Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan Triwulan I 2014 Ringkasan Pada edisi ini kami melakukan konstruksi indeks kerentanan ekonomi (economic vulnerability index) dan indeks ketahanan ekonomi (economic resilience index) untuk mengetahui tingkat kerentanan dan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap potensi guncangan dari luar. Dua indeks ini menunjukkan bahwa selama 1995–2013, kecuali pada 1998, ekonomi Indonesia memiliki kerentanan dan ketahanan yang di bawah rata-rata. Secara umum, perkembangan dua indeks ini menunjukkan adanya perbaikan. Kami melakukan analisa pergerakan bersama pasar keuangan (nilai tukar, indeks saham dan yield obligasi) pada pasar domestik, untuk melihat pengaruh return pasar keuangan negara berkembang, negara asia, dan negara maju terhadap pergerakan return pasar keuangan Indonesia pada saat fase stabil dan turbulensi. Selama Januari 2011-Februari 2014, pada fase turbulensi, pergerakan return IHSG berbanding lurus dengan pergerakan return ekuitas tiga kelompok negara tersebut. Sedangkan pergerakan return USD/IDR dan yield, berbanding terbalik dengan pergerakan return nilai tukar dan yield negara maju. Tahun 2014, perbankan nasional masih dihadapkan dengan risiko likuiditas yang dapat terjadi bila persaingan suku bunga terlalu ketat sehingga menimbulkan kenaikan suku bunga yang terlalu tinggi. Hal ini pada akhirnya akan berdampak pada profitabilitas perbankan. Namun, perbankan belum memberi respon berlebihan terkait posisi likuiditas yang mengetat saat ini kedalam perilaku bisnisnya. Target pertumbuhan kredit di kisaran 15-17% oleh BI dinilai sudah tepat dan sesuai untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Risiko perekonomian dan sistem keuangan secara kualitatif beralih ke status normal pada kuartal IV 2013. Aspek Pasar Keuangan dan Neraca Pembayaran mengalami perbaikan yang signifikan dari kondisi di kuartal III 2013. Akan tetapi, Aktivitas Bisnis Domestik dan Sistem Perbankan masih menjadi aspek yang perlu dicermati. Kami menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari 5,3% menjadi 5,5%. Meski demikian, kami mempertahankan perkiraan inflasi di 4,8% dan BI rate di 7,5%. Menurut estimasi terbaru kami, kredit dan dana pihak ketiga akan tumbuh 18,4% dan 14,3% pada 2014. Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index, BSI) pada bulan Februari 2014 mengalami penurunan sebesar 43 bps dari Januari 2014 sebesar 101,11 menjadi 100,68 pada Februari 2014. Sesuai kategori skala observasi Crisis Management Protocol (CMP), BSI kembali berada pada kategori “Normal”.
Analisis Kerentanan dan Ketahanan Ekonomi Indonesia
Analisis Kerentanan dan Ketahanan Ekonomi Indonesia
Tahun 2013 kembali menunjukkan bahwa persepsi investor terhadap kondisi fundamental ekonomi suatu negara sangat berpengaruh terhadap perkembangan arus modal asing di negara itu. Pada tahun lalu, negara-negara berkembang yang memiliki defisit neraca berjalan relatif besar “dihukum” oleh investor di tengah ekspektasi pengurangan stimulus moneter (tapering) oleh Federal Reserve. Modal asing jangka pendek banyak keluar dari negara-negara ini, sehingga berimbas pada depresiasi nilai tukar. Persepsi investor tersebut didasari oleh pemikiran bahwa kondisi moneter global yang lebih ketat bakal menyulitkan negara-negara ini untuk mencari dana eksternal untuk membiayai defisit neraca berjalan mereka. Pemikiran ini tidak salah. Meski begitu, tentu masih ada banyak faktor fundamental domestik lain yang pantas dipertimbangkan dalam menilai kekuatan suatu perekonomian dalam menghadapi potensi gangguan dari luar. Tulisan ini ditujukan untuk mengupas aspek kerentanan dan ketahanan ekonomi Indonesia yang secara umum mencerminkan kemampuan perekonomian dalam menghadapi potensi kejutan yang bersifat eksternal. Analisis difokuskan pada pembentukan indeks yang mencerminkan kerentanan dan ketahanan ekonomi Indonesia. Kerentanan ekonomi (economic vulnerability) didefiniskan sebagai eksposur suatu perekonomian terhadap guncangan yang bersifat eksogen, yang muncul dari karakter inheren perekonomian itu. Sedangkan, ketahanan ekonomi (economic resilience) adalah kemampuan suatu perekonomian, yang didukung oleh kebijakan, untuk menahan atau pulih dari dampak suatu guncangan yang kuat. Definisi ini diberikan oleh Briguglio et all dalam makalahnya, yakni “Economic Vulnerability and Resilience Concepts and Measurements”, yang dimuat di WIDER Research Paper pada Mei 2008. Pembedaan dua aspek ini penting karena suatu perekonomian bisa memiliki kerentanan yang tinggi, namun kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya membuatnya memiliki ketahanan yang baik dalam menghadapi potensi guncangan dari luar. Sebaliknya, kebijakan yang salah bisa membuat suatu perekonomian memiliki ketahanan yang buruk dalam menghadapi guncangan eksternal, meski secara inheren perekonomian itu sebenarnya tidak rentan. Perbedaan dua aspek ini membuat pemetaan tingkat kerentanan dan ketahanan suatu perekonomian menjadi penting, karena hal ini bisa menunjukkan risiko yang dihadapi jika terjadi guncangan dari luar. Tingkat kerentanan dan ketahanan ekonomi diukur dengan indeks berbeda yang mencakup aspek-aspek yang menjadi penjelasnya. Penyusunan indeks kerentanan ekonomi (economic vulnerability index atau EVI) telah menjadi objek penelitian yang cukup intensif. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, melalui salah satu unitnya, the Committee for Development Policy (CDP), mengembangkan EVI sebagai salah satu kriteria untuk mengidentifikasi negaranegara berkembang yang terbelakang (least developing countries). Konstruksi EVI, beserta dengan indeks ketahanan ekonomi (economic resilience index atau ERI), pada tulisan ini menggunakan hasil studi Briguglio et al (2008).
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
1
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
2
Pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter Kebijakan luar negeri yang ditempuh institusi publik dan swasta
Economic misery index
Utang luar negeri
Efisiensi alokasi sumber daya di pasar tenaga kerja Efisiensi alokasi sumber daya di dunia usaha
Regulasi di pasar tenaga kerja
Regulasi bisnis
Kerentanan akibat pelanggaran kekayaan intelektual Kerentanan akibat campur tangan militer dalam proses hukum Kerentanan akibat sistem pengadilan yang tidak berintegritas
Proteksi atas kekayaan intelektual
Intervensi militer dalam hukum
Integritas sistem pengadilan Kualitas sumber daya manusia
Kerentanan akibat pengadilan yang memihak
Ketidakberpihakan pengadilan
Perkembangan sosial
Kerentanan akibat hukum yang tidak independen
Independensi hukum
Tata kelola pemerintahan
Efisiensi alokasi sumber daya di pasar kredit
Regulasi di pasar kredit
Efisiensi pasar di sektor mikro:
Respons kebijakan fiskal untuk menghadapi/mengantisipasi guncangan
Surplus/defisit fiskal
Stabilitas makroekonomi:
Tabel 1. Deskripsi komponen-komponen yang menyusun EVI dan ERI
ERI
Kerentanan terhadap perubahan kondisi alam
Ketidakstabilan produksi pertanian
Ketergantungan terhadap modal asing Kerentanan terhadap risiko penarikan modal asing
Keberagaman aktivitas ekonomi
Populasi
Fraser Institute
Fraser Institute
Sub-indeks integritas sistem pengadilan dari Economic Freedom of the World Index
UNDP
Fraser Institute
Sub-indeks intervensi militer dalam hukum dari Economic Freedom of the World Index
Human Development Index (HDI)
Fraser Institute
Sub-indeks proteksi atas kekayaan intelektual dari Economic Freedom of the World Index
Sub-indeks ketidakberpihakan pengadilan dari Economic Freedom of the World Fraser Institute Index
Sub-indeks independensi hukum dari Economic Freedom of the World Index
Fraser Institute
Fraser Institute
Sub-indeks regulasi di pasar tenaga kerja dari Economic Freedom of the World Index Sub-indeks regulasi bisnis dari Economic Freedom of the World Index
Fraser Institute
CEIC, IMF, bank sentral
CEIC, IMF
IMF
IMF, bank sentral
Bank Dunia, CEIC
CEIC, IMF
Sub-indeks regulasi di pasar kredit dari Economic Freedom of the World Index
Rasio utang luar negeri terhadap PDB
Penjumlahan inflasi dan tingkat pengangguran
Rasio surplus/defisit anggaran pemerintahan umum terhadap PDB nominal
Rasio surplus/defisit neraca berjalan terhadap PDB nominal
Standar deviasi dari pertumbuhan output pertanian pada 10 tahun terakhir
Jumlah penduduk
Bank Dunia, CEIC, Intracen, WTO
Porsi impor produk pertanian atau produk tambang dan bahan bakar (dipilih yang tertinggi) terhadap PDB nominal
Ketergantungan terhadap impor barang tertentu
Ketergantungan terhadap impor
UNCTAD
Ketergantungan terhadap ekspor barang tertentu
Konsentrasi ekspor
CEIC, IMF
Sumber Data
Indeks konsentrasi ekspor
Rata-rata porsi ekspor dan impor barang dan jasa terhadap PDB nominal
Eksposur terhadap guncangan eksternal melalui jalur perdagangan lintas negara
Keterbukaan ekonomi
EVI
Proksi
Aspek Yang Dijelaskan
Komponen
Indeks
Untuk mengukur tingkat kerentanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi guncangan eksternal, kami menyusun EVI yang mencakup komponen-komponen: 1) keterbukaan ekonomi; 2) konsentrasi ekspor; 3) ketergantungan terhadap impor; 4) besar populasi; 5) ketidakstabilan produksi pertanian; dan 6) ketergantungan terhadap modal asing. Sementara, ERI kami hitung dengan mencakup empat komponen, yaitu: 1) stabilitas makroekonomi; 2) efisiensi pasar di sektor mikro (microeconomic market efficiency); 3) tata kelola pemerintahan; dan 4) perkembangan sosial. Penjelasan komponen-komponen ini, berikut proksi dan sumber datanya dijabarkan pada Tabel 1. EVI dan ERI sebenarnya adalah indeks relatif yang membandingkan indikator Indonesia dengan negara lain. Ada 10 negara yang kami cakup dalam analisis ini, yaitu Afrika Selatan, Brazil, China, Filipina, India, Indonesia, Malaysia, Rusia, Thailand, dan Turki. Data dari tiap negara pada suatu tahun tertentu dinormalisasi dengan persamaan berikut:
yang mana adalah nilai komponen j hasil normalisasi untuk negara i dan adalah nilai aktual komponen j untuk negara i. Sedangkan, dan adalah nilai maksimal dan nilai minimal komponen j dari 10 negara pada satu tahun yang sama. Dengan normalisasi ini, nilai yang dihasilkan akan berkisar dari 0 (paling tidak rentan untuk EVI dan paling lemah untuk ERI) hingga 100 (paling rentan untuk EVI dan paling kuat untuk ERI). Normalisasi di atas dilakukan untuk indikator-indikator yang jika semakin besar menunjukkan bahwa perekonomian menjadi makin rentan (EVI) atau makin kuat (ERI). Untuk indikator-indikator yang menunjukkan kondisi berkebalikan (misalnya utang luar negeri), diberlakukan normalisasi dengan formula berikut:
Data tertentu tidak tersedia untuk periode tertentu, sehingga kami harus melakukan interpolasi. Setelah melakukan normalisasi untuk tiap komponen, dihasilkan EVI dan ERI yang adalah hasil rata-rata sederhana dari komponen-komponen yang menyusunnya. Dengan begitu, bobot tiap komponen diasumsikan sama. Indeks kerentanan ekonomi (EVI) dan indeks ketahanan ekonomi (ERI) lalu dapat dipetakan ke dalam grafik cartesius. Dalam tulisan ini, sumbu X (horisontal) dan sumbu Y (vertikal) tidak berada di titik nol, melainkan di posisi rata-rata EVI dan ERI untuk seluruh periode observasi (1995–2013) dan semua negara. Dengan demikian, akan terbentuk empat kuadran yang masingmasing dibatasi oleh sumbu X dan Y. Kuadran I di kiri atas menunjukkan kondisi worst case karena perekonomian memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dan ketahanan yang rendah. Kuadran II di kanan atas disebut oleh Briguglio et al (2008) sebagai self made, artinya perekonomian memiliki kerentanan yang tinggi, namun dengan ketahanan yang juga tinggi. Kuadran III di kiri bawah disebut sebagai prodigal son. Perekonomian yang ada di kuadran ini memiliki kerentanan yang rendah, tapi juga ketahanan yang rendah. Terakhir, kuadran IV di LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
3
kanan bawah disebut best case karena posisi kerentanan yang rendah dan ketahanan yang tinggi. Pembagian kuadran ini juga menunjukkan kondisi perubahan koordinat posisi EVI/ERI yang diinginkan (desirable), yakni menuju ke kiri atas. Sebaliknya, pergerakan ke kanan bawah tidak diinginkan (undesirable). Pemetaan EVI dan ERI Indonesia selama 1995 hingga 2013 ditampilkan pada Gambar 1. Terlihat bahwa sepanjang periode observasi, kecuali pada 1998, ekonomi Indonesia berada pada kuadran prodigal son, atau memiliki kerentanan yang rendah, tapi dengan ketahanan yang juga rendah. Ada beberapa perubahan koordinat yang desirable, yakni pada 1999, 2002, 2006, dan 2009. Sebaliknya, pergerakan yang undesirable terjadi pada 1998, 2000, 2004–2005, dan 2012.
0
10
20
30
40
50
60 50
1998 ERI
1996
2005
40
2009
2001 2002
1995 2013 2007
30
20
10 EVI
0
Sumber: LPS Gambar 1. Pemetaan EVI dan ERI Indonesia, 1995–2013
Jika dilihat terpisah, pergerakan EVI dan ERI Indonesia sebenarnya menunjukkan perkembangan yang positif. EVI cenderung turun dari titik puncaknya pada 1998, menggambarkan penurunan kerentanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi potensi guncangan dari luar. Di saat yang sama, ERI juga cenderung naik. Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang ditempuh otoritas fiskal dan moneter telah memperbaiki daya tahan ekonomi Indonesia dalam menghadapi guncangan. Jika dilihat komponen-komponen yang menyusun EVI, kekuatan utama Indonesia adalah pada produksi sektor pertaniannya yang cenderung lebih stabil dan kondisi ekonominya yang relatif tidak terbuka jika dibandingkan dengan sembilan negara lain. Sementara itu, penurunan ERI Indonesia ditunjang oleh perbaikan yang gradual di sisi tata kelola pemerintahan, relatif terhadap kondisi di negara lain. Akan tetapi, kualitas sumber daya manusia secara konsisten menjadi faktor yang membatasi perbaikan daya tahan ekonomi Indonesia. Secara historis, EVI dan ERI Indonesia juga menunjukkan tingkat kerentanan yang tinggi dan tingkat ketahanan yang rendah pada tahun menjelang krisis 1997/1998. Ini menjelaskan posisi Indonesia sebagai negara yang paling terdampak oleh krisis di Asia pada saat itu, yang diawali oleh kejadian eksternal berupa pelepasan pematokan (unpegging) baht terhadap dolar AS. Pada waktu yang sama, Thailand dan Malaysia memiliki kerentanan yang lebih buruk, tapi ekonominya memiliki daya tahan yang jauh lebih baik dibandingkan Indonesia. ERI tampaknya juga mampu menunjukkan seberapa lama suatu perekonomian akan keluar dari kondisi krisis. Identik dengan kasus Indonesia, Rusia juga memiliki ERI yang relatif rendah pada paruh kedua LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
4
dekade 1990-an. Bukan kebetulan jika negara ini terjebak dalam resesi pada 1995, 1996, dan 1998. Di sisi lain, faktor kerentanan menjadi lebih penting dibandingkan ketahanan saat ekonomi dunia dilanda krisis pada 2008/2009. Afrika Selatan, Malaysia, Rusia, Thailand, dan Turki –yang memiliki EVI di atas rata-rata pada 2007– tercatat mengalami resesi ekonomi pada 2009.
1996 100
2007
ERI
100
80
China 40
Rusia
Rusia
India 40
Thailand
Thailand
Afrika Selatan 20
Malaysia
Malaysia EVI
0 20
40
60
80
EVI
0
100
0
20
40
2012 100
Filipina
China
Filipina
India
Afrika Selatan
0
Turki
Brazil 60
Turki
Brazil
20
Indonesia
80
Indonesia
60
ERI
60
80
100
2013 ERI
100
ERI
80
80 Indonesia
Indonesia Rusia Brazil
60
Turki Thailand
Filipina 40
China
India
Rusia Turki
Brazil
60
Filipina 40
Afrika Selatan
20
China
Thailand India
Afrika Selatan
20
Malaysia
Malaysia EVI
0 0
20
40
60
80
100
EVI
0 0
20
40
60
80
100
Sumber: LPS Gambar 2. Pemetaan EVI dan ERI 10 Negara Berkembang pada 1996, 2007, 2012, dan 2013
Sementara itu, Gambar 2 menjelaskan bahwa EVI dan ERI tidak mampu menjelaskan perilaku investor global yang banyak menarik dananya dari kelompok negara-negara the Fragile Five. The Fragile Five adalah nama yang disematkan pada lima negara yang dianggap rentan ketika terjadi turbulensi di pasar finansial global pada 2013. Lima negara itu adalah Afrika Selatan, Brazil, India, Indonesia, dan Turki. Setahun menjelang turbulensi (pada 2012), Brazil dan Indonesia memang masih memiliki tingkat daya tahan ekonomi yang relatif buruk dibanding, misalnya, Malaysia dan Thailand. Akan tetapi, Brazil dan Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang jauh lebih rendah. Di sisi lain, Afrika Selatan dan India juga memiliki daya tahan ekonomi yang lebih baik dibandingkan Filipina, Rusia, dan Thailand. Untuk kasus Turki, persepsi investor global bisa dimaklumi, mengingat posisi EVI dan ERI-nya yang relatif tinggi. (SW, TS)
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
5
Analisa Co-movement Pasar Keuangan
Analisa Pergerakan Bersama Pasar Keuangan (Nilai Tukar, Indeks Saham, dan Yield Obligasi)
Pergerakan pasar keuangan di negara berkembang, negara di kawasan Asia dan negara maju selalu menjadi topik menarik dalam berbagai studi empiris. Yang menjadi perhatian tentu saja tidak hanya karakteristik risiko dan return yang dimiliki oleh masing-masing kawasan. Bivariate linkage, baik antar negara maupun antar kawasan, telah menjadi konsentrasi yang terus digali secara komprehensif, yang mana hal tersebut akan mempengaruhi risk appetite investor dalam melakukan manajemen portofolionya. Sebagai contoh sederhana, korelasi yang kecil di antara rupiah dan poundsterling dapat memberikan referensi bagi investor untuk melakukan diversifikasi investasi di pasar uang global. Ketika poundsterling terdepresiasi, investor dapat menjadikan rupiah sebagai alternatif investasi di pasar valuta asing (valas). Sebaliknya, korelasi positif yang kuat antara rupiah dan baht dapat mendeteksi adanya dynamic co-movement yang sama, sehingga ketika baht terguncang, rupiah akan memiliki probabilitas yang lebih besar untuk mengalami hal serupa. Pada edisi ini, kami akan mengkaji linkage co-movement dari nilai tukar, saham, dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah antara Indonesia dengan negara berkembang utama lain (India, Brazil, Turki, Thailand, Filipina, Afrika Selatan, dan Malaysia), negara di kawasan Asia (Jepang, China, India, Korea, Singapura, dan Taiwan), dan negara maju (Amerika Serikat atau AS, Inggris, dan Jepang). Metode yang kami implementasikan dalam melakukan analisa tersebut adalah pemodelan Markov Switching. Pemodelan ini memungkinkan kami untuk melakukan analisa pergerakan USD/IDR, indeks harga saham gabungan (IHSG), dan imbal hasil obligasi pemerintah bersamaan dengan pergerakan nilai tukar, saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah dari tiga kelompok negara, yaitu negara berkembang, negara di kawasan Asia, dan negara maju. Data yang digunakan dalam pemodelan ini merupakan data harian nilai tukar, indeks harga saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun dari tiga kelompok negara. Periode observasinya dimulai dari 5 Januari 2011 sampai dengan 28 Februari 2014 (777 observasi, lihat Tabel 2). Pada tahap pertama, kami melakukan normalisasi terhadap data mentah. Setelah itu, kami menyusun indeks nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah untuk masing-masing tiga kelompok negara. Indeks ini adalah rata-rata terbobot dari nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah tiap negara yang sudah dinormalisasi. Bobot yang kami gunakan adalah rasio produk domestik bruto (PDB) nominal tiap negara terhadap total PDB pada masing-masing kelompok negara.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
6
Sumber: LPS Tabel 2. Daftar Variabel yang Digunakan
Untuk mengantisipasi masalah non-linearitas pada data, kami melakukan transformasi pada data indeks dengan logaritma natural terlebih dahulu, sebelum menggunakan data tersebut dalam pemodelan Markov Switching. Data yang kami pakai dalam pemodelan kali ini adalah data dalam bentuk tingkat pertumbuhan (growth rate). Dalam bentuk persamaan matematis, model Markov Switching yang kami implementasikan pada edisi ini adalah sebagai berikut:
S 1 xt t 2 yt t , t NID (0, St ) S t 2 xt t
(1)
yang mana yt adalah indeks USD/IDR, IHSG, dan imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun. Sedangkan, xt adalah variabel eksogen yang dapat disusun sebagai indeks growth
rate nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah untuk negara berkembang, negara di kawasan Asia, dan negara maju. State menunjukkan kondisi indeks USD/IDR, IHSG, dan imbal hasil obligasi pemerintah pada saat kondisi stabil. Sementara, menunjukkan kondisi indeks USD/IDR, IHSG, dan imbal hasil obligasi pemerintah pada saat turbulensi. Sebelum melakukan analisa Markov Switching, terlebih dahulu kami melihat koefisien korelasi di antara dua variabel (misalnya, indeks USD/IDR dengan indeks nilai tukar negara berkembang). Tabel 3, 4, dan 5 masing-masing menggambarkan nilai koefisien korelasi antar nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah untuk semua negara. LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
7
Sumber: Bloomberg, LPS Tabel 3. Matriks Koefisien Korelasi antar Nilai Tukar
Sumber: Bloomberg, LPS Tabel 4. Matriks Koefisien Korelasi antar Indeks Harga Saham
Sumber: Bloomberg, LPS Tabel 5. Matriks Koefisien Korelasi antar Imbal Hasil Obligasi Pemerintah Bertenor 10 Tahun
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
8
Koefisien korelasi antar nilai tukar (Tabel 3) menunjukkan bahwa rupiah memiliki korelasi yang negatif dengan euro, yen, dan poundsterling. Artinya, ketika rupiah terdepresiasi, investor dapat mempertimbangkan tiga mata uang tersebut sebagai safe haven dalam rangka diversifikasi investasi di pasar valas. Untuk nilai saham, IHSG memiliki korelasi positif dengan indeks harga saham dari semua negara yang kami pantau. Hal tersebut mengindikasikan adanya pergerakan bersama antar harga saham di semua negara yang kami teliti. Dengan demikian, ketika IHSG mengalami fase bearish, indeks harga saham lain terindikasi berada di fase serupa. Ini terjadi mengingat karakteristik pergerakan harga saham yang rentan terhadap perkembangan isu-isu global yang bersifat short-term. Sedangkan, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia memiliki korelasi negatif dengan imbal hasil obligasi pemerintah AS dan Jepang. Artinya, ketika terdapat tekanan di pasar surat berharga negara (SBN) domestik, yang ditandai dengan kenaikan imbal hasil SBN yang cukup signifikan akibat faktor fundamental domestik atau eksternal, maka investor global dapat melakukan diversifikasi portofolio dengan membeli obligasi pemerintah AS atau Jepang. Nilai
Negara Berkembang
Negara Asia
Negara Maju
Koefisien Beta P-Value Std. Dev.
Koefisien Beta P-Value Std. Dev.
Tukar
Koefisien Beta
P-Value
Std. Dev.
State 1
0.000041
0.000
3.41E-15
0.000023
State 2
0.000078
0.020
1.40E-13
0.000007
Harga
Negara Berkembang
0.000
1.53E-14
-0.000004
0.000
6.50E-15
0.720
3.34E-13
-0.000001
0.480
2.24E-13
Negara Asia
Negara Maju
Koefisien Beta P-Value Std. Dev.
Koefisien Beta P-Value Std. Dev.
Saham
Koefisien Beta
P-Value
Std. Dev.
State 1
0.491
0.000
0.105
-0.004
0.760
0.014
1.294
0.000
0.148
State 2
0.791
0.000
0.247
0.153
0.250
0.133
2.299
0.000
0.383
Yield Obligasi State 1 State 2
Negara Berkembang Koefisien Beta P-Value Std. Dev. 0.006 0.660 0.013 0.077
0.020
0.032
Negara Asia Koefisien Beta P-Value Std. Dev. 0.004 0.650 0.008 0.037
0.280
0.034
Negara Maju Koefisien Beta P-Value Std. Dev. -0.016 0.080 0.009 -0.012
0.780
0.045
Sumber: Bloomberg, LPS Tabel 6. Hasil Estimasi Koefisien Persamaan Markov Switching
Hasil estimasi Markov Switching menunjukkan bahwa koefisien St (parameter Markov Switching) pada Tabel 6 secara umum berpengaruh signifikan pada tingkat kepercayaan 95% (α = 5%) untuk nilai tukar, harga saham, dan imbal hasil obligasi pemerintah negara berkembang. Nilai standar deviasi untuk dua state tersebut bernilai relatif kecil, terutama pada model nilai tukar tiga kelompok negara. Ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan pemodelan Markov Swithing pada periode observasi yang kami pantau, volatilitas yang terjadi di pasar valas lebih kecil dibandingkan volatilitas yang terjadi di pasar SBN, dan volatilitas di pasar SBN lebih kecil dibandingkan volatilitas di pasar saham. Secara lebih terperinci, hasil estimasi Markov Switching pada Tabel 6 dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1. Selama fase stabil, ketika return indeks nilai tukar negara berkembang naik sebesar 1% maka rata-rata return USD/IDR harian naik sebesar 0,0041%. Pada fase turbulensi, ratarata return harian USD/IDR naik sebesar 0,0078% jika return indeks nilai tukar negara LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
9
berkembang naik 1%. Sebaliknya, kenaikan return indeks nilai tukar negara maju sebesar 1% menyebabkan rata-rata return USD/IDR turun sebanyak 0,0001% pada fase stabil dan turun 0,0004% pada fase turbulensi. Hasil estimasi ini selaras dengan hasil koefisien korelasi . 2. Mengenai pergerakan bersama harga saham, selama fase stabil, rata-rata return IHSG harian naik mendekati angka 0,5% yang disebabkan oleh 1% kenaikan return indeks harga saham negara berkembang. Sedangkan, selama fase turbulensi, rata-rata return harian IHSG naik 0,8%. Hasil estimasi tersebut lebih kecil dibanding dampak pergerakan bersama dari negara maju, yang mana rata-rata return harian IHSG naik 1,29% pada fase stabil dan naik 2,3% pada fase turbulensi. Dengan kata lain, pada dua fase, pergerakan return IHSG berbanding lurus dengan pergerakan harga saham negara berkembang dan negara maju. 3. Pada fase turbulensi, rata-rata pertumbuhan harian imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia naik sebanyak 0,077% yang disebabkan oleh 1% kenaikan pertumbuhan harian imbal hasil obligasi negara berkembang. Kondisi sebaliknya terlihat pada hubungan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia dengan negara maju. Jika pertumbuhan imbal hasil obligasi pemerintah negara maju meningkat 1%, pertumbuhan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia turun 0,012%. Ini menunjukkan bahwa ketika terdapat guncangan yang cukup signifikan pada pasar SBN negara maju, risk appetite investor global untuk obligasi di pasar domestik (Indonesia) akan naik sehingga hal tersebut akan berdampak pada penurunan rata-rata pertumbuhan imbal hasil obligasi domestik. Output Markov Switching berupa smoothed probabilities untuk persamaan (1) disajikan dalam Gambar 3, 4, dan 5. Masing-masing gambar tersebut menunjukkan nilai probabilitas USD/IDR, IHSG, dan imbal hasil obligasi pemerintah berada pada kondisi turbulensi (state 2).
P(St=2) (volatile_EM)
P(St=2) (volatile_Asian)
P(St=2) (volatile_Center)
USDIDR (RHS)
1
12500
0.9
12000
0.8
11500
0.7
Apresiasi
11000
Apresiasi
Apresiasi
0.6
10500 0.5
Apresiasi
10000
Apresiasi
0.4
9500
0.3
9000
0.2
Jan-14
Feb-14
Dec-13
Dec-13
Oct-13
Nov-13
Oct-13
Sep-13
Jul-13
Aug-13
Aug-13
Jun-13
Jun-13
Apr-13
Apr-13
May-13
Mar-13
Jan-13
Feb-13
Jan-13
Dec-12
Nov-12
Oct-12
Nov-12
Sep-12
Jul-12
Sep-12
Jul-12
Aug-12
Jun-12
Apr-12
Apr-12
May-12
Feb-12
Mar-12
Jan-12
Feb-12
Dec-11
Dec-11
Oct-11
Nov-11
Oct-11
Sep-11
Jul-11
Aug-11
Aug-11
Jun-11
May-11
Apr-11
Mar-11
May-11
Mar-11
Jan-11
8000
Feb-11
8500
0
Jan-11
0.1
Sumber: Bloomberg, LPS Gambar 3. Smoothed Probabilities untuk USD/IDR terhadap Indeks Nilai Tukar Tiga Kelompok Negara
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
10
P(St=2) (volatile_EM)
P(St=2) (volatile_Asian)
P(St=2) (volatile_Center)
IHSG (RHS)
1
5500
Bullish
0.9
Bullish
0.8
5000
Bullish
0.7
Bullish
0.6
4500
0.5 0.4
4000
0.3 0.2
3500
0.1
Jan-14
Feb-14
Dec-13
Oct-13
Nov-13
Sep-13
Jul-13
Aug-13
Jun-13
Apr-13
May-13
Jan-13
Feb-13 Mar-13
Dec-12
Oct-12
Nov-12
Sep-12
Jul-12
Aug-12
Jun-12
Apr-12
May-12
Mar-12
Jan-12
Feb-12
Dec-11
Oct-11
Nov-11
Sep-11
Jul-11
Aug-11
Jun-11
Apr-11
May-11
Jan-11
3000
Feb-11 Mar-11
0
Sumber: Bloomberg, LPS Gambar 4. Smoothed Probabilities untuk IHSG terhadap Indeks Saham Tiga Kelompok Negara
P(St=2) (volatile_EM)
P(St=2) (volatile_Asian)
10Y Yield Indo Gov Bond (RHS)
Spread Yield US & Indo Gov Bond(RHS)
P(St=2) (volatile_Center)
1
10
Feb-14
Jan-14
Dec-13
Nov-13
Oct-13
Sep-13
Aug-13
Jul-13
Jun-13
Apr-13
May-13
Feb-13
Mar-13
Jan-13
Dec-12
Nov-12
Oct-12
Sep-12
Jul-12
0
Aug-12
0
Jun-12
1
Apr-12
0.1
May-12
2
Feb-12
0.2
Mar-12
3
Jan-12
0.3
Dec-11
4
Nov-11
0.4
Oct-11
5
Sep-11
0.5
Jul-11
6
Aug-11
0.6
Jun-11
7
Apr-11
0.7
May-11
8
Feb-11
0.8
Mar-11
9
Jan-11
0.9
Sumber: Bloomberg, LPS Gambar 5. Smoothed Probabilities untuk Imbal Hasil Obligasi Pemerintah Bertenor 10 Tahun terhadap Indeks Imbal Hasil Obligasi Tiga Kelompok Negara
Gambar 3 menunjukkan pergerakan USD/IDR pada saat turbulensi (state 2) bersamaan dengan indeks pergerakan nilai tukar negara berkembang, negara di kawasan Asia, dan negara maju. Di saat indeks nilai tukar tiga kelompok negara tersebut bergejolak, maka probabilitas USD/IDR akan berada pada kondisi turbulensi (state 2), bernilai antara 0,5 dan 1. Pada Gambar 3, periode ketika USD/IDR mengalami kondisi turbulensi ditunjukkan oleh area dengan shading berwarna biru. Hal tersebut mengindikasikan bahwa selain faktor fundamental domestik seperti defisit neraca perdagangan atau inflasi, faktor contagion LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
11
sangat mempengaruhi fluktuasi USD/IDR. Tabel 7 menunjukkan bahwa co-movement antara USD/IDR dan indeks nilai tukar negara berkembang (co-movement di sini berarti probabilitas turbulensi keduanya berada di atas 0,5 pada waktu yang sama) terjadi sebanyak 37% dari total observasi yang kami teliti. Angka 37% ini lebih besar daripada proporsi frekuensi comovement USD/IDR dengan indeks nilai tukar negara Asia dan negara maju. Dengan demikian, USD/IDR memiliki linkage co-movement dengan nilai tukar di negara berkembang. Sehingga, ketika nilai tukar di negara berkembang berada pada kondisi turbulensi, maka rupiah akan sangat rentan untuk mengalami kondisi yang sama. Pada pasar saham, tren penguatan IHSG telah terlihat mulai dari 2Q12 sampai 2Q13. Hal ini ditunjukkan oleh IHSG yang memiliki probabilitas turbulensi yang sangat kecil atau di bawah 0,5 (Gambar 4). Pada periode tersebut, bursa saham negara berkembang menunjukkan kinerja positif sebagai dampak dari sentimen positif di pasar global dan kondisi fundamental negara berkembang yang relatif kuat. Di negara maju, program Quantitative Easing III yang dijalankan the Fed menyebabkan adanya capital inflow yang cukup deras ke pasar saham Indonesia. Kondisi sebaliknya terjadi pada periode pertengahan Mei 2013 hingga akhir September 2013, ketika isu QE tapering muncul dan menjadi sentimen negatif yang mendorong investor asing untuk melakukan portfolio adjustment di negara berkembang. Pada periode tersebut, IHSG bergerak fluktuatif dan menyebabkan probabilitas IHSG berada pada state 2 (turbulensi) naik mendekati 1. Dari Tabel 7, dapat dilihat bahwa proporsi frekuensi co-movement IHSG terbesar adalah bersama dengan indeks harga saham negara maju. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa IHSG memiliki linkage co-movement dengan harga saham negara maju.
yt
Negara Berkembang
Negara Asia
Negara Maju
Nilai Tukar
0.37
0.34
0.28
Harga Saham
0.34
0.30
0.36
Imbal Hasil Obligasi 10 Thn
0.34
0.33
0.33
Sumber: Bloomberg, LPS Tabel 7. Distribusi Frekuensi Co-movement Nilai Tukar, Harga Saham, dan Imbal Hasil Obligasi Pemerintah Bertenor 10 Tahun pada Fase Turbulensi
Tabel 7 juga menunjukkan distribusi frekuensi imbal hasil obligasi ketika berada pada kondisi turbulensi. Pada tabel tersebut, terlihat bahwa frekuensi co-movement imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia dengan imbal hasil obligasi pemerintah negara berkembang, negara di kawasan Asia, dan negara maju tidak memiliki perbedaan yang signifikan. (RR, DSR)
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
12
Likuiditas Perbankan: Permasalahan, Risiko dan Kebijakan
Likuiditas Perbankan: Permasalahan, Risiko, dan Kebijakan
Salah satu tema besar risiko sistem perbankan saat ini adalah likuiditas yang ketat. Pada Desember 2013, rasio kredit terhadap simpanan (LDR) perbankan telah mencapai 90%, level tertinggi sejak krisis 1997/1998. Sepanjang Desember 2012 hingga Desember 2013, sistem perbankan telah menyalurkan dana pinjaman sebesar Rp 594,2 triliun, sedangkan dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun pada periode yang sama hanya sebesar Rp 438,8 triliun. Dengan kata lain, telah terjadi net fund outflow sebesar Rp 155,4 triliun. Net fund outflow ini terlihat mengalami sedikit penurunan dibandingkan pada bulan lalu.
Sumber: BI Gambar 6. Pertumbuhan DPK dan Kredit Perbankan
Kondisi ini jelas tidak stabil dan menimbulkan potensi risiko likuiditas yang signifikan bagi perbankan. Risiko dapat terjadi jika persaingan suku bunga terlalu ketat, sehingga menimbulkan kenaikan bunga yang terlalu tinggi. Sebagian besar bank mungkin tidak langsung melakukan pass through kenaikan suku bunga tersebut kepada debiturnya (dalam bentuk kenaikan suku bunga kredit) karena adanya kekhawatiran akan terjadinya penurunan kualitas kredit atau pindahnya nasabah bank itu kepada bank lain (yang tidak menaikkan suku bunga kredit). Akibatnya, margin bunga bersih (NIM) akan tergerus dan mempengaruhi profitabilitas bank. Meski BI rate stabil dalam tiga bulan belakangan ini, potensi pengetatan lanjutan masih mungkin terjadi, terutama jika kembali terjadi turbulensi di pasar keuangan.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
13
Sumber: CEIC dan BI Gambar 7. Perkembangan Uang Inti dan Alat Likuid Perbankan
Sumber likuiditas yang utama adalah uang inti (uang kartal dan giro perbankan di Bank Indonesia). Perkembangan uang inti ditransformasikan menjadi likuiditas perbankan melalui aktivitas intermediasi. Sejak awal 2013, pertumbuhan uang inti mengalami penurunan yang bersumber dari komponen aktiva dalam negeri bersih (net domestic assets atau NDA) dan aktiva luar negeri bersih (net foreign assets atau NFA). NFA menurun disebabkan oleh pelemahan appetite investor asing kepada instrumen dalam negeri sehingga capital inflow berkurang. Sedangkan NDA terlihat mengalami penurunan mulai pertengahan tahun 2013, sejalan dengan arah pengetatan kebijakan moneter dalam rangka pengendalian inflasi serta stabilisasi defisit neraca berjalan. Posisi alat likuid perbankan (dalam persentase terhadap total aset) telah menurun dari awal tahun 2010. Pulihnya sentimen bisnis pasca krisis global menyebabkan bank kembali agresif menyalurkan kredit. Alat likuid telah menurun dari kisaran 33,8% aset (April 2010) menjadi 25,9% aset (November 2013). Posisi alat likuid ini adalah yang terendah sejak akhir 2003. Penurunan terjadi pada seluruh komponen yang mana pos surat berharga mengalami kontraksi terbesar, yakni dari 15,5% menjadi 10,4% pada periode yang sama. Respon alamiah yang seharusnya dilakukan bank dalam kondisi likuiditas ketat saat ini adalah dengan menyesuaikan aktivitas intermediasi, yaitu: (1) mengurangi pertumbuhan kredit dan/atau (2) menambah pertumbuhan DPK. Dua strategi itu memiliki trade off. Strategi pertama menimbulkan biaya berupa kemungkinan hilangnya posisi bisnis bank (karena direbut oleh bank lain yang memiliki daya tahan likuiditas yang lebih baik). Strategi kedua dapat menimbulkan peningkatan biaya dana dan penurunan NIM secara drastis.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
14
Sumber: LPS Gambar 8. Peta Koordinat Penyesuaian Aktivitas Intermediasi
Sejauh ini respons dari perbankan masih dapat dikatakan business as usual. Hanya 26 dari 109 bank yang telah menurunkan pertumbuhan kreditnya hingga di bawah pertumbuhan DPK. Tidak seperti yang diduga, saat ini belum terlihat adanya hubungan negatif (serta signifikan) antara LDR dan pertumbuhan kredit. Sebaliknya pola yang ada justru cenderung positif meskipun lemah. Di sisi lain, hubungan antara LDR dengan deposito cenderung negatif. Beberapa bank dengan pola hubungan seperti ini mengandalkan modal atau surat utang untuk pembiayaan kreditnya. Melihat respons perbankan hingga posisi akhir tahun 2013, dapat disimpulkan bahwa likuiditas masih menjadi risiko utama di tahun 2014. Perbankan belum merespons secara optimal posisi likuiditas yang mengetat saat ini ke dalam perilaku bisnisnya. Moral suasion yang dilakukan Bank Indonesia untuk mengarahkan pertumbuhan kredit bank ke kisaran 15%–17% sudah tepat dan perlu digalakkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
15
Sumber: CEIC Gambar 9. Profil Distribusi Simpanan DPK dan Deposito Berjangka
Cara lain yang dapat ditempuh untuk memitigasi risiko likudiitas adalah melalui sisi pemasok dana (nasabah penyimpan). Gambar 9 menunjukkan profil distribusi simpanan yang ada pada perbankan. Dapat dilihat bahwa mayoritas DPK berasal dari nasabah ritel (individual) dengan pangsa sebesar 61%, disusul oleh korporasi sebesar 21%. Gambaran serupa juga terlihat pada segmen produk deposito berjangka, yang mana dominasi nasabah ritel mencapai 56,5% dan korporasi sebesar 21,5%. Dengan demikian kebijakan likuiditas perlu diimplementasikan dengan melihat kepada perilaku dua segmen ini.
Sumber: CEIC dan BI Gambar 10. Pertumbuhan DPK dan Suku Bunga
Dilihat dari aspek sensitivitas terhadap pergerakan suku bunga, data sebelum tahun 2011 menunjukkan bahwa nasabah ritel cukup sensitif terhadap suku bunga. Mereka melakukan relokasi aset finansial kepada deposito bank jika return-nya (suku bunga) mengalami peningkatan. Walau demikian, hubungan ini terlihat melemah sejak awal tahun 2012. Kami meyakini bahwa segmen ritel masih sensitif terhadap suku bunga. Interaksi dengan beberapa variabel lain (kemungkinan daya tarik yang lebih besar pada kelas aset lain seperti LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
16
saham) menyebabkan pola hubungan terlihat melemah pada beberapa tahun terakhir. Di sisi lain, tidak terlihat korelasi yang spesifik di antara pertumbuhan DPK nasabah korporasi dengan suku bunga. Untuk nasabah segmen ini, tampaknya ada variabel lain yang lebih berpengaruh.
Sumber: CEIC Gambar 11. Pertumbuhan DPK dan Siklus Ekonomi
Siklus ekonomi (yang digambarkan oleh pertumbuhan PDB) terlihat memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan DPK. Koefisien korelasi di antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan DPK mencapai 0,61. Perkembangan DPK segmen korporasi terlihat jauh lebih sensitif terhadap siklus ekonomi dibandingkan segmen ritel. Koefisien korelasi DPK segmen korporasi mencapai 0,58 sedangkan di segmen ritel adalah sebesar 0,13. Kondisi pro-cyclical pada segmen korporasi tampak bertentangan dengan conventional wisdom yang mana seharusnya pertumbuhan DPK segmen korporasi cenderung rendah di saat aktivitas ekonomi tinggi karena dana tersebut terserap untuk aktivitas bisnis seperti pembentukan modal kerja dan capital expenditure. Sebaliknya kondisi ini mengindikasikan bahwa korporasi akan mengoptimalkan dana menganggur (idle) yang dimiliki dengan mengalokasikannya ke aset finansial lain (surat berharga). LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
17
Melihat kondisi ini, tampaknya stimulasi pertumbuhan DPK dapat dicapai dengan memperbaiki momentum pertumbuhan ekonomi, sekaligus juga lingkungan suku bunga yang “cukup” tinggi. Menurut kami nasabah perbankan saat ini (khususnya segmen ritel) masih memiliki paradigma tradisional, simpanan di bank adalah suatu investasi dan diharapkan mampu memberikan return yang layak (setidaknya di atas inflasi). Jika hal ini tidak tercapai, maka nasabah akan mengurangi porsi simpanannya dan bergeser kepada instrumen lain.
Sumber: BI dan LPS Gambar 12. Perkembangan Suku Bunga Pasar dan Deposit Yield Curve
Likuiditas yang ketat telah termanifestasi pada kenaikan suku bunga yang drastis. Kami menggunakan data suku bunga deposito harian untuk melihat kondisi persaingan suku bunga saat ini. Gambar 12 menunjukkan bahwa tren kenaikan suku bunga simpanan masih terus berlanjut sekalipun BI rate telah stabil sejak November 2013. Pada periode November 2013–Februari 2014, suku bunga pasar dari bank benchmark masih naik sebesar 47 basis poin (bps). Sangat menarik untuk melihat bahwa kenaikan terbesar terjadi pada segmen bank menengah (yakni 55 bps), bukan di segmen bank sangat kecil (yang sebesar 45 bps) seperti yang diduga semula. Hal menarik lainnya di tengah kondisi likuiditas yang ketat saat ini adalah fenomena inverted yield curve. Fenomena yang kami identifikasikan di awal tahun ini masih terus bertahan hingga menjelang kuartal kedua tahun 2014. Bank-bank umumnya menawarkan suku bunga yang lebih rendah untuk simpanan berjangka dengan tenor panjang dibandingkan tenor pendek. Dalam perspektif ekonomi makro, hingga saat ini probabilitas suku bunga simpanan bank masih lebih tinggi untuk meningkat dibandingkan turun. Dari data historis sejak 2004, DPK memiliki rata-rata pertumbuhan jangka panjang sebesar 14,4%. Angka ini jelas tidak dapat mendukung tingkat permintaan akan kredit yang diperkirakan mencapai 22%–25%. Dengan demikian, kecuali ditemukan terobosan untuk mengatasi handicap pendanaan kredit, pertumbuhan ekonomi akan mengalami kendala pembiayaan serius. Apakah ada terobosan yang dapat dilakukan?
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
18
Sumber: Credit Suisse Global Wealth Data Book (2014) Gambar 13. Wealth Profile Individu Indonesia Tahun 2000 versus 2013
Rilis data kekayaan individu global (Global Wealth Data Book) dari Credit Suisse (2014) memberikan optimisme atas potensi DPK Indonesia. Terdapat beberapa temuan menarik yang dapat dikelola lebih lanjut untuk mengatasi masalah handicap pertumbuhan DPK. Pertama adalah penetrasi keuangan yang rendah. Pada 2013, pangsa aset keuangan “hanya” sebesar 16% dari total kekayaan individu Indonesia (yang sebesar US$ 11.839). Selama 2000–2013, porsi kekayaan finansial ini secara nominal telah berkembang hampir 10 kali lipat, meskipun sebagai suatu pangsa “hanya” naik dua kali lipat.
Sumber: Credit Suisse Global Wealth Data Book (2014) Gambar 14. Wealth Profile Individu Indonesia Tahun 2000 versus 2013
Penetrasi pasar keuangan Indonesia yang relatif rendah juga dapat dilihat melalui komparasi dengan negara lain. Seperti yang terlihat pada Gambar 14, pangsa aset finansial terhadap total kekayaan pada 2013 “hanya” sebesar 16,5%, sebanding dengan Turki dan India. Negara-negara Asia Tenggara umumnya dapat dikatakan melek finansial dengan pangsa di atas 40%. Dengan kata lain, jika paradigma tradisional ini dapat digeser, potensi pendanaan bank sebenarnya dapat diatasi. Sebagai ilustrasi, jika preferensi aset finansial nasabah dapat
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
19
ditingkatkan ke 30% dengan asumsi aset finansial likuid adalah sebesar 40% maka pasokan DPK ritel saat ini dapat ditingkatkan dari Rp 2.104 triliun menjadi Rp 2.584 triliun (kenaikan hampir 25%). Upaya perubahan paradigma ini tidak cukup dicapai melalui perluasan akses layanan finansial (financial inclusion). Di luar itu, diperlukan perubahan cara pandang masyarakat. Masyarakat Indonesia masih cenderung tradisional dalam memahami arti investasi: menanamkan dana idle ke dalam aset tidak bergerak seperti tanah dan rumah. Sebaliknya, di luar negeri, khususnya negara maju, investasi telah umum dilakukan kepada instrumen finansial. Perubahan cara pandang ini memerlukan edukasi finansial yang ekstensif. (WMR, MDA)
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
20
Risiko serta Prospek Perekonomian dan Analisis Industri: Otomotif Sistem Keuangan
Update Risiko serta Prospek Perekonomian dan Sistem Keuangan
Dalam segmen ini, kami menyampaikan update terhadap assessment risiko dan prospek perekonomian dan sistem keuangan, sejalan dengan data yang diperoleh pada 4Q13. Secara umum, kami menilai bahwa risiko perekonomian dan sistem keuangan telah mengalami perbaikan sepanjang kuartal terakhir 2013. Peningkatan yang signifikan terlihat terutama pada aspek Pasar Keuangan (PKU) serta Neraca Pembayaran dan Nilai Tukar (NPNT). Di sisi lain, aspek Aktivitas Bisnis Domestik (ABD) serta Sistem Perbankan (SPB) masih menjadi aspek yang perlu dicermati. Dengan perkembangan ini, kami menilai bahwa risiko perekonomian dan sistem keuangan sudah dapat dikatakan (secara kualitatif) kembali ke status normal.
Normal
Waspada
Krisis
Siaga
6 Outlook
NPNT: Neraca Pembayaran & Nilai Tukar ABD: Aktivitas Bisnis Domestik HKM: Harga & Kebijakan Moneter KBF: Kebijakan Fiskal PKU: Pasar Keuangan SPB: Sistem Perbankan
5
4
ABD 3
SPB 2
NPNT
PKU
3Q13 4Q13
HKM KBF
1
Kinerja 0 0
1
2
3
4
5
6
Sumber: LPS (Maret 2014) Gambar 15. Peta Risiko Kualitatif Perekonomian dan Sistem Keuangan
Stabilitas di pasar keuangan terus terjaga dengan semakin redanya spekulasi proses QE tapering serta capaian resolusi atas pendanaan fiskal di Amerika Serikat (AS). Janet Yellen telah secara resmi memegang tampuk pimpinan the Fed. Dalam beberapa komunikasi awal yang diberikan, terlihat jelas bahwa proses transisi kebijakan moneter AS yang super longgar saat ini menuju normal akan dilakukan secara terukur dan konservatif. Meskipun tingkat pengangguran per Januari 2014 (6,6%) telah sangat dekat dengan targetnya (6,5%), the Fed diperkirakan tidak akan terburu-buru mengubah stance kebijakannya. Jika dilihat secara komprehensif, perkembangan positif pada pasar tenaga kerja AS sebenarnya tidak terlalu solid.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
21
Dengan berkurangnya intensitas spekulasi terhadap trajectory renormalisasi suku bunga the Fed, maka risk appetite investor pada instrumen pasar negara berkembang diperkirakan membaik. Meski demikian, pelaksanaan Pemilu legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) di pertengahan tahun 2014 sedikit banyak akan menimbulkan ketidakpastian yang mengikis appetite investor terhadap pasar Indonesia. Jika Pilpres dapat berlangsung dalam satu putaran, yang mana calon favorit pasar muncul sebagai pemenang, maka capital inflow yang cukup signifikan dapat terjadi pada 3Q14 dan 4Q14.
30
40
4Q Sum, Miliar USD
4Q Sum, Miliar USD
30
20
20 10
10
3Q13
1Q13
3Q12
1Q12
3Q11
1Q11
3Q10
1Q10
3Q09
1Q05
3Q13
1Q13
3Q12
1Q12
3Q11
1Q11
3Q10
1Q10
3Q09
1Q09
3Q08
1Q08
3Q07
1Q07
3Q06
1Q06
3Q05
-50
1Q05
-40
Jasa Transfer Berjalan
1Q09
Barang Pendapatan Neraca Berjalan
-40
Neraca Pembayaran
3Q08
-30
Portofolio
-30
1Q08
-20
Neraca Berjalan
3Q07
Basic Balance
1Q07
-20
3Q06
-10
1Q06
0
-10
3Q05
0
Sumber: CEIC Gambar 16. Perkembangan Neraca Pembayaran dan Neraca Berjalan
Neraca pembayaran mengalami perbaikan pada 4Q13. Saldo neraca mengalami reversal dari defisit US$ 2,6 miliar menjadi surplus US$ 4,4 miliar. Pembalikan kinerja neraca pembayaran ini dipicu oleh penurunan defisit neraca berjalan dari US$ 8,5 miliar (3Q13) menjadi US$ 4 miliar (4Q13) serta perbaikan salso di pos investasi lain dari defisit US$ 2 miliar menjadi surplus US$ 5,9 miliar. Menurut kami, perkembangan positif pada neraca pembayaran ini hanya bersifat sementara. Perbaikan neraca berjalan lebih disebabkan oleh kenaikan tajam pada ekspor mineral dalam rangka memanfaatkan momentum terakhir sebelum pemberlakukan aturan restriksi ekspor. Sedangkan, kenaikan pos investasi diperkirakan tidak berulang, mengingat pelaku usaha mungkin akan menunda pembiayaan proyek di depan ketidakpastian akan hasil Pemilu.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
22
USD/IDR USD/INR USD/CNY USD/BRL USD/TRY USD/THB USD/PHP USD/KRW USD/MYR USD/ARS
FY2013 (%) (24.28) (12.37) 2.83 (15.13) (20.52) (6.93) (8.27) 1.37 (7.12) (32.64)
YTD (%) 4.61 0.07 (1.50) 0.75 (2.61) 0.43 (0.54) (1.70) (0.04) (20.73)
1M (%) 4.94 1.44 (1.38) 2.84 2.23 1.39 1.51 1.24 1.98 1.81
1W (%) 1.14 0.60 (0.88) 0.06 (1.32) (0.14) (0.16) 0.42 0.56 (0.32)
Posisi 28/02/2014 11,610 61.76 6.15 2.34 2.21 32.56 44.64 1,068 3.28 7.87
Yield SUN 10 Tahun Korea Selatan Indonesia India Thailand Filipina Singapura Malaysia China Afrika Selatan Turki Brazil
FY 2013 (%) 0.43 3.26 0.77 0.39 (0.60) 1.26 0.63 1.03 1.12 3.60 3.56
YTD (%) (0.09) (0.12) 0.04 (0.23) 0.54 (0.10) (0.01) (0.22) 0.65 0.06 (0.48)
1M (%) (0.12) (0.70) 0.08 (0.33) 0.07 0.00 (0.13) (0.13) (0.37) 0.15 (0.67)
1W (%) (0.03) (0.06) 0.07 (0.10) 0.02 (0.08) (0.00) (0.15) (0.08) 0.02 (0.13)
Posisi 28/02/2014 3.50 8.33 8.86 3.67 4.35 2.46 4.12 4.40 8.54 10.22 12.69
Mata Uang
Sumber: Bloomberg Tabel 8. Perkembangan Beberapa Indikator Keuangan Terpilih
Positive surprise pada data posisi eksternal Indonesia ini telah berdampak kepada beberapa kelas aset finansial, khususnya rupiah dan yield surat utang negara (SUN). Secara point to point, rupiah tercatat masih mengalami depresiasi sekitar 5% terhadap dolar AS pada 4Q13, namun angka ini masih lebih rendah dari pelemahan sekitar 17% pada kuartal sebelumnya. Selama dua bulan pertama tahun ini, rupiah bahkan mengalami penguatan 4,6%. Sejak pertengahan Februari 2014, rupiah juga secara konsisten diperdagangkan di bawah level Rp 12.000/US$. Sementara itu, harga SUN mengalami peningkatan. Yield SUN bertenor 10 tahun secara point to point turun 5 basis poin (bps) pada 4Q13, menyusul kenaikan 137 bps pada triwulan sebelumnya. Perbaikan kinerja SUN masih berlanjut di dua bulan pertama 2014, dibuktikan oleh penurunan yield sebesar hampir 12 bps. Dengan mempertimbangkan perkembangan yang ada, kami telah melakukan revisi pada proyeksi nilai tukar rupiah dan posisi eksternal. Kami menilai bahwa pelaksanaan Pileg dan Pilpres akan memberi angin segar bagi minat investasi (dan memicu capital inflow). Proyeksi posisi akhir tahun rupiah telah kami upgrade dari Rp 11.613/US$ menjadi Rp 11.276/US$. Selanjutnya, kami juga merevisi ke bawah defisit neraca berjalan dari US$ 27,2 miliar (2,9% PDB) menjadi US$ 26,8 miliar (2,8% PDB). Kondisi ekonomi global tahun ini akan lebih mendukung ekspor Indonesia, sedangkan peristiwa politik masih akan menekan impor barang modal.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
23
Impor Barang Modal Penjualan Mobil
20
0
Jan-14
Jul-13
Oct-13
Jan-13
Apr-13
Jul-12
Oct-12
Jan-12
Apr-12
Jul-11
Oct-11
Jan-11
Apr-11
-20
Jul-10
4Q13
4Q12
4Q11
-4
4Q10
2
4Q09
0
4Q08
3
4Q07
4
4Q06
4
4Q05
8
4Q04
5
4Q03
Penjualan Ritel 40
12
4Q02
12MMA, % YoY
16
6
4Q01
60
Oct-10
7
20
Jan-10
4Q Sum, % YoY PDB (LHS) Konsumsi Rumah Tangga (RHS) Investasi (RHS)
4Q Sum, % YoY
Apr-10
8
Sumber: CEIC Gambar 17. Perkembangan Ekonomi Domestik dan Leading Indicators Terpilih
Kinerja perekonomian pada 4Q13 lebih baik dari yang diduga semula. Pertumbuhan PDB pada kuartal lalu mencapai 5,72%, meningkat dari 5,63% pada 3Q13. Dengan demikian, selama 2013, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,78%. Rebound kinerja pertumbuhan pada triwulan lalu ditopang oleh perbaikan kinerja perdagangan, yang mungkin hanya bersifat sementara. Aspek Aktivitas Bisnis Domestik (ABD) tetap berada dalam fase corrective adjustment. Kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase slowdown terlihat dari beberapa leading indicators. Gambar 17 menunjukkan bahwa pertumbuhan penjualan mobil masih berada dalam fase menurun dan impor barang modal bahkan telah mengalami kontraksi dalam enam bulan terakhir. Dua indikator ini menandakan bahwa komponen investasi dalam PDB masih berada dalam tekanan. Indikator penjualan ritel masih tumbuh cukup solid, mengindikasikan bahwa konsumsi (sebagai motor ekonomi terbesar) secara umum masih kuat. Dengan gambaran ini, kami sedikit merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2014 dari 5,3% ke 5,5%. Di sisi lain, kami mempertahankan perkiraan inflasi kami di posisi 4,8% tahun ini. Kami melihat Sistem Perbankan (SPB) sebagai aspek yang masih mungkin mengalami pemburukan risiko lanjutan. Risiko likuiditas dan penurunan kualitas kredit masih menjadi faktor risiko penting di tahun 2014. Seperti yang terlihat di gambar 18, suku bunga deposito berjangka (sebagai indikator biaya dana perbankan) masih mengalami tren yang meningkat. Di sisi lain, bunga kredit modal kerja (sebagai indikator loan yield) tidak meningkat sebesar kenaikan bunga deposito. Pada periode Agustus–Desember 2013, selisih di antara dua bunga ini telah menurun dari 5,9% menjadi 4,8%. Penurunan margin yang lebih besar akan terjadi pada bank-bank menengah-kecil, terutama mereka yang tidak memiliki akses dana murah (CASA) yang kuat.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
24
18
500
%
12MMA, % YoY
400
15
Pertanian (LHS) Manufaktur (LHS)
300
12
12MMA, % YoY Pertambangan (RHS)
125 100 75
Perdagangan (LHS) 200
50
Total (LHS)
9 100 6
25
0 BI Rate Bunga Kredit Modal Kerja
Bunga Deposito 1 Bulan Selisih Bunga
Jul-13
Jan-14
Jul-12
Jan-13
Jul-11
Jan-12
Jul-10
Jan-11
Jul-09
Jan-10
Jul-08
Jan-09
Jul-07
Jan-08
Jul-06
Jan-07
Jul-05
Jan-06
0
-100
-25
-200
-50
Jan-05 Jul-05 Jan-06 Jul-06 Jan-07 Jul-07 Jan-08 Jul-08 Jan-09 Jul-09 Jan-10 Jul-10 Jan-11 Jul-11 Jan-12 Jul-12 Jan-13 Jul-13
3
0
Sumber: CEIC dan BI Gambar 18. Perkembangan Suku Bunga dan Kualitas Kredit
Kualitas kredit secara umum terlihat menurun. Pertumbuhan kredit bermasalah (NPL) sistem perbankan kembali mengalami peningkatan dari 6,8% pada bulan November 2013 menjadi 7,6% di bulan berikutnya. Pada periode yang sama, pertumbuhan kredit bermasalah di sektor perdagangan mengalami kenaikan terbesar, yakni dari 9,9% menjadi 11,7%. Sejalan dengan moral suasion yang dikeluarkan BI, pertumbuhan kredit pada tahun ini diperkirakan menurun. Menurut perkiraan kami, kredit akan tumbuh 18,4% di 2014, lebih rendah dari 21,8% di 2013. DPK mungkin akan tumbuh sedikit lebih tinggi dibandingkan periode lalu, yakni sebesar 14,3% pada tahun ini. (MDA, SW)
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
25
Banking Stability Index LPS
Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index)
Indeks Stabilitas Perbankan LPS mengalami penurunan dari 101,11 (Januari 2014) menjadi 100,68 (Februari 2014), atau turun 43 bps. Sesuai kategori skala observasi Crisis Management Protocol (CMP), BSI kembali berada pada kategori “Normal”. Sub-indeks Credit Pressure (CP) dan Market Pressure (MP) menunjukkan penurunan, sedangkan sub-indeks Interbank Pressure (IP) mengalami kenaikan. Penurunan sub-indeks CP didukung oleh kinerja perbankan nasional yang solid sepanjang 4Q13. Laba perbankan nasional pada akhir Desember 2013 mencapai Rp 106,7 triliun atau tumbuh 15% y/y, sehingga return on equity (ROE) mengalami peningkatan sebesar 36 bps dari 21,11% pada November 2013 menjadi 21,47% pada bulan berikutnya. Rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan nasional tetap terjaga di bawah 2%, yakni sebesar 1,77% pada Desember 2013. Di sisi lain, perlambatan pertumbuhan kredit mempengaruhi penurunan rasio kredit terhadap simpanan (LDR) perbankan dari 89,97% (November 2013) menjadi 89,7% (Desember 2013). Dengan demikian, sub-indeks CP mengalami penurunan sebesar 2 bps dari 100,7 (Januari 2014) menjadi 100,68 (Februari 2014).
Sumber: LPS Gambar 19. Banking Stability Index (BSI) dan Sub Indeks Credit Pressure
Sub-indeks IP menjadi satu-satunya sub-indeks yang mengalami peningkatan pada Februari 2014 dengan besaran 55 bps, atau dari 99,37 pada bulan Januari menjadi 99,92. Peningkatan IP dipicu oleh penurunan penempatan dana antar bank riil, sebagai salah satu indikator pembentuk IP, sebesar 6,63%, atau dari Rp 123,1 triliun menjadi Rp 114,9 triliun. Meski demikian, suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) bertenor overnight pada Februari 2014 tidak mengalami perubahan (di level 5,88%) bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
26
Sumber: LPS Gambar 20. Sub Indeks Credit Pressure dan Market Pressure
Sentimen positif dari sisi ekternal dan perbaikan fundamental ekonomi Indonesia berimbas pada penguatan pada variabel-variabel pembentuk sub-indeks MP. Sub-indeks MP pada Februari 2014 turun signifikan (sebesar 142 bps), yaitu dari 102,45 pada bulan Januari menjadi 101,02. Sentimen positif terhadap perekonomian Indonesia terindikasi oleh capital inflow yang meningkat sehingga nilai tukar rupiah menunjukkan tren penguatan dan ditutup di level Rp 11.634/US$ pada bulan Februari 2014. Penurunan MP juga didukung oleh penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang ditutup di level 4620 pada Februari 2014, naik dari 4418 pada bulan sebelumnya. Di sisi lain, suku bunga JIBOR tiga bulan naik tipis dari 7,99% pada Januari 2014 menjadi 8,02% pada bulan berikutnya. (TS)
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
27
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Group Manajemen Risiko II: Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Moch. Doddy Ariefianto, 021-5151000 (ext 384),
[email protected] Winza Mutia Rahma, 021-5151000 (ext 402),
[email protected] Seto Wardono, 021-5151000 (ext 309)
[email protected] Rina Rahmawati, 021-5151000 (ext 310)
[email protected] Dienda Siti Rufaedah, 021-5151000 (ext 395),
[email protected] Totong Sudarto, 021-5151000 (ext 396),
[email protected]
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
28
Lampiran
Proyeksi Besaran Ekonomi Makro dan Perbankan Terpilih Variabel
2009
2010
2011
2012
2013
2014P
2015P
Variabel Kunci PDB Nominal (Triliun Rp)
5,606
6,436
7,427
8,242
9,084
10,044
11,157
PDB Nominal (Miliar US$)
543
709
847
892
871
953
1,063
PDB Riil (% y/y)
4.6
6.1
6.5
6.2
5.8
5.5
6.0
Inflasi (akhir periode, % y/y)
2.8
7.0
3.8
3.7
8.1
4.8
4.8
USD/IDR (akhir periode) USD/IDR (rata-rata) BI Rate (akhir periode) Surplus/Defisit Fiskal (% PDB)
9,400
8,991
9,068
9,793
12,270
11,276
11,101
10,399
9,085
8,779
9,396
10,569
11,665
11,186
6.5
6.5
6.0
5.8
7.5
7.5
7.0
(1.6)
(0.6)
(1.2)
(1.8)
(2.3)
(1.8)
(1.8)
Sustainabilitas Eksternal Ekspor Barang (% y/y)
(14.3)
32.1
26.9
(6.1)
(2.6)
4.0
7.1
Ekspor Barang (Miliar US$)
119.6
158.1
200.6
188.5
183.5
190.9
204.6
Impor (% y/y)
(24.0)
43.7
30.8
8.4
(1.4)
2.2
5.5
Impor (Miliar US$)
88.7
127.4
166.6
179.9
177.4
181.2
191.2
Neraca Berjalan (Miliar US$)
10.6
5.1
1.7
(24.5)
(28.5)
(26.8)
(25.2)
Neraca Berjalan (% PDB)
2.0
0.7
0.2
(2.7)
(3.3)
(2.8)
(2.4)
Cadangan Devisa (Miliar US$)
66.1
96.2
110.5
112.8
99.4
98.6
103.6
Utang Luar Negeri (% PDB)
31.8
28.6
26.6
27.7
30.3
29.9
29.0
PDB Riil menurut Pengeluaran (% y/y) Konsumsi Rumah Tangga
4.9
4.6
4.6
5.3
5.3
5.4
5.3
15.7
0.3
3.2
1.2
4.9
3.2
4.5
3.3
8.5
8.8
9.8
4.7
5.0
6.5
Ekspor Barang dan Jasa
(9.7)
14.9
13.6
2.0
5.3
4.6
5.7
Impor Barang dan Jasa
(15.0)
17.3
13.3
6.6
1.2
2.6
5.2
Pertanian
4.0
2.9
3.0
4.0
3.5
3.6
4.0
Pertambangan dan Penggalian
4.5
3.5
1.4
1.5
1.3
1.2
1.5
Manufaktur
2.2
4.5
6.2
5.7
5.6
5.5
5.8
14.3
5.3
4.8
6.4
5.6
5.5
6.0
7.1
7.0
6.7
7.5
6.6
5.6
6.2
Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto
PDB Riil menurut Industri (% y/y)
Listrik, Gas, dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran
1.3
8.7
9.2
8.1
5.9
5.7
6.2
15.8
13.5
10.7
10.0
10.2
10.2
10.2
Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan
5.2
5.7
6.8
7.1
7.6
6.5
7.2
Jasa-Jasa Lainnya
6.4
6.0
6.7
5.2
5.5
5.3
6.0
1 Tahun
8.1
6.4
5.5
4.6
5.7
6.5
6.4
3 Tahun
9.6
7.3
6.4
5.1
5.9
7.3
7.1
5 Tahun
10.3
7.8
6.9
5.4
6.0
7.7
7.5
10 Tahun
11.2
8.6
7.5
6.0
6.5
8.2
8.0
20 Tahun
12.0
9.7
8.7
6.8
7.3
9.1
8.7
Transportasi dan Komunikasi
Yield SUN Rupiah (rata-rata, %)
Perbankan Pinjaman (% y/y)
27.7
7.2
24.6
23.1
21.8
18.4
20.3
Dana Pihak Ketiga (% y/y)
12.5
18.5
19.1
15.7
13.6
14.3
15.0
Sumber: LPS (Maret 2014)
LAPORAN TRIWULAN-I 2014 Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Group Manajemen Risiko II
29
LAPORAN TRIWULAN III - 2012 Sub Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Perbankan Divisi Manajemen Risiko
1