. Oarang tua (pengasuh) menekankan aspek pendidikan daripada hukuman. (c) Permisif
15
Memberikan, mengizinkan setiap tingkah laku anak, dan tidak memberikan hukuman pada anak. Membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberikan batasan-batasan dari tingkah lakunya. Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah orang tua (pengasuh) bertindang. Pada pola ini pengawasan menjadi sangat longgar. 3) Pendidikan Pendidikan mempunyai sumbangan yang berarti dalam perkembangan terbentuknya kemandirian pada diri seseorang. Pendidikan adalah usaha manusia dengan penuh tanggung jawab untuk mandiri secara pribadi. Semakin bertambahnya pengetahuan yang dimiliki seseorang, kemungkinan untuk mencoba hal baru semakin besar, sehingga orang akan lebih kreatif dan memiliki kemampuan.
4) Interaksi Sosial Kemampuan seorang anak dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial, serta mampu menyesuaikan diri dengan baik akan mendukung perilaku yang bertanggung jawab, mempungyai perasaan aman dan mampu menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi dengan tidak mudah menyerah, akan mendukung perilaku mandiri.
5) Intelegensi Intelegensi diasumsikan akan berpengaruh dalam proses penentuan sikap, pengambilan keputusan, penyelesaian masalah dan penyesuaian diri
16
secara mantap. Usaha untuk menentukan sikap diperlukan adanya kemampuan berpikir secara baik supaya dapat diterima oleh masyarakat (Setiyadi, 2010).
Selain faktor-faktor diatas, ada beberapa faktor yang dapat membentuk kemandirian anak. Menurut Harlock (dalam Rini.A.R, 2012:63) menyebutkan adanya pola asuh orang tua yakni peran orang tua sebagai pembimbing yang memperhatikan terhadap aktivitas dan kebutuhan anak terutama dalam hal pergaulanya di lingkungan sekitar maupun di sekolah. Jenis kelamin yakni anak yang berkembang dengan tingkah laku maskulin lebih mandiri daripada anak yang mengembangkan pola perilaku feminim. Serta urutan kelahiran dalam keluarga yakni anak pertama lebih perpeluang untuk lebih mandiri dibandingkan dengan anak bungsu.
Untuk dapat mandiri, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan disekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri. Peran orang tua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan bagi anak sebagai „penguat‟ dari setiap perilakunya (Musdalifah, 2007:48).
d. Penerima manfaat Anak terlantar didefinisikan pemerintah melalui UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi secara wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Kemudian menurut UU No. 23 Tahun 2002 anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial (http://www.kemsos.go.id/). Anak terlantar yang sudah masuk ke balai pelayanan sosial asuhan anak disebut sebagai penerima manfaat. Karena mereka akan menerima manfaat dari 17
pelayanan sosial yang diberikan oleh balai pelayanan sosial, berupa bimbingan fisik, mental dan spiritual.
e. Pendampingan Pendampingan merupakan proses interaksi timbal balik (tidak satu arah) antara individu/ kelompok/ komunitas yang mendampingi dan individu/ kelompok/ komunitas yang didampingi yang bertujuan memotivasi dan mengorganisir individu/ kelompok/ komunitas dalam mengembangkan sumber daya dan potensi orang yang didampingi
dan
tidak
menimbulkan
ketergantungan
terhadap
orang
yang
mendampingi atau mendorong kemandirian (Yayasan Pulih, 2011). Sedangkan pendampingan anak (remaja) adalah upaya yang terus menerus (berkelanjutan) dan sistematis dalam menfasilitasi individu/ kelompok/ komunitas anak-anak untuk mengembangkan diri mereka, memberikan ketrampilan dalam mengatasi permasalahan dan membantu menyiapkan kemampuan-kemampuan dan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan untuk masa depan mereka dan juga individu/ kelompok/ komunitas orang dewasa untuk membantu mereka menciptakan lingkungan yang mendukung dan menguatkan bagi anak (Yayasan Pulih, 2011). Pendampingan oleh balai pelayanan sosial biasanya diberikan hingga anak lulus bangku sekolah menengah atas/ kejuruan, karena dalam masa itu mereka dianggap telah dewasa dan sudah mampu mandiri. Proses kemandirian pasca pendampingan yakni perilaku kemandirian pada anak yang terbentuk setelah keluar atau lepas dari pendampingan panti/ balai pelayanan sosial.
18
2. Landasan Teori Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) dikembangkan oleh Albert Bandura (1969), merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori ini menerima sebagian besar prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada efek-efek dari isyaratisyarat pada perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Pada teori-teori belajar yang diungkapkan Skinner, belajar merupakan proses kemajuan sedikit demi sedikit dimana prganisme harus memperlihatkan atau berbuat sesuatu, artinya dengan perbuatan nyata. Menurut Bandura, dalam situasi sosial ternyata orang bisa belajar lebih cepat dengan mengamati atau melihat tingkah laku orang lain (Gunarsa, 2008:184). Teori ini kita akan menggunakan penjelasan reinforsemen eksternal dan penjelasan kognitif internal untuk memehami bagaimana kita belajar dari orang lain. Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen kognitif dari fikiran, pemahaman dan evaluasi. Teori ini menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan; lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya. Perspektif belajar sosial menganalisis hubungan kontinu antara variabel-variabel lingkungan, ciri-ciri pribadi, dan perilaku terbuka dan tertutup seseorang. Perspektif ini menyediakan interpretasi-interpretasi tentang bagaimana terjadi belajar sosial, dan bagaimana mengatur perilaku kita sendiri (Dahar, 1989:27-28). Bandura mengembangkan model Determinisme Resiprokal yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu perilaku, person (kognitif), dan lingkungan. Seperti dalam gambar, faktor-faktor ini bisa saling berinteraksi, yakni faktor lingkungan
19
mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi lingkungan, faktor person (kognitif) mempengaruhi perilaku dan sebagainya. Gambar 1 : Determinisme Resiprokal
Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura belakangan ini adalah self-efficiacy, yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil positif. Self-efficiacy berpengaruh besar terhadap perilaku (dalam Hertanti dan Ramadhani, 2012:10). Bandura mengemukakan empat komponen dalam proses belajar melalui pengamatan, yakni : 1. Memperhatikan Sebelum melakukan peniruan terlebih dahulu, orang menaruh perhatian terhadap model yang akan ditiru. Keinginan untuk meniru model karena model tersebut mempunyai sifat dan kualitas yang hebat, berhasil dan sifat-sifat lain. Keinginan memperhatikan dipengaruhi minat pribadi. 2. Mencamkan Setelah memperhatikan, mengamati suatu model, maka pada saat lain anak memperlihatkan tingkah laku yang sama dengan model. Jadi sesuatu yang dicamkan, disimpan, diingat dalam bentuk symbol-simbol. 20
3. Memproduksi gerak motorik Supaya bisa memproduksikan tingkah laku secara cepat, seseorang harus bisa memperlihatkan kemampuan motorik, meliputi kekuatan fisik. 4. Ulangan-penguatan dan motivasi Apakah hasil mengamati dan mencamkan suatu model akan diperlihatkan atau direproduksikan dalam tingkah laku yang nyata, bergantung pada kemauan dan motivasi yang ada. Mengulang perbuatan untuk memperkuat perbuatan yang sudah ada agar tidak hilang disebut ulang-penguatan dengan istilah vicariousreinforcement (Gunarsa, 2008:186-187). Seperti halnya ketika di dalam balai pelayanan sosial asuhan anak, di datangkan seorang motivator yang tidak lain adalah alumni penerima manfaat juga yang telah sukses, maka ia di posisikan sebagai model bagi anak-anak penerima manfaat. Mereka akan memperhatikan dan mulai keinginan untuk meniru, kemudian mereka akan meniru tingkah laku model, misalkan dalam hal kedisiplinan, belajar giat disekolah
dan
lain
sebagainya,
yang
kemudian
akan
diperlahatkan
dan
direproduksikan dalam tingkah laku yang nyata setelah mereka keluar dari balai. Mereka akan memotivasi dirinya agar menjadi seperti model yang mereka inginkan dengan bekerja keras agar mampu mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Konsep-konsep utama dari teori belajar sosial Bandura (dalam Dahar, 1989) yaitu : 1. Pemodelan (modelling) Menurut Bandura sebagian besar belajar yang dialami manusia tidak dibentuk dari konsekuensi-konsekuensi, melainkan manusia itu belajar dari suatu model (Dahar, 1989:28). Seseorang belajar dilakukan dengan mengamati tingkah laku orang lain (model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan menghubungkan
21
pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang-ngulang kembali. Ini memberi kesempatan pada orang tersebut untuk mengekspresikan tingkah laku yang dipelajari (dalam Hertanti dan Ramadhani, 2012:10-11).
2. Fase Belajar Ada empat fase belajar dari model, yaitu fase perhatian (attentional phase), fase retensi (retention phase), fase reproduksi (reproduction phase), dan fase motivasi (motivational phase).
Peristiwa
FASE PERHATIAN
FASE RETENSI
FASE REPRODUKSI
FASE MOTIVASI
Penampilan
Model
Gambar 2 :
Analisis Belajar Observasional (Gage, 1984)
3. Belajar Vicarious Sebagian besar dari belajar observasional termotivasi oleh harapan bahwa meniru model dengan baik akan menuju pada reinforsemen. Tetapi, ada orang yang belajar dengan melihat orang yang diberi reinforsemen atau dihukum jika terlibat dengan perilaku-perilaku tertentu. Inilah yang disebut belajar „vicarious‟ (Dahar, 1989:30). Misalnya saat berada dalam balai pelayanan sosial asuhan anak, pembimbing akan memperhatikan anak-anak yang bekerja dengan baik dan memujinya, seperti ketika mereka membuat kerajinan tangan yang menghasilkan maka mereka berhak mendapat imbalan dari hasil yang telah mereka kerjakan, sedangkan anak-anak lain akan melihat, bahwa bekerja memperoleh reinforsemen, karena itu mereka akan mengikutinya. 22
4. Pengaturan Sendiri (self-regulation) Bandura mengatakan bahwa perilaku manusia sebagian besar merupakan perilaku yang diatur oleh dirinya sendiri (self-regulated behavior). Manusia belajar suatu standar performa yang menjadi dasar evaluasi diri. Apabila tindakan seseorang bisa sesuai atau melebihi standar performa, maka ia akan dinilai positif, bila ia tidak mampu berperilaku sesuai standar atau performanya dibawah standar, maka ia akan dinilai negatif (dalam Hertanti dan Ramadhani, 2012:13). Hal ini dapat dikaitkan dengan alumni penerima manfaat setelah keluar dari balai pelayanan sosial, tujuan utama dari balai pelayanan sosial tersebut adalah memandirikan anak terlantar, apabila anak mampu bekerja dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bergantung pada orang lain maka ia akan dililai positif, tetapi ketika anak belum mampu memenuhi kebutuhan sendiri dan masih bergantung pada orang lain maka ia akan dinilai negative.
Bandura berhipotesis, bahwa manusia mengamati perilakunya sendiri, mempertimbangkan (judged) perilaku itu terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, dan kemudian memberi reinforsemen atau hukuman kepada dirinya sendiri. Responsrespons kognitif kita terhadap perilaku kita sendiri mengizinkan kita untuk mengatur perilaku kita sendiri. Melalui standar-standar penampilan yang sudah terinternalisasi, kerap kali dipelajari melalui observasi, kita pertimbangkan perilaku kita. Dengan memberi hadiah atau menghukum diri sendiri, dapat mengendalikan perilaku kita secara efektif, tidak perlu dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan lingkungan atau keinginan-keinginan yang datang dari dalam. Kita dapat belajar menjadi manusia
23
sosail yang berkepribadian dengan menerapkan gagasan-gagasan dari teori belajar sosial pada diri kita sendiri (Dahar, 1989:31). Teori belajar sosial ini menjelaskan tingkah laku manusia dari segi interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara faktor person (kognitif), tingkah laku dan faktor lingkungan. Menurut Bandura, manusia adalah makhluk sosial yang dianugrahi kemampuan untuk belajar dan meneliti orang lain. Demikian juga dengan perilaku kemandirian para alumni penerima manfaat pasca pendampingan Balai Pelayanan Sosial Asuhan Anak „Wiloso Muda Mudi‟ Purworejo. Perilaku kemandirian pada anak dapat dibentuk melalui proses belajar selama mereka berada di balai pelayanan sosial asuhan anak tersebut. Teori kemandirian yang dikembangkan Steinberg (1995) istilah independence secara konseptual mengacu kepada kapasitas seseorang untuk memperlakukan diri sendiri, melakukan sendiri aktivitas hidup terlepas dari pengaruh dan kontrol orang lain. Sedangkan autonomy yakni kemampuan menguasai diri sendiri. Jika konsepkonsep tersebut dicermati, maka konsep kemandirian adalah kemampuan untuk menguasai, mengatur atau mengelola diri sendiri. Anak remaja yang memiliki kemandirian ditandai oleh kemampuannya untuk tidak bergantung secara emosional terhadap orang lain disebut kemandirian emosional (emotional autonomy), kemampuan mengambil keputusan secara mandiri dan konsekuen terhadap keputusan disebut kemandirian behavioral (behavioral autonomy), serta kemampuan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah serta penting dan tidak penting disebut kemandirian nilai (value autonomy). Seperti halnya kemandirian menurut Stainberg, aspek-aspek kemandirian menurut Robert Havinghurst (dalam Musdalifah, 2007 : 47-48), kemandirian ditandai
24
dengan kemampuan mengontrol emosi (aspek emosi), kemampuan mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah (aspek intelektual), selain itu juga melihat pada kemampuan mengatur ekonomi (aspek ekonomi), dan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain (aspek sosial). Dalam penelitian ini lebih menggunakan pada aspek kemandirian secara emosi, behavioral dan ekonomi. Yakni melihat bagaimana kemampuan para alumni penerima manfaat dalam mengontrol emosi agar tidak bergantung pada orang lain, sikap dalam mengambil keputusan, serta kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi pribadinya.
25