90
Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu” Vol. 06 No. 01 Januari 2015
Hubungan Merokok Dengan Kejadian Hipersekresi Mukus Intra Anestesi Pada Pasien Yang Dilakukan Tindakan Anestesi Umum Inhalasi Di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap Ade Kumanda1, Wahyu Ratna 2, Maryana 3
ABSTRACT Background: History of anesthetic action ever undertaken by the patient can be a source of information for officers anesthesia, a thorough examination is expected to reduce the risk that the patient will make things worse. Assessment of smoking habits should be continued to determine how often the smoking patient, and should be a habit that can damage the respiratory system stopped a few weeks before the anesthetic action taken to reduce mucus production. Objective: To determine the relationship history of cigarette smoking on the incidence of mucus hypersecretion intraanestesi in patients who inhaled general anesthetic action in the Central Surgical Installation of Cilacap General Hospital. Methods: This study was an observational cross - sectional study. The number of samples obtained by 37 patients by using a sampling technique used was consecutive sampling. Analysis of test data using Fisher’s Exact Test statistic with 95% confidence level ( = 0.05). Results: Characteristic feature of gender entirely respondents were male. The majority of patients who undergo hypersecretion occurs at age > 50 years (41.7%), had never undergone previous surgery (79,2%) had basic school / equivalent (50%) and a total of 27 patients or 73.0% were current smokers. Conclusion: There is a relationship between smoking with hypersecretion (p = 0.017) with the prevalence of hypersecretion will rise 2,593 times in patients with a history of active smoking than passive. Keywords: smoking, mucus hypersecretion, inhalsi general anesthesia, intraanestesia
PENDAHULUAN
lima konsumen rokok terbesar setelah China, Amerika Serikat, Rusia dan Jepang tahun 2007. Secara nasional prevalensi perokok tahun 2010 sebesar 34,7%1.
World Health Organization (WHO) menyatakan Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak jumlah perokok setelah China dan India, dan tetap menduduki posisi peringkat ke
Pada seorang perokok, asap tembakau yang
1
DIV Keperawatan Anestesi Reanimasi Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
2
Dosen Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
3
Dosen Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
90
Kumanda, A., Ratna, W. & Maryana, “Hubungan Merokok Dengan Kejadian ....” dihirup menimbulkan peradangan kronik saluran nafas dan jumlah sel radang meningkat dua hingga empat kali. Asap rokok dapat secara langsung merusak jaringan paru-paru, menimbulkan efek sitotoksik pada makrofag di dalam paru dan merusak banyak sillia sehingga mengganggu suatu proses pembersihan paru dan saluran nafas. Jumlah sel goblet yang ada pada saluran nafas mengalami metaplasia, keadaan seperti ini akibat asap rokok yang terinhalasi dan mengakibatkan terkumpulnya lendir di saluran nafas2. Fenomena yang terjadi di lapangan pada pasien perokok yang dilakukan tindakan anestesi umum inhalasi sering terjadi hipersekresi mukus, berkaitan dengan tidak berfungsinya reflek fisiologis tubuh mengakibatkan akumulasi pada saluran pernafasan. Penumpukan sekret pada jalan nafas ini menyebabkan obstruksi jalan nafas baik parsial maupun total. Sumbatan jalan nafas yang terjadi tentunya berhubungan terhadap asupan oksigen ke dalam tubuh pasien, sehingga kondisi seperti ini sering menunjukan tanda-tanda penurunan saturasi. Aspirasi bisa saja terjadi apabila tidak segera dilakukan intervensi pembersihan jalan nafas. Selain itu, mekanisme pertahanan tubuh seperti spasme laring dapat terjadi apabila terdapat benda asing semisal sekret pada jalan nafas, tentunya kondisi ini bisa memperburuk kondisi pasien yang berakibat menurunnya mutu pelayanan suatu rumah sakit. Studi pendahuluan yang peneliti lakukan di IBS RSUD Cilacap pada minggu ketiga di bulan Februari 2013 didapatkan 5 dari 8 orang pasien yang dilakukan tindakan anestesi umum inhalasi mengalami hipersekresi mukus atau sekitar 62,5%. Hal ini yang menjadi perhatian serius pada kasus hipersekresi mukus intra anestesi, serta belum ada data konkrit pasien yang menjalani anestesi umum inhalasi dengan riwayat merokok. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan merokok dengan kejadian hipersekresi mukus intra anestesi pada pasien yang dilakukan tindakan anestesi umum inhalasi.
91
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain observasional crosssectional yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap kejadian hipersekresi mukus intra anestesi pada pasien yang dilakukan tindakan anestesi umum inhalasi. Sampel penelitian diambil dengan metode Consecutive Sampling yaitu sampel diambil dari populasi sampai terpenuhi jumlah sampel yang telah ditentukan yaitu 37 responden. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: 1. Pasien laki-laki perokok aktif dan pasif dengan usia dewasa 15-55 tahun 2. Menjalani tindakan pembedahan selama 30-90 menit 3. Jenis operasi elektif atau cito dengan teknik anestesi umum inhalasi Laringeal Mask Airway (LMA), Endotracheal Tube (ETT) atau Face Mask (FM) 4. Intubasi dilakukan hanya satu kali 5. Status fisik ASA I dan II Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: 1. Pasien dengan pembedahan area jalan nafas seperti Tonsilektomy, kiste palatum dan lain-lain 2. Pasien yang alergi terhadap latek atau bahan endotrakheal tube dan atau Laringeal Mask Airway. 3. Pasien yang mendapat obat anestesi yang menimbulkan atau menghambat hipersekresi mukus dan atau hipersalivasi seperti pemberian antikolinergik 4. Pasien yang mempunyai penyakit sitem pernafasan seperti TB paru, asma dan bronkhitis 5. Pasien yang mempunyai peradangan pada mulut dan gusi Instrumen pengumpulan data untuk mengukur adanya hipersekresi mukus menggunakan lembar observasi, Mesin Suction untuk menghisap sekresi mukus dan mengukur jumlah
92
Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu” Vol. 06 No. 01 Januari 2015
mukus dan pedoman wawancara yang telah disusun oleh penulis dan digunakan untuk mengidentifikasi serta menggolongkan pasien berdasarkan kategori pasien merokok atau tidak. Penyajian data secara deskriptif dan analitik serta disajikan dalam bentuk tabel. Analisis bivariat dengan menggunakan uji Fisher’s Exact Test untuk mengetahui hubungan antara merokok dengan kejadian hipersekresi mukus intra anestesi dengan significance p<0,05.
Tabel 3. Kejadian Hipersekresi Mukus
b. Bivariat Tabel 3
HASIL PENELITIAN Adapun hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Hubungan Merokok dengan Kejadian Hiprsekresi Mukus Intra Anestesi pada Pasien yang Dilakukan Tindakan Anestesi Umum Inhalasi
1. Gambaran umum subyek penelitian Tabel 1.
Sebaran Karakteristik Pasien
PEMBAHASAN 1. Gambaran karakteristik responden
2. Analisis satistik a. Univariat Tabel 2.
Riwayat Merokok Pasien
Tabel 1 memperlihatkan bahwa mayoritas pasien yang mengalami hipersekresi terjadi pada umur > 50 tahun sebanyak 10 pasien atau 41,7% dan sebagian besar responden yang mengalami hipersekresi mukus berpendidikan SD/sederajat sebanyak 12 pasien atau 50,0%. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa perokok tertinggi berdasarkan usia berada pada usia 2564 tahun dengan rentang 37,0-38,2%, sedangkan usia 15-24 tahun sebesar 18,6%. Prevalensi perokok 16 kali lebih tinggi pada laki-laki sebesar 65,9% dibandingkan perempuan 4,2%1. Riwayat tindakan anestesi yang pernah dijalani oleh pasien dapat menjadi sumber informasi bagi petugas anestesi, pengkajian yang cermat diharapkan mampu mengurangi resiko yang akan memperburuk keadaan pasien. Pengkajian kebiasaan merokok perlu dilanjutkan untuk mengetahui seberapa sering pasien merokok, dan sebaiknya kebiasaan yang dapat merusak sistem pernafasan ini dihentikan beberapa minggu sebelum tindakan anestesi dilakukan untuk mengembalikan fungsi silia sehingga pembersihan jalan nafas kembali membaik.
Kumanda, A., Ratna, W. & Maryana, “Hubungan Merokok Dengan Kejadian ....” Sebagian besar sampel penelitian yang mengalami hipersekresi mukus berpendidikan SD/sederajat yaitu sejumlah 50%. Sebuah penelitian menyatakan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu karakteristik yang dianggap berhubungan secara signifikan dengan beberapa perilaku berisiko termasuk merokok3. Penelitian yang lainnya terkait merokok menyatakan bahwa reponden perokok lebih banyak pada tingkat pendidikan SD sejumlah 18 orang (60 %)4. Penelitian yang sama pernah dilakukan dengan hasil yang menyatakan bahwa belum matangnya pemikiran tentang dampak perilaku merokok, adanya rasa ingin tahu untuk mencoba atau melakukan eksperimen yang merupakan salah satu perubahan psikososial yang terjadi pada masa remaja5.
2. Riwayat merokok Berdasarkan hasil tabulasi diketahui bahwa sebanyak 27 pasien atau 73,0% adalah pasien merokok dan 10 pasien atau 27,0% adalah tidak merokok. Meskipun semua orang mengetahui akan bahaya yang ditimbulkan oleh rokok, perilaku merokok tidak pernah surut dan tampaknya merupakan perilaku yang masih ditolelir oleh masyarakat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang mengungkapkan bahwa resiko Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang diderita anak balita terjadi pada orang tua yang memiliki kebiasaan merokok berat sebanyak 80,4%. Merokok dilingkungan yang terdapat balita merupakan suatu hal yang biasa dilakukan oleh orang tua6. Seorang peneliti mengungkapan di ibu kota Jakarta menunjukan bahwa 64,8% pria dan dengan usia 13 tahun adalah perokok, dia menyayangkan meningkatnya jumlah perokok di kalangan remaja meskipun mengetahui dampak buruk rokok bagi kesehatan7. Rokok mengandung lebih dari 3.800 bahan kimia, sebagian besar diantaranya beracun. Racun dalam asap rokok yang dihisap oleh perokok aktif dan perokok pasif meliputi: Nikotin, Tar, Arsenik, Benzen, Karbonmonoksida, Formalin, Hidrogen sianida, Amoniak, Vinyl klorida8.
93
3. Hubungan antara merokok dengan hipersekresi mukus Berdasarkan analisis Fisher’s Exact Test menunjukan bahwa terdapat hubungan antara merokok dengan kejadian hipersekresi mukus intra anestesi (p=0,017) dengan prevalensi hipersekresi akan naik 2,593 kali pada pasien yang mempunyai kebiasaan merokok dibandingkan dengan tidak merokok. Sebuah penelitian yang melakukan anamnesis terhadap perokok yang didapatkan batuk yang berdahak berwarna putih tanpa darah. Setiap hisapan asap rokok akan merusak ribuan silia pada saluran nafas. Partikulat dalam asap rokok mengendap dalam lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkhus sehingga menghambat aktivitas silia9. Hal yang sama pernah diungkapkan oleh Hudoyo A, dari Rumah Sakit Persahabatan dalam sebuah seminar bahwa racun rokok bersifat sillio toksik. Sebatang rokok bisa mematikan sebatang rambut sillia atau rambut getar pada jalan nafas. Hal ini bisa menyebabkan batuk yang tak kunjung sembuh dan produksi mukus atau dahak yang berlebihan10. Merokok dapat menyebabkan infeksi saluran nafas, menumbuhkan jaringan fibrosus yang tidak normal pada cabang bronkhus, menghancurkan kantung udara paru-paru, meningkatkan produksi mukus dan mengurangi pemindahannya dari saluran nafas, serta menghambat pengangkutan oksigen oleh sel darah merah dari paru-paru ke organ tubuh lain. Penelitian ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa merokok dapat menyebabkan beberapa penyakit yang menimbulkan reaksi hipersekresi mukus, iritasi kronik pada jalan nafas oleh asap tembakau. Hilangnya atau menurunnya tingkat kesadaran (pada pasien koma atau pengaruh anestesi), adanya jejas pada mukosilliar merupakan beberapa faktor yang menghambat fungsi paru pada orang normal11. Produksi sputum pada orang dewasa normal adalah sekitar 100 ml/hari, jika produksi berlebihan maka proses pembersihan mungkin tidak efektif lagi sehingga sputum tertimbun pada jalan nafas12. Produksi mukus ini diangkut
94
Jurnal Kesehatan “Samodra Ilmu” Vol. 06 No. 01 Januari 2015
dan dikeluarkan menuju faring oleh gerakan rambut halus sillia yang membatasi saluran pernafasan. Produksi mukus berlebihan bisa disebabkan oleh gangguan fisik atau kimiawi, atau infeksi pada membran mukosa. Pada seorang perokok, asap tembakau yang dihirup menimbulkan peradangan kronik dari saluran nafas dan jumlah sel radang akan meningkat dua sampai empat kali. Asap rokok dapat secara langsung merusak jaringan paru, menimbulkan efek sitotoksik pada makrofag di dalam paru dan mengganggu atau merusak sillia dalam paru sehingga mengganggu proses pembersihan paru dan saluran nafas, perubahan epitel saluran nafas dan penyempitan saluran nafas. Kadar Imunoglobulin E (IgE) juga dapat meningkat 4-5 kali lebih tinggi pada perokok dan jumlah sel goblet yang ada pada saluran nafas mengalami metaplasia, keadaan seperti ini akibat asap rokok yang terinhalasi dan mengakibatkan terkumpulnya lendir di saluran nafas2. Demikian juga hasil penelitian ini didukung oleh teori yang menyatakan bahwa pada pasien dengan riwayat merokok berat (di atas 20 batang sehari) dapat memperlambat induksi dan pada anestesi inhalasi terjadi peningkatan produksi mukus, batuk dan spasme laring13. Serta teori lain yang menyatakan merokok lebih dari 2 bungkus setiap hari dianggap sebagai suatu pertanda adanya bronkhitis kronik, bila tidak dilakukan persiapan yang baik dapat menyebabkan terjadinya batuk dan peningkatan produksi sekresi pada saluran pernafasan pada tindakan anestesi umum inhalasi. Tidak hanya intra anestesi, pasca anestesi umum inhalasi pada pasien riwayat merokok berat dapat merangsang timbulnya batuk, tahan nafas, penurunan saturasi oksigen, menurunkan bersihan jalan nafas terutama peningkatan produksi mukus yang dapat memicu terjadinya spasme laring, atelektasis dan pneumonia14. Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang bersifat kronik serta disfungsi sillia dalam proses pengeluaran mukus, dan menyebabkan obstruksi saluran nafas. Proses ini akan berlanjut pada abnormalitas per-
bandingan ventilasi: perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia 15 . Terjadinya hipersekresi mukus intra anestesi merupakan suatu perhatian khusus bagi perawat anestesi karena akan menimbulkan permasalahan yang berakibat fatal, diantaranya: a. Obstruksi jalan nafas baik partial maupun total bisa terjadi, oleh karena akumulasi sekret pada jalan nafas sehingga terjadi penyumbatan b. Merangsang timbulnya batuk, tahan nafas, penurunan saturasi oksigen (di bawah 96%), menurunkan bersihan jalan nafas terutama peningkatan sekresi mukus yang memicu spasme laring, atelektasis dan pneumonia, serta resiko terjadinya aspiras c. Meningkatkan insiden komplikasi pernapasan post anestesi. Efek akut dari menghisap asap rokok adalah peningkatan level karbonmonoksida. Carboxyhemoglobin (CoHb) dapat meningkat sampai 810% pada perokok berat, yang berarti mengurangi kapasitas oksigen pembawa
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Mayoritas pasien yang mengalami hipersekresi terjadi pada umur > 50 tahun dan berpendidikan SD/sederajat 2. Sebagian besar sampel adalah perokok dan mayoritas mengalami hipersekresi 3. Terdapat hubungan antara merokok dengan kejadian hipersekresi mukus intra anestesi pada pasien yang dilakukan tindakan anestesi umum inhalasi. Berdasarkan simpulan di atas maka disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Bagi Rumah Sakit a. Penentu kebijakan Agar menerapkan kebijakan prosedur tentang penanganan anestesi pada
Kumanda, A., Ratna, W. & Maryana, “Hubungan Merokok Dengan Kejadian ....” pasien riwayat merokok dengan tidak menggunakan obat dan bahan anestesi yang menimbulkan hipersekresi. b. Perawat anestesi Agar menerapkan pengkajian asuhan keperawatan dengan baik untuk mendapatkan informasi riwayat merokok pasien. Pengkajian yang cermat diharapkan mampu mengurangi resiko yang akan memperburuk keadaan pasien selama tindakan anestesi. 2. Bagi Peneliti Selanjutnya. Agar peneliti selanjutnya dapat melanjutkan penelitian yang sifatnya lebih besar yaitu dengan jumlah sempel yang lebih banyak, sampel yang digunakan tidak hanya perokok aktif, variabel yang berbeda dan bermanfaat bagi kemajuan keperawatan khususnya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA 1. Teguh. 2012. Jumlah Perokok Indonesia, Nomor Tiga di Dunia. Didapat dari URL:http:/ /www.harianhaluan.com/index.php? option=com_content&view=article&id=15716: jumlah-perokok-indonesia-nomor-tiga-didunia-&catid=21:khas&Itemid=91. (diakses tanggal 11 Juli 2013). 2. Dermawan, R. 2010. Perbedaan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung pada Perokok dan Bukan Perokok. Didapat dari URL:http://repository.usu.ac.id/handle/ 123456789/21283. (diakses tanggal 7 Juli 2013). 3. Hidayaningsih., Sari, P. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Berisiko Remaja di Kota Makassar Tahun 2009. Jurnal. Bul. Penelit. Kesehat, Vol. 39, No.2,2011:88-98 4. Kristiyanto. 2009. Hubungan Antara Merokok Dengan Penyakit Hipertensi. Akademi Keperawatan Karya Bhakti Nusantara Magelang
95
5. Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Kep. . Yogya: Graha Ilmu. 6. Trisnawati & Juwarni. 2012. Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua Dengan Kejadian ISPA pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga Tahun 2012. Akademi kebidanan YLPP Purwokerto. 7. Tandra, H. (2003). Merokok dan Kesehatan. H tt p : / / w w w. a nt i ro ko k . o r. i d / b e r i ta / berita_rokok_kesehatan.htm. (diakses tanggal 11 Juli 2013). 8. Muramoto, M. 2013. Bahaya Merokok. Didapat dari URL:http:// w w w. p a n t i r a p i h . o r. i d / index.php?option=com_content&view=article&id=149:bahaya. (diakses 10 Juli 2013). 9. Sutanto. 2013. Penyakit Paru Obstruktif Kronis dengan Gejala Pre Hipertensi pada Pasien Laki-laki Lanjut Usia. FK UNLA 10. Pramudiarja, U. 2012. Tanda-tanda Rokok Mulai Merusak Saluran Napas. Didapat dari URL: http://health.detik.com/read/2012/06/ 24/091215/1949295/763/tanda-tanda-rokokmulai-merusak-saluran-napas. (diakses tanggal 11 Juli 2013). 11. Robins, Cotran, Kumar. 2010. Intisari Patologi. Jakarta: Bina Rupa Aksara. 12. Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Kep. dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika. 13. Muhiman, M. 2001. Anesthesiology. CV Infomedika. Jakarta 14. Elshimy A, MBBCH, FFARCSI (2006). Why You Should Stop Smoking Before Going for Surgery?. The Internet Journal of Helath Volume 5, Consultant Anesthesiologist Departement of Anesthesia King Khalid University Hospital, Riyadh, Saudi Arabia. 15. Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UI