PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DI KABUPATEN BATANG
ASIH HIDAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
iii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Wilayah Pesisir berbasis Daya Dukung Lingkungan dan Partisipasi Masyarakat di Kabupaten Batang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013
Asih Hidayati NIM A156110184
iv
RINGKASAN ASIH HIDAYATI. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Daya Dukung Lingkungan dan Partisipasi Masyarakat di Kabupaten Batang. Dibimbing oleh BABA BARUS dan FREDIAN TONNY NASDIAN.
Kabupaten Batang merupakan salah satu kabupaten pesisir di pantai utara Jawa yang memiliki garis pantai sepanjang 38.75 km dan luas laut sekitar 287.060 km2. Wilayah pesisir Kabupaten Batang merupakan wilayah yang sangat produktif dan mempunyai nilai ekonomi tinggi, namun di lain pihak juga rawan akan kerusakan. Berdasarkan dokumen renstra wilayah pesisir Kabupaten Batang tahun 2011 diidentifikasi berbagai permasalahan yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Batang antara lain abrasi, akresi, sedimentasi, banjir, penyempitan badan sungai, kerusakan mangrove, pencemaran perairan dan tanah, ego sektoral, kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pesisir. Oleh karena itu pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada semua stakeholders terutama masyarakat pesisir. Penataan ruang merupakan salah satu alat dalam pengelolaan wilayah pesisir, dimana tujuan utama penataan ruang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan serta menjaga kelestarian ekosistem. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan alokasi pemanfaatan ruang pada rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah menilai daya dukung dan mengevaluasi pemanfaatan ruang di wilayah pesisir; menilai pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Batang; menganalisis tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir; dan merumuskan arahan strategi pengelolaan wilayah pesisir. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah dengan analisis berbasis Sistem Informasi Geografis serta dengan analisis deskriptif. Analisis daya dukung untuk wilayah daratan dilakukan dengan berbasis kemampuan lahan. Penentuan kelas kemampuan lahan dilakukan dengan teknik Boolean (Permen LH nomor 17 tahun 2009). Evaluasi daya dukung dan pemanfaatan ruang dilakukan dengan melakukan tumpangtindih peta. Kondisi perairan Kabupaten Batang dinilai dari data-data parameter fisika dan kimia perairan yang disesuaikan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Untuk mengetahui pemahaman dan partisipasi masyarakat, berdasarkan data kuesioner yang dianalisis deskriptif. Dari hasil analisis tersebut dilakukan sintesis untuk merumuskan arahan strategi pengelolaan wilayah pesisir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan di wilayah pesisir Batang berdasarkan kemampuan lahan masih sesuai (98.29%). Untuk wilayah perairan Kabupaten Batang, kondisinya masih layak bagi biota laut namun di beberapa lokasi (perairan Kecamatan Batang, Tulis dan Gringsing) memiliki kadar ortofosfat yang sudah melebihi baku mutu. Saat ini lebih dari 70% penggunaan lahan di wilayah pesisir masih sesuai/konsisten dengan rencana tata ruang. Secara umum tingkat pemahaman masyarakat terkait kebijakan pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Batang masih
v rendah, sedangkan terkait dengan pemanfaatan/penggunaan lahan di wilayah pesisir tingkat pemahaman masyarakat termasuk sedang. Berdasarkan tipologi tangga Arnstein, tingkat partisipasi masyarakat termasuk kategori Informasi. Bentuk partisipasi mayoritas responden menunjukkan berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pengawasan. Arahan pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Batang agar diselaraskan dengan penataan ruang yang sudah ditetapkan pemerintah dalam rencana tata ruang wilayah, yang terbagi dalam kawasan pemanfaatan/budidaya, kawasan konservasi/lindung dan kawasan strategis. Implementasi dari rencana penataan ruang ini harus dilaksanakan sebagaimana fungsi peruntukannya dengan memperhatikan daya dukung wilayah dan melibatkan masyarakat setempat sehingga degradasi lingkungan dapat dikurangi. Strategi umum pengelolaan yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan koordinasi antar lembaga pemerintah, mengembangkan dan meningkatkan partisipasi dan pengawasan masyarakat serta ketersediaan dan kemudahan mengakses informasi bagi masyarakat umum. Kata kunci: wilayah pesisir Kabupaten Batang, daya dukung lingkungan, partisipasi, pemanfaatan ruang
vi
SUMMARY ASIH HIDAYATI. Coastal Area Management based on Environment Carrying Capacity and Community Participation in Batang Regency. Supervised by BABA BARUS and FREDIAN TONNY NASDIAN.
Batang regency is one of the coastal districts on the north coast of Java, which has a 38.75 km long coastline and vast ocean of approximately 287 060 km2. Batang coastal area is a region of highly productive and have high economic value, but on the other hand are also vulnerable to damage. The coastal area strategic plan document Batang in 2011, identify that there are variety of problems occured in coastal areas Batang include abrasion, accretion, sedimentation, flood, narrowing river bodies, destruction of mangroves, pollution of water and soil, ego sectoral, institutional and community participation in coastal management. Therefore the management of coastal areas should be planned and integrated and provide maximum benefits to all stakeholders, especially in coastal communities. Spatial planning is one tool in the management of coastal areas, where the main objective of spatial planning is to improve the society welfare, the growth and the ecosystem conservation. According to Act No. 26 of 2007 on Spatial Planning, spatial utilization at district must consider supportive and carrying capacity of environment. This study aims to assess and evaluate the environment carrying capacity and the spatial utilizations in Batang coastal areas; assess community understanding against management and spatial planning; analyze the level and form of community participation in the management of coastal areas and formulate strategic referrals to the management coastal areas in Batang. The methods used in this study are analysis based on Geographic Information Systems (GIS) as well as the descriptive analysis. Environment carrying capacity analysis to the land area was based on land capability. Determination of land capability class was done by using Boolean technique (Regulation of the Minister of Environment Number 17, 2009). Evaluation of carrying capacity and spatial utilization was done by overlaying the maps. Batang waters conditions assessed from the data physical and chemical parameters were adjusted to the Minister of Environment Decree No. 51 of 2004 on Sea Water Quality Standard. To find the understanding and participation of the community were analyzed descriptively, based on the results of the questionnaire. From the results of the analyzes, then performed such synthesis to formulate strategic direction of coastal areas management. The results showed that environment carrying capacity in the coastal areas of Batang based on land capability is still appropriate (98.29%). The conditions of coastal water of Batang are still appropriate for marine life, but in a few locations (Batang, Tulis and Gringsing sub-districts) orthophosphate levels have already exceeded the quality standard. Currently, more than 70% of the land use in coastal areas are still appropriate/consistent with the spatial planning. In general, the level of public understanding of policies related to the management and spatial planning of coastal areas in Batang is still low, mean while associated with the land
vii utilization in coastal areas, the level of public understanding belongs to moderate level. Based on Arnstein ladder typology, the level of community participation in general categories as Information category. Participation form exhibited that the majority of respondents participate at utilization, conservation and monitoring activity. Activities follow the coaching/training is a form of activity which is the least followed. Coastal area management referrals in Batang need to be harmonized with the existing spatial planing that has been set by the government in the spatial plan, which is divided into utilization, conservation protection and strategic area. Spatial plan should be implemented as it’s plan functions with respect to the environment carrying capacity and involve the local community, so that environmental degradation can be reduced. General management strategies that can be done is to improve coordination among government agencies, to develop and enhance community participation and oversight as well as the availability and ease of access to information for the general public. Keywords: Batang coastal areas, environmental capacity, participation, utilization
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DI KABUPATEN BATANG
ASIH HIDAYATI A156110184
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Setia Hadi, MS
xi
Judul Tesis
Nama Nrp
: Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Daya Dukung Lingkungan dan Partisipasi Masyarakat di Kabupaten Batang : Asih Hidayati : A156110184
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua
Ir Fredian Tonny Nasdian, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 20 Mei 2013
Tanggal Lulus:
xii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Daya Dukung Lingkungan dan Partisipasi Masyarakat di Kabupaten Batang. Melalui tulisan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Dr Ir Baba Barus, MSc dan Ir Fredian Tonny Nasdian, MS selaku komisi pembimbing yang telah memberikan saran, masukan dan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. 2. Dr Ir Setia Hadi, MS selaku dosen penguji luar komisi. 3. Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku Ketua program studi Ilmu Perencanaan Wilayah beserta staf pengajar dan manajemen. 4. Pusbindiklatren Bappenas sebagai pemberi program beasiswa. 5. Ibunda, kakak-kakak dan adik serta seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya. 6. Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata seKabupaten Batang yang telah membantu dalam penyediaan data dan fasilitas lainnya serta masyarakat di Kecamatan Batang, Kandeman, Tulis, Subah, Banyuputih dan Gringsing atas partisipasinya dalam pengisian kuesioner. 7. Teman-teman program studi Ilmu Perencanaan Wilayah angkatan 2011 atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya. 8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013 Asih Hidayati
xiii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.5 Ruang Lingkup Penelitian 1.6 Kerangka Pemikiran Penelitian
1 1 2 3 3 3 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Wilayah Pesisir 2.2 Penataan Ruang 2.3 Daya Dukung Lingkungan 2.4 Partisipasi 2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu
6 6 7 8 9 12
3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Metode Pengambilan Data 3.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data
15 15 15 15
4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Administrasi 4.2 Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut 4.3 Kebijakan Pembangunan Pemerintah Daerah
20 20 22 28
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Evaluasi Daya Dukung dan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir 5.1.1 Pola Ruang Wilayah Pesisir 5.1.2 Penggunaan Lahan Wilayah Pesisir 5.1.3 Kemampuan Lahan 5.1.4 Evaluasi Daya Dukung Wilayah Pesisir berbasis Kemampuan Lahan terhadap RTRW Kabupaten Batang 5.1.5 Kondisi Perairan 5.1.6 Evaluasi Penggunaan Lahan terhadap Kemampuan Lahan 5.1.7 Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap Penggunaan Lahan 5.1.8 Permasalahan lingkungan di wilayah pesisir 5.2 Pemahaman Masyarakat terhadap Pengelolaan dan Penataan Ruang Wilayah Pesisir di Kabupaten Batang 5.3 Tingkat dan Bentuk Partisipasi Massyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir di Kabupaten Batang 5.3.1 Tingkat Partisipasi Masyarakat 5.3.2 Bentuk Partisipasi Masyarakat
34 34 34 38 39 40 42 44 46 47 49 51 51 54
xiv 5.4 Arahan Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir
56
6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 6.2 Saran
64 64 64
DAFTAR PUSTAKA
65
LAMPIRAN
67
RIWAYAT HIDUP
75
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20 Tabel 21 Tabel 22 Tabel 23 Tabel 24
Klasifikasi Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas Tingkat Partisipasi Berdasarkan Tipologi Arnstein (1969) Matriks Data, Metode Analisis dan Output Penelitian Luas Kecamatan Pesisir di Kabupaten Batang Jenis Tanah di Kecamatan Pesisir Kabupaten Batang Ketinggian Lahan di Kecamatan Pesisir Kabupaten Batang Kemiringan Lahan di Kecamatan Pesisir Kabupaten Batang Jumlah Penduduk di Kecamatan Pesisir Menurut Jenis Kelamin Tahun 2011 Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Batang Pola Ruang Wilayah Pesisir dalam RTRW Kabupaten Batang Berdasarkan Lokasi Alokasi Peruntukan Ruang Wilayah Pesisir Pemanfaatan Lahan di Wilayah Pesisir Kemampuan Lahan di Wilayah Pesisir Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap Kemampuan Lahan berdasarkan Lokasi Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap Kemampuan Lahan Data Parameter Perairan di Kabupaten Batang Evaluasi Pemanfaatan Lahan terhadap Kemampuan Lahan Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap Pemanfaatan Lahan Pemahaman/Pengetahuan Masyarakat terkait Kebijakan Pemerintah Pemahaman/Pengetahuan Masyarakat terkait Penggunaan Lahan Tingkat Partisipasi dalam Kehadiran Pertemuan Tingkat Partisipasi dalam Pelaksanaan Kegiatan Bentuk Partisipasi Masyarakat Matriks Sintesis Pengelolaan Wilayah Pesisir
16 18 18 21 22 23 23 26 32 34 35 38 39 41 41 43 45 46 49 50 52 53 55 56
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11
Kerangka Pikir Penelitian Delapan Tangga Tingkat Partisipasi Menurut Arnstein (1969) Diagram Alir Penelitian Wilayah Administrasi Kabupaten Batang Pola Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Batang Pemanfaatan/Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Kelas Kemampuan Lahan Wilayah Pesisir Kabupaten Batang Evaluasi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap Kemampuan Lahan Sebaran Nilai Amonia, Nitrat dan Ortophosphat di Perairan Kabupaten Batang Evaluasi Pemanfaatan Lahan terhadap Kemampuan Lahan Inkonsistensi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap Pemanfaatan Lahan
5 10 19 21 37 39 40 42 44 45 47
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5
Inkonsistensi Pola Ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap Pemanfaaatan Lahan Matriks Logik Inkonsistensi RTRW dengan Pemanfaatan Lahan Matriks Logik Evaluasi Pola ruang RTRW dengan Kemampuan Lahan Matriks Logik Evaluasi Pemanfaatan Lahan dengan Kemampuan Lahan Foto-Foto Kondisi Pantai di Wilayah Pesisir Kabupaten Batang
67 68 69 70 71
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan (Kay dan Alder 1999). Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan, mengingat luas wilayah laut Indonesia adalah 62% dari luas wilayah nasional. Berbagai keanekaragaman hayati dan lingkungan menjadikan sumber daya pesisir dan lautan mempunyai nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi. Namun di sisi lain terjadi pula aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir yang memiliki kecenderungan eksploitasi dan sektoral antara masyarakat dan para stakeholder lainnya sehingga menimbulkan terjadinya konflik sosial. Banyaknya pemanfaatan dan berbagai aktifitas yang terus berlangsung dampak negatif pun muncul. Dampak-dampak utama saat ini berupa polusi, abrasi, erosi dan sedimentasi, kerusakan kawasan pantai seperti hilangnya mangrove, degradasi daya dukung lingkungan dan kerusakan biota pantai/laut. Untuk menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada semua stakeholders terutama masyarakat pesisir. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengamanatkan bahwa wilayah pesisir merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Untuk mewujudkan hal tersebut maka perlu dilakukan pendekatan pengelolaan pesisir terpadu yang dikenal dengan Integrated Coastal Management. Pengelolaan dilakukan secara berkelanjutan dan berwawasan global dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional. Penataan ruang merupakan salah satu alat dalam pengelolaan wilayah pesisir, karena dasar dari pengelolaan suatu kawasan adalah tata ruang (Pratikto 2006). Tujuan penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional agar terwujud keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan, keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia dan terwujud perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Rustiadi et al. 2010b). Ada dua hal pokok yang perlu di pertimbangkan dalam penataan ruang wilayah untuk pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut, yakni: pertama, adalah berkenaan dengan upaya pengembangan kegiatan sosial-ekonomi dan kedua
2 yaitu berkaitan dengan daya dukung lingkungan. Pada hakekatnya kedua hal tersebut perlu dipertemukan sehingga dapat diperoleh optimasi pemanfaatan sumberdaya alam yang dikaitkan dengan usaha pemerataan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga berdasarkan atas pertimbangan pembangunan yang berkelanjutan. Kabupaten Batang merupakan salah satu kabupaten pesisir di pantai Utara Jawa yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya karena memiliki wilayah pantai, dataran rendah maupun pegunungan dengan ketinggian 0-2 000 m dpl, menghasilkan komoditi perikanan, perkebunan seperti teh dan karet serta komoditi perhutanan berupa kayu jati dan gondorukem. Karakteristik wilayah pesisir Kabupaten Batang antara lain, berupa bentangan garis pantai sepanjang 38.75 km, luas laut sekitar 287.060 km2, dengan jenis pantai berbatu dan berpasir. Dalam rangka untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Batang dengan memanfaatkan ruang wilayah beserta sumberdaya alam yang tersedia, termasuk wilayah pesisir, Kabupaten Batang telah mengeluarkan Peraturan Daerah nomor 07 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang Tahun 2011-2031. Untuk arahan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir, telah dikeluarkan Peraturan Bupati nomor 16 tahun 2011 tentang Rencana Strategis Wilayah Pesisir Kabupaten Batang tahun 2011-2030. Berdasarkan dokumen RSWP Kabupaten Batang tahun 2011 diuraikan berbagai permasalahan yang ada di wilayah pesisir baik yang terjadi akibat fenomena alam maupun ulah manusia. Isu strategis dalam pengelolaan wilayah pesisir antara lain abrasi, akresi, sedimentasi, rob, banjir, penyempitan badan sungai, kerusakan mangrove, dampak pengembangan industri hulu dan hilir, pencemaran perairan dan tanah, sanitasi lingkungan di tempat pelelangan dan pengolahan ikan, terbatasnya sarana prasarana pengelolaan pesisir, ego sektoral, kelembagaan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pesisir, dan lain-lain. Atas dasar tersebut dan dengan adanya kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah dan desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan, maka sudah semestinya bila pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir secara langsung melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan, implementasi, pemantauan dan evaluasi, sehingga mampu menjamin kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat lokal serta kelestarian pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut. Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan karena akan menghasilkan kebijakan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Kebijakan yang berbasis pada potensi masyarakat akan mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam. Selain itu juga memberikan keuntungan ganda, yaitu: pertama, dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat maka pengelolaan pesisir dan laut akan menarik masyarakat sehingga akan mempermudah proses penataan. Kedua, memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas keamanan pesisir dan laut. Selain itu yang lebih penting lagi adalah adanya upaya untuk meningkatkan kepentingan hakiki masyarakat yaitu kesejahteraan.
3 1.2 Perumusan Masalah Kabupaten Batang merupakan kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki wilayah pesisir yang cukup luas, dengan panjang garis pantai mencapai 38.75 km. Berbagai kegiatan pembangunan baik yang sudah maupun yang akan berjalan, banyak yang dialokasikan di wilayah pesisir, sebagaimana yang tercantum dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Batang, misalnya pembangunan PPI, pembangunan pelabuhan niaga, pembangunan kawasan industri. Di sisi lain dengan maraknya kegiatan pembangunan di wilayah pesisir Kabupaten Batang, diiringi pula dengan berbagai masalah yang muncul, yang tampaknya belum menjadi perhatian yang cukup serius dari Pemerintah Daerah, mulai dari masalah lingkungan sampai dengan masalah sosial. Adanya degradasi lingkungan merupakan salah satu masalah lingkungan yang terjadi, antara lain ditandai dengan jumlah vegetasi khas pesisir yang semakin menurun jumlah dan luasannya serta ancaman abrasi dan intrusi air laut tiap tahun. Timbulnya berbagai masalah tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten belum dilakukan secara optimal dan terpadu antara pemerintah, masyarakat maupun stakeholders lainnya. Pembangunan di wilayah pesisir juga masih dilakukan secara sektoral tanpa ada koordinasi antar instansi terkait maupun pelibatan masyarakat dalam proses perencanaannya. Berdasarkan uraian di atas, maka disusun pertanyaan yang dijawab dalam penelitian ini, yaitu : 1. Sejauh mana kesesuaian pengalokasian ruang wilayah pesisir sebagaimana tercantum dalam RTRW Kabupaten Batang dengan daya dukung lingkungannya? 2. Bagaimana pengetahuan/pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir? 3. Bagaimana tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Batang? 4. Bagaimana strategi yang dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu dan berkelanjutan?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menilai dan mengevaluasi daya dukung lingkungan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Batang. 2. Menilai pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir Kabupaten Batang. 3. Menganalisis tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Batang. 4. Merumuskan arahan dan strategi pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Batang
4 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi para penentu kebijakan di Kabupaten Batang dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Batang, dimana untuk wilayah daratan memakai batasan secara administratif, yaitu enam kecamatan yang berada di wilayah pesisir (yang memiliki garis pantai), sedangkan untuk wilayah laut mencakup daerah seluas 4 mil laut dari garis pantai, yang menjadi tanggungjawab pengelolaan bagi kabupaten sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004. Analisis daya dukung berbasis kemampuan lahan hanya dilakukan untuk mengevaluasi pemanfaatan dan pola ruang di daratan, sedangkan untuk wilayah perairan dilakukan analisis baku mutu air laut untuk biota laut. Klasifikasi kemampuan lahan hanya dilakukan untuk tingkat kelas kemampuan lahan.
1.6 Kerangka Pemikiran Penelitian Saat ini terdapat kecenderungan bahwa wilayah pesisir rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber dayanya maupun akibat bencana alam. Akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di wilayah pesisir atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada juga sering menimbulkan kerusakan sumberdaya pesisir. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor. Oleh sebab itu, keunikan wilayah pesisir yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik. Norma-norma pengelolaan wilayah pesisir tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Norma-norma itu akan memberikan peran kepada pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku kepentingan melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu.
5 Setiap kabupaten/kota pasti memiliki karakteristik fisik wilayah pesisir yang satu sama lain berbeda. Disamping itu masing-masing kabupaten/kota juga memiliki perhatian yang berbeda di dalam pengelolaan wilayah pesisir. Konsekuensi dari perbedaan perhatian tersebut menghasilkan kebijakan yang berbeda satu sama lain dalam mengelola wilayah pesisirnya. Namun sayangnya kebijakan yang dibuat juga masih bersifat sektoral, dimana masing-masing instansi/dinas membuat aturan hukum hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Kebijakan yang dibuat seringkali dilakukan tanpa ada koordinasi maupun melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya. Akibatnya antara pemerintah, masyarakat maupun stakeholder lainnya berjalan sendiri-sendiri dalam pengelolaan wilayah pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menghendaki adanya kesamaan visi antar stakeholders. Menyadari arti penting visi pengelolaan itu, maka perlu dipelopori perumusan visi bersama seperti terwujudnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang didukung oleh peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penataan dan penegakan hukum, serta penataan ruang untuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk menjawab permasalahan dan mencapai tujuan serta manfaat tersebut diperlukan teori-teori yang mendukung antara lain teori tentang partisipasi masyarakat dan teori mengenai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir. Selain itu juga digunakan metodologi deskriptif menggunakan data primer dan sekunder dan pada akhirnya diperoleh kesimpulan dan rekomendasi penelitian. Adapun kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Permasalahan wilayah pesisir: lingkungan, sosial, ego sektoral Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan berkelanjutan Penataan ruang wilayah pesisir
Fisik (lingkungan)
Non fisik (sosial)
Daya dukung
Partisipasi
Evaluasi
Arahan dan strategi pengelolaan wilayah pesisir
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
6
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Wilayah Pesisir Sampai saat ini memang belum ditemukan definisi yang pasti mengenai wilayah pesisir karena batas-batas yang ada bisa berubah sewaktu-waktu, namun ada beberapa definisi berdasarkan keterangan dari ahli terkait. Wilayah pesisir merupakan salah satu sistem ekologi yang paling produktif, beragam dan kompleks. Wilayah ini berperan sebagai penyangga, pelindung dan penyaring antara daratan dan lautan serta merupakan pemusatan terbesar penduduk. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Pengertian pesisir menurut Bappenas (1999) dalam Dahuri (2005), wilayah atau kawasan pesisir atau pantai adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat yang meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti air laut. Ke arah laut mencakup bagian perairan sampai batas terluar dari paparan benua, dimana ciri-ciri perairan tersebut masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, serta proses-proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat maupun di laut. Misalnya, penggundulan hutan, pencemaran industri, domestik, limbah tambak, penangkapan ikan, dan lain-lain. Pendefinisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekologis, pendekatan administratif, dan pendekatan perencanaan. Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah laut mencakup wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi. Dilihat dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kabupaten atau kota yang mempunyai hulu, dan kearah laut sejauh dua belas mil dari garis pantai untuk provinsi atau sepertiga dari dua belas mil untuk kabupaten/kota. Dilihat dari aspek perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengelolaan dan difokuskan pada penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggung jawab (Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir 2001). Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir ada yang terus menerus tergenangi dan ada pula yang hanya sesaat. Berdasarkan sifat ekosistem, ekosistem pesisir dapat bersifat alamiah (natural) atau buatan (manmade). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir adalah terumbu karang (coral reefs), padang lamun (seagrass beds), hutan mangrove, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pescaprae, formasi barringtonia, estuaria, laguna dan delta, sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 2001). Menurut Dahuri (2005), untuk tujuan perencanaan secara praktis, wilayah pesisir dan laut merupakan kawasan khusus, memiliki karakteristik unik dengan
7 batas-batas kawasan yang sering ditentukan berdasarkan permasalahanpermasalahan spesifik yang perlu ditangani. Kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut harus ditekankan pada upaya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian wilayah. Penataan ruang merupakan solusi yang tepat dalam kaitannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir.
2.2 Penataan Ruang Perencanaan tata ruang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang (RTR), yang menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dapat dibedakan menurut batasan fungsi kawasan dan batasan administratif. Pengertian ruang dalam hal ini mencakup ruang darat, laut, dan udara. Secara hirarkis, Rencana Tata Ruang terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsifungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) perencanaan tata ruang mencakup perencanaan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tataguna lahan, tataguna air, tataguna udara, tataguna sumberdaya lainnya. Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda dan tingkat penyebaran yang berbedabeda pula. Secara lebih tegas, penataan ruang dilakukan sebagai upaya : (1) Optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya): prinsip efisiensi dan produktifitas; (2) Alat dan wujud distribusi sumberdaya: asas pemerataan, keberimbangan dan keadilan; dan (3) Keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al. 2011). Menurut Dahuri (2005), peranan tata ruang pada hakekatnya dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya yang optimal dengan sedapat mungkin menghindari konflik pemanfaatan sumberdaya serta dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup. Lebih jauh Dahuri (2005) menyatakan dalam penataan ruang hendaknya memperhatikan 5 pendekatan, yaitu : (1) Penataan ruang yang partisipatif; (2) Sinergis dengan dunia usaha; (3) Selaras dengan lingkungan; (4) Pertumbuhan ekonomi dan (5) Peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ada dua hal pokok yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang wilayah untuk pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut, yaitu: pertama, berkenaan dengan upaya pengembangan kegiatan sosial-ekonomi dan kedua berkaitan dengan daya dukung lingkungan.
8 2.3 Daya Dukung Lingkungan Daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Evaluasi daya dukung wilayah diperlukan untuk mengelompokkan daya dukung kawasan, sehingga dalam sutu wilayah dapat ditentukan kawasan yang mampu mendukung kegiatan budidaya atau kawasan yang seharusnya berfungi lindung. Pada dasarnya evaluasi daya dukung wilayah sangat terkait erat dengan evaluasi sumberdaya lahan, dimana satuan lahan yang memiliki hambatan tinggi akan sesuai untuk menjadi kawasan lindung dan sebaliknya dapat menjadi kawasan budidaya (Rustiadi et al. 2011). Dardak (2005) menyatakan bahwa perhatian terhadap daya dukung lingkungan merupakan kunci bagi perwujudan ruang hidup yang nyaman dan berkelanjutan. Perhatian terhadap daya dukung lahan seyogyanya tidak terbatas pada lokasi dimana sebuah kegiatan berlangsung, namun harus mencakup wilayah yang lebih luas dalam satu ekosistem. Dengan demikian, keseimbangan ekologis yang terwujud juga tidak bersifat lokal, namun merupakan keseimbangan dalam satu ekosistem. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2009) telah menyusun pedoman perhitungan daya dukung lingkungan, yang dimaksudkan untuk menunjang penataan ruang. Perhitungan daya dukung lingkungan tersebut didasarkan pada kebutuhan manusia terhadap dua faktor alam yang paling mendasar, yaitu lahan dan air. Dengan berpedoman pada perhitungan tersebut, maka dapat diprediksi daya dukung suatu kawasan sehingga penetapan fungsinya secara berkelanjutan dapat dilakukan secara lebih mendasar dan terarah dalam menunjang penataan ruang. Berdasarkan ketentuan Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah harus menyusun rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN), pemerintah daerah provinsi harus menyusun rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRW provinsi), dan pemerintah daerah kabupaten harus menyusun rencana tata ruang wilayah kabupaten (RTRW kabupaten), dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup. Dalam penataan ruang, tidak adanya informasi mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan, membuka kemungkinan terjadinya penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukkannya. Penyusunan rencana tata ruang wilayah yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan hidup, dapat menimbulkan permasalahan lingkungan hidup seperti banjir, longsor dan kekeringan. Kerusakan lingkungan hidup pada akhirnya akan membawa kerugian sosial ekonomi yang sangat besar bagi penduduk yang bermukim di wilayah itu khususnya, dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, agar penataan ruang sesuai dengan daya dukungnya, perlu melibatkan masyarakat dimulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan hingga pengendaliannya.
9 2.4 Partisipasi Masyarakat 2.4.1 Definisi Partisipasi Menurut Davis (1967) dalam Sastropoetro (1988) partisipasi didefinisikan sebagai keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, disebutkan bahwa partisipasi merupakan keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan. Khadiyanto (2007) dalam Chusnah (2008) merumuskan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan/pelibatan masyarakat dalam kegiatan pelaksanaan pembangunan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan serta mampu untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi, baik secara langsung maupun tidak langsung sejak dari gagasan, perumusan kebijaksanaan hingga pelaksanaan program Mitchell et al. (2010) menyatakan banyak alasan yang dapat diberikan untuk menyertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya. Melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan, dimungkinkan untuk (1) merumuskan persoalan lebih efektif; (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah; (3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian sehingga memudahkan penerapan. Partisipasi berfungsi sebagai kemitraan dalam pengelolaan wilayah. Partisipasi yang melibatkan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir mutlak diperlukan. Partisipasi masyarakat dapat tercipta apabila ada rasa saling percaya dan saling pengertian antara semua pihak. 2.4.2 Bentuk Partisipasi Menurut Davis (1967) dalam Sastropoetro (1988), bentuk-bentuk partisipasi meliputi: (1) konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa; (2) sumbangan spontan berupa uang dan barang; (3) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari pihak ketiga; (4) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan dibiayai seluruhnya oleh masyarakat; (5) sumbangan dalam bentuk kerja; (6) aksi massa; (7) mengadakan pembangunan dikalangan keluarga; dan (8) membangun proyek masyarakat yang bersifat otonom. Adapun jenis-jenis partisipasinya meliputi: (1) pikiran; (2) tenaga; (3) pikiran dan tenaga; (4) keahlian; (5) barang; dan (6) uang. Dalam kegiatan penataan ruang bentuk peran masyarakat dilakukan pada 3 tahap sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang, yaitu meliputi : 1) tahap perencanaan tata ruang, berupa : (a) masukan mengenai persiapan penyusunan rencana tata ruang; penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan; pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan; perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau penetapan rencana
10 tata ruang, (b) kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang. 2) tahap pemanfaatan ruang, berupa : (a) masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang; (b) kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; (c) kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (d) peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (e) kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan (f) kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3) tahap pengendalian pemanfaatan ruang, berupa : (a) masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi; (b) keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (c) pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan (d) pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang. 2.4.3 Tingkat Partisipasi Arnstein (1969) mendefinisikan strategi partisipasi yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara masyarakat (komunitas) dengan badan pemerintah (agency), partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen participation is citizen power). Arnstein (1969) menggunakan metafora tangga partisipasi dimana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada distribusi kekuasaan (Gambar 2).
Citizen Control 8 7
Delegated Power Patnership
Degrees of Citizen Power
6 Placation 5 Consultation
Degrees of Tokenism
4 Informing 3 Therapy 2
Non participation
Manipulation 1
Gambar 2 Delapan tangga tingkat partisipasi menurut Arnstein (1969)
11 Delapan tangga tingkat partisipasi menurut Arnstein (1969) yaitu : 1. Manipulasi (manipulation) Pada tangga partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog; tujuan sebenarnya bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program tapi untuk mendidik (masyarakat tidak tahu sama sekali terhadap tujuan, tapi hadir dalam forum). 2. Terapi (therapy) Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah. 3. Informasi (information) Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tanggapan balik (feed back). 4. Konsultasi (consultation) Pada tangga partisipasi ini komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi. 5. Penentraman (placation) Pada level ini komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun pemerintah tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut. 6. Kemitraan (partnership) Pada tangga partisipasi ini, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar. Kekuasaan telah diberikan dan telah ada negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Kepada masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses untuk proses pengambilan keputusan diberikan kesempatan untuk bernegosiasi dan melakukan kesepakatan. 7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power) Ini berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa kepentingannya, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang jelas dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberhasilan program. 8. Pengendalian masyarakat (citizen control) Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah. Dari kedelapan tangga tersebut, Arnstein mengelompokkannya lagi menjadi 3 tingkat, yaitu: a) Tingkat tanpa partisipasi (Nonparticipation) Tingkat nonpartisipasi adalah tingkat partisipasi yang bukan dalam arti sesungguhnya. Tingkat ini terdiri dari jenjang terbawah dari tangga tersebut yaitu tingkat pertama (manipulation) dan tingkat kedua (Therapy).
12 b) Tingkat Tokenism (Degree of tokenism) Tingkat Tokenism yaitu tingkat partisipasi yang tidak serius, dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Tingkat Tokenism terdiri tiga jenjang yaitu tingkat ketiga (informing), tingkat keempat (consultation) dan tingkat kelima (placation). Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat. c) Tingkat Kekuasaan Masyarakat (Degree of Citizen Power) Tingkat kekuasaan masyarakat yaitu tingkat dimana masyarakat telah memiliki kekuasaan, yang terdiri dari tingkat keenam (partnership), tingkat ketujuh (delegated power) dan tingkat kedelapan (citizen control). Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang oleh Arnstein dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir sangatlah penting. Apabila dilihat karakteristik wilayah pesisir dan lautan baik dari segi sumberdaya alam maupun dari masyarakatnya sangat kompleks dan beragam, maka dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan sudah seharusnya secara langsung melibatkan masyarakat lokal. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, keterbukaan dan peran serta masyarakat merupakan salah satu prinsip dasar dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu Berdasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir, potensi dan permasalahannya, maka kebijakan pemerintah untuk membangun kawasan pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat dilakukan melalui Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu (Darajati 2004). Konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan sumberdaya pada umumnya, pada pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang mengelola adalah semua orang dengan objek segala sesuatu yang ada di wilayah pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir tidak melihat wilayah pesisir sebagai target, yang paling utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pengelolaan wilayah pesisir dilaksanakan dengan tujuan: a. melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan;
13 b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil; c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarki pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Kay dan Alder 1999). Dahuri et al. (2001) mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir terpadu sebagai suatu pendekatan pengelolaan pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Subandono et al. (2009) menyatakan bahwa konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu menyediakan suatu kerangka perencanaan dan pengelolaan yang tepat dalam menaklukkan berbagai kendala dan permasalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir, seperti adanya pengaturan institusi yang terpecah-pecah, birokrasi yang berorientasi pada satu sektor, konflik kepentingan, kurangnya prioritas, kepastian hukum, minimnya pengetahuan kedudukan wilayah dan faktor sosial lainnya, serta kurangnya informasi dan sumberdaya. Menurut Dahuri (2005), pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep penataan ruang (strategic plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan yang serasi. Keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir sekurangnya mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir diartikan sebagai suatu keadaan, dimana proses koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat tertentu (horizontal integration) dan pada semua level pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai tingkat pusat (vertical integration) Keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis. Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses iteratif dan evolusioner untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Tujuan akhir dari pengelolaan pesisir secara terpadu bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (economic growth) jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat (stakeholders), dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari.
14 Prinsip pengelolaan yang terpadu ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir pada saat ini tidak boleh mengorbankan kebutuhan sumberdaya pesisir bagi generasi yang akan datang. Prinsip ini bisa lebih efektif dilaksanakan bila pengelolaannya bersifat demokratis, transparan dan melibatkan masyarakat pesisir setempat Prinsip-prinsip tersebut saling sinergis dan melengkapi dengan pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance) yang mendasarkan pada asas partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas yang mendorong upaya perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
15
3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengambil lokasi di wilayah pesisir Kabupaten Batang, meliputi wilayah daratan dan laut. Wilayah darat mencakup kecamatan yang berbatasan dengan laut, dimana secara administratif terdapat 6 kecamatan pesisir yaitu Kecamatan Batang, Kandeman, Tulis, Subah, Banyuputih dan Gringsing, sedangkan untuk wilayah laut sejauh 4 mil. Kegiatan penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, yang dimulai pada bulan Agustus 2012 – Januari 2013.
3.2 Metode Pengambilan Data Penelitian ini bersifat deskriptif korelasional, yakni berusaha untuk menggambarkan atau mendeskripsikan secara tepat mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diteliti (Nazir 1993). Melalui pendekatan ini diharapkan untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang obyek yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Data Primer Data primer didapatkan melalui penyebaran kuesioner dan wawancara dengan responden serta melalui pengamatan langsung di lapangan. Untuk pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling atau pemilihan secara sengaja. Sampel responden diambil di 16 desa pesisir dari 6 kecamatan tersebut dengan jumlah responden 10-30 orang tiap desa. 2. Data sekunder Data sekunder dalam penelitian ini berupa peta-peta tematik, data-data kependudukan, dan berbagai bentuk peraturan/kebijakan serta kajian-kajian yang dikeluarkan pemerintah. Data sekunder diperoleh dari berbagai lembaga yang terkait seperti Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang, Bappeda Kabupaten Batang, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang dan instansi-instansi terkait lainnya.
3.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis dan pengolahan data yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini yaitu: Tujuan 1: Menilai daya dukung lingkungan dan mengevaluasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Batang Analisis daya dukung untuk wilayah daratan dilakukan dengan berbasis kemampuan lahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009, dimana untuk penentuan kelas kemampuan lahan dilakukan dengan teknik Boolean. Kemampuan fisik lahan dikelaskan kedalam 8 kelas, yaitu kelas I sampai dengan kelas VIII didasarkan pada pengaruh bersama
16 antara berbagai unsur lahan (Arsyad 2010). Adapun klasifikasi kemampuan lahan dalam tingkat kelas beserta arahan penggunaannya dijelaskan pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas Kelas
Kriteria
Pilihan penggunaan
I
Lahan ini tidak mempunyai atau hanya sedikit hambatan yang membatasi penggunaannya. Sesuai untuk berbagai penggunaan, terutama pertanian. Karakteristik lahannya antara lain: topografi hampir datar-datar, ancaman erosi kecil, kedalaman efektif dalam, drainase baik, mudah diolah, kapasitas menahan air baik, subur, tidak terancam banjir. Lahan ini mempunyai beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau memerlukan tindakan konservasi yang sedang. Pengelolaan perlu hatihati termasuk tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan. Lahan ini Mempunyai beberapa hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan lahan dan memerlukan tindakan konservasi khusus dan keduanya. Mempunyai pembatas lebih berat dari kelas II dan jika dipergunakan untuk tanaman perlu pengelolaan tanah dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan. Hambatan pada angka I membatasi lama penggunaan bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi dari pembatas tersebut. Hambatan dan ancaman kerusakan tanah lebih besar dari kelas III, dan pilihan tanaman juga terbatas. Perlu pengelolaan hati-hati untuk tanaman semusim, tindakan konservasi lebih sulit diterapkan.
Pertanian: tanaman pertanian semusim, tanaman rumput, hutan dan cagar alam
Tanaman pangan
Pertanian: tanaman smusim, tanaman rumput, padang penggembalaan,hutan produksi;hutan lindung, cagar alam. - Pertanian:tanaman semusim; tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, hutan produksi; hutan lindung dan cagar alam. - Non-pertanian: permukiman, dsb
Tanaman pangan
- Pertanian:tanaman semusim dan tanaman pertanian pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka alam. - Non-pertanian. - Pertanian:tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi; hutan lindung dan suaka alam. - Non-pertanian
Tanaman tahunan/keras
- Pertanian:tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi; hutan lindung dan cagar alam. - Non-pertanian
Peternakan, tanaman keras
II
III
IV
V
VI
Lahan ini tidak terancam erosi tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak mudah untuk dihilangkan, sehingga membatasi pilihan penggunaannya. Mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman. Terletak pada topografi datar-hampir datar tetapi sering terlanda banjir, berbatu atau iklim yang kurang sesuai. Lahan ini mempunyai faktor penghambat berat yang menyebabkan penggunaan tanah sangat terbatas karena mempunyai ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan. Umumnya terletak pada lereng curam, sehingga jika dipergunakan untuk penggembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk menghindari erosi.
Arahan ruang
Tanaman tahunan/ keras, permukiman
Tanaman tahunan/keras /peternakan
17 Tabel 1 (Lanjutan) VII
Lahan ini mempunyai faktor penghambat dan ancaman berat yang tidak dapat dihilangkan, karena itu pemanfaatannya harus bersifat konservasi. Jika digunakan untuk padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan pencegahan erosi yang berat. VIII Lahan ini sebaiknya dibiarkan secara alami. Pembatas dan ancaman sangat berat dan tidak mungkin dilakukan tindakan konservasi, sehingga perlu dilindungi. Sumber: Rustiadi et al. (2010a)
Padang rumput dan hutan produksi
Hutan produksi
Hutan lindung, rekreasi alam dan cagar alam
Hutan lindung, hutan konservasi
Analisis pendekatan kemampuan lahan dilakukan dengan analisis spasial berbasis GIS, yaitu dengan melakukan overlay peta-peta tematik seperti peta lereng, jenis tanah, dan curah hujan yang menghasilkan peta kemampuan lahan. Selanjutnya dilakukan proses overlay antara peta kemampuan lahan dengan peta RTRW Kabupaten Batang tahun 2011-2031 dan peta pemanfaatan lahan. Daya dukung lingkungan dari aspek kemampuan lahan dievaluasi berdasarkan matrik logik kesesuaian. Untuk mengetahui kondisi perairan Kabupaten Batang dinilai dari data-data kualitas perairan meliputi parameter fisika dan kimia perairan. Beberapa parameter fisika dan kimia yang digunakan antara lain: suhu, salinitas, pH, DO, ortofosfat, amonia, nitrat dan sulfida. Data-data tersebut kemudian disesuaikan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Evaluasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir dilakukan dengan melakukan tumpangtindih peta RTRW Kabupaten Batang tahun 2011-2031 dengan peta pemanfaatan lahan. Peta hasil tumpang tindih tersebut di-query berdasarkan matrik logika inkonsistensi (Lampiran 1) yang menghasilkan peta inkonsistensi. Tujuan 2: Menilai pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Batang Untuk mengetahui pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir dilakukan melalui kuesioner dan wawancara responden. Variabel yang ditanyakan kepada responden yaitu: 1) pengetahuan tentang kebijakan terkait pengelolaan pesisir, 2) keikutsertaan dalam sosialisasi/konsultasi publik RTRW, 3) pengetahuan tentang RTRW Kabupaten Batang, 4) pengetahuan tentang rencana pemanfaatan ruang, 5) penggunaan lahan, 6) pandangan terhadap penggunaan lahan dan RTRW, 7) pandangan terhadap daya dukung dan RTRW. Tujuan 3: Menganalisis tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Batang Penentuan kategori tingkat partisipasi masyarakat mengacu pada 8 tangga partisipasi masyarakat dari Arnstein (1969). Analisis dilakukan melalui penghitungan dengan cara membuat skor pada tiap pernyataan. Pada masingmasing pertanyaan terdapat 8 pilihan jawaban pertanyaan dengan skor penilaian berkisar antara 1 sampai 8, sehingga akan didapatkan skor minimum untuk tiap
18 individu yaitu 1 (1 x 1) dan skor maksimum yaitu 8 (1 x 8), selanjutnya ditentukan jarak interval kelas. Kemudian dengan menggunakan tipologi dari Arnstein maka akan didapatkan tingkat partisipasi masyarakat (Tabel 2). Tabel 2 Tingkat partisipasi berdasarkan tipologi Arnstein (1969) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tingkat Partisipasi 1 2 3 4 5 6 7 8
Kategori Manipulasi Terapi Informasi Konsultasi Penentraman Kemitraan Pendelegasian kekuasaan Kekuasaan masyarakat
Untuk mengetahui bentuk partisipasi masyarakat dilakukan melalui penyebaran kuesioner dan wawancara, yang kemudian diolah secara deskriptif. Tujuan 4: Merumuskan arahan dan strategi pengelolaan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan Analisis terhadap pengelolaan lingkungan pesisir Kabupaten Batang dilakukan berdasarkan semua hasil analisis data yang telah dilakukan pada tujuan sebelumnya dan dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari berbagai sumber yang diperoleh selama penelitian serta dari berbagai literatur pendukung, termasuk dari hasil kajian/studi yang telah dilakukan oleh pihak-pihak lain. Selanjutnya dari analisis tersebut ditentukan strategi-strategi pengelolaan lingkungan di Kabupaten Batang. Matriks data, metode analisis dan output penelitian disajikan dalam Tabel 3 dan diagram alir penelitian disajikan dalam Gambar 3. Tabel 3 Matriks Data, Metode Analisis dan Output Penelitian No
Tujuan penelitian
1.
Menilai dan mengevaluasi daya dukung lingkungan dan mengevaluasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Batang Menilai pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan dan penataaan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Batang
Peta RTRW, Peta-peta tematik
Analisa daya dukung berbasis SIG
Status daya dukung wilayah pesisir, inkonsistensi RTRW
Kuesioner
Deskriptif
Mengetahui tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Batang Merumuskan arahan dan strategi pengelolaan wilayah pesisir
Kuesioner
Skoring (tipologi Arnstein), Deskriptif Sintesis, Deskriptif
Pemahaman masyarakat thd pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir Tingkat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir Arahan dan strategi pengelolaan wilayah pesisir
2.
3.
4.
Jenis data
Hasil analisis tujuan 1,2,3
Metode analisis
Output
19
Peta kelerengan
Peta jenis tanah
Overlay
Peta curah hujan
Logika Peta pola ruang RTRW
Peta pola ruang RTRW Peta pemanfaatan Lahan
Peta pemanfaatan Lahan
Peta kemampuan lahan
Overlay
Matriks ketidak sesuaian
Peta daya dukung lingkungan
Overlay
Peta inkonsistensi RTRW
Isu lingkungan
Analisis deskriptif
Arahan dan strategi pengelolaan wilayah pesisir
Gambar 3 Diagram alir penelitian
Matriks Inkonsistensi
Analisis partisipasi masyarakat
20
4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Administrasi Kabupaten Batang merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terletak di jalur pantura. Letak Kabupaten Batang yaitu pada koordinat 06º 51' 46" dan 07º 11' 47" Lintang Selatan dan 109º 40' 19" dan 110º 03' 06" Bujur Timur. Batas wilayah administratif Kabupaten Batang adalah: Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Barat : Kotamadya Pekalongan Sebelah Timur : Kabupaten Kendal Sebelah Selatan : Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo Ibukota Kabupaten Batang terletak di ujung barat laut wilayah kabupaten, yakni tepat di sebelah timur Kabupaten/Kota Pekalongan. Jarak Kabupaten Batang ke Ibukota Provinsi Jawa Tengah (Semarang) adalah 93 km, yang dapat dicapai dalam waktu kurang lebih dua jam perjalanan darat. Kabupaten Batang dilintasi oleh jalan arteri primer (jalan negara) pantai utara Jawa yang menghubungkan Semarang-Jakarta atau sebagai perlintasan dari Jawa Barat ke Jawa Timur dan sebaliknya. Kabupaten Batang mempunyai luas wilayah sebesar 854 248.4 km2 atau 85 424.84 ha, dengan garis pantai sepanjang 38.750 km selebar 4 mil, sehingga luas wilayah laut mencapai 287.060 km2. Kondisi wilayah Kabupaten Batang merupakan kombinasi antara daerah pantai, dataran rendah dan pegunungan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nomor 27 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang, wilayah administrasi Kabupaten Batang terbagi atas 12 kecamatan yaitu Kecamatan Wonotunggal, Kecamatan Bandar, Kecamatan Blado, Kecamatan Reban, Kecamatan Bawang, Kecamatan Tersono, Kecamatan Gringsing, Kecamatan Limpung, Kecamatan Subah, Kecamatan Tulis, Kecamatan Batang dan Kecamatan Warungasem. Setelah ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pembentukan Kecamatan Kabupaten Batang, maka terjadi perubahan jumlah kecamatan di Kabupaten Batang dari 12 kecamatan menjadi 15 kecamatan yaitu Kecamatan Wonotunggal, Kecamatan Bandar, Kecamatan Blado, Kecamatan Reban, Kecamatan Bawang, Kecamatan Tersono, Kecamatan Gringsing, Kecamatan Limpung, Kecamatan Subah, Kecamatan Tulis, Kecamatan Batang, Kecamatan Warungasem, Kecamatan Kandeman, Kecamatan Banyuputih dan Kecamatan Pecalungan, dimana 6 diantaranya adalah kecamatan yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa dengan jumlah desa pantai/pesisir sebanyak 16 desa/kelurahan. Keenam kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Batang, Kecamatan Kandeman, Kecamatan Tulis, Kecamatan Subah, Kecamatan Banyuputih dan Kecamatan Gringsing (Tabel 4)
21 Tabel 4 Luas kecamatan pesisir di Kabupaten Batang No
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing Jumlah
Luas Wilayah (ha) 3 709.336 4 245.062 4 609.496 8 879.416 4 560.251 7 429.588 33 433.149
Sumber: Bappeda Kabupaten Batang (2009)
Berdasarkan data pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa kecamatan yang memilki wilayah paling luas adalah Kecamatan Subah, dengan luas wilayah 8 879.416 ha atau 26.56% dari luas keseluruhan kecamatan pesisir di Kabupaten Batang, sedangkan kecamatan yang memiliki wilayah paling kecil adalah Kecamatan Batang dengan luas wilayah 3 709.336 ha atau 11.09% dari luas keseluruhan kecamatan pesisir Kabupaten Batang. Kondisi pantai di Kabupaten Batang memiliki karakteristik fisik dan fenomena alam yang berbeda bila dibandingkan dengan pantai utara jawa lainnya, keadaan ini tentunya akan berpengaruh sebagai bahan pertimbangan yang utama dalam mengembangkan potensi yang ada. Adapun peta administrasi Kabupaten Batang disajikan dalam Gambar 4.
Gambar 4 Wilayah administrasi Kabupaten Batang
22 4.2 Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Sesuai kondisi geografisnya, Kabupaten Batang mempunyai potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang beraneka ragam sebagai pendukung pembangunan. Sumber daya alam tersebut meliputi sumber daya alam yang dapat diperbaharui seperti hutan, terumbu karang, ikan, ternak, tumbuhan, dan lain-lain, serta sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti bahan tambang, air, hujan, dan tanah. 4.2.1 Kondisi Fisik Wilayah 4.2.1.1 Jenis tanah Jenis tanah di Kabupaten Batang dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yang berbeda yaitu meliputi : tanah Aluvial coklat tua, Aluvial Hidromorf, Aluvial kelabu tua, Assosiasi andosol dan regosol coklat, Asosiasi litosol merah, Kompleks litosol merah kekuningan, Kompleks podsolik merah kekuningan, serta Litosol coklat tua kemerahan. Ditinjau dari geologinya, sebagian besar tanah di Kabupaten Batang berasal dari breksi gunung api andesit muda. Pengelompokan jenis-jenis tanah untuk kecamatan pesisir di Kabupaten Batang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis tanah di kecamatan pesisir Kabupaten Batang N o 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Tanah Aluvial coklat tua Aluvial hidromorf Aluvial kelabu tua Asso andosol coklat regosol Asso litosol merah Komplek litosol merah kekuningan Komplek potsolit merah kekuningan Litosol coklat tua kemerahan Jml wilayah (ha)
Kecamatan Tulis Subah 448.01 0.00 0.00 0.00 918.14 1 177.70 0.00 0.00
Batang 0.00 0.00 781.88 0.00
Kandeman 0.00 0.00 988.39 0.00
Banyuputih 0.00 0.00 0.00 0.00
Gringsing 0.00 688.54 0.00 1 189.66
1 986.95 786.74
2 017.43 1 143.08
1 539.87 0.00
4 856.88 0.00
3 113.54 0.00
2 769.32 0.00
0.00
0.00
1 320.50
2 254.55
1 264.65
2 788.24
40.22
55.59
269.22
524.66
166.39
0.00
3 595.78
4 204.50
4 495.74
8 813.79
4 544.58
7 435.75
Sumber: Bappeda Kabupaten Batang (2009)
Susunan tanah tersebut mempengaruhi pemanfaatan tanah yang sebagian besar ditujukan untuk budidaya hutan, perkebunan dan pertanian. Adapun penguasaan hutan dan perkebunan mayoritas di tangan negara, sedangkan pertanian baik kering maupun basah (irigasi sederhana dan irigasi teknis) dilakukan oleh warga setempat. 4.2.1.2 Ketinggian dan kelerengan Secara garis besar Kabupaten Batang terletak pada ketinggian 0-2 565 m dari permukaan air laut, namun untuk kecamatan pesisir ketinggian lahan hanya mencapai 500 m di atas permukaan laut. Kabupaten Batang memiliki relief yang bervariasi, berupa dataran rendah, dataran tinggi dan berbukit dengan pegunungan landai hingga curam dan daerah pantai. Kondisi ketinggian di kecamatan pesisir Kabupaten Batang dapat dilihat pada Tabel 6.
23
Tabel 6 Ketinggian lahan di kecamatan pesisir Kabupaten Batang No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kecamatan Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing
0-25 3 041.193 161.357 782.499 973.877 2 177.457 2 947.720
Ketinggian 25-100 100-250 668.143 859.747 2 419.599 1 192.879 1 276.526 5 730.907 1 976.187 91.418 2 268.779 2 189.969
250-500
214.519 898.106 23.120
Jumlah (ha) 3 709.336 4 560.251 4 609.496 8 879.416 4 245.062 7 429.588
Sumber: Bappeda Kabupaten Batang (2009)
Atas dasar kemiringan lahan, wilayah Kabupaten Batang merupakan daerah perbukitan yang terhampar di daerah Selatan. Secara keseluruhan wilayah Kabupaten Batang memiliki kemiringan lahan beragam, yang berkisar 0-8% sampai dengan kemiringan lebih dari 40%, sedangkan untuk wilayah kecamatan pesisir kemiringan lahan hanya mencapai 40%. Kondisi kemiringan lahan di kecamatan pesisir Kabupaten Batang dikelompokkan kedalam empat kelas yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Kemiringan lahan di kecamatan pesisir Kabupaten Batang N o 1 2 3 4 5 6
Kecamatan Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing
0-8% 3 709.336 4 010.451 2 900.672 6 344.017 3 906.406 4 898.989
Kemiringan 8-15% 15-25%
25-40%
549.800 1 507.682 985.236 338.656 1 320.339
857.936 1 210.259
201.142 692.227
Jumlah (ha) 3 709.336 4 560.251 4 609.496 8 879.416 4 245.062 7 429.588
Sumber: Bappeda Kabupaten Batang (2009)
4.2.2 Kondisi Oseanografi 4.2.2.1 Pasang surut Pasang surut (pasut) merupakan proses naik turunnya muka laut yang disebabkan oleh adanya gaya tarik bulan dan matahari. Gaya penggerak pasang surut di perairan Laut Jawa dipengaruhi oleh penetrasi gelombang panjang pasut pasut dari Samudera Pasifik yang melalui Selat Makasar yang membawa gelombang pasut bertipe diurnal dan juga dipengaruhi oleh gelombang pasut dari Samudera Hindia yang mempunyai kecenderungan bertipe pasut semidiurnal. Pengaruh astronomis seperti bentuk pantai, topografi dasar dapat memodifikasi pasang surut. Tipe pasang surut suatu perairan ditentukan oleh frekuensi air pasang dan surut dalam satu kail (24 jam). Jika perairan tersebut mengalami satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari, maka perairan tersebut tergolong bertipe pasut tunggal dan jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari maka pasutnya tergolong tipe ganda. Selain dua tipe pasang surut tersebut terdapat tipe pasang surut campuran. Di Utara Jawa, karena adanya pengaruh dari dua jenis tipe yang berbeda tersebut dan adanya perubahan kedalaman, maka amplitudo gelombang pasang mengalami percampuran sehingga perairan mempunyai tipe pasut campuran yang condong ke diurnal (tunggal) (Bappeda 2011).
24 Menurut Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL, untuk Perairan Kabupaten Batang didapatkan jenis pasang surutnya adalah tipe campuran condong ke diurnal, dimana air pasang dan surut terjadi dua kali per hari serta ada bentuk asimetris antara gelombang sinusoidal pertama dan yang kedua dengan bentuk mendekati pasut tipe diurnal (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang 2012). 4.2.2.2 Arus Laut Arus musiman di perairan pantai Kabupaten Batang mengikuti pola arus di Laut Jawa yang bergantung pada beda tinggi muka laut Samudera Pasifik dibanding dengan Samudera Hindia. Pada musim Barat yaitu bulan DesemberFebruari, arus laut di perairan secara umum bergerak dari Barat/Barat Laut ke arah Timur/Tenggara dengan kecepatan berkisar antara 0.5-0.75 m/det. Pola arus yang terjadi ini merupakan akibat dari pergerakan massa air yang berasal dari Laut Cina Selatan yang bergerak ke Selatan melewati Selat Karimata dan Selat Gaspar yang kemudian dibelokkan ke arah Tenggara karena adanya Pulau Sumatera, kemudian menyusur ke Tenggara/Timur melewati Laut Jawa menuju Laut Flores. Pola arus musiman ini juga dipengaruhi oleh adanya pola angin yang terjadi sepanjang musim barat ini, dimana angin bertiup dari Laut Cina Selatan yang bergerak ke arah Barat Daya yang kemudian dibelokkan ke Tenggara menyusur Selat Karimata dan Laut Jawa. Pola arus yang terjadi pada musim Barat yaitu massa air bergerak ke arah Timur laut menyusuri topografi pesisir perairan Jepara dengan kecepatan berkisar antara 0.5-0.65 m/det (Bappeda 2011). Pada musim peralihan Barat ke timur yaitu bulan Maret-Mei, arus laut di perairan Batang secara umum bergerak dari Barat Laut ke arah Tenggara dengan kecepatan berkisar anatara 0.3-0.5 m/det. Pola arus yang terjadi ini merupakan akibat dari pergerakan massa air yang berasal dari Laut Cina Selatan yang bergerak ke selatan melewati Selat Gasper yang kemudian dibelokkan ke arah Tenggara kemudian menyusur ke Tenggara/Timur melewati Laut Jawa menuju Laut Flores. Pola arus yang terjadi pada musim peralihan ini yaitu massa air masih bergerak menyusur pantai ke arah Timur Laut menyusuri topografi pesisir perairan Jepara dengan kecepatan berkisar antara 0.25-0.40 m/det. Pada musim Timur yaitu bulan Juni-Agustus, arus laut di perairan Semarang secara umum bergerak dari Timur ke arah Barat/Barat Laut dengan kecepatan berkisar antara 0.3-0.5 m/det. Pola arus yang terjadi ini merupakan akibat dari pergerakan massa air yang berasal dari Samudera Pasifik yang melewati Selat Makasar dan Laut Banda yang diteruskan melalui Laut Flores menuju perairan Utara Jawa yang selanjutnya bergerak melewati Selat Karimata dan Selat Gasper menuju Laut Cina Selatan. Pola arus musiman ini dipengaruhi pula oleh adanya pola angin yang terjadi sepanjang musim timur ini. Pola arus yang terjadi di sepanjang pesisir Batang, massa air bergerak dari arah Timur Laut menuju Barat Daya menyusur mengikuti bentuk topografi pantai dengan kecepatan berkisar antara 0.3-0.45 m/det (Bappeda 2011). Pada musim peralihan Timur ke Barat yaitu buln September-Nopember, arus laut di perairan Batang secara umum bergerak dari Barat/Barat Laut ke arah Timur/Tenggara dengan kecepatan berkisar antara 0.25-0.5 m/det. Fenomena ini sama halnya pada musim peralihan dari musim Barat ke Timur, dimana pola arus yang terjadi ini merupakan akibat pergeseran massa air yang berasal dari Laut
25 Cina Selatan yang bergerak ke Selatan melewati Selat Gasper yang kemudian dibelokkan ke arah Tenggara, kemudian menyusur ke Tenggara/Timur melewati Laut Jawa menuju Laut Flores. Namun terdapat fenomena juga bahwa terdapat pola arus di selatan Pulau Kalimantan yang bergerak ke arah Barat menyusur Selat Karimata. Adanya pola yang berbeda tersebut akibatnya menghambat (melemahkan) kecepatan dan mempengaruhi arah arus yang terjadi di perairan Jepara. Pola arus yang terjadi pada musim peralihan ini yaitu massa air masih bergerak menyusur pantai ke arah Timur Laut menyusuri topografi pesisir perairan Batang dengan kecepatan berkisar antara 0.15-0.40 m/det (Bappeda 2011).
4.2.2.3 Gelombang Gelombang laut merupakan energi pokok dalam proses pergerakan sedimen di pantai dan perairan dangkal. Gelombang merupakan energi utama pengangkutan sedimen ke arah pantai lepas dalam bentuk arus balik dan sejajar pantai dalam bentuk arus sepanjang pantai. Beberapa faktor yang mempengaruhi gelombang adalah kecepatan arah angin bertiup dan panjang angin. Karakteristik gelombang di Laut Jawa bervariasi terhadap musim. Pada musim Barat, tinggi gelombang lebih besar daripada musim Timur. Tinggi gelombang pada musim Barat 0.44-1.83 m dengan periode 2-5 detik, sedangkan tinggi gelombang pada musim Timur 0.35-1.06 m dengan periode yang sama yaitu 2-5 detik (Hadi et al. 2005 dalam Bappeda 2011). 4.2.2.4 Bathimetri Bathimetri perairan Kabupaten Batang mempunyai kemiringan dasar pantai yang landai. Kedalaman 2 m masih dapat ditemui hingga jarak 1 000 m dari garis pantai. Kedalaman 5 m ditemui hingga jarak 1 500 m dari garis pantai, sedangkan pada jarak 2 300 m dari garis pantai berkedalaman 10 m dan kedalaman 45 m berada pada jarak 28.481 m dari garis pantai. Kontur kedalaman laut hampir sejajar pantai mengarah utara–barat daya. Hal ini mengindikasikan arah datang gelombang hampir tegak lurus pantai (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang 2012). 4.2.3 Sumberdaya Hayati 4.2.3.1 Terumbu karang Terumbu karang/pantai berbatu merupakan ekosistem khas di perairan laut tropis dan merupakan lingkungan laut yang memiliki peran penting secara ekologis. Desa di Kabupaten Batang yang mempunyai ekosistem karang atau pantai berbatu/terumbu karang massif antara lain: Desa Ujungnegoro dengan panjang garis pantai 1.3 km, Desa Kedawung dengan panjang garis pantai 5 km, dan Desa Ketanggan dengan panjang garis pantai 3 km. Pantai Celong merupakan pantai berbatu, dimana batu tersebut berfungsi sebagai penahan arus dan gelombang, meredam abrasi, serta sebagai habitat biota laut tipe Psammophil (menyukai pantai berpasir) dan Lithophil (menyukai pantai berbatu). Pantai berbatu juga ditemui di antara Pantai Ujungnegoro dengan Pantai Sigandu, yang terkenal dengan sebutan Karang Maeso. Karang Maeso terletak pada 06° 53’ 7.1” LS dan 109° 47’ 14.7” BT, dari garis pantai jaraknya kurang
26 lebih 500 m. Di perairan sekitarnya dijumpai banyak ubur-ubur yang menandai bahwa daerah tersebut kualitas airnya baik dan belum banyak tercemar. Selain itu juga terdapat Karang Kretek yang terletak ±1.2 km dari pantai desa Ponowareng Kecamatan Tulis dan secara geografis berada pada 06° 53’ 31.8” LS dan 109° 49’ 7.3” BT. Berdasarkan monitoring terumbu karang pada akhir tahun 2007 yang dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) di perairan Ujungnegoro didapatkan persentase tutupan karang (hard coral) mencapai 15.70%. Jenis hewan karang yang ditemukan di lokasi adalah Porites dan Favites. persentase tutupan karang mati beralga (DCA) di Karang Kretek berkisar 43.873.2%. Sementara hasil monitoring terumbu karang tahun 2012 menunjukan bahwa tutupan karang hidup di perairan Karang Kretek semakin menurun dibandingkan dengan hasil monitoring tahun 2007. Sebagian besar dasar perairan Karang Kretek didominasi oleh karang mati beralga. Biota invertebrata yang ditemukan antara lain Spon, Gastropoda, Sea Whip, Cacing laut dan Ascidian, Bivalvia (Tiram Kapak). Spesies ikan karang di Perairan Karang Kretek yang ditemukan antara lain dari Famili Pomacentridae, Siganidae, Labridae, Lethrinidae, Pempheridae, Serranidae dan Engraulidae. Ikan-ikan karang tersebut memanfaatkan keberadaan Karang Kretek sebagai habitat hidupnya mengingat sebagian besar dasar Perairan Ujung Negoro di tutupi lumpur. Sementara itu, di Perairan Karang Maesa ditemukan ikan karang ekonomis penting dari Famili Serranidae, Famili Lethrinidae (yaitu Lethrinus sp.), ikan teri dan sejenisnya (yaitu Stolephorus sp. dan Parapriachantus sp.) (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang 2012). 4.2.3.2 Mangrove Ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Batang terdapat di pantai Desa Denasri Kulon, Karangasem Utara, Kasepuhan dan Klidang Lor (Kecamatan Batang), Dusun Sigandu-Desa Depok (Kecamatan Kandeman), Desa Sengon dan Kuripan (Kecamatan Subah), Desa Kedawung (Kecamatan Banyuputih), Desa Ketanggan Sawangan, Dusun Seklayu-Desa Sidorejo, dan Desa Yosorejo (Kecamatan Gringsing). Spesies yang menyusun eksosistem mangrove di Kabupaten Batang dapat digolongkan dalam 3 komponen, yaitu mangrove komponen major, minor dan asosiasi. Spesies yang termasuk dalam komponen major yang ditemukan di lapangan antara lain Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Avicennia marina dan Bruguiera cylindrica. Spesies ini menyusun sebagian besar vegetasi mangrove yang ada di Kabupaten Batang. Spesies komponen minor yang ada di ekosistem mangrove yang ditemukan di Kabupaten Batang hanya Excoecaria agallocha. Spesies asosiasi yang ditemukan antara lain waru, ketapang dan cemara laut. Waru dan Ketapang dapat ditemukan di Pantai Kuripan, sedangkan cemara laut banyak ditemukan di pantai Dusun Sigandu-Desa Depok. Hasil interpretasi citra satelit menunjukkan penurunan luasan mangrove yang terjadi antara tahun 2003-2006, yaitu dari 363.842 ha pada tahun 2003 menjadi 28.810 ha (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang 2011). Penurunan luasan ekosistem mangrove ini, antara lain disebabkan oleh aktivitas
27 penebangan yang dilakukan oleh pemilik tanah, karena akan dimanfaatkan untuk kegiatan yang lain. 4.2.4 Sosial Budaya Jumlah penduduk Kabupaten Batang berdasarkan hasil registrasi akhir tahun 2011 tercatat sejumlah 712 881 jiwa yang terdiri dari 356 066 jiwa penduduk lakilaki dan 356 814 jiwa penduduk perempuan. Dari sejumlah jiwa tersebut, tercatat penduduk di wilayah pesisir Kabupaten Batang sejumlah 330 996 jiwa, dengan jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Batang yaitu sejumlah 112 308 jiwa atau sebesar 33.93% dari jumlah penduduk di kecamatan pesisir. Jumlah penduduk di kecamatan pesisir menurut jenis kelamin berdasarkan perhitungan tahun 2011 selengkapnya disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Jumlah penduduk di kecamatan pesisir menurut jenis kelamin tahun 2011 No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kecamatan Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing Jumlah
Laki-Laki 56 151 22 914 17 296 23 718 16 616 28 060 164 755
Perempuan 56 157 23 583 17 851 24 072 16 768 27 810 166 241
Jumlah 112 308 46 497 35 147 47 790 33 384 55 870 330 996
Sumber: BPS Kabupaten Batang (2012)
Jumlah penduduk menurut kelompok umur di Kabupaten Batang tahun 2011 tertinggi pada kelompok usia 10 sampai 14 tahun, yaitu mencapai 77 067 jiwa, dengan rincian 9 348 jiwa laki-laki dan 37 719 jiwa perempuan. Dari catatan umum tersebut, jumlah penduduk menurut kelompok umur tahun 2011 di wilayah pesisir Kabupaten Batang tertinggi pada kelompok usia 10 sampai 14 tahun, yaitu 36 500 jiwa dengan rincian 18 638 jiwa laki-laki dan 17 862 jiwa perempuan. Laju pertumbuhan penduduk tahun 2010-2011 di wilayah pesisir Kabupaten Batang untuk Kecamatan Batang sebesar 0.49, Kecamatan Kandeman sebesar 0.23, Kecamatan Tulis sebesar 0.18, Kecamatan Subah sebesar -0.10, Kecamatan Banyuputih sebesar 0.44 dan Kecamatan Gringsing sebesar 0.38. Dibidang ketenagakerjaan, berdasarkan perhitungan tahun 2011 sektor pertanian masih menjadi gantungan hidup tenaga kerja di Kabupaten Batang pada umumnya dan di kecamatan pesisir pada khususnya. Sebanyak 19.53% dari jumlah penduduk di kecamatan pesisir bekerja pada sektor pertanian dalam arti luas (pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan, dan pertanian lainnya). Sektor lain yang banyak diminati adalah sektor perdagangan sebesar 8.76% dan sektor industri sebesar 8.43%. Di bidang pendidikan, persentase penduduk berumur 5 tahun keatas dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan terdapat 35.86% penduduk yang tidak/belum tamat SD, tamat SD 41.77%, tamat SMP 12.78%, tamat SMA/SMK 7.60% serta 1.99% tamat Diploma, Akademi dan Perguruan Tinggi.
28 Dibidang keagamaan, suasana kerukunan kehidupan beragama terasa sejuk dan kondusif terbukti sampai sepuluh tahun terakhir belum pernah terjadi konflik antar pemeluk agama dan kepercayaan. Pemeluk agama Islam sebanyak 99.44% tertinggi di antara agama-agama lainnya. Disusul pemeluk agama Protestan sebanyak 0.28%, agama Katolik 0.25% serta pemeluk agama Budha dan Hindu sebesar 0.01%. Kehidupan adat-istiadat yang ada di Kabupaten Batang, khususnya pada kecamatan pesisir, tergolong masih kental. Di beberapa kecamatan, mata pencaharian penduduknya relatif sama, yaitu bekerja pada sektor perikanan. Oleh karena itu, pola kehidupan diantara mereka juga tidak akan berbeda jauh, sehingga perilaku masyarakatnya masih tergolong pada masyarakat pedesaan, karena mereka lebih mengutamakan dan menjunjung tinggi kebersamaan dan kekeluargaan, terkecuali pada Kecamatan Batang. Pada kecamatan ini, perilaku masyarakatnya merupakan perpaduan antara masyarakat pedesaan dan perkotaan (kosmopolit), yang mana masyarakatnya sudah memulai pada sektor perdagangan jasa dan industri. Hal tersebut dipengaruhi pula dengan jumlah penduduknya yang paling banyak dibanding dengan kecamatan pesisir lainnya.
4.3 Kebijakan Pembangunan Pemerintah Daerah 4.3.1 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Batang Tahun 2012-2017 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Batang tahun 2012-2017 telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012. Visi dalam RPJMD Kabupaten Batang yaitu: “Terwujudnya pemerintahan yang bersih, efektif, efisien dan profesional, untuk penguatan ekonomi daerah, dan pencapaian kesejahteraan masyarakat Batang.” Visi ini mengandung pengertian bahwa pemerintahan kabupaten harus bisa bekerja secara efektif, bersih dan profesional sehingga dapat memperkuat perekonomian daerah dan mewujudkan masyarakat Kabupaten Batang yang sejahtera. Untuk mewujudkan visi tersebut, terdapat misi yang akan dilakukan pemerintah. Rumusan misi dalam rancangan dokumen RPJMD ini sebagai penjabaran atas visi, yaitu : 1. Mengembangkan penataan dan pembinaan birokrasi di semua tingkatan demi terciptanya pemerintahan yang baik, bersih dan berpelayanan publik yang prima. 2. Menciptakan iklim investasi yang baik dan mendukung usaha pengembangan ekonomi yang berorientasi pada peningakatan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat dan peningkatan pendapatan daerah. 3. Meningkatkan pembangunan infrastruktur untuk menunjang peningkatan ekonomi daerah dan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. 4. Meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat supaya dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
29 4.3.2 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Batang Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka seluruh peraturan dibidang tata ruang harus mengacu pada undang-undang tersebut. Pada tahun 2009 Kabupaten Batang menyusun Review RTRW dan ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Batang Tahun 2011-2031 yang mengacu Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2029. 4.3.2.1 Tujuan dan Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Batang Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten Batang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah kabupaten yang memiliki daya tarik bagi investasi khususnya bidang industri yang bertumpu pada sektor pertanian dengan tetap memperhatikan kondisi lingkungan yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Batang guna mencapai tujuan penataan ruang wilayah kabupaten dalam kurun waktu 20 tahun. Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten yang disusun dalam rangka mencapai tujuan penataan ruang wilayah kabupaten, meliputi: a. Kebijakan Pengembangan Struktur Ruang Wilayah Kabupaten; b. Kebijakan Pengembangan Pola Ruang Wilayah Kabupaten; c. Kebijakan Penetapan Kawasan Strategis Daerah. Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten yang disusun dalam rangka mencapai tujuan penataan ruang wilayah kabupaten, yang mencakup kebijakan tersebut di atas adalah sebagai berikut : 1. Pengembangan sistem perkotaan untuk peningkatan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah dan pelayanan perkotaan yang merata dan berhierarki; 2. Pengembangan sistem perdesaan untuk pengembangan pusat-pusat pelayanan perdesaan sesuai dengan hierarki dan jangkauan pelayanannya; 3. Pengembangan sistem jaringan prasarana transportasi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi secara terpadu dan merata ke seluruh wilayah dan mendukung aksesibilitas kawasankawasan yang selama ini kurang berkembang; 4. Pengembangan sistem jaringan prasarana energi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana energi secara terpadu dan merata sesuai dengan pengembangan wilayah serta pengembangan sistem penyediaan energi yang berwawasan lingkungan; 5. Pengembangan sistem jaringan prasarana telekomunikasi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana telekomunikasi secara terpadu dan merata sesuai dengan pengembangan wilayah; 6. Pengembangan sistem jaringan prasarana sumberdaya air untuk kepentingan irigasi, air minum, industri, perikanan dan pariwisata dengan tetap memperhatikan pelestarian dan keseimbangan ekosistem; 7. Pengembangan prasarana persampahan untuk peningkatan pelayanan pengelolaan persampahan, khususnya kawasan perkotaan dan tempat-tempat strategis;
30 8. 9.
10. 11. 12.
13.
14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
25. 26.
27.
Pengembangan prasarana pengolah limbah untuk pengendalian dan pengelolaan limbah industri dan rumah tangga; Pengembangan prasarana drainase untuk peningkatan fungsi jaringan induk dan jaringan drainase buatan sesuai dengan daya dukung daerah tangkapan airnya; Pengembangan fasilitas sosial untuk peningkatan kuantitas dan kualitas fasilitas sosial serta sesuai dengan jangkauan pelayanannya; Pengembangan kawasan lindung untuk perwujudan dan pemeliharaan kelestarian kawasan hutan lindung; Pengembangan kawasan lindung untuk perwujudan dan pengendalian kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya yang berupa kawasan resapan air; Pengembangan kawasan lindung untuk perwujudan dan pengendalian kawasan lindung setempat yang berupa sempadan sungai dan saluran irigasi, kawasan sekitar mata air; Pengembangan kawasan lindung untuk perwujudan dan pemeliharaan kelestarian kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; Pengembangan kawasan lindung untuk pengendalian kawasan rawan bencana yang meliputi kawasan rawan tanah longsor; Pengembangan kawasan budidaya untuk perwujudan dan pemanfaatan kawasan peruntukan hutan produksi; Pengembangan kawasan budidaya untuk perwujudan dan pemanfaatan kawasan peruntukan hutan rakyat; Pengembangan kawasan budidaya untuk perwujudan dan pemanfaatan kawasan peruntukan pertanian; Pengembangan kawasan budidaya untuk perwujudan dan pemanfaatan kawasan peruntukan perikanan; Pengembangan kawasan budidaya untuk perwujudan dan pemanfaatan kawasan peruntukan pertambangan; Pengembangan kawasan budidaya untuk perwujudan dan pemanfaatan kawasan peruntukan industri; Pengembangan kawasan budidaya untuk perwujudan dan pemanfaatan kawasan peruntukan pariwisata; Pengembangan kawasan budidaya untuk perwujudan dan pemanfaatan kawasan peruntukan permukiman; Pengembangan kawasan strategis untuk pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian daerah yang produktif, efisien, dan mampu bersaing; Pengembangan kawasan strategis untuk pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi; Pengembangan kawasan strategis untuk pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam. Peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara.
31 4.3.2.2 Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten Batang Rencana struktur ruang wilayah kabupaten memberikan gambaran tentang susunan, sistem pusat kegiatan wilayah kabupaten, hierarki pelayanan, dan pembagian fungsi kota serta kawasan perkotaan dalam memberikan layanan bagi kawasan perdesaan di sekitarnya yang berada dalam wilayah kabupaten, serta perletakan jaringan prasarana wilayah yang menunjang keterkaitannya serta memberikan layanan bagi fungsi kegiatan yang ada dalam wilayah kabupaten, terutama pada pusat-pusat kegiatan/perkotaan yang ada. Rencana pengembangan struktur ruang wilayah Kabupaten Batang meliputi: 1. Sistem pusat pelayanan, yang terdiri dari: a. sistem perkotaan; b. sistem perdesaan. 2. Sistem jaringan prasarana wilayah, meliputi: a. sistem prasarana utama; dan b. sistem prasarana lainnya. 4.3.2.3 Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten Batang Rencana pola ruang wilayah kabupaten merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam wilayah kabupaten yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Kawasan lindung di Kabupaten Batang direncanakan terdiri dari beberapa kategori sebagai berikut: 1. kawasan hutan lindung; 2. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; 3. kawasan perlindungan setempat; 4. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; 5. kawasan rawan bencana alam; 6. kawasan lindung geologi; 7. kawasan lindung lainnya. Kawasan budidaya adalah kawasan di luar kawasan lindung yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya di Kabupaten Batang meliputi: 1. kawasan peruntukan hutan produksi; 2. kawasan hutan rakyat; 3. kawasan peruntukan pertanian; 4. kawasan peruntukan perikanan; 5. kawasan peruntukan pertambangan; 6. kawasan peruntukan industri; 7. kawasan peruntukan pariwisata; 8. kawasan peruntukan permukiman; 9. kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan. 4.3.2.4 Penetapan Kawasan Strategis Kawasan strategis wilayah kabupaten merupakan wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan, karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sumber daya alam, teknologi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. Penetapan kawasan strategis Kabupaten Batang meliputi:
32 kawasan strategis untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi, kawasan strategis pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi, dan kawasan strategis daya dukung lingkungan hidup. Penetapan kawasan strategis di Kabupaten Batang selengkapnya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Penetapan kawasan strategis di Kabupaten Batang No 1.
2.
3.
Pengelompokan Kawasan Strategis
Rincian dan Lokasi Kawasan Strategis
Kawasan Koridor Jl. Anjir-Warungasem (Kec.Batang, Warungasem) Kawasan Pelabuhan Niaga dan Sekitarnya (Kec. Batang) Kawasan Pengembangan Pariwisata (Wisata Alam Pagilaran Kecamatan Blado, Wisata Pantai Sigandu – Ujungnegoro Kecamatan Batang, Kandeman) Kawasan Peruntukan Industri (Kecamatan Gringsing, Banyuputih, Subah, Tulis dan Kandeman) Kawasan Peruntukan Industri Kelautan (Celong/Plabuhan Kecamatan Banyuputih) Kawasan Strategis Kawasan Peruntukan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Pendayagunaan Sumber Daya (Ujungnegoro Kec. Kandeman) Alam dan Teknologi Tinggi Kawasan Strategis Daya Hutan Lindung/Kawasan Dataran Tinggi Dieng Dukung Lingkungan (Kec. Wonotunggal, Bandar, Blado, Reban dan Bawang) Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kawasan Strategis Pertumbuhan Ekonomi
Sumber: Dokumen RTRW Kabupaten Batang 2011-2031
4.3.3 Rencana Strategis Wilayah Pesisir (RSWP) Kabupaten Batang Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pemerintah Kabupaten Batang telah menyusun dokumen rencana yang pertama yakni Rencana Strategis Wilayah Pesisir (RSWP) dan telah ditetapkan melalui Peraturan Bupati Nomor 16 Tahun 2011. Rencana strategis wilayah pesisir disusun sebagai dokumen yang dinamis untuk jangka waktu perencanaan dua puluh tahun, yaitu dimulai tahun 2011 sampai 2030. Penyusunan dokumen rencana strategis wilayah pesisir dimaksudkan sebagai panduan bagi semua instansi dan pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Batang. Visi Rencana Strategis Wilayah Pesisir Kabupaten Batang 2011-2030 adalah: “Pesisir Batang Produktif dan Lestari 2030”. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, maka misi rencana strategis wilayah pesisir Kabupaten Batang adalah : 1. Menjadikan wilayah pesisir sebagai aset yang dikelola secara terpadu. 2. Meningkatkan daya dukung dan pengelolaan kelestarian lingkungan pesisir 3. Meningkatkan produksi dan produktivitas masyarakat pesisir 4. Menumbuhkan perekonomian yang terintegrasi dan ramah lingkungan 5. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya masyarakat pesisir 6. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir.
33 Dalam dokumen RSWP disebutkan isu strategis pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Batang antara lain: 1. Egosektoral SKPD 2. Pengembangan industri di daerah hulu dan hilir 3. Partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan pesisir 4. Pencemaran perairan, tanah dan udara 5. Sanitasi lingkungan Tempat Pelelangan dan Pengolahan ikan 6. Abrasi, akresi, sedimentasi, rob, banjir, dan penyempitan alur sungai 7. Kerusakan hutan mangrove 8. Industri (Perikanan, PLTU/industri teknologi tinggi, dan sebagainya) di wilayah pesisir 9. Sarana dan prasarana perekonomian di wilayah pesisir 10. Kelembagaan dan sumberdaya masyarakat pesisir 11. Penegakan dan pentaatan hukum di wilayah pesisir 12. Penurunan produksi sumberdaya pesisir
34
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Evaluasi Daya Dukung dan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir 5.1.1 Pola ruang wilayah pesisir Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai. Kabupaten Batang sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan Laut Jawa, sehingga secara administratif memiliki 6 kecamatan pesisir. Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Kabupaten Batang telah melakukan penataan ruang untuk seluruh wilayah kabupaten, yang telah disahkan melalui Peraturan Daerah nomor 7 tahun 2011. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tersebut, maka Peraturan Daerah ini hanya mengatur wilayah pesisir untuk daratannya saja, sedangkan untuk wilayah perairannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, Kabupaten Batang belum mempunyai peraturan daerah untuk mengatur penataan ruang wilayah perairan. Berdasarkan dokumen RTRW Kabupaten Batang tahun 2011-2031, rencana pola ruang di wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Batang terbagi menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pemanfaatan ruang di kecamatan pesisir Kabupaten Batang dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang, diketahui bahwa alokasi pemanfaatan untuk kawasan lindung seluas 2 159.78 ha atau sekitar 6.41% dari luasan total, sedangkan kawasan budidaya peruntukannya sekitar 31 537.73 ha atau 93.59%. Luasan alokasi pola ruang berdasarkan lokasi di kecamatan pesisir Kabupaten Batang disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Pola ruang wilayah pesisir dalam RTRW Kabupaten Batang berdasarkan lokasi/kecamatan No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kecamatan Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing Jumlah
Budidaya ha % 3 779.54 11.22 3 987.44 11.83 4 072.66 12.09 8 212.08 24.37 4 062.85 12.06 7 423.16 22.03 31 537.73 93.59
Lindung ha 86.06 75.09 332.25 932.16 171.23 562.99 2 159.78
% 0.26 0.22 0.99 2.77 0.51 1.67 6.41
Jumlah 3 865.60 4 062.52 4 404.91 9 144.24 4 234.08 7 986.15 33 697.51
Peruntukan kawasan lindung di wilayah pesisir Kabupaten Batang antara lain: hutan cagar alam, kawasan hutan bakau, sempadan sungai, sempadan pantai dan rawan tanah longsor, sedangkan kawasan budidaya terdiri dari: hutan produksi, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, sawah tadah hujan, pertambangan, perikanan, wisata pantai, peruntukan industri kawasan, permukiman desa dan permukiman kota (Tabel 11).
35 Tabel 11 Alokasi peruntukan ruang wilayah pesisir berdasarkan pola ruang RTRW Kabupaten Batang No
Pola ruang RTRW
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Hutan cagar alam Hutan bakau Rawan tanah longsor Sempadan pantai Sempadan sungai Hutan produksi Perkebunan Pertanian lahan kering Pertanian lahan basah Sawah tadah hujan Pertambangan Perikanan Wisata pantai Industri Permukiman desa Permukiman kota Jumlah
Budidaya ha %
3 955.77 8 785.64 1 721.08 5 120.58 50.20 3.22 608.76 130.38 1 045.08 3 093.12 7 007.17 31 537.73
Lindung ha % 92.41 0.27 23.22 0.07 635.08 1.88 349.49 1.04 1 076.30 3.19
11.74 26.07 5.11 15.20 0.15 0.01 1.81 0.39 3.10 9.18 20.79 93.59 2 159.78
6.41
Jumlah ha 92.41 23.22 635.08 349.49 1 076.30 3 955.77 8 785.64 1 721.08 5 120.58 50.20 3.22 608.76 130.38 1 045.08 3 093.12 7 007.17 33 697.51
Berdasarkan luasan tersebut dapat diketahui bahwa wilayah pesisir di Kabupaten Batang lebih difokuskan untuk kawasan budidaya, dimana peruntukan dominan adalah perkebunan, yaitu seluas 8 785.64 ha. Dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang 2011-2031 disebutkan bahwa pengembangan kawasan peruntukan perkebunan di Kabupaten Batang didasarkan pada kondisi eksisting kawasan dan kontribusi tiap komoditas terhadap produksi nasional. Secara keruangan, peruntukan kawasan perkebunan ini sebagian besar terdapat di Kecamatan Subah dan Gringsing (Gambar 5). Alokasi peruntukan ruang dominan di wilayah pesisir Kabupaten Batang selanjutnya adalah peruntukan kawasan permukiman kota seluas 7 007.34 ha. Alokasi kawasan permukiman kota terbesar adalah di Kecamatan Batang dan sebagian berada di Kecamatan Kandeman. Kecamatan Batang merupakan ibukota Kabupaten Batang, dalam rencana tata ruang hampir seluruh wilayahnya dialokasikan sebagai kawasan permukiman kota untuk 20 tahun mendatang. Kebijakan ini dibuat dengan pertimbangan proyeksi pertumbuhan penduduk sampai dengan tahun 2029 dan jumlah kebutuhan permukiman di kecamatan ini paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Namun disayangkan untuk alokasi peruntukan kawasan permukiman kota ini, harus dilakukan alih fungsi lahan karena pemanfaatan/penggunaan lahan eksisting di wilayah ini sebagian besar merupakan lahan pertanian (sawah irigasi) dan perkebunan. Peruntukan hutan produksi dan pertanian lahan basah di kawasan pesisir Kabupaten Batang mempunyai persentase yang hampir sama dan cukup luas. Alokasi peruntukan kawasan pertanian lahan basah seluas 5 120.58 ha. Kawasan ini diperuntukkan bagi penanaman padi secara terus menerus. Dalam RTRW Kabupaten Batang, alokasi kawasan pertanian lahan basah berada menyebar di hampir seluruh wilayah kabupaten pada masing-masing kecamatan (kecuali Kecamatan Batang).
36
Peruntukan kawasan hutan produksi dialokasikan seluas 3 955.77 ha. Berdasarkan dokumen RTRW Kabupaten Batang, kawasan hutan produksi adalah kawasan hutan yang dibudidayakan dengan tujuan diambil hasil hutannya baik hasil hutan kayu maupun non kayu. Kawasan ini merupakan kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya pembangunan, mendukung pengembangan industri dan ekspor. Kawasan hutan produksi meskipun merupakan kawasan budidaya tetapi juga memiliki fungsi perlindungan sebagai daerah resapan air. Kawasan ini tidak boleh dialihfungsikan untuk kegiatan lain, dan harus dikendalikan secara ketat. Hutan produksi di Jawa Tengah yang dikelola Perum PERHUTANI meliputi hutan jati dan hutan rimba. Hutan jati dibudidayakan untuk diambil hasil hutan kayunya, sedangkan hutan rimba dibudidayakan untuk diambil hasil hutan non kayu meliputi: damar, rotan dan hasil hutan lainnya. Secara keruangan peruntukan huutan produksi dialokasikan di Kecamatan Subah dan Gringsing, dan sebagian kecil di Kecamatan Tulis. Peruntukan kawasan budidaya lainnya di wilayah pesisir Kabupaten Batang luasnya relatif tidak begitu luas. Apabila dibandingkan dengan peruntukan kawasan budidaya, peruntukan kawasan lindung di wilayah pesisir masih sangat terbatas luasannya. Jumlah luasan terbanyak untuk kawasan lindung adalah sempadan sungai sebesar 1 076.30 ha. Selain penataan ruang sebagai kawasan lindung dan budidaya, pemerintah Kabupaten Batang juga menetapkan kawasan strategis yang sebagian besar dialokasikan di wilayah pesisir. Penetapan kawasan strategis di wilayah pesisir meliputi kawasan strategis dari sisi pertumbuhan ekonomi, kawasan strategis pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi dan kawasan strategis daya dukung lingkungan hidup. Kawasan strategis dari sisi pertumbuhan ekonomi meliputi: 1) kawasan pelabuhan niaga yang dialokasikan di Kecamatan Batang, kawasan pengembangan wisata (wisata pantai Sigandu-Ujungnegoro di Kecamatan Batang dan Kandeman), kawasan peruntukan industri yang dialokasikan di Kecamatan Gringsing, Banyuputih, Subah, Tulis dan Kandeman; 2) kawasan strategis pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi adalah kawasan Peruntukan Pembangkit Listrik Tenaga Uap, direncanakan di Kecamatan Kandeman; dan 3) kawasan strategis daya dukung lingkungan hidup yaitu kawasan konservasi perairan berada di perairan Kecamatan Batang dan Kandeman. Kabupaten Batang juga telah mengalokasikan salah satu kawasan pesisir dan lautnya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yakni Kawasan Konservasi Perairan Ujungnegoro-Roban, yang telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati nomor: 523/283/2005 tentang Penetapan kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang. Selanjutnya kawasan konservasi perairan ini telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor: KEP.29/MEN/2012 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang di Provinsi Jawa Tengah yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya pesisir yang masih tersisa, terutama untuk perlindungan ekosistem terumbu karang di wilayah perairan Ujungnegoro-Roban. Kawasan
37 konservasi perairan ini terbagi menjadi beberapa zona, yaitu: zona inti, zona pemanfaatan terbatas dan zona pemanfaatan lainnya. Zonasi dalam kawasan ini mempunyai potensi yang saling berkaitan. Zona inti merupakan kawasan perlindungan terhadap habitat penting di Kabupaten Batang. Zona inti terdapat pada ekosistem karang Maeso. Ekosistem karang Maeso memiliki potensi sebagai habitat biota sedentary dan potensi larva sebagai daerah nursery ground, serta berperan sebagai perisai pantai yang dapat meredam ancaman gelombang dan arus. Zona pemanfaatan terbatas adalah kawasan yang dijadikan tempat penelitian, pendidikan, wisata maupun perlindungan habitat. Selain itu untuk mendukung zona inti di Karang Maeso perlu disangga oleh zona pemanfaatan terbatas yakni sub-zona penyangga. Zona pemanfaatan lainnya meliputi wilayah perairan dan daratan di Ujungnegoro dan sekitarnya. Pada zona lainnya ini terdapat stok ikan yang cukup untuk kegiatan perikanan tangkap tradisional serta terdapat lahan yang cukup sesuai untuk kegiatan pertanian dan budidaya perikanan (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang 2012). Untuk wilayah perairan Kabupaten Batang, selain dialokasikan sebagai kawasan konservasi perairan, pemanfataan lainnya adalah sebagai kawasan wisata pantai dan daerah tangkapan ikan bagi nelayan setempat, namun nelayan ini adalah nelayan yang menggunakan peralatan-peralatan sederhana/nelayan tradisional. Rencana pola ruang wilayah pesisir Kabupaten Batang, dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Pola ruang wilayah pesisir Kabupaten Batang
38 5.1.2 Penggunaan/pemanfaatan lahan wilayah pesisir Penggunaan/pemanfaatan lahan adalah bentuk fisik atau cerminan aktivitas manusia yang terkait dengan fungsi suatu lahan, yang ditentukan oleh kondisi fisik dan non fisik dan menggambarkan sistem pengelolaannya (Rustiadi et al. 2010). Pemanfaatan lahan dominan di wilayah pesisir Kabupaten Batang adalah perkebunan (43.42%), disusul dengan sawah irigasi (25.46%) dan permukiman (11.99%), sedangkan untuk pemanfaatan lahan lainnya relatif kecil. Secara keruangan, lahan perkebunan sebagian besar berada di sebelah timur yaitu di Kecamatan Subah, Banyuputih dan Gringsing, dimana kurang lebih 50% dari luas wilayahnya merupakan lahan perkebunan. Komoditi tanaman perkebunan di Kabupaten Batang mencakup tanaman karet, kapuk/randu, kakao dan lain sebagainya. Kawasan perkebunan ini sebagian besar dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara IX Siluwok. Pemanfaatan lahan untuk sawah irigasi tersebar merata di 6 kecamatan. Kecamatan Batang, Kandeman dan Gringsing merupakan kecamatan dengan pemanfaatan lahan untuk sawah irigasi terluas dibandingkan dengan kecamatan lainnya dan sebagian besar merupakan sawah irigasi teknis. Secara keruangan, lahan permukiman sebagian besar berada di wilayah barat dengan pemanfaatan lahan terbesar berada di Kecamatan Batang dan Kandeman, yaitu kurang lebih seperempat dari luas wilayahnya. Kecamatan Batang merupakan ibukota Kabupaten Batang, sedangkan Kecamatan Kandeman lokasinya berdekatan dengan Kecamatan Batang, sehingga pemanfaatan lahan untuk permukiman sebagian besar terpusat di kedua wilayah ini. Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir beserta luasannya disajikan pada Tabel 12 dan secara keruangan ditampilkan pada Gambar 6. Tabel 12 Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Pemanfaatan Air tawar Belukar/semak Rumput Penggaraman Empang Sawah irigasi Sawah tadah hujan Perkebunan Tegalan Permukiman Gedung Jumlah
Luas ha 333,04 929,08 225,84 12,04 833,16 8.578,19 2.106,42 14.632,86 1.975,47 4.040,94 30,65 33.697,69
% 0,99 2,76 0,67 0,04 2,47 25,46 6,25 43,42 5,86 11,99 0,09 100,00
39
Gambar 6 Pemanfaatan/penggunaan lahan di wilayah pesisir 5.1.3 Kemampuan Lahan Kelas kemampuan lahan adalah adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas atau penghambat yang sama jika digunakan untuk pertanian pada umumnya (Sys et al. 1991 dalam Arsyad 2011). Kelas kemampuan lahan memiliki tingkat kesamaan faktor-faktor pembatas dengan 8 kelas kemampuan lahan yang dikelompokkan ke dalam kelas I sampai dengan kelas VIII. Berdasarkan hasil analisis kemampuan lahan untuk kecamatan pesisir, maka wilayah pesisir Kabupaten Batang terbagi atas 4 kelas kemampuan lahan, yaitu kemampuan lahan kelas II, III, IV dan VI. Luasan kelas kemampuan lahan II, III, IV dan VI berturut-turut adalah 5 988.38 ha (17.77%), 20 156.45 ha (59.82%), 6 655.91 ha (19.75%) dan 896.95 ha (2.66%). Luasan masing-masing kemampuan lahan disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Kemampuan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Batang No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kecamatan
II
Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing
ha 883.25 982.57 1 270.94 790.58 0.00 2 061.04 5 988.38
% 2.62 2.92 3.77 2.35 0.00 6.12 17.77
Kelas kemampuan lahan III IV ha % ha % 2 982.52 8.85 0.00 0.00 2 778.55 8.25 301.42 0.89 1 568.62 4.65 1 317.24 3.91 5 864.80 17.40 1 840.02 5.46 3 739.25 11.10 494.82 1.47 3 222.70 9.56 2 702.41 8.02 20 156.45 59.82 6 655.91 19.75
VI ha 0.00 0.00 248.11 648.84 0.00 0.00 896.95
Jumlah % 0.00 0.00 0.74 1.93 0.00 0.00 2.66
3 865.76 4 062.55 4 404.91 9 144.24 4 234.08 7 986.15 33 697.69
40 Kemampuan lahan kelas II dengan kemiringan lereng >3%-8% memiliki tingkat erosi yang ringan dan kedalaman tanah yang sedang, masih memiliki pilihan penggunaan yang relatif banyak tetapi untuk penggunaan lahan yang sangat intensif sangat tidak disarankan pada kelas kemampuan lahan ini. Kemampuan lahan kelas III memiliki pilihan penggunaan lahan yang lebih sedikit dari kelas kemampuan lahan II karena memiliki faktor pembatas yang lebih berat seperti kemiringan >8%-15%, tingkat erosi sedang dan kedalaman tanahnya dangkal. Kemampuan lahan kelas IV memiliki faktor pembatas yang lebih berat lagi, seperti memiliki kemiringan lereng >15%-30% dan kepekaan erosi yang sangat tinggi. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), untuk kemampuan lahan kelas VI sudah tidak cocok digunakan untuk penggunaan lahan pertanian karena memiliki faktor pembatas yang berat, yaitu kemiringan >30%-45% dan telah tererosi berat. Secara keruangan, penyebaran klasifikasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Gambar 7. Kelas kemampuan lahan II terdapat di Kecamatan Batang, Kandeman, Tulis dan sebagian di Kecamatan Gringsing. Kelas kemampuan lahan III menyebar di semua kecamatan, sedangkan untuk kelas kemampuan lahan IV terdapat di Kecamatan Kandeman, Tulis, Subah, Banyuputih dan Gringsing. Untuk kelas kemampuan lahan VI hanya terdapat di 2 kecamatan saja yaitu Kecamatan Tulis dan Subah.
Gambar 7 Kelas kemampuan lahan wilayah pesisir Kabupaten Batang 5.1.4 Evaluasi daya dukung wilayah pesisir berbasis kemampuan lahan terhadap RTRW Kabupaten Batang Evaluasi daya dukung dalam kaitan RTRW dilihat berdasarkan rencana pola ruang dikaitkan dengan kemampuan lahan. Evaluasi ruang dikaitkan dengan
41 kemampuan lahan ditujukan untuk melihat sejauh mana perencanaan alokasi sudah mempertimbangkan kemampuan lahan. Berdasarkan kemampuan lahan, alokasi pola ruang wilayah pesisir dalam RTRW sebagian besar sudah menunjukkan kesesuaian yaitu seluas 33 264.68 ha atau sebesar 98.72%, sedangkan alokasi peruntukan yang tidak sesuai seluas 432.97 ha atau sebesar 1.28%. Peruntukan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya berada di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Tulis (3.90%) dan Subah (2.86%) (Tabel 14). Tabel 14 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap kemampuan lahan berdasarkan lokasi No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kecamatan Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing Jumlah
Sesuai ha 3 865.75 4 062.52 4 233.28 8 882.90 4 234.08 7 986.15 33 264.68
% 100.00 100.00 12.56 25.94 100.00 100.00
Tidak sesuai ha % 0.00 0.00 0.00 0.00 261.34 3.90 171.63 2.86 0.00 0.00 0.00 0.00 575.89
Jumlah 3 865.75 4 062.52 4 404.91 9 144.24 4 234.08 7 986.15 33 697.66
Dari 16 tipe peruntukan, terdapat 4 peruntukan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya, yaitu perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah dan permukiman desa (Tabel 15). Tabel 15 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap kemampuan lahan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Pola ruang Hutan cagar alam Hutan bakau Rawan tanah longsor Sempadan pantai Sempadan sungai Hutan produksi Perkebunan Pertanian lahan kering Pertanian lahan basah Sawah tadah hujan Pertambangan Perikanan Wisata pantai Industri Permukiman desa Permukiman kota Jumlah
Sesuai ha % 92.41 100.00 23.22 100.00 635.08 100.00 344.49 100.00 1 076.30 100.00 3 955.77 100.00 8 545.64 92.27 1 606.41 93.34 5 118.60 15.19 50.20 100.00 3.22 100.00 608.76 100.00 130.38 100.00 1 045.08 100.00 3 016.76 97.53 7 007.31 100.00 33 264.68 98.29
Tidak sesuai ha % 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 240.00 2.73 114.67 6.66 1.98 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 76.33 0.23 0.00 0.00 575.89 1.28
Jumlah 92.41 23.22 635.08 344.49 1 076.30 3 955.77 8 785.64 1 721.08 5 120.58 50.20 3.22 608.76 130.38 1 045.08 3 093.12 7 007.31 33 697.66
Kendala yang menjadi penyebab ketidaksesuaian untuk peruntukan tersebut adalah lahan yang berlereng curam yaitu berada pada lereng dengan kecuraman
42 25-40%. Lereng yang curam memunculkan potensi membuat tanah menjadi tidak stabil jika tetap dijalankan peruntukan yang ada. Namun jika kendala tersebut dianggap dapat dikendalikan maka zonasi menjadi sesuai. Kendala yang ada dapat ditanggulangi dengan ilmu dan teknologi. Secara keruangan daerah yang tidak sesuai kemampuannya perlu dilakukan perubahan kawasan atau perubahan pengelolaan tanah. Secara keruangan hasil evaluasi kesesuaian pola ruang dalam RTRW dengan kemampuan lahan ditampilkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap kemampuan lahan 5.1.5 Kondisi Perairan Kondisi perairan Kabupaten Batang ditampilkan dalam Gambar 8. Untuk mengetahui kondisi perairan didapatkan dari data-data parameter fisika dan kimia perairan yang disesuaikan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, khususnya baku mutu air laut untuk biota laut. Beberapa parameter fisika dan kimia yang digunakan antara lain: suhu, salinitas, pH, DO, ortofosfat, amonia, nitrat dan sulfida (Tabel 16). Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam menganalisis suatu kualitas air, karena suhu dapat mempengaruhi seluruh kehidupan biota perairan. Kondisi suhu perairan lebih banyak dipengaruhi oleh temperatur udara yang terabsorbsi ke dalam air. Pengambilan data parameter fisika dan kimia perairan ini dilakukan pada Bulan Juni 2012, dimana pada bulan ini di Indonesia terjadi musim Timur yang mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim kering/kemarau dan umumnya suhu perairan relatif tinggi. Suhu di perairan Kabupaten Batang berada pada kisaran nilai 30.00-31.30 0C. Mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan
43 Hidup nomor 51 tahun 2004, maka kisaran suhu perairan di Kabupaten Batang masih dikategorikan sesuai bagi kelangsungan biota perairan di dalamnya. Kisaran nilai untuk parameter kimia salinitas, pH dan oksigen terlarut (DO) di perairan Kabupaten Batang berturut-turut adalah: 25.00-31.00 0/00; 7.40-8.20 dan 5.80-7.30 mg/l. Nilai baku mutu untuk salinitas yaitu berada pada kondisi alami sampai dengan 34.00 0/00, baku mutu pH yaitu 7.00-8.50 dan baku mutu untuk oksigen terlarut yaitu >5.000 mg/l (KLH 2004). Berdasarkan nilai baku mutu, kisaran nilai untuk salinitas, pH dan DO di perairan Kabupaten Batang masih layak bagi pertumbuhan biota perairan. Tabel 16 Data parameter perairan di Kabupaten Batang No
Bujur
Lintang
Suhu (0C)
Salinitas (0/00)
pH
DO (mg/l)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
366251 366036 364716 363334 363517 361644 360078 360413 367634 368155 371904 373623 376018 378229 381389 383783 384460 385995 388911 390445
9238492 9238921 9238703 9238976 9239591 9239862 9239981 9240780 9238065 9238251 9236694 9236299 9235905 9235419 9236225 9236138 9235187 9235160 9234951 9235292
31.100 31.200 31.200 31.300 31.200 31.400 31.400 31.100 31.100 30.900 31.000 31.100 31.100 30.500 30.000 30.000 30.400 31.000 30.000 30.000
29.000 31.000 29.000 30.000 31.000 25.000 31.000 31.000 30.000 31.000 21.000 29.000 31.000 29.000 31.000 31.000 30.000 30.000 28.000 30.000
7.480 8.010 7.500 8.000 7.580 7.590 7.680 8.100 7.670 7.920 7.380 7.450 7.400 7.590 8.230 8.010 7.500 7.730 7.980 8.000
6.500 6.300 6.800 7.000 7.100 7.300 7.300 5.900 6.600 6.200 6.300 6.300 5.800 6.100 6.400 7.200 7.300 6.700 6.500 5.800
Orto Fosfat (mg/l) 0.014 0.013 0.013 0.024 0.007 0.016 0.011 <0.005 0.015 0.011 0.027 0.014 <0.005 0.009 <0.005 <0.005 <0.005 <0.005 0.017 0.006
Amonia (mg/l)
Nitrat (mg/l)
Sulfida (mg/l)
0.109 0.113 0.192 0.244 0.155 0.225 0.276 0.236 0.238 0.146 0.308 0.356 0.354 0.167 0.027 0.022 0.022 0.034 0.113 0.034
0.022 0.029 0.012 0.055 0.165 0.028 0.055 0.029 0.055 0.165 0.029 0.055 0.014 0.055 0.020 0.029 0.055 0.165 0.061 0.029
<0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001
Sumber: Loka PSPL Serang, KKP (2012)
Kadar Amonia di perairan Kabupaten Batang menunjukkan nilai yang bervariasi, yaitu berkisar antara 0.022-0.356 mg/l. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004, kadar amonia di sebagian besar perairan Kabupaten Batang masih berada di bawah baku mutu, namun ada lokasi yang menunjukkan kadar amonia sudah melebihi baku mutu, meskipun nilainya tidak terlalu jauh melebihi baku mutu yaitu di sekitar perairan Kecamatan Tulis dan Subah (Gambar 9a). Unsur nitrogen (N) dan fosfor (P) merupakan unsur hara (nutrisi) yang diperlukan oleh fitoplankton maupun tumbuhan laut lainnya untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Unsur-unsur tersebut ada dalam bentuk nitrat dan fosfat. Nilai nitrat di perairan Kabupaten Batang berkisar antara 0.012-0.165 mg/l (Gambar 9b). Apabila mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 yang menyebutkan nilai baku mutu untuk nitrat adalah sebesar 0.008 mg/l, maka kadar nitrat di perairan Kabupaten Batang sudah melebihi baku mutu. Untuk kadar ortofosfat di perairan Kabupaten Batang, nilainya berkisar antara <0.005-0.020 mg/l (Gambar 9c). Secara umum kadar ortofosfat di perairan Kabupaten Batang nilainya masih berada di bawah baku mutu, yaitu 0.015 mg/l
44 (KLH 2004). Namun ada beberapa lokasi yang nilai ortofosfatnya melebihi baku mutu, yaitu berada di perairan Kecamatan Batang, Tulis dan Gringsing. Nilai ortofosfat yang tinggi ini disebabkan oleh tingginya kadar ortofosfat yang terkandung dalam air sungai yang bermuara ke laut, yang berasal dari limbah, baik dari rumah tangga maupun industri.
Grafik Sebaran Nilai Amonia di Perairan Kabupaten Batang
Grafik Sebaran Nilai Nitrat di Perairan Kabupaten Batang
0,4 0,3 Nilai (mg/l)
Nilai (mg/l)
0,35 0,25 0,2 0,15
: Baku Mutu
0,1 0,05
: Baku Mutu
0
0,18 0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920
Titik Pengamatan
Titik Pengamatan : Baku Mutu
: Baku Mutu
(a)
(b) Grafik Sebaran Nilai Ortofosfat di Perairan Kabupaten Batang 0,03
: Baku Mutu
Nilai (mg/l)
0,025 0,02 0,015 0,01 0,005 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920
Titik Pengamatan : Baku Mutu
(c)
Gambar 9 Sebaran nilai Amonia, Nitrat dan Ortofosfat di perairan Kabupaten Batang : Baku Mutu 5.1.6 Evaluasi penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan Dalam kaitan dengan penggunaan lahan, semakin tinggi kelas kemampuan lahannya maka semakin sedikit pilihan penggunaan lahannya, dengan pertimbangan kualitas lahan yang semakin buruk dan memiliki faktor pembatas yang besar. Semakin rendah kelas kemampuan lahannya maka kualitas lahannya semakin baik dan memiliki faktor pembatas yang kecil, sehingga sesuai untuk banyak penggunaan lahan. Menurut Rustiadi et al. 2010a, penggunaan lahan yang dievaluasi dengan kemampuan lahan menunjukkan bahwa lahan yang mempunyai kemampuan lahan tinggi akan mempunyai pilihan penggunaan lahan yang lebih banyak, sedangkan kemampuan lahan rendah mempunyai pilihan penggunaan lahan terbatas.
45 Hasil overlay peta penggunaan lahan dengan kemampuan lahan didapatkan luas kesesuaian penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan sebesar 32 831.79 ha (97.43%) dan sebesar 865.70 ha (2.57%) menunjukkan ketidaksesuaian (Tabel 17). Ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan kemampuan lahannya yaitu penggunaan lahan untuk perkebunan, tegalan, permukiman, sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Ketidaksesuaian penggunaan lahan ini disebabkan karena terletak pada lereng yang curam. Tabel 17 Evaluasi penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan No
Penggunaan lahan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Air tawar Belukar/semak Rumput Penggaraman Empang Sawah irigasi Sawah tadah hujan Perkebunan Tegalan Permukiman Gedung Jumlah
Sesuai ha % 333.04 0.99 929.08 2.76 225.84 0.67 12.04 0.04 833.16 2.47 8 577.02 25.45 2 088.93 6.20 14 131.93 41.94 1 719.50 5.10 3 950.60 11.72 30.65 0.09 32 831.79 97.43
Tidak sesuai ha % 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.97 0.00 17.49 0.05 500.93 1.49 255.97 0.76 90.34 0.27 0.00 0.00 865.70 2.57
Jumlah 333.04 929.08 225.84 12.04 833.16 8 577.99 2 106.42 14 632.86 1 975.47 4 040.94 30.65 33697.49
Secara keruangan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan tersebut menyebar di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Tulis (0.74%) dan Subah (1.92%), sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 10. Daerah yang berwarna merah adalah daerah yang penggunaannya tidak sesuai dengan kemampuannya.
Gambar 10 Evaluasi penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan
46 5.1.7 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap penggunaan lahan Hasil overlay antara peta penggunaan lahan dengan peta pola ruang RTRW menunjukkan inkonsistensi penggunaan lahan wilayah pesisir terjadi sebesar 25.65% dari luasan total. Hal ini berarti bahwa lebih dari 70% penggunaan lahan di wilayah pesisir masih sesuai dengan peruntukan dalam RTRW atau dapat dikatakan penggunaan lahan pada umumnya masih konsisten dengan peruntukan RTRW. Tabel 18 menyajikan evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap penggunaan lahan. Tabel 18 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap penggunaan lahan No
Pola ruang RTRW
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Hutan cagar alam Hutan bakau Rawan tanah longsor Sempadan pantai Sempadan sungai Hutan produksi Perkebunan Pertanian lahan kering Pertanian lahan basah Sawah tadah hujan Pertambangan Perikanan Wisata pantai Industri Permukiman desa Permukiman kota Jumlah
Konsisten ha % 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 19.58 0.06 93.05 0.28 93.58 0.28 8 063.04 23.93 1 312.45 3.89 3 705.58 11.00 46.42 0.14 0.00 0.00 574.15 1.70 0.03 0.00 1 045.08 3.10 3 093.12 9.18 7 007.17 20.79 25 053.23 74.35
Inkonsisten ha % 92.41 0.27 23.22 0.07 635.08 1.88 329.91 0.98 983.25 2.92 3 862.19 11.46 722.60 2.14 408.63 1.21 1 415.00 4.20 3.79 0.01 3.22 0.01 34.61 0.10 130.35 0.39 0.00 0.00 000 0.00 0.00 0.00 8 644.27 25.65
Jumlah 92.41 23.22 635.08 349,49 1 076,30 3 955,77 8 785,64 1 721.08 5 120.58 50.21 3.22 608.76 130.38 1 045.08 3 093.12 7 007.17 33 697.51
Inkonsistensi pola ruang RTRW terhadap penggunaan lahan terbesar secara umum adalah peruntukan hutan produksi yaitu sebesar 11.46% dari luasan total. Peruntukan hutan produksi saat ini sebagian besar masih digunakan sebagai perkebunan, permukiman, sawah irigasi, tegalan, sawah tadah hujan, semak/belukar dan rumput. Untuk kawasan lindung, peruntukan lahan untuk sempadan sungai dan hutan cagar alam juga menunjukkan nilai inkonsisten yang tinggi, dimana kawasan tersebut masih digunakan untuk perkebunan, sawah, tegalan dan permukiman (Lampiran 1). Pola ruang di wilayah pesisir seperti peruntukan hutan bakau, sempadan pantai, wisata pantai dan perikanan juga menunjukkan inkonsistensi yang cukup tinggi terhadap penggunaan lahan. Peruntukan lahan untuk kawasan hutan bakau saat ini masih digunakan untuk perkebunan dan sawah irigasi, sedangkan untuk sempadan pantai lebih dari 90% dari luasannya digunakan untuk penggunaan lain, seperti sawah irigasi, empang, permukiman, perkebunan dan tegalan (Lampiran 1). Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena peruntukan kedua kawasan tersebut berfungsi sebagai kawasan lindung di wilayah pesisir. Peruntukan kawasan budidaya di wilayah pesisir yang menunjukkan inkonsistensi terbesar adalah peruntukan wisata dan perikanan, dimana sebagian masih digunakan untuk perkebunan, sawah dan permukiman (Lampiran 1).
47 Secara keruangan inkonsistensi pola ruang RTRW terhadap penggunaan lahan disajikan pada Gambar 11. Nilai inkonsistensi tertinggi terdapat di Kecamatan Subah sebesar 41.18%, disusul dengan Kecamatan Gringsing sebesar 25.57% dan Kecamatan Tulis sebesar 23.15% dari luasan. Nilai inkonsistensi terendah terdapat di Kecamatan Batang yaitu sebesar 9.04%.
Gambar 11 Inkonsistensi pola ruang RTRW terhadap pemanfaatan lahan
5.1.8 Permasalahan lingkungan di wilayah pesisir Dari berbagai data yang diperoleh dan hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan hampir seluruh wilayah pesisir di Kabupaten mengalami permasalahan lingkungan yang sama seperti kerusakan mangrove, abrasi maupun rob. Wilayah pesisir Kabupaten Batang secara umum memiliki potensi alam yang sama dan juga menyimpan potensi bencana yang hampir serupa, namun dengan tingkat kerusakan yang bervariasi. Bencana alam yang sering terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Kabupaten Batang adalah erosi (abrasi) pantai, banjir dan rob. Secara umum, tingkat kerusakan ekosistem mangrove (bakau) di seluruh wilayah pesisir Kabupaten Batang dikategorikan sudah rusak dengan jumlah tutupan yang tidak begitu luas, keberagaman jenisnya pun sudah tidak banyak lagi (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang 2012). Hasil interpretasi citra satelit menunjukkan penurunan luasan mangrove yang terjadi antara tahun 20032006, yaitu dari 363.84 ha pada tahun 2003 menjadi 28.81 ha pada tahun 2006 (Dokumen RSWP Kabupaten Batang 2011). Akibat kerusakan hutan mangrove tersebut, pantai di Kabupaten Batang terabrasi sehingga bibir atau garis pantainya bergeser mencapai 200-300 meter dari sebelumnya.
48 Penyebab kerusakan ekosistem mangrove tersebut sebagian besar oleh kegiatan budidaya perikanan yang kurang peduli terhadap pelestarian ekosistem mangrove. Penyebab lainnya adalah kurang terkoordinasinya pembangunan di wilayah pesisir, banyaknya pembangunan kontruksi yang menjorok ke laut tanpa mengindahkan keadaan hidrodinamika perairan laut. Dalam RTRW Kabupaten Batang 2011-2031, kawasan lindung untuk hutan bakau ditetapkan di kawasan pantai Kecamatan Subah. Abrasi atau disebut juga erosi pantai adalah proses pengikisan pantai oleh kekuatan gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi dapat disebabkan oleh faktor alam dan bukan alam (kegiatan manusia). Faktor alam yang berperan bagi terjadinya abrasi adalah peningkatan daya gempur gelombang dan arus yang disebabkan naiknya paras (muka) laut (sea level rise). Kenaikan muka air laut ini merupakan dampak yang timbul akibat fenomena pemanasan global (Global Warming). Abrasi juga dapat terjadi akibat kegiatan manusia yang sifatnya merusak seperti pengambilan batu dan pasir di pesisir secara berlebihan serta penebangan pohon hutan pantai atau hutan mangrove. Berdasarkan data yang ada maupun pengamatan visual tentang keadaan pantai Kabupaten Batang, sebagian telah mengalami kerusakan yang cukup parah. Dari panjang pantai 38,75 km, kerusakan pantai mencapai 19,35%. Kerusakan pantai terpanjang terdapat di Desa Klidang Lor, Kecamatan Batang sepanjang 1,5 km, termasuk di dalamnya Pantai Sigandu. Sekitar 1 km Pantai Sigandu terkena abrasi yang merusak tanaman peneduh dan tanaman pantai lainnya (Dinas Kelautan dan Perikanan 2011). Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Batang (2011) dalam Loka PSPL Serang (2012) menunjukkan bahwa pantai di Kabupaten Batang sepanjang 19.13 km atau 32.84 ha telah mengalami abrasi. Dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang 2011-2031 disebutkan kawasan rawan abrasi di Kabupaten Batang ditetapkan berdasarkan potensi kejadian abrasi yang sering terjadi pada wilayah tertentu di beberapa pantai, yaitu daerah pantai yang masuk dalam wilayah Desa Denasri Kulon, Karangasem Utara dan Desa Klidang Lor Kecamatan Batang; Desa Depok Kecamatan Kandeman; Desa Kedungsegog Kecamatan Tulis dan Desa Kedawung Kecamatan Banyuputih. Bencana lainnya yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Batang adalah adanya rob (air pasang) yang semakin meningkat intensitas dan frekuensinya, sehingga dampaknya sampai ke arah daratan dan menggenangi permukiman penduduk, fasilitas pendidikan dan infrastruktur umum yang mengakibatkan terjadinya lingkungan kumuh. Masalah banjir dan rob (gelombang pasang) secara garis besar disebabkan oleh keadaan alam dan ulah campur tangan manusia sehingga dalam pemecahannya tidak hanya dihadapkan pada masalah-masalah teknis saja tetapi juga oleh masalah-masalah yang berhubungan dengan kepadatan penduduk yang melampaui batas. Curah hujan yang cukup tinggi dan fenomena kenaikan muka air laut (Sea Level Rise) akibat pemanasan global (Global Warming) serta penurunan tanah (Land Subsidence) merupakan faktor penyebab yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir dan rob. Faktor lainnya yang ikut berpengaruh terjadinya banjir dan rob adalah tersumbatnya saluran drainase dan sungai oleh sampah. Kawasan rawan banjir dan rob di Kabupaten Batang ditetapkan berdasarkan potensi kejadiaan banjir dan rob yang sering terjadi pada wilayah tertentu, yaitu di
49 beberapa tempat yang masuk dalam wilayah Kecamatan Batang, Subah, Gringsing dan Kecamatan Banyuputih (Dokumen RTRW Kabupaten Batang 2011-2031).
5.2 Pemahaman Masyarakat terhadap Pengelolaan dan Penataan Ruang Wilayah Pesisir di Kabupaten Batang Selama ini muncul anggapan bahwa pengetahuan dan pengertian masyarakat tentang sumberdaya pesisir dan laut masih minim. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ditelaah pandangan dan penilaian masyarakat mengenai wilayah pesisir berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka. Persepsi responden terhadap pengelolaan wilayah pesisir dalam penelitian ini didefinisikan berdasarkan pemahaman responden terhadap wilayah pesisir dan pengelolaannya. Adapun hasil jawaban responden disajikan pada Tabel 19 dan Tabel 20. Tabel 19 Pemahaman/pengetahuan masyarakat terkait kebijakan pemerintah No Kec 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing Rata-rata
kebijakan Ya Tdk 30.00 70.00 36.67 63.33 46.67 53.33 46.67 53.33 26.67 73.33 23.33 76.67 35.00 65.00
sosialisasi Ya Tdk 15.00 85.00 36.67 63.33 36.67 63.33 13.33 86.67 20.00 80.00 16.67 83.33 23.06 76.94
rtrw Kab Batang Ya Tdk 17.50 82.50 33.33 66.67 30.00 70.00 13.33 86.67 20.00 80.00 23.33 76.67 22.92 77.09
rencana pruntukan lahan Ya Tdk 25.00 75.00 46.67 53.33 46.67 53.33 30.00 70.00 26.67 73.33 23.33 76.67 33.06 66.94
Berkaitan dengan kebijakan mengenai pengelolaan wilayah pesisir yang sudah dibuat oleh pemerintah, lebih dari 50% responden mengatakan tidak mengetahui. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah dapat disebabkan kurangnya sosialisasi dan keterbukaan dari pemerintah. Suatu kebijakan biasanya berisi aturan-aturan maupun laranganlarangan yang harus dipatuhi dan sudah semestinya harus disebarluaskan agar dapat diketahui oleh masyarakat sehingga dapat meminimalkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran. Berdasarkan tata kelola yang baik (good governance), salah satu asas/prinsip penting yang harus dijalankan oleh pemerintah yaitu transparansi. Transparansi berarti keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Prinsip ini memiliki 2 aspek, yaitu: (a) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (b) hak masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya (Bappenas dan Depdagri 2002). Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal balik antara
50 pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Kurangnya keterbukaan pemerintah dan minimnya informasi yang diberikan kepada masyarakat, menyebabkan kebijakan-kebijakan yang dibuat banyak tidak diketahui masyarakat secara umum. Terkait kegiatan sosialisasi, dari semua responden sebanyak 76.94% menjawab bahwa mereka tidak pernah mengikuti sosialisasi/konsultasi publik mengenai rencana tata ruang wilayah Kabupaten Batang, hanya sebesar 23.06% responden yang pernah mengikuti kegiatan ini. Kegiatan sosialisasi/konsultasi publik mengenai rencana tata ruang memang telah dilakukan oleh pemerintah, namun biasanya hanya mengundang perangkat desa, tokoh masyarakat setempat maupun perwakilan dari kelompok masyarakat saja, sedangkan bagi masyarakat umum biasanya sangat jarang yang menghadirinya dan tampaknya masih sangat jarang masyarakat yang mau hadir karena inisiatif dan kesadaran pribadi, sehingga sebagian besar responden juga tidak mengetahui tentang rencana tata ruang wilayah Kabupaten Batang maupun rencana pemanfaatan ruang di wilayah mereka. Tabel 20 Pemahaman/pengetahuan masyarakat terkait penggunaan lahan No
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing Rata-rata
penggunaan lahan Ya Tdk 50.00 50.00 40.00 60.00 53.33 46.67 56.67 43.33 46.67 53.33 40.00 60.00 47.78 52.22
penggunaan lahan vs rtrw Ya Tdk 60.00 40.00 53.33 46.67 66.67 33.33 46.67 53.33 40.00 60.00 46.67 53.33 55.22 47.78
daya dukung vs rtrw Ya Tdk 27.50 72.50 36.67 63.33 50.00 50.00 36.67 63.33 40.00 60.00 37.14 62.86 38.00 62.00
Penggunaan/pemanfaatan lahan di wilayah pesisir sangat ditentukan oleh masyarakat yang menempati wilayah tersebut. Berdasarkan rata-rata jawaban dari responden di 6 kecamatan, hampir 50% responden menyatakan bahwa mereka mengetahui penggunaan lahan di wilayah mereka, artinya masyarakat cukup mengerti dan mengenal kondisi wilayah mereka. Secara umum penggunaan/pemanfaatan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Batang cenderung tidak berbeda, yaitu untuk pertanian, perkebunan dan permukiman. Selanjutnya mengenai penggunaan lahan, sebanyak 55.22% responden menjawab bahwa penggunaan lahan saat ini sudah sesuai dengan rencana tata ruang. Namun terkait daya dukung lingkungan, sebanyak 62.00% responden menganggap bahwa perencanaan tata ruang di Kabupaten Batang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Berkaitan dengan kegiatan pembangunan, meskipun menurut masyarakat kegiatan pembangunan masih belum sesuai dengan tata ruang, namun masyarakat mengakui bahwa kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah akan berdampak positif secara ekonomi terutama terhadap kegiatan/mata pencaharian mereka sehari-hari, seperti pembangunan infrastruktur jalan, pembangunan pelabuhan dan pembangunan rel ganda. Sementara untuk pembangunan pembangkit listrik yang direncanakan akan dibangun di sekitar perairan
51 Ujungnegoro dan sekitarnya, sebagian masyarakat mengatakan mereka tidak setuju. Kelompok masyarakat yang menolak rencana pembangunan ini sebagian besar adalah kelompok nelayan, terutama nelayan-nelayan kecil. Mereka berpendapat jika pembangunan ini dilaksanakan akan mengurangi hasil tangkapan/pendapatan mereka bahkan kemungkinan akan kehilangan mata pencaharian mereka sebagai nelayan, dikarenakan perairan tersebut merupakan tempat mereka mencari ikan. Sebagian kelompok lain berpendapat tidak setuju dengan rencana pembangunan pembangkit listrik karena di dekat perairan tersebut merupakan kawasan konservasi perairan yang merupakan daerah perlindungan bagi biota-biota laut di dalamnya seperti terumbu karang maupun jenis-jenis ikan tertentu, sehingga dengan adanya rencana pembangunan di kawasan tersebut dapat berpengaruh terhadap habitat biota-biota tersebut.
5.3 Tingkat dan Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir di Kabupaten Batang 5.3.1 Tingkat Partisipasi Masyarakat terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir Analisis tingkat partisipasi masyarakat dilakukan untuk mengetahui derajat keterlibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pesisir, termasuk kegiatan terkait penataan ruang wilayah pesisir. Derajat keterlibatan masyarakat tersebut diukur dari variabel-variabel tingkat kehadiran dalam pertemuan terkait perencanaan kegiatan dan keterlibatan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan pesisir. 5.3.1.1 Analisis tingkat kehadiran dalam pertemuan berkaitan dengan perencanaan kegiatan Analisis tingkat kehadiran dalam pertemuan berkaitan dengan perencanaan program/kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah. Untuk menganalisis tingkat kehadiran dalam pertemuan digunakan skala penilaian berisi 8 pernyataan yang mengacu pada teori Arnstein (1969) yaitu delapan tangga partisipasi masyarakat. Kedelapan pernyataan tersebut adalah: a. Hadir karena dipaksa; b. Hadir sekedar memenuhi undangan; c. Hadir untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikan pendapat; d. Hadir untuk memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat tapi pendapatnya tidak diperhitungkan; e. Hadir dan memberikan pendapat namun hanya sedikit pendapat yang diperhitungkan; f. Hadir dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara; g. Hadir dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan; dan h. Hadir dan mampu membuat keputusan. Untuk analisis tingkat partisipasi kehadiran dalam pertemuan secara keseluruhan dari 6 kecamatan disajikan dalam Tabel 21. Tabel 21 Tingkat partisipasi dalam kehadiran pertemuan No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kecamatan Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing
Kategori Informasi Informasi Informasi Informasi Konsultasi Informasi
52
Tingkat partisipasi dalam kehadiran pertemuan terkait perencanaan kegiatan menunjukkan sebagian besar tingkat partisipasi berada pada tahap informasi, kecuali untuk Kecamatan Banyuputih tingkat partisipasi berada pada tahap konsultasi. Tahap informasi berarti informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi tidak diberikan kesempatan melakukan tanggapan balik (feed back), sedangkan tahap konsultasi berarti sudah ada penjaringan aspirasi masyarakat tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi atau dapat dikatakan bahwa keputusan tetap berada di tangan pemerintah. Dalam kegiatan penyusunan suatu kebijakan merupakan kewajiban dan tanggungjawab bagi pemerintah untuk melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat dalam proses penyusunannya. Keterlibatan masyarakat untuk berperan dalam penyusunan suatu kebijakan merupakan hak masyarakat sebagai warga negara yang secara hukum sudah diatur dalam undang-undang. Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam penyusunan suatu kebijakan karena akan menghasilkan kebijakan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Proses penyusunan rencana kebijakan yang melibatkan masyarakat juga menjamin bahwa masyarakat akan mendapatkan manfaat dari perencanaan tersebut. Dengan demikian masyarakat akan merasa memiliki dan berkewajiban untuk mendukung rencana tersebut. Dari hasil analisis, tingkat partisipasi masyarakat terkait perencanaan kegiatan, baik tingkat informasi maupun konsultasi, masih termasuk dalam tingkat partisipasi yang rendah meskipun menurut pemerintah sudah melibatkan masyarakat. Dalam perencanaan program-program yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir Pemerintah sudah memberikan informasi kepada masyarakat, seperti: musrenbang, konsultasi publik maupun sosialisasi. Namun kegiatan-kegiatan tersebut terkesan hanya sebagai formalitas. Masyarakat diberikan kesempatan untuk menyampaikan usulan, namun usulan-usulan tersebut tidak semua terakomodasi dan terealisasi dan pada akhirnya keputusan tetap berada di tangan pemerintah (eksekutif dan legislatif). Gumilar (2012) berpendapat bahwa saat ini masih banyak dijumpai fakta di lapangan yang beranggapan bahwa peran serta masyarakat semata-mata sebagai penyampaian informasi (information public), penyuluhan, bahkan sekedar public relation agar suatu kegiatan dapat berjalan tanpa hambatan. Informasi yang disampaikan oleh pemerintah hanya sampai pada kelompok masyarakat tertentu/terbatas saja dan cenderung kurang transparan. Padahal proses penyusunan rencana kebijakan yang tidak transparan dan partisipasif berpotensi untuk terjadinya konflik pada saat implementasinya. 5.3.1.2 Analisis tingkat partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan berkaitan dengan program pengelolaan wilayah pesisir Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan berkaitan dengan program pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan membuat skala penilaian berdasarkan 8 tangga Arnstein. Skala penilaian yang digunakan yaitu: a. Terlibat karena terpaksa; b. Terlibat sekedarnya saja; c. Terlibat tanpa mendapat kesempatan menyampaikan ide-ide; d. Terlibat dan berkesempatan menyampaikan ide tapi tidak diperhitungkan; e. Terlibat tapi
53 hanya sedikit ide yang diperhitungkan; f. Terlibat dan mendapat pembagian tanggungjawab yang sama; g. Terlibat dan memiliki kewenangan melaksanakan ide; dan h. Terlibat dan mampu membuat keputusan. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan terkait program pengelolaan pesisir disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program/kegiatan No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kecamatan Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing
Kategori Informasi Konsultasi Informasi Informasi Konsultasi Informasi
Selain dalam tahap perencanaan, partisipasi masyarakat dalam tahap pelaksanaan program/kegiatan juga sangat penting. Dengan keterlibatan masyarakat dalam tahapan ini, masyarakat dapat ikut menilai apakah program/kegiatan yang dijalankan sudah sesuai dengan perencanaannya dan apabila ada ketidaksesuaian masyarakat dapat ikut mengevaluasi dan memberi masukan. Tingkat partisipasi dalam pelaksanaan program/kegiatan menunjukkan Kecamatan Batang, Tulis, Subah dan Gringsing berada pada tahap informasi, sedangkan Kecamatan Kandeman dan Banyuputih, mempunyai tingkat pastisipasi yang setingkat lebih tinggi yaitu berada pada tahap konsultasi. Namun demikian kedua tingkat partisipasi ini masih termasuk rendah. Meskipun menurut pemerintah sudah melibatkan masyarakat setempat dalam pelaksanaan program/kegiatan, namun keterlibatan masyarakat masih sangat minim. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program/ kegiatan dapat disebabkan karena masyarakat tidak dilibatkan dari awal proses perencanaan, sehingga masyarakat hanya menerima program/kegiatan yang sudah ada atau dapat dikatakan program/kegiatan sudah ditetapkan oleh pemerintah. Hal inilah yang kadang menyebabkan suatu program/kegiatan gagal atau tidak dapat diimplementasikan karena tidak sesuai dengan kondisi wilayah. Bahkan seringkali program/kegiatan dari pemerintah tidak sesuai dengan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat setempat, sehingga yang terjadi masyarakat menjalankan atau ikut terlibat program/kegiatan tersebut dengan setengah hati atau terlibat sekedarnya saja. Dari kedua analisis tingkat partisipasi di atas dapat dirangkum bahwa kedua tingkat partisipasi masyarakat di Kabupaten Batang baik informasi maupun konsultasi, termasuk partisipasi kategori rendah, yaitu berada pada tingkat tokenism. Tingkat tokenism yaitu tingkat partisipasi yang tidak serius, dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan (pemerintah). Arnstein (1969) menjelaskan bahwa jika partisipasi hanya dibatasi pada tingkatan ini, maka kecil kemungkinannya ada upaya perubahan dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik.
54 Secara ideal, keterlibatan masyarakat baru dikatakan berpartisipasi secara penuh apabila partisipasi berada pada tingkat kedelapan yaitu pengendalian oleh masyarakat (citizen control). Masyarakat pada tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat memiliki mayoritas suara dalam suatu proses pengambilan keputusan, bahkan mungkin memiliki kekuasaan penuh untuk mengelola suatu program/kebijakan. Partisipasi masyarakat di Kabupaten Batang masih jauh dari kondisi tersebut. Peran serta masyarakat masih dipandang semata-mata sebagai penyampaian informasi saja. Masyarakat sudah dilibatkan dalam berbagai kegiatan, namun mereka tinggal melaksanakan saja atau dapat dikatakan bahwa kebijakan masih bersifat top down. Hal ini sesuai dengan pendapat masyarakat dalam analisis sebelumnya bahwa mereka tidak mengetahui mengenai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. 5.3.2 Bentuk Partisipasi Masyarakat terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir Bentuk partisipasi masyarakat didapatkan berdasarkan jawaban terbanyak yang dipilih oleh responden. Persentase jawaban responden di masing-masing terkait bentuk-bentuk partisipasi terhadap pengelolaan wilayah pesisir disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Bentuk partisipasi masyarakat Bentuk Partisipasi No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kecamatan Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing
mengikuti pembinaan x √ x x √ x
pemanfaatan pengawasan pelestarian √ √ √ √ √ √
√ √ √ x √ √
√ √ √ √ √ x
Bentuk partisipasi yang dilakukan responden di Kecamatan Batang terhadap pengelolaan wilayah pesisir yaitu kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pengawasan. Kegiatan pemanfaatan antara lain memanfaatkan hasil-hasil laut dan memanfaatkan sumber daya pesisir lainnya. Kegiatan pelestarian juga dipilih oleh responden, meskipun tidak semua desa pesisir masyarakatnya aktif terlibat. Di Kecamatan Batang telah terbentuk kelompok masyarakat pengawas perikanan dan kelautan, sehingga bentuk partisipasi kegiatan pengawasan juga dipilih oleh responden. Untuk kegiatan mengikuti pembinaan sedikit dipilih oleh responden, artinya responden banyak yang tidak mengikuti kegiatan pembinaan yang biasanya diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintah. Bentuk partisipasi yang mayoritas dipilih responden di Kecamatan Tulis menghasilkan jawaban yang sama dengan bentuk partisipasi di Kecataman Batang, yaitu terkait kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pengawasan. Bentuk partisipasi yang diikuti oleh responden di Kecamatan Kandeman dan Banyuputih juga menunjukkan jawaban yang sama. Berdasarkan jawaban responden terbanyak, semua bentuk-bentuk partisipasi mulai dari kegiatan mengikuti pembinaan, pemanfaatan, pelestarian dan pengawasan diikuti oleh responden di Kecamatan Kandeman dan Banyuputih.
55 Untuk Kecamatan Subah dan Gringsing, hanya 2 bentuk partisipasi yang paling banyak diikuti oleh responden. Responden di Kecamatan Subah lebih banyak berpartisipasi dalam kegiatan pemanfaatan dan pelestarian, sedangkan untuk kegiatan mengikuti pembinaan dan pengawasan tidak dipilih oleh mayoritas responden. Bentuk partisipasi yang diikuti oleh responden di Gringsing terkait kegiatan pemanfaatan dan pengawasan saja. Untuk kegiatan pelestarian sepertinya masyarakat masih belum tergerak untuk ikut berpartisipasi. Berdasarkan Tabel 23 dapat disimpulkan bentuk partisipasi dalam pengelolaan pesisir yang paling banyak dilakukan oleh responden di 6 kecamatan adalah terkait dengan pemanfaatan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir, yaitu memanfaatkan hasil-hasil laut dan memanfaatkan sumberdaya pesisir lainnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor geografi yang berdekatan dengan pesisir dan laut, maka masyarakat dengan sangat mudah dapat memanfaatkan hasil-hasil laut maupun sumberdaya pesisir lainnya. Masyarakat memanfaatkan hasil-hasil laut sebagai sumber mata pencaharian mereka maupun sekedar untuk dikonsumsi. Bentuk partisipasi dimana mayoritas responden melakukannya yaitu terkait dengan kegiatan pengawasan dan pelestarian wilayah pesisir, yaitu melapor jika ada yang merusak ekosistem di wilayah pesisir, melapor jika ada pelanggaran di laut, melakukan pelestarian ekosistem baik atas inisiatif sendiri maupun bersama instansi terkait. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cukup peduli terhadap lingkungan mereka tinggal. Menurut Diarto et al. 2012, dengan adanya kepedulian lingkungan masyarakat setempat, maka dapat dikatakan bahwa bentuk partisipasi masyarakat adalah manajemen sendiri (self management) karena terbentuk dengan sendirinya atas kesadaran masyarakat setempat. Peran serta atau keterlibatan masyarakat dalam upaya pelestarian sumberdaya wilayah pesisir, misalnya rehabilitasi hutan mangrove, sangat penting dan perlu dilakukan. Pemerintah harus memberikan kesempatan pada masyarakat untuk ikut serta terlibat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Partisipasi masyarakat dalam bentuk pelestarian sumberdaya sudah cukup tinggi, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan pemerintah yaitu masyarakat perlu terus menerus diberikan bimbingan dan penyuluhan tentang arti pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya pesisir karena akan bermanfaat di masa yang akan datang. Kegiatan mengikuti pembinaan/pelatihan merupakan bentuk kegiatan yang paling sedikit diikuti oleh responden. Ini menunjukkan bahwa responden kurang begitu tertarik terhadap bentuk kegiatan ini, padahal bentuk kegiatan semacam ini biasanya digunakan oleh pemerintah sebagai sarana untuk mensosialisasikan berbagai kebijakan/peraturan yang dibuat pemerintah.
5.4 Arahan Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dari hasil analisis-analisis sebelumnya dibuat matriks untuk dilakukan analisa sintesis (Tabel 24). Berdasarkan analisis daya dukung berbasis kemampuan lahan, perencanaan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir Kabupaten Batang khususnya untuk wilayah daratan sebagian besar wilayah pesisir di Kabupaten Batang masih sesuai dengan daya dukungnya, kecuali untuk Kecamatan Subah sebesar 2.86% dan Tulis sebesar 3.90% dari wilayahnya tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Wilayah yang tidak sesuai ini terletak di
56 bagian tengah, dimana kendala yang menjadi penyebab ketidaksesuaian untuk peruntukan tersebut adalah lahan yang berlereng curam yaitu 25-40%, sehingga berdasarkan daya dukungnya, sebagian besar wilayah pesisir Kabupaten Batang masih dapat mendukung berbagai aktivitas manusia maupun kegiatan pembangunan. Tabel 24 Matriks sintesis pengelolaan wilayah pesisir No
Kecamatan / Desa
Evaluasi (KL vs RTRW)
Inkonsistensi LU vs RTRW
1.
Tulis - Kenconorejo - Ponowareng - Kd. segog Subah - Sengon - Kuripan Gringsing - Ketanggan - Sidorejo - Yosorejo Banyuputih - Kedawung Kandeman - Depok - Ujungnegoro - Kr geneng Batang - Dnasri Kuln - Kasepuhan - Krasem Utra - Klidanglor
(3.90%)
23.15
2.
3.
4. 5.
6.
(2.86%)
sesuai
41.10
25.36
Pemahaman Tingkat masyarakat partisipasi 45.24
Ringan Ringan Sedang
Informasi Informasi
Sedang Ringan
Informasi Konsultasi Terapi
Ringan Sedang Ringan
Konsultasi
Sedang
Informasi Konsultasi Konsultasi
Sedang Ringan Ringan
Terapi Informasi Terapi Informasi
Tdk ada Sedang Ringan Berat
29.00
18.67
29.53
sesuai
16.66
37.62
9.04
Informasi Konsultasi Informasi 34.76
sesuai
sesuai
Abrasi
28.57
Jika dilihat dari penggunaan lahan, kondisi di kedua kecamatan tersebut juga hampir serupa, diketahui bahwa tingkat inkonsistensinya terhadap rencana pola ruang RTRW juga lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan lain. Tingkat inkonsistensi tinggi juga terdapat di Kecamatan Gringsing. Untuk Kecamatan Subah, hampir setengah dari wilayahnya menunjukkan penggunaan lahan tidak konsisten dengan RTRW, sedangkan untuk Kecamatan Tulis dan Gringsing seperempat wilayahnya penggunaan lahan tidak konsisten. Jika dilihat dari pemahaman masyarakat di Subah dan Tulis cukup tinggi jika dibandingkan dengan kecamatan lain, artinya masyarakat cukup mengerti tentang penggunaan lahan di wilayah mereka maupun tata ruangnya. Kecamatan Batang merupakan kecamatan dengan tingkat inkonsistensi paling rendah dibandingkan kecamatan lain. Rencana pemanfaatan ruang di kecamatan ini sebagian besar adalah dialokasikan sebagai kawasan permukiman kota, sehingga berbagai penggunaan lahan terkait sosial ekonomi masyarakat masih sesuai/diperbolehkan. Untuk wilayah pesisir/pantai, permasalahan yang terjadi saat ini antara lain berkurangnya tanaman pelindung pantai, abrasi/erosi pantai dan banjir/rob yang terjadi tiap tahun dengan tingkat kerusakan yang bervariasi. Tingkat abrasi paling tinggi/parah terjadi di pantai Sigandu, Desa Klidang Lor. Akibat abrasi ini selain menyebabkan rusak dan berkurangnya tanaman mangrove dan pelindung pantai lainnya, juga merusak infrastruktur yang ada di sekitar kawasan tersebut. Meskipun abrasi dominan terjadi karena faktor alam, namun seharusnya
57 pemerintah dapat mengantisipasi atau membuat tindakan pencegahan sehingga tingkat kerusakan/kerugian juga dapat diminimalkan. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir di desa wilayah pesisir, berada pada kategori terapi hingga konsultasi. Tingkat partisipasi dalam kategori ini dapat dikatakan masih rendah karena komunikasi antara pemerintah dan masyarakat hanya bersifat satu arah. Secara formal pemerintah sudah melakukan sosialisasi maupun konsultasi publik kepada masyarakat dan memberikan masukan namun untuk pengambilan keputusan masih berada di tangan pemerintah. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten belum dilakukan dengan baik dan terpadu. Pemerintah kurang melibatkan masyarakat dan kurang memperhatikan permasalahan-permasalahan lingkungan yang terjadi dalam menyusun berbagai bentuk kebijakan. Masih rendahnya pemahaman masyarakat menunjukkan kurangnya sosialisasi dari pemerintah, sehingga muncul pelanggaran maupun ketidaksesuaian dalam pemanfaatan ruang. Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan terlihat dari tingkat partisipasi yang rendah dapat menyebabkan masyarakat tidak peduli dan tidak bertanggungjawab terhadap kondisi wilayahnya, yang akibatnya kerusakan lingkungan akan semakin bertambah.
Arahan Pengelolaan Wilayah Pesisir Pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Batang hendaknya diselaraskan dengan RTRW Kabupaten Batang 2011-2031, yang terbagi menjadi kawasan pemanfaatan/budidaya, kawasan konservasi/lindung dan kawasan strategis. Kawasan pemanfaatan/budidaya Kawasan pemanfaatan/budidaya merupakan kawasan yang diperuntukkan berbagai aktivitas yang dapat dilakukan dengan memperhatikan persyaratanpersyaratan lingkungan dan faktor pendukung lainnya. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Batang, peruntukan ruang di wilayah pesisir yang paling dominan yaitu peruntukan perkebunan, permukiman, pertanian, hutan produksi dan perikanan. a. Perkebunan Dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang 2011-2013, peruntukan kawasan perkebunan tersebar di 6 kecamatan pesisir. Berdasarkan analisis kemampuan lahan, sekitar 97% peruntukan perkebunan masih sesuai dengan kelas kemampuan lahannya, sedangkan sisanya berada pada kelas kemampuan lahan yang tidak sesuai yang terletak di Kecamatan Subah dan Tulis. Ini berarti untuk wilayah pesisir Kabupaten Batang masih mendukung bagi peruntukan perkebunan, untuk wilayah yang tidak sesuai dapat dialihkan untuk peruntukan lain, misalnya sebagai hutan produksi/hutan cagar alam. Jika tetap diarahkan untuk perkebunan maka harus dilakukan tindakan pengelolaan dan konservasi yang berat dan hal ini membutuhkan biaya yang lebih banyak. b. Permukiman Secara keruangan, kawasan permukiman ini terdiri dari permukiman perkotaan dan permukiman perdesaan. Dalam dokumen RTRW Kabupaten
58 Batang 2011-2013, lokasi peruntukan kawasan permukiman tersebar hampir merata di semua kecamatan wilayah pesisir, baik itu wilayah kecamatan bagian tengah maupun di wilayah bagian utara (mendekati pantai). Dari hasil analisis kemampuan lahan, untuk permukiman perdesaan terdapat beberapa wilayah, terutama di wilayah kecamatan bagian tengah tidak sesuai dengan kemampuan lahannya yang masuk pada Kecamatan Tulis dan Subah. Ketidaksesuaian ini disebabkan terletak pada kemampuan lahan kelas VI dengan kendala kelerengan sampai dengan 40%, sehingga diarahkan agar wilayah ini tidak diperuntukkan sebagai kawasan permukiman, mengingat bahaya longsor yang kemungkinan dapat terjadi. Sebagian wilayah permukiman yang dialokasikan di wilayah kecamatan bagian utara (mendekati pantai) yaitu di desa-desa pesisir juga kurang sesuai untuk peruntukan ini, seperti permukiman di Desa Karangasem Utara dan Denasri Kulon Kecamatan Batang, Desa Sengon Kecamatan Subah, Desa Kedawung Kecamatan Banyuputih, dan Desa Ketanggan, Sidorejo dan Yosorejo Kecamatan Gringsing. Sebagian wilayah di desa-desa tersebut mempunyai potensi terjadinya banjir dan rob yang cukup sering dan ditetapkan sebagai kawasan rawan banjir dan rob, oleh karena itu kurang sesuai jika dijadikan sebagai kawasan permukiman. Hal ini selain beresiko akan terjadinya bahaya yang lebih besar juga akan menurunkan daya dukung lingkungan di wilayah tersebut, sehingga sebaiknya diarahkan untuk peruntukan lain, mengingat besarnya biaya yang akan dikeluarkan untuk perbaikan. c. Pertanian Kawasan pertanian terdiri dari pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering. Dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang 2011-2013, peruntukan kawasan pertanian baik lahan basah maupun lahan kering dialokasikan di semua kecamatan, kecuali kecamatan Batang. Berdasarkan analisis kemampuan lahan, dari luasan peruntukan pertanian lahan basah di wilayah pesisir 0.04% berada pada kelas kemampuan lahan yang tidak sesuai, sedangkan peruntukan pertanian lahan kering sekitar 6.66% dari luasannya berada pada kelas kemampuan lahan yang tidak sesuai. Wilayah yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahannya masuk kedalam Kecamatan Subah dan Tulis. Ketidaksesuaian ini disebabkan terletak pada lahan dengan kelerengan 25-40%, sehingga masuk kemampuan lahan kelas VI. Penggunaan lahan pada kemampuan lahan kelas VI tidak sesuai untuk penggunaan pertanian, karena mempunyai ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangka. Oleh karena itu untuk wilayah yang tidak sesuai dapat dialihkan untuk peruntukan lain, misalnya sebagai hutan produksi/hutan cagar alam. d. Hutan produksi Sebaran kawasan hutan produksi berada di Kecamatan Gringsing, Banyuputih, dan Subah serta sebagian kecil berada di Kecamatan Kecamatan Tulis. Berdasarkan analisis kemampuan lahan, peruntukan hutan produksi masih sesuai dengan kemampuan lahannya. Ini berarti untuk wilayah pesisir Kabupaten Batang masih mendukung bagi peruntukan hutan produksi. e. Perikanan Kawasan peruntukan perikanan dibedakan menjadi peruntukan perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Berdasarkan RTRW Kabupaaten Batang 2011-
59 2031, kawasan peruntukan perikanan budidaya ditetapkan di Kecamatan Batang, Subah, Banyuputih, dan Gringsing. Berdasarkan analisis kemampuan lahan, peruntukan perikanan budidaya masih sesuai dengan kemampuan lahannya, artinya wilayah pesisir Kabupaten Batang masih mendukung untuk kegiatan perikanan budidaya. Peruntukan perikanan budidaya ini mencakup budidaya tambak (air payau) dan budidaya air tawar (kolam), sedangkan untuk budidaya laut, diperlukan analisis lebih lanjut untuk melihat kesesuaian lahan/perairannya. Kawasan peruntukan perikanan tangkap meliputi perairan umum dan perairan laut. Peruntukan perikanan tangkap di perairan umum meliputi seluruh perairan badan sungai yang ada, sedangkan untuk perikanan tangkap di perairan laut meliputi wilayah perairan laut. Kabupaten Batang memiliki wilayah perairan laut yang pada dasarnya mempunyai potensi sumberdaya perikanan tangkap yang cukup besar dan dukungan sarpras yang cukup memadai, antara lain Pelabuhan Perikanan/Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) berjumlah 1 buah dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebanyak 4 buah yakni TPI Klidang Lor, TPI Roban, TPI Seklayu dan TPI Celong. Kawasan Lindung/Konservasi Kawasan lindung di wilayah pesisir Kabupaten Batang terdiri dari kawasan lindung di wilayah daratan dan di wilayah perairan. Kawasan lindung di wilayah daratan antara lain kawasan hutan bakau, sempadan pantai dan sempadan sungai, sedangkan untuk perairan Kabupaten Batang, pemerintah juga telah menetapkan kawasan konservasi perairan. a. Kawasan hutan bakau Hutan bakau memiliki peran yang sangat penting di wilayah pesisir, dimana salah satu fungsinya dapat meredam gelombang dari laut sehingga dapat mengurangi terjadinya abrasi. Berdasarkan pengamatan dan data-data dari instansi terkait, kondisi yang terjadi saat ini untuk tanaman bakau (mangrove) di wilayah pesisir Kabupaten Batang jumlahnya makin berkurang. Dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang 2011-2031, untuk kawasan hutan bakau dialokasikan di wilayah pesisir Kecamatan Subah. Di wilayah pesisir Kecamatan Subah masih terdapat tanaman bakau (mangrove) maupun tanaman pelindung pantai lainnya sehingga sesuai jika dijadikan sebagai kawasan lindung hutan bakau. Mengingat wilayah pesisir terutama di daerah pantai sangat rentan terhadap terjadinya kerusakan, salah satunya karena abrasi, maka keberadaan tanaman bakau (mangrove) perlu dipertahankan dan dilestarikan. Oleh karena itu peruntukan kawasan hutan bakau ini bilamana mungkin dapat diperluas, tidak hanya pada 1 kecamatan saja. Kawasan hutan bakau dapat dialokasikan di sepanjang pantai dan pesisir Kabupaten Batang, kecuali untuk wilayah pesisir Desa Karangasem Utara Kecamatan Batang, Desa Karanggeneng Kecamatan Kandeman, Desa Ponowareng Kecamatan Tulis dan Desa. Wilayah pesisir di ketiga desa akan diperuntukkan bagi pembangunan pelabuhan niaga dan pembangkit listrik. Dalam rangka pelestarian tanaman bakau maupun tanaman pelindung pantai lainnya, pemerintah dapat melibatkan masyarakat setempat untuk kegiatan penghijauan dan rehabilitasi pantai dan memberikan tanggung jawab kepada masyarakat untuk menjaga dan melestarikannya, karena kegiatan
60 pelestarian sumberdaya wilayah pesisir merupakan salah satu bentuk kegiatan yang paling sering diikuti masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir. b. Sempadan pantai dan sungai Kawasan sempadan pantai di Kabupaten Batang ditetapkan selebar 100 m (diukur dari garis pasang tertinggi) sepanjang pantai, tidak termasuk kawasan pelabuhan, sedangkan kawasan sempadan sungai ditetapkan selebar 50 m dari tepi sungai. Kawasan sempadan pantai/sungai berfungsi sebagai perlindungan kawasan pesisir dan pantai dari kegiatan budidaya yang merugikan maupun mengurangi dampak dari kerusakan akibat faktor alam seperti abrasi, gelombang pasang dan tsunami. Namun kondisi yang terjadi saat ini di beberapa kawasan sempadan pantai/sungai masih digunakan untuk pemanfaatan/kegiatan lain yang tidak mendukung terhadap perlindungan pantai, seperti perkebunan, permukiman dan pertanian. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan pantai semakin parah dan menurunkan daya dukung lingkungan wilayah pesisir/pantai. Kawasan sempadan pantai dan sungai harus difungsikan sebagaimana mestinya agar kerusakan wilayah pesisir/pantai dapat dikurangi. Pemerintah harus lebih mensosialisasikan/menginformasikan kepada masyarakat dan sekaligus memberikan sanksi bagi siapa saja yang melanggar. c. Kawasan konservasi perairan Kawasan ini ditetapkan di perairan sebelah utara Kecamatan Kandeman untuk melindungi ekosistem terumbu karang yang ada. Di dalam kawasan konservasi ini terbagi menjadi beberapa subzona dengan tingkat pemanfaatan yang berbeda. Masyarakat masih dapat memanfaatkan/melakukan aktivitas di dalam kawasan konservasi ini namun pemanfaatannya juga terbatas. Agar kawasan konservasi ini tetap terjaga dan tidak terjadi pelanggaran, pemerintah dapat melibatkan masyarakat di sekitar kawasan konservasi ini untuk terlibat dalam kegiatan pelestarian dan pengawasannya, apalagi di lokasi kawasan ini telah terbentuk kelompok masyarakat pengawas sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup aktif dalam kegiatannya. Kawasan Strategis Peruntukan kawasan strategis di wilayah pesisir Kabupaten Batang meliputi: kawasan pelabuhan niaga dan sekitarnya, kawasan pengembangan wisata pantai, kawasan peruntukan industri dan kawasan peruntukan pembangkit listrik tenaga uap. a. Kawasan pelabuhan niaga dan sekitarnya Kawasan Pelabuhan Niaga dan sekitarnya merupakan kawasan yang berpotensi untuk pengembangan ekonomi karena memiliki daya tarik bagi investasi. Kawasan ini mencakup pelabuhan niaga itu sendiri, pelabuhan batubara dan pelabuhan pendaratan ikan. Dalam RTRW Kabupaten Batang 2011-2031 kawasan ini dialokasikan di Kecamatan Batang. Selain kemudahan akses, faktor lainnya adalah adanya dukungan sarana prasarana yaitu dekat dengan pintu masuk dan keluar jalan tol, dekat dengan jalur kereta api dan stasiun, ditunjang dengan daya dukung fisik dan sosial yang memungkinkan, serta kedekatan dengan Kota Pekalongan. Saat ini untuk pembangunan pelabuhan niaga sudah mulai dilakukan oleh pihak swasta/investor. Pada umumnya masyarakat setempat di sekitar
61 kawasan ini mendukung pembangunan kawasan ini karena akan berdampak positif terhadap perekonomian mereka. Namun Pemerintah dan masyarakat juga harus terus ikut mengawasi kegiatan pembangunan kawasan ini agar tidak terjadi pelanggaran yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan baik di kawasan tersebut maupun wilayah sekitarnya. b. Kawasan pengembangan wisata pantai Kawasan pengembangan pariwisata yang masuk dalam pengembangan kawasan strategis ekonomi di Kabupaten Batang meliputi: wisata Pantai Sigandu, Desa Klidang Lor Kecamatan Batang dan Pantai Ujungnegoro Desa Ujungnegoro Kecamatan Kandeman, dengan daya tarik utama keindahan pantai dan hamparan pasir serta adanya atraksi lumba-lumba dan pengembangan fasilitas wisata. Kondisi yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, di kawasan Pantai Sigandu sering terjadi abrasi dengan tingkat kerusakan cukup parah. Akibat abrasi yang terjadi di sepanjang pantai ini telah merusak tanaman pelindung pantai dan berbagai infrastruktur yang ada, seperti bangunan dermaga, jalan paving, shelter dan bangunan kios. Parahnya tingkat abrasi di pantai ini selain disebabkan faktor alam yang buruk, tampaknya juga ikut dipengaruhi oleh dampak pembangunan pelabuhan niaga di Desa Karangasem yang letaknya bersebelahan. Mengingat Pantai Sigandu telah menjadi salah satu daya tarik wisata di Kabupaten Batang yang cukup berkontribusi bagi pendapatan daerah, maka permasalahan abrasi yang terjadi di wilayah ini harus segera ditangani secara serius oleh Pemerintah. Selain ditetapkan sebagai daerah wisata pantai, wilayah pesisir di Desa Klidang Lor juga dapat dikembangkan untuk kawasan rehabilitasi/konservasi ekosistem yang ada di pesisir, karena di wilayah ini juga masih dijumpai berbagai tanaman pelindung pantai (bakau) yang sudah cukup besar. c. Kawasan peruntukan industri Kawasan peruntukan industri ditetapkan dengan kriteria sudah adanya embrio, kedekatan dengan dukungan sarana prasarana, sesuai dengan tujuan penataan ruang yang dikembangkan serta kecenderungan arah pergerakan perkembangan kawasan-kawasan industri dan menangkap peluang dari daerahdaerah sekitar yang sudah tidak dapat menampung kegiatan industri. Sebaran lokasi peruntukan industri ini berada di Kecamatan Gringsing, Banyuputih, Subah, Tulis dan Kandeman. Namun pengembangan kawasan industri ini juga tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tidak merusak lingkungan dan tidak menggangu aktivitas pembangunan lainnya. Pengembangan industri yang tidak didasarkan atas pertimbangan kelayakan dan kesesuaian dapat menimbulkan degradasi terhadap wilayah pesisir dan laut. d. Kawasan peruntukan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Kawasan peruntukan pembangkit listrik tenaga uap ditetapkan di Desa Ujungnegoro dan Desa Karanggeneng Kecamatan Kandeman serta Desa Ponowareng Kecamatan Tulis. Rencana pembangunan PLTU ini banyak mendapat tanggapan pro kontra dari masyarakat, namun penetapan lokasi di ketiga desa tampaknya sudah melalui kajian/studi sebelumnya. Agar rencana pembangunan ini tidak menimbulkan dampak yang besar khususnya bagi
62 lingkungan pesisir di sekitarnya, pemerintah dan terutama pihak investor harus benar-benar memperhatikan dan mematuhi kajian AMDAL yang dibuat. Masyarakat di ketiga desa ini cukup terlibat aktif dalam kegiatan pengawasan dan pelestarian lingkungan, sedangkan tingkat partisipasi di desadesa ini berada tahap konsultasi, yang artinya sudah ada komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat dalam kegiatan pengawasan wilayah dan sumberdayanya, apalagi jika pembangunan PLTU sudah mulai berjalan, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk ikut mengawasi agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Strategi umum yang dakap dilakukan dalam pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Batang yaitu: a. Meningkatkan koordinasi antar lembaga pemerintah Salah satu faktor penyebab terjadinya konflik serta mempercepat kerusakan sumberdaya pesisir adalah lemahnya koordinasi antar lembaga terkait. Untuk mengatasi kondisi tersebut harus dilakukan peningkatan koordinasi kelembagaan yang melibatkan dinas/instansi pemerintah seperti Bappeda, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi, BPN dan lain-lain. Upaya yang harus dilakukan adalah menghilangkan ego sektor dengan penegasan kembali fungsi dan kewenangan masing-masing dinas/instansi terkait, serta harus ada selalu diadakan rapat-rapat koordinasi untuk membicarakan berbagai hal yang menyangkut pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri. b. Mengembangkan dan meningkatkan partisipasi dan pengawasan masyarakat Dari hasil analisis tingkat partisipasi masyarakat, secara umum tingkat partisipasi masyarakat masih rendah. Pemerintah kurang melibatkan masyarakat dalam perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah dalam menyusun suatu kebijakan masih bersifat top down. Oleh karena itu dalam merencanakan dan membuat kebijakan pemerintah harus lebih melibatkan dan mendengarkan aspirasi dari masyarakat, sehingga rencana pembangunan juga sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir karena akan menghasilkan kebijakan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Kebijakan yang berbasis pada potensi masyarakat akan mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam. Selain itu juga memberikan keuntungan ganda, yaitu: pertama, dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat maka pengelolaan wilayah pesisir akan menarik masyarakat sehingga akan mempermudah proses penataan. Kedua, memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas kelestarian dan keamanan pesisir dan laut. Pemerintah harus mulai mengubah sikap dengan memberikan tanggungjawab kepada masyarakat untuk ikut terlibat dalam perencanaan hingga monitoring kegiatan. Pelibatan masyarakat yang bersifat tidak partisipatif dan tidak diikuti dengan pemberian wewenang tidak akan bermanfaat dalam peningkatan kinerja suatu program.
63 Dalam pengelolaan wilayah pesisir, pemerintah dapat memanfaatkan kearifan-kearifan lokal yang ada di masyarakat. Di beberapa desa di Kecamatan Batang, Kandeman, Tulis dan Gringsing telah terbentuk kelompok-kelompok masyarakat pengawas sumberdaya perikanan dan kelautan. Pemerintah dapat bekerjasama dan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat ini dalam kegiatan pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir. Keberadaan sistem pengawasan yang efektif merupakan syarat utama keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan wilayah pesisir dan laut. c. Ketersediaan dan kemudahan mengakses informasi bagi masyarakat Informasi merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan masyarakat pesisir sebagai bagian dari pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Ketersediaan informasi mengenai potensi dan perkembangan kondisi wilayah dan sumber daya alamnya sangat berharga untuk penyusunan kebijakan, program dan kegiatan di wilayah tersebut. Hasil analisis pemahaman masyarakat menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat tidak mengetahui kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Agar pengelolaan wilayah pesisir dapat berjalan optimal, maka pemerintah harus lebih terbuka dan memberikan kemudahan untuk mengakses informasi bagi masyarakat. Pemerintah juga harus lebih mensosialisasikan kebijakan yang sudah dibuat kepada masyarakat. Ketersediaan informasi pada masyarakat umum dan kejelasan mengenai berbagai kebijakan/peraturan merupakan salah satu indikator pelaksanaan kegiatan pengelolaan sudah sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.
64
6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 1.
2.
3.
4.
Daya dukung wilayah pesisir berbasis kemampuan lahan, alokasi ruang wilayah pesisir dalam RTRW sebagian besar sudah menunjukkan kesesuaian (98.29%). Untuk wilayah perairan Kabupaten Batang, secara umum kualitas perairan Kabupaten Batang masih dalam batas baku mutu air laut, namun di beberapa lokasi yaitu di perairan Kecamatan Batang, Tulis dan Gringsing memiliki kadar ortofosfat yang sudah melebihi baku mutu. Kesesuaian penggunaan lahan terhadap RTRW, lebih dari 70% penggunaan lahan di wilayah pesisir masih sesuai/konsisten dengan peruntukan dalam RTRW. Tingkat pemahaman masyarakat mengenai kebijakan pengelolaan dan penataan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Batang masih rendah, sedangkan terkait dengan pemanfaatan/penggunaan lahan di wilayah pesisir tingkat pemahaman masyarakat termasuk sedang. Tingkat partisipasi masyarakat termasuk dalam kategori Informasi. Bentuk partisipasi mayoritas responden dalam kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pengawasan. Kegiatan menghadiri rapat dan mengikuti pembinaan/pelatihan merupakan bentuk kegiatan yang paling sedikit diikuti. Arahan pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Batang agar diselaraskan dengan penataan ruang yang sudah ditetapkan pemerintah dalam rencana tata ruang wilayah, yang terbagi dalam kawasan pemanfaatan/budidaya, kawasan konservasi/lindung dan kawasan strategis. Implementasi dari rencana penataan ruang ini harus dilaksanakan sebagaimana fungsi peruntukannya dengan memperhatikan daya dukung wilayah dan melibatkan masyarakat setempat sehingga degradasi lingkungan dapat dikurangi. Strategi umum pengelolaan yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan koordinasi antar lembaga pemerintah, mengembangkan dan meningkatkan partisipasi dan pengawasan masyarakat serta ketersediaan dan kemudahan mengakses informasi bagi masyarakat umum. 6.2 Saran
1. 2.
3.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui daya dukung wilayah laut di perairan Kabupaten Batang. Dalam proses penyusunan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir, pemerintah diharapkan memberikan informasi/pengumuman kepada masyarakat mulai dari tahap perencanaan yang dapat dilakukan melalui media cetak maupun elektronik disamping melalui forum pertemuan sampai ke wilayah perencanaan, agar pemahaman masyarakat mengenai kebijakan pemerintah juga semakin meningkat. Pelibatan masyarakat hendaknya bukan lagi bersifat inisiatif pemerintah semata tetapi ditingkatkan lagi menjadi partisipasi atas inisiatif masyarakat sendiri. Pemerintah perlu memberikan kesempatan kepada masyarakat maupun stakeholders lain untuk memberikan saran/masukan/usul dengan jangka waktu yang mencukupi dan menentukan keputusan akhir bersama.
65
DAFTAR PUSTAKA Arnstein S. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Planning Association. 35 (4) : 216-224. Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Press. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2002. Buku Pedoman Penguatan Program Pembangunan Daerah. Jakarta (ID). [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Batang. 2009. Penyusunan Neraca Sumberdaya Alam Spasial Daerah Kabupaten Batang Tahun 2009. Batang (ID): Bappeda. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Batang. 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang Tahun 2011-2031. Batang (ID). [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Batang. 2012. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Batang Tahun 2012-2017. Batang (ID): Bappeda. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang. 2012. Kabupaten Batang dalam Angka Tahun 2012. Batang (ID): BPS. Chusnah U. 2008. Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Program Peningkatan Kualitas Sarana Prasarana Pendidikan di SMA Negeri 1 Surakarta [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Clark J. 1974. Coastal Ecosystem : Ecological consideration for management of the coastal zone. Washington (US): The Conservation Foundation. 178p. Dahuri R, J Rais, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Jakarta (ID): Pradnya Paramitha. Dahuri R. 2005. Pemanfaatan dan Pengendalian Ruang Pesisir, Laut dan PulauPulau Kecil. Dalam: Pattimura L, (Editor). Penataan Ruang untuk Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta (ID): LSKPI Pr. Darajati W. 2004. Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Seminar Nasional MFCDP. 2004 Sept 22; Jakarta, Indonesia. Jakarta: Bappenas. hlm 1-7. Tersedia pada www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8223 Dardak AH. 2005. Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang sebagai Upaya Perwujudan Ruang Hidup yang Nyaman, Produktif dan Berkelanjutan. Seminar Nasional “Save Our Land for The Better Environment; 2005 Des 10; Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. Hlm 1-12. Tersedia pada: www.penataanruang.net/taru/Makalah/051210.pdf Diarto, Hendrarto B, Suryoko S. 2012. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Kawasan Hutan Mangrove Tugurejo di Kota Semarang. Jurnal Ilmu Lingkungan. 10(1):1-7. [DKP RI] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2001. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta (ID): DKP RI. [Dislutkan] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang. 2011. Rencana Strategis Wilayah Pesisir Kabupaten Batang Tahun 2011-2030. Batang (ID): Dislutkan.
66 [Dislutkan] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang. 2012. Review Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang. Batang (ID): Dislutkan. Gumilar I. 2012. Partisipasi Masyarakat Pesisir dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. Jurnal Akuatika. 3(2):198-211. Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Kay R, Alder J. 1999. Coastal Planning and Management. London (GB): E & FN Spon. [KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2009. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Jakarta (ID): KLH. Loka PSPL Serang Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Fasilitasi Penyusunan Rencana Zonasi WP3K Kabupaten Batang. Serang: Loka PSPL. Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2010. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Nazir M. 1993. Metode Penelitian. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. [Kemenpan] Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. 2010. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Peran serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Jakarta (ID): Kemenpan. Pemerintah Republik Indonesia. 2007a. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2007b. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pratikto WA. 2006. Menjual Pesisir di Pulau-Pulau Kecil. Jakarta (ID): DKP RI. Rustiadi E, Barus B, Prastowo, Iman LS. 2010a. Pengembangan Pedoman Evaluasi Pemanfaatan Ruang. Bogor (ID): Crestpent Press. Rustiadi E, Barus B, Prastowo, Iman LS. 2010b. Kajian Daya Dukung Lingkungan Provinsi Aceh. Bogor (ID): Crestpent Press. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Yayasan Pustaka Obor. Sarwono WS. 2003. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Sastropoetro S. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional. Bandung (ID): Penerbit Alumni. Subandono D, Budiman, Agung F. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor (ID): Buku Ilmiah Populer.
67
58
LAMPIRAN Lampiran 1 Inkonsistensi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap penggunaan lahan
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Pola Ruang RTRW
Air tawar
Belukar / semak
Rawan tanah longsor Hutan cagar alam Hutan bakau Sempadan pantai Sempadan sungai Hutan produksi Perkebunan Pertanian lahan kering Pertanian lahan basah Sawah tadah hujan Pertambangan Perikanan Kawasan wisata Industri Permukiman desa Permukiman kota
11.18 0.00 0.00 0.10 47.65 93.58 4.55 3.61 2.88 0.00 0.00 122.08 0.00 12.85 16.40 18.18
14.47 51.06 5.27 13.60 38.93 74.21 161.85 201.65 121.96 0.00 0.00 0.13 0.00 0.00 42.57 203.39
Luas Total
333.06
929.08
Keterangan: : Konsisten (74.42%) : Inkonsisten (25.58%)
Empang
Pengga raman
0.00 0.00 2.55 5.89 6.48 0.24 3.01 74.83 11.72 0.39 0.00 0.29 0.00 0.00 0.66 119.79
0.00 0.00 0.00 48.89 0.00 0.00 6.69 0.00 12.03 0.00 0.00 440.03 0.00 228.62 2.77 94.12
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.04 0.00 0.00 0.00 0.00
Pemanfaatan Lahan (ha) Sawah Sawah Perkebun tadah irigasi an hujan 27.79 19.99 448.85 0.00 0.00 17.80 11.15 0.00 0.77 230.78 0.00 29.96 170.78 254.34 370.25 268.13 21.44 3 024.30 428.07 84.33 7 969.82 101.89 187.43 138.00 3 702.70 946.00 159.66 0.00 46.16 3.39 3.22 0.00 0.00 21.31 0.00 7.71 109.70 0.00 0.03 402.16 0.00 407.37 20835 243.20 930.24 2 891.97 303.53 1 141.43
225.85
833.15
12.04
8 577.99
Rumput
2 106.42
14 632.86
Tegalan
Permuki man
Gedung
Luas Total
88.93 6.73 3.47 15.52 122.27 247.10 88.67 983.41 78.89 0.25 0.00 0.98 2065 8.63 84.56 225.40
23.88 16.82 0.00 4.76 65.60 226.78 38.65 30.27 84.74 0.00 0.00 4.19 0.00 2.18 1 564.38 1 978.69
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 30.65
635.08 92.41 23.22 349.49 1 076.30 3 955.77 8 785.64 1 721.08 5 120.58 50.20 3.22 608.76 130.38 1 045.08 3 093.12 7 007.16
1 975.46
4 040.94
30.65
33 697.51
68
Lampiran 2 Matriks Logik Inkonsistensi RTRW dengan Pemanfaatan Lahan
RTRW
Air tawar
Belukar / semak
Rumput
Rawan tanah longsor Hutan cagar alam Hutan bakau Sempadan pantai Sempadan sungai Hutan produksi Perkebunan Pertanian lahan kering Pertanian lahan basah Sawah tadah hujan Pertambangan Perikanan Kawasan wisata Industri Permukiman desa Permukiman kota
x √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
x x x √ √ x x x x x x x √ √ √ √
x x x √ √ x x x x x x x √ √ √ √
Keterangan: √ x
: Konsisten : Inkonsisten
68
Pemanfaatan Lahan Sawah Pengga Sawah Empang tadah raman irigasi hujan x x x x x x x x x x x √ x √ √ √
x x x x x x x x x x x √ x √ √ √
x x x x x x x x √ √ x x x √ √ √
x x x x x x x √ x √ x x x √ √ √
Tegal an
Perkebu nan
Permu kiman
Gedung
x x x x x x √ √ x √ x x x √ √ √
x x x x x x √ √ x x x x √ √ √ √
x x x x x x x x x x x x x √ √ √
x x x x x x x x x x x x x √ √ √
69
Lampiran 3 Matriks Logik Evaluasi Pola Ruang RTRW terhadap Kemampuan Lahan
Pola Ruang RTRW Rawan tanah longsor Hutan cagar alam Hutan bakau Sempadan pantai Sempadan sungai Hutan produksi Perkebunan Pertanian lahan kering Pertanian lahan basah Sawah tadah hujan Pertambangan Perikanan Kawasan wisata pantai Industri Permukiman desa Permukiman kota
Kelas I
Kelas II
Kelas III
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Kelas Kemampuan Lahan Kelas IV Kelas V √ √ x x √ √ √ √ √ x √ √ x √ √ √
√ √ x x √ √ x x √ x x √ x x x x
Kelas VI
Kelas VII
Kelas VIII
√ √ x x √ √ x x x x x x x x x x
√ √ x x √ √ x x x x x x x x x x
√ √ x x √ x x x x x x x x x x x
Keterangan: √ x
: :
Sesuai Tidak sesuai
69
70
Lampiran 4 Matriks Logik Evaluasi Pemanfaatan Lahan terhadap Kemampuan Lahan
Kelas Kemampuan Lahan Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV Kelas V Kelas VI Kelas VII Kelas VIII
Keterangan: √ : Sesuai x : Tidak sesuai
70
Pemanfaatan Lahan Air tawar
Belukar / semak
Rumput
√ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ x
√ √ √ √ √ √ √ x
Pengga Empang raman √ √ √ x x x x x
√ √ √ √ √ x x x
Sawah irigasi
Sawah tadah hujan
Tegalan
Perkebu nan
Permu kiman
Gedung
√ √ √ √ √ x x x
√ √ √ √ √ x x x
√ √ √ √ x x x x
√ √ √ √ x x x x
√ √ √ √ x x x x
√ √ √ x x x x x
71 Lampiran 5 Foto-foto kondisi pantai di wilayah pesisir Kabupaten Batang
Kondisi Pantai Sigandu, Desa Klidang Lor, Kecamatan Batang yang terkena abrasi (Mei 2013)
Kondisi Pantai Sigandu, Desa Klidang Lor, Kecamatan Batang sebelum abrasi (Tahun 2010)
72
Kondisi Pantai di Desa Karangasem Utara Kecamatan Batang (Mei 2013)
Kondisi Pantai di Desa Kasepuhan Kecamatan Batang (Mei 2013)
Kondisi Pantai di Desa Denasri Kulon Kecamatan Batang (Mei 2013)
73
Kondisi Pantai di Desa Depok Kecamatan Kandeman (Mei 2013)
Kondisi Pantai Ujungnegoro Kecamatan Kandeman (Mei 2013)
Kondisi Pantai di Desa Kedungsegog Kecamatan Tulis
74
Kondisi Pantai di Desa Kuripan Kecamatan Subah (Februari 2013)
Kondisi Pantai di Desa Kedawung Kecamatan Banyuputih (Maret 2013)
Kondisi Pantai di Desa Sidorejo dan Ketanggan Kecamatan Gringsing (April 2013)
75
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Batang, Jawa Tengah pada tanggal 20 Juni 1981, merupakan anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan ayah Abdul Bari (alm) dan ibu Chusnaini. Pada tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Batang dan diterima di IPB pada program studi Ilmu Kelautan melalui jalur USMI. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan S1 pada tahun 2004. Kemudian pada tahun 2006, penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Kabupaten Batang dan ditempatkan pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang sampai sekarang. Tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana pada program studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB melalui program beasiswa dari Bappenas.