50 Media Bina Ilmiah
ISSN No. 1978-3787
POLITISASI BIROKRASI DALAM PENGEMBANGAN KARIR PEGAWAI NEGERI SIPIL DI ERA OTONOMI DAERAH Oleh : Nyoman Suartika Dosen pada Universitas 45 Mataram Abstrak: Politisasi birokrasi bukanlah fenomena baru di Indonesia, jauh-jauh hari sebelum otonomi daerah diimplementasikan, kita semua dapat melihat, mencermati, merasakan dan bahkan pada kalangan birokrat menjadi pelaku bahwa pada masa pemerintahan orde baru memanfaatkan struktur birokrasi dari pusat hingga daerah sebagai pondasi dalam mempertahankan rezim. Begitu kuatnya tekanan dan tarikan politik menyeret birokrasi sehingga intervensi-intervensi politik terus membayangi birokrasi pada zaman pemerintahan orde baru. Para birokrat yang merupakan pegawai negeri sipil yang idealnya tidak boleh memiliki afiliasi politik dan bersikap netral, justru dikondisikan sebagai agen-agen partai ditengah-tengah masyarakat. Pada waktu itu birokrasi dipersepsikan oleh masyarakat sebagai satu paket yang tidak bisa dipisahkan dari Golkar, partai penguasa, padahal birokrasi merupakan entitas yang terpisah dari sebuah rezim. Birokrasi memang menjadi sumber daya politik yang dianggap bisa ikut membantu dalam meraih dan mempertahankan sebuah kekuasaan. Pada era otonomi daerah saat inipun politisasi birokrasi masih tampak jelas bahkan sangat kental dengan kekuatan partai politik guna mencapai tujuan menduduki jabatan-jabatan tertentu, dan yang lebih dasyat lagi setelah menjadi pimpinan daerah dengan alasan kebutuhan organisasi dan karir pegawai melakukan mutasi jabatan dengan menempatkan pegawai dalam jabatan tertentu atau sebaliknya membebas tugaskan pegawai dalam jabatan tertentu/menonjobkan dengan mengabaikan peraturan kepegawaian yang berlaku. Kata Kunci: Politisasi Birokrasi, Karir Pegawai Negeri Sipil PENDAHULUAN Ketika otonomi daerah diimplementasikan, sistim politik yang tadinya memberikan episentrum yang besar kepada pusat, tetapi saat ini sistim politik konsentrasinya terbelah kedaerah-daerah yang meliputi Provinsi, Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemelihan Gubernur, Bupati dan Walikota Pasal 1 ayat 1 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikotasecara langsung dan demokratis. Pasal ini memberikan kepastian hukum yang jelas bahwa secara politik arena perebutan kekuasaan di daerah telah menjadi domain mutlak orang-orang daerah, bukan lagi menjadi domain pusat, sebagaimana pada masa Orde Baru. Ketika domain politik daerah mutlak sepenuhnya diberikan kepada orang-orang daerah, maka akan ada pergeseran orientasi politik. Pergeseran orientasi politik ini mempunyai implikasi yang mengarah pada adanya patologi
politik, yakni pemanfaatan birokrasi daerah untuk kepentingan politik kelompok atau golongan. Birokrasi dihadapkan pada kenyataan baru, bila pada orde baru, birokrasi diseragamkan, entah itu keseragaman dalam orientasi kerja, orientasi pandangan, orientasi etika kerja dan oreintasi politik secara nasional, maka setelah otonomi daerah, birokrasi dihadapkan orientasi lokal yang sifatnya sangat dinamis seiring munculnya elit-elit lokal pasca implementasi Otonomi Daerah, dan ini memberi pilihan terhadap para pejabat yang menjalankan birokrasi. Masalah politisasi birokrasi adalah persoalan klasik, hanya saja kini persoalan ini digeser menjadi persoalan lokal seiring implementasi otonomi daerah. Pengelolaan sebuah pemerintahan idealnya memang harus dipisahkan dari ruang-ruang politik yang mencampurinya, walaupun sebuah pemerintahan dihasilkan dari proses politik, apalagi ketika sudah menyeret birokrasi ke dalam kubu-kubu politik yang membuat birokrasi menjadi kontra produktif dari patron tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Implikasi ini harus segera ditanggulangi, khususnya bagaimana mencari sistem yang memperkecil peluang pemanfaatan birokrasi ke
____________________________________________ Volume 9, No.6, Oktober 2015
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787 dalam arena politik dalam ruang implementasi Otonomi Daerah. Pegawai Negeri Sipil yang bekerja pada suatu instansi pemerintah sebagai abdi masyarakat perlu meningkatkan pengabdiannya dan kesetiaannya kepada Bangsa dan Negara. Upaya meningkatkan kinerja Pegawai Negeri Sipil selalu dilakukan di setiap instansi. Diperlukan pegawai yang terampil dan sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan dibidangnya, untuk itu perlu diadakan pengembangan bagi pegawai sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas kerja dalam organisasi pemerintahan. Keberhasilan instansi tidak sepenuhnya bergantung pada manajer dan manajemen instansi, tetapi juga pada tingkat keterlibatan pegawai terhadap aktivitas dan pencapaian tujuan instansi. Sumber daya manusia yang potensial dan berkualitas merupakan modal dasar organisasi yang akan mampu mengantarkan organisasi dalam mencapai tujuannya dengan sukses. Keberhasilan suatu instansi dalam mencapai tujuannya tidak hanya ditentukan oleh bentuk susunan atau struktur instansi yang lengkap, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor penempatan individu dalam posisi yang tepat sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya (the right man on the right place), yang mana di antara semua individu tersebut merupakan suatu bentuk mitra kerja yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya suatu aktivitas dalam instansi. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka tinjauan masalah yang diangkat dalam penulisan sebagai berikut: (1) Terjadinya politisasi birokrasi pada era otonomi daerah ? (2) Bagaimanakah pengembangan karir pegawai negeri sipil pada era otonomi daerah ? METODE PENELITIAN Penulisan ini mengangkat masalah “Politisasi Birokrasi dalam Pengembangan Karir PNS Daerah di Era Otonomi Daerah” mempergunakan metode deskriptif dengan analisis kualitatif, agar dapat memahami fenomena sosial yang tengah terjadi dengan maksud untuk menentukan, menjelaskan, dan memperoleh gambaran yang mendalam tentang politisasi birokrasi dan pengembangan karir di era otonomi daerah. Metode deskriptif terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah dan keadaan atau suatu peristiwa sebagimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta (fact finding). Hasil penelitian ditekankan pada
Media Bina Ilmiah 51 pemberian gambaran secara obyektif tentang keadaan yang sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1989). Bogdan dan Taylor secara singkat menyatakan bahwa “Qulitative research methodologies refer to research procedures which produce descriptive data: peoples own written or spoken words and observable behavior” (dalam Islamy, 2001). Selanjutnya Islamy (2001) mengungkapkan, metode kualitatif akan mengumpulkan dan menganalisa bukti empirik (data) secara sistimatis agar dapat memahami dan menjelaskan kehidupan sosial yang dikaji dengan baik dan mendalam. Metode kualitatif adalah merupakan proses penelitian yang bertujuan mengumpulkan dan menganalisis data deskriptif yang berupa tulisan, ungkapan-ungkapan dan perilaku manusia yang dapat diamati. Metode kualitatif bersifat terbuka artinya masalah penelitian bersifat fleksibel dan subject to change, sesuai dengan proses kerja yang terjadi di lapangan. Sehingga penulisan inipun ikut berubah menyesuaikan diri dengan masalah yang berubah (Moleong, 2001). POLITISASI BIROKRASI OTONOMI DAERAH
PADA
ERA
Patologi politik dan patologi birokrasi merujuk pada pengertian dasarnya mengenai Patologi, yakni sebuah gejala penyakit yang terjadi, dimana sebagai akibatnya akan mengganggu dan mengakibatkan abnormal sebuah sistem. Penulis memberikan pengertian patologi politik sebagai sebuah gejala atau penyakit yang akan menggangu pada sistem politik dan berdampak pada terciptanya patologi birokrasi, yakni tergangunya (abnormal) sistem birokrasi. Bila merujuk pada UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2 dimana pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada pemerintahan daerah sepenunya merupakan domain kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati), ini memberikan legitimasi hukum yang kuat menyangkut kewenangan daerah dalam mengelola kepegawaian daerah. Pasal ini sangat jelas menggambarkan Kepala Daerah mempunyai otoritas kuat dalam memetakan dan menentukan formasi jabatan di daerah. Dengan otoritasnya yang begitu kuat, implikasi penyalahgunaan wewenang ini sering kali terjadi dalam mengelola apartur atau pegawai negeri sipil daerah. Pola pembinaan manajemen dan kaitannya dalam
_____________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 9, No. 6, Oktober 2015
52 Media Bina Ilmiah menentukan orang-orang dalam rangka memenuhi pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian yang seharusnya dilakukan dengan asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalisme, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektifitas, tetapi kecendenderungan yang terjadi asas-asas tersebut diabaikan, karena seringkali kepala daerah menggunakan pendekatan politis dalam rangka membangun jaringan dan memetakan konsolidasi birokrasi sebagai cara membangun kekuatan politik dari dalam birokrasi. Siapa mendukung siapa, adalah patron yang digunakan dalam rangka membentuk formatur pejabat daerah. Pola-pola seperti ini biasanya dilakukan menjelang Pemilihan Kepala daerah atau setelah Pemilihan Kepala Daerah. Asas timbal balik menjadi “kue” yang menjanjikan bagi para pejabat publik daerah, karena secara instan jabatan tertentu sebagai pengembangan karirnya di kepegawaian dapat diperoleh. Hal ini menjadi pertaruhan karir tersendiri bagi para pejabat publik, karena menjelang Pemilukada blok-blok dukungan yang sudah terpetakan sebelumnya akan bertarung menjagokan masing-masing calonnya, Para pejabat dari mulai pejabat Dinas, Camat, Lurah dan Kepala Desa seolah menjadi agen partai atau tim sukses calon kepala daerah tertentu. Manakala calon yang didukungnya menang, asas timbal balik akan dilakukan, artinya pengangkatan dan pemindahan yang diinginkan akan diberikan dengan instan sebagai imbalan politik, akan tetapi manakala calon yang didukung kalah, maka secara karir akan terkucil. Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah seharusnya di dasari oleh pasal 133 UU Otonomi Daerah yang harus mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan dan kompetensi. PENGEMBANGAN KARIR PNS PADA ERA OTONOMI DAERAH Karir merupakan bagian dari upaya pengelolaan sumber daya manusia dan erat sekali dengan persepsi, dan komitmen organisasi Hidayat ( 2002:44). Simamora (2004 : 412) berpendapat bahwa kata karir dapat dipandang dari beberapa perspektif yang berbeda, antara lain dari perspektif yang obyektif dan subyektif. Dipandang dari perspektif yang obyektif, karir merupakan uruturutan posisi yang diduduki oleh seseorang selama hidupnya, sedangkan dari perspektif yang subyektif, karir merupakan perubahan nilai-nilai, sikap, dan motivasi yang terjadi karena seseorang
ISSN No. 1978-3787 menjadi semakin tua. Kedua perspektif tersebut,obyektif dan subyektif terfokus pada individu. Kedua perspektif tadi menganggap bahwa setiap individu memiliki beberapa tingkat pengendalian terhadap nasib mereka sehingga individu tersebut dapat mengubah peluang untuk memaksimalkan keberhasilan dan kepuasan yang berasal dari karir mereka. Konon tiga di antara lima manusia karir mendambakan karir mereka menanjak terus dengan pesat. Penghasilan makin besar, kedudukan social ekonomi makin tinggi dan mantap, batin makin puas karena berhasil mewujudkan jati diri Anoraga ( 2001:59 ). Menurut Hidayat (2002:46) keputusan promosi dan rotasi yang dibuat oleh manajemen merupakan imbalan dari program pengembangan karir. Penyelenggaraan pendidikan hendaknya dilakukan seefektif mungkin. Artinya pengaturan sistem penyelenggaraan pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja. Pendidikan merupakan basis yang sangat penting untuk membentuk manusia-manusia profesional. Yang kemudian di terapkan dalam bentuk aplikasi pekerjaan sehari-hari yang membutuhkan suasana dan lingkungan kerja yang mendukung. Bila ilmu yang di peroleh belum di aplikasikan sama artinya belum memiliki ketrampilan. Oleh karena itu, butuh sebuah pengalaman untuk mendukung aplikasi dari ilmu yang telah di peroleh. Data empiris dalam organisasi-organisasi usaha menunjukkan bahwa orang berpendidikan tinggi di tambah dukungan program-program pelatihan manajemen umumnya dapat menyeimbangkan kemampuan enterpreunership serta kemampuan manajerialnya Kinardi (2005 : 43). Dengan demikian pendidikan, pengalaman serta pelatihan merupakan sebuah faktor – faktor yang saling terkait dalam memperoleh sebuah pengetahuan sekaligus menggalinya untuk bisa memberikan kontribusinya dengan seoptimal mungkin. Flippo dalam Ginting (2003:7) berpendapat bahwa karyawan yang mempunyai persepsi positif terhadap pengembangan karirnya dalam instansi, cenderung mempunyai kepuasan dan motivasi kerja yang tinggi untuk mendukung pencapaian tujuan instansi yang telah ditetapkan. Jika instansi memberikan kesempatan pengembangan karir pada karyawan, maka akan timbul dari diri karyawan tersebut untuk lebih meningkatkan karirnya dengan cara berprestasi di tempatnya bekerja, dan memberikan kepuasan kerja sehingga akan timbul komitmen karyawan yang tinggi.
____________________________________________ Volume 9, No.6, Oktober 2015
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787 Promosi ke setiap jenjang karir yang lebih tinggi bukanlah hak pegawai, melainkan merupakan penghargaan dari perusahaan kepada pegawai yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Promosi dapat dilaksanakan apabila : (a) tersedia formasi, (b) memenuhi persyaratan berdasarkan hasil assessment, (c) memenuhi persyaratan nilai kerja individu (NKI), dan (d) memenuhi persyaratan lainnya sesuai peraturan yang berlaku. Penjelasan mengenai birokrasi diawali dengan melihat birokrasi sebagai sebuah organisasi. Berikut ini dijabarkan beberapa teori yang menjelaskan pengertian mengenai organisasi ini. Pemahaman tentang teori organisasi dapat dibagi berdasarkan masa dimana teori itu lahir . Pertama, teori organisasi klasik. Teori klasik ini muncul dan berkembang pada tahun 1930an, dimana kemudian ia menjadi perspektif teori organisasi yang dominant pada masa tersebut. Teori klasik ini mengajarkan pokok-pokok ajaran sebagai berikut; 1. Organisasi ada untuk memperoleh angka produksi dengan tujuan-tujuan ekonominya. 2. Untuk mengorganisasikan produksi dengan cara terbaik diketahui dengan melakukan penelitian yang sistematik dan ilmiah. 3. Produksi dimaksimalkan dengan spesialisasi serta pembagian kerja. Individu manusia dan organisasi bekerja harus sesuai dengan prinsip rasionalitas dan efisiensi. Inti ajaran di atas menunjukkan adanya refleksi dari nilai sosial yang ada pada saat tersebut, di mana hak-hak manusia dalam suatu organisasi belum dihargai dengan baik. Individu manusia pada masa tersebut masih dianggap sebagai bagian dari produksi yang setaraf dengan mesin yang memang menjadi bagian produksi juga. Dengan demikian konsep teori organisasi klasik dapat dimengerti dalam konteksnya dengan nilai sosial yang ada pada saat itu. Teori fenomenal Max Weber tentang birokrasi lahir pada masa ini, di mana teori tersebut tetap bertahan sampai masa kontemporer, bahkan menjadi penjelasan yang dominan. Uraian tentang penjelasan Weber mengenai birokrasi sebagai organisasi dijelaskan tersendiri pada bagian berikutnya dari bab ini secara lebih panjang lebar, dengan mengingat bahwa terlepas dari berbagai kritik dan analisis banyak ilmuwan politik terhadap pemikiran politik
Media Bina Ilmiah 53 Weber tentang birokrasi, namun sejauh ini pemikiran Weber tentang birokrasi dapat dikatakan sangat luas dan selalu menjadi rujukan berbagai macam aliran dalam memahami birokrasi. Kedua, berikutnya adalah pengertian tentang organisasi dalam penjelasan aliran neoklasik. Bahwasanya aliran neoklasik ini menjadi aliran gerakan yang berinisiatif dan mencoba untuk melepaskan diri dari pandangan mekanistis yang dianggap oleh pendukung aliran neoklasik ini terlalu sederhana dari ajaran teori organisasi klasik dalam memahami tentang organisasi. Aliran ini kemudian dalam perkembangannya dianggap mampu untuk mengajukan isu dan teori yang dapat dipergunakan sebagai landasan dan pedoman bagi pengikutnya. Salah satu tema utama dalam aliran ini ini adalah upaya untuk membuka organisasi dari ketertutupannya selama ini. Ketiga, berikutnya adalah teori organisasi struktural modern. Teori ini berjaya pada tahun 1960-1970an. Antara lain yang menjadi pokok ajaran ini dalam teori ini menjelaskan bahwa organisasi merupakan institusi yang rasional yang bercitacita untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam organisasi. Perilaku organisasi yang rasional dapat dicapai dengan baik melalui suatu sistem aturan yang jelas dan otoritas yang formal dalam organisasi tersebut. Struktur organisasi dikatakan baik jika dirancang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai yang memang sudah menjadi kesepakatan, kondisi lingkungan dimana organisasi itu berada, pelayanan yang dihasilkan organisasi, serta teknologi yang digunakan dalam pelayanan tersebut, hingga kesemuanya mendukung terciptanya sebuah struktur organisasi secara keseluruhan. Sementara spesialisasi dan pembagian kerja dalam organisasi akan mampu untu mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan oleh organisasi. Selanjutnya aliran sistem yang melihat suatu organisasi sebagai sebuah tatanan yang kompleks dan dinamis dari unsur-unsur yang saling terkait. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur input, proses, output serta saluran feedback dan lingkungan di mana sebuah sistem tersebut berada. Perubahan dalam suatu unsur dalam sistem akan mempengaruhi terhadap keadaan unsur yang lain dalam sistem tersebut. Keterjalinan dan keterikatan yang terjadi antara unsur-unsur didalam sebuah sistem tersebut merupakan sesuatu ikatan yang kompleks namun dapat berkembang secara dinamis. Terdapat dua tema utama dalam aliran organisasi sebagai suatu
_____________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 9, No. 6, Oktober 2015
54 Media Bina Ilmiah sistem yaitu penerapan teori general system dalam organisasi, serta penggunaan teknik dan metode kuantitatif guna mengetahui hubungan yang kompleks antara variabel-variabel organisasi untuk mencapai keputusan yang maksimal. Kelima, aliran kekuasan dan politik. Aliran ini dalam memahami organisasi bukanlah sebagai sesuatu yang tidak realistis dan tidak kehabisan akan nilai praksis dari organisasi tersebuut. Organisasi dalam aliran ini dipandang sebagai sistem koalisi atau perkumpulan antar individu dalam suatu masyarakat namun kompleks. Setiap kegiatan dalam organisasi mempunyai kepentingan, kepercayaan, nilai serta perspektif sendiri menurut persepsi yang berlaku secara intern dalam organisasi tersebut. Sementara sumberdaya yang dipunyai oleh organisasi jumlahnya terbatas. Selain itu dalam organisasi terdapat juga spesialisasi dan pembagian kerja yang berakibat pada munculnya kesatuan-kesatuan kecil dengan tingkat kepentingan yang berbeda-beda. Keadaan tersebut menjadikan adanya konflik-konflik dalam organisasi, yang menggunakan kekuasaan, pengaruh, kegiatan politik sebagai kekuatan dalam pertarungan antar individu maupun kelompok didalamnya. Tujuan organisasi dalam aliran ini merupakan hasil bargaining dan maneuvering, antara individu dan koalisi yang ada dalam organisasi. Koalisi yang ada tersebut cenderung menjadi sarana yang dapat dengan mudah berganti, dan melampaui batas vertikal maupun horinsontal. Dengan demikian tujuan organisasi menurut aliran ini akan berkembang sesuai dengan berubahnya keseimbangan kekuasaan di antara koalisi yang ada didalamnya. Keenam, aliran kebudayaan. Aliran ini melihat organisasi dengan memfokuskan analisis pada organisasi dan orang-orang yang berada didalamnya. Aliran ini menekankan bahwa suatu kebudayaan yang hidup pada organisasi dianggap tidak dapat melepaskan diri dari kebudayaan yang hidup dalam masyarakat dimana organisasi itu berada. Oleh karena itu banyak perilaku organisasi dan keputusan organisasi yang ditentukan oleh pola dasar asumsi yang telah hidup lama dalam organisasi tersebut. Pola dasar asumsi ini sangat mengakar dan sudah diterima sebagai kenyataan dalam organisasi. Dengan demikian kebudayaan dalam organisasi mampu untuk secara kuat mengontrol perilaku organisasi. Namun juga pada akhirnya kebudayaan tersebut seringkali juga menghambat gerak organisasi untuk berubah dan berkembang secara dinamis. Penjelasan aliran ini tentang kuatnya pengaruh
ISSN No. 1978-3787 kebudayaan tidak berarti menjadikan aliran ini mengabaikan preferensi pribadi anggota organisasi, meskipun tetap dianggap bahwa preferensi pribadi dalam organisasi tetap dikendalikan oleh nilai, norma, dan asumsi yang hidup dalam organisasi. Kebudayaan yang hidup dalam organisasi dapat berbeda antar organisasi satu dengan organisasi lainnya, karena jelas masing-masing kebudayaan tidak selalu muncul dan berkembang dalam waktu yang bersamaan. Sementara faktor yang mempengaruhi terbentuknya juga sangat beragam, misalnya budaya masyarakat setempat dimana organisasi itu berada, suasana pasar secara luas, gaya kepemimpinan dan sebagainya. Birokrasi menurut Martin Albrow digunakan sejak tahun 1745 oleh Vincent de Gounnay untuk menerangkan pemerintahan Prusia. Birokrasi lahir tepat pada waktunya, tatkala pemeliharaan ketertiban dan ketenteraman dan kemudian upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan menempati prioritas pertama. Penerangan konsep ini berlangsung secara luas dan berkembang di negara industri di Eropa dan Amerika. Birokrasi yang secara etimologis berarti ‘kekuasaan di belakang meja’ atau meminjam definisi Lance Castle adalah “orang-orang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan”. Dalam kacamata awam birokrasi adalah aparat pemerintah (pegawai negeri), yang dalam jargon Korpri sebagai abdi negara (yang melayani negara) bukan sebagai abdi rakyat (civil servant) yang melayani masyarakat. Birokrasi juga dapat diartikan sebagai government by bureaus, yaitu pemerintahan biro oleh personil yang diangkat oleh penguasa. Kadangkala birokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang kaku, macet, dan segala tuduhan yang negatif terhadap instansi yang berkuasa (red tape). Rasanya kurang afdol kalau kita membahas birokrasi tanpa menyinggung Weber. Walaupun sesungguhnya Weber secara eksplisit tidak mendefinisikan birokrasi. Birokrasi rasional oleh Weber dibebankan dengan birokrasi patrimonial. Pada pengertian pertama, birokrasi yang dimaksud memisahkan secara tajam antara kantor dan si pemegang jabatan, kondisi yang tepat untuk pengangkatan dan kenaikan pangkat, hubungan otoritas yang disusun secara sistematis antara kedudukan, serta hak dan kewajiban yang diatur dengan tugas. Sedangkan birokrasi patrimonial, kedudukan dan tingkah laku seluruh hirarki sebagian besar bergantung pada hubungan personal-kekeluargaan atau patront-client. Birokrasi yang paling rasional terlebih dahulu
____________________________________________ Volume 9, No.6, Oktober 2015
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787 mempersyaratkan proposisi-proposisi menurut legitimasi dan otoritas, serta memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan mereka. 2. Ada hirarki jabatan jelas. 3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas. 4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak 5. Mereka dipilih dengan kualifikasi profesional. 6. Memiliki gaji dan pensiun. 7. Pos jabatan adalah lapangan kerja pokoknya. 8. Terdapat struktur karir dan promosi atas dasar merit sistem dan keunggulan. Apa yang dikemukakan Weber tentang birokrasi rasional merupakan lembaga administratif belaka. Secara fungsional birokrasi dalam suatu negara diperlukan dan berguna memperlancar urusan-urusan pemerintahan dan pelayanan publik. Birokrasi mendapat konotasi positif. Sedangkan menurut pandangan Marx, The bureaucracy had eventually become a caste which claimed to posess, through higher education, the monopoly of the interpretation of the state’s interests. Style birokrasi pada masa Orde Baru mirip dengan sinyalemen Marx di atas, yang memonopoli interpretasi atas kebenaran, ideologi, dan simbol-simbol negara. Meminjam istilah Karl D.Jackson model birokrasi Orde Baru disebut bureaucratic polity yang salah satu cirinya adalah bahwa suasana politik menentukan diri dan otonom vis a vis lingkungan domestik. Politik terwujud sebagai persaingan antara lingkaran birokrat-birokrat tingkat tinggi berpangkat tinggi dan perwira-perwira militer. Kepolitikan birokrasi ini menurut Crouch dicirikan oleh 3 hal: 1. lembaga politik yang dominan adalah birokrasi. 2. Parlemen, parpol, kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah tanpa mampu mengontrol birokrasi. 3. Massa di luar birokrasi secara politik adalah pasif. Apa yang dikemukakan oleh Jackson dan Crouch di atas, tidak terlepas dari strategi Soeharto dalam mempertahankan kekuasaan selama 32 tahun dengan jalan mengkooptasi kekuatan nonnegara berada dalam kontrol dirinya melalui legitimasi UU, pengebirian UUD 45, Keppres, serta mengucilkan dan menjebloskan kelompok oposan. Sehingga monopoli kekuasaan berada di tangannya. Kekuasaan Soeharto dan birokrasi selama 32 tahun tanpa terkontrol, hasilnya adalah
Media Bina Ilmiah 55 kasus mega KKN serta, mental aparat yang bobrok. PEMBAHASAN Menurut Webber (1948), bahwa birokrasi merupakan hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi. Dapat disimpulkan bahwa legalitas dengan menggunakan legitimasi peran kekuasaan sangatlah penting sebagai pemegang kunci berjalannya sistem birokrasi. Bila pucuk pimpinan yang memengang kendali kekuasaan tidak menggunakan konsep manajerial yang objektif berdasarkan kemampuankemampuan individu dan cenderung mengendalikan birokrasi dengan frame politis, maka sistem birokrasi tidak akan berjalan pada poros yang semestinya. Pada akhirnya, akan terjadi patologi birokrasi seperti yang diuangkapkan oleh webber, yang menekankan pada adanya dominasi kekuasaan yang berlebihan dalam menjalankan sistem birokrasi (penyalahgunaan wewenang). Artinya, bila kepala daerah dalam mengelola birokrasi menggunakan pendekatan kekuasaan yang membabi buta dalam mengatur birokrasi, mengatur perangkat-perangkat, jabatan, fungsi dan kewenangan berdasarkan kalkulasi dalam melanggengkan kekuasaannya daripada melanggengkan pola kerja yang berorientasi terhadap fungsi pelayanan yang optimal, maka birokrasi akan jalan ditempat, karena energinya dihabiskan untuk memikirkan konflik-konflik yang syarat akan kepentingan dalam tubuh birokrasi. Bekerja atau tidaknya sistem birokrasi daerah ada ditangan kepala daerah terpilih. Dalam hal ini, bagaimana kepala daerah terpilih dituntut untuk bersikap objektif dan menanggalkan kalkulasi dukung mendukung dalam tubuh birokrasi menjelang Pemilukada. Hasrat untuk menyisihkan kelompok yang tidak mendukung dan menyokong kelompok yang kalah harus dibuang jauh-jauh. Resistensi akibat kemenangan dan kekalahan dalam tubuh birokrasi akan menimbulkan disharmonisasi para birokrat, dan ini tentu saja akan berakibat pada merosotnya kinerja para pelayan masyarakat ini. Pertanyaan yang kemudian muncul dari implikasi-implikasi negatif implementasi Otonomi Daerah ini adalah bagaimana memutus mata rantai
_____________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 9, No. 6, Oktober 2015
56 Media Bina Ilmiah keterkaitan birokrasi dan para aparaturnya ke dalam ranah politik. seperti yang sudah penulis gambarkan diatas, bahwa persoalan tarikan politik ke dalam struktur birokrasi adalah masalah klasik, dan persoalannya hanya terletak pada pergeseran domain politik dari pusat ke daerah, maka pendekatan sebagai jalan memutus mata rantai tersebut adalah menggunakan pendekatan sistem politik. bagi penulis, Otonomi Daerah tidak terlalu identik dengan perubahan sistem politik. Demokratisasi secara liberal yang terjadi ditingkat nasional tidak serta merta memberikan keharusan dan syarat mutlak bagi pelaksanaan otonomi daerah, karena fokus otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, pemerataan, efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Walaupun pelaksanaan otonomi Daerah harus memperhatikan prinsip demokrasi, ternyata tidak ada korelasi posistif antara Pemilihan Kepala Daerah Langsung dengan kualitas pelayanan publik di daerah, justru yang terjadi adalah kecenderungan adanya patologi politik yang berakibat pada patologi birokrasi yang penulis paparkan diatas. Ini adalah persoalan teknis pelaksanaan prinsip demokrasi, artinya bagaimana otonomi daerah ini bisa membangun teknis pelaksanaan demokrasi, tapi disisi lain menutup ruang bagi birokrasi untuk bermain dalam wilayah politik. Untuk menghasilkan seorang kepala daerah yang berkualitas, menyerap aspirasi masyarakat, cepat dan tanggap dalam menyelesaikan tugas dan persoalan yang ada di daerah, diperlukan sistem yang mempunyai korelasi posistif. Bila selama ini kita menganggap Pemilihan Kepala Daerah langsung merupakan formula yang baik untuk menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan menghasilkan aparatur birokrasi yang berkualitas, ternyata dengan fakta-fakta yang terjadi tidak menunjukan korelasi seperti itu. Pendekatan sistem politik dan prinsip demokrasi ini mengacu pada bagaimana teknis berdemokrasi yang bisa meminimalkan kecenderungan-kecendendungan yang bersifat negatif. Wacana-wacana yang selama ini muncul sebagai respon adanya patologi politik dan patologi birokrasi yang penulis paparkan memang sudah bermunculan, diantaranya adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Wacana ini harus dipikirkan kembali, sebagai jalan memutus mata rantai keterikatan birokrasi dalam wilayah politik. Dengan mekanisme ini, otonomi daerah juga tidak akan kehilangan ruhnya
ISSN No. 1978-3787 sebagai bagian dalam memantapkan demokrasi di tingkat lokal, sekaligus juga meminimalisasi politik High Cost, atau politik berbiaya tinggi sebagai konskwensi logis pelaksanaan Pemilukada. Kemudian pendekatan yang kedua adalah pembatasan kewenangan kepala daerah. Bila dalam UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2 kepala daerah diberi kewenangan yang besar dalam rangka pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian, maka untuk menghindari penyalahgunaan wewenang ini dari tarik ulur kepentingan politis, kewenangan ini harus dipangkas. Kewenangan dalam rangka pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian harus diserahkan kepada otoritas Menteri Dalam Negeri. Dalam hal ini otoritas Menteri Dalam Negeri tidak hanya sebagai instrumen pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil daerah, tetapi juga diberi kewenangan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian. Kemudian pendekatan yang ketiga adalah penguatan sistem birokrasi yang bisa bertahan dari intevensi politik. Pendekatan ini bisa dirumuskan kedalam sistem kerja, sistem hirarki dan pemisahan otoritas antara jabatan politik (kepala daerah) dan jabatan karir melalui aturan, hukum dan perundang-undangan. Penerapan sistem merit (merit system) yaitu adanya kesesuaian antara kecakapan yang dimiliki seorang pegawai dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya, meliputi tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal/diklatpim, pendidikan dan latihan teknis, tingkat pengalaman kerja, dan tingkat penguasaan tugas dan pekerjaan. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sistem merit (merit system) dalam kebijakan promosi jabatan di daerah meliputi regulasi, kontrol eksternal dan komitmen pelaku. Setiap kali dibuka pendaftaran calon Pegawai Negeri Sipil (PNS), pelamarnya selalu membeludak. Ini dapat dimengerti mengingat profesi yang satu ini masih menjadi lahan yang selalu diperebutkan meski dengan gaji yang kata sebagian orang cukup pas-pasan akan tetapi dinilai memiliki masa depan yang cukup terjamin. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika setiap kali dibuka pendaftaran, orang pun berjubel bak semut untuk membentuk konsentrasi massa. Dan bahkan, begitu besarnya animo masyarakat untuk melamar pekerjaan ini sehingga tidak jarang berbagai masalah yang muncul baik sebelum maupun setelah pengumuman hasil tes CPNS seperti mulai
____________________________________________ Volume 9, No.6, Oktober 2015
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787 dari munculnya dugaan kasus suap menyuap dalam bentuk uang pelicin untuk lulus seleksi, maraknya praktik percaloan dan beredarnya surat sakti, penundaan pelaksanaan ujian seleksi selama beberapa waktu, beredarnya isu terjadinya kebocoran soal tes. Dan adanya kelulusan ganda sampai kepada persoalan munculnya masalah terhadap LJK (Lembar Jawaban Komputer) dan skoring. Timbulnya setumpuk masalah dalam seleksi penerimaan CPNS tentu saja tidak lepas dari kinerja birokrasi sebagai lembaga yang dinilai memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengelola proses rekrutmen CPNS. Apalagi, dalam masyarakat yang sifatnya heterogen yang terdiri dari aneka warna kepentingan dan kebutuhan yang seringkali membuat seseorang ingin memaksakan keinginannya di atas kepentingan masyarakat luas. Kondisi seperti inilah yang kemudian tumbuh dan berkembang secara luas di tengah masyarakat dan menjadi salah satu pemicu munculnya berbagai bentuk penyakit dan masalah lain yang dihadapi oleh birokrasi. Seperti: Pertama, bertahannya birokrasi patrimonial. Dalam hal ini, promosi pegawai tidak lagi didasarkan pada keahlian dan kompetensi yang dimiliki oleh individu melainkan lebih diarahkan pada hubungan kekeluargaan, ikatan darah, perkawinan, keluarga, daerah, golongan dan lain sebagainya. Anggapan seperti ini pernah juga dikemukakan oleh salah seorang sarjana asing, Richard Robinson (1986) yang pada dasarnya berkesimpulan bahwa fenomena korupsi yang terjadi di negeri ini awalnya berakar pada bertahannya jenis birokrasi patrimonial. Dan yang lebih parah lagi, apabila birokrasi yang tidak sehat itu dianggap sebagai personifikasi negara yang memiliki hak monopoli semua bentuk kekuasaan, sehingga dengan demikian birokrasi memonopoli kekuasaan baik sebagai pelaksana maupun pengontrol kegiatan pembangunan. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan terjadi transaksi koruptif di dalamnya yang melibatkan para birokrat untuk menjual kebijakan negara demi kepentingan pribadi, keluarga ataupun kelompok. Padahal menurut Max Weber bahwa salah satu ciri birokrasi yang ideal adalah setiap pejabat sama sekali tidak diperbolehkan untuk melaksanakan tugas yang terkait dengan jabatannya dan sumber daya instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Akhirnya, tantangan lain yang muncul dalam birokrasi adalah prosedur kerja yang tidak efisien dan efektif. Itulah sebabnya, mengapa sering
Media Bina Ilmiah 57 muncul kesan yang kurang baik terhadap kinerja birokrasi yang sering dihubungkan dengan mekanisme kerja dan kegiatan administrasi yang cenderung lamban dan berbelit-belit (Red Tape). Akibatnya, mereka yang berurusan dengan birokrasi dengan prosedur kerja seperti ini harus menghabiskan biaya, tenaga dan waktu yang cukup banyak untuk sesuatu urusan yang sebenarnya sangat sederhana, efisien dan dengan biaya yang murah. Dan yang lebih aneh lagi, jika muncul pula sebagian birokrat yang bermental arogan, sok tahu, tidak disiplin, memiliki etos kerja yang lemah, dan suka mengaburkan masalah. Salah satu upaya yang harus dilakukan oleh birokrasi publik untuk meminimalisir segala bentuk penyimpangan dalam rangka proses penerimaan CPNS adalah dengan cara menerapkan merit system. Suatu model Perekrutan yang mana calon yang lulus seleksi benar-benar didasarkan prestasi, kompetensi, keahlian maupun pengalaman calon sehingga dengan demikian tipe rekrutmen yang bersifat spoil system (sistem pemanjaan) yang lebih ditekankan pada hubungan patrimonial dapat dieliminasi. Dengan menerapkan tipe merit system, ini berarti bahwa calon yang lulus dalam seleksi dijamin memiliki kualitas yang baik yang dapat mendukung kinerja birokrasi untuk lebih optimal di masa yang akan datang. Selain itu, untuk mencapai tujuan ini, ada juga beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka melakukan reformasi dalam tubuh birokrasi, antara lain: Pertama, Transparansi. Di tengah semakin derasnya arus tuntutan masyarakat terhadap terwujudnya tata pemerintahan yang baik, maka prinsip keterbukaan harus ikut mewarnai mekanisme perekrutan CPNS. Ini dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kinerja birokrasi yang bersifat terbuka dan transparan dalam menyampaikan informasi dan data yang akurat kepada masyarakat tentang mekanisme seleksi mulai dari masa pendaftaran hingga pengumuman hasil ujian sehingga dengan demikian masyarakat dapat memberikan penilaian yang lebih objektif dan rasional terhadap kinerja birokrasi. Kedua, Akuntabilitas publik. Mengingat seleksi penerimaan CPNS berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat luas, maka adalah wajar jika seluruh tindakan, perilaku dan aktivitas serta segala kebijakan dalam birokrasi harus pula dipertanggungjawabkan kepada publik. Sebaliknya, masyarakat harus lebih proaktif untuk bertindak dalam melakukan kontrol terhadap
_____________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 9, No. 6, Oktober 2015
58 Media Bina Ilmiah birokrasi sehingga seluruh tugas dan tanggung jawab yang dilakukan oleh para birokrat baik yang bersifat administratif maupun fungsional senantiasa diorientasikan pada komitmen dan keberpihakan bagi kepentingan publik. Ketiga, pelayanan yang profesional. Kualitas pelayanan birokrasi kepada masyarakat sangat dipengaruhi berbagai faktor seperti: kualitas kepemimpinan dalam birokrasi, prosedur pelayanan sifatnya harus efisien, sederhana, mudah dijangkau di semua lapisan masyarakat, tepat, jelas dan aman. Di samping itu, untuk lebih mengoptimalkan pelayanannya kepada publik, khususnya dalam kaitannya dengan proses rekrutmen CPNS, maka posisi birokrasi harus netral sebagai mesin pemerintahan yang melaksanakan tugas-tugas administrasi dan operasional secara proporsional, rasional, objektif. Ini sangat penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk mencegah jangan sampai birokrasi menjadi arena pertarungan dari berbagai bentuk intervensi dan konflik kepentingan di antara individu atau kelompok yang pada akhirnya menjadikan birokrasi tidak dapat bekerja secara sehat, efektif, profesional dan mandiri.Keempat, kehadiran lembaga independen.
ISSN No. 1978-3787 tarikan politik dalam memperebutkan kursi kepala daerah. Keadaan seperti ini memang merupakan buah dari sistem otonomi daerah yang memberi ruang sangat besar bagi konsolidasi demokratisasi di daerah. Dinamika dan warna-warni politik semakin ramai ditingkat lokal. Hiruk-pikuk demokrasi di tingkat lokal ini ternyata menyeret birokrasi daerah kedalam wilayah politik. fenomena ini haruslah menjadi kajian bersama dalam menciptakan sistem yang memutus mata rantai terseretnya birokrasi daerah dalam wilayah politik lokal. Birokrasi yang profesional adalah birokrasi yang memandang politisi dan partai politik secara objektif. Karena bagaimanapun, sepatutnya pegawai negeri sipil berkomitmen penuh untuk mengabdi pada masyarakat (Edgar Gladden, 1956) tanpa diganggu oleh proses politik. Birokrasi yang netral akan menjadikan pemerintahan lebih stabil dan mampu meningkatkan daya kinerja dan pelayanan publik sebuah daerah. Sebenarnya menghilangkan pengaruh politik dari birokrasi sama sekali adalah hal yang tidak mungkin (Guy Peters, 2001; Dag Jacobsen, 2006). Maka yang diperlukan adalah penguatan sistem birokrasi yang tahan terhadap pengaruh dan intervensi politik yang negatif (Tri Widodo, 2011).
PENUTUP Implementasi Otonomi Daerah pada hakekatnya adalah memberi ruang kepada daerah dalam mengelola urusan rumah tangganya sendiri secara otonom dengan prinsip-prinsip demokrasi. Sebagai tulang punggung utama terciptanya Otonomi daerah yang berkualitas, pengelolaan birokrasi daerah yang profesional adalah kunci bagi terciptanya tujuan-tujuan implementasi otonomi daerah. Tapi proses politik yang mengiringi implementasi otonomi daerah ternyata tidak melepaskan birokrasi dari tarikan-tarikan politik sebagaimana yang terjadi pada masa orde baru. Masalah ini tentunya akan sangat kontra produktif bagi kinerja pelayanan publik. Gejala ini haruslah menjadi cermin dalam rangka menyempurnakan sistem dan landasan hukum yang baik bagi pelaksanaan otonomi daerah. Sistem yang dimaksud adalah sistem politik yang bisa meminimalisasi tarikan-tarikan kepentingan yang menyeret birokrasi daerah dalam situasi politik lokal. Kemudian yang kedua adalah menyempurnakan landasan hukum yang mempunyai korelasi terciptanya independensi birokrasi dan para birokrat di daerah dari tarikan-
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 ahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Martin Albrow, 2005, Birokrasi, Tiara Wacana, Yogyakarta. LIPI Press, 2006: Netralitas Birokrasi dalam Pilkada Langsung di Indonesia 2005 (Studi kasus Malang, Gowa dan Kutai Kartanegara). Prijono Tjiptoherijanto: Mewujudkan Netralitas PNS Dalam Era Otonomi Daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
____________________________________________ Volume 9, No.6, Oktober 2015
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787
Media Bina Ilmiah 59
Albrow. 1989. Birokrasi. alih bahasa M. Rusli Karim dan Totok Daryanto. Tara Wacana. Yogyakarta. Blau, Peter M dan Meyer, Marshal W. 1991. Birokrasi Dalam Masyarakat Modern. UI Press. Jakarta. Mas’oed, Mohtar. 1994. Politik Birokrasi dan Pembangunan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Thoha, Miftah. 1991. Beberapa Kebijaksanaan Birokrasi. Widya Mandala. Yogyakarta. Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Tjokrowinato, Moeljarto. 2001. Birokrasi dalam Polemik. Pustaka Peajar. Yogyakarta. Wrong, Denis. 2003. Max Weber Suatu Khazanah. Ikon Teralitera. Yogyakarta.
_____________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 9, No. 6, Oktober 2015