31
pengajuan penerbitan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP); permohonan pemeriksaan fisik kapal, alat penangkapan ikan, dan dokumen kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan; dan pengajuan penerbitan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Dokumen lainnya yang harus ada di atas kapal yaitu Surat Laik Operasional (SLO) dan Surat Izin Berlayar (SIB) (DJPT 2013). Kerjasama diantara pihak yang terkait (nelayan, organisasi nelayan, dan pemerintah) sudah seharusnya berjalan. Pengawasan oleh pemerintah pusat (KKP) dan pemerintah daerah (DKP) sangat diperlukan, mengingat secara hukum, pemerintah merupakan pihak yang bertanggungjawab untuk mengelola perikanan.
Kesimpulan Permasalahan yang terjadi pada pengoperasian unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap adalah terbatasnya area penangkapan karena banyaknya rumpon di wilayah perairan dekat pantai, kecenderungan terjadinya peningkatan jumlah kapal dan alat tangkap seiring peningkatan harga jual ikan di PPP Pondokdadap, penurunan ukuran ikan jenis tuna, permainan harga yang dilakukan oleh pengambek pada saat pembelian hasil tangkapan dari nelayan, konflik horisontal diantara nelayan, dan masih kurangnya peran Rukun Jaya dalam masyarakat khususnya nelayan tonda Sendang Biru. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan dan kerjasama secara aktif dari seluruh komponen yang terlibat agar tujuan sistem perikanan yang baik dapat tercapai secara optimal.
5 MODEL KONSEPTUAL PADA UNIT PERIKANAN TONDA DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP Pendahuluan Perikanan sebagai sebuah kesatuan dari berbagai aspek yang dipenuhi dengan kekompleksitasan masalah didalamnya memerlukan suatu tindakan nyata yang mampu menyelesaikan keseluruhan masalah tersebut. Pembahasan pada bab ini bertujuan untuk membuat model konseptual sebagai tindakan penyelesaian terhadap permasalahan yang telah diformulasikan pada bab sebelumnya. Model konseptual merupakan pemikiran secara teoritis terhadap situasi yang terjadi di dunia nyata yang berperan sebagai solusi awal untuk suatu permasalahan. Perumusan model konseptual ini diharapkan dapat memberikan langkah perubahan berupa strategi yang dijalankan untuk memperbaiki sistem. Pelaksanaan strategi dalam model konseptual harus berdasarkan karakteristik perikanan dan kebutuhan seluruh pihak yang terkait pada suatu wilayah perikanan. Hal ini bertujuan agar seluruh pihak tidak ada yang merasa dirugikan dan tujuan sistem perikanan yang baik dapat tercapai secara optimal. Keterlibatan secara aktif dari seluruh pihak sangat diperlukan untuk menjalankan strategi yang disarankan.
32
Metode Pengungkapan permasalahan yang digambarkan dalam rich picture akan dianalisis lebih lanjut dengan root definitions. Checkland (2000) dalam Widjajani et al. (2009) mengemukakan bahwa root definition dibangun sebagai suatu ekspresi dari aktivitas bertujuan terhadap suatu proses transformasi (T). Root definition dinyatakan dengan spesifikasi yang lebih luas sehingga T dapat dielaborasi dengan mendefinisikan elemen-elemen lain yang membentuk CATWOE (customers, actors, transformation process, weltanschauung, owners, and environmental constraints). Customers merupakan pihak yang menerima dampak proses transformasi; actors adalah orang yang melakukan aktivitasaktivitas pada proses transformasi; transformation process merupakan proses yang mengubah input menjadi output; weltanschauung adalah sudut pandang, kerangka kerja, atau image yang membuat proses transformasi bermakna; owners adalah orang yang memiliki kepentingan terbesar terhadap sistem dan dapat menghentikan proses transformasi, dan environmental constraints adalah elemenelemen diluar sistem yang dapat mempengaruhi tetapi tidak dapat mengendalikan sistem tersebut atau dapat dinyatakan sebagai apa adanya (given). Definisi juga dinyatakan dalam bentuk PQR, yaitu melakukan P dengan menggunakan Q untuk dapat berkontribusi dalam mencapai R. Model konseptual terhadap sistem perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap dibuat berdasarkan root definitions tersebut. Model tersebut merupakan rekomendasi solusi terhadap permasalahan yang terjadi pada sistem perikanan tonda dengan rumpon. Model konseptual yang diperoleh pada penelitian ini didasarkan pada permasalahan tiap aspek yang diteliti. Tujuannya untuk memudahkan pelaku atau pihak yang terkait untuk memperbaiki sistem perikanan tonda menjadi lebih baik.
Hasil Aspek Sosial dan Kelembagaan Root definition dalam aspek ini terdiri dari 2 bentuk, yang pertama lebih menekankan pada permasalahan kekompakan nelayan, pengawasan, dan konflik yang terjadi (Gambar 5.1). Peraturan pemerintah berupa keputusan menteri kelautan dan perikanan KEP.58/MEN/2001 tentang tata cara pelaksanaan sistem pengawasan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan (DJPSDKP 2013) menjadi acuan untuk pembuatan root definition ini. Model konseptual pada Gambar 5.3 bertujuan untuk memperkuat peran kelembagaan Rukun Jaya untuk membantu pemerintah dalam mengawasi perairan. Pengawasan tersebut dapat diwujudkan jika hubungan sosial masyarakat nelayan dalam kondisi yang baik. Masyarakat nelayan adalah pihak yang membangun lembaga nelayan, sehingga dengan semakin kuatnya hubungan diantara masyarakat nelayan maka akan menguatkan peran kelembagaan. Penentuan root definition yang kedua menitikberatkan pada permasalahan perizinan seperti pada Gambar 5.2 dan menghasilkan model konseptual (Gambar 5.4) yang bertujuan untuk menciptakan keteraturan dalam pengoperasian unit
33
perikanan tonda dengan rumpon di perairan yang digambarkan dalam SOP perizinan yang dibuat oleh pemerintah daerah, dengan memperhatikan kepentingan dari seluruh pihak seperti nelayan, pengusaha, dan pemerintah. CATWOE: C (Costumers) A (Actors)
: Nelayan tonda Sendang Biru; : Nelayan Sendang Biru, nelayan jaring luar Sendang Biru, masyarakat nelayan Sendang Biru, dan organisasi nelayan Rukun Jaya; T (Transformation) : Pembuatan peraturan lokal terhadap pengawasan perairan; W (Weltanschauung) : Pengawasan perairan dilakukan secara aktif oleh seluruh masyarakat nelayan; O (Owners) : Organisasi nelayan Rukun Jaya; E (Environmental constraints) : Kebijakan pemerintah Root definition 1: Meningkatkan kekompakan nelayan, pengawasan, dan meminimalisir konflik melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan lokal yang ditetapkan bersama untuk meningkatkan hubungan sosial nelayan dan menjaga wilayah operasi penangkapan dan sumberdaya ikan didalamnya. Gambar 5.1
CATWOE dan root definition terhadap permasalahan pengawasan pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
CATWOE: C (Costumers) A (Actors)
: Nelayan dan pengusaha perikanan; : Nelayan, organisasi nelayan Rukun Jaya, pengusaha perikanan dan pemerintah daerah dan pusat (DKP); T (Transformation) : Pembuatan Standard Operating Procedure (SOP) perizinan dengan jelas; W (Weltanschauung) : Proses perizinan berjalan dengan efektif dan efisien; O (Owners) : Pemerintah (DKP); E (Environmental constraints) : Kebijakan pemerintah daerah Root definition 2: Proses perizinan unit perikanan tonda dengan rumpon melalui pembuatan dan penggunaan SOP perizinan oleh pemerintah untuk menciptakan keteraturan dalam pengoperasian unit perikanan tonda dengan rumpon di perairan.
Gambar 5.2 CATWOE dan root definition terhadap permasalahan perizinan pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
34 34
Dugaan pelanggaran Penemuan
Masyarakat atau anggota pokmaswas
Penyelesaian secara lokal (lingkup masyarakat)
1 Rukun Jaya melakukan diskusi dengan masyarakat nelayan untuk menentukan fokus tindakan pengawasan dan sanksi pada setiap pelanggaran
Pelaporan
Aparat pengawas terdekat
2 Menentukan pihak yang bertanggungjawab terhadap setiap tindakan pengawasan
Pelaporan
TNI AL dan/atau Satpol AIRUD dan/atau kapal inspeksi perikanan
Dinas Perikanan Kabupaten/kota dan Provinsi (tembusan: Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan)
Tindak lanjut terhadap pelanggaran Keterangan:
3 Menyampaikan program peraturan lokal pada pemerintah terkait dan melakukan diskusi sebagai saran dan kritik terhadap peraturan lokal
Tidak setuju
Setuju
4 Pelaksanaan peraturan lokal di lapangan
Evaluasi peraturan
Monitoring oleh pemerintah, organisasi nelayan Rukun Jaya dan masyarakat
: sistem yang diperbaiki/ditambahkan
Gambar 5.3 Model konseptual pembuatan dan pelaksanaan peraturan lokal pengawasan perairan
35 Pemilik kapal
Pengumpulan berkas oleh Rukun Jaya
1 Pemerintah melakukan diskusi dengan melibatkan seluruh pihak seperti Rukun Jaya (perwakilan dari masyarakat nelayan) dan pengusaha perikanan untuk menentukan SOP perizinan secara jelas
Unit Pengelola PPP Pondokdadap
Dinas Perhubungan Laut (Bagian Kesyahbandaran), dan ahli ukur melakukan pengukuran Kantor Dishubla di Probolinggo
- Surat ukur - Gross akte - Sertifikat kelaikan - Pas Kecil/Pas besar/Pas tahunan
Keterangan:
Petugas DKP Tingkat I melakukan cek fisik kapal
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur
Pembayaran biaya pembuatan surat izin oleh pemilik kapal
- SIUP - SIPI/SIKPI
2 Menetapkan sanksi bagi setiap pelanggaran yang dilakukan 3 Mensosialisasikan SOP perizinan kepada seluruh masyarakat perikanan di daerah setempat
Monitoring oleh pemerintah dan masyarakat nelayan
4 Pelaksanaan SOP perizinan
Evaluasi
: sistem yang diperbaiki/ditambahkan
Gambar 5.4 Model konseptual pembuatan dan penggunaan SOP perizinan oleh pemerintah daerah 35
36
Aspek Teknis dan Ekologi Penentuan root definition pada aspek ini didasari dari adanya pemasangan rumpon yang tidak terkendali di wilayah perairan yang berakibat pada terbatasnya area penangkapan unit perikanan tonda. Peningkatan upaya penangkapan juga terjadi pada wilayah perairan yang menyebabkan perubahan dari sisi ekologi, yaitu penurunan ukuran sumberdaya ikan jenis tuna. Alternatif strategi yang dapat dilaksanakan adalah dengan pengaturan jumlah dan ukuran ikan layak tangkap. (Gambar 5.5). Aspek ini disatukan karena penyebab permasalahan yang terjadi sama pada kedua aspek. CATWOE: C (Costumers) A (Actors)
: Nelayan tonda Sendang Biru; : Nelayan tonda Sendang Biru dan luar daerah, dan nelayan jaring Sendang Biru; T (Transformation) : Pengaturan jumlah dan ukuran tangkapan layak tangkap bagi unit perikanan tonda dengan rumpon; W (Weltanschauung) : Pengoperasian alat tangkap dilakukan pada wilayah yang telah diatur dan tangkapan yang diperoleh sesuai dengan standar yang ditetapkan; O (Owners) : DKP Kabupaten Malang dan Organisasi nelayan Rukun Jaya; E (Environmental constraints) : Musim ikan Root definition 3: Pengaturan jumlah dan ukuran tangkapan layak tangkap bagi unit perikanan tonda dengan rumpon melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan operasional penangkapan yang ditetapkan bersama untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan.
Gambar 5.5 CATWOE dan root definition terhadap permasalahan aspek teknis dan ekologi pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap Model konseptual yang direkomendasikan terhadap permasalahan pada aspek teknis dan ekologi ini adalah pembuatan peraturan operasional penangkapan bagi unit perikanan tonda dengan rumpon untuk mengatur jumlah dan ukuran tangkapan yang layak tangkap sehingga keberlanjutan sumberdaya ikan dapat terjaga (Gambar 5.6). Pelaksanaan aturan tersebut perlu didukung dengan tindakan penanganan hasil tangkapan, baik di kapal maupun saat didaratkan. Perekayasaan alat tangkap dan rumpon dapat dilakukan untuk menjaga sumberdaya ikan yang menjadi target tangkapan sehingga tangkapan yang diperoleh adalah ikan dengan jenis dan ukuran yang layak tangkap serta memiliki kualitas yang baik. Peraturan yang dibuat sebaiknya merupakan hasil kesepakatan antara nelayan yang dapat diwakili oleh organisasi nelayan Rukun Jaya dan DKP Kabupaten. Hal ini untuk meminimalisir dominansi kepentingan diantara salah satu pihak, dan terciptanya kelancaran pelaksanaan peraturan di lapangan. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan terhadap pelaksanaan aturan dari seluruh pihak terkait.
37
Peneliti
1 Perhitungan jumlah dan ukuran layak tangkap per jenis ikan
Pemerintah
2 Pemerintah melakukan sosialisasi kepada Rukun Jaya dan diskusi untuk menetapkan kuota tangkapan per kapal
3 Sosialisasi kepada seluruh nelayan
4 Mendiskusikan dan menetapkan sanksi terhadap setiap pelanggaran
5 Pelaksanaan peraturan operasional
Nelayan menyiapkan perbekalan di pelabuhan atau fishing base Pencarian rumpon kelompok Persiapan operasi penangkapan
Melakukan operasi penangkapan di rumpon
Penyortiran dan penanganan hasil tangkapan di kapal
Pendaratan hasil tangkapan
Monitoring oleh pemerintah, Rukun Jaya dan masyarakat
Evaluasi peraturan Keterangan:
: sistem yang diperbaiki/ditambahkan
Gambar 5.6 Model konseptual pembuatan peraturan operasional penangkapan pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap
38
Aspek Ekonomi Sistem jual beli antara nelayan dan pengambek terhadap hasil tangkapan yang didaratkan dianggap merugikan nelayan, karena adanya ketidaksesuaian harga yang seharusnya diterima oleh nelayan. Hal ini yang mendasari penentuan root definition pada aspek ekonomi (Gambar 5.7). Root definition tersebut selanjutnya menjadi dasar untuk membuat model konseptual sebagai penyelesaian atas masalah yang terjadi. Model konseptual yang direkomendasikan pada aspek ekonomi ini adalah pengawasan proses pelelangan di tempat pelelangan ikan PPP Pondokdadap (Gambar 5.8). Model konseptual ini didasarkan pada peraturan pemerintah daerah Kabupaten Malang berupa Perda Kabupaten Malang No. 1 Tahun 2009 tentang penyelenggaraan dan retribusi pelelangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan (Ditjen Kemenkumham 2013). Peraturan tersebut menyebutkan bahwa proses pelelangan meliputi penerimaan, penimbangan, pelelangan, dan pembayaran, dimana terdapat retribusi masing-masing sebesar 1.5 persen dari nelayan dan pengambek. Pungutan tersebut merupakan persentasi dari harga transaksi penjualan ikan pada saat lelang yang diperoleh nelayan dan pengambek. CATWOE: C (Costumers) A (Actors)
: Nelayan tonda Sendang Biru; : Nelayan tonda Sendang Biru, pengambek, dan koperasi unit desa (KUD) Mina Jaya; T (Transformation) : Perbaikan sistem jual beli; W (Weltanschauung) : Terjadinya harga yang wajar bagi pengambek dan nelayan; O (Owners) : Organisasi nelayan Rukun Jaya dan KUD Mina Jaya; E (Environmental constraints) : Inflasi dan ketersediaan stok ikan yang dipasarkan Root definition 4: Perbaikan sistem jual beli antara nelayan dengan pengambek melalui pengawasan proses pelelangan di tempat pelelangan ikan untuk mencapai harga yang wajar bagi nelayan dan pengambek
Gambar 5.7 CATWOE dan root definition terhadap permasalahan aspek ekonomi pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap Pelaksanaan model konseptual ini sebaiknya melibatkan seluruh pihak yang terkait, seperti dari nelayan, pengambek, petugas pelelangan dan masyarakat sebagai konsumen. Selain itu, diperlukan pembaharuan informasi harga pasar untuk setiap jenis ikan kepada nelayan secara terus menerus untuk meminimalisir kecurangan dalam penetapan harga jual ikan saat proses lelang berlangsung. Model konseptual ini diharapkan dapat menciptakan kondisi pelelangan yang baik, yaitu adanya harga yang wajar bagi nelayan dan pengambek.
39
Nelayan menyerahkan hasil tangkapan kepada pengambek
Nelayan menerima informasi harga pasar per jenis ikan yang akan dilelang dari petugas lelang
Penerimaan hasil tangkapan oleh petugas lelang
1 KUD Mina Jaya dan Rukun Jaya melakukan diskusi dengan masyarakat nelayan untuk merumuskan tindakan pengawasan dan sanksi terhadap setiap pelanggaran
Penimbangan hasil tangkapan oleh petugas lelang dan pengambek
Pelelangan hasil tangkapan yang diikuti oleh pengambek dan pembeli (pengusaha/pedagang kecil) Pembayaran hasil lelang oleh pengusaha pada petugas lelang (KUD Mina Jaya)
2 Menentukan pihak yang bertanggungjawab pada tindakan pengawasan dan pemberian sanksi
Ada perbaikan
3 Menyampaikan rumusan tindakan pengawasan pada DKP kabupaten melalui UPPPP Pondokdadap dan melakukan diskusi sebagai saran dan kritik terhadap tindakan pengawasan Tidak ada perbaikan
Pembayaran hasil lelang kepada pengambek Keterangan:
Pembayaran hasil lelang kepada nelayan
: sistem yang diperbaiki/ditambahkan
4 Pelaksanaan pengawasan
Monitoring oleh KUD Mina Jaya, organisasi nelayan Rukun Jaya dan masyarakat
Evaluasi
Gambar 5.8 Model konseptual pengawasan proses pelelangan di tempat pelelangan ikan PPP Pondokdadap 39
40
Pembahasan Pembuatan peraturan operasional penangkapan bagi unit perikanan tonda dengan rumpon diharapkan dapat menjadi solusi awal terhadap permasalahan teknis dan ekologi pada sistem perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap. Langkah untuk meminimalisir masalah teknis dan ekologi berupa persaingan wilayah penangkapan dan penurunan ukuran ikan yang diperoleh nelayan adalah dengan mengatur jumlah dan ukuran tangkapan yang diperbolehkan, yang didukung dengan penanganan hasil tangkapan yang sesuai prosedur. Hal ini untuk meningkatkan kualitas ikan yang akan dijual, yang juga akan mempengaruhi harga jual ikan tersebut. Kualitas hasil tangkapan diperoleh jika kesegaran hasil tangkapan tetap terjaga hingga didaratkan dan dijual di tempat pelelangan. Penanganan hasil tangkapan dapat dilakukan dengan cara mengawetkan hasil tangkapan dengan menggunakan es seperti yang dilakukan nelayan di Indonesia pada umumnya. Ismanto et al. (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa sistem pendingin dengan coolbox yang berisi es kering dengan silika gel mampu mempertahankan suhu rendah dalam waktu yang lebih lama namun tidak stabil dibandingkan dengan coolbox yang berisi es basah seperti es batu atau es curah. Lama waktu yang mampu dipertahankan es kering dan silika gel selama 138 jam 30 menit, sedangkan es basah hanya 35 jam. Penanganan lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan mengawetkan ikan menggunakan freezer seperti yang dilakukan nelayan purse seine di PPP Bojomulyo. Pengawetan ikan dengan freezer lebih baik jika dibandingkan dengan pengawetan menggunakan es (Hastrini et al. 2013). Tindakan penanganan hasil tangkapan yang paling mendasar yang harus diperhatikan oleh nelayan adalah mencegah kontaminasi langsung antara tangan dan kaki dengan ikan, meminimalisir cahaya matahari langsung yang mengenai tubuh ikan, dan meletakkan serta menyimpan ikan pada wadah yang telah dibersihkan. Cara lainnya adalah dengan merekayasa pancing dan rumpon yang digunakan saat operasi penangkapan, misalnya dengan mengganti ukuran mata pancing sehingga peluang untuk menangkap ikan dengan ukuran layak tangkap menjadi lebih besar. Nugroho (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa mata pancing tonda dengan ukuran nomor 5 dapat menangkap ikan lebih banyak dengan presentase kegagalan yang lebih sedikit. Alatas (2004) menyarankan agar menggunakan umpan tiruan untuk menangkap ikan dengan lebih efektif, yaitu menggunakan kombinasi umpan warna biru-putih untuk ikan cakalang, warna merah-putih untuk menangkap ikan madidihang, kombinasi warna biru-putih dan merah-putih untuk menangkap ikan albakora, serta kombinasi ketiga jenis umpan untuk menangkap ikan tongkol. Perekayasaan pancing dalam pengoperasiannya dimaksudkan untuk menjaga sumberdaya ikan yang menjadi target tangkapan unit perikanan tonda dengan rumpon agar tetap lestari, baik secara ekologi maupun ekonomi. Aspek teknis dan ekologi yang tidak berjalan baik akan mempengaruhi aspek ekonomi. Permasalahan ekonomi yang dihadapi nelayan tonda di PPP Pondokdadap saat ini adalah masih adanya kecurangan yang dilakukan pengambek saat proses pelelangan sehingga menyebabkan nelayan tidak mendapatkan harga yang wajar dari penjualan hasil tangkapan. Kondisi ini terjadi karena keinginan untuk memanfaatkan nilai ekonomi secara lebih besar dari hasil
41
tangkapan yang dijual dan adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan tersebut. Kurang akuratnya timbangan yang digunakan pada proses pelelangan menjadi awal penyebabnya. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan pada proses pelelangan di tempat pelelangan ikan PPP Pondokdadap agar nelayan, pengambek, dan pengusaha memperoleh keuntungan yang sesuai. Selain itu juga perlu dilakukan pembaharuan informasi harga pasar kepada nelayan untuk setiap jenis ikan secara terus menerus dan penerapan sanksi yang tegas terhadap pihak yang melakukan kecurangan pada saat proses pemasaran atau pelelangan. Permasalahan teknis, ekologi, dan ekonomi tersebut dapat diminimalisir jika hubungan sosial diantara seluruh pihak yang terlibat dalam sistem berjalan dengan baik. Namun, kenyataannya hubungan sosial seperti kekompakan antar nelayan masih belum baik, yang dibuktikan dengan masih adanya penjarahan rumpon dan konflik yang masih terjadi dengan nelayan luar daerah. Penyelesaian terhadap permasalahan sosial ini dapat dilakukan dengan membuat dan melaksanakan peraturan lokal terhadap pengawasan perairan yang merupakan hasil kesepakatan diantara seluruh elemen masyarakat. Hasil penelitian Martin dan Irmayanti (2011) menunjukkan bahwa masyarakat nelayan Sendang Biru memiliki tradisi yang dikenal dengan nama “ritual petik laut”, yang dilaksanakan setiap tahun pada tanggal 27 September. Ritual ini memiliki fungsi dan pesan yang berkaitan dengan pembinaan solidaritas antar masyarakat nelayan dalam bekerja dan kearifan lokal dalam menjaga lingkungan perairan dan sumberdaya perikanan. Kenyataannya, kegiatan ini tidak terlalu memberi pengaruh terhadap kondisi ekologi dan hubungan sosial masyarakat. Tindakan atau kebijakan pendukung yang bersifat lokal lainnya yang dapat dilakukan, seperti pola kearifan lokal masyarakat Aceh dalam pengelolaan perikanan yang dikenal dengan hukom adat laot. Sulaiman (2010) menyatakan bahwa pola hukom adat laot ini sudah berkembang di Aceh sejak tahun 1607, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Hukom adat laot secara implisit menerangkan bahwa terdapat kewenangan untuk mengatur dan mengawasi sumberdaya perikanan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Pola kearifan hukom adat laot ini ditegakkan oleh lembaga adat panglima laot yang berfungsi untuk membantu pemerintah dalam pembangunan perikanan. Pada pelaksanaannya, panglima laut berwenang untuk mengawasi setiap usaha penangkapan ikan di laut, menyelesaikan perselisihan, mengurus dan menyelenggarakan upacara adat laot, dan menjadi penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan panglima laot satu dengan panglima laot lainnya. Keberadaan panglima laot dalam mengawasi perikanan didukung dengan adanya peraturan dan sanksi yang sudah dipatuhi oleh nelayan, keberadaannya sangat didukung oleh pemerintah daerah setempat. Cara lain yang dapat dilakukan adalah pembentukan kelompok masyarakat pengawas perikanan atau yang dikenal dengan pokmaswas. Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) telah membentuk satuan kerja (satker) pengawas sumberdaya kelautan sejak tahun 2007, dimana kemudian satker membentuk pokmaswas yang keanggotaannya terdiri dari unsur aparat desa, tokoh adat dan agama, dan nelayan, seperti yang terdapat di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Partisipasi pokmaswas dalam mengawasi perairan dapat diukur dari jumlah pelanggaran yang berhasil diamati, dilaporkan secara tertulis, dan jumlah pelaku yang berhasil ditangkap. Pemahaman baik mengenai kepentingan kelestarian sumberdaya perikanan sangat diperlukan dalam hal ini (Yuliana dan Winata 2012). Peran aktif masyarakat