101
4. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan April sampai September 2011, Provinsi Lampung dipilih sebagai unit analisis wilayah. Lebih lanjut untuk mengetahui peranan hulu maupun hilir dalam membangkitkan tingkat kesejahteraan di wilayah Provinsi ini, maka Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus diperlakukan sebagai subwilayah hulu (HU), sedangkan kedua kota beserta kedelapan kabupaten selainnya diperlakukan sebagai subwilayah hilir (Gambar 1). Pengumpulan data sekunder dilakukan pada berbagai instansi, meliputi tingkat Nasional (yaitu BPS Nasional, Pusat Penelitian Tanah & Agroklimat, dan Badan Planologi Kehutanan) maupun di tingkat Provinsi Lampung (yaitu BPS Provinsi,
BMKG Provinsi Lampung, Badan Pertanahan, Dinas Kehutanan,
BPDAS Seputih-Sekampung, Dinas Koperindag dan Bank Indonesia Cabang Lampung). Analisis data dilakukan di Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
4.2 Pelaksanaan Penelitian 4.2.1 Penentuan Toleransi Ambang Deforestasi Lanjutan Pendekatan yang digunakan adalah pemodelan. Untuk mengalisis hubungan antara tingkat kesejahteraan ataupun kerusakan lingkungan terhadap karakteristik sumberdaya wilayah digunakan model linear berganda. Variabel terikat yang digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia [HDI] untuk 10 kabupaten/kota di lingkup Provinsi Lampung tahun mendatang [HDIt+1]. Kecuali itu juga digunakan intensitas banjir [FLOOD] dan kelongsoran tanah [LSLIDE] sebagai pewakil dari degradasi lingkungan yang dinyatakan dengan persentase desa-desa yang mengalami kedua bencana itu dalam kurun 2003-2005 dan 20062008 (BPS Provinsi Lampung, 2006b dan 2009b diolah). Adapun variabel penjelas yang digunakan meliputi proporsi penggunaan lahan di setiap kabupaten/kota, yang meliputi hutan rakyat [HR], hutan negara [HN], lahan terdegradasi [LDEG], sawah [SWH], ―perkebunan kopi rakyat‖
102
[COFF], perkebunan besar [ESTPL], kolam [POND], perladangan berpindah [SHIFT], lahan bera [FALLOW] dan rawa [SWAMP] yang diekstrak dari BPS Provinsi Lampung (2006a dan 2009a) kecuali untuk [COFF] diekstrak dari BPS Provinsi Lampung (2006b dan 2009b). Selain itu juga digunakan variabel curah hujan tahunan [CH] (BMKG, 2011 tidak dipublikasi). Adapun status urbanisme dinyatakan dengan dummy variable. Begitu juga dengan bentang lahan, jenis batuan dominan yang melandasi setiap kabupaten/kota diekstrak dari CSR (1989) yang proses penyiapannya disajikan pada Tabel 8.
Table 8. Dummy variables untuk Pemodelan Tinngkat Kesejahteraan dan Kinerja Lingkungan, Simbol, Cara Ekstraksi dan Pengolahan Datanya Variable Regional Fisik
Simbol
Skornya
Akuisi data, langkah-langkah ekstarksi serta pengolahannya
Dummy Rural Vs Urban
[D1_URBAN]
D1=1, jika kota D1=0, kabupaten
Diambil dari data statitik, Diskor =1 jika berstatus kota, dan= 0 jika Kabupaten
[D2_VOLC]
D2=1, jika volkanik D2=0, jika lainnya
Digitasi Peta Satuan Tanah dan Lahan LREPP I(CSR, 1989) , “ditumpang-tidihkan” dengan Peta Administratif Provinsi Lampung yang telah didigitasi sebelumnya, Ditemukan 3 jenis batuan induk pembentuk tanah yang dominan: batuan sedimen, volkanik dan plutonik, Lalu dihitung persentase luasan di tiap kabupaten/kota, persentase terbesar dianggap sebagai pewakil, Berdasarkan ketahanan tanah yang terbentuk terhadap erosi, ke tiga jenis batuan itu diklasifikaskian secara meningkat berturut-turut sedimen, volkanik, dan plutonik Selanjutnya disajikan dalam bentuk dummy variables [D2_VOLC] dan [D3-PLUT] batuan sedimen sebagai referensi, Juga dilakukan prosedur yang sama untuk medapatkan dummy variables [D4_HILL] dan [D5_MOUNT] dimana bentang lahan dataran, dataran alluvium, dan dataran pantai diperlakukan sebagai referensi,
Dummy of Sedimentary Vs Volcanic Rocks Dummy of Volcanic Vs Plutonic Rocks
[D3_PLUT]
Dummy of Plain Vs Hilly Terrain
[D4_HILL]
Dummy of Hilly Vs Mountainous Terrain
[D5-MOUNT]
D3=1, jika plutonik D3=0, jika lainnya D4=1, jika Perbukitan D4=0, jika lainnya
D5=1, jika bergunung D5=0, jika lainnya
Adapun bentuk ketiga model tersebut disajikan sebagai berikut: [HDI]i(t+1) = β1 + β2[HR]it + β3[HN]it + β4[LDEG]it + β5[SWH]it + β6[COFF]it + β7[ESTPL]it + β8[SHIFT]it + β9[FALLOW]it + β10[POND]it + β11[SWAMP]it + β12[CH]it + β13[D1_URBAN]it + β14[D2_VOLC]it + β15[D3_PLUT]it + β16[D4_HILL]it + β17[D5_MOUNT]it + β18[HDI]it+ τit
{4.1} [FLOOD]it= γ1 + γ2[HR]it + γ3[HN]it + γ4[LDEG]it + γ5[SWH]it + γ6[COFF]it + γ7[ESTPL]it + γ8[SHIFT]it + γ9[FALLOW]it + γ10[POND]it + γ11[SWAMP]it + γ12[CH]it + γ13[D1_URBAN]it + γ14[D2_VOLC]it + γ15[D3_PLUT]it + γ16[D4_HILL]it + γ17[D5_MOUNT]it + εit
{4.2}
103
[LSLIDE]it = λ1 + λ2[HR]it + λ3[HN]it + λ4[LDEG]it + λ5[SWH]it + λ6[COFF]it + λ7[ESTPL]it + λ8[SHIFT]it + λ9[FALLOW]it + λ10[POND]it + λ11[SWAMP]it + λ12[CH]it + λ13[D1_URBAN]it + λ14[D2_VOLC]it + λ15[D3_PLUT]it + λ16[D4_HILL]it + λ17[D5_MOUNT]it+ πit {4.3} Persediaan data untuk optimasi parameter model disajikan dalam Lampiran (Tabel 3). Optimasi parameter dilakukan dengan piranti lunak pengolah data statistik. Dalam optimasi ini ternyata didapat model dugaan terbaik dengan menggunakan: (a) Semua data (20 seri yaitu data tahun 2005 dan 2008 untuk 10 kabupaten/kota) baik untuk model Pers. {4.1} maupun Pers.{4.2}. (b) Hanya 13 seri data untuk model Pers. {4.3}, yaitu data tahun 2005 untuk Kabupaten Lampung Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Utara, Tulang Bawang, Bandar Lampung, Kota Metro berserta data tahun 2008 untuk Kabupaten Tanggamus, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Utara, Way Kanan dan Kota Bandar Lampung.
Hasil parameter dugaan model disajikan pada Tabel 2.4.
Hasil ini
digunakan untuk menentukan tingkat ambang deforestasi yang masih dapat ditoleransi, yaitu tingkat deforestasi yang tidak menurunkan tingkat kesejahteraan dengan laju peningkatan degradasi lingkungan yang masih dalam taraf rasional. Untuk itu, telah dilakukan simulasi deforestasi dengan cara mereduksi terhadap luasan hutan rakyat [HN], hutan negara [HR], dan pengurangan perkebunan kopi [COFF] semuanya sebesar 5, 10, 15, 20, 25, 30 dan 50% sekaligus dialokasikan untuk penggunaan perkebunan besar [ESTPL]. Dengan begitu dapat diketahui nilai akhir dari [HDI]t+1, perubahan [LSLIDE]t dan [FLOOD]t dari tiap kabupaten/kota yang berada dalam lingkup Provisi Lampung. Lebih lanjut hasil-hasil tersebut dikelompokkan antara yang berada di subwilayah hulu maupun hilir. Dalam hal ini rataan hasil Kabupaten Lampung Barat
dengan Kabupaten Tanggamus dikelompokkan sebagai
subwilayah hulu [HU] sedangkan kelompok kabupaten/kota selainnya sebagai subwilayah hilir [HI].
104
Simulasi pengurangan [COFF] perlu dilakukan mengingat perkebunan kopi di Provinsi Lampung umumnya merupakan perkebunan rakyat dan yang terluas ditaman di kawasan hutan negara dengan kultur teknis berupa wanatani (agroforestry) sehingga sering menjadi subyek akan masalah ekolabeling yang dapat menekan ekspor kopi nasional yang juga dapat berujung pada kemerosotan kesejahteraan petani maupun masyarakat Provinsi Lampung secara keseluruhan. Dalam pada itu, resiko konversi ―kebun kopi‖ menjadi penggunaan lain, dalam beberapa aspek dapat dipandang setara dengan deforestasi. Adapun pemilihan dipilih perkebunan besar [ESTPL] yang menjadi alokasi penggunaan lahan berikutnya, mengingat pola penggunaan lahan perkebunan besar dapat dipandang sebagai suatu sistem pertanian yang masih relatif kurang intensif dengan tanaman utama berupa pohon. Kecuali itu, perluasan areal untuk penggunaan lahan [ESTPL] seperti kelapa sawit dan karet di Provinsi Lampung relatif berkaitan dengan kemudahan aksesnya terhadap permodalan maupun kekuatan lainnya. Kriteri yang digunakan untuk menentukan nilai ambang toleransi deforestasi ada 3 yaitu: (i) [HDI]t+1 untuk hulu >70,52 untuk hilir >71,28; (ii) peningkatan [LSLIDE]<10%; dan (iii) peningkatan [FLOOD]<10%.
Untuk
kriteria yang pertama diambil dari angka [HDI]2009 masing-masing untuk rataan kelompok kabupaten di subwilayah hulu dan subwilayah hilir. Sedangkan kriteria yang ke dua dan ke tiga dipadang sebagai ukuran resiko yang masih rasional sebagai akibat dari dampak kegiatan pembangunan. Ukuran rasional tersebut dibandingkan dengan kejadian riil seperti dapat dirujuk dalam catatan statistik periode 2003-2005 dan periode 2006-2008 telah terjadi eskalasi kedua macam bencana itu hampir dua kalinya yaitu berturut-turut dalam periode 2003-2005 (BPS Provinsi Lampung, 2006b) dan dalam periode 2005-2008 (BPS Provinsi Lampung, 2009b) adalah 3,61% to 6,43% dan 1,20% to 2,14%.
4.2.2 Metode Perencangan Praksis Pengembangan Wilayah Di bawah kendala sumberdaya yang ada (yaitu gejala Ricardian Trap), kesejahteraan masyarakatnya harus terus dikembangkan. Kata praksis dalam penelitian ini adala suatu praktek yang dibimbing teori. Adapun dasar teori yang sangat relevan untuk digunakan dalam konteks permasalahan yang ada di Provinsi
105
Lampung setidaknya ada 3 teori besar yaitu: (1) teori kendala sumberdaya, (2) teori transformasi struktural perekonomian dan (3) teori pertumbuhan endogenik. Teori yang ke tiga merpuakan muara dari kedua teori lainnya, Oleh karena itu, dipilih postulat model yang telah dikembangkan oleh Stimson dan Stough (2008) yang merupakan suatu usulan agar para peneliti mengembangkan metode karakterisasi berbagai variabel yang dapat digunakan sebagai pewakil (surrogate) dalam model pertumbuhan ekonomi secara endogenik dalam perencanaan pembangunan wilayah. Selain itu berdasarkan teori modernisasi maka transformasi struktural perekonomian di wilayah ini haruslah diarahkan untuk peningkatkan pangsa relatif sektor industri [IND_SH] khususnya agroindustri, perdagangan dan jasajasa [OTH_SH], yang sekaligus untuk menurunkan peran pangsa relatif di sektorsektor primer yaitu pertanian [AGR_SH] dan pertambangan [MIN_SH]. Dengan kata lain, pertumbuhan pangsa sektor industri [G_IND_SH] harus positif agar dapat menampung tenaga kerja dari sektor-sektor pertanian yang telah mengalami penurunan produktivitas marginal dengan semakin bertambahnya tenaga kerja tersebut. Tetapi di sisi lain, untuk melandasi proses transformasi struktural tersebut nilai total produk pertanian harus selalu ditingkatkan untuk menopang perkembangan industri maupun untuk penyediaan bahan pangan murah. Penyediaan pangan murah merupakan implikasi dari perilaku para wirausahawan (entrepreneur) kapitalis yang sulit dikontrol, yaitu akan selalu menekan upah buruh sampai pada level subsisten. Dengan adanya [G_IND_SH] yang bersifat positif terhadap pertumbuhan ekonomi [G_ECONM] tersebut, maka pertumbuhan sektor-sektor selainnya seperti perdagangan, komunikasi, konstruksi dan jasa-jasa [G_OTH_SH] juga dapat distimulasi perkembangannya. Dengan begitu maka dapat diharapkan pertumbuhan ekonomi endogenik yang akan menjamin berkesinambungan. Namun karena pertumbuhan ekonomi itu sifatnya antidistribusi, maka persoalannya kemudian bermuara pada etika, kepada siapa saja capaian akumulasi kapital tersebut pantas dan adil untuk didistribusikan. Mengingat akumulasi kapital tersebut dilecut oleh sektor industri yang harus ditopang oleh pertumbuhan
106
pendapatan perkapita di sektor pertanian, maka distribusi ―kue‖ hasil pembangunan tersebut sangatlah etis bila dirancang untuk peningkatan daya beli petani. Bila daya beli petani meningkat, maka konsumsi dan sekaligus kinerja kesehatannya juga dapat diharapkan meningkat, yang pada akhirnya mampu mengakses pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri merupakan kapital pokok dalam pertumbuhan ekonomi secara endogenik. Dengan begitu berarti pula bahwa cara pendistribusian tersebut juga merupakan rancangan yang strategis sifatnya untuk mencapai pembangunan wilayah yang memiliki harapan berkesinambungan itu sendiri. Berdasarkan atas ketiga teori pokok dan pilihan etika tersebut, maka rancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah Provinsi Lampung dapat disajikan seperti pada Gambar 18.
4.2.3 Variabel untuk Perancangan Praksis Pembangunan Wilayah, Sumber Data dan Prosedur Ekstraksinya Seluruh variabel yang digunakan untuk perancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah di Provinsi Lampung, simbol-simbol dan proksi yang digunakan, sumber data dan prosedur ekstraksinya disajikan dalam Tabel 9. Sebagaimana yang diadopsi dari postulat aslinya (lihat Stimson dan Stough, 2008), maka beberapa variabel yang digunakan dapat dirinci sebagai berikut.
(1) Kinerja Resource Endowment yang Dipilih Segala sesuatu yang telah tersedia di suatu wilayah yang dapat digunakan sebagai sumberdaya untuk berbagai kegiatan pereknomian yang dapat diperoleh tanpa memerlukan investasi khusus dikenal sebagai sumberdaya anugearh atau (Re)sourec endowment. Dalam penelitin ini dipilih sumberdaya hutan sebagai variabel Re. Argumentasi yang penting untuk dikemukakan di sini adalah bahwa sumberdaya hutan merupakan suatu sumberdaya alam yang cukup luas (yaitu sekitar 1 juta Ha) di Provinsi Lampung yang awalnya digunakan sebagai modal pembangunan. Kini sekalipun telah terdegradasi akut, fungsi instrisiknya sumberdaya ini (sebagai penyedia jasa hidrologis, jasa ekologis kawasan, jasa biodiversitas, jasa sekuestrasi karbon maupun jasa amenitas lingkungan) tetap harus difungsikan agar tetap mampu menopang perekonomian wilayah melalui
107
pertumbuhan total volume pertanian sebagai resource base untuk melandasi proses transformasi struktural perekonomian wilayah melalui batu pijakan pengembangan agroindustri (lihat Affandi, 2009). Dalam penelitian ini Re diproksi menggunakan luas tuutupan hutan, Sehubungan dengan pilihan ini luasan tutupan hutan dibedakan untuk hutan rakyat [HR] dan hutan negara [HN]. Motif pemisahan ke dalam kedua macam kelompok hutan tersebut dimaksudkan untuk memperbandingkan perbedaan property right dari Re tersebut terhadap kinerja pertumbuhan pendapan per kapita di sektor pertanian dan akhirnya pada kinerja pembangunan ekonomi wilayah. Adanya perbedaan
respon
tersebut
punya
implikasi
penting
khususnya
dalam
pengembangan insentif agar keberadaan keduanya tetap lestari, terhindar dari deforestasi lanjutan maupun untuk menekan sebarannya agar tidak meluas. Dengan begitu fungsi instrinsiknya dapat dipulihkan untuk menopang seluruh aktivitas perekonomian maupun seluruh aktivitas perikehidupan (life support system) di wilayah Provinsi Lampung.
Kecuali itu, kedua jenis tutupan hutan
tersebut juga dipisahkan antara yang berada di subwilayah hulu [HU] dan subwilayah hilir [HI], utamanya dimaksudkan untuk menangkap pengaruh yang dapat dibangkitkan oleh jasa hidro-orologis kawasan.
(2) Kinerja Market Tapping yang Digunakan Dalam abad kontemporer seperti dewasa ini, hampir tidak ada wilayah yang dapat berdiri sendiri, tidak ada yang tidak berhubungan dengan wilayah lain bahkan dengan belahan dunia yang lain. Tangkapan terhadap peluang pasar atau (M)arket tapping oleh para pakar ekonomi geografi dipandang sebagai suatu determinan penting bagi perkembangan suatu wilayah. Dalam konteks penelitian ini, variabel M diproksi dengan kerapatan jalan beraspal per 10 ribu Ha wilayah atau [JL]. Perlu disadari di sini bahwa pengaruhnya tidak selalu positif, karena semakin baik [JL] dapat juga menyebabkan berbagai produk langsung diangkut ke luar wilayah atau malah diekspor tanpa diolah terlebih dahulu yang berarti akan menyebabkan hilangnya nilai tambah atau yang dikenal sebagai kebocoran wilayah (regional leakage). Tetapi mungkin juga sebaliknya dengan semakin
108
berkembangnya [JL] dapat menjadi insentif bagi para wirausahaan untuk melakukan investasi di wilayah yang bersangkutan. Dalam penelitian ini M juga dipisahkan yang berada di subwilayah hulu [HU] terhadap yang berkembang di subwilyah hilir [HI].
Pemisahan ini juga dimaksudkan untuk menangkap
pengaruh geografis atau geomorfologis wilayah terhadap kinerja faktor endogenik maupun responnya terhadap kinerja pembangunan wilayah.
(3) Kinerja Kepemimpinan atau Leadership yang Digunakan Dalam penelitian ini pengertian kepemimpinan atau (L)eadership mengadopsi pemikiran kotemporer dari De Santis dan Stough (1999). Kedua pakar ini memandang bahwa dalam dunia yang sudah semakin mengglobal seperti dewasa ini kepemimpinan tidak bisa lagi dipandang seperti dalam pengertian tradisional, yang menempatkan seorang pemimpin sebagai sentral pembuat keputusan, one man show, yang dipisahkan secara tegas dengan para pengikutnya. Dalam pandangan De Santis dan Stough (1999) L harus dipandang sebagai tendensi atau afinitas dalam suatu masyarakat untuk berkolaborasi dalam berbagai sektor kehidupan. Argumentasi yang diajukan oleh kedua pakar ini adalah bahwa perekonomian wilayah tidak mungkin ditetukan atau bergantung atau dijalankan oleh satu ataupun beberapa orang saja, melainkan akan selalu melibatkan banyak partisipan. Semakin banyak partisipan yang terlibat maka akan semakin besar perkembangan aktivitas perekonomian di suatu wilayah yang berarti semakin besar pula aktivitas seluruh derap kehidupan. Sehubungan definisi tersebut, untuk konteks Indonesia pada umumnya dan untuk Provinsi Lampung pada khususnya maka koperasi [KOP] dapat digunakan sebagai proksi dalam penelitian ini. Karakter organisasi perekonomian ini dipandang cocok dengan kinerja L seperti yang dimaksudkan oleh De Santis dan Stough (1999) tersebut. Oleh karena itu, kerapatan jumlah koperasi dapat dipandang sebagai kinerja L di suatu wilayah. Dalam penelitian ini [KOP] juga dipisahkan antara yang berkembang di subwilayah hulu [HU] dengan yang berkembang di hilir. Dengan begitu diharapkan dapat ditangkap secara makro pengaruh biofisik di kedua subwilayah tersebut melalui derajat untuk berinteraksi, pengaruh kenyamanan lingkungan terhadap karakter masyarakat yang kemudian
109
pada kebutuhan untuk bersinergi, bertransaksi, timbulnya konflik ataupun untuk akomodasi dan berkolaborasi yang sangat penting bagi perkembangan setiap koperasi.
(4) Kinerja Kelembagaan atau (I)nstitusi Kelembagaan atau (I)nstitution merupakan tata aturan atau norma-norma yang hidup dan dipelihara oleh suatu komunitas (Hayami, 2001).
Karena I
merupakan tata aturan yang hidup, maka di dalamnya memuat sanksi-sanksi yang mengikat para warganya.
Aturan tersebut dapat berupa konvensi yang tidak
tertulis maupun yang tertulis seperti produk hukum formal dan sebagainya. Namun demikian dunia ini tidak pernah absen dari para pemburu rente (free rider) sehingga tidak setiap tata aturan ataupun norma yang ada tersebut efektif dalam mengikat para warganya. Banyak sekali mungkin aturan yang disepakati dan diberlakukan, tetapi banyak pula yang melanggar.
Artinya institusi tersebut
belum tentu efektif. Keefektivam I akan sangat menjadi penentu perkembangan ekonomi wilayah. Sehubungan itu maka dalam penelitian ini kinerja atau keefektivan I diproksi dengan intensitas kejahatan [KJ], kerapatan tempat ibadah [IBD], banyaknya atau kerapatan organisasi kemasyarakatan [ORG], dan kerapatan jumlah relawan. Bila di suatu wilayah banyak kejahatan itu berarti institusiinstitusi yang ada tidak efektif, dan tentunya tidak akan banyak orang yang mau datang ke wilayah tersebut apalagi untuk melakukan investasi karena keamanan yang tidak terjamin. Namun tempat ibadah [IBD] merupakan suatu ruang publik (public sphere) tempat masyarakat untuk bertemu, berkumpul, membangun pemahaman bersama (mutual understanding), bermusyawarah, bertansaksi berbagai ide dan gagasan, membangun pengetahuan dan sekaligus tempat untuk membangun moral atau moral code formation (Hayami, 2001) yang kemudian dapat saling menghargai property right, membentuk jejaring, membangun trust dan akhir membangkitkan berbagi ide kreatif yang dapat bermuara pada transaksitransaksi yang bermotifkan ekonomi. Proses-proses semacam ini juga dapat melahirkan perkembang organisasi sosial kemasyarakatan [ORG].
110
Demikian pula dengan [RLW], yang menggambarkan suatu fihak yang mencari kepuasan diri melalui aktualisasi sifat altruism, menekan sifat egoism maupun aktualisasi jiwa filantropia. Dengan makin besarnya [RLW] di suatu wilayah berarti telah terjadi akumulasi norma-norma yang kuat, yang berarti pula dapat diharapkan telah terjadi peningkatan keefektivan I. Karena itu juga dapat diharapkan berelasi secara positif terhadap kinerja perkembangan perekonomian wilayah. Lebih lanjut proksi-proksi tersebut juga dibedakan antara yang berekembang di subwilayah hulu [HU] dengan di hilir, agar dapat mengangkap pengaruh perbedaan kondisi biofisik wilayah tersebut seperti yang telah diuraikan dalam mempengaruhi kinerja L tersebut.
(5) Kinerja Kewirausahaan atau (E)ntreperenurship Wirausahawan atau (E)ntrepreneur adalah orang yang mampu melihat suatu peluang baru untuk memperoleh suatu keuntungan di pasar (Kitzner, 1976 dikutip Hien, 2010). Dalam konteks penelitian ini kinerja E diproksi dengan kerapatan industri kecil [IKC] dan industri besar-sedang [IBS]. Pilihan ini selain dimaksudkan sebagai proksi bagi agen pembaharu atau inovator, kerapatan industri diharapkan juga dapat menjadi penjelas bagi perkembangan proses transformasi struktural perekonomian di Provinsi Lampung. Digunakan dikotomi antara [IKC] terhadap [IBS] dimaksudkan untuk menangkap peran atau kontribusi masing-masing kelompok industri tersebut dalam perkembangan atau proses transformasi struktural perekonoman wilayah ini. Kecuali itu pembedaan tersebut penting berkaitan dengan perbedaannya dalam skala usaha, daya serap tenaga kerja, akses terhadap permodalan maupun akses terhadap kekuatan sosial politik lainnya. Mengingat kinerja E sangat dipengaruhi oleh keefektivan I maupun kekuatann L maka dalam penelitian ini juga dipisahkan menurut subwilayah hulu aupunn hilir. Dengan begitu maka pengaruh biofisik wilayah terhadap kinerja I maupu L akhirnya juga akan bermuara pada kinerja E. Dengan begitu pula peranan fiskal dari Pemerintah Provinsi Lampung juga dapat diguanakan untuk stimulus perkembangan E melalui penguatan kinerja I maupun L.
111
Masalah Stagnasi Kinerja Pembangunan Ekonomi Wilayah
Kinerja dari:
Kinerja Faktor Endogen Pertumbuhan Ekonomi Wilayah:
(Re)source Endowment: Tutupan Hutan Rakyat [HR] & Hutan Negara [HN] (M)arket Tapping: Kerapatan Akses Jalan [JL]
(L)eaderships: Kerapatan Jumlah Koperasi [KOP] (I)nstitution: Kerapatan Tempat Ibadah [IBD], Intensitas Kejahatan [KJ], Ormas [ORG], dan Relawan [RLW]
Persamaan V
Persamaan I sampai IV
Pertumbuhan Pendapatan/Kapita Sektor Pertanian [G_INCP_AGR]
(E)ntreprenuership: Kerapatan Industri Kecil [IKC] & Industri BesarSedang [IBS]
Persamaan VI Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri [G_IND_SH]
Persamaan VII Pertumbuhan Ekonomi Wilayah [G_ECONM] Persamaan VIII Nilai Tukar Petani [NTP] Persamaan IX Kinerja Human Development Index [HDI]
Gambar 18. Rancangan Praksis Pembangunan Wilayah Provinsi Lampung
112
Tabel 9. Variabel yang Digunakan unuk Perancangan Praksis, Simbol, Proksi, Sumber Data dan Prosedur Ekstraksinya No
Variabel
Simbol
(A)
(B)
(C)
Diproksi dengan (D)
1.
Kinerja Resource Endowment
Re
Luas hutan
Sumber Data (E) 1) 2) Periode 19921999: BPS (19932000)
3) Untuk tahun 2003 dari Bapplan, untuk 2005 dan BPDAS, untuk 2008 dari Meneg LH
Presedur Akuisisinya (F) Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir dan hutan rakyat vs hutan negara maka diperoleh [HR_HU], [HR_HI], [HN_HU], dan [HN_HI] dinyatakan dalam puluh ribu ha Digitasi ulang hasil interpretasi Citra Landsat ETM+5 Ditumpangtindihan dengan Peta Kawasan Hutan dan Perairan serta Peta Administratif Provinsi Lampung yang telah didigitasi sebelumnya Dikekstrak menurut HR_HU], [HR_HI], [HN_HU], dan [HN_HI] dinyatakan dalam puluh ribu ha
2.
Kinerja Market Tapping
M
Kerapatan Jaringan Jalan beraspal (km) per 10 ha luas wilayah (JL)
Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari BPS Kabupaten/Kota se-Provinsi Lampung
Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir dan huan rakyat vs hutan negara maka diperoleh [JL_HU] dan [JL_HI]
3.
Kinerja Leadership
L
Kerapatan koperasi per 10 ribu penduduk (KOP)
Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung
Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [KOP_HU] dan [KOP_HI]
4.
Kinerja Institusi
I
1) Intensitas Kejahatan per 10 ribu penduduk (KJ) 2) Kerapatan Organisasi Sosial per 10 ribu penduduk (ORG) 3) Kerapatan Relawan Relawan Sosial per 10 ribu penduduk (RLW) 1) Kerapatan Industri Kecil per 10 ribu penduduk (IKC) 2) Kerapatan Industri BesarSedang per 10 ribu penduduk
Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung
Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [KJ_HU] dan [KJ_HI] Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [ORG_HU] dan [ORG_HI] Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [RLW_HU] dan [RLW_HI]
5.
Kinerja Entrepreneurship
E
Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung (1997-2009) Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung (1997_2009) Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari Statistik Industri Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung 1997-2009)
Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [IKC_HU] dan [IKC_HI] Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [IBS_HU] dan [IBS_HI]
113
Tabel 9. (Lanjutan) (A)
(B)
(C)
(D)
(E)
(F)
7.
Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita di Sektor Pertanian
G_INCP_AGR
Langsung
Untuk Periode tahun 1996-2008 dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009),
Data PDRB sektor pertanian harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dibagi jumlah penduduk Provinsi Lampung Dicari % pertumbuhan tiap tahun
8.
Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri
G_IND_SH
Langsung
Untuk Periode tahun 1996-2008 dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009),
Data PDRB sektor industri harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dicari % pertumbuhan tiap tahunnya
9.
Pertumbuhan Pangsa Sektor Pertanian
G_AGR_SH
Langsung
Untuk Periode tahun 1996-2008 dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009),
Data PDRB sektor pertanian harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dicari % pertumbuhan tiap tahunnya
10.
Pertumbuhan Pangsa Sektor Pertambangan
G_MIN_SH
Langsung
Untuk Periode tahun 1996-2008 dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009),
Data PDRB sektor pertambangan harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dicari % pertumbuhan tiap tahunnya
11.
Pertumbuhan Pangsa Sektor selainnya
G_OTH_SH
Langsung
Untuk Periode tahun 1996-2008 dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009),
Data PDRB sektor-sektor selainnya harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dicari % pertumbuhan tiap tahunnya
12.
Pertumbuhan Ekonomi
G_ECONM
Langsung
Untuk Periode tahun 1993-2008 dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 1995, 2001, 2006, 2009),
Data % pertumbuhann ekonomi menurut harga konstan tahun 2000 diekstrak secara langsung
13.
Indek Nilai Tukar Petani
NTP
Langsung
Untuk Periode tahun 1993-2008 Statistik Nilai Tukar Petani di Indonesia (BPS 1997 sampai 2009),
Data asli tahunan diekstrak secara langsung
114
Tabel 9. (Lanjutan) (A)
(B)
(C)
(D)
(E)
(F)
14,
Indek Pembangunan Manusia
HDI
Langsung
Untuk Spot tahun 1996,1999-2003 dari Indikator Kesra Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung (2004); Untuk Periode 20002009 dari BPS Provinsi Lampung (2010)
Dat asli tahunan diekstrak secara langsung
15,
Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi
TAX
Intensitas pajak dan retribusi daerah Provinsi Lampung
Diekstrak per tahunan
16
Belanja Aparatur Daerah Provinsi
S_APRT
Intensitas pajak dan retribusi daerah Provinsi Lampung
Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari Statistik Industri Keuangan Daerah Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung 1997-2009) Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari Statistik Industri Keuangan Daerah Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung 1997-2009)
17,
Belanja Publik Daerah Provinsi
S_PUBL
Intensitas pajak dan retribusi daerah Provinsi Lampung
Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari Statistik Industri Keuangan Daerah Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung 1997-2009)
Diekstrak per tahunan
18,
Belanja Bantuan Sosial Daerah Provinsi
S_SOC
Intensitas pajak dan retribusi daerah Provinsi Lampung
Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari Statistik Industri Keuangan Daerah Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung 1997-2009)
Diekstrak per tahunan
Diekstrak per tahunan
4.2.4 Bentuk Model dan Uji Hipotesis Implikasi dari praksis yang diajukan tersebut adalah pada urutan modelmodel persamaan dan pilihan metode analisis yang perlu digunakan.
Dari
Gambar 18 dapat diperiksa bahwa dalam rancangan praksis tersebut dibutuhkan 9 buah persamaan dan metode analisis. Analisis yang diperlukan adalah Analisis Persamaan Simultan. Adapun bentuk kesembilan persamaan tesebut dapat dirinci sebagai berikut:
115
(1) Kinerja Entrepreneurship Industriawan Kecil di Subwilayah Hulu Kinerja (E)nterpreneurship dari kalangan industriawan kecil yang berkembang di subwilayah hulu [IKC_HU] dimodelkan sebagai berikut: [IKC_HU]t= a1 + a2[KOP_HU]t-n + a3[KJ_HU]t-n + a4[IBD_HU]t-n + a5[RZ] + r1 {4.4} Uji model;
H0: a2 =a3=a4 =a5=0 H1: Ada a1, a2 , a3, a4, atau a5 ≠ 0
dalam hal ini, [IKC_HU] [KOP_HU] [KJ_HU] [IBD_HU] [RZ] a1 sampai a5 T
: : : : : : :
Kerapatan industri kecil/10 ribu penduduk di subwilayah hulu Kerapatan koperasi/10 ribu penduduk di subwilayah hulu Intensitas kejahatan/10 ribu penduduk di subwilayah hulu Kerapatan tempat ibadah/10 ribu penduduk di subwilayah hulu Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r1= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya: a2, a4, dan a5>0 sedangkan a2<0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.4} ini adalah data tahun 1995 sampai dengan tahun 2008.
(2) Kinerja Entrepreneurship Kalangan Industriawan Besar-Sedang di Subwilayah Hulu Kinerja (E)nterpreneurship dari kalangan industriawan besar dan sedang yang berkembang di subwilayah hulu [IBS_HU]dimodelkan sebagai berikut: [IBS_HU]t= b1 + b2[KOP_HU]t-n + b3[KJ_HU]t-n + b4[IBD_HU]t-n + b5[RZ] + r2 {4.5} Uji model;
H0: b2 =b3=b4 =b5=0 H1: Ada b1, b2 , b3, b4, atau b5 ≠ 0.
dalam hal ini, [IBS_HU] [KOP_HU] [KJ_HU]
: : :
Kerapatan industri besar- sedang/10 ribu penduduk di subwilayah hulu Kerapatan koperasi/10 ribu penduduk di subwilayah hulu Intensitas kejahatan/10 ribu penduduk di subwilayah hulu
116
[IBD_HU] [RZ] b1 sampai b5 t
: : : :
Kerapatan tempat ibadah/10 ribu penduduk di subwilayah hulu Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r2= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag).
Nilai harapannya: b2, b4, dan b5>0 sedangkan b2<0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.5} ini adalah data tahun 1995 sampai dengan tahun 2008.
(3) Kinerja Entrepreneurship Kalangan Industriawan Kecil di Subwilayah Hilir Kinerja (E)nterpreneurship dari kalangan industriawan kecil yang berkembang di subwilayah hilir [IKC_HI] dimodelkan sebagai berikut: [IKC_HI]t= c1 + c2[KOP_HU]t-n + c3[KJ_HU]t-n + c4[IBD_HU]t-n + c5[ORG_HU]t-n + c6 [RLW_HU] t-n + c7[RZ] + r3 {4.6} Uji model;
H0: c2 =c3=c4 =c5= c6= c7=0 H1: Ada c1, c2 , c3, c4, c5, c6, atau c7 ≠ 0
dalam hal ini, [IKC_HI] [KOP_HI] [KJ_HI] [IBD_HI] [ORG_HI] [RLW_HI] [RZ] c1 sampai c7 t
: : : : : : : : :
Kerapatan industri kecil/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan koperasi/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Intensitas kejahatan/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerpatan tempat ibadah/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan organisasi masa/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan jumlah relawan/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r3= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya: c2, c4, c5, dan c6 >0 sedangkan c2<0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.6} ini adalah data tahun 1996, 1997, 2001 sampai dengan tahun 2008.
(4) Kinerja EntrepreneurshipIndustriawan Besar-Sedang di Subwilayah Hilir Kinerja (E)nterpreneurship dari kalangan industriawan besar dan sedang yang berkembang di subwilayah hilir [IBS_HI]dimodelkan sebagai berikut:
117
[IBS_HI]t= d1 + d2[KOP_HU]t-n + d3[KJ_HU]t-n + d4[IBD_HU]t-n + d5[ORG_HU]t-n + d6 [RLW_HU]t-n + d7[RZ] + r4 {4.7} Uji model;
H0: d2 =d3=d4 =d5= d6= d7=0 H1: Ada d1, d2 , d3, d4, d5, d6, atau d7 ≠ 0
dalam hal ini, [IBS_HI] [KOP_HI] [KJ_HI] [IBD_HI] [ORG_HI] [RLW_HI] [RZ] d1 sampai d7 t
: : : : : : : : :
Kerapatan industri besar- sedang/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan koperasi/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Intensitas kejahatan/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan tempat ibadah/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan organisasi masa/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan jumlah relawan/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r4= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya: d2, d4, d5, d6, dan d7 >0 sedangkan d2<0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.7} ini adalah data tahun 1995 sampai dengan tahun 2008.
(5) Pertumbuhan Pendapatan Perkapita di Sektor Pertanian Adapun pertumbuhan pendapatan per kapita di sektor pertanian untuk Provinsi Lampung [G_INCP_AGR] dimodelkan dengan: [G_INCP_AGR]t = e1 + e2[HR_HU]t-n + e3[HN_HU]t-n + e4[HR_HI]t-n + e5[HN_HI]t-n + e6 [JL_HU]t-n + e7 [JL_HI]t-n + e8[RZ] + r5 {4.8} Uji model;
H0: e2 =e3=e4 =e5= e6= e7= e8=0 H1: Ada e1, e2 , e3, e4, e5, e6, e7 atau d8 ≠ 0
dalam hal ini, [G_INCP_AGR] [HR_HU] [HR_HI] [HN_HU] [HN_HI] [JL_HU] [JL_HI] [RZ] e1 sampai e8 T
: : : : : : : : : :
Pertumbuhan pendapatan sektor pertanian/kapita di Provinsi Lampung Luas hutan rakyat di subwilayah hulu Luas hutan rakyat di subwilayah hilir Luas hutan negara di subwilayah hulu Luas hutan negara di subwilayah hilir Kerapatan jaringan jalan beraspal/10 ha di subwilayah hulu Kerapatan jaringan jalan beraspal/10 ha di subwilayah hulu Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r5= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag).
118
Nilai harapannya: e2,sampai e8 >0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.8} ini adalah data tahun 1994 sampai dengan tahun 1998 dan tahun 2000, 2004, 2006 dan 2008.
(6) Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri Sedangkan pertumbuhan pangsa sektor industri untuk Provinsi Lampung [G_IND_SH] dalam penelitian ini dimodelkan sebagai berikut:
[G_IND_SH]t = f1 + f2 [IKC_HU]t-n + f3 [IBS_HU]t-n + f4[IKC_HI]t-n + f5[IBS_HI]t-n + f6[G_INCP_AGR]t-n + f7[G_AGR_SH]t-n + f8[G_MIN_SH]t-n + f9[G_OTH_SH]t-n + f10[RZ] + r6 {4.9} Uji model;
H0: f2 =f3=f4 =f5= f6= f7= f8= f9= f10=0 H1:Ada f1, f2 , f3, f4, f5, f6, f7, f8, f9,atau f10 ≠ 0
dalam hal ini, [G_IND_SH] [IKC_HU] [IBS_HU] [IKC_HI] [IBS_HI] [G_INCP_AGR] [G_AGR_SH] [G_MIN_SH] [G_OTH_SH] [RZ] f1 sampai f10 t
: : : : : : : : : : : :
Pertumbuhan pangsa sektor industri di Provinsi Lampung Kerapatan industri kecil/10ribu penduduk di subwilayah hulu Kerapatan industri besar-sedang/10ribu penduduk di subwilayah hulu Kerapatan industri kecil/10ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan industri besar-sedang/10ribu penduduk di subwilayah hilir Pertumbuhan pendapatan sektor pertanian/kapita di Provinsi Lampung Pertumbuhan pangsa sektor pertanian di Provinsi Lampung Pertumbuhan pangsa sektor pertambangan di Provinsi Lampung Pertumbuhan pangsa sektor-sektor lain di Provinsi Lampung Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r6= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya f2 sampai f6 dan f10>0 sedangkan f7 dan f8<0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.9} ini adalah data 1995 sampai 2008.
(7) Pertumbuhan Ekonomi Berkaitan dengan serangkaian model-model tersebut di atas maka pertumbuhan ekonomi untuk Provinsi Lampung dapat dimodelkan sebagai fungsi dari pertumbuhan pangsa sektor industri berikut: [G_ECONM]t = g1 + g2[G_IND_SH]t-n + g3[RZ] + r7 {4.10}
119
Uji model;
H0: g2 =g3=0 H1: Ada g1, g2 atau g3 ≠ 0
dalam hal ini, [G_ECONM] [G_IND_SH] [RZ] g1 sampai g3 T
: : : : :
Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Lampung (%/th) Pertumbuhan pangsa sektor industri di Provinsi Lampung Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r7= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya g2 dan g3 >0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.10} ini adalah data tahun 1994 sampai 2009.
(8) Indeks Nilai Tukar Petani Adapun indekss nilai tukar petani [NTP] dimodelkan sebagai fungsi dari pertumbuhan ekonomi [G_ECONM] sebagai berikut:
[NTP]t = h1 + h2[G_ECONM]t-n + h3[RZ] + r8 {4.11} Uji model;
H0: h2 =h3=0 H1: Ada h1, h2 atau h3 ≠ 0
dalam hal ini, [NTP] [G_ECONM] [RZ] h1 sampai h3 T
: : : : :
Indekss Nilai Tukar Petani di Provinsi Lampung Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Lampung (%/th) Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r8= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya h2 dan h3 >0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.11} ini adalah data tahun 1992, 1995, 1998, 2000 sampai 2008.
120
(9) Indeks Pembangunan Manusia [HDI] Klimaks dari seluruh perancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah ini adalah pada pemodelan indeks pembangunan manusia [HDI] sebagai berikut:
[HDI]t = k1 + k2[NTP]t-n + k3[R_POOR]t-n + k4[RZ] + r9 {4.12} Uji model; `
H0: k2 =k3= k3=0 H1: Ada k1, k2, k3 atau k4 ≠ 0
dalam hal ini, [HDI] [NTP] [R_POOR] [RZ] h1 sampai h3 t
: : : : : :
Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Lampung Indekss Nilai Tukar Petani di Provinsi Lampung Insidensi kemiskinan pedesaan di Provinsi Lampung (%) Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r9= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya k2 dan k4 >0 sedangkan k3<0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.12} ini adalah data tahun 2001, 2004, 2006 sampai 2009. Adapun metode yang digunakan dalam perancangan praksis ini adalah Analisis Persamaan Simultan. Uji hipotesis dilakukan dengan Uji F dilanjutkan dengan Uji T pada taraf nyata 5% dan 10%.
4.3 Analisis Kebijakan Fiskal Daerah Provinsi Fiskal merupakan piranti utama yang dimiliki oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan publik yang telah diperoleh melalui social contract (lihat Randall, 1987). Sebagai otoritas yang memiliki kewenangan yang dapat dilakukan secara memaksa (coercive) dalam pemungutan pajak maupun pengalokasinya (dalam bentuk belanja daerah), maka Pemerintah Provinsi Lampung punya kewajiban moral untuk membina dan mengembangkan faktor endogenik pertumbuhan ekonomi yang dimiliki wilayah ini, apalagi ketika mulai tampak gejala terjadinya market failure berupa distorsi pedistribusian manfaat rente bersama dari hasil-hasil pembangunan ekonomi wilayah seperti selama ini.
121
Analisis kebijakan publik ini maka pertama perlu dikembangkan modelmodel persamaan untuk mengetahui relasi antara kinerja perolehan tingkat pajak & retribusi daerah [TAX], alokasi belanja aparatur [S_APPT], belanja untuk investasi publik [S_PUB], dan belanja bantuan sosial [S_SOC] terhadap kinerja (L)eadership dan (I)nstitution yang masing-masing juga diproksi dengan kepadatan koperasi di subwilayah hulu [KOP_HU], kepadatan koperasi di subwilayah hilir [KOP_HI], intensitas kejahatan di subwilayah hulu [KJ_HU] dan intensitas kejahatan di subwilayah hilir [KJ_HI]. Apabila relasi-relasi tersebut telah diperolehnya, maka dapat digunakan untuk menginduksi berkembangnya kinerja (E)ntrepreneurship utamanya bagi kalangan industriawan kecil [IKC]. Dipilihnya untuk kalangan ini tidak lain karena kalangan ini telah dihipotesiskan sebagai penghela transformasi struktural perekonomian yang kemudian menjadi motor pertumbuhan ekonomi wilayah.
4.3.1 Bentuk Model Perilaku Fiskal terhadap Faktor Endogenik Bentuk model hubungan antara perilaku fiskal dari Pemerintah Provinsi Lampung terhadap kinerja (L)eadership dan kinerja (I)nstitution perlu dispesifikasikan. Lebih lanjut untuk dimanfaatkan untuk simulasi kebijakan bagi pengembangan kedua faktor endogenik tersebut agar kinerja (E)ntrepreneurship di wilayah provinsi ini meningkat.
(1) Kinerja Leadership di Hulu sebagai Fungsi dari Perilaku Fiskal Adapun kinerja (L)eadership yang berkembang di subwilayah hulu dimodelkan sebagai perilaku fiskal Pemerintah Provinsi Lampung sebagai berikut: [KOP_HU]t = p1 + p2[TAX]t-n + p3[S_APRT]t-n + p4[S_PUBL]t-n + p5[S_SOC]t-n + p6[RZ] + r10 {4.13}
Uji model;
H0: p2 =p3=p4 =p5= p6=0 H1: Ada: p1, p2 , p3, p4, p5, atau p6 ≠ 0
122
dalam hal ini, [KOP_HU] [TAX] [S_APRT] [S_PUBL] [S_SOC] [RZ] h1 sampai h3 t
: : : : : : : :
Kerapatan koperasi/10ribu penduduk di subwilayah hulu Perolehan Pajak & Retribusi Daerah/10ribu penduduk Provinsi Lampung Belanja Aparatur Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk Belanja Publik/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung Belanja Bantuan Sosial/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r10= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya p3 sampai p6>0 sedangkan p2<0 Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.13} ini adalah data tahun 1996 sampai 1999, dan 2003, 2004, 2006 sampai 2008.
(2) Kinerja (L)eadership di Hilir sebagai Fungsi dari Perilaku Fiskal Begitu juga dengan kinerja (L)eadership yang berkembang di wilayah hilir dimodelkan sebagai perilaku fiskal Pemerintah Provinsi Lampung sebagai berikut: [KOP_HI]t = q1 + q2[TAX]t-n + q3[S_APRT]t-n + q4[S_PUBL]t-n + q5[S_SOC]t-n + q6[RZ] + r11 {4.14} Uji model;
H0: q2 =q3=q4 =q5= q6=0 H1: Ada: q1, q2 , q3, q4, q5, atau q6 ≠ 0
dalam hal ini, [KOP_HI] [TAX] [S_APRT] [S_PUBL] [S_SOC] [RZ] h1 sampai h3 t
: : : : : : : :
Kerapatan koperasi/10ribu penduduk di subwilayah hilir Perolehan Pajak &Retribusi Daerah/10ribu penduduk Provinsi Lampung Belanja Aparatur Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk Belanja Publik/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung Belanja Bantuan Sosial Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk Rezim, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r11= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya q3 sampai q6>0 sedangkan q2<0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.14} ini adalah data tahun 1996 sampai 1999, dan 2003, 2004, 2006 sampai 2008.
123
(3) Kinerja (I)nstitution di Hulu sebagai Fungsi dari Perilaku Fiskal Kinerja atau keefektivam (I)nstitution yang berkembang di subwilayah hulu dimodelkan sebagai fungsi dari perilaku fiskal Pemerintah Provinsi Lampung sebagai berikut: [KJ_HU]t = u1 + u2[TAX]t-n + u3[S_APRT]t-n + u4[S_PUBL]t-n + u5[S_SOC]t-n + u6[RZ] + r12 {4.15} Uji model;
H0: u2 =u3=u4 =u5= u6=0 H1: Ada: u1, u2 , u3, u4, u5, atau u6 ≠0
dalam hal ini, [KJ_HU] [TAX] [S_APRT] [S_PUBL] [S_SOC] [RZ] h1 sampai h3 t
: : : : : : : :
Intensitas Kejahatan/10ribu penduduk di subwilayah hulu Perolehan Pajak &Retribusi Daerah/10ribu penduduk Provinsi Lampung Belanja Aparatur/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung Belanja Publik/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung Belanja Bantuan Sosial Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk Rezim Tata Pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r12= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya u3 sampai p6<0 sedangkan u2>0 Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers,{4,15} ini adalah data tahun 1996 sampai 1999, dan 2003, 2004, 2006 sampai 2008. (4) Kinerja (I)nstitution di Hulu sebagai Fungsi dari Perilaku Fiskal Akhirnya juga keefektifan (I)nstitution yang berkembang di subwilayah hilir dimodelkan sebagai perilaku fiskal Pemerintah Provinsi Lampung berikut:
[KJ_HU]t = v1 + v2[TAX]t-n + v3[S_APRT]t-n + v4[S_PUBL]t-n + v5[S_SOC]t-n + v6[RZ] + r13 {4.16} Uji model;
H0: v2 =v3=v4 =v5= v6=0 H1: Ada: v1, v2 , v3, v4, 5, atau v6 ≠0
dalam hal ini, [KJ_HI] [TAX] [S_APRT] [S_PUBL] [S_SOC] [RZ] h1 sampai h3 t
: : : : : : : :
Intensitas Kejahatan/10ribu penduduk di subwilayah hilir Perolehan Pajak &Retribusi Daerah/10ribu penduduk Provinsi Lampung Belanja Aparatur Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk Belanja Publik Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk Belanja Bantuan Sosial Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk Rezim Tata Pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r13= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
124
Nilai harapannya u3 sampai p6<0 sedangkan u2>0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.16} ini adalah data tahun 1996 sampai 2008.
4.3.2 Beberapa Skenario Kebijakan Fiskal Daerah di Bawah Skema Reforestasi Mengingat degradasi sumberdaya hutan di Provinsi Lampung sudah begitu akut, dan sementara itu pula reforestasi berada pada otoritas pemerintah pusat, maka kebijakan insentif fiskal dalam penelitian ini perlu disertai beberapa asumsi tentang target luasan skema reforestasi.
(1) Skema Target Reforestasi Dasar pemilihan target luasan skema reforestasi adalah pada acuan legal aspek yang mewajibkan luasan kawasan hutan negara sebesar 30% dari total luasan wilayah yurisdiksi. Untuk wilayah yurisdiksi Provinsi Lampung adalah 1 juta Ha, Sementara itu, kini sisa tutupan hutan di Provinsi Lampung kini tinggal sekitar 7% (250,180 ha). Untuk itu maka skema reforestasi yang dicobakan dalam simulasi ini adalah: (1) Tanpa reforestasi, (2) 100 ribu ha, dan (3) 250 ribu ha, Target luasan tersebut dimaksudkan untuk mencapai total tutupan yang setara berturut-turut 20%; 30% dan 50% terhadap total luasan minimal seperti amanah UU RI No. 41 Tahun 1999 tersebut. Adapun distribusi kepada masing-masing hutan rakyat di subwilayah hulu [HR_HU], hilir [HR_HI], hutan negara di subwilayah hulu [HN_HU] dan di hilir [HN_HI] disajikan pada Tabel 10. Adapun yang digunakan sebagai dasar alokasi reforestasi seperti yang tercantum dalam Tabel 10 tersebut adalah rataan luasan dari periode data tahun 1992-2008 yaitu masing-masing 2,26; 9,39; 24,53; dan 30,02 X10 ribu ha berturut-turut untuk kawasan [HR_HU], [HR_HI], [HN_HU] dan [HN_HI].
125
Tabel 10. Distribusi Luasan Skema Reforestasi pada Masing-masing Kelompok Hutan Simbol
Skema Reforestasi
A
Nol ha (Tanpa ada Skema Reforestasi)
B C D
100 ribu ha dialokasikan secara proporsional ke keempat kelompok hutan sesuai dengan rataan 1992-2008 100 ribu ha dialokasikan pada [HR_HU] 2X, [HR_HI] 3X, sisanya dibagi rata pada [HN] 100 ribu ha dialokasikan pada [HR_HU] 3X, [HR_HI]2X, sisanya dibagi rata pada [HN]
E F G
250 ribu ha dialokasikan secara proporsional ke keempat kelompok hutan sesuai dengan rataan 1992-2008 250 ribu ha dialokasikan pada [HR_HU] 2X, [HR_HI] 3X, sisanya dibagi rata pada [HN] 250 ribu ha dialokasikan pada [HR_HU] 3X, [HR_HI] 2X, sisanya dibagi rata pada [HN]
Keterangan: [HR_HU]=hutan rakyat di hulu, [HR_HI]=hutan rakyat di hilir, [HN_HU]=hutan negara di hulu, dan [HN_HI]=hutan
(2) Skema Kebijakan Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung Motif utama dari penggunaan skema reforestasi dalam penelitian dimaksud untuk memeriksa seberapa kuatnya pengaruh dampak luasan Reforestasi terhadap keefektivan kebijakan insentif fiskal dari Pemeritah Provinsi Lampung. Adapun
kebijakan fiskal yang ingin diperiksa dampaknya ada 2
macam alokasi yaitu: Alokasi 1: Hasil peningkatan kenaikan pajak dialokasikan untuk peningkatan belanja aparatur [S_APRT], belanja publik [S_PUBL] dan belanja bantuan sosial [S_SOC] masing-masing sebesar 0%; 100% dan 0%.
Alokasi 2: Hasil peningkatan kenaikan pajak dialokasikan untuk peningkatan belanja aparatur [S_APRT], belanja publik [S_PUBL] dan belanja bantuan sosial [S_SOC] masing-masing sebesar 0%; 75% dan 25%.
Motif akhir dari penggunaan skema reforestasi yang dikombinasikan dengan cara alokasi pembelanjaan dari Pemerintah Provinsi Lampung tersebut adalah untuk mengetahui seberapa besar dampaknya terhadap perolehan pajak dan retribusi daerah ke depan, Sehubungan dengan itu, maka besaran yang diperiksa berturut-turut adalah: 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 30% seperti disajikan dalam disajikan pada Tabel 11 dan Tabel 12.
126
Tabel 11. Kenaikan Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah serta Rencana Belanja Alokasi 1 Simbol
Alokasi 1, Hasil Peningkatan Penerimaan Pajak Digunakan: Perolehan Kenaikan [TAX] % 0 5 10 15 20 30
1.a 1.b 1.c 1.d 1.e 1.f
0% untuk [S_APRT]
100% untuk [S_PUBL]
0% untuk [S_SOC]
--------------------------------------Rp Juta/10 Ribu Penduduk-----------------------------------0,00 0,00 0,00 0,00 19,95 0,00 19,95 0,00 39,91 0,00 39,91 0,00 59,86 0,00 59,86 0,00 79,81 0,00 79,81 0,00 119,72 0,00 119,72 0,00
Tabel 12. Kenaikan Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah serta Rencana Belanja Alokasi 2 Simbol
Alokasi 2, Hasil Peningkatan Penerimaan Pajak Digunakan: Penerimaan Kenaikan [TAX]
1.a 1.b 1.c 1.d 1.e 1.f
% 0 5 10 15 20 30
0% untuk [S_APRT]
75% untuk [S_PUBL]
25% untuk [S_SOC]
--------------------------------------------Rp Juta/10 Ribu Penduduk-------------------------------0,00 0,00 0,00 0,00 19,95 0,00 14,96 4,99 39,91 0,00 29,93 9,98 59,86 0,00 44,90 14,97 79,81 0,00 59,86 19,95 119,72 0,00 89,79 29,93
Adapun data yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan kenaikan [TAX] adalah nilai rata-rata perolehan [TAX] selama periode pengamatan (yaitu dari 1996-2008) seperti yang digunakan untuk membangun Pers.{4.13} sampai Pers. {4.16} setelah dikeluarkan pencilan (out lier)-nya. Setelah dihitung berdasarkan kenaikan [TAX] adalah sebesar Rp 399,06 juta/10 ribu penduduk. Dengan kombinasi antara ketiga skema reforestasi, kebijakan peningkatan keenam level harapan peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah serta dua macam alokasi pembelanjaannya tersebut maka diperoleh 84 kombinasi skenario, yang perlu dipergunakan untuk memeriksa perubahan pertumbuhan ekonomi [G_ECONM], indeks nilai tukar petani [NTP] dan indeks pembangunan manusia [HDI] di Provinsi Lampung.