BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pasal 13 ayat (2) bahwa pemerintah daerah wajib menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Ketentuan tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 150 ayat (3) huruf e, serta Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Bandung Tahun 2005-2025 merupakan arah pembangunan yang ingin dicapai daerah dalam kurun waktu 20 tahun yang disusun berdasarkan Visi dan Misi Daerah yang dijabarkan ke dalam tujuan, strategi, dan tahapan pembangunan jangka panjang. Arah pembangunan jangka panjang tersebut disesuaikan dengan urusan pemerintahan di Kota Bandung dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah. RPJPD Kota Bandung disusun melalui proses teknokratis, partisipatif, dan politis. Oleh karenanya, dokumen RPJP ini didasarkan pada masukan dan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan pembangunan melalui konsultasi publik dan musyawarah perencananaan pembangunan (musrenbang). Tata cara penyusunan RPJPD Kota Bandung mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050/2020/SJ Tanggal 11 Agustus 2005 tentang Petunjuk Penyusunan Dokumen RPJP Daerah dan RPJM Daerah. Mengingat pemilihan Walikota secara langsung di Kota Bandung baru akan dilaksanakan pada tahun 2008, maka sudah selayaknya Pemerintah Kota Bandung mempersiapkan Dokumen Perencanaan Jangka Panjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku untuk dijadikan pedoman, bagi walikota terpilih dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 Pasal 15 Ayat (4) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 150 Ayat (3). 1.2
Landasan Hukum
Dalam penyusunan RPJPD Kota Bandung Tahun 2005 – 2025, landasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan penyusunan RPJPD adalah sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
3.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
4.
Undang-Undang Nomor Pembangunan Nasional;
25
Tahun
2004
tentang
Sistem
Perencanaan
5.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-undang No 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437 jo. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844 );
6.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
7.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025;
8.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga; 11. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 12. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional; 13. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggung jawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat; 14. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota; 15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 16. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009; 17. Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah ( RTRW ) Sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Daerah Nomor 03 tahun 2006; 18. Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2007 Tentang Urusan Pemerintah Daerah Kota Bandung; 19. Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan serta Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah.
1.3
Maksud Dan Tujuan
1.3.1 Maksud Berdasarkan pertimbangan tersebut, RPJPD Tahun 2005 - 2025 ini disusun dengan maksud adalah sebagai berikut : 1. Memudahkan seluruh jajaran aparatur pemerintah daerah dan DPRD, serta masyarakat untuk memahami dan menilai visi, misi, strategi dan arah kebijakan Daerah Kota Bandung selama dua puluh tahun ke depan dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; 2. Sebagai dokumen induk perencanaan bagi walikota terpilih dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk menentukan strategi dan prioritas program lima tahunan sesuai dengan mekanisme penyusunan dokumen perencanaan yang berlaku. 1.3.2 Tujuan Tujuan dari Penyusunan RPJPD Kota Bandung Tahun 2005 – 2025 adalah 1. Memperoleh dokumen induk perencanaan pembangunan Daerah Kota Bandung dengan jangka waktu dua puluh (20) tahun yang terintegrasi dengan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional serta RPJPD Provinsi Jawa Barat; 2. Memberikan arah dan acuan pembangunan yang ingin dicapai Daerah Kota Bandung dalam kurun waktu dua puluh tahun kedepan, sekaligus indikator capaian yang harus dipenuhi; 3. Memberikan pedoman bagi Pemerintah Daerah dan DPRD untuk menjabarkan visi, misi dan arah pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang akan disusun oleh Kepala Daerah terpilih ke dalam visi, misi dan kebijakan serta program yang bersifat operasional untuk periode lima tahunan dalam rentang waktu dua puluh tahun. 1.4
Hubungan RPJPD dengan Dokumen Perencanaan Lainnya
RPJPD Kota Bandung secara substantif tidak berdiri sendiri. Dokumen RPJPD ini terkait dengan keberadaan dokumen perencanaan lainnya, baik yang bersifat perencanaan program pembangunan (a-spatial) maupun yang bersifat keruangan (spatial). Oleh karena itu dalam penyusunan RPJPD Kota Bandung selain memperhatikan RPJP Nasional dan RPJPD Provinsi Jawa Barat juga perlu memperhatikan dokumen perencanaan lainnya seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Provinsi, dan RTRW Kota Bandung sendiri. Khusus untuk Kota Bandung yang berada di dalam Kawasan Metropolitan Bandung dan Cekungan Bandung, maka harus pula memperhatikan RTRW Metropolitan Bandung beserta RTRW-RTRW Kabupaten/Kota lain di sekitarnya, yaitu RTRW Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang dan Kota Cimahi yang pada prinsipnya untuk mengoptimalkan dan mensinergikan penataan ruang, penatagunaan lahan, lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam. Sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, RTRW menjadi pedoman untuk penyusunan RPJPD dan RPJMD (Pasal 26). RPJPD secara khusus nantinya harus dijadikan acuan sepenuhnya untuk penyusunan RPJMD setiap 5 tahun sekali dalam rangka mencapai visi, misi, dan arah
pembangunan jangka panjangnya. Secara diagramatis, hubungan RPJPD Kota Bandung dengan dokumen perencanaan lainnya dapat dilihat pada gambar 1 berikut.
Gambar 1: Hubungan RPJPD dengan Dokumen Perencanaan Lainnya RTRW Nasional
RTRW Prov. Jabar
RPJP Nasional
RPJP Prov. Jabar
RTRW Metropolitan Bandung
RTRW Kota Bandung RTRW Kabupaten Bandung RTRW Kabupaten Bandung Barat RTRW Kota Cimahi RTRW Kabupaten Sumedang
RPJP Kota Bandung
RPJMD 1 RPJMD 2 RPJMD 3 RPJMD 4
Gambar 1 : Hubungan RPJPD dengan dokumen Perencanaan lainnya
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 Berdasarkan permasalahan, tantangan, serta keterbatasan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia, ditetapkan visi pembangunan nasional Tahun 2005– 2025 sesuai dengan UU No 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), adalah INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL DAN MAKMUR Visi pembangunan nasional tahun 2005–2025 itu mengarah pada pencapaian tujuan nasional, seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Visi pembangunan nasional tersebut harus dapat diukur untuk dapat mengetahui tingkat kemandirian, kemajuan, keadilan dan kemakmuran yang ingin dicapai. Dalam mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut ditempuh melalui 8 (delapan) misi pembangunan nasional sebagai berikut: 1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila 2. Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing 3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum 4. Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu 5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan 6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari
7. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional 8. Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional Dalam kaitannya dengan visi dan misi nasional tersebut, RPJPD Kota Bandung berusaha menjabarkannya dan berperan serta berkontribusi dalam pencapaiannya ke dalam skala yang lebih kecil untuk lingkup Kota Bandung, terutama dalam hal mencapai masyarakat yang berakhlak mulia, berdaya saing, demokratis, berkeadilan, dan mandiri. Adapun tentang RPJP Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat belum dapat dituangkan baik secara Visi, Misi dan Arah kebijakannya, karena belum diperdakan. Namun demikian secara substansi RPJPD Kota Bandung Tahun 2005 -2025 berupaya untuk menyelaraskan dengan Raperda RPJPD Pemerintah Provinsi Jawa Barat termaksud 1.5
Sistematika Penulisan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Bandung Tahun 2005-2025, disusun dengan sistematika sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan tentang latar belakang penyusunan RPJPD, maksud dan tujuan penyusunan, landasan hukum penyusunan, hubungan dengan dokumen perencanaan lainnya dan sistematika penulisan BAB II GAMBARAN UMUM KOTA BANDUNG Bab ini berisikan tentang uraian sejarah, gambaran umum perkembangan Kota Bandung, dan isu-isu strategis perkembangan kota Bandung 20 tahun ke depan BAB III VISI DAN MISI DAERAH Bab ini menguraikan visi dan misi pembangunan Kota Bandung selama dua puluh tahun ke depan. BAB IV ARAH, TAHAPAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH Bab ini berisi tentang uraian penjelasan arah, tahapan pembangunan jangka panjang kota Bandung selama 20 tahun ke depan BAB V
PENUTUP
BAB II GAMBARAN UMUM KOTA BANDUNG 2.1
Sejarah Kota Bandung
2.1.1
Latar Belakang
Sejalan dengan pembangunan Kota Bandung yang semakin meningkat, maka sudah sepantasnya kita mencoba menengok kembali pertumbuhan dan perkembangannya di masa lalu, sejarah, kekayaan dan potensi yang dimiliki sehingga dapat digunakan untuk membangun Kota Bandung di masa yang akan datang. “Tiada hari ini tanpa hari kemarin, tiada hari esok tanpa hari ini dan tiada masa kini tanpa masa lalu”. Sejarah masa lalu ibarat satu mata rantai yang kehilangan fungsinya apabila salah satu mata rantai tersebut dihilangkan. Dari sejarah dike tahui, bahwa Kota Bandung merupakan salah satu kota yang diperebutkan semenjak jaman kerajaan sampai jaman penjajahan Belanda, Inggris atau Jepang sekalipun. Suatu kota dalam perkembangannya, akan mengalami proses pertumbuhan. Bermula dari suatu lingkungan permukiman kecil dengan segala aspek dan kegiatan yang terbatas, kemudian berkembang menjadi suatu lingkungan permukiman besar atau lebih dikenal dengan sebutan kota. Hal ini sejalan dengan meningkatnya aspek kegiatan yang diwadahi oleh kota tersebut. Demikian juga Kota Bandung, mungkin sebagian besar orang tidak akan mengira dulunya sebuah desa mungil dan sepi, atau dalam buku “Balai Agung di Kota Bandung” karangan Haryoto Kunto, dikenal sebagai een kleine berg dessa (desa pegunungan nan mungil) yang jarang dikunjungi orang luar. Tetapi sekarang Kota Bandung telah menjadi sebuah kota besar. Menurut Djefry W. Dana dalam bukunya, Ciri Perancangan Kota Bandung, dalam memahami keberadaan suatu kota, agar lebih bijaksana ada baiknya menelusuri selintas sejarah yang berkaitan dengan terbentuknya kota tersebut. Karena tentunya perwujudan yang ada dan dapat dirasakan saat ini merupakan suatu rangkaian peristiwa masa lalu yang tak dapat dikesampingkan. 2.1.2. Bandung Kota Strategis Bandung, yang dikenal sebagai ibukota Priangan, mempunyai sejarah dan asal-usul yang panjang. Nama Priangan apabila dilihat berdasarkan toponomi, asalusul nama suatu tempat, dapat berarti kediaman para Hyang, yaitu dewa-dewi yang harus dihormati dan diyakini oleh masyarakat Tatar Sunda pada waktu itu. Sedangkan asal – usul nama Bandung Menurut A. Sobana Hardjasaputra, bahwa kata Bandung mempunyai tiga arti, pertama kata Bandung indentik dengan kata “banding” yang berarti berdampingan, kedua kata Bandung mempunyai arti besar dan luas yang berasal dari kata Bandeng, dari Bahasa Sunda “Ngabandeng” yaitu sebutan untuk genangan air yang luas dan tampak tenang namun berkesan menyeramkan, dan ketiga kata Bandung berasal dari kata bendung, yakni berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran S. Citarum Purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Perahu yang meletus pada masa Kolosen yang mengakibatkan terbentuknya danau Bandung. Awal mula berdirinya Kota Bandung tidak terlepas dari jasa dan kiprah Dalem Rd. Wiranatakusumah II, yang menjadi Bupati Kabupaten Bandung (1794-1829). Pada saat itu, ibukota kabupaten terletak di Karapyak sekarang Dayeuh Kolot.
Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menguasai Jawa dan Nusantara umumnya di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Herman William Daendels (18081811), mempunyai rencana membuat sebuah jalan yang membelah Pulau Jawa, menghubungkan Anyer dari ujung Barat dan Panarukan di ujung Timur. Jalan ini, yang dikenal sebagai Raya Pos (Groote Postweg), membentang sepanjang kurang lebih 1000 km. Pembuatan jalan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah hubungan antara daerah-daerah yang berdekatan serta dilalui jalan tersebut. Atas perintah Daendels inilah, sejak tanggal 25 September 1810, ibukota Kabupaten Bandung yang semula berada di Karapyak mengalami perpindahan, mendekati Jalan Raya Pos. Bupati Wiranatakusumah II, dengan persetujuan sesepuh serta tokoh-tokoh di bawah pemerintahannya, memindahkan ibukota Kabupaten Bandung dari Karapyak ke Kota Bandung sekarang. Daerah yang dipilih sebagai ibukota baru tersebut terletak di antara dua buah Sungai, yaitu Cikapundung dan Cibadak, yang dekat dengan Jalan Raya Pos. Daerah tersebut tanahnya melandai ke arah timur laut sehingga dianggap cocok dengan persyaratan kesehatan maupun kepercayaan yang dianut pada saat itu. Sungai-sungai yang mengapitnya juga dapat berfungsi sebagai sarana utilitas kota. Semula kawasan itu sunyi sepi tetapi memiliki pemandangan indah ke bukit dan gunung yang ada di sekelilingnya dan di tepi sungai yang airnya sangat jernih. Setahap demi setahap, dimulailah pembangunan ibukota kabupaten baru. Perpindahan rakyatnya pun dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan pengadaan perumahan serta fasilitas lain yang tersedia. Menurut buku Sejarah Kabupaten Bandung, pada tahun 1844, jumlah penduduk Kota Bandung baru sekitar 11.054 jiwa, terdiri atas 11.000 orang bangsa pribumi, 9 orang bangsa Eropa, 15 orang bangsa Cina dan 30 orang bangsa Arab, serta bangsa Timur lainnya. Saat itu, Kota Bandung masih merupakan sebuah permukiman kota yang sunyi dan sepi, dengan pemandangan alam berupa bukit-bukit dan gunung-gunung disekelilingnya. Dimulai sejak Kota Kabupaten di alun-alun dibangun, sudah mulai berdiri pasar Ciguriang dan beberapa toko di sekitar alunalun. Kemudian beberapa bangunan di sebelah utara Jalan Raya Pos sekitar kantor pos. Pembangunan kantor pos sendiri dimulai sejak Daendels membuat Gambar 2.1 Pusat kota Bandung dengan konsep mancapat terletak jalan dan bangunan awal berupa di sisi Jalan Pos Anyer Panarukan sepanjang 1000 km kuda. Perkembangan (Sumber : Semerbak Bunga di Bandung Raya) istal selanjutnya dikemukakan sebagai berikut: Dibangunnya stasiun kereta api Bandung; Dibangunnya stasiun kereta api Cikudapateuh yang diikuti Pasar Kosambi secara tradisional. Akibat perkembangan perkebunan di luar kota banyak pula tumbuh hotel-hotel, tempat hiburan termasuk tempat perbelanjaan Jalan Braga. Kawasan ini dikenal dengan kegiatan perdagangan untuk bangsa kulit putih. Dibangunnya Pasar Baru dan Pasar Babatan setelah Pasar Ciguriang terbakar Kemudian sebelah barat kota dibangun pula Pasar Andir. Sentra-sentra ini kemudian dihubungkan oleh jalan raya yang kemudian membentuk struktur pusat kota waktu itu. Struktur yang sangat penting adalah dibangunnya Jalan Otto Iskandardinata sekarang, yakni dari Gedung Pakuan sampai
lapangan pacuan kuda Tegallega. Jalan ini merupakan struktur utama yang saling tegak lurus terhadap Jalan Raya Pos yang merupakan poros utama pula. Jalan lain adalah Jalan Braga, Jalan Banceuy, Jalan Suniaraja dan Jalan Pasir Kaliki bagian selatan tembus ke Jalan Raya Pos. Kemudian beberapa jalan kolektor dibangun seperti Jalan ABC, Jalan Naripan dan beberapa jalan sekitar Alun-alun. Jalan-jalan tersebut membentuk blok-blok dimana kemudian sepanjang jalan tumbuh bangunan-bangunan baru terutama pertokoan/warung-warung. Namun bagian dalam blok-blok yang terbentuk masih kosong yang kemudian secara berangsur tumbuh permukiman yang tidak teratur. Dalam perkembangannya sentra-sentra aktivitas perdagangan dibagi atas kelompok etnis seperti : Bagian Utara dan Timur Alun-alun kegiatan orang kulit putih. Stasiun kereta api dan Jalan Otto Iskandardinata etnis Tionghoa. Bagian sekitar Pasar Andir bercampur. Pasar Kosambi etnis pribumi. Pengembangan kota Bandung agak lambat, akibat adanya kebijakan pemerintah yang bersifat mengisolasi wilayah Keresidenan Priangan. Surat Perintah Gubernur Jendral G.A. Baron Van der Capellen pada 9 Januari 1821 menyatakan bahwa wilayah Keresidenan Priangan tertutup bagi semua orang Eropa dan Cina, kecuali bagi mereka yang telah mendapat izin dari Residen Priangan. Pembatasan itu ditentang oleh berbagai pihak sehingga akhirnya pada tahun 1852 pemerintahan mencabut kebijakan pembatasan dan wilayah Keresidenan Priangan dinyatakan terbuka bagi siapa pun. Kebijakan itu disampaikan oleh Residen Priangan Van Steinmetz dan dimuat di dalam surat kabar Java Bode pada 11 Agustus 1852. Sejak pencabutan pelarangan itu kehidupan kota Bandung semakin semarak dengan masuknya orang-orang Eropa dan Cina. Terlebih lagi saat Gubernur Jendral Charles Ferdinand Pahud memerintahkan kepindahan ibu kota Gambar 2.2 Visualisasi perkembangan Jl. Braga dari awal Keresidenan Priangan dari Cianjur ke pembangunannya hingga kondisinya sekarang. Jalan yang Bandung pada tahun 1856. Namun, pada awalnya berfungsi sebagai jalan pedati, tumbuh menjadi kawasan perdagangan, jasa, dan perkantoran di pemindahan ibu kota itu baru kawasan pusat kota Bandung. terlaksana delapan tahun kemudian bertepatan dengan meletusnya Gunung Gede pada tahun 1864. Kota yang makin ramai mendorong pemerintah membuat master plan Kota Bandung yang dikenal dengan “Rencana Kota Bandung” (Plan der Nagorij Bandoeng). Dengan adanya rencana ini, maka dimulailah pembangunan kota yang lebih terarah dan terkendali. Pada tahun 1850, mulai dibangun Masjid Agung dan
Pendopo Kabupaten yang terletak dipusat kota Bandung sekarang. Adanya ruang terbuka, alun-alun, yang berhadapan dengan pendopo yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, serta dibangunnya bangunan-bangunan lain yang berfungsi sebagai fasilitas pelayanan dan penunjang kegiatan pemerintahan kota, seperti kantor pos, penjara, bank dan pasar, mencerminkan tipe pusat kota tradisional dengan sedikit pengaruh Barat. Perkembangan pesat pembangunan Kota Bandung terjadi di penghujung abad ke-18, yaitu disekitar tahun 1890. Dimulai dengan pembuatan beberapa taman kota yang memberikan suasana asri bagi kota pegunungan ini. Juga, penambahan jalan-jalan baru, pembangunan gedung-gedung baru, serta fasilitas penunjang lainnya. Pada tahun 1866, dimulailah pendirian bangunan-bangunan sekolah seperti Sekolah Guru (Kweekschool) lebih dikenal dengan sebutan Sekolah Raja yang terletak di Jalan Merdeka sekarang. Dibuka pula Sekolah Pangreh Praja atau Sakola Menak (OSVIA), yang terletak di daerah Tegallega. Untuk tempat tinggal Residen Priangan, yang bernama Van der Moore, dibangun gedung Keresidenan yang terletak di Jalan Otto Iskandardinata dan selesai pada tahun 1867. Sejalan dengan maraknya aktivitas perkebunan di sekitar Kota Bandung pada awal abad XX, tumbuh pula bangunan-bangunan untuk kepentingan orang perkebunan seperti hotel, kantor, pertokoan dan tempat hiburan, termasuk sekolah. Di antara yang terpenting adalah tempat perbelanjaan khusus orang kulit putih, di sepanjang Jalan Braga yang semula hanya berupa jalan pedati. Perkembangan Braga pada masa keemasannya berpengaruh besar terhadap perkembangan wilayah sekitarnya. Konsentrasi aktivitas perdagangan, jasa, hiburan, hingga perkantoran berada pada kawasan ini. Secara fisik kawasan Jalan Braga dikembangkan dengan suasana mendekati tempat-tempat di Eropa, fakta ini dapat dilihat dari bentukanbentukan fisik bangunan gedung-gedung pertokoan yang cenderung tampil dengan gaya Eropa. Salah satu yang paling menonjol adalah gedung Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia), gedung Van Dolph (sekarang Landmark), gedung Gas Negara serta gedung-gedung lainnya yang berada di sekitar Braga. Gaya arsitektur yang khas menjadikan kawasan Braga semakin berkembang sebagai kawasan perdagangan yang banyak diminati masyarakat saat itu. Seiring dengan perkembangan kota, maka jumlah penduduk Bandung pun semakin bertambah sehingga jumlah penduduk Bandung pada tahun 1901 sekitar 28.963 jiwa dan tahun 1906 berjumlah 38.400 jiwa, sedangkan pada tahun 1921 berjumlah sekitar 102.227 jiwa (tidak termasuk 10.000 anggota militer dan pembantu rumah tangga), dengan susunan jumlah penduduk Eropa 10.658 jiwa, Cina 9.306 jiwa, dan pribumi 82.263 jiwa. Jumlah penduduk Eropa ini akan sangat besar selisihnya jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1742 yang Hanya empat orang, yaitu Kopral Arie Top, kakak beradik Ronde Geysbergen dan Jan Geysbergen, serta seorang kopral VOC dari Batavia yang dihukum ’buang’ ke Bandung, yang kemudian konon malah sukses sebagai pengusaha penggergajian kayu. Sebelum tahun 1906, Kota Bandung belum mendapatkan status yang memungkinkan untuk mengelola kota secara otonom. Mulai tahun 1906, Bandung dikelola burgemeester karena waktu itu Bandung baru mendapat status gemeente Bandung, yang ditetapkan dengan ordonansi pada 21 Februari 1906 dan diundangkan pada 1 Maret 1906, serta berlaku efektif pada 1 April 1906. Ordonansi itu dikeluarkan pada masa Residen Priangan dijabat oleh G.A.F.J. Oosthout, dengan Asisten Residen Bandung E.A. Mauren-Brecher dan Bupati Bandung R.A.A. Martanegara.
Dasar penetapan Bandung sebagai gemeente karena telah memenuhi beberapa syarat, antara lain: memiliki wilayah yang tetap penduduk cukup banyak fasilitas yang dibutuhkan bagi warga kota telah terpenuhi adanya penguasa yang dapat menyelenggarakan pemerintahan. Sebagai sebuah gemeente, Bandung menjadi daerah otonom yang mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus beberapa bidang yang berkaitan dengan urusan internal daerah. Pembentukan gemeente itu secara implisit bertujuan untuk memelihara kepentingan orang Eropa, khususnya Belanda, yang berada dan tinggal di Bandung. Sebagai orang asing, mereka membutuhkan tempat yang disesuaikan dengan lingkungan asalnya dan memerlukan aturan yang khusus dalam sistem pemerintahannya. Dengan demikian, masyarakat gemeente Bandung merupakan Een Westen Enclave (sebuah masyarakat Barat/asing), yang memberlakukan dua sistem pemerintahan berbeda. Masyarakat Eropa menggunakan aturan sendiri, sedangkan masyarakat pribumi menggunakan sistem pemerintahan yang tetap mengacu pada hukum adat di bawah kepemimpinan Bupati. Aturan ini sangat berkaitan dengan kebijakan pemerintahan kolonial tentang kependudukan di Hindia Belanda sebelum 1920, yang menggolongkan penduduk Hindia Belanda menjadi dua golongan, yaitu:
Penduduk Eropa dan penduduk yang dipersamakan dengan mereka Bumiputera beserta penduduk yang dipersamakan dengan mereka.
Ketentuan diatas berlandaskan pasal 109 RR (Regeringsreglement) lama. Akan tetapi, sejak 1 Januari 1920, penggolongan penduduk Hindia Belanda diubah menjadi tiga, yaitu penduduk Eropa, Bumiputera, dan Timur Asing. Kedudukan hukum orang Jepang dipersamakan dengan golongan penduduk Eropa, bukan Timur Asing. Ketentuan ini berdasarkan pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang diambil dari pasal 109 RR baru. Sistem gemeente ini berakhir pada 1 Oktober 1926, dengan keluarnya surat keputusan Gubernur Jendral No.3 tanggal 27 Agustus 1926, yang mengubah status gemeente Bandung menjadi stadsgemeente (Kotamadya). Pada masa kolonial, pengembangan Kota Bandung pernah mendapat perhatian besar dari pemerintah Hindia Belanda. Hal ini berkaitan dengan adanya keinginan para perencana kota untuk membangun Bandung menjadi sebuah “kota ideal”. Berbagai infrastuktur kota tersebut dibangun untuk menunjang kepentingan sistem kolonial, serta kebutuhan pembangunan sebuah wilayah ekslusif orang Belanda atau Eropa. Lengkapnya fasilitas kota merupakan salah satu faktor yang menjadikan Bandung bernilai penting. Di samping itu, kota Bandung yang dibangun dengan nuansa Eropa menyebabkan Bandung dijuluki sebagai “Kota Eropa di daerah tropis”. Hal ini tampak dari terbaginya wilayah kota atas dasar penataan kependudukan Hindia Belanda yang diskriminatif. Konsep pembangunan yang dipakai dalam membangun Kota Bandung adalah: membangun kota menjadi prototipe sebuah koloniaalstad (kota kolonial) menata dan menghijaukan kota dalam upaya mewujudkan tuinstad (kota taman) mempersiapkan Bandung sebagai ibu kota Hindia Belanda. Konsep “kota kolonial” mengacu pada desain model arsitektur barat yang mendominasikan Kota Bandung, sedangkan konsep “kota taman” tampak dari banyaknya taman yang tersebar diseluruh Bandung. Perencanaan pembangunan berbagai taman itu dikerjakan oleh Ir. Thomas Karsten pada 1920-an.
Gagasan menjadikan Bandung sebagai ibu kota Hindia Belanda konon diilhami dari laporan studi kelayakan tentang kota ideal di Jawa, yang memenuhi persyaratan sebagai tempat perguruan tinggi teknik. Laporan itu disusun pada tahun 1918 oleh H.F. Tillema, seorang Belanda yang pernah menjabat Penilik Kesehatan di Semarang. Laporan itu juga mengungkapkan kondisi dan iklim berbagai kota di pantai utara Pulau Jawa, termasuk Batavia yang lembab dan berhawa panas sehingga kurang memenuhi syarat untuk dijadikan pusat pemerintahan maupun pusat perkantoran Negara. Untuk merealisasikan gagasan tersebut, infrastuktur segera dibangun secara bertahap. Berdasarkan raadbesluit (Keputusan Dewan Kotamadya) pada 18 Desember 1918, gemeente Bandung menyediakan lahan seluas 27.000 m² untuk kompleks bangunan instansi pemerintah. Kompleks ini terdiri atas gedung departemen pekerjaan umum, kantor pusat PTT (Pos, Telegrap, dan Telepon), departemen kehakiman, departemen pendidikan dan pengajaran, departemen keuangan, depertemen dalam negeri, depertemen perdagangan, mahkamah agung, volksraad, kantor pemerintah pusat, sekretariat gubernur jenderal, balairung Negara, dan laboratorium pusat geologi dan pertambangan. Seluruh instansi itu berkedudukan di Batavia, kecuali departemen perdagangan dan kehakiman yang berkedudukan di Bogor. Jauh sebelum pembangunan infrastuktur itu dijalankan, pihak militer telah mulai memindahkan kegiatannya ke Bandung, antara lain diawali dengan peresmian Cimahi sebagai Garnisun Militer pada September 1896. Sejak itu hampir setengah kekuatan militer Hindia Belanda dipusatkan di Cimahi. Kemudian, pemindahan pabrik mesiu dari Ngawi, Jawa Timur dan Artillerie Constructie Winkel (ACW) atau pabrik senjata dari Surabaya ke Bandung pada 1898. Di samping itu, penjara militer dipindahkan dari Ngawi ke Pancol (Cimahi) pada akhir abad ke-19. Beberapa tahun kemudian, DVO dipindahkan dari Weltevreden (Jatinegara) ke Bandung pada tahun 1916. Dengan adanya pembangunan kompleks gedung pemerintah dan berpusatnya komando militer di Bandung, dapat dikatakan bahwa Kota Bandung direncanakan memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pusat komando Angkatan Perang Hindia Belanda dan sebagai ibu kota Hindia Belanda atau pusat pemerintahan sipil Hindia Belanda. Namun, hingga kapitulasi (menyerahnya) Belanda, Bandung hanya sempat menjadi pusat Angkatan Perang Hindia Belanda, tetapi tidak sebagai ibu kota Hindia Belanda. Dari seluruh instansi pemerintah yang bersedia pindah, Hanya tiga yang menolak pindah ke Bandung, yaitu kantor sekretariat Gubernur Jenderal, Volksraad, serta Departemen Pendidikan dan Pengajaran. Salah satu faktor penyebab pesatnya perkembangan kota tersebut adalah semakin banyaknya permukiman yang menetap di Bandung, sehingga diperlukan berbagai fasilitas penunjang kehidupan masyarakat kota yang berada di dalamnya. Bandung, yang tadinya hanya sebuah kota kecil, dengan beberapa bangunan hunian serta fasilitas yang terbatas, tumbuh berkembang menjadi sebuah permukiman kota, dengan segala sarana pelengkapnya. Keberadaannya kini mampu bersaing dengan kota-kota lain di dunia. Dalam upaya pembangunan dan pengembangan Kota Bandung, pada awal dekade tersebut, patut dicatat andil serta karya kreatif beberapa arsitek dan perencana kota-antara lain Ir. Thomas Karsten yang telah banyak memberikan bentuk pada rancangan Kota Bandung yang saat ini masih dapat kita jumpai karya peninggalannya. Salah satu gagasan Thomas Karsten (1930) adalah untuk memperluas wilayah kota Bandung yang dikenal dengan Plan Karsten atau selanjutnya disebut Rencana Perluasan Wilayah Kotapraja Bandung. Luas kota Bandung yang semula hanya 2.853 Ha direncanakan dalam 25 tahun ke depan bakal bertambah menjadi 12.758 Ha, dan diperuntukkan bagi 750 ribu jiwa. Juga jasa dan
andil Bupati Martanegara, saat beliau menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Kabupaten Bandung, yang banyak memberi perhatian bagi pengembangan serta pembangunan Kota Bandung, khususnya pada periode tahun 1893-1906. 2.1.3
Perkembangan Perencanaan Kota Bandung
Kota Bandung telah berulangkali mengalami pengembangan wilayah perkotaannya. Hal ini diakibatkan oleh jumlah penduduknya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Seperti terlihat pada peta perkembangan pemekaran Kota Bandung, pada tahun 1906 luas wilayah kota hanya 900 Ha, dengan luas tanah yang ditempati 240 Ha. Pada tahun 1911, luasnya berkembang menjadi 2.150 Ha, dengan luas tanah yang ditempati bangunan meningkat menjadi 300 Ha. Begitu seterusnya, sehingga pada tahun 2005, Kota Bandung mempunyai penduduk sekitar 2.270.970 juta jiwa dan luas lahannya pun mengalami penambahan menjadi sebesar 16.729,65 Ha. Fenomena pembangunan kawasan pusat Kota Bandung dengan berbagai kelengkapan fasilitasnya menjadikan daya tarik tersendiri bagi masyarakat Eropa maupun pribumi untuk menetap. Hal ini mendorong terjadinya perluasan wilayah kota sebagai akibat dari bertambahnya jumlah penduduk beserta aktivitasnya. Gambar 2.3 menggambarkan stadia perkembangan wilayah Kota Bandung dari masa ke masa. 1852
1852
1906
1911
1917
1942
1943
1987
Gambar 2.3 Stadia Perkembangan Kota Bandung
Tahun 1852, Plan der Nagorij van Bandoeng ; Tahun 1906, luas wilayah Hanya 900 Ha dengan areal terbangun seluas 240 Ha ; Tahun 1911, berkembang menjadi 2150 Ha dengan areal terbangun menjadi 300 Ha; Perkembangan selanjutnya dapat dilihat stadia, yakni tahun 1917, 1942, 1943 dan 1987.
Seiring terjadinya gejolak politik pada masa periode 1945-1965 terjadi perubahan drastis terhadap kondisi kota-kota di Indonesia tidak terkecuali Kota Bandung. Peristiwa Bandung Lautan Api maupun peristiwa politik lainnya disatu sisi telah melumpuhkan aktivitas dan merusak tatanan kota Bandung. Euforia kemerdekaan telah mengakibatkan berubahnya fisik maupun aktivitas yang telah terbentuk sebelumnya. Arus migrasi ke Kota Bandung mengalir tanpa dapat dicegah, akibatnya tumbuhnya kawasan-kawasan permukiman secara tidak terkendali. Dimulai sejak abad 18, perkembangan dan pertumbuhan kota Bandung sangat cepat tanpa arah yang jelas. Menurut Haryoto Kunto, Bandung sebagai kota yang relatif muda usia, mengalami proses modernisasi, penataan ruang serta pembangunan sarana dan prasarana kotanya. Baru pada tahun 1915, untuk pertamakali penataan kota dirumuskan dalam konsep rancangan ”Master Plan Gemeente Bandoeng 1918-1923”. Kala itu di Bandung telah hadir beberapa orang tergolong ”sesepuh” kalangan arsitek Belanda di Indonesia, yaitu: Ir. P.A.J. Moojen, Ir. F.J.L. Ghijsels, Kol. Genie V.L. Slors dan Letnan-1 Genie M.T. van Staveren. Baru pada tahun 1971 dengan disepakatinya (1) Master-Plan Kota Bandung, Kota Bandung dikembangkan menjadi kota dengan fungsi sebagai berikut : Pusat Pemerintahan, Pusat Perguruan Tinggi, Pusat Perdagangan, Pusat Industri, Pusat Kebudayaan dan Pariwisata. Dengan fungsi tersebut, Kota Bandung berkembang dengan pesat dan timbulah beberapa permasalahan, yaitu urbanisasi yang tinggi, transportasi, disparitas kepadatan penduduk dan terkonsentrasinya/tercampurnya kegiatan komersial pada satu kawasan dan sebagainya, sehingga keterbatasan lahan menjadi salah satu persoalan. Kemudian ditetapkanlah (2) Rencana Induk Kota (RIK) Bandung 1971-1991 (Surat Keputusan DPRD No. 8938/1971) dan RIK 1985-2005 (Perda Nomor 3 Tahun 1986). Dalam RIK ini fungsi-fungsi yang telah ditetapkan dalam Master-Plan tersebut masih ditetapkan kembali sehingga memberikan peluang kegiatan yang sangat luas. Keterbatasan persoalan kekurangan lahan menurut RIK 2005 dilakukan dengan upaya menyebarkan beberapa fungsi kegiatan ke wilayah perluasan. Oleh karena itu, dalam RIK 2005 ini ditetapkan kebijakan perlunya pemindahan sebagian fungsi kegiatan Kota Bandung dengan menambah luas lahan baru melalui Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1987 tentang Perluasan Wilayah Administrasi Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung. Luas wilayah administrasi Kota Bandung berubah dari 8.096 Ha menjadi 16.729,650 Ha. RIK Bandung 2005, pada tahun 1991 direvisi menjadi (3) Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), sesuai dengan dikeluarkannya Permendagri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. RUTRK yang ditetapkan adalah RUTRK Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung Tahun 1991-2001 (Perda Nomor 02 Tahun 1992), yaitu rencana pemanfaatan ruang kota yang disusun untuk menjaga keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka pelaksanaan programprogram pembangunan kota. Rencana Umum Tata Ruang Kota tersebut dijabarkan ke dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) di 6 wilayah pengembangan kota sesuai Perda No. 02 tahun 1996. Selain itu, Pemerintah Kota Bandung menetapkan (4) Pola Dasar (Poldas) Pembangunan Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung (Perda Nomor 1 Tahun 1989). Poldas Pembangunan Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung 1989/1990 – 1993/1994, disusun sebagai arah dan pedoman pelaksanaan pembangunan di daerah, yang terdiri dari Pembangunan Jangka Panjang (PJP) Daerah dan Pembangunan Lima Tahun Daerah (Repelitada) serta merupakan landasan pokok bagi pembangunan lima tahunan daerah. Selain itu Poldas merupakan pokok-pokok kebijakan pembangunan daerah sebagai penjabaran lebih lanjut dari Garis-garis Besar Haluan Negara dan Pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi Daerah Tingkat
I Jawa Barat yang disesuaikan dengan kondisi, potensi dan aspirasi yang tumbuh di daerah. (5) Pola Dasar Pembangunan Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung 1994/1995 – 1998/1999 (Perda Nomor 01 Tahun 1994). Sebagai pelaksanaan dari PJP tersebut di daerah disusun (6) Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Daerah, dengan Surat Keputusan Walikota, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dan menyatukan penjabaran lebih lanjut dari pola dasar pembangunan daerah dan memuat hasil pembangunan jangka panjang serta pembangunan lima tahun, kerangka rencana dan pembiayaan pembangunan dan keuangan daerah. Repelita ini dibagi menjadi Repelita I, II, III, IV, V. Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari kebijaksanaan Repelita Daerah ini untuk setiap tahun anggaran dituangkan dalam (7) Rencana Umum Pembangunan Tahunan Daerah (RUPTD) yang tercermin dalam APBD Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung serta kebijaksanaan–kebijaksanaan lainnya. Di tengah perjalanan pelaksanaan pembangunan dengan Repelita nya, munculah gerakan reformasi yang menuntut perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam hal perencanaan pembangunan. Pada masa transisi tersebut model pembangunan dengan Repelita-nya direvisi dan pada masa transisi tersebut di daerah disusunlah dokumen (8) Pokok-pokok Reformasi, yang berlaku menjelang diberlakukannya otonomi daerah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pengganti dari Undangundang Nomor 5 Tahun 1974. Kemudian dengan semangat otonomi daerah tersebut disusunlah kembali dokumen perencanaan lima tahunan, yaitu (9) Pola Dasar (Poldas) Pembangunan Kota Bandung Tahun 2000-2004 ( Perda Nomor 05 Tahun 2000 ), sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan di daerah dalam kurun waktu 5 (lima) tahun. Pola Dasar 2000-2004 tersebut, Kota Bandung untuk pertamakalinya menetapkan Visi nya, yaitu “Meningkatkan Peran Kota Bandung Sebagai Kota Jasa, Menuju Terwujudnya Kota Jasa yang Genah Merenah Tumaninah”. Walaupun sebetulnya pada tahun 1999, pemerintah Kota Bandung dan pemerintah Kabupaten Bandung, telah menyepakati Visi Tatar Bandung, yaitu “Tatar Bandung 2020 Ramah dan Cergas (Smart and Friendly)”. Untuk menjabarkan lebih lanjut, disusunlah kebijakan dan program strategis dalam dokumen (10) Program Perencanaan Pembangunan Daerah (Propeda) Kota Bandung, dan sebagai pelaksanaan dan penjabaran lebih lanjut dari Pola Dasar dan Propeda Kota Bandung dituangkan dalam (11) Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada), yang selanjutnya akan menjadi pedoman bagi penyusunan APBD Kota Bandung sehingga berfungsi sebagai acuan bagi seluruh komponen pelaku pembangunan dalam melaksanakan pembangunan. Lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan yang luas kepada daerah dalam mengurus dan menyelenggarakan pemerintahannya, kebijakan pemerintahan di daerah kemudian disesuaikan. Disusunlah (12) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung 2013 sesuai dengan Perda No. 03 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor. 02 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung, yang merupakan pengganti dan revisi dari RUTRK sebelumnya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. RTRW tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) per wilayah, yang ditetapkan dengan Peraturan Walikota. Selain itu ditetapkan pula (13) Rencana Strategik (Renstra) Kota Bandung Tahun 2004-2008, (Perda No. 06 Tahun 2004) sebagai kelanjutan dari Pola Dasar Pembangunan Daerah, yang merupakan rencana 5 (lima) tahunan, menggambarkan
visi, misi, tujuan, program dan indikasi kegiatan daerah yang merupakan dokumen perencanaan taktis strategis. Renstra disusun sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah dengan mengacu pada pola dasar pembangunan daerah dan program pembangunan daerah serta analisis situasi, PDRB dan proyeksi pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan jangka menengah yang digunakan sebagai rujukan dalam penyusunan APBD dan laporan pertanggunggjawaban Kepala Daerah kepada DPRD Kota Bandung. Renstra Kota Bandung 2004-2008, ditetapkan Visi Kota Bandung, yaitu ”Kota Bandung Sebagai Kota Jasa Yang BERMARTABAT (Bersih, Makmur, Taat dan Bersahabat)” dengan Misi sebagai berikut: 1) Mengembangkan sumberdaya manusia yang handal dan religius, yang mencakup pendidikan, kesehatan dan moral keagamaan; 2) Mengembangkan perekonomian kota yang adil, yang mencakup peningkatan perekonomian kota yang tangguh, sehat dan berkeadilan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha; 3) Mengembangkan sosial budaya kota yang ramah dan berkesadaran tinggi serta berhati nurani, yang mencakup peningkatan partisipasi masyarakat dalam rangka meningkatkan ketenagakerjaan, meningkatkan kesejahteraan sosial, keluarga, pemuda dan olah raga serta kesetaraan gender; 4) Meningkatkan penataan kota, yang mencakup pemeliharaan serta peningkatan kegiatan kota dengan tetap memperhatikan tata ruang kota dan daya dukung lingkungan kota; 5) Meningkatkan kinerja pemerintah kota secara profesional, efektif, efisien, akuntabel dan transparan, yang mencakup pemberdayaan aparatur pemerintah dan masyarakat; 6) Mengembangkan sistem keuangan kota, yang mencakup sistem pembiayaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, swasta dan masyarakat. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menetapkan satu kesatuan sistem dan tata cara perencanaan pembangunan dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan Kesatuan Nasional Perencanaan Pembangunan dibagi menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan rencana pembangunan tahunan. Sebagai rencana pembangunan tahunan, Kota Bandung telah menyusun dan memiliki dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) sesuai dengan SE. Menteri Dalam Negeri No 050/2020/SJ, merupakan dokumen perencanaan teknis operasional yang dapat memberikan dukungan yang memadai, baik dari segi program prioritas maupun arah kebijakan pembangunan dan pengalokasian anggaran di dalam pelaksanaan pembangunan daerah.
2.2
Gambaran Umum Perkembangan Kota Bandung
2.2.1
Fisik Lingkungan
Lingkungan hidup dan sumber daya alam di Kota Bandung merupakan salah satu modal utama pembangunan yang berguna untuk meningkatkan kesejahteraan warga Kota Bandung. Oleh karena itu, kualitas dan kuantitas lingkungan hidup dan atau sumber daya alam harus tetap terjaga. Walaupun beberapa jenis komponen lingkungan hidup atau sumber daya alam bersifat terbarukan, seperti air dan udara,
namun bila dalam pemanfaatannya melebihi daya regenerasi atau asimilasinya, maka kualitas kedua sumber daya alam tersebut akan semakin menurun yang pada gilirannya akan menghambat laju pembangunan. Di samping itu, walaupun Sumber Daya alam berupa air tidak akan habis, namun bila daurnya terganggu, maka akan dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti banjir dan kekeringan yang pada gilirannya juga menghambat kelancaran pembangunan. Mengingat kualitas dan kuantitas lingkungan hidup dan atau sumber daya alam penting bagi pembangunan, maka informasi tentang kedua kondisi lingkungan tersebut serta berbagai perubahannya sangat diperlukan dalam merencanakan setiap kegiatan pembangunan. Kota Bandung merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah 16.729,65 Ha dengan jumlah penduduknya mencapai 2.270.970 jiwa (BPS Kota Bandung, 2005) dan pada siang hari, jumlah orang yang ada di Kota Bandung meningkat hampir 2 kali lipat. Hal ini terjadi karena banyaknya penduduk di luar Kota Bandung yang bekerja di Kota Bandung. Besarnya jumlah penduduk tersebut membawa konsekuensi semakin besarnya tekanan terhadap Lingkungan hidup dan sumber daya alam. Walaupun telah dilakukan berbagai upaya pengelolaan lingkungan, namun demikian hasilnya belum optimal. Hal ini terlihat dari berbagai permasalahan yang dihadapi Kota Bandung seperti banjir, penurunan permukaan air tanah, ketersediaan air bersih, kemacetan lalu lintas yang berpotensi terhadap peningkatan pencemaran udara, serta belum seimbangnya luas ruang terbuka hijau kota. 2.2.1.1
Kualitas Lingkungan Alam
2.2.1.1.1
Iklim dan Kualitas Udara
Iklim di Kota Bandung selain dipengaruhi oleh berbagai faktor secara global juga tidak lepas dari pengaruh kondisi lingkungan setempat, seperti terjadinya alih fungsi lahan hijau menjadi terbangun di dalam Kota Bandung maupun sekitarnya, serta meningkatnya beban pencemaran udara. Berdasarkan penelitian curah hujan dari tahun 1986 sampai 2003 ( Badan Meteorologi dan Geofisika), curah hujan tahunan di seluruh Cekungan Bandung sejak 1986 mengalami penurunan dari semula sekitar 2500 mm/tahun, pada kondisi cuaca yang ekstrim yaitu Indian Ocean Dipole Mode, menjadi mendekati 1500 mm/tahun. Dampak dari perubahan curah hujan tersebut berpengaruh terhadap temperatur udara. Data temperatur udara rata-rata Kota Bandung dari tahun 1995 sampai 2005 (Tabel 2.1 dan Gambar 2.4) nampaknya relatif stabil yaitu 23º C, walaupun demikian setelah tahun 2000, tiga tahun berturut-turut terdapat temperatur maksimum yang mencapai di atas 29º C sedangkan pada perioda 1995-1999 hanya terjadi sekali (Badan Meteorologi dan Geofisika Bandung, 1995-2005). Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya terdapat kenaikan temperatur di Kota Bandung. Sementara itu bila dianalisis dalam kurun waktu yang lebih panjang, yaitu temperatur udara rata-rata maksimum dalam 20 tahun terakhir, temperatur di Kota Bandung naik sekitar 2º C, dan kenaikan tersebut dinilai signifikan dalam dunia meteorologi. Semakin sedikitnya Ruang Terbuka Hijau (RTH), serta meningkatnya pencemaran udara berkontribusi dalam meningkatkan iklim mikro di Kota Bandung.
Tabel 2.1 Temperatur Rata-rata di Kota Bandung Tahun 1995 – 2005 Temperatur (0C) Rata-rata Maksimum Minimum 1995 23,2 28,7 19,3 1996 23,1 28,7 19,2 1997 23,2 29,3 18,6 1998 23,5 28,9 19,7 1999 22,9 28,4 19,0 2000 23,1 28,6 19,2 2001 23,1 28,3 19,6 2002 23,6 29,3 19,4 2003 23,6 29,2 18,8 2004 23,5 29,3 19,0 2005 23,4 28,7 19,8 Sumber: BMG Tahun 2005 Tahun
35
30
Temperatur (0C)
25
20
Rata-rata Maksimum
15
Minimum
10
5 0 1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Sumber: Hasil Analisis, 2007
Gambar 2.4 Grafik Temperatur Rata-rata di Kota Bandung Tahun 1995 – 2005
Pelaksanaan program Langit Biru di Kota Bandung yang bertujuan untuk mengurangi pencemaran udara sudah berjalan sekitar 10 tahun, namun hasil pengukuran kualitas udara ambien (SO 2, CO, NO x , O 3, HC, Pb dan debu) di beberapa tempat menunjukkan masih terdapat parameter yang mendekati dan bahkan melebihi Baku Mutu (BM). Dari 15 tempat yang dipantau oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung tahun 2004-2005, kualitas udara yang melebihi di atas ambang batas adalah di terminal Cicaheum, Ledeng, Leuwipanjang dan pada beberapa jalan utama seperti Jalan Diponegoro, Soekarno-Hatta, Wastukancana, Ahmad Yani, Buahbatu dan Jalan Siliwangi, terutama dilihat dari kadar HC, debu dan Pb. Khusus untuk HC di semua lokasi melebihi baku mutu, hal ini nampaknya terkait dengan pertumbuhan kendaraan yang pesat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BAPEDAL), sekarang Kementrian Lingkungan Hidup, tahun 1992 dan Japan
International Cooperation Agency (JICA) 1997, diketahui bahwa jumlah pertumbuhan kendaraan di Kota Bandung mencapai 12 % per tahun. Data Dinas Perhubungan, pada tahun 2001 total kendaraan bermotor 501.885 unit, tahun 2005 meningkat menjadi 821.562 unit, peningkatan terbesar terjadi pada sepeda motor dari 283.936 unit pada tahun 2001 menjadi 544.660 unit pada tahun 2005. Meningkatnya pencemaran udara di Kota Bandung juga dipicu adanya kemudahan akses memasuki Kota Bandung, khususnya dari Jakarta. Hasil penelitian Departemen Teknik Lingkungan ITB Desember 2006, menunjukkan bahwa keberadaan tol Cipularang telah berimplikasi terhadap kualitas udara. Di titik masuk Kota Bandung seperti gerbang tol Pasteur dan jembatan Cikapayang, kandungan CO rata-rata pada hari Jumat dan Sabtu meningkat sekitar 38% (di hari normal sekitar 1800 menjadi 2.500 kg/hari pada Jumat dan Sabtu), sedangkan NO x meningkat 59% dan HC meningkat 50 %. Meningkatnya pencemaran udara di Kota Bandung juga dipengaruhi oleh tidak terawatnya mesin kendaraan. Data BPLH Kota Bandung, menunjukan bahwa berdasarkan hasil uji emisi gas buang kendaraan bermotor tahun 2002-2005, lebih dari 60% kendaraan berbahan bakar solar tidak memenuhi baku mutu emisi, sementara untuk yang berbahan bakar bensin berfluktuasi dari sekitar 10 % hingga 52%. Sementara Dinas Perhubungan Kota Bandung mengemukakan bahwa angkutan kota adalah penyumbang polusi udara yang paling besar. Meningkatnya pencemaran udara tersebut akan berdampak terhadap penurunan derajat kesehatan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat tahun 2006, jumlah balita penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Kota Bandung merupakan nomor empat terbanyak di Jawa Barat. Sedangkan menurut Puji Lestari tahun 2004 yang melakukan penelitian terhadap 500 anak SD di Kota Bandung, terdeteksi bahwa dalam darah 6 (enam) dari 10 (sepuluh) anak yang diteliti, memiliki kandungan Pb di atas 10 mikrogram/ dcl. Kemudian pada tahun 2005 Puji Lestari melakukan penelitian kembali terhadap 400 anak dengan hasil menunjukkan bahwa Pb dalam darah anak-anak di Kota Bandung berkisar antara 2,5-60 mikrogram/dcl (rata-rata 14,13 mikrogram/ dcl), padahal toleransinya 10 mikrogram/dcl. Bila tidak ada upaya penanggulangan, Puji memprediksi bahwa kadar polutan pada tahun 2020 akan terakumulasi empat kali lipat. 2.2.1.1.2
Sumberdaya Lahan
Salah satu masalah utama yang berkaitan dengan sumberdaya lahan adalah fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal tersebut membawa konsekuensi terjadinya dampak negatif. pengamatan langsung di lapangan bahwa banyak daerah resapan telah beralih fungsi menjadi pemukiman serta bentuk penutupan lain yang dapat mengurangi secara besar-besaran meresapnya air hujan ke dalam tanah. Pada tahun 1921, luas Kota Bandung adalah 2.856 Ha dengan RTH mencapai 70%. Pada tahun 2005 menjadi terbalik, dari luas Kota Bandung 16.729,65 Ha, luas lahan terbangun mencapai sekitar 76% (sekitar 53,4% berupa pemukiman). Luas total RTH berdasarkan data Dinas Pertamanan dan Pemakaman sampai tahun 2005 mencapai 1.957,69 Ha atau sekitar 5,72 % dari total luas Kota Bandung, terdiri dari taman dengan luas 118,85 Ha, kebun bibit mencapai 1,69 Ha, lahan pemakaman mencapai 132,7 Ha, serta liputan pohon mencapai 704,45 Ha. Potensi penambahan luasan RTH di Kota Bandung untuk masa yang akan datang sangat memungkinkan, sehubungan dengan kebijakan pemerintah Kota Bandung dalam mengembalikan lahan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) menjadi RTH, yang berlokasi di
Jalan Sukajadi (0,3 Ha), SPBU Jalan Cikapayang (0,2 Ha), lapangan Abra (1,6 Ha), serta lokasi TPA yang sudah habis masa pakainya yaitu TPA Cicabe 5,4 Ha dan TPA Pasir Impun 4,1 Ha. Tingginya lahan terbangun, meningkatnya proporsi lahan taman yang diperkeras, serta adanya pelanggaran Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan pendirian bangunan di sempadan sungai akan berdampak terhadap semakin sempitnya daerah resapan. Salah satu dampak yang sangat dirasakan dari perubahan peruntukan penggunaan lahan adalah banjir. Menurut Otto Soemarwoto (2002), koefisien air larian di Kota Bandung pada tahun 1960-an kira-kira 40 % dan Bandung Utara 25 %. Sekarang di daerah kota diperkirakan 75 % dan di Kawasan Bandung Utara 60 %. Tingginya air larian menyebabkan menurunnya air yang meresap ke dalam tanah, sehingga di musim kemarau mengalami kekeringan. Sebaliknya tingginya air larian tersebut menimbulkan banjir di musim hujan. Luas area yang terkena banjir di Kota Bandung di setiap tempat bervariasi antara 0,5 Ha sampai 25 Ha. Total luas lahan terkena banjir tahun 2006 mencapai 296 Ha dengan frekuensi/lama genangan antara 6-18 hari pertahun. Rusaknya fungsi resapan di Kota Bandung dan daerah sekitarnya, khususnya di wilayah Kawasan Bandung Utara dapat terlihat dari indikasi tingginya selisih debit maksimum dengan debit minimum sungai-sungai yang ada atau melintas Kota Bandung. Berdasarkan data dari Dinas Pengairan Kota Bandung 2006, terlihat bahwa sebagian besar debit maksimum sungai yang melintas di Kota Bandung lebih dari 20 m3, sementara debit minimumnya kurang dari 1 m3. Untuk Cikapundung yang merupakan sungai utama di Kota Bandung, debit maksimumnya sekitar 250 m3 sementara debit minimumnya hanya sekitar 12 m3, dan bahkan untuk Sungai Cibeunying, debit maksimumnya sekitar 64 m3 sementara debit minimumnya hanya 0,60 m3. 2.2.1.1.3. Sumberdaya Air Permasalahan penyediaan air bersih di Kota Bandung saat ini tidak saja hanya mencakup kuantitas tetapi juga kualitas. Dimana secara kuantitas kebutuhan air bersih untuk berbagai keperluan terus meningkat setiap tahunnya, sedangkan kemampuan PDAM dalam memenuhi kebutuhan air bersih masih terbatas, dan kondisi Tahun 2005 cakupan pelayanan baru mampu memenuhi sekitar 53 % dari penduduk Kota Bandung dengan kapasitas produksi air air bersih adalah sekitar 3.750 liter/detik. Mengingat dengan keterbatasan penyediaan air bersih oleh PDAM, pengambilan air tanah melalui sumur bor terus meningkat. Pada tahun 1970 jumlah pengambilan air tanah melalui sumur bor mencapai 10,5 juta m3/tahun, pada tahun 1985 dan 1995 meningkat masing-masing menjadi 38,6 juta m3/tahun dan 66,9 juta m3/tahun (Dedi Hernandi dkk, 2006). Sementara jumlah sumur bor pada tahun 1970 yang semula hanya sekitar 500 buah, pada tahun 1985 meningkat menjadi sekitar 1500 buah dan pada tahun 1995 mencapai sekitar 2.200 buah. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pengambilan air tanah di Kota Bandung dan daerah sekitarnya tahun 1996 cukup meningkat yaitu mencapai 76,8 juta m3/tahun (sekitar 92% diantaranya dipergunakan untuk usaha industri dan usaha komersil lainnya) dengan total jumlah sumur bor mencapai 2.628 buah. Jumlah sumur bor sebenarnya diperkirakan lebih banyak karena banyak diantaranya yang tidak didaftarkan. Sementara itu berdasarkan hasil IWACO/International Workshop on Aliasing, Confinement dan Ownership, (DHV dan IWACO, 1989) memproyeksikan kebutuhan air bersih di Kota Bandung dan daerah sekitarnya pada tahun 2015 akan naik dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 1996, yaitu menjadi sekitar 4.372 l/detik.
Pesatnya peningkatan aktivitas industri, mall dan hotel, telah menyebabkan pengambilan air tanah semakin tinggi dan tidak terkendali, sementara daerah resapan air semakin sempit. Akibat meningkatnya jumlah kebutuhan air dan meningkatnya jumlah sumur bor secara signifikan berdampak terhadap penurunan muka air tanah. Penurunan muka air tanah di Kota Bandung dan sekitarnya yang didasarkan pada analisis data Automatic Water Level Recorder (AWLR) terpasang pada sumur pantau periode Juli 1996 sampai Juli 2005 (Dedi Hernandi dkk, 2006) diketahui mencapai minus 0,01-1,20 m per bulan. Sementara data dari Pusat Lingkungan Geologi menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, penurunan muka air tanah mencapai 80 m. Variasi laju penurunan pertahun berkisar antara 0,01 - 6,26. Tingginya pengambilan air tanah di Bandung dan sekitarnya, telah mengakibatkan beberapa daerah mengalami amblasan, seperti di Leuwigajah, Kota Cimahi (turun 52 cm), Rancaekek (turun 42 cm), Dayeuhkolot (turun 46 cm) dan di daerah Kopo. Menurut Direktorat Tata Lingkungan dan Pertambangan, hingga 2002 muka air tanah di Bandung berada sekitar 100 m di bawah muka tanah. Selain terjadinya penurunan muka air tanah, juga telah terjadi penurunan laju produksi rata-rata air sumur dari 0,1 juta m3/tahun sebelum tahun 1970 menjadi 0,03 juta m3/tahun pada tahun 1995 (Muhammad, 1977). Laporan pada tahun 1999, menunjukkan bahwa laju produksi air sumur dalam hanya 0,01 juta m3/tahun. Tingginya penggunaan air tanah di Kota Bandung dan sekitarnya telah menyebabkan beberapa daerah tergolong kritis air tanah. Bila mengacu pada peta konservasi air tanah daerah Bandung dan sekitarnya, hampir seluruh daerah Kota Bandung tergolong kategori I (kritis) dan II (rawan). Kategori I tergolong daerah kritis, dan di daerah ini tidak diperbolehkan lagi adanya pengambilan air tanah untuk semua peruntukan kecuali hanya untuk air minum dan rumah tangga. Sementara kategori II pada dasarnya pengambilan air tanah disarankan tidak diperkenankan untuk industri dan jasa. Namun demikian disayangkan, pada beberapa tempat di zona kategori I masih ada pengambilan air tanah untuk kebutuhan bukan air minum dan rumah tangga. Di samping semakin terbatasnya kuantitas air yang tersedia, berdasarkan pemeriksaan Dinas Kesehatan Kota Bandung, separuh dari sumur gali dan sumur pompa di Kota Bandung tidak memenuhi syarat sebagai air bersih. Dari analisis sampel yang diambil dari 52 kelurahan, secara bakteriologi hanya 37% yang memenuhi syarat. Tercemarnya berbagai sumber air bersih oleh limbah industri maupun domestik telah mengakibatkan penurunan ketersediaan air per kapita per tahun. Secara umum kualitas air di bagian utara Kota Bandung dapat dikatakan relatif lebih baik dibandingkan dengan di bagian hilirnya. Namun demikian bila dilihat dari parameter BOD, COD dan DO, baik di bagian hulu maupun hilir, konsentrasinya telah melampaui Baku Mutu. Data pemantauan kualitas air dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Kota Bandung tahun 2002-2005 menunjukkan bahwa kualitas air sungai Cikapundung, Citepus, Ciparungpung dan Cidurian dari tahun 2002 sampai 2005 menunjukkan semakin menurun. ( Lampiran I, tabel 1 – 5 dan Lampiran II, Grafik 1 -
5 ). Hasil pemantauan tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan BOD, COD, dan penurunan DO dari hulu ke hilir. Hal ini salah satunya diakibatkan karena semakin padatnya jumlah penduduk di bagian hilir. Besarnya konsentrasi BOD dan COD pada daerah padat penduduk, disebabkan pengendalian untuk limbah domestik tidak dilakukan dengan baik. Hal ini terlihat misalnya dengan sedikitnya jumlah perumahan yang mempunyai septic tank ( 15 %). Berdasarkan hasil pengukuran, beban BOD saat ini untuk Kota Bandung diperkirakan 40.414 ton per hari dan ini akan meningkat seiring dengan pertambahan penduduk setiap tahunnya. Peningkatan kadar BOD dan COD mengindikasikan bahwa pengendalian lingkungan
perairan melalui Prokasih masih perlu ditingkatkan. Selain menghadapi permasalahan limbah domestik, Kota Bandung juga menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan limbah cair industri yang pada umumnya didominasi oleh industri tekstil. Industri ini memakai jumlah air yang sangat besar dibandingkan dengan jumlah pemakaian air industri lainnya, karenanya jumlah limbah cair yang dikeluarkan oleh industri ini sangat besar. Badan Pengelola Linggkungan Hidup Kota Bandung pada tahun 2006, memantau 39 titik pantau yang terdiri dari 29 industri, 6 hotel dan 4 rumah sakit. Dari hasil pemantauan tersebut hanya 4 titik pantau yang memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh ketentuan SK Gubernur Jawa Barat No. 6 Tahun 1999 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Kegiatan Industri, industri yang memenuhi baku mutu tersebut adalah industri tekstil dan farmasi. Secara umum hampir 90% parameter yang tidak memenuhi baku mutu adalah BOD dan COD. 2.2.1.2
Pembentukan Struktur Ruang Kota
Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat, sesuai dengan Perda Nomor 03 tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung, memiliki kebijakan utama pembentukan struktur tata ruang, sebagai berikut : a. Mengembangkan 2 ( dua ) pusat primer yaitu Inti Pusat Kota yang berada di Alun-alun untuk wilayah Bandung Barat dan Gedebage untuk wilayah Bandung Timur. b. Membagi Wilayah kota menjadi 6 ( enam ) Wilayah Pengembangan (WP), masing masing dilayani oleh satu pusat sekunder, terdiri dari pusat sekunder Setrasari, melayani WP Bojonegara; pusat sekunder sadang serang, melayani WP Cibeunying; Pusat Sekunder Kopo Kencana, melayani WP Tegalega; Pusat Sekunder Turangga, melayani WP Karees; Pusat Sekunder Arcamanik, melayani WP Ujungberung; dan Pusat Sekunder Margasari melayani WP Gedebage. Sampai saat ini pengembangan Pusat primer ke dua di Gedebage, dan pusat sekudernya di Margasari belum berkembang, sehingga berdampak terhadap masih terkonsentrasinya kegiatan dan pergerakan penduduk dipusat inti kota. Adapun pusat sekunder yang sudah berfungsi dipusat inti Kota adalah Setrasari, Kopo Kencana, Sadang Serang, Turangga, dan Arcamanik.
2.2.1.3
Mitigasi Bencana
2.2.1.3.1 Potensi Bencana Alam (Natural Disaster) Selain potensi bencana alam banjir, yang telah dijelaskan sebelumnya, Bandung juga memiliki potensi bencana alam berupa gempa bumi dan gunung api. Menurut pembagian seismisitas (Beca Carter, 1976) , Kota Bandung termasuk pada Zona III dengan skala I-IV Modified Mercale Intensty (MMI). Goncangan gempa bumi yang diakibatkan pada rentang skala tersebut berkisar mulai hanya tercatat oleh seismik hingga kerusakan cerobong, kaca dan jendela pecah, retakan pada dinding rumah tembok dengan konstruksi sederhana. Walaupun demikian secara historis kejadian gempa yang merusak di wilayah ini belum pernah terjadi kecuali pada bangunan-bangunan dengan konstruksi sederhana. Didasarkan hasil kajian
Puslitbang Geologi Bandung, di sekitar Bandung terdapat beberapa patahan yang mempunyai sejarah kejadian gempa. Patahan tersebut yaitu Patahan Baribis, Patahan Citanduy, dan Patahan Cimandiri. Potensi bahaya gunung api di Kota Bandung sendiri diidentifikasi pada puncak, tubuh, dan lereng Gunung Tangkuban Parahu. Bahaya III terdapat di puncak dan tubuh Gunung Tangkuban Parahu, diperkirakan apabila terjadi letusan daerah tersebut akan teraliri lava, lahar panas, dan awan panas. Lahar panas diperkirakan akan melalui tiga aliran sungai yang berhubungan dengan puncak gunung tersebut, yaitu Sungai Ciujung, Sungai Cibeureum, dan Sungai Cikapundung. Penyebaran daerah bahaya ini diperkirakan antara puncak dan sekitar Lembang. Bahaya dengan tingkat waspada, memiliki penyebaran lebih luas, yaitu antara puncak hingga pertemuan dengan Sungai Citarum. Bahaya yang kedua ini terutama berupa aliran lahar dingin jika terjadi hujan di bagian hulu. Tidak adanya lokasi evakuasi bencana alam di setiap Kelurahan/Kecamatan juga merupakan kendala di Kota Bandung. Hal ini diperlukan untuk mengurangi angka korban jiwa bila terjadi bencana. 2.2.1.3.2
Potensi Bencana Buatan (Artificial Disaster)
Kecenderungan meningkatnya angka kebakaran di Kota Bandung dari tahun ke tahun seiring dengan pertambahan peduduk Kota Bandung. Sehingga dapat dikatakan terdapat kecenderungan belum dapat dikendalikan kebakaran tersebut dengan baik. Berdasarkan studi Balai Sains Bangunan Puslitbang Permukiman tahun 2002 dengan mengacu data kebakaran lima tahun terakhir, mencatat bahwa Kota Bandung memiliki rasio per tahun 1 kebakaran tiap 12.500 penduduk. Selain berdasarkan data kebakaran 13 tahun terakhir (1990-2002) dapat diperoleh data sebagai berikut : di Kota Bandung terjadi 2.132 kali kebakaran dengan penyebab kebakaran adalah 41,4% akibat listrik, 13,1% kompor, 2,8% lampu, 3,9% puntung rokok, dan 38,8% lain-lain. Sehingga diperlukan pembangunan 19 pos wilayah dan baru terealisasi sebanyak 2 pos wilayah yang berlokasi di Jalan Sukabumi dan Perumahan Arta Graha. Sehingga perlu pembangunan 17 pos wilayah pemadam kebakaran agar angka kebakaran dapat ditekan dengan memperbaiki tingkat pelayanannya. 2.2.1.3.3
Potensi Kejadian Luar Biasa (KLB)
Potensi bencana di samping yang sudah diceritakan pada bab terdahulu, juga bisa ditimbulkan oleh penyakit yang sumber penularannya dari hewan yaitu penyakit hewan zoonosis. Hal ini perlu mendapat perhatian. mengingat penyakit zoonosis pada hewan dapat menular pada manusia bahkan dapat menyebabkan kematian, sehingga apabila telah tejadi sering dikatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Penyakit Zoonosis tersebut antara lain adalah penyakit Flu Burung, anthrax, rabies dan sapi gila (mad cow ). Penyakit flu burung (avian influenza) mulai masuk ke Indonesia termasuk ke Jawa Barat pada tahun 2003, sedangkan di Kota Bandung, virus ini mulai menjangkiti unggas pada tahun 2005. Tipe virus yang ditemukan di Indonesia adalah H5N1 yang bersifat ganas. Virus tersebut pada umumnya menyerang unggas namun dapat juga menyerang manusia dan hingga saat ini belum ada obatnya. Apabila terjadi kontak langsung antara manusia dengan unggas yang terjangkit virus flu burung akan mengakibatkan sesak nafas, demam sama dengan gejala flu biasa namun tidak dapat diobati.
Pada tahun 2005, kasus virus flu burung menyerang unggas di 3 Kelurahan, yaitu di Kelurahan Gegerkalong, Kecamatan Sukasari dengan jumlah unggas yang terinfeksi 21 ekor, Kelurahan Pasirluyu, Kecamatan Regol, jumlah unggas yang terinfeksi 16 ekor, dan Kelurahan Babakan Tarogong, Kecamatan Astanaanyar, jumlah unggas yang terinfeksi 20 ekor. Jumlah unggas yang dimusnahkan (depopulasi) sebanyak 73 ekor. Penyakit Anthrax atau nama lainnya Radang Limpa, diberitakan pertama kali di Indonesia pada tahun 1884, sampai saat ini penyakit anthrax mempunyai potensi sangat besar untuk menular dari hewan ke manusia. Penyebab penyakit ini adalah Bacillus anthraciz yang jika kontak dengan oksigen akan membentuk spora yang dapat bertahan selama 60 tahun di dalam tanah. Pada umumnya manusia tertular melalui kontak langsung kuman penyakit, baik yang berasal dari ternak sakit ataupun tanah/rumput dan bahan asal ternak. Dapat pula manusia tertular melalui kontak tidak langsung dengan cara menghirup udara ataupun debu yang terkontaminasi kuman anthrax. Jika sampai terjadi penularan pada manusia, masa inkubasinya bervariasi antara 2 – 7 hari yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian. Rabies atau penyakit “anjing gila” atau Tolwut adalah penyakit hewan berbahaya menular yang disebabkan oleh virus, menyerang susunan saraf pusat hewan berdarah panas dan manusia. Penyakit ini dapat menular dari hewan ke manusia dan sangat berbahaya karena belum ada obatnya, baik pada hewan maupun pada manusia. Binatang anjing, kucing, kera, sangat berpotensi menularkan rabies kepada manusia. Lebih dari 90 % kasus rabies pada manusia ditularkan oleh anjing, sehingga anjing menjadi obyek utama kegiatan pemberantasan rabies. Penyakit ini dikatakan berbahaya karena penderita dapat mengalami dengan masa inkubasi selama ± 14 hari. Bovine Spogiform Encephalopathy (BSE) penderita dapat Penyakit mengalami peradangan otak yang akut dan menyebabkan kematian dalam waktu yang singkat disertai dengan gejala Mad cow (sapi gila) adalah penyakit pada ternak sapi, tergolong berbahaya, ganas dan sangat cepat penyebarannya. Berbahaya bukan saja bagi industri peternakan sapi, tetapi juga bagi manusia. Jika daging sapi yang terinfeksi sampai dikonsumsi oleh manusia maka dapat merusak otak. Sampai saat ini belum terjadi kasus untuk berbagai penyakit zoonosis lainnya kecuali kasus flu burung, maka diperlukan berbagai tindakan pencegahan agar penyakit-penyakit menular tersebut tidak berkembang yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian pada manusia. Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam upaya memberikan rasa aman bagi masyarakat Kota Bandung, sebagai bagian dari perlindungan konsumen, perlu dilaksanakan Pengawasan terhadap komoditi pertanian yang beredar di Kota Bandung, karena hampir 95 % kebutuhan pokok seperti daging, beras, telur, susu, sayuran, ikan dll, didatangkan dari luar daerah dengan kualitas yang belum terjamin layak tidaknya untuk dikonsumsi. 2.2.1.4
Kualitas Lingkungan
Kualitas lingkungan tercermin dari pola ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kondisi mengenai pola ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya diuraikan sebagait berikut :
2.2.1.4.1 Kawasan lindung
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Persoalan untuk kawasan lindung di Kota Bandung adalah masalah Kawasan Bandung Utara. Kawasan ini dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cenderung mengganggu fungsi dan perannya sebagai kawasan resapan air, mempunyai peranan sangat penting dalam penyediaan air tanah di Cekungan Bandung. Kegiatan pembangunan fisik bangunan seperti pembangunan perumahan dan pembangunan lainnya di Kawasan Bandung Utara sangat pesat dan kurang terkendali, sehingga cenderung menurunkan kualitas lingkungan alami wilayah ini dan menimbulkan persoalan lingkungan, yaitu antara lain penurunan muka air tanah dan pendangkalan sungai. Khusus berkaitan dengan kawasan lindung setempat muncul persoalan kurangnya ruang terbuka hijau, hutan kota, taman kota, taman bermain, ruang olahraga, dan lain-lain.
2.2.1.4.2 Kawasan Budidaya Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Salah satu persoalan yang dominan pada kawasan budidaya adalah alih fungsi lahan perkotaan yang tidak terkendali dan terjadi penggunaan campuran (mixed use) dalam pemanfaatan ruang kota. Hal ini terutama terjadi pada koridor-koridor jalan utama kota yang semula memiliki fungsi sebagai perumahan golongan menengah ke atas dengan kapling besar menjadi kegiatan komersial yang tidak berskala pelayanan lingkungan atau lokal tetapi berskala pelayanan kota atau regional. Alih fungsi perumahan menjadi kegiatan komersial ini memberikan dampak berupa gangguan lalulintas (kemacetan) akibat terjadinya tarikan jumlah pengunjung yang meningkat dan tidak memadainya lahan parkir. Selain itu dampak negatif pun dapat dilihat dengan adanya perubahanperubahan fisik bangunan yang mencolok akibat tuntutan intensitas aktivitas yang lebih tinggi sehingga terbentuk kondisi bangunan yang kurang selaras dan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan teknis bangunan. Persoalan lainnya adalah konsentrasi kegiatan di inti pusat kota (sekitar alunalun kota) yang sangat tinggi/kurang merata dan terkonsentrasinya kawasan kumuh. Selanjutnya, persoalan kawasan budidaya dapat dilihat dari penyimpangan penggunaan lahan yang terjadi. Hal ini didasarkan pada ijin lokasi dan data rencana penggunaan lahan RUTR (1992): Penggunaan lahan perumahan yang telah terlaksana mencapai sekitar 55,5% dari rencana. Sedangkan ketidaksesuaian yang terjadi umumnya berupa non urban dan jasa. Luas yang direncanakan untuk jasa/perdagangan yang sudah terbangun adalah sebesar 54,7%. Sisanya masih digunakan untuk kegiatan lain. Kegiatan yang cukup dominan menempati area yang dialokasikan untuk kawasan jasa/perdagangan adalah permukiman dan non urban. Penggunaan lahan industri Kota Bandung dikonsentrasikan di daerah Bandung Timur, mengingat ketersediaan lahan dan dukungan infrastruktur sudah tidak memadai untuk pengembangan industri.
2.2.1.4.2.1 Ketersediaan Lahan yang Layak Bangun Pemanfaatan lahan di Kota Bandung sampai dengan tahun 2005, 55,5 % dimanfaatkan untuk perumahan dan 20,1 % masih dalam bentuk sawah, secara rinci pemanfaatan lahan dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 2.2 Luas Pemanfaatan Lahan di Kota Bandung No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Guna Lahan Luas Area (Ha) Perumahan 9290,28 Jasa 1668,54 Industri 647,83 Sawah 3354,49 Tegalan 318,7 Kebun Campuran 215,57 Tanah Kosong 545,47 Kolam 39,9 Lainnya 649,22 Jumlah 167279 Sumber: Dinas Pertanahan Kota Bandung, 2006
Persentase (%) 55,5 10 3,9 20,1 1,9 1,3 3,3 0,2 3,8 100
Dengan komposisi dan proporsi lahan terbangun yang sudah cukup luas, maka potensi pengembangan lahan di Kota Bandung semakin sedikit. Luas tersebut masih harus dibatasi oleh kewajiban untuk menyediakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30% sesuai dengan pasal 29 ayat (2) UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dapat sekaligus dikenakan pada pembatasan pembangunan di Kawasan Bandung Utara (KBU) dan menyediakan untuk jaringan jalan minimum 5% dari luas total Kota Bandung ( Kepmenkimpraswil No. 534/KPTS/M/2001 ). Kawasan yang masih dapat dikembangkan antara lain adalah lokasi-lokasi perumahan kumuh, yaitu dengan melakukan peremajaan (redevelopment). Sesuai dengan Perda Nomor 03 tahun 2006 tentang Perubahan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah ( RTRW ) Kota Bandung, terdapat 62 titik kawasan kumuh yang tersebar di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Bojongloa Kidul, Bojongloa Kaler, Babakan Ciparay dan Regol. Dalam rangka menangani persoalan permukiman kumuh, pemerintah kota telah melakukan tindakan peremajaan dengan membangun rumah susun, baik dibiayai dari APBD maupun oleh swasta. Masalah lain dari tata guna lahan perumahan berkaitan dengan penyediaan tempat tinggal adalah Pemenuhan kebutuhannya belum sepenuhnya dilaksanakan oleh developer baik pemerintah maupun swasta, sehingga terbentuk enclave dan tidak terorganisir. Selain kawasan kumuh, potensi pengembangan lahan lainnya adalah persilpersil milik pemerintah maupun swasta yang masih kosong (belum terbangun) dapat dikembangkan menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH). Mengingat keterbatasan lahan, maka untuk pengembangan kawasan industri, diarahkan pada jenis industri kreatif yaitu industri yang dikembangkan dengan mengandalkan kreativitas, katerampilan, dan talenta serta kemampuan intelektual, yang memiliki potensi untuk meningkatkan kemakmuran dan penciptaan lapangan kerja (BPS dalam PDRB triwulan IV tahun 2007). Potensi lahan lain yang dimiliki Kota Bandung dan telah direncanakan untuk dikembangkan adalah Pusat Primer Gedebage yang terletak di Bandung Timur.
2.2.1.4.2.2
Ketersediaan Infrastruktur
2.2.1.4.2.2.1 Transportasi Transportasi di Kota Bandung merupakan sistem transportasi jalan raya, rel, dan udara. Pergerakan lalu lintas di Kota Bandung yang sebagian besar menuju pusat kota/perdagangan (Central Bisnis District) yaitu di sekitar Jalan Dewi Sartika, Jalan Asia Afrika, Jalan Merdeka, Jalan Diponegoro, dan sebagainya, juga karena adanya pergerakan arus yang memasuki Kota Bandung pada hari-hari libur untuk keperluan wisata ataupun hanya melintasi (through traffic). Untuk pergerakan orang/penduduk pada skala perangkutan regional, penduduk Kota Bandung umumnya memanfaatkan fasilitas bus angkutan antar kota yang berada di Leuwipanjang dan Cicaheum. Pola perjalanan yang ada di Kota Bandung menunjukkan bahwa pergerakan penduduk dari luar Kota Bandung (eksternal/regional) menuju wilayah internal (Kota Bandung) adalah cukup besar (perjalanan eksternal-internal). Hal ini disebabkan banyaknya penduduk di luar Kota yang bekerja di Kota Bandung. Sedangkan untuk pola perjalanan di Kota Bandung sendiri (internal) pada umumnya dibangkitkan dari kawasan perumahan menuju pusat kota sebagai pusat kegiatan Kota Bandung. Pola jaringan transportasi karakteristik sebagai berikut:
di
Kawasan
Kota
Bandung
menunjukkan
Pola jaringan cenderung membentuk pola kombinasi radial konsentris sesuai dengan pola guna lahannya dengan beberapa poros utama kota, serta pada sebagian besar ruas jalan utama terdapat interaksi (simpangan) dengan jarak antara sangat dekat. Pola jaringan pada kawasan perluasan (internal kota) membentuk pola radial untuk mengarahkan arus pergerakan tidak melalui pusat kota. Pola jaringan pada kawasan pinggiran (luar kota) dilayani dengan jaringan jalan tol untuk memisahkan arus pergerakan regional tidak bercampur dengan pergerakan internal kota.
Jaringan jalan di Kota Bandung terdiri dari jaringan jalan primer untuk lalu lintas regional dan antarkota serta jaringan jalan sekunder untuk lalu lintas perkotaan. Total jaringan jalan di Kota Bandung sampai tahun 2005 adalah 1.168.81 km yang terdiri jalan arteri primer 42,11 Km; jalan arteri sekunder 11,30 Km, jalan kolektor primer 22,99 Km; jalan kolektor sekunder 41,13 Km dan jalan lokal sepanjang 1.052,58 Km. Perbandingan kapasitas jalan dengan jumlah kendaraan yang ada di Kota Bandung tidak seimbang, yaitu luas jalan pada tahun 2005 mencapai 2,32 % dari total luas wilayah. Kondisi ini masih sangat minimum bila dibandingkan dengan kondisi ideal proporsi luas jalan dari suatu kota, yaitu sekitar 15% hingga 20%. Belum tersedianya Sistem Angkutan Umum Masal (SAUM) di Kota Bandung juga merupakan permasalahan tersendiri, hal ini menyebabkan tingginya penggunaan kendaraan pribadi, yang berdampak terhadap kemacetan di beberapa ruas jalan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kondisi transportasi di Kota Bandung saat ini sudah memprihatinkan. Berdasarkan hasil identifikasi Dinas Perhubungan, kondisi kemacetan jalan dipengaruhi oleh 32 (tiga puluh dua) aspek sebagai berikut : 1.) Panjang jalan/lebar jalan; 2.) Kondisi jalan; 3.) Jumlah kendaraan pribadi; 4.) Persimpangan yang terlalu dekat;
5.) 6.) 7.) 8.) 9.) 10.) 11.) 12.) 13.) 14.) 15.) 16.) 17.) 18.) 19.) 20.) 21.) 22.) 23.) 24.) 25.) 26.) 27.) 28.) 29.) 30.) 31.) 32.)
Sekolahan; Pasar Tumpah/PKL; Pangkalan liar; Parkir; Kendaraan jemputan anak sekolah; Angkot; Kesadaran masyarakat; Displin pengemudi; Kendaraan dari luar Kota Bandung; Becak melawan arus; Shelter; Traffic light; Perumahan; Perubahan Fungsi bangunan; Banjir; Marka jalan dan rambu lalu lintas; SDM petugas; Dana; Anak jalanan; Jaringan jalan; Perbaikan jalan/galian kabel/perbaikan; Perlintasan kereta api; Pusat perbelanjaan/Mall; Bongkar muat; Penerangan jalan umum; Gerakan pejalan kaki; Pool/Agen bus; Luas terminal.
2.2.1.4.2.2.2 Sanitasi/Limbah Air limbah di Kota Bandung diolah hanya dengan menggunakan satu buah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), yang terletak di Bojongsoang, dengan kapasitas 400.000 jiwa, atau hanya melayani lebih kurang 15% dari penduduk Kota Bandung. IPAL Bojongsoang melayani sistem terpusat Bandung Timur serta Tengah/Selatan, sedangkan untuk Bandung Barat dan Bandung Utara belum tersedia sistem pelayanan. Kondisi ini menunjukkan tingginya tingkat pencemaran yang ditimbulkan oleh air limbah, terutama pencemaran air. Sampai dengan tahun 2005 di sebagian besar wilayah, saluran air kotor masih bercampur dengan saluran drainase (sistem campuran) dalam bentuk saluran terbuka. Saluran tertutup untuk limbah domestik maupun non-domestik masih sangat terbatas. Sistem pembuangan air limbah di Kota Bandung, baik setempat maupun terpusat, masih menghadapi permasalahan teknis dan nonteknis dalam operasi pengelolaannya, yang secara umum akibat kurangnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan sarana yang ada. Selain itu pengelolaan limbah non domestik, seperti limbah pabrik, belum memenuhi standar yang telah ditetapkan, bahkan masih banyak pabrik-pabrik yang belum memiliki instalasi pengolahan limbah.
2.2.1.4.2.2.3
Drainase
Sistem drainase di Kota Bandung belum terencana dengan baik, sebagian besar masih mengikuti pola alamiah, sebagian lagi berupa sistem drainase jalan. Secara umum sistem drainase di Kota Bandung terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu drainase makro dan drainase mikro. Saluran pembuangan makro adalah saluran pembuangan yang secara alami sudah ada di Kota Bandung, yang terdiri dari 15 sungai sepanjang 265,05 Km. Sungai utama yang menampung air hujan Kota Bandung adalah Sungai Cikapundung dengan panjang 62,10 Km yang memiliki 9 anak sungai yang mengalir dari utara ke selatan. Saluran drainase Kota Bandung di bagian utara dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada umumnya bermuara di sungai Cikapundung. Saluran pembuangan mikro adalah saluran yang sengaja dibuat mengikuti pola jaringan jalan. Pada akhirnya saluran ini bermuara pada saluran makro yang dekat dengan saluran mikro tersebut. Kondisi saluran mikro ini di beberapa tempat terputus (tidak berhubungan dengan saluran di bagian hilirnya). Pada saat ini hanya sekitar 70% ruas jalan yang memiliki saluran drainase. Secara keseluruhan sistem drainase di Kota Bandung masih belum terencana dengan baik. Sebagai dampaknya adalah timbulnya daerah-daerah rawan banjir di beberapa lokasi, misalnya di Wilayah Gedebage dan Arcamanik. Pada tahun 2001 luas daerah genangan banjir di Kota Bandung sebesar 314.9 Ha. Penyebab terjadinya daerah rawan banjir ini adalah karena tertutupnya street inlet oleh beberapa aktivitas, sehingga air hujan tidak bisa masuk ke dalam saluran drainase, adanya pendangkalan di beberapa bagian saluran serta konstruksi drainase yang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
2.2.1.4.2.2.4
Sampah
Sampah adalah limbah yang bersifat padat dan terdiri dari zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dalam kegiatan keseharian manusia (SKSNI Dept. PU, 1990). Besar kecilnya timbulan sampah perkapita sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain tingkat ekonomi dan pola konsumsi masyarakat. Total timbulan sampah Kota Bandung tahun 2005 adalah 6.860 m3/hari dengan sumber timbulan sampah terbesar dari perumahan dan fasilitas umum. Tempat penampungan sampah sementara (TPS) yang digunakan di Kota Bandung berjumlah 202 buah. Volume sampah yang dapat diangkut pada tahun 2005 adalah 2.231 m3/hari. Tempat pembuangan akhir (TPA) sampah milik PD Kebersihan pada saat ini terdapat di lima lokasi, yaitu TPA Pasir Impun, Leuwigajah, Cicabe, Cieunteung, dan Jelekong. TPA Pasir Impun, Cieunteung, dan Cicabe telah ditutup, begitu juga dengan TPA Leuwigajah dan Jelekong. TPA Leuwigajah mempunyai kapasitas 3.187.409 m3, menggunakan sistem Open Dumping, sedangkan TPA Jelekong, dengan kapasitas 650.490 m3, menggunakan sistem Control Landfill, namun semua TPA tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Secara terinci kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Kota Bandung dapat dilihat pada Lampiran I Tabel 6. Dari tabel terlihat bahwa ada beberapa TPA yang dipakai lagi setelah masa operasinya habis, hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi ketiadaan lahan TPA sampah sehubungan dengan longsonrya TPA Leuwigajah.
Permasalahan dalam persampahan antara lain : Tingginya produksi sampah, kurangnya sarana pengelolaan sampah, seperti TPS, TPA, dan armada pengangkut serta tidak tersedianya Tempat pembuangan Akhir. 2.2.1.4.2.2.5
Air Minum (Air Bersih)
Kota Bandung mempunyai dua buah sumber air bersih, yaitu sungai (air permukaan) dan artesis (air tanah dalam). Berdasarkan data tahun 2000 kapasitas produksi dari PDAM rata-rata sebesar 2.200 liter/detik dengan persentase kehilangan air bersih rata-rata per tahun 47% (berdasarkan pembayaran air pelanggan pada tiap bulannya). Selain itu terdapat pula sumber air bersih yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk Kota Bandung yaitu mata air, PDAM menggunakan 10 buah mata air utama yang terletak di daerah Ledeng. Debit air yang mengalir dari mata air sebagian dialirkan ke reservoir XI dan sebagian lagi langsung didistribusikan ke konsumen. Untuk sumur bor, PDAM menggunakan 19 buah sumur bor produksi yang dipompakan ke reservoir IX dan X serta sumur bor lokal. Jumlah pelanggan air bersih di Kota Bandung hingga tahun 2005 sebanyak 144.309 sambungan langsung dengan cakupan pelayanan sekitar 53%.
2.2.1.4.2.2.6
Telekomunikasi
Media telekomunikasi yang umumnya digunakan di Kota Bandung adalah telepon, telex, dan faximile. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana telekomunikasi tersebut baik dari segi kualitas maupun jumlah sambungannya, harus disediakan oleh PT Telkom. Pelayanan telekomunikasi di Kota Bandung sudah cukup merata hingga ke seluruh kota, khususnya telekomunikasi telepon, telegram dan fax. 2.2.1.4.2.2.7
Jaringan listrik
Pola jaringan listrik di Kota Bandung sebagian besar mengikuti pola jaringan jalan dan berupa sistem jaringan udara. Untuk Kota Bandung seluruh wilayahnya sudah terlayani dengan listrik. Walaupun demikian, permintaan untuk pembukaan sambungan baru dan peningkatan kapasitas, senantiasa meningkat sebagai akibat dari dibukanya kawasan-kawasan baru dan peningkatan kegiatan industri/perdagangan. Sumber listrik yang melayani Kota Bandung dan sekitarnya berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yaitu PLTA Saguling (S.Citarum), PLTA Cikalong, PLTA Lumajang, PLTA Pangalengan (S.Cisangkuy) dan PLTA Bengkok (S.Cikapundung) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) di Kamojang.
2.2.1.4.2.2.8 Jaringan Gas Untuk memenuhi kebutuhan akan gas khususnya untuk keperluan dapur masyarakat, Kota Bandung memiliki fasilitas jaringan gas kota untuk dapat melayani penduduk. Gas ini disalurkan melalui jaringan pipa tertutup ke penjuru kota yang hingga saat ini daerah pelayanannya masih sangat terbatas. Jaringan pipa yang ada sekarang merupakan peninggalan dari zaman Belanda dan umurnya sudah sangat
tua dan perlu dilakukan peremajaan. Pendistribusian gas di Bandung, dikelola oleh Perum Gas Negara (PGN), hingga sampai saat ini pengguna gas dari tahun ke tahun relatif konstan bahkan ada kecenderungan menurun. Pengguna PGN ini sangat sulit untuk berkembang mengingat pipa jaringan distribusinya sangat terbatas dan gas jenis ini, penawarannya kalah bersaing dengan gas tabung yang relatif lebih murah dan praktis serta tersedia di mana-mana.
2.2.1.4.2.3
Ketersediaan Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial
2.2.1.4.2.3.1 Sarana Pendidikan Sarana pendidikan yang ada di Kota Bandung berupa sarana pendidikan tingkat TK, SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi (IAIN, ITB, UNPAD, UPI dan Perguruan Tinggi Swasta). Jumlah sekolah negeri dan swasta sampai dengan tahun 2005 terdiri dari 447 unit TK, 925 unit SD, 59 unit MI, 42 unit SMP, 38 unit MTs, dan 133 unit SMA, 83 unit SMK, 21 unit MA. Berdasarkan penilaian kapasitas layanan sarana pendidikan pada tahun 2005, menunjukkan indeks daya layan kumulatif yang lebih besar dari 1 yaitu TK sebesar 1,8, SD sebesar 6,3, SLTP sebesar 10,0 dan SLTA sebesar 4,2, tetapi ketersediaan sarana tersebut belum merata. Hal ini terkait dengan beberapa kendala sebagai berikut : Tidak meratanya distribusi fasilitas pendidikan. Tidak meratanya tingkat pelayanan fasilitas pendidikan, menyebabkan tumbuhnya sekolah sekolah favorit, yang pada akhirnya menyebabkan tidak meratanya distribusi pergerakan bersekolah. Berkembangnya fasilitas pendidikan swasta di lokasi-lokasi yang tidak sesuai. Tidak tersedianya fasilitas parkir yang memadai sehingga kendaraan parkir di badan jalan (on street parking). 2.2.1.4.2.3.2 Sarana Kesehatan Sarana kesehatan di Kota Bandung banyak dikelola oleh pihak swasta baik itu praktek dokter, bidan, apotik maupun bidang farmasi lain. Jumlah sarana kesehatan di Kota Bandung meliputi 71 unit Puskesmas, 10 unit Puskesmas keliling, 1.841 unit Posyandu, 29 unit rumah sakit negeri dan swasta, serta 857 tempat praktek dokter umum. Berdasarkan klasifikasinya, di Kota Bandung belum terdapat rumah sakit umum kelas A, seperti yang tercantum dalam Lampiran I Tabel 7. Terlepas dari persebaran rumah sakit di Kota Bandung yang belum merata, bila dilihat dari ratio yang ada sekarang yaitu ratio 1 Tempat Tidur (TT) Rumah sakit untuk 516 penduduk, maka jumlah tempat tidur di Kota Bandung masih mencukupi, karena ratio TT per penduduk standar Departemen Kesehatan yaitu 1 TT RS : 1000 penduduk. Beberapa kendala yang berkaitan dengan fasilitas kesehatan adalah: Tidak meratanya distribusi fasilitas kesehatan, terutama rumah sakit swasta dan praktek dokter. Fasilitas kesehatan terutama Rumah Sakit tidak dilengkapi dengan ruang parkir yang memadai.
2.2.1.4.2.3.3 Sarana Peribadatan Keanekaragaman agama yang dianut oleh penduduk Kota Bandung perlu didukung oleh fasilitas peribadatan yang beragam pula. Sesuai dengan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Kota Bandung sampai dengan tahun 2005 adalah Islam, maka jumlah tempat peribadatan paling banyak adalah mesjid dengan jumlah 2.177 unit, gereja sebanyak 131 unit, pura 3 unit, dan vihara 22 unit. Berkembangnya fasilitas peribadatan dengan pesat tanpa hirarki yang jelas, membuat adanya fasilitas peribadatan yang pemanfaatannya tidak optimal. 2.2.1.4.2.3.4 Sarana Perekonomian Sarana perekonomian (perdagangan dan jasa) yang ada di Kota Bandung sangat beragam, mulai dari pasar tradisional sampai modern, mulai dari pasar berskala pelayanan lokal sampai ke skala regional dan nasional. Jenis-jenis sarana perekonomian, berdasarkan hasil pendataan Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Bagian Perekonomian sampai dengan tahun 2005 meliputi 35 unit pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah dan 15 unit yang dikelola oleh swasta, 55 unit pusat perbelanjaan, 176 unit mini market, 74 unit factory outlet, 572 unit restoran dan rumah makan. Beberapa kendala yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan penyediaan dan perkembangan fasilitas perdagangan antara lain: - Berkembangnya fasilitas perdagangan, seperti factory outlet, cafe, dan mall, pada lokasi-lokasi yang tidak sesuai, ditinjau dari peruntukan lahan dan daya dukung prasarana. - Berkembangnya fasilitas perdagangan pada jarak yang terlalu dekat satu sama lain pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain terdapat juga daerahdaerah yang tidak terlayani oleh fasilitas perdagangan. 2.2.1.4.2.3.5
Sarana Seni dan Olah Raga
Jenis kesenian di Kota Bandung sangat beragam mulai dari karawitan, teater, pedalangan, pertunjukan rakyat, seni musik, seni tari, seni lukis, dan seni rupa yang kesemuanya ini tersebar di berbagai kecamatan dengan jumlah sarana lembaga sebagai berikut : pendidikan seni (13 unit) Galery (27 Buah), Gedung Pertunjukan (7 buah),Museum(6 buah), dan gedung bersejarah (48 buah). Sedangkan mengenai sarana olahraga sampai dengan tahun 2005 terdiri dari lapangan indoor dan outdoor, di antaranya terdiri dari kolam renang (13 unit), billyard centre (49 unit), bowling (4 unit), stadion (6 unit), pusat kebugaran (9 unit), ice skaring (1 unit), sepatu roda (1 unit), permainan mekanik(38 unit) dan lapangan golf (1 unit). 2.2.1.4.2.3.6
Sarana Pariwisata dan Rekreasi
Sarana rekreasi di Kota Bandung berupa objek dan daya tarik wisata sampai dengan tahun 2005 sebanyak 45 unit, terdiri dari wisata alam dan wisata buatan manusia. Sarana pendukung kepariwisataan terdiri dari Hotel berbintang mulai dari Bintang 1 sampai dengan bintang 5 sebanyak 51 unit dan Hotel Melati dari melati 1 sampai dengan melati 3, sebanyak 169 Unit, restoran sebanyak 132 unit dan rumah makan sebanyak 440 unit, biro perjalanan wisata 116 unit dan agen wisata 12 unit.
2.2.1.4.2.3.7
Sarana Umum
Sarana umum di Kota Bandung terdiri dari Tempat Pemakaman Umum dan Ruang Terbuka Hijau. Tempat Pemakaman Umum di Kota Bandung terdiri dari 13 lokasi, berupa TPU Muslim, TPU Kristen, serta TPU Hindu dan Budha yang tersebar di 6 bagian wilayah kota dengan luas total sebesar 132.700 Ha. secara terinci lokasi TPU dapat dilihat dalam lampiran I tabel 8. Sehubungan dengan Surat Keputusan Wallikota No. 469/SK.348-Bag Huk/1994, bahwa setiap pengembang harus menyediakan lahan pemakaman sebesar 2 % dari total lahan yang dibangun, maka dengan diserahkannya lahan pemakaman dari pengembang sebesar 20,38 Ha, ditambah pengadaan dari APBD sebesar 3,45 Ha, yang berlokasi di Nagrog, luas lahan pemakaman bertambah menjadi 156,53 Ha. Adapun sarana umum lainnya berupa RTH yaitu berupa taman kota tersebar di 6 wilayah kota, dengan luas keseluruhan sampai dengan tahun 2005 adalah sebesar 115,34 Ha, dengan jumlah taman 490 lokasi. Luas terbesar terdapat di Wilayah Cibeunying mencapai 63,74 Ha dengan jumlah taman 127 buah. Rincian taman perwilayah dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 2.3 Luas Taman Kota di Kota Bandung Tahun 2005 No 1 2 3 4 5 6
Wilayah Luas Taman (Ha) Jumlah Tegallega 1,98 23 Karees 29,81 77 Gedebage 8,08 116 Ujungberung 5,62 82 Cibeunying 63,74 127 Bojonegara 9,61 80 Jumlah 115,34 505 Sumber: Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Bandung 2005
Populasi taman kota dari tahun 2000 hingga 2005 semakin bertambah jumlah dan luasannya. Namun, persentase luas taman kota tersebut belum mampu mencapai 30 % dari total luas kota. Berikut ini populasi taman kota tahun 20002005. Tabel 2.4 Jumlah Taman Kota Tahun 2000-2005 Jumlah taman Luas taman (Ha) (lokasi) 1 2000 487 114,3505 2 2001 487 114,3505 3 2002 490 115,3427 4 2003 490 115,3427 5 2004 490 115,3427 6 2005 490 115,3427 Sumber: Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Bandung, 2005 No
Tahun
Ketersediaan taman-taman umum dan taman bermain, terutama pada lingkungan perumahan diwilayah Inti pusat kota (Bandung Barat) masih terbatas, demikian juga untuk wilayah Bandung Timur yang sampai sekarang belum berkembang, ketersediaan sarana dan prasarananya masih sangat terbatas. 2.2.2
Sosial Kependudukan
2.2.2.1
Kondisi Kependudukan Kota Bandung
Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2000, jumlah penduduk Kota Bandung sebanyak 2.141.837 jiwa yang kemudian meningkat menjadi 2.270.970 pada Tahun 2005, dengan tingkat kepadatan pada tahun 2000 rata-rata sebesar 128 jiwa/Ha, meningkat menjadi 140 jiwa/Ha pada tahun 2005. Angka tersebut relatif tinggi dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk yang ideal untuk suatu kota yaitu berkisar antara 60-80 jiwa/Ha. Laju pertumbuhan penduduk rata-rata Kota Bandung mencapai 1,59% per tahun selama periode 1990 sampai 2005. Angka pertumbuhan tersebut relatif rendah dibandingkan dengan angka pertumbuhan penduduk untuk kota metropolitan lainnya khususnya Bodetabek. Rendahnya angka pertumbuhan penduduk tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh perpindahan penduduk Kota Bandung ke kawasan pinggiran luar yang masuk ke Kota Cimahi atau wilayah Kabupaten Bandung. Secara terinci Laju pertumbuhan penduduk Kota Bandung dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 2.5 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Bandung 1990-2005 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Jumlah Penduduk 1.808.261 1.808.765 1.816.626 1.819.356 1.816.385 1.816.726 1.817.939 1.818.694 1.806.409 1.868.913 2.141.837 2.146.360 2.142.194 2.228.268 2.232.624 2.270.970 Rata-Rata Per Tahun Sumber: Bandung dalam Angka, 2005
LPP (%) 0,03 0,43 0,15 -0,16 0,02 0,07 0,04 -0,68 3,46 14,30 0,47 -0,16 3,98 0,20 1,72 1,59
Rasio beban ketergantungan di Kota Bandung mencapai 49% (Sensus Penduduk, 1990) dan menurun menjadi 44% pada tahun 2000. Pada 20 tahun mendatang, jumlah maupun persentase penduduk berusia lanjut (Usila) akan meningkat sehingga harus diikuti oleh berbagai kebijakan dan program yang terkait dengan warga usia lanjut.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Bandung dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu 73,26 pada tahun 2001, menjadi 77,51 pada tahun 2005. Secara umum pencapaian Nilai IPM Kota Bandung masih di atas pencapaian IPM Jawa Barat dan menempati posisi ke – 2 setelah Kota Depok untuk tahun 2005. Tabel 2.6 IPM Kota Bandung 2001-2005
TAHUN
IPM
2001 73,26 2002 76,32 2003 77,15 2004 77,17 2005 77,42 Sumber: BPS Kota Bandung tahun 2006
Indeks Pendidikan 86,92 87,27 89,29 88,94 89,06
Indeks Kesehatan 76,67 79,17 79,20 79,23 79,27
Indeks Daya Beli 56,21 62,53 62,95 63,35 63,93
2.2.2.1.1 Aspek Pendidikan Indeks Pendidikan Kota Bandung dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 terus meningkat sesuai dengan pencapaian IPM, yaitu pada tahun 2001 mencapai 86,92 dan tahun 2005 meningkat menjadi 89,06. Rata – Rata Lama Sekolah ( RLS ) penduduk Kota Bandung, pada tahun 2001 mencapai 9,40 tahun dan meningkat menjadi 10,34 tahun pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan rata-rata penduduk Kota Bandung berusia 718 tahun mengalami peningkatan yang semula kelas 1 SMP menjadi kelas 1 SMA. Dengan demikian Wajar Dikdas 9 tahun untuk Kota Bandung sudah tercapai, sehingga pada saat ini sudah dicanangkan untuk Wajar Dikdas Pendidikan Menengah 12 tahun. Adanya program wajib belajar telah meningkatkan angka partisipasi penduduk usia sekolah untuk mengenyam pendidikan. Angka Partisipasi Murni ( APM ) SD Kota Bandung sebesar 107,39%, menunjukkan bahwa jumlah murid SD lebih besar dari jumlah penduduk pada usia SD. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa murid SD yang berasal atau bertempat tinggal di luar Kota Bandung (seperti kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Sumedang, dll). Angka Partisipasi Murni untuk SLTP sebesar 78,12%, jauh lebih rendah dari APM untuk SD dan sedikit lebih tinggi dari APM SMU. Relatif masih mahalnya biaya pendidikan bagi penduduk golongan berpendapatan rendah menyebabkan banyak penduduk kelompok tersebut yang belum mampu mengkases pendidikan. Semenjak krisis ekonomi melanda Indonesia yang kemudian diikuti oleh PHK pada beberapa bidang pekerjaan telah menyebabkan sebagian penduduk kehilangan lapangan kerja dan bertambahnya jumlah penduduk miskin. Hal ini menyebabkan penduduk miskin tersebut, belum mampu menyekolahkan anaknya ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Jumlah penduduk Kota Bandung yang berusia 7-18 tahun sebanyak 441.670 jiwa. Dari jumlah tersebut yang berada pada tingkat usia SD (7 -12 Tahun ) sebanyak 44,06%, usia SMP ( 13 – 15 Tahun ) sebanyak 23,85% dan usia SMU ( 16 -18 tahun ) sebanyak 32,09%. Adapun jumlah penduduk usia sekolah yang berasal dari keluarga tidak mampu dan sedang sekolah sebanyak 61,474 orang atau sekitar 14%, sedangkan jumlah anak usia sekolah yang DO dan belum sekolah mencapai 4.768 orang atau 1,07%.
Capaian persentase penduduk yang menamatkan pada jenjang pendidikan tinggi (D1-S3) dari tahun ke tahun berfluktuasi, untuk tahun 2003 mencapai 8,58%, tahun 2004 mencapai 11,26, dan pada tahun 2005 mencapai 10,46 %. Di samping komponen-komponen tersebut aspek pendidikan juga didukung oleh Angka Melek Huruf (AMH) yang merupakan proporsi dari penduduk berusia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis. Pada tahun 2005, AMH mencapai 99,26 %, yang menunjukkan bahwa hanya 0,56 % penduduk berusia lebih dari 15 tahun yang belum bisa baca tulis. Kinerja bidang pendidikan juga dipengaruhi oleh kondisi fasilitas pendidikan. Pada tahun 2005 masih terdapat fasilitas pendidikan dasar dan menengah yang kurang layak pakai bahkan beberapa diantaranya nyaris roboh. Selain dari kondisi fasilitas, kinerja bidang pendidikan juga sangat dipengaruhi kualitas pendidik/guru, pada tahun 2005 Tenaga Pendidik yang telah berijazah S1 mencapai 40 %. Dilihat dari ketersediaan jaringan internet maka hanya sebagian kecil fasilitas pendidikan dasar dan menengah yang mempunyai koneksi jaringan internet. Begitu pula pada masyarakat, baru sebagian kecil penduduk yang dapat atau terjangkau oleh jaringan internet. Keterbatasan pelayanan bidang pendidikan, berdampak terhadap adanya keluhan maupun pengaduan masyarakat tentang belum optimalnya pelayanan dalam pendidikan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka meningkatkan kinerja pendidikan, diperlukan partisipasi orang tua siswa baik dalam Dewan Sekolah maupun lembaga sosial pemantau pendidikan, serta dunia usaha dan industri, yang sampai saat ini saat ini masih belum optimal.
2.2.2.1.2 Aspek Kesehatan
Aspek kesehatan yang diindikasikan dengan indeks kesehatan, mengalami peningkatan dari 76,67 pada tahun 2001, menjadi 79,27 pada tahun 2005 . Indikator derajat kesehatan tersebut ditentukan oleh peningkatan Angka Harapan Hidup (AHH), penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) serta peningkatan status gizi masyarakat. Angka Harapan Hidup Kota Bandung telah meningkat dari 71,00 tahun (2001) menjadi 72,56 tahun (2005), sedangkan Angka Kematian Bayi telah mengalami penurunan dari sebesar 36,1/1000 kelahiran hidup (2004) menjadi 35,66/1000 kelahiran hidup (2005). Angka Kematian Bayi yang masih tinggi disebabkan oleh Berat Badan Lahir Rendah, Asphiksia, prematur serta penyakit infeksi. Hal ini berhubungan erat dengan perilaku dan kondisi ibu hamil antara lain disebabkan oleh anemia ibu hamil, ibu hamil (bumil) kurang energi kalori (KEK), kebiasaan ibu hamil merokok, jumlah kehamilan, pemeriksaaan kehamilan pada tenaga kesehatan, serta kondisi perekonomian masyarakat, serta dipengaruhi juga oleh kebiasaan masyarakat yang menganggap kematian bayi merupakan hal biasa. Pencegahan penyakit menular terhadap bayi dilakukan melalui program imunisasi dasar untuk mencegah penyakit tuberculosis, dipteri, tetanus, polio, campak, hepatitis B, dan lain-lain. Universal Child Imunization (UCI) merupakan indikator penting dalam program imunisasi, pada tahun 2005 mencapai 78,43% Penanganan kasus gizi buruk pada balita terutama bagi keluarga miskin sudah tertangani oleh pelayanan kesehatan, sehingga Kasus gizi buruk Balita telah menurun dari 0,93% pada tahun 2005 menjadi 0,75 % pada tahun 2006.
Peningkatan angka harapan hidup maupun menurunnya angka kematian bayi penduduk Kota Bandung sangat terkait dengan tingginya tingkat pendidikan ratarata penduduk sehingga meningkatkan pendapatan penduduk dan kesadaran penduduk akan pentingnya pemeliharaan kesehatan, gizi yang baik, serta peningkatan pelayanan kesehatan. Meningkatnya angka harapan hidup berimplikasi pada meningkatnya umur penduduk Kota Bandung sehingga akan menambah jumlah warga usia lanjut. Fenomena tersebut juga identik dengan kondisi kependudukan di Indonesia dimana jumlah maupun persentase penduduk usia lanjut (lebih dari 65 tahun) mengalami peningkatan. Meningkatnya jumlah dan persentase penduduk usia lanjut akan berimplikasi pada aspek sosial maupun ekonomi termasuk aspek kesehatan sehinga penyediaan fasilitas kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum harus mempertimbangkan kondisi warga usia lanjut. Kinerja bidang kesehatan dipengaruhi oleh kapasitas tenaga kesehatan dan ketersediaan fasilitas kesehatan. Berdasarkan ketersediaan tenaga kesehatan maka ratio dokter/penduduk adalah 1:1792 (Standar Depkes 1:2500), ratio bidan/penduduk 1:2893 (Standar Depkes 1:1000), perawat/penduduk 1:531 (Standar Depkes 1:855), dengan demikian apabila dilihat dari akses tenaga dokter dan perawat terhadap penduduk dapat dikatakan sudah mencukupi namun perlu ada penataan untuk pemerataan tenaga dokter dan perawat. Pelayanan kesehatan rujukan, standar Depkes ratio Jumlah Tempat Tidur (TT)/penduduk adalah 1 TT : 1000, untuk Kota Bandung 1 TT : 447, hal tersebut dapat diartikan bahwa secara umum fasilitas untuk rawat inap (TT Rumah Sakit) sudah cukup memadai, namun apabila dilihat dari TT di RS pemerintah masih kurang terutama TT untuk kelas III. Rasio jumlah puskesmas per penduduk adalah 1 : 31.985 yang berarti 1 puskesmas melayani 31.985 penduduk. (Standar Depkes 1 : 30.000) Oleh karena itu perlu adanya peningkatan kualitas dan mutu pelayanan kesehatan pada masyarakat. Biaya untuk memperoleh pelayanan kesehatan dianggap masih sangat mahal terutama bagi penduduk berpenghasilan rendah atau keluarga miskin. Untuk menangani masalah tersebut Pemerintah Kota Bandung telah menyediakan dana bufferstock dari APBD sebagai jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin, yang belum termasuk dalam Keputusan Walikota No 440/Kep.365BagHukham/2008, tentang Penetapan Peserta Jaminan Kesehatan. Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit menular di Kota Bandung masih cukup tinggi. Penyakit demam berdarah juga perlu diperhatikan secara khusus mengingat pada tahun 2004 dan 2005 pernah terjadi kasus luar biasa (KLB) untuk Kota Bandung. Lingkungan yang padat serta kurang sehat menyebabkan penyakit ini berkembang dengan cepat, hal ini berkaitan erat dengan Pola Hidup dan Berperilaku Sehat (PHBS). Persentase PHBS tatanan rumah tangga pada tahun 2005 sebesar 41,28 % meningkat dari tahun 2004 yaitu sebesar 11,7 %. Rumah tangga sehat terutama pada kompleks perumahan menengah ke atas sedangkan rumah tangga kurang sehat dijumpai pada kampung kota dan kawasan permukiman kumuh.
2.2.2.1.3 Aspek Daya Beli
Dalam kaitan aspek ekonomi, daya beli merupakan satu informasi tentang perkembangan kesejahteraan masyarakat sebuah wilayah yang sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan. Selain itu daya beli merupakan salah satu komponen
penentu indeks pembangunan manusia (IPM) yang dapat digunakan untuk meninjau kesejahteraan masyarakat, dan tingkat pemerataan kesejahteraannya. Daya beli merupakan aspek yang paling kompleks dalam penghitungan dan penentuannya. Daya beli tidak hanya diukur dengan indikator sektor riil seperti tingkat pendapatan individu atau penghasilan seseorang saja. Hal ini disebabkan fakta-fakta bahwa aspek permintaan (demand side) berupa kekuatan daya beli sejumlah uang yang dimiliki tidak akan berarti apa-apa bila aspek penawaran berupa ketersediaan barang dan jasa serta tingkat harga tidak mengimbanginya. Dengan demikian daya beli masyarakat Kota Bandung harus didekati dengan upaya menilai tingkat keseimbangan antara kekuatan tingkat pendapatan perkapita masyarakat dengan kemampuan masyarakat dalam menyediakan dan mendistribusikan barang dan jasa yang dikonsumsi serta menjaga kestabilan harga. Nilai indeks daya beli masyarakat Kota Bandung tahun 2005 sebesar 63,93 point atau setara dengan Rp 576.62,-. Angka tersebut lebih rendah dari angka untuk Standard Hidup Layak menurut Kep Mennaker Tahun 2005 sebesar Rp 871.095 dan Upah Minimum Kota (UMK) sebesar Rp 642.590,- Angka daya beli Kota Bandung sedikit lebih tinggi dari angka daya beli untuk Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 556.100,- (2005). Dengan demikian aspek peningkatan daya beli ini harus terus diupayakan dalam rangka peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 2.2.2.2
Modal Sosial di Kota Bandung
Modal sosial adalah suatu konsep yang bertolak dari konsep sosiologi (hubungan sosial) yang mendapatkan pengertian baru setelah dirangkai dengan suatu istilah dari ilmu ekonomi (modal), yaitu: hubungan sosial antarorang maupun antarkelompok yang dapat digunakan untuk menghasilkan sesuatu yang lain, juga saling kepercayaan antarpihak, guna melakukan kerjasama demi mencapai tujuan atau kepentingan bersama. Dalam pengertian yang amat luas, dapat dipahami bahwa modal sosial pada dasarnya terdapat dalam setiap masyarakat. Yang berbeda adalah jumlahnya, ruang lingkupnya, dan pendayagunaannya bagi kepentingan bersama. Untuk keperluan penyusunan kebijakan perkotaan, bentuk modal sosial yang penting diperhatikan adalah perkumpulan-perkumpulan (association) di kalangan warga kota. Perkumpulan menjadi penting karena masyarakat kota yang populasinya besar dan secara sosial sangat beragam sebagaimana halnya semua masyarakat berskala luas, membatasi kemungkinan interaksi langsung di antara semua individu yang berkepentingan. Perkumpulan warga berkembang sebagai wadah kegiatan warga yang sekepentingan, dan perkumpulan warga berfungsi pula sebagai delegasi untuk berinteraksi dengan berbagai pihak lain. Keberadaan dan perkembangan modal sosial, secara garis besar terdapat dua pandangan yang bertentangan, yakni yang pesimistik dan yang optimistik. Golongan yang pertama memandang modal sosial sebagai suatu hal yang sudah ada “dari sananya” (given) dan sukar dibentuk dalam waktu yang singkat, terutama dari sisi pembentukan norma bersama yang penting bagi tumbuhnya saling kepercayaan. Golongan yang kedua memandang modal sosial sebagai hal yang dapat dibentuk dan direkayasa, sebagaimana halnya modal ekonomi. Adapun akibat dari adanya modal sosial, dapat menguntungkan bila bersifat inklusif, namun dapat pula merugikan bila bersifat eksklusif. Kemungkinan-kemungkinan ini ada karena modal sosial itu bermatra jamak, sehingga kombinasi yang lain dari matra-matra itu dapat memberikan hasil yang berbeda pula.
Ada 2 (dua) jenis ikatan pada modal sosial, yakni ikatan yang kuat dan ikatan yang lemah. Yang pertama mencakup para anggota keluarga, sahabat, dan sejawat, sedangkan yang kedua meliputi para kenalan dan sejawat yang jauh. Ringkasnya, terdapat matra (dimensi) modal sosial yang mengikat (bonding) warga di dalam kelompok, hubungan-hubungan yang menjadi jembatan (bridging) antarkelompok, dan hubungan-hubungan yang mengaitkan (linking) komuniti dengan sumbersumber daya penting di luar. Modal sosial yang ketiga ini bersifat menjangkau ke atas (scaled up), umumnya dengan pihak-pihak yang bersimpati dan memegang kekuasaan. Bila dalam suatu masyarakat ketiga matra modal sosialnya baik, komunikasi antarwarga akan berlangsung lebih lancar, efisien dan memudahkan penggalangan kegiatan atau tindakan kolektif demi kepentingan bersama pula.
vertik al
“mengait "
“menjembatani ” horizont al
“mengikat”
Gambar 2.5 Matra-matra Dasar Modal Sosial
2.2.2.2.1 Ketersediaan Modal Sosial di Kota Bandung Tidak ada data resmi yang dapat dirujuk, namun kiranya dapat diterima bahwa jumlah perkumpulan sosial di Kota Bandung sesungguhnya cukup banyak. Kita dapat meninjaunya mulai dari lingkup satuan-satuan hidup setempat seperti RT, RW, dan Kelurahan; sampai ke lingkup lebih luas yang meliputi suatu wilayah seluas Kota Bandung. Kita juga dapat meninjaunya berdasarkan bidang-bidang atau persoalan-persoalan kehidupan yang penting: ekonomi, agama, politik, kesehatan, lingkungan, kesuku bangsaan, ilmu pengetahuan, pendidikan, seni dan hiburan, perhubungan, komunikasi, kemiskinan, dan seterusnya. Berdasarkan asumsi bahwa kebutuhan hidup manusia senantiasa berkembang, dapat diperkirakan bahwa jumlah serta keragaman perkumpulan sosial di Kota Bandung juga akan terus meningkat. Ketersediaan modal sosial di Kota Bandung dikelompokkan sebagai berikut : 2.2.2.2.1.1 Modal sosial intrakelompok (mengikat, bonding) Adanya perkumpulan-perkumpulan tersebut telah menandakan adanya ikatan internal (bonding) antarwarga. Ciri demografis kota: penduduk yang banyak dan beragam, merupakan lahan yang subur bagi pembentukan perkumpulanperkumpulan seminat sekepentingan. Perkumpulan sosial yang disebut dengan berbagai istilah, seperti organisasi kemasyarakatan (ormas), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lain-lain, berkembang meliputi berbagai bidang kehidupan.
Dalam bidang ekonomi, terdapat perkumpulan-perkumpulan resmi seperti koperasi, mulai dari koperasi yang lengkap dengan usaha produktif maupun sekedar koperasi simpan pinjam atau ‘tabungan warga’, perkumpulan pengusaha mulai dari yang bermodal kecil hingga yang bermodal besar. Selain itu terdapat perkumpulanperkumpulan warga, khususnya para perempuan, yang lebih temporer dan informal sifatnya, seperti perkumpulan arisan. Juga ada beberapa perkumpulan suku bangsa atau kedaerahan yang memiliki fungsi menunjang kegiatan ekonomi khusus para anggotanya (contoh, pedagang asal Minangkabau di pasar buku Palasari). Perkumpulan lain berdasarkan ikatan primordial juga banyak, khususnya berdasarkan daerah atau suku bangsa asal. Mudah menemukan perkumpulan mahasiswa sedaerah asal, baik dari Bandung, Jawa Barat, maupun dari luar Bandung atau luar Jawa Barat. Literatur tentang urbanisasi menunjukkan peranan penting perkumpulan kedaerahan sebagai mata rantai migrasi dan sarana adaptasi para pendatang baru. Di satu sisi, perkumpulan kedaerahan menyediakan sokongan sosial yang penting bagi pendatang, di sisi lain sebagai pintu masuk para migran turut membukakan persoalan peningkatan kepadatan penduduk kota. Perkumpulan yang bertolak dari identitas yang juga primordial adalah perkumpulan-perkumpulan perempuan, dari perkumpulan yang terbentuk atas prakarsa warga maupun atas prakarsa lembaga-lembaga formal seperti PKK, ormas keagamaan (Fatayat NU dan Aisyiah), serta beberapa LSM yang khusus untuk perempuan maupun yang memiliki program untuk perempuan, mulai dari program kesehatan reproduksi sampai ke pemberdayaan ekonomi, politik dan hukum. Bidang politik banyak partai politik yang sejak tahun pencanangan Reformasi, muncul di Indonesia. Selain itu muncul pula LSM-LSM yang memiliki perhatian kepada kebijakan publik dan karenanya kegiatan-kegiatannya mengandung kepentingan politik meskipun mereka tidak menggalang massa untuk membangun kekuatan politik. Ada LSM yang membangun forum-forum warga untuk berpartisipasi dalam menghadapi persoalan-persoalan pembangunan; yang mengawasi jalannya pemerintahan sampai ke soal penataan anggaran pembangunan kota dan korupsi. Bidang pendidikan terdapat LSM bernama KPKB (Koalisi Pendidikan Kota Bandung) yang aktif memantau kebijakan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah untuk pendidikan. Terdapat pula perkumpulan para guru seperti FAGI dan sebagainya, yang juga aktif menyuarakan aspirasi mereka berkenaan dengan kebijakan pendidikan. Isu-isu seperti penerimaan siswa baru, ujian nasional, sertifikasi guru, dan sebagainya, menjadi perhatian mereka. Demikianlah seterusnya, sehingga dapat dikatakan hampir dalam semua bidang dan masalah kehidupan perkotaan terdapat perkumpulan warga kota, mulai dari organisasi yang dibentuk atas prakarsa warga sendiri, dibentuk oleh pemerintah, dibentuk oleh lembaga-lembaga donor, dan sebagainya. Perkumpulan yang tumbuh berdasarkan perasaan senasib-seperjuangan juga ada yang cukup besar seperti Ikatan Karyawan PTDI yang terkena PHK massal, dan rajin melakukan kegiatan unjuk rasa di Kota Bandung maupun ke ibukota untuk memperbaiki nasib mereka. Salah satu bentuk perkumpulan warga yang penting adalah perkumpulan teritorial, berdasarkan kesamaan tempat tinggal atau ketetanggaan. Perkumpulan semacam ini kerap memiliki berbagai bidang kegiatan berkala, mulai dari pemeliharaan dan keamanan lingkungan, agama, sosial, pendidikan nonformal, kegiatan ekonomi berskala lokal seperti arisan,sampai ke kegiatan politik. Lazimnya perkumpulanperkumpulan ini berkembang dalam satuan-satuan administratif seperti Kelurahan, Rukun Warga atau Rukun Tetangga. Tidak semua satuan demikian memiliki mutu modal sosial yang sama; karena hal ini bergantung kepada prakarsa serta keaktifan warganya dan/atau pemimpinnya masing-masing.
2.2.2.2.1.2 Modal sosial antar kelompok (menjembatani, bridging) Hubungan yang paling lazim adalah hubungan berdasarkan kesamaan perhatian atau kepentingan. Jadi kita dapat menemukan kaitan-kaitan antarkelompok sekepentingan, misalnya koalisi LSM pemerhati buruh, forum warga untuk partisipasi dalam pembangunan (misalnya Pergerakan), dan sebagainya. Juga sempat ada kerjasama di antara kelompok-kelompok yang memperhatikan anak jalanan, seperti LSM-LSM pendamping anak jalanan (di antara yang terkemuka adalah Yayasan Bahtera dan Yayasan Anak Merdeka) dengan LSM yang berkepentingan dengan pendidikan, penelitian sosial, dan LSM pemerhati kesehatan seperti PKBI, dengan pihak pemerintah seperti Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, dengan media massa (khususnya Pikiran Rakyat). Kerja sama ini dilandasi perhatian yang sama terhadap gejala anak jalanan, dan kehendak untuk mendekati masalah sosial ini secara holistik. Namun jaringan kerja semacam ini tidak bertahan lama pula. Sedangkan yang kurang berkembang adalah jaringan di antara perkumpulanperkumpulan yang berbeda-beda kepentingan atau minat. Terkecuali bila terjadi peristiwa unjuk rasa (demonstrasi) berskala luas, seperti ketika Indonesia menghadapi krisis moneter parah menjelang akhir abad ini. Pada waktu semacam itu, juga pada beberapa peristiwa penting lain seperti ketika terjadi kenaikan harga BBM pada tahun 2005, terjadi aliansi lintas perkumpulan, misalnya kelompok pemusik, kelompok ibu-ibu rumah tangga, kelompok-kelompok mahasiswa, dan beberapa kelompok profesi (dokter, ahli hukum, para dosen perguruan tinggi, dan lain-lain) bergabung saling mendukung melakukan aksi protes besar-besaran, biasanya di kawasan lapangan Gasibu atau di depan Gedung Sate. Kerjasama ini merupakan pengelompokan-semu (quasi group) karena mereka segera bubar begitu peristiwa demonstrasi usai. Memang cukup lazim dijumpai aliansi antarkelompok dalam peristiwaperistiwa demonstrasi atau unjuk rasa yang lebih bersifat reaksioner. Reaksi terhadap kebijakan kenaikan BBM pada tahun 2005; terhadap kebijakan RUU Ketenagakerjaan; terhadap penanganan korupsi, terhadap RUU Aksi Pornografi dan Pornoaksi (APP), dan sebagainya, menghasilkan keserempakan kegiatan dalam peristiwa demonstrasi. Bahkan ada juga demonstrasi yang kemudian menjadi rutin, seperti demo buruh setiap tanggal 1 Mei, yang merupakan hari buruh internasional (Mayday). Jarang ada pengelompokan lintas perkumpulan yang bertahan, apalagi yang berhasil dengan suatu tujuan bersama tertentu. Sebuah forum LSM yang sempat populer hingga sekitar 3 tahun yang silam adalah Sawarung. Forum ini menaruh kepedulian terhadap persoalan-persoalan pengaturan kehidupan bersama Namun forum ini sudah tidak aktif lagi, (governance) dan pemerintahan. meskipun para pendiri dan pengurusnya tetap ada dan aktif; bahkan ada kelompok anggota forum ini yang berkembang terus seperti BIGS (Bandung Institute of Government Studies) yang belakangan giat melakukan kajian terhadap pengaturan anggaran pemerintah kota. Bahkan jika dicermati, beberapa demonstrasi besar dilakukan hanya oleh kelompok yang menanggung akibat buruk dari suatu kebijakan saja, seperti demonstrasi para mantan karyawan PT. Dirgantara Indonesia atau demo buruh industri menolak RUU Ketenagakerjaan pada tahun 2006 yang silam, tanpa dukungan yang jelas dari perkumpulan-perkumpulan lain di Kota Bandung. Padahal persoalan ketenagakerjaan yang diprotes oleh kedua kelompok ini dapat mengenai pekerja dari kalangan mana saja dalam masyarakat perkotaan yang kian tergantung pada lapangan kerja di sektor industri. 2.2.2.2.1.3 Modal sosial keluar komuniti (mengait, linking)
Jenis modal sosial ini telah cukup lazim sejak lama, tetapi mengalami peningkatan penting sejak tahun 1990-an,dan memuncak pada masa reformasi. Di Kota Bandung terdapat ormas-ormas dengan berbagai kepentingan (agama, pendidikan, kesehatan, dll.) yang beberapa di antaranya telah ada sejak masa pra kemerdekaan dan kini telah bercabang-cabang meluas di seluruh Indonesia. Selain itu, peningkatan hubungan keluar terkait erat dengan meningkatnya bantuan dari berbagai badan pemberi bantuan internasional. Misalnya lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia memberikan banyak bantuan untuk kajian dan perencanaan-pelaksanaan-pemantauan pembangunan dalam banyak bidang, mulai dari infrastruktur sampai ke ekonomi, ketenagakerjaan, sampai ke pemerintahan. Badan-badan PBB seperti UNICEF, UNESCO, WHO, ILO, UNDP, dan lembaga donor internasional seperti The Ford Foundation, USAID, Tifa Foundation, dan lain-lain, memberikan bantuan untuk penelitian maupun pendampingan. Lembaga-lembaga nasional pun, baik dari pemerintahan maupun swasta, tidak kurang penting peranannya dalam memberi dan meminta bantuan untuk berbagai bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, agama, kesenian, lingkungan, kesehatan, hukum.
2.2.2.2.1.4 Modal Sosial dan Kebudayaan Kota. Beberapa studi menunjukkan kemungkinan peranan dari variabel kebudayaan perkotaan di Bandung, setidaknya ada dua karakteristik budaya yang perlu mendapat perhatian yaitu kebudayaan Sunda dan kebudayaan perkotaan. Kota Bandung bermula dari sebuah kota kolonial, namun sejak tahun 1950-an telah menjadi ‘Kota Sunda’ dengan dominasi suku bangsa Sunda yang merupakan penduduk asli yang mayoritas (E.M. Bruner 1974). Secara stereotipik, Orang Sunda menganut nilai kemandirian sosial, dalam arti bahwa setiap orang dewasa bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, dan terkait dengan pandangan ini adalah sikap ‘tidak mencampuri urusan orang lain’. Di satu sisi, nilai ini mendukung atau setidaknya sejajar dengan nilai demokrasi dan kesetaraan, namun di sisi lain mengandung kelemahan pengendalian sosial. Masyarakat Kota Bandung sejak awal merupakan masyarakat yang heterogen, dan semakin lama semakin dibanjiri oleh pendatang yang menumpang hidup, dan turut menghidupi. Studi Bruner tersebut menunjukkan bagaimana kebudayaan Sunda menjadi pedoman pergaulan antar budaya di tempat-tempat umum. Menurutnya, acuan ke kebudayaan setempat yang dominan ini menunjang integrasi antar golongan penduduk yang beragam di kota. Meskipun studi itu tidak sampai memperlihatkan bagaimana peranannya dalam pembangunan kota. Namun dewasa ini interaksi sosial di beberapa jenis tempat umum tidak lagi berpedoman kepada kebudayaan Sunda, melainkan ke kebudayaan nasional atau diwarnai oleh unsur-unsur kebudayaan para pelaku yang dominan di bidang kegiatan yang bersangkutan. Dengan demikian peranan kebudayaan Sunda (terutama bahasanya) sebagai sarana komunikasi umum di Kota Bandung, telah melemah. Namun studi lain oleh Parsudi Suparlan (1974) memperlihatkan penyerapan bahasa Sunda oleh generasi kedua pendatang di Kota Bandung. Demikian pula, rasa turut memiliki Kota Bandung juga menguat di kalangan para pendatang yang telah tinggal di sini beberapa generasi. Bahkan beberapa tokoh yang terkemuka dalam upaya pelestarian peninggalan sejarah Bandung dan tradisi budaya Sunda, adalah orang-orang bukanSunda. Mereka ini juga menjadi semacam fasilitator antar golongan budaya, meski jumlahnya terlalu kecil. Sementara itu, kiranya juga dapat diterima bahwa di
kalangan pendatang yang tinggal sementara, atau belum lama, belum tumbuh sense of belonging yang kuat untuk menumbuhkan sikap turut memelihara keadaan Kota Bandung, juga tidak memiliki legitimasi sosial untuk turut mengendalikan keadaan kota ini. Perkumpulan para pendatang banyak, perkumpulan penduduk asli juga banyak, namun belum terjalin. Di Kota Bandung belum tumbuh perasaan kewargaan yang kuat yang mengikat baik orang Sunda maupun bukan-Sunda sebagai warga kota, meskipun ada juga potensinya pada pertandingan-pertandingan olahraga tingkat tinggi dengan daerah lain, seperti solidaritas yang kuat di kalangan ‘bobotoh Persib’ yang anggotanya juga meliputi warga Bandung yang bukan-Sunda.
2.2.2.3
Permasalahan Sosial Kependudukan dan Modal Sosial di Kota Bandung
Implikasi dari fakta tentang ketersediaan modal sosial di Kota Bandung bagi kebijakan pembangunan kota adalah perlunya meningkatkan peranan pemerintah sebagai fasilitator dan katalisator bagi pengembangan modal sosial yang menjembatani perkumpulan-perkumpulan yang telah tumbuh subur, agar kemudian jembatan-jembatan itu dapat mencari, menerima dan menyalurkan sumber-sumber daya dari warga sendiri, dari pemerintah kota, maupun dari luar. Jembatan-jembatan dapat dibangun berdasarkan isu-isu atau persoalan-persoalan strategis yang dihadapi Kota Bandung, di antaranya: tingkat pengangguran yang masih tinggi sehingga berdampak pada berbagai permasalahan sosial demografis dan sosial ekonomi perkotaan (kemiskinan, kondisi kesehatan penduduk, rendahnya tingkat pendidikan penduduk, bertambahnya kelompok gelandangan dan pengemis (gepeng), meningkatnya kerawanan atau gangguan kejahatan, perjudian, pelacuran dan narkoba, meluasnya sektor informal PKL yang kegiatannya berlangsung di kawasan-kawasan yang dalam tata ruang kota diperuntukkan bagi kegiatan lain, permukiman kumuh maupun pada kawasan-kawasan terlarang, dan lain-lain). 2.2.2.3.1 Gelandangan dan Pengemis Data yang akurat tentang jumlah gelandangan, pengemis dan pengamen di Kota Bandung tidak tersedia, namun secara sepintas tampak jumlah mereka mengalami peningkatan walaupun persentasenya mungkin menurun. Meningkatnya jumlah gelandangan, pengemis dan pengamen dapat di lihat di sekitar perempatan jalan (traffic light) di Kota Bandung. Hampir di setiap perempatan di Kota Bandung dijumpai kelompok gepeng tersebut. Berdasarkan golongan usianya, para gelandangan dan pengemis serta pengamen tersebut tampak beragam mulai dari kelompok anak-anak (kurang dari 10 tahun), remaja, dewasa maupun usia lanjut, disamping itu ada gelandangan dan pengemis pendatang musiman, yang akan meningkat pada bulan Ramadhan. Hal ini berkaitan dengan dengan ketimpangan perkembangan ekonomi regional. 2.2.2.3.2 Tingkat Kriminalitas Pertumbuhan penduduk Kota Bandung yang tidak dapat diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja bagi semua golongan penduduk dapat menimbulkan berbagai permasalahan sosial dan ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, dll. Hal tersebut dapat memicu timbulnya berbagai jenis kriminalitas. Seperti halnya kota-kota besar lain di Indonesia. Kota Bandung juga mempunyai angka kriminalitas relatif masih tinggi, walaupun sudah ada penurunan dilihat dari angka kriminalitas
dari tahun 2001 mencapai 4975 kasus, menjadi 3.527 kasus pada tahun 2005, dengan kasus terbanyak pada curanmor roda dua; pencurian dengan pemberatan (curat), penipuan dan penggelapan. Respon warga terhadap gejala ini antara lain nampak dari penjagaan keamanan diri secara spontan dalam bentuk penutupan akses ke kawasan-kawasan permukiman (terutama dari golongan mampu); yang sekaligus menimbulkan kesan eksklusivisme; selain kegiatan ronda sebagai wujud penjagaan keamanan komuniti. 2.2.2.3.3 Dampak pola hidup perkotaan terhadap lingkungan Di Kota Bandung pengendalian mutu lingkungan hidup masih belum optimal. Penduduk kota yang semakin padat dengan tingkat konsumsi yang semakin tinggi telah memperberat masalah lingkungan hidup. Upaya pemerintah dan upaya warga mengatasi permasalahan lingkungan hidup telah ada, namun masih berdiri sendirisendiri. Masih terlalu sedikit upaya penanggulangan, apalagi pencegahan, masalah lingkungan hidup secara bersama di antara pemerintah dan warga kota dengan hasil yang berkelanjutan.
2.2.2.3.4 Identitas sosial-budaya kota Kebudayaan Sunda dikhawatirkan akan semakin terdesak dan bahkan hilang karena pengaruh semakin terbukanya budaya-budaya lain yang masuk ke Kota Bandung. Banyaknya pengelompokan berdasarkan kebudayaan suku bangsa, daerah asal, dan agama, masih kurang disertai oleh hubungan kerjasama yang berkelanjutan di antara mereka. Demikian pula, belum ada identitas bersama yang dapat memintas keragaman warga kota. Sebagai metropolis, tetangga DKI Jakarta yang megalopolis, wajah Kota Bandung justru kian didominasi perlambangan ekonomi global modern yang lebih eksploitatif bahkan destruktif, akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Peninggalan sejarah kota kerap diabaikan demi kepentingan investasi. Identitas Bandung sebagai kota eksperimen arsitektur tetap ada, namun ironisnya eksperimentasi ini dengan cepat mengubah wajah kota mengikuti selera-selera baru yang amat ditentukan oleh pasar. Kebijakan ‘floating zone’ untuk kawasan jalan Cihampelas, Dago, dan Riau, misalnya, justru memudahkan pengubahan identitas jalan Dago sebagai kawasan perumahan elite yang berarsitektur anggun, menjadi kawasan pertokoan berwajah aneka rupa sekaligus generik; tak berbeda dari kawasan-kawasan pertokoan di kota-kota besar lain di Jawa. Diperlukan kebijakan pemerintah yang cukup luwes untuk mengakomodasi aspirasi-aspirasi baru, namun juga tegas untuk melindungi peninggalan-peninggalan sejarah. Perlambangan kota yang memanfaatkan kekayaan khazanah budaya warganya, masih terbatas. Padahal di kota ini bermukim banyak seniman perupa dengan aneka aliran atau gaya. Prasarana dan sarana pengembangan kebudayaan daerah juga kurang menonjol; khususnya bila dikaitkan dengan kedudukan Kota Bandung sebagai ibukota provinsi Jawa Barat. Demikian pula prasarana dan sarana pengembangan kreativitas generasi muda, baik untuk ilmu pengetahuan, seni budaya, dan olahraga, masih kurang. 2.2.2.3.5 Kepemimpinan Sesungguhnya telah ada upaya dari sebagian warga kota untuk menangani beberapa masalah sosial perkotaan tersebut di atas; biasanya melalui perkumpulanperkumpulan warga. Upaya demikian ini menunjukkan kepemimpinan yang berjalan
dan efektif pada tingkat lokal atau pada tingkat kelompok kepentingan; tetapi pengetahuan, pengakuan, dan pendayagunaan kepemimpinan semacam ini masih perlu ditingkatkan. 2.2.2.3.6 Hak-hak kewarganegaraan Penanganan masalah-masalah sosial seperti gepeng, PKL, prostitusi, dan sebagainya, masih cenderung memberantas gejalanya daripada mengatasi sebabsebabnya. Perlu diakui bahwa masalah ini disebabkan oleh ketimpangan ekonomi regional, yang menimbulkan arus pendatang tanpa kemampuan memadai untuk tinggal di kota dan tanpa kemampuan pemerintah yang memadai untuk menampung mereka. Cara dan hasilnya terkesan mengabaikan hak hidup para pelakunya. Perlu penanganan yang lebih manusiawi terhadap para pelaku yang melanggar peraturan kota, terutama bila penyimpangan-penyimpangan tersebut didorong oleh kesempitan penghidupan. Juga perlu lebih diperhatikan kepentingan warga yang tergolong lemah (anak-anak, perempuan, remaja dan usia lanjut, khususnya kaum miskin) dalam pembuatan kebijakan kota. Pemerintah Kota Bandung telah menjalankan berbagai program untuk membantu meningkatkan kesejahteraan warganya yang kurang mampu, seperti program “Bantuan Peningkatan kemakmuran, dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Program demikian dapat diperluas jangkauannya melalui optimalisasi kerjasama dengan masyarakat yang mampu, perusahaan BUMN dengan program Peningkatan kemitraan dan Bina lingkungan (PKBL), dan perusahaan swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) untuk lingkungan disekitarnya. 2.2.2.4
Modal Spiritual
Modal spiritual dapat dilihat dari perkembangan organisasi masyarakat keagamaan, organisasi masyarakat keagamaan yang besar sudah sejak lama ada dan berkembang terus, misalnya dalam lingkungan Islam ada NU dan, Muhammadiyah dan Aisyiah, Persis, dan sebagainya. Belakangan ini dikenal pula perkumpulan yang beratribut agama Islam seperti FPI (Forum Pembela Islam) yang kegiatan-kegiatannya lebih militan. Dalam lingkungan Kristen juga banyak perkumpulan keagamaan, dari yang beratribut aliran dalam agama (Katolik, Protestan, Advent, dsb.) sampai yang menggabungkan atribut kesuku bangsaan (Gereja Kristen Pasundan). Demikian pula dalam lingkungan Hindu dan Buddha, juga aliran-aliran kepercayaan di luar golongan agama-agama besar tadi. Di antara perkumpulan-perkumpulan keagamaan ini ada yang memiliki beragam kegiatan, mulai dari pendidikan hingga ke kegiatan ekonomi. Bangkitnya “religiusitas” di kalangan muslim diindikasikan dengan meningkatnya aktivitas dak’wah dengan berbagai metoda, seperti aktivitas yang mendorong militansi aqidah, mempopulerkan dzikir, muhasabah kolektif, membangkitkan etos kerja berdasarkan nilai-nilai keagamaan atau penyebaran pesan perdamaian dan sikap toleransi. Keberagaman aktivitas tersebut sampai saat ini belum bersinergi, masingmasing berjalan sendiri-sendiri, namun demikian aktivitas tersebut belum berpengaruh terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan, yang tercermin dalam kejadian-kejadian yang bersifat kriminalitas serta penyimpangan kekuasaan yang masih tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam menghadapi era globalisasi saat ini, diperlukan berbagai upaya untuk membangun sinergi dari berbagai aktivitas keagamaan, sebagai potensi modal sosial spiritual.
2.2.3
Ekonomi Kota
Laju Pertumbuhan ekonomi Kota Bandung dari tahun 2001 hingga tahun 2005 mengalami peningkatan. Selain LPE, beberapa indikator makro yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah, adalah sebagai berikut: Tabel 2.7 Perkembangan Indikator Makro Pembangunan Kota Bandung Tahun 2001 – 2005 (diketengahkan) No. 1
%
7,54
7,13
7,34
7,49
2005 7,53
2
PDRB [ADHB]
[Juta Rp]
17.730.086
21.095.090
23.895.430
27.977.195
34.792.184
3
PDRB (ADHK)
[Juta Rp]
16.079.998
17.226.733
18.490.721
19.874.813
21.730.696
4
PDRB/Kapita (Konstan) Inflasi Investasi IDB Kemiskinan Jumlah Pengangguran Tingkat Pengangguran Terbuka
[Rp/Thn]
7.053.799
7.889.537
8.391.546
8.928.179
9.698.550
% [Rp/Thn]
11,91
11,97
56,21 -
62,53 75.300
5,69 1.244.726 62,95 67.770
7.56 2.197.214 63,35 75.473
19,56 3.658,813 63,93 70.419
85.100
158.173
211.206
121.590
175.337
9,33
16,43
20.41
15.38
16,25
4 5 6 7 8 9
Indikator LPE
Satuan
RMT Jiwa %
2001
2002
2003
2004
Sumber : BPS Tahun 2006 (Diolah)
Dari tabel di atas PDRB Kota Bandung dari tahun 2001 ke 2005 menunjukkan kenaikan yang berarti, hal ini dapat menunjukkan meningkatnya kegiatan ekonomi. Tingkat inflasi di Kota Bandung relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain di Jawa Barat. Dari sisi investasi terjadi kenaikan meskipun Kota Bandung hanya mampu menyerap 5 persen dari total investasi yang masuk ke Provinsi Jawa Barat. Namun demikian investasi tersebut belum diikuti dengan penyerapan tenaga kerja yang signifikan, dari tabel terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah pengangguran dari 85.100 jiwa (9,33 %) menjadi 158.100 jiwa (16,43 %) pada tahun 2002, meningkat lagi menjadi 211.206 jiwa (20,41 %) pada tahun 2003, pada tahun 2004 menurun menjadi 15,38 %, meningkat lagi pada tahun 2005 menjadi 175.337 jiwa (16,25 %). Berfluktuasinya jumlah pengangguran tersebut disebabkan oleh berbagai faktor khususnya untuk tahun 2005. Peningkatan tersebut sebagai akibat dari peningkatan harga BBM yang mengalami perubahan sebanyak 2 kali, yang diikuti oleh banyaknya perusahaan yang tutup dan akhirnya melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sejalan dengan jumlah angka pengangguran yang fluktuatif, kondisi ini berdampak pula terhadap jumlah rumah tangga miskin, pada tahun 2002, jumlah rumah tangga miskin mencapai 75.300. turun menjadi 70.419 tahun 2005. 2.2.3.1.
Struktur Ekonomi Kota Bandung
Salah satu indikator penting dalam menganalisis perekonomian adalah mengamati perubahan struktur ekonomi, yang diindikasikan oleh kontribusi sektor-sektor dalam perekonomian, diukur melalui perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan berbagai unit produksi suatu daerah dalam jangka waktu satu tahun, yang dikelompokkan menjadi 9 sektor atau lapangan usaha, yaitu (1) Pertanian, (2) Pertambangan dan penggalian, (3) Industri pengolahan, (4) Listrik, gas dan air minum, (5) Bangunan, (6) Perdagangan, (7) Pengangkutan dan komunikasi, (8) Bank dan lembaga keuangan lainnya dan (9) Jasa-jasa. Pengelompokan sembilan sektor tersebut dibagi menjadi tiga kelompok sektor, yaitu: a) Sektor Primer yaitu sektor yang tidak mengolah bahan baku melainkan hanya mendayagunakan sumber-sumber alam seperti tanah dan deposit di dalamnya yaitu sektor pertanian dan pertambangan dan penggalian (sektor 1 dan 2). b) Sektor Sekunder yaitu yang mengolah bahan baku baik yang berasal dari sektor primer maupun sektor sekunder sendiri, menjadi barang lain yang lebih tinggi nilainya. Sektor ini mencakup sektor Industri Pengolahan, Listrik, Gas dan Air Bersih dan sektor Konstruksi (Sektor 3,4 dan 5) c) Sektor Tersier, atau dikenal juga sebagai sektor jasa, yaitu sektor-sektor yang tidak memproduksi dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk jasa, yaitu, sektor Perdagangan, Hotel dan restoran, sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Lembaga Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan serta sektor jasa-jasa (sektor 6,7,8 dan 9) Berdasarkan perkembangan data PDRB Kota Bandung pada periode 2001-2005, sektor tersier memberikan kontribusi lebih besar terhadap PDRB dibandingkan dengan sektor primer dan sekunder. Secara terinci kontribusi sektor perekonomian dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 2.8 PDRB Kota Bandung Menurut Kelompok Sektor (dalam Juta Rp) Kelompok Sektor ADH Berlaku Sektor Primer Sektor Sekunder Sektor Tersier PDRB ADH Konstan 2000 Sektor Primer Sektor Sekunder Sektor Tersier PDRB
2001
2002
2003
2004
2005
75.609 6.646.543 11.007.934 17.730.086
81.388 7.860.412 13.153.290 21.095.090
88.212 8.894.912 14.912.306 23.895.430
89.991 10.251.157 17.636.047 27.977.195
106.081 12.374.510 22.311.593 34.792184
69.317 6.115.302 9.895.378 16.079.997
67.917 6.676.425 10.482.391 17.226.733
69.198 7.156.623 11.264.901 18.490.722
65.598 7.626.756 12.182.459 19.874.813
65.243 8.116.514 13.188.939 21.370.696
Sumber: Bandung Dalam Angka, 2006
Distribusi persentase PDRB Kota Bandung atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan dari masing-masing sektor terhadap PDRB dari tahun 20012005 ditunjukkan pada lampiran I, tabel 9. Data PDRB berdasarkan nilai nominal menunjukkan bahwa perekonomian Kota Bandung didukung oleh dua sektor utama, yaitu sektor perdagangan dan industri pengolahan. Selama rentang waktu 2001 sampai dengan 2005, kedua sektor tersebut memberikan kontribusi lebih dari 60% terhadap total PDRB Kota
Bandung. Berdasarkan perkembangan struktur ekonomi tersebut, maka untuk mendukung dan meningkatkan kinerja sektor utama perekonomian Kota Bandung, peran sektor keuangan sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan sangat diperlukan. Hal ini sesuai dengan data kontribusi sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan terus meningkat dan Kontributor terkecil pada PDRB Kota Bandung adalah sektor pertanian. Data mengenai Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bandung atas dasar harga konstan. Terdapat pada lampiran I, tabel 10. Berdasarkan pertumbuhan sektoral Kota Bandung, maka pada tahun 2005 terjadi penurunan pada sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan secara kumulatif menurun, meskipun pada sub sektor hotel dan restoran terjadi kenaikan. Dampak kenaikan dari sub sektor hotel dan restoran adalah meningkatnya sektor pengangkutan dan komunikasi. Hal ini terkait dengan meningkatnya jumlah wisatawan ke Kota Bandung dari 1.406.838 orang pada tahun 2000 menjadi 1.928.350 orang pada tahun 2005. Kinerja ekspor Kota Bandung selama 4 (empat) tahun terakhir mengalami penurunan, dengan penurunan terbesar terjadi pada tahun 2005 sebesar 18 %. Berdasarkan jenis komoditas yang di ekspor, hampir semuanya mengalami penurunan. Penurunan terbesar pada tahun 2003 pada produk teh sebesar 95%, sedangkan untuk tahun 2004 dan 2005 pada produk kayu olahan sebesar 52% dan furniture sebesar 82%. Meskipun hampir semua jenis produk mengalami penurunan, produk lainnya mengalami kenaikan dengan tingkat kenaikan terbesar pada tahun 2005 yaitu sebesar 13,61%. Dari beberapa negara tujuan ekspor, satu-satunya negara yang mengalami kenaikan adalah ke USA. Tabel perkembangan nilai ekspor komoditas utama dan tabel perkembangan nilai ekspor non migas menurut kelompok negara tahun 2004 dan 2005 dapat dilihat pada Lampiran I, Tabel 11 dan 12. 2.2.3.2 Ketersediaan Lapangan Pekerjaan Penduduk angkatan kerja pada tahun 2005 mencapai 1.079.196 jiwa atau 52% dari total penduduk berusia di atas 10 tahun, sedangkan sisanya bukan angkatan kerja, dengan 84,32% dari total angkatan kerja tersebut adalah pekerja, dimana porsi penduduk laki-laki yang bekerja tercatat lebih besar dibandingkan penduduk perempuan. Penduduk yang bekerja, 33,3% bekerja di sektor sekunder yaitu industri pengolahan, Listrik, Gas dan Air serta konstruksi, dengan sektor konstruksi menyerap 5,23%. Dengan demikian kegiatab sektor konstruksi yang sangat pesat beberapa tahun terakhir ini lebih dimanfaatkan oleh pekerja dari luar Kota Bandung. Sedangkan yang bekerja di sektor tersier mencapai 65% terdiri dari 34,9% disektor perdagangan dan 21,02% di sektor jasa dan 11,75% penduduk yang bekerja merupakan usahawan yang kegiatan usahanya dapat menyerap tenaga kerja. Sedangkan yang memiliki pekerjaan mandiri tanpa serapan tenaga kerja lebih tinggi yaitu 25,76%. Dengan demikian 62,49% dari total penduduk yang bekerja adalah buruh/karyawan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tantangan ke depan untuk menyediakan lapangan kerja akan semakin berat. Investasi yang masuk ke Kota Bandung belum dapat diharapkan menyerap tenaga kerja dalam rangka menurunkan tingkat pengangguran terbuka, hal ini ditunjukkan dengan angka tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2005 sebesar 16,25%, sedangkan penyerapan tenaga kerja sebagai akibat adanya investasi PMA di Kota Bandung pada tahun 2005, hanya menyerap 1.077 tenaga kerja domestik dan PMDN menyerap 20 orang. Secara rinci penyerapan tenaga kerja dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 2.9 2 Penyerapan Tenaga Kerja oleh PMA/PMDN di Kota Bandung 3 Tahun 2005 No 1 2 3
Jenis Investasi PMA PMDN Non PMA/PMDN Sektor Sekunder Sektor Tersier
Penyerapan (jiwa) 1.077 20 16.344 1.997 14.347
Sumber: KPMD Kota Bandung, 2006
Permasalahan Ketenagakerjaan tidak lepas pula dari permasalahan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha yang mempekerjakan mereka. Berikut adalah tabel yang menyajikan beberapa indikator ketenagakerjaan di Kota Bandung yang tidak hanya terkait dengan lingkup demografi. Secara rinci tabel indikator ketenagakerjaan terkait hubungan industrial dan kesejahteraan di Kota Bandung dapat dilihat dalam Lampiran I, Tabel 13. Dinamika ketenagakerjaan yang meliputi ketersediaan tenaga kerja, kemampuan, upah minimal dengan kualitas kerja optimal, serta stabilitas keamanan sangat berpengaruh terhadap tingkat investasi yang masuk ke Kota Bandung. Berdasarkan Data dari Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung tahun 2003 s.d. 2005 memperlihatkan masih banyaknya angka pelanggaran norma ketenagakerjaan yang ditandai dengan masih besarnya jumlah kasus ketenagakerjaan yang masuk ke Disnaker Kota Bandung, jumlah PHK, jumlah mogok kerja dan jumlah pekerja yang terlibat dalam kegiatan mogok kerja tersebut. Beberapa indikator yang berpotensi mendorong makin kondusifnya kegiatan industri dan produktifitas ekonomi di Kota Bandung adalah makin kecilnya jumlah PHK masal dari 5.961 orang pada tahun 2004 menjadi 252 orang pada tahun 2005 dan perbaikan pada jumlah perselisihan hubungan industrial yang makin menurun, serta peningkatan rata-rata upah minimum Kota, walaupun masih ada kesenjangan dengan rata-rata kebutuhan hidup minimum. Secara terinci perkembangan upah minimum Kota Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 2.10 Perkembangan Upah Minimum Kota Bandung Tahun 2001 -2005 No 1 2 3 4 5
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
UMK (Rp) 390.000 471.000 538.000 588.407 642.590
Perubahan (%) 20,77 12.45 8.56 8.43
Sumber : Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung tahun 2005
Permasalahan lainya dalam aspek ketenagakerjaan adalah masih terbatasnya peningkatan produktivitas serta tidak tersedianya bangunan yang permanen untuk Balai Latihan Kerja (BLK). Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dilakukan berbagai upaya pemanfaatan aspek kemitraan dengan stakeholders, seperti antara dunia pendidikan dengan
dunia usaha dan industri (DUDI), serta berkesinambungan. 2.2.3.3.
sosialisasi program yang
Pendapatan Per Kapita
Berdasarkan asumsi tingkat pendapatan dengan pendekatan produksi, pengeluaran, dan penerimaan adalah sama, maka dari sisi produksi, PDRB per kapita atas dasar harga konstan mengalami peningkatan dari Rp.7.491.752 pada tahun 2001 menjadi Rp. 9.509.359 pada tahun 2005 atau rata-rata peningkatan 6.55% per tahun. Peningkatan ini cukup menjadi dasar untuk memprediksikan bahwa secara pendapatan riil per kapita Kota Bandung cenderung akan terus meningkat untuk 20 tahun ke depan.
Tabel 2.11 Perkembangan Pendapatan Per Kapita Masyarakat Kota Bandung Tahun 2001-2005
No
Indikator
1
PDRB (ADHB) PDRB (ADHK) Jumlah Penduduk PDRB / kapita (ADHK)
2 3 4
Satuan Juta Rp Juta Rp Jiwa Rp/tahu n
2001
2002
Kota Bandung 2003
2004
2005 34,792,184. 00 21,370,695. 00 2,270,969,0 0
21.095.09 0 17.226.73 3
23,895,43 0 18,490,72 1
27,977,195.2 5 19,874,812.9 2
2.146.360
2.142.914
2,228,268
2,328,399.22
7.491.752
7.889.537
8.391.546
8.928.179
17.730.086 16.079.998
9.509.359
Sumber: BPS diolah kembali, 2006
2.2.3.4
Inflasi di Kota Bandung
Inflasi merupakan salah satu indikator penting yang dapat memberikan informasi tentang dinamika perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Perkembangan harga barang dan jasa tersebut menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terhadap tingkat daya beli. Tingkat laju inflasi di Kota Bandung, ditinjau dari sisi kenaikan harga-harga secara umum pada total perekonomian dan kenaikan hargaharga secara kelompok barang, secara rinci dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 2.12 Tingkat Laju Inflasi Sektoral Kota Bandung Tahun 2001–2005
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kelompok Barang Bahan Makanan Makanan Jadi, Rokok Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar Sandang Kesehatan Pendidikan, Rekreasi, olahraga Transport dan komunikasi Umum
2001 10.62 9.77 15.91
2002 10.38 7.36 10.26
2003 -5.4 8.63 12.39
2004 6.72 10.13 7.33
2005 13.90 20.50 12.04
3.6 8.12 12.24 17.9 11.91
0.05 6.35 31.51 23.4 11.97
7.66 2.19 8.39 9.57 5.69
6.54 0.20 9.76 5.96 7.56
5.57 8.67 14.89 53.8 19.56
Sumber: BPS, Bandung Dalam Angka, 2006
Data menunjukkan bahwa tingkat inflasi Kota Bandung mayoritas disumbang oleh kenaikan laju inflasi di kelompok barang transportasi dan komunikasi, pendidikan, rekreasi dan olahraga, perumahan, utilities dan bahan bakar serta makanan jadi dan rokok. Pada tahun 2005, laju inflasi terlihat meningkat hampir dua kali lipat untuk setiap kelompok barang secara konsisten terutama di kelompok barang bahan makanan, makanan jadi dan rokok, kesehatan, serta transport dan komunikasi, dibandingkan dengan tahun 2004. Hal ini disebabkan oleh kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) sampai 112 % pada tahun 2005
Peningkatan diatas angka 100% dari laju inflasi beberapa kelompok barang tersebut dari tahun 2004 ke tahun 2005, menggambarkan secara utuh perkembangan kegiatan perekonomian masyarakat kota Bandung. Sehubungan dengan hal tersebut, maka diprediksikan di masa yang akan datang, kelompok sektor tersebut, akan tetap memberikan sumbangan yang dominan terhadap inflasi kota Bandung. Demikian juga dengan kontribusi kelompok barang yang terkait dengan bangunan, air, listrik, gas dan bahan bakar terhadap inflasi akan semakin meningkat. Hal ini terkait dengan meningkatnya pembangunan perumahan di timur Kota Bandung dan trend kepemilikan property berupa apartemen dan gedung perkantoran, sehingga sumbangan terhadap inflasi dari kelompok barang tersebut meningkat dari 7,33 % pada 2004, menjadi 12,04 % pada tahun 2005 atau meningkat 64%.
3.1
2.2.3.5 Distribusi Barang di Kota Bandung
Berdasarkan analisis Input-Output tahun 2004, Kota Bandung merupakan pusat perdagangan dan pusat distribusi barang dan jasa di Jawa Barat. Sebanyak 34 jenis komoditas yang diperdagangkan dan 15 komoditi industri yang masuk ke Kota Bandung, secara dominan Kota Bandung merupakan pengimpor utama dari produksi daerah-daerah sekitarnya. Kemampuan produksi Kota Bandung untuk menyediakan komoditas bahan makanan belum mencukupi. Sehingga dapat mempengaruhi terhadap kenaikan inflasi secara umum yang didorong secara dominan oleh kestabilan harga bahan makanan.
3.2
Tabel 2.13
3.3
Produksi dan Konsumsi Barang Bahan Makanan Utama Kota Bandung
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Komoditas Padi Palawija Sayuran Buah-buahan Ikan Daging Telur Minyak Gula, Garam, Terigu
Satuan Ton Ton Ton Ton Ton Butir Ton Ton
Produksi 16.173,70 1.165,50 1.160,58 1.631,82 31.203,90 376.805.391 0,00 0,00
Konsumsi 290.359,15 244.325,71 186.958,08 14.097,45 278.115,56 693.004.448 74.126.140 476.806,38
% pemenuhan 5,57 0,48 0,62 11,58 11,22 54,37 0 0
Sumber: Bappeda Kota Bandung, 2004
Tabel tersebut menjelaskan bahwa upaya penyediaan dan distribusi barang untuk komoditas-komoditas bahan makanan utama, terlihat rawan kecuali produk telur, yang baru dapat memenuhi setengah dari total konsumsi masyarakat. Karenanya tidaklah mengherankan bila tingkat inflasi di kelompok barang bahan makanan dan derivasinya seperti makanan jadi yang diperdagangkan di sektor ritel dan restoran akan dapat mendorong kenaikan inflasi secara umum bila tidak diperhatikan distribusinya karena penyediaannya sudah pasti tidak dapat dilakukan mengingat potensi dan karekteristik Kota Bandung yang semakin
melepaskan ketergantungannya dari sektor dan sub sektor primer seperti pertanian. Permasalahan distribusi barang di Kota Bandung dapat diatur secara lebih mudah karena dari data Tabel I-O tersebut menunjukan bahwa barang yang masuk ke Kota Bandung lebih banyak berasal dari daerah kota dan kabupaten lain di Provinsi Jawa Barat sebesar 66,95% dan 29,66% berasal dari daerah lain di luar Provinsi dan luar negeri. Secara rinci asal produksi barang dapat dilihat pada tabel berikut. 3.4
Tabel 2.14
3.5
Produksi Barang di Kota Bandung No 1 2
3
Asal Barang Kota Bandung Luar Kota Bandung Jawa Barat Non Jawa Barat Luar Negeri
% 3.39 96.61 66.95 26.27 3.39
Sumber: Bappeda Kota Bandung, 2004
Dukungan terhadap upaya penyediaan barang dan distribusinya di Kota Bandung berdasarkan barang yang dibutuhkan dan disediakan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut merupakan 2 daerah yang memiliki kontribusi dominan dalam memasok barang dan jasa ke Kota Bandung; masing-masing 17,8% dan 16,1%, serta daerah yang cukup jauh secara jarakpun pada saat ini ditenggarai akan lebih mudah dijangkau dengan prediksi makin berkembangnya infrastruktur transportasi dan komunikasi pada masa 20 tahun mendatang. Rencana pembangunan jalan tol Cisundawu pada waktunya akan memperkecil jarak tempuh ke daerah kabupaten-kabupaten seperti Kabupaten Sumedang, Cirebon dan Majalengka, sedangkan rencana pembangunan jalan layang Nagrek diperkirakan akan memperkecil jarak tempuh dari Kota Bandung ke daerah-daerah Priangan Timur seperti Kabupaten Garut, Ciamis dan Tasikmalaya. Secara terinci asal daerah pemasok barang ke Kota Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut : 3.6
Tabel 2.15
3.7
Daerah di Provinsi Jawa Barat sebagai Pemasok Barang
3.8
ke Kota Bandung No 1 2 3 4 5 6 7
Asal Barang Kabupaten Bandung Kabupaten Garut Kabupaten Ciamis Kabupaten Cianjur Kabupaten Sumedang Kabupaten Cirebon Kabupaten/Kota Lain
% 17.8 16.1 6.78 5.93 4.24 5.08 11.02
Sumber: Bappeda Kota Bandung, 2004
Data-data tersebut mengindikasikan bahwa perdagangan antar daerah merupakan penyangga utama kebutuhan konsumsi di Kota Bandung, hal ini sesuai dengan fungsi kota Bandung sebagai Kota Kolektif dan distributif. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kelangsungan
supply barang ke Kota Bandung harus selalu terjaga, sehingga tidak terjadi kenaikan harga sebagai akibat meningkatnya permintaan (demand pull inflation). Selain itu hambatan dalam penyediaan dan distribusi barang juga akan meningkatkan biaya produksi yang selanjutnya akan mendorong inflasi yang diakibatkan cost push inflation. 2.2.3.6
Investasi Kota Bandung
Investasi merupakan salah satu pemicu pertumbuhan ekonomi, dengan demikian investasi baik yang bersumber dari investasi domestik, asing maupun pemerintah, memegang peranan penting dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi di Kota Bandung. Pertumbuhan Investasi tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu iklim invetasi yang kondusif, kemudahan dan kejelasan prosedur serta kondisi makro ekonomi daerah tersebut. Secara umum perkembangan investasi di kota Bandung berdasarkan data yang tercatat di Kantor Penanaman modal dari tahun 2002 sampai 2005, dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 2.16 Perkembangan Investasi PMA dan PMDN serta Non PMA/PMDN di Kota Bandung dari Tahun 2002-2005 Tahun
Jenis Perusahaan
2002 NON 2003 NON 2004 NON 2005 NON
PMA PMDN PMA/PMDN Total PMA PMDN PMA/PMDN Total PMA PMDN PMA/PMDN Total PMA PMDN PMA/PMDN Total
Jumlah Perusahaan 18 2 1.220 1.240 22 6 1.829 1.857 16 1 2.456 2.473 13 1 2.850 2.864
Jumlah Investasi (Rp) 1.201.463.984.546 13.250.000.000 538.962.515.000 1.753.676.499.546 248.964.661.000 187.759.607.500 808.002.000.000 1.244.726.268.500 514.822.166.720 500.000.000 1.681.892.274.800 2.197.214.441.520 237.782.756.155 1.900.000.000 3.419.130.197.250 3.658.812.963.405
Sumber : KPMD, 2006
Investasi secara keseluruhan di kota Bandung dan Jawa Barat, dapat dilihat dari persetujuan kredit dan alokasi per sektor sesuai dengan data Statistik dan Perekonomian Daerah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Secara terinci perkembangan persetujuan kredit dan alokasi per sektor ekonomi dapat dilihat pada lampiran I, tabel 14. Berdasarkan data tersebut, menunjukan bahwa karakteristik alokasi kredit perbankan di Jawa Barat dan kota Bandung terbesar dalam industri pengolahan serta lain-lain (kredit konsumsi). Pertumbuhan kredit terutama sangat besar pada sektor bangunan dan konstruksi, diikuti dengan kredit di bidang perdagangan, pengangkutan dan komunikasi. Peluang dan potensi investasi di Kota Bandung tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi sektoralnva. Potensi investasi Unggulan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Kota.Bandung terletak pada kuadran satu (Industri pengolahan dan komunikasi), sedangkan potensi investasi
berkembang terletak pada kuadran tiga (Perdagangan dan Jasa). Peluang dan potensi investasi di Kota Bandung adalah sebagai berikut : 1. Industri Pengolahan 2. Perdagangan 3. Jasa 4. Perhubungan dan Komunikasi 5. Pendidikan dan Pengembangan SDM 6. Kesehatan 7. Pariwisata 8. Perumahan Permasalahan dan tantangan investasi di Kota Bandung sebagai berikut : 1. Tidak adanya kepastian hukum 2. Keamanan 3. Sistem Bea/ Pajak (wewenang pusat) 4. Masalah perburuhan/ tenaga kerja 5. Infrastruktur yang belum memadai 6. Proses otonomi daerah yang belum efektif 7. Belum jelasnya perijinan penanaman modal (belum transparan) 8. Biaya perijinan yang mahal 9. Penyelundupan 10. Sulitnya mendapatkan kredit perbankan 2.2.4.
Kinerja Pemerintah Kota
2.2.4.1
Ketersediaan kualitas dan layanan administrasi publik
adalah
Upaya reformasi dalam kehidupan politik dan pemerintahan nasional merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan oleh siapapun dalam situasi masyarakat yang sedang mengalami euforia terhadap perubahan. Pembaharuan politik khususnya di bidang pemerintahan daerah dimulai dengan diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah diganti dengan UU No. 33 tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 05 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Pada hakekatnya perubahan-perubahan regulasi di bidang pemerintahan daerah tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menata sistem kepemerintahan yang signifikan dapat mengkoordinasikan kepentingan daerah dan sekaligus meningkatkan pelayanan publik. Diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 memberikan implikasi terhadap segenap regulasi dan tatanan pemerintahan daerah yang sudah ada termasuk yang terjadi di Pemerintah Kota Bandung. Undang-undang tersebut juga merupakan potensi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Perubahan paradigma pembangunan yang lebih mengedepankan peran serta masyarakat akan menjadi pemacu pertumbuhan dan perkembangan pembangunan. Wilayah Kota Bandung pada Tahun 2005 terbagi atas 26 kecamatan, 139 kelurahan, 1.509 rukun warga (RW) dan 9.378 rukun tetangga (RT).
Kecamatan sesuai dengan pasal 126 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004, dalam melaksanakan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian kewenangan Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Berkenaan dengan hal tersebut dan dalam rangka terselenggaranya pemerintahan kecamatan di Kota Bandung secara efisien dan efektif serta pelayanan masyarakat yang optimal, maka Walikota Bandung menetapkan Keputusan No. 1342 Tahun 2001 tentang pelimpahan sebagian kewenangan WaliKota Bandung kepada Camat. Kewenangan Camat yang diperoleh dari Walikota itu terdiri dari 19 bidang kewenangan, dengan 96 rincian kewenangan sebagai berikut : 1. Bidang Pekerjaan Umum 24 rincian kewenangan; 2. Bidang Kesehatan 2 rincian kewenangan; 3. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan 7 rincian kewenangan; 4. Bidang Pertanian 3 rincian kewenangan; 5. Bidang Perhubungan 6 rincian kewenangan; 6. Bidang Industri dan Perdagangan 3 rincian kewenangan; 7. Bidang Penanaman Modal 4 rincian kewenangan; 8. Bidang Lingkungan Hidup 3 rincian kewenangan; 9. Bidang Pertanahan 4 rincian kewenangan; 10. Bidang Koperasi 4 rincian kewenangan; 11. Bidang Tenaga Kerja 2 rincian kewenangan; 12. Bidang Sosial 6 rincian kewenangan; 13. Bidang Politik Dalam Negeri dan Administrasi Publik 1 rincian kewenangan; 14. Bidang Pengembangan Otonomi Daerah 15 rincian kewenangan; 15. Bidang Perimbangan Keuangan 5 rincian kewenangan; 16. Bidang Kependudukan 1 rincian kewenangan; 17. Bidang Hukum dan Perundang-undangan 4 rincian kewenangan; 18. Bidang Olahraga 1 rincian kewenangan; 19. Bidang Penerangan 2 rincian kewenangan. Namun demikian dengan ditetapkannya Perda No 8 tahun 2007 tentang Urusan Pemerintah Daerah Kota Bandung, maka Keputusan Walikota termaksud akan disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Jumlah pegawai yang ada di lingkungan Pemerintah Kota Bandung sampai dengan tahun 2005 sebanyak 22.882 PNS dan Non PNS sebanyak 2.343 orang. Kondisi PNS di Kota Bandung berdasarkan tingkat pendidikan dan satuan unit kerja terinci dalam Lampiran I, Tabel 15 dan 16. Sementara kondisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung berdasarkan alat kelengkapan DPRD dan produk-produk yang dihasilkan diurai dalam tabel berikut : 4 Tabel 2.17 Alat Kelengkapan DPRD Kota Bandung Tahun 2005 No I II
ALAT KELENGKAPAN Pimpinan DPRD Panitia Musyawarah DPRD
Jumlah Kekuatan (Orang) 3 18
No
ALAT KELENGKAPAN
III IV
Panitia Anggaran DPRD Komisi-komisi : 1. Komisi Bidang Pemerintahan 2. Komisi Bidang Perekonomian dan Bidang Keuangan 3. Komisi Bidang Pembangunan 4. Komisi Bidang Kesejahteraan Rakyat Fraksi-fraksi : 1. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 2. Fraksi Parta Amanat Nasional 3. Fraksi Partai Golongan Karya 4. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera/ PKS 5. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan 6. Fraksi Partai Demokrat
V
Jumlah Kekuatan (Orang) 18 9 11 11 11 10 6 6 11 6 6
Sumber : Setwan DPRD Kota Bandung, 2005
5 Tabel 2.18 Rekapitulasi Produk dan Kegiatan Rapat DPRD Kota Bandung Tahun 2004 - 2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Produk DPRD Dan Rapat-Rapat Peraturan Daerah Keputusan DPRD Keputusan Pimpinan Rapat Paripurna Rapat Paripurna Istimewa Rapat Paripurna Khusus Rapat Panitia Musyawarah Pembentukan Panita Khusus Penyampaian Lembaran Kota Rapat Pimpinan
Jumlah 13 Buah 30 Buah 7 Buah 39 Kali 6 Kali 52 Kali 16 Kali 20 Buah 16 kali
Sumber : Setwan DPRD Kota Bandung, 2005
Esensi otonomi daerah ditandai dengan penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan yang diletakkan pada daerah Kabupaten/Kota dan merupakan pengejawantahan dari azas desentralisasi yang bermuara pada peningkatan peran dan
fungsi
pemerintahan
daerah
dalam
rangka
perwujudan
kesejahteraan
masyarakat dan pelayanan publik. Sinyalemen tatanan manajemen pemerintahan daerah tersebut diaktualisasikan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan penyelenggaraan semua urusan desentralisasi berupa urusan wajib dan urusan pilihan yang dilaksanakan pemerintah daerah. Di samping penyelenggaraan urusan tersebut ada penyelenggaraan tugas pembantuan dan penyelenggaraan tugas pemerintahan.
1. Penyelengaraan Urusan Pemerintahan
Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah ini meliputi urusan wajib dan urusan pilihan sesuai dengan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14.
1) Urusan wajib yang dilaksanakan pemerintah Kota Bandung meliputi : a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. Perencanaan pemanfaatan dan pengawasan tata ruang; c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masayarakat; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum; e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan; g. Penanggulangan masalah sosial; h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan; l. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. Pelayanan administrasi penanaman modal; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 2) Urusan pilihan adalah urusan Pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan Kota Bandung. Sedangkan berdsarkan PP No. 38 tahun 2007 tentang Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, Pasal 7, urusan wajib terdiri dari : a. Pendidikan; b. Kesehatan; c. Lingkungan hidup d. Pekerjaan umum; e. Penataan ruang; f. Perencanaan pembangunan; g. Perumahan; h. Kepemudaan dan olahraga; i. Penanaman modal; j. Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; k. Kependudukan dan Catatan Sipil; l. Ketenagakerjaan m. Ketahanan pangan; n. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; o. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
p. q. r. s. t.
u. v. w. x. y. z.
Perhubungan; Komunikasi dan informatika; Pertanahan; Kesatuan Bangsa dan politik dalam negeri; Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; Pemberdayaan masyarakat dan desa; Sosial; Kebudayaan; Statistik; Kearsipan; Perpustakaan.
a. b. c. d. e. f. g. h.
Urusan Pilihan terdiri dari : Kelautan dan perikanan; Pertanian; Kehutanan; Energi dan sumber daya mineral; Pariwisata; Industri; Perdagangan dan Ketransmigrasian perincian sebagai berikut :
Urusan wajib dan pilihan untuk pemerintah Kota Bandung disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah, ditetapkan melalui Perda No 8 tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Daerah Kota Bandung, dengan rincian sebagai berikut : a. Pendidikan; b. Kesehatan; c. Pekerjaan umum; d. Perumahan; e. Penataan ruang; f. Perencanaan pembangunan; g. Perhubungan; h. Lingkungan Hidup; i. Pertanahan; j. Kependudukan dan Catatan sipil k. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; l. Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera; m. Sosial; n. Ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; o. Koperasi dan Usaha Kecil dan menengah; p. Penanaman Modal; q. Kebudayaan dan Pariwisata; r. Kepemudaan dan Olahraga; s. Kesatuan Bangsa dan politik dalam negeri; t. Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; u. Pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. w. x. y. z.
Statistik; Kearsipan; Perpustakaan; Komunikasi dan Informatika; Pertanian dan Ketahanan Pangan.
a. b. c. d. e.
Dengan urusan pilihan sebagai berikut : Kehutanan; Energi dan sumber daya; Kelautan dan perikanan; Perdagangan; Perindustrian.
2. Penyelenggaraan Tugas Pembantuan Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau Desa dari pemerintah provinsi kepada Kabupaten/Kota dan/atau Desa serta dari pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa untuk melaksanakan tugas tertentu dan pendanaan penyelenggaraan tugas pembantuan dimaksud diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah yang mengamanatkan bahwa pendanaan penyelenggaraan tugas pembantuan daerah dibebankan kepada APBN dan program/ kegiatan dimaksud terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik. Berdasarkan pada ruang lingkup dan definisi tugas pembantuan tersebut, maka tugas-tugas pembantuan yang diselenggarakan di lingkungan Pemerintah Kota Bandung adalah tugas-tugas pembantuan yang diterima dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Jawa Barat, sementara itu tugas-tugas pembantuan yang diberikan Pemerintah Kota Bandung kepada Desa tidak ada, hal ini disebabkan karena dalam sistem dan manajemen kelembagaan Pemerintah Daerah pada lingkup Kota Bandung tidak terdapat struktur Pemerintah Desa. Berdasarkan realita dan pemahaman tersebut maka tugas pembantuan yang diterima dan dilaksanakan Pemerintah Kota Bandung pada tahun anggaran 2006 adalah 1) Pembangunan sarana dan prasarana Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ujungberung 2) Pengadaan Alat Kedokteran, Kesehatan dan KB pada Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Astanaanyar. 3. Penyelenggaraan Tugas Umum Pemerintahan
Penyelenggaraan tugas umum pemerintahan merupakan salah satu tugas penyelenggaraan pemerintah Kota Bandung. Tugas umum pemerintahan ini meliputi: a. b. c. d. e. f.
2.2.4.2
Kerjasama antardaerah Kerjasama daerah dengan pihak ketiga Koordinasi dengan instansi vertikal di daerah Pembinaan batas wilayah Pencegahan dan penanggulangan bencana Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum
Ketersediaan Sumber Pembiayaan Kota
Berdasarkan amanat UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 secara eksplisit telah ditetapkan dan diatur pembagian kewenangan (power sharing) dan pembagian keuangan (financial sharing) antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Kedua undang-undang ini memberikan kewenangan luas dengan titik berat otonomi pada daerah Kabupaten/Kota untuk mengelola daerahnya secara lebih mandiri, sesuai dengan kewenangan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Pelaksanaan kewenangan bidang pemerintahan tersebut, memerlukan sumber-sumber pembiayaan guna menunjang kegiatan yang dilaksanakan oleh masing-masing tingkat pemerintahan yang bersangkutan dalam arti penyediaan sumber keuangan tersebut sebanding dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh penyelenggara. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintah daerah diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/ kota. Berdasarkan UU No.33 Tahun 2004 sumber keuangan yang menjadi penerimaan pemerintah daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah. Penerimaan pemerintah daerah tersebut merupakan sumber pendapatan yang diperlukan untuk menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan pelayanan publik. Berkenaan dengan hal tersebut dan sesuai struktur APBD Kota Bandung Tahun Anggaran 2005 yang masih mengacu kepada Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, serta Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Struktur APBD Kota Bandung Tahun Anggaran 2005 terdiri dari:
1. Pendapatan: Pendapatan Asli Daerah yang berasal dari: Pajak Daerah Retribusi Daerah Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan Lain-lain pendapatan yang sah
Dana Perimbangan yang Berasal dari: Bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak/ sumber daya alam Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Bagi Hasil Pajak dan Bantuan Keuangan dari Provinsi Lain-lain Pendapatan yang sah
2. Belanja: Belanja Aparatur Belanja Publik Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Belanja Tidak Tersangka 3. Pembiayaan: Penerimaan Daerah Pengeluaran Daerah Berdasarkan Permendagri No 13 tahun 2006 dan Permendagri No 59 tahun 2007, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Pemerintah No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, struktur APBD Kota Bandung adalah sebagai berikut : 1. Pendapatan: Pendapatan Asli Daerah yang berasal dari: Pajak Daerah Retribusi Daerah Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan Lain-lain pendapatan yang sah
Dana Perimbangan yang Berasal dari: Bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak/ sumber daya alam Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus
Lain-lain Pendapatan daerah yang sah Hibah Dana Darurat Dana Bagi Hasil pajak dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya Dana Penyesuaian dan otonomi khusus
Bantuan keuangan lainnya.
dari provinsi atau pemerintah daerah
2. Belanja Daerah Belanja tidak langsung : Belanja Pegawai Belanja subsidi Belanja hibah Belanja bantuan sosial Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Belanja Tidak Tersangka Belanja Langsung Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal 3. Pembiayaan Daerah Penerimaan Pembiayaan Pengeluaran Pembiayaan Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SILPA) Pendapatan Pemerintah Kota Bandung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun (Lihat lampiran I, tabel 17), namun bila melihat komposisinya, terdapat lonjakan yang tinggi pada Dana Perimbangan yaitu dari tahun 2000 sebesar Rp. 204.196.320.730,00 menjadi Rp. 861.550.818.511,00 (Tahun 2005) atau peningkatan sebesar 321,92 %, atau rata-rata 39 % per tahun, dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu sebesar Rp. 78,037,122,537.09, pada tahun 2000, menjadi Rp. 225.596.438.613,00, (Tahun 2005) atau mengalami peningkatan sebesar 189,09 % atau rata-rata 18 % per tahun. Namun demikian rata-rata peningkatan pendapatan tersebut pada periode tahun 2005 sampai dengan rencana anggaran Tahun 2008 , mencapai 10,71 %, hal ini yang akan dijadikan dasar untuk perhitungan pendapatan pada setiap tahapan RPJMD. Kenaikan Dana Perimbangan yang cukup besar dibandingkan dengan kenaikan PAD menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Kota Bandung pada bantuan Pemerintah masih tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintah kota perlu mendorong peningkatan Dana perimbangan yang bersumber bagi hasil pajak. Perkembangan pendapatan dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005, yang bersumber dari Pajak Daerah memberikan kontribusi terbesar dalam komposisi Pendapatan Asli Daerah dengan rata-rata realisasi mencapai 1004,36 % dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 21,04 % atau meningkat dari Rp.39.976.152.176,00 pada tahun 2000 menjadi Rp 143.107.822.781,00 pada tahun 2005, diikuti oleh Retribusi Daerah yang mencapai rata-rata realisasi sebesar 95,1 % dengan rata pertumbuhan sebesar 18,88 %. Pencapaian retribusi yang masih di bawah target dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu berkaitan dengan perundang-undangan yang berlaku yaitu UU No 34 tahun 2000 tentang Pajak dan retribusi daerah,
sehingga beberapa perda tentang retribusi dicabut pemberlakuannya, diantaranya perda yang berkaitan dengan retribusi ketenagakerjaan. Sedangkan untuk PAD yang bersumber dari Hasil Perusahaan Milik Daerah serta Hasil Pengelolaan Kekayaan yang dipisahkan dapat dilihat pada Lampiran I, Tabel 18 terlihat bahwa rata-rata Realisasi Kontribusi terhadap PAD mencapai 100,29 %, dengan nilai nominal semakin menurun dari tahun 2004 sebesar Rp. 14.600.000.000,00 menjadi Rp. 2.552.953.482,00 di tahun 2005. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh pengelolaan BUMD yang belum profesional. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tantangan pembiayaan pembangunan ke depan, semakin berat, mengingat berbagai upaya yang sudah dilakukan saat ini, baik intensifikasi maupun ekstensifikasi terhadap pajak dan retribusi daerah akan mengalami titik jenuh. Oleh karena itu sebagai daerah otonom, pemerintah Kota Bandung dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif untuk menciptakan berbagai sumber pembiayaan, dan melaksanakan efisiensi belanja serta mendorong peningkatan partisipasi aktif swasta dan masyarakat untuk turut serta dalam proses pembangunan. Secara terinci pencapaian pendapatan Kota Bandung dapat dilihat dalam Lampiran I, Tabel 18.
2.3
Isu Strategis Pengembangan Kota Bandung ke Depan
2.3.1
Daya Dukung dan Daya Tampung Kota
Pada sub bab 2.2.1 telah dijelaskan kondisi lingkungan fisik di Kota Bandung mengalami degradasi dan depresi dari tahun ke tahun. Diantara berbagai kondisi lingkungan yang dibutuhkan oleh manusia, tiga jenis diantaranya yaitu sumber daya udara, air dan lahan dinilai strategis karena merupakan komponen kebutuhan dasar hidup manusia selain kebutuhan pangan. Di samping itu, semua jenis kegiatan pembangunan tidak akan lepas dari persoalan udara, air dan lahan.
2.3.1.1
Penduduk
Jumlah penduduk Kota Bandung mengalami pertumbuhan yang fluktuatif namun relatif rendah, bahkan pada tahun tertentu mengalami pertumbuhan negatif, dan pertumbuhan tertinggi pada tahun 2000 mencapai 14,3 % . Secara rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kota Bandung dari tahun 1990 sampai Isu 1. Ketidakmerataan dan masih terpusat dengan tahun 2005 penyebaran rata-rata laju penduduk di kawasan sekitar pusat kota pertumbuhan penduduk Kota Bandung adalah 1,59 % per tahun, angka pertumbuhan tersebut termasuk rendah. Dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,59%, maka diprediksikan jumlah penduduk Kota Bandung pada tahun 2025 mendatang akan maksimum menjadi sebesar 3.118.290 jiwa. Dengan jumlah penduduk tersebut, kepadatan penduduk naik dari 136 jiwa/Ha pada tahun 2005 menjadi 186 jiwa/Ha. Sampai tahun 2005, penyebaran penduduk di Kota Bandung masih menunjukkan ketidakmerataan dan
masih terpusat di kawasan sekitar pusat kota. Namun terdapat kecenderungan bergesernya kepadatan penduduk yang tinggi di kecamatan-kecamatan sekitar pusat kota ke kecamatan-kecamatan yang kepadatan penduduknya sedang hingga rendah di kawasan pinggiran Kota Bandung. Hal tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan kebijakan pemerintah kota untuk mengembangkan pusat kegiatan baru di wilayah timur (Gedebage), dan membatasi pembangunan di kawasan Bandung Utara. 2.3.1.2
Keterbatasan Lahan
Luas Kota Bandung yang hanya sebesar 16.729 Ha, harus menyisihkan minimum sebesar 30% untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan untuk jaringan jalan baru minimum sebesar 5%. Sedangkan saat ini kawasan Isu 2. Lahan yang tersedia terbatas. terbangun mencapai 12.655,23 Ha. (Laporan Penataan Ruang Metropolitan Bandung, 2005), sehingga sisa lahan yang masih dapat dibangun yaitu sebesar 4074,77 Ha. Jumlah tersebut masih harus dikurangi dengan 30% luas RTH minimum, sehingga total luas lahan yang masih bisa dibangun di Kota Bandung adalah 2852,34 Ha. Mengingat terbatasnya ketersediaan lahan layak bangun Kota Bandung di masa yang akan datang, maka sudah seharusnya pemerintah kota lebih mengarahkan pembangunan secara vertikal seperti rumah susun, apartemen, gedung perkantoran, dll. 2.3.1.2
Kualitas Udara
Dalam kaitannya dengan daya dukung dan daya tampung, kemampuan sumber daya udara, khususnya kualitasnya sulit diprediksi daya dukung dan daya tampungnya. Namun demikian tanda-tanda semakin menurunnya daya tampung kualitas udara dapat dilihat dengan jelas yaitu dari semakin banyaknya wilayah di Kota Bandung yang udaranya mengalami pencemaran dan beberapa parameter konsentrasinya telah melampaui Baku Mutu (BM). Mengingat saat ini sumber pencemar udara terbesar adalah dari kendaraan bermotor, dan laju pertumbuhan kendaraan di Kota Bandung tergolong tinggi berkisar antara 12-21% pertahun, maka apabila hal ini dibiarkan berlanjut diperkirakan dalam kurun waktu 10-20 tahun mendatang hampir semua wilayah Kota Bandung kualitas udaranya akan melampaui BM yang pada gilirannya akan menurunkan kesehatan warga Kota Bandung. Di samping persoalan pertumbuhan kendaraan bermotor, sektor industripun perlu diperhatikan. Walaupun kontribusi pencemaran udara dari sektor industri hanya sekitar 15%, namun apabila tidak ada pengendalian dimasa mendatang, potensial menurunkan kualitas udara, mengingat penggunaan Batu bara di sektor industri terus meningkat sebagai dampak dari kenaikan BBM pada tahun 2005. Isu 3. Menurunnya kualitas udara
Kualitas dan Kuantitas Air Terkait dengan sumber daya air, isu penting yang diprakirakan akan menjadi persoalan dimasa 10-20 tahun mendatang adalah terkait dengan
Isu 4. Semakin kritisnya ketersediaan dan kualitas air tanah dan air permukaan masalah kuantitas dan kualitas air. Keseimbangan ketersediaan dan kebutuhan air di Dataran Kota Bandung, menunjukkan mulai tahun 2000 diprediksi mengalami defisit dengan indeks 1,08 dan meningkat menjadi 1,33 di tahun 2005, dan berdasarkan keseimbangan sistem hidrologis kondisi ini dinilai masuk kategori tingkat kritis tinggi. Peta konservasi air tanah wilayah Kota Bandung dan sekitarnya yang diterbitkan oleh Direktorat Tata Lingkungan Geologi (1995) menunjukkan bahwa hampir semua wliayah Kota Bandung termasuk zona konservasi I dan II, dimana pengambilan air tanah hanya diperbolehkan untuk keperluan rumah tangga. Di samping semakin menurunnya ketersediaan air tanah, semakin meningkatnya pencemaran air baik air permukaan dan air tanah telah menyebabkan semakin terbatasnya pemenuhan air bersih. Masih terdapatnya industri dan semakin meningkatnya jumlah penduduk di Kota Bandung akan memperparah kelangkaan air bersih dimasa mendatang. Persoalan mengenai penyediaan air bersih di Kota Bandung adalah ketersediaan air baku dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk dan pengembangan kota. Saat ini keterbatasan jangkauan pelayanan air bersih PDAM ditemukan di wilayah Bandung Timur. Dengan asumsi kebutuhan air bersih sebesar 120 liter/orang/hari, maka dapat diprediksikan kebutuhan air bersih untuk Kota Bandung dimasa akan datang tersaji di tabel berikut ini. Tabel 2.19 Proyeksi Kebutuhan Air Bersih Kota Bandung 2025 Tahun 2005 2010 2015 2020 2025
Kebutuhan air bersih total (m3/hari) 346,422 371,380 390,439 406,286 415,253
Sumber: Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi, 2006
2.3.1.5
Banjir
Persoalan lainnya terkait dengan sumber daya air adalah semakin luasnya lahan yang terbangun yang mengurangi resapan, berkurangnya daerah resapan akan meningkatkan volume air larian yang pada gilirannya meningkatkan potensi banjir sehingga luas dan lamanya banjir di musim penghujan akan meningkat. Isu 5.Peningkatan luas dan lamanya banjir.
2.3.1.6
Ruang Terbuka Hijau
Semakin meningkatnya penduduk Kota Bandung Isu 6 : Penurunan Ruang Terbuka Hijau membawa konsekuensi (RTH) terhadap terjadinya alih fungsi lahan yang semula lahan terbuka hijau berupa lahan pertanian dan tegalan
menjadi terbangun, baik untuk permukiman maupun pusat perdagangan. Luas wilayah terbangun Kota Bandung tahun 2004 sebesar 12.655,23 Ha. Semakin luasnya lahan terbangun memperkecil Ruang Terbuka Hijau kota yang sangat penting untuk mempertahankan iklim mikro. Alih fungsi lahan terbuka juga berdampak pada semakin meningkatnya air larian yang pada gilirannya di musim hujan seringkali menimbulkan genangan dan banjir.
2.3.2
Daya Tarik dan Daya Saing Kota
2.3.2.1
Ekonomi Kota
Kota Bandung memiliki beberapa potensi ekonomi yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik kota yang tidak dapat dipisahkan dengan sektor pariwisata. Sehingga pengelolaan terhadap berbagai lokasi harus bersinergi dengan pengembangan sektor pariwisata. Berdasarkan hasil kajian, bahwa wisatawan yang datang ke Kota Bandung memiliki berbagai macam tujuan. Hal ini merupakan daya tarik sekaligus sebagai daya saing Kota. Kota Bandung dengan berbagai potensi pariwisatanya telah menjadi salah satu tujuan wisata, terutama bagi wisatawan nusantara. Potensi tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan kota melalui ketersediaan lapangan kerja, lapangan berusaha. Kegiatan pariwisata Kota Bandung memerlukan perhatian intensif, terutama dalam hal kualitas produk dan pelayanan. Beberapa potensi yang dimiliki Kota Bandung masih memerlukan optimalisasi pengembangan, agar seluruh mata rantai produk wisata secara individu kuat, yang akhirnya secara kolektif akan membentuk pencitraan yang baik sebagai kota tujuan wisata. Jaringan pariwisata yang merupakan keterkaitan elemen-elemen dalam pemerintahan, usaha pariwisata, dan masyarakat, juga merupakan bagian dari komponen yang menentukan citra tujuan wisata sehingga kinerja jaringan ini harus pula dapat menampilkan suatu produk total yang baik. Potensi Kepariwisataan menurut Undang-undang No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan, terdiri dari : Isu 1 : Potensi ekonomi di sektor pariwisata belum ditangani secara maksimal
a. Obyek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna; b. Obyek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi, dan tempat hiburan. Sesuai dengan perkembangan kepariwisataan dan kondisi Kota Bandung yang telah menjadi Kota metropolitan, potensi pariwisata di Kota Bandung berkembang pesat. Secara terinci potensi pariwisata di Kota Bandung dapat dilihat dalam Lampiran I, Tabel 19.
2.3.2.2
Lapangan Pekerjaan
Pertumbuhan penduduk Kota Bandung belum dapat diikuti oleh penyediaan lapangan kerja yang memadai sehingga masih banyak penduduk yang belum dapat terserap oleh lapangan kerja yang sesuai dengan pendidikan dan keahliannya. Tidak sedikit penduduk yang terpaksa bekerja pada bidang yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikan maupun bidang keahliannya. Salah satu alternatif lapangan kerja yang mudah dimasuki adalah sektor informal. Banyaknya sektor informal atau PKL merupakan salah satu dampak tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai di Kota Bandung. Isu 2. Pertumbuhan penduduk belum dapat diimbangi oleh penyediaan lapangan kerja yang memadai
2.3.2.3
Struktur Ruang Kota
Struktur ruang kota yang baik ditunjukkan dengan adanya keserasian atau kesesuaian lokasi dan fungsi antara tiga elemen yaitu pusat pelayanan, kegiatan fungsional dan sistem transportasi. Fungsi kegiatan yang berada di fungsi jalan lebih tinggi masih dapat diterima, namun tidak sebaliknya jika kegiatan berada pada jalan yang lebih rendah. Perkembangan kegiatan-kegiatan yang di Kota Bandung baik berskala pelayanan nasional, Provinsi maupun lokal banyak menyebar di sekitar jalan-jalan yang ada. Banyak sekali perubahan fungsi lahan akibat dari perkembangan kegiatan-kegiatan tersebut sehingga diduga banyak kegiatan yang berlokasi tidak sesuai dengan fungsinya dan mempengaruhi struktur ruang Kota Bandung secara keseluruhan. Belum berkembangnya Pusat Primer Gedebage dan belum berfungsinya pusat sekunder Margasari, yang melayani Isu 4 : Belum berkembangnya wilayah pengembangan Gedebage, Gedebage sebagai Pusat Primer ke sehingga menyebabkan konsentrasi dua dan belum berfungsinya Pusat pergerakan manusia, barang dan jasa di satu pusat inti kota. Hal tersebut akan berdampak terhadap kejenuhan di titik pusat kota dan pusat-pusat sekunder yang sudah berfungsi, baik yang sesuai maupun yang menyimpang dari rencana dalam melayani enam wilayah pengembangan tersebut. Isu 3 : Tidak selarasnya sebaran fungsi kegiatan dengan fungsi jalan
2.3.2.4
Ketersediaan Infrastruktur Ketidaksiapan
infrastruktur
terutama tempat parkir menjadi penyebab utama kemacetan Isu 5 : Ketidaksiapan dikarenakan penggunaan lokasi infrastruktur dan keterbatasan perdagangan misalnya dengan menjamurnya pusat-pusat lahan di lokasi wisata perdagangan seperti factory outlet di kawasan Dago, Riau, Setiabudi yang menjadi tujuan wisatawan dan 5
kawasan industri dan perdagangan (KIP) yang diandalkan menjadi penggerak ekonomi Kota Bandung, yaitu Cihampelas (jeans), Cibaduyut (sepatu), Suci (Sablon/kaos), Binong Jati (rajutan) dan Cigondewah (kain) yang tidak sesuai dengan peruntukkannya. Selain itu penggunaan bahu jalan sebagai lahan parkir juga merupakan salah satu penyebab kemacetan, pusat perdagangan yang baru dan mulai ramai dikunjungi pembeli biasanya sering diikuti oleh munculnya pedagang kaki lima (PKL). Wisata kuliner di Kota Bandung sangat berkembang dengan pesat dengan adanya restoran dan kafe-kafe yang menyediakan berbagai jenis makanan baik lokal maupun internasional. Beberapa lokasi kuliner yang terkenal antara lain Kawasan Jl. Veteran, Jl. Burangrang dan lokasi-lokasi lain yang berdekatan dengan pusat-pusat perbelanjaan. Umumnya jalan umum masih digunakan sebagai tempat parkir, seperti ditunjukkan pada tabel berikut: Tabel 2.20 Jumlah Tempat Parkir di Kota Bandung Menurut Lokasi 5.1 Lokasi Jumlah Lokasi Jalan Umum
226
Lingkungan Parkir
3
Pelataran Pasar
16 Total
245
Sumber: Unit Pengelola Perpakiran Kota Bandung, 2004
Angka-angka di atas sedikit banyak menggambarkan tingkat kemacetan dan kesulitan lahan perparkiran di Kota Bandung, khususnya pada hari libur/akhir pekan. 2.3.2.5
Koperasi , UKM dan Sektor Informal
Dunia usaha yang terdiri dari usaha kecil, menengah dan besar merupakan pelaku usaha yang sangat dibutuhkan dalam menggerakkan roda perekonomian. Ketiga pelaku usaha tersebut akan saling sinergis (saling menguntungkan) jika ketiganya dapat bekerjasama satu sama lain dalam kerangka membangun perekonomian kota Isu Isu 6 6 :: Belum Belum maksimalnya maksimalnya penanganan Koperasi penanganan Koperasi ,UKM ,UKM dan sektor informal dan sektor informal
2.3.2.6
Desain Kawasan Kota Bandung
Desain kawasan Kota Bandung yang nyaman bagi warga kota, pengunjung dan investor, menjadi daya tarik terutama desain pada ruangruang publik Isu 7 : Banyak ruang publik belum terancang antara lain: ruang dengan baik terbuka publik (jalan, taman, pusat belanja, jalur pejalan), pemandangan dan keindahan kawasan, serta reklame luar ruangan. Saat ini, masih banyak jalan dengan kondisi yang tidak baik sehingga berpengaruh pada kemacetan. Selain itu, masih terlihat juga jalan yang tidak memiliki jalur pejalan kaki. Kalaupun ada, kondisinya tidak baik sehingga masyarakat memanfaatkan badan
jalan. Persebaran pusat perbelanjaan tidak merata untuk setiap Wilayah Perencanaan (WP), sehingga pergerakan orang dan barang terbebani pada satu WP yang memiliki banyak pusat perbelanjaan. Keindahan ruang terbuka juga terganggu dari banyaknya dan ketidakteraturan dalam penataan reklame luar ruangan.
Gambar 2.6 Permasalahan Desain Kota Bandung
2.3.3
Sosial Kemasyarakatan.
Bila memperhatikan kecenderungan kondisi/karakteristik kependudukan yang ada saat ini maupun pengaruh faktor-faktor kondisi Kota Bandung dan wilayah sekitar serta faktor eksternal lainnya maka kondisi kependudukan Kota Bandung pada masa mendatang akan mengalami dinamika atau perubahan. Dengan kecenderungan tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk 1,59%/tahun, disesuaikan dengan daya dukung dandaya tampung lingkungan, maka jumlah penduduk Kota Bandung pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 3.118.290. jiwa. Namun bila menggunakan kecenderungan tingkat pertumbuhan penduduk yang maksimum yaitu rata-rata pertumbuhan lima tahunan sebesar 3%/tahun, maka jumlah penduduk Kota Bandung pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 5 juta jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata sebesar 300 jiwa/hektar. Bila hal tersebut terjadi maka penduduk Bandung sudah sangat padat, hampir 2 kali lipat dari kondisi saat ini. Hal ini akan menimbulkan berbagai masalah ekonomi, sosial dan lingkungan serta masalah perkotaan lainnya yang tidak hanya ditanggung oleh Kota Bandung tetapi juga kota-kota lain di sekitarnya. Salah satu permasalahan tersebut adalah permasalahan kesejahteraan penduduk, yang dibagi menjadi kesejahteraan sosial ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
2.3.3.1
Permukiman
Tingkat pendapatan dan daya beli yang rendah menyebabkan penduduk tidak dapat memiliki rumah yang layak dan sehat. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya penduduk yang tinggal pada rumah dengan kondisi kurang layak atau kurang sehat bahkan tidak sedikit yang tinggal pada permukiman kumuh. Di beberapa kecamatan masih dijumpai permukiman kumuh dengan kondisi rumah dan lingkungan yang tidak layak dan tidak memenuhi syarat rumah sehat. Isu 1. Pertumbuhan penduduk belum dapat diimbangi oleh penyediaan permukiman layak huni
2.3.3.2
Pelayanan Pendidikan
Kesejahteraan Sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, rasa aman (keamanan). Tingkat pendidikan rata-rata penduduk Kota Bandung akan mengalami peningkatan. Bila semula banyak penduduk yang Isu 2. Belum semua penduduk, berpendidikan menengah ke terutama pada kelompok miskin, bawah maka pada masa mampu menjangkau pelayanan mendatang akan makin banyak pendidikan tingkat menengah ke atas penduduk yang berpendidikan menengah ke atas. Adanya program wajib belajar akan memperluas jumlah penduduk yang dapat mengenyam pendidikan dasar maupun menengah. Dengan demikian maka angka buta huruf akan menurun dan angka melek huruf akan meningkat. Tingkat penyediaan fasilitas pendidikan akan meningkat, namun persentase penduduk yang tidak bisa menikmati pendidikan secara layak, terutama pendidikan menengah ke atas, mungkin juga meningkat akibat semakin mahalnya biaya pendidikan sehingga tidak dapat dijangkau oleh sebagian penduduk kota. Saat ini, masih banyak dijumpai fasilitas pendidikan dasar dan menengah yang kondisinya kurang layak. Hanya sebagian kecil fasilitas pendidikan dasar dan menengah yang mempunyai koneksi jaringan internet. Masih banyak dijumpai keluhan dan pengaduan masyarakat tentang kurang baiknya pelayanan pendidikan. Hal tersebut menyiratkan banyak institusi pendidikan yang belum menerapkan standar prima dalam menyelenggarakan proses pendidikan. Partisipasi orang tua siswa dalam Dewan Sekolah atau lembaga sosial pemantau pendidikan masih dikatakan rendah. Padahal diharapkan setiap pihak dapat memberikan masukan yang membangun yang akan mendukung peningkatan kualitas pelayanan pendidikan. Pada saat ini, jumlah SMU jauh lebih banyak dibandingkan dengan SMK sehingga proporsi antara SMU : SMK sekitar 70 : 30, padahal dalam jangka waktu 10 tahun ke depan proporsi SMU : SMK sekitar 30 : 70. Perubahan komposisi tersebut harus diikuti program dan kebijakan Sebagai Cyber City, maka berbagai kegiatan dan program harus menunjang fungsi Bandung sebagai Cyber City antara lain tampak dari koneksi jaringan internet khususnya yang menjangkau semua fasilitas pendidikan dan juga masyarakat yang saat ini masih sangat terbatas.
2.3.3.3
Pelayanan Kesehatan
Dengan adanya peningkatan IPM yang disebabkan oleh peningkatan pada angka harapan hidup sebagai akibat dari pelaksanaan berbagai program bidang kesehatan yang meningkatkan kualitas kesehatan penduduk, yang Isu 3. Belum semua penduduk dapat ditandai dengan menurunnya terjangkau oleh pelayanan kesehatan Angka Kematian Bayi, Angka yang memadai, terutama golongan Kematian Ibu, prevalensi gizi penduduk miskin. kurang pada Balita. Kondisi ini berdampak kepada semakin banyaknya penduduk yang berusia lanjut sehingga persentase warga usia lanjut (USILA), akan meningkat sedangkan proporsi kelompok anakanak akan berkurang. Penduduk kurang mampu yang saat ini belum mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan diharapkan dapat memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan yang memadai sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan mereka. Pengembangan berbagai infrastruktur kesehatan serta peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga medis diharapkan dapat memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat, termasuk golongan penduduk yang kurang mampu. 2.3.3.4
Gelandangan dan Pengemis, Pelacuran, Narkoba, serta Gangguan Keamanan
Rendahnya tingkat pendidikan atau keahlian sebagian penduduk menyebabkan mereka tidak dapat diserap pada lapangan kerja perkotaan sedangkan kehidupan harus Isu 4. Meningkatnya jumlah terus berjalan. Akibatnya tidak gelandangan dan pengemis, sedikit penduduk yang terpaksa pelacuran, narkoba, gangguan menjadi gelandangan, keamanan pengemis, pelacur, berjudi atau bahkan melakukan tindak kriminal untuk dapat bertahan hidup. Pada sebagian kalangan remaja, kebebasan telah menjerumuskan mereka pada pergaulan bebas, kenakalan remaja, kejahatan (tindak kriminal), perjudian, narkoba dan pelacuran.
2.3.4
Kualitas SDM dan Modal Sosial
2.3.4.1
Pengangguran
Pertumbuhan lapangan kerja yang tidak dapat mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja akan menyebabkan persaingan untuk memperoleh lapangan kerja semakin ketat, sehingga tingkat pengangguran masih tinggi, dan diperkirakan akan terjadi peningkatan tenaga penganggur terdidik, sehingga akan banyak dijumpai SDM yang terpaksa bekerja bukan pada bidangnya. Sehubungan dengan hal tersebut mengakibatkan rendahnya produktivitas dan penghasilan, sehingga berdampak pada rendahnya daya beli penduduk dan kepemilikan rumah. Sektor informal (termasuk PKL) masih akan mengalami peningkatan, sehingga akan berdampak negatif terhadap tata ruang kota bila tidak dikelola dengan baik.
Isu 1. Peningkatan kualitas SDM belum dapat diikuti oleh penyediaan lapangan kerja yang sesuai sehingga menimbulkan pengangguran terdidik
2.3.4.2
Wiraswasta
Jumlah penduduk Kota Bandung masa mendatang akan bertambah namun dengan tingkat pertumbuhan yang relatif konstan atau menurun. Walaupun kualitas SDM saat ini, Isu 2. Peningkatan kualitas SDM baik dari tingkat pendidikan belum dapat diikuti oleh kemampuan maupun kesehatan, sudah untuk menciptakan lapangan kerja relatif cukup baik namun akan (wiraswasta) terus ditingkatkan. Begitu pula kualitas sebagian SDM yang masih rendah akan terus ditingkatkan sehingga dapat terserap pada lapangan kerja yang tersedia atau menciptakan lapangan kerja sendiri (dan untuk orang lain), mempunyai pendapatan yang cukup sehingga daya belinya meningkat.
2.3.4.3
Modal Sosial yang Bersifat Memfasilitasi
Modal sosial intrakelompok (bonding) tumbuh dengan cukup baik, dan tampaknya akan tumbuh terus. Begitu pula halnya dengan modal sosial yang mengait ke sumber-sumber daya di luar Kota Bandung (linking). Namun modal sosial yang bersifat menfasilitasi antarkelompok (bridging) masih perlu ditumbuhkembangkan. Peranan pemerintah di sini amat diperlukan, tetapi lebih sebagai pendorong atau fasilitator. Memang tidak mudah Isu 3. Modal sosial yang bersifat menciptakan hubunganmemfasilitasi masih kurang hubungan menjembatani yang berlingkup luas; oleh karenanya dapat dipikirkan untuk menciptakan jembatan-jembatan berdasarkan isu atau topik yang lebih terbatas; namun perlu diupayakan agar jembatanjembatan ini berkelanjutan, bukan hanya diaktifkan secara ad hoc dan reaksioner. 2.3.4.4
Kepedulian Warga terhadap Mutu Lingkungan Fisik dan Sosial
Modal sosial yang lemah dalam matra bridgingnya ditandai oleh rendahnya kepedulian warga terhadap mutu lingkungan fisik maupun sosialnya; dan oleh ungkapan-ungkapan kekhawatiran akan gangguan dari luar kelompok sendiri. Hal ini tercermin antara lain dari upaya spontan warga memagari kawasan permukiman mereka, atau memasang penghambat-penghambat seperti ‘polisi tidur’ dan pagar atau portal di mulut jalan ke permukiman mereka. Warga kota juga umumnya kurang memperlihatkan kepedulian yang nyata untuk turut menertibkan lingkungan setempat dari berbagai bentuk penyimpangan yang merugikan kehidupan bersama; maupun Isu 4. Kepedulian warga terhadap mutu lingkungan fisik maupun sosial relatif rendah; tetapi perasaan akan kerawanan sosial tinggi
untuk mewujudkan kesetiakawanan sosial yang berkelanjutan terhadap golongan-golongan sosial yang lemah. 2.3.4.5
Sistem Informasi Interaktif
Data tentang perkumpulan Isu 5. Belum optimalnya sistem warga di Kota Bandung tidaklah informasi interaktif di antara memadai. Pemerintah dapat pemerintah dan warga kota mendayagunakan teknologi mengenai upaya pembangunan kota; komunikasi yang canggih untuk belum ada kebijakan mengenai membangun sistem komunikasi mekanisme partisipasi warga dalam interaktif, agar dapat senantiasa memutakhirkan data tentang perkumpulan warga dan upaya pembangunan swadaya oleh warga, dengan cara lebih praktis. Pemerintah perlu pula mendorong kerjasama di antara berbagai kelompok warga, dan di antara pemerintah dengan mereka, dalam setiap langkah pembangunan. Untuk itu diperlukan kebijakan yang jelas mengenai mekanisme partisipasi warga dalam pembangunan. 2.3.4.6
Modal Sosial dan Mutu SDM
Mutu SDM dapat berkaitan langsung dengan mutu modal sosial. Memang beberapa kajian memperlihatkan bahwa modal sosial bisa bertumbuh dengan baik di kalangan warga yang mutu SDM-nya (penghasilan, pendidikan, dan kesehatan) rendah. Bahkan ada kajian yang menunjukkan bahwa modal sosial intrakelompok di kalangan orang miskin amat kuat, justru karena kemiskinan membuat mereka harus menjaga hubungan sosial yang baik dengan orang lain. Akan tetapi perlu diperhatikan adalah bahwa modal sosial di kalangan penduduk yang mutu SDM-nya rendah, cenderung bersifat intrakelompok, sehingga kemampuan mereka untuk meningkatkan kesejahteraannya (mutu SDM-nya) dalam serba keterbatasannya, akan relatif rendah pula. Peranan pemerintah sangat penting untuk mendorong terciptanya jembatan antar kelompok warga, terutama di antara kelompok warga miskin dengan kelompok-kelompok lain yang lebih sejahtera dan menguasai sumber-sumber penghidupan yang penting. Isu 6. Modal sosial yang bersifat mediasi belum optimal
2.3.4.7
Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah prinsip hidup bersama dan saling menghargai cara hidup atau kebudayaan yang berbedabeda. Kota Bandung dengan berbagai fungsinya yang ditetapkan kini, akan menarik dan mempertemukan lebih banyak lagi pendatang. Bila perbedaanperbedaan dibiarkan dalam persaingan yang semakin ketat untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas, maka ketegangan (karena Isu 7. Belum optimalnya penghargaan terhadap kebudayaan daerah, warisan budaya Kota Bandung, potensi kreativitas pemuda, dan kerjasama antar kelompok sosial budaya
perasaan ‘pribumi tersisih oleh pendatang’ atau sebaliknya, ‘pendatang dihambat oleh pribumi’) yang dapat memuncak menjadi konflik, akan kian sulit dihindarkan. Terkait dengan multikulturalisme, pemerintah dapat memprakarsai penyediaan fasilitas belajar kebudayaan Sunda bagi siapa saja yang berminat, baik orang Sunda maupun bukan-Sunda; atau membentuk pusat saling-belajar kebudayaan antardaerah. Di pusat semacam ini warga kota dapat saling mempelajari kelebihan atau keunggulan suku bangsa lain. Misalnya dari kalangan orang Tionghoa, Minangkabau dan Batak, dapat diminta berbagi keahlian berorganisasi dan ekonomi; dari kalangan orang Sunda dan Jawa dapat diminta ilmu kesenian dan tatakrama; dari kalangan orang Ambon dan Batak dimintakan keterampilan bermusik, dan seterusnya. Kita mengenal setidaknya dua lembaga kebudayaan asing yang giat membuat acara-acara sosial budaya seperti CCF dan Goethe Institut, dan mempelajari bagaimana mereka bekerja sama dengan berbagai pihak ‘pribumi’. Umpamanya, untuk mengangkat identitas Kota Bandung sebagai kota pendidikan yang mengundang banyak pendatang dari berbagai daerah dan menumbuhkan berbagai perkumpulan kedaerahan, maka pemerintah dapat menyelenggarakan acara-acara yang mempertemukan berbagai perkumpulan tersebut dengan berbagai topik yang merangsang kerjasama di antara mereka, mulai dari pagelaran kesenian antar daerah, pertandingan prestasi akademik mahasiswa antar daerah, lokakarya menghadapi masalah-masalah (dari fisik hingga sosial) di sekitar permukiman mahasiswa. Masih terkait dengan persoalan multikulturalisme, dialog antaragama juga perlu lebih didorong dan difasilitasi, meskipun perlu diakui tingkat kesulitannya lebih tinggi dibandingkan dengan acara-acara yang tidak langsung menyangkut ke perbedaan identitas primordial. Demikian pula perlu ditingkatkan Isu 8. Belum ada identitas penghargaan terhadap warisan bersama warga Kota Bandung budaya kota yang merupakan yang dapat mempersatukan identitas fisik Kota Bandung, yang penduduk asli dan pendatang mencerminkan campuran antara tradisi budaya daerah setempat maupun tradisi-tradisi budaya asing (yang menonjol di Bandung adalah pengaruh tradisi budaya modern-Barat dan tradisi budaya Islam). Perlu didorong penciptaan perlambangan kota yang memanfaatkan kekayaan budaya Bandung, yang mencerminkan kreativitas warga dalam mengolah berbagai bahan milik sendiri maupun pinjaman itu. Juga perlu dibangun identitas bersama yang dapat mempersatukan penduduk asli (mayoritas orang Sunda) dengan pendatang (dari daerah dan suku bangsa atau bangsa lain). Sebagai ibukota provinsi dan kota besar penting di Indonesia yang berpenghuni mayoritas orang Sunda, perlu dikembangkan identitas metropolis Sunda yang multikultural dan inklusif; yang dapat diaktifkan dalam berbagai kegiatan.
2.3.5
Manajemen Kota
2.3.5.1.
Tingkat Pelayanan
Menghadapi era globalisasi dewasa ini, Kota Bandung memiliki berbagai keterbatasan baik yang menyangkut fisik kota maupun sumber daya manusia, peraturan dan perundangan serta birokrasi pemerintahan. Kota Bandung secara fisik memililki iklim yang sejuk dengan curah hujan yang tinggi serta tanah yang subur bagi budidaya pertanian. Dalam perspektif sejarah, Kota Bandung merupakan kota peristirahatan yang telah berubah fungsi menjadi salah satu kota metropolitan. Berbagai prasarana dan sarana fisik kota telah terbangun mengikuti berbagai tuntutan perkembangan aktivitas kotanya. Bangunan-bangunan fisik tersebut mulai dari prasarana dan sarana pelayanan pemerintahan, pendidikan, penelitian, perdagangan, lembaga keuangan sampai dengan sarana penunjang lainnya seperti: saluran drainase kota, jalan-jalan kota serta sarana dan prasarana persampahan. Namun demikian, kondisi perkembangan fisik Kota Bandung saat ini belum menunjukkan keteraturan yang cukup menunjang pencapaian fisik kota. Kepadatan penduduk yang tinggi yaitu sebesar 138 jiwa/ha dan laju pertumbuhan penduduk 1,59%, dianggap sebagai salah satu penyebab ketidak sepadanan dalam pelayanan infra struktur dan utilitas kota. Di bidang infrastruktur dan utilitas kota, saat ini terjadi ketidakseimbangan antara penyediaannya dengan dinamika aktivitas kota, sehingga tingkat pelayanannya menjadi tidak optimal. Isu 1. ketidakseimbangan antara penyediaan infrastruktur dan utilitas kota dengan dinamika aktivitas kota sehingga tingkat pelayanan menjadi tidak optimal
2.3.5.2
Sumber Daya Manusia, Birokrasi dan Biaya Pembangunan
Dalam bidang sumber daya manusia, perlu disiapkan tenaga-tenaga yang dapat berkompetensi dengn tenaga-tenaga kerja dari luar negeri. Demikian pula dengan aspek peraturan dan perundang-undangan serta birokrasi belum sepenuhnya mendukung daya tarik investasi. Kinerja pemerintah Kota Bandung dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Secara internal faktorfaktor keterbatasan sumber daya Isu 2. Keterbatasan SDM, hambatan manusia, hambatan birokrasi dan birokrasi, keterbatasan biaya keterbatasan kemampuan pembiayaan pembangunan pembangunan merupakan kendala merupakan kendala yang harus yang harus segera disikapi dan segera disikapi dan diantisipasi. Kemampuan aparatur dalam menganalisis permasalahan yang terjadi di masyarakat merupakan tuntutan yang harus segera dipenuhi dalam rangka perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance). Demikian pula dengan permasalahan birokrasi terutama dalam bidang pelayanan perizinan harus menjadi prioritas pemerintah kota. Hal lain yang menjadi kendala pembangunan adalah adanya keterbatasan pembiayaan, efisiensi dan efektivitas pengelolaan APBD pemerintah kota.
2.3.5.3
Kerjasama Antar Kota
Kerjasama antar Kota Bandung dengan sejumlah kota/kabupaten di dalam negeri
dan kerjasama dengan kota-kota
di negara-negara sahabat merupakan
peluang yang dapat Isu 3. Belum optimalnya kerjasama antar dikembangkan, baik dalam kota rangka membangun kerjasama pendidikan, pemuda, olahraga, sosial dan budaya, maupun kerjasama dalam bidang ekonomi. Model kerjasama ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas pertukaran informasi, teknologi, perdagangan dan jasa antar kota bersahabat.
2.3.5.4
Sistem Manajemen Otonomi Daerah
Melihat kenyataan yang ada, kita dapat membuat model manajemen otonomi daerah Kota Bandung yang berangkat dari analisa kebutuhan sebagai salah satu Isu 4. Belum optimalnya pelayanan publik yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman
input pemerintah Kota Bandung yang kebijakan
dapat
menentukan
strategis.
Hal
ini
merupakan bagian dari bottom up planning dan akan dituangkan dalam visi, misi dan tujuan Kota Bandun. Terkait dengan pelaksanaan manajemen kota khususnya sistem manajemen otonomi daerah Kota Bandung, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bersama. Pertama, pemahaman yang jelas segenap aparat pemerintah Kota Bandung terhadapa kewenangan yang dimiliki khususnya sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004, dalam hal sinkronisasi antar kewenangan
daerah, provinsi dan
pusat, Kedua, adanya pengelolaan sumber daya pemerintah Kota Bandung yang meliputi organisasi, keuangan, aparatur dan sarana prasarana. Ketiga, pengawasan yang efektif perlu dijalankan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya penyimpangan sejak dini. Apabila semua ini berjalan dengan baik pasti akan menjamin kepuasan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Kota Bandung.
BAB III VISI DAN MISI DAERAH 3.1
Visi Daerah
Berdasarkan kondisi saat ini dan isu-isu strategis pada 20 tahun mendatang, serta penggalian aspirasi dan persepsi masyarakat yang telah dilakukan, maka “Visi Daerah” Kota Bandung pada tahun 2025 adalah: “KOTA BANDUNG BERMARTABAT” (BANDUNG DIGNIFIED CITY) Kata “Bermartabat” tersebut yang juga merupakan bagian dari visi Kota Bandung terdahulu sesuai dengan Perda No. 6 Tahun 2004 yaitu “Kota Jasa yang BERMARTABAT”, masih relevan untuk dijadikan visi Kota Bandung Tahun 2005-2025 tetapi dengan pemaknaan yang lebih filosofis. Bermartabat disini merupakan kata secara harfiah, yang mempunyai arti harkat atau harga diri, yang menunjukkan eksistensi masyarakat kota yang dapat dijadikan teladan karena ketakwaanya, , kemakmuran, kebersihan, ketertiban, ketaatan, keamanan, dan berkeadilan. Jadi, kota bermartabat adalah kota yang memiliki harga diri, kehormatan, keadilan dan harkat kemanusiaan. Berdasarkan pemahaman tersebut, sangatlah rasional pada kurun waktu dua puluh tahun ke depan diperlukan langkah dan tindakan pemantapan (Reorientasi, Refungsionalisasi, Restrukturisasi, Revitalisasi, dan Reaktualisasi) pembangunan yang harus dilakukan bersama-sama oleh pemerintah Kota Bandung dan partisipasi aktif masyarakatnya serta didukung secara politis oleh pihak legislatif. Dengan demikian pemantapan pembangunan ke depan memerlukan upaya-upaya yang lebih inovatif, cerdas dan terarah, namun tetap ramah dalam meningkatkan akselerasi pembangunan guna tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kondisi relatif pencapaian visi tersebut pada tahun 2025 selayaknya secara normatif dapat diukur dari berbagai kriteria ‘bermartabat’ sebagai berikut: Kota Bandung menjadi kota yang masyarakatnya bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa Kota Bandung menjadi kota yang termakmur di Indonesia dengan masyarakatnya yang sejahtera secara ekonomi maupun sosial (people prosperity); Kota Bandung menjadi kota yang paling menonjol sisi keadilan-nya bagi semua golongan masyarakat kota dalam hal kesempatan pelaksanaan hak dan kewajibannya berkehidupan dan berpenghidupan; Kota Bandung menjadi kota terbersih di tingkat nasional; Kota Bandung menjadi kota percontohan atas ketertiban semua aspek kehidupan perkotaan di Indonesia; Kota Bandung menjadi kota percontohan atas ketaatan pemerintahan kota, masyarakat, dan swasta pengusahanya pada norma hukum, aturan, etika dan kepatutan budaya dan adat-istiadat perkotaan yang berlaku; Kota Bandung menjadi kota yang teraman bagi berbagai masyarakat yang tinggal maupun pengunjung untuk berbagai keperluannya. Berbagai kriteria tersebut secara bersama-sama dan saling melengkapi akan mewujudkan harga diri, kehormatan, keadilan, dan harkat kemanusiaan yang membentuk “Kota Bandung Bermartabat”. Kriteria capaian visi daerah tersebut, dijabarkan dalam indikator kinerja capaian misi.
3.2
Misi Daerah
Dalam rangka mewujudkan visi yang telah ditetapkan (2005-2025) sesuai dengan potensi sumber daya dan kemampuan yang dimiliki serta didukung oleh semangat kebersamaan, tanggung jawab yang optimal dan proporsional dari seluruh komponen kota, maka Misi yang akan dilaksanakan beserta arah pembangunan, strategi, dan indikator kinerja 20 tahun mendatang adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan Sumber Daya Manusia yang handal dan religius Salah satu misi untuk mewujudkan Visi Kota Bandung sebagai Kota “BERMARTABAT” adalah mengembangkan sumberdaya manusia (SDM) yang handal dan religius. Sumberdaya manusia yang handal diindikasikan dari aspek pendidikan dan kesehatan. Seperti diketahui bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan dua indikator utama dalam IPM. Namun tampak bahwa yang ingin dilakukan dalam misi kota Bandung bukan sekedar peningkatan IPM saja tetapi IPM plus, yaitu SDM handal yang “religius”. SDM handal yang religius dicerminkan dari ketaatan terhadap ajaran agama, bermoral, beretika dan berperilaku baik, sebagai penjabaran dari masyarakat yang bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bila hanya SDM yang handal saja tanpa mempunyai ketaatan terhadap ajaran agama maka dikhawatirkan menghasilkan SDM yang dapat membahayakan atau merusak kinerja dan keberlanjutan kehidupan Kota Bandung melalui berbagai tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Namun dengan adanya tambahan “religius” maka SDM yang handal tersebut akan memberikan manfaat bagi dirinya, orang lain (keluarga dan masyarakat) serta kehidupan perkotaan melalui berbagai kegiatan yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi terhadap upaya mewujudkan kota yang bermartabat. 2. Mengembangkan perekonomian kota yang berdaya saing Keunggulan-keunggulan yang dimiliki Kota Bandung, dibanding dengan Kota-kota lain di Jawa Barat, sangat mendukung untuk terwujudnya perekonomian Kota Bandung yang berdaya saing. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aspek yang mempengaruhi terhadap terwujudnya sebuah kota yang berdaya saing yaitu dari aspek perekonomian, kota Bandung perekonmiannya dari tahun ke tahun terus meningkat, dengan struktur ekonomi yang dibangun oleh sektor tersier terdiri dari Sektor Perdagangan, Hotel & Restoran, Pengangkutan & komunikasi, Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor sekunder yang terdiri dari sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih dan bangunan/konstruksi. Aspek Ketenagakerjaan, jumlah tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan tinggi cukup tersedia; aspek kelembagaan yang berkaitan dengan penciptaan iklim investasi sudah dilaksanakan melalui reformasi birokrasi, aspek infrastruktur cukup tersedia.
3.
Mengembangkan kehidupan sosial budaya berkesadaran tinggi serta berhati nurani Misi ini
merupakan upaya pemerintah kota
kota
yang
kreatif,
untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pengendalian, sebagai wujud dari pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini didasarkan pada kondisi bahwa saat ini telah terjadi pergeseran perilaku yang mengarah pada rendahnya kepedulian masyarakat terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungannya. Kondisi ini menyebabkan pula terjadinya penurunan rasa kesetiakawanan sosial, kecenderungan timbulnya sikap mental dan budaya permisif, mentolerir ketidakberesan, peningkatan kerawanan sosial dan rendahnya kepedulian masyarakat terhadap pembangunan kota. Rendahnya kepedulian sosial tersebut pada akhirnya akan berdampak pula pada tidak optimalnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan kota. 4. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup kota Merupakan upaya pemerintah kota untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk mulai dari penyediaan air bersih baik secara kuantitas maupun kualitas, menyediakan sarana dan prasaranan lingkungan yang memenuhi standar teknis/standar Pelayanan Minimal (SPM), meningkatkan kualitas udara, penataan ruang kota yang berkualitas, mengembangkan sistem transportasi yang dapat menjamin keselamatan, efisien, nyaman dan ramah lingkungan. 5. Meningkatkan kinerja pemerintah kota yang efektif, efisien, akuntabel, dan transparan. Pemberdayaan aparatur pemerintah dikembangkan dalam rangka peningkatan kompetensi dan profesionalismenya sebagai pelayan masyarakat. Sedangkan pemberdayaan masyarakat merupakan upaya perwujudan iklim demokrasi dan peningkatan akses masyarakat terhadap berbagai informasi penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka peningkatan peran serta masyarakat dalam perencanaan serta pengawasan dan pengendalian pembangunan. Misi ini didasarkan atas kondisi obyektif bahwa kualitas pelayanan yang diberikan aparatur pemerintah kepada masyarakat belum optimal, sehingga menyebabkan tidak optimalnya peran serta masyarakat dalam pembangunan kota. 6. Mengembangkan sistem pembiayaan kota terpadu (melalui pembiayaan pembangunan yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat) Misi ini didasarkan bahwa suatu Daerah dalam sistem pembiayaan terdiri atas : pertama, pembiayaan yang bersumber dari pemerintah sebagai kebijakan fiskal Daerah dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), kedua, pembiayaan yang bersumber dari swasta dan dunia usaha dalam bentuk investasi, dan ketiga, pembiayaan yang bersumber dari masyarakat dalam bentuk swadaya masyarakat. Peningkatan sistem pembiayaan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat ini akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat kota.
BAB IV ARAH, TAHAPAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH 4.1
Arah Pembangunan Daerah
Tujuan pembangunan jangka panjang daerah Kota Bandung 2005-2025 adalah mewujudkan masyarakat kota Bandung yang Bermartabat yaitu masyarakat kota yang dapat dijadikan teladan karena kebersihan, ketertiban, keamanan, kemakmuran, ketaatan, keadilan, dan ketaqwaan. Sebagai ukuran tercapainya Kota Bandung Bermartabat dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada pencapaian sasaran- sasaran pokok sebagai berikut : I. Terwujudnya Sumber daya manusia yang handal dan religius, ditandai oleh hal- hal berikut : a) Terkendalinya Jumlah Penduduk sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan; b) Terwujudnya SDM yang cerdas, kreatif dan Kompetitif; c) Terwujudnya masyarakat yang sehat jasmani dan rohani; d) Terwujudnya masyarakat yang berakhlak mulia; e) Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. II. Terwujudnya perekonomian kota yang berdaya saing, ditandai oleh halhal berikut : a) Terwujudnya perekonomian kota yang tangguh dan berdaya saing serta sehat dan berkeadilan; b) Terwujudnya Pariwisata yang berdaya saing; c) Terwujudnya Kerjasama dan koordinasi yang menguntungkan dengan wilayah Pemerintah daerah lainnya. III.Terwujudnya kehidupan sosial budaya kota yang kreatif, berkesadaran tinggi serta berhati nurani. Yang ditandai oleh hal-hal berikut : a) Terwujudnya peningkatan mutu kerjasama di antara semua pemangku kepentingan dalam pembangunan Kota Bandung; b) Terwujudnya multikulturalisme dalam lingkungan Sunda yang inklusif. IV. Terwujudnya lingkungan hidup kota yang berkualitas, Yang ditandai oleh hal-hal berikut : a) Terwujudnya Kualitas udara dan air yang memenuhi baku mutu; b) Terjamin dan tersedianya Kuantitas dan kualitas air ( air permukaan, air tanah dangkal dan air tanah dalam ); c) Terwujudnya Pengelolaan limbah yang efektif dan bernilai ekonomi; d) Terwujudnya Ruang kota yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan; e) Terwujudnya Sistem transportasi yang selamat, efisien, nyaman, terjangkau dan ramah lingkungan; f) Tersedianya Sarana dan prasarana lingkungan yang memenuhi standar teknis/Standar Pelayanan Minimal; g) Terwujudnya Mitigasi Bencana yang handal.
V. Terwujudnya tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien, akuntabel, transparan, yang ditandai oleh hal-hal berikut : a) Terwujudnya kualitas produk perencanaan Pembangunan yang aspiratif, antisipatif, aplikatif, dan berkualitas berdasarkan database; b) Terwujudnya Masyarakat dan aparat yang sadar hukum dan HAM; c) Tersedianya Prasarana dan sarana aparatur pemerintah kota yang berkualitas; d) Terwujudnya Aparatur yang profesional; e) Tersedianya Organisasi pemerintah daerah yang dapat meningkatkan kinerja aparatur; f) Terwujudnya Kemampuan teknis dan administratif aparatur pengawasan yang profesional; g) Terwujudnya Pelayanan publik yang prima; h) Terwujudnya Kehidupan masyarakat yang demokratis; i) Terwujudnya Peningkatan ketentraman dan ketertiban serta terciptanya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan dan stabilitas keamanan daerah. VI. Terwujudnya sistem pembiayaan kota terpadu, yang ditandai oleh halhal berikut : a) Terwujudnya Anggaran pemerintah yang optimal; b) Terwujudnya Peran serta aktif Masyarakat dan sektor swasta dalam pembiayaan pembangunan kota. 4.2
Tahapan dan Prioritas Pembangunan Daerah
Untuk mencapai sasaran pokok sebagaimana dimaksud dalam sub bab terdahulu, pembangunan jangka panjang membutuhkan tahapan dan skala prioritas yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah. Tahapan dan skala prioritas yang ditetapkan didasarkan pada permasalahan yang paling mendesak untuk segera diselesaikan, tanpa mengabaikan permasalahan yang lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka penekanan skala prioritas dalam setiap tahapan berbeda-beda, tetapi secara keseluruhan harus berkesinambungan dari tahapan ke tahapan berikutnya. Setiap sasaran pokok dalam 6 (enam) misi pembangunan jangka panjang dapat ditetapkan prioritasnya dalam masingmasing tahapan. Prioritas masing-masing misi dapat disaring kembali untuk menjadi prioritas utama, tahapan dan skala prioritas dengan uraian sebagai berikut :
4.2.1
Misi 1: Mengembangkan Sumber Daya Manusia Yang Handal dan Religius.
4.2.1.1
Tahapan I (2005 - 2008)
Misi “Mengembangkan Sumber Daya Manusia Yang handal dan Religius” diarahkan pada terwujudnya sumber daya manusia yang handal dan religius dengan sasaran .
1. Terkendalinya jumlah penduduk sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, melalui strategi : Peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan indikator capaian indek pembangunan manusia 78,33; Pengendalian jumlah penduduk dengan indikator capaian jumlah penduduk Tahun 2008 maksimal 2.419.944 Jiwa; Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi dengan indikator capaian menurunnya Angka Fertilitas Total (AFT)=1,99. 2. Terwujudnya sumber daya manusia yang cerdas, kreatif dan kompetitif, melalui strategi : Meningkatkan kualitas dan akses penyelenggaraan Pendidikan, dengan indikator capaian: Indeks Pendidikan = 89,70; Mengembangkan Pendidikan Wajib Belajar Menengah 12 Tahun yang Bermutu, dengan indikator capaian: angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) = 10,52 Tahun; Meningkatkan Kualitas Tenaga Pendidik dan Kependidikan, dengan indikator capaian : 25% telah mempunyai sertifikat mengajar ; Meningkatkan Kualitas Pelayanan Dalam Bidang Pendidikan, dengan indikator capaian : 25% lembaga pendidikan telah menerapkan SPM; Meningkatkan Kualitas dan akses pendidikan non formal, dengan indikator capaian : AMH = 99,50%. 3.
Terwujudnya masyarakat yang sehat jasmani dan rohani melalui strategi : Meningkatkan kualitas dan akses pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang bermutu, mudah merata dan terjangkau; meningkatkan kualitas lingkungan bersih melalui sanitasi dasar dan sanitasi umum; meningkatkan promosi dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan; meningkatkan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan dengan indikator capaian: Indeks Kesehatan = 80,97 ; Angka Harapan Hidup =73,58 ; 70% fasilitas kesehatan memenuhi SPM kesehatan ; Angka Kematian Bayi = 33/1000 kelahiran hidup; menurunnya Jumlah Kematian Ibu Melahirkan = 13 orang/tahun. Meningkatkan pengawasan komoditas Produk-produk pertanian dengan indikator capaian : Pemaparan Zoonosis kurang dari 15% di wilayah Kota Bandung.
4.
Terwujudnya masyarakat yang berakhlak mulia, melalui strategi:
Meningkatkan pemahaman dan pengamalan agama sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing, dengan indikator capaian : Terbangunnya pemahaman dan pengamalan agama sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing; Meningkatkan Kerukunan umat beragama meliputi Kerukunan antar umat beragama, Kerukunan Inter Umat Beragama, Kerukunan Antara umat beragama dengan Pemerintah, dengan indikator capaian : Terbangunnya sikap toleransi dan Kerukunan Umat Beragama.
5.
Terwujudnya Kesetaraan dan keadilan Gender, melalui strategi :
4.2.1.2
Meningkatkan kesetaraan dan keadilan Gender dengan indikator capaian : Terbangunnya pemahaman peran kesetaraan gender dalam proses pembangunan dan Terbangunnya hak-hak perlindungan perempuan dan anak
Tahapan II (2009-2013)
Misi “Mengembangkan Sumber Daya Manusia Yang handal dan Religius” diarahkan pada terwujudnya sumber daya manusia yang handal dan religius dengan sasaran . 1.
Terkendalinya jumlah penduduk sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, melalui strategi :
2.
Peningkatan Kualitas Sumber daya manusia capaian: IPM = 81,07; Mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui, jumlah penduduk Tahun 2013 maksimal 2.619.366 Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi capaian Angka Fertilitas Total (AFT) = 1,91.
dengan indikator dengan indikator Jiwa, dengan indikator
Terwujudnya sumber daya manusia yang cerdas, kreatif dan kompetitif, melalui strategi : Meningkatkan kualitas dan akses penyelenggaraan Pendidikan, dengan indikator capaian: Indeks Pendidikan = 92,78; Mengembangkan Pendidikan Wajib Belajar Menengah 12 Tahun yang Bermutu, dengan indikator capaian: angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) = 11,85 Tahun; Meningkatkan Kualitas Tenaga Pendidik dan Kependidikan, dengan indikator capaian : 50% telah mempunyai sertifikat mengajar: Meningkatkan Kualitas Pelayanan Dalam Bidang Pendidikan, dengan indikator capaian : 50% lembaga pendidikan telah menerapkan SPM; Meningkatkan Kualitas dan akses pendidikan non formal, dengan indikator capaian AMH = 99,67 %.
3.
Terwujudnya masyarakat yang sehat jasmani dan rohani melalui strategi : Meningkatkan kualitas dan akses pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang bermutu, mudah, merata dan terjangkau; meningkatkan kualitas lingkungan bersih melalui sanitasi dasar dan sanitasi umum; meningkatkan promosi dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan; meningkatkan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan dengan indikator capaian: Indeks Kesehatan = 81,55 ; Angka Harapan Hidup = 74 ; 80% fasilitas kesehatan memenuhi SPM kesehatan ; Angka Kematian Bayi = 31/1000 kelahiran hidup; menurunnya Jumlah Kematian Ibu Melahirkan = 12 orang/tahun.
Meningkatkan pengawasan komoditas Produk-produk pertanian dengan indikator capaian : Pemaparan zoonosis Kurang dari 12 % di wilayah kota Bandung. 4. Terwujudnya masyarakat yang berakhlak mulia, melalui strategi:
Meningkatkan pemahaman dan pengamalan agama sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing, dengan indikator capaian : Meningkatnya pemahaman dan pengamalan agama sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing; Meningkatkan Kerukunan umat beragama meliputi Kerukunan antar umat beragama, Kerukunan Inter Umat Beragama, Kerukunan Antara umat beragama dengan Pemerintah, dengan indikator capaian : Meningkatnya sikap toleransi dan Kerukunan Umat Beragama.
5. Terwujudnya Kesetaraan dan keadilan Gender, melalui strategi :
4.2.1.3.
Meningkatkan kesetaraan dan keadilan Gender dengan indikator capaian : Meningkatnya pemahaman peran kesetaraan gender dalam proses pembangunan dan Meningkatnya hak-hak perlindungan perempuan dan anak
Tahapan III (2014-2018)
Misi “Mengembangkan Sumber Daya Manusia Yang handal dan Religius” diarahkan pada terwujudnya sumber daya manusia yang handal dan religius dengan sasaran . 1. Terkendalinya jumlah penduduk sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, melalui strategi :
Peningkatan Kualitas Sumber daya manusia capaian: IPM = 82,02; Mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui, jumlah penduduk Tahun 2018 maksimal 2.835.223 Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi capaian Angka Fertilitas Total (AFT) = 1,85.
dengan indikator dengan indikator Jiwa; dengan indikator
2. Terwujudnya sumber daya manusia yang cerdas, kreatif dan kompetitif, melalui strategi : Meningkatkan kualitas dan akses penyelenggaraan Pendidikan, dengan indikator capaian: Indeks Pendidikan = 93,53; Mengembangkan Pendidikan Wajib Belajar Menengah 12 Tahun yang Bermutu, dengan indikator capaian: angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) = 12,17 Tahun; Meningkatkan Kualitas Tenaga Pendidik dan Kependidikan, dengan indikator capaian : 75% telah mempunyai sertifikat mengajar: Meningkatkan Kualitas Pelayanan Dalam Bidang Pendidikan, dengan indikator capaian : 75% lembaga pendidikan telah menerapkan SPM; Meningkatkan Kualitas dan akses pendidikan non formal, dengan indikator capaian AMH = 99,73 %.
3. Terwujudnya masyarakat yang sehat jasmani dan rohani melalui strategi : Meningkatkan kualitas dan akses pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang bermutu, mudah, merata dan terjangkau; meningkatkan kualitas lingkungan bersih melalui sanitasi dasar dan sanitasi umum; meningkatkan promosi dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan; meningkatkan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan dengan indikator capaian: Indeks Kesehatan = 81,87 ; Angka Harapan Hidup = 74,45 ; 90% fasilitas kesehatan memenuhi SPM kesehatan ; Angka Kematian Bayi = 29/1000 kelahiran hidup; menurunnya Jumlah Kematian Ibu Melahirkan = 11 orang/tahun. Meningkatkan pengawasan komoditas Produk-produk pertanian dengan indikator capaian : Pemaparan zoonosis Kurang dari 9 % di wilayah kota Bandung. 4. Terwujudnya masyarakat yang berakhlak mulia, melalui strategi:
Meningkatkan pemahaman dan pengamalan agama sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing, dengan indikator capaian : Terwujudnya pemahaman dan pengamalan agama sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing; Meningkatkan Kerukunan umat beragama meliputi Kerukunan antar umat beragama, Kerukunan Inter Umat Beragama, Kerukunan Antara umat beragama dengan Pemerintah, dengan indikator capaian : Terwujudnya sikap toleransi dan Kerukunan Umat Beragama.
5. Terwujudnya Kesetaraan dan keadilan Gender, melalui strategi :
4.2.1.4.
Meningkatkan kesetaraan dan keadilan Gender dengan indikator capaian : Terwujudnya pemahaman peran kesetaraan gender dalam proses pembangunan dan Terwujudnya hak-hak perlindungan perempuan dan anak
Tahapan IV (2019-2023)
Misi “Mengembangkan Sumber Daya Manusia Yang handal dan Religius” diarahkan pada terwujudnya sumber daya manusia yang handal dan religius dengan sasaran . 1. Terkendalinya jumlah penduduk sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, melalui strategi :
Peningkatan Kualitas Sumber daya manusia capaian: IPM = 82,54; Mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui, jumlah penduduk Tahun 2023 maksimal 3.068.869 Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi capaian Angka Fertilitas Total (AFT) = 1,80.
dengan indikator dengan indikator Jiwa; dengan indikator
2. Terwujudnya sumber daya manusia yang cerdas, kreatif dan kompetitif, melalui strategi : Meningkatkan kualitas dan akses penyelenggaraan Pendidikan, dengan indikator capaian: Indeks Pendidikan = 93,92; Mengembangkan Pendidikan Wajib Belajar Menengah 12 Tahun yang Bermutu, dengan indikator capaian: angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) = 12,33 Tahun; Meningkatkan Kualitas Tenaga Pendidik dan Kependidikan, dengan indikator capaian : 100% telah mempunyai sertifikat mengajar: Meningkatkan Kualitas Pelayanan Dalam Bidang Pendidikan, dengan indikator capaian : 100% lembaga pendidikan telah menerapkan SPM; Meningkatkan Kualitas dan akses pendidikan non formal, dengan indikator capaian AMH = 99,78 %.
3. Terwujudnya masyarakat yang sehat jasmani dan rohani melalui strategi : Meningkatkan kualitas dan akses pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang bermutu, mudah, merata dan terjangkau; meningkatkan kualitas lingkungan bersih melalui sanitasi dasar dan sanitasi umum; meningkatkan promosi dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan; meningkatkan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan dengan indikator capaian: Indeks Kesehatan = 82,12 ; Angka Harapan Hidup = 74,90 ; 100% fasilitas kesehatan memenuhi SPM kesehatan ; Angka Kematian Bayi = 26/1000 kelahiran hidup; menurunnya Jumlah Kematian Ibu Melahirkan = 10 orang/tahun. Meningkatkan pengawasan komoditas Produk-produk pertanian dengan indikator capaian : Pemaparan zoonosis Kurang dari 6 % di wilayah kota Bandung.
4. Terwujudnya masyarakat yang berakhlak mulia, melalui strategi:
Meningkatkan pemahaman dan pengamalan agama sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing, dengan indikator capaian : Terlaksananya pemahaman dan pengamalan agama dalam perilaku kehidupan masyarakat Kota Bandung; Meningkatkan Kerukunan umat beragama meliputi Kerukunan antar umat beragama, Kerukunan Inter Umat Beragama, Kerukunan Antara umat beragama dengan Pemerintah, dengan indikator capaian : Terpeliharanya sikap toleransi dan Kerukunan Umat Beragama.
5. Terwujudnya Kesetaraan dan keadilan Gender, melalui strategi :
Meningkatkan kesetaraan dan keadilan Gender dengan indikator capaian : Terpeliharanya pemahaman peran kesetaraan gender dalam proses pembangunan dan Terpeliharanya hak-hak perlindungan perempuan dan anak
4.2.1.5. Tahapan V (2024-2025) Misi “Mengembangkan Sumber Daya Manusia Yang handal dan Religius” diarahkan pada terwujudnya sumber daya manusia yang handal dan religius dengan sasaran . 1. Terkendalinya jumlah penduduk sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, melalui strategi :
Peningkatan Kualitas Sumber daya manusia capaian: IPM = 82,66; Mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui, jumlah penduduk Tahun 2025 maksimal 3.118.280 Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi capaian Angka Fertilitas Total (AFT) = 1,80.
dengan indikator dengan indikator Jiwa; dengan indikator
2. Terwujudnya sumber daya manusia yang cerdas, kreatif dan kompetitif, melalui strategi : Meningkatkan kualitas dan akses penyelenggaraan Pendidikan, dengan indikator capaian: Indeks Pendidikan = 94,04; Mengembangkan Pendidikan Wajib Belajar Menengah 12 Tahun yang Bermutu, dengan indikator capaian: angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) = 12,38 Tahun; Meningkatkan Kualitas Tenaga Pendidik dan Kependidikan, dengan indikator capaian : 100% telah mempunyai sertifikat mengajar: Meningkatkan Kualitas Pelayanan Dalam Bidang Pendidikan, dengan indikator capaian : 100% lembaga pendidikan telah menerapkan SPM; Meningkatkan Kualitas dan akses pendidikan non formal, dengan indikator capaian AMH = 99,80 %.
3. Terwujudnya masyarakat yang sehat jasmani dan rohani melalui strategi : Meningkatkan kualitas dan akses pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang bermutu, mudah, merata dan terjangkau; meningkatkan kualitas lingkungan bersih melalui sanitasi dasar dan sanitasi umum; meningkatkan promosi dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan; meningkatkan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan dengan indikator capaian: Indeks Kesehatan = 82,16 ; Angka Harapan Hidup = 75 ; 100% fasilitas kesehatan memenuhi SPM kesehatan ; Angka Kematian Bayi = 26/1000 kelahiran hidup; menurunnya Jumlah Kematian Ibu Melahirkan = 10 orang/tahun. Meningkatkan pengawasan komoditas Produk-produk pertanian dengan indikator capaian : Pemaparan zoonosis Kurang dari 5 % di wilayah kota Bandung.
4. Terwujudnya masyarakat yang berakhlak mulia, melalui strategi:
Meningkatkan pemahaman dan pengamalan agama sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing, dengan indikator capaian : Rendahnya tingkat pelanggaran terhadap norma norma agama; Meningkatkan Kerukunan umat beragama meliputi Kerukunan antar umat beragama, Kerukunan Inter Umat Beragama, Kerukunan Antara umat beragama dengan Pemerintah, dengan indikator capaian : Terpeliharanya sikap toleransi dan Kerukunan Umat Beragama.
5. Terwujudnya Kesetaraan dan keadilan Gender, melalui strategi :
Meningkatkan kesetaraan dan keadilan Gender dengan indikator capaian : Terwujudnya peran kesetaraan gender dalam proses pembangunan dan Terlindunginya hak-hak perlindungan perempuan dan anak.
4.2.2. Misi 2: Mengembangkan perekonomian kota yang berdaya saing 4.2.2.1. Tahapan I (2005 - 2008) Misi “Mengembangkan Perekonomian Kota Yang Berdaya Saing” diarahkan pada terwujudnya perekonomian kota berdaya saing serta sehat dan berkeadilan, dengan sasaran : 1. Terwujudnya perekonomian kota yang tangguh, berdaya saing serta sehat dan berkeadilan, melalui strategi;
Meningkatkan Pertumbuhan Riil dan Kontribusi Riil Sektor Perekonomian kota terutama dari Core sectors (Jasa Wisata dan IT) dengan Perdagangan berbasis industri kreatif dan mempertahankan industri pengolahan yang ada, dengan indikator capaian : LPE 8,33%; Tingkat pemerataan pendapatan versi Bank Dunia minimal 14% (kategori sedang); PDRB Riil/kapita minimal Rp 12 juta per tahun; Indeks daya beli 64,31. Memperbaiki stabilitas harga dan distribusi barang kebutuhan pokok, dengan indikator capaian : Tingkat inflasi umum 8,89% Perluasan kesempatan lapangan kerja formal di sektor-sektor yang menjadi core competency kota, dengan indikator capaian : Tingkat Pengangguran Terbuka 16% ; Kesempatan kerja Minimal 86%. Memberikan Kemudahan Pelayanan Perijinan dan Kepastian Hukum bagi investor dan dunia usaha, dengan indikator capaian : Nilai Investasi berskala nasional meningkat 10%
2. Terwujudnya Pariwisata yang berdaya saing,melalui strategi;
Mengembangkan Kota Bandung sebagai kota tujuan wisata, dengan indikator capaian : Meningkatnya Jumlah wisatawan sebesar 15%.
3. Terwujudnya Kerjasama dan koordinasi yang menguntungkan dengan wilayah pemerintah Daerah lainnya, melalui strategi;
Membentuk sinergitas kegiatan ekonomi antar wilayah; Dengan indikator capaian : Peningkatan koordinasi dalam rangka peningkatan kerjasama antar daerah.
4.2.2.2. Tahapan II (2009 - 2013) Misi “Mengembangkan Perekonomian Kota Yang Berdaya Saing” diarahkan pada terwujudnya perekonomian kota berdaya saing serta sehat dan berkeadilan, dengan sasaran : 1. Terwujudnya perekonomian kota yang tangguh, berdaya saing serta sehat dan berkeadilan, melalui strategi;
Meningkatkan Pertumbuhan Riil dan Kontribusi Riil Sektor Perekonomian kota terutama dari Core sectors (Jasa Wisata dan IT) dengan Perdagangan berbasis industri kreatif dan mempertahankan industri pengolahan yang ada, dengan indikator capaian : LPE 9,33%; Tingkat pemerataan pendapatan versi Bank Dunia minimal 15% (kategori sedang); PDRB Riil/kapita minimal Rp 16 juta per tahun; Indeks daya beli 68,88; Memperbaiki stabilitas harga dan distribusi barang kebutuhan pokok, dengan indikator capaian : Tingkat inflasi umum satu digit; Perluasan kesempatan lapangan kerja formal di sektor-sektor yang menjadi core competency kota, dengan indikator capaian : Tingkat Pengangguran Terbuka 15% ; Kesempatan kerja Minimal 89%. Memberikan Kemudahan Pelayanan Perijinan dan Kepastian Hukum bagi investor dan dunia usaha, dengan indikator capaian : Nilai Investasi berskala nasional meningkat 20%.
2. Terwujudnya Pariwisata yang berdaya saing,melalui strategi;
Mengembangkan Kota Bandung sebagai kota tujuan wisata, dengan indikator capaian : Meningkatnya Jumlah wisatawan sebesar 25%.
3. Terwujudnya Kerjasama dan koordinasi yang menguntungkan dengan wilayah pemerintah Daerah lainnya, melalui strategi;
Membentuk sinergitas kegiatan ekonomi antar wilayah, dengan indikator capaian : Teridentifikasinya peluang kerjasama ekonomi antar wilayah.
4.2.2.3. Tahapan III (2014 - 2018) Misi “Mengembangkan Perekonomian Kota Yang Berdaya Saing” diarahkan pada terwujudnya perekonomian kota berdaya saing serta sehat dan berkeadilan, dengan sasaran : 1. Terwujudnya perekonomian kota yang tangguh, berdaya saing serta sehat dan berkeadilan, melalui strategi;
Meningkatkan Pertumbuhan Riil dan Kontribusi Riil Sektor Perekonomian kota terutama dari Core sectors (Jasa Wisata dan Perdagangan berbasis industri kreatif dan IT) dengan mempertahankan industri pengolahan yang ada, dengan indikator capaian : LPE 10,33%; Tingkat pemerataan pendapatan versi Bank Dunia minimal 16% (kategori sedang); PDRB Riil/kapita minimal Rp 20 juta per tahun; Indeks daya beli 70,66; Memperbaiki stabilitas harga dan distribusi barang kebutuhan pokok, dengan indikator capaian : Tingkat inflasi umum satu digit; Perluasan kesempatan lapangan kerja formal di sektor-sektor yang menjadi core competency kota, dengan indikator capaian : Tingkat Pengangguran Terbuka 13,5% ; Kesempatan kerja Minimal 90%. Memberikan Kemudahan Pelayanan Perijinan dan Kepastian Hukum bagi investor dan dunia usaha, dengan indikator capaian : Nilai Investasi berskala nasional meningkat 30%.
2. Terwujudnya Pariwisata yang berdaya saing,melalui strategi;
Mengembangkan Kota Bandung sebagai kota tujuan wisata, dengan indikator capaian : Meningkatnya Jumlah wisatawan sebesar 35%.
3. Terwujudnya Kerjasama dan koordinasi yang menguntungkan dengan wilayah pemerintah Daerah lainnya, melalui strategi;
Membentuk sinergitas kegiatan ekonomi antar wilayah; dengan indikator capaian : Tumbuhnya kegiatan ekonomi antar daerah.
4.2.2.4. Tahapan IV (2019 - 2023) Misi “Mengembangkan Perekonomian Kota Yang Berdaya Saing” diarahkan pada terwujudnya perekonomian kota berdaya saing serta sehat dan berkeadilan, dengan sasaran : 1. Terwujudnya perekonomian kota yang tangguh, berdaya saing serta sehat dan berkeadilan, melalui strategi;
Meningkatkan Pertumbuhan Riil dan Kontribusi Riil Sektor Perekonomian kota terutama dari Core sectors (Jasa Wisata dan IT) dengan Perdagangan berbasis industri kreatif dan mempertahankan industri pengolahan yang ada, dengan indikator capaian : LPE lebih besar 11%; Tingkat pemerataan pendapatan versi Bank Dunia minimal 17% (kategori rendah); PDRB Riil/kapita minimal Rp 25 juta per tahun; Indeks daya beli 71,58; Memperbaiki stabilitas harga dan distribusi barang kebutuhan pokok, dengan indikator capaian : Tingkat inflasi umum satu digit; Perluasan kesempatan lapangan kerja formal di sektor-sektor yang menjadi core competency kota, dengan indikator capaian : Tingkat Pengangguran Terbuka 12% ; Kesempatan kerja Minimal 92%.
Memberikan Kemudahan Pelayanan Perijinan dan Kepastian Hukum bagi investor dan dunia usaha, dengan indikator capaian : Nilai Investasi berskala nasional meningkat 40%.
2. Terwujudnya Pariwisata yang berdaya saing,melalui strategi;
Mengembangkan Kota Bandung sebagai kota tujuan wisata, dengan indikator capaian : Meningkatnya Jumlah wisatawan sebesar 45%.
3. Terwujudnya Kerjasama dan koordinasi yang menguntungkan dengan wilayah pemerintah Daerah lainnya, melalui strategi;
Membentuk sinergitas kegiatan ekonomi antar wilayah; dengan indikator capaian : Meningkatnya kegiatan ekonomiantar daerah di Priangan Timur.
4.2.2.5. Tahapan V (2024 - 2025) Misi “Mengembangkan Perekonomian Kota Yang Berdaya Saing” diarahkan pada terwujudnya perekonomian kota berdaya saing serta sehat dan berkeadilan, dengan sasaran : 1. Terwujudnya perekonomian kota yang tangguh, berdaya saing serta sehat dan berkeadilan, melalui strategi;
Meningkatkan Pertumbuhan Riil dan Kontribusi Riil Sektor Perekonomian kota terutama dari Core sectors (Jasa Wisata dan Perdagangan berbasis industri kreatif dan IT) dengan mempertahankan industri pengolahan yang ada, dengan indikator capaian : LPE lebih besar 11%; Tingkat pemerataan pendapatan versi Bank Dunia minimal 17% (kategori rendah); PDRB Riil/kapita minimal Rp 25 juta per tahun; Indeks daya beli 71,77; Memperbaiki stabilitas harga dan distribusi barang kebutuhan pokok, dengan indikator capaian : Tingkat inflasi umum satu digit; Perluasan kesempatan lapangan kerja formal di sektor-sektor yang menjadi core competency kota, dengan indikator capaian : Tingkat Pengangguran Terbuka dibawah rata rata nacional dan provinsi maksimal 10% ; Kesempatan kerja Minimal 95%. Memberikan Kemudahan Pelayanan Perijinan dan Kepastian Hukum bagi investor dan dunia usaha, dengan indikator capaian : Nilai Investasi berskala nasional meningkat 50%.
2. Terwujudnya Pariwisata yang berdaya saing,melalui strategi;
Mengembangkan Kota Bandung sebagai kota tujuan wisata, dengan indikator capaian : Meningkatnya Jumlah wisatawan sebesar 50%.
3. Terwujudnya Kerjasama dan koordinasi yang menguntungkan dengan wilayah pemerintah Daerah lainnya, melalui strategi;
4.2.3
Membentuk sinergitas kegiatan ekonomi antar wilayah; dengan indikator capaian : Terwujudnya Kota Bandung sebagai pusat kegiatan pemasaran ekonomi di Priangan Timur.
Misi 3: Mengembangkan kehidupan sosial budaya kota yang kreatif, berkesadaran tinggi serta berhati nurani
4.2.3.1. Tahapan I (2005 - 2008) Misi ”Mengembangkan Kehidupan Sosial Budaya Kota Yang Kreatif, Berkesadaran Tinggi Serta Berhati Nurani” diarahkan pada terwujudnya kehidupan sosial budaya kota yang kreatif, berkesadaran tinggi serta berhati nurani dengan sasaran : 1. Terwujudnya peningkatan mutu kerjasama di antara semua pemangku kepentingan dalam pembangunan Kota Bandung. melalui strategi;
Membuka akses seluas-luasnya bagi semua warga kota terhadap informasi tentang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota, melalui berbagai sarana komunikasi massa yang tersedia; Mengatur mekanisme partisipasi warga dalam pembangunan kota; Mendorong terbentuknya fasilitator/mediator perkumpulan warga untuk berperan aktif memelihara kehidupan kota yang nyaman, bersahabat, kreatif, dengan indikator capaian : Ditetapkannya Perda tentang Tahapan, Tata cara penyusunan, pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan serta Musyawarah Perencanaan Pembangunan. Meningkatkan kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik, dengan indikator capaian : Terbangunnya rasa kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik.
2. Terwujudnya multikulturalisme dalam lingkungan Sunda yang inklusif,melalui strategi; Mengembangkan pusat – pusat kebudayaan Dengan indikator capaian : Terwujudnya kebijakan pelestarian, pembangunan . Meningkatnya sinergitas pelestarian budaya lokal Sunda antara pemerintah, pelaku budaya dan masyarakat, dengan indikator capaian : Terbangunnya hubungan pemerintah dengan pelaku budaya dalam perlindungan dan pelestarian budaya.
4.2.3.2. Tahapan II (2009 - 2013) Misi ”Mengembangkan Kehidupan Sosial Budaya Kota Yang Kreatif,Berkesadaran Tinggi Serta Berhati Nurani” diarahkan pada terwujudnya kehidupan sosial budaya kota yang kreatif, berkesadaran tinggi serta berhati nurani dengan sasaran : 1. Terwujudnya peningkatan mutu kerjasama di antara semua pemangku kepentingan dalam pembangunan Kota Bandung. melalui strategi;
Membuka akses seluas-luasnya bagi semua warga kota terhadap informasi tentang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota, melalui berbagai sarana komunikasi massa yang tersedia; Mengatur mekanisme partisipasi warga dalam pembangunan kota; Mendorong terbentuknya fasilitator/mediator perkumpulan warga untuk berperan aktif memelihara kehidupan kota yang nyaman, bersahabat, kreatif, dengan indikator capaian : Memperluas akses informasi tentang pembangunan melalui berbagai media. Meningkatkan kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik, dengan indikator capaian : Terlaksananya rasa kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik.
2. Terwujudnya multikulturalisme dalam lingkungan Sunda yang inklusif,melalui strategi; Mengembangkan pusat – pusat kebudayaan Dengan indikator capaian : Meningkatnya kesadaran masyarakat dan komunitas seni budaya dalam rangka pelestarian seni budaya secara profesional dan berkesinambungan. Meningkatnya sinergitas pelestarian budaya lokal Sunda antara pemerintah, pelaku budaya dan masyarakat; Dengan indikator capaian : Meningkatnya hubungan pemerintah dengan pelaku budaya dalam perlindungan dan pelestarian budaya.
4.2.3.3. Tahapan III (2014 - 2018) Misi ”Mengembangkan Kehidupan Sosial Budaya Kota Yang Kreatif, Berkesadaran Tinggi Serta Berhati Nurani” diarahkan pada terwujudnya kehidupan sosial budaya kota yang kreatif, berkesadaran tinggi serta berhati nurani dengan sasaran : 1. Terwujudnya peningkatan mutu kerjasama di antara semua pemangku kepentingan dalam pembangunan Kota Bandung. melalui strategi;
Membuka akses seluas-luasnya bagi semua warga kota terhadap informasi tentang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota, melalui berbagai sarana komunikasi massa yang tersedia; Mengatur mekanisme partisipasi warga dalam pembangunan kota; Mendorong terbentuknya fasilitator/mediator perkumpulan warga untuk berperan aktif memelihara kehidupan kota yang nyaman, bersahabat, kreatif, dengan indikator capaian : Meningkatnya pemahaman masyarakat tentang tahapan proses pembangunan. Meningkatkan kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik, dengan indikator capaian : Meningkatnya rasa kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik.
2. Terwujudnya multikulturalisme inklusif,melalui strategi;
dalam
lingkungan
Sunda
yang
Mengembangkan pusat – pusat kebudayaan Dengan indikator capaian : Terwadahinya heterogenitas budaya dalam lingkungan Budaya Sunda. Meningkatnya sinergitas pelestarian budaya lokal Sunda antara pemerintah, pelaku budaya dan masyarakat; Dengan indikator capaian : Optimalnya hubungan pemerintah dengan pelaku budaya dalam perlindungan dan pelestarian budaya.
4.2.3.4. Tahapan IV (2019 - 2023) Misi ”Mengembangkan Kehidupan Sosial Budaya Kota Yang Kreatif, Berkesadaran Tinggi Serta Berhati Nurani” diarahkan pada terwujudnya kehidupan sosial budaya kota yang kreatif, berkesadaran tinggi serta berhati nurani dengan sasaran : 1. Terwujudnya peningkatan mutu kerjasama di antara semua pemangku kepentingan dalam pembangunan Kota Bandung. melalui strategi;
Membuka akses seluas-luasnya bagi semua warga kota terhadap informasi tentang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota, melalui berbagai sarana komunikasi massa yang tersedia; Mengatur mekanisme partisipasi warga dalam pembangunan kota; Mendorong terbentuknya fasilitator/mediator perkumpulan warga untuk berperan aktif memelihara kehidupan kota yang nyaman, bersahabat. kreatif, dengan indikator capaian : Meningkatnya peran serta aktif masyarakat dalam setiap tahapan proses pembangunan. Meningkatkan kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik, dengan indikator capaian : Terwujudnya rasa kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik.
2. Terwujudnya multikulturalisme dalam lingkungan Sunda yang inklusif,melalui strategi; Mengembangkan pusat – pusat kebudayaan, dengan indikator capaian : Meningkatkan peran pemerintah, pelaku budaya dan masyarakat dalam pembangunan dan pelestarian multikultur dalam budaya sunda. Meningkatnya sinergitas pelestarian budaya lokal Sunda antara pemerintah, pelaku budaya dan masyarakat, dengan indikator capaian: Terpeliharanya hubungan pemerintah dengan pelaku budaya dalam perlindungan dan pelestarian budaya.
4.2.3.5. Tahapan V (2024 - 2025)
Kehidupan Sosial Budaya Kota Yang Kreatif, Berkesadaran Tinggi Serta Berhati Nurani” diarahkan pada terwujudnya kehidupan Misi
”Mengembangkan
sosial budaya kota yang kreatif, berkesadaran tinggi serta berhati nurani dengan sasaran :
1. Terwujudnya peningkatan mutu kerjasama di antara semua pemangku kepentingan dalam pembangunan Kota Bandung. melalui strategi;
Membuka akses seluas-luasnya bagi semua warga kota terhadap informasi tentang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota, melalui berbagai sarana komunikasi massa yang tersedia; Mengatur mekanisme partisipasi warga dalam pembangunan kota; Mendorong terbentuknya fasilitator/mediator perkumpulan warga untuk berperan aktif memelihara kehidupan kota yang nyaman, bersahabat, kreatif, dengan indikator capaian : Terlibatnya masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan proses pembangunan. Meningkatkan kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik, dengan indikator capaian : Terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
2. Terwujudnya multikulturalisme dalam lingkungan Sunda yang inklusif,melalui strategi; Mengembangkan pusat – pusat kebudayaan, dengan indikator capaian : Terwujudnya pusat-pusat kebudayaan sebagai sarana masyarakat pelestarian multikultur dalam budaya sunda. Meningkatnya sinergitas pelestarian budaya lokal Sunda antara pemerintah, pelaku budaya dan masyarakat, dengan indikator capaian : Terwujudnya sinergitas pelestarian budaya lokal sunda antara pemerintah dengan pelaku budaya dan masyarakat.
4.2.4.
Misi 4: Meningkatkan kualitas lingkungan hidup kota
4.2.4.1. Tahapan I ( 2005 – 2008 ) Misi ”Meningkatkan kualitas lingkungan hidup kota” diarahkan pada terwujudnya peningkatan kualitas lingkungan hidup kota dengan sasaran : 1. Terwujudnya kualitas udara dan air memenuhi baku mutu, melalui strategi : Mengendalikan pencemaran udara, dengan indikator capaian : Minimal 10% lokasi/sample telah memenuhi ( Baku Mutu )BM. Mengendalikan Pencemaran air, dengan indikator capaian : Minimal 5% sungai dan anak sungai yang ada di Kota Bandung untuk paremeter BOD dan COD telah memenuhi baku mutu. 2. Terjamin dan tersedianya kuantitas dan kualitas air (air permukaan, air tanah dangkal dan air tanah dalam), melalui strategi;
Mengembangkan Sumber air baku untuk penyediaan air bersih, dengan indikator capaian : Masterplan penyediaan air baku bagi Sistem Penyediaan Air Minum ( SPAM ) sampai dengan tahun 2025. Meningkatkan dan Mengendalikan kawasan berfungsi lindung (berfungsi hidroologi), dengan indikator capaian : Ruang terbuka hijau publik yang efektif menunjang fungsi hidroorologi sebanyak 9%
(dalam bentuk taman, hutan kota, sempadan sungai, kawasan konservasi dan RTH lainnya). 3. Terwujudnya pengelolaan limbah yang efektif dan bernilai ekonomi, melalui strategi;
Mereduksi dan meningkatkan pemanfaatan kembali limbah padat (sampah), dengan indikator capaian : 90 % sampah dapat dikelola (10% reduce, reuse dan recycle, 80% ke tempat pemrosesan akhir melalui pemanfaatan teknologi yang berwawasan lingkungan dan ekonomis, dan landfill).
4. Tersedianya Ruang kota yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, melalui strategi; Membentuk struktur ruang kota, dengan indikator capaian : Tersusunnya rencana dan perencanaan Pengembangan Pusat Primer Gedebage. Mengendalikan pemanfaatan ruang, dengan indikator capaian : Adanya prosedur peizinan terpadu. 5. Tersedianya Sistem transportasi yang selamat, efisien, nyaman, terjangkau dan ramah lingkungan, melalui strategi; Mengembangkan (sistem) prasarana transportasi yang mendukung struktur ruang kota, dengan indikator capaian : luas jalan min 2,5 % dari wilayah kota dan 100% berkondisi baik ; Indeks aksesbilitas minimum 3 km/km2 area. Mengembangkan SAUM ( Sarana Angkutan Umum Masal ) dan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, dengan indikator capaian: Tersedia rencana induk sistem transportasi umum kota; Mengendalikan aspek aspek penyebab kemacetan,dengan indikator capaian: Teratasinya aspek aspek kemacetan sebanyak 1 aspek. 6. Terwujudnya sarana dan prasarana yang memenuhi standar teknis / standar pelayanan minimal, melalui strategi: Meningkatkan cakupan pelayanan air bersih, dengan indikator capaian: 65% penduduk dilayani air bersih dengan rata rata pengaliran air 70 liter/orang /hari dengan pengaliran kontinu 24 jam. Menyediakan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah yang berkelanjutan, dengan indikator capaian: Perencanaan Tempat pemrosesan akhir sampah. Menyediakan sistem drainase Kota yang tertata, dengan indikator capaian: Tersedia rencana induk sistem drainase kota;25% sistem drainase kota terpadu. Menyediakan Sistem Penanganan Air Limbah dan IPAL Kota, dengan indikator capaian : Adanya basis data kondisi jaringan air limbah kota yang akurat; Adanya rencana Induk Jaringan Air Limbah Terpadu. 7. Terwujudnya mitigasi Bencana yang handal, melalui strategi; Menumbuhkan dan meningkatkan pengelolaan bencana (gempa,longsor,banjir,gunung meletus,angin topan, kebakaran dll) ,
dengan indikator capaian: Berfungsinya organisasi yang menangani kebencanaan.
4.2.4.2. Tahapan II ( 2009 – 2013 ) Misi ”Meningkatkan kualitas lingkungan hidup kota” diarahkan pada terwujudnya peningkatan kualitas lingkungan hidup kota dengan sasaran : 1. Terwujudnya kualitas udara dan air memenuhi baku mutu, melalui strategi : Mengendalikan pencemaran udara, Dengan indikator capaian : Minimal 25% lokasi/sample telah memenuhi ( Baku Mutu )BM. Mengendalikan Pencemaran air, Dengan indikator capaian : 11% sungai dan anak sungai yang ada di Kota Bandung untuk paremeter BOD dan COD telah memenuhi baku mutu. 2. Terjamin dan tersedianya kuantitas dan kualitas air (air permukaan, air tanah dangkal dan air tanah dalam), melalui strategi;
Mengembangkan Sumber air baku untuk penyediaan air bersih, dengan indikator capaian: Pengembangan sumber air baku dengan kapasitas produksi sebesar ± 5.100 liter/detik. Meningkatkan dan Mengendalikan kawasan berfungsi lindung (berfungsi hidroologi), dengan indikator capaian : Ruang terbuka hijau publik yang efektif menunjang fungsi hidroorologi sebanyak 16% (dalam bentuk taman, hutan kota, sempadan sungai, kawasan konservasi dan RTH lainnya).
3. Terwujudnya pengelolaan limbah yang efektif dan bernilai ekonomi, melalui strategi;
Mereduksi dan meningkatkan pemanfaatan kembali limbah padat (sampah), dengan indikator capaian : 90 % sampah dapat dikelola (20% reduce, reuse dan recycle, 70% ke tempat pemrosesan akhir melalui pemanfaatan teknologi yang berwawasan lingkungan dan ekonomis 40%, dan landfill 30%).
4. Tersedianya Ruang kota yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, melalui strategi; Membentuk struktur ruang kota, dengan indikator capaian : Minimum 30% kawasan Pusat primer Gedebage terbagun dan semua pusat wilayah pengembangan berfungsi efektif. Mengendalikan pemanfaatan ruang, dengan indikator capaian : Tertibnya pelayanan peizinan. 5. Tersedianya Sistem transportasi yang selamat, efisien, nyaman, terjangkau dan ramah lingkungan, melalui strategi; Mengembangkan (sistem) prasarana transportasi yang mendukung struktur ruang kota, dengan indikator capaian : luas jalan min 3 % dari wilayah kota dan 100% berkondisi baik ; Indeks aksesbilitas minimum 5 km/km2 area.
Mengembangkan SAUM ( Sarana Angkutan Umum Masal ) dan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, dengan indikator capaian : 25 % dari rencana prasarana SAUM terbangun, sesuai dengan rencana induk transportasi umum kota; Mengendalikan aspek aspek penyebab kemacetan,dengan indikator capaian: Teratasinya aspek aspek kemacetan sebanyak 5 aspek.
6. Terwujudnya sarana dan prasarana yang memenuhi standar teknis / standar pelayanan minimal, melalui strategi: Meningkatkan cakupan pelayanan air bersih, dengan indikator capaian: 75% penduduk dilayani air bersih dengan rata rata pengaliran air 120 liter/orang /hari dengan pengaliran kontinu 24 jam. Menyediakan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah yang berkelanjutan, dengan indikator capaian : Tempat pemrosesan akhir sampah sudah berfungsi 75%. Menyediakan sistem drainase Kota yang tertata, dengan indikator capaian : Jaringan drainase primer kota terbentuk; integrasi perwilayah pelayanan drainase kota; 50% sistem drainase kota terpadu.. Menyediakan Sistem Penanganan Air Limbah dan IPAL Kota, dengan indikator capaian : 50% kawasan kota terlayani oleh sistem penanganan air limbah yang terpadu dengan IPAL. 7. Terwujudnya mitigasi Bencana yang handal, melalui strategi; Menumbuhkan dan meningkatkan pengelolaan bencana (gempa,longsor,banjir,gunung meletus,angin topan, kebakaran dll), dengan indikator capaian : Meningkatkan fungsi organisasi yang menangani kebencanaan.
4.2.4.3. Tahapan III ( 2014 – 2018 ) Misi ”Meningkatkan kualitas lingkungan hidup kota” diarahkan pada terwujudnya peningkatan kualitas lingkungan hidup kota dengan sasaran : 1. Terwujudnya kualitas udara dan air memenuhi baku mutu, melalui strategi : Mengendalikan pencemaran udara, dengan indikator capaian : Minimal 50% lokasi/sample telah memenuhi ( Baku Mutu )BM. Mengendalikan Pencemaran air, Dengan indikator capaian : 17% sungai dan anak sungai yang ada di Kota Bandung untuk paremeter BOD dan COD telah memenuhi baku mutu. 2. Terjamin dan tersedianya kuantitas dan kualitas air (air permukaan, air tanah dangkal dan air tanah dalam), melalui strategi;
Mengembangkan Sumber air baku untuk penyediaan air bersih, dengan indikator capaian : Pengembangan sumber air baku dengan kapasitas produksi sebesar ± 5.750 liter/detik. Meningkatkan dan Mengendalikan kawasan berfungsi lindung (berfungsi hidroologi), dengan indikator capaian : Ruang terbuka hijau publik yang efektif menunjang fungsi hidroorologi sebanyak 23%
(dalam bentuk taman, hutan kota, sempadan sungai, kawasan konservasi dan RTH lainnya).
3. Terwujudnya pengelolaan limbah yang efektif dan bernilai ekonomi, melalui strategi;
Mereduksi dan meningkatkan pemanfaatan kembali limbah padat (sampah), dengan indikator capaian : 90 % sampah dapat dikelola (30% reduce, reuse dan recycle, 60% ke tempat pemrosesan akhir melalui pemanfaatan teknologi yang berwawasan lingkungan dan ekonomis 35%, dan landfill 25%).
4. Tersedianya Ruang kota yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, melalui strategi; Membentuk struktur ruang kota, dengan indikator capaian : Minimum 60% kawasan Pusat primer Gedebage terbagun dan semua pusat wilayah pengembangan berfungsi efektif. Mengendalikan pemanfaatan ruang, dengan indikator capaian : Meningkatnya pelayanan perizinan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 5. Tersedianya Sistem transportasi yang selamat, efisien, nyaman, terjangkau dan ramah lingkungan, melalui strategi; Mengembangkan (sistem) prasarana transportasi yang mendukung struktur ruang kota, dengan indikator capaian : luas jalan min 4 % dari wilayah kota dan 100% berkondisi baik ; Indeks aksesbilitas minimum 7 km/km2 area. Mengembangkan SAUM ( Sarana Angkutan Umum Masal ) dan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, dengan indikator capaian : 50 % dari rencana prasarana SAUM terbangun, sesuai dengan rencana induk transportasi umum kota; Mengendalikan aspek aspek penyebab kemacetan, dengan indikator capaian: Teratasinya aspek aspek kemacetan sebanyak 10 aspek. 6. Terwujudnya sarana dan prasarana yang memenuhi standar teknis / standar pelayanan minimal, melalui strategi: Meningkatkan cakupan pelayanan air bersih, dengan indikator capaian: 85% penduduk dilayani air bersih dengan rata rata pengaliran air 120 liter/orang /hari dengan pengaliran kontinu 24 jam. Menyediakan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah yang berkelanjutan, dengan indikator capaian : Tempat pemrosesan akhir sampah sudah berfungsi 100%. Menyediakan sistem drainase Kota yang tertata, dengan indikator capaian : Jaringan drainase primer dan sekunder kota terpadu; integrasi perwilayah pelayanan drainase kota; 75% sistem drainase kota terpadu. Menyediakan Sistem Penanganan Air Limbah dan IPAL Kota, dengan indikator capaian : 75% kawasan kota terlayani oleh sistem penanganan air limbah yang terpadu dengan IPAL.
7. Terwujudnya mitigasi Bencana yang handal, melalui strategi; Menumbuhkan dan meningkatkan pengelolaan bencana (gempa,longsor,banjir,gunung meletus,angin topan, kebakaran dll), dengan indikator capaian : Meningkatkan penanganan bencana.
4.2.4.4 Tahapan IV ( 2019 – 2023 ) Misi ”Meningkatkan kualitas lingkungan hidup kota” diarahkan pada terwujudnya peningkatan kualitas lingkungan hidup kota dengan sasaran : 1. Terwujudnya kualitas udara dan air memenuhi baku mutu, melalui strategi : Mengendalikan pencemaran udara, dengan indikator capaian : Minimal 75% lokasi/sample telah memenuhi ( Baku Mutu ) BM. Mengendalikan Pencemaran air, dengan indikator capaian : 20% sungai dan anak sungai yang ada di Kota Bandung untuk paremeter BOD dan COD telah memenuhi baku mutu. 2. Terjamin dan tersedianya kuantitas dan kualitas air (air permukaan, air tanah dangkal dan air tanah dalam), melalui strategi;
Mengembangkan Sumber air baku untuk penyediaan air bersih, dengan indikator capaian : Pengembangan sumber air baku dengan kapasitas produksi sebesar ± 6.120 liter/detik. Meningkatkan dan Mengendalikan kawasan berfungsi lindung (berfungsi hidroologi), dengan indikator capaian : Ruang terbuka hijau publik yang efektif menunjang fungsi hidroorologi sebanyak 29% (dalam bentuk taman, hutan kota, sempadan sungai, kawasan konservasi dan RTH lainnya).
3. Terwujudnya pengelolaan limbah yang efektif dan bernilai ekonomi, melalui strategi;
Mereduksi dan meningkatkan pemanfaatan kembali limbah padat (sampah), dengan indikator capaian : 90 % sampah dapat dikelola (35% reduce, reuse dan recycle, 55% ke tempat pemrosesan akhir melalui pemanfaatan teknologi yang berwawasan lingkungan dan ekonomis 35%, dan landfill 20%).
4. Tersedianya Ruang kota yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, melalui strategi; Membentuk struktur ruang kota, dengan indikator capaian : Minimum 80% kawasan Pusat primer Gedebage terbagun dan semua pusat wilayah pengembangan berfungsi efektif. Mengendalikan pemanfaatan ruang, dengan indikator capaian : Terkendalinya pemanfaatan ruang dan penggunaan bangunan. 5. Tersedianya Sistem transportasi yang selamat, efisien, nyaman, terjangkau dan ramah lingkungan, melalui strategi;
Mengembangkan (sistem) prasarana transportasi yang mendukung struktur ruang kota, dengan indikator capaian : luas jalan min 5 % dari wilayah kota dan 100% berkondisi baik ; Indeks aksesbilitas minimum 10 km/km2 area. Mengembangkan SAUM ( Sarana Angkutan Umum Masal ) dan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, dengan indikator capaian : 75 % dari rencana prasarana SAUM terbangun, sesuai dengan rencana induk transportasi umum kota; Mengendalikan aspek aspek penyebab kemacetan, dengan indikator capaian: Teratasinya aspek aspek kemacetan sebanyak 10 aspek.
6. Terwujudnya sarana dan prasarana yang memenuhi standar teknis / standar pelayanan minimal, melalui strategi: Meningkatkan cakupan pelayanan air bersih, dengan indikator capaian: 90% penduduk dilayani air bersih dengan rata rata pengaliran air 120 liter/orang /hari dengan pengaliran kontinu 24 jam. Menyediakan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah yang berkelanjutan, dengan indikator capaian : Tempat pemrosesan akhir sampah sudah berfungsi 100%. Menyediakan sistem drainase Kota yang tertata, dengan indikator capaian : seluruh jaringan drainase kota terpadu. Menyediakan Sistem Penanganan Air Limbah dan IPAL Kota, dengan indikator capaian : 100% kawasan kota terlayani oleh sistem penanganan air limbah yang terpadu dengan IPAL. 7. Terwujudnya mitigasi Bencana yang handal, melalui strategi; Menumbuhkan dan meningkatkan pengelolaan bencana (gempa,longsor,banjir,gunung meletus,angin topan, kebakaran dll), dengan indikator capaian : Tertanggulanginya bencana secara dini dan komprehensif.
4.2.4.5 Tahapan V ( 2024 – 2025 ) Misi ”Meningkatkan kualitas lingkungan hidup kota” diarahkan pada terwujudnya peningkatan kualitas lingkungan hidup kota dengan sasaran : 1. Terwujudnya kualitas udara dan air memenuhi baku mutu, melalui strategi : Mengendalikan pencemaran udara, dengan indikator capaian : Minimal 75% lokasi/sample telah memenuhi ( Baku Mutu ) BM. Mengendalikan Pencemaran air, Dengan indikator capaian : 20% sungai dan anak sungai yang ada di Kota Bandung untuk paremeter BOD dan COD telah memenuhi baku mutu. 2. Terjamin dan tersedianya kuantitas dan kualitas air (air permukaan, air tanah dangkal dan air tanah dalam), melalui strategi;
Mengembangkan Sumber air baku untuk penyediaan air bersih, dengan indikator capaian : Tersedianya sumber air baku yangcukup ± 6.500 liter/detik.
Meningkatkan dan Mengendalikan kawasan berfungsi lindung (berfungsi hidroologi), dengan indikator capaian : Ruang terbuka hijau publik yang efektif menunjang fungsi hidroorologi sebanyak 30% (dalam bentuk taman, hutan kota, sempadan sungai, kawasan konservasi dan RTH lainnya).
3. Terwujudnya pengelolaan limbah yang efektif dan bernilai ekonomi, melalui strategi;
Mereduksi dan meningkatkan pemanfaatan kembali limbah padat (sampah), dengan indikator capaian : 90 % sampah dapat dikelola (40% reduce, reuse dan recycle, 50% ke tempat pemrosesan akhir melalui pemanfaatan teknologi yang berwawasan lingkungan dan ekonomis 30%, dan landfill 20%).
4. Tersedianya Ruang kota yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, melalui strategi; Membentuk struktur ruang kota, dengan indikator capaian : Minimum 100% kawasan Pusat primer Gedebage terbagun dan semua pusat wilayah pengembangan berfungsi efektif. Mengendalikan pemanfaatan ruang, dengan indikator capaian : Tertibnya pemanfaatan ruang dan penggunaan bangunan. 5. Tersedianya Sistem transportasi yang selamat, efisien, nyaman, terjangkau dan ramah lingkungan, melalui strategi; Mengembangkan (sistem) prasarana transportasi yang mendukung struktur ruang kota, dengan indikator capaian : luas jalan min 5 % dari wilayah kota dan 100% berkondisi baik ; Indeks aksesbilitas minimum 10 km/km2 area. Mengembangkan SAUM ( Sarana Angkutan Umum Masal ) dan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, dengan indikator capaian : Terwujudnya prasarana SAUM sesuai dengan rencana induk transportasi kota; Mengendalikan aspek aspek penyebab kemacetan, dengan indikator capaian: Teratasinya aspek aspek kemacetan sebanyak 32 aspek. 6. Terwujudnya sarana dan prasarana yang memenuhi standar teknis / standar pelayanan minimal, melalui strategi: Meningkatkan cakupan pelayanan air bersih, dengan indikator capaian: 90% penduduk dilayani air bersih dengan rata rata pengaliran air 120 liter/orang /hari dengan pengaliran kontinu 24 jam. Menyediakan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah yang berkelanjutan, dengan indikator capaian : Tempat pemrosesan akhir sampah sudah berfungsi 100%. Menyediakan sistem drainase Kota yang tertata, dengan indikator capaian : seluruh jaringan drainase kota terpadu. Menyediakan Sistem Penanganan Air Limbah dan IPAL Kota, dengan indikator capaian : 100% kawasan kota terlayani oleh sistem penanganan air limbah yang terpadu dengan IPAL. 7. Terwujudnya mitigasi Bencana yang handal, melalui strategi;
Menumbuhkan dan meningkatkan pengelolaan bencana (gempa,longsor,banjir,gunung meletus,angin topan, kebakaran dll), dengan indikator capaian : Terkendalinya bencana di Kota bandung.
4.2.5.
Misi 5: Meningkatkan tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien, akuntabel, transparan.
4.2.5.1. Tahapan I ( 2005 – 2008 ) ”Meningkatkan Tata Kelola Pemerintahan Yang Efektif, Efisien, Akuntabel, Transparan” diarahkan pada Terwujudnya tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien, akuntabel, transparan, dengan sasaran: Misi
1. Terwujudnya Peningkatan kualitas produk perencanaan pembangunan yang aspiratif, antisipatif, aplikatif, akuntabel dan berdasarkan data base; melalui strategi:
Meningkatkan kualitas aparatur perencana dan pengelola data, dengan indikator capaian : Tersosialisasinya kebijakan tentang perencanaan dan pengelolaan data terhadap semua aparat terkait secara sistematis.
2. Terwujudnya masyarakat dan aparat yang sadar hukum dan HAM, melalui strategi;
Peningkatan kualitas produk hukum yang Produktif dan Implementatif, dengan indikator capaian : Meningkatnya penataan produk hukum yang sinergi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat serta sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Peningkatan kualitas penegakan hukum dan HAM secara objektif dan merata; Peningkatan kesadaran dan ketaatan masyarakat dan aparatur terhadap hukum dan HAM, dengan indikator capaian : Terbangunnya penegakan Hukum dan HAM.
3. Tersedianya Prasarana dan sarana aparatur pemerintah berkualitas, melalui strategi;
kota yang
Mengintervarisir secara sistematis terhadap sarana dan prasarana yang ada, dengan indikator capaian : Meningkatnya prasarana dan sarana aparatur yang memadai
4. Tersedianya Aparatur yang profesional, melalui strategi;
Mengikuti pola Rekrutmen sesuai dengan ketentuan yang berlaku; Menyesuaikan pola pembinaan, pendidikan dan pelatihan pegawai; Menyesuaikan pola insentif dan pengajian pegawai, dengan indikator capaian : Peningkatan kesejahteraan aparatur; Adanya sanksi secara tegas, jelas dan tepat terhadap aparatur yang menyimpang.
5. Terwujudnya Organisasi pemerintah daerah yang dapat meningkatkan kinerja aparatur, melalui strategi;
Optimalisasi kelembagaan pemerintah yang berprinsip kecil, efektif, efisien (KEE), dengan indikator capaian : Tersusunnya Struktur Organisasi dan tata kerja baru.
6. Terwujudnya Kemampuan teknis dan administratif aparatur pengawasan yang profrsional, melalui strategi;
Menjadikan pengawasan sebagai prinsip dasar dan kebutuhan dasar dalam mencapai tujuan program pembangunan, dengan indikator capaian : Tersusunnya penyempurnaan kebijakan tentang pengawasan.
7. Terwujudnya Pelayanan publik yang prima, melalui strategi;
Merubah motivasi dan pola pikir aparatur dalam memahami konsep pelayanan publik, dengan indikator capaian : Meningkatnya jumlah SKPD yang bersertifikat Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001 : 2000, menjadi 13.
8. Terwujudnya Kehidupan masyarakat yang demokratis, melalui strategi;
Melakukan pendidikan politik bagi semua lapisan masyarakat, dengan indikator capaian : Tersosialisasinya pendidikan politik terhadap seluruh masyarakat secara sistematis.
9. Terwujudnya ketentraman dan ketertiban serta terciptanya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan dan stabilitas keamanan daerah, melalui strategi; Menjadikan ketertiban dan keamanan kebutuhan bersama yang harus ditangani bersama antara pemerintah dan masyarakat, dengan indikator capaian : Tersosialisasinya kebijakan ketertiban dan keamanan kepada seluruh aparat dan masyarakat. 4.2.5.2. Tahapan II ( 2009 – 2013 ) Misi ”Meningkatkan Tata Kelola Pemerintahan Yang Efektif, Efisien, Akuntabel, Transparan” diarahkan pada Terwujudnya tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien, akuntabel, transparan, dengan sasaran: 1. Terwujudnya Peningkatan kualitas produk perencanaan pembangunan yang aspiratif, antisipatif, aplikatif, akuntabel dan berdasarkan data base; melalui strategi:
Meningkatkan kualitas aparatur perencana dan pengelola data, dengan indikator capaian : Terbangunannya pola perencanaan dan pengelolaan data.
2. Terwujudnya masyarakat dan aparat yang sadar hukum dan HAM, melalui strategi;
Peningkatan kualitas produk hukum yang Produktif dan Implementatif, dengan indikator capaian : Meningkatnya pemahaman masyarakat dan aparat dalam penetapan produk hukum yang sinergi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat serta sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Peningkatan kualitas penegakan hukum dan HAM secara objektif dan merata; Peningkatan kesadaran dan ketaatan masyarakat dan aparatur terhadap hukum dan HAM, dengan indikator capaian : Terwujudnya penegakan hukum dan HAM sehingga dapat mendukung ketertiban dan keamanan, serta semakin berkurangnya praktek KKN di lingkungan birokrasi.
3. Tersedianya Prasarana dan sarana aparatur pemerintah berkualitas, melalui strategi;
kota yang
Mengintervarisir secara sistematis terhadap sarana dan prasarana yang ada, dengan indikator capaian : Tersedianya prasarana dan sarana aparatur yang memadai
4. Tersedianya Aparatur yang profesional, melalui strategi;
Mengikuti pola Rekrutmen sesuai dengan ketentuan yang berlaku; Menyesuaikan pola pembinaan, pendidikan dan pelatihan pegawai; Menyesuaikan pola insentif dan pengajian pegawai, dengan indikator capaian : Tersedianya SDM aparatur yang bertanggung jawab, tepat fungsi, tepat posisi sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku.
5. Terwujudnya Organisasi pemerintah daerah yang dapat meningkatkan kinerja aparatur, melalui strategi;
Optimalisasi kelembagaan pemerintah yang berprinsip kecil, efektif, efisien (KEE), dengan indikator capaian : Terlaksananya reformasi birokrasi.
6. Terwujudnya Kemampuan teknis dan administratif aparatur pengawasan yang profrsional, melalui strategi;
Menjadikan pengawasan sebagai prinsip dasar dan kebutuhan dasar dalam mencapai tujuan program pembangunan, dengan indikator capaian : Tersosialisasinya kebijakan tentang pengawasan.
7. Terwujudnya Pelayanan publik yang prima, melalui strategi;
Merubah motivasi dan pola pikir aparatur dalam memahami konsep pelayanan publik, dengan indikator capaian : Meningkatnya jumlah SKPD yang bersertifikat Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001 : 2000.
8. Terwujudnya Kehidupan masyarakat yang demokratis, melalui strategi;
Melakukan pendidikan politik bagi semua lapisan masyarakat, dengan indikator capaian : Meningkatnya pemahaman tentang pendidikan politik dan prilaku.
9. Terwujudnya ketentraman dan ketertiban serta terciptanya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan dan stabilitas keamanan daerah, melalui strategi; Menjadikan ketertiban dan keamanan kebutuhan bersama yang harus ditangani bersama antara pemerintah dan masyarakat, dengan indikator capaian : Terbangunnya ketertiban dan keamanan.
4.2.5.3. Tahapan III ( 2014 – 2018 ) Misi ”Meningkatkan Tata Kelola Pemerintahan Yang Efektif, Efisien, Akuntabel, Transparan” diarahkan pada Terwujudnya tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien, akuntabel, transparan, dengan sasaran: 1. Terwujudnya Peningkatan kualitas produk perencanaan pembangunan yang aspiratif, antisipatif, aplikatif, akuntabel dan berdasarkan data base; melalui strategi:
Meningkatkan kualitas aparatur perencana dan pengelola data, dengan indikator capaian : Meningkatnya perencanaan dan pengelolaan data.
2. Terwujudnya masyarakat dan aparat yang sadar hukum dan HAM, melalui strategi;
Peningkatan kualitas produk hukum yang Produktif dan Implementatif, dengan indikator capaian : Meningkatnya kesadaran dan ketaatan masyarakat dan aparat dalam penetapan produk hukum yang sinergi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat serta sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Peningkatan kualitas penegakan hukum dan HAM secara objektif dan merata; Peningkatan kesadaran dan ketaatan masyarakat dan aparatur terhadap hukum dan HAM, dengan indikator capaian : Semakin berkurangnya pelanggaran masyarakat dan aparatur terhadap hukum dan HAM sehingga dapat mendukung ketertiban dan keamanan, serta semakin berkurangnya praktek KKN di lingkungan birokrasi.
3. Tersedianya Prasarana dan sarana aparatur pemerintah berkualitas, melalui strategi;
kota yang
Mengintervarisir secara sistematis terhadap sarana dan prasarana yang ada, dengan indikator capaian : Tersedianya prasarana dan sarana aparatur dengan kuantitas yang memadai dengan kualitas baik.
4. Tersedianya Aparatur yang profesional, melalui strategi;
Mengikuti pola Rekrutmen sesuai dengan ketentuan yang berlaku; Menyesuaikan pola pembinaan, pendidikan dan pelatihan pegawai; Menyesuaikan pola insentif dan pengajian pegawai, dengan indikator capaian : Meningkatnya jumlah SDM aparatur yang kompeten dan profesional dalam pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat
dan peraturan perundangan kecerdasanemosional dan spiritual.
yang
berlaku
dilandasi
oleh
5. Terwujudnya Organisasi pemerintah daerah yang dapat meningkatkan kinerja aparatur, melalui strategi;
Optimalisasi kelembagaan pemerintah yang berprinsip kecil, efektif, efisien (KEE), dengan indikator capaian : Terpenuhinya 6 bidang reformasi (SDM, Kelembagaan, Regulasi, Investasi, Keuangan daerah dan E Governance).
6. Terwujudnya Kemampuan teknis dan administratif aparatur pengawasan yang profrsional, melalui strategi;
Menjadikan pengawasan sebagai prinsip dasar dan kebutuhan dasar dalam mencapai tujuan program pembangunan, dengan indikator capaian : Meningkatnya pengelolaan pengawasan.
7. Terwujudnya Pelayanan publik yang prima, melalui strategi;
Merubah motivasi dan pola pikir aparatur dalam memahami konsep pelayanan publik, dengan indikator capaian : Meningkatnya jumlah SKPD yang bersertifikat Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001 : 2000.
8. Terwujudnya Kehidupan masyarakat yang demokratis, melalui strategi;
Melakukan pendidikan politik bagi semua lapisan masyarakat, dengan indikator capaian : Semakin meningkatnya pemahaman tentang pendidikan politik dan prilaku.
9. Terwujudnya ketentraman dan ketertiban serta terciptanya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan dan stabilitas keamanan daerah, melalui strategi; Menjadikan ketertiban dan keamanan kebutuhan bersama yang harus ditangani bersama antara pemerintah dan masyarakat, dengan indikator capaian : meningkatnya ketertiban dan keamanan. 4.2.5.4. Tahapan IV ( 2019 – 2023 ) Misi ”Meningkatkan Tata Kelola Pemerintahan Yang Efektif, Efisien, Akuntabel, Transparan” diarahkan pada Terwujudnya tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien, akuntabel, transparan, dengan sasaran: 1. Terwujudnya Peningkatan kualitas produk perencanaan pembangunan yang aspiratif, antisipatif, aplikatif, akuntabel dan berdasarkan data base; melalui strategi:
Meningkatkan kualitas aparatur perencana dan pengelola data, dengan indikator capaian : Terwujudnya perencanaan sesuai dengan aspirasi
masyarakat bersifat: antisipatif, aplikatif, akuntabel berdasarkan basis data yang akurat. 2. Terwujudnya masyarakat dan aparat yang sadar hukum dan HAM, melalui strategi;
Peningkatan kualitas produk hukum yang Produktif dan Implementatif, dengan indikator capaian : Semakin mantapnya kualitas produk hukum yang sinergi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat serta sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Peningkatan kualitas penegakan hukum dan HAM secara objektif dan merata; Peningkatan kesadaran dan ketaatan masyarakat dan aparatur terhadap hukum dan HAM, dengan indikator capaian : Rendahnya pelanggaran masyarakat dan aparatur terhadap hukum dan HAM sehingga dapat mendukung ketertiban dan keamanan, serta semakin berkurangnya praktek KKN di lingkungan birokrasi.
3. Tersedianya Prasarana dan sarana aparatur pemerintah berkualitas, melalui strategi;
kota yang
Mengintervarisir secara sistematis terhadap sarana dan prasarana yang ada, dengan indikator capaian : Terwujudnya pelayanan publik yang prima.
4. Tersedianya Aparatur yang profesional, melalui strategi;
Mengikuti pola Rekrutmen sesuai dengan ketentuan yang berlaku; Menyesuaikan pola pembinaan, pendidikan dan pelatihan pegawai; Menyesuaikan pola insentif dan pengajian pegawai, dengan indikator capaian : Meningkatnya jumlah SDM aparatur yang kompeten dan profesional dalam pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peraturan perundangan yang berlaku dilandasi oleh kecerdasanemosional dan spiritual.
5. Terwujudnya Organisasi pemerintah daerah yang dapat meningkatkan kinerja aparatur, melalui strategi;
Optimalisasi kelembagaan pemerintah yang berprinsip kecil, efektif, efisien (KEE), dengan indikator capaian : Organisasi pemerintah kota sesuai dengan urusan dan kewenagan berdasarkan peraturan perundang undangan.
6. Terwujudnya Kemampuan teknis dan administratif aparatur pengawasan yang profrsional, melalui strategi;
Menjadikan pengawasan sebagai prinsip dasar dan kebutuhan dasar dalam mencapai tujuan program pembangunan, dengan indikator capaian : Rendahnya tingkat pelanggaran teknis dan administratif aparatur.
7. Terwujudnya Pelayanan publik yang prima, melalui strategi;
Merubah motivasi dan pola pikir aparatur dalam memahami konsep pelayanan publik, dengan indikator capaian : Meningkatnya jumlah SKPD yang bersertifikat Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001 : 2001,dengan indeks kepuasan masyarakat=A.
8. Terwujudnya Kehidupan masyarakat yang demokratis, melalui strategi;
Melakukan pendidikan politik bagi semua lapisan masyarakat, dengan indikator capaian : Terwujudnya masyarakat yang demokratis.
9. Terwujudnya ketentraman dan ketertiban serta terciptanya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan dan stabilitas keamanan daerah, melalui strategi; Menjadikan ketertiban dan keamanan kebutuhan bersama yang harus ditangani bersama antara pemerintah dan masyarakat, dengan indikator capaian : Terwujudnya stabilitas keamanan daerah.
4.2.5.5. Tahapan V ( 2024 – 2025 ) Misi ”Meningkatkan Tata Kelola Pemerintahan Yang Efektif, Efisien, Akuntabel, Transparan” diarahkan pada Terwujudnya tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien, akuntabel, transparan, dengan sasaran: 1. Terwujudnya Peningkatan kualitas produk perencanaan pembangunan yang aspiratif, antisipatif, aplikatif, akuntabel dan berdasarkan data base; melalui strategi:
Meningkatkan kualitas aparatur perencana dan pengelola data, dengan indikator capaian : Terwujudnya perencanaan sesuai dengan aspirasi masyarakat bersifat: antisipatif, aplikatif, akuntabel berdasarkan basis data yang akurat.
2. Terwujudnya masyarakat dan aparat yang sadar hukum dan HAM, melalui strategi;
Peningkatan kualitas produk hukum yang Produktif dan Implementatif, dengan indikator capaian : Semakin mantapnya kualitas produk hukum yang sinergi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat serta sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Peningkatan kualitas penegakan hukum dan HAM secara objektif dan merata; Peningkatan kesadaran dan ketaatan masyarakat dan aparatur terhadap hukum dan HAM, dengan indikator capaian : Rendahnya pelanggaran masyarakat dan aparatur terhadap hukum dan HAM sehingga dapat mendukung ketertiban dan keamanan, serta semakin berkurangnya praktek KKN di lingkungan birokrasi.
3. Tersedianya Prasarana dan sarana aparatur pemerintah berkualitas, melalui strategi;
kota yang
Mengintervarisir secara sistematis terhadap sarana dan prasarana yang ada, dengan indikator capaian : Terwujudnya pelayanan publik yang prima.
4. Tersedianya Aparatur yang profesional, melalui strategi;
Mengikuti pola Rekrutmen sesuai dengan ketentuan yang berlaku; Menyesuaikan pola pembinaan, pendidikan dan pelatihan pegawai; Menyesuaikan pola insentif dan pengajian pegawai, dengan indikator capaian : Terwujudnya SDM aparatur yang kompeten dan profesional dalam pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peraturan perundangan yang berlaku dilandasi oleh kecerdasanemosional dan spiritual.
5. Terwujudnya Organisasi pemerintah daerah yang dapat meningkatkan kinerja aparatur, melalui strategi;
Optimalisasi kelembagaan pemerintah yang berprinsip kecil, efektif, efisien (KEE), dengan indikator capaian : Terwujudnya Good Governance dan Clean Governance.
6. Terwujudnya Kemampuan teknis dan administratif aparatur pengawasan yang profrsional, melalui strategi;
Menjadikan pengawasan sebagai prinsip dasar dan kebutuhan dasar dalam mencapai tujuan program pembangunan, dengan indikator capaian : Rendahnya tingkat pelanggaran teknis dan administratif aparatur.
7. Terwujudnya Pelayanan publik yang prima, melalui strategi;
Merubah motivasi dan pola pikir aparatur dalam memahami konsep pelayanan publik, dengan indikator capaian : Seluruh SKPD yang bersertifikat Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001 : 2001,dengan indeks kepuasan masyarakat=A.
8. Terwujudnya Kehidupan masyarakat yang demokratis, melalui strategi;
Melakukan pendidikan politik bagi semua lapisan masyarakat, dengan indikator capaian : Terwujudnya masyarakat yang demokratis.
9. Terwujudnya ketentraman dan ketertiban serta terciptanya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan dan stabilitas keamanan daerah, melalui strategi; Menjadikan ketertiban dan keamanan kebutuhan bersama yang harus ditangani bersama antara pemerintah dan masyarakat, dengan indikator capaian : Terwujudnya stabilitas keamanan daerah.
4.2.6.
Misi 6 : Mengembangkan sistem pembiayaan kota terpadu.
4.2.6.1. Tahapan I ( 2005 – 2008 )
Misi ”Mengembangkan Sistem Pembiayaan Kota Terpadu” diarahkan pada terwujudnya sistem pembiayaan kota terpadu, dengan sasaran : 1.
Terwujudnya anggaran pemerintah yang optimal, melalui strategi;
2.
Meningkatkan Pendapatan Daerah, dengan indikator capaian : Rata-rata Peningkatan Pendapatan 10,71%. Menguatkan sinergitas APBN, APBD Propinsi & APBD Kota (Fiskal antar pemerintahan), dengan indikator capaian : APBN, APBD Prov & APBD Kota tidak duplikatif. Mengembangkan instrumen pembiayaan pembangunan nonkonvensional, dengan indikator capaian: Alternatif instrumen pembiayaan non-konvensional diperkenalkan.
Terwujudnya masyarakat dan sektor swasta berperan besar dalam pembiayaan pembangunan kota, melalui strategi; Mengembangkan sistem insentif yang menarik dan fasilitasi untuk sektor swasta dalam pembiayaan penyediaan barang dan jasa publik, dengan indikator capaian : Pajak dan retribusi daerah sebagai insentif fiskal ke swasta. Mengembangkan sistem pembiayaan dengan kemitraan pemerintah dan swasta, dengan indikator capaian : Studi-studi kelayakan dan legal kemitraan pemerintah dan swasta untuk beberapa layanan jasa umum dan barang publik. Mengembangkan instrumen pembiayaan pembangunan nonkonvensional, dengan indikator capaian : Identifikasi Alternatif instrumen pembiayaan non-konvensional berbasis masyarakat diperkenalkan. Menyediakan insentif dan fasilitasi untuk keterlibatan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan serta pemanfaatan dan pemeliharaan barang dan jasa publik, dengan indikator capaian : Terbangunnya Alternatif Instrumen Fiskal dari pajak dan Retribusi Daerah untuk Masyarakat.
4.2.6.2. Tahapan II ( 2009 – 2013 ) Misi ”Mengembangkan Sistem Pembiayaan Kota Terpadu” diarahkan pada terwujudnya sistem pembiayaan kota terpadu, dengan sasaran : 1.
Terwujudnya anggaran pemerintah yang optimal, melalui strategi;
2.
Meningkatkan Pendapatan Daerah, dengan indikator capaian : Rata-rata Peningkatan Pendapatan 13%. Menguatkan sinergitas APBN, APBD Propinsi & APBD Kota (Fiskal antar pemerintahan), dengan indikator capaian : APBN, APBD Prov & APBD Kota saling melengkapi. Mengembangkan instrumen pembiayaan pembangunan nonkonvensional, dengan indikator capaian: Obligasi daerah dan Road Fund.
Terwujudnya masyarakat dan sektor swasta berperan besar dalam pembiayaan pembangunan kota, melalui strategi;
Mengembangkan sistem insentif yang menarik dan fasilitasi untuk sektor swasta dalam pembiayaan penyediaan barang dan jasa publik, dengan indikator capaian : Terumuskannya kerjasama instrumen insentif fiskalantar tingkat pemerintahan. Mengembangkan sistem pembiayaan dengan kemitraan pemerintah dan swasta, dengan indikator capaian : Terbentuknya perusahaan patungan untuk beberapa layanan jasa umum dan barang publik. Mengembangkan instrumen pembiayaan pembangunan nonkonvensional, dengan indikator capaian : Terbangunnya instrumen pembiayaan pembangunan non konvensional berbasis masyarakat. Menyediakan insentif dan fasilitasi untuk keterlibatan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan serta pemanfaatan dan pemeliharaan barang dan jasa publik, dengan indikator capaian : Beberapa insentif fiskal untuk masyarakat dalam pembangunan, pelaksanaan dan pemeliharaan barang dan jasa diterapkan.
4.2.6.3. Tahapan III ( 2014 – 2018 ) Misi ”Mengembangkan Sistem Pembiayaan Kota Terpadu” diarahkan pada terwujudnya sistem pembiayaan kota terpadu, dengan sasaran : 1.
Terwujudnya anggaran pemerintah yang optimal, melalui strategi;
2.
Meningkatkan Pendapatan Daerah, dengan indikator capaian : Rata-rata Peningkatan Pendapatan 17%. Menguatkan sinergitas APBN, APBD Propinsi & APBD Kota (Fiskal antar pemerintahan), dengan indikator capaian : APBN, APBD Prov & APBD Kota terintegrasi sepenuhnya. Mengembangkan instrumen pembiayaan pembangunan nonkonvensional, dengan indikator capaian: Penggunaan instrumen pembiayaan pembangunan non-konvensional mulai signifikan.
Terwujudnya masyarakat dan sektor swasta berperan besar dalam pembiayaan pembangunan kota, melalui strategi; Mengembangkan sistem insentif yang menarik dan fasilitasi untuk sektor swasta dalam pembiayaan penyediaan barang dan jasa publik, dengan indikator capaian : Berbagai insentif fiskal tersedia untuk fasilitasi sektor swasta. Mengembangkan sistem pembiayaan dengan kemitraan pemerintah dan swasta, dengan indikator capaian : Berfungsinya perusahaan patungan untuk beberapa layanan jasa umum dan barang publik. Mengembangkan instrumen pembiayaan pembangunan nonkonvensional, dengan indikator capaian : Berfungsinya instrumen pembiayaan pembangunan non konvensional berbasis masyarakat. Menyediakan insentif dan fasilitasi untuk keterlibatan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan serta pemanfaatan dan pemeliharaan barang dan jasa publik, dengan indikator capaian : Berbagai insentif fiskal untuk masyarakat dalam pembangunan, pelaksanaan dan pemeliharaan barang dan jasa publik tersedia.
4.2.6.4. Tahapan IV ( 2019 – 2023 ) Misi ”Mengembangkan Sistem Pembiayaan Kota Terpadu” diarahkan pada terwujudnya sistem pembiayaan kota terpadu, dengan sasaran : 1.
Terwujudnya anggaran pemerintah yang optimal, melalui strategi;
2.
Meningkatkan Pendapatan Daerah, dengan indikator capaian : Rata-rata Peningkatan Pendapatan 19%. Menguatkan sinergitas APBN, APBD Propinsi & APBD Kota (Fiskal antar pemerintahan), dengan indikator capaian : APBN, APBD Prov & APBD Kota terintegrasi dan sinergi sepenuhnya. Mengembangkan instrumen pembiayaan pembangunan nonkonvensional, dengan indikator capaian: Penggunaan instrumen pembiayaan pembangunan non-konvensional mulai signifikan.
Terwujudnya masyarakat dan sektor swasta berperan besar dalam pembiayaan pembangunan kota, melalui strategi; Mengembangkan sistem insentif yang menarik dan fasilitasi untuk sektor swasta dalam pembiayaan penyediaan barang dan jasa publik, dengan indikator capaian : Insentif fiskal ke swasta melembaga. Mengembangkan sistem pembiayaan dengan kemitraan pemerintah dan swasta, dengan indikator capaian : Berkontribusinya perusahaan patungan untuk layanan jasa dan penyediaan barang publik terhadap PAD. Mengembangkan instrumen pembiayaan pembangunan nonkonvensional, dengan indikator capaian : Meningkatnya penggunaan instrumen pembiayaan pembangunan non-konvensional berbasis masyarakat. Menyediakan insentif dan fasilitasi untuk keterlibatan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan serta pemanfaatan dan pemeliharaan barang dan jasa publik, dengan indikator capaian : Terwujudnya insentif fiskal ke masyarakat.
4.2.6.5. Tahapan V ( 2024 – 2025 ) Misi ”Mengembangkan Sistem Pembiayaan Kota Terpadu” diarahkan pada terwujudnya sistem pembiayaan kota terpadu, dengan sasaran : 1.
Terwujudnya anggaran pemerintah yang optimal, melalui strategi;
Meningkatkan Pendapatan Daerah, dengan indikator capaian : Rata-rata Peningkatan Pendapatan 20%. Menguatkan sinergitas APBN, APBD Propinsi & APBD Kota (Fiskal antar pemerintahan), dengan indikator capaian : APBN, APBD Prov & APBD Kota terintegrasi dan sinergi sepenuhnya. Mengembangkan instrumen pembiayaan pembangunan nonkonvensional, dengan indikator capaian: Penggunaan instrumen pembiayaan pembangunan non-konvensional mulai signifikan.
2.
Terwujudnya masyarakat dan sektor swasta berperan besar dalam pembiayaan pembangunan kota, melalui strategi; Mengembangkan sistem insentif yang menarik dan fasilitasi untuk sektor swasta dalam pembiayaan penyediaan barang dan jasa publik, dengan indikator capaian : Insentif fiskal ke swasta melembaga. Mengembangkan sistem pembiayaan dengan kemitraan pemerintah dan swasta, dengan indikator capaian : Meningkatnya kontribusi perusahaan patungan untuk layanan jasa dan penyediaan barang publik terhadap PAD. Mengembangkan instrumen pembiayaan pembangunan nonkonvensional, dengan indikator capaian : Terwujudnya penggunaan instrumen pembiayaan pembangunan non-konvensional berbasis masyarakat. Menyediakan insentif dan fasilitasi untuk keterlibatan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan serta pemanfaatan dan pemeliharaan barang dan jasa publik, dengan indikator capaian : Terwujudnya insentif fiskal ke masyarakat.
BAB V PENUTUP Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Bandung Tahun 2005 – 2025 yang berisi visi, misi dan arah pembangunan daerah merupakan pedoman bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat di dalam penyelenggaraan pembangunan daerah 20 (dua puluh) tahun ke depan. RPJPD Kota Bandung tahun 2005-2025 ini juga menjadi Arah dan pedoman di dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Strategis (Renstra) SKPD, Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) selama periode tersebut. Keberhasilan
pembangunan
daerah
dalam
mewujudkan
BANDUNG SEBAGAI KOTA YANG BERMARTABAT.
visi
KOTA
Bermartabat disini
merupakan kata secara harfiah, yang mempunyai arti harkat atau harga diri, yang menunjukkan eksistensi masyarakat kota yang dapat dijadikan teladan karena kebersihan,
ketertiban,
keamanan,
kemakmuran,
ketaatan,
keadilan,
dan
ketaqwaannya. Jadi, kota bermartabat adalah kota yang memiliki harga diri, kehormatan, keadilan dan harkat kemanusiaan dalam upaya mewujudkan Kota yang membanggakan dan memberikan pelayanan prima kepada seluruh warganya tanpa membeda-bedakan status. Hal ini perlu didukung oleh: (1) Komitmen yang kuat dari kepemimpinan daerah dan demokratis; (2) Konsistensi kebijakan Pemerintah Daerah; (3) Ketata-pemerintahan yang baik (good governance); (4) Keberpihakan kepada rakyat; dan (5) Peran serta masyarakat dan dunia usaha secara aktif dalam berbagai
aspek pembangunan
mulai
dari
perencanaan,
pelaksanaan,
serta
pengendalian dan evaluasi dalam rangka mewujudkan pembangunan kota Bandung yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
WALIKOTA BANDUNG,
DADA ROSADA
LAMPIRAN I
LAMPIRAN II
LAMPIRAN III
Tabel 1 Kondisi Kualitas Air di Bagian Hulu dan Hilir Sungai Cikapundung Tahun 2002 -2005 Lokasi Hulu Hilir
BOD (mg/L) 2002
2003
3,0
3,0
2004
COD (mg/L) 2005
2002
5,0 15,0
8,5
2003 8,7
2004
DO (mg/L) 2005
2002 2003
9,0 28,62
7,0
10,4 10,5 25,0 55,0 29,4 30,25 36,0 79,76
2004
2005
7,0 5,58 4,65
2,3 2,95
3,7 3,06
Tabel 2 Kondisi Kualitas Air di Bagian Hulu dan Hilir Sungai Cikapundung Kolot Tahun 2002 – 2005 Lokasi
BOD (mg/L) 2002
2003
COD (mg/L)
2004
2005
2002
2003
2004
DO (mg/L) 2005
2002
2003
2004
2005
Hulu
7,6
3,5
18,0
20,0
21,0
10,0
29,0
34,72
2,9
3,1
5,4
3,67
Hilir
14,8
17,4
86,0
30,0
41,0
50,0
109,0
36,68
1,5
0,3
1,4
1,9
Tabel 3 Kondisi Kualitas Air di Bagian Hulu dan Hilir Sungai Citepus Tahun 2002 – 2005 Lokasi
BOD (mg/L)
COD (mg/L)
DO (mg/L)
2002
2003
2004
2005
2002
2003
2004
2005
2002
2003
2004
2005
Hulu
15,8
11,0
15,0
30,0
44,0
32,0
21,0
56,8
2,0
1,8
3,8
0,62
Hilir
25,0
24,0
65,0
25,0
69,0
70,0
75,0
62,6
0,8
0,9
4,0
2,94
Tabel 4 Kondisi Kualitas Air di Bagian Hulu dan Hilir Sungai Ciparungpung Tahun 2002 – 2006 Lokasi
BOD (mg/L) 2002
COD (mg/L)
2003
2004
2005
2002
2003
2004
DO (mg/L) 2005
2002
2003
2004
2005
Hulu
7,8
7,8
28,0
5,0
22,0
22,0
31,0
9,18
3,1
3,1
4,0
1,2
Hilir
27,5
28,0
12,0
25,0
77,0
70,0
52,0 47,17
0,8
0,9
2,2
0,87
Tabel 5 Kondisi Kualitas Air di Bagian Hulu dan Hilir Sungai Cidurian Tahun 2002 – 2006 Lokasi
BOD (mg/L) 2002
Hulu
8,9
Hilir
12,2
2003 5,8
2004
COD (mg/L) 2005
2002
2003
2004
DO (mg/L) 2005
2002
2003
2004
2005
38,0
15,0
24,0
17,0
47,0
23,52
2,3
1,9
3,0
2,04
14,0 100,0
40,0
34,0
41,0 129,0
64,5
0,7
0,2
1,2
0,8
Sumber : BPLH Kota Bandung 2006
TABEL 6 KONDISI EXISTING TPA DI KOTA BANDUNG N o 1
2
Nama TPA Leuwigajah (Kab Bandung)
Luas (Ha)
Mulai Operasi
17.5
1987
Akhir Operasi
Sistem yang Digunakan
Keterangan
2005
Open Dumping
Longsor 21 Feb 2005
Pasir Impun (Kota Bandung)
2.7
1989
3
Cieunteung (Kab Bandung)
3.5
1972
4
Cicabe (Kota Bandung)
4.5
1973
Sanitary Landdfill (demplot/penu h)
Dipakai kembali
1993
Open Dumping
Penuh
1989
Open Dumping
Penuh
1990 29 April 2006
Jelang Hut KAA ke 50 dari tanggal 8-29 April 2005
Controlled landfill Controlled lanfill
5
Dago (Kota Bandung
6,1
Sumber : PD Kebersihan 2005
1974
1989
Open Dumping
Penuh
Tabel 7 Klasifikasi Rumah Sakit Umum di Kota Bandung Berdasarkan Kelas dan Spesialisasinya
Kelas RS A B
C
D
Jumlah
RS Umum
RSUP Hasan Sadikin RS Advent RS Dr. Salamun RS St. Boromeus RS Rajawali RS Kebonjati RS St. Yusuf RS Muhammadiyah RS Immanuel RS Sartika Asih RSUD Ujungberung RS Al-Islam RS Pindad RS Sariningsih RS Bungsu RS Sukapura
16
Sumber: Dinas Kesehatan 2005
RS Khusus RS Jiwa Pusat RS Mata Cicendo
RS Jiwa Hurip Waluya RSTP Rotinsulu
RS Ibu dan Anak Sukajadi RS Ginjal Ny. RS Habibie RS Bedah Halmahera Siaga RSB Limijati RSB Tedja RSB Emma Poeradiredja RSB Astanaanyar RS Hermina Pasteur RS Melinda Hospital 13
Tabel 8 LOKASI TEMPAT PEMAKAMAN UMUM DI KOTA BANDUNG
No
TPU
Tahun Berdiri
Luas (Ha)
Jumlah Makam
Makam Aktif
Makam Tidak Aktif
1
Hindu/Budha Cikadut
1918
50,00
12.015
9.506
2.509
2
Sirnaraga
1920
20,00
41.637
31.100
10.537
3
Kristen Pandu
1932
13,00
21.886
14.435
7.451
4
Maleer
1944
5,00
17.647
14.375
3.272
5
Gumuruh
1944
2,00
5.613
4.518
1.095
6
Cikutra
1950
8,44
21.224
16.724
4.500
7
Astanaanyar
1950
9,00
21.782
14.432
7.350
8
Legok Cisereh
1965
1,54
1.318
648
670
9
Ciburuy
1965
2,10
3.786
2.175
1.611
10
Babakan Ciparay
1973
4,00
14.900
12.700
2.200
11
Cibarunay
1982
1,75
4.558
4.558
12
Nagrog
1990
14,46
915
815
100
13
Rancacili
1990
1,41
1.060
760
300
132,700
126.746
126.746
41.595
Jumlah
Sumber Data : Dinas Pertamanan dan Pemakaman. Tahun 2005
Tabel 9
Distribusi Persentase PDRB Kota Bandung Atas Harga Berlaku (dalam persen) No 1
Lapangan Usaha PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Peternakan dan Hasilhasilnya c. Perikanan 2 PERTAMBANGAN DAN HASIL-HASILNYA 3 INDUSTRI PENGOLAHAN 4 LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH a. Listrik b. Air Bersih 5 BANGUNAN / KONSTRUKSI 6 PERDAGANGAN a. Perdagangan Besar dan Eceran b. Hotel c. Restoran 7 PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI a. Pengangkutan Angkutan Rel Angkutan Jalan Raya Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 8 KEUANGAN, PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN a. Bank b. Lembaga Keuangan Selain Bank c. Sewa Bangunan d. Jasa Perusahaan 9 JASA – JASA a. Pemerintahan Umum b. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumah Tangga PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO
Sumber : BPS Kota Bandung, 2006
2001
2002
2003
2004
2005
0.47
0.43
0.37
0.32
0.30
0.23
0.19
0.16
0.14
0.13
0.18
0.18
0.16
0.15
0.14
0.07
0.06
0.05
0.03
0.03
30.78
31.14
30.24
29.59
28,69
2.16
2.08
2.25
2.35
2.31
1.91 0.25
1.83 0.25
2.97 0.28
2.07 0.28
2.05 0.26
5.28
4.90
4.74
4.70
4.57
33.24
32.46
32.28
33.01
34.23
29.21
28.71
27.78
28.50
29.77
0.74 3.28
0.69 3.05
0.93 3,57
0.97 3,53
1.01 3.44
9.86
10.29
11.40
11.59
12.39
5.88 0.26 3.89 1.25
5.80 0.31 3.68 1.35
6.51 0.39 3.42 2.27
6.64 0.41 3.32 2.48
7.24 0.45 3.53 2.83
0.48
0.46
0.43
0.44
0.44
3.98
4.49
4.90
4.95
5.14
6.95
7.00
7.16
7.40
7.48
2.48
2.65
3.03
3.38
3.62
1.18
1.14
1.05
1.04
1.03
2.32 0.97 11.25 7.38 3.86
2.26 0.95 11.70 8.17 3.52
2.20 0.89 11.56 7.91 3.21
2.12 0.86 11.04 7.91 3.13
2.01 0.82 10.04 7.12 2.92
1.41
1.26
1.06
0.99
0.89
0.16
0.15
0.14
0.15
0.15
2.29
2.11
2.02
2.00
1.88
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Tabel 10 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bandung Atas Dasar Harga Konstan (%) No 1
Lapangan Usaha 2001 2002 PERTANIAN, PETERNAKAN, 9.65 7.64 KEHUTANAN DAN PERIKANAN a. Tanaman Bahan Makanan 0.85 7.27 b. Peternakan dan Hasil-hasilnya 19.18 10.34 c. Perikanan 14.18 1.23 2 PERTAMBANGAN DAN HASILHASILNYA 3 INDUSTRI PENGOLAHAN 20.81 18.62 4 LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH 14.78 23.26 a. Listrik 13.89 22.81 b. Air Bersih 21.66 26.48 5 BANGUNAN / KONSTRUKSI 10.80 13.89 6 PERDAGANGAN 16.62 17.25 a. Perdagangan Besar dan Eceran 17.36 17.74 b. Hotel 12.10 16.01 c. Restoran 11.05 13.00 7 PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 24.61 34.86 a. Pengangkutan 17.92 33.69 Angkutan Rel 43.66 36.99 Angkutan Jalan Raya 12.85 19.34 Angkutan Udara 29.30 79.13 Jasa Penunjang Angkutan 15.33 12.44 b. Komunikasi 34.47 36.39 8 KEUANGAN, PERSEWAAN DAN JASA 20.25 12.84 PERUSAHAAN a. Bank 27.70 9.47 b. Lembaga Keuangan Selain Bank 15.64 12.43 c. Sewa Bangunan 16.35 15.31 d. Jasa Perusahaan 16.19 16.84 9 JASA – JASA 24.18 13.56 a. Pemerintahan Umum 32.19 13.67 b. Swasta 8.89 13.29 Sosial Kemasyarakatan 7.01 8.02 Hiburan dan Rekreasi 9.23 12.17 Perorangan dan Rumah Tangga 10.01 16.51 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 17.80 19.10
2003
2004
2005
1.88
-5.20
-0.54
3.04 1.87 -1.47
-3.70 0.37 -26.84
-2.45 0.32 3.56
6.88 10.29 10.76 7.03 7.92 7.13 7.21 9.58 5.94 6.97 6.76 13.27 1.50 16.92 9.91 7.17
6.17 10.25 10.83 6.06 7.55 9.26 9.68 10.70 5.75 8.26 8.78 13.16 5.67 14.07 9.42 7.61
5.98 9.54 9.98 6.23 7.84 9.21 9.56 11.08 5.95 8.76 8.66 13.51 5.46 13.47 9.68 8.89
14.87
8.29
8.30
31.31 4.15 6.09 5.15 4.63 4.54 4.84 2.99 5.18 5.92
13.42 4.60 3.76 6.64 4.67 4.36 5.39 4.32 13.42 5.43 7.49
12.89 4.72 3.85 6.76 4.87 4.59 5.52 4.46 13.14 5.54 7.53
Sumber : BPS Kota Bandung, 2006 Tabel 11 Perkembangan Nilai Ekspor Non Migas Kota Bandung Menurut Kelompok Negara (Wilayah Pasar Utama) Tahun 2004 dan 2005 Tahun 2004 Tahun 2005 Perubahan No Wilayah Pasar US $ US $ (%) 1 Amerika Serikat (NAFTA dan 194.032.182,10 291.181.046,29 33.36 Latin) 2 Uni Eropa, Eropa Lainnya 406.617.607,94 236.329.361,23 (72.06) 3 Jepang / Asia Lainnya 54.602.700,14 24.367.774,28 (124,08) 4 Timur Tengah 77.316.134,25 46.506.559,18 (66.25) 5 ASEAN 40.688.929,13 37.127.692,01 (9.59) 6 Afrika 6.932.058,58 5.399.302,83 (28.39) 7 Australia / Selandia Baru 5.404.836,64 4.058.461,61 (33.17) Jumlah 785.595.248,78 644.970.197,43 (18)
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandung, 2006
Tabel 12 Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Utama
1
Alat Elektronik
3,064,308.25
1,604,177.54
2003 (%) (48)
3,333,759.42
2004 (%) 108
2
Alat Kesehatan
5,468,918.47
1,455,420.00
(73)
1,549,573.02
6
1,116,394.90
(28)
3
Alat Rumah Tangga
32,679,010.27
5,616,522.62
(83)
7,905,608.99
41
2,649,244.53
(66)
4
Alat Musik
3,534,536.40
1,169,441.44
(67)
1,244,581.93
6
815,913.86
(34)
5
Alat Laboratorium
6
Furniture
7
Gondorukem/Terpentine
8
Karet/Produk Karet
9
Kayu Olahan
NO
JENIS KOMODITI EKSPOR
2002
2003
2004
2005 1,619,330.65
2,289,334.05
-
-
-
-
71,455.10
38,163,014.04
6,180,765.41
(84)
7,336,579.93
19
1,318,421.17
-
269,035.26
3,880,638.90
(100)
2005 (%) (51)
(82) -
8,447,187.67
-
9,011,141.99
7
1,849,904.26
(79)
9,600,179.28
4,410,731.57
(54)
2,113,523.31
(52)
1,745,254.99
(17)
10,982,134.20
10,010,414.21
(9)
7,464,819.09
(25)
-
-
10
Kulit/Produk Kulit
11
Marmer/Keramik
6,785,121.16
5,738,294.72
(15)
-
-
4,101,048.68
12
Pegangan Koas
3,217,374.03
-
-
2,860,090.45
-
856,887.68
13
Pensil
30,601,137.98
3,791,950.93
(88)
4,171,420.16
(10)
5,023,810.75
20
14
Permadani/Karpet
2,712,456.55
-
2,218,641.05
(18)
3,064,440.41
38
15
Obat-obatan
2,403,895.13
(37)
1,720,434.79
(28)
2,147,795.04
25
16
Temuan Plastik
2,189,116.70
-
4,619,860.19
(111)
3,987,353.45
(14)
17
Tekstil/Produk Tekstil
(37)
18
Teh Jumlah
3,832,857.48
(70)
785,128,284.53
817,007,599.00
4
715,595,645.48
(12)
449,916,065.17
54,741,676.48
2,917,297.17
(95)
3,271,447.63
0.12
1,136,062.78
(65)
993,968,525.52
875,655,270.66
(12)
774,417,127.43
(12)
481,688,418.68
(38)
Produk Lainnya
2,412,838.06
7,264,893.59
201
11,178,121.35
54
163,281,778.75
Total
996,381,363.58
882,920,164.25
(11)
785,595,248.78
(11)
644,970,197.43
Sumber : Dinas Indag Tahun 2005 (Diolah)
1361 (18)
6 Tabel 13 NO JENIS DATA 2003 2004 2005 Satuan 1 Jumlah Tenaga Kerja yang masuk Jamsostek 235,750 181,609 229,609 Orang 2 Jumlah Kasus yang masuk 297 185 238 Buah 3 Jumlah Penyelesaian Perselisihan : 5,632 8,718 5,032 Kasus - Persetujuan Bersama 60 55 43 Kasus - Anjuran 237 130 195 Kasus 4 Jumlah Kecelakaan Tenaga Kerja 51 119 220 Kasus 5 Jumlah PHK Perorangan 229 226 260 Orang 6 Jumlah PHK Massal 4,816 5,961 252 Orang 7 Jumlah Perselisihan Hubungan Industrial 39 22 13 Kasus 8 Jumlah Organisasi Pekerja (SP/SB) 249 299 386 SP 9 Jumlah Anggota SP / SB 59,975 51,146 83,670 Orang 10 Rata - rata Kebutuhan Hidup Minimum 553,538 643,067 871,095 Rupiah 11 Rata -rata Upah Minimum Regional / Kota 538,000 588,407 642,590 Rupiah 12 Jumlah Mogok kerja / unjuk rasa 48 26 17 Kasus 13 Jumlah Tenaga kerja yang terlibat mogok kerja/unjuk rasa 5,078 7,836 5,514 Orang 14 Pelatihan Keterampilan dan Produktivitas Tenaga Kerja : - Tata boga 40 25 Orang - Perbengkelan Sepeda Motor Orang - Diversifikasi Produk sepatu Orang - Las Ketok Duco Orang - Menjahit 3 Orang - Pemanfaatan Limbah Sampah Orang - Achievment Motivation Training (AMT) 30 25 Orang - Manajemen Usaha Kecil Menengah (MUKM) 30 25 Orang - Tata rias 20 20 Orang 7 Indikator Ketenagakerjaan terkait Hubungan Industrial dan Kesejahteraan di Kota Bandung (2003-2005)
Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kota
Bandung
Tabel 14 Investasi Pada Setiap Sektor Ekonomi di Kota Bandung (Juta Rp) Jabar No
Sektor Ekonomi
1
Pertanian Peternakan Kehutanan Pertambangan Industri Pengolahan Listrik Gas dan Air Bersih Bangunan dan Kontruksi Perdagangan Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan Persewaan Jasa 2 Jasa Lain-lain Total
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sumber : Bank Indonesia, 2005
2003
2004
3.270.411
3.269.774
179.208 34.936.804 4.263.109 1.176.580 7.250.262 6.096.455 2.807.472 682.864 19.965.918 80.629.083
205.281 30.246.998 3.102.245 3.043.198 8.817.433 4.627.136 3.059.892 804.641 23.542.480 80.719.079
2004 (%) 4,05
Pertumbuhan (%) - 0.02
188.210
0,25 37,42 3,84 3,77 10,92 5,73 3,79 1,00 29,17
14,55 - 13,42 - 27,23 158,65 21,62 - 24,10 8,99 17,83 17,91 0,11
6.316 3.676.131 116.254 2.141.632 1.973.900 2.573.900 815.680 242.303 4.198.832 15.933.158
2003
Bandung 2004 2004 (%) 181.858 1,02 6.396 6.036.179 117.144 687.799 1.992.844 2.045.788 691.572 739.008 5.320.879 17.819.466
0,04 33,87 0,66 3,86 11,18 11,48 3,88 4,15 29,86
Pertumbuhan (%) - 3,37 1,27 64,20 0,77 - 67,88 0,96 - 20,52 - 15,22 204,99 26,721 192
Tabel 15 Jumlah PNS Menurut Tingkat Pendidikan Terakhir Tahun 2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pendidikan Tertinggi SD/ Sederajat SLTP/ Sederajat SLTA/ Sederajat D1 D2 D3 D4 S1 S2 S3 Jumlah/ Total
Jumlah 1.156 565 6.907 537 3.979 1.662 12 7.222 337 5 22.882
% 5.05 2.47 30.19 2.35 17.39 7.26 0.05 31.56 1.47 0.02 100
Sumber : Bagian Kepegawaian Kota Bandung, 2005
Tabel 16 Jumlah PNS Menurut Satuan Unit Kerja Tahun 2005 No 1 2 3 4 5
Unit Kerja Sekretariat Daerah Sekretariat DPRD Dinas Badan Satpol PP
Jumlah 527 48 19.466 437 178
% 2,45 0,22 90,48 2,03 0,83
6 Kantor 7 PPKGM 8 RSUD 9 RSAB 10 Kecamatan/kelurahan 11 PD Kebersihan 12 PD Air Minum 13 PD BPR 14 Up. Perparkiran Jumlah Sumber : Bagian Kepegawaian Kota Bandung, 2005
171 160 158 48 1.520 85 57 1 26 22.882
0,79 0,74 0,73 0,22 0,71 0,40 0,26 0,001 0,12 100
Tabel 17 Komposisi Pendapatan Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2001-2005
Tahun Anggaran
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi %
Pendapatan Asli Daerah (PAD) 85.255.455.427,62 78.037.122.537,09 91,53 126.782.348.151,29 123.984.485.749,23 97,79 197.699.717.558,00 182.064.238.544,02 92,09 229.749.164.455,00 213.029.461.862,25 92,72 215.114.010.650,00 222.909.941.952,75 103,62 213.100.251.482,00 225.596.438.613,00 105.86
Sumber: APBD Kota Bandung, Diolah
Uraian Dana Perimbangan Bagi Hasil 49.776.204.549,00 61.531.272.827,00 123,62 113.164.552.000,00 130.370.009.264,47 115,20 130.279.209.456,00 137.744.617.855,00 105,73 285.709.717.616,96 288.405.650.700,25 100,94 390.571.886.274,00 414.282.235.276,00 106,07 376.153.202.339,00 403.478.818.511,00 107,26
DAU + DAK 153.013.964.646,00 142.665.047.903,00 93,24 342.620.000.000,00 341.618.150.032,00 99,71 388.260.000.000,00 388.260.000.000,00 100,00 427.180.000.000,00 417.680.000.000,00 97,78 441.000.000.000,00 446.189.469.000,00 101,18 458.070.000.000,00 458.072.000.000,00 100,00
Lain-lain Pendapatan Yang sah
Jumlah
0,00 135.692.888.606,50 131.177.277.238,27 96,67 117.105.123.606,46 114.038.529.019,37 97,38 53.304.175.327,92 42.453.655.000,00 79,64 35.380.000.000,00 35.380.000.000,00 100,00 32.580.000.000,00 35.949.899.246,00 142,52
304.889.246.186,53 299.077.064.831,00 98,09 772.372.348.877,36 781.262.482.403.,54 101,15 855.048.574.679,14 843.811.909.467.07 98,69 995.943.057.399,88 961.568.767.562,50 96,55 1.082.065.896.924,00 1.118.761.646.228,75 103,39 1.079.903.453.821,00 1.123.097.156.370,00 104,00
7.1 7.2
Perincian Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung Tahun Anggaran 2004-2006
Tahun Anggaran Pajak Daerah
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi %
Tabel 18
39.339.000.000,00 39.976.152.176,00 101.61 66.450.000.000,00 73.583.061.471,10 110,73 98.100.000.000,00 103.153.173.907,92 105.15 117.000.000.000,00 114.983.791.861.00 98.28 126.072.000.000,00 133.554.985.454,00 105,94 137.050.000.000,00 143.107.822.781,00 104,42
Sumber: APBD Kota Bandung, Diolah
Uraian Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan yang dipisahkan 22.257.134.000,00 512.278.603,06 21.983.801.191,00 512.278.603,06 98.77 100,00 40.446.550.000,00 1.501.769.951,29 35.484.409.612,00 1.501.769.951,29 87,73 100,00 54.572.820.000,00 2.236.810.668,00 48.760.223.699,50 2.236.810.668,00 87,73 100.00 59.301.371.455,00 2.060.000.000,00 55.029.885,021,10 2.060.481.417,61 89.35 100.02 63.014.010.650,00 14.600.000.000,00 61.634.485.823,75 14.854.648.731,00 97,81 101,74 63.643.298.000,00 2.552.953.482,00 66.280.333.390,00 2.552.953.482,00 104,14 100,00 Retribusi Daerah
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
Jumlah
23.147.042.824,56 15.564.890.567,03 67.24 18.384.028.200,00 13.415.244.714,84 72,97 42.790.086.900,00 27.914.030.268,60 65.23 51.387.793.000,00 40.955.303.562,54 79.70 11.428.000.000,00 12.865.821.944,00 112,58 9.854.000.000,00 13.655.328.960,00 138,58
85.255.455.427,62 78.037.122.537,09 91.53 126.782.348.151,29 123.984.485.749,23 97,79 197.699.717.568,00 182.064.238.544,02 92.09 229.749.164.455,00 213.029.461.862,25 92.72 215.114.010.650,00 222.909.941.952,75 103,62 213.100.251.482,00 225.596.438.613,00 105.86
Tabel 19 Potensi Kepariwisataan Kota Bandung
No 1 2
Obyek dan Daya Tarik Wisata Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa Hasil Karya Manusia
Jenis
Keterangan
Wisata Alam
Curug Dago, Punclut
Monumen
Monumen Bandung Lautan Api, Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Monumen Kereta Api; Penjara Banceuy Museum Geologi, Museum Gedung konfrensi Asia Afrika, Sribaduga; Pos Indonesia; Mandala Wangsit Siliwangi. Kebun Binatang, Taman Lalu Lintas
Museum
Taman Rekreasi Wisata Minat Khusus
Wisata Budaya : Galeri; Gedung Pertunjukan; Gedung bersejarah (Gedung Sate, Bale Pakuan, Balai Kota, Pendopo, Bumi Siliwangi (Isola), Gedung KAA, Gedung Bank Indonesia Wisata Pengetahuan : PT Dirgantara Indonesia; PT PiNDAD; PT Bio Farma; Sasana Budaya Ganesa (Sabuga) ITB; ITB, UNPAD, UPI dan Perguruan Tinggi Swasta Bangunan bersejarah : Gedung Sate Wisata Rohani : Daarut Tauhid, Wisata Olah Raga (Sport) : GOLF (PT.Dago Indah, Arcamanik Endah, Siliwang Driving Range) ; Bowling (Dago, Grand Entertainment, Batununggal, Bandung Amuesement); Ice Skating (Istana Plaza); Kolam Renang; Fitnes (Bikasoga, Batununggal, Holiday Inn, Puri Pakuan, Horison, Eldorado) Wisata MICE : Fasilitas Meeting, Incentive, Conference, Exhibition. Wisata Belanja : Factory Outlet Dept. Store, Pusat Perbelanjaan Sentra Produksi (Pengrajin Alat Musik, Wayang, Boneka, Sepatu,Lampu Rias, Furniture, Tas, Irelian’s Art, Batu Mulia/Jewellery) Belanja Khusus ( Sentra Perdagangan Cihampelas, Sentra Sepatu Cibaduyut, Sentra Rajut Binong Jati, Sentra Kaos Jl Suci, Cimol)
Sumber : Bappeda, Rippda 2006.
Grafik 1 Kondisi Kualitas Air di Bagian Hulu dan Hilir Sungai Cikapundung Tahun 2002 - 2005
Konsentrasi BOD S. Cikapundung Tahun 2002 - 2005 60
55
50
mg/L
40 S. Cikapundung Hulu 30
S. Cikapundung Hilir
25
Baku Mutu 20
15 10.5
10.4
10
5
3
3
2002
2003
0 2004
2005
Tahun
Konsentrasi COD S. Cikapundung Tahun 2002 -2005 90 79.76
80 70
mg/L
60 S. Cikapundung Hulu
50 40
S. Cikapundung Hilir
36 30.25
29.4
28.62
30 20 10
8.5
8.7
9
0 2002
2003
2004 Tahun
Sumber: BPLH Kota Bandung Tahun 2006
2005
Baku Mutu
Grafik 2 Kondisi Kualitas Air di Bagian Hulu dan Hilir Sungai Cikapundung Kolot Tahun 2002-2005
Konsentrasi BOD S. Cikapundung Kolot Tahun 2002 - 2005 100 90
86
80
mg/L
70 60
S. Cikapundung Kolot Hulu
50
S. Cikapundung Kolot Hilir Baku Mutu
40 30
30 20 10
20
18
17.4
14.8 7.6 3.5
0 2002
2003
2004
2005
Tahun
Konsentrasi COD S. Cikapundung Kolot Tahun 2002 -2005 120 109
100
80
mg/L
S. Cikapundung Kolot Hulu 60
S. Cikapundung Kolot Hilir 50
Baku Mutu
41
34.7236.68
40 29 21
20 10
0 2002
2003
2004 Tahun
Sumber : BPLH Kota Bandung Tahun 2006
2005
Grafik 3 Kondisi Kualitas Air di Bagian Hulu dan Hilir Sungai Citepus Tahun 2002-2005
Konsentrasi BOD S. Citepus Tahun 2002 -2005 70
65
60
mg/L
50 S. Citepus Hulu
40
S. Citepus Hilir
30
30 20
25
25
24
15.8
Baku Mutu
15 11
10 0 2002
2003
2004
2005
Tahun
Konse ntrasi COD S. Cite pus Tahun 2002 - 2005 80
75 70
69
70
6 2 .6
60
mg/L
50
56.8
44
S. Citepus Hulu
40
S. Citepus Hilir 32
Baku Mutu
30 21
20 10 0 2002
2003
2004 Tahun
Sumber : BPLH Kota Bandung Tahun 2006
2005
Grafik 4 Kondisi Kualitas Air di Bagian Hulu dan Hilir Sungai Ciparungpung Tahun 2002-2005
Konsentrasi BOD S. Ciparungpung Tahun 2002 - 2005 30
28
2 7.5
28 25
25
mg/L
20 S. Ciparungpung Hulu 15
S. Ciparungpung Hilir 12
10
7.8
Baku Mutu
7.8 5
5 0 2002
2003
2004
2005
Tahun
Konsentrasi COD S. Ciparungpung Tahun 2002 - 2005 90 78
77
80 70 60
mg/L
52 47.17
50
S. Ciparungpung Hulu S. Ciparungpung Hilir
40
Baku Mutu
31
30 22
22
20 9.18
10 0 2002
2003
2004 Tahun
Sumber : BPLH Kota Bandung Tahun 2006
2005
Grafik 5 Kondisi Kualitas Air di Bagian Hulu dan Hilir Sungai Cidurian Tahun 2002-2005
Konsentrasi BOD S. Cidurian Tahun 2002 - 2005 120 100
100
80
mg/L
S. Cidurian Hulu S. Cidurian Hilir
60 40
38
40
20 8.9
15
14
12.2
Baku Mutu
5.8
0 2002
2003
2004
2005
Tahun
Konsentrasi COD S. Cidurian Tahun 2002 - 2005 140
129
120
mg/L
100 S. Cidurian Hulu
80 64.5
60
Baku Mutu
47 41 34
40 24
23.52 17
20 0 2002
2003
2004 Tahun
Sumber : BPLH Kota Bandung Tahun 2006
S. Cidurian Hilir
2005
LOGICAL FRAMEWORK RPJPD KOTA BANDUNG 2005-2025
VISI
Bandung kota BERMARTABA T (Kota yang memiliki harga diri, kehormatan, keadilan dan harkat kemanusiaan)
MISI
1
Mengem bangkan Sumber Daya Manusia yang handal dan Religius
ARAH PEMBANGU NAN
Terkendaliny a jumlah penduduk sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Sumber Daya Manusia yang cerdas, kreatif dan
STRATEGI
Peningkata n Kualitas SDM
Pengendali an Jumlah Penduduk
Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Meningkatk an kualitas dan akses penyelengg araan pendidikan
Kondisi Awal 2005
Indikator Kinerja (20 tahun)
Tahap I 2005 2008
Tahap II 2009-2013
Tahap III 2014-2018
Tahap IV 20192023
Tahap V 2024-2025
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indeks Pembang unan Manusia = 77,42 Tingkat pertumbu han pendudu k kota Bandung 1,59% Angka Fertilitas = 2,06
Indeks Pembangun an Manusia = 82,66
Indeks Pembangunan Manusia = 78,33
Indeks Pembanguna n Manusia = 81,07
Indeks Pembangunan Manusia = 82,02
Indeks Pembangunan Manusia = 82,54
Indeks Pembangun an Manusia = 82,66
Pertumbuh an penduduk kota Bandung < 0.5 %.
Jumlah Penduduk Thn 2008 maksimal 2.419.944 jiwa
Jumlah Penduduk Thn 2013 maksimal 2.619.366 jiwa
Jumlah Penduduk Thn 2018 maksimal 2.835.223 Jiwa
Jumlah Penduduk Thn 2023 maksimal 3.068.869 jiwa
Jumlah Penduduk Thn 2025 maksimal 3.118.280 jiwa
Menurunny a angka fertilitas Total = 1,8
Menurunnya angka fertilitas Total = 1,99
Menurunnya angka fertilitas Total = 1,91
Menurunnya angka fertilitas Total = 1,85
Menurunnya angka fertilitas Total = 1,8
Menurunnya angka fertilitas Total = 1,8
Indeks Pendidika n(IP) 89,06
Indeks Pendidikan( IP) 94,04
Indeks Pendidikan(IP) = 89,70
Indeks Pendidikan(I P) 92,78
Indeks Pendidikan(IP) 93,53
Indeks Pendidikan(IP) 93,92
Indeks Pendididkan (IP) 94,04
kompetitif.
Masyarakat yang sehat jasmani dan rohani
Mengemba ngkan pendidikan wajib Belajar Pendidikan Menengah 12 tahun yang bermutu Meningkatk an kualitas tenaga pendidik dan kependidika n Meningkatk an Kualitas Pelayanan dalam Bidang Pendidikan
Rata-rata Lama Sekolah 10,34 Tahun
RLS 12 ,38 Tahun
RLS 10,52 Tahun
RLS 11,85 Tahun
RLS 12,17 Tahun
RLS 12,33 Tahun
RLS 12,38 Tahun
Sertifikasi Guru < 25%
Sertifikasi Guru = 100 %
Sertifikasi Guru = 25%
Sertifikasi Guru = 50%
Sertifikasi Guru = 75%
Sertifikasi Guru = 100%
Sertifikasi Guru = 100%
25% lembaga pendidika n telah menerap kan SPM
100% lembaga pendidikan telah menerapka n SPM
25% lembaga pendidikan telah menerapkan SPM
50% lembaga pendidikan telah menerapkan SPM
75% lembaga pendidikan telah menerapkan SPM
100% lembaga pendidikan telah menerapkan SPM
Meningkatk an Kualitas dan Akses pendidikan Non Formal Meningkatk an kualitas dan akses pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang bermutu,
AMH 99,26%,
AMH 99,80 %
AMH 99,50 %,
AMH 99,67 %
AMH 99,73 %
AMH 99,78 %
100 % lembaga pendidikan telah menerapkan SPM AMH 99,80 %
• Indeks Kesehata n = 79,27; •Angka Harapan Hidup : 72,56
• Indeks kesehatan = 82,16 •Angka Harapan Hidup = 75 • 100% Fasilitas
• Indeks Kesehatan = 80,97 •Angka Harapan Hidup = 73,58 • 70% Fasilitas Kesehatan memenuhi SPM
• Indeks Kesehatan = 81,55 • Angka Harapan Hidup = 74 • 80% Fasilitas
• Indeks Kesehatan = 81,87 • Angka Harapan Hidup =74,45 • 90% Fasilitas Kesehatan
• Indeks Kesehatan = 82,12 • Angka Harapan Hidup =74,9 • 100% Fasilitas Kesehatan memenuhi SPM Kesehatan
• Indeks Kesehatan = 82,16 • Angka Harapan Hidup = 75 • 100% Fasilitas
mudah , merata dan terjangkau
Meningkatk an kualitas lingkungan bersih melaui sanitasi dasar dan sanitasi umum Meningkatk an promosi dan pemberday aan masyarakat dalam pembangun an kesehatan meningkatk an kebijakan dan manajemen pembangun an kesehatan
Tahun • 70% Fasilitas Kesehata n memenu hi SPM Kesehata n • Angka kematian bayi 35,66/10 00 Kelahiran Hidup • Jumlah Kematian Ibu melahirka n 14 orang / tahun
Kesehatan memenuhi SPM Kesehatan • Angka kematian bayi 26/1000 Kelahiran Hidup • Jumlah Kematian Ibu melahirkan 10 orang / tahun
Kesehatan • Angka kematian bayi 33/1000 Kelahiran Hidup • Jumlah Kematian Ibu melahirkan 13 orang / tahun
Kesehatan memenuhi SPM Kesehatan • Angka kematian bayi 31/1000 Kelahiran Hidup • Jumlah Kematian Ibu melahirkan 12 orang /tahun
memenuhi SPM Kesehatan • Angka kematian bayi 29/1000 Kelahiran Hidup • Jumlah Kematian Ibu melahirkan 11 orang/tahun
• Angka kematian bayi 26/1000 Kelahiran Hidup • Jumlah Kematian Ibu melahirkan 10 orang/tahun
Kesehatan memenuhi SPM Kesehatan • Angka kematian bayi 26/1000 Kelahiran Hidup • Jumlah Kematian Ibu melahirkan 10 orang /tahun
VISI
Bandung kota BERMARTABA T (Kota yang memiliki harga diri, kehormatan, keadilan dan harkat kemanusiaan)
MISI
ARAH PEMBANGU NAN
Masyarakat yang berakhlak mulia
Meningkatk an pengawasa n komoditas Produkproduk pertanian
Terjadiny a kasus positif flu burung di 3 keluraha n di Kota Bandung
STRATEGI
Kondisi Awal 2005
Meningkatk an pemahama n dan pengamala n agama sesuai dengan agama dan keyakinan masingmasing
Belum optimaln ya pemaha man dan pengama lan agama sesuai dengan agama dan keyakina n masingmasing
Pemaparan Zoonosis kurang dari 5% di wilayah Kota Bandung
Indikator Kinerja (20 tahun) Rendahnya tingkat pelanggara n terhadap normanorma agama
Pemaparan Zoonosis Kurang dari 15 % di wilayah kota Bandung
Pemaparan Zoonosis Kurang dari 12 % di wilayah kota Bandung
Pemaparan Zoonosis Kurang dari 9 % di wilayah kota Bandung
Tahap I 2005 2008
Tahap II 2009-2013
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Terbangunnya pemahaman dan pengamalan agama sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing
Meningkatny a pemahaman dan pengamalan agama sesuai dengan agama dan keyakinan masingmasing
Pemaparan Zoonosis Kurang dari 6 % di wilayah kota Bandung
Pemaparan Zoonosis kurang dari 5% di wilayah Kota Bandung
Tahap III 2014-2018
Tahap IV 20192023
Tahap V 2024-2025
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Terwujudnya pemahaman dan pengamalan agama sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing
Terlaksananya pemahaman dan pengamalan agama dalam perilaku kehidupan masyarakat Kota Bandung
Indikator Capaian Rendahnya tingkat pelanggaran terhadap normanorma agama
Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender
Meningkatk an Kerukunan Umat Beragama meliputi Kerukunan Antar Umat Beragama, Kerukunan Inter Umat Beragama, Kerukunan Antara umat beragama dengan Pemerintah Meningkatk an Kesetaraan dan Keadilan Gender
Belum optimaln ya sikap toleransi dan kerukuna n umat beragam a
Terpelihara nya Sikap toleransi dan kerukunan umat beragama
Terbangunnya Sikap toleransi dan Kerukunan Umat Beragama
Meningkatny a Sikap toleransi dan Kerukunan Umat Beragama
Terwujudnya Sikap toleransi dan Kerukunan Umat Beragama
Terpeliharanya Sikap toleransi dan Kerukunan Umat Beragama
Masih Rendahn ya Kesetara an Gender dalam Proses Pembang unan
Terwujudny a peran Kesetaraan gender dalam proses pembangun an
Terbangunnya pemahaman peran kesetaraan gender dalam proses pembangunan
meningkatny a pemahaman peran kesetaraan gender dalam proses pembanguna n
Terwujudnya pemahaman peran kesetaraan gender dalam proses pembangunan
Terpeliharanya pemahaman peran kesetaraan gender dalam proses pembangunan
Terpeliharan ya Sikap toleransi dan Kerukunan Umat Beragama
Terwujudny a peran Kesetaraan gender dalam proses pembangun an
Masih Rendahn ya Hakhak Perlindun gan Perempu an dan anak
Terlindungi nya hakhak perlindunga n perempuan dan anak
Terbangunnya hak-hak perlindungan perempuan dan anak
Meningkatny a hak-hak perlindungan perempuan dan anak
Terwujudnya hak-hak perlindungan perempuan dan anak
Terpeliharanya hakhak perlindungan perempuan dan anak
Terlindungin ya hak-hak perlindunga n perempuan dan anak
LOGICAL FRAMEWORK RPJPD KOTA BANDUNG 2005-2025
VISI
Bandung kota BERMAR TABAT (Kota yang memiliki harga diri, kehormat
MISI
2
Mengemban gkan perekonomia n kota yang berdaya saing
ARAH PEMB ANGU NAN
STRATEGI
Ekono mi kota yang tangg uh,ber daya saing serta sehat
Meningkatk an Pertumbuh an Riil dan Kontribusi Riil Sektor Perekonom ian kota terutama dari Core
Kon disi Tah un 200 5 LPE 7,53
Indikator Kinerja (20 tahun)
LPE > 11%
Tahap I 2005 -2008
Tahap II 2009-2013
Tahap III 2014-2018
Tahap IV 20192023
Tahap V 2024-2025
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
LPE 8,33% *)
LPE 9,33%
LPE 10,33%
LPE > 11%
LPE > 11%
an, keadilan dan harkat kemanusi aan)
dan berkea dilan
sectors (Jasa Wisata dan Perdagang an berbasis industri kreatif dan IT) dengan mempertah ankan industri pengolahan yang ada
Ting kat Pem erata an Pend apat an versi Bank Duni a 13,3 4% (kate gori seda ng)* * PDR B Riil/k apita Rp 9,41 0,38 6.1 per tahu n Inde ks daya beli 63,9 3
Tingkat Pemerataan Pendapatan versi Bank Dunia diatas 17% (kategori tendah)
Tingkat Pemerataan Pendapatan versi Bank Dunia minimal 14% (kategori sedang)
Tingkat Pemerataan Pendapatan versi Bank Dunia minimal 15% (kategori sedang)
Tingkat Pemerataan Pendapatan versi Bank Dunia minimal 16% (kategori sedang)
Tingkat Pemerataan Pendapatan versi Bank Dunia minimal 17% (kategori rendah)
Tingkat Pemerataan Pendapatan versi Bank Dunia diatas 17% (kategori rendah)
PDRB Riil/kapita minimal Rp 25 juta per tahun
PDRB Riil/kapita minimal Rp 12 juta per tahun
PDRB Riil/kapita minimal Rp 16 juta per tahun
PDRB Riil/kapita minimal Rp 20 juta per tahun
PDRB Riil/kapita minimal Rp 25 juta per tahun
PDRB Riil/kapita minimal Rp 25 juta per tahun
Indeks daya beli 71,77
Indeks daya beli 64,31
Indeks daya beli 68,88
Indeks daya beli 70,66
Indeks daya beli 71,58
Indeks daya beli 71,77
Memperbai ki stabilitas harga dan distribusi barang kebutuhan pokok Perluasan kesempata n lapangan kerja formal di sektorsektor yang menjadi
core competenc y kota
Ting kat Infla si Umu m 19,5 6% Ting kat Peng angg uran Terb uka 16,2 5%
Tingkat inflasi umum satu digit
Tingkat inflasi umum 8,89%
Tingkat inflasi umum satu digit
Tingkat inflasi umum satu digit
Tingkat inflasi umum satu digit
Tingkat inflasi umum satu digit
Tingkat Pengangguran Terbuka dibawah ratarata Nasional dan Provinsi Maksimal 10%
Tingkat Pengangguran Terbuka 16.%
Tingkat Pengangguran Terbuka 15%
Tingkat Pengangguran Terbuka 13,5 %
Tingkat pengangguran terbuka maksimal 12%
Tingkat Penganggura n Terbuka dibawah ratarata Nasional dan Provinsi Maksimal 10%
Kese mpat an Kerja : 84,3 2% dari angk atan kerja adal ah mere ka yang beke rja.* **
Kesempatan Kerja minimal 95%
Kesempatan Kerja minimal 86%
Kesempatan Kerja minimal 89%
Kesempatan Kerja minimal 90%
Kesempatan Kerja minimal 92%
Kesempatan Kerja minimal 95%
VISI
Bandung kota BERMAR TABAT (Kota yang memiliki harga diri, kehormat an, keadilan dan harkat kemanusi aan)
MISI
ARAH PEMB ANGU NAN Pariwi sata yang berday a saing
Memberika n Kemudaha n Pelayanan Perijinan dan Kepastian Hukum bagi investor dan dunia usaha
Nilai Inve stasi Bers kala nasi onal Rp 3.65 8.61 2.95 3.40 5
STRATEGI
Kon disi Tah un 200 5
Mengemba ngkan Kota Bandung sebagai Kota Tujuan Wisata
Juml ah wisn us men gina p 1.92 8.85 0 oran g, wism an= 91.3 50 oran g
Nilai Investasi Berskala nasional meningkat lebih dari 50%
Indikator Kinerja (20 tahun)
Meningkatnya Jumlah Wisatawan minimal 50%
Nilai Investasi Berskala nasional meningkat 10%
Nilai Investasi Berskala nasional meningkat 20%
Nilai Investasi Berskala nasional meningkat 30%
Tahap I 2005 -2008
Tahap II 2009-2013
Tahap III 2014-2018
Tahap IV 20192023
Tahap V 2024-2025
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Meningkatnya Jumlah Wisatawan sebesar 15%
Meningkatnya Jumlah Wisatawan sebesar 25%
Meningkatnya Jumlah Wisatawan sebesar 35%
Nilai Investasi Berskala nasional meningkat 40%
Meningkatnya Jumlah Wisatawan sebesar 45%
Nilai Investasi Berskala nasional meningkat 50%
Meningkatnya Jumlah Wisatawan minimal 50%
Kerjas ama dan koordi nasi yang meng untun gkan denga n wilaya h pemer intah Daera h lainny a
Membentuk sinergitas kegiatan ekonomi antar wilayah
Kerja sam a anta r daer ah belu m terea lisir seca ra opti mal
Terwujudnya Kota Bandung sebagai pusat kegiatan pemasaran ekonomi di Priangan Timur
Peningkatan koordinasi dalam rangka peningkatan kerjasama antar daerah
Teridentifikasinya peluang kerjasama ekonomi antar wilayah
*) Asumsi kenaikan normal sebesar 0,20 % (hasil studi 2006) **) 40% dari kelompok penduduk berpendapatan terendah menguasai 13,34% dari total PDRB daerah ***) Total angkatan kerja masih menggunakan kriteria penduduk berusia 10 tahun ke atas
Tumbuhnya kegiatan ekonomi antar daerah
Meningkatnya kegiatan ekonomi antar daerah di Priangan Timur
Terwujudnya Kota Bandung sebagai pusat kegiatan pemasaran ekonomi di Priangan Timur
LOGICAL FRAMEWORK DRAFT KOTA BANDUNG 2005-2025
VISI
Bandung kota BERMARTAB AT (Kota yang memiliki harga diri, kehormatan, keadilan dan harkat kemanusiaan )
MISI
3
Mengem bangkan kehidupa n sosial budaya kota yang kreatif, berkesad aran tinggi serta berhati nurani
ARAH PEMBANGUN AN Meningkatnya mutu kerjasama di antara semua pemangku kepentingan dalam pembangunan kota Bandung
STRATEGI
Kondisi Awal 2005
Membuka akses seluas-luasnya bagi semua warga kota terhadap informasi tentang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota, melalui berbagai sarana komunikasi massa yang tersedia
Terbatasnya aksesibilitas warga terhadap informasi pembangunan
Mengatur mekanisme partisipasi warga dalam pembangunan kota
Belum tersedianya mekanisme peningkatan peran serta aktif masyarakat dalam proses pembangunan mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, pengendalian
Indikator Kinerja (20 tahun)
Terlibatnya masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan proses Pembangunan
Tahap I 2005 -2008
Tahap II 2009-2013
Tahap III 2014-2018
Tahap IV 2019-2023
Tahap V 2024 -2025
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Ditetapkannya Perda Tentang Tahapan, Tata cara penyusunan, pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan serta Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Memperluas Akses informasi tentang pembangun an melalui berbagai media
Meningkatnya pemahaman masyarakat tentang tahapan proses pembangunan
Meningkatny a Peran serta aktif masyarakat dalam setiap tahapan proses pembanguna n
Terlibatnya masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan proses Pembangunan
dan evaluasi.
Mendorong terbentuknya fasilitator/mediator perkumpulan warga untuk berperan aktif memelihara kehidupan kota yang nyaman, bersahabat, kreatif Meningkatkan kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik
Belum tersedianya modal sosial yang memfasilitasi antar perkumpulan warga dengan pemerintah kota rendahnya Tingkat kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik
Terwujudnya kesejahteraan masyarakat
Terbangunnya rasa kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik
Terlaksanan ya rasa kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik
Meningkatnya Rasa kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik
Terwujudnya rasa kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap lingkungan sosial maupun fisik
Terwujudnya kesejahteraan masyarakat
Mengembangk an multikulturalis me dalam lingkungan Sunda yang inklusif
Mengembangkan pusat - pusat kebudayaan
Terbatasnya pusat - pusat kebudayaan
Terwujudnya Pusat-pusat kebudayaan sebagai sarana pelestarian pembangunan Budaya Sunda
Terwujudnya kebijakan pelestarian, pembangunan Budaya Sunda
Meningkatnya sinergitas pelestarian budaya lokal sunda antara pemerintah, pelaku budaya dan masyarakat
Kurangnya sinergitas pelestarian budaya lokal sunda antara pemerintah, pelaku budaya dan masyarakat
Terwujudnya sinergitas pelestarian budaya lokal sunda antara pemerintah, pelaku budaya dan masyarakat
Terbangunnya hubungan pemerintah dengan pelaku budaya dalam perlindungan dan pelestarian budaya.
Meningkatny a kesadaran masyarakat dan komunitas seni budaya dalam rangka pelestarian seni budaya secara profesional dan berkesinamb ungan Meningkatny a hubungan pemerintah dengan pelaku budaya dalam perlindunga n dan pelestarian budaya.
Terwadahinya heterogenitas budaya dalam lingkungan Budaya Sunda
Meningkatny a peran pemerintah, pelaku budaya dan masyarakat dalam pembanguna n dan pelestarian multikultur dalam Budaya Sunda
Terwujudnya Pusat-pusat kebudayaan sebagai sarana pelestarian pembangunan Budaya Sunda
Optimalnya hubungan pemerintah dengan pelaku budaya dan masyarakat dalam perlindungan dan pelestarian budaya
Terpeliharan ya hubungan pemerintah, pelaku budaya dan masyarakat dalam perlindungan dan pelestarian peninggalan budaya
Terwujudnya sinergitas pelestarian budaya lokal sunda antara pemerintah, pelaku budaya dan masyarakat
LOGICAL FRAMEWORK RPJPD KOTA BANDUNG 2005-2025
VISI
Bandung kota BERMARTABAT (Kota yang memiliki harga diri, kehormatan, keadilan dan harkat kemanusiaan)
MISI
4
Meningka tkan kualitas lingkunga n hidup kota
ARAH PEMBANG UNAN
Kualitas udara dan air memenuhi baku mutu
STRATEGI
Mengendalika n pencemaran udara
Mengendalika n Pencemaran air
Kondisi s/d Tahun 2005
Kandungan HC di semua lokasi sampling (15 lokasi) telah melebihi BM.
Kandungan SO2 dan NOx di beberapa lokasi sampling telah melebihi BM Kandungan BOD dan COD di seluruh sungai di Kota Bandung melebihi BM
Indikator Kinerja (20 tahun)
75% lokasi sampel telah memenuhi BM kualitas Udara
20 % sungai yang ada di Kota Bandung untuk paremeter BOD dan COD telah memenuhi baku mutu
Tahap I 2005 2008
Tahap II 2009-2013
Tahap III 20142018
Tahap IV 2019-2023
Tahap V 2024-2025
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikato r Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
50% lokasi/sa mple telah memenu hi BM
75% lokasi/sampl e telah memenuhi BM
75% lokasi sampel telah memenuhi BM kualitas Udara
20 % sungai dan anak sungai yang ada di Kota Bandung untuk parameter BOD dan COD telah memenuhi baku mutu
20 % sungai dan anak sungai yang ada di Kota Bandung untuk parameter BOD dan COD telah memenuhi baku mutu
Minimal 10% lokasi/samp le telah memenuhi BM
Minimal 5 % sungai dan anak sungai yang ada di Kota Bandung untuk parameter BOD dan COD telah memenuhi baku mutu
25% lokasi/sample telah memenuhi BM
11 % sungai dan anak sungai yang ada di Kota Bandung untuk parameter BOD dan COD telah memenuhi baku mutu
17 % sungai dan anak sungai yang ada di Kota Bandung untuk paramete r BOD dan COD telah memenu hi baku
mutu
Terjamin dan tersedianya Kuantitas dan kualitas air (air permukaan, air tanah dangkal dan air tanah dalam)
Mengembang kan Sumber air Baku untuk penyediaan air bersih
kapasitas produksi air bersih tahun 2005 adalah ± 3750 liter/detik
Tersedianya sumber air baku yang cukup (± 6.500 liter/detik)
Masterplan penyediaan air baku bagi sistem Penyediaan air Minum ( SPAM ) sampai dengan tahun 2025
Pengembangan sumber air baku dengan kapasitas produksi sebesar ± 5.100 liter/detik
Meningkatkan dan Mengendalika n kawasan berfungsi lindung (berfungsi hidroologi)
Ruang terbuka hijau publik sekitar 5,72 % (1.084,41 Ha )
Ruang terbuka hijau publik minimal 30% terdiri dari 20% RTH Publik, 10% RTH Privat
Ruang terbuka Hijau Publik yang efektif menunjang fungsi hidroorologi sebanyak 9% (dalam bentuk taman, hutan kota, sempadan sungai, kawasan konservasi dan RTH lainnya)
Ruang terbuka Hijau Publik yang efektif menunjang fungsi hidroorologi sebanyak 16% ( dalam bentuk taman, hutan kota, sempadan sungai, kawasan konservasi dan RTH lainnya)
Pengemb angan sumber air baku dengan kapasitas produksi sebesar ± 5.750 liter/detik Ruang terbuka Hijau Publik yang efektif menunja ng fungsi hidroorol ogi sebanyak 23% (dalam bentuk taman, hutan kota,
Pengemban gan sumber air baku dengan kapasitas produksi sebesar ± 6.120 liter/detik
Tersedianya sumber air baku yang cukup (± 6.500 liter/detik)
Ruang terbuka Hijau Publik yang efektif menunjang fungsi hidroorologi sebanyak 29% (dalam bentuk taman, hutan kota, sempadan sungai, kawasan konservasi dan RTH
Ruang terbuka Hijau Publik yang efektif menunjang fungsi hidroorologi sebanyak 30% (dalam bentuk taman, hutan kota, sempadan sungai, kawasan konservasi dan RTH
Pengelolaan limbah yang efektif dan bernilai ekonomi
Mereduksi dan meningkatkan pemanfaatan kembali limbah padat (sampah)
Jumlah timbulan sampah saat ini 6860 m3/hari, 80-% dapat dikelola (5 % 3R, 75% diangkut ke TPA)
90% sampah dapat dikelola (40 % reuse, reduce dan recycle, 50% ke pemrosesan akhir melalui pemanfaatan teknologi dan ekonomis 30 % , dan landfill 20 %).
90 % sampah dapat dikelola (10% reuse, reduce dan recycle, 80% ke tempat pemrosesa n akhir melalui pemanfaata n teknologi yang berwawasa n lingkungan dan ekonomis, dan landfill)
90% sampah dapat dikelola (20 % reuse, reduce dan recycle, 70% ke pemrosesan akhir melalui pemanfaatan teknologi yang berwawasan lingkungan dan ekonomis 40 % , dan landfill 30 %)
sempada n sungai, kawasan konserva si dan RTH lainnya)
lainnya)
lainnya)
90% sampah dapat dikelola (30 % reuse, reduce dan recycle, 60% ke pemroses an akhir melalui pemanfa atan teknologi yang berwawa san lingkunga
90% sampah dapat dikelola (35% reuse, reduce dan recycle, 55% ke pemrosesan akhir melalui pemanfaata n teknologi yang berwawasan lingkungan dan ekonomis 35 % , dan Landfill 20
90% sampah dapat dikelola (40 % reuse, reduce dan recycle, 50% ke pemrosesan akhir melalui pemanfaata n teknologi dan ekonomis 30 % , dan landfill 20 %).
n dan ekonomis 35 % , dan landfill 25 %).
VISI
Bandung kota BERMARTABAT (Kota yang memiliki harga diri, kehormatan, keadilan dan harkat kemanusiaan)
MISI
ARAH PEMBANG UNAN
Ruang Kota Yang Aman, nyaman, produktif dan berkelanjuta n
STRATEGI
Membentuk struktur ruang kota
Kondisi s/d Tahun 2005
Terdapat 1 pusat primer (Alun-alun) dan 5 Pusat Wilayah pengembangan (WP)
Indikator Kinerja (20 tahun)
Terbentukny a 2 pusat primer (Alun-alun) dan 6 Wilayah pengembang an
%).
Tahap I 2005 2008
Tahap II 2009-2013
Tahap III 20142018
Tahap IV 2019-2023
Tahap V 2024-2025
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikato r Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Tersusunny a rencana dan perencanaa n Pengemba ngan Pusat Primer Gedebage
Minimum 30% Kawasan Pusat Primer Gedebage terbangun dan semua Pusat WP berfungsi efektif
Minimum 80% Kawasan Pusat Primer Gedebage terbangun dan semua Pusat WP berfungsi efektif
Minimum 100% Kawasan Pusat Primer Gedebage terbangun dan semua Pusat WP berfungsi efektif
Minimum 60% Kawasan Pusat Primer Gedebag e terbangu n dan semua Pusat WP berfungsi efektif
Sistem transportasi yang selamat, efisien, nyaman, terjangkau dan ramah lingkungan
Mengendalika n pemanfaatan ruang
45% bangunan tidak memiliki izin mendirikan bangunan
Tertibnya pemanfataan Ruang dan Penggunaan Bangunan
Adanya prosedur perizinan terpadu;
Tertibnya pelayanan perizinan
Mengembang kan (sistem) prasarana transportasi yang mendukung struktur ruang kota
Proporsi luas jalan 2,32% dari wilayah, 72,10% di antaranya memiliki kondisi baik
Jaringan jalan minimum 5 % dari luas kota (Kepmenkim praswil No. 534/KPTS/M /2001 adalah sebesar 5%) Indeks aksesibilitas minimum 10 km/km2 area
luas jalan min 2,5 % dari wilayah kota dan 100% berkondisi baik
Luas jalan min 3 % dari wilayah kota dan 100% berkondisi baik
Indeks aksesibilitas minimum 3 km/km2 area
Indeks aksesibilitas minimum 5 km/km2 area
Terwujudnya prasarana SAUM sesuai dengan rencana induk transportasi kota
Tersedia Rencana Induk Sistem Transportas i Umum Kota
25% dari rencana prasarana SAUM terbangun, sesuai dengan rencana induk transportasi
Indeks mobilitas sebesar 0.435 km/1000 pddk dan indeks aksesibilitas sebesar 5.575 km/km2 area Mengembang kan SAUM dan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi
Pelayanan angkutan umum massal belum Optimal
Meningk atnya pelayana n perizinan sesuai dengan peraturan yang berlaku Luas jalan min 4 % dari wilayah kota dan 100% berkondis i baik
Terkendaliny a pemanfataa n Ruang dan Penggunaan Bangunan
Tertibnya pemanfataa n Ruang dan Penggunaan Bangunan
Luas jalan min 5 % dari wilayah kota dan 100% berkondisi baik
Luas jalan min 5 % dari wilayah kota dan 100% berkondisi baik
Indeks aksesibilit as minimum 7 km/km2 area 50% dari rencana prasaran a SAUM terbangu n, sesuai dengan rencana
Indeks aksesibilitas minimum 10 km/km2 area
Indeks aksesibilitas minimum 10 km/km2 area
75% dari rencana prasarana SAUM terbangun, sesuai dengan rencana
Terwujudny a prasarana SAUM sesuai dengan rencana induk transportasi kota
Sarana dan prasarana lingkungan yang memenuhi standar teknis/Stand ar pelayanan minimal
umum kota
induk transport asi kota
induk transportasi kota
Teratasin ya Aspekaspek penyebab kemaceta n sebanyak 10 Aspek* 85% pendudu k dilayani Air bersih dengan standar 120 liter/oran g /hari dengan pengalira n kontinu 24 jam
Teratasinya Aspek-aspek penyebab kemacetan sebanyak 10 Aspek*
Teratasinya Aspek-aspek penyebab kemacetan sebanyak 32 Aspek*
90% penduduk dilayani Air bersih dengan standar 120 liter/orang /hari dengan pengaliran air 24 jam
90% penduduk dilayani Air bersih dengan standar 120 liter/orang /hari dengan pengaliran kontinu 24 jam
Mengendalika n Aspekaspek penyebab kemacetan
Penyebab Kemacetan mencapai 32 Aspek
Teratasinya Aspek-aspek penyebab kemacetan sebanyak 32 Aspek
Teratasinya Aspekaspek penyebab kemacetan sebanyak 1 Aspek*
Teratasinya Aspek-aspek penyebab kemacetan sebanyak 5 Aspek*
Meningkatkan cakupan pelayanan air bersih
Jaringan air bersih baru melayani 53% penduduk dengan pengaliran kontinu 24 jam
90% penduduk dilayani Air bersih dengan standar 120 liter/orang /hari dengan pengaliran kontinu 24 jam
65% penduduk dilayani Air bersih dengan rata-rata pengaliran air 70 liter/orang /hari dengan pengaliran kontinu 24 jam
75% penduduk dilayani Air bersih dengan rata-rata pengaliran air 120 liter/orang /hari dengan pengaliran kontinu 24 jam
VISI
MISI
ARAH PEMBANG UNAN
Menyediakan Tempat Pemrosesan Akhir sampah yang berkelanjutan
Belum tersedianya TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) yang berkelanjutan dengan sistem pengolahan yang ekonomis
Menyediakan Sistem Drainase Kota yang tertata
Sistem drainase telah berubah, karena perubahan guna lahan, penyempitan saluran, perubahan alur, dan banyaknya bangunan di atas sungai.
STRATEGI
Kondisi s/d Tahun 2005
Tersedianya TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) sampah yg berkelanjuta n dengan sistem pengolahan bernilai ekonomi Tertatanya sistem drainase kota yang baik dari hulu sampai hilir.
Perencanaa n Tempat Pemrosesa n Akhir sampah
Tempat Pemrosesan Akhir Sampah sudah berfungsi 75%.
Tempat Pemroses an Akhir Sampah sudah berfungsi 100%.
Tempat Pemrosesan Akhir Sampah sudah berfungsi 100%.
Tempat Pemrosesan Akhir Sampah sudah berfungsi 100%.
Tersedia Rencana Induk Sistem Drainase Kota; 25% sistem drainase kota terpadu
Jaringan drainase primer kota terbentuk; integrasi per wilayah pelayanan drainase kota; 50% sistem drainase kota terpadu
Seluruh jaringan drainase kota terpadu
Seluruh jaringan drainase kota terpadu
Indikator Kinerja (20 tahun)
Tahap I 2005 2008
Tahap II 2009-2013
Jaringan drainase primer dan sekunder kota terpadu; integrasi per wilayah pelayana n drainase kota; 75% sistem drainase kota terpadu Tahap III 20142018
Tahap IV 2019-2023
Tahap V 2024-2025
Bandung kota BERMARTABAT (Kota yang memiliki harga diri, kehormatan, keadilan dan harkat kemanusiaan)
Mitigasi Bencana yang handal
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Menyediakan Sistem Penanganan Air Limbah dan IPAL Kota
Belum terintegrasinya sistem air limbah kota dengan IPAL yang memadai
Sistem penanganan air limbah yang terpadu dengan IPAL yang terdesentrali sasi
Adanya basis data kondisi jaringan air limbah kota yang akurat Adanya Rencana Induk Jaringan Air Limbah Terpadu
50% kawasan kota terlayani oleh sistem penanganan air limbah yang terpadu dengan IPAL
Menumbuhka n dan meningkatkan pengelolaan bencana (gempa,longs or,banjir,gunu ng meletus,angin topan, kebakaran dll)
Fungsi organisasi yang menangani kebencanaan belum berjalan secara optimal
Terkendaliny a Bencana di Kota Bandung
Berfungsiny a organisasi yang menangani kebencanaa n
Meningkatnya fungsi organisasi yang menangani kebencanaan
Indikato r Capaian 75% kawasan kota terlayani oleh sistem penanga nan air limbah yang terpadu dengan IPAL Meningka tnya penanga nan bencana
Indikator Capaian
Indikator Capaian
100% kawasan kota terlayani oleh sistem penanganan air limbah yang terpadu dengan IPAL
100% kawasan kota terlayani oleh sistem penanganan air limbah yang terpadu dengan IPAL
Tertanggula nginya bencana secara dini dan komperhensi f
Terkendaliny a Bencana di Kota Bandung
LOGICAL FRAMEWORK RPJPD KOTA BANDUNG 2005-2025
VISI
Bandung kota BERMARTABAT (Kota yang memiliki harga diri, kehormatan, keadilan dan harkat kemanusiaan)
MISI
5
Meningkatkan tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien, akuntabel, transparan
ARAH PEMBANG UNAN
STRATEG I
Kondisi Awal 2005
Peningkatan kualitas produk perencanaan pembangun an yang aspiratif, antisipatif, aplikatif, akuntabel dan berdasarkan database
Meningkat kan kualitas aparatur perencana dan pengelola data
Masyarakat dan aparat yang sadar hukum dan HAM
Peningkat an kualitas produk hukum yang produktif dan Implemen tatif
A.Perencanaan yang ada belum sepenuhnya aspiratif, antisipatif, aplikatif, akuntabel dan berbasis data yang akurat. B.Belum tersedia database secara optimal yang dapat mengakses dan diakses oleh instansi terkait. Peraturan yang ada belum sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Indikator Kinerja (20 tahun)
Tahap I 2005 2008
Tahap II 2009 - 2013
Tahap III 2014 - 2018
Tahap IV 2019 2023
Tahap V 2024 2025
Indikato r Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Terwujudnya Perencanaan sesuai dengan aspirasi masyarakat, bersifat: antisipatif, aplikatif, akuntabel berdasarkan basis data yang akurat.
Tersosiali sasinya kebijakan tentang perencan aan dan pengelola an data terhadap semua aparat terkait secara sistemati s.
Terbangunnya pola perencanaan dan pengelolaan data.
Meningkatnya perencanaan dan pengelolaan data.
Terwujudn ya Perencana an sesuai dengan aspirasi masyaraka t, bersifat: antisipatif, aplikatif, akuntabel berdasarka n basis data yang akurat.
Terwujudny a Perencanaa n sesuai dengan aspirasi masyarakat , bersifat: antisipatif, aplikatif, akuntabel berdasarka n basis data yang akurat.
Produk hukum daerah sesuai dengan kondisi dan potensi daerah
Meningka tnya penataan produk hukum yang sinergi dengan perkemb angan kebutuha
Meningkatnya pemahaman masyarakat dan aparat dalam penetapan produk hukum yang sinergi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat
Meningkatnya kesadaran dan ketaatan masyarakat dan aparat dalam penerapan produk hukum yang sinergi dengan perkembangan kebutuhan
Semakin mantapnya kualitas produk hukum yang sinergi dengan perkemba ngan kebutuhan
Semakin mantapnya kualitas pelaksanaa n Produk hukum dalam penyelengg araan pemerintah an daerah
n masyarak at serta sesuai dengan peraturan perundan gan yang berlaku. Peningkat an kualitas penegaka n hukum dan HAM secara objektif dan merata Peningkat an kesadaran dan ketaatan masyarak at dan aparatur terhadap hukum dan HAM
Tingkat kesadaran hukum dan HAM aparat dan masyarakat rendah.
Masih ada aparat yang melanggar hukum dan HAM serta KKN.
Rendahnya pelanggaran masyarakat dan aparatur terhadap hukum dan HAM sehingga dapat mendukung ketertiban dan keamanan. Serta rendahnya praktek KKN di lingkungan birokrasi.
Terbangu nnya Penegaka n hukum dan HAM.
serta sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Terwujudnya Penegakan hukum dan HAM sehingga dapat mendukung ketertiban dan keamanan, serta semakin berkurangnya praktek KKN di lingkungan birokrasi.
masyarakat serta sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Semakin berkurangnya pelanggaran masyarakat dan aparatur terhadap hukum dan HAM sehingga dapat mendukung ketertiban dan keamanan, serta semakin berkurangnya praktek KKN dilingkungan birokrasi.
masyaraka t serta sesuai dengan peraturan perundang an yang berlaku.
Rendahnya pelanggara n masyaraka t dan aparatur terhadap hukum dan HAM sehingga dapat mendukun g ketertiban dan keamanan. Serta rendahnya praktek KKN di lingkungan birokrasi.
dan pelaksanaa n pembangun an sesuai dengan kondisi dan potensi daerah.
Rendahnya pelanggara n masyarakat dan aparatur terhadap hukum dan HAM sehingga dapat mendukung ketertiban dan keamanan. Serta rendahnya praktek KKN di lingkungan birokrasi.
Prasarana dan sarana aparatur pemerintah kota yang berkualitas
VISI
Bandung kota BERMARTABAT (Kota yang memiliki harga diri, kehormatan, keadilan dan harkat kemanusiaan)
MISI
ARAH PEMBANG UNAN
Aparatur yang profesional
Menginter varisir secara sistematis terhadap sarana dan prasarana yang ada
Belum optimalnya kuantitas, Kualitas dan kapasitas prasarana dan sarana kerja aparatur pemerintah kota.
STRATEG I
Kondisi Awal 2005
Mengikuti pola rekrutmen sesuai dengan ketentuan yang berlaku Menyesuai kan pola pembinaa n, pendidika n dan pelatihan pegawai
Aparatur belum profesional. Penempatan pegawai banyak yang tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Kecerdasan intelektual dan emosional pegawai belum seimbang dengan kecerdasan spiritualnya.
Terwujudnya pelayanan publik yang prima.
Indikator Kinerja (20 tahun)
Terwujudnya Aparatur yang kompeten dan profesional dalam pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peraturan perundangan yang berlaku dilandasi oleh kecerdasan emosional dan
Meningka tnya prasaran a dan sarana aparatur yang memadai .
Tersedianya sarana dan prasarana aparatur yang memadai.
Tersedianya prasarana dan sarana aparatur dengan kuantitas yang memadai dengan kualitas yang baik.
Terwujudn ya pelayanan publik yang prima.
Terwujudny a pelayanan publik yang prima.
Tahap I 2005 2008
Tahap II 2009-2013
Tahap III 2014-2018
Tahap IV 20192023
Tahap V 20242025
Indikato r Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Meningkatnya jumlah SDM Aparatur yang kompeten dan profesional dalam pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peraturan perundangan yang berlaku dilandasi oleh kecerdasan emosional dan
Meningkat nya jumlah SDM Aparatur yang kompeten dan profesional dalam pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyaraka
Terwujudny a SDM Aparatur yang kompeten dan profesional dalam pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peraturan
1. Peningka tan kesejahte raan aparatur; 2. Adanya sanksi secara tegas, jelas dan tepat terhadap aparatur yang
Tersedianya SDM Aparatur yang bertanggung jawab, tepat fungsi, tepat posisi sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Menyesuai kan pola insentif dan penggajia n pegawai
Pola insentif dan penggajian belum didasarkan pada kinerja dan beban kerja.
spiritual.
menyimp ang.
spiritual.
Organisasi pemerintah daerah yang dapat meningkatka n kinerja aparatur
Optimalisa si kelembag aan pemerinta h yang berprinsip Kecil, Efektif dan Efisien ( KEE )
Organisasi dan Pengorganisasian belum mencerminkan tuntutan reformasi birokasi.
Terwujudnya Good Government dan Clean Governance.
Tersusun nya Struktur Organisa si dan tata kerja baru.
Terlaksananya reformasi birokrasi.
Terpenuhinya 6 bidang Reformasi ( SDM, Kelembagaan, Regulasi, Investasi, Keuangan daerah dan E Governance.
Kemampuan teknis dan administratif aparatur pengawasan yang profesional
Menjadika n pengawas an sebagai prinsip dasar dan kebutuhan dasar dalam mencapai
Pola pengawasan yang ada belum optimal.
Rendahnya tingkat pelanggaran teknis dan administratif aparatur.
Tersusun nya penyemp urnaan kebijakan tentang pengawa san.
Tersosialisasinya kebijakan tentang pengawasan.
Meningkatnya pengelolaan pengawasan.
t dan peraturan perundang an yang berlaku dilandasi oleh kecerdasa n emosional dan spiritual. Organisasi pemerinta h kota sesuai dengan Urusan dan kewenang an berdasarka n peraturan perundang undangan. Rendahnya tingkat pelanggara n teknis dan administra tif aparatur.
perundanga n yang berlaku dilandasi oleh kecerdasan emosional dan spiritual.
Terwujudny a Good Governmen t dan Clean Governance .
Rendahnya tingkat pelanggara n teknis dan administrati f aparatur.
Pelayanan publik yang prima
tujuan program pembangu nan Merubah motivasi dan pola pikir aparatur dalam memaham i konsep pelayanan publik
Baru 1 SKPD yang bersertifikat Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001 : 2000.
Seluruh SKPD bersertifikat Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001 : 2001, dengan Indeks Kepuasan Masyarakat = A.
Kehidupan masyarakat yang demokratis
Melakukan pendidika n politik bagi semua lapisan masyarak at
Perilaku masyarakat dalam berpolitik masih banyak melanggar nilainilai demokrasi dan etika politik.
Terwujudnya masyarakat yang demokratis.
Peningkatan ketentraman dan ketertiban serta terciptanya kesadaran masyarakat
Menjadika n ketertiban dan keamanan kebutuhan bersama yang
Peran masyarakat dalam menjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan lingkungan belum memadai.
Terwujudnya stabilitas keamanan daerah.
Meningka tnya jumlah SKPD yang bersertifi kat Sistem Manajem en Mutu (SMM) ISO 9001:200 0, menjadi 13. Tersosiali sasinya pendidika n politik terhadap seluruh masyarak at secara sistemati s. Tersosiali sasinya kebijakan ketertiba n dan keamana n kepada seluruh
Meningkatnya jumlah SKPD yang bersertifikat Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001:2000.
Meningkatnya jumlah SKPD yang bersertifikat Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001:2000.
meningkat nya jumlah SKPD bersertifika t Sistem Manajeme n Mutu (SMM) ISO 9001 : 2001, dengan Indeks Kepuasan Masyaraka t = A.
Seluruh SKPD bersertifikat Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001 : 2001, dengan Indeks Kepuasan Masyarakat = A.
Meningkatnya pemahaman tentang pendidikan politik dan perilaku.
Semakin Meningkatnya pemahaman tentang pendidikan politik dan perilaku.
Terwujudn ya masyaraka t yang demokratis .
Terwujudny a masyarakat yang demokratis.
Terbangunnya ketertiban dan keamanan.
Meningkatnya ketertiban dan keamanan.
Terwujudn ya stabilitas keamanan daerah.
Terwujudny a stabilitas keamanan daerah.
dalam menjaga lingkungan dan stabilitas keamanan daerah
harus ditangani bersama antara pemerinta h dan masyarak at
Satpol PP dan PPNS belum bekerja efektif.
aparat dan masyarak at.
LOGICAL FRAMEWORK RPJPD KOTA BANDUNG 2005-2025
VISI
Bandung kota BERMARTABAT (Kota yang memiliki harga diri, kehormatan, keadilan dan harkat kemanusiaan)
MISI
6
Mengemban gkan sistem pembiayaan kota terpadu
ARAH PEMBANGU NAN
Anggaran pemerintah yang optimal
STRATEGI
Kondisi Awal 2005
Indikator Kinerja (20 tahun)
Tahap I 2005 -2008
Tahap II 2009-2013
Tahap III 2014-2018
Tahap IV 2019-2023
Tahap V 2024-2025
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Meningkatka n Pendapatan Daerah berbasis data
Rata-rata Pendapatan Daerah 10,71%
Meningkatny a Rata-rata Pendapatan Daerah 20 % dengan basis data yang akurat.
Rata-rata peningkatan Pendapatan 10,71%
Rata-rata peningkatan Pendapatan 13%
Rata-rata peningkatan Pendapatan 17%
Rata-rata peningkatan Pendapatan 19%
Rata-rata peningkatan Pendapatan 20%
Menguatkan sinergitas APBN, APBD Propinsi & APBD Kota (Fiskal antar pemerintaha n)
Alokasi APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kota Bandung masih tidak saling terkait
Pemanfaata n dan alokasi APBN, APBD Provinsi, dengan APBD Kota Bandung terintegrasi dengan baik, saling melengkapi
APBN, APBD Prov & APBD Kota tidak duplikatif
APBN, APBD Prov & APBD Kota saling melengkapi
APBN, APBD Prov & APBD Kota terintegrasi sepenuhnya
APBN, APBD Prov & APBD Kota terintegrasi dan sinergis sepenuhnya
APBN, APBD Prov & APBD Kota terintegrasi dan sinergis sepenuhnya
Masyarakat dan sektor swasta berperan serta aktif dalam pembiayaan pembanguna n kota
VISI
MISI
ARAH PEMBANGU NAN
Mengemban gkan instrumen pembiayaan pembangun an nonkonvensiona l
Belum siap menggunaka n instrumen pembiayaan seperti obligasi daerah, road funds, dll
Mengemban gkan sistem insentif yang menarik dan fasilitasi untuk sektor swasta dalam pembiayaan penyediaan barang dan jasa publik
Insentif masih sangat terbatas hanya hak memasang iklan dan kemudahan administrasi
STRATEGI
Kondisi Awal 2005
Penggunaa n instrumen pembiayaan pembangun an nonkonvensiona l, terutama obligasi daerah menjadi sumber pembiayaan yang signifikan Sistem insentif fiskal/keuan gan (pengurang an pajak dan retribusi daerah, dll) sudah melembaga
Indikator Kinerja (20 tahun)
Alternatif instrumen pembiayaan nonkonvensional diperkenalka n
Obligasi Daerah dan Road Fund
Penggunaan instrumen pembiayaan pembangun an non konvensiona l mulai signifikan
Penggunaan instrumen pembiayaan pembangun an nonkonvensiona l sebagai sumber pembiayaan signifikan
Penggunaan instrumen pembiayaan pembanguna n nonkonvensional sebagai sumber pembiayaan signifikan
Pajak & retribusi daerah sebagai insentif fiskal ke swasta
Terumuskanny a kerjasama instrumen insentif fiskal antar tingkat pemerintahan
Berbagai insentif fiskal tersedia untuk fasilitasi sektor swasta
Insentif fiskal ke swasta melembaga
Insentif fiskal ke swasta melembaga
Tahap I 2005 -2008
Tahap II 2009-2013
Tahap III 2014-2018
Tahap IV 2019-2023
Tahap V 2024-2025
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Indikator Capaian
Bandung kota BERMARTABAT (Kota yang memiliki harga diri, kehormatan, keadilan dan harkat kemanusiaan)
Mengemban gkan sistem pembiayaan dengan kemitraan pemerintah dan swasta
Kemitraan pemerintah dan swasta dalam pembiayaan pembangun an belum melembaga
Mengemban gkan instrumen pembiayaan non konvensiona l berbasis masyarakat
Kontribusi pembiayaan non konvensiona l berbasis masyarakat belum optimal
Meningkatny a kontribusi perusahaan patungan untuk layanan jasa & penyediaan barang publik terhadap PAD Penggunaan instrumen pembiayaan pembangun an nonkonvensiona l berbasis masyarakat sebagai sumber pembiayaan signifikan
Studi-studi kelayakan & legal kemitraan pemerintah & swasta untuk beberapa layanan jasa umum dan barang publik
Terbentuknya perusahaan patungan untuk beberapa layanan jasa umum dan barang publik
Berfungsiny a perusahaan patungan untuk beberapa layanan jasa umum & barang publik
Identifikasi Alternatif instrumen pembiayaan non konvensional berbasis masyarakat diperkenalka n
Terbangunnya instrumen pembiayaan pembangunan nonkonvensional berbasis masyarakat
Berfungsiny a instrumen pembiayaan pembangun an non konvensiona l berbasis masyarakat
Berkontribus inya perusahaan patungan untuk layanan jasa & penyediaan barang publik terhadap PAD Meningkatny a Penggunaan instrumen pembiayaan pembangun an nonkonvensiona l berbasis masyarakat
Meningkatny a kontribusi perusahaan patungan untuk layanan jasa & penyediaan barang publik terhadap PAD Terwujudnya Penggunaan instrumen pembiayaan pembanguna n nonkonvensional berbasis masyarakat
Menyediaka n insentif dan fasilitasi untuk keterlibatan masyarakat dalam pembiayaan pembangun an serta pemanfaata n dan pemeliharaa n barang dan jasa publik
Masih sangat terbatas hanya fasilitasi dengan penyertaan bahan/alat yang tersedia di pemerintah
Terwujudny a Insentif fiskal ke masyarakat
Terbangunny a alternatif instrumen fiskal dari pajak & Retribusi Daerah untuk masyarakat
Beberapa insentif fiskal untuk masyarakat dalam pembangunan , pelaksanaan dan pemeliharaan barang & jasa diterapkan
Berbagai insentif fiskal tersedia untuk fasilitasi masyarakat dalam pembangun an, pelaksanaan dan pemeliharaa n, barang & jasa publik tersedia
Terwujudny a Insentif fiskal ke masyarakat
Terwujudnya Insentif fiskal ke masyarakat