5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
i
ii
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
iii
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan Copyright@2011 LPS Tim Penyusun : Rudjito, Firdaus Djaelani, Salusra Satria, Hari Prasetya, Suwandi, M. Iman Nuril, Prisnaresmi Joeniarto, Yudha Ramelan,Tatit Triyanto, M. Yusron, Ahmad Fajarprana, Trisnani Dewi Permata Sari. Editor Cover & Layout Drawing
: Luqman Hakim Arifin, Wiyanto Suud, GA. Guritno : Reza Alfarabi (Rene Asia) : Yudi Irawan (ReneAsia)
Diterbitkan oleh : Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Cetakan
: I, Mei 2011
ISBN
: 978-602-97533-0-1
Daftar Isi
Sambutan Ketua Dewan Komisioner LPS—xi Kata Pengantar—xv BAB I LATAR BELAKANG PENDIRIAN LPS—1 1. Krisis 1997/1998 dan Kebijakan Blanket Guarantee—3 2. Praktek Terbaik dan Guidance IADI—5 3. Dasar Hukum Lembaga Penjaminan Simpanan—11 4. LPS, Perbankan dan JPSK—12 5. LPS dan JPSK—14 6. LPS dan OJK—16 BAB II FUNGSI DAN TUGAS LPS—17 1. Fungsi, Tugas dan Wewenang LPS—19 2. Simpanan yang Dijamin—22 3. Penjaminan Perbankan Syariah—27 4. Tata Kelola—28 5. Struktur Organisasi—37 6. Pendanaan—38 BAB III PENJAMINAN SIMPANAN NASABAH BANK—47 1. Analisis Kondisi Bank—49 2. Perhitungan Cadangan—50 3. Premi Berbasis Resiko—51 4. Bank Dalam Pengawasan Khusus—54 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
v
5. 6. 7. 8. 9.
Lower Cost Test—57 Pencabutan Izin Usaha Bank—58 Proses Rekonsiliasi dan Verifikasi—59 Pembayaran Klaim Penjaminan—60 Daftar Bank yang Telah Dibayar Klaimnya—61
BAB IV LIKUIDASI BANK—67 1. Tindak Lanjut Pencabutan Izin Usaha Bank—69 2. Pembentukan Tim Likuidasi—72 3. Pelaksanaan Likuidasi Bank—75 4. Pembagian Hasil Likuidasi—79 5. Permasalahan Likuidasi—80 6. Subrogasi—82 BAB V RESOLUSI BANK GAGAL—85 1. Penyelesaian Bank Gagal yang Tidak Berdampak Sistemik—88 2. Penanganan Bank Gagal yang Berdampak Sistemik—92 BAB VI PENYELAMATAN BANK CENTURY—97 1. Bank Century dalam Pengawasan Khusus—102 2. Bank Century Ditengarai Berdampak Sistemik dan Ditetapkan sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik—103 3. Dasar Hukum Penyelamatan Bank Century—105 4. Kondisi Keuangan Bank Century Saat Diserahkan Penanganannya kepada LPS—106 5. Tindakan LPS dalam rangka penanganan Bank Century—107 6. Penggunaan dana Penyertaan Modal Sementara (PMS) LPS—117 7. Upaya Penyehatan dan Perkembangan Kinerja Bank Century—119 8. Rencana Divestasi —120
vi
Endorsements 1. Rudjito—121 2. Firdaus Djaelani—129 3. Krisna Wijaya—135 4. Pontas R. Siahaan—141 5. Paul Sachtleben—147 6. Salusra Satria—153 Daftar Pustaka—159 Daftar Istilah—160 Lampiran: Pandangan dan Komentar soal LPS—163
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
vii
viii
Untuk Bapak Rudjito dan Anggota Dewan Komisioner Generasi I, serta Seluruh Rakyat Indonesia..
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
ix
x
SAMBUTAN KETUA DEWAN KOMISIONER LPS
K
ami sangat menyambut baik terbitnya buku ini yang berisi pengalaman LPS selama lima tahun dalam menjalankan dwifungsinya, yaitu menjamin simpanan nasabah penyim pan dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan. Buku ini merupakan salah satu bentuk akuntabilitas LPS kepada para stakeholder. Sebagai lembaga yang independen, akuntabilitas adalah sangat penting diterapkan sehingga para stakeholders mengetahui apa dan bagaimana LPS menjalankan fungsi dan tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS). Dalam rangka menjalankan fungsi dan tugasnya, LPS memiliki visi yaitu sebagai lembaga penjamin yang dipercaya dalam memelihara stabilitas sistem perbankan nasional. Kami sangat menyadari bahwa kepercayaan adalah segala-galanya bagi suatu lembaga penjamin. Kepercayaan bukanlah didapat seketika, tetapi perlu diperjuangkan secara terus-menerus dengan berbagai karya nyata. Selain itu, kami juga senantiasa mengedepankan nilainilai integritas, kompetensi, kejujuran dan akuntabilitas dalam menjalankan kegiatan operasional LPS sehari-hari. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
xi
Dalam rangka menjaga stabilitas sistem perbankan, LPS ber sama-sama dengan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan OJK (kalau sudah terbentuk), merupakan bagian dari Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang meliputi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan; Fasilitas Lender of Last Resort (LoLR); program penjaminan simpanan nasabah dan resolusi bank gagal; dan manajemen krisis yang meliputi pencegahan krisis dan penanganan krisis. Untuk sebuah institusi, umur lima tahun memang masih dirasa muda. Tetapi tidak berarti LPS boleh belum banyak melakukan sesuatu yang strategis sebagaimana fungsi yang diembannya berdasarkan UU LPS. Dalam kerangka menjalankan fungsi yang pertama, sampai dengan akhir 2010, LPS telah membayar klaim penjaminan sebesar Rp 585 miliar kepada nasabah 30 BPR dan satu bank umum yang dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia. Pada penghujung tahun 2008 sampai dengan saat ini, dalam rangka memelihara stabilitas sistem perbankan, LPS melakukan penyelamatan terhadap PT Bank Century, Tbk. (saat ini PT Bank Mutiara, Tbk.) yang telah ditetapkan sebagai bank gagal yang berdampak sistemik. Dalam rangka penyelamatan bank tersebut, LPS telah menyuntik modal Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun. Sesuai UU LPS, dana tersebut merupakan Penyertaan Modal Sementara (PMS) LPS pada Bank Century yang berbentuk saham dengan porsi kepemilikan sebanyak 99,996% dari seluruh saham yang beredar. Penyelamatan PT Bank Century, Tbk. yang telah ditetapkan sebagai bank gagal yang berdampak sistemik akhirnya menjadi kontroversi. Sesuai Pasal 5 ayat (2) huruf c UU LPS, salah satu tugas LPS adalah melakukan penanganan bank gagal yang ber dampak sistemik. LPS tidak memiliki opsi lain selain melakukan penyelamatan terhadap bank gagal yang telah ditetapkan sebagai bank gagal yang berdampak sistemik sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b UU LPS. LPS dan jajaran Direksi PT Bank Mutiara, Tbk. Saat ini berusaha keras untuk meningkatkan value Bank Mutiara, sehingga pada saat dilakukan divestasi memperoleh hasil yang optimal, yaitu sekurang-kurangnya sebesar PMS yang
xii
telah dikeluarkan LPS. Namun, dalam hal pengembalian optimal tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu tertentu, Pasal 42 UU LPS telah mengatur bahwa pada akhir tahun keenam, LPS harus melepas bank ini dengan harga terbaiknya, tanpa memperhatikan tingkat pengembalian optimal. Dari pengaturan seperti ini, jelaslah bahwa sesungguhnya maksud pendirian LPS bukan didesain sebagai suatu korporasi yang selalu memperhitungkan untung rugi. Tetapi, yang paling utama adalah LPS sebagai salah satu elemen Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) harus mampu mendorong ter wujudnya stabilitas sistem perbankan. Kadang kala kita merasakan seolah-olah stabilitas tidak ada ongkosnya, padahal untuk terwujudnya stabilitas selalu membutuh kan biaya. Masih belum jauh dari ingatan kita, betapa besarnya ongkos yang ditanggung oleh bangsa ini pada saat krisis 1997/1998. Bank-bank berjatuhan karena jutaan nasabah secara serentak menarik dana simpanannya, dan pada akhirnya ada yang ditutup, ada yang direkap/dinasionalisasi, dan ada juga yang dimerger. Saya kira kita sepakat kejadian krisis ekonomi 1997/1998 tak perlu terjadi lagi. Demikian sambutan dari saya, ucapan terima kasih dan peng hargaan setinggi-tingginya untuk Tim Penyusun buku ini. Se moga buku ini bermanfaat dan menambah khazanah dalam per bendaharaan literatur program penjaminan simpanan. Terima kasih, C. Heru Budiargo
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
xiii
xiv
Kata Pengantar
M
anusia sebagai homo economicus mengawali transaksi antar sesamanya atas dasar saling percaya (trust). Se pan jang sejarah umat manusia, menjaga ke per cayaan adalah prinsip dasar utama yang menjadikan perekonomian makin kompleks, tumbuh besar dan stabil. Tanpa kepercayaan, runtuhlah struktur dasar sebuah bangunan kokoh perekonomian. Masih belum hilang dari ingatan kita batapa dahsyatnya dampak dari hilangnya kepercayaan yang melanda sistem keuangan terutama industri per bankan kita kala krisis fi nansial global pecah pada tahun 19971998. Jutaan nasabah serentak dalam kurun dua bulan menarik dana simpanannya secara besar-besaran dari perbankan. Kebangkrutan teknis bank-bank yang disusul dengan program restrukturisasi dan pembiayaan ulang industri perbankan membawa konsekuensi pahit. Sebanyak 82 bank komersial ditutup, 13 bank dinasionalisasi dan lainnya direkapitalisasi atau dimerger. Beberapa bank pemerintah dikonsolidasikan menjadi lembaga keuangan yang lebih besar. Pasca krisis ekonomi 1997-1998 potensi kerugian yang timbul dari adanya peristiwa penutupan suatu bank masih relatif besar. Setiap tahun selalu saja ada bank yang mengalami masalah, beberapa diantaranya harus berakhir dengan dicabutnya izin usaha bank ter sebut. Kejadian kelam dunia perbankan pernah kita alami ketika Bank Summa pada tahun 1992 mengalami rush dan akhirnya kolaps. Cerita serupa muncul lagi dalam skala yang lebih masif pada tahun 1998, ketika krisis keuangan regional yang dalam sekejap berubah menjadi krisis global meledak. Krisis multi dimensi, terutama kondisi ekonomi dan industri per bankan yang rapuh pada waktu itu telah membuat kepercayaan 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
xv
publik terhadap perbankan berada pada titik nadir. Demi cita-cita Pro klamasi dan Pembukaan UUD 1945 untuk menciptakan ke se jahteraan sosial, Pemerintah pun menarik garis kesimpulan tajam dan tebal, bahwa: ketidakpercayaan masyarakat kepada bank adalah kondisi buruk yang tidak boleh terulang lagi. Salah satu upaya strategis untuk menciptakan dan menjaga kepercayaan masyarakat kepada industri perbankan adalah perlu nya skim penjaminan simpanan yang dijalankan oleh sebuah lem baga yang independen, kompeten, dipercaya, dan mapan. Lembaga pen jaminan simpanan tersebut didisain merupakan bagian dari jaring pengaman sistem keuangan atau Financial Safety Net (FSN) yang pembentukannya telah diadopsi banyak negara dalam rangka menciptakan stabilitas sistem keuangan. Apalagi industri perbankan adalah salah satu sektor yang menga lami perkembangan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan makin kompleksnya transaksi keuangan serta perdagangan global. Pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dan komputer dalam sistem perbankan makin meningkatkan jumlah dan variasi produk serta jasa perbankan. Pemanfaatan teknologi pada sisi risiko makin memperbesar kemungkinan peluang penyalahgunaan dan hilangnya asas kehati-hatian di industri perbankan. Oleh sebab itu, sebagai antisipasi ke depan maka keberadaan lem baga penjamin simpanan yang kokoh dan berkesinambungan adalah pola termurah dan lebih rendah dampak hukumnya. Ke runtuh an industri perbankan tidak boleh terjadi lagi. Pasalnya, fungsi bank sebagai lembaga intermediasi keuangan haus tetap berjalan. Bank menghimpun dana pihak ketiga lalu me nyalurkannya dalam ber bagai bentuk investasi dan permodalan harus terus meningkat se cara signifikan seiring dengan kebutuhan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Tragedi bank-bank bermasalah yang akhirnya tidak bisa diselamatkan lagi harus diminimalkan. Pada sisi lain, seperti sebuah keping mata uang yang sulit dipi sahkan, publik pun selalu mendambakan bank-bank yang kuat se hingga simpanan dan investasinya aman. Namun, tidak bisa dipung kiri bahwa apa yang terjadi (Das Sein) sering tidak seperti yang se harusnya atau semestinya (Das Sollen). Dalam paradigma ini, maka
xvi
perlulah sebuah lembaga yang melakukan fungsi penjaminan atas simpanan para deposan untuk tetap menjaga kepercayaan masyara kat kepada perbankan. Tanpa format, mekanisme, landasan hukum serta sistem penjaminan yang kuat dan transparan, maka sebuah in dustri perbankan sebenarnya rapuh. Belajar dari keruntuhan bank-bank di tanah air dan kisah kelam industri perbankan di banyak negara, maka lahirlah Lembaga Pen jaminan Simpanan (LPS). Kehadiran LPS tahun 2005 adalah sebuah amanat untuk mendukung sistem perbankan yang sehat dan stabil. Program penjaminan simpanan terhadap simpanan nasabah bank harus dilakukan secara independen dan berkesinambungan. Mem bangun kepercayaan (trust) publik atas industri perbankan adalah salah satu kunci penting dari upaya menjaga stabilitas perbankan. Dalam konteks lingkungan dan kondisi perekonomian yang se lalu menghadapi gempuran dan keguncangan itulah, untaian fakta dan pengalaman tersusun dalam buku ini. Menginjak usianya yang keenam, LPS telah berperan besar dalam mendukung sistem per bankan nasional. Fungsi utama LPS menjamin simpanan nasabah bank adalah bentuk menenangkan publik dari gejolak dan rumors liar di tingkat akar rumput yang justru sering mengganggu kondisi finansial yang diinginkan. Kondisi ideal di mana bank-bank semakin hati-hati (prudent) dalam mengelola usahanya dan nasabah makin cerdas (smart) dalam memantau atas performa bank (bank minded) adalah harapan LPS. Skim penjaminan berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 tentang LPS merupakan adopsi dan pembentukan format ideal berdasarkan praktik terbaik (best practices) yang dihimpun asosiasi lembaga pen jaminan simpanan dari pengalaman berbagai negara. Dalam kurun waktu lima tahun sejak berdiri, LPS telah melakukan pembayaran klaim penjaminan dan melikuidasi lebih dari 25 bank, sebagian besar merupakan BPR dan hanya satu bank umum, Bank IFI. Sedangkan dalam pelaksanaan tugas untuk melakukan penanganan bank gagal (bank resolution) melalui penyelamatan, LPS mempunyai pengalaman sangat berharga yang patut dipahami oleh publik. Masuknya Bank Century di bengkel restorasi dan reparasi LPS adalah sebuah rentetan pelajaran teramat penting guna menghadapi 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
xvii
permasalahan sejenis di masa mendatang. Dalam paradigma negara tak bertapal batas (borderless) dan saling mempengaruhi (mutually influence) maka ketidakpastian (uncertainty), risiko besar (big riski ness) dan keguncangan (turbulence) finansial akan selalu datang si lih berganti. Kondisi keuangan dunia dan regional yang tidak menentu seperti di atas itulah yang juga menjadi pendorong mengapa pengalaman LPS harus dibagikan (shared) kepada semua pemangku kepentingan (stakeholders). Tujuannya dari upaya penyadaran bersama akan arti pentingnya LPS ini adalah agar publik makin mencintai industri perbankan di tanah air, bisa menabung dengan tenang dan akhirnya dapat menciptakan sistem perbankan yang lebih stabil. Apabila pembaca bisa merangkum dan memahami benang merah dari gejolak dunia perbankan dalam kurun enam tahun ini, maka akan nampak bahwa potensi membangun industri perbankan yang sehat dan stabil masih terbuka lebar. Oleh sebab itu, semua pemangku ke pentingan tidak harus berpuas diri. Masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki, terutama dalam pelaksanaan penjaminan simpanan, serta penyelesaian dan penanganan sebuah Bank Gagal. Merangsang pemikiran dan ide-ide segar guna menyempurnakan fungsi, tugas dan wewenang LPS di tingkat strategis (strategic) dan penerapannya (implementation) adalah salah satu tujuan dari ke hadiran buku ini. LPS sendiri sebagai sebuah institusi percaya bahwa guru agung dalam mengarungi pertumbuhan ekonomi nasional adalah belajar dari pengalaman. Tidak berhenti pada satu titik, tidak berpuas diri dan selalu melakukan koreksi akan dijadikan spirit kami dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenang yang diemban sehari-hari. Membangun tradisi yang menjunjung tinggi nilai integritas, kom petensi, kerja sama, keefektifan, akuntabilitas, dan kejujuran akan terus kami usahakan terus-menerus. Last but not least. Buku ini kami dedikasikan untuk rakyat Indonesia secara umum, dan kepada Bapak Rudjito sebagai Ketua Dewan Komisioner serta anggota Dewan Komisioner LPS angkatan I yaitu Bapak Darmin Nasution, Bapak Maman H. Soemantri, Bapak Krisna Wijaya, Bapak Markus Parmadi, Bapak Pontas R. Siahaan dan
xviii
anggota Dewan Komisioner LPS angkatan II yaitu Bapak R. Fuad Rahmany, Bapak Muliaman D. Hadad, Bapak C. Heru Budiargo (yang sejak 24 September 2010 menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner menggantikan Bapak Rudjito), dan Bapak Siswanto atas peran dan dedikasinya kepada LPS. Kami berharap, semoga keberadaan buku ini bisa merangsang siapa saja yang menyimaknya baik itu pelaku perbankan, pengamat, politisi, pejabat, profesional, cerdik cendikia dan masyarakat umum untuk makin mencintai serta mau bersamasama membangun industri keuangan nasional kita. Tim Penyusun
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
xix
xx
BAB I
LATAR BELAKANG PENDIRIAN LPS
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
1
•
Krisis perekonomian global 1998 menghantam industri keuangan di tanah air. Kebangkrutan bank-bank nasional memicu ketidakpercayaan masyarakat pada sektor ini. Untuk mengembalikan kepercayaan publik dan memulihkan kestabilan sistem perbankan, pemerintah mengeluar kan kebijakan memberikan jaminan penuh atas semua kewajiban pem bayaran bank (blanket guarantee).
•
Namun kebijakan itu bisa memicu moral hazard dan rendahnya disiplin pasar. Belajar dari pengalaman banyak negara dan lembaga internasional yang mewadahi para penjamin simpanan (International Associated of Deposit Insurance/IADI) dari beberapa negara, maka perlu dibentuk sebuah lembaga penjaminan simpanan di tanah air. Bagaimana konsep dasar, kepesertaan, pendanaan, premi dan kepedulian publik dibentuk bisa berpegang pada pedoman IADI.
•
Lahirnya UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menandai babak baru sistem perbankan nasional. Keberadaan LPS ini tidak bisa dilepaskan dari upaya peningkatan stabilitas sektor keuangan dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan yang lain dalam rangka menciptakan jaring pengamanan sistem keuangan yang terpadu. Namun, eksistensi dari LPS yang utama adalah menciptakan kepercayaan masyarakat kepada institusi perbankan.
2
1. KRISIS 1997/1998 DAN KEBIJAKAN BLANKET GUARANTEE Krisis moneter yang menghantam Indonesia pada pertengahan tahun 1997 membawa imbas serius terhadap kondisi sektor finansi al, terutama dunia perbankan. Ketika itu, bank-bank umum nasio nal mengalami kesulitan likuiditas dan atau solvabilitas akibat terganggunya Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Sejumlah langkah penyelamatan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter tak mempan menahan terjadinya kekeringan likuiditas di industri strategis tersebut. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan pun jatuh pada titik terendah. Pasca kerusuhan massal pada Mei 1998, para nasabah di hampir seluruh wilayah tanah air menarik dananya secara besarbesaran dari bank (rush). Akibatnya, kondisi bank di tanah air pun semakin terpuruk. Dunia perbankan tak kuasa menahan gempuran rush tersebut. Kondisi pelik ini berlanjut sampai akhir tahun 1998 dengan 16 bank terpaksa ditutup oleh pemerintah. Bagi para pelaku sektor keuangan, keadaan tahun 1997 dan 1998 adalah lembaran hitam dalam sejarah industri keuangan. Situasi tak terkendali seperti saat itu jelas tidak bisa dibiarkan begitu saja. Untuk itu, tahun 1998, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank umum (blanket guarantee). Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kemudian dibentuk pemerintah guna melakukan penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah, dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan. Dengan kebijakan blanket guarantee ini, pemerintah menjamin pembayaran terhadap seluruh kewajiban bank, termasuk pembayaran simpanan masyarakat di bank jika suatu bank dilikuidasi. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
3
Kebijakan ini bertujuan untuk memulihkan kepercayaan masya rakat terhadap sektor perbankan. Masyarakat diharapkan tak lagi khawatir menyimpan uangnya di bank. Karena apabila terjadi krisis pada suatu bank, uang masyarakat akan tetap aman dan mendapat jaminan pengembalian dari pemerintah. Dengan kebijakan ini, pemerintah juga berharap kondisi sektor keuangan bisa kembali normal dan stabil, sekaligus pada saat yang bersamaan, dunia per bankan bisa memperbaiki diri dan merebut kembali kepercayaan dari masyarakat. Akan tetapi, jika dipandang dari aspek budgeting negara, tentu saja tidak terbatasnya ruang lingkup penjaminan telah membebani anggaran negara. Model blanket guarantee bisa memicu timbulnya moral hazard baik dari pihak pengelola bank maupun dari masya rakat sendiri. Pengelola bank dapat menjadi kurang hati-hati (pru dent) dalam mengelola dana masyarakat, dan sebaliknya, para nasabah bank tidak mau peduli terhadap kondisi keuangan bank karena mengetahui simpanannya dijamin secara penuh oleh pe merintah. Karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa program penjaminan atas seluruh kewajiban bank kurang mendorong ter ciptanya disiplin pasar (market discipline). Meskipun demikian, organ yang berperan menjaga kepercayaan publik sekaligus mempertahankan stabilitas sistem perbankan nasional melalui penjaminan kewajiban pembayaran bank harus te tap ada. Terlebih untuk masa yang akan datang ketika peran sektor perbankan sebagai salah satu pilar utama perekonomian menjadi semakin signifikan. Hanya saja, penjaminan kewajiban pembayaran bank itu juga harus tetap memperhatikan risiko beban anggaran negara dan moral hazard yang mungkin timbul. Seperti praktek di banyak negara lain, penjaminan kewajiban pembayaran bank harus dilakukan dengan cara dibatasi. Biasanya dengan memberikan penjaminan simpanan nasabah bank sampai jumlah tertentu. Pengurangan penjaminan dari kondisi saat itu sampai ke lingkup dan tingkat terbatas yang makin ideal harus dilakukan dengan hati-hati dan bertahap (gradually phased out). Pada saat pengurangan penjaminan telah mencapai lingkup dan tingkat yang terbatas itu, maka pelaksana pemberian penjaminan
4
akan dilakukan oleh sebuah lembaga penjamin simpanan. Dengan pertimbangan untuk membangun sistem penjaminan simpanan yang handal, Pemerintah membentuk Tim Kelompok Kerja (selanjutnya disebut Tim Kerja) dalam rangka Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan dengan tugas untuk mengkaji dan menyiapkan ketentuan pengurangan cakupan penjaminan blanket guarantee, mempersiapkan ketentuan perundang-undangan pendirian LPS, serta mempersiapkan kelembagaan LPS. Tim Kelompok Kerja tersebut diketuai oleh Salusra Satria. Adapun Tim Pengarah Kelompok Kerja dimaksud diketuai oleh Darmin Nasution dan Tim Pelaksana diketuai oleh Firdaus Djaelani. Dalam rangka penyusunan RUU LPS, Tim Kerja melakukan kajian pustaka dan studi banding ke penjamin simpanan yang telah berpengalaman, antara lain ke Philippines Deposit Insurance Corporation di Filipina dan Korea Deposit Insurance Corporation di Korea serta melakukan konsultasi secara intensif dengan Canada Deposit Insurance Corporation dan International Association of Deposit Insurers. Menurut Salusra Satria, “Penjaminan simpanan di satu sisi berperan sangat penting dalam mendukung stabilitas sistem keuangan, namun demikian pemberlakuan sistem tersebut juga mempunyai beberapa efek samping antara lain berupa dorongan moral hazard bagi bankir dan nasabah. Untuk itu, dalam penyusunan RUU LPS, skim penjaminan simpanan perlu dirancang sedemikian rupa sehingga efek baiknya dapat terealisasi dan efek buruknya dapat diminimalkan.”
2. PRAKTEK TERBAIK DAN GUIDANCE IADI
Konsep Dasar Penjaminan Simpanan Fungsi bank sebagai perantara keuangan (financial intermediary) memiliki karakteristik khusus, di mana sebagian besar kewajibannya bersifat jangka pendek, sementara sebagian besar kekayaannya bersifat jangka panjang. Hal ini terkait dengan peran bank sebagai lembaga intermediasi, yaitu menerima dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana tersebut ke masyarakat yang membutuhkan kredit. Nah, apabila terjadi penarikan simpanan 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
5
secara bersamaan (bank runs) dan besar-besaran, maka sebuah bank akan mengalami kesulitan likuiditas. Penarikan simpanan dalam jumlah besar dan serentak yang terus-menerus dipastikan bisa membuat bank tidak sanggup lagi memenuhi seluruh kewajibannya (insolvent). Pada umumnya, bank runs akan merugikan semua nasabah. Namun, yang paling di rugikan adalah deposan kecil karena mereka kurang memiliki akses informasi dan atau kemampuan mengevaluasi kondisi kesehatan suatu bank. Akibat minimnya informasi dan analisis, mereka seringkali juga bereaksi berlebihan jika muncul rumors mengenai keadaan suatu bank. Sebaliknya, tidak jarang mereka juga terlambat mengantisipasi serta mengambil tindakan untuk menyelamatkan simpanannya di bank yang dilanda bank runs. Belajar dari pengalaman krisis perbankan nasional tahun 1997/1998 dan tahap-tahap pemulihannya, maka penjaminan sim panan bagi deposan kecil akan sangat mempengaruhi berbagai upaya dalam menjaga stabilitas sistem perbankan secara keseluruhan. Sedang untuk deposan besar yang jumlah simpanannya melebihi batas penjaminan diharapkan terdorong untuk rajin menilai kondisi kesehatan bank, sehingga disiplin pasar (market discipline) pada industri perbankan tetap dapat tercipta. Di tingkat internasional, pengalaman runtuhnya bank-bank di berbagai belahan dunia mendorong banyak negara saling berbagi pengalaman. Wadah paling fenomenal untuk hal ini ditandai dengan kelahiran International Association of Deposit Insurers (IADI) pada Mei 2002 di Basel, Swiss. Kemunculan IADI berawal dari Forum Stabilitas Finansial (Financial Stability Forum/FSF) yang digelar tahun 2000. Dari Forum tersebut lahirlah sebuah Kelompok Kerja (Working Group) yang intens membangun Studi Kelompok atas Penjaminan Simpanan (Study Group on Deposit Insurance) dengan ketua Jean Pierre Sabourin dari Canada Deposit Insurance Corporation. Selanjutnya pada September 2001, Kelompok Kerja menghasil kan sebuah laporan yang dikemukakan pada FSF bertajuk pedoman untuk mendirikan sebuah sistem penjaminan simpanan. Atas dasar
6
laporan tersebut maka terbentuklah IADI. Sejak berdiri, setiap tahun IADI rutin melakukan pertemuan tahunan, diantaranya di Seoul, Taipei, Brasil, Kuala dan terakhir tahun 2009 di Basel. Kini total anggota IADI terdiri dari 61 Deposit Insurers, 6 Associates, dan 12 partner. Lembaga nonprofit ini memiliki misi menarik, yakni meningkat kan efektivitas sistem penjaminan simpanan. Caranya dengan terus mengembangkan pedoman sistem penjaminan dan program kerja sama internasional antar institusi penjamin simpanan dari ber bagai negara. Di sini, masyarakat ekonomi dan perbankan dunia bisa saling belajar dari praktek-praktek terbaik dan ideal yang te lah dilakukan di banyak negara, diantaranya dalam persoalan: ke pesertaan, pendanaan, pembayaran premi dan kepedulian publik.
Kepesertaan Siapakah peserta dalam program penjaminan simpanan? Secara teoretis, kepesertaan dalam program penjaminan dapat bersifat wajib (mandatory) atau sukarela (voluntary). Kepesertaan yang bersifat wajib dimaksudkan agar dapat menghindari adanya adverse selection, yaitu kecenderungan bank yang sehat enggan atau tidak mau menjadi peserta penjaminan, dan sebaliknya hanya bank yang memiliki risiko kegagalan yang tinggi saja yang bersedia menjadi peserta penjaminan. Dari 60 lembaga penjamin simpanan yang ada di dunia, ma yoritas nya mempunyai keanggotaan yang bersifat wajib. Mes ki bersifat wajib, di beberapa negara seperti Filipina, Kanada, dan Amerika Serikat, penjamin simpanan mendapat wewenang untuk menghentikan (termination) atau membatalkan (cancelation) ke pesertaan suatu bank dari program penjaminan. Penjamin simpanan akan mengambil langkah itu, apabila bank peserta tidak memenuhi syarat dan kondisi tertentu. Jika kepesertaan suatu bank dihentikan atau dibatalkan, maka simpanan yang ada di bank itu masih tetap akan dijamin sampai saat jatuh tempo atau bisa juga ditentukan batas waktu penjamin annya. Sebagai contoh, enam bulan, dengan tujuan memberikan kesempatan kepada para deposan untuk mengalihkan simpanannya. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
7
Sedangkan dalam sistem kepesertaan yang bersifat sukarela, setiap bank diwajibkan untuk menghitung biaya dan manfaat menjadi peserta penjaminan.
Pendanaan Lalu bagaimana dan dari mana dana yang dipakai dalam pen jaminan simpanan diperoleh? Pada prinsipnya, pendanaan didapat kan melalui kontribusi dari bank-bank peserta penjaminan. Ada dua model kontribusi yang diterapkan. Pertama, kontribusi dari bank peserta dilakukan sebelum muncul bank yang dicabut izin usahanya (ex ante) dengan melalui premi dan penerimaan lain nya yang diakumulasikan sebagai cadangan penjaminan. Kedua, kontribusi dari bank peserta penjaminan dilakukan setelah adanya bank yang dicabut izin usahanya (ex post) dengan cara meminta semua bank memberi kontribusi atas biaya kegagalan suatu bank dengan proporsi tertentu. Dari pengalaman di banyak negara, baik pendanaan secara ex ante serta pembentukan cadangan penjaminan, maupun pendanaan secara ex post, masing-masing memiliki keunggulan tersendiri. Beberapa keuntungan dari pendanaan secara ex ante, antara lain: penjamin simpanan mempunyai sumber dana yang aman dan likuid, proses pembayaran klaim dapat segera dilakukan sehingga akan meningkatkan kredibilitas penjamin simpanan dan ke per cayaan masyarakat. Selain itu, dengan pendanaan secara ex ante kontribusi yang akan dibayar oleh bank peserta juga tidak akan terlalu berfluktuasi. Sedangkan pendanaan secara ex post memiliki sejumlah ke untungan, antara lain: bank peserta tidak perlu membayar jika tidak ada bank yang dicabut izin usahanya, biaya operasional penjaminan simpanan pun relatif lebih rendah, serta tidak adanya permasalahan mengenai pengelolaan maupun penentuan kecukupan cadangan penjaminan. Menurut Garcia G (1999), pendanaan secara ex ante merupakan praktek paling baik (best practices) yang diterapkan dalam sistem penjaminan simpanan.
8
Premi Bentuk kontribusi dari pendanaan secara ex ante dari bank dalam penjaminan simpanan biasanya berupa premi. Premi tersebut mempunyai beberapa fungsi, yaitu untuk membiayai operasional penjaminan simpanan, diakumulasikan dalam cadangan penjamin an, dan digunakan sebagai insentif untuk pengelolaan risiko yang lebih hati-hati. Dalam prakteknya, ada dua metode dominan yang digunakan untuk menghitung premi. Pertama, premi ditetapkan dengan per sentase yang sama untuk semua bank (flat rate premium). Kedua, premi ditetapkan dengan persentase yang berbeda sesuai dengan ting kat risiko kegagalan masing-masing bank (risk based/diffe rentiated premium). Penerapan flat rate memiliki keuntungan, yaitu mudah dalam perhitungan dan murah dalam operasional. Metode ini juga dapat mendukung stabilitas dunia perbankan dan perekonomian. Pasal nya, bank peserta tidak dibebani premi yang tinggi pada saat kondisi kesehatannya dan atau perekonomian sedang memburuk. Namun demikian, penerapan sistem ini dinilai kurang fair ka rena bank yang berisiko rendah diminta untuk memberikan sub sidi kepada bank yang berisiko tinggi. Selain itu, penerapan flat rate bisa mendorong bank untuk mengambil tindakan yang dapat meningkatkan portofolio risikonya atau bertindak dengan meng abaikan prinsip kehati-hatian (prudent). Sedangkan penerapan risk-based premium dapat mencegah suatu bank untuk mengambil risiko yang besar dan mendorong bank peserta untuk melakukan praktek usaha yang lebih hati-hati. Penerapan metode ini menghendaki beberapa persyaratan, antara lain, adanya metode penilaian risiko yang jelas dan transparan; kri teria pengelompokan bank berdasarkan risiko; data yang akurat dan periodik, dan terakhir, membutuhkan sumber daya manusia yang tepat dan memiliki kapasitas. Apabila keempat persyaratan tersebut sudah dipenuhi, maka penerapan risk-based premium sangat dianjurkan. Dalam praktek nya, sebagian besar penjamin simpanan menerapkan flat rate pada 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
9
awal pendiriannya. Namun, begitu semua persyaratan itu telah ter penuhi maka penjamin simpanan akan menerapkan risk-based pre mium sebagai metode yang dinilai lebih ideal.
Kepedulian Masyarakat Salah satu fungsi penting dari penjaminan simpanan adalah mencegah kepanikan deposan atau nasabah penyimpan. Kepanikan nasabah dapat dicegah jika nasabah mengetahui skim dan program penjaminan atas simpanan mereka. Kepedulian publik untuk mengetahui dan mengikuti kinerja sebuah bank dimana mereka menyimpan dananya adalah salah satu kunci penting dalam pen ciptaan stabilitas finansial. Pencegahan kepanikan itu menjadi bagian dari sejumlah tugas yang diemban penjamin simpanan dengan cara mengedukasi ma syarakat. Tujuannya, agar masyarakat mendapat pemahaman dan informasi mengenai jenis dan jumlah simpanan yang dijamin. Se lain itu, masyarakat juga berhak mengetahui syarat dan prosedur pembayaran penjaminan. Menengok sejarah Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) dapat diketahui besarnya peran FDIC dalam melindungi hak nasabah, mengawasi perbankan, memberi penjaminan, dan menciptakan perbankan yang sehat dalam sebuah sistem finansial secara nasional. Sejak berdiri pada 1 Januari 1934 di Amerika Seri kat, FDIC telah menutup 2.224 bank. Untuk menjaga reputasi dan kinerja yang unggul, FDIC memiliki enam nilai inti sebagai pegangan, yakni: integritas, kompetensi, kerjasama, keefektifan, akuntabilitas dan kejujuran. Oleh karena itu, berbagai keputusan dan tindakan FDIC tidak banyak memicu gelombang protes dan keguncangan finansial. Gelombang penutupan bank yang terbanyak terjadi antara tahun 1985 sampai tahun 1992. Pada kurun waktu itu, 1.373 bank ditutup. Meskipun begitu, selama itu tidak terjadi kepanikan yang luar biasa karena masyarakat telah mengetahui prosedur dan cara kerja penjaminan simpanan. Dari keseluruhan kasus penutupan bank yang terjadi di Amerika Serikat itu, sebanyak 1.475 (66%) kasus dilakukan dengan cara
10
purchase and assumption atau penjualan portofolio simpanan bank yang ditutup kepada bank sehat lain. Prosesnya pun berjalan tanpa gejolak, praktis dan singkat. Ditunjang pengelolaan data dan teknologi informasi yang memadai, suatu bank yang ditutup pada hari Jumat terbukti dapat kembali beroperasi pada hari Senin di bawah pengelolaan bank sehat.
3. DASAR HUKUM LEMBAGA PENJAMINAN SIMPANAN Pengalaman adalah guru terbaik untuk bangsa kita. Belajar dari pengalaman pahit krisis moneter yang berimbas pada rontoknya sejumlah bank, maka dibuatlah sistem jaring pengaman keuangan secara komprehensif di negeri ini. Amanat pembentukan lembaga penjamin simpanan itu sendiri telah mendapatkan dasar hukum yang kuat, yaitu pasal 37B Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyatakan bahwa setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Tindak lanjut dari pasal 37B UU Perbankan adalah pembentuk an Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan tujuan utama, melaksanakan penjaminan dana masyarakat. Namun, dalam pem bentukannya terjadi proses dinamika yuridis yang menarik. Awalnya pembentukan dan program penjaminannya akan diatur dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP). Dalam pembahasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) awal Februari 2004, muncul pertanyaan dari sejumlah anggota DPR: Mengapa pembentukan LPS yang dalam amanat UU akan dibentuk melalui PP ternyata justru diajukan pemerintah dalam bentuk Rancangan UndangUndang (RUU)? (Kompas, 6 Februari 2004) Pemerintah sendiri berpendapat sebenarnya proses pembuatan PP akan lebih mudah daripada pembuatan UU. Namun tak kurang sejumlah akademisi, praktisi, dan pengamat berpendapat bah wa pendirian dan pengaturan mengenai LPS dinilai kurang me madai jika hanya ditetapkan dengan PP. Berpijak pada penga laman di sejumlah negara yang telah menerapkan sistem pen jaminan simpanan, agar pelaksanaan penjaminan simpanan dapat berlangsung efektif dan berkesinambungan maka penjamin sim 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
11
panan membutuhkan sejumlah komponen pendukung. Komponen pendukung itu antara lain: (1) kewenangan publik dalam pemungutan premi dan penyelesaian bank bermasalah; (2) interaksi, koordinasi dan kerja sama dengan lembaga lain dalam sistem jaring pengaman sektor keuangan; (3) dukungan anggaran negara dalam hal timbul kegagalan bank yang bersifat sistemik. Dengan demikian, pemungutan premi dari bank peserta penjaminan serta penyelesaian bank bermasalah memerlukan kewenangan publik yang kuat dan hanya dapat diberikan kepada penjamin simpanan berdasarkan suatu UU. Dalam konsep jaring pengaman sektor keuangan (financial safety net) terdapat aturan mengenai pembagian fungsi dan tugas masingmasing lembaga yang terlibat dalam rangka menjaga kestabilan industri perbankan. Supaya interaksi dan kerja sama antar lem baga tersebut dapat berlangsung dengan baik, maka diharapkan penjamin simpanan mempunyai dasar hukum pembentukan serta kedudukan yang setara dengan lembaga lain yang terlibat, yakni BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang kini tengah dalam proses pembentukan. Mengingat pembentukan LPS berimplikasi terhadap kepenting an masyarakat, industri perbankan, dan keuangan negara, maka sudah seharusnya pembentukan LPS berdasarkan pada suatu UU, di mana prosesnya lebih terbuka dan mengakomodasi kepentingan banyak pihak.
4. LPS, PERBANKAN DAN JPSK Tidak bisa dipungkiri bahwa peran yang dapat diemban oleh pen jamin simpanan dalam sistem perbankan sangat tergantung sepenuhnya dari tujuan kebijakan pemerintah. Penjamin simpanan dapat berfungsi hanya sebagai pembayar ataupun kasir pada saat ada bank yang dicabut izin usahanya (pay box system). Selain itu, ia juga dapat berfungsi mengurangi risiko kerugian lebih luas yang mungkin timbul jika terdapat bank yang dicabut izin usahanya (risk minimizer system). Kedua fungsi pokok tersebut bisa dimainkan se cara simultan oleh penjamin simpanan.
12
Munculnya krisis moneter yang berimbas pada tumbangnya puluhan bank mendorong banyak negara untuk memberi porsi per hatian yang spesial kepada penjaminan simpanan dan peningkatan stabilitas sektor keuangan. Penjaminan simpanan dinilai memiliki peranan yang penting dalam mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan. Peran penjaminan simpanan semakin besar, apa lagi di tengah-tengah cepatnya perkembangan jasa keuangan dan semakin kompleksnya sektor keuangan. Sebagai contoh, peningkatan teknologi yang dipakai oleh dunia perbankan tidak hanya menimbulkan perkembangan jenis produk finansial yang baru, canggih, dan kompleks, namun juga menyebab kan kenaikan risiko bank. Sementara itu, manajemen risiko yang meliputi serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul pada kegiatan usaha bank belum sepenuhnya mampu dilaksanakan oleh bank. Pada sisi lain, saat ini terdapat kelemahan dalam konfigurasi perbankan di tanah air, di mana 11 bank besar mengontrol 75% dari aset perbankan nasional. Dalam kondisi seperti ini, bank-bank kecil memberi rentang produk yang sama dengan bank yang lebih besar, namun lebih lemah dalam manajemen risiko, kemampuan tata kelola (governance) dan operasionalnya. Keadaan riil di atas menuntut perhatian khusus dari institusi yang berfungsi sebagai penjamin simpanan. Adapun fungsi-fungsi lain yang diemban Bank Sentral meliputi: fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan, fungsi lender of last resort dan sistem pembayaran, serta fungsi pengelolaan keuangan negara. Perlu dipahami bahwa kerjasama di antara fungsi-fungsi itu harus padu dalam mekanisme kerja yang efisien dan efektif untuk menciptakan stabilitas sistem keuangan. Mekanisme kerjasama itu biasa dibingkai dalam konsep jaring pengaman keuangan atau financial safety net (FSN). Yang juga harus dipahami adalah bahwa kemampuan industri perbankan belum sempurna dan tangguh seratus persen. Sejumlah bank besar memiliki kemampuan kuat, sedangkan kebanyakan bank menengah dan kecil terus mencari format pelayanan yang ber 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
13
kualitas serta kinerja yang baik. Apabila dibandingkan dengan praktek terbaik dan ideal per bankan, masih banyak bank yang membutuhkan core banking skill dan keharusan membangun good corporate governance. Peningkat an kinerja juga masih diperlukan, terutama pada kemampuan suatu bank untuk mengelola beragam risiko (dari risiko kredit, pasar, operasional, likuiditas, hingga hukum), mengelola kontrol internal, serta patuh pada prinsip kehati-hatian. Dalam konteks di atas, maka pengawasan perbankan yang efektif diharapkan dapat mencegah suatu bank mengambil risiko yang berlebihan serta mampu mengidentifikasikan permasalahan pada suatu bank secara dini. Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan maka dituntut bekerjanya sejumlah fungsi yang diemban oleh beberapa lembaga penyokong utama jaring pengaman sistem keuangan (JPSK) dengan baik. Fungsi-fungsi tersebut meliputi: (1) sistem supervisi perbankan yang padu, efektif dan efisien; (2) sistem atau lembaga pemberi fasilitas lender of last resort; (3) sistem penjaminan simpanan nasa bah bank; dan (4) kebijakan-kebijakan dalam mengatasi problem sistemik termasuk penggunaan anggaran negara yang dipakai. Terkait erat dengan stabilitas sistem keuangan, relasi antar unsur pendukung, yaitu: penjamin simpanan, lembaga pengawas sektor keuangan, bank sentral, dan pemerintah mesti dirancang seideal mungkin sehingga setiap unsur memiliki akses terhadap informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan. Akses akan informasi yang akurat sangat dibutuhkan untuk pengambilan keputusan dalam rangka melaksanakan peran sebagai salah satu unsur stabilitas sistem keuangan. Sebuah desain yang umum adalah dengan menempatkan wakil dari masing-masing unsur safety net players pada tingkat pengambil keputusan dalam struktur organisasi penjamin simpanan.
5. LPS dan JPSK Sebagai salah satu bagian dari Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), LPS merupakan salah satu lembaga yang memegang
14
peran penting dalam keikutsertaannya menjaga stabilitas sistem perbankan. JPSK merupakan keseluruhan pengaturan dalam sek tor keuangan guna memastikan stabilitas sistem keuangan. Jika stabilitas sistem keuangan diibaratkan bangunan rumah, agar rumah tersebut kokoh dan tahan gempa, diperlukan pilar-pilar yang kuat yang menopang beban rumah. Ada empat pilar dalam menopang stabilitas sistem keuangan, yaitu (1) pengaturan dan pengawasan sektor keuangan;(2) Fasilitas Lender of Last Resort (LoLR);(3) program penjaminan simpanan nasabah dan resolusi bank gagal; dan (4) manajemen krisisyang meliputi pencegahan krisisdan penanganan krisis. Empat pilar inilah yang kita sebut sebagai Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Pilar-pilar ini dibangun dari tiga institusi, yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan LPS. Dalam empat pilar JPSK tersebut, LPS memainkan peran stra tegis dalam pilar ketiga dan keempat. Pilar ketiga, yaitu program penjaminan simpanan dan resolusi bank dilakukan LPS melalui penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik. Dua opsi yang dapat diambil untuk menyelesaikan bank gagal yang tidak berdampak sistemik, yaitu melakukan penyelamatan bank gagal dengan melakukan penyertaan modal sementara atau melikuidasi bank selanjutnya melaksanakan pembayaran klaim penjaminan. Jadi, walaupun banknya dilikuidasi nasabah penyimpan merasa aman untuk menyimpan dananya pada sistem perbankan. Pada saat pencegahan dan penanganan krisis, LPS memainkan peran penting melalui penyelamatan bank gagal yang berdampak sistemik, se hingga krisis dapat dicegah atau diminimalkan. Mengingat pentingnya JPSK ini, LPS sangat mendorong untuk segera ditetapkan UU JPSK sebagai pengganti Perppu JPSK yang saat ini sudah tidak berlaku. Pengaturan JPSK dalam suatu undangundang adalah sangat penting, karena akan digunakan sebagai dasar hukum yang kuat yang mengatur siapa melakukan apa pada saat kondisi normal maupun terjadi ancaman krisis dan pada saat krisis, sehingga para pihak yang mengambil kebijakan mempunyai akuntabilitas yang jelas. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
15
6. LPS DAN OJK Sebagai lembaga penjamin simpanan, LPS sangat berkepenting an terhadap tingkat kesehatan bank baik secara individual maupun secara agregat. Untuk menjaga tingkat kesehatan bank se cara individual (micro prudential) maupun secara agregat (macro prudential) diperlukan pengawasan perbankan yang efektif. Concern LPS pada pengawasan perbankan sesungguhnya pada outcomenya, yaitu bagaimana menciptakan pengawasan bank yang efektif untuk dapat digunakan sebagai early warning system sehingga LPS dapat mempersiapkan langkah-langkah antisipasi untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Selain itu, adalah sangat tidak bijaksana jika LPS sebagai lembaga penjamin tetapi tidak mempunyai akses terhadap obyek penjaminannya. Dalam rangka mengambil pilihan solusi resolusi bank gagal yang tepat, LPS mau tidak mau harus memperoleh data/informasi jauh hari sebelum bank dinyatakan sebagai bank gagal. Hal inilah yang sampai saat ini masih menjadi PR kita dalam menata struktur pengawasan industri perbankan. Berkenaan dengan RUU OJK, LPS sangat berharap agar LPS diberikan akses kepada bank untuk dapat melakukan pemeriksaan terkait dengan pelaksanaan program penjaminan maupun resolusi bank walaupun untuk sementara ini celah tersebut dapat diatasi dengan adanya Nota Kesepahaman antara LPS dan Bank Indonesia.
16
BAB II
FUNGSI DAN TUGAS LPS
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
17
•
Kepercayaan masyarakat untuk menyimpan dananya di bank semakin besar. Hal itu nampak dari dana pihak ketiga yang dikelola oleh perbankan. Seiring dengan itu, keberadaan LPS sejak tahun 2005 makin signifikan. Hal ini tak lepas dari fungsi LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan. Penjaminan itu diterapkan pada Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, baik bank konvensional maupun bank syariah.
•
Dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, LPS tidak sendirian. LPS bekerja sama dengan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan Lembaga Pengawas Perbankan. Dalam menjalankan tugasnya, tata kelola LPS menganut one tier board system, di mana Dewan Komisioner ditempatkan sebagai pemimpin LPS. Selanjutnya, Dewan Komisioner wajib melakukan rapat berkala yang disebut Rapat Dewan Komisioner (RDK) minimal sekali dalam sebulan. Dalam rangka menjawab tantangan perekonomian sepanjang tahun 2009, Dewan Komisioner LPS telah menyelenggarakan 75 RDK.
•
Sesuai ketentuan, modal awal LPS minimal Rp 4 triliun dan maksimal Rp 8 triliun. Kekayaan LPS ini adalah aset negara yang dipisahkan. Pada awal proses berdirinya, LPS mendapatkan modal awal dari pemerintah sebesar Rp 4 triliun. Selanjutnya LPS memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan. Dalam rangka akuntabilitas LPS, laporan keuangan LPS di-audit oleh BPK.
18
1. FUNGSI, TUGAS DAN WEWENANG LPS Saat ini kepercayaan masyarakat untuk menyimpan dananya ke bank semakin besar. Hal ini bisa dilihat dari Dana Pihak Ketiga (DPK) di industri perbankan yang dari tahun ke tahun naik secara signifikan. Hingga bulan Nopember 2010, DPK yang dihimpun perbankan nasional sudah mencapai Rp 2.301,22 triliun, di mana sekurangnya Rp 1.794,65 triliun telah dikucurkan dalam bentuk kredit. Me ningkatnya kapasitas lending bank tersebut patut disyukuri se iring semakin besarnya kebutuhan pertumbuhan ekonomi yang memerlukan dana. Hingga tahun 2014—dengan target pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun—akan dibutuhkan total investasi Rp 10.000 triliun. Investasi dari pemerintah diprediksi hanya sekitar 20% atau Rp 2.000 triliun. Kekurangan investasi diharapkan datang dari swasta. Dengan demikian, peran investasi swasta dan industri perbankan akan sangat dominan. Dana pihak ketiga dari masyarakat pun tidak bisa dianggap remeh dan harus dikelola dengan baik. Dalam konteks ini, tumbuhnya kepercayaan yang makin besar dari masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan dan menyimpan dananya ke bank sangatlah penting. Dalam rangka terus meningkatkan kepercayaan publik kepada perbankan, peran LPS sebagai lembaga yang menjamin simpanan nasabah bank dan menjaga stabilitas sistem perbankan menjadi sangat penting. Fenomena positif dalam kurun lima tahun ini me nunjukkan bahwa eksistensi dan sosok Lembaga Penjamin Sim panan (LPS) untuk terus memperkuat kepercayaan publik pada industri perbankan semakin dibutuhkan. Sehingga harapan untuk 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
19
menciptakan sistem perbankan yang sehat dan stabil dengan ada nya/pembentukan dan peran LPS, dapat diwujudkan. Hal ini tak lepas dari fungsi LPS sendiri, yaitu menjamin simpanan nasabah dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Pelaksanaan skim penjaminan simpanan oleh LPS ini diterap kan kepada seluruh bank yang beroperasi di Indonesia, baik Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR), baik bank konven sional maupun bank syariah. Dalam menjalankan kedua fungsi di atas, LPS mempunyai tugas sebagai berikut: 1. Melaksanakan penjaminan simpanan; 2. Melaksanakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan 3. Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik. Dalam menjalankan tugas di atas, LPS mengadaptasi model yang serupa dengan sistem asuransi dengan prinsip ”industri menolong industri”, dimana apabila terjadi Bank Gagal, maka wajib ditolong oleh keseluruhan industri perbankan. Selain itu, untuk mendukung keperluan tersebut, seluruh bank wajib membayar kontribusi dan premi kepada LPS. Dalam rangka pelaksanaan penjaminan sim panan, LPS melaku kan pembayaran klaim terhadap simpanan nasabah penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya serta melakukan proses likuidasi bank yang dicabut izin usahanya. Pem bayaran klaim penjaminan kepada para nasabah bank dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, yaitu 90 hari sejak bank dicabut izin usahanya. Proses pembayaran klaim tersebut dirancang secara cepat dengan tujuan untuk memberikan kepastian kepada nasabah bank mengenai status simpanan nya. Sehingga diharapkan akan memberikan rasa tenang dan kepastian bagi nasabah bank yang dicabut izin usahanya. Dengan peran seperti itu, LPS diharapkan akan mendukung stabilitas perbankan secara keseluruhan. Sementara itu, dalam rangka pelaksanaan fungsi turut aktif menjaga stabilitas perbankan nasional, LPS memiliki tugas untuk
20
menye lamat kan bank gagal yang berdampak sistemik. Dalam rangka menjalankan tugas dimaksud, LPS memiliki kewenangan dalam mengambil alih dan menjalankan semua hak dan pemegang saham, termasuk RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Selain itu, LPS juga punya kewenangan untuk menguasai aset, meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, mengubah setiap kontrak yang mengikat bank gagal. Kewenangan tersebut diberikan UU kepada LPS untuk memastikan proses penyelamatan bank yang dilakukan oleh LPS dapat dilaksanakan dengan baik. Tanpa menguasai RUPS bank yang diselamatkan, proses penyelamatan bank yang dilakukan oleh LPS akan menjadi sia-sia seperti yang telah ditunjukkan pengalaman pemerintah sebelumnya. Dalam proses pengambilan keputusan penyelamatan bank ga gal yang tidak berdampak sistemik, LPS memiliki pilihan untuk menye lamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal tersebut. Opsi tersebut didasarkan pada perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan bank gagal di maksud. Sedangkan dalam proses pengambilan keputusan penyelamatan bank gagal yang berdampak sistemik, LPS tidak memiliki opsi lain kecuali menyelamatkan bank gagal tersebut. Keputusan pe nye lamatan bank gagal yang berdampak sistemik diambil oleh Komite Koordinasi yang beranggotakan Menteri Keuangan, Bank Indonesia, LPS dan Lembaga Pengawas Perbankan. Selanjutnya, Komite Koordinasi menyerahkan penyelamatan bank gagal yang berdampak sistemik tersebut kepada LPS. Dalam rangka penyelamatan bank gagal, LPS dapat melakukan Penyertaan Modal Sementara (PMS). Proses penyelamatan bank gagal yang berdampak sistemik dapat dilakukan oleh LPS dengan keikutsertaan pemegang saham lama atau tanpa keikutsertaan pe megang saham lama bank. Penyertaan Modal Sementara LPS kepada bank gagal yang di selamatkan LPS bersifat sementara. LPS harus menjual saham bank yang diselamatkan dengan harga yang optimal secara terbuka dan transparan. Apabila tidak mencapai harga optimal maka dicari harga yang terbaik. Untuk bank gagal yang tidak berdampak sis 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
21
temik, LPS harus menjual saham bank tersebut dalam jangka waktu paling lambat 4 tahun. Sedangkan untuk bank gagal yang ber dampak sistemik, LPS harus menjual saham bank tersebut dalam jangka waktu paling lambat 5 tahun.
2. SIMPANAN YANG DIJAMIN Dalam sistem penjaminan terbatas, penetapan nilai simpanan yang dijamin merupakan salah satu hal yang krusial. Penetapan simpanan yang dijamin perlu mempertimbangkan keseimbangan antara tujuan untuk mencegah moral hazard, menumbuhkan disiplin pasar, serta membatasi eksposure penjamin simpanan (biaya penjaminan). Selain itu, tingkat penjaminan harus diselaras kan dengan tujuan kebijakan publik penjamin simpanan yang pada umumnya untuk melindungi simpanan nasabah kecil dan memelihara stabilitas sistem perbankan. Dalam UU LPS Tahun 2004, simpanan yang dijamin LPS di tetapkan sebesar Rp 100 juta dengan pertimbangan utama re kening bersaldo sampai jumlah tersebut telah mencapai lebih dari 98% dari jumlah seluruh rekening yang ada pada perbankan. IMF merekomendasikan nilai simpanan yang dijamin berkisar 3 - 4 kali pendapatan per kapita masing-masing negara. Untuk Indonesia, pendapatan per kapita kurang representatif untuk dijadikan dasar penetapan tingkat penjaminan karena distribusi pendapatan relatif tidak merata dan pendapatan per kapita kita setelah krisis 1997/1998 turun akibat depresiasi rupiah. Dalam UU LPS, nilai simpanan yang dijamin dapat diubah jika terpenuhi prasyarat: (1) terjadi penarikan dana perbankan dalam jumlah besar secara bersamaan; (2) terjadi inflasi yang tinggi dalam beberapa tahun; atau (3) jumlah nasabah yang seluruh simpanan nya dijamin menjadi kurang dari 90% seluruh nasabah perbankan. Pada saat terjadi krisis keuangan global pada paruh kedua 2008, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) Nomor 3 Tahun 2008 melakukan amendemen UU LPS dengan menambah prasyarat adanya ancaman krisis yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat
22
terhadap perbankan dan membahayakan stabilitas sistem keuangan, sebagai prasyarat perubahan nilai simpanan yang dijamin. Ber dasarkan amendemen tersebut, nilai simpanan yang dijamin LPS dinaikkan sementara menjadi Rp 2 miliar. Pada saat ini LPS ber sama Pemerintah sedang melakukan kajian untuk mengevaluasi nilai simpanan yang dijamin ke tingkat yang lebih normal.
Jumlah Simpanan Yang Dijamin Sejak 13 Oktober 2008, penjaminan LPS meliputi simpanan paling banyak Rp 2 miliar per nasabah per bank. Sesuai Peraturan LPS, nilai simpanan yang dijamin tersebut mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha bank. Untuk simpanan yang memiliki komponen bagi hasil, saldo tersebut meliputi pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah sampai tanggal pencabutan izin usaha bank. Secara teoritis, bagi hasil dapat didasarkan pada pendapatan (revenue sharing) atau laba/rugi (profit/loss sharing). Mengacu pada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) mengenai simpanan yang menggunakan akad mudharabah, bank syariah sebagai mudharib menutup biaya operasional pengelolaan simpanan tersebut dengan menggunakan nisbah yang menjadi haknya. Dengan demikian, bagi hasil yang diterapkan pada perbankan syariah di Indonesia adalah bagi pendapatan (revenue sharing). Dengan demikian, bank syariah tidak akan membagi kerugian atau biaya operasional atas pengelolaan dana simpanan kepada nasabah. Berkenaan dengan hal tersebut, apabila bank syariah dicabut izin usahanya LPS akan membayar kepada nasabah paling kurang sebesar pokok simpanannya.
Ketentuan Tingkat Bunga Penjaminan Penetapan maksimum tingkat bunga penjaminan oleh LPS mem punyai beberapa latar belakang antara lain: a. Membatasi exposure yang menjadi beban LPS mengingat penjaminan meliputi pokok dan bunga; 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
23
b. Mencegah moral hazard pengelola bank untuk menggunakan bunga yang tinggi sebagai insentif pengerahan dana masyara kat; dan c. Mendorong masyarakat bersikap hati-hati dalam penempatan dananya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 19 huruf b UU LPS, klaim penjaminan nasabah penyimpan dinyatakan tidak layak bayar apabila nasabah tersebut merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar. Nasabah penyimpan dinyatakan sebagai pihak yang diuntungkan secara tidak wajar apabila nasabah tersebut memperoleh tingkat bunga melebihi maksimum tingkat bunga penjaminan yang ditetapkan LPS. Ketentuan maksimum tingkat bunga penjaminan tersebut hanya diberlakukan untuk simpanan yang mempunyai komponen bunga, dan tidak diberlakukan untuk simpanan di bank syariah yang tidak mempunyai komponen bunga. LPS tidak menetapkan maksimum bagi hasil yang diterima nasabah penyimpan di bank syariah, mengingat besarnya bagi hasil tidak tentu, bersifat fluktuatif dan tidak diperjanjikan di muka. Oleh karena itu, meskipun realisasi bagi hasil simpanan di bank syariah apabila diekuivalenkan dengan tingkat bunga (equivalent return) melebihi maksimum tingkat bunga penjaminan, simpanan di bank syariah tersebut tetap dijamin oleh LPS.
Perubahan Jumlah Simpanan yang Dijamin Dalam rangka menghadapi ancaman krisis keuangan global yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masya rakat terhadap perbankan dan membahayakan stabilitas sistem keuangan, pada bulan Oktober 2008 Pemerintah menetapkan beberapa kebijakan antisipasi (pre-emptive measures) yang bersifat
24
sementara. Salah satunya dengan menaikkan jumlah simpanan yang dijamin LPS dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar per nasabah per bank. Seiring berlalunya krisis yang ditandai dengan makin membaiknya kondisi sistem perbankan, perekonomian nasional dan internasional, serta banyaknya penjamin simpanan dunia yang menetapkan kebijakan untuk keluar dari krisis (exit strategy), jumlah simpanan yang dijamin LPS perlu dipertimbangkan untuk disesuaikan. Menurut pedoman asosiasi penjamin simpanan Internasional (IADI), dalam penetapan jumlah simpanan yang dijamin perlu mempertimbangkan keseimbangan antara mencegah moral hazard, menumbuhkan disiplin pasar, membatasi biaya penjaminan, serta menjaga stabilitas sistem perbankan. Secara kuantitatif, jumlah simpanan yang dijamin dapat ditetapkan dengan melakukan analisis terhadap data distribusi simpanan dan GDP per kapita. Dalam Pasal 11 ayat (2) UU LPS diatur bahwa jumlah nasabah yang dijamin seluruh simpanannya paling kurang meliputi sebesar 90% dari jumlah nasabah pada seluruh bank. Sedangkan berdasarkan pedoman dari IMF, jumlah simpanan yang dijamin disarankan meliputi 3-4 kali GDP per kapita untuk negara maju dan meliputi 5-6 kali GDP per kapita untuk negara berkembang. Penjaminan sebesar Rp 2 miliar per nasabah per bank pada saat ini berdasarkan data akhir November 2010 telah meliputi 99,9% dari jumlah rekening yang ada pada sistem perbankan yang berjumlah lebih dari 96,6 juta rekening, dan meliputi lebih dari 51% jumlah simpanan. Sedangkan dengan asumsi GDP per kapita Indonesia pada akhir tahun 2010 sebesar US$4.000 dengan kurs US$ 1= Rp 9.000, maka nilai simpanan yang dijamin di Indonesia saat ini meliputi lebih dari 55 kali GDP per kapita. Beberapa negara yang pada saat krisis 2008 memberlakukan penjaminan penuh telah menetapkan perubahan jumlah simpanan yang dijamin antara lain sebagai berikut:
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
25
Negara
Jumlah Yang Dijamin Sebelum Okt 2008
Sejak Okt 2008
Sejak 1 Jan 2011
Ekuivalen Jutaan Rupiah
GDP Per capita US $
% Cakupan Nasabah
Malaysia
RM 60.000 Penjaminan Penuh
RM 250.000
706
6.897
99%
Singapura
S$ 20.000 Penjaminan Penuh
S$ 50.000
326
37.293
91%
Hong Kong
HK$ 100.000 Penjaminan Penuh
HK$ 500.000
583
29.826
90%
Dalam rangka penyesuaian jumlah simpanan yang dijamin, LPS, sebagaimana dilakukan penjamin simpanan yang lain, telah me lakukan kajian dan simulasi menggunakan pemodelan dengan pen dekatan bahwa jumlah simpanan yang dijamin akan mencapai titik optimal pada level ketika laju pertambahan jumlah rekening (atau jumlah nasabah) yang dijamin berada “tepat akan menurun” seiring bertambahnya kumulatif jumlah rekening (atau jumlah nasabah) yang dijamin (decreasing of marginal cumulative insured deposits point). Hasil kajian dan simulasi tersebut selanjutnya akan dimintakan pendapat dari akademisi, industri perbankan, serta para pemangku kepentingan lainnya sebelum diusulkan kepada Pemerintah. Sesuai ketentuan dalam Pasal 11 UU LPS, perubahan nilai simpanan yang dijamin harus dikonsultasikan kepada DPR sebelum hasilnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Penjaminan Dana Pemegang Polis Asuransi Pada saat ini terdapat kecenderungan industri jasa keuangan mengalami integrasi baik secara kelembagaan, produk, maupun pemasaran. Atas dasar pandangan inilah muncul gagasan untuk menggabungkan pengawasan terhadap seluruh industri jasa keuangan pada satu otoritas pengawasan. Selain pengawasan sektor jasa keuangan yang efektif, upaya perlindungan terhadap konsumen jasa keuangan pada saat ini juga menjadi perhatian terutama setelah kejadian krisis tahun 2008. Di antara upaya perlindungan
26
terhadap konsumen jasa keuangan, penjaminan simpanan nasabah bank merupakan sistem yang paling banyak diterapkan. Sedangkan perlindungan terhadap dana pemegang polis asuransi dan dana investor di pasar modal pada saat ini belum banyak negara yang menerapkannya. Di tinjau dari kelembagaannya, sistem perlindungan konsumen jasa keuangan dapat dirancang terintegrasi untuk seluruh konsumen jasa keuangan seperti yang diterapkan di Korea Selatan. Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC) selain menjamin simpanan nasabah bank, juga menjamin dana pemegang polis pada perusahaan asuransi jiwa dan asuransi umum, serta dana investor di perusahaan sekuritas. Sedangkan di Kanada, pelaksana perlindungan terhadap konsumen jasa keuangan dilakukan oleh badan yang terpisah yakni: Canada Deposit Insurance Corporation (CDIC) untuk nasabah bank, Assuris untuk pemegang polis asuransi jiwa, Property and Casualty Insurance Compensation Corporation (PACICC) untuk pemegang polis asuransi umum, dan Canadian Investor Protection Fund (CIPF) untuk investor pasar modal. Pada akhir tahun 2010, Parlemen Malaysia telah mengamendemen Malaysia Deposit Insurance Corporation (MDIC) Act dan menunjuk MDIC sebagai badan yang akan melaksanakan penjaminan terhadap dana pemegang polis asuransi (insurance compensation scheme/ICS). Dalam RUU OJK disebutkan bahwa salah satu tugas OJK adalah melakukan langkah-langkah untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari sektor jasa keuangan. Berkenaan dengan hal tersebut, pemberian penjaminan terhadap dana pemegang polis asuransi dan dana investor pasar modal di Indonesia menjadi gagasan yang perlu dibahas lebih lanjut.
3. PENJAMINAN PERBANKAN SYARIAH Berdasarkan ketentuan Pasal 96 dan penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), fungsi penjaminan simpanan LPS meliputi pula penjaminan simpanan di bank syariah. Penjaminan LPS tersebut 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
27
mencakup simpanan di Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) yang dimiliki oleh bank umum konvensional, serta Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Bentuk Simpanan Yang Dijamin Ketentuan mengenai bentuk simpanan yang dijamin LPS pada bank syariah diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2005 yaitu: a. Giro berdasarkan prinsip wadiah (untuk BUS dan UUS); b. Tabungan berdasarkan prinsip wadiah; c. Tabungan berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah atau prinsip mudharabah muqqayadah yang risikonya ditanggung oleh bank; d. Deposito berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah atau prinsip mudharabah muqqayadah yang risikonya ditanggung oleh bank; dan/atau e. Simpanan berdasarkan prinsip syariah lainnya yang ditetapkan oleh LPS setelah mendapat pertimbangan LPP (Bank Indonesia). Dalam perkembangannya, sesuai ketentuan pada butir e tersebut di atas LPS telah menetapkan giro berdasarkan prinsip mudharabah sebagai bentuk simpanan yang dijamin.
4. TATA KELOLA LPS senantiasa mengupayakan nilai-nilai LPS dan prinsipprinsip Good Corporate Governance diterapkan dalam setiap pe laksanaan fungsi dan tugas LPS sesuai dengan amanat UU LPS. Dalam menjalankan tugasnya, tata kelola LPS menganut one tier board system, di mana Dewan Komisioner ditempatkan sebagai pemimpin LPS. Anggota Dewan Komisioner yang berjumlah 6 orang ber tugas secara kolektif. Dewan Komisioner bertanggung jawab untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan serta melakukan pengawasan dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang LPS.
28
Anggota Dewan Komisioner LPS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Mereka terdiri dari 3 orang yang independen yang berasal dari masyarakat dan 3 orang Ex-Officio yang mewakili Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Lembaga Pengawas Perbankan. Mengingat saat ini Lembaga Pengawas Perbankan belum terbentuk dan pengawasan perbankan masih dilaksanakan oleh Bank Indonesia, maka anggota ex-officio dari Lembaga Penga was Perbankan dirangkap oleh anggota Dewan Komisioner yang berasal dari unsur pimpinan Bank Indonesia. Salah satu anggota Dewan Komisioner yang bukan ex-officio diangkat sebagai Ketua Dewan Komisioner dan satu anggota Dewan Komisioner yang bukan anggota ex-officio ditetapkan sebagai Ke pala Eksekutif. Ketua Dewan Komisioner bertugas memimpin rapat Dewan Komisioner. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Komisioner wajib mela kukan rapat berkala (Rapat Dewan Komisioner [RDK]) minimal satu kali dalam satu bulan. RDK membahas hal-hal sebagai berikut: 1) Menetapkan kebijakan penjaminan simpanan nasabah; 2) Menetapkan kebijakan LPS dalam mendukung stabilitas sistem perbankan; 3) Mengevaluasi pelaksanaan penjaminan simpanan nasabah dan pelaksanaan peran LPS dalam mendukung stabilitas sistem perbankan; 4) Menerima dan mengevaluasi hal-hal lain yang dilaporkan Kepala Eksekutif; dan/atau 5) Hal-hal yang berhubungan dengan tugas LPS. Sejak awal beroperasi sampai dengan Juni 2010, Dewan Ko misioner LPS telah melakukan Rapat Dewan Komisioner sebanyak 320 kali serta mengeluarkan 138 Keputusan Dewan Komisioner. Sesuai dengan amanat UU LPS, LPS telah membentuk Komite Audit dan Komite Informasi untuk membantu Dewan Komisioner dalam melaksanakan tanggung jawab pengawasan terhadap pengelolaan LPS yang harus dikerjakan secara efektif dan efisien, baik dalam hal melaksanakan penjaminan simpanan maupun pe netapan kebijakan. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
29
Sampai dengan tahun 2010, Komite Audit telah melakukan 18 review atas pelaksanaan fungsi LPS, di antaranya me liputi pe laksanaan program penjaminan, pengelolaan manaje men risiko, pelaksanaan likuidasi bank, penanganan klaim penjaminan dan pelaksanaa resolusi bank. Sedangkan Komite Informasi, sejak terbentuk pada Mei 2010, telah menyelenggarakan 5 pertemuan dan memberikan rekomendasi terkait penetapan suku bunga wajar oleh LPS, media monitoring dan public awareness LPS. Salah satu anggota Dewan Komisioner yang ditetapkan sebagai Kepala Eksekutif bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan operasional LPS. Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Eksekutif dibantu oleh beberapa direktur. Dalam struktur organisasi LPS, terdapat 5 Direktorat yang menjalankan fungsi utama LPS yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko Direktorat Klaim dan Resolusi Bank Direktorat Hukum dan Peraturan Direktorat Keuangan Direktorat Administrasi dan Sistem Informasi
Pelaporan & Akuntabilitas Seperti laiknya sebuah lembaga negara, LPS memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan. Dalam jangka waktu selambat-lam batnya 3 bulan sebelum tahun buku mulai berlaku, Kepala Ekse kutif memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan untuk men dapatkan persetujuan Dewan Komisioner. Pada saat yang bersamaan, dengan penyampaian Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan itu, Kepala Eksekutif menyampaikan pula evaluasi pelaksanaan anggaran tahun berjalan kepada Dewan Ko misioner. Selanjutnya, Dewan Komisioner menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan yang telah disetujui, serta evaluasi pelak sanaan anggaran tahun berjalan kepada Presiden dan Dewan Per wakilan Rakyat (DPR). Terkait dengan pelaporan dan akuntabilitas, LPS wajib menyu sun laporan tahunan untuk setiap tahun yang berakhir pada tang
30
gal 31 Desember. Laporan tahunan itu terdiri dari laporan kegiat an kerja dan laporan keuangan, yang bentuk dan susunannya di tetapkan dengan Keputusan Dewan Komisioner. Dalam menjunjung tinggi akuntabilitas LPS, setiap laporan ke uangan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selanjut nya, hasil audit laporan keuangan diterbitkan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun berikutnya. Laporan tahunan itu wajib LPS sampaikan kepada Presiden dan DPR, paling lambat pada tanggal 30 April tahun berikutnya. Selain itu, LPS masih memiliki kewajiban untuk mengumumkan laporan keuangan yang telah diaudit pada minimal 2 surat kabar harian yang memiliki peredaran yang luas paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya.
Indikator Penilaian Tingkat Kinerja LPS Pada tahun 2010, kinerja LPS dinilai berdasarkan kriteriakriteria berikut: 1. Keuangan, dengan bobot 45% Indikator yang dinilai pada kriteria keuangan adalah: - - - -
Rasio Likuiditas (bobot: 30%), Rasio Solvabilitas (bobot: 40%), Rasio Pendapatan dan Biaya (bobot: 15%), dan Rasio Investasi (bobot: 15%).
2. Operasional, dengan bobot nilai 55% Indikator yang dinilai pada kriteria operasional adalah: -
Pelaksanaan penjaminan simpanan (bobot: 50%), yang ter diri atas: a. Tingkat pemenuhan kewajiban penyampaian laporan berkala bank. b. Tingkat pembayaran premi. c. Ketepatan waktu pembayaran klaim untuk pertama kali. d. Ketepatan waktu penentuan simpanan yang layak di bayar. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
31
e. Ketepatan pemenuhan pengumuman suku bunga pen jaminan. -
Pelaksanaan kebijakan resolusi bank gagal (bobot: 50%), yang terdiri atas: a. Ketepatan waktu memutuskan menyelamatkan atau tidak menyelamatkakn bank gagal yang tidak berdampak sistemik. b. Ketepatan waktu pelaksanaan RUPS pembubaran badan hukum dan pembentukan TL bank yang dicabut izin usahanya. c. Ketepatan waktu penunjukan Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk audit neraca penutup. d. Ketepatan waktu penyampaian Neraca Penutupan. e. Ketepatan waktu penyampaian Neraca Penutupan yang diaudit. f. Ketepatan waktu penyampaian Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tim Likuidasi (RKATL). g. Ketepatan waktu penyampaian Neraca Sementara Likuidasi (NSL). h. Ketepatan waktu penyelesaian likuidasi bank.
Profil Risiko LPS Berdasarkan penilaian risiko lembaga (enterprise risk assess ment) yang dilakukan LPS pada tahun 2010, tidak terdapat risiko pada zona merah. Beberapa risiko inheren yang dipandang perlu untuk dikelola dengan lebih efektif (berada pada zona orange), yaitu Risiko Ekuitas, Risiko Rendahnya Awareness Masyarakat, Risiko Ketidakpercayaan Masyarakat, Risiko Strategis, Risiko Hukum, Risiko Komunikasi Internal, Risiko Perencanaan, Risiko Penilaian, dan Risiko Ketersediaan Data.
32
• Risiko Ekuitas
• Risiko Akibat Bencana Alam • Risiko Moral Hazard
• Risiko Kepatuhan • Risiko Likuiditas • Risiko Pembayaran Klaim • Risiko Kesalahan Pembayaran Klaim • Risiko Kewenangan • Risiko Kinerja • Risiko Kepemimpinan • Risiko Kompetensi SDM • Risiko Terbukanya Informasi Rahasia • Risiko Akses Data • Risiko Keamanan Sistem dan Data • Risiko Lingkungan Eksternal
• Risiko Rendahnya Awareness Masyarakat • Risiko Ketidakpercayaan Masyarakat • Risiko Strategis • Risiko Hukum • Risiko Komunikasi Internal • Risiko Perencanaan • Risiko Penilaian • Risiko Ketersediaan Data
• Risiko Perilaku Etis • Risiko Fraud Internal
• Risiko Tingkat Bunga • Risiko Pengendalian Internal • Risiko Kemitraan • Risiko Pelaporan • Risiko Kebutuhan Pelanggan • Risiko Modal Pengetahuan • Risiko Tenaga Ahli • Risiko Turn Over Karyawan • Risiko Teknologi • Risiko Keamanan
• Risiko Budaya Organisasi • Risiko Integritas Data
Tidak Signifikan (Insignificant)
Kecil (Minor)
Sedang (Moderate)
Besar (Major)
Sangat Besar (Catastrophic)
Matriks Risiko
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
33
= Risiko yang sangat memerlukan perhatian segera = Risiko yang memerlukan perhatian segera = Risiko yang jika tidak dikelola dengan baik akan berakibat serius = Risiko yang dapat dikelola dengan baik melalui prosedur rutin dan pengendalian
yang memadai
Penjelasan risiko yang signifikan dan program mitigasi risiko yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: i.
Risiko Ekuitas adalah risiko atas kejadian yang mengakibatkan penurunan ekuitas. Koordinasi dengan regulator perbankan dalam mengantisipasi penutupan bank serta pengelolaan kas, penetapan cadangan klaim penjaminan dan akumulasi cadangan penjaminan harus selalu dipantau agar dapat mengantisipasi pengeluaran dana dalam jumlah besar dalam rangka pelaksanaan fungsi LPS.
ii. Risiko Rendahnya Awarenees Masyarakat terhadap sistem penjaminan LPS adalah risiko dari rendahnya tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap sistem penjaminan simpanan yang diselenggarakan oleh LPS. LPS perlu melakukan evaluasi terhadap program sosialisasi yang telah dilakukan. Jika dipandang program tersebut masih kurang efektif atau kurang memadai, perlu kiranya dipertimbangkan untuk membuat kampanye secara masif kepada masyarakat mengenai tugas, peran, dan wewenang LPS dalam menjalankan sistem penjaminan. iii. Risiko Ketidakpercayaan Masyarakat Terhadap LPS adalah risiko dari sebuah kejadian yang dapat secara signifikan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap LPS yang dapat mengakibatkan kerugian finansial dan nonfinansial. Risiko ini dapat dimitigasi dengan meningkatkan kredibilitas LPS melalui meningkatkan profesionalisme dan keefektifan LPS dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
34
iv. Risiko Strategis adalah risiko tidak terjalinnya kerja sama yang baik antara LPS dengan pihak lain (seperti Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan) sehingga mengganggu pelaksanaan fungsi LPS dalam menjalankan penjaminan simpanan nasabah. Risiko ini dapat dikurangi melalui keaktifan LPS dalam menjalin kerja sama dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan pihak-pihak lain dalam menjalankan tugas dan fungsi LPS. v.
Risiko Hukum adalah risiko yang muncul dari adanya ketidak pastian penerapan atau penafsiran transaksi, perjanjian kerja sama, kontrak atau aktivitas yang tidak memiliki kekuatan hukum, yang dapat mengakibatkan kerugian bagi LPS. Risiko Hukum dapat dimitigasi dengan peningkatan pro fesionalisme LPS di bidang hukum serta kerja sama dengan konsultan atau pakar hukum yang memiliki kredibilitas dan integritas yang tinggi dalam memperoleh pendapat hukum yang independen.
vi. Risiko Komunikasi Internal adalah risiko akibat komunikasi yang tidak efektif baik secara vertikal maupun horizontal dalam organisasi LPS yang mengakibatkan penerimaan infor masi yang tidak konsisten atau salah informasi yang pada akhirnya mengakibatkan pekerjaan tidak terlaksana sesuai dengan ukuran dan tanggung jawab. Untuk memitigasi risiko ini maka perlu lebih meningkatkan frekuensi dan memperbanyak media komunikasi antara pim pinan dan pegawai LPS, serta antarpegawai LPS baik formal maupun informal vii. Risiko Perencanaan adalah risiko yang muncul akibat dari kesalahan atau kegagalan perencanaan. Untuk mengurangi risiko ini, mekanisme perencanaan yang baik seharusnya dilakukan secara efektif.
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
35
viii. Risiko Penilaian adalah risiko yang timbul akibat kegagalan LPS dalam mendeteksi dan mengantisipasi bank yang memiliki tingkat risiko kegagalan yang tinggi Agar risiko ini dapat diminimalisasi maka LPS perlu mendapatkan data bank peserta penjaminan secara lengkap dan tepat waktu sehingga dapat menetapkan langkah antisipatif yang diperlukan sejak dini. ix.
Risiko Ketersediaan Data adalah risiko tidak tersedianya data/ informasi secara tepat waktu, lengkap, akurat, dan relevan untuk memfasilitasi pengambilan keputusan LPS perlu mengembangkan sistem informasi yang handal dan efisien sehingga kebutuhan data dalam proses pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan baik.
36
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan Divisi Litigasi
Divisi Pelaksanaan Resolusi Bank Divisi Likuiditas Bank
Divisi Manajemen Risiko
Divisi Analisis Resolusi Bank
Divisi Kepatuhan dan Dukungan Hukum
Divisi Peraturan
Divisi Penanganan Klaim
Divisi Penjaminan
Divisi Perbendaharaan
Divisi Akuntasi dan Anggaran
Divisi Sistem Informasi
Divisi Umum
Divisi Sumber Daya Manusia
Direktorat Administrasi dan Sistem Informasi
Anggota Non Ex-Officio
Sekretariat Lembaga
Kantor Dewan Komisioner
*) Mengingat pengawasan perbankan masih dilaksanakan oleh Bank Indonesia, sesuai UU LPS, Anggota Ex-Officio yang berasal dari Lembaga Pengawas Perbankan dijabat oleh Anggota Non Ex-Officio.
Satuan Kerja Audit Internal
Direktorat Hukum dan Peraturan
Kepala Eksekutif
Komite Informasi
Anggota Non Ex-Officio (Kepala Eksekutif)
Direktorat Keuangan
Anggota Non Ex-Officio (Ketua)
Komite Nominasi & Renumerasi
Anggota Ex-Officio Lembaga Pengawas Perbankan
Direktorat Klaim dan Resolusi Bank
Komite Audit
Anggota Ex-Officio BI
Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko
Anggota Ex-Officio Kemenkeu
DEWAN KOMISIONER
STRUKTUR ORGANISASI
5. STRUKTUR ORGANISASI
37
6. PENDANAAN Modal awal LPS minimal Rp 4 triliun dan maksimal Rp 8 triliun. Kekayaan LPS ini adalah aset negara yang dipisahkan dan tidak terbagi dalam saham. Pada awal proses berdirinya, untuk menjalankan tugas sesuai fungsi yang diamanatkan oleh UU LPS, LPS mendapatkan modal awal dari kekayaan negara sebesar Rp 4 triliun. Selanjutnya LPS bertanggung jawab atas pengelolaan dan administrasi semua kekayaannya. Kekayaan LPS berbentuk inves tasi dan bukan investasi. Kekayaan yang berbentuk investasi hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan/atau Bank Indonesia. LPS tidak diperbolehkan menempatkan investasi pada bank atau perusahaan lainnya, kecuali dalam bentuk penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan atau pe nanganan Bank Gagal. Selain itu, LPS dapat menempatkan kekayaan bukan investasi dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya. Dengan demikian, pada konteks memberikan kontribusi pada stabilitas moneter dan perekonomian, LPS berperan dalam utilisasi atau penggunaan dana penjaminan. Peran utilisasi dana penjaminan itu berdasarkan pada UU LPS, yakni apabila LPS memiliki sumber dana lebih atau surplus, hanya bisa diinvestasikan dalam bentuk surat berharga yang diterbitkan Pemerintah RI dan/atau Bank Indonesia. Selanjutnya, apabila LPS memiliki surplus dari kegiatan opera sional selama 1 tahun akan dialokasikan untuk cadangan tujuan sebesar 20%. Adapun sisanya sebesar 80% diakumulasikan sebagai cadangan penjaminan. Dalam hal akumulasi cadangan penjaminan mencapai tingkat sasaran sebesar 2,5% dari total simpanan pada seluruh bank, bagian surplus itu merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Tentu saja diharapkan LPS tidak mengalami defisit. Namun, jikalau terjadi defisit karena pembayaran klaim penjaminan dalam 1 tahun maka diperhitungkan sebagai pengurang cadangan penjaminan.
38
Namun apabila cadangan penjaminan tidak mencukupi, maka defisit itu diperhitungkan sebagai pengurang modal LPS. Likuiditas menjadi hal penting bagi LPS. Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari pemerintah. Ke tentuan mengenai tingkat likuiditas LPS tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kinerja keuangan LPS dimulai sejak LPS menerima modal awal dari Pemerintah sebesar Rp 4 triliun berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.32 Tahun 2005 tentang Modal Awal LPS. Selanjutnya sesuai dengan UU LPS, LPS mengelola keuangan dengan memperoleh pendapatan, mayoritas berasal dari pendapatan premi penjaminan dan hasil investasi. Sedangkan biaya yang ditanggung oleh LPS mayoritas berupa biaya pembentukan cadangan klaim, biaya investasi dan biaya umum administrasi. LPS menyusun laporan keuangan secara tahunan untuk periode Januari s.d. Desember dan Laporan Keuangan LPS dimaksud selanjutnya diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan Indonesia (BPK) dan diterbitkan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun berikutnya. Berdasarkan hasil audit atas Laporan Keuangan tahun buku 2005 sampai dengan tahun buku 2008, auditor BPK menyatakan pendapat “Wajar Tanpa Pengecualian” atas masingmasing laporan keuangan tersebut. Dan berdasarkan hasil audit Laporan Keuangan tahun buku 2009, BPK tidak menyatakan pendapat dan mengubah pendapat atas Laporan Keuangan tahun buku 2008 dari semula “Wajar Tanpa Pengecualian” menjadi “Tidak memberikan Pendapat” (Laporan Auditor Independen Nomor: 13.a/ LHP/XV.3/03/2010 Tanggal 12 Maret 2010). Perkembangan kinerja keuangan LPS sejak tahun 2005 sampai dengan 2010 tersaji dalam tabel berikut:
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
39
Tabel I. Neraca
(Per 31 Desember 2010 dan Per 31 Desember 2009 Sudah Diaudit) Dalam Ribuan Rp Per 31 Desember 2010 Aktiva Kas dan Setara Kas Investasi Dalam Surat Berharga Surat Berharga Diterbitkan BI (SBI) - Diskonto SBI Total Surat Berharga Diterbitkan BI Surat Berharga Diterbitkan Pemerintah (SBN) + Premium SBN - Diskonto SBN Total Surat Berharga Diterbitkan Pemerintah Total Investasi Dalam Surat Berharga Piutang Premi Penjaminan Piutang Investasi Piutang Bank Dalam Likuidasi (BDL) - Akum.Penyisihan Piutang BDL Piutang Bank Dalam Likuidasi Bersih Piutang Lain-Lain - Akum.Penyisihan Piutang LainLain Piutang Lain-Lain Bersih Penyertaan Modal Sementara Aktiva Tetap Harga Perolehan Aktiva Tetap - Akumulasi Penyusutan Aktiva Tetap Total Aktiva Tetap Aktiva Lain-Lain Total Aktiva
40
Per 31 Desember 2009
60,762,434
36,997,966
6,054,500,000 (67,697,422)
3,004,700,000 (11,817,132)
5,986,802,578
2,992,882,868
9,445,050,000
7,711,240,000
62,250,607 (141,759,955)
70,506,368 (158,044,049)
9,365,540,652 15,352,343,230
10,616,585,187
20,167 218,301,872
17,010 218,320,136 10,455,599 (1,381,069)
3,173,675
9,074,530 12,732,549 (10,408,977)
2,108,154 6,762,361,000
2,323,572 6,762,361,000
136,000,074
8,197,588
(9,508,744)
(5,024,115) 126,491,330 22,646,766
3,173,474 95,798,990
22,548,208,628
17,744,651,865
Kewajiban Hutang Klaim Penjaminan Cadangan Klaim Penjaminan Cadangan Manfaat Karyawan Hutang Pajak Hutang Lain-Lain Total Kewajiban
36,662,982 11,098,230,689 5,817,392 96,756,347 12,006,798 11,249,474,208
37,631,486 7,248,371,830 4,055,645 87,563,463 3,389,714 7,381,012,138
Ekuitas Modal Awal Pemerintah Cadangan Tujuan Cadangan Penjaminan Total Ekuitas
4,000,000,000 1,459,746,884 5,838,987,536 11,298,734,420
4,000,000,000 1,272,727,945 5,090,911,782 10,363,639,727
Total Kewajiban dan Ekuitas
22,548,208,628
17,744,651,865
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
41
Tabel II. Laporan Surplus (Defisit)
(Periode 01 Januari s.d. 31 Desember 2010 dan Periode 01 Januari s.d. 31 Desember 2009 Sudah Diaudit) Uraian Pendapatan Operasi Pendapatan Premi Penjaminan Pendapatan Hasil Investasi Pendapatan Kontribusi Kepesertaan Pendapatan Denda Pendapatan Pengembalian Klaim Total Pendapatan Operasi
01 Jan-31 Des 2010
Dalam Ribuan Rp 01 Jan-31 Des 2009
4,177,577,315 1,128,996,986 1,574,492 9,404 176,980 5,308,335,177
3,779,439,307 967,127,481 41,200 32,946 0 4,746,640,934
25,548,958
523,644,972
(25,548,958)
(523,644,972)
6,221,982 3,875,407,817 196,073,664 103,124,149 4,180,827,612
5,813,507 2,641,571,075 160,405,776 68,098,593
2,875,888,951
Surplus (Defisit) dari Operasi Pendapatan dan Biaya Lain-Lain Pendapatan Lain-Lain Biaya Lain-Lain
1,127,507,565
1,870,751,983
15,841,316 (3,198,345)
23,905,576 (4,807,882)
Surplus (Defisit) Bersih Sebelum Pajak Pajak Penghasilan Badan Biaya PPh Badan kini Penghasilan Pajak Tangguhan
1,140,150,536
1,889,849,677
205,316,009 (260,166)
208,431,942 (315,160)
935,094,693
1,681,732,895
187,018,939 748,075,754
336,346,578 1,345,386,316
Biaya Operasi Biaya Klaim Penjaminan - Cadangan Klaim Penjaminan Direalisasi Biaya Terkait Dengan Resolusi Bank Biaya Kenaikan (Penurunan) Cad. Klaim Biaya Investasi Biaya Umum dan Administrasi
Total Biaya Operasi
Surplus (Defisit) Bersih Setelah Pajak Alokasi Surplus Defisit:
Cadangan Tujuan (20%) Cadangan Penjaminan (80%)
42
Perkembangan aktiva yang dimiliki LPS sejak penerimaan modal awal sebesar Rp4 triliun pada tahun 2005 terus meningkat lebih dari 27% pertahunnya, hingga posisi 31 Desember 2010 aktiva yang dimiliki LPS mencapai Rp 22 triliun.
Seiring dengan peningkatan aktiva, sisi pasiva (kewajiban dan ekuitas) juga mengalami kenaikan yang sama, sebagaimana grafik berikut:
Perkembangan Pasiva Cad.Penjaminan
25,000 20,000
Cad.Tujuan
15,000
Modal Awal
10,000
Hutang
5,000
Cadangan Manfaat 2005
2006
2007
2008
2009
12/31/2010
‐
Cadangan Klaim
Pembentukan Cadangan Klaim Penjaminan Cad.Penjaminan
18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 ‐
Cadangan Klaim
2005
2006
2007
2008
2009
2010
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
43
Perkembangan Pasiva Cad.Penjaminan
2005
2006
2007
2008
2009
12/31/2010
25,000 sisi pasiva didominasi oleh kenaikan pembentukan Kenaikan Cad.Tujuan cadangan20,000 klaim penjaminan, yaitu cadangan yang dibentuk untuk Modal Awal 15,000 mengantisipasi terjadinya klaim pembayaran simpanan nasabah 10,000 Hutang bank yang5,000 dilikuidasi. Pencadangan Klaim penjaminan dilakukan Cadangan Manfaat ‐ baik pada kewajiban, yaitu dalam bentuk cadangan klaim, maupun Cadangan Klaim pada ekuitas, yaitu cadangan penjaminan. Pembentukan cadangan klaim penjaminan dari tahun 2005 dapat dilihat pada garfik berikut:
Pembentukan Cadangan Klaim Penjaminan Cad.Penjaminan
18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 ‐ 2005
2006
2007
2008
2009
12/31/2010
Cadangan Klaim
Selanjutnya berdasarkan tabel Surplus Defisit di atas, pening katan pendapatan dan biaya operasi beserta surplus setelah pajak dapat ditunjukkan sebagai berikut:
Perkembangan Pendapatan Operasi 4,000 Pendapatan Premi Penjaminan
3,500 3,000
Pendapatan Hasil Investasi
2,500 2,000
Pendapatan Pengembalian Klaim
1,500 1,000
Pendapatan Kontribusi Kepesertaan
500 ‐ 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Pendapatan Denda
Perkembangan Biaya Operasi
44 3,000 2,500 2,000 1,500
Biaya Kenaikan (Penurunan) Cad. Klaim Biaya Investasi Biaya Umum dan
Pendapatan Pengembalian Klaim
1,500 1,000
Pendapatan Kontribusi Kepesertaan
500 ‐ 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Pendapatan Denda
Perkembangan Biaya Operasi 3,000
Biaya Kenaikan (Penurunan) Cad. Klaim
2,500
Biaya Investasi
2,000 1,500
Biaya Umum dan Administrasi
1,000
Biaya Terkait Dengan Resolusi Bank
500
2005
2006
2007
2008
2009
2010
‐
Perkembangan Surplus Setelah Pajak
2005
2006
2007
2008
2009
2010
1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
45
46
BAB III
PENJAMINAN SIMPANAN NASABAH BANK
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
47
•
Dalam sistem penjaminan simpanan, pada prinsipnya bank peserta mengalihkan risiko kegagalan dalam memenuhi kewajiban kepada Lem baga Penjamin Simpanan (LPS). Selanjutnya, agar LPS bisa mengelola risiko yang dihadapi secara efektif dan efisien, maka LPS menilai kondisi kesehatan bank peserta penjaminan secara periodik. LPS memiliki pro sedur baku, ketat dan terukur untuk menganalisis kesehatan bank-bank peserta. Alat yang dipakai LPS adalah Analisis Kesehatan Bank Peserta Penjaminan.
•
Untuk bank gagal yang tidak berdampak sistemik, perhitungan Lower Cost Test (LCT) menjadi salah satu dasar keputusan LPS memutus kan sebuah bank gagal akan diselamatkan atau tidak diselamatkan. Selanjutnya, dalam hal bank dicabut izin usahanya maka LPS akan menempuh rekonsiliasi dan verifikasi data simpanan nasabah. Tujuannya adalah untuk memastikan simpanan nasabah bank yang terlikuidasi telah memenuhi kriteria simpanan yang layak dibayarkan oleh LPS sehingga klaim penjaminan atas simpanan tersebut dapat dicairkan.
•
Asalkan tidak melanggar ketentuan penjaminan simpanan, maka tidak ada alasan bagi nasabah untuk khawatir uang simpanannya akan hilang. Penting untuk diketahui oleh deposan bahwa uang atau nilai simpanan yang diganti ada batas maksimalnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah, begitu pula halnya dengan bunga simpanan. Oleh sebab itu, bijaksanalah dalam memilih produk simpanan di Bank.
48
1. ANALISIS KONDISI BANK Munculnya bank gagal sangatlah tidak diinginkan oleh semua pihak, baik masyarakat dan seluruh lembaga pengemban Jaring Pengamanan Sektor Keuangan. Namun, jika telanjur ada bank gagal maka harus ditangani sesuai mekanisme dan ketentuan per aturan yang ada agar dampaknya tidak merugikan nasabah bank, para pemangku kepentingan (stakeholders) serta tidak sampai mengguncang industri perbankan. Dalam sistem penjaminan simpanan, pada dasarnya bank peserta mengalihkan risiko kegagalan dalam memenuhi kewajiban kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selanjutnya, agar LPS dapat mengelola risiko yang dihadapi secara efektif dan efisien, maka LPS perlu menilai kondisi kesehatan bank peserta penjaminan secara periodik. Alat yang dipakai LPS untuk menilai kondisi kesehatan suatu bank adalah Analisis Kesehatan Bank Peserta Penjaminan. Alat ini merupakan perangkat uji yang dipakai manajemen in ternal LPS untuk menganalisis, mengidentifikasi, dan mengantisi pasi risiko yang mungkin timbul dari adanya bank bermasalah. Pelaksanaan penilaian kondisi kesehatan bank bertujuan untuk: 1. Menilai secara berkala kondisi kesehatan setiap bank dan sistem perbankan secara keseluruhan; 2. Melakukan deteksi dini (early warning signal) atas masalah yang muncul atau potensi risiko yang dihadapi oleh bank; dan 3. Mendukung pengelolaan cadangan klaim penjaminan. Pelaksanaan penilaian kondisi kesehatan bank tersebut merupa kan bagian dari proses manajemen risiko LPS. Dalam menilai kon 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
49
disi kesehatan bank, LPS menggunakan sumber data/infor ma si yang berasal dari laporan bank peserta penjaminan dan sumber lain yang relevan. Laporan yang disampaikan bank tersebut me liputi laporan keuangan bulanan dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit. Selain itu, dasar penilaian dapat berupa data/informasi yang diperoleh dari Bank Indonesia; perusahaan pemeringkat; pasar modal; media massa; dan/atau sumber lain. Untuk menunjang pe laksanaan penilaian diperlukan sinkronisasi serta keseragaman bentuk dan susunan laporan; keakuratan data; serta dukungan sis tem informasi yang memadai.
2. PERHITUNGAN CADANGAN Untuk dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik, salah satu hal yang perlu dilakukan LPS adalah mengelola ke wajibannya secara efektif dan efisien. Pengelolaan kewajiban ter sebut dimaksudkan agar LPS dapat memenuhi semua kewajiban nya secara tepat waktu. Kewajiban tersebut dapat timbul dari kerugian yang diharapkan (expected loss) maupun kerugian yang tidak diharapkan (unexpected loss). Kerugian yang diharapkan perlu diantipasi dengan menyediakan dana untuk pembayaran klaim penjaminan yang disebut dengan istilah cadangan klaim penjaminan. Cadangan klaim penjaminan merupakan cadangan yang dibentuk untuk mengantisipasi timbul nya klaim penjaminan yang harus dibayar LPS pada suatu periode tertentu. LPS membentuk cadangan klaim penjaminan pada setiap akhir periode laporan keuangan untuk mengantisipasi klaim pen jaminan periode berikutnya. Untuk menghitung jumlah cadangan klaim penjaminan yang memadai (adequate) telah dikembangkan pemodelan dengan meng gunakan pendekatan risiko kredit (credit risk modelling). Dalam perhitungan cadangan klaim penjaminan dipertimbangkan besar nya kemungkinan kegagalan bank (probability to fail), jumlah simpanan yang dijamin (exposure at default) dan rasio kerugian atas kejadian kegagalan tersebut (loss given default). Hasil analisis kondisi bank merupakan masukan penting dalam perhitungan
50
cadangan klaim penjaminan terutama dalam menentukan besarnya kemungkinan kegagalan suatu bank. Sedangkan untuk mengantipasi kerugian yang tidak diharapkan, LPS mengakumulasi 80% surplus operasionalnya ke dalam cadang an penjaminan yang ditargetkan mencapai 2,5% dari jumlah sim panan yang ada pada sistem perbankan. Setiap tahun, akumulasi cadangan penjaminan yang telah dimiliki LPS dievaluasi untuk menilai kecukupannya sehingga dapat diketahui kemampuan LPS dalam memenuhi kerugian yang tidak diharapkan tersebut.
3. PREMI BERBASIS RISIKO Pada saat ini LPS menerapkan tingkat premi yang sama untuk setiap bank peserta penjaminan (flat rate premium) sebesar 0,2% per tahun dari total simpanan pada bank. Pilihan untuk menerapkan flat rate premium terutama didasarkan pada pertimbangan lebih mudah dihitung dan diadministrasikan karena tidak memerlukan banyak data dan informasi dari bank. Selain itu, metode ini pada tingkat tertentu dapat mendukung stabilitas sistem perbankan, karena bank peserta penjaminan tidak dibebani premi yang tinggi pada saat bank bermasalah atau kondisi perbankan/perekonomian sedang memburuk. Sedangkan hal yang dianggap sebagai kelemahan flat rate premium adalah tidak memperhitungkan besarnya risiko yang dialihkan bank kepada penjamin simpanan. Selain itu sistem ini dipandang tidak adil karena bank yang mempunyai kondisi kesehatan, tata kelola, dan manajemen risiko yang baik membayar tingkat premi yang sama dengan bank yang mempunyai kondisi kesehatan, tata kelola, dan manajemen risiko yang buruk. Sistem ini juga dapat mendorong moral hazard pengelola bank karena tidak ada penalti bagi bank yang mengambil risiko berlebihan. Pada umumnya penjamin simpanan menerapkan flat rate premium pada awal beroperasi, kemudian mengubah menjadi premi berbasis risiko setelah kondisi atau prasyarat tertentu terpenuhi. FDIC di Amerika Serikat yang beroperasi sejak tahun 1933 baru mulai menerapkan premi berbasis risiko pada tahun 1993, CDIC di 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
51
Kanada yang didirikan pada tahun 1967 mulai menerapkan premi berbasis risiko pada tahun 1999. Dalam Pasal 15 UU LPS diatur bahwa flat rate premium yang diterapkan saat ini dapat diubah menjadi premi berbasis risiko dengan ketentuan perbedaan tingkat premi terendah dan tertinggi tidak melebihi 0,5% dan perubahan tersebut dikonsultasikan dengan DPR. Penerapan premi berbasis risiko terutama ditujukan untuk mengatasi kelemahan flat rate premium, antara lain untuk memberi insentif bagi bank memperbaiki kondisi kesehatan, tata kelola, dan manajemen risikonya, serta memberi perlakuan yang lebih adil dalam pembayaran premi penjaminan. Penerapan premi berbasis risiko juga dapat digunakan sebagai sarana mencegah moral hazard pengelola bank serta mendorong tumbuhnya disiplin pasar. Namun demikian, penerapan premi berbasis risiko bukan tidak mempunyai kelemahan. Pengenaan premi yang tinggi pada bank bermasalah akan dapat menyulitkan upaya penyehatan yang dilakukan terhadap bank tersebut. Selain itu, penerapan premi berbasis risiko dapat mengakibatkan nasabah menjadi sensitif terhadap informasi tingkat premi yang dibayar bank sehingga berpotensi menjadi sumber ketidakstabilan sistem perbankan. LPS telah melakukan penelitian mengenai premi berbasis risiko antara lain dengan melakukan survey kepada beberapa bank peserta penjaminan terkait pandangan mereka terhadap penerapan sistem tersebut, serta melakukan kajian akademis mengenai faktor/ indikator risiko yang akan digunakan, sistem pengelompokan bank berdasar risikonya, tarif premi masing-masing kelompok bank, serta jangka waktu/transisi penerapannya. Pada tahun 2011, LPS akan melakukan studi kelayakan untuk mengetahui tahapan dan faktor apa saja yang perlu dipenuhi sebelum premi berbasis risiko dapat diterapkan, dengan meminta masukan dari para pemangku kepentingan antara lain industri perbankan, Bank Indonesia, dan Kementerian Keuangan.
52
Kasus Northern Rock Northern Rock merupakan satu dari banyak bank di dunia yang mengalami kerugian yang besar akibat krisis subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat. Sebagai akibatnya, Northern Rock mengalami kesulitan likuiditas karena bank lain enggan meminjamkan dananya di pasar uang. Pada akhirnya Northern Rock harus meminta bantuan fasilitas lender of the last resort, yang di Inggris disebut Liquidity Support Facility (LSF), kepada Bank of England (BoE). Pada awalnya BoE enggan memberikan fasilitas tersebut, dengan alasan BoE tidak memiliki cukup data mengenai bank tersebut karena pengawasan bank dilakukan oleh The Financial Services Authority (the FSA). Setelah berkonsultasi dengan the FSA dan the Treasury (Departemen Keuangan) sesuai MOU Tripartite, Bank of England pada akhirnya memberikan fasilitas lender of the last resort pada tanggal 13 September 2007. Berita pemberian LSF kepada Northern Rock tersebut ternyata justru menyebabkan nasabah menjadi panik dan secara bersama-sama menarik dananya (rush). Dalam 2 hari saja (Jumat-Sabtu, 14-15 September 2007) dana yang ditarik nasabah mencapai 2 miliar Poundsterling. Untuk menghentikan kepanikan nasabah, the Treasury akhirnya mengumumkan pemberian jaminan terhadap seluruh kewajiban Northern Rock (simpanan dan unsecured credit) pada tanggal 18 September 2007. Pada akhir tahun 2007, fasilitas dari BoE yang diterima oleh Northern Rock mencapai 26,9 miliar Poundsterling dan bertambah menjadi 87 miliar Poundsterling pada Oktober 2008. Pada tanggal 22 Februari 2008,Pemerintah Inggris menasionali sasi bank tersebut melalui program Temporary Public Ownership setelah upaya penawaran untuk pengambilalihan bank tersebut tidak mencapai kesepakatan disebabkan calon investor tidak mampu berkomitmen mengembalikan seluruh dana BoE pada bank tersebut dalam waktu 3 tahun. Bank selanjutnya dikelola oleh badan pemerintah Inggris bernama UK Financial Investments Limited dan pada akhirnya memperoleh kembali 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
53
kepercayaan masyarakat untuk menaruh dananya pada bank tersebut. Melihat perkembangan yang baik tersebut, pemegang saham lama berusaha melalui pengadilan untuk mendapatkan kompensasi atas saham yang pernah mereka miliki sebelumnya. Namun keputusan pengadilan menyatakan mereka tidak mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi tersebut. Sejak pertengahan tahun 2009, banyak pembeli potensial yang berminat terhadap bank tersebut. Namun pemerintah Inggris me nyatakan tidak terburu-buru untuk menjual bank tersebut kepada pihak swasta. Pada 1 Januari 2010, the Treasury merestrukturisasi Northern Rock dengan membagi menjadi 2 bisnisnya, yakni Northern Rock plc untuk mengelola bisnis perbankan dan Northern Rock (Asset Management) plc untuk mengelola aset lainnya terutama residential mortgage.
4. BANK DALAM PENGAWASAN KHUSUS
Sebelum Tahun 2009 Sejak awal beroperasi pada tanggal 22 September 2005, LPS lang sung melakukan pemantauan terhadap perkembangan bank Dalam Pengawasan Khusus (DPK) yang sebelumnya dilaksanakan oleh BI. Beberapa hal spesifik yang terkait dengan analisis resolusi bank terjadi dalam kurun waktu hingga akhir 2008, yakni: 1. Untuk pertama kali sejak LPS beroperasi, terdapat 2 (dua) bank umum yang ditetapkan DPK, yaitu PT Bank IFI dan PT Bank Century, Tbk. Penanganan terhadap kedua bank tersebut adalah: - PT Bank IFI: Ditetapkan sebagai Bank DPK pada tanggal 9 September 2008. - PT Bank Century, Tbk: Ditetapkan sebagai Bank DPK pada tanggal 6 November 2008. Bank Century dinyatakan se bagai Bank Gagal yang berdampak sistemik pada tanggal 21 November 2008 dan penanganannya diserahkan kepada LPS. 2. Dikeluarkannya Perpu No. 3 tahun 2008 dan PP No. 66 tahun 2008 yang menetapkan besarnya nilai simpanan yang
54
dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank. Penetapan semula paling banyak Rp 100 juta, diubah menjadi paling banyak Rp 2 miliar. Hal ini berpengaruh terhadap hasil analisis khususnya, yang terkait erat dengan perhitungan Lower Cost Test (LCT).
Pada Tahun 2009 Krisis moneter dunia pada pertengahan tahun 2008 yang ber pusat di Bursa Efek New York-Amerika Serikat menjalar ke manamana. Meski tidak terlalu besar, imbasnya turut mengguncang industri perbankan nasional. Hal ini membuat sejumlah bank pada tahun 2009 harus masuk daftar bank Dalam Pengawasan Khusus (DPK). Total terdapat 76 bank DPK yang mesti mendapatkan pemantau an dan analisis spesial. Dari 76 bank DPK itu, BI menyatakan se banyak 6 bank tidak dapat disehatkan (bank gagal) serta 1 bank diserahkan penanganannya kepada LPS oleh KK/KSSK (Komite Koordinasi/Komite Stabilitas Sistem Keuangan). Selama tahun 2009 juga terjadi sejumlah hal spesifik terkait dengan analisis resolusi bank, antara lain: 1. Adanya perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/34/PBI/2004 tanggal 22 September 2004 menjadi Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/20/PBI/2009 tanggal 4 Juni 2009. Perubahan ketentuan yang baru ini mengenai jangka waktu pengawasan khusus yang lebih panjang, yaitu dari 3 bulan menjadi 6 bulan. Waktu pengawasan khusus ini dapat diper panjang 1 kali dengan jangka waktu paling lama 6 bulan sehingga total masa DPK dapat menjadi 1 tahun apabila bank telah dapat meningkatkan: a. Capital Adequacy Ratio (CAR) atau Rasio Kecukupan Modal paling kurang 75% dari selisih untuk mencapai CAR 4% dan CAR di atas 0%. b. Cash Ratio rata-rata selama 6 bulan terakhir paling kurang sebesar 75% dari selisih untuk mencapai Cash Ratio 3% dan Cash Ratio lebih dari 1%. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
55
2.
Telah disusun Surat Keputusan Bersama (SKB) Gubernur BI dan Ketua Dewan Komisioner LPS pada tanggal 22 Oktober 2009 sesuai dengan arahan anggota Dewan Komisioner. Dengan penetapan SKB itu, Nota Kesepakatan BI dan LPS tanggal 29 Juni 2007 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Materi yang diatur dalam SKB ini meliputi koordinasi dan pertukaran data dan informasi untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas BI dan LPS, di antaranya berkaitan dengan kegiatan analisis yang meliputi: a. Informasi dari BI kepada LPS mengenai bank yang ditem patkan DPK. b. Koordinasi penyelesaian/penanganan bank gagal dengan lebih rinci dibandingkan dengan Nota Kesepakatan tanggal 29 Juni 2007. Di samping itu, SKB antara BI dan LPS juga mengatur bahwa BI dapat mengikutsertakan LPS dalam pemeriksaan langsung terhadap bank yang telah ditetapkan DPK atas permintaan LPS maupun inisiatif BI untuk mendapatkan data dan kondisi terkini bank sebagai bahan LPS untuk menetapkan tindakan penyelesaian/penanganan terhadap bank tersebut.
3. Untuk pertama kalinya LPS merekomendasikan bank umum, yaitu PT Bank IFI, untuk tidak diselamatkan. PT Bank IFI di cabut izin usahanya oleh BI pada tanggal 17 April 2009.
Selama Tahun 2010 Peran pemantauan dan analisis terhadap bank-bank di tanah air terus dilakukan BI dan LPS. Selama Tahun 2010 saja telah di lakukan pemantauan dan analisis terhadap 53 bank DPK. Dari 53 bank itu, 10 bank di antaranya merupakan bank yang kondisinya cenderung memburuk—mengarah tidak dapat disehatkan. Maka, berdasarkan ketentuan dalam SKB antara BI dan LPS, telah di lakukan pemeriksaan langsung terhadap 14 bank (dan akan di lakukan pemeriksaan terhadap 6 bank lainnya).
56
Dari 14 bank yang telah diperiksa, LPS memutuskan 10 bank di antaranya tidak diselamatkan dan merekomendasikan untuk dicabut izin usahanya oleh BI. Perkembangan bank DPK selama tahun 2009 dan semester I/2010 sebagaimana diuraikan di atas dapat diikhtisarkan pada tabel berikut ini (dengan perbandingan perkembangan pada tahun 2006 s.d. 2009). Uraian
2006
2007
2008
2009
2010
Jml bank awal tahun
-
34
21
25
21
Jml bank masuk DPK
-
81
46
51
16
115
67
76
37
Jml bank 1 thn Jml bank keluar DPK
-
89
38
49
10
Jml BPR CIU
6
5
4
6
6
Jml Bank Diselamatkan
0
0
1
0
0
Jml bank akhir tahun
34
21
25
21
21
Adapun perkembangan bank yang ditetapkan Dalam Pengawasan Khusus setiap bulan sejak awal tahun 2010 dapat dilihat pada grafik berikut ini:
Jumlah Bank Dalam Pengawasan Khusus Tahun 2010
5. LOWER COST TEST (LCT) Dalam membangun kepastian, keadilan dan stabilitas di industri perbankan, penyelesaian atau penanganan bank gagal selalu ber
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
57
pijak pada standar ukuran yang jelas dan terukur. Untuk itu, LPS memutuskan penyelesaian atau penanganan bank gagal dengan sekurang-kurangnya mendasarkan pada perkiraan biaya penye lamatan dan perkiraan biaya jika tidak melakukan penyelamatan bank gagal dimaksud. LPS memutuskan penyelesaian atau penanganan bank gagal yang tidak berdampak sistemik dengan sekurang-kurangnya men dasarkan pada perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan bank gagal dimaksud. Adapun salah satu kriteria bagi LPS dalam memutuskan suatu bank gagal akan diselamatkan atau tidak diselamatkan, dilakukan perhitung an Lower Cost Test (LCT). Bank gagal akan diselamatkan apabila perkiraan biaya penyelamatan paling tinggi sebesar 60% (enam puluh perseratus) dari perkiraan biaya tidak menyelamatkan.
6. PENCABUTAN IZIN USAHA BANK Pencabutan izin usaha bank merupakan keputusan yang tidak diinginkan semua pihak. Namun, jika hal tersebut tetap dilakukan, maka LPS siap untuk menanganinya. Oleh sebab itu, dalam hal bank gagal (failed bank) dicabut izin usahanya oleh LPP, selanjutnya LPS segera melakukan tindakan yang diperlukan. Kesigapan LPS ditempuh dalam rangka pengamanan aset bank sebelum proses likuidasi dimulai, yaitu dengan menguasai dan mengelola aset bank, mengelola kewajiban bank, dan melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia, LPP, kepolisian, dan instansi terkait. Terhitung sejak izin usaha suatu bank dicabut, LPS mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) dalam rangka likuidasi bank. Dengan mengambil alih hak dan wewenang RUPS tersebut, maka LPS dapat segera memutus kan hal-hal sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
58
Pembubaran badan hukum bank; Pembentukan tim likuidasi; Penetapan status bank sebagai “Bank Dalam Likuidasi” Penonaktifan seluruh direksi dan dewan komisaris.
Sampai akhir tahun 2010, jumlah bank yang dicabut izin usaha nya sebanyak 31 bank, yaitu 30 BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dan 1 bank umum dengan rincian sebagai berikut: Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010
: : : : :
6 BPR 5 BPR 4 BPR 5 BPR dan 1 Bank Umum 10 BPR
7. PROSES REKONSILIASI DAN VERIFIKASI Sesuai nama yang disandang, yakni Lembaga Penjamin Simpan an (LPS), maka fungsi utama LPS adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan atau deposan. Fungsi LPS tersebut tertuang dalam Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Adapun simpanan yang dijamin meliputi giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang disamakan dengan itu. Semula, nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp 100 juta. Namun, untuk mengantisipasi dampak terjadinya krisis moneter dan menjaga kepercayaan na sabah terhadap industri perbankan, maka pada bulan Oktober 2008, nilai maksimal simpanan yang dijamin naik menjadi Rp 2 miliar. Dalam me realisasikan fungsi penjaminan atas simpanan nasabah, LPS wajib membayarkan klaim penjaminan yang layak dibayar kepada nasabah penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya. Secara teknis, segera setelah pencabutan izin usaha bank oleh Bank Indonesia, LPS akan melakukan rekonsiliasi dan verifikasi terhadap simpanan nasabah bank itu. Rekonsiliasi dan verifikasi adalah serangkaian proses membandingkan dan mencocokkan data simpanan nasabah dengan data/informasi terkait lainnya. Tujuan dari proses ini adalah untuk menentukan dan memastikan bahwa simpanan nasabah memenuhi kriteria penjaminan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
59
Hasil dari proses tersebut adalah penetapan status atas setiap simpanan nasabah sebagai layak dibayar atau tidak layak dibayar. Sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2004, klaim penjaminan dinyatakan tidak layak dibayar apabila berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi terdapat hal-hal seperti di bawah ini: 1. Data simpanan nasabah dimaksud tidak tercatat pada bank. 2. Nasabah penyimpan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar, dan/atau 3. Nasabah penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat. Pada tahap berikutnya, LPS wajib menentukan status simpanan nasabah setelah melakukan proses rekonsiliasi dan verifikasi selambat-lambatnya 90 hari kerja terhitung sejak izin usaha bank dicabut. Namun begitu, pembayaran tahap pertama atas simpanan yang layak dibayar harus mulai dilaksanakan selambat-lambatnya dalam waktu 5 hari kerja sejak verifikasi dimulai.
8. PEMBAYARAN KLAIM PENJAMINAN Bagi nasabah penyimpan atau deposan dari bank yang dicabut izin usahanya pembayaran klaim penjaminan atas simpanan ada lah waktu yang ditunggu-tunggu. Pada prinsipnya LPS membayar klaim penjaminan atas simpanan yang layak dibayar kepada na sabah penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya. Dalam rangka pembayaran klaim pen jaminan itu, LPS mengumumkan tanggal dimulainya pengajuan klaim sekurang-kurangnya pada 2 surat kabar harian yang memiliki peredaran luas. Proses pembayaran selanjutnya akan dilakukan oleh Bank Pembayar yang telah ditunjuk oleh LPS. Secara teknis nasabah penyimpan memiliki jangka waktu pengajuan klaim penjaminan kepada LPS hingga 5 tahun sejak izin usaha bank bersangkutan dicabut. Dalam hal nasabah penyimpan merasa dirugikan dan tidak puas karena status penjaminan atas simpanannya dinyatakan sebagai tidak layak dibayar oleh LPS, maka nasabah tersebut dapat
60
mengajukan keberatan kepada LPS dengan didukung bukti yang nyata dan jelas. Selain itu, nasabah yang merasa dirugikan dan tidak puas juga dapat melakukan upaya hukum. Kemudian, dalam hal LPS menerima keberatan nasabah penyimpan atau pengadilan mengabulkan upaya hukum nasabah penyimpan, maka LPS akan membayar simpanan nasabah bank tersebut sesuai dengan ketentuan penjaminan berikut bunga yang wajar.
9. DAFTAR BANK YANG TELAH DIBAYAR KLAIMNYA Proses pembayaran klaim penjaminan adalah tahap krusial dalam pelaksanaan program penjaminan simpanan nasabah bank. Mi nim nya gejolak dan tumbuhnya rasa kepercayaan dari nasa bah penyimpan merupakan indikator penting yang harus terus di wujudkan oleh LPS. Tahap pembayaran klaim penjaminan ini ada lah bagian tidak terpisahkan dari upaya membangun sistem per bankan yang sehat dan stabil. Sebagai catatan untuk diketahui oleh masyarakat, sampai dengan 31 Desember 2010, terdapat 31 bank yang telah dicabut izin usahanya dan telah diserahkan kepada LPS untuk ditangani. Total 31 bank tersebut mencakup 30 BPR dan 1 Bank Umum, dengan po sisi pembayaran penjaminan simpanan yang telah dilakukan pada 28 bank. Adapun untuk 3 bank sisanya sedang dalam proses re konsiliasi dan verifikasi. Total nilai simpanan nasabah yang telah dinyatakan layak dibayar setelah dilakukan set-off sampai dengan nilai maksimal penjaminan hingga 31 Desember 2010 adalah sebesar Rp 620,79 miliar. Nilai tersebut di luar kemungkinan adanya tambahan simpanan layak dibayar dari beberapa BPR seperti PT BPR Cimahi Tengah dan PT BPR LPK Cipendeuy. Berikut daftar lengkap bank-bank yang telah dibayar klaimnya berikut tanggal cabut izin usahanya:
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
61
LAYAK BAYAR HASIL REKONSILIASI DAN VERIFIKASI
NO
TANGGAL CABUT BANK IZIN TERUSAHA LIKUIDASI (CIU) BANK
SALDO SAMPAI SALDO SAMPAI DENGAN BATAS DENGAN BATAS PENJAMINAN PENJAMINAN SEBELUM SETELAH SET OFF SET OFF PINJAMAN PINJAMAN
DATA SIMPANAN
JUMLAH
JUMLAH
REKE- NOMINAL REKENING (Rp juta) NING
JUMLAH
NILAI (Rp juta)
REKENING
NILAI (Rp juta)
REALISASI PENCAIRAN OLEH NASABAH ATAS SIMPANAN LAYAK DIBAYAR (Akhir Desember 2010)
SIMPANAN TIDAK LAYAK BAYAR
JUMLAH DAN PERSENTASE
JUMLAH
1. PT BPR Tripiliar 19 Jan Arthajaya 2006 (Yogyakarta)
2.497
2. PT BPR Mitra 07 Feb Banjaran 2006 (Bandung)
632
3.173
357
3.049
350
3.046
3. PD BPR Cimahi (Bandung)
397
112
393
80
392
80
7
4. PT BPR Mranggen 22 Agst Mitraniaga 2006 (Semarang)
1.137
9.795
841
1.303
832
1.303
5. PT BPR 27 Sept Samadhana 2006 (Bandung)
0
0
-
-
-
6. PD BPR 11 Okt Gununghalu 2006 (Bandung)
487
21
432
19
7. PT BPR Bekasi 24 Jan Istana Artha 2007 (Bekasi)
1.223
1.653
415
8. PT BPR Era 16 Mar Aneka Rezeki 2007 (Cibinong)
573
4.813
572
Mulai berlaku ketentuan penjaminan terbatas max Rp 100 juta/nasabah
62
26 Jan 2006
NOMINAL (Rp juta)
REKENING
37.054 2.450 35.237 2.222 35.093
557
25%
REKE- NOMINAL NING (Rp juta)
47
1.816.81
96.9&
275
124.10
1.8%
14 17.5%
4
31.73
71
8.5%
1.098 84.3%
237
8.661.96
-
-
-
-
-
-
-
432
19
0
0.0%
0
0.0%
1
0.89
899
407
885
34
8.4%
839
95%
765
874.97
4.812
572
4.812
263 46.0%
4.572
95%
1
0.16
176 50.3%
34.882 99.4%
2.951
LAYAK BAYAR HASIL REKONSILIASI DAN VERIFIKASI
NO
TANGGAL CABUT BANK IZIN TERUSAHA LIKUIDASI (CIU) BANK
DATA SIMPANAN
JUMLAH
SALDO SAMPAI SALDO SAMPAI DENGAN BATAS DENGAN BATAS PENJAMINAN PENJAMINAN SEBELUM SETELAH SET OFF SET OFF PINJAMAN PINJAMAN JUMLAH
REKE- NOMINAL REKENING (Rp juta) NING
JUMLAH
NILAI (Rp juta)
REKENING
NILAI (Rp juta)
REALISASI PENCAIRAN OLEH NASABAH ATAS SIMPANAN LAYAK DIBAYAR (Akhir Desember 2010)
SIMPANAN TIDAK LAYAK BAYAR
JUMLAH DAN PERSENTASE
JUMLAH
REKENING
NOMINAL (Rp juta)
REKE- NOMINAL NING (Rp juta)
9. PT BPR Bangunkarsa 06 Juni Artha 2007 Sejahtera (Bandung)
2.667
2.189 2.358
1.809 2.274
1.308
205
9.0%
1.033
10. PT BPR 20 Nop Bungbulang 2007 (Garut)
6.804
11.476 2.653
344 2.661
177
43
1.6%
14
11. PT BPR Anugerah Arta Niaga (Pati)
1.048
1.567
153
0.0%
1.463
93%
125
479.26
31.204 1.874 30.748 1.700 53.698 1.628 95.8%
51.054
95%
129
683.87
2.887
96%
5
100.80
715
79%
132
358.52
451 84.0%
7
0.28
13 Des 2007
3.387
923
2.849
653
12. PT BPR 14 Feb Citraloka 2008 Danamandiri (Bandung)
2.003
13. PT BPR 13 Mar Kencana 2008 Arta Mandiri (Solo)
216
5.442
182
3.223
167
3.000
14. PT BPR 23 Apr Sumber 2008 Hiobaja (Sukoharjo)
750
1.665
613
1.095
555
911
1.050 1.010
1.049
711
537
77 46.1%
12
2.2%
79%
309
382.33
8% 1.202
4.808.73
Mulai berlaku ketentuan penjaminan terbatas max Rp 2 miliar/nasabah 15. PT BPR Handayani 18 Des Cipta Sehati 2008 (Masamba, Sulsel)
1.017
132 18.6%
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
63
LAYAK BAYAR HASIL REKONSILIASI DAN VERIFIKASI
NO
TANGGAL CABUT BANK IZIN TERUSAHA LIKUIDASI (CIU) BANK
DATA SIMPANAN
JUMLAH
SALDO SAMPAI SALDO SAMPAI DENGAN BATAS DENGAN BATAS PENJAMINAN PENJAMINAN SEBELUM SETELAH SET OFF SET OFF PINJAMAN PINJAMAN JUMLAH
REKE- NOMINAL REKENING (Rp juta) NING 16. PT BPR Tripanca Setiadana (Lampung) 17.
PT Bank IFI (Jakarta)
JUMLAH
NILAI (Rp juta)
REKENING
NILAI (Rp juta)
REALISASI PENCAIRAN OLEH NASABAH ATAS SIMPANAN LAYAK DIBAYAR (Akhir Desember 2010)
SIMPANAN TIDAK LAYAK BAYAR
JUMLAH DAN PERSENTASE
JUMLAH
REKENING
NOMINAL (Rp juta)
REKE- NOMINAL NING (Rp juta)
24 Mar 2009
11.923
514.264 11.549 507.793 10.437 356.543 3.944 37.8% 335.511
94%
374
17 Apr 2009
9.595
353.860 9.595 202.638 8.866 131.123 2.407 27.1% 111.314
85%
621 185.735.45
8.633.25
18. PT BPR Babusalam (Garut)
01 Mei 2009
173
170
173
720
173
633
15
8.7%
611
97%
13
51.31
19. PT BPR SRI Utama (TabananBali)
13 Mei 2009
504
247
504
248
504
248
8
1.6%
234
94%
19
432.13
20. PT BPR Margot 16 Jun Artha Utama 2009 (Depok) – termasuk keberatan
39
88
39
150
39
150
10 25.6%
84
56%
21
33.63
21 PT BPR Satya 18 Nop Adhi Perdana 2009 (Jimbaran)
2.501
3.224 2.501
3.224 2.501
3.128
81
3.2%
67
2%
34
107.37
768
8.973 2.622
8.072 2.622
7.203
159
6.1%
6.207
86%
227
927.01
5.336
2.960 3.634
2.914 3.634
2.856
147
4.0%
6.183
216%
90
10.72
22. PT BPR Samudera Air Tawar (Padang) 23. PT BPR Salido Empati (Painan)
64
17 Feb 2010
09 Mar 2010
LAYAK BAYAR HASIL REKONSILIASI DAN VERIFIKASI
NO
TANGGAL CABUT BANK IZIN TERUSAHA LIKUIDASI (CIU) BANK
SALDO SAMPAI SALDO SAMPAI DENGAN BATAS DENGAN BATAS PENJAMINAN PENJAMINAN SEBELUM SETELAH SET OFF SET OFF PINJAMAN PINJAMAN
DATA SIMPANAN
JUMLAH
JUMLAH
REKE- NOMINAL REKENING (Rp juta) NING 24. PT BPR Musajaya 23 Mar Arthadana 2010 (Pringsewu) 25. PT. BPR Handayani Cipta Sejahtera (Wajo)
27 Apr 2010
26. PT. BPR Argawa Utama (BadungBali)
18 Mei 2010
27. PT. BPR Swasad Artha (GianyarBali)
18 Mei 2010
NILAI (Rp juta)
REKENING
NILAI (Rp juta)
SIMPANAN TIDAK LAYAK BAYAR
JUMLAH DAN PERSENTASE
JUMLAH
NOMINAL (Rp juta)
REKENING
357
7.606
340
7.152
340
7.150
56 16.5%
-
-
912
1.444
912
1.433
146 16.0%
-
355
3.9
355
4.1
0
1.533
39 1.533
41
0
1.011
3.807 1.011
-
28. PT BPR 4 Agust Junjung Sirih 2010 (Solok)
-
29. PT BPR 4 Okt Darbeni 2010 Mitra (Bekasi - Tahap 1)
-
30. PT BPR Cimahi Tengah
15 Nov 2010
-
31. PT BPR DLPK 27 Des Cipeundey 2010
-
JUMLAH
JUMLAH
REALISASI PENCAIRAN OLEH NASABAH ATAS SIMPANAN LAYAK DIBAYAR (Akhir Desember 2010)
REKE- NOMINAL NING (Rp juta)
6.644 92.92%
3
0.36
1.297
91%
20
5.57
0.0%
-
0%
16
0.18
0.0%
-
0%
3
0.17
3.800 1.704 168.5%
3.467
91%
78
50.87
-
-
214
214
38
-
-
-
-
-
-
dalam proses rekonsiliasi
-
-
-
-
-
-
-
-
- dalam proses rekonsiliasi
-
-
-
-
-
-
-
-
-
38
52.647 1.004.976 49.841 824.761 46.855 620.786 12.035
26% 573.594
92% 4.758 214.312.71
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
65
66
BAB IV
LIKUIDASI BANK
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
67
•
Pengamanan aset bank ketika izin usahanya telah dicabut adalah tahap krusial yang harus dijalankan LPS. Dalam rangka pengamanan itu Kepala Eksekutif LPS membentuk Tim Likuidasi. Faktor integritas dan kompetensi menjadi pertimbangan dalam penunjukan Tim Likuidasi. Selanjutnya Tim Likuidasi melakukan likuidasi bank dengan tahap sebagai berikut: pembubaran badan hukum bank, penyelesaian kewajiban kepada pe gawai bank dalam likuidasi, pemberesan aset dan kewajiban, pengakhir an likuidasi, dan pertanggungjawaban.
•
Ada kalanya likuidasi tidak bisa berjalan mulus. Masih ada kemungkinan kesulitan dalam hal penagihan piutang kepada debitur dan kendala Pencairan Antar Bank Aktiva bank antar likuidasi. Meskipun ada belasan persoalan yang mungkin timbul dalam likuidasi, pihak LPS dan Tim Likuidasi berupaya maksimal menyelesaikan masalah sesuai tenggat waktu yang diberikan.
•
Salah satu cara yang dipilih untuk mempercepat persoalan piutang adalah dengan subrogasi, yang diatur dalam KUHPerdata. Subrograsi ini merupakan instrumen pengalihan piutang dari seorang pemilik hak kepada pihak lain, sehingga utang-piutang lama menjadi hapus dan timbul utang-piutang baru untuk kepentingan kreditur baru. Berdasarkan Pasal 1400 KUHPerdata, hak subrograsi bisa lahir berdasarkan undangundang atau perjanjian.
68
1. TINDAK LANJUT PENCABUTAN IZIN USAHA BANK Pasca pencabutan izin usaha bank diberlakukan, maka nasib bank yang bersangkutan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut tanpa ada penyelesaian. Saat ini dalam hal bank gagal (failed bank) dicabut izin usahanya oleh LPP, LPS dapat segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka pengamanan aset bank sebelum pro ses likuidasi dimulai. Reaksi cepat dan terukur ini adalah bagian integral dari tahap awal likuidasi sebuah bank. Dalam rangka pengamanan aset bank, Kepala Eksekutif mem bentuk Tim Persiapan Likuidasi. Tim Persiapan Likuidasi tersebut memiliki tugas antara lain: 1. Menyampaikan surat LPS kepada pemegang saham dan/atau pengurus bank yang dicabut izin usahanya mengenai peng ambilalihan hak dan wewenang pemegang saham oleh LPS. Surat tersebut disampaikan bersamaan dengan penyerahan Keputusan Gubernur Bank Indonesia mengenai pencabutan izin usaha bank. 2. Memastikan Direksi atau Pihak Yang Ditunjuk Menjalankan Tugas Direksi menyusun neraca penutupan per tanggal pen cabutan izin usaha bank dan menyampaikan kepada LPS paling lama 15 hari kalender sejak tanggal pencabutan izin usaha. Neraca penutupan ini merupakan dasar (starting point) bagi Tim Likuidasi dalam melakukan proses likuidasi. 3. Melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penga manan aset bank sebelum proses likuidasi dimulai, yaitu: a. Menguasai dan mengelola aset bank; b. Mengelola kewajiban bank; dan 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
69
c. Melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia, LPP, ke polisian, dan instansi terkait lainnya.
Terhitung sejak izin usaha suatu bank dicabut, LPS mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang RUPS dalam rangka likuidasi bank. Dengan diambilalihnya hak dan wewenang RUPS itu, LPS segera memutuskan hal-hal sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Pembubaran badan hukum bank; Pembentukan Tim Likuidasi; Penetapan status bank sebagai “Bank Dalam Likuidasi” Penonaktifan seluruh direksi dan dewan komisaris.
Seperti telah dikemukakan pada bab sebelumnya, hingga akhir tahun 2010, jumlah bank yang dicabut izin usahanya sebanyak 31 bank, yaitu 30 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan 1 bank umum dengan rincian sebagai berikut: Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010
: 6 BPR : 5 BPR : 4 BPR : 5 BPR dan 1 Bank Umum : 10 BPR
Jika diklasifikasikan berdasarkan Wilayah Kerja Bank Indonesia (WKBI), 31 bank yang dicabut izin usahanya tersebar pada 9 WKBI, yaitu sebagai berikut:
Jumlah Bank yang Dicabut Izin Usahanya Berdasarkan Wilayah Kerja BI
70
No.
Wilayah Kerja BI
Jumlah
Keterangan
1.
Kantor Pusat
5
4 BPR dan 1 Bank Umum
2.
Bandung
10
4 BPR Berbadan Hukum PD
3.
Semarang
2
-
4.
Solo
2
-
5.
Yogyakarta
1
-
No.
Wilayah Kerja BI
Jumlah
Keterangan
6.
Makassar
2
-
7.
Lampung
2
-
8.
Bali
4
-
9.
Padang
3
-
31
-
TOTAL
Dari 3 BPR berbentuk Perusahaan Daerah (PD), ada 1 BPR, yaitu PD. BPR Bungbulang, telah dilakukan RUPS pembubaran badan hukum, pembentukan Tim Likuidasi (TL), penonaktifan Direksi dan Komisaris serta penetapan status bank dalam likuidasi oleh LPS selaku RUPS. Sementara terhadap 2 BPR lainnya telah dilakukan pembubaran badan hukum oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung melalui Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 4 Tahun 2009 tanggal 2 April 2009, yaitu PD. BPR Cimahi dan PD. BPR Gununghalu. Pada tabel berikut ini terdapat daftar 31 bank yang dicabut izin usahanya selama kurun waktu Januari 2006 sampai dengan 31 Desember 2010:
Daftar Bank yang Dicabut Izin Usahanya (CIU) No.
Nama Bank
Tanggal CIU
1.
PT. BPR Tripillar Arthajaya (DL)
19 Januari 2006
2.
PD. BPR Cimahi
26 Januari 2006
3.
PT. BPR Mitra Banjaran (DL)
7 Februari 2006
4.
PT. BPR Mranggen Mitraniaga (DL)
7 Februari 2006
5.
PT. BPR Samadhana
27 September 2006
6.
PD. BPR Gununghalu
11 Oktober 2006
7.
PT. BPR Bekasi Istana Arta (DL)
24 Januari 2007
8.
PT. BPR Era Aneka Rezeki (DL)
16 Maret 2007
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
71
No.
Nama Bank
Tanggal CIU
9.
PT. BPR Bangunkarsa Artha-sejahtera (DL)
6 Juni 2007
10.
PD BPR Bungbulang (DL)
20 November 2007
11.
PT BPR Anugrah Arta Niaga (DL)
13 Desember 2007
12.
PT. BPR Citraloka Danamandiri (DL)
14 Februari 2008
13.
PT BPR Kencana Artha Mandiri (DL)
13 Maret 2008
14.
PT BPR Sumber Hiobaja (DL)
23 April 2008
15.
PT BPR Handayani Ciptasehati (DL)
18 Desember 2009
16.
PT BPR Tripanca Setiadana (DL)
24 Maret 2009
17.
PT Bank IFI (DL)
17 April 2009
18.
PT BPR Babussalam (DL)
1 Mei 2009
19.
PT BPR Sri Utama (DL)
22 Mei 2009
20.
PT BPR Margot Arta Utama (DL)
16 Juni 2009
21.
PT BPR Satya Adhi Perdana (DL)
18 November 2009
22.
PT BPR Samudra Air Tawar (DL)
17 Februari 2010
23.
PT BPR Salido Empati (DL)
9 Maret 2010
24.
PT BPR Musajaya Arthadana (DL)
23 Maret 2010
25.
PT BPR Handayani Ciptasejahtera
27 Maret 2010
26.
PT BPR Argawa Utama
18 Mei 2010
27.
PT BPR Swasad Artha
18 Mei 2010
28.
PT BPR Junjung Sirih
4 Agustus 2010
29.
PT BPR Darbeni Mitra
4 Oktober 2010
30.
PT BPR Cimahi Tengah
15 November 2010
31.
PD BPR LPK Cipendeuy
27 Desember 2010
2. PEMBENTUKAN TIM LIKUIDASI (TL) Jika terdapat bank gagal dicabut izin usahanya oleh LPP, maka pembentukan Tim Likuidasi harus segera dilakukan. Seleksi calon
72
Tim Likuidasi tersebut dilakukan oleh suatu Tim yang ditunjuk oleh Kepala Eksekutif. Proses seleksi dilakukan bersamaan dengan persiapan likuidasi bank. Hasil seleksi disampaikan kepada Dewan Komisioner LPS selaku RUPS bank yang dicabut izin usahanya untuk ditetapkan sebagai Tim Likuidasi. Dalam penunjukan Tim Likuidasi kriteria yang menjadi pertimbangan utama adalah integritas dan kompetensi calon anggota tim likuidasi. Anggota Tim Likuidasi untuk setiap bank dalam likuidasi paling banyak 9 orang. Namun sampai saat ini, Tim Likuidasi yang diben tuk oleh LPS untuk 27 bank dalam likuidasi hanya beranggotakan 1 sampai dengan 3 orang, dengan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan likuidasi bank. Hal tersebut tersaji pada tabel di bawah ini:
Susunan Tim Likuidasi No.
Nama Bank Dalam Likuidasi (DL)
Jumlah TL
1.
PT. BPR Tripillar Arthajaya (DL)
3 orang
2.
PD. BPR Cimahi
-
3.
PT. BPR Mitra Banjaran (DL)
2 orang
4.
PT. BPR Mranggen Mitraniaga (DL)
2 orang
5.
PT. BPR Samadhana
1 orang
6.
PD. BPR Gununghalu
-
7.
PT. BPR Bekasi Istana Arta (DL)
2 orang
8.
PT. BPR Era Aneka Rezeki (DL)
-
9.
PT. BPR Bangunkarsa Artha-sejahtera (DL)
2 orang
10.
PD BPR Bungbulang (DL)
2 orang
11.
PT BPR Anugrah Arta Niaga (DL)
2 orang
12.
PT. BPR Citraloka Danamandiri (DL)
2 orang
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
73
No.
Nama Bank Dalam Likuidasi (DL)
Jumlah TL
13.
PT BPR Kencana Artha Mandiri (DL)
2 orang
14.
PT BPR Sumber Hiobaja (DL)
2 orang
15.
PT BPR Handayani Ciptasehati (DL)
2 orang
16.
PT BPR Tripanca Setiadana (DL)
3 orang
17.
PT Bank IFI (DL)
3 orang
18.
PT BPR Babussalam (DL)
2 orang
19.
PT BPR Sri Utama (DL)
2 orang
20.
PT BPR Margot Arta Utama (DL)
2 orang
21.
PT BPR Satya Adhi Perdana (DL)
2 orang
22.
PT BPR Samudra Air Tawar (DL)
2 orang
23.
PT BPR Salido Empati (DL)
2 orang
24.
PT BPR Musajaya Arthadana (DL)
2 orang
25.
PT BPR Handayani Ciptasejahtera
2 orang
26.
PT BPR Argawa Utama
2 orang
27.
PT BPR Swasad Artha
2 orang
Anggota Tim Likuidasi diberikan honorarium dalam jumlah tertentu yang ditetapkan oleh RUPS pada saat pembentukan Tim Likuidasi. Selain honorarium, Tim Likuidasi dapat diberikan in sentif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penetapan besarnya honorarium Tim Likuidasi didasarkan pada: 1. Kuantitas, nilai, dan jenis aset dan kewajiban. 2. Kondisi dan tingkat kesulitan pencairan aset dan/atau pe nagihan piutang serta penyelesaian kewajiban. 3. Lokasi bank dalam likuidasi. 4. Kualifikasi anggota Tim Likuidasi.
74
Dengan terbentuknya Tim Likuidasi maka seluruh tanggung jawab dan kepengurusan bank dalam likuidasi dilaksanakan oleh Tim Likuidasi. Direksi dan dewan komisaris dari bank yang di cabut izin usahanya menjadi non aktif dan tidak diperkenankan meng undurkan diri sebelum likuidasi bank selesai, kecuali atas persetujuan LPS. Ketika melaksanakan tugasnya, Tim Likuidasi berwenang me wakili bank dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dengan penyelesaian hak dan kewajiban bank tersebut.
3. PELAKSANAAN LIKUIDASI BANK Pembubaran Badan Hukum Bank Dalam rangka pembubaran badan hukum bank, Tim Likuidasi melaksanakan tindakan sebagai berikut: 1. Memberitahukan kepada kreditur mengenai pembubaran ba dan hukum bank dengan cara mengumumkan pembubaran badan hukum bank dalam Berita Negara Repulik Indonesia dan 2 surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas. 2. Mendaftarkan pembubaran badan hukum bank dalam Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Kementerian Hukum dan HAM. 3. Memberitahukan pembubaran badan hukum bank kepada instansi yang berwenang. Tindakan tersebut dilakukan oleh Tim Likuidasi paling lama 30 hari sejak tanggal pembubaran badan hukum bank.
Penyelesaian Kewajiban Kepada Pegawai Bank Dalam Likuidasi Paling lama 3 bulan setelah bank dicabut izin usahanya Tim Likuidasi melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap seluruh pegawai bank dalam likuidasi. Sebagai konsekuensi dari pemutusan hubungan kerja, Tim Likuidasi melakukan pembayaran pesangon kepada seluruh pegawai yang telah dilakukan pemutusan hubungan 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
75
kerja. Pembayaran pesangon dilakukan dengan memperhitungkan seluruh kewajiban pegawai. Sebelum melakukan pembayaran pesangon, Tim Likuidasi wa jib meminta persetujuan LPS terlebih dahulu. Tim Likuidasi dapat menunda pembayaran pesangon kepada Direktur dan pegawai bank yang diindikasikan melakukan tindak pidana perbankan dan/atau tindak pidana lainnya yang dapat merugikan bank. Tim Likuidasi melakukan pembayaran gaji terutang kepada pe gawai bank dalam likuidasi, berupa gaji yang telah jatuh tempo sampai dengan tanggal pencabutan namun belum dibayarkan mau pun gaji bulan berjalan sampai dengan pemutusan hubungan kerja yang belum dibayar. Pembayaran gaji terutang dilakukan dengan memperhitungkan kewajiban pegawai yang jatuh tempo. Hak-hak pegawai lainnya yang timbul sebagai akibat pemutusan hubungan kerja—sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan—dicatat sebagai kewajiban bank dalam likuidasi di kelompok kewajiban kepada kreditur lain nya. Pada kasus bank dalam likuidasi tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar gaji terutang dan pesangon, LPS dapat memberikan dana talangan.
Pemberesan Aset dan Kewajiban Dalam rangka pemberesan aset dan kewajiban, Tim Likuidasi melaksanakan tindakan sebagai berikut: 1. Menunjuk kantor akuntan publik untuk mengaudit neraca penutup dalam jangka waktu 30 hari sejak neraca penutupan diterima oleh Tim Likuidasi dan menyampaikan neraca pe nutupan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik ke pada LPS paling lama 120 hari sejak tanggal penunjukan kantor akuntan publik. 2. Melakukan inventarisasi aset dan kewajiban. 3. Menyusun neraca sementara likuidasi dan menyampaikannya kepada LPS paling lama 60 hari setelah Tim Likuidasi me nerima neraca penutupan yang telah diaudit. 4. Melaksanakan pencairan aset termasuk anjak piutang.
76
5. Melaksanakan penagihan piutang. Dalam rangka penagihan piutang, Tim Likuidasi dapat memberikan potongan utang sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh LPS. 6. Melaksanakan pembayaran kewajiban kepada para kreditur. 7. Menitipkan bagian yang belum diambil oleh kreditur kepada bank yang disetujui oleh LPS. Pencairan aset dilakukan setelah neraca sementara likuidasi disetujui oleh LPS. Dalam hal neraca sementara likuidasi belum di setujui LPS, pencairan aset baru dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan LPS. Pelaksanaan likuidasi bank oleh Tim Likuidasi wajib diselesai kan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun terhitung sejak tanggal pembentukan Tim Likuidasi dan dapat diperpanjang oleh LPS paling banyak 2 kali masing-masing paling lama 1 tahun.
Pengakhiran Likuidasi Pelaksanaan likuidasi dinyatakan selesai apabila dua hal di bawah ini terpenuhi: 1. Seluruh kewajiban bank dalam likuidasi telah dibayarkan dan/atau tidak ada lagi aset yang dapat digunakan untuk membayar kewajiban sebelum berakhirnya jangka waktu pe laksanaan likuidasi. 2. Berakhirnya jangka waktu pelaksanaan likuidasi. Dalam hal pelaksanaan likuidasi akan berakhir maka Tim Likui dasi melakukan tindakan sebagai berikut: 1. Sekurang-kurangnya 3 bulan sebelum perkiraan berakhirnya pelaksanaan likuidasi, Tim Likuidasi wajib mengumumkan tanggal pembayaran terakhir kepada kreditur termasuk tin dak lanjut apabila kreditur tidak mengambil bagiannya dalam jangka waktu sampai dengan tanggal pembayaran terakhir. 2. Tanggal pembayaran terakhir paling lama 30 hari kalender sejak tanggal pengumuman. 3. Pengumuman dilakukan dalam 2 surat kabar yang mempu nyai peredaran luas. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
77
4. Jika kreditur belum mengambil bagiannya sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, maka dana yang menjadi bagian kreditur dititipkan pada bank yang disetujui LPS dalam re kening yang tidak diberikan bunga dan tidak dibebankan biaya atas nama LPS untuk kepentingan kreditur. 5. Penitipan dana pada bank yang ditunjuk paling lama 30 hari kalender sejak batas waktu pembayaran dan dilakukan setelah Tim Likuidasi mengumumkan terlebih dahulu dalam 2 surat kabar yang memiliki peredaran luas. 6. Tim likuidasi dinyatakan telah melaksanakan pembayaran kewajiban kepada kreditur yang bersangkutan setelah dititip kannya bagian kreditur yang belum diambil. 7. Jika dalam jangka waktu 30 tahun dana yang menjadi hak kreditur tidak diambil oleh kreditur yang bersangkutan, maka dana tersebut diserahkan kepada Kas Negara. Jika terdapat sisa hasil likuidasi berupa: a. Sisa aset setelah pelaksanaan likuidasi, maka sisa tersebut diserahkan ke pemegang saham lama. b. Sisa kewajiban Bank Dalam Likuidasi setelah pelaksanaan likuidasi selesai, maka kewajiban tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan bank menjadi bank gagal.
Pertanggungjawaban Tim Likuidasi Tim Likuidasi menyampaikan neraca akhir likuidasi dan laporan pertanggungjawaban tugas Tim Likuidasi kepada LPS paling lama 10 hari kalender setelah pelaksanaan likuidasi selesai. Laporan per tanggungjawaban ini memuat minimal hal-hal sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Penerimaan hasil likuidasi. Biaya likuidasi. Pembayaran kewajiban kepada kreditur. Sisa aset yang belum dicairkan. Sisa kewajiban yang belum dibayarkan.
LPS menunjuk Kantor Akuntan Publik (KAP) atau instansi
78
pemerintah di bidang audit untuk dan atas nama LPS melakukan audit Neraca Akhir Likuidasi dan laporan pertanggungjawaban. Dalam jangka waktu 10 hari kalender sejak LPS me nerima laporan hasil audit, LPS harus memutuskan menerima atau tidak menerima pertanggungjawaban Tim Likuidasi. Dalam hal LPS memutuskan tidak menerima pertanggungjawaban Tim Likuidasi, LPS menetapkan langkah-langkah penyelesaiannya. Setelah menerima pertanggungjawaban Tim Likuidasi, LPS me lakukan tindakan sebagai berikut: a. Meminta Tim Likuidasi: 1. Mengumumkan berakhirnya likuidasi dengan menem patkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia dan dalam 2 surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas dalam waktu 30 hari sejak per tanggungjawaban diterima LPS sebagai RUPS. 2. Memberitahukan kepada instansi yang berwenang me ngenai terhapusnya status badan hukum Bank. 3. Memberitahukan kepada instansi yang berwenang, agar nama badan hukum bank dicoret dari daftar perusaha an. 4. Menyerahkan seluruh dokumen Bank Dalam Likuidasi kepada LPS. b. Membubarkan Tim Likuidasi. c. Memberhentikan Direksi dan Dewan Komisaris non aktif. Keputusan LPS untuk menerima atau tidak menerima pertang gungjawaban Tim Likuidasi termasuk menetapkan langkah-lang kah penyelesaiannya adalah keputusan RUPS. Keputusan tersebut dimuat dalam risalah RUPS yang dibuat dalam akta notaris.
4. PEMBAGIAN HASIL LIKUIDASI Hasil dari proses likuidasi dibagi secara adil, transparan dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Agar pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan piutang berjalan lancar maka dilakukan dengan urutan sebagai berikut: 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
79
1. Penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang; 2. Penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai; 3. Biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor; 4. Biaya penyelamatan dan/atau biaya klaim penjaminan yang harus dibayar LPS; 5. Pajak yang terutang; 6. Bagian simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak diba yarkan penjaminannya dan simpanan dari nasabah penyim pan yang tidak dijamin; dan 7. Hak dari kreditur lainnya. Mekanisme likuidasi dan pembagian hasil likuidasi dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Mekanisme Likuidasi dan Pembagian Hasil Likuidasi Mekanisme Likuidasi Menurut UU 24/2004
KONVERSI
ASET BDL BIAYA Pasal 43 huruf c, Pasal 45 ayat (2), Pasal 52 ayat (1)
Pasal 53, Pasal 54 ayat (2)
KEWAJIBAN 1. Talangan gaji 2. Talangan pesangon 3. By perkara/lelang/op.ktr 4. By penyelamatan pinjamn 5. Pajak terutang 6. Simp. tdk dijamin/TLB 7. Kreditur lainnya Pasal 54 ayat (1)
5. PERMASALAHAN LIKUIDASI Pelaksanaan likuidasi sebuah bank seringkali tidak selancar yang diharapkan. Kendala yang muncul dalam praktek likuidasi di
80
sebabkan oleh berbagai macam hal, seperti: 1. Kendala dalam Penagihan piutang kepada debitur karena: a. Perjanjian kredit tidak ada/tidak ditandatangani oleh pihak yang berwenang pada bank dan/atau debitur. b. Terkait dengan kredit fiktif/topengan. c. Setoran kredit digunakan oleh Pengurus dan/atau pegawai Bank untuk kepentingan pribadi. d. Ketidaksesuaian data kredit yang ada pada bank dengan kondisi di lapangan. e. Pengikatan agunan tidak sempurna (di bawah tangan). f. Agunan milik orang lain bukan milik debitur dan tidak ada kuasa menjual dari pemilik agunan. g. Agunan tidak bernilai/berharga, seperti kuitansi pembelian alat elektronik dan Surat Pengangkatan Pegawai. h. Agunan debitur dikuasai oleh pihak lain. i. Agunan digunakan lebih dari satu fasilitas pinjaman. j. Fisik agunan khususnya untuk kendaraan bermotor sudah tidak ada lagi. k. Kondisi agunan tidak marketable/tidak sesuai dengan per janjian kredit. 2. Pencairan Antar Bank Aktiva bank dalam likuidasi yang kerap terhambat oleh adanya penolakan dari bank penempatan dana karena: a. Bank tersebut juga memiliki simpanan di bank dalam likui dasi namun simpanannya dinyatakan tidak layak bayar oleh LPS. b. Simpanan bank dalam likuidasi tidak tercatat dalam pem bukuan bank penempatan dana. c. Bank tersebut mengaitkan simpanan bank dalam likuidasi dengan kewajiban salah satu pengurus bank dalam likuidasi sehingga hanya mau membayar selisihnya saja. d. Manajemen bank kurang mengerti mengenai kewenangan Tim Likuidasi berdasarkan UU LPS sehingga menolak untuk
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
81
melakukan pencairan dana oleh Tim Likuidasi dan meminta agar pencairan dana tetap dilakukan oleh pemilik rekening (Pengurus bank). e. Simpanan tersebut semula merupakan setoran untuk me nambah modal (escrow account) di mana pencairannya harus dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia. Sementara sertifikat deposito tidak dikuasai oleh bank dalam likuidasi tetapi oleh pemegang saham /pengurus bank. 3. Pendaftaran pembubaran badan hukum bank dalam Sismin bakum Kementerian Hukum dan HAM seringkali terkendala dengan ketidaklengkapan dokumen hukum yang tersedia di bank. 4. Urutan pembayaran kelima yaitu pajak yang terutang. Perma salahannya, pengaturan ini tidak selaras dengan UU No. 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Ditjen pajak berwenang untuk melakukan sita/lelang atas harta wajib pajak yang terutang pajak.
6. SUBROGASI Subrogasi merupakan instrumen pengalihan piutang dari se orang pemilik hak kepada pihak lain, dimana utang piutang lama menjadi hapus dan timbul utang piutang baru untuk kepentingan kreditur baru (terjadi pengalihan/pergantian kreditur). Subrogasi lahir berdasarkan undang-undang atau perjanjian (Pasal 1400 KUHPerdata). Subrogasi yang lahir berdasarkan per janjian terjadi karena adanya pembayaran dan dinyatakan secara tegas bersamaan dengan waktu pembayaran. Dalam Perjanjian, kreditur menyatakan bahwa ia telah menerima pembayaran dari pihak ketiga dan pihak ketiga tersebut akan menggantikan hak-hak kreditur terhadap debitur termasuk gugatan, hak istimewa maupun hak pembebanan atas piutang (hipotek/fudusia/hak tanggungan). Pada sisi lain debitur menyatakan bahwa ia meminjam sejumlah uang kepada pihak ketiga dan menetapkan pihak ketiga tersebut
82
menggantikan hak- hak kreditur terhadap debitur. Pernyataan ini harus dibuat melalui akta otentik (Pasal 1401 KUHPerdata). Sedangkan Subrogasi yang lahir dari Undang- undang terjadi pergantian kreditur dengan pembayaran yang ditetapkan oleh undang-undang, tanpa perlu persetujuan antara pihak ketiga dengan kreditur lama, maupun antara pihak ketiga dengan debitur. Jika seorang kreditur pemegang hipotek/hak tanggungan kedua yang melunasi piutang kreditur pemegang hipotek/hak tanggungan pertama, maka terjadi subrogasi yaitu si pembeli menggantikan kedudukan kreditur pemegang hipotek/hak tanggungan (Pasal 1402 KUHPerdata). Konsep pergantian kreditur dengan cara subrogasi ini dikenal dalam proses penyelesaian (resolution) dan penanganan bank gagal oleh LPS, dimana LPS berwenang menjual dan/atau mengalihkan aset Bank Dalam Likuidasi (termasuk piutang/kredit bank) tanpa persetujuan dari debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan dari kreditur (Pasal 6 ayat (2) huruf d Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang LPS sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2009). Pelaksanaan pengalihan ter sebut dilakukan berdasarkan suatu perjanjian.
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
83
84
BAB V
RESOLUSI BANK GAGAL
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
85
•
Pada prinsipnya bank gagal yang tidak berdampak sistemik akan diselesaikan melalui dua opsi, yakni: melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan. Untuk memutuskan salah satu opsi, LPS memiliki sejumlah kriteria yang dijadikan pedoman untuk pengambilan keputusan. Apabila upaya penyelamatan dengan penyertaan modal sementara tidak bisa dilanjutkan karena sejumlah faktor, maka LPS akan meminta kepada Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) untuk mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.
•
Kemudian jika ada bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik oleh BI, maka LPS akan melakukan penanganan setelah Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melakukan penetapan dan Komite Koordinasi (KK) menyerahkan penanganannya kepada LPS. Dalam penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik sesuai UU No. 24 Tahun 2004, tindakan penyelamatan bisa dengan mengikutsertakan pemegang saham lama atau tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama.
•
Dengan serangkaian tindakan penyelamatan tersebut, maka deposan bank bersangkutan bisa tenang. Apabila bank pada jangka waktu tertentu sudah sehat dan mendapatkan keuntungan (profit), LPS akan menjual bank tersebut untuk mengembalikan biaya penyelematan yang telah dikeluarkannya.
86
B
ank gagal seyogyanya bukan sebuah “kiamat kecil” bagi para deposan atau nasabah penyimpan, karena seolaholah dana simpanannya langsung lenyap tanpa bekas dan jejak. Ada dua jalur penyelesaian atas bank gagal. Masingmasing jalur memiliki tahapan penyelesaian atau penanganan yang berbeda, sesuai dengan hasil analisis akhir, apakah bank ga gal tersebut tidak berdampak sistemik atau bank gagal tersebut ditengarai berdampak sistemik. Dalam sistem perbankan nasional, masyarakat perlu me nge tahui bahwa resolusi atau penanganan sebuah bank gagal bisa dimasukkan dalam dua kategori dasar, yaitu: (1) penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik dan (2) penanganan bank gagal yang berdampak sistemik. Berikut ini uraiannya. PENANGANAN BANK GAGAL OLEH LPS Penyelamatan Mengikutsertakan PS Lama
KK/KKSK
PMS LPS/ Tindakan Penyelamatan Lainnya
Divestasi
Systemic
Tidak dapat disehatkan oleh BI
Penyelamatan Tanpa Mengikutsertakan PS Lama
Failed Bank
Bank Normal
Diselamatkan
Bank SSU/DPK Dapat Disehatkan Oleh BI
Non Systemic
PMS LPS/ Tindakan Penyelamatan Lainnya
Divestasi
Likuidasi
Tidak Diselamatkan
Bank Normal
Bayar Klaim
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
87
MEKANISME PENANGANAN BANK BERMASALAH
BI Masalah Solvabilitas?
Masalah Likuiditas
T Dpt diatasi?
FPJP
T
Y T
T Masalah Solvabilitas?
Y
Ditengarai Sistemik oleh BI?
Y Y
BI
Y
Jaminan Pemerintah
FPD
Problem Bank
Y Masalah Solvabilitas
Bank Sehat
1
Y
Penyehatan Oleh BI
Dpt diatasi?
Y
1
T
Ditengarai Sistemik oleh BI?
T
Bank Ajukan FPD?
Berdampak Sistemik?
T Y
T
KSSK Berdampak Sistemik?
Y
Bank Gagal Non Sistemik
Dapat diatasi?
T Bank Gagal Sistemik
KK
LPS
T
Bank Gagal Non Sistemik
Bank Sehat
Sumber: Perppu No.4/2008 tentang JPSK
=
1. PENYELESAIAN BANK GAGAL YANG TIDAK BERDAMPAK SISTEMIK Sesuai Pasal 22 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS ditegaskan bahwa penyelesaian Bank Gagal yang tidak ber dampak sistemik adalah melalui penyelamatan atau tidak me lakukan penyelamatan. Opsi melakukan penyelamatan atau tidak me laku kan penyelamatan bank gagal yang tidak berdampak sistemik tergantung pada beberapa kriteria di bawah ini: 1. Perkiraan biaya penyelamatan maksimum 60% dari per kiraan biaya tidak menyelamatkan; 2. Setelah diselamatkan, bank masih memiliki prospek usaha yang baik dengan ditandai dengan beberapa indikator ter tentu; 3. Terdapat pernyataan RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat kesediaan untuk menyerahkan hak dan wewenang RUPS kepada LPS, menyerahkan kepengurusan bank ke
88
=
pada LPS, dan tidak menuntut LPS atau pihak yang di tunjuk LPS apabila proses penyelamatan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 4. Terdapat kesediaan bank menyerahkan kepada LPS bebe rapa dokumen yang diperlukan. Jika semua syarat di atas dipenuhi, maka LPS dengan segala ke wenangan yang dimilikinya akan berusaha keras untuk menyela matkan bank gagal tersebut. Sebaliknya, jika tidak dipenuhi, maka LPS akan mengusulkan kepada LPP untuk mencabut izin usaha bank tersebut untuk selanjutnya dilikuidasi.
Opsi Pertama: Melakukan Penyelamatan Jika opsi untuk melakukan penyelamatan dipilih, karena bank memenuhi persyaratan untuk diselamatkan, maka sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, tindakan LPS dalam rangka penyelamatan bank gagal akan meliputi: a. Menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilik an atas aset milik atau yang menjadi hak-hak bank dan/atau kewajiban bank; b. Melakukan Penyertaan Modal Sementara (PMS); c. Menjual atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan na sabah debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan nasabah kreditur (purchase and assumption). d. Mengalihkan manajemen bank kepada pihak lain; e. Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; f. Melakukan pengalihan kepemilikan bank; dan g. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau meng ubah kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan bank. Jadi jelas bahwa tindakan penyelamatan bank gagal dalam ben tuk penyuntikan modal atau Penyertaan Modal Sementara (PMS) bukanlah satu-satunya tindakan penyelamatan yang bisa dilakukan LPS. Bisa dipahami bahwa banyaknya tindakan penyelamatan yang 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
89
diberikan UU LPS karena LPS merupakan upaya terakhir dalam rangka penyelamatan sebuah bank gagal. Namun demikian, LPS juga dapat tidak melanjutkan proses pe nyelamatan Bank Gagal, jika: 1.
2.
Ditemukan bukti baru bahwa biaya penyelamatan menjadi sekurang-kurangnya: (a) 200% dari perkiraan biaya penye lamatan pada saat keputusan penyelamatan; atau (b) lebih besar dari 60% perkiraan biaya tidak menyelamatkan pada saat keputusan penyelamatan; Berdasarkan penilaian LPP, kondisi keuangan bank menurun sehingga diperlukan tambahan modal untuk memenuhi ke tentuan kecukupan tingkat solvabilitas dan likuiditas.
Terhadap bank gagal yang tidak dilanjutkan proses penye lamatannya oleh LPS, maka akan diusulkan kepada LPP untuk mencabut izin usaha bank tersebut lalu dilanjutkan dengan mela kukan likuidasi. Pada prinsipnya, seluruh biaya yang dikeluarkan LPS dalam rangka penyelamatan bank gagal merupakan penyertaan modal sementara LPS pada Bank Gagal yang diselamatkan. Kedudukan LPS dalam penyertaan modal sementara itu adalah sebagai pe megang saham dengan hak preferen. Untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang optimal atas PMS-nya, LPS bisa memperpan jang waktu penjualan saham bank. Ketentuan mengenai penjualan saham tersebut adalah sebagai berikut: LPS harus menjual saham seluruh bank secara terbuka dan transparan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun, namun masih dapat diperpanjang sebanyak-banyaknya 2 kali dengan masingmasing perpanjangan selama 1 tahun. Namun, apabila dalam jangka waktu tersebut, tingkat pengem balian yang optimal tidak dapat diwujudkan, maka sesuai Pasal 30 ayat (5) UU No. 24 Tahun 2004, LPS harus menjual saham bank dalam jangka waktu 1 tahun berikutnya. Dalam hal ekuitas bank bernilai positif pada saat penyerahan kepada LPS, LPS dan
90
pemegang saham lama membuat perjanjian yang mengatur peng gunaan hasil penjualan saham bank setelah penyelamatan dengan urutan prioritas sebagai berikut: 1. Pengembalian seluruh biaya penyelamatan yang telah di keluarkan oleh LPS; 2. Pengembalian kepada pemegang saham lama sebesar ekuitas pada saat penyerahan bank kepada LPS; 3. Jika masih terdapat sisa, maka dibagi secara proporsional kepada LPS dan pemegang saham lama. Sebaliknya, jika ekuitas bank bernilai nol atau negatif pada saat penyerahan kepada LPS, pemegang saham lama tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham bank setelah penyelamatan. (Pasal 28 UU No. 24 Tahun 2004).
Opsi Kedua: Tidak Melakukan Penyelamatan Jika LPS menilai bahwa terhadap Bank Gagal (failed bank) yang diserahkan LPP tidak memenuhi kriteria untuk diselamatkan se bagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka LPS meminta LPP untuk mencabut izin usaha bank yang bersangkutan lalu dilanjut kan dengan melakukan likuidasi. Dalam rangka pelaksanaan penjaminan simpanan nasabah ke pada bank yang dicabut izin usahanya, LPS akan melakukan verifi kasi dan rekonsiliasi untuk menentukan simpanan nasabah yang layak bayar dan tidak layak bayar. Proses verifikasi dan rekonsiliasi simpanan nasabah dilakukan secara cermat dan hati-hati dengan memperhatikan batas waktu yang ditetapkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004.
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
91
PENYELAMATAN BANK GAGAL TIDAK SISTEMIK LPS mengajukan pencabutan izin usaha Penyerahan bank gagal
Penyertaan sementara
Penyelamatan LPS membentuk tim likuidasi
LPS mengajukan pencabutan izin usaha
LPS menjual saham secara terbuka mask. 4 tahun
2. PENANGANAN BANK GAGAL YANG BERDAMPAK SISTEMIK A. MEKANISME PENANGANAN BANK GAGAL YANG BERDAMPAK SISTEMIK Sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) huruf b UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS ditegaskan bahwa penanganan Bank Gagal yang ber dampak sistemik adalah dengan melakukan penyelamatan yang mengikutsertakan pemegang saham lama atau tanpa meng ikut sertakan pemegang saham lama.
Opsi Pertama: Mengikutsertakan Pemegang Saham Lama Penanganan Bank Gagal dengan mengikutsertakan pemegang saham lama (open bank assistance) hanya dapat dilakukan apa bila:
92
a. Pemegang saham Bank Gagal telah menyetor modal sekurangkurangnya 20% dari perkiraan biaya penanganan; b. Ada pernyataan dari RUPS bank sekurang-kurangnya memuat kesediaan untuk: 1. 2. 3.
c.
Menyerahkan kepada LPS hak dan wewenang RUPS; Menyerahkan kepada LPS kepengurusan bank; dan Tidak menuntut LPS atau pihak lain yang ditunjuk LPS dalam hal proses penanganan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
Bank menyerahkan kepada LPS, dokumen mengenai: 1. 2. 3. 4.
Penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia; Data keuangan nasabah debitur; Struktur permodalan dan susunan pemegang saham 3 tahun terakhir; dan Informasi lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban, dan permodalan bank yang dibutuhkan LPS.
LPS bertanggung jawab atas kekurangan biaya penanganan Bank Gagal setelah pemegang saham lama melakukan penyetoran modal sekurang-kurangnya 20% dari perkiraan biaya penanganan. Untuk selanjutnya, biaya penanganan Bank Gagal yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank tersebut. LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan seca ra terbuka dan transparan paling lama 3 tahun dan dapat diperpan jang sebanyak-banyaknya 2 kali dengan masing-masing perpanjang an selama 1 tahun untuk memperoleh tingkat pengembalian yang op timal. Namun, apabila dalam jangka waktu tersebut tingkat pengembalian yang optimal tidak dapat diwujudkan, LPS harus menjual saham bank dalam jangka waktu 1 tahun berikutnya. Dalam hal ekuitas bank bernilai positif setelah pemegang saham lama melakukan penyetoran modal, LPS dan pemegang saham membuat perjanjian yang mengatur penggunaan hasil penjualan 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
93
saham bank dengan urutan sebagai berikut: 1. Pengembalian seluruh biaya penanganan yang telah dikeluar kan oleh LPS; 2. Pengembalian kepada pemegang saham lama sebesar ekuitas pada posisi sesaat setelah pemegang saham lama melakukan penyetoran modal; 3. Jika masih terdapat sisa, maka dibagi secara proporsional kepada LPS dan pemegang saham lama. Sebaliknya, jika ekuitas bank bernilai nol atau negatif setelah pemegang saham lama melakukan penyetoran modal, pemegang saham lama tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham bank. (Pasal 35 UU No. 24 Tahun 2004).
Opsi Kedua: Tanpa Mengikutsertakan Pemegang Saham Lama Penanganan Bank Gagal tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama akan ditempuh, apabila persyaratan untuk penanganan Bank Gagal dengan mengikutsertakan pemegang saham lama tidak dapat dipenuhi. Tahap selanjutnya, terhitung sejak LPS menetapkan untuk melakukan penanganan Bank Gagal tanpa mengikutsertakan pe megang saham lama, LPS akan mengambil alih segala hak dan we wenang RUPS, kepemilikan dan/atau kepentingan lain pada bank dimaksud. Tindakan yang dapat dilakukan oleh LPS dalam rangka pe nanganan Bank Gagal, meliputi: a. Menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset milik atau yang menjadi hak-hak bank dan/atau ke wajiban bank; b. Melakukan penyertaan modal sementara; c. Menjual atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan nasabah debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan nasabah kreditur (purchase and assumption). d. Mengalihkan manajemen bank kepada pihak lain;
94
e. Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; f. Melakukan pengalihan kepemilikan bank; dan g. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan bank. Seluruh biaya penanganan Bank Gagal yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank. Penjualan seluruh saham bank dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 tahun dan dapat diperpanjang sebanyak-banyaknya 2 kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 tahun, dalam hal pengembalian optimal (sekurang-kurangnya sama dengan penyertaan modal sementara LPS) tidak dapat diwujudkan. selanjutnya, LPS harus menjual dalam satu tahun berikutnya dengan harga terbaik. Tentu saja, penjualan saham bank ini harus dilakukan secara terbuka dan transparan. Namun, apabila dalam jangka waktu tersebut, tingkat pengem balian yang optimal tidak dapat diwujudkan, maka sesuai Pasal 42 ayat (5) UU No. 24 Tahun 2004, LPS harus menjual saham bank dalam jangka waktu 1 tahun berikutnya. Dalam hal ekuitas bank bernilai positif pada saat penyerahan kepada LPS, maka LPS dan pemegang saham lama membuat perjanjian yang mengatur penggunaan hasil penjualan saham bank setelah penanganan de ngan urutan prioritas sebagai berikut: (1) (2) (3)
Pengembalian seluruh biaya penyelamatan yang telah di keluarkan oleh LPS; Pengembalian kepada pemegang saham lama sebesar ekuitas pada saat penyerahan bank kepada LPS; Jika masih terdapat sisa, maka dibagi secara proporsional kepada LPS dan pemegang saham lama.
Sebaliknya, jika ekuitas bank bernilai nol atau negatif pada saat penyerahan kepada LPS, pemegang saham lama tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham bank setelah penanganan. (Pasal 42 ayat (7) UU No. 24 Tahun 2004). 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
95
96
BAB VI
PENYELAMATAN BANK CENTURY
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
97
•
Menurut bank Indonesia, kondisi keuangan Bank Century saat diserahkan kepada LPS per 20 November 2008 dengan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) negatif 35,92 % dan kebutuhan dana untuk menaikkan rasio KPMM menjadi 8 % sebesar Rp 2,655 triliun, dan kebutuhan likuiditas s/d 31 Desember 2008 sebesar Rp 9,52 triliun (worst case) atau Rp 7,36 trilian.
•
Terkait Bank Century, LPS sempat melakukan sejumlah tindakan sebelum bank itu ditetapkan sebagai bank gagal. Begitu Bank Century resmi ada dalam penanganan LPS, maka lembaga penjaminan simpanan tersebut melakukan berbagai tindakan sesuai ketentuan UU No. 4 Tahun 2004, yakni: Penanganan Bank Gagal yang Berdampak Sistemik Tanpa Penyertaan Modal oleh Pemegang Saham.
•
Total Penyertaan Modal Sementara (PMS) LPS sebesar Rp 6,76 triliun. Dengan adanya PMS LPS ini, permodalan bank menjadi meningkat dan memenuhi ketetentuan tingkat kesehatan bank. Selanjutnya, oleh Bank, dana PMS LPS tersebut digunakan untuk operasional bank, antara lain membayar simpanan kepada para nasabah dan membayar kewajiban bank kepada bank lain, dan untuk transaksi perbankan lainnya. Dalam upaya peningkatan kinerja Bank Century (saat ini Bank Mutiara) serta rencana divestasi selanjutnya, saat ini tetap menjadi perhatian (concern) LPS.
98
P
asca krisis keuangan yang terjadi di Amerika memberikan pengaruh kepada negara-negara lain termasuk Indonesia, ditandai oleh adanya kondisi-kondisi seperti:
1. Situasi pasar keuangan pada Q-IV/2008 tertekan tajam, sebagai reaksi terhadap berita negatif pasca kejatuhan Lehman Brothers dan lembaga-lembaga keuangan global lainnya. 2. Pasar modal domestik mengalami gejolak dan harga sa ham terjun bebas, yang ditunjukkan dengan penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) secara tajam yakni dari 2830 pada tanggal 9 Januari 2008 menjadi 1155 pada tanggal 20 November 2008 atau menurun lebih dari 50%. Secara individu beberapa perusahaan besar baik di dalam negeri maupun di luar negeri mengalami penurunan nilai kapitalisasi pasar yang sangat besar. 3. Tekanan yang sangat hebat terjadi di pasar Surat Utang Negara/SUN yang tercermin dari kenaikan yield atau penurunan harga SUN Rupiah yang sangat tajam. Yield SUN naik dari awal tahun rata-rata 10% menjadi ratarata 20% pada bulan Oktober 2008 dan 17% pada bulan November 2008. Kenaikan yield akan meningkatkan biaya utang secara signifikan dalam APBN karena setiap kenaikan 1% (100bps) akan mengakibatkan tambahan biaya utang sekitar Rp1 triliun. Dilain pihak, kenaikan yield atau penurunan harga SUN telah menyebabkan penurunan nilai aset bersih dalam neraca bank, asuransi, dana pensiun, dan reksadana yang memiliki SUN. Penurunan nilai aset menimbulkan kerugian 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
99
4.
5.
6.
7.
8.
9.
100
yang selanjutnya menggerus kecukupan modal lembaga keuangan tersebut. Saat krisis, penurunan harga SBN men capai minimal 600 bps per hari atau Rp 27 triliun per hari. Credit Default Swap (CDS) Indonesia meningkat tajam. Ini mengindikasikan risiko (country risk) Indonesia sedang tinggi. Kelangkaan dan kesulitan likuiditas di pasar keuangan, yang menyebabkan pinjaman antar bank tidak jalan, kepanikan para pelaku pasar, dan kepercayaan antar pelaku di pasar uang semakin rendah. Keadaan ini mendorong mereka untuk mencari asset atau lokasi yang paling aman untuk berinvestasi, yang berimbas pada pelarian dana ke luar negeri (capital flight). Cadangan devisa turun 12% dari USD 57.11 miliar per September 2008 menjadi USD 50.18 miliar per November 2008. Rupiah terdepresiasi 30.9% dari Rp9.393 per Januari 2008 menjadi Rp12.100 per November 2008 dengan volatilitas tinggi. Depresiasi Rupiah yang sangat tajam mengakibatkan investor asing melakukan ‘redemption” atau melepas/men jual SUN dalam jumlah cukup besar sekitar Rp20 triliun dalam periode Agustus – November 2008. Banking Pressure Index (dikeluarkan oleh Danareksa Re search Institute) dan Financial Stability Index (dikeluarkan oleh BI) masuk ambang batas kritis. Banking Pressure Index per Oktober 2008 sebesar 0,9 atau lebih tinggi dari ambang normal 0,5. Hal ini mengindikasikan adanya te kanan terhadap sistem perbankan yang cukup tinggi dan potensi terjadinya kegagalan (default) yang sangat besar. Sementara itu Financial Stability Index per November 2008 sebesar 2,43 atau di atas angka indikatif maksimum 2,0. Kedua indikator ini menunjukkan sistem perbankan dan sistem keuangan nasional dalam keadaan genting.
10. Terdapat potensi capital flight yang besar dari para deposan bank. Ini karena di Indonesia tidak ada sistem penjaminan nasabah bank secara penuh (full guarantee) seperti yang sudah diterapkan Australia, Singapura, Malaysia, Hong Kong, Taiwan, Korea, serta Uni Eropa. Untuk mengantisipasi adanya ancaman krisis tersebut yang dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan dan per ekonomian nasional, pemerintah menerbitkan 3 (tiga) paket Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia (PERPPU) yaitu: 1. PERPPU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. PERPPU ini dimaksudkan sebagai langkah res ponsif dalam membendung dampak krisis keuangan Amerika Serikat sehingga stabilitas sistem keuangan tetap terpelihara. 2. PERPPU Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. PERPPU ini dimaksudkan untuk meng antisipasi agar tidak terjadi penarikan dana per bankan secara besar-besaran akibat menurunnya keper cayaan masyarakat atas jaminan keamanan uang yang di simpannya. 3. PERPPU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. PERPPU ini diterbitkan dalam rangka menghadapi ancaman krisis keuangan global yang dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomi an nasional sehingga mekanisme koordinasi antar lembaga yang terkait dalam pembinaan sistem keuangan nasional, serta mekanisme pengambilan keputusan dalam tindakan pencegahan dan penanganan krisis dapat dilakukan secara terpadu, efisien dan efektif.
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
101
1. BANK CENTURY DALAM PENGAWASAN KHUSUS Sebelum berada dalam penanganan LPS untuk diselamatkan, Bank Century terlebih dulu masuk ke dalam pengawasan khusus Bank Indonesia. Ada baiknya kita ulas secara singkat asal-muasal Bank Century dan kronologinya sehingga masuk dalam pengawasan khusus Bank Indonesia (BI). Bank Century adalah hasil dari merger tiga bank, yaitu Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC International. Merger ketiganya didahului dengan adanya akuisisi Chinkara Capital Ltd. (Chinkara) terhadap Bank Danpac dan Bank Pikko, serta kepemilikan saham Bank CIC International. Akuisisi tersebut pada akhirnya disetujui oleh BI pada tanggal 5 Juli 2002. Permasalahan terkait surat-surat berharga dan perkreditan yang berpotensi memicu kesulitan keuangan serta membahayakan kelangsungan usaha bank, telah mendorong BI untuk melakukan pengawasan intensif atas Bank Century sejak tanggal 29 Desember 2005. Karena kondisi Bank Century makin kritis, maka pada tanggal 6 November 2008, BI menetapkan Bank Century sebagai bank dalam Pengawasan Khusus dengan posisi rasio kewajiban penyediaan modal minimum atau CAR pada saat itu 2,35% (posisi per 30 September 2008). Selanjutnya, karena kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usaha bank, atas permohonan Direksi Bank Century, BI menyalurkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) sebesar Rp 502,07 miliar pada tanggal 14 November 2008. Beberapa hari kemudian, yakni pada tanggal 18 November 2008, Bank Century mengajukan tambahan FPJP sebesar Rp 319,26 miliar. BI menyetujui permohonan tersebut tapi hanya sebesar Rp 187,32 miliar. Dengan demikian total kucuran FPJP yang diberikan kepada Bank Century sebesar Rp 689 miliar. Selama dalam pengawasan khusus tersebut Sinar Mas berniat ma suk menjadi investor bagi Bank Century. Namun akhirnya mundur.
102
2. BANK CENTURY DITENGARAI BERDAMPAK SISTEMIK DAN DITETAPKAN SEBAGAI BANK GAGAL BERDAMPAK SISTEMIK Sejak penetapan Bank Century sebagai bank dalam pengawasan khusus pada tanggal 6 November 2008, yang pada saat itu masih belum ditengarai apakah sistemik atau tidak sistemik, maka BI menempatkan pengawas bank di Bank Century sehingga dapat memiliki akses yang cukup untuk memperoleh data terbaru. Sesuai ketentuan PBI No. 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagai diubah dengan PBI No 7/38/ PBI/2005, bank yang berstatus dalam Pengawasan Khusus dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait dan/atau pihak-pihak lain yang ditetapkan BI, kecuali telah mendapat persetujuan BI. Selain itu, terkait Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank, maka pemegang saham bank yang ditetapkan sebagai bank dalam pengawasan khusus diberikan waktu selama enam bulan (diperpanjang selama tiga bulan) untuk menyelesaikan permasalahan bank. Jika selama periode tersebut permasalahan bank tidak terselesaikan, maka bank itu bakal diputuskan oleh BI sebagai bank gagal. LPS pun melakukan analisis perhitungan awal mengenai biaya penyelamatan dan biaya tidak melakukan penyelamatan (LCT). Apabila Bank Century merupakan bank yang tidak berdampak sistemik. Bank Century baru ditetapkan sebagai bank dalam Pengawasan Khusus pada tanggal 6 November 2008. Selanjutnya, tidak sampai sebulan, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia tanggal 20 November 2008 pukul 19.44 WIB, BI menetapkan status Bank Century sebagai Bank Gagal. Keputusan bahwa Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik diawali sejumlah kejadian yang menunjukkan bank tersebut insolvent dan kesulitan likuiditas. Berdasarkan posisi 31 Oktober 2008, rasio CAR Bank Century kurang negatif 3,53%. Selain itu, CAR-nya dinilai tidak dapat ditingkatkan lagi menjadi 8% sehingga bank dinilai insolvent. Pada saat itu, pemegang saham tidak dapat melaksanakan komitmennya 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
103
untuk melakukan penambahan modal. Usaha untuk mengundang masuknya investor baru pun tidak membawa hasil. Sinar Mas sempat berniat untuk menjadi investor baru tersebut, namun akhirnya mundur. Lalu, kondisi likuiditas yakni Giro Wajib Minimun (GWM) dalam Rupiah tertanggal 19 November 2008 masih positif sebesar Rp 134 miliar (1,85%). Namun, pada saat itu juga terdapat kewajiban Real Time Gross Settlement (RTGS) dan kliring yang belum diselesaikan oleh Bank Century sebesar Rp 401 miliar, sehingga GWM rupiah kurang dari 0%. Lebih jauh, Bank Century juga masih dibebani kewajiban yang bakal jatuh tempo pada tanggal 20 November 2008 sebesar Rp 458 miliar. Dengan kata lain, bank yang merupakan hasil merger Bank CIC, Bank Danpac dan Bank Pikko itu awalnya dipicu oleh kalah kliring. Kekalahan itu terjadi karena Bank Century tidak bisa menyediakan dana (GWM) sebesar Rp 50 miliar di BI untuk mencukupi kebutuhan transaksi Bank Century dengan bank lain. Untuk ukuran perbankan nasional ketika itu, angka Rp 50 miliar terbilang kecil, namun Bank Century tetap tidak mampu me nyediakannya. Kekalahan dalam kliring itu sebenarnya bisa diantisipasi Bank Century melalui mekanisme yang berlaku umum antar sesama bank, yakni mendapat pinjaman antar bank. Namun, di tengah kondisi paceklik likuiditas di perbankan nasional, tidaklah mudah memperoleh pinjaman antar bank. Suasana di industri perbankan waktu itu, muncul ketidakper cayaan di antara bank-bank untuk saling meminjamkan duitnya. Masalah Bank Century makin bertambah akut karena di lapangan para deposan besar mulai menarik duitnya. Aksi rush atau penarikan simpanan dalam jumlah besar dalam waktu singkat itu membuat dana tunai di Bank Century makin menipis. Pada sisi lain, Bank Century juga menghadapi permasalahan investasi di obligasi (surat utang) yang sudah jatuh tempo. Ternyata, surat utang itu tidak bisa diuangkan alias gagal tagih. Kegagalan ini membuat neraca keuangan Bank Century makin defisit. Krisis likuiditas ini membuat rasio kecukupan modal (CAR) Bank Century makin tergerus habis.
104
Pada September 2008, CAR Bank Century masih 14,44%, angka yang jauh di atas syarat kesehatan bank berupa CAR 8%. Namun, ketika kesulitan likuiditas menimpa Bank Century, CAR-nya menjadi minus 2,3%. Dengan kondisi buruk yang menimpa Bank Century itu, serta dengan mempertimbangkan kondisi perbankan nasional pada saat itu, maka Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI melakukan analisis dampak sistemik dari penetapan Bank Century sebagai Bank Gagal. Analisis BI atas dampak kegagalan Bank Century mencakup lima aspek, yakni: dampak kepada institusi keuangan; dampak kepada pasar keuangan; dampak kepada sistem pembayaran; dam pak kepada sektor riil, dan dampak kepada psikologi pasar. Hasil analisis BI menghasilkan kesimpulan adanya ketidakpastian yang tinggi terutama terhadap psikologi pasar/masyarakat yang dapat memicu ketidakpastian/gangguan di pasar keuangan dan sistem pembayaran. Berpijak pada hasil analisis tersebut, BI menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal yang Ditengarai Berdampak Sistemik. Selanjutnya, Menteri Keuangan dan BI melakukan rapat Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) untuk membahas masalah Bank Century. Bank Century sebagai Bank Gagal yang Berdampak Sistemik dan menetapkan penanganan Bank Century dilaksanakan oleh LPS sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS.
3. DASAR HUKUM PENYELAMATAN BANK CENTURY LPS melakukan penanganan Bank Century berdasarkan Ke putusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Nomor 04/ KSSK.03/2008 tanggal 21 November 2008 tentang Penetapan PT Bank Century, Tbk. sebagai Bank Gagal yang Berdampak Sistemik. Keputusan KSSK ini lalu ditindaklanjuti dengan rapat Komite Koordinasi (KK) pada hari yang sama. Komite Koordinasi dalam rapatnya mengeluarkan Keputusan Komite Koordinasi (KK) Nomor 01/KK.01/2008 tanggal 21 No vember 2008 tentang Penyerahan Penanganan Bank Century yang merupakan Bank Gagal yang Berdampak Sistemik kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selanjutnya, pelaksanaan penanganan 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
105
Bank Century dilakukan sesuai dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2008.
4. KONDISI KEUANGAN BANK CENTURY SAAT DISERAHKAN PENANGANANNYA KEPADA LPS Pada saat penyerahan penanganan Bank Century kepada LPS tanggal 21 November 2008, LPS belum memperoleh data keuangan per tanggal penyerahan. Dalam rapat KSSK tanggal 21 November 2008, BI menyampaikan data keuangan bank posisi per 31 Oktober 2008, sebagai berikut: • • •
Rasio KPMM negatif 3,53%. Kebutuhan dana untuk menaikkan rasio KPMM menjadi 8% adalah sebesar Rp 632 miliar. Kebutuhan likuiditas 3 (tiga) bulan ke depan Rp 4,79 triliun.
Sedangkan dalam rapat Dewan Komisioner LPS tanggal 23 November 2008, BI menyampaikan data keuangan bank posisi per 20 November 2008, sebagai berikut: • •
Rasio KPMM negatif -35,92%. Kebutuhan dana untuk menaikkan rasio KPMM (Kewajiban Penyediaan Modal Minimum) menjadi 8% sebesar Rp 2,655 triliun dan kebutuhan likuiditas s/d 31 Desember 2008 sebesar Rp 9,52 triliun (worst case) atau Rp 7,36 triliun (optimistic).
Perbedaan rasio keuangan bank tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan acuan laporan keuangan antara yang disampaikan pada rapat KSSK tanggal 21 November 2008 yang masih menggunakan acuan laporan keuangan tanggal 31 Oktober 2008 dan yang disampaikan pada rapat Dewan Komisioner tanggal 23 November 2008 yang menggunakan acuan laporan keuangan tanggal 20 November 2008.
106
5. TINDAKAN LPS DALAM RANGKA PENANGANAN BANK CENTURY Sesuai dengan UU LPS, setelah menerima penyerahan Bank Century dari KSSK dan KK pada tanggal 21 November 2008, LPS wajib melaksanakan penyelamatan Bank Century. Tindakantindakan penyelamatannya adalah semata-mata berdasarkan pe doman pada Undang-Undang LPS sebagai berikut:
1. Menawarkan pemegang saham pengendali untuk melakukan penanganan Bank. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 32 dan Pasal 39 UU LPS bahwa penanganan bank gagal yang berdampak sistemik dapat dilakukan LPS tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama dalam hal pemegang saham lama tidak dapat di ikutsertakan dalam penanganan. Untuk dapat diikutsertakan dalam penanganan bank gagal, pemegang saham lama harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU LPS, yaitu: (i) telah menyetor modal sekurang-kurangnya 20% dari perkiraan biaya penanganan; (ii) adanya pernyataan RUPS yang antara lain memuat kesediaan untuk menyerahkan kepada LPS hak dan wewenang RUPS dan kepengurusan bank; (iii) menyerahkan kepada LPS dokumen antara lain mengenai penggunaan fa silitas pendanaan dari BI. Sampai dengan tanggal 28 November 2008, pemegang saham lama tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU LPS. Oleh karena itu, LPS menetapkan untuk melakukan penanganan Bank Century tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama.
2. Mengganti Pengurus Bank. Setelah menerima penyerahan Bank Century dari KSSK/KK, pada tanggal 21 November 2008, LPS memberhentikan pengu rus bank baik Direksi maupun Dewan Komisaris dan sekaligus 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
107
mengangkat Direksi baru (Direktur Utama dan Direktur). Pemberhentian pengurus lama bank dilakukan sesuai dengan kewenangan LPS berdasarkan Pasal 6 ayat (2), yaitu bahwa LPS dalam melaksanakan penyelesaian dan penanganan bank gagal, berwenang antara lain mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS. Selain itu, penggantian pengurus bank juga dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bagi LPS bahwa biaya penangan an yang akan disetorkan LPS tidak disalahgunakan. Apalagi pengurus dan pemegang saham pengendali bank yang lama diindikasikan mempunyai track record buruk yang mengakibat kan Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal.
3. Melakukan sosialisasi penyelamatan Bank Century. LPS melakukan sosialisasi berupa siaran pers bersama-sama dengan BI. Isinya, antara lain, memberikan penjelasan bahwa mulai tanggal 21 November 2008 Bank Century diambil alih LPS dan untuk selanjutnya tetap beroperasi sebagai Bank Devisa penuh yang melayani berbagai kebutuhan jasa perbankan bagi para nasabahnya. Pengambilalihan bank tersebut dimaksudkan untuk lebih meningkatkan keamanan dan kualitas pelayanan bagi para nasabah. Dalam siaran pers tersebut juga disebutkan bahwa pada tanggal 21 November 2008 bank tidak beroperasi, namun pada tanggal 24 November 2008, Bank Century dipastikan akan me layani para nasabah secara penuh termasuk kliring dan RTGS. Melalui berbagai saluran media (media cetak maupun media elektronik), LPS juga beberapa kali memberikan penjelasan mengenai keputusan KSSK yang menyerahkan penanganan Bank Century kepada LPS untuk diselamatkan sesuai dengan mekanisme UU LPS. Penjelasan ini diperlukan untuk mengem balikan kepercayaan nasabah maupun calon nasabah yang akan menggunakan jasa Bank Century dalam mendukung kegiatan bisnis nya sehingga Bank Century dapat beroperasi secara normal.
108
4. Menetapkan dan mengeluarkan biaya penanganan Setelah menerima penyerahan penanganan Bank Century dari KSSK dan KK untuk dilakukan penanganan sesuai dengan UU LPS, pada tanggal 21 November 2008, LPS meminta kepada BI untuk memberikan data mengenai kebutuhan biaya penanganan Bank Century yang meliputi solvabilitas dan likuiditas. Dasar hukum permintaan data ini adalah MoU antara LPS dan BI tanggal 29 Juni 2007. Pada tanggal 23 November 2008, Rapat Dewan Komisioner LPS—setelah menerima informasi pejabat pengawas dari BI pada rapat tersebut—menetapkan biaya penanganan Bank Century sebesar Rp 2,776 triliun untuk meningkatkan CAR bank menjadi 10% sebagaimana diatur dalam Peraturan LPS No. 5/PLPS/2006. Hal ini karena menurut BI CAR bank per 20 November 2008 adalah negatif 35,92% dan dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp 2,655 triliun untuk meningkatkan CAR bank men jadi 8%. Jumlah biaya itu lebih besar dari biaya penanganan yang disampaikan BI pada rapat KSSK tanggal 21 November 2008, yaitu sebesar Rp 632 miliar untuk memenuhi kebutuhan solvabilitas. Kemudian, pada tanggal yang sama, LPS melaporkan per ubah an informasi kondisi CAR dan biaya penanganan Bank Century kepada Menteri Keuangan selaku ketua KSSK. Ber dasarkan laporan LPS itu, dilakukan rapat KSSK pada tanggal 24 November 2008. Dalam rapat tersebut, BI menjelaskan penye bab adanya perbedaan biaya penanganan, antara lain adalah adanya surat-surat berharga yang sebelumnya dikategorikan dalam kelompok lancar menjadi macet. Rapat KSSK hari itu memutuskan bahwa KSSK memberi kepercayaan penuh pada LPS dan manajemen baru Bank Century untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan guna menyelesaikan masalah Bank Century dan meminta LPS untuk menyampaikan perkembangan bank dimaksud secara berkala kepada Sekretariat KSSK. Pasca pengeluaran biaya penanganan sebesar Rp 2,776 triliun, 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
109
penarikan dana nasabah secara besar-besaran (bank runs) masih tetap terjadi. Hal ini mengakibatkan kondisi likuiditas bank mengalami kesulitan serius yang dapat mengancam ke langsungan usaha bank. Meskipun telah disuntik modal sebesar Rp 2,7 triliun oleh LPS, bank masih mengalami permasalahan solvabilitas dan likuiditas. Dari hasil penilaian Direksi baru bank Century, masih dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp 5,5 triliun sehingga total biaya penanganan dapat melebihi Rp 7 triliun. Atas keadaan tersebut, LPS meminta BI untuk melakukan penilaian kondisi keuangan Bank Century. Guna memenuhi mandat UU LPS, LPS sebagai Pemegang Saham perlu memastikan ketentuan mengenai tingkat kesehatan bank terpenuhi. Dalam rangka memenuhi kebutuhan likuiditas dari tanggal 9 Desember 2008 sampai 31 Desember 2008, LPS menetapkan tambahan biaya penanganan Bank Century sebesar Rp 2,201 triliun. Sehingga total biaya penanganan Bank Century menjadi sebesar Rp 4,977 triliun. Penyetoran biaya penanganan sebesar Rp 4.977,14 miliar (Rp 2,776 triliun ditambah Rp 2,201 triliun) dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan likuiditas harian agar Bank Century dapat melaksanakan operasional perbankan pada esok harinya dan sedapat mungkin dilakukan menjelang waktu penutupan kliring (sore hari antara pukul 14.00 s.d 15.00 WIB). Hal ini bertujuan untuk mendorong manajemen agar dapat mencegah penarikan dana besar serta mengupayakan sumber pendanaan lainnya (antar bank pasiva). BI menyampaikan hasil assessment-nya atas Bank Century pada tanggal 27 Januari 2009 yang menyatakan bahwa CAR (Risiko Kredit) Bank Century posisi 31 Desember 2008 adalah negatif 19,21%. Jadi, meskipun LPS telah menyetor biaya penanganan sebesar Rp 4.977,14 miliar (Rp 2,776 triliun ditambah Rp 2,201 triliun), tetap dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp 1.155 miliar untuk memenuhi CAR menjadi 8%. Akibatnya, total biaya penanganan yang diperlukan menjadi sebesar Rp 6,132 triliun.
110
Setelah menerima hasil assessment dari BI tersebut, LPS meminta diadakan Rapat KK untuk membahas tambahan biaya penanganan Bank Century dilakukan pada tanggal 3 Februari 2009. Berdasarkan hasil rapat KK tersebut, LPS menyetor tambahan modal Bank Century sebesar Rp 1.155 miliar sesuai dengan rekomendasi Bank Indonesia, sehingga total biaya penanganan yang telah disetor LPS menjadi sebesar Rp 6,132 triliun. Untuk mengetahui kondisi keuangan per 20 November 2009 dan 31 Desember 2008, pada tanggal 23 Januari 2009, LPS menunjuk Kantor Akuntan Publik (KAP) “Aryanto Amir Jusuf & Mawar” untuk melakukan audit. Berdasarkan hasil audit yang disampaikan oleh KAP pada tanggal 29 April 2009, diketahui sebagai berikut: a. Laporan Keuangan per 20 November 2008: Rugi Bersih 1 Januari s.d 20 November 2008
:
Rp 7,53 triliun
• Risiko Kredit
:
-153,66%
• Risiko Kredit & Pasar
:
- 81,81%
Ekuitas
:
- Rp 6,76 triliun
CAR:
b. Laporan Keuangan per 31 Desember 2008: Rugi Bersih 1 Januari s.d 31 Desember 2008
:
Rp 7,28 triliun
• Risiko Kredit
:
- 39,62%
• Risiko Kredit & Pasar
:
- 22,29%
Ekuitas
:
- Rp 1,54 triliun
CAR:
Hasil assessment Bank Indonesia terhadap laporan keuangan yang telah diaudit akuntan publik bahwa Bank Indonesia meng harapkan LPS memenuhi tambahan modal sekurang-kurangnya sebesar Rp 630,2 miliar sehingga CAR bank posisi Juni 2009 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
111
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, pada tanggal 21 Juli 2009, setelah dibahas dengan Komite Koordinasi, LPS menetapkan tambahan biaya penanganan sebesar Rp 630,2 miliar sehingga total biaya penanganan seluruhnya menjadi Rp 6,76 triliun. Rincian bentuk penyetoran biaya penanganan sebesar Rp 6,762 triliun dapat diuraikan sebagai berikut: No.
Keterangan
1
Disetor 2008
2
Disetor 2009
Jumlah
Tunai (Rp)
SUN/SBI (Rp)
Jumlah (Rp)
4.531,89 M
445,25 M
4.977,140 M
780,221 M
1.005,00 M
1.785,221 M
5.312,111 M
1.450,25 M
6.762,361 M
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa biaya penangan an dan tambahan biaya penanganan yang disetorkan LPS dengan total sebesar Rp 6,762 triliun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Hal ini terjadi karena hasil audit KAP atas laporan keuangan posisi per 20 November 2008 baru keluar pada tanggal 29 April 2009 dan hasil assessment BI terhadap hasil audit KAP tersebut baru diterima LPS pada tanggal 29 Juni 2009. Berdasarkan hasil audit KAP tersebut, dengan kondisi CAR bank (risiko kredit) per 20 November 2008 sebesar negatif 153,66%, dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp 7,3T untuk menjadikan CAR bank menjadi 8%. Artinya, total biaya penanganan yang telah dikeluarkan LPS sebesar Rp 6,762 triliun seluruhnya digunakan untuk menaikkan CAR bank di mana jumlah tersebut masih lebih rendah dari perhitungan berdasarkan hasil audit KAP atas laporan keuangan Bank Century per 20 November 2008, yaitu sebesar Rp 7,3 triliun. Hal ini terjadi karena dalam perjalanannya, kinerja Bank Century sudah mulai membaik, antara lain yang diindikasikan dengan adanya perolehan laba sampai dengan bulan Juni 2009 sebesar Rp 140 miliar.
112
Sesuai dengan Pasal 41 ayat (2) UU LPS, seluruh biaya pe nanganan yang dikeluarkan LPS yaitu sebesar Rp 6,762 triliun merupakan penyertaan modal sementara (PMS) LPS pada Bank Century. Atas PMS LPS tersebut, Bank Century telah menerbitkan saham (convertible preferred stock) sebanyak Rp 676,2 triliun lembar dengan nilai nominal Rp 0,01 per lembar saham. Dengan kepemilikan saham sebesar tersebut, LPS telah me nguasai sebesar 99,996% dari jumlah saham yang beredar. Pada tanggal 26 Agustus 2009, Menteri Hukum dan HAM telah me nyetujui perubahan Anggaran Dasar Perusahaan termasuk di dalamnya perubahan komposisi kepemilikan saham.
5. Meminta penghentian perdagangan saham Bank Century (suspensi) kepada Ketua Bapepam-LK. Pada tanggal 24 November 2008, LPS meminta BapepamLK untuk menghentikan perdagangan saham Bank Century (suspensi) terhitung sejak tanggal 21 November 2008 sampai ada pemberitahuan lebih lanjut dari LPS. Sesuai dengan Pasal 42 UU LPS, bahwa yang melakukan penjualan seluruh saham bank dalam penanganan adalah LPS sehingga pihak lain tidak diperkenankan untuk melakukan penjualan/pengalihan saham bank. Selain itu, pada tanggal 24 November 2008, LPS juga mem beritahukan kepada pemegang saham lama mengenai pe nanganan Bank Century oleh LPS, pengambilalihan hak dan wewenang pemegang saham termasuk RUPS, serta status pe megang saham lama yang tidak dapat memindahkan/meng alihkan/menjual kepemilikan sahamnya kepada pihak lain. Se suai dengan Pasal 42 UU LPS, hanya LPS yang diperintahkan untuk menjual seluruh saham bank dalam penanganan.
6. Meminta Direksi Baru melakukan perbaikan kinerja bank. LPS meminta Direksi untuk melakukan perbaikan kinerja 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
113
Bank Century. Untuk pertama kalinya, pada tanggal 24 November 2008, LPS meminta Direksi melakukan langkah-langkah guna mengatasi permasalahan bank yang meliputi handling liquidity, handling solvability, restore confidence, serta mengusahakan agar tidak terjadi penarikan dana besar. Lebih jauh, LPS melakukan pemantauan kinerja dan mem berikan arahan-arahan kepada Direksi dan Komisaris yang dilakukan pada setiap rapat rutin (harian/mingguan/bulanan) maupun atas hasil analisis kinerja keuangan bulanan untuk me lakukan peningkatan kinerja, antara lain meningkatkan Dana Pihak Ketiga (DPK) dengan lebih memprioritaskan DPK yang berbiaya murah, melakukan restrukturisasi kredit untuk menekan NPL (Non-performing Loan), menangani AYDA (Agunan yang Diambil Alih), melakukan pembatasan per tumbuhan aset yang bobot risikonya tinggi dan melakukan efisiensi untuk segala aktivitas. Saat ini kinerja Bank Century sudah mulai membaik. Untuk tahun 2010, laba sampai dengan 30 Juni 2010 tercapai sebesar Rp 58 Miliar. Sementara labatahun 2009 dapat diperoleh sebesar Rp 265 Miliar.
7. Meminta Direksi untuk tidak mencairkan dana milik Pihak Terkait. LPS meminta kepada Direksi untuk tidak mencairkan penarikan dana milik pihak terkait Bank Century. Hal ini sesuai dengan mandatory supervisory action dari BI karena pada saat itu bank masih ditetapkan dalam status pengawasan khusus.
8. Menyampaikan Laporan Perkembangan Penanganan Bank Century kepada Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK/KK. LPS menyampaikan laporan perkembangan penanganan Bank Century dari waktu ke waktu kepada Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK/KK sebagaimana dimintakan pada Rapat KSSK tanggal 24 November 2008. Selain melaporkan kondisi
114
cash flow secara harian sampai dengan Desember 2008, LPS juga menyampaikan laporan perkembangan penanganan Bank Century. Dalam laporan tersebut, dijelaskan juga mengenai biaya penanganan yang telah dikeluarkan oleh LPS dan tindakan lainnya yang dilakukan LPS dalam melakukan penyelamatan Bank Century.
9. Meminta Direksi untuk mengidentifikasi seluruh kontrak-kontrak yang terindikasi merugikan bank. LPS meminta kepada Direksi baru untuk mengidentifikasi seluruh kontrak-kontrak yang terindikasi merugikan bank. Hal ini dilakukan agar LPS sesuai dengan kewenangannya yang dimandatkan UU LPS, dapat me laku kan peninjauan, pem batalan, pengakhiran, dan/atau pengu ba h an setiap kontrak yang mengikat bank yang merugikan bank.
10. Meminta Direksi untuk melakukan investigasi aset-aset bermasalah. Dalam rangka recovery aset bank yang bermasalah, pada tanggal 13 Maret 2009, LPS meminta Direksi untuk melaku kan investigasi terhadap aset-aset yang bermasalah yang me nimbulkan/berpotensi menimbulkan kerugian bank. Selanjut nya, dalam hal ada dugaan tindak pidana, agar Direksi Bank Century berkoordinasi dengan BI untuk melaporkan kepada POLRI.
11. Mengumumkan besarnya ekuitas bank posisi per tanggal 20 November 2008. Dalam rangka menentukan nilai wajar ekuitas Bank Century per 20 November 2008, LPS telah menunjuk appraisal untuk melakukan penilaian aset—berdasarkan nilai wajar dan Akun tan Publik “Aryanto Amir Jusuf & Mawar”—guna me lakukan audit atas nilai ekuitas tersebut dengan pendekatan nilai wajar. Nilai ekuitas bank diumumkan melalui surat kabar 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
115
Bisnis Indonesia pada tanggal 26 Oktober 2009. Nilai ekuitas Bank Century per 20 November 2008 adalah sebesar negatif Rp 6.777.754 juta. Hal ini berarti, berdasarkan Pasal 42 UU LPS, pemegang saham lama yaitu pemegang saham sebelum diambil alih oleh LPS tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham bank pada saat LPS melakukan penjualan seluruh saham PT Bank Century, Tbk.
12. Menetapkan business plan dan kontrak manajemen. Guna menjadi acuan bagi Direksi dan Dewan Komisaris Bank Century dalam melakukan peningkatan kinerja bank, LPS telah menetapkan business plan untuk jangka waktu 3 tahun pada tanggal 10 Agustus 2009. Business plan tersebut merupakan lampiran dari kontrak manajemen antara LPS dan pengurus Bank Century yang ditandatangani pada tanggal 10 Agustus 2009. Kontrak manajemen berisi mengenai hak dan kewajiban pengurus bank (Direksi dan Dewan Komisaris) dalam rangka pengurusan Bank Century. Keberhasilan manajemen diukur melalui pencapaian terhadap indikator kinerja kunci (key performance indicator) yang telah disepakati antara LPS dan manajemen Bank Century.
13. Berpartisipasi aktif dalam Tim Bersama Penanganan Permasalahan Bank Century. Pada tanggal 11 Juni 2009, Menteri Keuangan RI membentuk Tim Bersama Penanganan Permasalahan Bank Century (Tim Bersama) yang anggotanya berasal dari berbagai Departemen/ Lembaga, yaitu Departemen Keuangan, Departemen Luar Negeri, Departemen Hukum dan HAM, Bank Indonesia, Kepo lisian RI, Kejaksaan Agung, PPATK, LPS dan Manajemen Bank Century. Tugas Tim Bersama ini antara lain melakukan pengejaran atas aset milik pihak-pihak yang diduga merugikan Bank Century yang disimpan/ditempatkan di luar negeri dengan
116
mekanisme sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters/MLA). Tim Bersama telah mengajukan permohonan pemblokiran/ pembekuan aset secara permanen kepada 13 negara di mana ter dapat indikasi aset tersebut disimpan/ditempatkan, yaitu Hong Kong SAR, Singapura, Australia, Jersey, Swiss, Luxem bourg, British Virgin Islands, Bahama, Uni Emirat Arab, Keraja an Arab Saudi, dan Mauritius. Berdasarkan informasi dari Bareskrim POLRI, nilai aset milik pihak yang diduga merugikan Bank Century sebagian besar ditemukan di Hong Kong SAR dan Swiss.
14. Menyampaikan laporan kepada Presiden RI Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 89 ayat (1) UU LPS, LPS menyampaikan laporan keuangan dan laporan ke giatan tahunan (tahun 2008) yang telah diaudit oleh BPK RI kepada Presiden RI pada tanggal 28 April 2009. Dalam laporan tersebut, disampaikan juga mengenai pelaksanaan penanganan Bank Century oleh LPS dengan biaya penanganan sampai dengan 28 Februari 2009 sebesar Rp6,132T.
6. PENGGUNAAN DANA PENYERTAAN MODAL SEMENTARA (PMS) LPS Berdasarkan UU LPS, PMS LPS digunakan untuk menambah modal bank sehingga bank memenuhi ketentuan tingkat kesehatan bank. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa sesuai hasil audit Akuntan Publik “Aryanto Amir Jusuf & Mawar” kondisi keuangan PT Bank Century, Tbk per 20 November 2008 (saat ditetapkan sebagai bank gagal), mencatat kerugian sebesar Rp 7,53 triliun, ekuitas bank negatif sebesar Rp 6,76 triliun, dan CAR (risiko kredit & pasar) negatif 81,81%. Jika mendasarkan laporan keuangan hasil audit tersebut, jumlah kebutuhan modal untuk mencapai CAR bank 8% adalah sebesar Rp7,3 triliun. Penyetoran PMS sebesar Rp 6,7 triliun lebih rendah dari Rp 7,3 triliun, disebabkan adanya penyetoran 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
117
PMS yang dilakukan secara bertahap, terakhir Juli 2009. Pada saat itu, kondisi bank sudah mulai membaik yang diindikasikan dengan adanya perolehan laba sampai dengan Juni 2009 sebesar Rp 140 miliar. Berdasarkan data dari Manajemen Bank Century, dana PMS yang disetorkan LPS sebesar Rp 6,76 triliun sejak 24 November 2008 sampai 24 Juli 2009 digunakan untuk membiayai operasional bank sampai dengan 31 Juli 2009, yaitu sebagai berikut: No.
Uraian
Rp
1.
Dana Rekening Giro BI (GWM)
2.
Pinjaman Antar Bank
3.
Dana Pihak Ketiga
4.
Pokok dan Bunga FPJP
5.
Biaya RTGS dan denda GWM
6.
Transaksi Valuta Asing
7.
Penempatan SBI
528.247 juta
8.
Penempatan FASBI (Fasilitas BI)
545.488 juta
9.
Penempatan SUN
900.172 juta
Jumlah
281.032 juta 303.092 juta 4.018.789 juta 152.258 juta 278 juta 32.994 juta
6.762.350 juta
Berdasarkan rincian di atas, dari total PMS LPS sebesar Rp 6,76 triliun digunakan untuk membayar Dana Pihak Ketiga sebesar Rp 4,02 triliun (60%) karena terjadi fund rushkhususnya periode 24 November 2008 s.d 31 Desember 2008, masih dalam bentuk aset (SBI/FASBI/SUN/ GWM) sebesar Rp 2,25 triliun (33%). Penggunaan dana PMS LPS untuk pembayaran simpanan nasabah dilakukan oleh Bank Century tanpa membedakan apakah nasabah besar atau nasabah kecil. Hal ini terlihat dari rincian pembayaran simpanan (Dana Pihak Ketiga) sebesar Rp 4,02 Triliun sebagai berikut:
118
> Rp 2 Miliar
Nasabah
Nasabah
Juta Rp
< Rp 2 Miliar Nasabah
BUMN
12
270.840
8
Corporate
73
290.544
Perorangan
243
Total
328
Total
Juta Rp
Nasabah
Juta Rp
2.596
20
273.436
714
189.719
787
480.262
1.264.857
7.527
2.000.234
7.770
3.265.091
1.826.241
8.249
2.192.549
8.577
4.018.789
BUMN Corporate Perorangan Total Tiering Tarikan Nasabah Juta Rp Nasabah Juta Rp Nasabah Juta Rp Nasabah Juta Rp 0 s.d 100 JT
4
50
393
100 jt s.d 1M
3
765
270
1 M s.d 2M
1
1.781
51
71.624
528
>2M
12
270.840
73
290.544
243
Total
20
273.436
787
11.255 4.070
129.561
4.467
140.865
106.840 2.929 1.088.672
3.202
1.196.276
782.001
580
855.407
1.264.857
328
1.826.241
480.262 7.770 3.265.091
8.577
4.018.789
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa dari 8.577 nasabah yang mencairkan simpanannya, sebanyak 8.249 nasabah di antaranya merupakan nasabah yang memiliki simpanan sampai dengan Rp 2 miliar dengan total simpanan sebesar Rp 2,19 triliun. Sementara nasabah yang mencairkan simpanannya melebihi Rp 2 miliar adalah sebanyak 328 nasabah dengan total simpanan Rp 1,83 triliun.
7. UPAYA PENYEHATAN DAN PERKEMBANGAN KINERJA BANK CENTURY Perkembangan Indikator kinerja keuangan Bank Century sejak awal ditangani LPS sampai dengan 31 Desember 2009, sebagai berikut: 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
119
Rasio
31 Des 10 (Audited)
20 Nov 08 (Audited)
Perubahan
1
CAR (Risiko Kredit, Risiko Pasar & Risiko Operasional
11.16%
-81.81%
92.97%
2
ROA
2.39%
-57.80%
60.19%
3
NIM
1.21%
-0.64%
1.85%
4
BOPO
81.65%
-1.284.54%
1366.19%
5
LDR
70.86%
54.15%
16.71%
6
GWM Rupiah
8.11%
0.17%
7.94%
7
GWM Valas
2.19%
0.02%
2.17%
8
NPL Net
4.84%
10.27%
-5.43%
9
NPL Gross
24.84%
33.62%
-8.78%
No
Sampai dengan 31 Desember 2009, Bank Century yang sudah ber ubah nama menjadi Bank Mutiara telah membukukan laba sebesar Rp 265,48 miliar (audited).
8. RENCANA DIVESTASI Sesuai dengan ketentuan Pasal 42 UU LPS bahwa LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak dimulainya penanganan bank gagal. Dalam hal dalam jangka waktu tersebut tidak diperoleh pengembalian yang optimal, yaitu paling sedikit sebesar nilai penyertaan modal sementara yang dikeluarkan LPS tidak tercapai, maka jangka waktu itu da pat diperpanjang sebanyak-banyaknya dua kali masing-masing per panjangan selama satu tahun. Dalam hal tingkat pengembalian optimal tidak tercapai pada masa perpanjangan, maka LPS wajib menjual saham bank tanpa mem per hatikan ketentuan pengembalian optimal dalam jangka waktu satu tahun berikutnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jangka waktu divestasi maksimal 6 (enam) tahun sejak dilakukan penanganan.
120
ENDORSEMENTS
Kuat Karena Mengemban Amanah
Dr. Rudjito
Ketua Dewan Komisioner LPS periode 2005-2010
S
eperti garis tangan yang sulit diubah, begitulah perjumpaan Rudjito dengan LPS. Perjumpaan itu begitu luar biasa, karena akhirnya menjadi bukti peran Rudjito dalam perintisan, pembentukan dan perkembangan LPS. Sebagai Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Ketua Federasi Perbankan Indonesia (FIAB) dari tahun 2000 sampai 2005, Rudjito secara otomatis langsung ikut dalam “urun rembuk” pembentukan LPS. Apalagi dari tahun 2000 hingga 2004, ia juga menjadi Ketua Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara). “Sebelum tahun 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
121
2004, kami para bankir di mana saya juga mewakili asosiasi, banyak diajak berdiskusi terkait rencana dan konsep LPS,” kata Rudjito. Salah satu masukan para bankir adalah soal penanganan bankbank pasca krisis ekonomi 1997-1998. Pada waktu krisis, pemerintah memberikan jaminan sepenuhnya (blanked guarantee) terhadap semua dana simpanan nasabah yang tersimpan di bank. Setelah kondisi ekonomi pulih, besarnya jaminan mau diturunkan menjadi Rp 100 juta. “Kami dimintai pendapatnya dan pada waktu itu saya menyarankan agar diturunkan secara bertahap,” katanya. Terkait model dan sosok LPS sendiri, Rudjito mengungkapkan kalau dirinya banyak dimintai pendapat oleh Pokja yang dibuat Departemen Keuangan (Depkeu).“Tidak pernah tidak diajak bicara, baik melalui sejumlah forum pertemuan maupun seminar,” katanya. Secara spesial Depkeu memang mengundang dunia perbankan. Dan kalangan perbankan pun mengharapkan adanya LPS sebagai lembaga penting dalam ketahanan urat nadi perbankan. Apalagi krisis ekonomi global membuat dampak yang luar biasa buruk pada perbankan, baik bank besar, apalagi bank-bank kecil. “Kita berpikiran bahwa proteksi terhadap penabung harus dilakukan. Apalagi hal itu telah menjadi best practice seperti di Amerika Serikat pada waktu saya bertugas di BDN New York dan sejumlah negara di Eropa dan Asia,” ungkap pria kelahiran Klaten yang merintis karir di Bank Dagang Negara (BDN) sejak 1972 sebagai staf di Bagian Kredit Investasi . Ketika menjadi Dirut PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia, lembaga yang dipimpinnya bertugas sebagai penjamin perdagangan efek di pasar modal. Lalu ketika menjadi Dirut BRI, ia juga banyak mendalami usaha mikro dan BPR-BPR.“Saya sangat percaya bahwa keputusan pemerintah menetapkan saya sebagai Ketua Dewan Komisioner LPS antara lain karena berdasarkan pengalaman tugastugas yang saya emban sebelumnya,” katanya. Salah satu faktornya, menurut Rudjito, mungkin agar lembaga penjamin yang baru dibentuk ini bisa langsung acceptable. Penting diingat bahwa para stakeholder terbanyak adalah para bankir dan bank-bank. Sebagai Ketua Federasi Perbankan Indonesia,
122
Rudjito paling tidak mudah berinteraksi dengan bank-bank dan bisa diterima di mana-mana, baik dari aspek senioritas maupun pengalaman kerja. Saat mengakhiri tugas di LPS pada September 2010 pun, Rudjito merasa bersyukur bisa menyelesaikan tugas setelah menjabat selama 1 periode. Ketentuan dalam UU LPS menyebutkan maksimum menjabat selama 5 tahun dan masih bisa dipilih lagi setelah selesai masa jabatannya namun usia pada waktu diangkat dibatasi yakni maksimum 63 tahun. “Saya sendiri sudah 64 tahun, ya tidak mungkin lagi,” katanya sambil tersenyum. Hal yang sulit Rudjito lupakan di LPS adalah ketika bekerja pertama kali tanpa kantor yang memadai. Pengumuman pemerintah akan dimulainya aktivitas LPS dilakukan oleh Menteri Keuangan Jusuf Anwar di gedung Danapala kompleks Departemen Keuangan RI dengan mengenalkan para pengurus LPS yang dihadiri para pejabat Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan para bankir. Segera setelah diumumkan, LPS langsung bekerja di ruang kantor di lantai 20 gedung D Departemen Keuangan bekas kantor Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah (UP3). Ruangannya tidak memadai untuk menampung 25 karyawan. Ruang rapat juga kecil. Namun, meskipun ruangan kecil tidak mengurangi semangat seluruh pegawai LPS untuk segera bekerja. Karena sempitnya ruangan, “Akhirnya saya putuskan ruangan saya dipakai juga oleh Pak Pontas, sekalian agar mudah berinteraksi,” katanya. Kondisi seperti itu berjalan 3-4 bulan. Dengan berbekal UU, plus sumber daya manusia dari Depkeu dan BI dengan Anggota Dewan Komisioner dari bankir berpengalaman, senior BPKP, pejabat BI dan Depkeu yang ex officio, LPS langsung tancap gas. Bagusnya juga, semua karyawan LPS memiliki pengalaman ada yang berasal dari BI, Departemen Keuangan Direktorat Asuransi, BPKP dan UP3, sehingga bisa langsung berinteraksi dengan langkah pertama menyusun peraturanperaturan LPS, pedoman akuntansi dan sebagainya. Sebagai lembaga anyar yang sedang fokus menyusun aturan main, LPS tiba-tiba sudah langsung diserahi BPR Tripilar Arthajaya dari Yogyakarta yang dinyatakan gagal oleh BI dan itu tidak ditengarai 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
123
sistemik, maka diserahkan ke LPS. Dalam waktu 1 hari kemudian, LPS menegaskan keputusannya ke BI untuk tidak menyelamatkan BPR tersebut. BI kemudian mencabut izin bank tersebut dan dilakukan langkah-langkah likuidasi oleh LPS. Sejak itu dilakukan verifikasi dan dalam waktu 5 hari kemudian sudah mulai membayar sebagian dana masyarakat di BPR tersebut yang layak bayar yang kemudian harus diselesaikan dalam waktu 90 hari kemudian. Simpanan maksimal yang dijamin hingga Rp 100 juta, menurut Rudjito, adalah hasil penelitian dari BI dan Depkeu. “Intinya menjamin simpanan nasabah itu adalah menjamin mayoritas nasabah di bank-bank,” katanya. Riset dari BI ternyata rekening yang di bawah 100 juta ada 90 persen lebih. Jadi, dengan menerapkan Rp 100 juta, maka LPS paling tidak menjamin 90 persen penabung di Indonesia. Parameter selanjutnya dari BI dan Depkeu adalah bench marking di negara-negara lain. Saat memimpin BDN cabang New York, Rudjito melihat bahwa di sana maksimal dana yang dijamin sampai US$ 10 ribu. Jumlah ini kira-kira ekuivalen dengan Rp 100 juta jika US$ 1 adalah Rp 10.000,-. Nah, dari penjaminan seluruhnya sebelum penjaminan diturunkan mencapai Rp 100 juta, ada sejumlah tahap yakni dari Rp 5 miliar, lalu Rp 1 miliar dan akhirnya Rp 100 juta. Penetapan pentahapan penjaminan dalam UU LPS seperti itu tidak menimbulkan gejolak. Rudjito melihat hal itu sebagai momentum yang pas. “Pasalnya LPS didirikan persis ketika kita sudah membaik dari krisis 97-98,” katanya. Hal itu, dibuktikan dari bank BRI yang dipimpin oleh Rudjito sendiri dalam kurun waktu 2000-2005. BRI awalnya rugi Rp 1,7 triliun dan dalam setahun langsung untung Rp 335 miliar, lalu pada tahun 2003 go public. Titik balik recovery itu, menurut Rudjito, dimotori oleh bank-bank pemerintah dan bank swasta yang bergerak di sektor nasabah ritel. “Kulminasinya adalah bank-bank yang dulu dianggap tidak bisa go public ternyata bisa go public. Ini menggelora ke mana-mana,” katanya. Penetapan simpanan maksimal yang bisa dijamin LPS itu, menurut Rudjito, dapat saja memunculkan ide di kalangan nasabah
124
yang memiliki dana lebih dari Rp 100 juta untuk memecah-mecah duitnya di sejumlah bank.“Itu wajar dan tidak dilarang, karena pola penjaminannya adalah satu nasabah satu bank,” katanya. Filosofi usaha LPS adalah seperti asuransi. Tidak mungkin semua bank bangkrut bersamaan. “Motif dari menabung salah satunya adalah untuk jaga-jaga dan agar aman,” kata Rudjito. Ketentuan soal besarnya dana yang dijamin LPS itu dapat saja diubah tergantung kondisi ekonomi. Pada krisis keuangan global 2008, beberapa negara telah menaikkan besarnya penjaminan. Hongkong dengan blanket guarantee lalu Australia, Malaysia meskipun terbatas. Lalu negara-negara Eropa dan terakhir Singapura, setelah Indonesia dulu. “Untuk Indonesia, awalnya Depkeu memiliki beberapa alternatif dan akhirnya diputuskan maksimum penjaminan Rp 2 miliar. Keputusan ini ternyata berdampak efektif,” kata Rudjito. Sejak 2005 sampai pertengahan 2008, bisa dibilang LPS tidak memiliki pengalaman dalam fungsi penyelamatan bank. Jika ada bank dinyatakan gagal oleh BI dan itu tidak ditengarai sistemik, maka diserahkan ke LPS. Selanjutnya bank ini mau diselamatkan atau tidak . Jika tidak diselamatkan maka dicabut izinnya.“Namun, jika keputusannya diselamatkan maka ada tindakan penyelamatan,” kata Rudjito. Keputusan untuk menyelamatkan dan tidak hanya diberikan waktu satu hari. Oleh karena pengawasan dilakukan oleh BI, maka LPS perlu mengetahuinya lebih dini informasi mengenai kondisi sebuah bank, apalagi yang bermasalah. “Sehingga mau tidak mau ada MoU dengan BI agar LPS dapat memperoleh informasi dan kondisi suatu bank lebih dini sehingga kita di LPS tahu dan bisa siap-siap,” katanya. Terdapat dua fungsi LPS. Pertama, untuk melakukan penjaminan dana nasabah di bank, dan kedua, ikut secara aktif menjaga stabilitas perbankan sesuai kewenangannya. Dalam rangka menjalankan fungsi pertama, sampai September 2010 telah dikeluarkan dana LPS kurang lebih Rp 600 miliar untuk membayar nasabah 26 BPR dan bank IFI yang dicabut izinnya oleh BI. “Dana yang dibayarkan itu adalah sebagai biaya dalam menjalankan fungsi pertama dan 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
125
bukan kerugian karena LPS telah membuat cadangan-cadangan untuk itu. Sumber dana dari premi yang dibayarkan oleh bankbank itu,” kata Rudjito. Dalam menjalankan fungsi yang kedua adalah penyelamatan Bank Century itu yang sekaligus dimaksudkan sebagai penyelamatan perekonomian negara. “Jadi dana yang dikeluarkan Rp 6,7 triliun secara bertahap itu untuk menambah modal Bank Century bisa kembali beroperasi sampai sehat sesuai ketentuan BI. Itu adalah bagian dari biaya penyelamatan bank,” ungkap Rudjito. Bankir senior yang akhir 2010 lalu meraih gelar Doktor Manajemen Bisnis dari IPB Bogor ini, merasa sangat bersyukur karena pada awal tugasnya ikut“membidani”mulainya aktivitas LPS hingga take off dan terbang dengan tenang kemudian menghadapi turbulensi badai Century dan mengakhirinya tepat pada usianya yang seharusnya sudah pensiun itu. Secara pribadi Rudjito merasakan bahwa tugas yang diembannya itu adalah amanah dari banyak orang dan kepercayaan negara padanya. “Pikiran dan batin saya hanya mengatakan bahwa ini komitmen yang harus dijalankan bahkan kalaupun harus mengorbankan kepentingan diri sendiri dan keperluan di rumah buat saya tidak masalah,” ungkapnya. Pada masa mendatang, Rudjito berharap LPS bisa melihat berbagai best practice di sejumlah negara. Misalnya saja yang dijamin oleh LPS adalah pokok simpanannya saja. Hal itu dikemukakannya antara lain ditempuh agar tidak mendorong timbulnya moral hazard yang bisa dilakukan oleh pemilik bank dan para bankir yang mengelolanya. Mencegah terjadinya praktik moral hazard juga bagian untuk mencegah kebangkrutan bank-bank dan hal ini merupakan tantangan LPS. Di samping itu, agar terdapat equal treatment antara bank konvensional dan bank yang berbasis syariah. Untuk mengantisipasi moral hazard, Rudjito berpedoman pada tiga dalil, yakni: bank sebagai service based industry, trust based industry dan risk based industry. Bank itu adalah industri yang melayani orang atau service based industry. Mengelola bank itu, menurut Rudjito, adalah mengelola manusia. Untuk itu, seorang bankir haruslah orang yang bisa dipercaya, mau melayani dan
126
mampu mengelola risiko. Dan untuk itu juga, diperlukan sumber daya manusia banker yang memiliki moral integritas yang tinggi serta profesional dalam menjalankan tugasnya. Sangat idealistik memang. Kualifikasi untuk bankir memang berat, karena tidak hanya aspek IQ saja, akan tetapi juga EQ, SQ dan PQ nya juga harus kuat. LPS sendiri, menurut Rudjito, tak bisa sepenuhnya mengurangi moral hazard. Jika para bankir bermoral baik, maka bank-bank tidak mungkin bangkrut. Kalaupun terjadi risiko karena faktorfaktor eksternal adalah bisnis risk bukan personal risk. “Kalau bisnis risk masih bisa diperbaiki. Kalau orangnya sangat sulit,” katanya. Saat ini, Rudjito melihat dari sisi kelembagaan LPS sudah pas karena tidak hanya mengurusi bank gagal saja tapi juga memiliki kewenangan untuk melakukan analisis. Yang harus diperbaiki adalah masalah sosialisasinya, karena dalam perjalanannya masih banyak nasabah yang ternyata tidak tahu. “Setelah banknya dilikuidasi terus LPS bilang bahwa ada yang tidak dibayar ternyata banyak yang tidak tahu,” katanya. Menyangkut sosialisasi, hal yang begitu fundamental pada tahun ini adalah menyangkut penjualan saham Bank Mutiara.“Sesuai UU LPS, pada tahun ketiga kepemilikan LPS di bank tersebut harus dijual. Kalau tidak laku sesuai harga optimal, maka masa penjualan masih bisa diperpanjang 2 x 1 tahun. Bila setelah diperpanjang tidak laku pada harga optimal juga maka masa penjualan diperpanjang setahun lagi dan boleh dijual dengan harga yang terbaik. Bila harga terbaik masih di bawah nilai PMS, maka kekurangannya itu adalah sebagai biaya penyelamatan perekonomian. Nah, informasi seperti ini harus disosialisasikan kepada publik sedari awal,” katanya. Sebagai pembanding, Rudjito mengungkapkan pengalaman BCA ketika direkap oleh pemerintah dengan ongkos Rp 60 triliun. Kemudian pemerintah menjual sahamnya ke publik tidak sampai Rp 60 triliun. “Nah kekurangannya itu adalah bagian dari biaya penyelamatan perekonomian,” kata Rudjito.
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
127
128
ENDORSEMENTS
LPS Mengemban Upaya Peningkatan Rasa Aman Nasabah
Firdaus Djaelani Kepala Eksekutif LPS
T
erjangan krisis ekonomi tahun 1998 menyadarkan kalangan perbankan akan perlunya sebuah lembaga penjaminan simpanan untuk nasabah bank. Sebagai sebuah lembaga yang sama sekali baru, Indonesia belum memiliki bayangan apapun mengenai sosok lembaga tersebut. Kelompok Kerja Pendirian (KKP) LPS yang dibentuk Menteri Keuangan pun, menurut Firdaus Djaelani, mulai menengok ke sejumlah negara dalam rangka men cari rujukan. Sebenarnya pemikiran tentang perlunya sebuah lembaga pen 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
129
jaminan sudah ada sejak tahun 1970-an. “Ketika tahun 1988 pulang dari studi di Amerika Serikat, saya mengikuti seminar mengenai pembentukan lembaga penjaminan,” ungkap Firdaus. Cikal bakal pembahasan dilakukan oleh orang-orang dari Bank Indonesia (BI). Topik dialog yang cukup hangat waktu itu adalah apakah LPS ini wajib diikuti oleh bank-bank yang ada atau sifatnya fakultatif. Bank-bank pemerintah waktu itu merasa tidak wajib untuk ikut dalam skim LPS. “Dasarnya adalah bahwa mereka merupakan bank milik pemerintah sehingga segala kewajiban yang muncul atas jaminan nasabah secara otomatis akan ditanggung oleh pemerintah,” kata Firdaus. Memang waktu itu, tidak terbayangkan kemungkinan runtuhnya bank-bank karena terpaan krisis ekonomi global. Menurut Firdaus, sempat keluar sebuah Peraturan Pemerintah (PP) yang isinya kurang lebih tentang penjaminan dan pembentukan lembaga penjaminan. Namun, nasib dan kelanjutan dari PP ini tidak jelas. Begitu krisis ekonomi pecah sebuah pasal dalam UU tentang BI tahun 1999 mengamanatkan pembentukan LPS melalui sebuah PP. Dalam proses diskusi ternyata dasar berdirinya LPS dengan berlandaskan hukum sebuah PP sangatlah berisiko. Terutama jika muncul gugatan dari sejumlah pihak yang tidak puas atas proses likuidasi bank gagal. Hal ini belajar dari pengalaman Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang hanya berlandaskan pada Keppres No. 27 tahun 1998 tentang pembentukan BPPN. BPPN ketika itu banyak menangani masalah keuangan bank-bank besar yang telah tutup dan keputusannya sering dipersoalkan secara hukum. Pada waktu itu, muncul ide mengapa pembentukan LPS tidak berlandaskan hukum pada sebuah UU saja. Payung hukum UU tentu akan memperkuat posisi dan status LPS dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya. Terutama tugas dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan dan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan. Untuk menyusun RUU yang berisi mengenai struktur kelembagaan serta berbagai fungsi, tugas dan wewenangnya, KKP LPS menengok
130
cara kerja dan struktur organisasi lembaga penjaminan di berbagai negara. “Lembaga penjaminan di Kanada dan di Amerika Serikat yakni FDIC menjadi sasaran rujukan untuk pola penjaminan di tanah air,” kata Firdaus. Selain itu, ada juga konsultan atas bantuan USAID, yakni Paul Sachtleben, yang pernah menduduki posisi CFO dan Direktur Divisi Keuangan pada Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Ternyata dari Paul, ungkap Firdaus, muncul saran agar tidak mengadopsi lembaga penjaminan di Amerika karena polanya tambal sulam. Akhirnya, pola penjaminan simpanan di Canada menjadi rujukan dan harus melalui sejumlah penyempurnaan. “Sebelum menjadi RUU, Kelompok Kerja Pendirian LPS membawa konsep tersebut untuk didiskusikan dengan sejumlah elemen, seperti kalangan perbankan, akademisi, politisi dan ahli hukum,” ungkap Firdaus. Mengenai Dewan Komisioner di LPS, contohnya, kelompok kerja sejak awal memang tidak memilih pola seperti di Bank Indonesia dengan Dewan Gubernurnya. Pertimbangannya, menurut Firdaus, karena LPS merupakan part of government dan bertanggungjawab kepada Presiden. Menteri Keuangan pun juga mengusulkan agar Dewan Komisioner ini di tetapkan oleh Presiden. Pembahasan RUU LPS tersebut, menurut Firdaus berjalan dengan alot. Komisi XI DPR sebagai mitra pe merintah berkeinginan agar LPS ini benar-benar ideal dan bisa bekerja dengan baik nantinya. Pembicaraan tidak hanya di ruang-ruang sidang di gedung DPR namun juga beberapa kali diadakan di hotel hingga larut malam. Persoalan yang cukup menguras pemikiran, menurut Firdaus adalah menyangkut koordinasi dan perolehan data-data bank.“Inti nya bagaimana LPS bisa mudah mendapatkan data yang terkait pengaturan hubungan dengan pemilik data yakni BI dan pihak bank sendiri,” katanya. Jika bank masih hidup maka sudah jelas koordinasi data ada pada BI. Lalu jika bank sudah dinyatakan gagal dan mati maka koordinasi data diserahkan kepada LPS. Namun, LPS juga membutuhkan data bank-bank ketika masih sehat. Selama ini, 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
131
LPS selalu rajin minta data laporan bulanan bank-bank kepada BI yang berisi neraca laba dan rugi. “Jika oke maka akan diberi dan ditindaklanjuti,” kata Firdaus. Misalnya saja, LPS dapat meminta informasi dan data ke BI mengenai hasil pemeriksaan terakhir dan final dari sebuah bank yang tingkat kesehatannya terindikasi buruk. Soal permintaan informasi dari LPS tersebut sesuai dengan ketentuan dalam UU LPS, maka semua pihak wajib memberikan data dan informasi jika diminta oleh LPS. Karena begitu strategis dan bernilainya informasi dan data bank-bank yang diindikasikan sakit, maka muncul perlunya pengaturan yang lebih jelas, rinci, dan lengkap terkait akses informasi dan data bank yang mengalami kesulitan keuangan serta kerahasiaannya. Dalam perjalanan waktu ternyata banyak bank yang ber ma salah, maka LPS pun berinisiatif untuk mendapatkan data lebih awal sebelum bank-bank itu dinyatakan gagal. Pada tahun 2005 sudah ada MOU antara LPS dengan BI dalam hal permintaan data informasi perbankan. Agar fungsi antisipasi dan penjagaan stabili tas keuangan berjalan dengan baik, maka perlu ada revisi MOU antara LPS dengan BI, terkait cara-cara LPS mendapatkan data perbankan secara lebih awal. “Pada revisi MOU tahun 2009, LPS tidak hanya diberi peluang untuk mendapatkan data secara lebih dini, namun LPS juga diajak untuk ikut memeriksa bank dalam pengawasan khusus,” ungkap Firdaus. Pemeriksaan tersebut tarafnya menyeluruh atau due diligence. Peluang ini dimungkinkan setelah belajar banyak dari kasus Bank Century. “Agar ke depan ada semacam antisipasi yang lebih baik ketika menghadapi sebuah bank gagal,” kata Firdaus. Sebagai sosok yang sejak awal banyak berkontribusi pada pembentukan LPS, Firdaus melihat bahwa UU mengenai LPS ketika dibentuk nampak sudah sempurna. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan jika diminta untuk mengevaluasi, menurut Firdaus, memang ada sejumlah hal yang harus ditambahkan agar UU LPS makin baik. Dan sejak tahun 2005, keluar sejumlah ketentuan agar ketentuanketentuan yang berusaha menjabarkan agar UU LPS bisa berjalan
132
maksimal. Wujud ketentuan itu baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan LPS, maupun Keputusan Kepala Eksekutif. Misalnya saja aturan mengenai penjaminan simpanan nasabah bank berdasarkan prinsip syariah. Lalu tentang besaran nilai simpanan yang dijamin LPS. “Semangat peraturan itu adalah agar UU LPS lebih aplikatif, karena memang ada sejumlah ketentuan yang masih membutuhkan sejumlah aturan pelaksanaan,” kata Firdaus. Pada masa mendatang jika RUU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan jadi, memang akan ada sejumlah penyesuaikan pada UU Asuransi, UU Perbankan, UU Dana Pensiun, UU LPS dan UU OJK. “Kurang lebih sinkronisasi sehingga lebih padu, tidak tumpang tindih dan benar-benar aplikatif,” tambah Firdaus. Saat ini, jika RUU OJK disahkan, maka terkait akses data yang dibutuhkan LPS dari OJK sudah diatur secara detail mekanisme. Perubahan dan penyempurnaan ketentuan mengenai kerja dan pelaksanaan LPS, menurut Firdaus, tidak akan pernah berhenti. Misalnya terkait penjaminan yang dilakukan LPS, dasarnya mengacu pada prinsip kondisional dimana ada jumlah maksimum yang dijamin dan berdasarkan suku bunga penjaminan yang ditetapkan LPS. Karakter penjaminan yang dilakukan LPS dengan yang ada di luar negeri berbeda, karena strukturnya memang berbeda. Di luar negeri simpanan dalam bentuk giro dan tabungan paling banyak. Sedangkan di dalam negeri karakternya hampir mayoritas nasabah bank atau kurang lebih 99 persen dari jumlah nasabah adalah penabung kecil di bawah Rp 100 juta pada saat penentuan limit penjamin simpanan. Total dana yang terhimpun hanya mencakup 21 persen dari keseluruhan dana pihak ketiga (DPK) di bank-bank. Nah, misi LPS antara lain adalah memberikan rasa aman (secure) bagi masyarakat atau individu kecil yang sedang menempatkan uangnya di bank.“Bagian dari nasabah kecil yang jumlahnya paling besar inilah yang menjadi salah satu perhatian utama LPS,” kata Firdaus. Stabilitas dan dinamika sistem perbankan tidak bisa lepas dari kepercayaan nasabah kecil yang jumlahnya jutaan di berbagai pelosok. Jumlah dana nasabah yang dijamin pun pada setiap negara 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
133
berbeda-beda. Namun, ada patokan perhitungan yang dijadikan acuan. Di negara maju besaran nilai simpanan yang dijamin lembaga penjamin simpanan sekitar 3 sampai 4 kali income per kapita. Lalu pada negara berkembang patokannya adalah 5 sampai 6 kali dari income per kapita. Sedangkan pada negara miskin bisa 9 sampai 11 kali dari income per kapita. Selain itu, penentuan besaran nilai simpanan setiap nasabah pada satu bank yang dijamin oleh LPS selalu berpedoman pada situasi normal. Krisis keuangan tahun 2008 memaksa pemerintah pada 13 Oktober 2008 untuk menaikan nilai simpanan yang di jamin dari paling banyak Rp 100 juta menjadi paling banyak Rp 2 miliar. “Tentu saja ini bukan ketentuan baku karena akan selalu berdasarkan pada kondisi perekonomian di setiap negara,” kata Firdaus. Besaran nilai simpanan tersebut bisa berubah dan akan selalu mempertimbangkan tiga faktor berikut ini sebagai tolak ukur untuk menentukan situasi sudah normal atau belum. Pertama, apakah terjadi gejala rush atau penarikan uang dalam jumlah besar secara serentak oleh banyak nasabah. Kedua, apakah terjadi inflasi yang tinggi berturut-turut dalam waktu lama misalnya hingga tiga tahun lebih. Ketiga, apakah jumlah nasabah yang ditutup oleh penjaminan mencapai sekitar 90 persen dari keseluruhan nasabah yang ada. Dalam konteks relasi dengan pelaku industri perbankan dan masyarakat, menurut Firdaus, pada masa mendatang LPS akan mengefektifkan strategi komunikasinya. Hubungan dengan per bankan bisa dikatakan sudah oke, terlebih terkait kebijakan yang dikeluarkan LPS dan respon dari para bankir. Lalu terkait hu bungan dengan masyarakat, LPS menilai sudah ada awareness me ngenai apa itu penjaminan simpanan. Namun, yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan analisa sederhana mengenai produk-produk jasa perbankan mana saja yang dijamin LPS. Terutama yang berbasiskan pada informasi. “Oleh sebab itu, informasi yang sederhana, mudah dipahami dan bisa diikuti semua masyarakat memiliki fungsi signifikan dalam meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai penjaminan simpanan nasabah bank oleh LPS,” kata Firdaus.
134
ENDORSEMENTS
Mestinya Tidak Sekadar Pemadam
Krisna Wijaya
Mantan anggota Dewan Komisoner/Kepala eksekutif LPS (2005-2007)
L
embaga Penjaminan Simpanan (LPS) adalah bagian dari hidup Krisna Wijaya.“Dua tahun lamanya saya berkecimpung intens di LPS, karena itu sangat berharga dan sulit dilupakan,” katanya. Sedari awal, menurut Krisna, baik Dewan Komisioner dan seluruh karyawan LPS dituntut untuk mengimplementasikan 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
135
amanat UU LPS. Ada sekitar 14 peraturan LPS yang baru dibuat karena UU LPS sendiri tidak mengatur secara rinci. Sebagai siasat maka dalam time frame yang relatif pendek itu prioritas utamanya adalah membuat berbagai peraturan.“Lucu jika sebuah institusi tidak berjalan karena tidak memiliki perangkat yang mengatur mekanisme kerjanya,” kata Krisna. Fokus awal adalah bagaimana piranti organisasi, aturan, sistem, dan prosedurnya ada dulu. Berbarengan dengan itu, sampai dengan akhir tahun 2007, LPS diserahi tugas untuk mengurus penutupan kurang lebih 11 BPR. Meski skalanya kecil, namun itu sebuah pengalaman sangat berarti. Setiap kasus di BPR menuntut perlakuan dan keputusan yang spesifik karena antara aturan, penilaian dan kondisi di la pangan bisa berbeda-beda. Pembentukan bagian internal institusi dan bagian eksternal yang berkaitan dengan keputusan-keputusan yang diambil LPS, menurut Krisna, bisa selesai dalam dua tahun. “Saya merasa tugas saya selesai karena sudah sesuai UU, sehingga saya minta untuk mengundurkan diri,” katanya. Meski secara formal hanya dua tahun, namun Krisna merasa lebih dari itu, karena sebelum LPS terbentuk ia sudah menjadi narasumber. “Dulu saya bersama beberapa profesional adalah narasumber tetap untuk LPS dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan),” katanya. Sedari awal, tambah Krisna, LPS memang dikonsepkan untuk tidak sekadar sebagai pay box atau lembaga pembayaran jika ada klaim dari deposan. LPS mengambil peran full integrated. Lembaga ini bertugas menjaga stabilitas sistem keuangan dan perbankan, seperti ke tika harus menyelamatkan atau tidak sama sekali sebuah bank bermasalah. “Praktik terbaik di seluruh dunia, banyak yang me makai model full integrated, maka itulah yang kita ambil,” kata Krisna. Dalam perjalanan waktu, ter nyata pada awal mulanya tidak semua institusi keuangan di tanah air menganggap LPS ini sebagai full deposit insurance. “Masih terbayang bahwa LPS ini hanya kepanjangan dari BPPN dan BI sebagai pay box system,”
136
ungkapnya. Persepsi itulah yang membuat LPS agak sulit bertindak. Padahal menurut Krisna, bunyi UU-nya tidak mengatakan begitu. Umumnya persepsi ini tidak muncul di benak masyarakat, namun justru dari institusi pemerintahan.“Nasabah, misalnya, tidak ambil pusing ketika memutuskan menyimpan uangnya di bank. Siapa pe ngurusnya. Apa yang diatur di bank itu. Bagaimana strukturnya. Dan seterusnya,” ungkapnya. Dari beberapa model lembaga penjamin simpanan yang ada di berbagai negara, menurut Krisna, LPS banyak mengadopsi ke Ada persepsi FDIC (Federal Deposit Insurance keliru tentang Corporation) di Amerika Serikat. LPS, seperti istilah “Tapi tidak secara murni karena ada LPS itu perlu tapi beberapa penyesuaian,” ungkapnya. tidak penting, Dibandingkan dengan negarakarena posisinya negara di Asia, LPS memang seperti pemadam relatif baru. Tapi, menurut Krisna, kebakaran. cakupan LPS dalam konteks men jalankan fungsinya jauh lebih besar karena banyak bank yang harus dijamin. Ada sekitar 120-an bank dan 2.000-an BPR. Menurut Krisna, hal itu jauh berbeda jika dibandingkan dengan lembaga penjaminan sejenis di Malaysia, Singapura, Vietnam dan Filipina. Meski usia LPS masih muda, namun ketika harus berbicara di tingkat regional, selalu Jepang dan Indonesia menjadi referensi dan tempat bertanya. Krisna sendiri menjadi Vice Chairman IADI ARC sedang ketuanya dari Jepang, “LPS dinilai oleh mereka unik karena juga menangani bank-bank kecil, yakni BPR,” kata Krisna. Dalam menangani penutupan BPR-BPR itu, LPS memiliki pengalaman berharga. Tantangan pertama, menurut Krisna adalah pada Sumber Daya Manusianya (SDM). LPS sendiri dibangun dengan secondment program di mana SDM-nya diambil dari beberapa institusi seperti Departemen Keuangan, BI, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan kalangan profesional dari luar. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
137
“Core-nya tidak banyak. Dan ketika ada satu BPR bermasalah bisa ditangani sendiri. Namun begitu ada dua-tiga hingga empat BPR, mulailah berat. Untuk rekrutmen cepat sulit, maka sebagai alternatif untuk verifikasi diserahkan pada BPKP,” jelas Krisna. Dari laporan verifikasi final itu, barulah LPS mengeksekusi mana yang layak dan tidak untuk dibayar. Menurut Krisna, model kerja sama ketika itu sudah bagus karena ada dual control. Tidak hanya LPS saja, tapi ada pihak ketiga yang juga memverifikasi. Dari best practice sekitar 60 negara memang banyak yang melakukan apa yang disebut outsourcing. “Ada persepsi keliru tentang LPS, seperti istilah LPS itu perlu tapi tidak penting, karena posisinya seperti pemadam kebakaran,” katanya. Kalau tidak ada kebakaran maka tidak bertindak.“Seperti halnya kalau tidak ada bank yang ditutup dan bermasalah, maka kita hanya menjalankan tugas pure administrasi,” tambah Krisna. Menurut Krisna, persepsi itu keliru, karena LPS baru dinilai berhasil kalau sama sekali tidak ada kebakaran. Lalu, kalaupun ada kebakaran maka perangkatnya harus lengkap seperti air, selang, petugas, armada mobil pemadamnya, dll. “Saya ingin LPS memiliki kelengkapan minimal agar bisa be kerja sesuai tugasnya, apabila mendadak ada bank yang ditutup atau mendapat penanganan,” kata Krisna. Menurut Krisna, LPS sendiri begitu spesifik karena lembaga ini dibutuhkan dan diminta menangani bank bermasalah ketika sudah muncul api. “Penyebab dari kebakaran atau masalah itu sendiri, ia kurang begitu tahu,” ungkapnya. Oleh sebab itu, LPS harus dipahami tidak hanya sebagai pay box saja namun harus full deposit insurance. Hikmah dan pembelajaran dari keharusan mengambil persepsi yang betul tersebut, menurut Krisna, muncul ketika terjadi masalah di Bank Century baru-baru ini. Dan secara otomatis LPS mendapat tugas untuk menyelamatkannya. Idealnya, tambah Krisna, LPS tidak sekadar men dapat lim pahan saja, namun sejak awal juga dilibatkan atau paling tidak mengetahui hal-hal esensial atau pokok dari bank itu. “Terlebih bank yang mendapat diagnosa tidak sehat. Jangan sekadar seperti
138
rumah sakit yang mendadak mendapat limpahan pasien dari ICU rumah sakit lain,” katanya. Oleh sebab itu, sebaiknya LPS juga memiliki fungsi pengawasan meskipun terbatas. Minimal, tambah Krisna, LPS harus tahu dan meyakini siapa yang dia jamin itu.“Pengawasan seperti apa, hal itu bisa dirumuskan kemudian,” katanya. Kasus pada Bank Century, menurut Krisna adalah pembelajaran bagi regulator, pemerintah dan semuanya. “UU LPS menyebutkan untuk menyelamatkan bank sistemik adalah oleh Komite Koor dinasi (KK). Mengapa harus ada JPSK (Jaring Pengaman Sektor LPS meski Keuangan), lalu KKSK (Komite mengetahui garis Kebijakan Sektor Keuangan) dalam besar bank-bank yang bentuk RUU?” katanya. masuk dalam pen Waktu itu yang tidak ada adalah jaminannya. Jangan bagaimana sistem prosedur koor sampai tidak tahu dinasi pengambilan keputus an, sama sekali. sehingga dipermasalahkan BPK. “Menurut saya LPS tidak bisa di salahkan, karena tidak mem ben tuk KK. KK itu adalah sebuah forum bukan struktur organisasi,” tambah Krisna. Dalam konteks ini, LPS sudah melakukan sesuai amanat UU. Pengalaman 25 tahun di BRI, sebuah bank dengan nasabah beragam dan account yang besar, menurut Krisna sangat membantu dirinya bekerja 2 tahun di LPS. “Ada sense of banker yang tentu dibutuhkan,” katanya. Pada masa mendatang agar LPS mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara baik, menurut Krisna, maka semua pemangku kepentingan mesti memiliki pemikiran yang solid bahwa LPS itu bukan sekadar pemadam kebakaran. “LPS meski mengetahui garis besar bank-bank yang masuk dalam penjaminannya. Jangan sampai tidak tahu sama sekali,” katanya. Selain itu ada beberapa pemikiran menarik yang belum terealisasi terkait konteks di atas. Misalnya, premi yang harus dibayar bank-bank dengan berdasar kan pada risiko. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
139
Namun begitu, lanjut Krisna, bagaimana LPS melakukan penilaian dan kebijakan kalau dia sendiri tidak tahu isi, struktur, dan manajemen dari bank-bank itu. Kalau pembayaran premi berdasarkan risiko ini jalan tentu akan lebih ideal dan adil, karena manajemen bank menjadi hati-hati dalam menjalankan serta mengelola banknya. “Di beberapa negara karena lembaga penjaminan ikut memeriksa maka ia tahu dan bisa menganalisis serta menentukan preminya,” ungkap Krisna. Ada sejumlah pertanyaan yang menurut Krisna harus dijawab. Untuk penilaian dan penentuan premi tentu perlu rating bank. Lalu, kalau merating semua bank itu, dasarnya apa? Seperti neraca keuangan. Tetapi, apa neraca keuangan itu representasi sebenarnya. Lalu bagaimana dengan skala pemeringkat yang harus bisa mencakup ribuan bank-bank kecil. “Karena ide ideal ini belum terwujud, maka yang terjadi sekarang bila ada bank yang ditutup adalah subsidi silang,” kata Krisna. Dalam konteks lingkungan baru, jenis pekerjaan baru, tantangan baru, pencapaian baru dan membangun budaya organisasi baru, bagi Krisna, dua tahun di LPS lebih banyak sukanya. Saat ini, menurut Krisna, LPS makin teruji karena telah banyak mendapat pelajaran yang kadang tidak perlu terjadi, seperti pada kasus bank sistemik. “Itu sebuah pembelajaran yang mahal baik secara ekonomi maupun politik,” ungkapnya. Ke depan, pesan Krisna, koridor yang harus diperhatikan oleh LPS adalah bagaimana kebijakannya memberi nilai tambah atau tidak bagi stabilitas ekonomi dan kesehatan dunia perbankan.
140
ENDORSEMENTS
Jangan Berhenti Di Satu Titik
Pontas R. Siahaan
Komisaris Utama Bank Mutiara
I
barat sebuah bayi, lima tahun pertama mengenal dunia me rupakan golden age atau usia emas. Sebuah masa yang tidak ternilai harganya dalam upaya menjejakkan kaki kemandirian, membentuk sistem jaringan tubuh dan jalinan komunikasi yang baik, serta membangun interaksi dengan lingkungan dan menyusun karakter dasar yang lebih matang. Seperti itulah Lembaga Pen 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
141
jaminan Simpanan (LPS) dalam lima tahun pertama usianya. Se buah fase dan tahap sangat penting bagi LPS dalam membentuk jati dirinya. “Bahkan lebih dari itu, dalam waktu tiga bulan saja LPS harus telah siap menghadapi audit pertama dalam rangka pengelolaan keuangan yang menjadi tanggung jawabnya,” kata Pontas Siahaan, yang pernah menjadi anggota Dewan Komisioner LPS periode 2005-2008. Seperti diketahui, LPS yang mulai beroperasi pada 22 September 2005 berdasarkan UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS pada akhir tahun 2005 sudah harus menghadapi audit. Saat itu, kenang Pontas, begitu di-launching pada 1 Oktober 2005, berbagai perangkat aturan untuk operasional kerja belum siap. Maka dengan waktu sesingkat-singkatnya, Dewan Komisioner bekerja keras membentuk perangkat aturan, satuan kerja dan divisidivisi yang bertanggung jawab untuk menangani. “Misalnya saja ketika be lum genap tiga bulan kami harus menghadapi sebuah BPR di Yogyakarta yang ditutup. Bagaimana keputusan harus diambil, aturannya seperti apa, bagaimana dan siapa yang melakukan verifikasi, audit neraca keuangan, serta tahap-tahap likuidasi terhadap suatu bank,” kata Pontas. Menurut Pontas, perangkat aturan dan pembentukan satu an kerja dan divisi-divisi penting agar secara managerial muncul sistem yang jelas, efektif, transparan, profesional dan bisa diper tanggungjawabkan. Selain urusan yang terkait dengan tugas, peran, dan fungsi LPS, secara internal, LPS juga harus membangun sistem penggajian, penentuan kendaraan dinas, serta jenjang karir dan peningkatan kapasitas yang jelas bagi para pegawai LPS. Dalam hitungan hari saja, meskipun belum sempurna, namun semua peraturan yang prinsipiil terkait kebijakan, keputusan dan tugas LPS ke luar telah selesai dibuat. Karena padatnya beban pekerjaan, menurut Pontas, maka pada beberapa pekan pertama, yang namanya kerja lembur sudah seperti menu wajib. “Namun, semuanya berjalan lancar karena sebagai sebuah tim, kami kompak dan masing-masing anggota Dewan Komisioner memang ahli dan mempunyai pengalaman sesuai kompetensinya,” tandas Pontas.
142
Ia memberi contoh ketika hendak membentuk satuan kerja auditor internal. Dirinya yang sudah 26 tahun bekerja di Badan Pengawasan dan Keuangan Pembangunan (BPKP) dengan posisi akhir sebagai Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian, langsung mendapat tugas di Dewan Komite Audit LPS sebagai ketua. “Lalu ada Pak Darmin, Pak Maman, Pak Markus dan lainnya berasal dari bidang berbeda dan kaya akan pengetahuan sehingga membuat LPS bisa menjalankan fungsinya dengan baik di awal pembentukannya,” kata Pontas. Menilik berbagai kebijakan yang di keluarkan LPS, dalam penilaian Pon Semuanya berjalan tas, peran LPS dalam menjamin dana lancar karena sebagai nasabah dan ikut serta dalam menjaga sebuah tim, kami stabilitas perbankan sudah seperti yang kompak dan masingdiharapkan. Hal itu me nurut Pontas, masing anggota Dewan tentu tidak dilakukan sendiri namun Komisioner memang dengan bekerja sama dengan Depkeu ahli dan mempunyai sebagai otoritas fiskal dan BI sebagai pengalaman sesuai otoritas moneter. kompetensinya. “Masing-masing lembaga sesuai peran mampu menumbuhkan sinergi yang baik,” kata Pontas. Dalam waktu tidak lama lagi dengan kehadiran OJK sebagai otoritas pengawas an, Pontas berharap kerja sama antar berbagai lembaga makin padu demi dunia perbankan yang makin stabil, tumbuh, dan mam pu menopang pertumbuhan sektor riil. Meskipun ada sejumlah pencapaian, menurut Pontas, LPS harus membangun kapasitas dan makin profesional. Ia melihat tantangan LPS terkait perkembangan serta integrasi dunia perbankan dan lembaga keuangan lain akan semakin besar. Pada masa mendatang produk dan transaksi keuangan seiring dengan kebutuhan ekonomi manusia bakal bertambah rumit, kompleks dan canggih. “Jangan pernah berhenti pada satu titik, karena dunia perbankan dan keuangan sangat dinamis,” kata Pontas. Pada benak Pontas ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
143
menyangkut peran dan peningkatan kapasitas LPS. Ia mengaku tidak tahu persis apakah hal-hal yang di bawah ini sudah dilakukan. Namun, sejak tidak lagi berada di LPS per 22 September 2008, ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan. Pertama, mengenai akses dan keterlibatan LPS terhadap bank-bank yang sudah ada dalam pengawasan khusus. “Sedikitnya LPS sudah terlibat langsung dalam audit sehingga tahu isi perut dan tingkat kekritisan yang sesungguhnya dari bank tersebut,” katanya. Langkah tersebut, tambah Pontas, akan sangat bermanfaat bagi LPS apabila nantinya bank tersebut diserahkan sepenuhnya ke tangan LPS. Kedua, sosialisasi dan publikasi mengenai apa sosok, peran, fungsi dan kebijakan LPS ke berbagai lapisan masyarakat harus lebih gencar. Aspek edukatif dan transformasi pengetahuan kepada publik amatlah penting. Terutama atas kebijakan yang dikeluarkan LPS. Hal itu dilakukan agar publik paham bagaimana LPS bekerja dan berperan dalam menyehatkan bank-bank yang sedang ditangani. Pontas mengingatkan akan pepatah lama, karena tidak kenal maka tidak sayang. “Strategi menyapa publik terutama kalangan perbankan, pemangku kepentingan, perguruan tinggi, dan nasabah harus dipilih yang paling efektif, misalnya melalui news letters sebagai media komunikasi,” kata Pontas. Ketiga, berhubungan dengan peningkatan dan penguatan ke lembagaan LPS, baik itu aspek profesionalisme, corporate culture, good governance, jenjang karir, dan kesejahteraannya. Menurut Pontas, dalam organisasi modern faktor SDM sangat penting karena menjadi jantungnya perubahan serta peningkatan pelayanan. “Faktor ini menjadi penting ketika LPS nantinya merasa perlu memiliki cabang di beberapa ibu kota provinsi dan membangun sinergi dengan berbagai komponen pemangku kepentingan,”ungkap bapak dua anak ini. Keempat, dalam jangka menengah dan panjang, tambah Pontas, sudah saatnya LPS memikirkan kemungkinan membuka perwakilan di wilayah-wilayah yang banyak BPR-nya dan memperluas pen jaminan pada lembaga keuangan non-bank. Pembukaan perwakilan
144
di beberapa ibukota provinsi ini dilakukan agar bisa menjalin ko munikasi, sosialisasi, pemantauan, dan pembinaan secara lebih intensif kepada masyarakat perbankan setempat. Kemudian seiring dengan makin cepatnya integrasi produkproduk perbankan dan lembaga non-bank sudah saatnya dana nasabah yang terhimpun di dalamnya ikut masuk dalam per lindungan penjaminan LPS. Mekanisme dan ketentuannya seperti apa, menurut Pontas perlu dibuatkan, apalagi jika dana publik yang terhimpun di sana sangat besar. Kebijakan tersebut diambil untuk mengurangi risiko dan kehancuran sistem keuangan yang makin kompleks, saling kait-mengkait dan rentan terhadap gejolak ekonomi dunia. Setelah melewati lima tahun masa emasnya, menurut Pontas, tidak bisa dipungkiri bahwa LPS telah ikut berperan besar dalam menambah kepercayaan publik kepada bank. Ke depan, ia berharap LPS bisa makin signifikan mengemban peran dan fungsinya dalam membentuk masyarakat yang lebih pandai, kritis, hati-hati dan bijak dalam memilih beragam produk simpanan yang dikeluarkan oleh bank dan lembaga keuangan non-bank. Tingkat kompetisi yang tinggi di antara bank-bank dalam memperebutkan dana pihak ketiga, patut dicermati oleh LPS melalui edukasi yang baik kepada publik.
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
145
146
ENDORSEMENTS
LPS yang Terbuka, Energik dan Terorganisir
Paul Sachtleben Konsultan LPS
B
oleh dikatakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tidak bisa dilepaskan dari sosok tinggi dengan rambut tipis ini. Namanya, Paul Sachtleben. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari tim yang meracik kelahiran LPS.“LPS bagi saya seperti rumah. Saya sudah menjadi bagian dari keluarga di LPS ini,” kata lulusan Valparaiso University bidang Administrasi Bisnis dan Keuangan, serta University of Wisconsin-Madison bidang perbankan itu. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
147
Pengalaman selama 29 tahun di Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) membuat Paul, menjadi sosok yang ahli dalam persoalan-persoalan perbankan. Terutama dalam menghadapi dan menangani bank gagal (bank resolution). Ia membangun karir awal di FDIC pada tahun 1969 di Divisi Pengawasan sebagai seorang pemeriksa bank. Selama 18 tahun lamanya dengan berbasis di Washington, ia berada di divisi tersebut dengan berbagai macam posisi manajerial. Dengan kemampuan akuntan publik bersertifikat, ia kemudian menjabat sebagai Deputi Direktur Regional Bidang Pengawasan untuk wilayah Dallas. “Selama di Dallas ada sekitar 50 bank gagal yang saya tangani,” kenangnya. Pengalaman tersebut, membuat Paul mengetahui jantung masalah yang sedang menghinggapi bankbank dengan tingkat risiko kegagalan yang tinggi. Tugas menutup bank, mengembalikan bank pada fungsinya dan menyehatkan bank menjadi salah satu spesialisasinya. Tahun 1987, ia memutuskan keluar dari FDIC dan menjadi kon sultan untuk sejumlah lembaga keuangan. Tiga tahun kemudian ia bergabung di Resolution Trust Corporation’s (RTC) sebagai Chief Financial Officer (CFO) dan Direktur Perusahaan Keuangan. Pada tahun 1991, Sachtleben memilih bergabung lagi dengan FDIC dengan posisi baru sebagai Wakil Direktur dari sebuah divisi baru yakni Division of Resolutions. Tanggung jawabnya makin besar seiring dengan promosi karirnya yang meningkat. Pada 1994, ia ditunjuk sebagai Direktur Division of Compliance and Consumer Affairs, sampai divisi ini mendapat nama baru Finance Division pada awal tahun 1996. Pada akhir September 1996, ia ditunjuk sebagai Acting Chief Financial Officer FDIC. Sejak mengundurkan diri dari FDIC pada 1998, bapak dari dua putra buah perkawinannya dengan Andrea ini, melanjutkan karir sebagai konsultan independen tingkat global. Kliennya adalah sejumlah bank sentral dan lembaga penjaminan simpanan di dunia. “Selama lima tahun, Bank Sentral Bulgaria merupakan salah satu bank yang pernah mendapat konsultasi,” kata Sachtleben. Selain itu, Sachtleben juga pernah menjadi konsultan untuk Bank
148
Sentral Filipina. Fokusnya adalah membantu memberi pandangan dalam hal kebijakan pengawasan bank dan penjamin simpanan bank. Krisis ekonomi global tahun 1998 yang berdampak pada runtuhnya industri finansial, di antaranya perbankan, mendorong sejumlah bank sentral di berbagai negara untuk mendirikan se macam lembaga penjaminan untuk dana nasabah yang disimpan di bank. “Tujuan dari terbentuknya lembaga tersebut adalah memberi jaminan pada para deposan yang jumlahnya banyak sekali agar bisa ikut menjaga kestabilan sistem perbankan di suatu negara,” ungkap Sachtleben. Sejumlah lembaga penjamin simpanan dari berbagai negara ini kemudian bergabung dalam IADI, kependekan dari International Lembaga semacam Association of Deposit Insurers yang di LPS perlu memikirkan arti bentuk di Basel Swiss pada Mei 2002. penting dan prosedur IADI mencari pedoman dari praktik baku dalam mendapatkan terbaik lembaga-lembaga penjamin informasi dari pihak yang ada di berbagai negara. Mereka, badan pengawas bank. ungkap Sachtleben, mempunyai meka Berbagi informasi adalah nis me untuk terus-menerus mencari hal yang krusial dalam dan me ningkatkan efektivitas sistem sistem pengawasan dan penjaminan simpanan. Salah satu cara penjaminan simpanan di nya adalah dengan mengem bang kan bank. petunjuk, pedoman dan kerja sama internasional. Kerja sama itu berupa saling berbagi informasi mengenai praktik pengawasan dan fungsi dari masing-masing lembaga yang dimiliki. Menurut Sachtleben, LPS yang ada sekarang berbeda dengan FDIC. Hal itu karena, masing-masing memiliki latar belakang dan sejarah sendiri yang berlainan. Di Amerika Serikat, pemerintah Federal menghadapi situasi dan karakteristik perbankan yang berbeda. “FDIC di antaranya memiliki tugas yang lebih besar dan bisa mendapat informasi lengkap mengenai kondisi setiap bank yang beroperasi,” katanya. Hal itu belum tentu dimiliki oleh lembaga sejenis di luar Amerika Serikat. Dalam garis besarnya, menurut Sachtleben, secara konsep 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
149
dasar penjaminan simpanan yang berdiri di banyak negara tidak terlalu berbeda tajam, seperti misalnya terkait aspek kepesertaan dan pendanaan. Perbedaan mungkin saja ada. Misalnya, dalam soal langkah-langkah serta prosedur penyelamatan yang dipilih, lalu kontrol pertama terhadap suatu bank yang dinyatakan gagal. Selama menjadi konsultan di LPS, Sachtleben mengaku sama sekali tidak ada ganjalan yang berarti. Ia merasa, individu dan tim yang diserahi wewenang melahirkan LPS begitu terbuka, energik dan terorganisir cara kerjanya. “Saya berperan membagikan pengalaman, pengetahuan, pengamatan, memaparkan apa positif dan negatifnya dan yang memberi keputusan akhir adalah mereka sendiri,” kata Sachtleben. Pada masa mendatang, saran Sachtleben, lembaga semacam LPS perlu memikirkan arti penting dan prosedur baku dalam mendapatkan informasi dari pihak badan pengawas bank. Berbagi informasi adalah hal yang krusial dalam sistem pengawasan dan penjaminan simpanan di bank. Keduanya saling kait-mengkait. Informasi dan data yang berasal dari badan pengawas bank adalah penting. Pasalnya, ketika suatu bank menghadapi masalah dan LPS memiliki akses maka ia akan memiliki waktu untuk menyiapkan langkah-langkah terbaik yang bisa diambil. Untuk meminimalkan dampak negatif yang muncul dari bank gagal, maka butuh waktu yang cukup untuk mengambil keputusan matang.“Lebih baik tahu gejala-gejala dengan lebih dini untuk bisa mengantisipasi,” katanya. Kesempatan waktu yang ada itu dapat digunakan untuk berkomunikasi, berdiskusi, memikirkan dampak baik-buruk, memeriksa transaksi-transaksi, mengambil keputusan dan melakukan sinkronisasi dengan berbagai regulasi terkait. Oleh sebab itu, relasi yang baik dengan sejumlah lembaga dalam konteks berbagi informasi adalah perlu sekali. Pada pengalaman di Amerika Serikat sekarang ini, menurut Sachtleben, dimungkinkan sebuah bank yang ditutup pada hari Jumat, lalu pada hari Senin pekan berikutnya sudah bisa buka dan beroperasi kembali. Dalam kasus tersebut perlu waktu efektif bagi lembaga penjamin untuk menghentikan transaksi, menyita
150
dan menaruh jaminan. Di sebagian besar kasus penutupan bank di Amerika, penyelesaiannya dalam bentuk penjualan portofolio simpanan bank yang ditutup kepada bank sehat lain sudah sering terjadi. Hal tersebut bisa terlaksana karena sudah mendapat sokongan pengelolaan data yang valid dan teknologi informasi yang baik. Pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kasus penutupan bank ada lah jangan sampai langkah itu merusak kepercayaan masyarakat pada industri perbankan. Saat ini, Sachtleben menilai LPS belum perlu untuk membuka cabang LPS di beberapa ibu kota provinsi. Pertimbangan pertama adalah demi efisiensi dan efektivitas kerja. Selain fungsi dan tugas rutin harian, LPS baru bekerja keras jika ada banyak bank yang ditutup. Selama masih bisa dikerjakan dan ditangani dari pusat, maka pembentukan kantor cabang LPS di daerah-daerah tidaklah mendesak. “Tugas LPS ini bisa diandaikan seperti jembatan yang meng hantarkan bank bermasalah untuk melewati berbagai risiko yang bisa merusak kepercayaan masyarakat dan industri perbankan ke tempat yang aman,” katanya. Terkait citra LPS di mata publik, memang hal yang relatif me nantang karena Indonesia merupakan negara besar dengan penduduk yang tersebar di berbagai pulau. “Untuk sekitar Jakarta dan kota besar tentu lebih paham fungsi dan peran LPS. Tapi baik juga kalau menyebarkan pengetahuan ke komunitas yang lebih luas,” katanya. Salah satu hal yang perlu dimengerti publik adalah soal produk dan jasa bank. Seperti cash back, nasabah perlu memahami apakah itu menjadi unsur penambah bunga bank atau tidak. Tentu bank harus aktif menginformasikannya dengan transparan. Mengenal dan tinggal di Jakarta bagi Sachtleben menyenangkan, apalagi telah menjadi bagian dari kelahiran LPS. Rata-rata lima bulan dalam setahun, waktu Sachtleben dihabiskan untuk LPS. “Karena rekan-rekan di LPS sudah seperti keluarga, maka setiap ke sini seperti balik ke rumah,” katanya dengan wajah berbinar. Istilah yang pas, ungkap Sachtleben, adalah coming home. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
151
152
ENDORSEMENTS
Idealnya Skim Penjaminan LPS Dipahami Nasabah
Salusra Satria
Direktur LPS, Penjaminan dan Manajemen Risiko
S
ulit rasanya memisahkan Salusra Satria dari Lembaga Pen jamin Simpanan (LPS). Satria adalah segelintir dari sebagian orang yang ikut membidani lahirnya LPS. Tahun 1999, Kelompok Kerja Pendirian (KKP) LPS dibentuk oleh menteri ke uangan. Ketua tim pengarah dijabat oleh Darmin Nasution. Lalu Ketua tim pelaksana dijabat oleh Firdaus Djaelani. Sedangkan posisi ketua tim kerja dipercayakan pada Satria. Setelah materi rancangan undang-undang jadi, ungkap Satria, 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
153
KKP LPS langsung mendiskusikannya ke mana-mana untuk mendapat masukan. “Baik itu dari para akademisi, pelaku industri perbankan, pemerintah, dan rekan-rekan di lembaga politik,” katanya. Dalam berbagai diskusi itu, kami pada intinya belajar dari pengalaman krisis ekonomi tahun 1998 yang berimbas pada krisis multidimensi. Ketika krisis moneter pecah, sebanyak 16 bank ditutup. Hal itu, tambah Satria, memicu gejala jatuhnya kepercayaan masyarakat dan goyahnya industri keuangan terutama perbankan. Berbagai negara mengambil langkah blanket guarantee atau penjaminan menyeluruh terhadap semua kewajiban pembayaran bank. Pada kondisi demikian, Indonesia pun mengambil kebijakan sama. Kebijakan darurat yang diambil dalam masa krisis itu, menurut Satria adalah pelajaran berharga yang tidak boleh diulang kembali. Pertama, penjaminan menyeluruh memberatkan anggaran negara dan menjadi kebijakan yang mahal. BPPN yang dibentuk waktu itu sifatnya hanya ad hoc, tidak dirancang sejak awal dan dipenuhi ketentuan yang serba mendadak. Kedua, penjaminan menyeluruh dapat menimbulkan moral hazard bagi pemilik bank dan pelaku industri perbankan. Hal tersebut bisa membuat para bankir bertindak dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian, tidak terpuji serta penuh risiko karena merasa telah ada penjaminan dana nasabah sepenuhnya oleh pemerintah. “Kebijakan yang mahal dan rentan akan moral hazard itu, harus diakhiri,” katanya. Kehadiran LPS, menurut Satria, tertuang dalam UU Bank Indonesia tahun 1999. Spiritnya adalah Indonesia perlu memiliki sebuah lembaga penjamin untuk menopang stabilitas sektor keuangan, khususnya industri perbankan. Kehadiran LPS yang UUnya disahkan pada 22 September 2004 semestinya sejak sebelum itu. Pasalnya, sejumlah negara sudah memilikinya sejak lama. Amerika Serikat pada tahun 1933 dan Filipina tahun 1963. Ide awal pembentukan LPS sebenarnya telah digagas dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 1973 tentang Jaminan Simpanan Uang pada Bank yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari Pasal 30 dan Pasal 55, UU No. 13 tahun
154
1968 tentang Bank Indonesia. Namun PP 34 Tahun 1973 tersebut tidak pernah secara efektif dilaksanakan. Ketiadaan lembaga yang secara khusus berfungsi menjamin simpanan bukan selalu berarti tidak ada sama sekali skim penjaminan di negara tersebut. Penjaminan simpanan dapat dipersepsikan telah diberikan secara implisit ketika kondisi perekonomian sedang baik, dan akan menjadi eksplisit ketika kondisi tertentu/krisis menghendaki demikian. Sebagai contoh pemberlakuan blanket guarantee di Indonesia dan beberapa ASEAN ketika krisis tahun 1998 dan pemberlakuan penjaminan penuh di Australia ketika terjadi krisis tahun 2008. Belajar dari krisis sebelumnya dan sebagai upaya menjaga stabilitas sistem keuangan, selain membutuhkan skim penjaminan simpanan dan Lembaga Penjaminan Simpanan. Idealnya kita juga harus membangun kerja sama, koordinasi, dan tukar menukar informasi yang intens di antara lembaga-lembaga yang memiliki tugas dan fungsi sebagai pengatur dan pengawas perbankan, otoritas moneter, penjamin simpanan, dan pengelola manajemen krisis. Namun dengan tidak adanya LPS, bukan berarti tidak ada sama sekali pola penjaminan. Di dunia ini, jika di suatu negara tidak ada kelembagaan seperti LPS maka secara implisit bisa berarti bahwa penjaminan penuh dilakukan oleh negara. Belajar dari dampak krisis ekonomi 1998, maka Indonesia membutuhkan skim penjaminan simpanan dan LPS. Idealnya industri perbankan pada sebuah negara harus memiliki lembaga yang memegang tugas dan fungsi sebagai pengatur, pengawas, penjamin dan pengelola manajemen krisis. Payung besar dari stabilitas sistem keuangan, tertuang dalam wujud jaring pengaman sistem keuangan (JPSK). Komponen JPSK terdiri dari: Pertama, fungsi Pengaturan dan pengawasan bank secara efektif sebagai representasi dari first line of defence yang sekarang diemban oleh Bank Indonesia. Kedua, fungsi lender of last resort pada Bank Sentral yang harus bekerja efektif ketika menyelesaikan kesulitan likuiditas. Berikutnya ketiga, fungsi skema penjaminan simpanan yang memadai oleh LPS sebagai salah satu elemen kunci dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Berdasarkan UU no. 24 tahun 2004, LPS 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
155
memiliki dua peran utama, yakni: 1. Menjamin simpanan nasabah dalam jumlah tertentu dan 2. Turut serta menjaga stabilitas keuangan, dengan menyelesaikan persoalan bank-bank gagal. Dalam hal ini LPS bisa menyelamatkan atau tidak menyelamatkan sebuah bank bermasalah. Keempat, fungsi memutuskan kebijakan penyelesaian dan pe nanganan terhadap krisis oleh sebuah otoritas yang berwenang dan dipimpin oleh otoritas fiskal. Dalam hal ini dipegang oleh Komite Koordinasi, untuk memastikan kri sis yang muncul bisa cepat diatasi dan tidak menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi. Dalam konteks JPSK di atas, menurut Satria, kehadiran LPS adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, dalam pembuatan UU dan termasuk struktur organisasinya mencari praktek terbaik (best practices) dari banyak negara. “Ibaratnya, KKP LPS harus mengadaptasi konsep-konsep serta praktik terbaik dari berbagai negara, kemudian menjabarkan adaptasi konsep itu di sini. Mana yang baik dan cocok untuk kita,” kata Satria, yang pernah melakukan studi persiapan ke FDIC ketika RUU LPS belum disahkan. Dalam praktek penjaminan dan resolusi bank yang ada di berbagai negara, ungkap Satria, hampir 90 persen memakai pola yang hampir sama. Dan pola terbaik itulah yang dielaborasi dan diadopsi oleh LPS sekarang. Sejak awal, LPS banyak belajar dari penanganan sejumlah bank perkreditan rakyat (BPR) yang ditutup. Sumber daya manusia yang dipakai dengan maksimalkan tenaga yang ada di LPS sebanyak 40-an. Armada LPS masih mengandalkan tenaga-tenaga yang diambilkan dari Kementerian Keuangan, BI, dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), namun semuanya ada di bawah bendera LPS. Saat ini, dalam hal menangani bank-bank dalam status pengawasan khusus, pihak BI dan LPS sudah bisa melakukan due diligence setelah enam bulan bank tersebut ternyata sulit atau tidak bisa lagi disembuhkan. Setelah hasil due diligence dan sejumlah data informasi diperoleh, kemudian akan ada Rapat Dewan Komisioner (RDK) LPS dengan agenda utama pengambilan keputusan, apakah bank tersebut perlu diselamatkan atau tidak.
156
Keputusan untuk melakukan penyelamatan atau tidak me lakukan penyelamatan suatu bank gagal ditetapkan oleh LPS dengan berbagai pertimbangan. Keputusan itu sekurang-kurangnya berdasarkan pada perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan bank gagal tersebut. Per hitungan atas perkiraan biaya-biaya tersebut dilakukan LPS. Menurut Satria, bagi LPS, data dan informasi akurat mengenai kondisi bank-bank yang tengah bermasalah adalah sebuah “harta” yang sangat bernilai. Kerja LPS memang sangat mengandalkan data awal, cepat, dan akurat mengenai kondisi bank-bank yang terhimpit masalah.“Dari informasi tersebut, LPS bisa menganalisis, mengantisipasi, dan mengambil keputusan secara tepat,” katanya. Begitu besarnya arti data dan informasi mengenai bank-bank, Satria menambahkan, maka perlu penyempurnaan pola, format atau wadah pertukaran data informasi antar lembaga yang me miliki akses ke bank-bank. Begitu pertukaran data informasi antar lembaga sudah ideal, selanjutnya perlu dicarikan sistem serta metode penanganan atas industri jasa perbankan secara terpadu. “Tujuan akhirnya adalah untuk meminimalkan risiko jika terjadi krisis dan penutupan atas bank gagal,” katanya. Satria menilai pada masa mendatang, LPS perlu lebih dikenal oleh masyarakat tidak hanya dalam soal peran saja, tetapi juga dalam tugas, dan fungsinya saja. Sebagai lembaga yang tugas utamanya menjamin simpanan nasabah bank dalam jumlah ter batas, LPS akan selalu ikut terlibat dalam sosialisasi pemahaman prinsip kehati-hatian baik kepada pihak bank maupun pengguna jasa perbankan. Sosialisasi dan edukasi tersebut menjadi penting karena masih banyak nasabah yang tidak tahu bahwa dirinya masuk kategori pihak yang diuntungkan secara tidak wajar dan/atau pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat. “Kami ingin pe ngalaman yang pernah ditemui di sejumlah BPR bahwa ternyata banyak nasabah sudah paham skim penjaminan dari LPS bisa merata ke semua nasabah dan pengguna produk jasa perbankan,” ungkap Satria. Kondisi tersebut nampaknya mendesak untuk segera diwujud 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
157
kan. Pasalnya, makin besar pemahaman nasabah atas penjamin an simpanan oleh LPS, akan makin mudah pula penanganan dan penyelesaian pembayaran simpanan nasabah yang dijamin terse but yang pada gilirannya akan meningkatkan kestabilan sistem keuangan.
158
DAFTAR PUSTAKA
Basel Committe of Banking Supervision, Core Principle for Effective Deposit Insurance Systems, International Association of Deposit Insurers, Juni 2009 David Hunger J. & Thomas L. Wheelen, Manajemen Strategis, Penerbit Andi, Yogyakarta, Agustus 2007 Hal Hill, The Indonesian Economy, Second Edition, Cambridge University Press, 2000 Lembaga Penjaminan Simpanan: UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan; PP No. 39 Tahun 2005 tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah; Perppu No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan; PP No. 66 tahun 2008 tentang Besaran Nilai Simpanan yang Dijamin Lembaga Penjamin Simpanan. Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi atas Kasus PT Bank Century Tbk, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. November 2009 Nevizond Chatab, Diagnostic Management, Serambi, Jakarta, November 2007 Kompas, 6 Februari 2004 http://www.fdic.gov/ http://www.iadi.org/ 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
159
DAFTAR ISTILAH APBN AYDA BI BC BDL BMPK BPKP BOPO BPR CAR CIU Depkeu DL DPK DPK DPR FASBI FDIC FPJP FSF FSN FSSK GWM IADI JPSK Keppres KAP KK KKE KPK KPMM KPU KSSK
160
: Anggaran Pendapatan Belanja Negara : Agunan Yang Diambil Alih : Bank Indonesia : Bank Century : Bank Dalam Likuidasi : Batas Maksimum Pemberian Kredit : Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan : Rasio Biaya Operasional dibandingkan Pendapatan Operasional : Bank Perkreditan Rakyat : Capital Adequacy Ratio : Cabut Izin Usaha : Departemen Keuangan : Dalam Likuidasi : Dana Pihak Ketiga : Dalam Pengawasan Khusus : Dewan Perwakilan Rakyat : Fasilitas Bank Indonesia : Federal Deposit Insurance Corporation : Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek : Financial Stability Forum : Financial Safety Net : Forum Stabilitas Sistem Keuangan : Giro Wajib Minimum : International Association of Deposit Insurers : Jaring Pengaman Sistem Keuangan : Keputusan Presiden : Kantor Akuntan Publik : Komite Koordinasi : Keputusan Kepala Eksekutif : Komisi Pemberantasan Korupsi : Kewajiban Penyediaan Modal Minimum : Komisi Pemilihan Umum : Komite Stabilitas Sistem Keuangan
KUHPerdata LC LCT LDR LPP LPS NIM NPL OJK PBI PD PDN Perppu PMS PP PPA PPAP PPATK PUAB ROA RDG RDK RDP RTGS RUPS RUU SBI Sisminbakum SKB SOP SUN TL UU WKBI
: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : Letter of Credit : Lower Cost Test : Liquidity Debt Ratio : Lembaga Pengawas Perbankan : Lembaga Penjamin Simpanan : Nett Interest Margin : Non-performing Loan : Otoritas Jasa Keuangan : Peraturan Bank Indonesia : Perusahaan Daerah : Posisi Devisa Neto : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang : Penyertaan Modal Sementara : Peraturan Pemerintah : Penyisihan Penghapusan Aset : Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif : Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan : Pasar Uang Antar Bank : Return on Assets : Rapat Dewan Gubernur : Rapat Dewan Komisioner : Rapat Dengar Pendapat : Real Time Gross Settlement : Rapat Umum Pemegang Saham : Rancangan Undang-Undang : Sertifikat Bank Indonesia : Sistem Administrasi Badan Hukum : Surat Keputusan Bersama : Standard Operating Procedure : Surat Utang Negara : Tim Likuidasi : Undang-Undang : Wilayah Kerja Bank Indonesia 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
161
162
Pandangan dan Komentar soal LPS
Untung Rugi Bailout Century Infobank, April 2010 Penulis: Bambang Susanto
B
ermula dari rontoknya beberapa perusahaan penyedia perumahan dan lembaga keuangan serta bank-bank di Amerika Serikat (AS) yang rata-rata memperoleh rating tinggi (investment grade) dari perusahaan peringkat internasional. Kemudian, bagaikan bola salju diikuti dengan rontoknya lembaga keuangan dan perbankan di kawasan Eropa. Hal tersebut disebabkan besarnya surat utang yang diterbitkan peru sahaan-perusahaan di AS dan dibeli atau dijadikan salah satu alternatif investasi oleh para investor, dalam hal ini negara melalui lembaga keuangan ataupun perbankan, baik di AS maupun di Asia, seperti Singapura dan Hongkong. Dengan kondisi tersebut –perusahaan lembaga keuangan dengan kelas dunia dengan rating tinggi (umumnya antara A dan AAA) saja bisa bangkrut –kepercayaan para investor pun bisa berkurang terhadap lem baga keuangan dan perusahaan-perusahaan yang sahamnya dicatatkan di bursa efek. Para investor kemudian mengalihkan investasinya ke sektor ko moditas, yaitu emas. Akibatnya, nilai surat utang (yang diterbitkan lembaga keuangan maupun perusahaan) dan saham (indeks harga saham) di AS, Eropa, Australia, dan Asia, tak ketinggalan di Indonesia, berguguran. Hal tersebut menjadikan likuiditas keuangan perbankan internasional sangat berkurang. Yang timbul kemudian, kepercayaan antar bank menjadi berkurang hingga sering terjadi penolakan penerbitan letter of credit (L/C) dari salah satu bank terhadap bank yang lain, padahal biasanya hal tersebut jarang terjadi. Memperhatikan dan mengamati kondisi keuangan yang kurang baik yang terjadi di dunia internasional tersebut dan pengalaman pahit pada 1998, para pelaku bisnis keuangan dan perbankan di Indonesia pun waswas dan selalu khawatir. Jangan-jangan peristiwa 1998 akan terjadi lagi. Bertepatan dengan adanya kondisi tersebut dan ada kabar bahwa salah satu bank mengalami kalah kliring, kondisi keuangan dan perbankan di Indonesia pun langsung memburuk. Hal itu tecermin dari, satu, tingkat kepercayaan antarbank yang sangat rendah. Bank yang kelebihan dana enggan meminjamkan dananya kepada bank yang kekurangan dan, walaupun suku bunga yang diminta sangat tinggi karena takut bank yang meminjam 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
163
tidak dapat mengembalikannya pada saat jatuh tempo, di samping tidak adanya jaminan dari pemerintah atas penempatan dana antar bank. Dua, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) terus menurun tajam karena para investor, khususnya investor asing, me ngalihkan investasinya ke sektor komoditas, dalam hal ini emas. Tiga, ketatnya likuiditas keuangan yang membuat tingkat suku bunga naik tajam. Hal ini tecermin dari naiknya yield atau Surat Utang Negara (SUN) untuk jangka menengah dan panjang dari sekitar 11% sampai dengan 14 % menjadi sekitar 18 % sampai dengan 20 % sehingga harga SUN merosot tajam dari 100% menjadi sekitar 65%. Empat, investor asing menarik kembali investasinya di Indonesia, baik dalam bentuk SUN maupun saham. Akibat aksi para investor asing tersebut, kebutuhan akan dolar AS meningkat tajam. Hal itu tecermin dari naiknya kurs dolar terhadap rupiah, yakni dari Rp 9.500 per US$ 1 menjadi Rp. 12.500 per US$1. Namun, pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia, dengan cepat meng ambil tindakan, yaitu menyelamatkan Bank Century yang diikuti dengan kebijakan lain. Kebijakan yang dimaksud, antara lain, satu, BI memberikan kemudahan kepada bank-bank untuk melakukan transaksi pembelian dolar AS langsung ke BI. Hal itu dilakukan untuk mengisi kekurangan dolar AS di pasaran dan memenuhi kebutuhan bank-bank akan mata uang negara adidaya tersebut atas permintaan nasabahnya. Dua, BI menyediakan fasilitas pinjaman jangka pendek kepada bank-bank yang memerlukan likuiditas. Tiga, untuk menghindari kerugian yang sangat besar, karena turunnya harga SUN yang dimiliki bank-bank, BI memberikan alternatif cara penilaiannya, yakni mark to market atau historical cost. Empat, BI selalu mengawasi bank-bank yang melakukan transaksi mata uang asing dengan rupiah, baik secara langsung maupun dengan bantuan perusahaan money broker, untuk mencegah terjadinya spekulasi yang berlebihan. Lima, BEI untuk sementara melarang adanya short sell serta membatasi penurunan nilai saham dalam satu hari transaksi dengan persentase tertentu. Hal itu untuk meredam terjadinya kemerosotan harga saham yang sangat tajam. Dengan penyelamatan Bank Century oleh pemerintah (BI), Indonesia pun menjadi salah satu di antara tiga negara di dunia (selain Cina dan India) yang perekonomiannya mengalami pertumbuhan (lebih kurang 4%) tatkala perekonomian negara-negara lain minus. Selain itu, meningkatnya peringkat utang Indonesia yang dilakukan lembaga peringkat utang internasional, sehingga dapat menurunkan biaya pinjaman di masa yang akan datang. Tidak hanya itu, tingkat inflasi selama 2009 merupakan yang terendah selama 10 tahun terakhir. Kredit yang disalurkan perbankan tumbuh sekitar 15 %. Suku bunga juga stabil dan menunjukkan tren menurun. Sementara
164
itu, nilai valuta asing (valas) terhadap rupiah relatif stabil, per US$1 setara dengan sekitar Rp 9.500,Secara tidak langsung, pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengambil alih pengoperasian Bank Century dengan total biaya penyelamatan Rp 6,7 triliun. Biaya penjaminan yang harus dibayar kepada nasabah yang mempunyai maksimum Rp2 miliar, yang tidak dibayarkan LPS (opportunity cost) Rp 4,7 triliun. Harga pembelian Bank Century sendiri Rp 2 triliun. Dengan memperhatikan ekuitas Bank Century saat ini yang sekitar Rp 700 milliar dan price to book value (PBU) untuk bank-bank yang sahamnya dicatatkan di BEI saat ini lebih kurang tiga kali, harga pasar/layak Bank Century saat ini adalah Rp 2,10 triliun. Berikut gambaran besarnya potensi kerugian yang akan timbul pada akhir 2008 –dalam hal ini penurunan nilai surat-surat berharga dan kenaikan nilai kurs rupiah terhadap mata uang asing yang akan diderita negara maupun pihak swasta di luar kerugian-kerugian lain –jika bailout Bank Century tidak dilakukan dengan asumsi, (1) semua badan usaha milik negara atau BUMN (bank, asuransi, dana pensiun, dan lainnya) di Indonesia mempunyai out standing SUN Rp 100 triliun, (2) perusahaan non-BUMN memegang SUN Rp 50 triliun, (3) semua BUMN di Indonesia mempunyai outstanding utang dalam valas sebesar US$ 20 miliar (semua utang mata using asing diasumsikan sebagai dolar AS), (4) perusahaan non-BUMN memegang utang dengan valas sebesar US$ 20 miliar (semua utang mata uang asing diasumsikan sebagai dolar AS), (5) pemerintah Indonesia mempunyai utang dalam valas lebih kurang Rp 60 miliar (semua utang mata using asing diasumsikan sebagai dolar AS), dan (6) pemerintah melalui LPS harus membayar/mengganti uang nasabah (deposito dengan simpanan maksimum Rp 2 miliar) sebesar Rp 4,7 triliun. Potensi kerugian yang akan timbul jika bailout tidak dilakukan, yaitu, satu, negara, (pemerintah plus BUMN) menderita kerugian sebesar Rp 296, 4 triliun. Dua, secara nasional (negara plus perusahaan non-BUMN) menderita kerugian sebesar Rp 372,2 triliun. Tiga, potensi penurunan pajak (PPh) sebesar Rp 46,875 triliun (lihat table) Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tindakan bailout Bank Century oleh pemerintah sangat tepat, di luar hal-hal yang mungkin terjadi (ada penyimpangan atau tidak dalam internal Bank Century sebelum atau sesudah dilakukan penyelamatan). Dengan sangat cepatnya pengambilan keputusan, yaitu mengatasi krisis Bank Century tersebut, memulihkan kondisi keuangan menjadi kembali normal pun tidak memerlukan waktu lama. Karena itu, masyarakat bukan pelaku bisnis keuangan tidak begitu merasa kan telah terjadi krisis. Bila dibiarkan, mungkin kondisinya akan lebih parah daripada yang terjadi pada 1998. Bagi pengamat, pelaku bisnis keuangan, dan perbankan, akhir 2008 memang benar-benar ada krisis keuangan. 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
165
Presiden Ingatkan Penyelesaian Century Republika, 6 April 2010 Penulis: Andri s/ikhwans Hal: 3 JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar sejumlah aksi pelanggaran hukum dituntaskan. Penuntasan pelanggaran itu jangan sampai terlupakan dengan adanya isu lain yang muncul. Dalam kasus Bank Century, presiden baru saja dilapori bahwa kerugian negara mencapai Rp 1,8 triliun. “Kejahatan lain yang merugikan, Bank Century, saya dilapori jumlahnya bisa mencapai Rp 1,8 triliun. Sejumlah aksi pelanggaran hukum, tolong dituntaskan. Jangan sampai satu isu muncul yang lain dilupakan,” kata Pre siden ketika membuka Rapat Kabinet Paripurna di kantor presiden, Senin (5/4). Presiden mengatakan, pihak yang menentukan setting dalam kasus Bank Century itu adalah penegak hukum. “Bukan kelompok interest yang menentukan setting sendiri,” kata Presiden. Presiden menuntut adanya sanksi tegas terhadap pihak yang merugikan negara. “Semua yang merugikan ne gara, dalam arti melawan hukum, harus diberikan sanksi yang tegas.” Sementara itu, terkait dengan penggunaan hak menyatakan pendapat, Fraksi Partai Golkar (PG) dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR belum tertarik mengusulkannya. Mereka masih hendak menunggu langkah penegak hukum. “PPP sampai saat ini belum tertarik pada Hak Menyatakan Pendapat,” kata Sekretaris Fraksi PPP, Romahurmuziy, di gedung DPR, Jakarta, Senin (5/4). Politikus yang biasa disapa Romi ini mengatakan, PPP lebih memilih untuk menunggu proses hukum atas tindak lanjut rekomendasi Paripurna Century. Romi mengakui, tindak lanjut aparat penegak hukum atas rekomendasi DPR berjalan lambat. Namun, tindak lanjut aparat penegak hukum tersebut layak ditunggu hasilnya. Romi khawatir pengambilan Hak Menyatakan Pendapat akan menimbul kan krisis politik yang luar biasa ketimbang Hak Angket. Alasannya, proses kerja Hak Menyatakan Pendapat akan memakan waktu sampai tujuh bulan. Merujuk pada kerja Pansus Angket Century yang sangat menyedot perhatian publik. Romi yakin, Hak Menyatakan Pendapat akan lebih menguras energi bangsa ini. Diwawancarai terpisah, anggota Fraksi Partai Golkar, Ade Komarudin, me nyatakan hingga saat ini Fraksi Partai Golkar belum memikirkan dan mem
166
pertimbangkan Hak Menyatakan Pendapat untuk kasus Bank Century. “Golkar belum memikirkan dan mempertimbangkan Hak Menyatakan Pendapat,” kata Ade.
Aspek Hukum Penyelamatan Century Investor Daily, Selasa 1 Desember 2009 Penulis : Erman Rajagukguk Penyelamatan Bank Century diberikana berpotensi merugikan keuangan negara, dalam hal ini Lembaga Penjamin Simpanan, sampai sekitar Rp 5 triliun. Berita tersebut sangat menggellitik dan memunculkan Bank Century tersebut Bank Century tersebut berasal dati keuangan negara? Pertanyaan menggelitik lainnya adalah apabila LPS menjual kembali sahamnya di Bank century paling lambat 21 November 2011 dan hasil pen jualan tersebut mencapai angka Rp 6,7 triliun, apakah negara akhirnya menderita kerugian? Lalu, apakah kebijakan menyelamatkan Bank Century tersebut tidak tepat karena skandal Bank Century tidak berdampak siste matik? Mari kita kaji satu persatu pertanyaan di atas. Pertama, dana penyelamat an Bank Century bukanlah keuangan negara, karena dana sejumlah Rp 6,7 triliun adalah uang LPS. LPS adalah sebuah badan hukum yang mempunyai kepada eksekuti f, para direktur, dan dewan komisioner. Sebagai badan hukum LPS mempunyai kekayaan sendiri, terlepas dari kekayaan negara. Inilah karakteristik suatu badan hukum , sebagaimana perseroan terbatas, koperasi, dan yayasan. Berdasarkan pasal 81 ayat (2) UU no 24 tahun 2004 tentang LPS, kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan. Menurut teori badan hukum , modal awal LPS yang ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 4 triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 triliun (pasal 81 ayat 1 ) tersebut bukan kekayaan negara lagi , tapi telah menjadi kekayaan badan hukum LPS. Pasal 82 ayat (3) menentukan LPS tidak dapat menempatkan investasi pada bank atau perusahaan lainya, kecuali dalam bentuk penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan atau penanganan bank gagal. Selanjutnya, Pasal 83 ayat (1) menyatakan surplus yang diperoleh LPS dari kegiatan operasional selama 1 (satu) tahun dialokasikan : (a) 20% untuk cadangan tujuan , (b) 80 % diakumulasikan sebagai cadangan tujuan pen jaminan. Dalam hal akumulasi cadangan penjaminan mencapai tingkat 2,5 % dati toatal simpanan pada seluruh bank, bagian surplus sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf b merupakan penerimaan negara bukan pajak (ayat 2). 5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
167
Saya memperkirakan dana penyelamatan Bank Century adalah dana LPS yang diperoleh dari premi penjaminan simpanan nasabah pada bankbank yang ikut program tersebut bukan uang negara yang dikucurkan oleh pemerintah.
Saham dan krisis sitemik Kedua, belum tentu LPS harus melepaskan sahamnya di Bank Century pada 21 November 2011. Berdasarkan pasal 42 ayat (1) UU No 24 tahun 2004. LPS wajib menjual saham bank dalam penanganan paling lama tiga(3) tahun sejak dimulainya penanganan bank gagal sebagaimana dimaksud dalam pasal 39. Ayat (3) pasal ini mengatakan tingkat pengembalian yang optimal se bgaiamna dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikelurkan oleh LPS. Ayat (4) kemudian menyatakan dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu paling lama tidak tahun. Selanjutnya, ayat (5) mengatakan dalam hal tingkat pengembalian yang optimal tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan, LPS menjual saham bank tanpa memperhatikan ketentuan ayat (3) dalam jangka waktu satu tahun berikutnya. Dengan demikian, bisa saja LPS melepas sahamnya di Bank Century pada tahun ke enam atau pada 2014. Seandainya hasil penjualan saham tersebut tidak sampai Rp 6,7 triliun tidak berarti negara yang dirugikan. LPS belum tentu merugi, karena pendapatannya dari premi penjaminan simpanan tetap ada. Walaupun merugi dalam transaksi saham tersebut, LPS secara keseluruhan kemungkinan tetap mempunyai surplus. Andaikata LPS pun mengalami kerugian, hal itu tidak berarti kerugian negara. Ketiga, skandal Bank Century telah mengejutkan masyarakat pada saat itu. Ada rumor bahwa beberapa bank juga dalam keaadaan krisis. Ada rumor pula. Para deposan besar telah memindahkan uangnya ke bank-bank asing yang lebih dipercaya. Jika semua deposan menarik uanganya dari bank. Tidak satu pun bank yang dapat bertahan karena modal sendiri bank-bank tersebut relatif kecil dibandingkan uang nasabah yang dikelolanya. Sebaliknya , pada waktu itu telah ada kekhawatiran sementara deposan besar bahwa bank-bank lain akan mengikuti kegagalan bank century dan berpikir untuk menarik dananya dari bank-bank tersebut. Jika ini terjadi ekonomi Indonesia akan hancur pada saat itu. Syukurlah hal ini tidak terjadi karena LPS langsung menangani Bank Century. Pemerintah tentunya nya pada waktu itu tidak ingin mengambil resiko krisis Bank Century berdasarkan dampak sistemik.
168
Norma kebutuhan bisnis Undang-undang No. 24 Tahun 2004 tentang LPS tidak menyebutkan bahwa LPS dalam menangani bank gagal harus mendapatkan persetujuan DPR. Pasal 89 ayat (1) hanya menyatakan, LPS wajb menyampaikan laporan tahunan yang berakhir pada tanggal 31 Desember kepada presiden dan DPR paling lambat pada 30 April tahun berikutnya. Bila kebijakan LPS harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu, bisa-bisa jika DPR tidak setuju LPS pun tidak berjalan dan krisis perbankan bisa semakin memuncak. Bandingkan dengan AS yang kini punya 416 bank bermasalah. Cadangan dana Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) merosot. Syukurlah ini tidak terjadi di Indonesia. DPR melanggar hukum atau tidak, sedangkan penilaian tentang suatu krisis bisa berdampak sistemik atau tidak itu tetap ada pada LPS atau Bank Indonesia. Ini adalah norma keputusan bisnis.
5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
169
170