7 Laut dan Pesisir Undang-undang no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mendefinisikan wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Wilayah ini terkenal kaya akan sumber daya alam hayati meliputi terumbu karang, padang lamun, mangrove, ikan dan biota laut lainnya, dan sumber daya non hayati seperti pasir, air laut dan mineral dasar laut. Kekayaan ini membuat daerah pesisir memiliki fungsi penting penting bagi manusia. Berbagai macam barang seperti pangan, bahan obat-obatan dan kandungan biokimia disediakan oleh wilayah ini. Ekosistem-ekosistem yang ada di tempat ini juga memiliki jasa lingkungan sangat penting seperti sebagai tempat pemijahan dan asuhan ikan dan biota laut, pelindung pantai dari abrasi dan badai, serta pengaturan iklim. Saat terjadi tsunami di pantai selatan Jawa Barat tahun 2006, telah terbukti pada kawasan pesisir yang masih memiliki hutan pantai relatif mengalami kerusakan lebih sedikit dibandingkan dengan daerah yang sudah tidak memiliki hutan pantai. Pemanfaatan pesisir telah lama dilakukan baik terhadap sumber daya alam hayati seperti penangkapan ikan dan biota laut, maupun non hayati berupa penambangan pasir dan pengeboran minyak misalnya. Kemudahan akses dan bentang alam yang datar juga membuat pemukiman dan industri berkembang dengan pesat di wilayah ini. Akan tetapi pembangunan tidak terkendali pada wilayah pesisir pada akhirnya memberikan dampak negatif terhadap ekosistem-ekosistem yang ada. Pencemaran kini telah menjadi permasalahan serius di banyak daerah pesisir. Tekanan juga terjadi akibat pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan tanpa memperhitungkan daya dukung dan manfaat jasa lingkungan, serta cara pengambilan yang tidak ramah lingkungan. Akibatnya penurunan kualitas lingkungan di wilayah tersisir terjadi di banyak tempat di Indonesia.
1
Sebagai bagian dari negara kepulauan, wilayah Jawa Barat memiliki daerah pesisir yang secara geografis terbagi menjadi dua, yaitu di utara dan selatan. Seperti di daerah lain, pemanfaatan kedua wilayah ini memberikan keuntungan besar bagi masyarakat dan pemerintah, namun sekaligus memunculkan berbagai masalah lingkungan. Terdapat perbedaaan karakteristik fisik cukup nyata dari wilayah pesisir utara dan selatan Jawa Barat
sehingga menimbulkan
perbedaan sumber daya alam dan pemanfaatannya, dan ini otomatis berpengaruh terhadap macam dan intensitas tekanan lingkungan hidup yang terjadi. 7.1
Kondisi Pesisir Dan Pemanfaatanya
7.1.1
Kondisi Pesisir Utara Jawa Barat
7.1.1.1
Karakteristik Fisik
Garis pantai utara Jawa Barat terbentang sepanjang 354,2 km dari Kabupaten Bekasi sampai Kabupaten Cirebon, dengan panjang garis pantai di setiap Kabupaten sebagai berikut: Kabupaten Bekasi 74 km, Karawang 57 km, Subang 48,2 km, Indramayu 114 km, Cirebon 54 km dan Kota Cirebon 7 km (Atlas Pesisir Utara Jawa Barat, 2007). Secara umum morfologi kawasan ini didominasi oleh dataran dengan lebar bervariasi berupa dataran sempit di timur (sekitar kota Cirebon) dan barat ( Serang - Provinsi Banten), serta meluas pada bagian tengah. Berdasarkan proses pembentukannya dataran yang ada dapat dibedakan menjadi : dataran limpah banjir, kipas alluvial, endapan rawa, endapan laut dan dataran pantai-pematang pantai (Gambar 7.1). Terdapat beberapa sungai besar mengalir dan bermuara di dataran pesisir utara, diantaranya adalah sungai Citarum, Cisadane, Ciliwung, Bekasi, Cipunegara, Cisanggarung dan Cimanuk. Sedangkan kondisi iklim menunjukkan periode bulan kering mencapai lebih dari 8 bulan dan menurut klasifikasi Schimdt-Ferguson termasuk kategori C/D dengan tipe musiman (Whitten et al, 1996). Menurut Atlas Wilayah Pesisir Jawa Barat Utara 2003, angin barat bertiup pada bulan Desember-Februari dan angin timur pada bulan Juni-Agustus.
2
Gambar 7.1 Peta Geologi Lingkungan Pesisir Utara Jawa Barat
Sumber: BPLHD Provinsi Jawa Barat
Pesisir utara terletak berhadapan dengan perairan dangkal Laut Jawa, dengan kondisi pantai umumnya landai, kemiring antara 0,06% di wilayah Teluk Cirebon hingga 0,4% di kawasan Ujung Karawang. Keadaan gelombang laut menunjukkan pola musiman yang dipengaruhi oleh kecepatan angin, periode angin serta kondisi terbuka dan tertutupnya perairan terhadap angin. Kajian di wilayah Indramayu memperlihatkan gelombang tertinggi bisa mencapai ketinggian > 1,7 meter dan gelombang terendah/teduh pada ketinggian < 0,3 meter (Atlas Wilayah Pesisir Jawa Barat Utara, 2003). Karakteristik fisik tersebut di atas terutama pantai-pantai yang landai dan terlindung menyebabkan perkembangan pembangunan di wilayah pesisir utara relatif cepat. Beragam industri, mulai dari industri kimia hingga gas & minyak bumi, tumbuh pesat sejalan dengan perkembangan daerah permukiman dan pertanian yang berdampingan dengan tapak-tapak
3
pendaratan perahu nelayan tradisional. Akibatnya peningkatan kepadatan penduduk tidak bisa dihindari sehingga populasi penduduk di wilayah pesisir utara relatif lebih tinggi daripada di wilayah pesisir selatan. Kondisi tersebut mempengaruhi tingkat tekanan terhadap lingkungan hidup yang terjadi akibat pemanfaatan sumber daya alam maupun ruang wilayah pesisir utara. 7.1.1.2
Kondisi Sumberdaya Alam Hayati
A. Ekosistem Terumbu Karang Sebaran dan luas ekosistem terumbu karang di pesisir utara Jawa Barat hanya terbatas pada beberapa tempat di Kabupaten Karawang, Subang dan Indramayu (Tabel 7.1). Di Indramayu terumbu karang ditemukan di daerah Majakerta dan Pantai di Kecamatan Indramayu serta pulau-pulau yang terdapat di sebelah utara Kota Indramayu seperti Pulau Biawak (Pulau Rakit), P. Gosong, dan Candikia (Rakit Utara) dengan luas 1.235 Ha. Terumbu karang di Kabupaten Karawang terdapat di gugus karang Sedulang dan Sedari yang tersebar berupa gosong karang (patch reefs) dengan kedalam antara 4-12 meter di perairan pesisir sekitar Cilamaya. Sedangkan di Kabupaten Subang terumbu karang tersisa terdapat di daerah Brobos. Tabel 7.1 Sebaran dan Luas Terumbu Karang di Pantai Utara dan Selatan Jawa Barat No A.
Lokasi Pantai Utara
1
Karawang
2
Subang
3
Indramayu
B.
Luas (ha) 2.091,47 tidak ada data 1.235
Kondisi 100% rusak di desa Ciparagejaya dan desa Sukajaya. 50% rusak dan 50% sedang di desa Pasirjaya tidak ada data Tutupan karang hidup di Pulau Biawak, Gosong dan Candikia. 14,5 - 53,61% berada dalam kategori rusak-sedang.
Pantai Selatan
4
Cianjur
tidak ada data
tidak ada data
5
Sukabumi
1.305
tidak ada data
6
Garut
6.200
tidak ada data
7
Tasikmalaya
tidak ada data
tidak ada data
8
Ciamis
1.974,98
Tutupan karang hidup di Pantai Pangandaran
4
No
Lokasi
Luas (ha)
Kondisi Sebesar 11,49% -40,39% dalam kategori rusak
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Ciamis 2008; SLHD Kabupaten Karawang, Indramayu 2007; Laporan Profil Pulau-Pulau Kecil : Pulau Biawak, Pulau Rakit Utara, dan Pulau Gosong, Indramayu 2004; Atlas Pesisir Selatan Jawa Barat 2007
Kondisi terumbu karang di pesisir utara Jawa Barat secara umum telah rusak, hanya sekitar 5% dalam kondisi sangat baik (BPLHD, 2007). Terumbu karang di Karawang misalnya, sebagian besar telah mati akibat tingginya sedimentasi dan pengambilan karang oleh penduduk setempat sebagai sumber kapur, dan hiasan akuarium. Sementara kerusakan karang di Pulau Biawak dan sekitarnya terjadi akibat penangkapan ikan dengan cara tidak ramah lingkungan yaitu mengunakan bom dan alat tangkap bubu. Dari terumbu karang yang tersisa di pesisir utara, baru ada satu lokasi yang ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah, yaitu Pulau Biawak dan sekitarnya di Kabupaten Indramayu (lihat kotak 1). Berdasarkan UU no. 27 tahun 2007 mengenai Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan UU no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah dimungkinan untuk menetapkan kawasan konservasi laut untuk melindungi sumber daya ikan, tempat persinggahan atau alur migrasi biota laut, wilayah yang diatur adat tertentu dan ekosistem pesisir yang unik atau rentan terhadap perubahan.
5
Kotak 7.1 Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan Sekitarnya Upaya Menyelamatkan Kekayaan Hayati Pesisir Utara yang Tersisa
Di sisi utara perairan Indramayu terdapat tiga pulau kecil bernama Pulau Biawak, Pulau Gosong dan Pulau Candikian (Rakit Utara). Kecuali Pulau Biawak yang mana terdapat mercusuar, pulau-pulau tersebut tidak berpenghuni, hanya menjadi tempat persinggahan nelayan. Perairan dangkal di sekeliling ketiga pulau tersebut dipenuhi oleh terumbu karang terisi beraneka macam biota laut, sementara di daratannya terdapat pantai-pantai landai dan berpasir putih. Selain itu di Pulau Biawak – banyak biawak dijumpai di sini- memiliki ekosistem padang lamun yang tidak terlalu luas dan hutan mangrove. Kekayaan hayati perairan di sekitar 3 pulau tersebut mengundang manusia untuk berdatangan memanfaatkannya. Namun sayang pengambilan dilakukan dengan cara tidak berkelanjutan. Penangkapan ikan karang dilakukan dengan menggunakan bom, sianida, bubu atau jaring tidak ramah lingkungan. Bahkan karang-karang juga turut diambil. Sementara pulau Gosong, berbentuk atol, telah mengalami kerusakan akibat pengerukan pasir yang digunakan untuk pembangunan kilang Pertamina di Balongan. Akhirnya kondisi terumbu karang di perairan ke tiga pulau itu mengalami kerusakan. Walau sebagian besar telah rusak, pada beberapa tempat masih ditemukan terumbu karang cukup sehat (luas tutupan karang hidup di atas 50%). Di beberapa titik lainnya juga terlihat terumbu karang rusak mulai mengalami pemulihan. Mempertimbangkan kondisi ini maka pada tahun 2004, turun SK Bupati Indramayu no. 556/Kep.528-Diskanla/2004, menetapkan Pulau Biawak dan perairan sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut. Dengan mengemban misi pelestarian, pendidikan dan ekonomi, penataan kawasan konservasi tersebut di menjadi dua zona, yaitu zona internal untuk perlindungan habitat dan populasi sumber daya hayati, serta zona eksternal untuk perlindungan dan pemanfaatan wisata. Tahun 2005, departemen kelautan dan perikanan membuat rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dengan luas 14.084, 45 ha terdiri dari perairan sebesar 13.342 ha dan daratan seluas 742 ha. Sumber : Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak, DKP 2005 Kegiatan Penyusunan Profil Pulau-pulau Kecil : Pulau Biawak, Pulau Rakit Utara dan Pulau Gosong, Kabupaten Indramayu, Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat 2004.
B.
Padang Lamun
Padang Lamun sudah jarang dijumpai di wilayah pesisir utara Jawa Barat, hanya terdapat di gugus karang Sedulang di Kabupaten Karawang serta Pulau Biawak (52 hektar) di Kabupaten Indramayu dengan jumlah yang sangat sedikit. Di pesisir Karawang tidak ada budidaya rumput laut karena kondisi perairan umumnya keruh sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan tersebut.
6
C.
Hutan Mangrove
Sebaran dan luas mangrove di wilayah pesisir utara Jawa Barat relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan di pesisir selatan (Tabel 7.2). Jumlah total areal hutan mangrove di sini mencapai 39.920,89 hektar dengan sebagian besar terkonsentrasi di Kabupaten Karawang, Bekasi, Indramayu dan Subang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 38% mangrove dalam kondisi rusak dan 62% dalam keadaan sedang. Tidak ada mangrove dalam kondisi baik yang dapat ditemukan di pesisir utara. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, 2006, hanya ada sedikit perbedaan yaitu terjadi penurunan seluas 2 hektar. Tabel 7.2 Sebaran dan Luas Hutan Mangrove di Pantai Utara dan Selatan Jawa Barat Luas Kawasan (Ha) No
Kabupaten
Sedang 2006 2007 1 Bekasi 386.21 386.21 2 Karawang 10,418.39 10,418.39 3 Subang 7,346.00 7,346.00 4 Cirebon 190.00 190.00 5 Indramayu 6,315.28 6,313.28 Jumlah di pesisir utara 24,655.88 24,653.88 7 Sukabumi 9.00 9.00 8 Garut 21.50 21.50 9 Tasikmalaya 10 Ciamis 170.00 170.00 Jumlah di pesisir selatan 200.50 200.50 Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 2008
Rusak 2006 2007 10,094.94 10,094.94 2,763.00 2,763.00 2,407.07 2,407.07 15,265.01 15,265.01 10.50 10.50 10.50 10.50
Jumlah 2006 2007 10,481.15 10,481.15 13,181.39 13,181.39 7,346.00 7,346.00 190.00 190.00 8,722.35 8,720.35 39,920.89 39,918.89 9.00 9.00 32.00 32.00 170.00 170.00 211.00 211.00
Ekosistem mangrove di Kabupaten Bekasi berada di Kecamatan Babelan, Muara Gembong dan Tarumajaya dengan lahan hutan bakau terluas di Kecamatan Muara Gembong. Di beberapa lokasi hutan mangrove berada pada kondisi yang kritis, baik disebabkan oleh abrasi pantai maupun adanya penebangan pohon bakau oleh masyarakat untuk dijadikan lahan tambak dan pembuatan rumah musiman oleh nelayan khususnya sepanjang kali Muara Bendera. Dilihat dari tabel di atas maka 96% mangrove di Bekasi dalam keadaan rusak. Sedangkan Atlas Pesisir Utara Jawa Barat (2007) menyebutkan dalam kurun waktu 1943-2006 hutan bakau di Bekasi telah mengalami penyusutan dari 10.000 hektar menjadi 1.580,05 hektar atau tersisa hanya 16,01%. Pada tahun 2005 dan 2006, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) meremajakan pesisir dengan menanam 729 ribu pohon jenis bakau dan api-api pada lahan 200 hektar di Kecamatan Babelan dan Tarumajaya. Pemerintah Bekasi sendiri, pada tahun yang
7
sama juga melakukan penanaman mangrove dengan volume 75 ribu pohon pada lahan seluas 25 hektare di Kecamatan Muaragembong. Kegiatan ini mengalami kegagalan, selain dari ulah masyarakat sendiri, juga akibat terjadi banjir awal Februari 2007. Di Kabupaten Karawang, tegakan mangrove terluas ditemukan terutama di Cibuaya, Tirtajaya Pakisjaya dan Batujaya dengan kondisi sedang (79%) dan rusak (21%). Hasil analisis data LANDSAT MSS dan MOS-MSSR melalui penelitian Dimyati (1994) menunjukkan bahwa terdapat penurunan luasan mangrove dari tahun 1984 hingga 1991 akibat konversi menjadi tambak dan lahan lain. Halnya yang sama terdapat di Kabupaten Indramayu dengan sebagian besar mangrove terdapat di daerah Losarang dan Sindang, keadaannya 72% sedang dan 28% rusak. Kerusakan hutan bakau (mangrove) di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu ditengarai kian meluas dari waktu ke waktu. Kondisi itu dimungkinkan akibat terjadinya alih fungsi dari lahan hutan menjadi tambak dan pemukiman, di samping terjadinya perambahan dan penebangan liar. Wilayah yang mengalami kerusakan hutan mangrove paling parah diantaranya di Kecamatan Juntinyuat, Balongan, Sukra, Krangkeng dan Kecamatan Indramayu. Hal ini membuat Pemerintah Kabupaten Indramayu melalui Kantor Perkebunan dan Kehutanan sejak tahun 2004 lalu, melakukan gerakan rehabilitasi hutan mangrove dengan melakukan penanaman sedikitnya 1,4 juta pohon. Penanaman khususnya dilakukan di wilayah-wilayah yang kondisi hutannya sudah cukup kritis. Sedangkan di Kabupaten Subang mangrove umumnya dalam kondisi sedang dan sebagian besar berada di Blanakan dan Legon Kulon. Analisis data LANDSAT-TM Multitemporal tahun 1988, 1990, 1992 dan 1995 menunjukkan bahwa luasan mangrove di kawasan ini dalam periode 1988-1992 mengalami pengurangan luasan dari 2.087,7 ha pada tahun 1988 menjadi 1.729,9 ha tahun 1990 dan 958,2 ha tahun 1992 (Atlas Pesisir Utara Jawa Barat, 2007). Namun antara tahun 1992 dan 1995 terjadi penambahan luasan menjadi 3.074,3 ha. Pengurangan tersebut berhubungan dengan kegiatan konversi lahan termasuk perluasan area pertambakan, sedangkan penambahan luas pada periode akhir menunjukkan keberhasilan penggalakan program perhutanan sosial yang dilakukan melalui tambak tumpangsari. Area mangrove di Kabupaten Cirebon relatif sedikit karena adanya upaya penebangan oleh nelayan untuk pembuatan tambak. Namun sekarang ini mulai dilakukan penanaman mangrove oleh penduduk setempat di daerah pesisir seperti Kecamatan Babakan.
8
Gambar 7.2 Sebaran Ekosistem Pesisir Utara Jawa Barat
Sumber: BPLHD Provinsi Jawa Barat
7.1.1.3
Kondisi Sumberdaya Alam Non-Hayati
Sumber daya mineral utama yang terdapat di wilayah pesisir utara adalah minyak dan gas bumi. Sepanjang pesisir dari Bekasi hingga Cirebon, baik darat maupun di lepas pantai, tersebar beberapa lapangan minyak dan gas bumi. Di wilayah ini juga beroperasi kilang minyak di Balongan Indramayu yang mengolah minyak bumi guna mensuplai kebutuhan BBM di DKI Jaya dan sebagian Jawa Barat. Untuk pengolahan gas bumi, terdapat kilang LPG Mundu, terletak di Karangampel Indramayu. Selain minyak dan gas bumi, kawasan pesisir utara juga mengandung berbagai bahan galian berupa pasir sungai, endapan sirtu, pasir pantai dan lempung/tanah liat.
9
7.1.2
Kondisi Pesisir Selatan Jawa Barat
7.1.2.1. Karakteristik Fisik Garis pantai selatan Jawa Barat - menurut Dokumen Rencana Induk Pengembangan Wilayah Jawa Barat Bagian Selatan 2006, memanjang 398,05 km dari Kabupaten Sukabumi hingga Kabupaten Ciamis, dengan masing-masing Kabupaten memiliki panjang garis pantai sebagai berikut : Kabupaten Sukabumi 128,43 km, Cianjur 72,61 km, Garut 68,40 km, Tasikmalaya 49,11 km dan Ciamis 79,50 km (Atlas Pesisir Selatan Jawa Barat 2007). Secara fisiografis, pesisir selatan Jawa Barat merupakan bagian dari jalur Pegunungan Selatan Jawa yang memanjang dari Ujung Kulon di barat sampai Segara Anak di timur. Jalur ini dicirikan oleh perbukitan terjal dengan pantai curam dan pada beberapa tempat ditemukan dataran-dataran cukup luas. Secara umum morfologi pesisir selatan terdiri dari satuan dataran pantai, satuan perbukitan bergelombang, satuan perbukitan terjal dan pegunungan, dan satuan karst. Melihat dari sebaran batuan (litologi) dan kenampakan morfologinya yang khas memanjang arah barattimur, daerah Jawa Barat Selatan di bentuk oleh berbagai jenis batuan vulkanik, batuan beku terobosan, dan batuan sedimen, dari utara ke selatan. Sungai-sungai besar yang mengalir dan bermuara di pesisir selatan meliputi Sungai Cimandiri, Cibuni, Ciwulan dan Citanduy (bermuara di Kabupaten Cilacap, provinsi Jawa Tengah). Sedangkan kondisi iklim di sini memperlihatkan ada daerah dengan dengan periode bulan kering kurang dari satu bulan, ada yang 1-3 bulan dan dalam klasifikasi Schimdt-Ferguson sebagian besar termasuk kategori B dengan tipe bersifat sedikit agak musiman (Whitten et al, 1996). Pesisir selatan berbatasan dengan perairan dalam Samudra Hindia, memiliki kondisi pantai terletak berhadapan dengan perairan dangkal Laut Jawa, dengan kondisi pantai bervariasi antara berpasir, bertebing atau berterumbu. Kemiringan lereng berkisar antara 10o hingga 40o menempati daerah pesisir pantai sedangkan kemiringan lereng lebih dari 40o menempati daerah perbukitan ke arah utara. Sebagian besar wilayah ini mempunyai tinggi gelombang besar antara 2-5 meter pada perairan lepas pantainya (Atlas Wilayah Pesisir Jawa Barat Selatan, 2003). Karakteristik tersebut di atas terutama daerah bergunung-gunung dan pantai dengan gelombang besar membuat akses ke daerah ini menjadi sulit sehingga perkembangan
10
pembangunan tidak secepat di pesisir utara. Perkembangan yang terjadi di wilayah pesisir selatan lebih terkonsentrasi pada sektor pertanian dan pariwisata. Kondisi tersebut mempengaruhi tingkat tekanan terhadap lingkungan hidup yang terjadi akibat pemanfaatan sumber daya alam maupun ruang wilayah pesisir selatan. 7.1.2.2. Kondisi Sumberdaya Alam Hayati A. Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang di pesisir selatan Jawa Barat tersebar pada semua Kabupaten di wilayah tersebut terutama di Ciamis, Garut dan Sukabumi (Tabel 7.1). Di Kabupaten Ciamis terumbu karang ditemukan tersebar di Pantai Krapyak sepanjang 2,5 km dan lebarnya kurang lebih 75 m, Pantai Timur dan Barat Pangandaran sepanjang 1,5 km dengan lebar 50 m, pantai Karangjaladri sepanjang kurang lebih 200 m dan lebar 100 m serta di daerah perairan Parigi tersebar secara setempat-setempat dengan total luas sekitar 390 hektar di kedalaman berkisar antara 2 – 20 m (BPLHD, 2006). Sementara itu di Kabupaten Tasikmalaya, terumbu karang terhampar sepanjang kurang lebih 32 km dengan lebar ratarata 100 m mulai dari Cipatujah sampai Karangtawulan. Terumbu karang yang terdapat di Kabupaten Garut membentang sepanjang 22 km dengan lebar rata-rata kurang lebih 100 150 m yang terhampar mulai dari Santolo Cilauteureun hingga Cagar Alam Sancang. Selain itu, terumbu karang ini terdapat juga di Cikelet sepanjang 750 m dengan lebar 50 m. Sedangkan terumbu karang di Kabupaten Sukabumi terdapat di Pantai Karanghawu, Cisolok dan Citepus yang merupakan kelompok-kelompok kecil dengan lebar masingmasing kurang lebih 150 m sepanjang kurang lebih 500 m. Di pantai selatan Cianjur dapat dikatakan tidak terdapat terumbu karang yang berarti. Atlas Pesisir dan Laut Jawa Bagian Selatan 2003 menyebutkan kondisi terumbu karang di semua tempat dalam keadaan rusak dan koloninya dalam keadaan mati. Pengamatan di Pangandaran Ciamis oleh Amasya (2005) memperlihatkan terumbu karang di sini telah mengalami kerusakan. Persentase tutupan karang hidup maksimal hanya mencapai 30%, dengan keadaannya sangat buruk sehingga dikategorikan very poor abundance. Situasi ini
11
diperparah dengan kondisi perairan yang keruh sehingga jarak pandang pun sangat terbatas. Pengamatan terbaru (KMPP dan Indecon 2008) menunjukkan kondisi yang sama, dengan luas tutupan karang hidup berkisar antara 11,49%-40,39% sehingga dikategorikan rusak. Pada tahun 2005 dilakukan upaya untuk membuat terumbu karang buatan, sebanyak 40 gugus karang buatan dari ban bekas dibenamkan di pantai Pangandaran oleh LSM setempat. Meski terkena dampak tsunami pada tahun 2006, sebagian gugus karang terdampar di daratan, namun beberapa tetap bertahan di dasar laut hingga kini. Menurut catatan Dinas Kelautan dan Perikanan Ciamis 2008, saat ini 67 terumbu buatan dari ban bekas dan 104 dari beton, tersebar di wilayah perairan laut Ciamis beserta 30 unit rumpon. Dalam upaya menyelamatkan terumbu karang, tahun 2008 Kabupaten Ciamis mengeluarkan Peraturan Bupati Ciamis no. 15 tahun 2008 tentang Pencadangan Lokasi Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Ciamis seluas 29.823,986 ha. B.
Padang Lamun Di pesisir selatan padang lamun ditemukan di Pangandaran Ciamis berupa komunitas Thallassia hemprichii yang tumbuh pada substrat jenis pasir dan karang mati. Sementara di pesisir Ciamis lainnya didominasi oleh Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Di Sukabumi padang lamun menghuni daerah Ujung Genteng dengan didominasi oleh Thalassia sp. Tidak ada data pasti mengenai berapa luas tutupan padang lamun yang terdapat di pesisir selatan Jawa Barat. Hanya pada situs pemerintah Kabupaten Garut (www. garutkabupaten.go.id) menyebutkan luas padang lamun di sini kurang lebih 75 ha.
C.
Hutan Mangrove Sebaran dan luas mangrove di wilayah pesisir selatan Jawa Barat relatif tidak sebanyak di
pesisir utara (Tabel 7.2).
Ekosistem mangrove hanya ditemukan pada daerah estuarin beberapa sungai dengan luasan sempit, kurang dari satu hektar. Luasan yang sempit ini menyebabkan ekosistem mangrove tersebut tidak tumbuh secara optimal dengan diversitas yang rendah dan tidak dapat membentuk zonasi. Jumlah
12
total areal hutan mangrove di sini sekitar 211 Ha dengan sebagian besar terdapat di Kabupaten Ciamis. Dari jumlah tersebut, tidak ditemukan mangrove dalam kondisi baik. Sebanyak 95% mangrove dalam kondisi sedang dan sisanya 5% dalam keadaan rusak. Tidak terdapat perbedaan luasan hutan mangrove tahun 2007 bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ekosistem mangrove di Kabupaten Ciamis tersebar di daerah Majingklak-Kalipucang hingga Parigi, sedangkan di Tasikmalaya terdapat di muara-muara sungai Cimedang, Ciwulan, Cipatireman dan Cilangka dengan didominasi tumbuhan mangrove jenis nipah (Nipa fruticans). Teridentifikasi mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Ciamis adalah 334,44 Ha sedangkan pada tahun 2001 luas hutan mangrove di 6 wilayah kecamatan menyusut menjadi sekitar 237, 588 ha dengan kondisi + 40 % dalam keadaan rusak (Atlas Pesisir Selatan 2007). Di Kabupaten Garut, mangrove dijumpai di daerah Santolo dan Sancang dalam kondisi cukup baik namun tidak terlalu luas dan di Kabupaten Cianjur menghuni muara-muara sungai Cisokan, Cisadea, Ciujung dan Cipandan. Di Sukabumi, kelompokkelompok kecil hutan mangrove terdapat di Cikepuh, Pangumbahan dengan didominasi oleh jenis yang sama di seperti di Tasikmalaya dan Cianjur, yaitu nipah (Nipa fruticans). 7.1.2.3. Kondisi Sumberdaya Alam Non-Hayati Sumber daya mineral di wilayah pesisir selatan dapat dikatakan cukup beragam, mengandung berbagai macam bahan yang berguna. Lempung/tanah liat, batu gamping, dan batu belah – berasal dari batuan beku (andesit, diorit dan dasit)- tersebar hampir di seluruh pesisir selatan. Demikian pula halnya dengan pasir besi, terdapat hampir di seluruh kabupaten wilayah pesisir ini bersama dengan fosfat yang ditemukan di gua-gua daerah batu gamping di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Sedangkan kalsit, zeolit dan bentonit juga ditemukan di bagian timur pesisir selatan di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. 7.1.3
Pemanfaatan Sumber Daya Alam Pesisir
7.1.3.1. Perikanan laut Pemanfaatan sumber daya alam utama di wilayah pesisir adalah bidang perikanan laut, meliputi perikanan tangkap maupun budidaya laut dan air payau (tambak). Jenis-jenis yang dimanfaatkan tidak hanya ikan saja tetapi juga biota laut berkulit keras seperti udang-udangan, biota laut berkulit lunak seperti cumi, dan rumput laut. Perkembangan produksi perikanan laut
13
tangkap di pesisir Jawa Barat dalam 5 tahun terakhir menunjukkan setelah mengalami penurunan sejak tahun 2005, maka pada tahun 2007 ini mengalami peningkatan kembali dan mencapai angka terbesar dalam 5 tahun terakhir (Gambar 7.3) Gambar 7.3 Jumlah Tangkapan Perikanan Laut Jawa Barat 2003 - 2007
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat 2008
Kenaikan jumlah tangkapan laut 2007, terjadi baik di pesisir utara maupun selatan dengan jumlah total mencapai 167.288,50 ton, naik 12% dibandingkan tahun sebelumnya (tabel 7.3). Kenaikan ini diikuti kenaikan cukup tajam pada nilai produksi tangkapan laut sekitar 1,688 triliun rupiah, naik 53% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Wilayah pesisir utara tetap menjadi sumber utama perikanan laut dengan menyumbang 91% dari total tangkapan laut. Hasil ini terutama berasal dari Kabupaten Indramayu (53%), Cirebon (26%) dan Subang (12%). Tabel 7.3 Produksi Perikanan Laut 2003 - 2007 per Kabupaten No. 1 2 3 4 5 6
Kabupaten/Kota Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Jumlah pesisir selatan Kab. Cirebon
2003 6,683.88 90.90 8,061.80 276.80 2,599.60 17,712.98 40,789.00
Jumlah Tangkapan Laut (Ton) 2004 2005 2006 9,124.21 9,824.60 9,347.01 148.16 241.50 229.73 7,348.00 1,960.20 2,916.06 286.50 296.30 453.60 1,871.00 1,205.70 1,605.61 18,777.87 13,528.30 14,552.01 40,843.00 40,554.70 38,689.09
14
2007 9,502.00 85.60 3,835.10 513.90 1,696.70 15,633.30 39,657.90
No. 7 8 9 10 11
Kabupaten/Kota Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Karawang Kab. Bekasi Kota Cirebon Jumlah pesisir utara Jumlah total
2003 60,677.20 14,702.60 9,652.20 1,550.50 4,073.10 131,444.60 149,157.58
Jumlah Tangkapan Laut (Ton) 2004 2005 2006 66,789.40 67,338.80 72,301.06 17,967.50 17,522.20 16,558.28 10,163.40 11,188.00 2,239.78 1,611.70 1,751.50 1,768.24 4,087.40 3,458.20 3,380.52 141,462.40 141,813.40 134,936.97 160,240.27 155,341.70 149,488.98
2007 80,685.00 17,914.20 6,918.80 1,711.40 4,767.90 151,655.20 167,288.50
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat 2008
Perikanan budidaya laut dan tambak air payau menunjukan kecenderungan naik terus walau angkanya tidak sebesar tangkapan laut (Gambar 7.4 dan Tabel 7.4). Budidaya tambak tahun 2007 mengalami kenaikan 17% dibandingkan dengan tahun 2006 dengan jumlah mencapai 96.303 ton dengan nilai 1,275 triliun rupiah. Hampir 99% produksi tambak berada di wilayah pantura, terutama Kabupaten Karawang (33%), Indramayu (30%) dan Bekasi (21%) dengan komoditas utama berupa udang windu (Penaeus monodon) disusul dengan bandeng (Channos channos). Luas areal tambak keseluruhan pada tahun ini mencapai 60.400 hektar atau mengalami kenaikan cukup besar yaitu
27,92 % dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara untuk budidaya laut jumlah produksinya belum sebesar tambak, hanya 10.569,8 ton pada tahun 2007. Namun budidaya laut menunjukan kecenderungan naik terus sejak tahun 2004. Untuk tahun 2007 ini mengalami kenaikan sebesar 2% dibandingkan tahun sebelumnya. Kabupaten Cirebon adalah sentra utama budidaya laut terutama jenis kerang hijau (Perna viridis), dengan menyumbang 99% total produksi di Jawa Barat.
15
Gambar 7.4 Produksi Budidaya Laut dan Air Payau di Jawa Barat Tahun 2004 - 2007
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat 2008
Tabel 7.4 Produksi Budidaya Laut dan Tambak 2004 - 2007 per Kabupaten Jumlah Budidaya Laut & Air Payau (Ton) No.
Kabupaten/Kota
Budi Daya Laut 2004
2005
Tambak (Air Payau)
2006
2007
2004
2005
2006
2007
1
Kab. Sukabumi
0.00
0.00
0.00
0.00
133.00
73.39
873.00
204.00
2
Kab. Cianjur
0.00
18.40
18.00
0.00
97.35
45.83
934.91
747.44
3
Kab. Garut
0.00
0.00
0.00
0.00
27.80
84.14
171.20
265.11
4
Kab. Tasikmalaya
0.00
0.00
0.00
0.00
19.70
41.2
21.00
25.70
5
Kab. Ciamis Jumlah pesisir selatan
0.00
0.00
21.60
0.00
76.60
76.69
71.04
77.44
0.00
18.40
39.60
0.00
354.45
321.25
2,071.15
1,319.69
10,000.00
10,032.00
10,259.00
10,464.20
3,322.00
3,557.22
3,382.10
4,397.10 29,201.59
6
Kab. Cirebon
7
Kab. Indramayu
0.00
0.00
0.00
45.69
19,791.00
20,278.03
25,541.38
8
Kab. Subang
0.00
0.00
0.00
0.00
11,018.40
7,663.50
9,817.19
9,937.42
9
Kab. Karawang
0.00
0.00
0.00
0.00
29,517.40
26,394.81
31,858.10
31,304.70
10
Kab. Bekasi
0.00
39.00
56.20
59.90
6,576.60
6,788.12
10,624.82
20,120.40
11
Kota Cirebon Jumlah pesisir utara
0.00
0.00
0.00
0.00
26.78
21.78
25.19
22.10
10,000.00
10,071.00
10,315.20
10,569.79
70,252.18
64,703.46
81,248.78
94,983.31
Jumlah total
10,000.00
10,089.40
10,354.80
10,569.79
70,606.63
65,024.71
83,319.93
96,303.00
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat 2008
16
Perkembangan jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) jenis usaha tangkapan laut juga meningkat terus dari tahun 2004-2007 (tabel 7.5). Tahun 2007 RTP tangkapan laut mencapai 16.805 rumah tangga, naik
sekitar
6% dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan ini
disebabkan melonjaknya jumlah RTP di pesisir selatan, sementara di pesisir utara justru mengalami sedikit penurunan. Walaupun demikian pesisir utara tetap merupakan asal utama RTP ini, yaitu 69% dari jumlah total dengan lokasi terbanyak berada di Kabupaten Cirebon (30%) dan Indramayu (25%). Untuk RTP usaha budidaya laut, hampir tidak ada perubahan pada tahun ini dibandingkan 2006 (Tabel 7.6). Penurunan terjadi pada RTP budidaya air payau atau tambak tahun 2007, mencapai 36% dibandingkan tahun sebelumnya. Tabel 7.5 Jumlah Rumah Tangga Perikanan Penangkapan Laut Jawa Barat 2004 - 2007 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kabupaten/Kota Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Jumlah pesisir selatan Kab. Cirebon Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Karawang Kab. Bekasi Kota Cirebon Jumlah pesisir utara Jumlah total
Rumah Tangga Perikanan (Rumah Tangga) 2004 2005 2006 2007 954 954 1,371 2,161 279 116 116 116 1,731 1,729 1,729 1,027 81 72 142 144 1,589 1,589 969 1,814 4,634 4,460 4,327 5,262 4,614 4,776 5,026 4,996 4,308 4,308 4,271 4,271 645 648 700 716 780 731 731 731 370 273 591 576 270 259 259 253 10,987 10,995 11,578 11,543 15,621 15,455 15,905 16,805
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan, Provinsi Jawa Barat 2008
Sebanyak 73% RTP tangkapan laut memiliki perahu dengan motor tempel, 9% mempunyai kapal motor, 9% perahu tanpa motor dan sisanya 10% tidak memiliki perahu sama sekali. Jumlah perahu nelayan cenderung meningkat terus dan pada tahun 2007 mencapai 15.727 unit, naik 3% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun tidak demikian halnya dengan jumlah alat tangkap, mengalami penurunan 32% dibandingkan tahun 2006, menjadi 25.351 unit (Gambar 7.5).
17
Tabel 7.6 Jumlah Rumah Tangga Perikanan Budidaya Laut dan Air Payau Jawa Barat 2004 - 2007 No.
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5
Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Jumlah pesisir selatan Kab. Cirebon Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Karawang Kab. Bekasi Kota Cirebon Jumlah pesisir utara Jumlah total
6 7 8 9 10 11
Rumah Tangga Perikanan Budidaya Laut & Air Payau (Rumah Tangga) Budi daya Laut Tambak (air payau) 2004 2005 2006 2007 2004 2005 2006 2007 0 0 0 0 10 10 3 3 0 0 25 0 46 27 54 29 0 0 0 0 4 5 2 12 0 0 0 0 27 27 27 20 0 0 20 0 56 56 56 56 0 0 45 0 143 125 142 120 538 551 551 594 2,241 2,251 2,291 2,310 0 0 0 0 6,467 9,522 9,522 10,570 0 0 0 0 2,475 2,648 2,954 2,943 0 0 0 0 3,855 4,779 11,583 335 0 70 74 74 1,992 1,992 2,207 1,992 0 0 0 0 0 177 177 177 538 621 625 668 17,030 21,369 28,734 18,327 538 621 670 668 17,173 21,494 28,876 18,447
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat 2008
Gambar 7.5 Jumlah RTP, Kapal dan Alat Tangkap Perikanan Laut Jawa Barat 2004 - 2007
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat 2008
7.1.3.2.
Pemanfaatan lainnya
Pemanfaatan sumber daya minyak bumi dan gas baik di daratan maupun lepas pantai, telah dilakukan sejak dulu oleh Pertamina di wilayah pesisir utara Jawa (lihat sub bab 7.1.3). Propinsi Jawa Barat menyumbang 4% total produksi minyak Indonesia dan 11% dari total produksi gas
18
alam. Sekitar 84 lapangan migas tersebar di propinsi ini dan sebagian besar berada di wilayah pesisir utara meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang dan Indramayu serta 4-12 mil laut. Sumber daya mineral lain yang dimanfaatkan dari wilayah pesisir adalah pasir besi dengan endapan mencapai 70 juta ton tersebar di wilayah pesisir selatan di Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya dan Ciamis. Di beberapa lokasi endapan pasir besi telah di eksploitasi seperti di Cikangkung Sukabumi dan Cipatujah Tasikmalaya. Bentuk pemanfaatan lainnya di wilayah pesisir adalah pemanfaatan ruang untuk lahan-lahan industri yang terjadi di wilayah pesisir utara, terutama di Kabupaten Bekasi dan Cirebon. Keberadaan kegiatan-kegiatan industri tersebut secara langsung memberikan dampak terhadap pencemaran baik langsung maupu melalui daerah aliran sungai. Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Cirebon serta Kabupaten Karawang, relatif mengalami peningkatan selama 5 (lima) tahun terakhir (BPLHD, 2007). Masing-masing wilayah administrasi wilayah pesisir Utara Jawa Barat memiliki jumlah dan jenis industri yang berbeda-beda. Kabupeten Bekasi dan Karawang jenis industri yang mendominasi adalah industri logam, kimia dan tektil. Jenis industri di Kabupaten Subang yang mendominasi yaitu industri makanan dibandingkan dengan industri tekstil. Sedangkan di Kabupaten dan kota Cirebon terkenal dengan industri kayu dan pengolahan kayu. Baik di pesisir utara dan selatan terdapat penggunaan lahan untuk pertanian. Pertanian sawah di sekitar pesisir utara Jawa Barat memiliki kawasan cukup luas, dan sebagai salah satu pemasok beras terbesar di Indonesia. Kabupaten Karawang terkenal sebagai kawasan lumbung padi yang memiliki luas sawah 92.786 Ha pada tahun 2005, dan sebagai Kabupaten yang memiliki luas sawah paling besar di sekitar daerah pesisir utara Jawa Barat. Menurut data BPS pada tahun 2001-2005, pada umumnya luas lahan pertanian setiap kabupaten/kota rata-rata cenderung konstan, bahkan beberapa kabupaten/kota terjadi kenaikan penggunaan lahan menjadi sawah. Akan tetapi di Kabupaten Karawang, Indramayu dan Kabupaten Cirebon terjadi kecenderungan penurunan luas lahan sawah, hal tersebut dimungkinkan karena penggunaan lahan berubah menjadi permukiman. Sementara di pesisir selatan pertanian didominasi oleh perkebunan kelapa, terutama di Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya dan Sukabumi. Luas perkebunan kelapa di Ciamis pada tahun 2007 mencapai 70.842 hektar, sedangkan Tasikmalaya dan Sukabumi masing-masing 29.999 dan 11.233 hektar. Seperti halnya
19
persawahan, terdapat kecenderungan penurunan luas perkebunan kelapa pada beberapa tempat akibat pengunaan lahan untuk pemukiman. Pariwisata pesisir hanya berkembang di wilayah pesisir selatan, dengan pusatnya berada di daerah Pangandaran Ciamis. Di sini pariwisata sudah dikenal sejak lama, telah didukung dengan fasilitas cukup memadai baik berupa penginapan, restoran dan prasarana wisata lainnya. Terdapat sekitar 146 penginapan dan 30 restoran di sini pada tahun 2006 dengan tingkat kunjungan mencapai 253.207 wisatawan domestik dan 4.306 wisatawan mancanegara pada tahun 2007. (Indecon, 2008). Obyek wisata yang menjadi andalan berupa pantai, hutan dan sungai. Daerah wisata lainnya adalah di Pelabuhan Ratu Sukabumi dengan obyek andalan mirip di Pangandaran namun masih jauh di bawahnya dalam hal fasilitas wisata dan tingkat kunjungan. Wisata minat khusus berupa surfing dapat ditemukan di daerah Cimaja dan Ujung Genteng- Sukabumi. Beberapa obyek wisata lainnya tersebar di Tasikmalaya, Garut dan Cianjur. 7.2
Tekanan Lingkungan Terhadap Wilayah Pesisir Dan Laut
Permasalahan utama di kawasan pesisir dan laut Jawa Barat adalah terjadinya kerusakan dan degradasi lingkungan pada ekosistem-ekosistem pesisir terutama terumbu karang dan hutan mangrove, akibat pemanfaatan baik di daerah pesisir maupun di luar pesisir yang tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Dampak dari kerusakan ini adalah hilang dan berkurangnya fungsi jasa lingkungan dari ekosistem-ekosistem tersebut. Salah satu dampak yang sudah dirasakan adalah terjadinya pengikisan pantai atau abrasi baik di pesisir utara maupun selatan. Dampak lainnya yang juga sudah terlihat adalah intrusi air laut ke daratan dan semakin menipisnya jumlah ikan dan biota laut pada perairan dekat daratan. Permasalahan di wilayah pesisir dan laut timbul melalui tekanan-tekanan terhadap lingkungan yang tidak berdiri sendiri tapi saling kait mengkait. 7.2.1
Perubahan Tata Guna Dan Luas Tutupan Lahan
Tekanan ini menyebabkan hilangnya sebagian besar hutan hutan mangrove di wilayah pesisir utara. Sekalipun pada tahun ini jumlah areal mangrove tidak banyak berubah bila dibandingkan tahun sebelumnya namun pesisir utara telah kehilangan sebagian besar hutan akibat pembukaan untuk pemukiman, industri, infrastruktur dan terutama kolam-kolam tambak sejak era tahun 1980-an. Hingga kini pembukaan lahan untuk tambak masih terus
20
terjadi dan cenderung mengalami kenaikan terus. Pada tahun 2007, luas tampak telah mencapai 60.400,84 ha atau naik 31% dibandingkan tahun sebelumnya (gambar 7.6). Penurunan luas tutupan hutan mangrove juga terjadi akibat kegiatan penebangan untuk kebutuhan kayu bakar dan telah berlangsung sejak dahulu. Sukardjo dan Yamada (1992) mengemukakan proses pembabatan mangrove di delta sungai Cimanuk, Indramayu untuk kebutuhan kayu bakar telah dimulai sejak tahun 1950. Hingga kini aktifitas penebangan masih terjadi terutama pada saat kenaikan harga BBM. Harga minyak tanah yang mahal membuat masyarakat mengambil kayu bakar dari hutan mangrove untuk keperluan memasak (Antara, 19 Mei 2007). Gambar 7.6 Perkembangan Areal Pertambakan Di Jawa Barat 2002 - 2007
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat 2008
Dampak dari perubahan ini adalah semakin meningkatnya abrasi di pantai utara Jawa Barat, selain ikan dan biota laut lainnya semakin jarang di perairan dekat daratan akibat hilangnya tempat untuk memijah dan asuhan pada hutan mangrove. Selain itu kegiatan penambangan pasir besi di pesisir selatan juga memperparah terjadinya abrasi sekaligus meningkatkan sedimentasi. Sekalipun kegiatan ini jelas mempunyai dampak merugikan namun kegiatan ini masih terus berjalan. Penambangan pasir besi yang sempat ditutup beberapa tahun terakhir di Tasikmalaya karena dianggap merusak lingkungan, kini telah kembali diaktifkan atas ijin pemerintah daerah (Pikiran Rakyat online, 27 Oktober 2008). Bahkan pemerintah daerah Garut tahun 2004 menerbitkan ijin penambangan pasir yang lokasinya berada di wilayah Cagar Alam Leuweung Sancang. Di lokasi ini, sempat terjadi konflik antara masyarakat sekitar yang
21
menolak pertambangan dengan pihak perusahaan penambang (Kompas 9 Juli 2007). Hal yang sama terjadi di Sindangbarang Cianjur, masyarakat melakukan unjuk rasa menuntut penutupan kegiatan penambangan pasir di tempat tersebut (Pikiran Rakyat, 4 November 2008). Dampak-dampak negatif selengkapnya akibat perubahan tata guna dan luas tutupan lahan adalah adalah sebagai berikut : 1. Abrasi Abrasi atau erosi pantai adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak sebenarnya merupakan sesuatu yang
bersifat
alami,
namun
hilangnya
hutan
mangrove atau hutan pantai mempercepat proses ini. Pantai utara Jawa Barat telah mengalami abrasi sekitar 50 % dari total panjang keseluruhan dengan pantai Indramayu mengalami abrasi paling panjang lebih kurang 48,57 km (lihat kotak 7.2). Seluruh Kabupaten di pesisir utara didera dengan permasalahan abrasi ini (gambar 7.7 ). Sedangkan di pesisir selatan terjadi peningkatan daerah abrasi antara kurun waktu 2001 sampai dengan tahun 2003, dengan laju perluasan daerah yang mengalami abrasi pada tahun 2001 berkisar antara nilai 30,05 ha/tahun, kondisi ini meningkat pada kurun waktu 2003 dengan kisaran laju abrasi sekitar 35,35 ha/tahun (BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2007). Lokasi-lokasi yang mengalami diantaranya adalah : -
abrasi sekitar 1 km di Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis;
-
abrasi dan kerusakan lingkungan pantai di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya;
-
di Kabupaten Garut kondisi wilayah pesisir terancam oleh penambangan pasir laut yang dapat menimbulkan abrasi;
-
di Kabupaten Cianjur kerusakan pantai akibat ancaman dari penambangan pasir besi, terutama terjadi di Sindangbarang dan Cidaun dengan perkiraan kerusakan sekitar 450 ha seperti;
-
di Kabupaten Sukabumi potensi abrasi terdapat di Ciracap, Ciomas dan Pelabuhanratu yang disebabkan oleh rusak nya hutan pantai, selain itu muara Cikaso (Kecamatan Tegal Buleud) sangat berpotensi terjadinya abrasi karena terdapat aktivitas pematokan lahan untuk penambangan pasir.
22
Gambar 7.7 Permasalahan Lingkungan di Pesisir Utara Jawa Barat
Sumber: BPLHD Provinsi Jawa Barat
23
Kotak 7.2 Indramayu, Abrasi di Sepanjang Pantai Abrasi di sepanjang pantai Kabupaten Indramayu telah mencapai 48,57 km sehingga menobatkannya sebagai pantai terpanjang yang mengalami abrasi di Jawa Barat. Proses abrasi di daerah ini berlangsung cukup kuat dan garis pantai telah mundur jauh dari garis pantai lama dan sudah mendekati jalan raya Indramayu - Jakarta yakni di daerah Eretan berjarak kurang lebih 100 meter (garis pantai lama pada peta kurang lebih 500 meter). Daerah abrasi pantai di perairan Indramayu menurut data Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup Kab. Indramayu (2005) mencapai total luas 2143,10 ha yang meliputi Kec. Sukra yang merupakan lokasi PLTU 1 Jawa barat sebesar 522,47 Ha, Kec. Kroya (418,34 Ha), Juntinyuat (406,33 Ha), Krangkeng (293,13 Ha), Balongan (201,81 Ha) dan kec. Indramayu (197,07 ha). Penyebab abrasi selama ini adalah pembukaan lahan hutan mangrove oleh penduduk pesisir Kab. Indramayu. Abrasi terbesar terjadi di lokasi Patimban hingga Eretan dengan pengurangan 500 m ke 2
arah darat dan Tanjung Ujung sampai 10 km ke arah barat laut dengan luas pengurangan 4,25 km . Puluhan permukiman berikut segala isinya seperti rumah-rumah penduduk dan seluruh fasilitas sosial di sejumlah kampung pesisir tenggelam. Ribuan hektare sawah, areal pertambakan, maupun tanah pesisir lainnya tak luput dihantam abrasi. Gelombang Laut Jawa juga telah menelan tanah-tanah produktif di wilayah pesisir. Tak hanya daratan, abrasi juga telah menggerus potensi ekonomi wilayah pesisir. Ujunggebang, salah satu desa di pesisir pantura Indramayu yang sejumlah bloknya telah berubah menjadi lautan. Di desa yang terletak di perbatasan dengan Kab. Subang itu sudah lebih dari 1.000 rumah tenggelam tergerus abrasi, juga dengan segala fasilitas umum dan sosialnya. Ada sejumlah desa lain dengan ratusan penduduknya terancam hantaman gelombang Laut Jawa, di antaranya di Desa Dadap dan Limbangan di Kec. Juntinyuat dan Eretan Kulon (Kandanghaur). Di Dadap, hampir setiap saat ada rumah yang roboh akibat abrasi, terutama pada saat musim gelombang tinggi dan angin kencang seperti musim timuran (angin timur). Di Pantai Limbangan, abrasi diduga ada kaitan dengan kegiatan rutin pengerukan di Pelabuhan Khusus (Pelsus) Jeti. Untuk memperdalam alur agar kapal-kapal besar pembawa Liquid Petroleum Gas (LPG) bisa berlabuh, pasir dikeruk dan dibuang ke tengah laut. Selain permukiman penduduk, abrasi juga mengancam sarana umum dan sejumlah fasilitas strategis seperti jaringan pipa Pertamina. Jalur paling strategis di Pulau Jawa (jalur pantura), juga ikut terancam. Bila tidak segera dicegah, bukan tidak mungkin jalur ramai itu terputus oleh ganasnya abrasi. Abrasi yang kuat juga telah merusak Pantai Tirtamaya, satu-satunya pantai tempat wisata di Pantura Indramayu. Tahun '80-an, daratan Tirtamaya menjorok 30 meter ke laut. Sekarang sudah hilang. Keindahan pantai itu telah hilang. Kendati demikian, upaya membentengi pantura sudah dan akan terus dilakukan. Dalam hal ini, tidak saja mennguras anggaran daerah, tetapi juga anggaran dari provinsi dan pemerintah pusat. Misalnya di Eretan Kulon, sudah dibangun break-water dan talud sekira 7 km oleh Dephub karena mengancam jalur pantura. Di Pantai Song, Dephub juga membangun fasilitas penahan gelombang dan pencegah abrasi sekaligus pengerukan sedimentasi di muara Kali Song. Selain itu, Pertamina yang telah membangun talud di sepanjang pantai DadapTirtamaya-Limbangan untuk melindungi jaringan pipanya. Disamping itu, upaya penghijauan melalui penanaman mangrove juga gencar dilakukan. Sumber : Atlas Pesisir Utara Jabar 2007.
24
2. Sedimentasi Sedimentasi adalah permasalahan lainnya yang timbul akibat perubahan tata guna lahan dan luas tutupan lahan baik di daerah pesisir maupun DAS. Kawasan hutan atau ruang terbuka hijau di DAS yang semakin menyempit meningkatkan erosi tanah, lalu masuk masuk ke dalam aliran sungai dan terbawa ke arah laut. Pada pantai yang telah
bebas
mangrove,
fungsi
hutan
ini
dalam
memerangkap sedimen dan polutan melalui sistem perakarannya sebelum masuk ke laut menjadi hilang. Akibatnya berlangsung proses pendangkalan pada muara-muara sungai sehingga menambah luas daratan yang berbatasan dengan laut. Proses penambahan daratan ini, sering diistilahkan dengan akresi, mempunyai bentuk berupa delta, estuarin dan pematang pantai. Kemunculan tanah-tanah baru bisa menguntungkan - karena memperluas lahan- tapi sisi lain dapat merugikan sebab muara sungai atau pelabuhan menjadi dangkal, menyulitkan jalur transportasi perahu atau kapal. Di samping itu sedimentasi dapat memperkeruh air laut, seperti yang terjadi di Pangandaran, menurunkan segi estetika terutama pada pantai-pantai untuk daerah wisata. Bukan hanya itu, sedimentasi dapat menyebabkan rusaknya terumbu karang akibat tidak bisa mendapat cahaya matahari, sebagai salah satu kebutuhan hidupnya, karena terhalang oleh perairan keruh. Dampak kerusakan terumbu karang membuat penurunan keaneragaman dan jumlah ikan maupun biota laut dan mereduksi fungsinya sebagai pelindung daerah pesisir dengan memecah ombak serta pengatur iklim dan ini akan mengganggu ekosistem terumbu karang yang ada di sekitarnya. Di pesisir utara, sedimentasi menyebabkan terjadinya akresi pada beberapa tempat yaitu : -
Daerah Sipucuk, mulai dari daerah Sipucuk hingga Ciderewek memanjang ke arah timur sepanjang kurang lebih 7 km dengan besar pertambahan dari 0 hingga 300 meter ke 2
arah laut seluas kurang lebih 1,35 km . -
Daerah Cilamaya, mulai dari Pasir Putih hingga 5 km sebelum Legok Sempring dengan 2
besar pertambahan dari 0 hingga 5 km ke arah laut seluas kurang lebih 15,5 km . -
Daerah Pamanukan, mulai dari Tanjung Babos hingga 2,5 km sebelum Desa Patimban 2
dari 0 hingga 5 km kearah laut, seluas kurang lebih 10 km .
25
-
Daerah Indramayu, penambahan terjadi pada daerah-daerah di mana sungai Cimanuk bermuara, dengan besar pertambahan dari 0 hingga 7 km ke arah laut , seluas kurang 2
lebih 45 km . 3. Intrusi Air Laut Perubahan daerah pesisir menjadi kawasa pemukiman, industri atau pariwisata sering kali menciptakan permasalahan intrusi air laut. Pengambilan air tanah secara berlebihan merupakan penyebab utama fenomena ini, walaupun kadang di beberapa tempat air tanah bersifat asin atau payau secara alami. Intrusi air laut terjadi pada beberapa daerah di pesisir utara, seperti : -
wilayah cekungan Bekasi-Karawang batas air asin bervariasi antara 2.5 km hingga 20 km dari garis pantai;
-
Cekungan Pamanukan, di Ciasem batas air asin sejauh 9 km dari garis pantai, di Binong batas air asin sejauh 18 km dari pantai, dan di Patrol batas air asin sejauh 3 km dari garis pantai;
-
Indramayu, pada lokasi Kandanghaur, batas air asin sejauh 7 km dari garis pantai, batas air bawah tanah payau/tawar sejauh 17 km dari garis pantai. Di Lohbener batas air asin sejauh 17 km dari garis pantai, sedangkan batas air bawah tanah payau/tawar sejauh 18 km dari garis pantai;
-
Cekungan Cirebon, di Jatibarang batas air tanah asin sejauh 8 km dari garis pantai, sedangkan batas air bawah tanah payau/tawar sejauh 19 km. Di Kota Cirebon air bawah tanah bersifat tawar. Di Losari batas air bawah tanah asin sejauh 11 km dari garis pantai, sedangkan batas air bawah tanah payau/tawar sejauh 14 km dari garis pantai (Dinas Pertambangan dan Energi, Propinsi Jawa Barat, 2006).
4. Peningkatan resiko bencana Perubahan hutan mangrove menjadi lahan peruntukan lainnya juga meningkatkan resiko dampak dari bencana alam karena pantai tidak lagi memiliki ‘sabuk hijau’ untuk melindungi dari badai dan tsunami. Hal ini terbukti pada saat tsunami tahun 2006 di Pangandaran yang mana kerusakan terberat terjadi pada pantai-pantai terbuka tanpa perlindungan. Sebaliknya pada pantai yang masih memiliki vegetasi atau hutan pantai kehancuran yang terjadi lebih kecil.
26
7.2.2
Pencemaran
Pencemaran lingkungan merupakan salah satu tekanan utama di wilayah pesisir Jawa Barat. Perubahan tata guna lahan di wilayah pesisir menjadi daerah industri, pemukiman, pertanian dan tambak memicu terjadinya masalah pencemaran ini. Tidak hanya itu pencemaran di wilayah pesisir juga terkait dengan keberadaan DAS di daerah tersebut. Perubahan tata guna lahan yang terjadi di DAS akan sangat berpengaruh dalam membawa aliran limbah, sampah, sedimen dan zat hara ke wilayah pesisir. Pencemaran terjadi akibat limbah hasil dari kawasan dengan peruntukan seperti tersebut di atas dibuang ke badan air tanpa proses pengolahan memadai atau tidak sesuai ketentuan perundangan berlaku. Pesisir utara merupakan wilayah paling menderita akibat pencemaran air dan menurut penelitian BPLHD tahun 2007 sebagian besar perairan berada dalam kondisi tercemar sedang (gambar 7.7). Gambar 7.8 Kualitas Perairan di Pesisir Utara Jawa Barat 2006
Sumber: BPLHD Provinsi Jawa Barat
Parameter-parameter kualitas air laut yang diukur dalam penelitian ini, hampir seluruhnya melampaui ketentuan baku mutu yang dipersyaratkan SK. MENLH no. 51 tahun 2004 (lihat Kotak 7.3). Kasus pencemaran lain di wilayah pesisir utara adalah tumpahan minyak dari kapal Pertamina di sepanjang pesisir pantai Indramayu pada bulan September 2008. Sebanyak 13
27
desa dinyatakan terpapar oleh bocoran minyak dengan garis pantai sepanjang 20 km (Kompas 17 Oktober 2008). Pada wilayah pesisir selatan, permasalahan pencemaran intensitasnya belum sebesar di pesisir utara. Daerah pemukiman dan kawasan pariwisata di dekat pantai merupakan sumber pencemar yang potensial di masa mendatang. Pengamatan yang dilakukan di Pangandaran oleh BPLHD pada tahun 2006 dan Indecon 2008 menjumpai sebagian besar limbah dari hotel, restoran, dan MCK –termasuk dari pemukiman- dibuang langsung ke badan air tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Sekalipun dari hasil pengukuran kualitas air laut dan sungai masih memperlihatkan sebagian besar masih sesuai baku mutu, hal ini perlu diantisipasi sejak dini mengingat pembangunan di wilayah pesisir selatan masih akan terus berkembang.
Kotak 7.3 Tempat Pembuangan Limbah Itu Bernama : Perairan Pesisir Utara Jawa Barat Tahun 2007, BPLHD melakukan pengambilan contoh dan analisa kualitas air di pesisir utara Jawa Barat. Kegiatan ini dilakukan guna memantau perubahan kualitas air laut dan telah dilakukan sejak tahun 2006. Sebanyak 15 stasiun pengambilan contoh disebar terutama pada perairan muara sungai dan pesisir yang terpengaruh langsung oleh sungai-sungai. Selain itu diambil juga contoh sedimen sebagai indikator pencemaran karena partikelpartikelpencemar cenderung cepat mengendap pada badan air yang asin. Dari parameter-parameter yang diukur berupa padatan tersuspensi total (TSS), kebutuhan oksigen biologis (BOD), ammonia total (NH3-N), sulfida (H2S), minyak & lemak, serta fosfat; semua ditemukan berada di atas baku mutu SK MNLH no 51/2004. TTS yang besar menunjukkan tingkat sedimentasi tinggi sementara BOD dan sulfida yang tinggi menunjukkan perairan telah mengalami pencemaran organik. Kemungkinan pencemaran akibat tingginya penggunaan pupuk berbasis nitrogen dan fosfat di daerah pertanian pada sepanjang aliran sungai, ditunjukkan dengan besarnya nilai ammonia total dan fosfat yang ditemukan. Sedangkan besarnya minyak dan lemak menunjukkan tingginya pembuangan limbah domestik ke langsung ke sungai-sungai yang bermuara di pesisir utara. Kondisi tidak berbeda jauh ditemukan dalam hal parameter kandungan logam berat berupa raksa, krom, arsen, kadmium, tembaga, timbal, seng dan nikel; nilainya melampau baku mutu sesuai SK MNLH no 51/2004. Bahkan dalam pengukuran sedimen, konsentrasi logam-logam berat yang ditemukan melonjak puluhan hingga ratusan kali lipat dibandingkan yang di badan air laut.. Temuan ini mencerminkan kegiatan pembuangan limbah industri tanpa pengolahan memadai masih terus berlangsung di sepanjang aliran sungai-sungai yang bermuara di pesisir utara. Sungai dan laut masih dianggap sebagai wadah pembuangan limbah dan sampah yang tidak akan pernah penuh. Padahal tingginya kandungan logam berat dalam air laut dan endapan menimbulkan resiko yang dapat mempengaruhi fisiologis manusia, mengingat adanya pemanfaatan sumberdaya hayati untuk pangan di sini. Sumber : Pemantauan Kualitas Air Laut Pesisir Utara Jawa Barat 2007
Dampak dari pencemaran limbah ini adalah menurunnya kualitas air dan akan berpengaruh terhadap penurunan populasi ikan dan biota laut. Selain itu menurunnya kualitas air juga dapat
28
menimbulkan kerusakan pada ekosistem-ekosistem pesisir seperti terumbu karang, padang lamun maupun mangrove sehingga mengurangi fungsi jasa lingkungan yang dimilikinya. Kasus pencemaran minyak di Indramayu misalnya, menyebabkan kerusakan pada hutan mangrove yang akan berdampak pada ekonomi masyarakat pesisir. Belum lagi kerugian secara langsung akibat rusaknya tambak-tambak produktif dan nelayan yang tidak melaut lagi karena sudah tidak ada ikan yang bisa ditangkap. Bentuk pencemaran lain yang terjadi di wilayah pesisir adalah limbah padat atau sampah. Aliran sungai sering kali membawa sampah dari sepanjang DAS yang dilalui terutama jika melewati daerah pemukiman atau industri yang mana kebiasaan membuang sampah di sungai masih sering terjadi. Sering terlihat bagaimana beraneka macam sampah berserakan di pantai atau menggantung tersangkut pada akar atau batang pohon mangrove. Akibatnya perairan di sekitar muara dan pantai menjadi kotor dan menurunkan nilai estetika. Selain itu sampah juga bisa mengganggu kehidupan ikan dan biota laut dan pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi kesehatan suatu ekosistem. 7.2.3
Penangkapan Perikana Laut Berlebihan Dan Dengan Cara Merusak
Tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan, penangkapan secara berlebihan dapat menurunkan populasi ikan atau biota laut. Hal ini dikarenakan laut adalah bukan sesuatu yang tidak terbatas melainkan mempunyai ambang kemampuan untuk dimanfaatkan. Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat menyatakan, ciri-ciri terjadinya overfishing (penangkapan ikan berlebih) sudah terlihat di sepanjang pesisir utara Jawa Barat (Tempo Interaktif 6 Juni 2007) dengan tanda-tanda berupa ikan tangkapan makin kecil, jenis ikan tertentu makin sulit didapat. Instansi ini mencatat potensi ikan tangkap di perairan pesisir utara Jawa Barat mencapai 140 ribu ton. Namun jumlah tangkapan ikan yang didaratkan di Indramayu saja jumlahnya mencapai 140 persen lebih banyak dari potensi tangkapan tersebut. Kendati belum terlihat indikasi kepunahan untuk ikan-ikan tertentu yang tadinya melimpah makin sulit ditemukan, di antaranya, jenis ikan kakap putih, ikan blanak, dan ikan kuro. Dampak overfishing dalam jangka panjang akan membuat produktifitas ikan tangkap di perairan itu akan menurun drastis. Pada akhirnya kelangkaan jenis-jenis tertentu akan mempengaruhi kesehatan ekosistem pesisir.
29
Tekanan lain yang dapat menimbulkan kerusakan adalah penangkapan ikan dengan cara merusak (destructive fishing) melalui penggunaan bom, sianida/potas, jaring pukat atau jaring berdiameter mata jaring kecil. Di wilayah pesisir Jawa Barat diperkirakan praktek ini masih berlangsung dengan intensitas yang diketahui. Penggunaan bom dan sianida untuk menangkap ikan hias dilaporkan terjadi di Pulau Biawak. Pemakain bom dan sianida menyebabkan kerusakan terumbu karang sementara pemakaian jaring dengan mata jaring berdiameter kecil akan dapat menurunkan populasi karena banyak ikan-ikan muda yang turut tertangkap. 7.2.4
Kenaikan Bahan Bakar Minyak
Sebagian besar nelayan di Jawa Barat menggunakan perahu motor tempel berbahan bakar solar dalam aktifitasnya menangkap ikan di laut. Oleh karena itu fluktuasi harga BBM sangat berpengaruh terhadap kehidupan nelayan. Setiap kali terjadi kenaikan BBM maka banyak nelayan berhenti untuk melaut karena akan merugi akibat besarnya biaya bahan bakar yang dikeluarkan. Apalagi sekarang jarak yang ditempuh untuk mencari ikan harus lebih jauh karena ikan yang ada di perairan dekat pantai sudah sedikit. Nelayan yang tidak melaut biasanya beralih sementara menjadi tukang becak, buruh tani dan sebagainya. Namun sekarang jumlah pengangguran terus bertambah sehingga sulit beralih pekerjaan. Kenaikan BBM juga berpengaruh terhadap kelestarian hutan mangrove di wilayah pesisir terutama di daerah utara. Setiap kali terjadi kenaikan BBM, ditambah kelangkaan minyak tanah akhir-akhir ini, selalu diikuti dengan maraknya kembali penebangan liar di hutan mangrove. Ketika harga minyak makin mahal masyarakat mencari alternatif energi lain dan satu-satunya yang bisa dilakukan masyarakat pesisir yang rata-rata miskin ialah kayu bakar dengan bersumber dari hutan mangrove. 7.2.5
Kerawanan Bencana Alam
Kawasan pesisir Jawa Barat terutama di selatan merupakan daerah rawan gempa bumi. Posisi Jawa Barat secara geologi terletak di sebelah utara pertemuan dua lempeng aktif Eurasia dan Australia yang saling bertumbukan (subduction zone). Tumbukan ini mengakibatkan daerah Jawa Barat seringkali diguncang gempa bumi yang bersifat tektonik dengan pusat gempa (epicentre) terbanyak berpusat di laut (80%). Sebaran Gempa Bumi dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) jalur yaitu jalur sumber gempa bumi Pantai Barat Banten dan jalur gempa
30
bumi Pesisir Selatan Jawa Barat. Jalur sumber gempa bumi selatan Selatan Jawa Barat kejadiannya berhubungan erat dengan aktivitas subduksi. Penyebaran pusat gempa bumi sangat erat kaitannya dengan keberadaan struktur geologi regional kawasan ini dan terkelompok dengan arah Barat Daya-Timur Laut. Potensi gempa yang cukup intensif di pesisir selatan ini dapat menjadi pemicu bahaya geologi lainnya seperti gerakan tanah, banjir dan tsunami. Hal ini telah dibuktikan dengan peristiwa gempa berkekuatan 6,8 SR, memicu terjadinya gelombang tsunami yang menyapu pesisir selatan Jawa Barat pada tanggal 17 Juli 2006. Peristiwa ini memakan korban 647 orang meninggal dunia dan ribuan bangunan rusak (KMLH 2006). Sekalipun lebih sering terjadi di selatan, bukan berarti pesisir utara bebas dari gempa seperti yang terjadi pada bulan Agustus 2007, gempa berkekuatan cukup besar 7,4 SR menguncang daerah Pamanukan Indramayu. 7.2.6
Perubahan Iklim
Peningkatan intensitas gelombang besar dalam beberapa tahun belakang ini meningkat terus di perairan Indonesia termasuk pesisir utara dan selatan Jawa Barat. Situasi ini membuat terhentinya aktifitas perikanan laut karena tidak ada nelayan yang berani pergi ke laut. Sekalipun banyak yang menganggapnya sebagai fenomena alam namun beberapa penelitian dari berbagai tempat di dunia, menyakini bahwa fenomena peningkatan intensitas gelombang besar di laut dalam hal ini juga berhubungan dengan semakin sering terjadinya badai terkait dengan perubahan iklim. 7.2.7
Sumber Permasalahan
Tekanan-tekanan lingkungan tersebut di atas sebenarnya merupakan mekanisme atau penyebab langsung terhadap kerusakan pada wilayah pesisir dan laut. Akan tetapi dibalik itu sebenarnya ada akar permasalahan lebih besar penyebab terjadinya tekanan lingkungan ini. Sumber-sumber atau akar permasalahan (underlying causes) itu adalah sebagai berikut :
Peningkatan populasi penduduk dan kemiskinan, jumlah penduduk yang semakin banyak mendorong peningkatan permintaan barang dan jasa menyebabkan pemanfaatan sumber daya alam semakin besar dan intensif. Selain itu distribusi hasil sumber daya alam yang tidak merata menimbulkan kemiskinan pada sebagian besar penduduk. Nelayan adalah salah satunya. Mereka hidup dalam kemiskinan secara turun temurun akibat sistem perdagangan yang berlangsung di daerah pesisir yang
31
mana
peran
tengkulak
sangat
dominan
mendorong
mereka
untuk
terus
memunculkan
atau
mengeksploitasi alam secara berlebihan.
Pembangunan
berorientasi
ekonomi
jangka
pendek,
memprioritaskan kebijakan-kebijakan yang mengedepankan pembangunan ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Sering kali pemerintah gagal atau tidak memperhitungkan nilai-nilai lingkungan hidup seperti jasa lingkungan ke dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Pembangunan berorientasi ke darat, kondisi bahari di Indonesia yang jauh lebih luas dari daratannya masih dilupakan. Berbagai kebijakan menyangkut pelestarian dan pengelolaan pesisir yang belum kunjung selesai hingga kini menunjukkan pemerintah belum berpihak pada pembangunan berbasis bahari.
Kurangnya kesadaran lingkungan hidup, pemahaman akan pentingnya kelestarian kawasan pesisir dan laut sebagai modal untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat belum dipahami sepenuhnya oleh pemerintah maupun masyarakat.
Lemahnya penegakan hukum, sekalipun perangkat perundangan-undangannya telah ada namun masih banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap lingkungan hidup yang tidak diberi sangsi atau diproses secara hukum.
Lemahnya iptek dan perekonomian berbasis kelautan, potensi bahari yang begitu luas belum banyak diteliti dan dimanfaatkan untuk pembangunan. Minimnya anggaran penelitian dan insentif membuat pengembangan ekonomi berbasis kelautan berjalan dengan lambat.
7.3 Respon Tahun 2007 ditandai dengan diterbitkannya UU no. 27 tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil untuk memberikan aturan dalam pemanfaatan dan melestarikan kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Langkah positif diikuti sejumlah respon menggembirakan lainnya seperti penyusunan Atlas Pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat terbaru (2007) oleh Bapeda Propinsi dan telah berjalannya program pemantauan perairan pesisir utara oleh BPLHD Jawa Barat. Intensitas bencana alam yang semakin sering terjadi juga mendorong pemerintah dan masyarakat untuk melakukan gerakan penanaman mangrove di berbagai daerah.
32
Namun demikian perangkat perundang-undangan ini masih kurang karena jabaran dari UU no. 27 tahun 2007 tersebut belum dikeluarkan hingga kini. Akibat perencanaan pengelolaan di tingkat pemerintah propinsi dan Kabupaten/kota juga terhambat karena belum ada aturan mengenai panduan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir. Oleh karena itu penerbitan peraturan ini dengan segera mutlak diperlukan agar pemanfaatan pesisir bisa dilakukan tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. Respon yang sangat penting adalah pengintegrasian perencanaan wilayah pesisir dengan daratan terutama Daerah Aliran Sungai (DAS). Untuk itu perlu diberikan pemahaman kepada seluruh instansi tentang keterkaitan erat antara kawasan pesisir dengan DAS. Beberapa respon lainnya yang disarankan untuk dilakukan antara lainnya melanjutkan peningkatan penegakan hukum atas ketentuan yang berlaku di kawasan pesisir dan DAS, rehabilitasi hutan mangrove dan terumbu karang, pemberdayaan masyarakat pesisir dan pengembangan ekonomi kelautan yang berkelanjutan. Respon selengkapnya, baik yang telah dilakukan maupun yang direkomendasikan, bisa dilihat di bawah ini disajikan dalam satu tabel dengan ringkasan dari status dan tekanan : Tabel 7.7 Analisis State, Pressure dan Response untuk Aspek Pesisir dan Laut State Tahun 2007 Ekosistem Terumbu Karang, Padang Lamun dan Mangrove -
Sebagian besar terumbu karang dalam kondisi rusak (contoh di Pangandaran luas tutupan karang sehat hanya berkisar 11,49%-40,39% ). Di pesisir utara terumbu karang hanya tersisa di Kabupaten Indramayu dan Karawang sedangkan di selatan terutama terdapat di Ciamis, Garut dan Sukabumi.
-
Areal padang lamun memiliki luasan sempit dengan kondisi tutupannya belum diketahui.
-
Tidak ada hutan mangrove yang berada dalam kategori baik, sebanyak 15.275 ha (38%) dalam kondisi rusak, selebihnya 24.845,38 ha (62%) dalam kondisi sedang. 99% mangrove ada di pesisir utara terutama di Karawang, Subang , Indramayu dan Bekasi. Sementara di pesisir
Pressure Tekanan : Perubahan tata guna dan luas tutupan lahan 7.1 Alih fungsi untuk pemukiman, industri, pertanian, perikanan, pariwisata dan pertambangan. 7.2 Pembukaan lahan untuk tambak meningkat terus. 7.3 Penggalian pasir besi masih berlangsung di pesisir selatan Pencemaran 7.4 pencemaran air melalui DAS akibat limbah industri, domestik dan pertanian. 7.5 Pencemaran tumpahan minyak di pesisi utara Pengambilan perikanan laut secara berlebihan dan dengan cara merusak 7.6 penangkapan dengan menggunakan bom, sianida, bubu dan jaring ikan tidak ramah lingkungan.
33
Respon Yang Sudah Dilakukan : Kebijakan -
Perangkat perundang-undangan : UU no. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem UU no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan UU no. 22 tahun 1999 tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah UU no. 31 tahun 2004 tentang Perikanan UU no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil PP 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan PP 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Perda Prop. Jawa Barat no. 3
State Tahun 2007 selatan sebagian besar mangrove ada di Kabupaten Ciamis. -
Jawa Barat baru memiliki 2 Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yaitu Pulau Biawak Indramayu dan Perairan Laut Ciamis.
Pemanfaatan -
-
-
-
-
Setelah mengalami penurunan terus sejak tahun 2004, hasil tangkapan laut pada tahun 2007 mengalami kenaikan sebesar 12% dibandingkan tahun 2006 atau sebanyak 167.288,5 ton. Pesisir utara menyumbang 91% dari tangkapan laut ini dengan daerah utama di Indramayu, Cirebon dan Subang. Sejalan dengan kenaikan ini Rumah Tangga Perikanan (RTP) laut dan jumlah kapal/perahu juga mengalami kenaikan masing-masing sebesar 6% (16.805 RTP) dan 3% (15.727 unit) dibandingkan tahun 2006. Akan tetapi untuk jumlah alat tangkap mengalami penurunan 37% dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah produksi perikanan budidaya air payau (tambak) setelah mengalami penurunan pada tahun 2005, naik kembali sejak 2006 dan kini mencapai 96.303 ton atau naik 2 % dibandingkan tahun sebelumnya. Luas lahan pertambakan juga naik 31 % dibandingkan tahun 2006, mencapai 60.400,84 ha pada tahun ini. Sentra utama pertambakan ada di pesisir utara (99%) di daerah Indramayu, Kerawang dan Bekasi. Kenaikan produksi dari pertambakan tidak diikuti dengan meningkatnya RTP budidaya air payau yang mengalami penurunan 36% dibandingkan dengan tahun 2006, mencapai 18.447 RTP.
Pressure Kenaikan bahan bakar minyak 7.7 mendorong terjadinya penebangan mangrove 7.8 menambah biaya operasional para nelayan karena saat ini lokasi menangkap ikan semakin jauh dari pantai Kerawanan bencana alam 7.9 daerah rawan gempa bumi (gempa berkekuatan 7,4 SR mengguncang Indramayu pada tahun 2007) 7.10 daerah rawan bencana tsunami Perubahan Iklim 7.11 intensitas badai semakin meningkat, menimbulkan gelombang besar, membuat nelayan tidak bisa melaut dan aktifitas perikanan laut terhenti.
-
-
Rencana Induk Pengembangan Wilayah Jawa Barat Bagian Selatan oleh Bapeda Propinsi Jawa Barat tahun 2006
-
Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah di Pulau Biawak dan sekitarnya melalui SK Bupati Kabupaten Indramayu tahun 2004 dan pada kawasan perairan laut Ciamis melalui Peraturan Bupati Kabupaten Ciamis tahun 2008 .
Kegiatan -
Sumber Penyebab : 7.12 Peningkatan populasi penduduk dan kemiskinan 7.13 Pembangunan berorientasi ekonomi jangka pendek 7.14 Pembangunan berorientasi ke darat 7.15 Kurangnya kesadaran lingkungan hidup 7.16 Lemahnya penegakan hukum 7.17 Lemahnya iptek dan perekonomian berbasis kelautan
Respon tahun 2004 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Perda Jawa Barat no. 2 tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
-
-
-
-
-
Penyusunan Atlas Pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat oleh BPLHD pada tahun 2003 dan Bapeda Propinsi pada tahun 2007. Pemantauan kualitas air laut pesisir utara Jawa Barat dilakukan oleh BPLHD sejak 2006. Program-program BPLHD terkait pesisir dan laut seperti Studi Kelayakan IPAL Komunal di Kawasan Wisata Pangandaran, Kajian Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Pesisir Selatan Kabupaten Ciamis, dan lain-lain. Persyaratan Amdal bagi kegiatan yang dapat menghasilkan limbah. Gerakan penanaman mangrove baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat. Rehabilitasi terumbu karang di Ciamis Selatan oleh pemda setempat dan LSM. Penyusunan rencana pengelolaan pariwisata berkelanjutan di Pangandaran hingga kini sedang dilakukan di Pangandaran oleh pemerintah daerah, masyarakat Pangandaran dan UNWTO.
Institusi Pembentukan Kelompok Kerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jawa Barat di inisiasi oleh Bappeda Jawa Barat untuk menyelamatkan mangrove di Jawa Barat. Rekomendasi : Kebijakan
Jumlah produksi budidaya perikanan laut cenderung mengalami kenaikan terus sejak tahun 2005 dan untuk tahun ini naik 2 % dibandingkan tahun 2006, dengan jumlah mencapai
-
-
34
Mendorong dikeluarkannya peraturan-peraturan yang merupakan jabaran dari UU no. 7 tahun 2007 yang hingga kini belum ditetapkan. Menetapkan peraturan daerah di
State Tahun 2007 10.569,79 ton. Hampir seluruh produksi ini (99%) berasal dari Kabupaten Cirebon.
Pressure
-
Sejalan dengan kenaikan produksi, RTP budidaya laut naik perlahan sejak tahun 2005, mencapai 668 RTP pada tahun ini, tidak berubah jauh dibandingkan tahun lalu.
-
-
-
Kegiatan penambangan di pesisir utara berupa eksploitasi minyak bumi baik di daratan maupun lepas pantai. Sedangkan di pesisir selatan terutama adalah penambangan pasir.
-
Kegiatan Melakukan upaya meningkatkan kesadaran lingkungan hidup pesisir dan laut serta kaitannya dengan pembangunan di DAS pada semua instansi pemerintah baik tingkat propinsi maupun Kabupaten/kota Meningkatkan upaya penegakan hukum atas pelanggaranpelanggaran : penggunaan lahan tidak sesuai peruntukannya pengrusakan mangrove dan terumbu karang Penangkapan ikan dengan cara merusak pencemaran air Merehabilitasi kawasan mangrove dengan penanaman pohon mangrove dan mengalokasikan biaya untuk perawatan guna menjamin keberhasilan kegiatan ini. Mengembangkan mina hutan pada areal budidaya air payau/tambak Mengembangkan budidaya laut dan air payau yang ramah lingkungan Menggalakan kegiatan rehabilitasi terumbu karang Memberikan insentif terhadap masyarakat terutama penduduk pesisir / nelayan untuk melakukan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan sebagai pengganti kegiatan-kegiatan yang menimbulkan tekanan bagi pesisir dan laut Memberi kredit mikro dan membantu akses pasar para nelayan guna memotong ketergantungan dengan para tengkulak. Pemberdayaan masyarakat pesisir. Meningkatkan kesadaran pentingnya kelestarian pesisir dan laut pada berbagai lapisan masyarakat melalui aktifitas pendidikan lingkungan. Mengembangkan basis data sumber daya hayati wilayah pesisir dan laut Mengembangkan pusat pesisir dan laut yang mudah diakses oleh
Kegiatan pertanian di pesisir utara didominasi oleh lahan persawahan sementara di pesisir selatan berupa perkebunan kelapa,
Dampak -
Seluruh daerah di pesisir utara mengalami permasalahan abrasi dan telah mencapai 50% dari panjang keseluruhan pantai. Kabupaten Indramayu mengalami abrasi pantai paling panjang yaitu sekitar 48,57 km.
-
Abrasi di pesisir selatan belum separah di pesisir utara. Tahun 2003 tercatat laju abrasi mencapai 35,35 ha/tahun.
-
Intrusi air laut di pesisir utara telah masuk sejauh beberapa kilometer dari garis pantai (misal di cekungan BekasiKarawang batas air asin bervariasi 2,5 -20 km dari garis pantai).
-
Perairan pesisir utara dalam kondisi tercemar sedang. Hampir seluruh parameter kualitas air yang diukur pada tahun 2007, termasuk logam berat, melampau baku mutu yang ditetapkan.
-
Indikasi overfishing telah tampak di pesisir utara, ditandai dengan tangkapan ikan makin kecil dan jenis ikan tertentu makin susah di dapatkan di beberapa tempat.
Respon tingkat propinsi dan Kabupaten/kota tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Mengintegrasikan kebijakan di DAS dengan kawasan pesisir dan laut melalui pendekatan ecosystem-based Mendorong pengembangan ekonomi berbasis kelautan yang berkelanjutan, seperti industri perikanan berkelanjutan, pariwisata bahari berkelanjutan, dan lain-lain Memperbanyak Kawasan Konservasi Laut Daerah di setiap Kabupaten/kota Menyusun rencana adaptasi terhadap perubahan iklim pada kawasan pesisir
35
-
State Tahun 2007 Hilangnya ’sabuk hijau; di sebagian besar pesisir meningkatkan resiko dampak bencana alam seperti angin topan atau tsunami.
Pressure -
-
-
Respon masyarakat umum Meneruskan sistem pemantauan kualitas air di pesisir utara, menyempurnakannya dan keanekaragaman hayati dan mengimplementasikannya Pengembangan ’sabuk hijau’ sepanjang sempadan pantai untuk perlindungan pantai dari bencana alam. Menyusun program adaptasi terhadap perubahan iklim.
Institusi Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia pada instansi-instansi terkait pesisir dan laut Membentuk unit pengelolaan KKLD yang diarahkan pada pengelolaan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta Mengefektifkan kelompok kerja pegelolaan mangrove Jawa Barat
36