6. IMPLIKASI PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG BERKELANJUTAN BERBASIS DAYA DUKUNG DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MANGARA BOMBANG Pengembangan budidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang sangat dipengaruhi oleh aspek ekologi (lingkungan), ekonomi dan sosial secara simultan. Oleh karena itu, perlu dilakukan antisipasi terhadap segala kemungkinan yang mengganggu keseimbangan ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial tersebut. Sebagai contoh sejak dimulainya intensifikasi budidaya udang tahun 1984, pembukaan lahan tambak banyak dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan kaidah – kaidah lingkungan, seperti yang terjadi di pantai utara Jawa, kawasan Delta Mahakam, serta di wilayah pesisir Lampung Timur. Suatu yang dilematis, disatu sisi harus meningkatkan produksi udang, namun disis lain masih belum dapat mengantisipasi terjadinya kerusakan alam (konversi mangrove) yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya degradasi lingkungan. Pemilihan lokasi yang baik dalam pengembangan budidaya tambak udang dan sesuai dengan daya dukung lingkungan akan mempengaruhi keberlanjutan kegiatan budidaya tambak udang secara ekologi (lingkungan),ekonomi, dan sosial (Lawson 1995; Bengen 2005; Perez et al.2003). Tahapan awal yang sering dijumpai bagi pembudidaya udang adalah sulitnya mendapatkan informasi tentang penetapan lokasi yang tepat, sementara pemilihan lokasi yang tepat merupakan langkah awal bagi penentu keberhasilan budidaya udang yang berkelanjutan. Informasi yang diperlukan pembudidaya udang dalam menetapkan lokasi tambak udang sering dan bahkan sulit diperoleh dari pihak yang berwenang yang diharapkan mempunyai kapabilitas serta akses informasi tentang kondisi biogeofisik lahan, biofisik perairan serta daya dukung dari lokasi yang tepat pada wilayah kerjanya. Sementara pembudidaya juga dihadapkan pada masalah konflik kepentingan yang sulit diselesaikan dalam suatu kawasan pesisir. Kompleksitas masalah dalam pemilihan lokasi budidaya tambak udang akan dapat diminimasi apabila penetapan dari sistem pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dapat memberikan akses informasi pembangunan perikanan budidaya khususnya tambak udang.
Kebutuhan informasi perikanan budidaya khusunya menyangkut distribusi spasial pengembangan budidaya tambak udang yang dilengkapi dengan informasi daya dukung lingkungan perairan yang mencakup data kapasitas produksi, luas maksimum tambak udang (intensif, semi intensif, dan tradisional plus) yang diperkenankan, intensitas, dan praktek – praktek budidaya udang yang sesuai dengan standar operasional, jumlah maksimum beban limbah yang diperkenankan serta kondisi biogeofisik lahan dan rona awal lingkungan berperan sangat penting dalam memformulasi kebijakan pengelolaan, regulasi dan pemberian lisensi yang dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi yang diperlukan untuk kawasan pengembangan budidaya tambak udang serta acuan dalam perencanaan pengelolaan dan pengembangan budidaya tambak udang yang berkelanjutan. Status bioekologi dan lingkungan wilayah pesisir. Kecamatan Mangara Bombang bagi pengembagan budidaya tambak udang yang berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel 71. Tabel 71. Status bioekologi dan lingkungan wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang bagi pengembagan budidaya tambak udang yang berkelanjutan Parameter Nilai Keterangan Luas wilayah 10 050 ha (luas total) Citra Landsat 7 ETM+, Path Kecamatan Row 114/064 (2005); BPN Mangara Bombang (2008) Luas tutupan tambak
863.897 ha
Citra landsat 2005; BPN (2008); Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Takalar (2008)
Luas tambak intensif saat ini
35.980 ha
Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Takalar (2008); Hasil Pengamatan (2008)
Luas tambak tradisional dan tambak tidak terpakai
827.117 ha
Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Takalar (2008); Hasil pengamatan (2008)
89.61 ha 346.37 ha 715.79 ha 1 694.91 ha
Intensif (126 ekor/m2) Intensif (50 ekor/m2) Semi intensif (25 ekor/m2) Tradisional plus (8 ekor/m2)
Tipe pasang surut (Formzhal-F)
1.5687
Campuran dengan tipe ganda lebih menonjol
Tunggang pasang surut
27.91 cm 99.83 cm
Neap tide Spring tide
Kecepatan arus musim kemarau
0.281 m/dt 0.124 m/dt
Spring tide Neap tide
Kecepatan arus musim hujan
0.249 m/dt 0.195 m/dt
Spring tide Neap tide
Volume total air yang tersedia di perairan pesisir
129 152 399.22 m3
2 siklus pasang surut per hari
Flushing time
2.78 hari (dibulatkan 2,8 hari)
Laju pengenceran limbah oganik di perairan pesisir
Lama tinggal air di pantai (retention time)
2.0 jam 4.0 jam
1 siklus pasang surut/hari 2 siklus pasang surut/hari
Kapasitas oksigen yang tersedia di perairan pantai
165 389.40 kg O 2 /hari
Oksigen terlarut tersedia untuk menguraikan limbah organik di perairan pesisir
Jumlah limbah organik yang dapat ditampung oleh perairan pesisir
826 947.02 kg limbah Daya dukung limbah organik organik/hari
Jumlah buangan limbah organik tambak udang dalam bentuk TSS
9 228.519 kg/ha
Intensif (126 ekor/m2)
2 387.462 kg/ha 1 155.287 kg/ha 487.90 kg/ha
Intensif ( 50 ekor/m2) Semi intensif (25 ekor/m2) Tradisional plus (8 ekor/m2)
1 231.54 kg/ha 322.24 kg/ha 140.49 kg/ha 58.24 kg/ha
Intensif (126 ekor/m2) Intensif ( 50 ekor/m2) Semi intensif (25 ekor/m2) Tradisional plus (8 ekor/m2)
Luas lahan pada kondisi daya dukung lingkungan
Jumlah buangan limbah nitrogen
Jumlah buangan limbah phosphor
324.24 kg/ha 91.28 kg/ha 30.62 kg/ha 12.70 kg/ha
N (organik): 2 783 818.94 kg/th Limbah selain DIN: tambak 18 890.20 kg/th udang/antropogenik P (organik): 432 007.40 kg/th DIP : 1741.76 kg/th
Intensif (126 ekor/m2) Intensif ( 50 ekor/m2) Semi intensif (25 ekor/m2) Tradisional plus (8 ekor/m2)
Pemukiman Peternakan Perikanan (hatchery) Erosi lahan pertanian
Luas optimal tambak udang (skenario 1) (direkomendasikan)
26.62 ha 144.69 ha 282.36 ha 503.43 ha
Intensif (126 ekor/m2) Intensif ( 50 ekor/m2) Semi intensif (25 ekor/m2) Tradisional plus (8 ekor/m2)
Luas optimal tambak udang (skenario 2) (alternatif)
12.48 ha 89.85 ha 168.11 ha 236.12 ha
Intensif (126 ekor/m2) Intensif ( 50 ekor/m2) Semi intensif (25 ekor/m2) Tradisional plus (8 ekor/m2)
Luas optimal tambak udang (skenario 3)
0 ha 28.56 ha 43.55 ha 0 ha
Intensif (126 ekor/m2) Intensif ( 50 ekor/m2) Semi intensif (25 ekor/m2) Tradisional plus (8 ekor/m2)
Luas optimal tambak udang (skenario 4)
0 ha 0 ha 0 ha 0 ha
Intensif (126 ekor/m2) Intensif ( 50 ekor/m2) Semi intensif (25 ekor/m2) Tradisional plus (8 ekor/m2)
Luas optimal 58.62 ha tambak udang 253.09 ha (skenario 5) 513.26 ha 1108.70 ha Diperlukan : 259.06 ha (N) 780.77 ha (P) Reboisasi: 114.67 ha (N) 636.38 ha (P)
Intensif (126 ekor/m2) Intensif ( 50 ekor/m2) Semi intensif (25 ekor/m2) Tradisional plus (8 ekor/m2) Luas mangrove saat ini 144.393 ha (luas tambak udang saat ini)
:
Kebutuhan luas hutan mangrove untuk pengembangan tambak udang
Diperlukan: 645.19 ha (N) 1994.54 ha (P) Reboisasi : 500.80 ha (N) 1800.14 ha (P)
Luas mangrove saat ini : 144.393 ha Luas tambak udang intensif (126 ekor/m2) kondisi daya dukung lingkungan seluas 89.61 ha
Diperlukan: 2493.86 ha (N) 7516.23 ha (P) Reboisasi: 2349.47 ha (N) 7371.84 ha (P)
Luas mangrove saat ini : 144.393 ha Luas tambak udang intensif (50 ekor/m2) kondisi daya dukung lingkungan seluas 346.37 ha
Diperlukan: 1717.90 (N) 2004.21 (P) Reboisasi: 1573.50 ha (N) 1859.82 (P)
Luas mangrove saat ini : 144.393 ha Luas tambak udang semi intensif (25 ekor/m2) kondisi daya dukung lingkungan seluas 715.79 ha
Diperlukan : 6419.13 ha (N dan P) Reboisasi : 6274.74 ha (N dan P)
Luas mangrove saat ini : 144.393 ha Luas tambak udang optimal (Skenario 1: direkomendasikan) Intensif (126 ekor/m2): 26.62 ha Intensif (50 ekor/m2):144.69 ha Semi intensif (25 ekor/m2): 282.36 ha Tradisional plus (8 ekor/m2): 503.43 ha Luas mangrove saat ini : 144.393 ha Luas tambak udang optimal (Skenario 2: alternatif) Intensif (126 ekor/m2): 12.48 ha Intensif (50 ekor/m2):89.95 ha Semi intensif (25 ekor/m2): 168.11 ha Tradisional plus (8 ekor/m2): 236.12 ha
Diperlukan: 3834.40 ha (N dan P) Reboisasi: 3690.93 ha (N dan P)
6.1. Implikasi Ekologi (lingkungan), Ekonomi dan Sosial 6.1.1. Implikasi Ekologi (Lingkungan) Pengembangan tambak udang harus memperhatikan kondisi biogeofisik spesifik wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang serta aspek bioteknis.
Oleh karena itu, lahan di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang tidak seluruhnya dapat dijadikan lokasi untuk kegiatan tambak udang. Beberapa modifikasi parameter kunci yang menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan lokasi yang layak untuk kegiatan tambak udang yaitu: (1) kemiringan lahan; (2) kandungan liat tanah; (3) ketinggian lahan; (4) jarak dari pantai; (5) jarak dari sungai; (6) salinitas; (7) kedalaman solum tanah; (8)pH tanah; bahan organik tanah; dan (9) pirit tanah. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan yang digunakan diperoleh secara spasial
luas lahan yang sangat sesuai (SS) untuk budidaya
tambak udang intensif/semi intensif seluas 894.284 ha, sesuai (S) seluas 663.071 ha, dan kurang sesuai (KS) seluas 1517.469 ha. Sedangkan luas lahan yang sangat sesuai (SS) untuk tambak udang tradisional/tradisional plus seluas 1148.478 ha, sesuai (S) seluas 1078.667 ha, dan kurang sesuai (KS) seluas 1031.941 ha. Luas lahan yang kurang sesuai (S3) untuk tambak udang intensif/semi intensif masuk kategori sangat sesuai (SS) untuk tambak udang tradisional/tradisional plus seluas 653.333
ha
dan
masuk
kategori
sesuai
(S)
untuk
tambak
udang
tradisional/tradisional plus seluas 244.013 ha (total 897.346 ha). luas lahan yang kurang sesuai (KS) untuk intensif/semi intensif dan tradisional/tradisional plus seluas 1652.244 ha. Pertimbangan ekologi/lingkungan perairan pesisir harus juga menjadi perhatian utama dalam pengembangan budidaya tambak udang selain kedua pertimbangan diatas (biogeofisik lahan dan aspek bioteknis). Perairan pesisir mempunyai keterbatasan untuk menampung sejumlah beban limbah yang dihasilkan dari berbagai kegiatan di wilayah pesisir termasuk budidaya tambak udang. Kegiatan budidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang yang membuang limbah organik ke lingkungan perairan pesisir, yaitu intensif (126 ekor/m2) sebesar 9228.519 kg/ha/MT, tambak udang intensif (50 ekor/m2) sebesar 2387.462 kg/ha/MT, semi intensif (25 ekor/m2) sebesar 1155.287 kg/ha/MT, dan tradisional plus (8 ekor/m2) sebesar 487.90 kg/ha/MT. Sedangkan kegiatan lain selain tambak udang/antropogenik yang berpotensi membuang limbah ke lingkungan perairan yaitu pemukiman, peternakan, perikanan (hatchery), dan erosi lahan pertanian, yang menghasilkan beban limbah organik (N organik) sebesar 2 783 818.94 kg N/th dan P (organik) sebesar 432
007.40 kg P/th. Beban limbah organik yang dihasilkan dari kegiatan budidaya tambak udang (internal loading) dan kegiatan selain tambak udang/antropogenik (external loading) sangat berpotensi mencemari lingkungan perairan pesisir. Berdasarkan kondisi fisik perairan pesisir Kecamata Mangara Bombang, beban limbah organik yang mampu diasimilasi sebesar 826 947.02 kg/hari, sehingga luas tambak udang yang dapat dikembangkan yaitu intensif (126 ekor/m2) seluas 89.61 ha (5.75 % dari total luas lahan yang layak secara biogeofisik untuk intensif/semi intensif), intensif (50 ekor/m2) seluas 346.37 ha (22.24 % dari total luas lahan yang layak secara biogeofisik untuk intensif/semi intensif), semi intensif (25 ekor/m2) 715.79 ha (45.96 % dari total luas lahan yang layak secara biogeofisik untuk intensif/semi intensif), dan tradisional plus seluas (8 ekor/m2) 1694.91 ha (76.10 % dari total luas lahan yang layak secara biogeofisik untuk tradisional/tradisional plus). Pengembangan tambak udang yang mempertimbangkan aspek ekologi/lingkungan perairan pesisir, yang didasarkan pada informasi beban limbah organik (tambak udang dan selain tambak udang/antropogenik) serta informasi kapasitas asimilasi perairan pesisir terhadap limbah organik akan berdampak terhadap keberlanjutan produktivitas budidaya tambak udang. 6.1.2. Implikasi Ekonomi Usaha budidaya tambak udang
menghasilkan pendapatan yang cukup
menguntungkan. Total biaya produksi usaha tambak udang intensif (126 ekor/m2) sebesar Rp 374 779 583/ha/MT atau Rp 749 559 166/ha/th dan menghasilkan total nilai produksi sebesar Rp 602 635 440/ha/MT atau 1 205 270 880/ha/tahun. Keuntungan yang diperoleh Rp 167 592 313/ha/MT atau Rp 335 184 626/ha/th dengan nilai R/C 1.45. Jika dilakukan pengelolaan kincir optimal, maka total biaya produksi yang dikeluarkan menjadi Rp 355 936 618/ha/MT Rp 711 873 235/ha/th. Keuntungan yang diperoleh meningkat menjadi sebesar Rp 186 435 278/ha/MT Rp 372 870 557/ha/th, dengan nilai R/C 1.52. Total biaya produksi usaha tambak udang intensif (50 ekor/m2) yang dikeluarkan sebesar Rp122 947 567/ha/MT atau Rp 245 895 133/ha/th dan menghasilkan nilai total produksi sebesar Rp 194 261 925/ha/MT atau Rp 388 523 850/ha/tahun. Keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 51 888 133/ha/MT atau Rp
103 776 332/ha/th dengan nilai R/C 1.42. Jika dilakukan pengelolaan kincir optimal, maka total biaya yang dikeluarkan menjadi Rp 119 046 879/ha/MT Rp 238 093 758/ha/th. Keuntungan yang diperoleh meningkat menjadi sebesar Rp 55 788 853/ha/MT Rp 111 577 707/ha/th, dengan nilai R/C 1.47. Biaya operasional tambak udang tradisional yang dikeluarkan sebesar Rp 4 646 333/ha/MT atau Rp 9 292 667/ha/th dan nilai total produksi sebesar Rp 9 900 000/ha/MT atau Rp 19 800 000/ha/tahun. Keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 4 263 667/ha/MT atau Rp 8 527 333/ha/th dengan nilai R/C 1.92. Apabila pengembangan tambak udang dilakukan sesuai dengan daya dukung lingkungan, maka dihasilkan produksi berkelanjutan dari kegiatan tambak udang intensif (126 ekor/m2) sebesar 1638.47 ton dan secara ekonomi menghasilkan total pendapatan usaha sebesar Rp 24 272 294 580. Kemudian dari kegiatan
pengembangan
tambak
udang
intensif
(50
ekor/m2)
mampu
menghasilkan produksi berkelanjutan sebesar 2038.98 ton dan secara ekonomi menghasilkan total pendapatan usaha Rp 26 846 004 040.
Selanjutnya dari
kegiatan pengembangan tambak udang semi intensif (25 ekor/m2) mampu menghasilkan produksi berkelanjutan sebesar 2288.24 ton dan secara ekonomi menghasilkan pendapatan usaha Rp 29 747 120 000. Kemudian kegiatan pengembangan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m2) mampu menghasilkan produksi berkelanjutan sebesar 1319.96 ton dan secara ekonomi menghasilkan total pendapatan usaha Rp 28 651 051 760. Hal ini akan memberikan dampak terhadap perekonomian daerah (PAD), terutama perekonomian masyarakat sekitar Kecamatan Mangara Bombang. Tingkat keutungan usaha kegiatan budidaya tambak udang saat ini dan pengembangannya ke depan dapat dipetahanakan bahkan ditingkatkan, apabila peruntukkan lahan untuk kegiatan budidaya tambak udang harus sesuai dengan daya dukung lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang. 6.1.3. Implikasi Sosial Penentuan luas lahan budidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang telah mempertimbangkan status pemanfaatan lahan budidaya tambak udang saat ini. Pengembangan budidaya tambak udang diharapkan dapat menghindari munculnya konflik kepentingan penggunaan lahan
di wilayah pesisir, seperti pengembangan budidaya tambak udang tanpa mengganggu aktivitas produksi lainnya, mampu menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan nilai tambah produk dan juga meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir Kecamatan Mangara Bombang. Pengembangan budidaya tambak udang diarahkan untuk dapat memunculkan kegiatan pendukung budidaya tambak udang seperti kegiatan produksi pembenihan dan penggelondongan udang, warung akuainput (pakan, obat-obatan, dll). Dampak yang telah dirasakan saat ini adalah kegiatan budidaya tambak udang telah menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar sebanyak 144 orang atau 253 440 HOK/th (Hasil wawancara dan pengamatan lapangan 2008).
Masyarakat sekitar juga telah terserap dan
bekerja pada usaha pendukung budidaya tambak udang yaitu kegiatan usaha pembenihan (hatchery) milik PT. Unimexco Jaya Sentosa (KSO PT. Komindo Trading Utama dengan PT. Luxindo Internusa). Sedangkan PT. Benur kita milik seorang pengusaha asal Sulawesi Selatan yang berlokasi di Kabupaten Barru, tahun 2010 ini akan membuka unit pembenihan udang (hatchery) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang. Kerjasama investasi pengelolaan dan pengembangan usaha tambak udang juga sudah dilakukan juga oleh PT. CP Pokphand dengan pembudidaya udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang. Pengembangan tambak udang intensif (126 ekor/m2) pada kondisi daya dukung lingkungan dapat menyerap tenaga kerja sebesar 358 orang atau 630 854 HOK/th (masih dapat menyerap tenaga kerja aktual 214 orang atau 376 640 HOK/th dari kondisi saat ini). Jika dikembangkan tambak udang intensif (50 ekor/m2) dapat menyerap tenaga kerja aktual sebesar 1358 orang atau 2 061 594 HOK/th (masih dapat menyerap tenaga kerja aktual 1241 orang atau 1 846 608 HOK/th dari kondisi saat ini). Jika dikembangkan tambak udang semi intensif (25 ekor/m2) dapat menyerap tenaga kerja aktual 1432 orang atau 2 176 002 HOK/th (masih dapat menyerap tenaga kerja aktual 1288 orang atau 1 957 760 HOK/th dari kondisi saat ini). Jika dikembangkan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m2) dapat menyerap tenaga kerja aktual sebesar 1695 orang atau 2 983 042 HOK/th (masih dapat menyerap tenaga kerja aktual sebesar 1551 orang atau 2 729 760 HOK/th dari kondisi saat ini).
Kegiatan budidaya tambak udang saat ini secara sosial telah berdampak kepada masyarakat terutama dalam penyerapan tenaga kerja. Rencana pengembangan budidaya tambak udang (intensifikasi dan ekstensifikasi) yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan tidak hanya mengejar target penyerapan tenaga kerja semata akan tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan tingkat teknologi budidaya pada kondisi daya dukung lingkungan, sehingga sistem produksi dapat berjalan dengan baik.
6.2. Integrasi Ekologi (lingkungan), Ekonomi dan Sosial Komponen aspek ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial diintegrasikan melalui variabel atau peubah yang digunakan dalam sub – sub model yang dibangun dalam sistem dinamik untuk pengembangan tambak udang secara optimal.
Alokasi lahan tambak udang dengan pertimbangan aspek ekologi
(lingkungan), ekonomi, dan sosial dapat menjaga keberlanjutan produktivitas budidaya udang secara optimal. Hasil simulasi sistem dinamik diperoleh alokasi luas tambak udang optimal dengan pertimbangan ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial yaitu : tambak udang intensif (126 ekor/m2) 26.62 ha, tambak udang intensif (50 ekor/m2) 144.69 ha, tambak udang semi intensif (25 ekor/m2) 282.36 ha, dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m2) 503.43 ha (skenario 1direkomendasikan). Beban limbah organik yang masuk dan berada dilingkungan perairan pesisir masih dibawah kapasitas asimilasi perairan pesisir terhadap limbah organik dengan produksi biomassa udang yang dihasilkan sebesar 2453.03 ton. Total pendapatan usaha yang diperoleh sebesar Rp 36 328 006 033 (tanpa pengelolaan kincir) dan Rp 37 394 307 774 (pengelolaan kincir), dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp 3 632 800 603 (tanpa pengelolaan kincir) dan Rp 3 739 430 777 (pengelolaan kincir). Total tenaga kerja aktual yang dapat diserap sebesar 1753 orang atau 2 792 969 HOK/th (masih dapat menyerap tenaga kerja aktual 1609 orang atau 2 831 840 HOK/th dari kondisi saat ini). Kemudian skenario 2 sebagai alternatif alokasi lahan optimal dengan pertimbangan aspek ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial yaitu tambak udang intensif (126 ekor/m2) 12.48 ha, tambak udang intensif (50 ekor/m2) 89.95
ha, tambak udang semi intensif (25 ekor/m2) 168.11 ha, dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m2) 236.12 ha Beban limbah yang masuk dan berada di lingkungan perairan pesisir tergolong cukup tinggi akan tetapi masih berada dalam kapaitas asimilasi perairan pesisir terhadap limbah organik dengan produksi biomassa udang sebesar 1371.09 ton. Total pendapatan usaha yang diperoleh sebesar Rp 19 927 489 483 (tanpa pengelolaan kincir) dan Rp 20 513 323 896 (pengelolaan kincir), dengan kontribusi pendapatan optimal ke daerah sebesar Rp 1 992 748 948 (tanpa pengelolaan kincir) dan Rp 2 051 332 389 (pengelolaan kincir). Total tenaga kerja aktual yang dapat diserap sebesar 981 orang atau 1 549 329 HOK/th (masih dapat menyerap tenaga kerja 837 orang atau 1 245 456 HOK/th dari kondisi saat ini).
6.3. Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kecamatan Mangara Bombang untuk Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan Beberapa langkah strategi yang perlu dilakukan agar pengembangan tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang dapat bekelanjutan antara lain: 1. Limbah hasil kegiatan budidaya dari sisa pakan dan feses yang dihasilkan selama proses budidaya dan kemudian terbuang ke lingkungan perairan merupakan bahan pencemar organik yang dapat menurunkan kualitas lingkungan perairan. Upaya memperkecil dampak yang dihasilkan dari buangan limbah budidaya tersebut maka perlu dilakukan upaya sebagai berikut: (a) penanaman/penataan kembali kawasan hutan mangrove (reboisasi) dan menempatkan kegiatan budidaya rumput laut di perairan sekitar kegiatan budidaya udang. Hutan mangrove selain sebagai buffer (penyangga) juga dapat mengabsorb beban limbah organik yang masuk ke lingkungan perairan begitu pula dengan rumput laut. Kemampuan absorb hutan mangrove dan rumput laut
ini
mengakibatkan beban limbah yang masuk dan berada di lingkungan perairan dapat diperkecil sehingga kondisi kualitas air perairan tetap terjaga (layak untuk budidaya udang). Semakin
sedikit beban limbah yang masuk dan berada di lingkungan perairan pesisir secara langsung akan meningkatkan daya dukung lingkungan perairan sehingga luas tambak udang yang akan dikembangkan dapat menigkat pula. 1 ha tambak udang intensif dan semi intensif diperlukan masing – masing 7.2 ha dan 2.4 ha hutan mangrove untuk menyerap nitrogen sedangkan untuk menyerap phospor diperlukan masing – masing 21.7 ha dan 2.8 ha hutan mangrove Robertson and Phillips (1995 diacu dalam Chowdury et al. 2001). Sedangkan rumput laut jenis Euchema seperti E. Cottoni dan E.spinosum atau dikalangan pembudidaya dikenal dengan Kappaphycus alvarezi dan E.denticulatum (Ask dan Azanza 2002), mempunyai kemampuan efisiensi penyerapan sebesar 32 % nitrogen dan 19 % phoshor (Chandrkrachang et al.1991; Msuya et al. 2006). Penambahan luas hutan mangrove selain dapat memberikan dampak ekologis juga memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat. Manfaat langsung (Direct Use Value) dari hutan mangrove yaitu kayu mangrove, sumberdaya perikanan, bahan makanan, wisata dan kesehatan/obat obatan, bahan bangunan, dan rekreasi (Munasinghe 1993; Barton 1994; Koziell 1998 diacu dalam Dahuri 2003). Sedangkan nilai manfaat tidak langsung (Non Direct Use Value) dari hutan mangrove yaitu manfaat yang diperoleh dari suatu ekosistem secara tidak langsung misalnya daerah pertumbuhan ikan, pelindung dari gelombang, mendaur ulang nutrien, asimilasi limbah, fungsi pengaturan cuaca/iklim, mencegah instrusi air laut dan penjaga siklus pakan bagi ikan (Barton 1994; Koziell 1998 diacu dalam Dahuri 2003). Pendugaan nilai total manfaat hutan mangrove diperoleh dari beberapa
hasil
penelitian
yaitu
manfaat
kayu
mangrove
US$ 45/ha/th (Kusmana 1993 diacu dalam Dahuri 2003); nilai produksi sumberdaya ikan US$ 521.25/ha/th (Dahuri dan Yusuf 1999 diacu dalam Dahuri 2003); wildlife US$ 5.8/ha/th (Direktorat Jenderal Perikanan 1999); biodiversity US$ 726.26/ha/th (Dahuri
1996) dan;
nilai eksistensi US$ 2516.40 (Kusumastanto dan
Meilani 1998) sehingga total nilai manfaat hutan mangrove US$ 3829.71/ha/th. Sedangkan pendugaan biaya pengelolaan hutan mangrove yaitu investasi US$ 190.39/ha/th (Kusumastanto dan Meilani 1998); standing stock US$ 105.40/ha/th (Sumardjani 1993 diacu dalam Dahuri 2003) dan; wildlife US$ 0.3728/ha/th (Kusumastanto
dan
Meilani
1998),
sehingga
total
biaya
pengelolaan mangrove US$ 978.11. Berdasarkan hal ini, maka nilai ekonomi total hutan mangrove (NTE) sebesar US$ 2851.60/ha/th (US$
3829.71/ha/th
–
US$
978.1/ha/th).
Jika
dilakukan
penambahan luasan hutan mangrove seluas 751.05 ha dari kondisi saat ini (total 895.443 ha), menghasilkan nilai total ekonomi (NTE) sebesar US$ 2 553 445.26/th. Jika dilakukan penambahan luasan hutan mangrove seluas 2300.94 ha dari kondisi saat ini (total 2445.333 ha), menghasilkan nilai total ekonomi (NTE) sebesar US$ 6 973 111.58/ha atau Rp 69 731 115 828/th. Jika dilakukan penambahan luasan hutan mangrove seluas 9721.31 ha dari kondisi saat ini (total 9865.703 ha),menghasilkan nilai total ekonomi (NTE) sebesar US$ 28 330 386 748/th. Jika dilakukan penambahan luasan hutan mangrove seluas 3433.320 ha dari kondisi saat ini (total 3577.713 ha), menghasilkan nilai total ekonomi mangrove (NTE) US$ 10 202 206.39/th. Jika dilakukan penambahan luasan hutan mangrove seluas 6274.74 ha dari kondisi saat ini (total 6419.13 ha), menghasilkan nilai total ekonomi (NTE) sebesar US$ 18 304 791.11/ha. Jika dilakukan penambahan luasan hutan mangrove seluas 3690.01 ha (total 3834.40 ha), menghasilkan nilai total ekonomi (NTE) US$ 10 934 175.04/ha. Hasil penelitian (PPLH 1995 diacu dalam Asbar 2005) melaporkan bahwa biaya pembangunan break water sekitar Rp 100.000/ m3 dan jika tingkat inflasi nasional diasumsikan 4.25 %, maka biaya pembuatan break water akan meningkat menjadi Rp 425.000/m3. Volume bangunan break water 180 000 m3, maka nilai manfaat tidak langsung dari
hutan mangrove sebagai fungsi penahan gelombang sebesar Rp 76 500 000 000 per sepuluh tahun atau Rp 7 650 000 000/th.
Outlet
Theoretical Coastal Ecosystem, Water Flow and Simple Aquaculture Pond Arrangement
BiofilterII: kerang, tilapia/mujair Open Sea Mangrove Green Belt (MGB)
MGB
Buffer Ponds
SP
Tandon
Inlet
River Outflow
Shrimp Growout Ponds
Seaweeds/Bivalves
JSP JSP JSP JSP JSP JSP
PROBIOTIK
SP Milkfish / Other Commodity
Seaweeds/Bivalves
Milkfish/ Other Commodity
River inflow
JSP JSP JSP JSP JSP JSP
MGB
udang
udang
udang
filter
SP : Settling Ponds JSP : Juvenile Shrimp Ponds
BiofilterI: kerang, bandeng (a)
(b) Gambar 85.
(a) Integrasi budidaya tambak udang lengkap dengan petak pemeliharaan bibit udang (benur) serta penggunaan petak treatment dengan ekosistem mangrove sebagai green belt; (b) Integrasi pemanfaatan ekosistem mangrove dan budidaya tambak dengan sistem silvofishery
(b) Meningkatkan efisiensi pakan (60 -70 % biaya produksi udang adalah pakan) melalui upaya : (i) perbaikan kualitas pakan yang dicirikan dengan rendahnya nilai rasio konversi pakan, mengembangkan “Low Polluting Feed” sehingga beban limbah yang dihasilkan minimal, meningkatkan daya cerna bahan baku pakan melalui bioprocessing; (ii) mengembangkan teknologi budidaya udang yang ramah lingkungan; (iii) mengembangkan teknologi “automatic feeding” dan sensor penduga
populasi
udang
secara
otomatis
dalam
kerangka
pengembangan ‘feeding technique” yang efektif agar pemberian pakan lebih optimal (Sugiura 1999; Arnold dan Davis 1999; Wu 1996) dan; (iv) mengembangkan Integrated Multi Trophic Aquaculture (IMTA) yang menerapkan konsep “Zero Waste System” (beban limbah minimal) dan “Zero Water Exchange” (hemat sumberdaya air, biaya listrik, dan pompa) dalam proses budidaya udang, dimana dapat dilakukan pendekatan konsep Reduce, Reuse, dan Recycle (Dahuri 2003). 2. Pengukuran level limbah dilingkungan budidaya secara rutin dalam sistem monitoring dan evaluasi lingkungan perairan untuk memprediksi skala dampak terhadap perairan (Ioppolo et al. 1997; Soley et al. 1994). 3. Limbah dari aktivitas selain tambak udang/antropogenik yang berasal dari kegiatan pemukiman (rumah tangga), peternakan, perikanan (hatchery), dan pertanian memberikan kontribusi akumulasi limbah organik di lingkungan perairan pesisir. Karena itu, perlu dilakukan upaya meminimalisasi atau pengendalian sebagai berikut: (1) penerapan sanitasi lingkungan atau pengelolaan limbah sebelum dibuang ke lingkungan perairan pesisir serta membuat sarana tempat pembuangan limbah akhir yang mudah terjangkau oleh masyarakat;(2) melakukan penataan kawasan pemukiman, kawasan mangrove, dan kawasan budidaya rumput laut. 4. Membuat Rencana Pengembangan Ekonomi Regional Berbasis Perikanan Budidaya di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang sebagai petunjuk pengembangan budidaya tambak udang yang layak secara biotekno-sosio-ekonomi
sehingga
membantu
meminimasi
konflik
kepentingan. Sebagai arahan pendorong pemanfaatan wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang yang berkelanjutan, maka Rencana Pengembangan Ekonomi Regional Berbasis Perikanan Budidaya harus diarahkan sebagai suatu komponen yang komperensif dalam sistem perencanaan wilayah pesisir secara terpadu yang dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (PERDA). Sistem ini pada akhirnya bermanfaat sebagai acuan perizinan dan lisensi serta akses kompromi antara stekeholders yang mencakup aspek persetujuan pemanfaatan wilayah untuk perikanan budidaya, transportasi laut, pelabuhan, dan pengelolaan sumberdaya perairan, pertanian dan pemukiman yang dibangun dalam konteks strategi pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. 5. Budidaya tambak udang selain sebagai sumber sistem pangan juga sebagai sumber pencemar yang potensial. Karena itu, perlu dimasukkan biaya lingkungan ke dalam biaya produksi sebagai salah atu alternatif instrumen pengelolaan lngkungan. Keputusan untuk memasukkan biaya lingkungan akan menjadi penggerak yang kuat bagi produksi budidaya udang dan mendorong untuk seleksi teknologi budidaya udang yang ramah lingkungan, akan tetapi jika biaya lingkungan terlalu tinggi akan menyebabkan usaha budidaya tambak udang akan tidak dapat beroperasi, karena tidak ada cara termudah dan termurah untuk merubah teknologi dalam waktu yang singkat. Biaya untuk mereduksi beban limbah nutrien dari produksi 100 ton produksi budidaya dapat mencapai 16 – 38 % dari total cost (Troell 1996). Penerapan prinsip polluters pays mengakibatkan biaya biaya lingkungan untuk eutrofikasi dapat dimasukkan ke dalam biaya produksi dengan konsekuensi harga yang harus dibayar oleh konsumen akan menjadi meningkat pula. Supaya biaya sosial tidak membebani konsumen maka produsen dan rantai tata niaga lainnya sebaiknya mengambil keuntungan dalam batas yang wajar. 6. Aktivitas budidaya tambak udang seperti aktivitas lainnya memberikan dampak terhadap lingkungan. Karena itu, praktek budidaya yang baik (Good Aquaculture Practice atau Best Management Practice) serta upaya menggunakan pedoman pengelolaan lingkungan secara praktis (Best
Practice of Environmental Management Guidlines) dalam industri budidaya udang perlu perlu dilakukan untuk perbaikan dampak lingkungan dan meminimalkan biaya lingkungan.