KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
MAHKAMAH EROPA UNTUK HAK ASASI MANUSIA
SIDANG (PARIPURNA)
KASUS GOLDER v. PEMERINTAH INGGRIS (Pengaduan no. 4451/70)
KEPUTUSAN
STRASBOURG 21 Februari 1975
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
Dalam kasus Golder, Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia, mengambil keputusannya dalam sidang paripurna berdasar Peraturan 48 dari Peraturan Mahkamah dan terdiri dari para hakim sebagai berikut: Tn. G. BALLADORE PALLIERI, Ketua, Tn. H. MOSLER, Tn. A. VERDROSS, Tn. E. RODENBOURG, Tn. M. ZEKIA, Tn. J. CREMONA, Ny. I. H. PEDERSEN, Tn. T. VILHJALMSSON, Tn. R. RYSSDAL, Tn. A. BOZER, Tn. W. J. GANSHOF VAN DER MEERSCH, Sir Gerald FITZMAURICE, dan juga Tn. M.-A. EISSEN, Panitera danTn. J.F. SMYTH, Wakil Panitera, Setelah dibahas secara tertutup, Memutuskan sebagai berikut:
PROSEDUR 1. Kasus Golder diajukan kehadapan Mahkamah oleh Pemerintah Kerajaan Inggris Britania Raya dan Pemerintah Irlandia Utara (selanjutnya disebut Pemerintah).Kasus ini berawal dari pengaduan terhadap Pemerintah Inggris yang diajukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia Eropa (selanjutnya disebut Komisi)berdasar Pasal 25 (pas. 25) Konvensi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental (selanjutnya disebut Konvensi), oleh seorang berkewarganegaraan Inggris, yaitu Tn. Sidney Elmer Golder. Pengaduan ini pertama kali diajukan pada tahun 1969; dan dilengkapi pada bulan April 1970 dan dicatat dengan nomor 4451/70. Laporan Komisi mengenai kasus ini disusun berdasar Pasal 31 (pas. 31) dari Konvensi, diajukan kehadapan Komite Menteri dalam Dewan Eropa pada tanggal 5 Juli 1973. 2. Pengaduan Pemerintah, yang disusun berdasar Pasal 48 (pas. 48) dari Konvensi, diajukan ke Mahkamah pada tanggal 27 September 1973 dalam periode tiga bulan sesuai dengan Pasal 32 paragraf 1 danPasal 47 (pas. 32-1, pas. 47). Tujuan pengaduan adalah mengajukan kasus untuk diputuskan oleh Mahkamah, dimana Pemerintah menyatakan keberatan atas pendapat yang
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
dinyatakan oleh Komisi dalam laporan mereka dan dengan pendekatan yang digunakan Komisi dalam menginterpretasikan Konvensi tersebut. 3. Pada tanggal 4 Oktober 1973, Panitera menerima duapuluhlima salinan laporan dari Sekretaris Komisi. 4. Pada tanggal 9 Oktober 1973, Ketua Mahkamah memilih secara acak, dihadapan Panitera, lima nama dari tujuh hakim yang akan duduk sebagai anggota Majelis, SirHumphrey Waldock, hakim terpilih berkewarganegaraan Inggris, dan Tn. G. Balladore Pallieri, Wakil Ketua Mahkamah, bertindak menjadi anggota ex officio berdasar Pasal 43 (pas. 43) Konvensi dan Peraturan 21 paragraf 3 (b) dari Peraturan Mahkamah. Lima hakim terpilih adalah MM. R. Cassin, R. Rodenbourg, A. Favre, T. Vilhjálmsson dan W. Ganshof van der Meersch, (Pasal 43 Konvensi secara singkat, dan Peraturan 21 paragraf 4) (pas. 43). Ketua Mahkamah juga memilih secara acak nama-nama hakim pengganti (Peraturan 2l paragraf 4). Tn. G. Balladore Pallieri kemudian bertindak sebagai Ketua Majelis sesuai Peraturan 21 paragraf 5. 5. Ketua Majelis, menegaskan, melalui Panitera, kepada wakil Pemerintah dan Delegasi Komisi mengenai prosedur yang harus ditaati. Dengan Perintah tertanggal 12 Oktober 1973, Ketua Majelis memutuskan bahwa Pemerintah harus memberikan pernyataan sebelum 3l Januari 1974 dan bahwa Delegasi Komisi dapat mengajukan pernyataan jawaban dalam waktu dua bulan setelah pernyataan Pemerintah diterima. Ketua Majelis juga memerintahkan Panitera untuk meminta Delegasi Komisi menyerahkan dokumen-dokumen utama yang disebutkan dalam laporan kepada Mahkamah. Dokumen-dokumen ini diterima dan dicatat pada tanggal 17 Oktober. Ketua Majelis kemudian mengizinkan perpanjangan atas waktu yang telah ditentukan, hingga 6 Maret 1974 untuk Pemerintah, dan hingga 6 Junidan kemudian 26 Juliuntuk Delegasi Komisi (Perintah tertanggal 21 Januari, 9 April dan 5 Juni 1974). Pernyataan Pemerintah diterima pada 6 Maret 1974 dan pernyataan Komisi – dengan dilampiri pengamatan pengacara pemohon – pada 26 Juli. 6. Majelis mengadakan pertemuan secara tertutup pada 7 Mei 1974. SirGerald Fitzmaurice, yang dipilih sebagai anggota Majelis pada Januari 1974 di kediaman SirHumphrey Waldock, mulai bertugas di Mahkamah sebagai hakim terpilih dengan kewarganegaraan Inggris (Pasal 43 Konvensi dan Peraturan 2 paragraf 3) (pas. 43). Pada hari yang sama, “dengan mengingat bahwa kasus ini telah memunculkan pertanyaan serius yang mempengaruhi interpretasi Konvensi”, Majelis memutuskan untuk, berdasar Peraturan 48,melepaskan yurisdiksi dalam rangka mengadakan Sidang Paripurna. Tn. Balladore Pallieri, bertindak sebagi Ketua.
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
7. Setelah berkonsultasi dengan pihak Pemerintah dan Delegasi Komisi, Ketua Majelis memutuskan, melalui Perintah tertanggal 6 Agustus 1974, bahwa dengar pendapat lisan akan dimulai pada 11 Oktober. 8. Dengar pendapat umum dilangsungkan pada tanggal 11 dan 12 Oktober 1974 di Gedung Hak Asasi Manusia di Strasbourg. Pihak yang hadir dihadapan Majelis: − dari Pemerintah: Tn. P. FIFOOT, Penasehat Hukum, Kantor Luar Negeri dan Persemakmuran, Pengacara Hukum, Perwakilan dan Penasehat, Sir Francis VALLAT, K.C.M.G., Q.C., Pengajar Hukum Internasional, King’s College, London; mantan Penasehat Hukum Kantor Luar Negeri, Tn. G. SLYNN, Q.C., Perekam dari Hereford, Penasehat, dan Sir William DALE, K.C.M.G., mantan Penasehat Hukum Kantor Persemakmuran, Tn. R. M. MORRIS, Pejabat Utama, Kementrian Dalam Negeri, Para Penasehat; − dari Komisi: Tn. G. SPERDUTI, Delegasi Utama, Ny. T. OPSAHL dan K. MANGAN, Delegasi, dan Tn. N. TAPP, Q.C., yang telah mewakili pemohon dihadapan Komisi, membantu para Delegasi berdasar Peraturan 29 paragraf 1, kalimat kedua. The Court mendengarkan penjelasan dan pendapat dariTn. Fifoot, Sir Francis Vallat dan Tn. Slynn dari Pemerintah dan dari Tn. Sperduti, Tn. Opsahl danTn. Tapp dari Komisi, berikut jawaban mereka atas beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Mahkamah dan oleh beberapa hakim. Pada sesi dengar pendapat, Pemerintah mengeluarkan dokumen tertentu ke hadapan Sidang. FAKTA-FAKTAYANG ADA 9. Fakta-fakta kasus dapat dirangkum sebagai berikut. 10. Pada tahun 1965, Tn. Sidney Elmer Golder, warga negara Inggris yang lahir pada tahun 1923, dihukum di Inggris karena melakukan perampokan dengan kekerasan selama limabelas tahun penjara. Pada tahun 1969, Golder menjalani hukumannya di Penjara Parkhurst di Pulau Wight.
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
11. Pada 24 Oktober 1969malam, terjadi keributan serius di area rekreasi dimana kebetulan Golder berada. Pada tanggal 25 Oktober, petugas penjara, Tn, Laird, yang terlibat dan terluka ketika meredam keributan, membuat pernyataan bahwa ia dapat mengidentifikasi penyerangnya, dimana ia mengatakan:: "Frazer berteriak ... dan Frape, Noonan dan seorang tahanan lainnya yang saya lihat, saya rasa bernama Golder ... mengayunkan pukulan keras kepada saya." 12. Pada 26 Oktober, Golder, bersama dengan tahanan lain yang dicurigai telah ikut serta dalam keributan tersebut, dipisahkan dari tahanan lain. Pada tanggal 28 dan 30 Oktober, Golder diwawancarai oleh petugas kepolisian. Pada wawancara kedua, ia diberitahu bahwa ia dituduh menyerang seorang petugas penjara; ia diperingatkan bahwa "fakta-fakta yang ada akan dilaporkan untukmempertimbangkan kemungkinan penuntutan terhadapnya karena menyerang petugas penjara sehingga menimbulkan luka tubuh". 13. Golder kemudian menulis surat kepada wakilnya di Parlemen pada 25 Oktober dan 1 November, dan kepada Kepala Kepolisian pada 4 November 1969, mengenai keributan pada 24 Oktober dan kesulitankesulitan yang ia alami sesudahnya; Kepala Penjara menghentikan suratsurat ini dengan alasan Golder tidak mengikuti jalur birokrasi yang berwenang sebelumnya. 14. Pada pernyataan kedua, yang disusun pada tanggal 5 November 1969, Laird menguatkan yang ia katakan sebelumnya, sebagai berikut: "Ketika saya menyebut tahanan Golder, saya mengatakan ‘Saya rasa itu Golder’, yang berada disana waktu itu bersama dengan Frazer, Frape dan Noonan, ketika ketiga orang yang saya sebut terakhir melakukan penyerangan terhadap saya. "Jika itu Golder dan saya yakin mengingat melihat dia di dalam kelompok yang meneriakkan kekerasan dan secara umum menyebabkan keributan, tapi saya tidak yakin bahwa ia menyerang saya. "Sesudahnya ketika Noonan dan Frape menarik saya, Frazer juga berada disana tapi saya tidak dapat mengingat siapa narapidana lainnya, tetapi ada beberapa orang disana dimana salah seorangnya berdiri namun saya tidak tahu siapa."
Pada tanggal 7 November, petugas penjara lain melaporkan bahwa: "... selama keributan berlangsung pada malam itu sebagian besar waktu saya berada ruang T.V. dengan tahanan lainnya yang tidak terlibat dalam keributan tersebut. 740007, Golder berada di ruangan ini dengan saya dan sejauh yang saya tahu ia tidak terlibat dalam keributan tersebut. Keberadaannya bersama saya dapat dikuatkan oleh petugas ….yang mengawasi kami berdua dari luar."
Golder kemudian dikembalikan ke sel nya pada hari yang sama.
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
15. Sementara itu, pihak berwenang penjara telah mempertimbangkan berbagai pernyataan, dan pada 10 November menyusun daftar tuduhan yang menurut mereka mungkin lebih tepat terhadap para tahanan, termasuk Golder, atas pelanggaran terhadap disiplin penjara. 16. Pada akhirnya tidak ada tuduhan dijatuhkan kepada Golder dan data yang ditulis dalam catatan tahanannya ditandai dengan "tuduhan tidak dilanjutkan". Data tersebut kemudian dihapus dari catatan penjara pada tahun 1971 selama pemeriksaan kasus oleh Komisi. 17. Pada tanggal 20 Maret 1970, Golder mengajukan suatu petisi kepada Menteri Dalam Negeri dari Departemen Dalam Negeri. Ia meminta pemindahan ke penjara lain dan mengatakan: "Saya tahu bahwa sebuah pernyataan yang telah secara salah menuduh saya terlibat dalam kejadian pada 24 October yang lalu, yang dibuat oleh petugas Laird, telah dimasukkan kedalam catatan tahanan saya. Saya mencurigai bahwa pernyataan yang salah inilah yang telah menghalangi saya mendapatkan rekomendasi dari dewan pembebasan bersyarat setempat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. "Saya dengan hormat meminta izin untuk berkonsultasi dengan seorang pengacara dengan maksud menggugat atas pencemaran nama baik sehubungan dengan adanya pernyataan ini…. Atau, saya ingin meminta sebuah pemeriksaan independen atas catatan saya diizinkan oleh Ibu. G.M. Bishop sebagai hakimnya. Saya akan menerima jaminan beliau bahwa pernyataan ini tidak dimasukkan kedalam catatan saya dan saya juga bersedia menyatakan bahwa fitnah terhadap saya ini tidak secara material merugikan saya kecuali kerugian karena ditahan di sel terpisah selama dua minggu dan sebuah gugatan tidak lagi diperlukan, dengan memberikan permintaan maaf kepada saya atas fitnah tersebut ...."
18. Di Inggris, masalah hubungan antara tahanan yang telah dihukum dengan pihak lain diluar penjara tempat ia ditahan telah diatur oleh UndangUndang Penjara tahun 1952, seperti yang telah diubah dan peraturan turunannya dibuat berdasar Undang-Undang tersebut. Bagian 47, sub-bagian I, dari Undang-Undang Penjara menyatakan bahwa "Menteri Dalam Negeri dapat membuat peraturan dan pengaturan tentang tahanan ….dan tentang perlakuan…..disiplin dan pengawasan terhadap orang-orang yang harus ditahan….” Peraturan yang dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dalam penerapan kewenangan ini adalan Peraturan Penjara tahun 1964, yang diajukan dihadapan Parlemen dan telah berstatus sebagai Instrumen Hukum. Pengaturan yang relevan tentang komunikasi antara tahanan dan pihak diluar penjara terdapat dalam Peraturan 33, 34 dan 37 sebagai berikut: "Surat-menyurat dan kunjungan secara umum Peraturan 33 (1) Menteri Dalam Negeri dapat, dengan pertimbangan untuk menegakkan disiplin dan ketertiban atau pencegahan kejahatan terhadap orang lain, memberlakukan
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
larangan-larangan, baik secara umum atau dalam kasus tertentu, dimana komunikasi diperbolehkan antara seorang tahanan dengan orang lain. (2) Kecuali diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan ini, seorang tahanan tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan orang luar, atau orang yang bersamanya tanpa seizin Menteri Dalam Negeri. ... Surat menyurat dan kunjungan secara pribadi Peraturan 34 ... (8) Seorang tahanan tidak berhak, berdasarkan Peraturan ini, berkomunikasi dengan siapapun yang berkaitan dengan urusan hukum atau urusan lainnya, atau dengan siapapun selain keluarga dan teman, kecuali atas izin Menteri Dalam Negeri. Penasehat Hukum Peraturan 37 (1) Penasehat hukum seorang tahanan dalam segala proses hukum, baik perdata maupun pidana, dimana tahanan tersebut merupakan pihak yang terlibat, maka ia harus diberikan fasilitas yang mencukupi untuk mewawancarai tahanan dalam hal yang berkaitan dengan proses hukum tersebut, dan dapat dilakukan tanpa didengar namun tetap dalam pengawasan seorang petugas. (2) Penasehat hukum seorang tahanan dapat, atas seizin Menteri Dalam Negeri, melakukan wawancara tahanan tersebut yang berkaitan dengan urusan hukum lainnya, dalam pengawasan dan pendengaran seorang petugas."
19. Pada tanggal 6 April 1970, Departemen Dalam Negeri memerintahkan Kepala Penjara untuk memberitahu Golder mengenai jawaban atas petisi yang diajukannya tertanggal 20 Maretsebagai berikut: "Menteri Dalam Negeri telah mempertimbangkan petisi anda secara penuh tapi tidak dapat memenuhi permintaan anda untuk dipindahkan, dan beliau tidak dapat menemukan dasar untuk mengambil tindakan terhadap hal lain yang disebutkan dalam petisi anda. "
20. Dihadapan Komisi, Golder mengajukan dua laporan yang masingmasing berkaitan dengan penghentian surat-suratnya (seperti yang disebutkan diatas dalam paragraf 13) dan mengenai penolakan oleh Menteri Dalam Negeri untuk mengizinkannya berkonsultasi dengan seorang pengacara. Pada tanggal 30 Maret 1971, Komisi menyatakan bahwa laporan yang pertama diajukan tidak dapat diterima, karena semua solusi internal belum seluruhnya dicoba untuk ditempuh, namun Komisi menerima laporan kedua berdasar Pasal 6 paragraf 1 dan 8 (pas. 6-1, pas. 8) dari Konvensi. 21. Golder dibebaskan dari penjara melalui pembebasan bersyarat pada tanggal 12 Juli 1972. 22. Dalam laporan mereka, Komisi menyatakan pendapat: - secara bulat, menyatakan bahwa Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) menjamin hak atas akses ke pengadilan;
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
- secara bulat, menyatakan bahwa Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1), baik berdiri sendiri maupun bersama dengan Pasal lain dalam Konvensi, tidak ada pembatasan hak seorang tahanan yang sedang dihukum untuk melakukan proses hukum dan dalam hal ini memiliki akses yang tidak terbatas untuk mendapatkan seorang pengacara; dan oleh karena itu pembatasan yang diberikan seperti yang dilakukan oleh pihak berwenang Pemerintah Inggris tidak sesuai dengan Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1); - dengan tujuh suara melawan dua suara, menyatakan bahwa Pasal 8 paragraf 1 (pas. 8-1) diberlakukan untuk kasus ini; - sama halnya dinyatakan bahwa pelanggaran atas Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) juga dinyatakan sebagai pelanggaran atas Pasal 8 (pas. 8) (oleh delapan suara melawan satu suara, seperti yang dijelaskan kepada Mahkamah oleh Delegasi Utama Komisi pada tanggal 12 Oktober 1974). Komisi kemudian menyatakan pendapatnya bahwa hak atas akses terhadap pengadilan yang telah dijamin oleh Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) tidak dapat dikenai persyaratan "dalam jangka waktu yang wajar". Dalam pengaduan yang membawa kasus ini kehadapan Mahkamah, Pemerintah menyatakan keberatan atas pendapat dari Komisi ini namun mereka memberi pernyataan bahwa Pemerintah tidak lagi ingin mendebat permasalahan ini. 23. Pendapat akhir dibawah ini dinyatakan dihadapan Mahkamah pada sesi dengar pendapat lisan pada tanggaa 12 Oktober 1974 di sore hari. - untuk Pemerintah: "Pemerintah Kerajaan Inggris dengan hormat mengajukan kepada Mahkamah bahwa Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) dari Konvensi tidak dapat dikaitkan pada pemohon mengenai haknya atas akses terhadap pengadilan, tetapi dapat diterapkan hanya pada hak atas proses apapun yang mungkin ia ajukan untuk didengar secara adil dan sesuai dengan persyaratan lain yang disebutkan dalam paragraf tersebut. Pemerintah selanjutnya menyatakan bahwa dalam hal ini penolakan Pemerintah Kerajaan Inggris untuk mengijinkan pemohon untuk berkonsultasi dengan seorang pengacara bukan merupakan pelanggaran terhadap Pasal 6 (pas. 6).Sebagai alternatif, jika Mahkamah menjumpai bahwa hak-hak yang diberikan oleh Pasal 6 (pas. 6) termasuk dalam hak atas akses ke pengadilan secara umum, maka Pemerintah Kerajaan Inggris mengajukan pendapat bahwa hak atas akses ke pengadilan tidaklah tidak terbatas bagi orang yang sedang menjalani penahanan, dan oleh sebab itu pemberlakuan pembatasan yang masuk akal terhadap akses ke pengadilan oleh pemohon adalah diperbolehkan demi kepentingan ketertiban dan disiplin penjara, dan bahwa penolakan Pemerintah Kerajaan Inggris untuk mengijinkan pemohon untuk berkonsultasi dengan seorang pengacara adalah dalam kerangka pembatasan yang diperbolehkan, dan oleh karena itu tidak dapat disebut sebagai pelanggaran atas Pasal 6 (pas. 6) dari Konvensi. Pemerintah Kerajaan Inggris lebih jauh menyatakan bahwa pengendalian terhadap korespondensi pemohon ketika ia berada dalam penjara merupakan konsekuensi yang wajar atas pengurangan kebebasan yang diterimanya, dan oleh karena itu tindakan Pemerintah Kerajaan Inggris bukanlah pelanggaran terhadap Pasal 8 paragraf 1 (pas. 8-1), dan bahwa tindakan Pemerintah Kerajaan Inggris dalam hal apapun adalah
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
termasuk dalam perkecualian yang dinyatakan oleh Pasal 8 paragraf 2 (past. 8-2), karena pembatasan tersebut diberlakukan sesuai dengan hukum, dan merupakan kekuasaan Pemerintah untuk menilai apakah pembatasan tersebut memang diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk mencegah kekacauan atau kejahatan. Dengan pertimbangan tersebut, Bapak Ketua, dengan segala hormat saya meminta Mahkamah yang terhormat ini, atas nama Pemerintah Kerajaan Inggris, untuk menyatakan bahwa Pemerintah Kerajaan Inggris dalam kasus ini tidak melakukan pelanggaran terhadap Pasal 6 (pas. 6) ataupun Pasal 8 (pas. 8) dari Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental."
- untuk Komisi: "Pertanyaan-pertanyaan dimana Mahkamah meminta untuk dijawab adalah sebagai berikut: (1) Apakah Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) dari Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia melindungi orang perorang yang hendak melakukan proses sipil atas haknya atas akses terhadap pengadilan? (2) Jika Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) menjamin hak atas akses semacam itu, apakah ada pembatasan yang melekat berkaitan dengan hak ini, atau penerapannya, yang dapat diberlakukan dalam kasus yang diajukan ini? (3) Dapatkan tahanan yang sedang menjalani hukuman yang ingin menulis surat kepada pengacaranya dalam rangka untuk dapat melakukan proses sipil bersandar pada perlindungan yang disebutkan dalam Pasal 8 (pas. 8) dari Konvensi dalam hal korespodensi? (4) Menurut jawaban yang diberikan atas pertanyaan-pertanyaan ini, According to the answers given to the foregoing questions, apakah fakta-fakta dalam kasus yang diajukan ini mengungkapkan pelanggarana terhadap Pasal 6 dan Pasal 8 (pas. 6, pas. 8) dari Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia?"
HUKUM YANG ADA I. DALAM HAL PELANGGARAN YANG DITUDUHKAN TERHADAP PASAL 6 PARAGRAF 1 (PAS. 6-1) 24. Paragraf 73, 99 dan 110 dari laporan Komisi menunjukkan bahwa Komisi secara bulat melihat adanya pelanggaran Pasal 6 paragraf 1 (pas. 61). Pemerintah tidak setuju atas pendapat ini. 25. Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) menyatakan: "Dalamhalhak dan kewajiban sipilseseorang atautindak pidana yang dituduhkankepadanya, setiap orang berhakatas persidangan yang adildanterbukadalam jangka waktu yang wajarolehpengadilan yang independendan tidak memihakyang dibentuk secara sah oleh hukum . Keputusan yang ada harusdibacakansecara terbukatetapipers dan publikdapat dikecualikan dariseluruh atau sebagiandariproses persidangandemi kepentinganmoral, ketertiban umumatau keamanan nasionaldalam suatu masyarakat demokratis, di manakepentingananak dibawah umuratau perlindungankehidupanpribadi dibutuhkan, atausejauhbenar-benar diperlukanmenurut pendapatpengadilan dalam keadaankhusus, dimana publikasijustru akan merugikankepentingan keadilan."
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
26. Dalam kasus yang diajukan, Mahkamah diminta untuk memutuskan dua pertanyaan berbeda yang muncul seperti yang disebutkan diatas sebelumnya: (i) Apakah Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) terbatas hanya menjamin secara substansi hak atas pengadilan yang adil dalam proses hukum yang tertunda, ataukah pasal tersebut juga menjamin hak atas akses ke pengadilan bagi setiap orang yang ingin memulai suatu tindakan agar hak dan kewajiban sipilnya diakui? (ii) Dalam hal yang disebutkan terakhir, apakah ada batasan yang diberlakukan pada hak atas akses atau pada penerapan hak tersebut yang bisa diterapkan dalam kasus ini? A. Mengenai “hak atas akses" 27. Mahkamah mengingatkan kembali bahwa pada tanggal 20 Maret 1970 Golder mengajukan petisi kepada Menteri Dalam Negeri meminta izin untuk berkonsultasi dengan seorang pengacara dengan maksud melakukan gugatan atas pencemaran nama baik terhadap petugas penjara bernama Laird dan kemudian petisi tersebut ditolak pada tanggal 6 April (paragraf 16 dan 18 diatas). Walaupun penolakan Menteri Dalam Negeri secara langsung telah menghalangi Golder untuk menghubungi seorang pengacara, tetapi bukan berarti masalah yang muncul dari kasus ini hanya berkaitan dengan masalah korespondensi dan mengesampingkan segala sesuatu yang terkait dengan akses ke pengadilan. Secara nyata, tidak ada seorangpun yang mengetahui apakah Golder cukup bersikeras dalam mewujudkan tujuannya menggugat Laird jika ia diizinkan untuk berkonsultasi dengan seorang pengacara. Lebih jauh, informasi yang diberikan oleh Pemerintah kepada Mahkamah memberi alasan untuk berpikiran bahwa pengadilan di Inggris tidak akan menghentikan sebuah tuntutan yang diajukan oleh tahanan yang sedang menjalani hukuman hanya berdasar pada alasan bahwa ia berhasil membuat suatu surat perintah tertulis dikeluarkan – melalui pengacara misalnya – tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri sesuai yang disebutkan dalam Peraturan 33 paragraf 2 dan 34 paragraf 8 dari Peraturan Penjara tahun 1964, yang tidak dibagian mana pun dalam kasus ini, hal tersebut terjadi. Meski begitu, pada kenyataannya Golder telah memperjelas bahwa ia bermaksud "melakukan gugatan sipil atas pencemaran nama baik"; adalah untuk tujuan inilah ia ingin menghubungi seorang pengacara, yang merupakan suatu langkah awal yang wajar dalam proses gugatan dan dalam kasus Golder mungkin merupakan langkah penting dikarenakan situasi dirinya yang dalam penahanan. Dengan melarang Golder melakukan kontak
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
dengan seorang pengacara, Menteri Dalam Negeri pada kenyataannya telah menghambat dilakukannya gugatan yang dimaksud. Tanpa secara formal mengingkari hak Golder untuk melakukan proses hukum dihadapan pengadilan, Menteri Dalam Negeri secara nyata telah menghambat Golder melakukan gugatan sipil pada saat itu, yaitu tahun 1970. Hambatan terhadap Golder tersebut telah bertentangan dengan Konvensi, seperti halnya dengan hambatan hukum. Adalah benar bahwa – seperti yang telah ditekankan oleh Pemerintah – untuk memperoleh pembebasan, Golder berada dalam posisi dimana ia bisa meminta bantuan pengadilan sesuai keinginannya, akan tetapi pada bulan Maret dan April tahun 1970 hal ini masih belum terlalu dipahami dan menghalangi penerapan suatu hak secara efektif dapat dihitung sebagai pelanggaran atas hak tersebut, walaupun penghalangan tersebut bersifat sementara. Mahkamah kemudian harus memeriksa apakah penghalangan tersebut telah melanggar suatu hak yang dijamin oleh Konvensi dan terutama oleh Pasal 6 (pas. 6), dimana Golder menyandarkan kasusnya ini. 28. Satu hal yang tidak diperhatikan dan bahkan Mahkamah mengabaikannya: “hak” yang Golder inginkan untuk, baik benar atau salah, dituntut dari Laird dihadapan pengadilan Inggris adalah “hak sipil” dalam arti yang dijelaskan Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1). 29. Selanjutnya, Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) tidak menyatakan suatu hak atas akses ke pengadilan dalam istilah yang jelas. Pasal ini memaparkan mengenai hak-hak yang berbeda namun berasal dari ide dasar yang sama dan dimana, jika disatukan, menjadi satu hak yang tidak secara khusus diartikan dalam istilah yang lebih sempit. Adalah tugas Mahkamah untuk memastikan, dalam hal interpretasi, apakah akses ke pengadilan merupakan satu faktor atau aspek dari hak semacam ini. 30. Pengajuan kasus ini ke Mahkamah sejak awal ditujukan untuk melihat bagaimana Konvensi khususnya Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1), harus diinterpretasikan. Mahkamah menyetujui untuk mempertimbangkan, begitu juga dengan Pemerintah dan Komisi, bahwa semua itu dilakukan dengan berpedoman pada Pasal 31 hingga 33 dari Konvensi Wina tertanggal 23 Mei 1969 tentang Hukum Perjanjian. Konvensi tersebut belum diberlakukan dan menjelaskan secara rinci, pada Pasal 4, bahwa Konvensi ini tidak akan bersifat retroaktif, tetapi Pasal 31 hingga 33 darinya memaparkan secara garis besar prinsip-prinsip hukum internasional yang secara umum telah disebutkan oleh Mahkamah. Dalam hal ini, untuk interpretasi Konvensi Eropa akan memperhatikan bahwa pasal-pasal tersebut tunduk pada, bilamana tepat, pada “setiap peraturan organisasi yang relevan” – yaitu Dewan Eropa – melalui mana peraturan tersebut diadopsi (Pasal 5 Konvensi Wina).
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
31. Dalam cara yang telah disebutkan dalam “peraturan umum” dalam Pasal 31 dari Konvensi Wina, proses interpretasi suatu perjanjian adalah satu kesatuan, proses gabungan tunggal; aturan ini, yang erat terintegrasi, berada dalam pijakan yang sama dengan berbagai elemen yang disebutkan dalam empat paragraf dalam Pasal tersebut. 32. Dalam hal Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) dari Konvensi Eropa, sesuai konteksnya, memberikan alasan untuk berpikiran bahwa hak ini termasuk dalam jaminan yang telah ditentukan sebelumnya. 33. Penjelasan terjelas dapat ditemu dalam teks berbahasa PErancis, kalimat pertama, Dalam hal "contestations civiles" (gugatan sipil) semua orang mempunyai hak atas proses yang dilakukan olehnya atau terhadapnya yang dilakukan dengan cara-cara tertentu - "équitablement" (secara adil), "publiquement" (secara terbuka), "dans un délai raisonnable" (dalam jangka waktu yang masuk akal), dan lain-lain. – tetapi juga dan terutama "à ce que sa cause soit entendue" (bahwa kasusnya disidangkan) bukan oleh otoritas apapun tetapi "par un tribunal" (oleh pengadilan atau tribunal) sebagaimana yang disebutkan oleh Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) (Keputusan Ringeisen tertanggal 16 Juli 1971, Seri A no. 13, hal. 39, paragraf 95). Pemerintah telah menekankan dengan benar bahwa dalam Bahasa Perancis kata "cause" dapat diartikan sebagai "procès qui se plaide/sidang gugatan" (Littré, Kamus Bahasa Perancis, jilid I, hal. 509, 5o). Walau begitu, hal ini bukanlah satusatunya arti dari kata tersebut; tetapi juga bisa untuk menunjukkan lebih jauh lagi: "semua kepentingan untuk mendukung, menegakkan" (Paul Robert, Kamus Abjad dan analogis bahasa Perancis, jilid I, hal. 666, II-2o). Sama halnya juga, kata "contestation" (tuntutan) secara umum muncul sebelum dimulainya proses hukum dan merupakan konsep terpisah darinya. Sedangkan untuk frase "tribunal indépendant et impartial établi par la loi" (tribunal yang independen dan tidak memihak yang dibentuk oleh hukum), memunculkan gagasan pembentukan dan bukan pada fungsinya, kelembagaan ketimbang prosedur. Dalam teks Bahasa Inggris, disebutkan "tribunal yang independen dan tidak memihak yang dibentuk oleh hukum". Lebih jauh, frase "dalam menegakkan hak dan kewajiban sipilnya", dimana Pemerintah menggunakannya untuk mendukung argumennya, bukan berarti hanya mengacu pada proses hukum yang sudah tertunda; seperti yang dipahami oleh Komisi, bahwa hal tersebut bisa berarti sama dengan "dimanapun hak dan kewajiban sipilnya ditegakkan" (paragraf 52 laporan). Hal itu juga kemudian berarti hak untuk mendapatkan penentuan atas perselisihan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban sipil oleh pengadilan atau “tribunal". Pemerintah telah menyatakan bahwa istilah "sidang yang adil dan terbuka" dan "dalam jangka waktu yang wajar”, kalimat kedua paragraf 1
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
("keputusan", "pengadilan"), dan paragraf Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1, pas. 6-3) secara jelas menunjuk pada suatu proses sebelum dimulainya persidangan. Walaupun hak atas prosedur hukum yang adil, terbuka dan cepat dijamin penerapannya dalam proses hukum yang sedang berlangsung, bukan berarti bahwa hak untuk mengajukan untuk melakukan proses tersebut dapat diabaikan; Delegasi Komisi secara tepat menekankan hal ini pada paragraf 21 dari pernyataan mereka. Disamping itu, dalam hal tindakan pidana, istilah "jangka waktu yang wajar" dapat saja dimulai pada tanggal sebelum persidangan dimulai, oleh pengadilan yang berkompeten dalam "penetapan ... suatu tuntutan pidana" (Keputusan Wemhoff 27 Juni 1968, Seri A no. 7, pp. 26-27, paragraf 19; Keputusan Neumeister 27 Juni l968, Seri A no. 8, p. 41, paragraf 18; Keputusan Ringeisen 16 Juli 1971, Seri A no. 13, p. 45, paragraf 110). Adalah dimungkinkan juga dalam kasus perdata jangka waktu yang wajar dapat segera diterapkan, dalam situasi tertentu, bahkan sebelum dikeluarkannya surat perintah dimulainya proses hukum dihadapan pengadilan, dimana penggugat mengajukan sengketa. 34. Pemerintah lebih jauh mendebat pentingnya menghubungkan Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) dengan Pasal 5 paragraf 4 dan 13 (pas. 5-4, pas 13). Mereka telah meneliti bahwa Pasal 5 tersebut memberikan ketegasan mengenai hak atas akses ke pengadilan; dihilangkannya klausul yang sama dalam Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) tampaknya lebih mengena buat mereka. Pemerintah juga telah menyampaikan bahwa jika Pasal 6 paragraf 1 (pas. 61) ditafsirkan memberikan hak atas akses, maka Pasal 5 paragraf 4 dan 13 (pas 5-4, pas 13) akan menjadi tidak berguna. Delegasi Komisi menjawab bahwa Pasal 5 paragraf 4 dan 13 (pas. 5-4, pas. 13), dibandingkan dengan Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1), adalah "tambahan" untuk peraturan lainnya. Pasal 5 dan 13 tersebut, menurut mereka, tidak menyebutkan hak tertentu tetapi dirancang untuk dapat memberikan jaminan prosedur, "berdasarkan jalurnya". Yang pertama untuk "hak atas kebebasan", sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 5 paragraf 1 (pas. 5-1), sedangkan yang kedua untuk seluruh "hak dan kebebasan sebagaimana yang telah diatur dalam Konvensi ini". Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1), mereka tambahkan, dimaksudkan untuk melindungi "dengan sendirinya" "hak atas tata kelola peradilan yang baik", dimana "hak yang peradilan harus kelola" merupakan "elemen penting dan melekat". Hal ini berguna untuk menjelaskan perbedaan antara susunan kata dari Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) dan Pasal 5 paragraf 4 dan 13 (pas. 5-4, pas. 13). Alasan ini bukan tanpa kekuatan meskipun ekspresi "hak atas tata kelola peradilan yang adil (atau baik)", yang kadang-kadang digunakan karena keringkasan dan kemudahannya (sebagai contoh, dalam Keputusan Delcourt 17 Januari 1970, Seri A no. 11, p. 15, paragraf 25), tidak muncul dalam teks
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
Pasal 6 paragraf. 1 (art. 6-1), dan juga dapat dipahami mengacu hanya pada cara kerja peradilan dan bukan pada pengorganisasiannya. Mahkamah berpendapat bahwa interpretasi yang diperdebatkan oleh Pemerintah tidak berarti dapat mengarah pada mencampuradukkan Pasal 6 paragraf. 1 (pas. 6-1) dengan Pasal 5 paragraf 4 dan 13 (pas. 5-4, pas. 13), ataupun menjadikan pasal yang disebutkan terakhir menjadi tidak berguna. Pasal 13 (pas. 13) berbicara tentang pemulihan efektif dihadapan "otoritas nasional" yang mungkin saja bukan suatu mahkamah atau pengadilan seperti yang dimaksud Pasal 6 paragraf. 1 (pas. 6-1) dan Pasal 5 paragraf 4 (pas. 54). Lebih jauh, pemulihan efektif berkaitan dengan pelanggaran hak yang telah dijamin oleh Konvensi, sementara Pasal 6 paragraf. 1 (pas. 6-1) dan Pasal 5 paragraf 4 (pas. 5-4) mencakup gugatan yang tekait dengan pertama, keberadaan atau ruang lingkup hak sipil dan kedua, terkait dengan keabsahan penangkapan atau penahanan. Terlebih lagi, ketiga peraturan tersebut tidak bekerja di ranah yang sama. Konsep "hak dan kewajiban sipil" (Pasal 6 paragraf. 1) (art. 6-1) adalah tidak sama dengan apa yang disebut "hak dan kebebasan yang diatur dalam Konvensi ini" Pasal 13 (pas. 13), walaupun ada kemungkinan terjadi beberapa tumpang tindih. Sedangkan untuk "hak atas kebebasan" (Pasal 5) (pas. 5), karakter "sipil' darinya dari segala sisi terbuka untuk diperdebatkan (Keputusan Neumeister 27 Juni 1968, Seri A no. 8, p. 43, paragraf 23; Keputusan Matznetter 10 November 1969, Seri A no. 10, p. 35, paragraf 13; Keputusan De Wilde, Ooms dan Versyp 18 Juni 1971, Seri A no. 12, p. 44, paragraf 86). Selain itu, persyaratan Pasal 5 paragraf. 4 (pas. 5-4) dalam aspek tertentu tampak lebih ketat dibandingkan dengan persyaratan dalam Pasal 6 paragraf. 1 (pas. 6-1), khususnya yang terkait dengan unsur "waktu". 35. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 31 paragraf 2 Konvensi Wina, of the Vienna Convention, bagian pembukaan suatu traktat merupakan bagian integral dari keseluruhan perjanjian. Dan bagian pembukaan umumnya sangat berguna dalam mengartikan “obyek" dan "tujuan" suatu instrumen yang akan diinterpretasikan. Dalam kasus ini, bagian yang paling signifikan dalam Pembukaan Konvensi Eropa adalah para Pemerintah yang menandatangai dimana mereka menyatakan bahwa mereka "memutuskan, sebagai Pemerintah Negara-negara Eropa yang memiliki pemikiran yang sama dan memiliki warisan bersama berupa tradisi politik, cita-cita, kebebasan dan supremasi hukum, untuk mengambil langkah-langkah awal penegakan bersama atas hak-hak tertentu yang disebutkan dalam Deklarasi Universal" of 10 December 1948. Dalam pandangan Pemerintah, In the Government’s view, gambaran tersebut menunjukkan "proses selektif" yang diadopsi oleh pembuat naskah: bahwa Konvensi ini tidak berusaha untuk melindungi Hak Asasi Manusia
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
secara umum melainkan hanya “hak-hak tertentu yang disebutkan dalam Deklarasi Universal”. Pasal 1 dan 19 (pas. 1, pas. 19) adalah, dalam argumentasi mereka, mengarah pada tujuan yang sama. Komisi, pada bagian mereka, menyertakan pentingnya "rule of law" yang, dalam pandangan mereka, menguraikan pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1). Sifat “selektif” dari Konvensi tidak dapat dipertanyakan. Mungkin bisa diterima, seperti yang sudah disampaikan oleh Pemerintah, bahwa Pembukaan tidak memasukkan supremasi hukum sebagai obyek dan tujuan Konvensi, tapi bisa dilihat bahwa Konvensi adalah salah satu warisan spiritual bersama para anggota Dewan Eropa. Namun Mahkamah beranggapan, sama halnya dengan Komisi, bahwa adalah suatu kesalahan jika melihatnya hanya sebagai"sebuah referensi retoris", tanpa adanya relevansi bagi mereka yang menafsirkan Konvensi. Satu alasan mengapa para Pemerintah penandatangan memutuskan untuk “mengambil langkah pertama penegakan bersama atas beberapa hak tertentu yang disebutkan dalam deklarasi Universal” adalah kepercayaan mendalam mereka pada supremasi hukum. Adalah wajar dan sesuai dengan prinsip itikad baik (Pasal 31 paragraf 1 Konvesi Wina) untuk mengingat pertimbangan ini dalam menafsirkan Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) sesuai dengan konteksnya dan dalam melihat obyek dan tujuan Konvensi, Ini semua benar adanya karena Undang-undang Dewan Eropa, suatu organisasi dimana setiap negara peserta Konvensi menjadi anggotanya (Pasal 66 Konvensi) (pas. 66), mengacu pada dua bagian yang mengakui supremasi hukum: pertama dalam Pembukaan, dimana Pemerintah negara anggota menegaskan kepatuhan mereka pada prinsip ini, dan kedua dalam Pasal 3 (pas. 3) yang menyatakan bahwa "setiap Negara Anggota Dewan Eropa harus menerima prinsip supremasi hukum ...". Dan dalam hal masalah sipil, sangat jarang memahami supremasi hukum tanpa ada kemungkinan memiliki akses ke pangadilan. 36. Pasal 31 paragraf 3 (c) Konvensi Wina menunjukkan bahwa hal tersebut diterapkan bersama dengan konteks "semua peraturan hukum internasional yang relevan berlaku antara para negara pihak". Salah satu peraturan tersebut adalah prinsip umum hukum dan terutama "prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara yang beradab" (Pasal 38 paragraf 1 (c) Statuta Mahkamah Internasional). Pada bulan Agustus 1950 Komite Hukum Majelis Konsultatif pada Dewan Eropa melihat bahwa "Komisi dan Mahkamah harus menerapkan prinsip-prinsip semacam itu" dalam melaksanakan tugas mereka dan sehingga memasukkan klausul tertentu ke dalam Konvensi adalah “tidak ada gunanya” (Arsip Majelis Konsultatif, kertas kerja sesi tahun 1950, volume III, no. 93, p. 982, paragraf 5). Prinsip dimana gugatan sipil harus dapat diajukan ke hakim merupakan salah satu prinsip hukum dasar yang "diakui" secara universal; sama halnya
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
dengan prinsip hukum internasional yang melarang penolakan keadilan. Pasal 6 paragraf 1 (art. 6-1) harus dipahami dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip ini. Ketika Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) dipahami hanya secara khusus berkaitan dengan dilakukannya suatu tindakan dihadapan pengadilan, Negara Pihak dapat, tanpa melanggar teks tersebut, dapat menentukan sendiri melalui pengadilannya, atau menghilangkan yurisdiksinya untuk memutuskan tindakan sipil tertentu dan mempercayakannya pada organ Pemerintah. Asumsi semacam ini, yang beresiko pada adanya kesewenangwenangan kekuasaan, akan memiliki konsekuensi serius yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang disebutkan sebelumnya, dan Mahkamah tentu tidak dapat mengabaikan hal ini (Keputusan Lawless 1 Juli 1961, Seri A no. 3, p. 52, dan Keputusan Delcourt 17 Januari 1970, Seri A no. 11, pp. 14-15). Tidak dapat dibayangkan, menurut pendapat Mahkamah, bahwa Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) harus menjelaskan secara rinci jaminan prosedural yang diberikan kepada para pihak dalam suatu tuntutan yang tertunda ketimbang memberikan perlindungan terlebih dahulu terhadap apa yang sebenarnya dapat menguntungkan dari jaminan tersebut, yaitu, akses ke pengadilan. Proses hukum yang berkarakter adil, terbuka dan cepat tidak akan bernilai sama sekali jika proses hukum itu sendiri tidak ada. 37. Dengan melihat semua pertimbangan sebelumnya secara bersamasama, maka hak atas akses merupakan unsur yang melekat pada hak yang disebutkan oleh Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1). Hal ini bukanlah tafsir luas yang memaksakan kewajiban baru pada Negara Pihak: hal ini berdasar pada ketentuan dalam kalimat pertama Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) sesuai konteksnya dan dengan memperhatikan obyek dan tujuan Konvensi, suatu traktat penyusunan hukum bersama (lihat Keputusan Wemhoff 27 Juni 1968 Seri A no. 7, hlm. 23, paragraf 8), dan prinsip-prinsip umum hukum. Mahkamah kemudian berkesimpulan, tanpa perlu menggunakan "upaya tambahan untuk melakukan interpretasi" seperti yang digambarkan pada Pasal 32 Konvensi Wina, bahwa Pasal 6 paragraf 1 (pas 6-1) menjamin hak semua orang untuk melakukan tuntutan sehubungan dengan hak dan kewajiban sipilnya untuk diajukan kehadapan pengadilan atau tribunal. Dengan cara ini Pasal tersebut sudah mencakup "hak untuk mendapat pengadilan", yaitu hak atas aksesnya, adalah hak untuk menjalankan proses dihadapan pengadilan untuk permasalahan sipil, yang merupakan salah satu aspek saja. Terhadapnya ditambahkan dengan jaminan yang ditetapkan oleh Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) mengenai penyusunan dan komposisi pengadilan, serta tata cara prosedurnya. Secara singkat, kesemua itu dirangkum menjadi hak atas persidangan yang adil. Mahkamah tidak perlu lagi memastikan dalam kasus ini apakah dan sejauh mana Pasal 6 paragraf 1 (pas.6-1) lebih lanjut membutuhkan suatu keputusan mengenai substansi
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
perdebatan (dalam bahasa Inggris "determination", dalam bahasa perancis "décidera"). B. Mengenai "Batasan-Batasan Implisit" 38. Karena penghalangan akses ke pengadilan, yang disebutkan dalam paragraf 26 diatas, mempengaruhi hak yang dijamin dalam Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1), maka masih tetap dibutuhkan untuk ditentukan apakah penghalangan tersebut dibenarkan berdasarkan beberapa pembatasan yang sah dalam penikmatan atau penerapan hak tersebut.. 39. Mahkamah menilai, menerima pendapat Komisi dan penyampaian lain dari Pemerintah, bahwa hak akses ke pengadilan tidaklah mutlak. Karena hak ini adalah hak yang ditetapkan oleh Konvensi (lihat Pasal 13, 14, 17 dan 25) (pas. 13, pas. 14, pas. 17, pas. 25) tanpa, dalam artian yang lebih sempit, menjelaskan, adanya ruang untuk, terlepas dari ikatan yang membatasi isi dari suatu hak, diterapkannya pembatasan yang diperbolehkan karena adanya implikasi. Kalimat pertama Pasal 2 Protokol (P1-2) tertanggal 20 Maret 1952, yang terbatas pada "tidak seorangpun yang dapat disangkal haknya atas pendidikan", memunculkan masalah yang hampir sama. Dalam keputusannya tertanggal 23 Juli 1968 dalam hal yang berkaitan dengan aspek tertentu dari hukum dalam penggunaan bahasa dalam sistem pendidikan di Belgia, Mahkamah memerintahkan bahwa: "Hak atas pendidikan ... sesuai dengan sifatnya, membutuhkan pengaturan oleh Negara, peraturan yang mungkin berbeda dalam hal waktu dan tempat menurut kebutuhan dan sumber daya yang ada dalam masyarakat dan setiap orang. Sudah pasti bahwa peraturan semacam itu tidak boleh sama sekali merugikan susbtansi hak atas pendidikan atau bertentangan dengan hak lain yang termakktub dalam Konvensi." (Seri A no. 6, hal. 32, paragraf 5).
Pertimbangan ini lebih valid dalam hal hak yang, tidak seperti hak atas pendidikan, tidak disebutkan dalam keterangan yang jelas. 40. Pemerintah dan Komisi telah menyebutkan contoh-contoh peraturan, dan terutama pembatasan, yang dapat ditemui dalam hukum nasional terkait dengan hak atas akses ke pengadilan, sebagai contoh peraturan yang terkait dengan anak dibawah umur dan orang yang kurang waras. Walaupun kemunculannya sangat jarang dan berbeda macamnya, pembatasan yang dikeluhkan oleh Golder merupakan contoh lain atas pembatasan tersebut. Bukanlah fungsi Mahkamah untuk menjelaskan teori umum pembatasan yang diperbolehkan dalam kasus orang yang sedang menjalani hukuman, atau bahkan menetapkan kompatibilitas Peraturan 33 paragraf 2, 34 paragraf 8 dan 37 paragraf 2 dari Peraturan Penjara tahun 1964 dengan Convention. Dalam hal kasus yang diangkat dari petisi yang diajukan oleh individu, Mahkamah hanya diminta untuk berperan dalam menentukan apakah
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
penggunaan peraturan-peraturan tersebut dalam kasus ini melanggar Konvensi seperti yang diasumsikan oleh Golder atau tidak (Keputusan De Becker tertanggal 27 Maret 1962, Seri A no. 4, hal. 26). 41. Sehubungan dengan ini, Mahkamah membatasi diri untuk mencatat sebagai berikut. Dalam mengajukan petisi kepada Menteri Dalam Negeri untuk berkonsultasi dengan seorang pengacara dengan maksud menggugat Laird atas pencemaran nama baik, Golder berusaha membuktikan kebenaran dirinya atas tuduhan yang dikenakan padanya oleh petugas penjara tersebut pada 25 Oktober 1969 dan menimbulkan konsekuensi yang tidak mengenakkan bagi dirinya, dimana sebagian dari konsekuensi tersebut masih dialaminya hingga 20 Maret 1970 (paragraf 12, 15 dan 16 diatas). Lebih jauh, proses hukum yang diinginkan akan terkait dengan insiden yang berhubungan dengan kehidupan dalam penjara dan muncul ketika yang bersangkutan sedang dalam masa tahanan. Akhirnya, proses hukum tersebut ditujukan terhadap salah seorang petugas penjara yang mengenakan tuduhan dalam rangka menjalankan tugasnya dan berada dibawah kewenangan Menteri Dalam Negeri. Dalam situasi semacam ini, Golder dapat secara sah meminta untuk berkonsultasi dengan pengacara dengan maksud melakukan suatu proses hukum. Bukanlah wewenang Menteri Dalam Negeri untuk mengukur prospek atas tindakan yang akan dilakukan; tetapi pengadilan yang independen dan tidak memihak lah yang akan memutuskan gugatan yang mungkin akan diajukan. Dalam hal penolakan permintaan izin keluar yang telah diminta, Menteri dalam Negeri telah gagal menghormati hak Golder untuk mengakses pengadilan yang telah dijamin oleh Pasa 6 paragraf 1 (pas. 6-1). II. DALAM HAL DUGAAN PELANGGARAN PASAL 8 (pas. 8) 42. Pendapat sebagian besar Komisi (paragraf 123 dari laporan mereka) "fakta yang merupakan suatu pelanggaran terhadap Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) juga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 8 (pas. 8)". Pemerintah tidak setuju dengan pendapat ini. 43. Pasal 8 (pas. 8) dari Konvensi menyebutkan sebagai berikut: "1. Setiap orang mempunyai hak dihormati kehidupan pribadi dan keluarganya, tempat tinggalnya dan korespondensinya. 2. Tidak boleh ada campur tangan oleh suatu otoritas publik atas penerapan hak ini kecuali jika diatur lain oleh hukum dan diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional, keselamatan publik atau kesejahteraan ekonomi negara, untuk mencegah kekacauan atau kejahatan, demi perlindungan kesehatan atau moral, atau demi perlindungan hak dan kebebasan orang lain."
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
44. Penolakan Menteri Dalam Negeri terhadap petisi tertanggal 20 Maret 1970 memiliki pengaruh langsung dan segera dalam mencegah Golder menghubungi seorang pengacara dengan cara apapun, termasuk dalam cara yang paling biasa yang akan ia mulai lakukan, yaitu korespondensi. Dengan terjadinya baik penghentian ataupun penyaringan pesan seperti misalnya sebuah surat, yangmana akan Golder tulis untuk seorang pengacara – atau sebaliknya- dan menjadikannya sebagai sebuah korespondensi dalam artian yang dicakup oleh paragraf 1 Pasal 8 (pas. 8-1), maka adalah salah jika disimpulkan, seperti yang dilakukan Pemerintah, pasal ini tidak dapat diterapkan. Menghalangi seseorang untuk bahkan memulai korespondensi merupakan bentuk paling jauh dari "campur tangan" (paragraf 2 Pasal 8) (pas. 8-2) dengan menerapkan “hak untuk dihormati korespondensinya”; tidak dapat dibayangkan bahwa hal ini berada diluar ruang lingkup Pasal 8 (pas. 8) sementara pengawasan jelas ada didalamnya. Disetiap saat, jika Golder berusaha menulis surat kepada seorang pengacara tanpa keputusan Menteri Dalam Negeri atau tanpa meminta izin seperti yang dipersyaratkan, dan korespondensi tersebut dihentikan maka ia dapat memohonkan Pasal 8 (pas. 8); seseorang akan mengalami paradoks dan ketidakadilan jika beranggapan bahwa dalam mematuhi persyaratan Peraturan Penjara tahun 1964 ia akan kehilangan manfaat perlindungan dari Pasal 8 (pas. 8). Mahkamah kemudian bertindak untuk memutuskan apakah penolakan petisi pemohon telah melanggar Pasal 8 (pas. 8) atau tidak. 45. Dalam pernyataan Pemerintah, hak untuk menghormati korespondensi harus tunduk, terlepas dari campur tangan yang dijelaskan dalam paragraf 2 Pasal 8 (pas. 8-2), pada pembatasan yang diberlakukan sehingga mengakibatkan, antara lain, dari apa yang disebutkan dalam Pasal 5 paragraf 1 (a) (pas. 5-1-a): hukuman penjara berakhir setelah penghukuman oleh suatu pengadilan yang berwenang telah membawa konsekuensi yang dapat berdampak pada penerapan pasal lain dalam Konvensi, terrmasuk Pasal 8 (pas. 8). Seperti yang telah ditekankan oleh Komisi, kepatuhan tidak sesuai dengan cara dimana pengadilan berurusan dengan masalah yang diangkat berdasar Pasal 8 (pas.8) dalam kasus "Pergelandangan" (Keputusan De Wilde, Ooms dan Versyp 18 Juni 1971, Seri A no. 12, hal. 45-46, par. 93). Terlebih lagi, kepatuhan bertentangan dengan teks eksplisit Pasal 8 (pas. 8). Formula pembatasan yang digunakan pada paragraf 2 (pas. 8-2) ("Tidak boleh ada campur tangan ... kecuali misalnya..") tidak boleh keluar dari konsep pembatasan yang ada. Dalam hal ini, status hukum hak untuk dihormati korespondensinya, seperti yang didefinisikan dalam Pasal 8 (pas. 8) dengan teliti, memberikan pertentangan yang jelas dengan status hukum hak terhadap pengadilan (paragraf 38 diatas).
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
46. Pemerintah memberikan pandangan lain bahwa campur tangan yang dikeluhkan telah memenuhi kondisi yang jelas seperti yang ditetapkan dalam paragraf 2 of Article 8 (art. 8-2). Tidak diragukan lagi bahwa campur tangan yang terjadi adalah “ sesuai hukum”, yaitu Peraturan 33 paragraf 2 dan 34 paragraf 8 dari Peraturan Penjara tahun 1964 (paragraph 17 diatas). Mahkamah menerima, lebih jauh, bahwa “kebutuhan” akan campur tangan dalam penerapan hak yang dimiliki oleh tahanan yang menjalani masa hukuman untuk dihormati korespondensinya harus tetap dihargai dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku dalam penjara secara normal dan wajar. Prinsip "pencegahan kekacauan atau kejahatan,” misalnya, mungkin dapat memperbolehkan tindakan campur tangan yang lebih luas dalam situasi yang melibatkan tahanan dibandingkan terhadap orang yang dalam keadaan bebas. Sejauh ini, tapi hanya sejauh ini saja, pengurangan kebebasan yang sah dalam artian Pasal 5 (pas. 5) dapat dikaitkan dengan Pasal 8 (pas. 8). Dalam keputusannya tertanggal l8 Juni 1971 yang disebutkan diatas, Mahkamah menyatakan bahwa "bahkan dalam kasus dimana orang ditahan karena pergelandangan" (paragraf 1 (e) dari Pasal 5) (pas. 5-1-e) – dan tidak ditahan setelah dihukum oleh pengadilan– otoritas nasional yang berwenang mungkin memiliki "alasan yang cukup bahwa memang “dibutuhkan” untuk mengenakan pembatasan untuk tujuan mencegah kekacauan atau kejahatan, memberikan perlindungan kesehatan atau moral, dan perlindungan hak dan kebebasan orang lain". Namun begitu, dalam kasus-kasus tersebut tidak ada yang mempertanyakan penghalangan para pemohon untuk memulai korespondensi; yang ada hanyalah pengawasan yang dalam keadaan apapun tidak berlaku dalam beberapa kasus, termasuk khususnya korespondensi antara para gelandangan yang ditahan dengan penasehat hukum pilihan mereka (Seri A no. 12, hal. 26, paragraf 39, dan hal. 45, paragraf 93). Dalam rangka untuk menunjukkan mengapa campur tangan yang dikeluhkan oleh Golder adalah "perlu", Pemerintah mengedapankan pencegahan kekacauan atau kejahatan dan, sampai pada titik tertentu, kepentingan akan keselamatan publik dan perlindungan hak dan kebebasan orang lain. Bahkan dengan memperhatikan penghargaan terhadap negara anggota, Mahkamah tidak dapat memahami bagaimana pertimbanganpertimbangan ini, yang mereka pahami “dalam masyarakat demokratis”, dapat mendorong Menteri Dalam Negeri menghalangi Golder berkorespondensi dengan seorang pengacara dengan maksud menuntut Laird atas pencemaran nama baik. Mahkamah kembali menekankan pada fakta bahwa Golder berusaha melepaskan dirinya dari tuduhan yang diberikan kepadanya oleh petugas penjara yang sedang menjalankan tugasnya sehubungan dengan insiden yang terjadi di dalam penjara. Dalam
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
situasi semacam ini, Golder dapat secara sah berkeinginan menulis surat kepada seorang pengacara. Bukan kapasitas Menteri Dalam Negeri untuk menilai - tidak lebih dari itu untuk Mahkamah – prospek atas tindakan yang diinginkan; adalah peran pengacara untuk menyarankan kepada pemohon mengenai haknya dan kemudian pengadilan yang memutuskan tindakan yang mungkin bisa diambil. Keputusan Menteri Dalam Negeri dibuktikan kurang “diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis" dalam hal ini korespondensi pemohon dengan seorang pengacara merupakan langkah persiapan untuk melakukan proses hukum sipil dan, oleh karena itu, untuk menerapkan hak yang disebutkan dalam pasal lain dalam Konvensi, yaitu Pasal 6 (pas.6). Mahkamah dengan demikian telah mencapai kesimpulan bahwa terdapat pelanggaran Pasal 8 (pas. 8). III. DALAM HAL PENERAPAN PASAL 50 (pas. 50) DARI KONVENSI 47. Pasal 50 (pas. 50) Konvensi menyebutkan bahwa jika Mahkamah menemui, seperti dalam kasus ini, "bahwa sebuah keputusan ... sudah diambil" oleh beberapa otoritas nasional Negara Pihak “yang secara utuh maupun sebagian dengan kewajiban yang muncul dari ... Konvensi, dan jika hukum internal (Negara tersebut) memungkinkan hanya sebagian ganti rugi yang bisa diberikan sebagai konsekuensi atas keputusan ini”, Mahkamah "harus, jika perlu, memberikan hanya kepuasan pihak yang dirugikan". Peraturan Mahkamah yang menyatakan bahwa ketika Mahkamah “menemukan adanya pelanggaran terhadap Konvensi, maka Mahkamah harus memberikan penilaian yang sama sebuah keputusan tentang penerapan Pasal 50 (pas. 50) dari Konvensi jika gugatan itu, setelah diangkat berdasar Peraturan 47, telah mencapai keputusan; jika gugatan tersebut belum mencapai keputusan", Mahkamah "harus menyimpannya secara keseluruhan atau sebagian dan harus membuat prosedur lebih lanjut" (Peraturan 50 paragraf 3, kalimat pertama, bersama dengan Peraturan 48 paragraf 3). Pada persidangan 11 Oktober 1974 sore, Mahkamah mengundang semua perwakilan, berdasar Peraturan 47, untuk menyajikan pengamatan mereka mengenai pertanyaan penerapan Pasal 50 (pas. 50) Konvensi dalam kasus ini. Pengamatan tersebut diajukan pada persidangan dihari berikutnya. Lebih jauh, dalam menjawab secara langsung pertanyaan dari Ketua Mahkamah setelah pembacaan pernyataan akhir dari Komisi, delegasi Utama Komisi memastikan bahwa Komisi tidak mewakili, ataupun membuat persyaratan apapun dalam membuat pernyataan, hanya sebuah permintaan atas kepastian hukum dari pihak pemohon. Mahkamah kemudian mempertimbangkan bahwa pertanyaan diatas, yang diangkat oleh Mahkamah, telah siap untuk mencapai keputusan dan oleh
KEPUTUSAN KASUS GOLDER v. PEMERINTAH KERAJAAN INGGRIS
karena itu harus segera ditetapkan tanpa penundaan lebih lama. Mahkamah berpendapat bahwa dalam situasi kasus tidaklah perlu untuk memberikan kepada pemohon kepastian hukum selain penemuan pelanggaran atas hakhaknya. ATAS DASAR INI, MAHKAMAH, 1. Menyatakan dari sembilan suara melawan satu bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1); 2. Menyatakan secara bulat bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 8 (pas. 8); 3. Menyatakan secara bulat bahwa temuan-temuan sebelumnya membawa pada kepastian hukum yang memadai sesuai Pasal 50 (pas. 50). Dilakukan dalam bahasa Perancis dan Inggris, dimana teks berbahasa Perancis yang otentik, di Gedung Hak Asasi Manusa, pada hari ke duapuluh satu dari bulan Februari seribu sembilan ratus tujuhpuluh lima. Giorgio BALLADORE PALLIERI Ketua Marc-André EISSEN Panitera Hakim Verdross, Zekia dan Sir Gerald Fitzmaurice telah melampirkan pendapat terpisah mereka mengenai keputusan ini, sesuai dengan Pasal 51 paragraf 2 (pas. 51-2) dari Konvensi dan Peraturan 50 paragraf 2 dari Peraturan Mahkamah. G.B.P. M.-A.E.